Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

HUKUM PERKAWINAN

Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya, tujuan pernikahan diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis Bagaimana pentingnya rumah tangga sebagai satu persekutuan terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Keberadaan anak dalam keluarga merupakan merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di saat usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meningkatkan taraf hidup sehingga dapat mengangkat status sosial orang tua. Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT mensyari'atkan adanya pernikahan. Pensyari'atan pernikahan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan keluarga yang sakinah. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat ar-Rum ayat 21: Artinya: " Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. " (QS. Ar-Ruum: 21)[1] Dari ayat diatas dapat dijelaskan bahwa, setiap manusia sudah disiapkan oleh Allah swt pasangan-pasangannya, dan pasangan tersebut diciptakan bertujuan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Dalam Islam pun telah diatur secara terperinci berbagai hal yang berkaitan dengan pernikahan baik tentang siapa, dengan siapa, bagaimana proses pernikahan tersebut dilaksanakan, serta syarat dan rukun yang harus di penuhi sehingga suatu prosesi pernikahan dapat dinyatakan sah. Jika dikemudian hari, muncul permasalahan yang berhubungan dengan berbagai hal diatas, maka suatu akad pernikahan bisa dibatalkan atau ditetapkan demi hukum. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan, disebut juga dengan (fasakh). Yang dimaksud dengan memfasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan isteri yang terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian membatalkan kelangsungan perkawinan adalah sebagai berikut : 1. Fasakh (batalnya perkawinan) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika Akad Nikah. a) Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami. b) Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh. 2. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad. a) Bila salah seorang dari suami istri murtad atau kelar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan. b) Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalamm kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalauu istri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.[2]

  Latar Belakang Masalah Pernikahan  merupakan  hal  yang  sakral  bagi  manusia  yang  menjalaninya, tujuan  pernikahan  diantaranya  untuk  membentuk  sebuah  keluarga yang harmonis Bagaimana  pentingnya  rumah  tangga  sebagai  satu  persekutuan  terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Keberadaan anak dalam keluarga merupakan merupakan penyambung  keturunan,  sebagai  investasi  masa  depan,  dan  anak  merupakan harapan  untuk  menjadi  sandaran  di saat  usia  lanjut.  Ia  dianggap  sebagai  modal untuk meningkatkan taraf  hidup sehingga dapat mengangkat status sosial orang tua. Begitu  pentingnya eksistensi  anak  dalam  kehidupan  manusia,  maka  Allah  SWT  mensyari’atkan adanya  pernikahan.  Pensyari’atan  pernikahan  memiliki  tujuan  antara  lain  untuk berketurunan (memiliki anak)  yang  baik,  memelihara  nasab,  menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan keluarga yang sakinah. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat ar-Rum ayat 21:  Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)[1] Dari ayat diatas dapat dijelaskan bahwa, setiap manusia sudah disiapkan oleh Allah swt pasangan-pasangannya, dan pasangan tersebut diciptakan bertujuan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Dalam  Islam  pun telah  diatur  secara  terperinci  berbagai  hal  yang  berkaitan dengan pernikahan baik tentang siapa, dengan siapa, bagaimana proses pernikahan tersebut dilaksanakan, serta syarat dan rukun yang harus di penuhi sehingga suatu prosesi pernikahan dapat dinyatakan sah. Jika dikemudian hari, muncul permasalahan  yang  berhubungan  dengan  berbagai  hal  diatas, maka  suatu  akad pernikahan  bisa  dibatalkan  atau  ditetapkan  demi  hukum. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan, disebut juga dengan (fasakh). Yang dimaksud dengan memfasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan isteri yang terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian membatalkan kelangsungan perkawinan adalah sebagai berikut : 1.    Fasakh (batalnya perkawinan) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika Akad Nikah. a)  Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami. b)  Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh. 2.    Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad. a)  Bila salah seorang dari suami istri murtad atau kelar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan. b)  Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalamm kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalauu istri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.[2] Dalam hal ini, dijelaskan oleh firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 23 yaitu sebagai berikut:   Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 23)[3] Permasalahan yang kemudian muncul  adalah   bagaimana   jika   pernikahan   tersebut   telah dibatalkan  demi  hukum  (fasakh)  yang  disebabkan  karena  kedua  suami  istri diketahui memiliki hubungan sedarah sedangkan pasangan tersebut telah memiliki anak. Apakah anak tersebut berhak dinasabkan kepada kedua orang tua yang telah di  fasakh,  salah  satu  orang  tua,  atau  dia  tidak  memiliki  hak  nasab  sama  sekali sehingga  dalam  kewarisan  dia  juga  tidak  memiliki  hak  apapun.   B.   Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1.  Bagaimana Hukum pernikahan senasab perspektif Fiqih Kontemporer (UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI)? 2.  Bagaimana status hak waris anak dari pernikahan senasab perspektif Fiqih Kontemporer (UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI)? Pengertian dan Hukum Pernikahan Sedarah dalam Islam Pernikahan sedarah atau nasab  tidak nampak ke permukaan karena selalu dianggap aib jika terungkap dan ini tentu saja erat kaitannya dengan budaya dan kepercayaan masyarakat di setiap zamannya. Pernikahan sedarah atau nasab berarti hubungan seksual yang terjadi diantara anggota kerabat dekat, dan biasanya adalah kerabat inti seperti ayah, atau paman. Pernikahan sedarah atau nasab dapat terjadi suka sama suka yang kemudian bisa terjalin dalam perkawinan dan ada yang terjadi secara paksa yang lebih tepat disebut dengan perkosaan. Berdasarkan keterangan Q.S.Al-furqan ayat 54 : Artinya : Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.(Q.S.Al-furqan: 54)[7] Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua dan sebagainya. Dalam kaitan ini seorang ayah dilarang mengingkari keturunannya dan haram bagi seorang  menisbahkan seorang anak kepada ayah kandungnya. a.  Dasar hukum di dalam al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 23 Artinya:” Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. b.  Dasar hukum dalam ijma’ Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Sayyd Sabiq, menjelaskan bahwa hukum pernikahan sedarah itu, dilarang dalam islam. Dan pernikahan yang dilarang itu ada dua macam yaitu larangan pernikahan yang berlaku haram untuk  selamanya, dan larangan pernikahan berlaku untuk sementara waktu. 2.    Jenis-Jenis Pernikahan Sedarah atau Nasab Pernikahan sedarah atau nasab terbagi menjadi dua jenis, yaitu: Pernikahan sedarah atau nasab yang bersifat sukarela (tanpa paksaan) Hubungan seksual yang dilakukan terjadi karena unsur suka sama suka. Pernikahan sedarah atau nasab yang bersifat paksaan Hubungan seksual dilakukan karena unsur keterpaksaan, misalkan pada anak perempuan diancam akan dibunuh oleh ayahnya karena tidak mau melayani nafsu seksual. Pernikahan sedarah atau nasab seperti ini pada masyarakat lebih dikenal dengan perkosaan Pernikahan sedarah atau nasab. 3.    Alasan dilarangnya Pernikahan Sedarah Jika mengacu kepada hukum syar’i maka pernikahan sedarah adalah pernikahan yang diharamkan karena masih ada hubungan mahram. Sehingga  akibat hukumnya jika hal ini dilakukan dengan kesengajaan maka hukumnya adalah melanggar syari’at jadi berdosa dan salah dimata hukum. Ketentuan materiil terdapat dalam pasal 70 Kompilasi Hukum Islam KHI. Pelanggaran terhadap ketentuan ini menyebabkan perkawinan batal dengan sendirinya. Ketentuan pasal 70 dalam ayat d dan e adalah sebagaimana berikut: Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan, menurut pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu _Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antar saudara. a.  Dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. b.  Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/ayah tiri. c.  Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak susuan dan bibi atau paman sesusuan. d.  Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri.[8]. Bagi pihak yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan tersebut wajib memberi tahu kepada keluarga serta instansi yang berwenang, dalam hal ini Pengadilan Agama untuk selanjutnya diproses sesuai aturan yang ada sehingga didapat posisi hukum yang sah. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 UU. No. 1 tahun 1974 No. Pasal 73 KHI adalah: a.  Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri. b.  Suami atau isteri. c.   Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan pernikahan menurut Undang-Undang. d.  Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat hukum dalam rukun dan syarat perkawinan  menurut hukum Islam dan peraturan perundang- undang sebagaimana tersebut dalam pasal 67[9].  4.    Status Nasab dan Hak Waris Anak dari Pernikahan Sedarah Status Nasab Anak  Anak dari pernikahan sedarah disebut juga anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional antara lain: 1.  UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2.  Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya Pada akhirnya bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Hukum Perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan orang tua, yakni timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan keluarga ibunya. Agaknya dapat dinyatakan (mafhum mukhalafah) dari pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam bentuk; nasab, hak dan kewajiban secara timbal balik. Status Hak Waris Anak Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan  yang sah,”[10] ia mempunyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan yang melekat padanya, ia juga berhak untuk memakai nama ayah di belakang namanya. Demikian juga halnya anak yang perkawinan orangtuanya fasakh, ia tetap berstatus sebagai anak yang sah dan mendapat nasab dari ke dua orang tuanya. Dalam pandangan fiqh, jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seseorang yang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja, maka setelah tahu pernikahan tersebut harus segera dibatalkan. Jika telah terjadi persetubuhan maka di pandang sebagai wathi subhat, tidak dipandang sebagai perzinaan, dan anak yang dilahirkan dalam pernikahan tersebut adalah anak sah, dimana pertalian nasab dan waris tetap berkaitan dengan bapak dan ibunya. 5.    Kesimpulan. Berdasarkan uaraian diatas dapat disimpulkan: 1. Pernikahan sedarah dapat pula kita sebut dengan pernikahan se-nasab, yaitu pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan yang masih memiliki hubungan darah dalam satu rumpun keluarga. Hal ini merupakan salah satu bentuk pernikahan yang dilarang didalam Islam, baik dalam tinjauan fiqh, maupun hukum positif Islam. Di dalam al-Qur’an telah jelas diberikan patokan yang berkaitan dengan pernikahan sedarah, dapat kita lihat di surat an-Nisa’ ayat 23. serta aplikasinya dalam hukum positif Islam Indonesia tercantum di Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 70 serta dalam UU. No. 1 Tahun 1974 pasal 8. Berbagai kajian ilmiah juga menjadi alasan dilarangnya pernikahan sedarah, diantaranya dalam tinjauan medis, pernikahan sedarah menyebabkan terjadinya pertemuan dua gen resesif (sifat lemah) yang kemudian menjadi sebab kecacatan keturunan. 2.  Terkait permasalahan nasab yang muncul jika anak terlahir dari pernikahan sedarah menurut sebagian ulama hukumnya diqiaskan kepada anak diluar nikah yang hanya di nisbatkan kepada Ibunya dengan argumentasi bahwa pernikahan jenis ini dianggap batal demi hukum sehingga dianggap tidak pernah terjadi pernikahan antara kedua suami isteri. 3.  Diantara ulama kontemporer seperti al-Jaziri memberikan pandangan yang berbeda dengan menyatakan bahwa anak yang lahir dari pernikahan tersebut tetap dinasabkan kepada kedua orang tuanya karena ia dilahirkan dari pernikahan yang sah, dan anak tersebut memiliki setiap hak yang melekat pada anak yang sah dimata hukum.Tentang status hak waris anak dari pernikahan sedarah, fiqh memandang sama dengan status hak waris anak secara umum. Hal ini berdasar  pada acuan diangkatnya hukum dari seseorang yang karena kitidaktahuannya ia melakukan kesalahan. Daftar Pustaka -   Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006), -   Kementerian Agama RI, Op.Cit, -   Bambang  Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), -   Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), Cet-IV. -  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,( Surabaya,  CV. Pustaka Agung Harapan, 2006), -   Undang – Udang  Republic Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinana & Kompilasi Hukum Islam,(Bandung :  Citra Umbara, 2007). Demikian pembahasan tentang Status Hak Waris Anak Dari Pernikahan Sedarah, semoga setelah membaca postingan ini dapat menambah wawasan anda kedepan dan bermanfaat, amin Larangan Menikah Dalam islam ada beberapa pernikahan yang dilarang untuk dilaksanakan sesuai syariat dan ketentuan yang ada,. Larangan tersebut bisa berlangsung seolamanya maupun sementara dan mencakup : Larangan pernikahan karena berlainan agama Larangan pernikahan karena hubungan darah yang terlampau dekat Larangan pernikahan karena hubungan susuan Larangan pernikahan karena hubungan semenda Larangan pernikahan poliandri Larangan pernikahan terhadap perempuan yang di li’an Larangan pernikahan (menikahi) perempuan/laki-laki pezina Larangan pernikahan dari bekas suami terhadap perempuan (bekas istri yang di talak tiga) Larangan nikah bagi laki-laki yang telah beristri empat Pernikahan Sedarah Dengan melihat larangan pernikahan diatas maka salah satu pernikahan yang jelas dilarang adalah pernikahan karena hubungan darah atau yang lebih dikenal dengan istilah incest. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan sedarah secara lebih lanjut, simak penjelasan berikut ini Menurut sains pernikahan sedarah memang jarang terjadi di masa kini namun berdasarkan sejarah, kita mengenal bahwa ada sebagian orang yang mempraktekkan hal tersebut di zaman dahulu seperti pada zaman mesir kuno. Para raja dan bangsawan mesir kuno biasanya akan menikah dengan keluarganya. Mereka beranggapan bahwa menikah dengan orang luar yang tidak memiliki darah yang sama bisa merusak darah dan keturunan mereka. Para raja dan bangsawan mesir percaya jika mereka adalah keturunan dewa dan mereka hanya bisa menikah dengan sesamanya. Menurut islam Pernikahan dalam islam sudah diatur dengan jelas dan dalam islam haram hukumnya untuk menikahi seseorang yang memiliki hubungan darah seperti keluarga. Dalam islam dikenal tiga golongan wanita yang haram dinikahi atau yang disebut mahram diantaranya adalah wanita dengan nasab yang sama sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat An Nisa ayat 23 yang berbunyi حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا ”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. an-Nisa: 23) Tujuan Larangan Pernikahan Sedarah Berdasarkan ayat diatas maka dapat disimpulkan bahwa islam dengan jelas melarang pernikahan sedarah karena hal tersebut lebih banyak membawa mudharat daripada manfaat. Adapun hikmah dilarangnya pernikahan sedarah bertujuan untuk memperluas hubungan kekerabatan sebagaimana meluasnya lingkup kasih sayang manusia membiasakan kaum pria agar pandangannya terhadap wanita tidak selalu karena nafsu seksual melainkan rasa cinta dan kasih sayang terutama pada keluarganya. Hal ini yang bisa menghindarkan manusia dari perbuatan kriminil seperti ayah yang menghamili anaknya sendiri dll (baca hukum menikah saat hamil dan hukum hamil di luar nikah) membedakan manusia dengan makhluk lainnya yakni hewan, hal ini dikarenakan islam membiasakan kaum pria agar dapat mengenal perasaan lain yang bukan didasari perasaan jantan dan betina saja sebagaimana perasaan pada hewan Demikian pengertian, hukum dan tujuan dilarangnya pernikahan sedarah. Sekiranya pernikahan adalah hal yang suci dan sebelum menikah seseorang harus memperhatikan bahwa pernikaha sedarah haram hukumnya sehingga orang tersebut harus mencari pendamping hidup yang memiliki darah yang berbeda atau kekrabatan yang jauh agar tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Jika anda sedang mencari jodoh atau melakukan ta’aruf ada baiknya mengetahui  penyebab terhalangnya jodoh,  kriteria calon istri yang baik, kriteria calon suami yang baik, cara memilih pendamping hidup dan cara mencari jodoh dalam islam. Terdapat beberapa hal yang menjadikan pernikahan tidak sah dimata hukum, diantaranya jika sarat sah nikah yang tidak terpenuhi, hubungan sedarah juga merupakan alasan dapat dibatalkannya suatu ikatan pernikahan. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana jika pernikahan tersebut telah dibatalkan demi hukum (fasakh) yang disebabkan karena kedua suami istri diketahui memiliki hubungan sedarah sedangkan pasangan tersebut telah memiliki anak. Pernikahan sedarah merupakan pernikahan yang dilarang dengan berbagai latar belakang yang penulis paparkan dalam penelitian ini. Keterkaitan dengan anak, apakah anak tersebut berhak dinasabkan kepada kedua orang tua yang telah di fasakh, salah satu orang tua, atau dia tidak memiliki hak nasab sama sekali sehingga dalam kewarisan dia juga tidak memiliki hak apapun. Ini merupakan masalah tersendiri yang berkaitan dengan kehidupan anak selanjutnya, baik bagi ia sendiri maupun anggota keluarga yang lain. Kejelasan dari masalah ini harus ada, sehingga kemungkinan berbagai konflik yang akan timbul dapat dihilangkan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research), Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Dalam hal ini datanya adalah berupa teori-teori atau konsep-konsep tentang status hak waris anak dari pernikahan yang fasakh karena hubungan sedarah ditinjau dari hukum Islam. Adapun untuk teknik analisa dalam penelitian ini, sesuai dengan data yang diperoleh maka peneliti menggunakan teknik analisa isi atau kajian isi (content analysis). Pemahaman terhadap data tersebut kemudian disajikan dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu digunakan untuk mendiskripsikan segala hal yang berkaitan dengan pokok pembicaraan secara sistematis. Dari sinilah akhirnya diambil sebuah kesimpulan umum yang berasal dari data-data yang ada. Dari kesimpulan yang masih umum itu peneliti akan menganalisa lebih khusus lagi dengan menggunakan teknik analisis deduktif, yaitu suatu analisis yang berangkat dari teori-teori umum tentang pernikahan sedarah, kemudian dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus, yakni tentang status hak waris anak dari pernikahan sedarah tersebut. Dari penelitian yang telah dilakukan ini kesimpulan yang didapat penulis adalah, pernikahan sedarah dilarang karena berbagai akibat negatif yang muncul dari aspek medis psikologis serta sosiologis bagi anak dan keluarganya. Terkait dengan anak, nasab anak yang lahir dari pernikahan yang sah maka dianggap sah dimata hukum, walaupun dari pernikahan sedarah, karena anak tersebut dilahirkan dari pernikahan yang sah dimata hukum sehingga mendapatkan hak-hak yang sama dimata hukum sebagaimana hak waris, perlindungan, perwalian, nasab dan sebagainya. Perkawinan adalah i katan lahir batin antara seorang p ria dan seorang wanita sebagai Suami - Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa . Namun, belakangan muncul Fenomena perkawinan sedarah dalam masayarakat, seh ingga menjadi hal yang sangat penting untuk ditinjau lebih dalam lagi. Hal ini berkaitan dengan dampak yang akan ditimbulkan yang merupakan sebagai akibat dari adanya perkawinan sedarah yang berkaitan dengan status perkawinan sedarah dan status anak yang dilahirkan dari adanya perkawinan sedarah dimana Perkawinan sedarah merupakan jenis perkawinan yang dilarang oleh agama maupun oleh hukum positif Indonesia. Rumusan masalah dalam penelitian ini yakni, Bagaimanakah peristiwa hukum Perkawinan Sedarah dilihat dari Hukum Positif Indonesia , serta Bagaimanakah peristiwa hukum perkawinan sedarah terkait dengan status anak yang dilahirkan? Metode yang digunakan yakni pendekatan yuridis normatif, yakni pendekatan yang melihat hukum sebagai norma yang ada dan hidup d i dalam masyarakat kaitanya dengan perkara h u kum , Yang menjadi materi d i dalam penelitian ini yakni pe rilaku individu dan masyarakat yang kai tanya d engan terjadinya perkawinan sedarah. Pembahasan dan hasil Penelitian akan menjabarkan dan memaparkan perihal peristiwa hukum Perkawinan Sedarah dilihat dari Hukum Positif Indonesia , serta menganalisa peristiwa hukum perkawinan sedarah terkait dengan status anak yang dilahirkan. Kesimpulan yang diperoleh yakni diketahui bahwa pengaturan mengenai perkawinan sedar ah diatur dalam beberapa Peraturan Perundang - Undangan diantaranya yakni dalam Undang - Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam serta KUHPerdata dimana secara keseluruhan menyatakan bahwa perkawinan dilarang untuk dilakukan bagi me reka yang memiliki ikatan kekerabatan yang dekat. Dalam hal terdapat anak dari hasil perkawinan sedarah, maka perlu diperhatikan lagi bahwa status anak dari hasil perkawinan sedarah dapat disebut sebagai anak sah ataupun anak diluar kawin, hal ini dapat di telusuri dari bagaimana awal mula perkawinan sedarah itu