Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
BAB VI GERAKAN JIHAD GLOBAL “But with the modern age, the rise of international secular ideas, the development of international law, and the surge of different strategic interests among the Islamic ideologies, jihad developed different meanings in different intellectual settings as a way to satisfy various interests”. Walid Phares, Future Jihad: Terrorist Strategies Against America (New York: Palgrave Macmillan, 2005), h. 20. And from then on, the global jihadi ideology with its various schools and doctrines defined its mission: reeducate the Muslims, rebuild the Islamic states, repel the infidels and the apostates, reestablish the caliphate, and ultimately resume the Fatah to expand all of the above. In sum, it is a universal, comprehensive, relentless, unstoppable, nonnegotiable program of world domination. Walid Phares, The War of Ideas: Jihadism Against Democracy (New York: Palgrave Macmillan, 2007), h. 36. 1. Latar Belakang Gerakan Gerakan jihad, khususnya di dunia Islam, dianggap sebagai bagian dari fenomena historiografi sosiologis yang realitasnya telah menjadi salah satu pembahasan yang cukup panjang dan cukup tajam dalam wacana akademik global. Hal ini tentu saja terkait dengan realitas gerakan jihad yang sangat mengedepankan dimensi sosial-politiknya, dibanding dengan dimensi sosial-religio-moralitasnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh kelompok Islam politik baik dalam bentuk gerakan politik kenegaraan (kekhalifahan) maupun dalam bentuk gerakan kelompok-kelompok keagamaan yang hingga hari ini terus berlangsung. Dua bentuk gerakan jihad sosiologis-historis ini pada gilirannya melahirkan dua format jihad yang mempunyai perbedaan konsep dan latar belakang gerakan. Jika yang pertama dipandang sebagai sebuah perjuangan ekspansi politis, yang tentu saja menggunakan kekuatan militer dan kebijakan politik, maka yang kedua kelihatan lebih mengedepankan semangat ideologis yang cenderung apologis sehingga memberi kesan dan label yang cenderung negatif terhadap gerakan jihad, sebagaimana akhir-akhir ini banyak kalangan, khususnya dunia Barat, menyebutnya sebagai gerakan jihad yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal, kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, kelompok fundamentalis, kelompok jihadis dan bahkan sampai pada sebutan kelompok teroris, yang pada gilirannya, pasca hancurnya ideologi komunis, negara-negara Barat memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan. Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 270. Tidak ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang diberinya label sebagai fundamentalis Islam, radikal Islam, Islam jihadis, dan atau yang sejenisnya. Perkembangan jaringan kelompok fundamental Islam atau yang juga biasa disebut dengan radikal Islam atau kelompok jihadis tidak tumbuh dengan sendirinya, akan tetapi sesuatu yang tumbuh dan berkembang by design baik dari perspektif pemikiran (ideologi) maupun organisatoris serta sosial politik ekonomi yang melatar-belakangangi keberadaan dan hubungan Islam dengan Barat baik di daratan Asia, khususunya di Saudi Arabia dan negara-negara Timur Tengah serta negara-negara Asia Tangah seperti Pakistan dan Afganistan, maupun di daratan Eropah, seperti di Chechnya dan Bosnia Herzegovina. Para pakar telah benyak menyebutkan bahwa gerakan jihad Global sesungguhnya dimulai dari ide-ide yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Muslim Pan Islamisme yang tergolong dalam kelompok pemikir radikal seperti Hasan al-Banna (1906-1949), Sayyid Qutb (1906-1966), dan Abu ‘Ala al-Maududi (1903-1979), yang ketiganya banyak diinspirasi oleh pemikiran radikal Muhammad Ibn Abdul Wahab (1703-1792). Jika Hasan al-Banna lebih fokus pada gerakan jihad, maka Sayyid Qutb dan Abu ‘Ala al-Maududi tidak hanya sebagai penggerak jihad tetapi juga banyak berperan sebagai aktor intelektual yang membangkitkan dan menggerakkan semangat umat Islam untuk berjihad demi mengatasi kondisi umat Islam yang sedang berada dalam dilema ketika berhadapan dengan dunia modern (Barat). Michael Borner, Jihad in Islamic History: Doctrines and Practice (Princeton: Princeton University Press, 2006), h. 162-163. Kemudian situasi politik di Timur Tengah yang sedang mengalami dua musuh sekaligus pertama musuh dari luar yaitu datangnya ekspansi politik ekonomi asing (Barat) dengan tokoh sentralnya Amerika, dan yang kedua adalah persoalan politik dan ekonomi dalam negeri yang saling bertarung antara upaya menegakkan keadilan yang dituntut oleh masyarakat dan kekuasaan otoritarian para pemimpin Timur Tengah seperti pada masa Reza Pahlevi di Iran, dan Anwar Sadat di Mesir yang tetap berupaya untuk mempertahankan status quo walaupun terkadang keduanya meminta dukungan asing untuk “berhadapan” dengan rakyatnya. Kebencian masyarakat Timur Tengah terhadap pemimpinnya terlihat dalam realitas yang menyakitkan jika Reza Pahlevi ditaklukkan dalam sebuah kudeta berbasis massa pada tahun 1979, maka Anwar Sadat, pada tahun 1981, dijatuhkan dengan cara pembunuhan berbasis gerakan ideologi politik yang sengaja dibalut dengan bingkai keagamaan, termasuk semangat jihad untuk menegakkan amar makruf nahi munkar, seperti terlihat dalam statemen para pendukung anti Anwar Sadat menyatakan bahwa mereka telah membunuh “Fir’aun”, yang dalam sejarah sosial politik Mesir Kuno disebut sebagai seorang kepala pemerintahan (raja) yang lalim, yang telah mereka identikkan pada diri Anwar Sadat. Michael Borner, Jihad in Islamic …, h. 162-163. Memasuki penghujung era 80an, semangat untuk berjihad tidak hanya muncul menghadapi persoalan internal, akan tetapi sudah menguat dan tak terhankan lagi di kalangan anak-anak muda, di Saudi Arabia khususnya, untuk segera keluar membantu kaum Muslimin di Afghanistan yang sedang diinvasi oleh Uni Soviet (1979-1989). Semangat berjihad di kalangan anak-anak muda Saudi Arabia dan di negara-negara Timur Tengah lainnya sangat dipengaruhi oleh berbagai informasi baik media cetak, audio visual maupun media pendidikan, seperti di madrasah-madrasah, serta keagamaan, seperti ceramah-ceramah dan khutbah Jumat di berbagai masjid di seantero Saudi Arabia. Selain itu, pemerintah Saudi Arabia secara langsung mulai melakukan dukungan nyata tidak hanya mensubsidi pembelian tiket-tiket pesawat untuk memudahkan para pejuang dari Arab menuju Afghanistan, tetapi juga memberikan bantuan senjata dan dana kepada para pejuang muda tersebut demi untuk menegakkan jihad melawan musuh-musuh Islam tidak hanya di Afghanistan di Asia, tetapi juga di beberapa negara di Eropah yang juga sedang melancarkan jihad melawan kezaliman asing. Jarret M. Brachman, Global Jihadism: Theory and Practice (New York: Routledge, 2009), h. 3. Menariknya adalah, keberangkatan para pemuda pejuang (mujahid) tersebut ke Afghanistan pada awalnya berhadapan dengan perlawanan psikologis di kalangan para orang tua (mereka) disebabkan karena anak-anak muda tersebut mayoritasnya masih berada di bawah umur yang tentu saja belum punya kewajiban secara personal untuk berjihad, terlebih lagi dalam keyakinan Sunni bahwa kewajiban jihad merupakan kewajiban kolektif. Jarret M. Brachman, Global Jihadism …, h. 4. Untuk mengatasi perlawanan psikologis di kalangan para orang tua, dan sekaligus untuk memperkuat alasan logika hukumnya, kelompok Jihadis mengeluarkan fatwa yang merubah makna tanggung jawab jihad dari tanggung jawab communal menjadi individual sehingga fatwa tersebut memberikan legitimasi pemberangkatan para pemuda Saudi Arabia ke Afghanistan dan juga Pakistan menjadi sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh para orang tua di Sudi Arabia. Jarret M. Brachman, Global Jihadism …, h. 5. Memasuki awal 90an gelombang gerakan jihad semakin menguat dan meningkat jumlahnya dikarenakan salah satu sebabnya adalah semakin kuatnya propaganda yang disampaikan oleh para veteran jihad Afghansitan yang kembali ke Saudia Arabia sehingga pada gilirannya kumandang jihad tidak hanya menggelora di negara-negara Timur Tengah tetapi juga telah pula meluas sampai ke negara-negara di daratan Eropah yang juga sedang berjihad melawan pendudukan Uni Soviet Union. Jarret M. Brachman, Global Jihadism …, h. 8. Di Timur Tengah, para veteran jihad tersebut ini tidak hanya membangkitkan semangat jihad tetapi juga membentuk kelompok-kelompok organisai yang memang menjadikan jihad sebagai alat perjuangan, seperti kelompok The Libyan Islamic Fighting Group (LIFG) yang dipimpin oleh Abu Abdallah al-Sadeq, yang bertujuan untuk menggulingkan Muhammad Qadafi dari kursi kekuasaannya; The Moroccan Islamic Figthing Group (GICM) yang dipimpin oleh Abu Abdullah al-Sharif, yang dipersiapkan untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah Marokko; The Egyptian Islamic Jihad (EIJ) yang dipimpin oleh Ayman az-Zawahiri dan Abd al-Qadir ibn Abd al-Azizi yang bertujuan untuk menguasi pemerintah Mesir dan mengambil alih kekuasaan; dan juga al-Qaida yang dipimpin langsung oleh Osama bin Laden dan Ayman az-Zawahiri yang bertugas melancarkan perang melawan Amerika Serikat dengan seluruh antek-anteknya dimanapun dimuka bumi ini, disamping tugas mereka melindungi dan membantu para pejuang Taliban Afghansitan. Jarret M. Brachman, Global Jihadism …, h. 9-10. Demikian juga muncul dan berkembangnya jaringan kelompok radikal Islam di negara-negara Eropah, termasuk di beberapa negara eks Uni Soviet, yang biasa disebut dengan negara-negara Kaukasus atau juga negara-negara Eurasia, bukanlah penjelmaan lokal akan tetapi merupakan produk sebuah konspirasi kelompok gerakan Islam (the Islamists) internasional yang muncul secara serempak setelah bubarnya Republik Uni Soviet Bersatu. ‭ ‬Galina M.‭ ‬Yemelianova,‭ "‬The Growth of Islamic Radicalism in Eurasia,‭" ‬dalam Tahir Abbas,‭ (‬ed.‭)‬,‭ ‬Islamic Political Radicalism:‭ ‬A European Perspective‭ (‬Edinburgh:‭ ‬Edinburgh University,‭ ‬2007‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬83-84. Kemunculan kelompok radikal Islam ini tentu saja terkait erat dengan situasi kegamangan politik, ekonomi, budaya dan keagamaan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Muslim Kaukasus yang sedang mengalami perubahan radikal sistem politik yang tercerabut dari sentral kekuasaan pusat sosialisme global di Kreamlin. Diperhitungkan bahwa gerakan salafi radikal yang mengusung ide-ide Wahabi mulai masuk kepada masyarakat Muslim lokal, seperti di daerah Dagestan dan Chechnya di bagian Timur Laut Kaukasus, pada pertengahan tahun 1990an yang secara langsung berhadapan dengan praktek-praktek sufi yang sudah berkembang dan mengakar di tengah-tengah masyarakat Muslim. Dalam upayanya menarik dukungan masyarakat, gerakan salafi ini, melalui bantuan finasial yang sangat kuat dari pemerintah Saudi Arabia, memberikan bantuan fisik, seperti membangun masjid dan madrasah, menghajikan masyarakat, dan memberikan bantuan beasiswa bagi yang mau belajar di berbagai universitas Islam di luar negeri. Mereka juga melakukan berbagai latihan dan pembekalan (training) keagamaan, dalam rangka mempersiapkan aktivis-aktivis dakwah, mensuplai guru-guru dan menerbitkan kajian-kajian keislaman berbasis pemikiran fundamentalis. Namun semua kegiatan ini akhirnya dilarang oleh pemerintah Chechnya mulai akhir tahun 1999, kecuali beberapa tenaga pengajar Bahasa Arab dan hukum Islam dari Universitas al-Azhar yang masih diperbolehkan menyambung kontrak kerjanya secara pertahun untuk mengajar di Islamic Institute of Abu Hanifah di Chechnya. Lebih jauh lihat Galina M. Yemelianova, “The Growth of …”, h. 87-89. Persaingan antara kelompok sufi moderat dan kelompok salafi tidak hanya terjadi dalam pemikiran dan gerakan tetapi juga masuk dalam kancah perebutan pengikut yang mulai tahun 1997 hingga tahun 2000 dimana komposisi kedua fraksi hampir sama dalam populasinya. Akan tetapi hingga tahun 2005 kelompok sufi moderat menjadi kelompok yang mayoritas sebagai hasil dari gerakan reislamisasi yang mereka lakukan melalui jalur pendidikan keagamaan. Sebaliknya, kaum radikal atau yang mereka sebut dengan kelompok jihadis, yang mendapatkan dukungan dari pusat-pusat gerakan Islam internasional di Pakistan, Afghanistan, Yordan dan Saudi Arabia, melancarkan perlawanan secara langsung kepada pemerintah lokal. Galina M. Yemelianova, “The Growth of …”, h. 91. Selain di Chechnya, di Zagreb Bosnia misalnya, tidak hanya al-Qaida tetapi juga, berbagai kelompok radikal Islam Barat Oliver Roy menyatakan bahwa relawan jihadis Barat adalah dari generasi kedua imigran Muslim yang telah menjadi warga negara Eropah, seperti Perancis, Inggeris, German misalnya, atau mereka yang lahir dari ayah yang Muslim Timur Tengah. Generasi kedua imigran Muslim di Eropah banyak yang mengalami masalah psikologi kaum minoritas dalam kehidupan Barat yang bebas, yang kemudian mengalami keterpecahan identitas (split identity) sehingga mereka dengan mudah dapat diindoktrinisasi oleh kelompok jihadis untuk dijadikan relawan jihad. Lebih jauh lihat Oliver Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), h. 314. dan Timur memasukkan berbagai bentuk dukungan mulai dari pengiriman relawan jihad hingga pembangunan fasilitas pendidikan, seperti Maktab al-Khidmat yang didirikan pada 1992 di Zagreb, dan mereka juga membentuk organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, seperti International Islamic Relief Organization. ‭ ‬Lebih jauh tentang gerakan kelompok jihadis di Bosnia dan Chechnya lihat Oliver Roy,‭ ‬Globalized Islam‭ …‬,‭ ‬h.‭ ‬313-314. 2. Paradigma Gerakan Sejarah mencatat bahwa jihad tidak hanya mampu menggerakkan semangat dakwah dan kekuasaan, Jihad menjadi penggerak semangat dakwah dan kekuasaan sesungguhnya sebuah realitas yang melekat dengan kehadiran Islam itu sendiri, sejak masa Rasul, Khulafa al-Rasyidin, dan masa kekhalifahan sesudahnya. Terlepas dari bentuknya yang defensif ataupun ofensif, semangat jihad yang terlahir dalam bentuk peperangan barangkali hampir tidak dapat terhitung jumlahnya. Pada masa Rasul saja ada belasan perang yang terjadi, seperti: Perang Badar Kubrâ (17 Ramadhan 2 H/623 M) Perang Uhud (7 Syawal 3H/22 Maret 625 M), Perang Khandaq (Syawal 5 H/627 M), Perang Hunain (8 H/630 M), Perang Tabuk (9 H/630 M), Perang Zatu al-Riqa dan Perang Khaibar (7 H), Perang Mut’ah (8 H), Penaklukan kota Mekah / Fath al-Makkah (8 H), Perang Tha’if (8 H), dan lain-lain. sebagaimana begitu kuat pada masa-masa pengembangan Islam dan masa-masa kekhalifahan/kerajaan Islam, tetapi juga jihad, dengan berbagai format gerakannya, membuahi kelahiran sebuah peradaban Islam yang besar yang menguasai hampir sepertiga planet bumi ini. Namun dalam fenomena terakhir, gerakan jihad (global) telah mengalami perubahan paradigmanya ke arah yang negatif dan menakutkan, sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat Barat berdasarkan realitas yang ditampilkan oleh kelompok-kelompok jihadis global. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan sekelompok orang yang membawa simbol-simbol agama ini telah dimanfaatkan oleh Barat dengan menggunakan hegemoni media untuk memojokkan Islam dari ruang publik global. Pada satu sisi, ada kesan sepertinya Barat melakukan generalisasi yang tergesa dalam upaya menetralisasikan kepentingan-kepentingan mereka terutama di bidang politik, ekonomi dan militernya di negara-negara Timur-Tengah, termasuk didalamnya bentuk kepentingan penguasaan minyak ‎‮ ‬Ahmad‮ ‬Farra,‮ “‬Prospek‮ ‬Perdamaian‮ ‬Timur‮ ‬Tengah‮ ‬Pasca‮ ‬Perang‮ ‬Teluk‮”‬,‮ ‬dalam‮ ‬M.‮ ‬Riza‮ ‬Sihbudi‮ (‬ed‮)‬,‮ ‬Palestina:‮ ‬Solidaritas‮ ‬Islam‮ ‬dan‮ ‬Tata‮ ‬Politik‮ ‬Dunia‮ ‬Baru‮ (‬Jakarta:‮ ‬Pustaka‮ ‬Hidayah,‮ ‬1999‮)‬,‮ ‬h.‮ ‬172. sehingga ketergesaan ini menyebabkan masyarakat Barat tidak mampu melihat fenomena historis umat Islam secara lebih obyektif apa sesungguhnya akar persoalan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam. Namun, di sisi lain, praktek kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal Islam atau kelompok jihadis dalam berbagai bentuk terorisme ‭ ‬Kata terorisme pertama sekali dipopulerkan pada saat Revolusi Perancis‭ (‬1789-1799‭)‬,‭ ‬yang saat itu terorisme memiliki konotasi positif,‭ ‬yang dimaknai untuk memulihkan tatanan masyarakat selama masa kekacauan dan pergolakan anarkis setelah terjadinya peristiwa pemberontakan rakyat pada tahun‭ ‬1789.‭ ‬Demikian juga pada masa Perang Dunia I,‭ ‬terorisme masih tetap memiliki konotasi positif revolusioner sebagaimana mulai tampak pada tahun‭ ‬1880-an dan‭ ‬1890-an ketika terjadi gerakan nasionalis militan Armenia di Turki Timur yang melancarkan strategi teror untuk melawan kekuasaan Ottoman,‭ ‬yang kemudian cara-cara ini diadopsi oleh gerakan internal di berbagai belahan dunia Islam,‭ ‬termasuk juga di Indonesia,‭ ‬untuk melawan pemerintahan kolonial.‭ ‬Namun seiring dengan perkembangan zaman,‭ ‬terorisme digunakan untuk merujuk pada fenomena yang lebih luas,‭ ‬seperti sejak era‭ ‬1970-an terorisme dianggap sebagai alat melawan Barat,‭ ‬khususnya Amerika,‭ ‬yang dituduh sebagai dalang konspirasi global,‭ ‬walaupun sesungguhnya tindakan terorisme juga dilakukan oleh kelompok teroris yang berasal dari Barat.‭ ‬Beberapa kejadian teror dapat dilihat seperti:‭ ‬terror bloody Friday yang dilakukan oleh gerilyawan IRA di Belfast pada tahun‭ ‬1972‭ (‬mengakibatkan korban jiwa‭ ‬11‭ ‬orang‭)‬,‭ ‬Munich Olympic Massacre/Black September yang dilakukan oleh gerilyawan Palestina pada Olimpiade Munich,‭ ‬Entebbe Crisis pada tahun‭ ‬1976‭ ‬dimana Baader Meinhof Group membajak Air France dan memaksa untuk mendaratkannya di Uganda,‭ ‬Hostage Crisis yang terjadi di Iran pada tahun‭ ‬1979,‭ ‬Penyanderaan Masjidil Haram Mekkah pada tahun‭ ‬1979‭ ‬yang korbannya berjumlah‭ ‬250‭ ‬orang,‭ ‬Pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Beirut pada tahun‭ ‬1983,‭ ‬Jatuhnya Pesawat Pan Am‭ ‬103‭ ‬akibat ledakan bom yang terjadi di Lockerbie dengan korban tewas‭ ‬259‭ ‬orang,‭ ‬Tokyo Subway Attack pada tahun‭ ‬1995‭ ‬yang dilakukan oleh kelompok sekte Aum Shinrikyo yang mengakibatkan‭ ‬5.700‭ ‬orang terluka serta‭ ‬12‭ ‬orang terbunuh,‭ ‬Peledakan Gedung Federal di Oklahoma yang dilakukan oleh Timothy Mc Veigh yang mengakibatkan‭ ‬166‭ ‬orang meninggal dunia,‭ ‬Penyanderaan Ekspedisi Lorentz oleh kelompok OPM‭ (‬Organisasi Papua Merdeka‭) ‬di Irian pada tahun‭ ‬1996,‭ ‬Serangan‭ ‬11‭ ‬September‭ ‬2001‭ ‬terhadap Gedung World Trade Center New York yang menelan korban lebih dari‭ ‬3000‭ ‬orang,‭ ‬dan peledakan Bom Bali di Indonesia pada tanggal‭ ‬12‭ ‬Oktober‭ ‬2002‭ ‬yang menewaskan‭ ‬202‭ ‬orang tak berdosa,‭ ‬dan melukai‭ ‬209‭ ‬orang lainnya. tentu tidak dapat dibenarkan karena sesungguhnya telah mencoreng pesan-pesan moral sosiologis kemanusiaan serta keagamaan Islam yang rahmatan li al-‘alamin yang seharusnya membawa kesejahteraan dan kedamaian bagi umat manusia. Terlepas dari berbagai pandangan yang berbeda terhadap penyebab munculnya gerakan-gerakan aksi teror, termasuk yang mengatas namakan Islam, dunia merasakan bahwa aksi tersebut, baik dalam skala lokal maupun global, sangat memprihatinkan dan sangat mengancam keselamatan umat manusia, selain ancaman kelaparan, kerusakan lingkungan, ledakan imigran, pelanggaran hak-hak asasi manusia, peredaran narkoba, serta tirani yang sangat kentara di dunia ketiga. Realitas ini menyebabkan masalah keamanan manusia menjadi lebih kompleks dan sekaligus menjadi isu yang sangat rawan dewasa ini sehingga berbagai Badan Dunia telah pula memberikan perhatian serius, dan telah membuat berbagai aturan hukum terkait dengan isu-isu tersebut. ‭ ‬Paling tidak sejak tahun‭ ‬1969‭ ‬hingga sekarang ada‭ ‬12‭ ‬aturan hukum yang telah dikeluarkan oleh PBB,‭ ‬yaitu:‭ ‬1.‭ ‬Convention on Ofences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft,‭ ‬ditandatangani di Tokyo tanggal‭ ‬14‭ ‬September‭ ‬1963‭ ‬dan mulai belaku tanggal‭ ‬4‭ ‬Desember‭ ‬1969,‭ ‬2.‭ ‬Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft,‭ ‬ditandatangani di Den Hague tanggal‭ ‬16‭ ‬Desember‭ ‬1970‭ ‬dan mulai berlaku tanggal‭ ‬14‭ ‬Oktober‭ ‬1971,‭ ‬3.‭ ‬Covention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation,‭ ‬ditandatangani di Montreal tanggal‭ ‬23‭ ‬September‭ ‬1971‭ ‬dan mulai berlaku tanggal‭ ‬26‭ ‬Januari‭ ‬1973,‭ ‬4.‭ ‬Convention on the Prevention and Punisment of Crimes Agains Internationally Protected Persons,‭ ‬Including Diplomatic Agents,‭ ‬mulai berlaku tanggal‭ ‬20‭ ‬Februari‭ ‬1977,‭ ‬5.‭ ‬International Convention Against the Taking of Hostages,‭ ‬mulai berlaku tanggal‭ ‬3‭ ‬Juni‭ ‬1983,‭ ‬6.‭ ‬Convention on the Physical Protection of Nuclear Material,‭ ‬ditandatangani di Vienna dan New York tanggal‭ ‬3‭ ‬Maret‭ ‬1980,‭ ‬dan diberlakukan sejak‭ ‬8‭ ‬Februari‭ ‬1987,‭ ‬7.‭ ‬The Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation,‭ ‬tambahan untuk Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation,‭ ‬yang ditandatangani di Montreal tanggal‭ ‬24‭ ‬Februari‭ ‬1988,‭ ‬dan mulai diberlakukan tanggal‭ ‬6‭ ‬Agustus‭ ‬1989,‭ ‬8.‭ ‬Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Maritime Navigation,‭ ‬yang mulai diberlakukan tanggal‭ ‬1‭ ‬Maret‭ ‬1992,‭ ‬9.‭ ‬Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Fixed Platform Located on the Continental Shelf,‭ ‬diberlakukan tanggal‭ ‬1‭ ‬Maret‭ ‬1992,‭ ‬10.‭ ‬Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection,‭ ‬ditandatangani di Montreal tanggal‭ ‬1‭ ‬Maret‭ ‬1991,‭ ‬dan diberlakukan sejak tanggal‭ ‬21‭ ‬Juni‭ ‬1998,‭ ‬11.‭ ‬International Convention for the Supression of Terrorist Bombing,‭ ‬yang diberlakukan sejak tanggal‭ ‬23‭ ‬Mei‭ ‬2001,‭ ‬dan,‭ ‬12.‭ ‬International Convention on the Supression of Financing of Terrorism,‭ ‬diberlakukan sejak tanggal‭ ‬10‭ ‬April‭ ‬2002. Satu hal yang cukup menarik adalah adanya klaim kelompok radikal Islam, atau yang biasa disebut dengan kelompok jihadis yang menyatakan bahwa diri mereka adalah sebagai kelompok militan yang tertindas oleh ancaman global dan westernisasi, sebagaimana mereka mengatakan: "We are militant activis who feel estranged from the secular social and political order at home and intrinsically threatened by globalization and westernization," dan dalam perjuangannya melawan berbagai tiran yang mereka jadikan sebagai musuh bersama telah pula mereka klasifikasikan kepada "musuh yang dekat" (the near enemy - al-'adu al-qorib), yaitu regim Islam yang mereka anggap sebagai tiran, dan "musuh yang jauh" (the far enemy - al-'adu al-ba'id, yaitu Amerika dan sekutunya. ‭ ‬Lebih jauh lihat Fawaz A.‭ ‬Gerges,‭ ‬The Far Enemy:‭ ‬Why Jihad Went Global‭ (‬Cambridge‭ & ‬New York:‭ ‬Cambridge University Press,‭ ‬2005‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬1. Apa yang disampaikan oleh kelompok jihadis tersebut menunjukkan adanya perubahan paradigma jihad dari musuh lokal (regim tiran) menjadi musuh global (westernism) kelihatannya juga tidak terlepas dari kebijakan global Barat terhadap negara-negara Islam Timur Tengah yang diklaim sebagai negara tiran, dan berbagai kebijakan yang dimunculkan oleh Badan-Badan Dunia dengan sikap yang terlalu cepat dan sangat sarkastik memposisikan kelompok radikal Islam (kelompok jihadis) sebagai pelaku-pelaku teror yang sangat membahayakan tatanan peradaban umat manusia. Oleh karena itu tidak dapat terhindarkan perkembangan gerakan dan jaringan kelompok ini yang secara cepat menyebar dari negara-negara Timur Tengah, kemudian menyebarang ke negera-negara Eropah, ke Asia Tengah dan Asia Tenggara, termasuk juga di dalamnya perkembangan pengaruh kelompok jihadis pada pejuang-pejuang Taliban yang kemudiannya menjadi cikal-bakal lahirnya al-Qaida di bawah komando Osama bin Laden, ‭ ‬Untuk informasi lebih jauh tentang jihad dalam angle politik Islam yang diperankan oleh kelompok jihadis yang awalnya berkembang di negara-negara Timur Tengah dan kemudian menyebarang ke negera-negara Eropa serta Amerika,‭ ‬dan kemudian ke Asia Tengah dan juga Asia Tenggara,‭ ‬termasuk juga pengaruh jihadis pada pejuang-pejuang Taliban serta isu-isu ekonomi,‭ ‬seperti perminyakan,‭ ‬dan peran Osama bin Laden dalam mengendalikan kelompok al-Qaida,‭ ‬lihat Gilles Kepel,‭ ‬Jihad:‭ ‬The Trail of Political Islam,‭ ‬terj.‭ ‬Anthony E.‭ ‬Roberts‭ (‬Cambridge:‭ ‬Harvard University Press,‭ ‬2002‭); ‬Gilles Kepel,‭ ‬Muslim Extremism in Egypt:‭ ‬The Prophet and Pharaoh,‭ ‬terj.‭ ‬John Rortschild‭ (‬Berkeley‭ & ‬Los Angeles:‭ ‬University of California Press,‭ ‬1984‭); ‬Gue Neamatallah,‭ ‬The Jihad Organization:‭ ‬An Islamic Alternative in Egypt‭ (‬Kairo,‭ ‬1988‭); ‬Emmanuel Sivan,‭ ‬Radical Islam:‭ ‬Medieval Theology and Modern Politics‭ (‬New Haven,‭ ‬Conn.,‭ & ‬London:‭ ‬Yale University Press,‭ ‬1985‭); ‬Ahmed Rashid,‭ ‬Taliban:‭ ‬Oil and Fundamentalism in Central Asia‭ (‬New Haven,‭ ‬Conn.,‭ & ‬London:‭ ‬Yale University Press,‭ ‬2000‭)‬,‭ ‬dan Peter L.‭ ‬Bergen,‭ ‬Holy War,‭ ‬INC:‭ ‬Inside the Secret of Osama Bin Laden‭ (‬New York‭ & ‬London:‭ ‬Simon and Svhuster,‭ ‬2001‭)‬. sebagaimana telah dielaborasi pada bab sebelumnya. Dengan perkembangan gerakan dan jaringan, yang mana kelompok jihadis sudah bergerak dari lokal atau nasional menjadi transnasional, kalangan jihadis transnasionalis, di tangan Bin Laden dengan kelompok al-Qaidanya, telah merubah interprestasi dan makna jihad dari bentuk kewajiban komunal (fardu kifayah) menjadi kewajiban personal (fardu 'ain) yang permanen, dan jihad telah menjadi bagian dari ideologi dan setara (equal) dengan rukun Islam yang lima. ‭ ‬Informasi yang cukup luas tentang perubahan jihad dalam dunia klasik Islam dan dunia moderen Islam,‭ ‬lihat Rudolp Peter,‭ ‬Jihad in Classical and Modern Islam‭ (‬Princeton and New Jersey:‭ ‬Markus Mieners Publishers,‭ ‬1996‭)‬. Osama Bin Laden mendefiniskan jihad sebagai kewajiban individual bagi setiap pribadi Muslim yang mempunyai kemampuan untuk pergi berperang, dan jihad merupakan satu bagian dari kewajiban agama, dan tidak dibenarkan adanya orang Islam yang mengatakan tidak mau berjihad atas nama dan untuk Allah karena jihad adalah merupakan inti (tenet) dari ajaran Islam, dan tidak ada prioritas lain yang dapat diutamakan, setelah keyakinan berimana kepada Allah, selain jihad. ‭ ‬Interview dilaksanakan oleh ABC Television News di Afghanistan pada tanggal‭ ‬22‭ ‬Desember‭ ‬1998,‭ ‬sebagaimana dikutip oleh Fawaz A.‭ ‬Gerges.‭ ‬Lebih jauh lihat Fawaz A.‭ ‬Gerges,‭ ‬The Far Enemy‭ …‬,‭ ‬h.‭ ‬3,‭ ‬dan‭ ‬63. Pandangan Osama bin Laden ini merupakan titik balik dari pandangan Sayyid Qutub yang menyatakan bahwa upaya revolusi yang bersifat permanen dalam rangka melawan musuh yang berasal dari dalam maupun dari luar yang menentang kekuasaan Tuhan, dan jihad sebagai panggilan agama tidak lagi bersifat defensif sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ulama klasik, akan tetapi jihad telah bersifat ofensif dalam bentuk perang secara total. ‭ ‬Lebih jauh lihat Fawaz A.‭ ‬Gerges,‭ ‬The Far Enemy‭ …‬,‭ ‬h.‭ ‬4.‭ ‬Pandangan Sayyid Qutub ini juga seirama dengan pandangan Abul A'la al-Maududi,‭ ‬yang juga sebagai guru spiritual Qutub.‭ ‬Lebih jauh lihat Abul A'la al-Maududi,‭ ‬Jihad in Islam‭ (‬Pakistan:‭ ‬Islamic Publication,‭ ‬1998‭)‬,‭ ‬dan sebagai perbandingan lihat J.‭ ‬Kelsay dan J.‭ ‬T.‭ ‬Johnson,‭ ‬Just War and Jihad:‭ ‬Historical and Theoritical Perspective on War and Peace in Western and Islamic Traditions‭ (‬New York:‭ ‬Greenwoods Press,‭ ‬1991‭)‬.‭ ‬Lihat juga Micheal Walzer,‭ ‬Just and Unjust Wars‭ (‬New York:‭ ‬Basic Books,‭ ‬1977‭)‬.‭ Dalam upaya menyiapkan kelompok jihadis untuk melawan musuh yang jauh (far enemy), sebagaimana yang diungkapkan oleh az-Zawahiri, pemimpin Jihad Group di Mesir yang kemudian menjadi salah seorang pemimpin al-Qaida, mereka sengaja menjadikan Afghanistan sebagai "arena latihan" atau inkubator untuk melahirkan para jihadis terlatih yang kemudian akan dipersiapkan untuk memasuki arena perang yang sesungguhnya melawan super power Amerika yang mereka klaim telah memegang kekuasaan hegemoni global yang sangat merugikan umat Islam. ‭ Fawaz A. Gerges, The Far Enemy …, h. 13-14. Upaya perjuangan kelompok jihadis ke Afghanistan juga tidak hanya didukung oleh aliansi mereka di Saudi Arabia dan Pakistan, tetapi juga mendapat dukungan dari aliansi mereka di berbagai negara Islam atau yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Mesir, Algeria, Maroko, Jordania, Turki dan Indonesia. ‭ ‬Fawaz A.‭ ‬Gerges,‭ ‬The Far Enemy‭ …‬,‭ ‬h.‭ ‬69.‭ ‬Untuk mengetahui tentang keterkaitan jaringan Jemaah Islamiyah dalam beberapa operasi‭ (‬pemboman‭)‬,‭ ‬seperti bom Bali,‭ ‬di Indonesia,‭ ‬lihat juga Oliver Roy,‭ ‬Globalized Islam‭ …‬,‭ ‬h.‭ ‬290-291. Selain az-Zawahiri, Abdullah Azzam, seorang Ikhwanul Muslimin Palestina yang melarikan diri ke Pakistan dan kemudian mendirikan Maktab al-Khidmat di Peshawar pada tahun 1980-an, juga menjadi tokoh sentral dalam memobilisasi sukarelawan Muslim ke Afghanistan yang berjuang untuk melawan cengkeraman komunis Soviet sekaligus membantu mereka untuk membangun tatanan kepemimpinan umat Islam yang sebenarnya. Setelah Abdullah Azzam meninggal dalam bom mobil yang misterius di Peshawar pada bulan November 1989, kepemimpinan dan perannya kemudian berpindah ketangan Osama bin Laden yang didukung oleh seponsor dari Pakistan dan Saudi Arabia. ‭ ‬Lebih jauh lihat Oliver Roy,‭ ‬Globalized Islam‭ …‬,‭ ‬h.‭ ‬290-291. 3. Visi Gerakan Kelompok Jihadis Selama tahun 1990an telah terjadi sebuah perubahan dramatis gerakan jihadis yang bermula dari gerakan lokal menjadi gerakan transnasional dibawah kendali al-Qaida yang disebabkan oleh, paling tidak tiga faktor penyebab, pertama: berakhirnya keberadaan pasukan Uni Soviet (Rusia) di Afghanistan sebagai akibat dari konsekwensi bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991; kedua: terjadinya Perang Teluk tahap II pada tahun 1990-1991 dengan dijadikannya Saudi Arabia sebagai pangkalan Armada Amerika; dan ketiga: kekalahan perjuangan kelompok religious nasionalists dalam peta politik di beberapa negara Timur Tengah. ‭ ‬Fawaz A.‭ ‬Gerges,‭ ‬The Far Enemy‭ …‬,‭ ‬h.‭ ‬30-31. Kebencian kelompok jihadis terhadap Barat, dalam hal ini Amerika, menurut apa yang dipaparkan oleh Oliver Roy, sebenarnya didahului oleh dua kasus besar yang terjadi di era 1980an yaitu revolusi Iran dan pembunuhan presiden Mesir Anwar Sadat yang dikuti oleh munculnya kebencian kepada Amerika, dan berbagai serangan bunuh diri terhadap target-target yang dimiliki Barat, seperti penyerangan terhadap pasukan Amerika dan Prancis di Libanon selama tahun 1983-1984. ‭ ‬Oliver Roy,‭ ‬Globalized Islam‭…‬,‭ ‬h.‭ ‬290-291. Beranjak dari ketiga realitas ini, kelompok al-Qaida secara berkesinambungan memulai deklarasi perangnya melawan pendudukan pangkalan Amerika di negara yang mempunyai dua kota suci (Mekkah dan Madinah) yang mana Amerika dengan kelompok zionisnya telah menjadikan umat Islam terkota-kotak sehingga oleh karenanya jihad untuk mengeluarkan pasukan Amerika dan sekutunya dari bumi umat Islam, dan melawan aliansi Amerika-Israel di bumi Palestina, merupakan jihad akbar (the greates jihad) yang jauh lebih penting dari pada berjihad melawan pemimpin Islam yang tiran (jihad asghar-lesser jihad). Dari sinilah kelompok al-Qaida mulai melakukan berbagai pemboman terhadap beberapa kantor Kedutaan Besar Amerika seperti di Kenya dan Tanzania pada tahun 1998. ‭ ‬Fawaz A.‭ ‬Gerges,‭ ‬The Far Enemy‭ …‬,‭ ‬h.‭ ‬31. Di Indonesia sendiri, beberapa kelompok jihadis, walau berbeda dalam fokus pergerakannya, seperti FPI yang konsen pada pemberlakuan hukum syari'ah terhadap realitas kejahatan masyarakat, dan Laskar Jihad yang banyak terlibat dalam beberapa konflik seperti konflik antar umat beragama di Ambon, namun kelompok-kelompok ini cenderung melakukan tindakan kekerasan (violent acts) dalam menjalankan aksi-aksinya, bahkan diantaranya juga melakukan tindakan terorisme seperti melakukan beberapa pembomam yang terjadi di Indonesia, antara lain bom Bali I pada tahun 2002 ‭ ‬Peristiwa ini menjadi isu yang sangat panas diberbagai media,‭ ‬khusunya di TV One,‭ ‬yang menyiarkan serta mengulas peristiwa bom dan jaringan kelompok yang diduga sebagai pelaku bom.‭ ‬Laporan khusus tertulis lainnya dapat di lihat dalam Tempo,‭ ‬21-27‭ ‬Oktober dan‭ ‬18-24‭ ‬November‭ ‬2002,‭ ‬dan Gatra,‭ ‬26‭ ‬Oktober dan‭ ‬23‭ ‬November‭ ‬2002. yang diidentifikasi dilakukan oleh gerakan Jamaah Islamiyyah yang bekerja dengan aktivis-aktivis lokal yang diduga mempunyai hubungan dengan jaringan al-Qaida. Di Amerika Serikat, al-Qaida sendiri diklaim sebagai pelaku teror 11 September yang menghancurkan Gedung World Trade Center yang menewaskan lebih kurang 3000 jiwa yang tak berdosa. Peran Amerika Serikat sendiri dalam memerangi terorisme di dunia pasca 11 September kelihatan sangat dominan. Amerika Serikat mengatur dan menerapkan kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme internasional, sekalipun melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, sangat terasa sehingga “counter productive” apabila dikaitkan dengan politik luar negeri Amerika Serikat yang tidak jarang dianggap bersifat memihak suatu negara. Terkait dengan serangan 11 September, pihak-pihak yang berseberangan dengan kebijakan Amerika Serikat dalam menanggulangi terorisme berpendapat bahwa peristiwa tersebut adalah peristiwa yang sesungguhnya harus terjadi karena sistem keamanan (security system) di gedung Pentagon disengaja tidak beraksi atau memang terjadi pembiaran, jika tidak tentu saja al-Qaida tidak dapat menembus piranti super canggih yang dimiliki oleh Pentagon. Yang dapat melakukannya hanyalah “terorisme negara” (State Terrorism) yang dilakukan Amerika Serikat sendiri dengan mesin terornya CIA dan USIA (United State Information Agency). Lebih jauh lihat Jerry D. Gray, The Real Truth: Fakta Sebenarnya Tragedi 11 September (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. xiv-xv. Tak terhindarkan bahwa bom Bali I yang telah menewaskan lebih kurang 130 orang tak berdosa dan melukai 300 orang lainnya di Bumi Dewata tersebut telah memberi warna baru Islam Indonesia yang dulunya ramah dan moderat menjadi sangar dan radikal. ‭ ‬Bahtiar Effendy,‭ ‬Islam and the State in Indonesia‭ (‬Singapore:‭ ‬Stallion Press,‭ ‬2003‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬221-222. 4. Evolusi Visi Gerakan Jihad Perubahan gerakan jihad dalam realitas sejarah kelihatannya terkait erat dengan perubahan visi misi jihad yang dipahami dan diaplikasikan oleh umat Islam secara evolutif sejak masa-masa awal perkembangannya hingga masa kontemporer yang tentu saja banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang mereka hadapi dalam berbagai konteks kehidupan baik kontkes keagamaan, sosio-kultural, maupun politik dan ekonomi. Secara garis besar, perubahan evolutif konsep, visi dan gerakan jihad dalam tentang sejarahnya yang sangat panjang, paling tidak, dapat dikategorikan sebagai berikut: Pertama: Visi Gerakan Jihad Klasik Salah satu visi jihad sebagaimana yang dilakukan pada masa kekhalifahan Islam adalah bahwa berdiri dan berkembangnya Islam sebagai agama dan sebagai kekuatan politik, yang telah mempersatukan bangsa-bangsa Arab, untuk menyebar dan menguasai dunia dengan membawa kejayaan dan keluhuran ajaran Islam yang dipahami sebagai sebuah pengabdian kepada Allah SWT sebagaimana yang diajarkan oleh Alquran dan hadis. Untuk itu jihad dijadikan sebagai sebuah legitimasi ideologis kekuatan penetrasi dan pengembangan wilayah kekuasaan yang pada gilirannya harus dipertahankan sebagai sebuah kewajiban walau harus melakukan peperangan, dan siapapun yang mencoba untuk melawan maka atas nama negara dan agama harus ditumpas karena dianggap sebagai musuh Islam, karena Islam dan negara menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, dan segala kebijakan dan kepentingan negara dianggap sebagai kebijakan dan sekaligus kepentingan Islam. Ignaz Goldziher menyebutkan bahwa kekhalifahan Islam, Dinasti Umayyah misalnya, meyakini bahwa mereka mempunyai mandat ketuhanan untuk memelihara dan memperluas kekuasaan politik Islam ke dalam dan ke luar, dan siapa saja yang merintangi kekuasaan mereka dianggap sebagai pemberontak yang harus dimusnahkan karena mereka memberontak terhadap Islam (sebuah model politik menyatunya Tuhan dengan penguasa-Penulis). Menariknya, semangat menyatunya Tuhan dengan penguasa kelihatannya juga merupakan sebuah adopsi pemahaman politik keagamaan yang berkembang di kalangan raja-raja Yahudi dalam mempertahankan kekuasaan mereka dari rongrongan kaum pemberontak, walaupun yang melakukan pemberontakan tersebut adalah seseorang yang saleh, seperti Elijah yang melawan raja Ahab (raja Israel). ‭ ‬Lebih jauh lihat Ignaz Goldziher,‭ ‬Pengantar Teologi dan Hukum Islam‭ (‬Introduction to Islamic Theology and Law‭)‬,‭ ‬terj.‭ ‬Hersri Setiawan‭ (‬Jakarta:‭ ‬INIS,‭ ‬1991‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬68-69. Visi jihad klasik juga tidak dapat dilepaskan dari keinginan untuk mendapatkan harta duniawi (rampasan perang) di kalangan para prajurit, dan tentu saja para penguasa yang sangat memerlukan dukungan sumber keuangan pemerintahan yang paling tidak dapat digunakan untuk membiayai pasukan perang, seperti membayar gaji prajurit, dan membiayai keperluan untuk menjalankan roda pemerintahan (kekhalifahan). Realitas mendapatkan keuntungan duniawi ini tentu saja tidak dapat dinafikan bagi sebuah pemerintahan yang sedang mengembangkan diri yang tentu saja sangat memerlukan dukungan finansial yang besar, dan bahkan sejak masa kekhalifahan Ustman bin 'Affan gejala ini sudah terlihat mulai menguat kepermukaan. Sebagai contoh ketika prajurit Islam kembali dari penyerbuan ke Afrika Utara, dibawah kepemimpinan 'Abdullah bin Abi Sarh, diperhitungkan mendapatkan rampasan perang sangat banyak sehingga setiap prajurit menerima bagiannya sebanyak 3000 mistqal emas. ‭ ‬Miśqâl adalah satuan timbangan bobot,‭ ‬yang biasanya digunakan untuk menimbang logam mulia,‭ ‬yang berasal dari model timbangan Solidus Romawi Timur,‭ ‬dan berbobot‭ ‬4.233‭ ‬gram,‭ ‬dengan sedikit perbedaan sesuai masa dan tempatnya.‭ ‬Data ini dikutip oleh Ignaz Goldziher dari an-Nawawi dalam kitabnya Tahzib al-Asma‭' ‬haman‭ ‬217.‭ ‬Lebih jauh lihat Ignaz Goldziher,‭ ‬Pengantar Teologi‭ …‬,‭ ‬h.‭ ‬114-115. Sebaliknya, semangat asketis dalam jihad yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad sejak masa-masa awal sepertinya mengalami degradasi dan semakin terdesak ke belakang, khususnya pada masa kekhalifahan Umayyah, oleh gelora keinginan untuk memperluas kekuasaan yang terkadang hanya dimonopoli oleh pertimbangan politik sekuler semata, yang pada gilirannya juga menimbulkan ketidakadilan di kalangan kaum fakir miskin yang juga sesungguhnya mempunyai hak terhadap distribusi harta rampasan perang sebagaimana diajarkan oleh Alquran. Beberapa orientalis, seperti Leone Caetani dalam bukunya yang berjudul Annali dell'Islam vol. II, halaman 399, 405 dan 543, dengan bahasa yang cukup tajam menyebutkan bahwa gerakan penaklukan oleh Arab terutama muncul dari kebutuhan materi dan ketamakan, yang dapat dijelaskan dengan mudah mengingat perekonomian Arabia yang miskin dan tandus. Kondisi ini menyulut semangat berimigrasi menduduki daerah-daerah yang lebih subur, dan agama baru dijadikan alasan demi menggalakkan kebutuhan prekonomian. Ilustrasi kerakusan duniawi kekhalifahan Umayyah diperlihatkan sejak awal oleh Mu'awiyah, pendiri dinasti Umayyah, ketika menjadi gubernur di Syria beragumentasi dengan Abu Zarr al-Gifari, seorang sahabat Nabi yang sangat kuat dalam memegang nilai-nilai asketisme, tentang penjelasan surah at-Taubah ayat 39 yang menurut Mu'awiyah bahwa ayat tersebut hanya diperuntukkan bagi rahib-rahib Yahudi. Informasi ini dikutip oleh Ignaz Goldziher melalui kitab 'Abdullah Muhammad ibn Sa'ad yang berjudul Kitab at-Tabaqāt al-Kabīr, vol. IV, h. 166. Lebih jauh lihat Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi …, h. 115-117. Kedua: Visi Gerakan Salafi Jihadis Kelahiran Salafi Jihadis bersama ciri dan visinya setidaknya menampakkan benang merah antara perjuangan mewujudkan terealisasinya sistem politik ideal berlandaskan syari’at Islam yang dapat diwujudkan melalui khilafah al-Islamiyah atau negara Islam dan perlawanan terhadap ideologi kolonialis Barat yang mengusung ide-ide kultural, politis, ekonomis berbasis kapitalis, materialis dan hedonis yang dikemas dalam bingkai demokrasi, liberalisme dan hak-hak azasi manusia. Berdasarkan realitas perkembangan ide dan gerakan yang dilakukan oleh kelompok Salafi Jihadis dalam melakukan upaya-upaya perbaikan tatanan politik umat Islam dan perlawan terhadap Barat kelihatan jelas bahwa kelompok ini bergerak atas dasar perpaduan antara dua visi, yaitu visi Wahabisme dalam akidah dan visi Qutubisme dalam gerakan. Fahrur Razi, “Global Salafi Jihadi Tantangan Masa Depan Islam Indonesia”, hal. 1. Diakses melalui ozisetiadi3.wordpress.com/.../visi-misi-salafi-jihadis, pada tanggal 11 September 2014. Bagi kelompok Salafi Jihadis, ideologi Wahabi yang sangat ketat terhadap pemurnian tauhid, termasuk kaitannya dengan ibadah, serta ideologi pergerakan ala Sayyid Qutub, yang banyak terpengaruh dengan model gerakan Ikhwanul Muslimin, merupakan bagian dari ideologi jihad yang harus ditegakkan dengan cara apapun, dan oleh karena itu tidak heran jika kelompok ini memiliki karakteristik menjustifikasi penggunaan kekerasan dan terorisme demi untuk mencapai tujuan mereka, termasuk tujuan politik yaitu mendirikan struktur pemerintahan ideal berbasis ajaran Islam, Muhammad Najib Azca, “Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis Terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru”, dalam Maarif Institute Vol. 8, No. 1, Juli 2013, h. 18. walaupun hari ini struktur dimaksud belum berhasil masuk dalam bentuk struktur pemerintahan negara dimana kelompok ini tumbuh dan berkembang. Apa yang telah dilakukan oleh kelompok Salafi Jihadis dalam perjuangan mereka menegakkan jihad baik dalam konteks melawan musuh yang dekat ataupun musuh yang jauh kelihatan sekali bahwa mereka dalam menggunakan dan memaknai jihad serta aplikasinya dalam berbagai bentuk visi yang berbeda yang terkait erat dengan situasi, kondisi dan tempat serta tujuan yang ingin mereka capai. Secara lebih detail dapat dikemukakan bahwa perubahan visi jihad kelompok Salafi Jihadis meliputi: Pertama: perubahan konsep dari doktrin jihad internal (religious jihad), sebagaimana yang mereka fahami terjadi pada periode Mekah, menjadi jihad eksternal (political jihad), sebagaimana terjadi pada periode Madinah, yang terus melebar kepada konsep hijrah dan perlawanan sebagaimana yang dimaknai dalam pusaran jihad global kontemporer. Perubahan ini tentu sangat terkait dengan perubahan situasi politik yang dihadapi umat Islam mulai masa Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Kekhalifahan Islam, kolonialisme, hingga munculnya gerakan Pan Islamisme, Wahabisme dan gerakan politik global kontemporer yang semunya memberikan pengaruh dan warna tersendiri dalam evolusi perubahan makna dan gerakan jihad di kalangan Kelompok Jihadis. Lebih jauh lihat Gene W. Heck, When Worlds Collide: Exploring the Ideological and Political Foundations of the Clash of Civilizations (New York: Rowman & Littelfield Publishers, 2007), h. 33-65. Kedua: perubahan paradigma pergerakan dengan memaksimalkan jihad dalam bentuk retorika melalui simbol-simbol informatif keagamaan yang dikemas melalui gerakan politik media praktis dalam upayanya menarik simpati dan keterlibatan umat Islam dalam sebuah gerakan global untuk menghadapi musuh yang sama yang dianggap thaghut baik dalam kategori musuh yang dekat maupun musuh yang jauh. Gerakan jihad retorika informatif ini dibarengi dengan menerbitkan berbagai media mulai dari stiker, pamflet, CD/DVD, jurnal, majalah, buku dan bahkan web site sekalipun yang dijadikan sebagai alat penyebaran ide-ide jihad yang dibingkai dalam semangat solidaritas Islam. Propaganda informasi melalui berbagai media, termasuk menggunakan media dunia maya, menjadikan dunia lebih mudah dan lebih dekat sehingga ide-ide jihad yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dengan cepat dan mudah dapat tersebar ke berbagai penjuru dunia, baik secara khusus kepada kelompok-kelompok afiliasi jihadis yang ada maupun kepada kelompok lain dan umat Islam umumnya secara terbuka. Jarret M. Brachman, Global Jihadism: Theory and Practice (New York: Routledge, 2009), h.11. Beberapa majalah yang mereka terbitkan antara lain: al-Sunnah yang berpusat di United Kingdom, al-Asalah majalah berbahasa Arab diterbitkan di Jordan awal tahun 90an yang berisi propaganda ide-ide Salafi yang didistribusikan ke seluruh dunia, dan salah satu konten yang sangat popular dari majalan ini adalah bagian fatwa yang menjawab berbagai pertanyaan para Salafi yang datang dari berbagai belahan dunia. Majallat at-Tawhid yang terbitnya diprakarsai oleh Abu Muhammad al-Maqdisi, salah seorang tokoh Salafi Jordan yang sedang berada dalam penjara di Jordan, selalu mengedepankan hasutan yang membenturkan kontradiksi antara ketentuan syariah dengan konstitusi Jordania. Majalah ini pada awalnya hanya disebarkan bagi para narapidana agar memunculkan sebuah gerakan perlawanan di kalangan narapidana kepada pemerintah Jordania. Majalah al-Fajr, yang diterbitkan oleh Kelompok Pejuang Islam Libya yang bekerja di sekitar Kota London. Sebagaimana majalah yang lainnya, majalah ini juga fokus memaparkan anjuran-anjuran untuk berjihad, dan bahkan dalam berbagai edisinya majalah ini memberikan legalisasi kepada para jihadis untuk melakukan pembomam demi mencapai tujuan jihad. Majalah mingguan Usrat al-Ansar yang diterbitkan oleh Kelompok Islam Bersenjata Algeria yang dimotori oleh Abu Qatada, yang sekaligus juga sebagai pemimpin kelompok Jihad dari Algeria yang berada di London setelah mereka meninggalkan Peshawar di pertengahan tahun 1993. Nida ul-Islam, yang mendiskripsikan dirinya sebagai Majalah Cendekiawan Islam yang komprehensif, diterbitkan oleh Gerakan Pemuda Islam (Islamic Youth Movement) di Sydney Australia yang awalnya berbentuk on line namun kemudian diterbitkan dalam bentuk cetak pada awal Januari 1994. Salah satu tujuan majalah ini terbit adalah untuk meluruskan pandangan para pemuda yang dianggap telah melenceng dari ajaran jihad yang sesungguhnya agar kembali sesuai dengan kehendak al-Quran sehingga para pemuda mempunyai keberanian untuk berjihad demi melawan musuh-musuh Islam dan umat Islam, seperti melawan gerakan zionisme Israel dan hegemoni Barat yang menurut kelompok jihadis telah melampau batas-batas yang dibenarkan. al-Quds al-‘Arabi, koran yang diterbitkan di London pada 23 Feb 1998 yang pada edisi perdananya mendeklarasikan pront dunia Islam untuk jihad melawan Yahudi dan bala tentara salib, dengan menempatkan Osama bin Laden sebagai tokoh sentral penggerak jihad global. Jarret M. Brachman, Global Jihadism …, h.118-124. Lihat juga Bernard Lewis, The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (New York: Modern Library, 2003), h. xxiv-xxv. Ketiga: pengusungan universalitas ide-ide politik kaum Salafi dalam kesatuan pandangan, pemikiran, ideologi dan pergerakan politik non formal yang tidak terikat dengan sistem dan struktur politik negara bangsa (nation state) agar dengan mudah dapat mempengaruhi umat Islam tanpa dibatasi oleh aturan-aturan dan batas teritorial negara. Keempat: penciptaan teritorial basis sebagai lokasi strategis untuk mempersiapkan sekaligus pelatihan bagi para kader jihadis mengaktualisasikan semangat dan keberanian jihad dalam bentuk perang melawan hegemoni Barat dengan berbagai kultur politik dan sosial ekonomi yang masuk ke dalam jantung kehidupan umat Islam, dalam hal ini Amerika dan para sekutunya yang selalu tampil dalam teritorial negara-negara Islam seperti di Afghanistan, Sudan, Yaman, Iraq, Arab Saudi, dan beberapa wilayah negara mayoritas penduduknya beragama Islam dikawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Realitas ini kemudian dijadikan alasan sehingga kelompok jihadis keluar melakukan “serangan-serangan jihad”, yang diklaim oleh dunia Barat sebagat teror terhadap tatanan peradaban kemanusian, secara langsung terhadap target-target yang telah dimasukkan ke dalam “daftar pembalasan”. Beverley Milton Edwards, Islamic Fundamentalism Since 1945 (New York: Routledge, 2005), hal. 108. Upaya penciptaan geopolitical contexts dengan menciptakan teritorial yang dijadikan sebagai arena penguatan gerakan agar keberadaan Islam yang terus saja berseberangan dengan status quo di negerinya sendiri memiliki teritorial pilihan (alternative territorials) dalam rangka mengembalikan konsep teritorial Islam (the Land of Islam) sebagaimana pada masa kejayaannya, dan untuk itu jihad menjadi salah satu cara paling produktif mengembangkan kekuasaan politik dan perluasan teritorial Islam dimaksud. Kelima: penguatan sistem perekrutan kader dilakukan melalui model pendekatan clandestine yang biasa disebut dengan sistem sel (cell system) yang dapat dengan mudah tersebar tanpa perlu pada organisasi-organisasi yang berstruktur secara global. Namun demikian, dalam upaya perluasan perekrutan kader dan penguatan jaringan, kelompok jihadis tetap menggunakan organisasi-organisasi sayap yang tumbuh secara independent di berbagai negara yang kemudian dijadikan sebagai perpanjangan tangan memobilisasi gerakan jihad global. George Garner, “Chechnya and Kashmir: The Jihadist Evolution of Nationalism to Jihad and Beyon”, dalam Terrorism and Political Violence (New York: Routledge), h. 426-427. Kelompok jihadis tidak hanya menggunakan organisasi-organisasi sayap ini sebagai afiliasi semata tetapi juga untuk melakukan komunikasi informasi dan memberikan bantuan baik dalam bentuk finansial maupun dalam bentuk pelatihan keahlian yang dijadikan “senjata” pendukung gerakan teror yang mereka sebut sebagai jihad global. Jarret M. Brachman, Global Jihadism …, h. 10. Keenam: memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam dengan selogan Islam is the only solution. Hal ini tergambar dengan adanya keinginan untuk membentuk negara Islam berbasis sistem syari’ah dalam sebuah sistem pemerintahan yang menyatu melalui undang-undang dan tata sosial masyarakat yang tersistematis dan tersinergi melalui sistem kekhilafahan. Realitas ini tergambar dari sikap politik pergerakan salafi jihadis yang menolak ide-ide politik dan sistem kenegaraan yang dikembangkan oleh Amerika dan sekutunya, seperti sistem demokrasi, sistem ekonomi liberal, dan HAM yang mereka anggap sebagai sistem yang kufur yang dikembangkan oleh negara-negara thaghut. Beberapa evolusi konsep dan praktek jihad di tangan kelompok salafi jihadis sebagaimana tersebut di atas dalam mengaktualisasikan gerakan telah menjadikan mereka, tentu saja mereka merepresentasikan Islam, sebagai musuh bersama secara global, yang pada satu sisi, dianggap oleh Barat membahayakan sistem dan model kenegaraan yang telah mereka usung, dan, pada sisi lain, menjadikan Islam dan umat Islam sebagai bahan celaan dan cemoohan dunia yang pada gilirannya memerlukan waktu yang cukup panjang untuk merehabilitasinya. Untuk itu, perlu sebuah gerakan pemahaman jihad yang berbasis pada nilai-nilai hakiki kemanusiaan yang tercerahkan sehingga jihad dan gerakannya dapat menjadi daya dorong spiritual sekaligus basis perjuangan pembangunan peradaban Islam yang mengedepankan keselamatan dan kemaslahatan umat manusia dalam lingkaran kehidupan global berbangsa dan bernegara yang adil dan sejahtera, demokratis, harmonis serta menjunjung tinggi nilai-nilai hak azasi kemanusiaan (gerakan jihad Islam rahmatan li al-‘alamin). Inilah sesungguhnya jihad yang tidak boleh hilang pada setiap diri umat Islam kapanpun dan dimanapun mereka berada di bumi Allah yang sangat luas ini dengan segala bentuk kultur, keyakinan dan peradaban manusianya. Wallahu ‘a’lam bisshawab, semoga bermanfaat. ‏‭ ‬PAGE‭ \* ‬MERGEFORMAT‭ ‬208