Kepentingan Nasional vs. Kepentingan Investor:
Tinjauan Konstitusional dan Hukum Investasi Internasional atas Polemik Penerapan
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara kepada PT. Freeport Indonesia
Yustisia Rahman
I. Pendahuluan
Keberadaan investasi asing di sebuah negara adalah sebuah kenyataan yang tidak lagi dapat
dihindarkan. Kemudahan pergerakan uang, barang, jasa dan manusia sebagai konsekuensi logis
dari globalisasi ekonomi semakin mempertegas pernyataan aksiomatis tersebut. Tidak dapat
pula dinafikan bahwa investasi asing telah menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi sebuah
negara, merangsang pertumbuhan ekonomi lokal, menjadi sumber masuknya mata uang asing,
teknologi, dan sumber daya manusia terdidik.1 Meski demikian, dampak sosial dan ekologis
yang mengiringi investasi asing juga tidak dapat diabaikan begitu saja, dalam beberapa kasus
persoalan tersebut bahkan sudah masuk dalam spektrum pelanggaran hak asasi manusia.2 Lebih
dari itu, keberadaan investasi asing juga kerap kali mendapatkan sorotan di tengah menguatnya
sentimen nasionalisme ekonomi yang menempatkan investasi asing dalam posisi diametral
dengan kedaulatan negara atas perekonomian dan sumber daya alam.3 Dalam konteks ini,
diskursus mengenai bagaimana keseimbangan antara kepentingan nasional dengan
kepentingan investor menjadi sumber perdebatan hukum dan tidak jarang menjadi isu politikekonomi yang melibatkan negara penerima investasi (host countries) dengan negara asal
investor.4 Polemik mengenai ancaman PT. Freeport-McMoran Indonesia (selanjutnya disngkat
Freeport) untuk membawa sengketa investasi dengan Pemerintah Republik Indonesia ke
mekanisme arbitrasi investasi internasional (UNCITRAL) sedikit banyak menggambarkan
kontestasi tersebut.
Polemik ini bermula dari keengganan Freeport untuk menyesuaikan kegiatan usahanya dengan
rezim perundang-undangan mineral dan batu bara (selanjutnya disingkat Minerba) dengan
Surya P. Subedi, “International Investment Law”, in International Law, ed. Malcolm D. Evans (Oxford, United
Kingdom: Oxford University Press, 2014). Hal. 741
2
Hal ini mendorong berkembangnya gagasan untuk menjadikan perusahaan multinasional dan entitas bisnis
lainya sebagai subjek hukum internasional yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dan kewajiban yang
tercantum dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional. Berkenaan dengan hal ini, pada Juni 2011
UN Human Rights Council menyepakati ‘Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the
United Nations “Protect, Respect, Remedy” Framework’ sebagai panduan tidak mengikat bagi pelaku usaha
dalam menjalankan aktivitas bisnis yang sesuai dengan kaidah dan prinsip hak asasi manusia. Lihat Robert
Mccorquodale, “The Individual and the International Legal System”, Ibid. Hal. 290-91, 740 ; Lee McConnell,
“Assesing the Feasibility of a Business and Human Rights Treaty,” The International and Comparative Law
Quarterly 66, no. 1 (2017).
3
Zachary Douglas, Joost Pauwelyn, and Jorge E Viñuales, The Foundations of International Investment Law:
Bringing Theory into Practice (OUP Oxford, 2014); George K Foster, “Striking a Balance between Investor
Protections and National Sovereignty: The Relevance of Local Remedies in Investment Treaty Arbitration,”
Columbia Journal of Transnational Law 49, no. 2 (2011): 201; Henri Bezuidenhout and Ewert Kleynhans,
“Implications of Foreign Direct Investment for National Sovereignty: The Wal-Mart/Massmart Merger as an
Illustration,” South African Journal of International Affairs 22, no. 1 (2015): 93–110.
4
Subedi, op.cit., 728-29
1
dalih hal tersebut bertentangan dengan kesepakatan Kontak Karya antara Freeport dengan
Pemerintah yang harus dihormati sesuai dengan asas kesucian kontrak: pacta sun servanda.
Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba sebagai law of the land memandatkan
agar semua kegiatan usaha pertambangan yang masih menggunakan Kontrak Karya dan
PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batu Bara) sebagai alas hukum kegiatannya
diubah menjadi rezim perizinan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hal ini
menimbulkan konsekuensi hukum berupa penyesuaian skema fiskal, mekanisme kepatuhan
terhadap perundang-undangan nasional lainnya, dan terutama mempertegas superioritas
kedudukan negara terhadap pelaku usaha di bidang pertambangan.
Dalam rangka meningkatkan manfaat ekonomi dari kegiatan investasi asing di bidang
pertambangan, UU 4/2009 juga memandatkan larangan ekspor raw material dan karenanya
menghendaki agar pemegang konsesi pertambangan untuk membangun pabrik pengolahan
(smelter) sebagai syarat mendapatkan izin ekspor. Lebih dari itu, diatur pula ketentuan tentang
divestasi saham agar porsi pemilikan negara dan/atau pelaku usaha nasional atas kegiatan
pertambangan bisa semakin bertambah. Ancaman Freeport untuk menjadikan keinginan
pemerintah dalam menerapkan ketentuan ini sebagai dasar pengajuan sengketa investasi ke
forum arbitrase internasional mengkonfirmasi keengganan mereka untuk tunduk kepada law of
the land. Di sisi lain pemerintah juga tampak mengukur diri atas ancaman tersebut,
mempertimbangkan potensi kekalahan dan kerugian yang ditimbulkan dari proses arbitrase,
pemerintah akhirnya (kembali) memberikan kelonggaran kepada Freeport dengan pemberian
status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Sementara yang memberikan Freeport waktu
selama 6 (enam) bulan untuk tetap melanjutkan kegiatan ekspor konsentrat.5 Menilik ke
belakang, bukan pertama kalinya Freeport mendapatkan perlakuan khusus. Saat Undang
Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diundangkan, Freeport berkeberatan dengan
ketentuan larangan kegiatan pertambangan terbuka di kawasan dengan status hutan lindung
yang jelas akan mengancam kelangsungan usahanya. Merespon hal tersebut, pemerintahan
Megawati menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) No. 1
Tahun 2004 yang membuka peluang kegiatan tambang batu bara secara terbuka di hutan
lindung kepada 12 perusahaan, satu diantaranya Freeport.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana kesungguhan pemerintah untuk
meningkatkan superioritas kedudukannya saat berhadapan dengan kepentingan
perusahaan multinasional. Dalam konteks investasi asing di sektor berbasis lahan
(pertambangan, kehutanan, dan perkebunan), pertanyaan ini berkaitan erat dengan mandat
konstitusional negara selaku “penguasa” atas sumber daya alam sesuai dengan Pasal 33 UUD
1945. Lebih dari itu, polemik Freeport ini juga dapat menjadi acuan untuk menelisik sejauh
mana kesiapan pemerintah dalam mendesakkan kepentingan nasional saat berhadapan
dengan investasi asing di Indonesia. Pertanyaan ini sangat relevan jika dikaitkan dengan
ancaman Freeport untuk membawa permasalahan yang berakar dari polemik penerapan UU
4/2009 ke forum arbitrase internasional. Artikel ini akan mencoba menjawab kedua persoalan
tersebut sisi hukum ketatanegaraan dalam menjawab konstitusionalitas kegiatan usaha
pertambangan yang dilakukan oleh Freeport serta dari sisi hukum investasi internasional dalam
menjawab peluang yang dimiliki oleh pemerintah untuk memastikan terjaminnya kepentingan
nasional dalam relasinya dengan investasi asing di Indonesia. Dengan menjawab kedua hal
5
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58f1c72eedd45/langkah-pemerintah-terbitkan-iupk-sementarafreeport-dikritik
tersebut, diharapkan pemerintah memiliki kesiapan untuk menghadapi perlawanan hukum dari
investor asing yang mungkin muncul lagi di masa yang akan datang sebagaimana yang sedikit
banyak dilakukan oleh Freeport saat ini.
II. Konstitusionalitas Aktivitas Freeport di Indonesia
Freeport adalah representasi kegiatan investasi asing di Indonesia yang penuh dengan catatan
dan persoalan. Keberadaannya di tanah Papua tidak terlepas dari proses dekolonisasi Papua
dari Belanda dan Indonesia yang mengklaim memiliki legitimasi historis atas Papua sebagai
bagian dari Pax Neerlandica.6 Freeport telah menginisiasi aktivitas usahanya di tahun 1960-an
sebelum Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) sebagai proses resmi dekolonisasi wilayah
Papua bagian Barat dalam pengawasan Dewan Perwalian PBB dilakukan di tahun 1970-an.
Dalam konteks perkembangan hukum investasi nasional, Freeport termasuk dalam kelompok
pertama perusahaan asing yang mendapatkan konsesi pengusahaan tambang dengan payung
hukum Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
dan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang muncul di awal
masa pemerintahan Orde Baru ini menandai perubahan orientasi perekonomian nasional serta
Pasal 33 ayat (3) sebagai landasan konstitusional penyelengaraan kegiatan perekonomian
termasuk di dalamnya penguasaan negara atas sumber daya alam di Indonesia. Bagian ini akan
mengulas konstitusionalitas kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh Freeport di Indonesia.
Untuk menguji hal tersebut, analisis terhadap gagasan Pasal 33 ayat (3), kontestasi dalam upaya
amandemennya, serta analisis terhadap beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang paling
penting berkenaan dengan penerapannya akan disajikan di bagian ini.
1. Pasal 33 Sebagai Basis Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam
Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang mencantumkan pengaturan tentang kegiatan
ekonomi dalam konstitusinya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari semangat zaman ketika UUD
1945 disusun. Kahin (1952) menyatakan bahwa perumusan konstitusi Indonesia dipengaruhi
oleh: semangat anti kolonialisme, Islam, kolektivisme masyarakat adat, dan sosialisme.7 Ciri
sosialisme dalam UUD 1945 dapat dilihat dengan adanya pengaturan tentang sistem
perekonomian nasional (Pasal 33), provisi yang lazim ditemukan di negara bercorak sosialis.8
Pasal 33 merupakan landasan konstitusional bagi penyelenggaraan sistem perekonomian yang
6
Pax Neerlandica merupakan doktrin pemerintahan kolonial Belanda dalam rangka ekspansi wilayah kolonial
untuk unifikasi wilayah dan upaya menciptakan ketertiban dengan penerapan sistem hukum dan administrasi
kolonial. Unifikasi wilayah kepulauan Nusantara ini merupakan cikal bakal wilayah yang menjadi Republik
Indonesia Modern. Lihat Paul Bijl, “Human Rights and Anticolonial Nationalism in Sjahrir’s Indonesian
Contemplations,” Law & Literature, January 18, 2017. Hal. 12; Yuliani Sri Widaningsih, “Nationalism In The
Indonesian Multicultural Community,” PROCEEDING ICTESS, 2017. Hal. 222.
7
George McTurnan Kahin and Nin Bakdi Soemanto, Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia: Refleksi
Pergumulan Lahirnya Republik (Sebelas Maret University Press, 1995). Hal. 65.
8
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia:
Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan Kolektivismme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan
Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980 (Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994). Hal. 46.
berorientasi pada kesejahteraan (ayat 1) yang dilakukan dengan melakukan “penguasaan
negara” atas cabang-cabang produksi (ayat 2) dan sumber daya agraria (ayat 3). Merujuk pada
rumusan ini, semua bentuk kegiatan usaha berbasis lahan, termasuk di dalamnya kegiatan
usaha pertambangan, harus dilakukan dalam kerangka “penguasaan negara” untuk menjamin
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Aktivitas pertambangan Freeport (seharusnya) di Papua
tidak dapat dilepaskan dari kerangka konstitusional ini. Dalam konteks tersebut, bagian ini
akan mengulas sejauh mana kerangka hukum yang menjamin aktivitas usaha Freeport telah
sesuai dengan semangat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
a. Original Intent Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
Dicantumkannya pengaturan tentang sistem perekonomian dalam konstitusi kita adalah bentuk
penolakan pendiri bangsa terhadap corak demokrasi liberal a la Barat yang hanya
menitiberatkan pada aspek politik dan kebebasan semata. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan gagasan kedaulatan rakyat di negara-negara Eropa yang memisahkan
kekuasaan politik, yang diatur dengan hukum publik/politik, dengan kekuasaan ekonomi, yang
diatur dengan hukum privat (perdata). Prinsip dasar liberalisme yang menihilkan peran negara
selaku pemegang kekuasaan politik ini tertuang dalam karya klasik Montesquieu, Spirit of Law:
…That we should not regulate by the principles of political law those things which
depend on the principles of civil law. As man have given up their natural independence
to live under political laws, they have given up the natural community of goods to live
under civil laws…By the first, they acquired liberty, by the second property. We should
not decide by the laws of liberty, which, as we have already said, is only the government
of the community, what ought to be decided by the laws concerning property...9
Gagasan ini ditolak oleh pendiri bangsa yang menghendaki demokrasi Indonesia mencakup
pula demokrasi ekonomi -yang menjamin kesejahteraan rakyat, selain demokrasi politik -yang
menjamin kebebasan dan hak-hak sipil politik, sebagaimana dikemukakan oleh Ir. Soekarno
dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945:
Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum
kapitalis merajalela?...Padahal ada Badan Perwakilan Rakyat! Tak lain tak bukan
sebabnya...adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah politieke
democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardighied, tak ada keadilan
sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali...saya usulkan: kalau kita
mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang
memberi hidup, yakni politiek ekonmische democratie yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial.10
Konseptualisasi gagasan demokrasi ekonomi ini dapat dilihat secara lebih praktis dari
pandangan Prof. Mr. Soepomo saat sidang BPUPKI, 31 Mei 1945 tentang negara integralistik
Baron Secondat Montesquieu, “The Spirit of Law” in Great Books of The Western World, 2nd Edition, Mortimer
J. Adler (ed.), (Chichago: Encyclopedia Britannica Inc., 1990). Hal. 221.
10
Sekretariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1995). Hal. 84.
9
yang menggambarkan bagaimana pola penguasaan negara atas “perusahaan” dan “tanah”
dilakukan :
Sekarang tentang perhubungan antara negara dan perekonomian. Dalam negara
berdasar integralistik...maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme
negara” (staatsocialisme). Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh
negara sendiri, akan tetapi pada hakikatnya negara yang akan menentukan di mana dan
di masa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau
oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan kepada sesuatu badan hukum prive
atau kepada seseorang, itu semua tergantung daripada kepentingan negara, kepentingan
rakyat seluruhnya...Begitu pun tentang hal tanah. Pada hakikatnya negara yang
menguasai tanah seluruhnya, tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus
oleh negara sendiri.11
Menilik ke belakang, gagasan mengenai perlunya penguasaan negara atas sumber daya agraria
telah disampaikan oleh Moh. Hatta yang menanggap bahwa hal tersebut merupakan
kolektivisme yang berakar dari sistem nilai masyarakat desa. 12 Kolektivisme itu ditunjukan
dengan melakukan penguasaan atas tanah:
...segala tanah lainnya di liar lingkungan desa dan tanah milik rakyat adalah di bawah
kekuasaan negara. Perusahaan di atas tanah menguasai hidup orang banyak yaitu
tempat orang banyak menggantungkan dasar hidupnya, mestilah berlaku di bawah
kekuasaan atau pemilikan negara. Cara menjalankan eksploitasinya boleh diserahkan
kepada badan yang bertanggung jawab, di bawah pemilikan anggota badan pengurus
negara atau bagiannya menurut peraturan yang tertentu.13
Gagasan para perumus UUD 1945 tentang demokrasi ekonomi pada dasarnya tidak
menempatkan hak menguasai negara sebagai sesuatu yang absolut, sebab secara implisit Pasal
33 tidak melarang penguasaan atau pemilikan sumber daya agraria oleh entitas privat.
Berkenaan dengan itu, Asshiddiqie (1995) berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 sebetulnya
memberikan kategorisasi atas jenis-jenis sumber kemakmuran (yakni cabang produksi dan
sumber daya alam) yang dapat menjadi acuan bagaimana hak menguasai negara dilakukan: i)
Sumber-sumber kemakmuran yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak; ii) Sumber-sumber kemakmuran yang penting bagi negara, tetapi tidak menguasai
hajat hidup orang banyak; iii) Sumber-sumber kemakmuran yang tidak penting bagi negara,
tetapi menguasai hajat hidup orang banyak; iv) Sumber-sumber kemakmuran yang tidak
penting bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak.14 Berdasarkan kategorisasi
ini negara dapat mengidentifikasi kegiatan-kegiatan apa saja yang harus secara mutlak harus
diusahakan oleh negara, dapat diberikan kepada badan usaha milik negara, atau sepenuhnya
dapat diberikan kepada entitas privat.
11
Ibid., Hal. 62-3.
Bivitri Susanti, “Neo-liberalism and Its Resistance in Indonesia’s Constitution Reform 1999-2002, (Tesis
Magister Hukum, University of Warwick, UK, 2002). Hal. 64.
13
Sritua Arif, Negeri Terjajah: Menyingkap Ilusi Kemerdekaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2006). Hal. 129-30.
14
Jimly, op.cit.,Hal. 95-6
12
b. UUPA 1960 Sebagai Pengejawantahan Pasal 33 ayat (3)
Aturan peralihan UUD 1945 memandatkan dilakukannya perubahan sistem perundangundangan kolonial sebagai manifestasi kemerdekaan seutuhnya Republik Indonesia. Satu
diantaranya berkaitan dengan hukum keperdataan yang mengatur kegiatan perekonomian dan
hubungan hukum antara manusia dengan tanah dan/atau properti. Salah satu keberhasilan
pemerintahan Orde Lama dalam hal ini adalah pengundangan Undang-undang No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang secara radikal mengubah
konsep hukum kebendaan atas tanah dan properti yang sebelumnya diatur dalam Buku ke-II
Kitab Undang-undang Hukum Perdata kolonial (Burgerlijk Wetboek). Lebih dari itu, UUPA
memberikan kejelasan mengenai penerapan hak menguasai negara yang diatur dalam Pasal 33
ayat (3) dengan menghapuskan asas domeinverklaring yang dianut dalam sistem hukum tanah
kolonial.
Asas domeinverklaring merupakan asas penguasaan tanah yang diberlakukan oleh pemerintah
kolonial melalui Agrarische Wet (Staatsblad No. 55 Tahun 1870) dan Agrarische Besluit
(Staatsblad No. 118 Tahun 1870). Asas domeinverklaring menyatakan bahwa semua tanah
yang pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendoom (milik) –nya, adalah
domein negara. Dengan asas ini maka pihak lain yaitu rakyat harus dapat membuktikan bahwa
sebidang tanah adalah hak eigendoom-nya, jika tidak dapat membuktikannya maka negara-lah
yang memilikinya. Asas ini sebenarnya bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 1865
Burgerlijk Wetboek yang menyatakan bahwa barang siapa yang mendalilkan sebuah hak atau
mengemukakan peristiwa untuk menguatkan haknya ataupun membantah hak orang lain, harus
membuktikan haknya atau peristiwa tersebut. Oleh karena itu, seharusnya negara yang
membuktikan bahwa tanah itu miliknya bukan pihak lain (rakyat) yang harus membuktikan
bahwa tanah itu miliknya.15
Van Vollenhoven mengecam penerapan asas domeinverkalring Karena tidak memberikan
jaminan perlindungan bagi hak-hak rakyat pribumi dan masyarakat hukum adat dalam bentuk
hak ulayat atas tanah.16 Dalam tafsiran pemerintah Hindia Belanda, tanah-tanah yang dipunyai
rakyat
secara
turun
temurun, demikian juga tanah-tanah ulayat masyarakat hukum adat adalah tanah domein
negara. Hak atas tanah yang bersumber dari hukum adat tidak disamakan dengan hak milik
dalam Burgerlijk Wetboek , sehingga hanya dianggap sebagai hak memakai tanah domein
negara bahkan kemudian dianggap sebagai vrij lands domein (tanah negara bebas) yang dapat
diambil alih oleh negara selaku pemilik tanah.17 Meskipun terdapat ketentuan bahwa
pengambilalihan harus disertai dengan kompensasi yang disebut recognite, hal ini tidak
dimengerti oleh rakyat yang tingkat kesadaran hukumnya rendah sehingga menimbulkan
kesewenang-wenangan. Sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan UUPA bahwa: “Asas
domein adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas daripada
negara yang merdeka dan modern”.18
15
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria (Citra
Media, 2007).
16
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaannya (Djambatan, 2003). Hal. 45.
17
Ibid.Hal. 46.
18
UUPA, Penjelasan Umum Bagian II butir 2.
Asas domeinverklaring memungkinkan negara untuk memberikan hak atas tanah kepada pihak
lain selaku pemilik tanah. Dengan asas ini maka hubungan hukum antara negara dengan
tanah adalah hubungan kepemilikan sehingga penguasaan negara atas tanah tidak
semata berdimensi publik tetapi juga berdimensi perdata.19 Asas domeinverklaring
sebagai produk Agrarische Wet yang diundangkan pada 9 April 1870 tak dapat dilepaskan dari
keinginan kuat pemilik modal swasta Belanda yang ingin menikmati keuntungan dari
pengelolaan tanah di Hindia Belanda sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah
kolonial saat periode tanam paksa.20 Setelah diundangkannya Agrarische Wet dan Agrarische
Besluit
maka
Hindia
Belanda
secara
khusus
Pulau
Jawa telah berkembang menjadi perkebunan besar milik swasta asal Belanda. Sementara itu
penduduk yang semula merupakan petani pemilik tanah kehilangan tanah-tanah mereka karena
penerapan asas domeinverklaring, mereka kemudian menjadi buruh-buruh di perkebunan besar
milik pengusaha-pengusaha Belanda. Dengan demikian sebenarnya Agrarsiche Wet dan
Agrarsiche Besluit lebih merupakan suatu undang-undang penanaman modal daripada sebuah
kebijakan
pertanahan.21
UUPA merubah secara fundamental pola penguasaan atas tanah sebagai salah satu sumber
kemakmuran rakyat. Asas domeinverkalring dengan tegas dicabut22 dan diberlakukan konsep
hak menguasai negara merujuk kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berorientasi kepada
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pencabutan asas domenverklaring menunjukan bahwa
penguasaan negara atas tanah bukanlah dalam bentuk pemilikan perdata yang merugikan
rakyat, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan UUPA:
Undang-undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa
yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar tidak perlu dan tidaklah
pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun negara, bertindak sebagai
pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh
rakyat (bangsa) bertindak selaku badan penguasa.23
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka seluruh kekayaan alam (bumi,
air ,dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan dan penjelmaan seluruh rakyat.24 Dengan dicabutnya asas
domeinverklaring, UUPA menghapuskan pemilikan perdata dalam konsep penguasaan negara.
Oleh Karena itu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, konsep penguasaan
negara atau hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya hanya memiliki dimensi publik dimana negara diberikan kewenangan untuk:
19
Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria., Hal. 33.
Endang Suhendar and Ifdhal Kasim, Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde
Baru (ELSAM, 1996).Hal. 13.
21
Ibid. Hal. 15.
22
Sebagaimana dicantumkan dalam bagian memutuskan pada konsiderans-nya, UUPA dengan tegas menyatakan
mencabut keberlakuan Agrarische Wet (S. 1870-55), Domein Verklaring dalam Agrarische Besluit (S. 1870-118),
Algemene domeinverklaring (S. 1875-119a), Domein Verklaring untuk Sumatera (S 1874- 94f),
Domeinverklaring untuk Manado (S. 1877 -55), Domeinverklaring untuk wilayah Borneo (S. 1888 -58),
Koninklijk Besluit (S. 1872 -117), Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia (Burgerljk
Wetboek) sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
23
UUPA, Penjelasan Umum
24
UUPA, Pasal 2 ayat (1)
20
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air, dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
UUPA menyatakan bahwa hak menguasai negara bersumber dari hak bangsa yakni hubungan
antara bangsa Indonesia, yakni kesatuan seluruh tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia,25
dengan kekayaan alam (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya).26 Dalam Penjelasan Umum No. II/1, hak bangsa Indonesia atas kekayaan alam
merupakan semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas yaitu tingkatan
yang mengenai seluruh wilayah Indonesia.27 Dari hak bangsa ini diturunkan kewenangan
kepada negara melalui hak menguasai negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2)
UUPA. Negara kemudian mengatur hak-hak perorangan yang diturunkan dari hak menguasai
negara dan pelaksanaannya harus bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal
2 ayat (3) UUPA) dan menghormati hak ulayat masyarakat hukum adat (Pasal 3 UUPA). Hal
ini menunjukan bahwa arah kebijakan negara, baik menurut Pasal 33 UUD 1945 maupun
UUPA, adalah kemakmuran seluruh rakyat, bukan kemakmuran orang per orang, namun
demikian harkat dan derajat individu dipelihara dan dijunjung tinggi.28 Dalam hal ini negara
hanya mempunyai kekuasaan untuk mengatur upaya pencapaian kemakmuran tersebut.
Konsep hak menguasai negara dalam UUPA mensyaratkan adanya peran negara yang kuat
dalam mendistribusikan kemakmuran kepada seluruh rakyat dengan prinsip-prinsip keadilan,
atau pemihakan kepada kepentingan rakyat. Dalam pemikiran ini tidak dikehendaki berlakunya
prinsip ekonomi pasar terutama dalam hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak,
apalagi yang menyangkut masalah pertanahan sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945. 29
Prof. Boedi Harsono bahkan menyatakan bahwa penjabaran konsep hak menguasai negara
dalam UUPA merupakan penafsiran otentik atas kata “dikuasai” yang tercantum dalam Pasal
33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.30
25
UUPA, Pasal 1 ayat (1)
UUPA, Pasal 1 ayat (3)
27
UUPA, Penjelasan No. II/1
28
Komitmen untuk menghormati hak-hak individual sebagai wujud keselarasan kolektivisme dan individualisme
ditunjukan dalam rumusan pokok UUPA yang dibuat oleh Panita Soewahjo (diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo), selaku panitia perumus naskah UUPA yakni: (i) Penghapusan asas domeinverklaring dan
pengakuan hak rakyat yang harus ditundukan dibawah kepentingan umum; (ii) Penggantian asas domein dengan
“hak menguasai negara” sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) UUDS 1950 (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945);
(iii) Penghapusan dualisme hukum agraria; (iv) Hak-hak atas tanah meliputi hak milik sebagai hak terkuat yang
dilekati dengan fungsi sosial, hak usaha, hak bangunan, dan hak pakai; (v) Hak milik hanya dapat dipunyai oleh
WNI; (vi) Perlunya penetapan batas maksimum dan minimim luas tanah yang boleh dimiliki; (vii) Pengerjaan dan
pengusahaan sendiri tanah pertanian oleh pemiliknya sebagai asas; dan (viii) Pelaksanaan pendaftaran tanah dan
perencanaan penggunaan tanah. Kasim dan Suhendar, op. cit., hal 46-50.
29
Ibid., Hal. 21-2
30
Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaannya.Hal. 223-24
26
c. Kontestasi Ekonomi Pancasila vs Neo-Liberalisme dalam Amandemen Pasal 33
Meski telah mendapatkan penjabaran yang detail berkenaan dengan konsepsi, ruang lingkup
dan arah pelaksanaannya dalam UUPA, Pasal 33 ayat (3) tidak pernah benar-benar
dilaksanakan secara utuh terutama dalam masa pemerintahan Orde Baru. Pemerintah Orde
Baru cenderung menerapkan Pasal 33 ayat (3) secara pragmatis dengan mempertimbangkan
perkembangan situasi perekonomian, sehingga dalam kurun 32 tahun penguasaan negara
bergerak dalam pendulum monopoli oleh negara/badan usaha milik negara dan liberalisasi.
Meski UUPA tidak pernah benar-benar dihapuskan, pemerintah Orde Baru mengabaikan
regulasi populis ini dengan mengeluarkan berbagai regulasi dan kebijakan yang nyata
bertabrakan dengan semangat hak menguasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Lebih dari itu, Pasal 33 ayat (3) juga digunakan oleh negara pada saat itu untuk melegitimasi
praktik monopoli yang sarat nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tumbangnya pemerintahan Orde Baru dengan kesenjangan ekonomi yang nyata melahirkan
desakan untuk melakukan pembaruan dalam struktur perekonomian dengan secara utuh
menerapkan demokrasi ekonomi (TAP MPR No. XVI/MPR/1998) dan pembaruan penguasaan
sumber daya alam (TAP MPR IX/MPR/2001). TAP MPR XVI/1998 mengafirmasi belum
terwujudnya amanat demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 194531
serta masih menumpuknya aset dan kekuatan ekonomi (faktor produksi) pada sekelompok
orang.32 Secara lebih tegas TAP MPR IX/2001 menyatakan bahwa dalam hal sumber daya
agraria dan sumber daya alam, masih terjadi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatannya sehingga menimbulkan konflik, penurunan kualitas
lingkungan dan berbagai persoalan lainnya.33 Dua keputusan politis ini melandasi proses
amandemen pasal 33 UUD 1945 dalam proses amandemen konstitusi 1999-2002, yang dalam
perjalanannya memperlihatkan perbedaan paradigma dan ideologi dalam memandang
hubungan antara negara dan perekonomian.
Pembahasan
penting
mengenai
konsep
penguasaan
negara
dalam
proses
amandemen ini dapat dilihat dalam rapat ke-47 PAH I tanggal 26 Juni 2000 yang
mengagendakan pandangan fraksi-fraksi.34 Dalam pembahasan ini terungkap
agar konsep penguasaan negara atas sumber-sumber kemakmuran dalam Pasal 33
tetap dipertahankan namun dengan penjabaran yang lebih lengkap dan memadai
agar tidak terjadi distorsi dalam penerapannya. Sebagaimana yang dungkapkan
oleh Pataniari Siahaan dari Fraksi PDIP:
…sampai saat ini MPR belum dapat merinci dan menjabarkan apa yang
dimaksud Pasal 33 tersebut…apa sajakah cabang produksi penting yang
menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara dan apa
saja cabang produksi yang kurang penting yang dapat dikelola oleh
perusahaan swasta dan perorangan? Juga dipertanyakan apa yang
31
TAP MPR No. XVI/MPR/1998, Konsiderans huruf a
Ibid., Pasal 3.
33
TAP MPR IX/MPR/2001, Konsiderans huruf c
34
Sekretariat
Jenderal
dan
Kepaniteraan
Mahkamah
Konstitusi,
Naskah
Komprehensif
Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VII : Keuangan, Perekonomian Nasional, dan
Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2008), hal. 340.
32
dimaksud dengan kekuasaan negara,
dimiliki oleh negara atau dikelola negara?35
Hal senada juga dikemukakan
yang menyatakan bahwa:
oleh
Ali
apakah
Hardi
dikuasai
Kiaidemak
dari
sama
dengan
Fraksi
PPP
…ternyata kesederhanaan daripada penuangan ide-ide yang cemerlang dan
tulus dari para pendiri negara kita dalam Pasal 33 dalam perjalanannya
ternyata oleh kekuasaan pemerintahan di waktu yang lampau telah
dikembangkan, diimplementasikan dengan terlalu menitikberatkan pada
kepentingan kekuasaan, bukan lagi pada orientasi kerakyatan dan
kebersamaan…Demikian juga pengembangan istilah dikuasai negara. ini
karena kepentingan kekuasaan pada saat itu maka dikuasai negara
diartikan bukan dalam arti fisik tetapi bisa dalam arti pengawasan
sehingga kita melihat bahwa bagaimana pertambangan, bagaimana usaha-usaha besar
yang
menguasai
hidup
orang
banyak
lalu
diserahkan
kepada
pengusaha swasta yang dikuasai perorangan.36
Kedua pendapat ini menginginkan agar ketentuan mengenai penguasaan
negara atas sumber-sumber kemakmuran tetap dipertahankan tetapi dengan
penjabaran yang lebih terang untuk menghindari penyalahgunaan sebagaimana
yang terjadi pada masa lalu. Oleh karena itu dalam rapat pembahasan ini muncul
gagasan untuk menambahkan kata “diatur” dan “diatur berdasarkan undang-undang” setelah
kata “dikuasai” agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.37 Terungkap pula usulan agar
ketentuan
mengenai
penguasaan
negara
dikaitkan
dengan fungsi lembaga perwakilan rakyat untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan.38
Sementara
itu
Fraksi
PKB
dan
Fraksi
PAN
mengusulkan
agar
penguasaan negara diatur berdasarkan prinsip-prinsip yang umum diterapkan
dalam kegiatan ekonomi yakni “asas efisiensi”, “asas keadilan”, “asas
pembangunan
berkelanjutan”,
“asas
kelestarian
lingkungan”
dan
“asas
39
penghormatan
terhadap
hak
milik
pribadi”.
Ada
pula
usulan
untuk
menghapuskan sama sekali kata “dikuasai” dalam rumusan amandemen Pasal 33,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB:
…kata-kata dikuasai oleh negara ini dalam sejarah kita telah memberikan
implikasi negatif dalam hal ini negara telah melaksanakan kekuasaannya
sedemikian
rupa
sehingga
bisa
memperkosa
hak-hak
rakyat
dan
masyarakat. Oleh karena itu, dalam hal dikuasai oleh negara ini kami
usulkan kata-kata yang lebih manusiawi, yaitu diurus oleh negara.40
35
Ibid., Hal. 341.
Ibid., Hal. 349
37
Pendapat ini diusulkan oleh Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PPP. Ibid., hal 347
dan 349.
38
iusulkan oleh Fraksi PDKB yang mengusulkan rumusan: “Sumber kekayaan alam
dan keuangan negara, dikelola dengan permufakatan lembaga perwakilan rakyat”. Lihat Ibid.,
hal. 352.
39
Ibid., hal. 360-362
40
Ibid., hal. 373-374.
36
PAH I akhirnya berhasil merumuskan usulan perubahan yang kemudian
diajukan dalam Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR pada 10 Agustus 2000. Namun usulan
perubahan
mengenai
Pasal
33
belum
dibahas
secara
mendalam
sehingga tidak dicapai kesepakatan, oleh karena itu BP MPR kembali ditugaskan
untuk mempersiapkan rancangan amandemen pada sidang Majelis berikutnya. Adapun
rumusan
usulan
perubahan
Pasal
33,
termasuk
mengenai
konsep
penguasaan negara atas sumber-sumber kemakmuran, dilampirkan dalam TAP
MPR No. IX/MPR/2000 yang selengkapnya berbunyi:
(1) Perekonomian disusun dan dikembangkan sebagai usaha bersama seluruh
rakyat secara berkelanjutan berdasarkan atas asas keadilan, efisiensi, dan
demokrasi ekonomi untuk mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai dan/atau diatur oleh negara berdasarkan asas keadilan
dan efisiensi yang diatur dengan undang-undang.
(3) Bumi, air, dan dirgantara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai dan/atau diatur oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Pelaku ekonomi adalah koperasi, badan usaha milik negara, dan usaha swasta
termasuk usaha perseorangan.
(5) Penyusunan dan pengembangan Perekonomian Nasional harus senantiasa menjaga
dan meningkatkan tata lingkungan hidup, memperhatikan dan menghargai hak Ulayat,
serta menjamin keseimbangan kemajuan seluruh wilayah negara.
Dalam usulan perubahan ini konsep penguasaan negara tetap dipertahankan dengan
pembatasan yakni pengaturan oleh undang-undang, berdasarkan asas efisiensi dan keadilan,
serta ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun secara keseluruhan usul
perubahan Pasal 33 UUD 1945 yang menambah dua ayat tambahan adalah untuk
mengakomodir ketentuan dalam penjelasan UUD 1945 yang disepakati untuk dihapuskan.
Dalam pembahasan pada periode perubahan ketiga UUD 1945, rumusan amandemen Pasal 33
UUD 1945 mendapatkan masukan dari Tim Ahli Ekonomi yang disertakan dalam rapat
pembahasan PAH I. Tim Ahli Ekonomi diketuai oleh Prof. Dr. Mubyarto sebagai ketua, Dr.
Sri Mulyani sebagai sekretaris, dan anggota yang terdiri dari Prof. Drs. Dawam Rahardjo, Dr.
Sjahrir, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, Dr. Didiek J. Rachbini, dan Dr. Sri Adiningsih.41
Dilibatkannya Tim Ahli Ekonomi dalam perumusan usulan perubahan Pasal 33 UUD 1945
ditujukan untuk memberikan pengetahuan teknis dan masukan sesuai dengan disiplin ilmu agar
perumusan naskah usulan amandemen tidak berputar dalam perdebatan normatif dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik. Namun dalam perjalanannya terdapat perbedaan
pandangan dan ideologi ekonomi yang mencolok diantara anggota tim ahli yang bertitik tolak
dari perbedaan pandangan mengenai perlu tidaknya mempertahakan rumusan asli Pasal 33
UUD 1945. Perdebatan dan perbedaan pandangan yang begitu mencolok
41
Ibid., hal. 376.
ini menimbulkan polarisasi yang tajam sehingga usulan Tim Ahli Ekonomi selalu
disampaikan dalam dua versi. Pendapat pertama dirumuskan oleh Mubyarto dan Dawam
Rahardjo yang bersikeras mempertahankan rumusan asli Pasal 33 UUD 1945 sebagai
manifestasi pelaksanaan ekonomi kerakyatan. Sementara pendapat kedua dirumuskan oleh
Sjharir, Bambang Sudibyo, Didiek J. Rachbini, Sri Mulyani, dan Sri Adiningsih yang lebih
realistis dengan situasi ekonomi Indonesia kontemporer sehningga cenderung berpandangan
neo-liberal.42
Perbedaan pandangan di antara tim ahli ekonomi sudah tampak sejak pertemuan pertama tim
ahli pada 19 Maret 2001. Menurut Mubyarto, dalam pertemuan tersebut tim ahli “bersepakat
untuk berbeda pendapat”.43 Tim ahli sepakat untuk tetap mencantumkan pengaturan sistem
ekonomi dalam konstitusi namun tidak bersepakat mengenai usualan perubahan Pasal 33 UUD
1945. Mayoritas tim ahli beranggapan bahwa kata “dikuasai” yang terdapat dalam Pasal 33
ayat (2) dan (3) sebagai keniscayaan dianutnya sistem sosialisme yang sangat mempengaruhi
pemikiran ekonomi Bung Hatta dalam merumuskan Pasal 33 UUD 1945.44 Berikut pernyataan
Sjahrir:
Bilamana kita memperhatikan literatur sistem ekonomi, maka sulit bagi kita untuk
menghindari kesan bahwa ketiga ayat-ayat dari Pasal 33 tersebut merupakan ayat-ayat
yang cocok dengan pengertian sistem ekonomi sosialis. Saya tidak ingin
mempertentangkan ayat-ayat tersebut dengan realitas di Indonesia kini, apalagi dengan
kenyataan gejala globalisasi yang berlangsung di seluruh dunia, tetapi cukup tampak
tanda-tanda bahwa sulit sekali untuk bisa mempertahankan sepenuhnya ayat-ayat
tersebut tanpa perubahan apapun.45
Pandangan ini disanggah oleh Mubyarto yang menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia
berdasarkan Pasal 33 bukanlah sistem ekonomi sosialis, melainkan sistem ekonomi yang
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan sebagaimana yang
dicantumkan
dalam
Pasal
33
ayat
(1).
Selain
itu dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dijelaskan bahwa Indonesia menganut demokrasi
ekonomi yang bertolak belakang dengan sosialisme yang sentralistis. Kata “dikuasai” dalam
ayat (2) dan (3) tidak menunjukan sistem ekonomi Indonesia melainkan mekanisme
operasional, yaitu bagaimana pokok-pokok kemakmuran rakyat yakni cabang produksi yang
menguasai hajat hidup rakyat banyak, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya diatur pemanfaatannya sedemikian rupa sehingga melahirkan kesejahteraan bagi
rakyat secara keseluruhan.46
Usulan untuk menghapuskan kata “dikuasai” juga disampaikan oleh Sri Adiningsih yang
menyatakan bahwa kata “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) mengandung
bllured kejernihan dan dapat menimbulkan multi-interpretasi sehingga tidak layak untuk
dijadikan rumusan dalam pasal-pasal konstitusi.47 Selain itu kata “dikuasai oleh negara” lekat
42
Ibid., hal 379
Mubyarto, Amandemen Konstitusi…, op. cit., hal. 9
44
Ibid., hal. 10
45
Susanti, op. cit., hal. 68.
46
Mubyarto, Amandemen Konstitusi…,op. cit., hal. 11
47
Sri Adiningsih, Perlunya Amandemen UUD 1945 Dalam Bidang Ekonomi, Makalah
disampaikan dalam diskusi panel “Kontroversi Amandemen Pasal 33 UUD 1945” yang
43
mencirikan kuatnya intervensi negara dalam perekonomian yang tidak sesuai lagi dengan trend
perekonomian global yang semakin bebas, terbuka, dan peran negara yang minimal.
Perkembangan penting yang banyak mempengaruhi kita pada saat ini adalah proses
demokratisasi dan market economy di banyak negara. Selain itu perubahan penting
yang perlu mendapat perhatian dalam bidang ekonomi adalah adanya liberalisasi pasar
pada tingkat global. Indonesia sudah mengikatkan diri dengan AFTA, APEC, dan WTO
yang tentunya semua komitmen yang dibuat tersebut tidak dapat ditiadakan begitu
saja.48
Perbedaan pandangan diantara tim ahli berlanjut dalam rapat pleno ke-18 PAH I 16 Mei 2001
yang mengagendakan penyampaian kesimpulan dan pendapat Tim Ahli Ekonomi. Usulan yang
disampaikan oleh Sri Adiningsih itu selengkapnya berbunyi:
1) Perekonomian disusun dan diatur sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas
kemanusiaan, moralitas sosial, keadilan, manfaat dan berkelanjutan, serta perlindungan
konsumen dan pemihakan pada usaha kecil dan menengah serta demokrasi ekonomi
melalui sistem pasar yang berdaya saing-efisien-terbuka dan persaingan sehat untuk
mewujudkan sebesar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
2) Darat, laut, termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya, udara diatasnya, serta seluruh
lingkungan dan kekayaan yang terkandung di dalam dasar wilayah kedaulatan dan
kewenangan Indonesia diatur oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang diatur dengan undang-undang.
3) Penyusunan dan pengaturan perekonomian nasional harus senantiasa menjaga dan
meningkatkan tata lingkungan hidup yang harmonis, memperhatikan dan menghargai
hak ulayat, dan menjamin keseimbangan kemajuan seluruh warga negara.49
Usulan perubahan ini tidak disepakati secara bulat oleh tim ahli ekonomi sebab Mubyarto dan
Dawam Raharadjo bersikeras untuk mempertahankan rumusan Pasal 33 dalam naskah asli
UUD 1945. Menurut Mubyarto tidak terwujudnya kesejahteraan rakyat bukan disebabkan oleh
tidak memadainya konsep demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945, melainkan Karena
penguasa tidak pernah menerapkannya secara sungguh-sungguh. Mubyarto juga
berpendapat bahwa dengan lahirnya TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, menunjukan adanya komitmen untuk meluruskan
kekeliruan dalam pelaksanaan Pasal 33 sebagai landasan konstitusional demokrasi ekonomi.
Berikut ini adalah pendapat Mubyarto:
…kesimpulan kita adalah bahwa terjadinya pengurasan kekayaan alam bukanlah
ketentuan Pasal 33 tidak memadai atau karena kesalahan Pasal 33 tetapi karena dasar
demokrasi ekonomi benar-benar telah dilanggar atau tidak dilaksanakan. Perubahan
dan tertib pembahasan dan perdebatan sengit di antara anggota Tim Ahli bidang
ekonomi, khususnya perlu tidaknya Pasal 33 diamandemen, seakan-akan
diselenggarakan oleh Kajian Ekonomi Pembangunan Indonesia,
Indonesia 3 Juli 2001, hal. 2.
48
Ibid., hal. 3.
49
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, op. cit., hal. 376.
Fakultas
Ekonomi
Universitas
mengisyaratkan bahwa jika Pasal 33 tidak diamandemen maka krisis ekonomi tidak
akan pernah teratasi, KKN akan terus merajalela…50
Perdebatan yang sengit dalam tubuh tim ahli berujung pada mundurnya Mubyarto dan Dawam
Rahardjo dari kenggotaan tim ahli pada 23 Mei 2001. Dalam surat pengunduran dirinya,
Mubyarto menyatakan bahwa hal ini adalah konsekuensi atas pendiriannya untuk tetap
mempertahankan naskah asli Pasal 33 UUD 1945. Sementara itu tim ahli seolah diamanatkan
hanya untuk mengubah Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana usulan perubahan yang dilampirkan
dalam TAP MPR No. IX/MPR/2000.51
Mundurnya Mubyarto dan Dawam Rahardjo dari keanggotaan Tim Ahli bidang Ekonomi
membuat dominasi kelompok berpandangan neo-liberal semakin kuat. Secara garis besar
pandangan neo-liberal menghendaki agar perumusan ketentuan mengenai ekonomi dalam
konstitusi memperhatikan tiga hal pokok yakni : intervensi negara yang minimal dan hanya
dibenarkan untuk menjamin berjalannya mekanisme pasar serta dijalankan berdasarkan
undang-undang; ditegaskannya sistem ekonomi pasar sesuai dengan kenyataan ekonomi
kontemporer; dan perlindungan terhadap hak milik pribadi termasuk investasi asing dari
pengambilalihan oleh negara.52 Usulan tim ahli tidak banyak memberikan perubahan berarti
dalam rumusan perubahan Pasal 33 sebagaimana yang dilampirkan dalam TAP MPR No.
IX/MPR/2000. Meski demikian perdebatan sengit yang terjadi antara kutub ekonomi
kerakyatan dan ekonomi neo-liberal dalam tubuh Tim Ahli Ekonomi telah memunculkan
kembali wacana untuk mempertahankan naskah asli Pasal 33 UUD 1945 sebagai sistem
ekonomi yang sesuai dengan jati diri bangsa dalam pembahasan pada perubahan keempat
konstitusi.
Mundurnya Mubyarto dari keanggotaan Tim Ahli Ekonomi terutama disebabkan oleh
keinginan yang kuat dari mayoritas tim ahli dan anggota PAH I untuk menghapuskan asas
kekeluargaan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 dan menggantinya dengan asas-asas ekonomi
yang lazim digunakan dalam sistem ekonomi pasar seperti “asas efisiensi” dan “asas keadilan”.
Dihapuskannya “asas kekeluargaan” akan menimbulkan konsekuensi yuridis bagi keberadaan
konsep “penguasaan negara” sebagai mekanisme operasional pelaksanaan sistem ekonomi
berdasarakan atas asas kekeluargaan. Hal ini dikarenakan konsep “dikuasai oleh negara”
menunjukan intervensi negara yang kuat yang bertentangan dengan prinsip efisiensi karena
dalam paradigma ekonomi pasar diyakini dapat mendistorsi perekonomian.
Usulan untuk merombak fundamen Pasal 33 UUD 1945 juga tampak dalam pembahasan usulan
perubahan keempat UUD 1945. Pada rapat ke-5 PAH I, 25 Februari 2002, Boediono yang saat
itu menjabat sebagai Menteri Keuangan memberikan usulan untuk mengganti asas
kekeluargaan:
Mengenai asas kekeluargaan…ini adalah nampaknya sebagai suatu istilah yang sangat
elastis. Kalau suatu istilah itu begitu elastisnya, itu tampaknya bisa menampung
berbagai penafsiran dan akibatnya bisa menimbulkan pengertian yang sangat berbeda
mengenai hal ini. Oleh sebab itu, pendapat kami pribadi, alangkah baiknya kalau
konteks yang elastis ini diganti, atau bukan diganti, tapi dijabarkan menjadi asas-asas
50
Ibid., hal. 377-378
Mubyarto, Amandemen Konstitusi…,op. cit., hal. 178.
52
Susanti, op. cit., hal. 64-67.
51
yang lebih spesifik. Misalnya soal efisiensi, keadilan, soal pembangunan berkelanjutan,
demokrasi ekonomi dalam arti yang lebih spesifik.53
Terkait dengan konsep penguasaan negara, Sjahril Sabirin yang saat itu menjabat sebagai
Gubernur Bank Indonesia memberikan pendapat:
Kami merasakan misalnya ayat (2) dan (3) itu sudah lebih fleksibel dbandingkan yang
lama karena disini cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai, sudah pakai dan atau diatur oleh negara. Jadi, ini
sudah lebih fleksibel dibandingkan dengan yang lama sehingga bisa saja
pelaksanaannya swasta, tetapi diatur oleh negara sehingga faktor-faktor efisiensi dan
lain sebagainya itu dapat dicapai tanpa mengorbankan kepentingan umum.54
Meski demikian perdebatan yang tajam di dalam tubuh tim ahli pada pembahasan perubahan
ketiga UUD 1945 telah melahirkan pula wacana untuk kembali ke naskah asli UUD 1945.
Sebagaimana diungkapkan oleh Soedijarto dari Fraksi Utusan Golongan pada rapat PAH I
tanggal 28 Januari 2002:
Disadari bahwa di abad XXI ini dunia telah sepenuhnya menjadi satu kesatuan ekonomi
global yang dikuasai oleh kapitalisme global yang menganut pasar bebas. Oleh karena
itu, setiap negara harus membangun sistem ekonomi yang handal…Namun banyak
negara di Eropa terutama di negara-negara Skandinavia dan Jerman yang merupakan
pemain tangguh dalam percaturan ekonomi global, tetapi sistem ekonomi nasionalnya
tidak sepenuhnya dikembangkan dengan asas pasar bebas. Oleh karena itu, F-UG
berpendapat bahwa Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 harus tetap dipertahankan.55
Perdebatan dalam tubuh tim ahli bidang ekonomi juga mempengaruhi pendapat publik yang
menghendaki agar rumusan asli Pasal 33 tetap dipertahankan. Secara politis hal ini turut
mempengaruhi pandangan anggota PAH I yang mayoritas menolak diadopsinya pandangan
neo-liberal dalam usulan perubahan Pasal 33 UUD 1945. Dalam pembahasan perubahan
keempat UUD 1945 tampak keinginan untuk mempertahankan gagasan para pendiri bangsa
namun pada saat yang bersamaan juga berupaya untuk mengakomodir globalisasi. Dengan
demikian asas kekeluargaan sebagai sistem ekonomi dan konsep penguasaan negara sebagai
mekanisme operasional pelaksanaannya tetap dipertahankan. Akan tetapi terdapat pembatasan
dan kualifikasi tambahan dalam pelaksanaannya agar tidak terjadi penyimpangan sebagaimana
yang terjadi di masa lalu. Konsep penguasaan negara sebagai operasional penyelenggaran
perekonomian atas asas kekeluargaan harus dilaksanakan berdasar demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.56 Usulan
perubahan Pasal 33 ini kemudian ditempatkan menjadi ayat (4) dan (5) dalam Pasal 33 yang
rumusan aslinya tetap dipertahankan.
Usulan perubahan Pasal 33 disampaikan dalam Rapat Paripurna ke-3 Sidang Tahunan MPR
pada 3 Agustus 2002. Meskipun tidak menyampaikan secara eksplisit, fraksi-fraksi di MPR
secara prinsip menyepakati rumusan perubahan Pasal 33 UUD 1945. Hal ini menunjukan
53
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, op. cit., hal. 407.
Ibid., hal. 395.
55
Ibid., hal. 453
56
Ibid., hal. 468.
54
disepakatinya jalan tengah antara kelompok yang menginginkan agar rumusan asli Pasal 33
tetap dipertahankan dan kelompok yang menginginkan agar konstitusi adaptif dengan
perkembangan ekonomi yang semakin dinamis. Soetjipno dari Fraksi PDIP bahkan
menyatakan bahwa tetap dipertahankannya rumusan asli Pasal 33 sesuai dengan cita negara
hukum (rechtstaat) dan kedaulatan rakyat (volkssouvereiniteit) yang berkembang ke arah
negara hukum materiel (materiele rechtstaat), sehingga kedaulatan rakyat juga mencakup
bidang ekonomi selain bidang politik.57
Meski demikian terdapat pula kekhawatiran terjadinya distorsi dan bias akademik dengan
diadopsinya kata “efisiensi” dalam rumusan ayat (4) yang dapat melumpuhkan paham
“kebersamaan dan kekeluargaan” dengan paham individualisme dan liberalisme ekonomi.58
Selain itu perubahan judul bab yang menaungi Pasal 33 yang sebelumnya berjudul
“Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial” dikhawatirkan akan
menjadikan posisi rakyat dan kemakmuran rakyat yang substansial menjadi derivat dari
perekonomian.59 Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Sri-Edi Swasono anggota Fraksi
Utusan Golongan:
…mengenai Pasal 33 telah diubah dari judul aslinya, justru ini akan menimbulkan
distorsi yang sangat-sangat jauh…Justru judul bab yang lama, “Kesejahteraan Sosial”
artinya bahwa ekonomi itu merupakan derogate dari tujuan mensejahterakan rakyat.
Jadi, tujuan utamanya adalah mensejahterakan rakyat dan ekonomi harus mendukung
dan harus menjadi referensi…jadi, kalau dibalik maka tidak jelas lagi subject matternya di dalam kehidupan ekonomi…Kedua mengenai ayat (4)…dalam rumusan seperti
ini menimbulkan semacam kontradiksi dan inkonsistensi dan bahkan mungkin
menimbulkan penafsiran yang tidak jelas…misalnya efisiensi, efisiensi ini dalam scope
apa? Sebab kalau hanya efisiensi saja…akan terjadi struktur proses produksi yang
sangat berubah menjadi kapital intensif…Dengan kata lain, harus ada perkataan
efisiensi yang berkemandirian, efisiensi yang berkeadilan…60
Menurut Sri-Edi Swasono, pencantuman kata “efisiensi” memiliki implikasi serius sebab
dalam ilmu ekonomi kata “efisiensi” berorientasi pada perolehan keuntungan maksimum
(maximum gain) dalam aktivitas usaha dan kepuasan maksimum (maximum satisfaction) dalam
transaksi ekonomi individu.61 Hal ini merupakan dasar dari paham ekonomi neo-klasik yang
berkembang menjadi paham ekonomi neo-liberalisme yang beroperasi melalui pasar bebas.
Agar prinsip efisiensi sesuai dengan demokrasi ekonomi menurut Pasal 33, maka perlu
dilakukan perubahan menjadi efisiensi ekonomi yang berdimensi kepentingan sosial yang tidak
berorientasi pada kepentingan perorangan. Dengan mencantumkan kata “efisiensi berkeadilan”
maka pelaksanaan prinsip efisiensi dalam kegiatan ekonomi harus berdasarkan kepada
pemihakan terhadap yang lemah, yang miskin, dan yang terbelakang dalam
rangka mewujudkan keadilan.62
57
Ibid., hal. 478
Sri Edi Swasono, “Mewaspadai Otoritarianisme dan Tirani Ekonomi…”,op. cit.,
hal. 11.
59
Ibid., Hal. 12.
60
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, op. cit., hal. 476
61
Swasono, “Mewaspadai Otoritariansime dan Tirani Ekonomi…”, op. cit., hal. 14.
62
Ibid., hal. 13.
58
Usulan Sri-Edi Swasono untuk mengubah kata “efisiensi” menjadi “efisiensi berkeadilan”
mementahkan kembali usulan perubahan yang diajukan oleh PAH I BP MPR. Setelah melalui
berbagai pembahasan akhirnya pada 8 Agustus 2002 PAH I menyepakati perubahan kata
“efisiensi” menjadi “efisiensi berkeadilan” pada Pasal 33 ayat (4), dan pada sidang paripurna
MPR tanggal 10 Agustus 2002 ditetapkan menjadi bagian dari perubahan keempat UUD
1945.63 Adapun rumusan Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
secara lengkap adalah:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan
ekonomi nasional.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan Pasal ini diatur dalam
undang-undang.
d. Interpretasi Mahkamah Konstitusi atas Hak Menguasai Negara
Politik hukum liberal tidak lama setrelah amandemen UUD 1945 yang tampak pada
perundang-undangan privatisasi BUMN dan sektoral menimbulkan polemik yang luas di
masyarakat. Pengajuan undang-undang privatisasi sektoral, seperti UU ketenagalistrikan, UU
Minyak dan Gas Bumi, dan UU Sumber Daya Air serta Undang-undang Penanaman Modal ke
Mahkamah Konstitusi merupakan wujud penolakan masyarakat terhadap kebijakan privatisasi
pasca reformasi.64 Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara yang
memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar Negara RI Tahun 194565 membuka peluang bagi resistensi terhadap derasnya arus
liberalisasi ekonomi yang mewarnai proses pembentukan hukum setelah amandemen keempat
konstitusi.
Lima
perundang-undangan
yang
terkait
dengan
penguasaan
negara
atas
sumber-sumber kemakmuran yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi yakni
UU Ketenagalistrikan, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Sumber Daya Air, dan
UU Penanaman Modal memilki benang merah yang dapat dilihat dari dalil
permohonan pengujian perundang-undangan tersebut. Benang merah tersebut
berkaitan dengan penetrasi liberalisme/neo-liberalisme dalam bentuk deregulasi,
privatisasi, liberalisasi, dan komersialisasi dalam pengelolaan sumber-sumber
kemakmuran. Hal tersebut dianggap akan mereduksi peran negara dalam penguasaan sumbersumber
kemakmuran
menurut
Pasal
33
UUD
Negara
RI
Tahun 1945 dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
63
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, op. cit., hal. 484.
Yudho, op. cit., hal. 97-99.
65
Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik
ayat 1.
64
Indonesia
Tahun
1945,
Pasal
24
C
Atas
pengajuan
permohonan
pengujian
tersebut,
dilihat
dari
amar
putusannya Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang bebeda-beda. Ada
pemohonan yang dikabulkan secara keseluruhan (UU Ketenagalistrikan), ditolak
dengan conditionally constitutional (UU Sumber Daya Air),66 dan dikabulkan
sebagian (UU Minyak dan Gas Bumi dan UU Penanaman Modal). Meski putusan
yang diberikan berbeda-beda, namun lewat putusan-putusan ini Mahkamah
Konstitusi telah berperan memberikan penafsiran atas frasa “dikuasai oleh negara”
yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD Negara RI tahun 1945.
Dalam memberikan penafsiran terhadap frasa “dikuasai oleh negara” Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa dalam ketentuan tersebut terdapat daya berlaku
normatif sebagai berikut:
1. Konstitusi memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai
cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak;
2. Kewenangan tersebut ditujukan kepada mereka baik yang akan maupun
yang telah mengusahakan cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak. Pada cabang produksi yang jenis
produksinya belum ada atau baru akan diusahakan, yang jenis produksi
tersebut penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak,
negara
mempunyai
hak
diutamakan/didahulukan
yaitu
negara
mengusahakan sendiri dan menguasai cabang produksi tersebut serta pada
saat
yang
bersamaan
melarang
perorangan
atau
swasta
untuk
mengusahakan cabang produksi tersebut.
3. Pada cabang produksi yang diusahakan oleh perorangan atau swasta dan
ternyata produksinya penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak, negara dapat mengambil alih cabang produksi tersebut dengan
cara yang sesuai dengan aturan hukum yang adil.67
Penguasaan oleh negara, menurut Mahkamah Konstitusi, tidak ditujukan
untuk kekuasaan semata melainkan agar negara dapat menunaikan kewajibannya
sebagaimana yang tecantum dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.
Penguasaan negara atas cabang produksi mengandung misi untuk memenuhi
kepentingan masyarakat, yaitu: ketersediaan yang cukup, distribusi yang merata,
dan terjangkaunya harga bagi banyak orang.68 Kedua hal ini merupakan keutuhan
paradigma yang dianut oleh konstitusi dan merupakan cita hukum (rechtside) dari
UUD Negara RI Tahun 1945.
Konsep penguasaan
menurut Mahkamah
66
negara dalam Pasal 33 UUD Negara RI Tahun 1945
Konstitusi mengandung pengertian yang lebih tinggi dan
Yang
dimaksud
dengan
conditionally
constitutional
dalam
putusan
pengujian
UU
Sumber Daya Air terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah bahwa dalam menjalankan
undang-undang
tersebut
pemerintah
haruslah
memperhatikan
pertimbangan
hukum
yang
disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Jika pelaksanaannya ditafsirkan lain, maka undangundang tersebut tidak
menutup
kemungkinan
untuk
dilakukan
pengujian
kembali.
Hal
ini
merupakan terobosan hukum yang dilakukan oleh MK mengingat undang-undang menyatakan
bahwa pengujian udang-undang terhadap konstitusi adalah final dan mengikat. Lihat: Mahkamah
Konstitusi, Putusan No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005, hal. 495
67
Ibid., hal. 329-330
68
Ibid
lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsep
penguasaan negara adalah konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip
kedaulatan rakyat yang dianut dalam konstitusi, baik dibidang politik (demokrasi
politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat
itulah rakyat dipahami sebagai sumber, pemilik, sekaligus pemegang kekuasaan
tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Dalam pengertian tertinggi tersebut, tercakup pula
kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.69 Meski menolak konsepsi
perdata dalam konsep penguasaan negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa kepemilikan perdata itu adalah suatu konsekuensi logis penguasaan oleh
negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas
rakyat atas sumber-sumber kemakmuran.70 Dengan demikian, meski Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa konsep penguasaan negara berdimensi hukum
publik, hal itu tidak berarti bahwa peran negara direduksi menjadi sebatas
pengatur (regulator) dalam kegiatan perekonomian.
Dengan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut,
Mahkamah
kemudian mengintroduksi penafsiran penguasaan negara dalam Pasal
Negara RI Tahun 1945 yang mencakup lima fungsi, yakni71:
Konstitusi
33 UUD
1. Fungsi
Pengurusan
oleh
negara
(Besturdaad)
dilakukan
dengan
kewenangan negara dalam hal ini pemerintah untuk mengeluarkan dan
mencabut faslitas perizinan, lisensi, dan konsesi.
2. Fungsi
pengaturan
oleh
negara
(Regelandaad)
dilakukan
melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan
regulasi oleh pemerintah.
3. Fungsi
pengelolaan
(beheersdaad)
dilakukan
melalui
mekanisme
pemilikan
saham
dan/atau
melalui
keterlibatan
langsung
dalam
manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik
Negara
sebagai
instrumen
kelembagaan
untuk
medayagunakan
sumber-sumber kemakmuran untuk rakyat.
4. Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh
negara dalam hal ini pemerintah dalam rangka mengawasi dan
mengendalikan
agar
pelaksanaan
penguasaan
negara
atas
cabang
produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak
dimaksud
benar-benar
dilakukan
untuk
sebesar-besar
kemakmuran
rakyat.
5. Fungsi kebijakan oleh negara (beleid) dilakukan dengan kewenangan
untuk mengadakan dan merumuskan kebijakan.
Selain mendefinisikan cakupan fungsi penguasaan negara, dalam putusan pengujian Undangundang Minyak dan Gas Bumi MK menyatakan bahwa tingkat konstitusionalitas penguasaan
negara dapat dilihat secara bertingkat. Pada tingkatan pertama, penguasaan negara dilakukan
69
Ibid., hal. 332-333.
Ibid.
71
Ibid., hal. 334.
70
dengan pengelolaan langsung sumber daya alam oleh negara. Jika negara sudah memiliki
kemampuan teknologi dan finansial namun tidak melakukan pengelolaan tersebu, maka dapat
dikategorikan sebagai tindakan yang inkonstitusional. Pada tingkatan kedua, negara membuat
kebijakan dan pengurusan yang hanya dapat dibenarkan (dinyatakan konstitusional) jika negara
secra faktual belum memiliki kemapuan untuk menjalankan penguasaan negara pada tingkatan
pertama. Pada tingkatan terakhir, yang hanya dibenarkan jika negara sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam secara langsung,
penguasaan negara dilakukan dengan menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan.
Mahkamah berpandangan bahwa untuk memastikan penguasaan negara diterapkan secara
konstitusional akan menjamin tercapainya unsur “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
dalam Pasal 33 ayat (3), sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah dalam putusannya:
Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi dan manajemen dalam
mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan
pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara
langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi
keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi
rakyt. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan
langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain,
jika negara menyerahkan pengelolaan sumer daya alam untuk dikelola oleh perusahaan
swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungna bagi negara aan terbagi
sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang.
Meski menegaskan peran dominan negara dalam penguasaan atas sumbersumber kemakmuran,
Mahkamah
Konstitusi
juga
memberikan
keabsahan
atau
konstitusionalitas bagi pelaksanaan privatisasi. Hal ini terkait dengan penafsiran
Mahkamah terhadap asas efisiensi berkeadilan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat
(4) UUD Negara RI Tahun 1945.72 Dalam fungsi pengelolaan (behersdaad) yang
dilakukan oleh BUMN melalui kepemilikan perdata atas saham, diperbolehkan
adanya share-holding atau berbagi saham antara saham dari pemerintah dengan
saham
modal swasta. Selengkapnya
Mahkamah dalam
amar putusannya
menyatakan:
…maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu harus dipahami
bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan
penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber
kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun
pemerintah
hanya
memiliki
saham
mayoritas-relatif,
asalkan
tetap
menentukan
dalam
proses
pengambilan
keputusan
atas
penentuan
kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun
privatisasi atas pemilikan saham pemerintah dalam badan usaha milik
negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan
Pasal 33 UUD 1945…73
Terkait dengan penafsiran Pasal 33 ayat (4), dalam putusan pengujian
Undang-undang Penanaman Modal, Mahkamah Konstitusi menjabarkan prinsip-prinsip dasar
72
73
Ibid., hal. 336.
Ibid., hal. 336
demokrasi
ekonomi
yang
diturunkan
Negara RI Tahun 1945 sebagai berikut74:
dari
Pasal
33
ayat
(4)
UUD
1. Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mengedepankan efisiensi yang
berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil,
kondusif dan berdaya saing.
2. Asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan
berjalannya
proses
pembangunan
melalui
penanaman
modal
untuk
menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan,
baik masa kini maupun masa yang akan datang.
3. Asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang
memperhatikan
dan
mengutamakan
perlindungan
dan
pemeliharaan
lingkungan hidup.
4. Asas kemandirian adalah asas yang mengedepankan potensi bangsa dan
negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi
terwujudnya pertumbuhan ekonomi.
5. Asas keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional, adalah
asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah
dalam kesatuan nasional.
Penafsiran makna demokrasi ekonomi yang merujuk pada Pasal 33 ayat
(4) UUD Negara RI Tahun 1945 sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi
berbeda
dengan
penjabaran
mengenai
demokrasi
ekonomi
sebagaimana
yang tercantum dalam Penejelasan UUD 1945 sebelum dihapuskan pada
amandemen keempat. Demokrasi ekonomi menurut penjelasan UUD 1945
diartikan dengan produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah
pimpinan
atau
penilikan
anggota-anggota
masyarakat.
Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang.
2. Kronik Pengaturan Kegiatan Pertambangan Freeport
Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh Freeport di wilayah Papua adalah contoh yang
paling tepat untuk menggambarkan relasi Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat dengan
kekuatan investor asing. Berbagai kemudahan dalam hal regulasi dan pemberian konsesi yang
diberikan negara kepada Freeport -yang dengan sendirinya menyimpangi mandat penguasaan
negara dalam Pasal 33 ayat (3), dan berbagai ancaman Freeport untuk membawa persoalan
yang muncul berkenaan dengan penyesuaian aktivitas mereka terhadap aturan yang lebih ketat
ke forum arbitrasi internasional mempertegas relasi yang tidak imbang antara negara dengan
sebuah entitas privat. Bagian ini akan menganalisis beberapa regulasi dan kebijakan penting
yang memberikan legitimasi kepada Freeport untuk menjalankan aktivitas usahanya di Papua.
Analisis tersebut akan digunakan untuk menilai sejauhmana kegiatan usaha Freeport telah
sejalan dengan mandat penguasaan negara atas sumber daya alam yang diatur di Pasal 33 ayat
(3) yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya.
74
Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 21-22/PUU-V/2007, hal. 221-222.
a. Linimasa Aktivitas Freeport di Indonesia
Eksplorasi potensi tambang di Papua telah dilakukan sejak tahun 1936 saat tim yang dimpimpin
Dozy menemukan gunung bijih (Ertsberg) yang kaya akan tembaga dan emas. Pada tahun 1960
sebuah ekspedisi yang dimpimpin oleh Forbes Wilson dilakukan dengan tujuan untuk
menemukan kembali Erstberg. Segera setelah rezim berganti di Jakarta, di tahun 1967 Freeport
dan Pemerintah Republik Indonesia menyepakati Kontrak Karya I dengan Freeport Inc. yang
berlaku selama tiga puluh tahun sejak Freeport resmi beroperasi di tahun 1973. Terwujudnya
kesepakatan Kontrak Karya tidak bisa dilepaskan dari lahirnya berbagai regulasi di awal
pemerintahan Orde Baru yang secara radikal merombak orientasi perekonomian nasional dari
semua berorientasi pada sosialisme menuju sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka. Pada
tahun 1988 potensi tambang lain ditemukan oleh Freeport di Grasberg. Berkenaan dengan itu
Kontrak Karya II disiapkan untuk menjamin investasi besar yang dikeluarkan oleh Freeport
untuk menambang Grasberg.
Kontrak Karya II disepakati di tahun 1991 antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT.
Freeport Indonesia yang berlaku selama 30 tahun (berakhir tahun 2021) dengan kemungkinan
perpanjangan sebanyak 2 kali selama 10 tahun (berakhir tahun 2041). Aturan baru tentang
kegiatan pertambangan mineral dan batu bara disahkan oleh DPR pada tahun 2009 (Undangundang No. 4 Tahun 2009) yang memandatkan penyesuaian pola hubungan antara pemerintah
dengan investor dalam skema perzinan bukan hubungan kontraktual keperdataan. Perubahan
ini diikuti oleh kewajiban-kewajiban lain sebegai konsekuensi dari perubahan tersebut,
diantaranya kewajiban melakukan pengolahan raw material dengan pembangunan smelter dan
pelarangan ekspor konsentrat. Upaya tersebut dilakukan oleh negara untuk meningkatkan nilai
tambah dari kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh investor asing. Berkenaan dengan hal
tersebut, pada tahun 2012 dan 2014 dilakukan perundingan renegosiasi dalam rangka
amandemen kontrak karya yang mencakup pembahasan mengenai: luas wilayah, kelanjutan
operasi pemurnian, penggunaan barang, jasa, dan tenaga kerja dalam negeri. Pada tahun 2015,
dicapai sebuah nota kesepahaman baru antara pemerintah dengan Freeport yang berisi:
komitmen Freeport untuk memberikan tambahan kontribusi lebih besar bagi rakyat Papua;
peningkatan aspek keselamatan kerja; peningkatan pemanfaatan kandungan local dalam
operasional Freeport; jaminan perpanjangan kegiatan Freeport dari pemerintah dengan
melakukan revisi peraturan pemerintah berkenaan dengan perpanjangan kontrak; komitmen
Freeport untuk tunduk kepada UU 4/2009 dengan menyetujui perubahan Kontrak Karya
menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Point kesepakatan terakhir memicu konflik
baru sebab Freeport berpandangan hal tersebut menyimpangi kesepakatan Kontrak Karya dan
pemerintah dianggap melanggar kesucian kontrak (pacta sun servanda).
Ekskalasi tensi hubungan pemerintah dengan Freeport semakin meningkat di awal tahun 2017
seiring dengan keinginan pemerintah untuk mempercepat penerapan ketentuan dalam UU
4/2009. Pada tanggal 12 Januari 2017, Freeport tidak lagi mendapatkan izin untuk melakukan
ekspor konsentrat. Pada tanggal 20 Januari 2017 Freeport memberikan tenggat waktu selama
120 hari kepada pemerintah untuk mempertimbangkan kembali point-point perbedaan antara
pemerintah dan Freeport terkait pemberian izin rekomendasi ekspor berdasarkan ketentuan
kontrak karya (KK). Terkait dengan hal tersebut, Freeport menyatakan telah mempersiapkan
upaya hukum untuk membawa persoaan ini ke forum arbitrase internasional jika dalam kurun
waktu 120 hari tidak dicapai kesepakatan baru. Freeport bersikukuh untuk mempertahankan
ketentuan dalam Kontrak Karya yang disepakati sebelumnya dan dengan demikian menolak
penyesuaian ketentuan hukum dan fiskal yang mengiringi perubahan status menjadi IUPK.
Freeport beragumen bahwa selain asas kesucian kontrak, UU 4/2009 juga memberikan
legitimasi bagi berlakunya KK sampai dengan masa berlakunya habis.
Polemik ini untuk sementara berakhir setelah Freeport mendapatkan status IUPK Sementara
pada tanggal 17 Februari 2017 yang membuka peluang bagi Freeport untuk mengajukan
permohonan izin ekspor konsentrat sesuai dengan ketentuan perundang-undang yang berlaku.
Jalan keluar sementara ini dimungkinkan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan
dua peraturan menteri ESDM yang diterbitkan di hari yang sama dengan diterbitkannya
peraturan ini: Peraturan Menteri ESDM No 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Melalui Kegiatan Pemgolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri; dan Peraturan Menteri
ESDM No. 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi
Pelaksanaan Penjualan Mineral Keluar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
b. Konstitusionalitas Kegiatan Pertambangan Freeport
Diberikannya status IUPK Sementara kepada Freeport tidak serta merta menghentikan polemik
penyesuaian kegiatan usaha pertambangan Freeport agar sejalan dengan mandat UU No.
4/2009. Regulasi ini secara tidak langsung hendak berupaya mengoreksi kekeliruan yang
dibuat oleh pemerintah di masa silam yang bertindak seolah sebagai pemilik kekayaan alam
yang dengannya melakukan tindakan keperdataan dengan pihak lain dalam sebuah hubungan
kontraktual. Hal ini secara nyata melanggar prinsip penguasaan negara yang dibatasi hanya
dalam dimensinya yang bersifat publik sebagaimana yang diatur dalam UUPA yang saat
negosiasi kontrak karya generasi pertama dilakukan di tahun 1967 masih berlaku dan memiliki
kekuatan hokum mengikat. Penyimpangan atas ketentuan UUPA tidak bisa dilepaskan dari
perubahan arah kebijakan dan politik hukum pemerintah Orde Baru yang mengikuti perubahan
orientasi pembangunan dan perekonomian yang sebelumnya sosialistis dan cenderung
menjurus pada etatisme menjadi lebih terbuka terhadap investasi asing dan keterlibatan sektor
swasta.
Kontrak Karya antara Freeport dengan pemerintah pertama kali disepakati pada 7 April 1967
dengan menggunakan paying hukum Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan
Pokok Pertambangan dan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA). Pasal 8 UU No. 1/1967 menyatakan bahwa kegiatan PMA di bidang pertambang
dilakukan dengan bentuk kontrak karta atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Hal ini ditegaskan kembali di Pasal 10 UU No. 11/1967 yang
menyatakan bahwa dalam mengusahakan kegiatan pertambangan, pemerintah dapat menunjuk
pihak lain sebagai kontraktor untuk mengadakan perjanjian kontrak karya. Pilihan untuk
menggunakan kontrak karya dilakukan karena pada saat itu belum ada bentuk baku perjanjian
kerjasama pengusahaan tambang, sehingga dipilih model yang serupa dengan kontrak bagi
hasil pada investasi asing dalam kegiatan pertambangan minyak bumi. Sebagai hubungan
kontraktual antara kedua belah pihak, Kontrak Karya merupakan hukum yang mengikat baik
bagi pemerintah Indonesia maupun bagi Freeport dan atasnya berlaku asas kesucian kontrak
(pacta sun servanda).
Pasal 21 dalam Kontrak Karya ini memastikan bahwa semua sengketa yang timbul akibat
pelanggaran isi kontrak dalam hubungan kontratual ini akan dibawa ke mekanisme sengketa
arbitrase internasional (UNCITRAL) berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan
dilakukan setelah menempuh proses konsutasi dan negosiasi untuk menemukan jalan keluar.
Hal ini merupakan konsekuensi langsung atas bentuk hubungan anatara pemerintah dan
Freeport yang mengikatkan diri dalam hubungan keperdataan. Negara, yang diwakili
pemerintah, dianggap memiliki kedudukan hukum yang setara dengan sebuah badan usaha
sehingga segara perubahan berkenaan dengan pengaturan kegiatan Freeport tidak dapat
dilakukan secara sepihak oleh Negara selaku penguasa publik. Hal ini jelas membatasi
pelaksanaan fungsi negara dalam melakukan penguasaan atas sumber daya alam sesuai dengan
mandat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral dan Batu Bara
meluruskan kekeliruan ini dengan mengembalikan fungsi negara sebagai penguasa publik atas
sumber daya alam -bukan sebagai penguasa privat yang dapat melakukan hubungan konraktual
dengan pihak ketiga, yang ditandai dengan mandat penyesuaian semua rezim kontrak dalam
kegiatan pertambangan (kontrak karya dan perjanjian karya penguasaan batu bara) menjadi
rezin perizinan. Dengan demikian UU No. 4/2009 menginginkan perubahan pengaturan dari
hukum keperdataan menjadi hukum administrasi negara dalam relasi antara negara dengan
investor yang mengusahakan kegiatan pertambangan. Berkenaan dengan hal ini, Pasal 169 UU
No. 4/2009 menyatakan bahwa semua kegiatan pertambangan yang dilakukan dalam kerangka
rezim kontrak yang telah ada saat undang-undang ini dibuat tetap dinyatakan berlaku sampai
berakhirnya periode kontrak dengan kewajiban melakukan penyesuaian isi kontrak dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang paling lambat 1 tahun sejak berlakunya undangundang No. 4/2009. Jika dipahami secara utuh, ketentuan dalam undang-undang ini
menghendaki kegiatan pertambangan dengan alas hak berupa kontrak karya (atau PKP2B)
diubah menjadi IUP (Izin Usaha Pertambangan) Khusus dan dilaksanakan di wilayah yang
telah ditetapkan oleh menteri sebagai WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus)
Perubahan signifikan dari perubahan rezim kontrak menjadi rezim perizinan adalah
berubahnya pola relasi antara negara sebagai badan hukum dengan investor yang tidak lagi
setara dalam sebuah perjanjian melainkan menjadi pola relasi administratif dimana negara
memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh
penerima izin. Hal ini juga berdampak pada pilihan penyelesaian sengketa yang diselesaikan
melalui mekanisme peradilan tata usaha negara, bukan mekanisme arbitrase karena objek
sengketa adalah kebijakan/keputusan tata usaha negara yang dibuat oleh pemberi izin. Secara
fiskal, perubahan ini juga akan memaksa Freeport untuk menyesuaikan pengenaan sistem
perpajakan dengan ketentuan nasional yang berlaku bukan menggunakan pola pengenaan pajak
tetap yang disepakati saat kontrak dibuat.
Perubahan rezim kontrak menjadi rezim izin merupakan langkah yang dilakukan untuk
menjamin konstitusionalitas penyelenggaraan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan
Pasal 33 ayat (3). Selain mengembalikan kedudukan negara sebagai penguasa publik, UU No.
4/2009 juga memuat ketentuan lain yang didisain sebagai langkah negara untuk menjamin
penguasaan negara yang memastikan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat sesuai dengan
original intent dan penafsiran Mahkamah Konstitusi mengenai penerapan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.
Ketentuan penting yang diatur dalam UU No. 4/2009 dan menjadi pokok persoalan yang
dipermasalahkan Freeport karena dianggap mencederai kontrak mencakup: Pertama,
ketentuan mengenai larangan melakukan ekspor konsentrat disertai dan kewajiban pengelolaan
dan pemurnian dalam negeri sebagai upaya untuk hilirisasi industri pertambangan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 79-102,103, 104,124. Dalam konteks ini, UU No. 4/2009 memandatkan
kepada Freeport selaku pemegang Kontrak Karya untuk melakukan pemurnian di dalam negeri
dalam kurun waktu 5 tahun sejak diberlakukannya UU No. 4/2009 (Pasal 170). Jika dilihat dari
rumusan penormaannya, ketentuan ini bersifat imperatif, bersifat keharusan, dan tidak
membuka penafsiran lain selain yang tertulis dalam narasi teks. Meski demikian, pada
kenyataannya dalam konteks Freeport, pengecualian dapat diberikan di mana Freeport
mendapatkan kelonggaran perpanjangan tenggat waktu untuk melakukan pemurnian di dalam
negeri hingga 2 tahun dari berakhirnya tenggat yang diatur dalam undang-undang di tahun
2014.
Kedua, Adanya kewajiban untuk melakukan divestasi hingga mencapai 51% dalam jangka
waktu 5 tahun setelah beroperasinya kegiatan pertambangan75. Dengan ketentuan ini pemilikan
saham di badan usaha pemegang IUP dan IUPK dapat secara berangsur beralih dari pemilikan
asing ke pemilikan oleh negara (pemerintah atau pemerintah daerah), badan usaha milik negara
atau daerah, atau badan usaha swasta nasional. Ketiga, ketentuan mengenai pembatasan areal
konsesi pertambangan (mineral logam) yang dapat diberikan bagi pemegang IUPK yakni
maksimal seluas 100.000 hektare untuk tahap eksplorasi dan 25.000 hektar untuk tahap operasi
produksi.76 Keempat, ketentuan perpanjangan masa kegiatan pertambangan hanya diberikan
paling lama 20 tahun yang sebanyak dua kali masing-masing 10 tahun dan setelah habis masa
berlaku dan perpanjangannya areak konsesi harus dikembalikan ke pemerintah. Ketentuan ini
hanya dapat berlaku jika pemegang rezim kontrak telah mengubah alas hukumnya menjadi
IUPK.77 Kelima, adanya ketentuan untuk sebanyak mungkin menggunakan barang dan jasa
dari dalam negeri dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan. 78 Keenam, penyesuaian
pengenaan tarif penerimaan negara bukan pajak dari iuran produkis/royalti sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan terbaru. Dalam konteks Freeport, royalti yang harus
dibayarkan adalah 4 persen dari harga jual per ton untuk tembaga; 3,75 persen untuk emas; dan
3,25 persen unyuk perak.79 Keenam, selain kewajiban melakukan pembarana pajak dan
pembayaran bukan pajak berupa iuran-iuran, UU No. 4/2009 juga memuat kewajiban bagi
pemegang IUPK Operasi Produksi untuk melakukan pembayaran sebesar 4 persen kepada
Pemerintah dan 6 persen kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berporduksi.80
Menilik pada rumusan ketentuan-ketentuan ini di dalam UU No. 4 Tahun 2009, terlihat bahwa
semua ketentuan tersebut bertujuan untuk memberikan manfaat yang lebih besar bagi negara
dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh swasta atau asing. Selain
itu penormaan ketentuan-ketentuan tersebut bersifat imperatif atau keharusan. Dengan
demikian semua badan usaha penyelenggara kegiatan pertambangan, tidak terkecuali Freeport,
harus tunduk pada ketentuan ini. Di sisi lain pemerintah juga seharusnya bersungguh-sungguh
75
Pasal 79 dan 112 UU No. 4 Tahun 2009
Ibid., Pasal 83
77
Ibid., Pasal 83 Jo. Pasal 112 B PP No. 77 Tahun 2014
78
Ibid., Pasal 141
79
Ibid., Pasal 128, 131, 132 Jo. Lampiran 1 PP No. 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
80
Ibid., UU No. 4 Tahun 2009, Pasal 129.
76
dalam penerapan ketentuan-ketentuan ini. Pengecualian yang seolah terus menerus diberikan
kepada Freeport akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemerintah untuk melakukan
penataan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berorientasi pada sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pemberian “IUPK Sementara” kepada Freeport
adalah langkah mundur yang hanya dilandasi oleh pragmatisme yang mengabaikan semangat
penataan pengelolaan sumber daya alam berdasar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selain istilah
“IUPK Sementara” tidak dikenal dalam rezim perundang-undangan minerba yang berlaku saat
ini, bentuk “perizinan” ini tidak lain merupakan quasi-izin, izin semu yang “palsu” sebab sama
sekali tidak mengubah ketentuan dalam kontrak karya yang menjadi pokok permasalahan
konstitusionalitas penyelenggaraan kegiatan tambang dalam hubungan kontraktual
keperdataan. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh pemerintah, IUPK Sementara tidak lebih
dari sekedar alat negosiasi dengan Freeport yang mengancam akan menghentikan kegiatan
operasi, melakukan PHK massal hingga membawa polemik ini ke forum arbitrase
internasional. Secara tidak langsung hal ini menunjukan ketidakberdayaan pemerintah
dihadapan investor asing yang beroperasi di Indonesia.
Di sisi lain, kesungguhan pemerintah untuk menjalankan mandat konstitusional Pasal 33 ayat
(3) di sektor pertambangan sendiri patut dipertanyakan. Hal ini berkaitan dengan
diterbitkannya paket peraturan pelaksana UU No. 4/2009 di awal tahun 2017: Peraturan
Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara;
Peraturan Menteri ESDM No. 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral
Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri; Peraturan Menteri
ESDM No. 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Persyaratan dan Pemberian Rekomendasi
Pelaksanaan Penjualan Mineral Keluar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Secara
substantif materi muatan ketiga peraturan ini bertentangan dengan UU No. 4/2009, dan secara
prosedural terdapat potensi pelanggaran administrasi dalam penyusunan peraturan perundangundangan sebab ketiga peraturan yang sifatnya hirarkis ini dibuat di hari yang sama. Hal ini
dapat mengindikasikan peraturan menteri yang disusun tidak sepenuhnya dibuat berdasarkan
peraturan pemerintah yang menjadi acuannya serta secra tidak langsung memastikan tidak
adanya prosedur partisipasi publik dalam penyusunannya.
Ketentuan pokok dalam UU No. 4/2009 dibuat dalam penormaan yang bersifat imperatif bukan
opsional. Sehingga semestinya tidak ada penafsiran lain dalam penerapannya. Akan tetapi hal
ini tidak tampak dalam tiga peraturan organik sebagai peraturan pelaksanaannya yang disahkan
di awal tahun 2017 ini dan cenderung menunjukan kontradiksi satu dengan lainnya.
Kontradiski itu dapat dilihat atara lain: Pertama, terbukanya peluang bagi pemegang IUP
Operasi Produksi (IUP OP) untuk melakukan ekspor tanpa harus melakukan pemurnian di
dalam negeri sebagaimana diatur di Pasal 112C angka 4 PP No. 1/2007. Hal ini bertentangan
dengan Pasal 102-103 UU No.4/2009 yang secara tegas mencantumkan kewajiban melakukan
kegiatan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Kedua, adanya
peluang untuk melakukan ekspor bagi pemegang IUP OP, IUPK OP, dan IUP OP khusus
pengolahan dan/atau pemurnian setelah terpenuhinya batas minimum kuota pemanfaatan
mineral logam dari hasil penambangan dalam negeri sebagai bagian dari kegiatan pengolahan
dan/atau pemurnian sebagaimana di atur di Pasal 9 dan 10 ayat (2) dan (3) Permen ESDM No.
5/2017 dan Pasal 2 Permen ESDM No. 6/2017. Secara substantif ketentuan ini pada dasarnya
dapat dibenarkan, namun secara formal Pasal 103 ayat (3) dengan tegas menyatakan bahwa
pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini akan diatur dengan peraturan pemerintah. Dengan
demikian kedua peraturan menteri tersebut mengatur materi muatan yang seharusnya diatur
dalam bentuk peraturan pemerintah sebagaimana dimandatkan oleh peraturan yang menjadi
dasar hukum/rujukannya. Hal ini juga menunjukan penyusunan kedua peraturan ini telah
melanggar ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undang.
Ketiga, Pasal 17 angka 2 Permen ESDM No. 5 Tahun 2017 membuka ruang penafsiran bahwa
pemegang kontrak karya dapat serta merta mengajukan perubahan bentuk pengusahaan
pertambangannya menjadai IUPK Operasi Produksi sebagai bagian dari prasyarat untuk
mendapatkan izin ekspor ke luar negeri. Hal ini bertentangan dengan ketentuan mengenai
prosedur untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagaimana diatur di Pasal 27-33, Pasal
74, dan Pasal 83 UU No. 4/2009. Ketetuan tersebut mensyaratkan bahwa IUPK hanya bisa
diberikan di kawasan yang telah ditetapkan sebagai WIUPK (Wilayah Izin Usaha
Pertambangan Khusus) yang merupakan bagian dari WUPK (Wilayah Usaha Pertambangan
Khusus). Keberadaan WUPK sendiri amat bergantung dari penetapan Wilayah Pencadangan
Negara (WPN) yang dalam prosesnya harus mendapatkan peretujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memeprtimbangkan aspirasi daerah.
Semangat utama yang dibawa oleh UU No. 4/2009 adalah pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kerangka ini, regulasi
tersebut mendorong perubahan rezim kontrak menuju rezim perizinan dan upaya hilirisasi
industri tambang yang memberikan nilai lebih dan manfaat lebih besar bagi masyarakat melalui
kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri serta
penerapan larangan ekspor konsentrat. Semangat yang sama juga dapat dilihat dalam arah
politik dan kebijakan anggaran pemerintah sebagaimana tercantum dalam Nota Keuangan
RAPBN 2017 yang mencantumkan kebijakan hilirisasi industri mineral tambang melalui
proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah 81 serta
kebijakan untuk melakukan percepatan amandemen kontrak karya dan PKP2B sebagai salah
satu kebijakan yang ditempuh untuk meningkatan penerimaan negara SDA Non-Migas yang
ditagretkan mencapai Rp. 23.195,9 miliar atau meningkat sebesar 6,2 persen dari target APBN
tahun 2016.82 Oleh karena itu, sudah semestinya pemerintah konsisten menjalankan mandat
UU No. 4/2009 untuk menjamin konstitusionalitas penyelenggaraan kegiatan pertambangan.
Keengganan Freeport untuk tunduk pada upaya penataan kegiatan pertambangan yang
menempatkan kepentingan nasional diatas kepentingan investor ini hendaknya tidak menjadi
momok untuk melakukan penataan kegiatan tambang sesuai dengan arahan Pasal 33 ayat (3).
Jika menjadikan asas kesucian kontrak sebagai alasan, perlu diperhatikan bahwa keabsahan
suatu perjanjian hanya berlaku selama isinya tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan
kepatutan.83 Jika pada akhirnya polemik ini dibawa ke forum abitrase internasional, perlu
diperhatikan pula bahwa Freeport pun telah melakukan pelanggaran kesepakatan Kontrak
Karya II yang memandatkan divestasi saham sebesar 51 persen, namun pada kenyataannya
Freeport menegosiasikan penurunan kewajiban divestasi menjadi 30 persen pada tahun 2014.
Selain itu jika menilik pada rumusan Kontrak Karya, disebutkan bahwa yurisdiksi forum
arbitrase tidak berlaku secara unilateral artinya hanya berlaku ketika kedua belah pihak telah
81
Republik Indonesia, Nota Keuangan dan RAPBN 2017, Hal. 58
Republik Indonesia, Nota Keuangan dan RAPBN 2017, Hal. 81
83
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pasal 1338
82
sama-sama menyepakati dibawanya sebuah sengketa untuk diselesaikan di forum abitrase yang
dimaksud.84 Dengan memperhatikan posisi, kedudukan, dan legitimasi konstitusional dan
yuridis pemerintah untuk mendorong penataan pengelolaan kegiatan pertambangan,
pemerintah seharusnya tidak gentar dengan ancaman Freeport perihal sengketa di forum
arbitrase internasional. Sebagaimana akan dijelaskan di bagian berikutnya, terdapat preseden
dan argumentasi hukum yang dapat digunakan untuk memeperkuat pemenuhan dan
penghormatan atas kepentingan nasional dalam relasi antara investor asing dengan negara.
Ketidakberdayaan negara dalam menunjukan superioritasnya dalam sengketa ini dapat menjadi
preseden buruk bagi penataan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang yang dilakukan
oleh investor asing yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di masa
yang akan datang.
III.
Tinjauan Hukum Investasi Internasional
Polemik antara pemerintah dengan Freeport seiring dengan upaya pemerintah untuk melakukan
penataan penyelenggaraan kegiatan pertambangan merepresentasikan hubungan yang kerap
kali bersifat dialektis antara kepentingan nasional dari negara penerima investasi (host States)
dengan kepentingan investor asing, baik itu yang berbentuk perusahaan swasta maupun
perusahaan asing yang dimiliki oleh negara (State owned companies), maupun dengan negara
asal investor asing tersebut. Hukum investasi internasional sebagai salah satu disiplin dalam
ilmu hukum internasional berusaha menjembatani hubungan dialektis tersebut dengan
mengupayakan sebuah kerangka aturan tentang investasi asing yang dapat diterima oleh semua
pihak.
Dalam kurun 65 tahun terakhir berbagai upaya, baik dalam kerangka PBB ataupun melalui
mekanisme multilateral lainnya, telah dilakukan untuk mengkodifikasi dan mengembangkan
kerangka aturan dalam hubungan investasi internasional.85 Namun sampai saat ini belum ada
satu perjanjian internasional yang secara komprehensif berhasil dicapai. Hal ini berbeda
misalnya dengan areal lain dalam hukum internasional seperti hukum laut, hukum lingkungan
dan hak asasia manusia yang telah memiliki perangkat aturan internasional dan body of
knowledge yang kokoh.
Hukum investasi internasional karenanya masih mengacu pada hukum kebiasaan internasional
(customary international law), yurisprudensi dari peradilan internasional dan tribunal,
perjanjian-perjanjian investasi bilateral, dan berbagai insrumen soft law yang dikembangkan
dalam kerangka PBB atau organisasi-organisasi di bawahnya.86 Bagian ini akan mengelaborasi
perkembangan hukum investasi internasional sebagai rujuan untuk menganalisis sejauh mana
kepentingan nasional dapat diakomodasi dalam relasinya dengan investor asing. Telaah ini
akan mengulas beberapa doktrin dan perangkat hukum yang tersedia yang dapat menjadi basis
argumentasi pemerintah dalam melakukan penataan hubungan dengan investor asing, tidak
terkecuali dalam kegiatan pertambangan dengan Freeport.
84
Pasal 21 Kontrak Karya Freeport dan Pemerintah Republik Indonesia
Evans, “International Law.”Hal. 727
86
Dolszer, Schreur 2012
85
1. Perkembangan hukum investasi internasional
Perkembangan sejarah peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari hubungan perdagangan
antar bangsa. Interaksi manusia dari berbagai latar belakang budaya dan peradaban tersebut
melahirkan perlunya pengaturan mengenai aktivitas perekonomian yang dapat diterima oleh
semua pihak yang terlibat di dalamnya. Hukum investasi internasional berkembang sebagai
konsekuensi dari meningkatnya hubungan perdagangan dan kegiatan usaha antar bangsa
tersebut. Oleh karena itu, hukum investasi internasional juga kerap disebut sebagai salah satu
cabang ilmu hukum tertua. Selain itu, sifat alami hubungan ekonomi antar bangsa yang
melibatkan manusia dari beragam negara yang memiliki sistem, karakteristik, dan budaya
hukum yang berbeda juga menjadikan disiplin ini sebagai salah satu disiplin ilmu hukum yang
paling kompleks. Di dalamnya terdapat dimensi hukum publik selain hukum perdata, sebab
aktivitas usaha lintas batas teritorial akan bersinggungan pula dengan aspek kedaulatan sebuah
bangsa, dalam hal ini kedaulatan hukum, politik, dan ekonomi saat berhadapan dengan entitas
asing yang melakukan aktivitas usaha di wilayah yurisdiksinya. Dalam konteks ini berkembang
pandangan yang menanggap negara berdaulat memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur
entitas usaha asing yang beroperasi di wilayahnya. Di sisi lain, terdapat pula pandangan yang
memandang bahwa aktivitas perekonomian yang melibatkan subjek hukum lintas bangsa
hendaknya tidak dibatasi oleh kerangka hukum lokal, melainkan oleh standar minimum yang
diakui secara internasional. Perkembangan hukum investasi internasional karenanya
merupakan pendulum dari dua titik ekstrem ini: kepentingan nasional dari negara penerima
investasi (host States) versus kepentingan investor asing dan negara asal investor tersebut.
a. Kontestasi antara kepentingan nasional dengan standar minimum internasional
Pada periode awal perkembangan hukum investasi internasional, gagasan pokok tentang
kerangka hukum atas hubungan usaha lintas batas teritorial adalah asas personalitas yang
memandang bahwa sistem hukum mengikuti ke mana pun seseorang pergi, termasuk ke
wilayah di luar batas teritorial negara asalnya. Oleh karena itu para pedagang lintas bangsa
dianggap hanya tunduk kepada sistem hukum dari negara asal mereka masing-masing ketika
terjadi persoalan hukum yang melibatkan mereka. Seiring dengan kompleksitas hubungan
perdagangan antar bangsa yang berkelindan dengan dominasi politik lewat kolonialisme,
gagasan ini kemudian berkembang menjadi pandangan yang melihat bahwa terdapat sistem
hukum yang lebih superior ketimbang yang lainnya. Oleh karena itu pada awal
perkembangannya di negara-negara koloni di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, hukum
investasi internasional hanya memihak entitas usaha asing yang dianggap berhak mendapatkan
perlakuan berbeda dan lebih menguntungkan ketimbang entitas usaha lokal. Seiring dengan
perkembangan negara bangsa modern, pandangan ini berimplikasi pada keyakinan bahwa
negara tidak boleh melakukan tindakan pengambilalihan (expropriation) dan nasionalisasi atas
asest-aset usaha yang dimiliki oleh entitas asing di negaranya.
Pandangan ini mendapatkan penolakan pada mulanya di Amerika Latin sebagai wilayah yang
pertama kali berhasil lepas dari cengkeraman kolonialisme. Negara-negara Amerika Latin
menggunakan doktrin tentang kedaulatan di mana negara berdaulat memiliki kekuasaan penuh
untuk menerapkan sistem hukum kepada semua orang yang ada dalam wilayah yurisdiksinya,
termasuk kepada entitas usaha asing yang melakukan kegiatan usaha di negara mereka. Hal
ini diafirmasi secara tegas di Article 9 of the Convention on the Rights and Duties of States,
yang disahkan pada pertemuan ketujuh konferensi Pan-Amerika:
The jurisdiction of states within the limits of national territory applies to all inhabitants.
National and foreigners are under the same protection of law and the national
authorities and the foreigners may not claim rights other or more extensive than those
of the nationals.
Hal yang diinisiasi oleh negara-negara Amerika Latin di awal abad ke-20 ini dikenal sebagai
national treatment dalam hukum investasi internasional yang menekankan pada kesetaraan
perlakuan terhadap pelaku usaha di sebuah negara baik itu entitas usaha lokal maupun asing.
Negara tidak berkewajiban memberikan perlakukan berbeda dan perlindungan yang lebih besar
kepada investor asing ketimbang entitas usaha lokal di negara tersebut, dan hal ini tidak dapat
serta merta menjadi argumen untuk menganggap negara tersebut telah melanggar ketentuan
hukum internasional. Pandangan tentang kesetaraan perlakuan ini berbasis pada pijakan bahwa
banyak negara-negara yang baru meraih kemerdekaannya belum memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi dan sistem hukum yang memadai untuk memberikan perlakuan dan
memberikan standar yang lebih tinggi kepada investor asing yang berusaha di wilayahnya.
Konsekuensi dari doktrin national treatment adalah adanya hak melekat yang dimiliki negara
untuk melakukan pengambilalihan (right to expropriate) aset-aset yang dimiliki oleh entitas
usaha asing dengan kompensasi sebagai wujud penerapan asas kedaulatan negara.
Pandangan yang mendukung national treatment disokong oleh Doktrin Calvo, yang
dikembangkan oleh Carlos Calvo seorang jurist terkemuka berkebangsaan Argentina yang
memformulasikan gagasan tentang kedaulatan ekonomi negara dan relasinya dengan perlakuan
terhadap investor asing:
It is certain that aliens who establish themselves in a country have the same right to
protection as nationals, but they ought not to lay claims to a protection more extended.
If they suffer any wrong, they ought to count on the government of the country
prosecuting the delinquents, and not claim from the state to which the authors of the
violence belong any pecuniary indemnity…The rule that in more than one case in has
been attempted to impose on American states is that foreigners merit more regard and
privileges more marked and extended than those accorded even to the nationals of
the country where they reside. The principle is intrinsically contrary to the law of
equality of nations.
Doktrin Calvo pada dasarnya menekankan pada kedaulatan teritorial yang berimplikasi pada
prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) baik itu warga negara maupun
asing, penundukan diri warga negara asing dan properti yang adalah dalam penguasaan mereka
kepada rezim hukum yang berlaku di negara mereka tinggal atau berinvestasi, dan larangan
yang tegas atas intervensi pemerintahan dari negara asing mana pun, khususnya dari negara
asal warga negara asing yang berinvestasi di negara tersebut, untuk campur tangan dalam
sengketa yang melibatkan warga negara asing tersebut dan properti yang ada dalam penguasaan
mereka. Berkenaan dengan sengketa investasi, Doktrin Calvo menghendaki agar semua
permasalahan hukum yang muncul diselesaikan di lembaga dan mekanisme peradilan yang
tersedia di negara tersebut. Superioritas atas sistem hukum nasional merupakan konsekuensi
logis dari penerapan Doktrin Calvo yang menitikberatkan pada kedaulatan negara. Dari sudut
pandang ini, Doktrin Calvo memberikan legitimasi penguasaan negara atas tanah dan sumber
daya alam yang berada di teritorialnya, dan tidak ada entitas asing mana pun yang dapat secara
permanen memiliki atau mengusahakannya.
Negara-negara Barat yang aset-aset milik warganya di ambil alih sebagai konsekuensi dari
berkembangnya gagasan kedaulatan negara, national treatment, serta Doktrin Calvo
memberikan reaksi balik dengan menyatakan bahwa seharusnya semua bentuk
pengambilalihan aset dan nasionalisasi dilakukan dengan syarat yang ketat sesuai dengan
kaidah hukum internasional dan terutama dilakukan dengan memberikan kompensasi yang
segera diberikan, adil, dan efektif. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang memprotes
keras tindakan pengambilalihan lahan milik warga negaranya yang dilakukan oleh Mexico
menyusul revolusi agraria yang terjadi di awal abad ke-20. Sebuah komisi beranggotakan
pihak-pihak dari kedua negara dibentuk pada tahun 1927 untuk menyelesaikan klaim investor
asal Amerika yang asetnya diambil oleh Mexico. Upaya ini tidak menghasilkan hasil yang
diharapkan sampai pada tahun 1938 saat Amerika Serikat mengambil langkah diplomatik yang
lebih tegas dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Cordell Hull yang memberikan pandangan
resmi Amerika tentang kompensasi berkaitan dengan nasionalisasi dan pengambilalihan aset
yang pada intinya menyatakan bahwa pengambilalihan properti (milik warga negara asing di
sebuah negara) tanpa memberikan kompensasi bukanlah pengambilalihan (expropriation)
melainkan tindakan perampasan (confiscation).
Hull berpandangan bahwa jika sebuah negara diberikan hak untuk melakukan pengambilalihan
aset milik warga asing yang berada di negara tersebut hanya dengan menggunakan penilaian
dan pertimbangan kondisi perekonomian yang diafirmasi dalam produk legislasi yang mereka
hasilkan, maka jaminan konstitusional yang tercantum dalam konstitusi dan rezim hukum
internasional yang memberikan perlindungan hak kepada semua orang (termasuk di antaranya
hak milik) akan menjadi ilusif. Hal tersebut akan mendorong negara untuk melakukan
pengambilalihan aset milik warga asing tanpa memperhatikan kemampuan dan kesediaan
mereka untuk membayarkan kompensasi. Lebih lanjut Hull menyatakan bahwa tindakan ini
dapat dibenarkan dan merupakan urusan domestik jika diberlakukan hanya kepada warga
negara tersebut, namun jika diberlakukan kepada warga asing (dalam konteks ini Amerika
Serikat) hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Tindakan tersebut menurut Hull hanya bisa
dilakukan dengan memberikan kompensasi dan memperhatikan prinsip-prinsip yang diakui
secara universal dalam hukum internasional yang tidak bisa dinegasikan oleh hukum nasional.
Pandangan Hull ditolak oleh Menteri Luar Negeri Mexico yang menyatakan bahwa tidak ada
aturan dalam hukum internasional yang secara universal diterima baik dalam teori maupun
praktik. Selain itu tindakan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk melakukan redistribusi
lahan dalam rangka reforma agraria yang berorientasi pada tercapainya keadilan sosial. Hull
membalas pandangan ini dengan memberikan interpretasinya tentang status investasi asing
dalam hukum internasional sebagai berikut:
The Government of the United States merely adverts to a self-evident fact when it notes
that the applicable precedents and recognised authorities on international law supports
its declaration that, under every rule of law and equity, no government is entitled to
expropriate private property, for whatever purpose, without provision for prompt,
adequate and effective payment thereof. In addition, clauses appearing in the
constitution of almost all nations today, and in particular in the constitution of the
American republics, embody the principle of just compensation. These, in themselves,
are declaratory of the like principles in the law of nations.
Hal terpenting dalam pandangan Hull terkait dengan nasionalisasi dan pengambilalihan aset
milik asing adalah pada adanya kompensasi yang diberikan, memenuhi rasa keadilan, dan
dilaksanakan secara efektif. Selain itu semua tindakan tersebut hanya boleh dilakukan dengan
mengacu kepada prinsip umum yang diterima secara universal dalam hukum internasional.
Meskipun upaya diplomatik untuk menyelesaikan sengketa antara Amerika Serikat dan Mexico
ini tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan, gagasan Hull yang kelak dalam hukum investasi
internasional dikenal sebagai Hull Formula ini membuka diskursus mengenai perlakuan
kepada investor asing menggunakan standar minimum internasional yang diambil dari prinsipprinsip umum hukum internasional.
Meskipun gagasan National Treatment dan Doktrin Calvo yang berpihak pada kepentingan
nasional diakui sebagai praktik yang dapat diterima dalam hukum internasional, perlu
diperhatikan bahwa semua aktivitas pengambilalihan aset dan nasionalisasi hanya dapat
dilakukan dengan memberikan kompensasi. Selain itu jika hukum nasional dianggap belum
berkembang dengan baik atau tidak mampu mencapai standar keadilan dan kesetaraan, maka
perlakuan kepada investor asing harus mengacu kepada standar minimum internasional
(international minimum standard). Gagasan ini berkembang sebagai anti-tesis dari konsep
national treatment yang dianggap tidak menjamin hak investor asing. Asumsi dasar dari
gagasan ini adalah bahwa standar minimal perlakuan terhadap investor asing dapat diambil dari
hukum internasional dan negara seharusnya mengadopsi prinsip-prinsip tersebut ke dalam
sistem hukum nasional mereka. Elihu Root, jurist dan pengacara internasional terkemuka
berkebangsaan Amerika berpandangan mengenai hal tersebut:
If any country’s system of law does not conform to that standard, although the people
of the country may content or compelled to live under it, no other country can be
compelled to accept it as furnishing a satisfactory measure of treatment to its citizens.
Pandangan ini dipertegas oleh Schwarzenberger, jurist berkebangsaan Inggris yang
menyatakan:
The national standard cannot be used as a means of evading international obligations
under the minimum standard of international law. Even if the standard of national
treatment is laid down in a treaty, the presumption is that it has been the intention of
the parties to secure to their nationals in this manner additional advantages, but not to
deprive them of such rights as, in any case, they would be entitled to enjoy under
international customary law or the general principles of law recognized by civilized
nations.
Keharusan untuk memberikan jaminan perlindungan kepada entitas usaha asing dalam aktivitas
investasi dipertegas oleh Mahkamah Internasional (the International Court of Justice) di tahun
1970 dalam sengketa (contentious case) antara Belgia dan Spanyol atau yang lebih dikenal
dengan Barcelona Traction case:
When a state admits into its territory foreign investment or foreign nationals, whether
natural or juristic persons, it is bound to extend to them the protection of the law and
assumes obligations concerning the treatment to be afforded to them.
Berbagai pandangan tersebut menjadikan standar minimum internasional -sebagai acuan
perlakuan kepada investor asing, sebagai topik yang banyak diperbincangkan dalam kaitannya
dengan kodifikasi hukum investasi internasional. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya untuk
mendefinisikan standar minimum internasional tersebut dilakukan dengan menggali prinsipprinsip umum tentang keadilan dan kesetaraan dalam hukum internasional, praktik yang
dilakukan oleh negara-negara dalam perlakuannya terhadap investor asing, dan aturan hukum
berkaitan dengan hak asasi manusia yang sudah ada baik itu berupa konvensi tertulis maupun
hukum kebiasaan internasional (customary international law). Keterkaitan antara hak asasi
manusia dengan standar minimum perlakukan terhadap investasi asing dapat dipahami dalam
konteks perkembangan prinsip hak asasi manusia internasional yang memberikan jaminan bagi
semua individu, baik itu natural person (orang) maupun juridical person (badan hukum), untuk
memperoleh pemenuhan hak asasi manusia yang paling mendasar salah satunya berupa hak
milik (property rights). Dalam konteks berbeda, prinsip-prinsip hak asasi manusia juga
memiliki keterkaitan dengan investasi asing khususnya dalam hubungan antara dampak
aktivitas bisnis dengan pemenuhan hak asasi manusia.
b. Kerangka pengaturan investasi asing oleh PBB
Mencermati sejarah perkembangan hukum investasi internasional, terlihat adanya antinomi
atau pertentangan nilai yang merepresentasikan polarisasi kepentingan antara negara-negara
maju (investor-state) dengan negara-negara berkembang (host states). Hal ini pula yang terjadi
saat PBB melakukan upaya kodifikasi pengaturan investasi asing dalam aturan internasional
yang disepakati bersama. Negara-negara asal investor berpegang pada keharusan kedua belah
pihak (investor dan negara penerima investasi) untuk menghormati kontrak investasi yang telah
ada sesuai dengan asas kesucian kontrak (pacta sunt servanda). Sementara itu di sisi lain,
negara penerima investasi yang didorong oleh semangat anti kolonialisme menghendaki
adanya pembaruan penataan pengelolaan sumber-sumber perekonomian mereka dengan
menerbitkan legislasi dan kebijakan baru yang secara prinsip dapat mencederai kesepakatan
yang telah dibuat sebelumnya dengan investor. Kontestasi dua kepentingan ini melatari
lahirnya beberapa resolusi Majelis Umum (General Assembly) sebagai forum tertinggi dalam
organisasi PBB yang menyinggung perihal hubungan investasi asing dan kedaulatan negara
penerima investasi:
i)
ii)
iii)
iv)
Resolution 1803 (XVII) on the Permanent Sovereignty of States over Their Natural
Resources (PSNR), pada 14 Desember 1962;
Resolution 3201 (S-VI) on the Declaration on the Establishment of a New
International Economic Order;
Resolution 3202 (S-VI) on Programme of Action on the Implementation of the
Declaration, keduanya pada 1 Mei 1974, dan;
Resolution 3281 (XXIX) on Charter of Economic Rights and Duties of States, pada
12 Desember 1974.
Resolusi 1803 tentang PSNR merupakan salah satu terobosan terpenting yang dapat
menemukan titik temu antara kepentingan negara investor dan negara penerima investasi.
Formulasi resolusi ini tidak mengikuti Doktrin Calvo maupun Hull Formula, melainkan
mencari jalan tengah yang mengafirmasi kepentingan kedua belah pihak sebagaimana dapat
dilihat dalam pokok pengaturannya. Pertama, resolusi ini menegaskan bahwa kedaulatan atas
sumber daya alam dan sumber kekayaan lain di sebuah negara merupakan hak yang dimiliki
oleh negara dan orang-orang yang berada di dalamnya (the right of peoples and nations).
Pemenuhan hak tersebut hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan
pembangunan nasional dan kesejahteraan dari orang-orang yang ada di negara tersebut.
Kedua, segala aktivitas eksplorasi, eksploitasi atau bentuk pengusahaan lainnya atas sumbersumber kemakmuran dan sumber daya alam di sebuah negara serta investasi asing yang
dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan pengusahaan tersebut harus sejalan dengan aturan
dan prasyarat-prasyarat yang dirasakan perlu oleh negara dan orang-orang yang ada di
dalamnya. Hal ini memberikan kewenangan kepada negara untuk memberikan otorisasi,
pembatasan, atau bahkan larangan atas dilakukannya aktivitas pengusahaan tersebut. Ketiga,
dalam hal negara memberikan otorisasi (izin) atas dilakukannya pengusahaan sumber daya
alam oleh investor asing, kesepakatan mengenai pembagian keuntungan yang didapat dari
kegiatan tersebut harus diatur berdasarkan peraturan nasional yang berlaku dan hukum
internasional. Kesepakatan mengenai pembagian keuntungan harus diakukan dengan penuh
kehati-hatian sedemikian sehingga tidak melanggar prinsip kedaulatan negara atas sumber daya
alam.
Keempat, tindakan nasionalisasi, pengambilalihan aset (expropriation), ataupun permintaan
dari negara penerima investasi untuk melakukan penyesuaian (requisitioning) atas kegiatan
usaha yang dilakukan oleh investor asing hanya boleh dilakukan atas dasar: i) kepentingan
publik; ii) keamanan; iii) dan kepentingan nasional yang secara nyata dapat dibuktikan dan
bukan kepentingan individual/privat baik itu asing ataupun domestik. Jika tindakan-tindakan
tersebut dilakukan maka kompensasi yang wajar (appropriate)87 harus diberikan dan tindakan
tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku yang tidak melanggar
kaidah umum hukum internasional. Jika muncul sengketa yang diakibatkan dari tindakan ini,
maka atas dasar kesepakatan kedua belah pihak penyelesaian sengketa dilakukan melalui
mekanisme adjudikasi atau arbitrase internasional.88
Meski Resolusi 1803 dianggap lebih berpihak kepada kepentingan negara-negara berkembang
(penerima investasi), relatif tidak ada penolakan berarti dalam proses tercapainya resolusi ini.
Lebih dari itu dalam beberapa putusan adjudikasi dan arbitrase internasional, prinsip-prinsip
dalam resolusi ini salah satunya yang dapat dilihat pada kasus Texaco v Libya dimana arbiter
menyatakan bahwa resolusi 1803 merefleksikan hukum kebiasaan internasional: “On the basis
of the circumstances of adoption mentioned above and by expressing an opinion juris
communis, resolution 1803 (XVII) seems to this tribunal to reflect the state of customary
international law existing in this field.”89
87
Bandingkan dengan rumusan Hull Formula yang menyatakan bahwa kompensasi harus diberikan seketika
(prompt), cukup (adequate), dan efektif.
88
Bandingkan dengan Doktrin Calvo yang menghendaki supremasi hukum nasional termasuk dalam hal
mekanisme penyelesaian sengketa yang diharuskan dilakukan oleh lembaga peradilan nasional sebagai
implementasi asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) dan national treatment.
89
Texaco Overseas Petroleum et.al v Libya, 53 I.L.R 389. Sengketa ini bermula dari tindakan nasionalisasi yang
dilakukan oleh pemerintah Libya atas aset dan properti yang dimiliki oleh Texaco yang mendapatkan hak untuk
melakukan kegiatan usaha pertambangan minyak berdasarkan kontrak yang diberikan tahun 1973 dan 1974.
Kompensasi yang seharusnya diberikan oleh Pemerintah Libya berdasarkan undang-undang nasionalisasi yang
mereka buat tidak dilaksanakan, dengan dasar itu Texaco membawa sengketa ini ke mekanisme arbitrase
internasional. Arbiter Rene-Jean Dupuy mengafirmasi bahwa Libya telah melakukan pelanggaran atas kontrak
dan diharuskan untuk memberikan kompensasi. Disisi lain arbiter juga mengulas kedudukan hukum resolusiresolusi Majelis Umum PBB yang dijadikan landasan klaim oleh pemerintah Libya. Dalam putusannya, arbiter
mengakui bahwa Resolusi 1803 merefleksikan hukum kebiasaan internasional namun tidak memberikan
pandangan serupa untuk resolusi-resolusi lainnya.
Hal ini menjadi sangat signifikan mengingat resolusi Majelis Umum PBB dalam hukum
internasional merupakan soft law yang tidak mengikat (non-legally binding) dan tidak dapat
serta merta ditegakan (non-enforceable). Dengan memperoleh status sebagai customary
international law, prinsip-prinsip mengenai kedaulatan permanen negara atas sumber daya
alam telah menjadi sumber hukum internasional sesuai dengan Article 38 (1) dari statuta
International Court of Justice (ICJ) dan karenanya dapat diperlakukan sebagai hukum
selayaknya konvensi internasional yang memiliki kekuatan hukum mengikat.90 Dengan
demikian sebagai salah satu sumber hukum internasional, prinsip kedaulatan permanen negara
atas sumber daya alam dapat digunakan oleh negara untuk melakukan tindakan-tindakan yang
dirasa perlu dalam rangka pemenuhan prinsip-prinsip atau hak yang diatur di dalamnya. Lebih
dari itu, prinsip tersebut juga dapat digunakan sebagai klaim yang kuat saat negara tersebut
bersengketa dengan negara atau pihak lain di berbagai mekanisme penyelesaian sengketa
internasional.
Resolusi 1803 ditegaskan kembali dalam Resolusi 3201 tentang deklarasi New International
Economic Order (NIEO) yang menyatakan bahwa fondasi tatanan baru ekonomi internasional
salah satunya adanya pemenuhan secara utuh hak atas kedaulatan permanen negara atas sumber
daya alam:
In order to safeguard these resources, each state is entitled to exercise effective control
over them and their exploitation with means suitable to its own situation, including the
right to nationalization or transfer of ownership to its nationals, this right being an
expression of full permanent sovereignty of the state. No state may be subjected to
economic, political, or any type of coercion to prevent the free and full exercise of this
inalienable right.91
Dapat disimpulkan bahwa prinsip kedaulatan permanen negara atas sumber daya dalam
merupakan prasyarat dikehendaki untuk mewujudkan tata ekonomi dunia yang baru (enabling
condition). Beberapa sarjana bahkan berpendapat bahwa prinsip kedaulatan permanen negara
atas sumber daya alam telah diakui sebagai salah satu prinsip fundamental dalam hukum
internasional kontemporer. Negara-negara berkembang dan negara maju sama-sama
menggunakan ketentuan yang terangkum dalam prinsip tersebut di Resolusi 1803 untuk
melindungi kepentingannya masing-masing.92 Lebih dari itu, Resolusi 1803 juga telah
dianggap sebagai prinsip utama dalam hukum internasional yang dapat digunakan untuk
menyatakan ketidakberlakuan (invalidate) sebuah perjanjian investasi yang bertentangan
dengan prinsip kedaulatan permanen negara, untuk merestrukturisasi/menegosiasikan kembali
90
Statuta ICJ merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UN Charter. Semua negara anggota PBB secara
otomatis juga menerima dan menundukan diri pada statuta ICJ. Article 38 (1) merupakan bagian terpenting
dalam statuta ICJ yang oleh para sarjana disepakati sebagai sumber hukum internasional. Article 38 (1)
menyatakan bahwa dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, Mahkamah Internasional harus
merujuk kepada: a) international conventions whether general or particular, establishing rules expressly
recognized by the contesting states; b) international custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c) the general principles of law recognized by civilized nations; d) subject to the provision of Article 59, judicial
decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means
for the determination of law.
91
GA Res 3201 (S-VI), Article 4 (e)
92
A F M Maniruzzaman, “State Contracts with Aliens-The Question of Unilateral Change by the State in
Contemporary International Law’(1992) 9 J Int’l Arb 141. Hal. 160.
kesepakatan investasi berjalan, atau untuk mengembangkan bentuk baru dalam kesepakatan
investasi asing.93
c. Validitas Asas Kesucian Kontrak dalam Hukum Internasional Kontemporer
Lahirnya Resolusi 1803 tentang PSNR dan kontribusinya dalam pembentukan hukum investasi
internasional serta statusnya yang sudah diakui sebagai bagian dari customary international
law -atau bahkan mencapai status sebagai jus cogens94 seperti yang diyakini oleh beberapa
sarjana95, memunculkan kembali perdebatan mengenai asas kesucian kontrak dalam hubungan
kontraktual antara negara dan entitas swasta asing (investor). Hal ini menempatkan kedua
prinsip hukum internasional ini dalam posisi diametral yang saling menegasikan satu sama lain.
Perlu dicatat bahwa dalam konteks hukum internasional, asas pacta sun servanda memang
telah lama diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional.96 Hans Kelsen bahkan
menempatkan asas ini sebagai grundnorm dari keseluruhan sistem yang kelak dikenal sebagai
hukum internasional (the law of nations).97 Namun seiring dengan perkembangan hukum
internasional yang tidak hanya menempatkan negara sebagai subjek hukum internasional, asas
ini dianggap tidak lagi relevan terutama dalam kaitannya dengan hubungan kontraktual antara
dua entitas yang tidak setara: negara dan entitas individual/privat asing, dalam konteks ini
investor asing.
Terdapat polemik tajam dikalangan sarjana hukum internasional berkaitan dengan keberlakuan
asas kesucian kontrak antara negara dan investor asing. Di pihak yang beranggapan asas
tersebut tetap berlaku dalam hubungan kontraktual antara negara dan pihak swasta asing adalah
Prof. Hans Wehberg yang melakukan telaah atas orisinalitas asas kesucian kontrak:
We have described above the rule of Pacta sunt servanda as a general principle of law
that is found in all nations. It follows, therefore, that the principle is valid exactly in the
same manner, whether it is in respect of contracts between states or in respect of
contracts between states and private companies. Whether one regards, with Verdross,
the contracts of a state with a foreign company for the purpose of granting a concession
as being quasi-international law agreements, or whether one ascribes to them another
character, the principle of the sanctity of contracts must always be applied.
...the principle of sanctity of contracts is an essential condition of the life of any social
community. The life of the international community is based not only on relations
between states, but also, to an ever-increasing degree, on relations between states and
foreign corporations or foreign individuals. No economic relations between states and
foreign corporations can exist without the principle Pacta sunt servanda…The best
proof that the principle also applies in such a case is the following fact: it has long
been suggested that disputes between states and foreign companies (or foreign
individuals) should be submitted to international adjudication. Such a course would be
93
Ibid.
Jus Cogens atau Preemproty norm dalam hukum internasional adalah prinsip utama dan fundamental yang
tidak dapat dinegasikan atau dikurangi pemenuhannya dalam bentuk apapun. Lihat Ian Brownlie and Kathleen
Baker, Principles of Public International Law, vol. 1 (Clarendon Press Oxford, 1973).
95
Maniruzzaman, op.cit.,. Hal. 143,
96
Ibid., Hal. 141.
97
Hans Kelsen, Principles of International Law (The Lawbook Exchange, Ltd., 1952).Hal. 447.
94
meaningless if the principle Pacta sunt servanda were not applicable also to that kind
of relations98.
Wehberg beranggapan bahwa perkembangan ekonomi kontemporer telah menyebabkan pola
relasi internasional tidak terbatas pada hubungan antara negara yang memiliki kedudukan
setara, melainkan juga mencakup hubungan antara negara dan entitas privat asing. Dalam
pandangannya, untuk menjamin agar pola relasi tersebut berjalan dalam keadaban maka
penghormatan terhadap semua perjanjian yang muncul dari relasi tersebut harus dihormati dan
berlaku sama kuatnya seperti hubungan perjanjian yang dilakukan antara negara berdaulat. Hal
ini juga berkaitan dengan penyelesaian sengketa yang muncul dalam relasi tersebut, yang
menurutnya akan mustahil dijalankan jika asas kesucian kontrak dianggap tidak berlaku dalam
pola relasi ini.
Dalam pandangan yang bersebrangan, terdapat pula pandangan yang menanggap pendukung
asas kesucian kontrak telah gagal melihat perbedaan fundamental antara hubungan kontraktual
yang murni bersifat privat (antara individu) dengan hubungan kontraktual yang memiliki
dimensi publik didalamnya.99 Kelompok ini berargumen bahwa asas kesucian kontrak berakar
dari semangat individualisme laissez-faire abad ke-19 yang tidak lagi relevan dan kontekstual
dengan situasi kontemporer. Semangat individualisme ini merepresentasikan kebebasan
berkehendak (free will) dari para pihak yang mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian.100
Dalam alam pikir liberalisme dan kapitalisme abad ke-19 ini, kontrak menempati posisi yang
sangat penting untuk mewujudkan kepentingan setiap individu (individual self-interest) dan
karenanya campur tangan otoritas publik di dalamnya menjadi hal yang tabu.101 Dalam konteks
ini, institusi pengadilan juga mengafirmasi kebebasan setiap individu untuk membuat kontrak
(freedom of contract) dan kewajiban untuk melakukan penghormatan atasnya sebagai wujud
asas kesucian kontrak. Hal ini misalnya terlihat dalam pandangan Sir George Jessel MR dalam
Printing and Numerical Registration co v Sampson, kasus landmark berkaitan dengan asas
kesucian dan kebebasan berkontrak di pengadilan Inggris pada tahun 1875:
“...if there is one thing which more than another public policy requires it is that men of
full age and competent understanding shall have the utmost liberty of contracting, and
that their contracts when entered into freely and voluntarily shall be held sacred and
shall be enforced by courts of justice. Therefore, you have this paramount public policy
to consider—that you are not lightly to interfere with this freedom of contract.”102
Meski demikian, dalam kenyataannya asas kebebasan berkontrak kerap kali menjurus pada
tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak yang memiliki relasi kuasa lebih besar
dalam sebuah hubungan kontraktual.103 Hal ini misalnya terlihat dalam hubungan kontrak
antara pemilik pabrik dengan buruh di abad ke-19. Dalam konteks ini, gagasan tentang
kebebasan dan kesucian kontrak perlahan mulai ditinggalkan dengan diperkenalkannya
pendekatan intervensionis dalam hubungan kontraktual melalui intervensi kebijakan politik
dan legislatif oleh negara, terutama yang berkaitan dengan perlindungan terhadap pihak-pihak
yang lemah dalam hubungan keperdataan. Dalam konteks hubungan perburuhan misalnya, hal
ini dapat dipahami sebagai bergesernya hubungan kontrak antara buruh-majikan dari hubungan
Hans Wehberg, “Pacta Sunt Servanda,” The American Journal of International Law 53, no. 4 (1959). Hal.
786.
99
Maniruzzaman, “State Contracts with Aliens"., op.cit., Hal. 142
100
Samuel K B Asante, “Stability of Contractual Relations in the Transnational Investment Process,”
International and Comparative Law Quarterly, 1979., Hal. 401.
101
Ibid.
102
Printing and Numerical Registering Co. v. Sampson, L.R. (1875) 19 Eq 462, para. 465.
103
Maniruzzaman, “State Contracts with Aliens"., op,cit.
98
keperdataan biasa (yang didalamnya melekat asas kebebasan dan kesucian kontrak) menjadi
hubungan yang berdimensi publik. Dengan kata lain asas kesucian dan kebebasan berkontrak
hanya dihormati sepanjang kepentingan publik juga tidak dilanggar. Bersandar pada pemikiran
ini, pihak yang menolak universalitas asas kesucian kontrak berpandangan bahwa intervensi
negara untuk mengatur kontrak telah menjadi hal yang umum di negara-negara welfare state
dan hal tersebut dengan sendirinya telah menegasikan asas kesucian kontrak, sebagaimana
dikemukakan oleh Sornarajah (1986):
“The powers of the State have been used to regulate conditions of employment, to
prohibit restrictive business practices and to protect the consumer. The increasing
regulation of the market-place and the economy by the State has considerably eroded
the notion of sanctity of contracts. With such an accent on the role of the State in the
regulation of the economy, it is doubtful that the notion of sanctity of contracts can limit
a State in its own contractual dealings. In view of these developments the value of the
doctrine of sanctity of contracts as a general principle of law must be doubted.”104
Pandangan kelompok yang menolak universalitas asas kesucian kontrak semakin relevan
seiring dengan lahirnya Resolusi 1803 tentang PSNR, terutama dalam hubungan kontrak yang
berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.105 Selain itu, jika asas kesucian
kontrak atas hubungan kontraktual antara negara dengan entitas privat asing hendak
disetarakan selayaknya hubungan perjanjian antara negara-negara berdaulat seperti yang
dikemukakan oleh Wehberg, maka perlu diperhatikan bahwa hukum internasional juga
mengenal asas clausula rebus sic stantibus selain asas pacta sunct servanda. Asas ini
merupakan doktrin hukum internasional yang menyatakan bahwa sebuah perjanjian atau
kesepakatan di antara bangsa-bangsa dapat dinyatakan tidak berlaku (invalid) jika perubahan
situasi yang fundamental (fundamental changed circumstances) yang menyebabkan perjanjian
atau kesepakatan tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
dalam perjanjian internasional asas kesucian kontrak tidak dapat diberlakukan secara mutlak.
Oleh karena itu pemberlakuan asas ini dalam perjanjian atau hubungan kontraktual antara
sebuah negara dengan entitas privat asing juga menjadi sangat relevan. Asas ini telah lama
disepakati sebagai bagian dari customary international law yang kemudian diafirmasi di dalam
Article 62 Vienna Convention on the Law of Treaties:
Article 62
Fundamental Change of Circumstances
1. A fundamental change of circumstances which has occurred with regard to those
existing at the time of the conclusion of a treaty, and which was not foreseen by the
parties, may not be invoked as a ground for terminating or withdrawing from the treaty
unless:
a. The existence of those circumstances constituted an essential basis of the consent
of the parties to be bound by the treaty; and
b. The effect of the change is radically to transform the extent of obligations still to be
performed under the treaty
2. A fundamental change of circumstances may not be invoked as a ground for terminating
or withdrawing from a treaty:
104
Muthucumaraswamy Sornarajah, The Pursuit of Nationalized Property, vol. 8 (Martinus Nijhoff Publishers,
1986).Hal.110.
105
Maniruzzaman, op. cit., Hal. 143.
a. If the treaty establishes a boundary; or
b. If the fundamental change is the result of a breach by the party invoking it either of
an obligation under the treaty or of any international obligation owed to any other
party to the treaty
3. If, under the foregoing paragraphs, a party may invoke a fundamental change of
circumstances as a ground for terminating or withdrawing from a treaty it may also
invoke the change as a ground for suspending the operation of the treaty
Dalam konteks investasi internasional, telah terdapat beberapa preseden penggunaan asas
clausula rebus sic stantibus terutama karena terjadinya perubahan situasi (changed
circumstances) sebagai unsur pokok untuk mengklaim penerapan asas ini. Pertama, saat terjadi
kenaikan harga minyak dunia secara drastis di dekade 70-an yang menyebabkan negara-negara
penerima investasi (host countries) mendesak investor pemilik konsesi minyak di negaranya
menegosiasikan kembali kontrak mereka untuk menyesuaikan kesepakatan pembagian hasil
dan kebijakan fiskal yang dikenakan. Berkenaan dengan hal ini, negara-negara penerima
investasi menolak klaim pemegang konsesi terkait dengan asas kesucian kontrak dengan
menyatakan bahwa perubahan ketentuan dan penyesuaian kontrak yang bersifat retrospektif
dapat dibenarkan secara hukum pada konteks ini. Hal ini dilakukan, misalnya, oleh Inggris dan
Norwegia yang pada tahun 1975 mengesahkan legislasi baru untuk memaksa pengenaan pajak
yang lebih tinggi kepada pemegang konsesi minyak di negaranya menyesuaikan dengan
naiknya keuntungan yang mereka dapatkan akibat melonjaknya harga minyak dunia. Tindakan
yang dilakukan oleh Inggris dan Norwegia mengafirmasi perbedaan kepentingan yang bersifat
antinomis antara investor yang berkepentingan atas stabilitas dan kepastian usahanya dengan
negara yang memiliki kepentingan publik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Higgins
(1982):
“The problems that arise in balancing the legitimate expectations of a private party,
which has invested on the basis of agreements which it expects to continue into the
future, and of the legitimate needs of a government to protect the public interest against
changed and unforeseen circumstances, is not peculiar to petroleum concessions in the
developing world. The United Kingdom experience in the North Sea is witness to the
fact that the same pressures operate upon all nations possessing important exploitable
natural resources, regardless of their stage of development or their traditional
commitment to the sanctity of contracts and the inviolability of international
obligations.”
Prinsip clausula rebus sic stantibus juga sedikit banyak digunakan dalam penyelesaian
sengketa antara Questech Inc dengan Kementerian Pertahanan Iran oleh Iran-US Claims
Tribunal106 sebagai tindak lanjut penyelesaian krisis dan sengketa antara kedua negara yang
muncul akibat Revolusi Islam Iran tahun 1979. Dengan mengajukan klaim bahwa telah terjadi
perubahan situasi yang fundamental, pemerintah Iran mendapatkan justifikasi untuk
membatalkan kontrak dengan Questech Inc dalam rangka pengembangan kemampuan
pengumpulan informasi intelijen angkatan udara Iran. Dalam putusannya, arbiter mengafirmasi
106
Iran-US Claims Tribunal merupakan mekanisme arbitrase internasional yang didirikan sesuai dengan Algeirs
Accord pada tahun 1981 yang dimediasi oleh Algeria sebagai tindak lanjut penyelesaian sengketa
keperdataan/investasi antara Iran dan Amerika Serikat pasca Revolusi Islam Iran tahun 1979.
faktor-faktor yang memenuhi klaim Iran mengenai terjadinya perubahan situasi (changed
circumstances) tersebut:
“The fundamental changes in the political conditions as a consequence of the
revolution in Iran, the different attitude of the new government and the new foreign
policy, especially towards the United States which had considerable support in large
sections of the people; the drastically changed significance of the highly sensitive
military contracts ... especially those to which the U.S. companies were parties...
Penerapan prinsip ini juga dapat dilihat dalam penyelesaian sengketa antara pemerintah Kuwait
dengan the American Independent Oil Company (Aminoil) pada tahun 1982. Sengketa ini
bermula ketika Aminoil, yang mendapatkan konsesi pengusahaan minyak di Kuawait selama
60 tahun dari Arab Saudi dan Inggris yang pada masa itu memiliki otoritas atas wilayah
Kuwait, harus melakukan penyesuaian berkenaan dengan kontrak yang dimilikinya seiring
dengan perkembangan negara Kuwait modern dan perubahan situasi geopolitik di dekade
1970-an. Meski menyangkal penerapan prinsip ini dalam putusannya, mahkamah arbitrase
mengakui bahwa telah terjadi perubahan-perubahan situasi yang secara langsung berimplikasi
pada sifat dan karakteristik kontrak yang dimiliki oleh Aminoil:
The Tribunal wishes however to stress here that the case is not one of a fundamental
change of circumstances (rebus sic stantibus) within the meaning of Article 62 of
the Vienna Convention on the Law of Treaties. It is not a case of a change involving a
departure from a contract, but of a change in the nature of the contract itself, brought
about by time, and the acquiescence or conduct of the Parties.
Walaupun tidak secara tegas mengafirmasi clausula rebus sic stantibus beberapa sarjana tetap
berkeyakinan bahwa pandangan mahkamah arbiter tetap mengindikasikan digunakannya
doktrin hukum selain yang sudah diatur dalam Article 62 dari Konvesni Wina yang
memberikan legitimasi atas perubahan (atau bahkan menyatakan tidak berlaku) sebuah
kesepakatan kontrak dalam rangka investasi asing. Dalam konteks perjanjian investasi asing
di sektor sumber daya alam, baik asas kesucian kontrak maupun prinsip calusula rebus sic
stantibus hendaknya tidak diterapkan secara absolut. Untuk menghindari terjadinya kebuntuan
hukum akibat penggunaan klaim dan doktrin hukum ini oleh masing-masing pihak, Schwebel
(1959) menyarankan agar dilakukan “constant renegotiation” atas kontrak investasi asing
untuk menyiasati perubahan-perubahan yang terjadi yang dapat mempengaruhi perjanjian
antara negara dengan investor maupun aktivitas usaha yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan
pandangan Charlston (1958) yang menyatakan bahwa perjanjian investasi asing dalam jangka
panjang hendaknya menjadi semacam “living law” yang secara praksis dilakukan melalui
proses renegosiasi yang dilakukan secara tetap. Pada akhirnya dengan berbagai kompleksitas
menyangkut aspek kedaulatan negara dan doktrin-doktrin hukum yang terkait, karakter
perjanjian investasi asing di sektor sumber daya alam sebagian besar diatur dalam kerangka
hukum publik, bukan perjanjian privat/keperdataan biasa. Selain itu karakter kerja sama dan
investasi yang disepakati hendaknya bersifat dinamis dan didesain sebisa mungkin untuk
mampu berevolusi menyesuaikan dengan perubahan-perubahan situasi yang terus berlanjut.
IV.
Kesimpulan
Pemerintah Indonesia memiliki legitimasi konstitusional untuk melakukan penataan
penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Undang-undang No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara telah memberikan arah tentang bagaimana
penataan tersebut sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Dalam konteks aktivitas pertambangan Freeport, perubahan rezim kontrak karya
menjadi rezim perizinan merupaka hal fundamental yang harus dilakukan. Selain tidak sesuai
dengan mandat pasal 33 ayat (3) UUD 1945, rezim kontrak yang bersifat keperdataan juga
cenderung bersifat statis dan rigid sehingga sulit untuk melakukan penyesuaian atas situasi
yang berubah. Ancaman Freeport untuk membawa inisiaitf pemerintah ini ke mekanisme
arbitrase internasional seharusnya tidak menyurutkan langkah pemerintah. Secara faktual
pemerintah telah memberikan berbagai keisitimewaan terhadap Freeport untuk menjalankan
aktivitas usahanya, hal yang juga mengindikasikan ketaatan pemerintah terhadap asas kesucian
kontrak. Namun artikel ini telah mengafirmasi adanya kepentingan publik dan terutama
konstitusional yang lebih besar dari itu, sehingga perubahan terhadap status kontrak karya
Freeport tidak dapat dihindarkan. Selain itu artikel ini juga telah menunjukkan bahwa terdapat
preseden, doktrin, peraturan dan hukum kebiasaan internasional (customary international law)
yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk memperkuat klaim atas upaya penataan kegiatan
usaha Freeport jika polemik ini berujung pada sengketa arbitrase internasional.
Referensi
Asante, Samuel K B. “Stability of Contractual Relations in the Transnational Investment
Process.” International and Comparative Law Quarterly, 1979, 401–23.
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di
Indonesia: Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan Kolektivismme
Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa
Demokrasi, 1945-1980-An. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Bakri, Muhammad. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi
Agraria. Citra Media, 2007.
Bezuidenhout, Henri, and Ewert Kleynhans. “Implications of Foreign Direct Investment for
National Sovereignty: The Wal-Mart/Massmart Merger as an Illustration.” South African
Journal of International Affairs 22, no. 1 (2015): 93–110.
doi:10.1080/10220461.2015.1009155.
Bijl, Paul. “Human Rights and Anticolonial Nationalism in Sjahrir’s Indonesian
Contemplations.” Law & Literature, January 18, 2017, 1–22.
doi:10.1080/1535685X.2016.1268769.
Brownlie, Ian, and Kathleen Baker. Principles of Public International Law. Vol. 1. Clarendon
Press Oxford, 1973.
Douglas, Zachary, Joost Pauwelyn, and Jorge E Viñuales. The Foundations of International
Investment Law: Bringing Theory into Practice. OUP Oxford, 2014.
Evans, Malcolm D. “International Law.” Oxford, United Kingdom: Oxford University Press,
2014.
Foster, George K. “Striking a Balance between Investor Protections and National
Sovereignty: The Relevance of Local Remedies in Investment Treaty Arbitration.”
Columbia Journal of Transnational Law 49, no. 2 (2011): 201.
http://usyd.summon.serialssolutions.com/2.0.0/link/0/eLvHCXMwtV1LS8NAEF6sJxH
E9xvmHiJtd7tpBA9aLL0JVsyr0gQW4j10L_gr3Zms3m0IOjBSyjbMkl2v3ns9NsZxnj_qhuv2YTUCaHQNVtnEpfIgU
X9tFL0uhk3Whqxltmummg0Y_-68DiGS08Haf-w-LVQHMDPCAG8IgjwisYTBdF_uYPIkaaWIyoxhU1K_clNuZFFG.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Djambatan, 1994.
Kahin, George McTurnan, and Nin Bakdi Soemanto. Nasionalisme Dan Revolusi Di
Indonesia: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. Sebelas Maret University Press,
1995.
Kelsen, Hans. Principles of International Law. The Lawbook Exchange, Ltd., 1952.
Maniruzzaman, A F M. “State Contracts with Aliens-The Question of Unilateral Change by
the State in Contemporary International Law’(1992) 9 J Int’l Arb 141; D Vagts,’Rebus
Revisited: Changed Circumstances in Treaty Law.” Essays in Honor of Oscar Schachter
43 (2005).
McConnell, Lee. “ASSESSING THE FEASIBILITY OF A BUSINESS AND HUMAN
RIGHTS TREATY.” The International and Comparative Law Quarterly 66, no. 1
(2017): 143–80. doi:10.1017/S0020589316000476.
Sornarajah, Muthucumaraswamy. The Pursuit of Nationalized Property. Vol. 8. Martinus
Nijhoff Publishers, 1986.
Suhendar, Endang, and Ifdhal Kasim. Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis Atas
Kebijakan Pertanahan Orde Baru. ELSAM, 1996.
Wehberg, Hans. “Pacta Sunt Servanda.” The American Journal of International Law 53, no. 4
(1959): 775–86.
Widaningsih, Yuliani Sri. “Nationalism In The Indonesian Multicultural Community.”
PROCEEDING ICTESS, 2017.