Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Kepentingan Nasional vs. Kepentingan Investor: Tinjauan Konstitusional dan Hukum Investasi Internasional atas Polemik Penerapan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara kepada PT. Freeport Indonesia Yustisia Rahman I. Pendahuluan Keberadaan investasi asing di sebuah negara adalah sebuah kenyataan yang tidak lagi dapat dihindarkan. Kemudahan pergerakan uang, barang, jasa dan manusia sebagai konsekuensi logis dari globalisasi ekonomi semakin mempertegas pernyataan aksiomatis tersebut. Tidak dapat pula dinafikan bahwa investasi asing telah menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi sebuah negara, merangsang pertumbuhan ekonomi lokal, menjadi sumber masuknya mata uang asing, teknologi, dan sumber daya manusia terdidik.1 Meski demikian, dampak sosial dan ekologis yang mengiringi investasi asing juga tidak dapat diabaikan begitu saja, dalam beberapa kasus persoalan tersebut bahkan sudah masuk dalam spektrum pelanggaran hak asasi manusia.2 Lebih dari itu, keberadaan investasi asing juga kerap kali mendapatkan sorotan di tengah menguatnya sentimen nasionalisme ekonomi yang menempatkan investasi asing dalam posisi diametral dengan kedaulatan negara atas perekonomian dan sumber daya alam.3 Dalam konteks ini, diskursus mengenai bagaimana keseimbangan antara kepentingan nasional dengan kepentingan investor menjadi sumber perdebatan hukum dan tidak jarang menjadi isu politikekonomi yang melibatkan negara penerima investasi (host countries) dengan negara asal investor.4 Polemik mengenai ancaman PT. Freeport-McMoran Indonesia (selanjutnya disngkat Freeport) untuk membawa sengketa investasi dengan Pemerintah Republik Indonesia ke mekanisme arbitrasi investasi internasional (UNCITRAL) sedikit banyak menggambarkan kontestasi tersebut. Polemik ini bermula dari keengganan Freeport untuk menyesuaikan kegiatan usahanya dengan rezim perundang-undangan mineral dan batu bara (selanjutnya disingkat Minerba) dengan Surya P. Subedi, “International Investment Law”, in International Law, ed. Malcolm D. Evans (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2014). Hal. 741 2 Hal ini mendorong berkembangnya gagasan untuk menjadikan perusahaan multinasional dan entitas bisnis lainya sebagai subjek hukum internasional yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dan kewajiban yang tercantum dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional. Berkenaan dengan hal ini, pada Juni 2011 UN Human Rights Council menyepakati ‘Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect, Remedy” Framework’ sebagai panduan tidak mengikat bagi pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas bisnis yang sesuai dengan kaidah dan prinsip hak asasi manusia. Lihat Robert Mccorquodale, “The Individual and the International Legal System”, Ibid. Hal. 290-91, 740 ; Lee McConnell, “Assesing the Feasibility of a Business and Human Rights Treaty,” The International and Comparative Law Quarterly 66, no. 1 (2017). 3 Zachary Douglas, Joost Pauwelyn, and Jorge E Viñuales, The Foundations of International Investment Law: Bringing Theory into Practice (OUP Oxford, 2014); George K Foster, “Striking a Balance between Investor Protections and National Sovereignty: The Relevance of Local Remedies in Investment Treaty Arbitration,” Columbia Journal of Transnational Law 49, no. 2 (2011): 201; Henri Bezuidenhout and Ewert Kleynhans, “Implications of Foreign Direct Investment for National Sovereignty: The Wal-Mart/Massmart Merger as an Illustration,” South African Journal of International Affairs 22, no. 1 (2015): 93–110. 4 Subedi, op.cit., 728-29 1 dalih hal tersebut bertentangan dengan kesepakatan Kontak Karya antara Freeport dengan Pemerintah yang harus dihormati sesuai dengan asas kesucian kontrak: pacta sun servanda. Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba sebagai law of the land memandatkan agar semua kegiatan usaha pertambangan yang masih menggunakan Kontrak Karya dan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batu Bara) sebagai alas hukum kegiatannya diubah menjadi rezim perizinan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum berupa penyesuaian skema fiskal, mekanisme kepatuhan terhadap perundang-undangan nasional lainnya, dan terutama mempertegas superioritas kedudukan negara terhadap pelaku usaha di bidang pertambangan. Dalam rangka meningkatkan manfaat ekonomi dari kegiatan investasi asing di bidang pertambangan, UU 4/2009 juga memandatkan larangan ekspor raw material dan karenanya menghendaki agar pemegang konsesi pertambangan untuk membangun pabrik pengolahan (smelter) sebagai syarat mendapatkan izin ekspor. Lebih dari itu, diatur pula ketentuan tentang divestasi saham agar porsi pemilikan negara dan/atau pelaku usaha nasional atas kegiatan pertambangan bisa semakin bertambah. Ancaman Freeport untuk menjadikan keinginan pemerintah dalam menerapkan ketentuan ini sebagai dasar pengajuan sengketa investasi ke forum arbitrase internasional mengkonfirmasi keengganan mereka untuk tunduk kepada law of the land. Di sisi lain pemerintah juga tampak mengukur diri atas ancaman tersebut, mempertimbangkan potensi kekalahan dan kerugian yang ditimbulkan dari proses arbitrase, pemerintah akhirnya (kembali) memberikan kelonggaran kepada Freeport dengan pemberian status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Sementara yang memberikan Freeport waktu selama 6 (enam) bulan untuk tetap melanjutkan kegiatan ekspor konsentrat.5 Menilik ke belakang, bukan pertama kalinya Freeport mendapatkan perlakuan khusus. Saat Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diundangkan, Freeport berkeberatan dengan ketentuan larangan kegiatan pertambangan terbuka di kawasan dengan status hutan lindung yang jelas akan mengancam kelangsungan usahanya. Merespon hal tersebut, pemerintahan Megawati menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2004 yang membuka peluang kegiatan tambang batu bara secara terbuka di hutan lindung kepada 12 perusahaan, satu diantaranya Freeport. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana kesungguhan pemerintah untuk meningkatkan superioritas kedudukannya saat berhadapan dengan kepentingan perusahaan multinasional. Dalam konteks investasi asing di sektor berbasis lahan (pertambangan, kehutanan, dan perkebunan), pertanyaan ini berkaitan erat dengan mandat konstitusional negara selaku “penguasa” atas sumber daya alam sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Lebih dari itu, polemik Freeport ini juga dapat menjadi acuan untuk menelisik sejauh mana kesiapan pemerintah dalam mendesakkan kepentingan nasional saat berhadapan dengan investasi asing di Indonesia. Pertanyaan ini sangat relevan jika dikaitkan dengan ancaman Freeport untuk membawa permasalahan yang berakar dari polemik penerapan UU 4/2009 ke forum arbitrase internasional. Artikel ini akan mencoba menjawab kedua persoalan tersebut sisi hukum ketatanegaraan dalam menjawab konstitusionalitas kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh Freeport serta dari sisi hukum investasi internasional dalam menjawab peluang yang dimiliki oleh pemerintah untuk memastikan terjaminnya kepentingan nasional dalam relasinya dengan investasi asing di Indonesia. Dengan menjawab kedua hal 5 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58f1c72eedd45/langkah-pemerintah-terbitkan-iupk-sementarafreeport-dikritik tersebut, diharapkan pemerintah memiliki kesiapan untuk menghadapi perlawanan hukum dari investor asing yang mungkin muncul lagi di masa yang akan datang sebagaimana yang sedikit banyak dilakukan oleh Freeport saat ini. II. Konstitusionalitas Aktivitas Freeport di Indonesia Freeport adalah representasi kegiatan investasi asing di Indonesia yang penuh dengan catatan dan persoalan. Keberadaannya di tanah Papua tidak terlepas dari proses dekolonisasi Papua dari Belanda dan Indonesia yang mengklaim memiliki legitimasi historis atas Papua sebagai bagian dari Pax Neerlandica.6 Freeport telah menginisiasi aktivitas usahanya di tahun 1960-an sebelum Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) sebagai proses resmi dekolonisasi wilayah Papua bagian Barat dalam pengawasan Dewan Perwalian PBB dilakukan di tahun 1970-an. Dalam konteks perkembangan hukum investasi nasional, Freeport termasuk dalam kelompok pertama perusahaan asing yang mendapatkan konsesi pengusahaan tambang dengan payung hukum Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang muncul di awal masa pemerintahan Orde Baru ini menandai perubahan orientasi perekonomian nasional serta Pasal 33 ayat (3) sebagai landasan konstitusional penyelengaraan kegiatan perekonomian termasuk di dalamnya penguasaan negara atas sumber daya alam di Indonesia. Bagian ini akan mengulas konstitusionalitas kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh Freeport di Indonesia. Untuk menguji hal tersebut, analisis terhadap gagasan Pasal 33 ayat (3), kontestasi dalam upaya amandemennya, serta analisis terhadap beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang paling penting berkenaan dengan penerapannya akan disajikan di bagian ini. 1. Pasal 33 Sebagai Basis Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang mencantumkan pengaturan tentang kegiatan ekonomi dalam konstitusinya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari semangat zaman ketika UUD 1945 disusun. Kahin (1952) menyatakan bahwa perumusan konstitusi Indonesia dipengaruhi oleh: semangat anti kolonialisme, Islam, kolektivisme masyarakat adat, dan sosialisme.7 Ciri sosialisme dalam UUD 1945 dapat dilihat dengan adanya pengaturan tentang sistem perekonomian nasional (Pasal 33), provisi yang lazim ditemukan di negara bercorak sosialis.8 Pasal 33 merupakan landasan konstitusional bagi penyelenggaraan sistem perekonomian yang 6 Pax Neerlandica merupakan doktrin pemerintahan kolonial Belanda dalam rangka ekspansi wilayah kolonial untuk unifikasi wilayah dan upaya menciptakan ketertiban dengan penerapan sistem hukum dan administrasi kolonial. Unifikasi wilayah kepulauan Nusantara ini merupakan cikal bakal wilayah yang menjadi Republik Indonesia Modern. Lihat Paul Bijl, “Human Rights and Anticolonial Nationalism in Sjahrir’s Indonesian Contemplations,” Law & Literature, January 18, 2017. Hal. 12; Yuliani Sri Widaningsih, “Nationalism In The Indonesian Multicultural Community,” PROCEEDING ICTESS, 2017. Hal. 222. 7 George McTurnan Kahin and Nin Bakdi Soemanto, Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik (Sebelas Maret University Press, 1995). Hal. 65. 8 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan Kolektivismme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980 (Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994). Hal. 46. berorientasi pada kesejahteraan (ayat 1) yang dilakukan dengan melakukan “penguasaan negara” atas cabang-cabang produksi (ayat 2) dan sumber daya agraria (ayat 3). Merujuk pada rumusan ini, semua bentuk kegiatan usaha berbasis lahan, termasuk di dalamnya kegiatan usaha pertambangan, harus dilakukan dalam kerangka “penguasaan negara” untuk menjamin sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Aktivitas pertambangan Freeport (seharusnya) di Papua tidak dapat dilepaskan dari kerangka konstitusional ini. Dalam konteks tersebut, bagian ini akan mengulas sejauh mana kerangka hukum yang menjamin aktivitas usaha Freeport telah sesuai dengan semangat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. a. Original Intent Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Dicantumkannya pengaturan tentang sistem perekonomian dalam konstitusi kita adalah bentuk penolakan pendiri bangsa terhadap corak demokrasi liberal a la Barat yang hanya menitiberatkan pada aspek politik dan kebebasan semata. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan gagasan kedaulatan rakyat di negara-negara Eropa yang memisahkan kekuasaan politik, yang diatur dengan hukum publik/politik, dengan kekuasaan ekonomi, yang diatur dengan hukum privat (perdata). Prinsip dasar liberalisme yang menihilkan peran negara selaku pemegang kekuasaan politik ini tertuang dalam karya klasik Montesquieu, Spirit of Law: …That we should not regulate by the principles of political law those things which depend on the principles of civil law. As man have given up their natural independence to live under political laws, they have given up the natural community of goods to live under civil laws…By the first, they acquired liberty, by the second property. We should not decide by the laws of liberty, which, as we have already said, is only the government of the community, what ought to be decided by the laws concerning property...9 Gagasan ini ditolak oleh pendiri bangsa yang menghendaki demokrasi Indonesia mencakup pula demokrasi ekonomi -yang menjamin kesejahteraan rakyat, selain demokrasi politik -yang menjamin kebebasan dan hak-hak sipil politik, sebagaimana dikemukakan oleh Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945: Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela?...Padahal ada Badan Perwakilan Rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya...adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah politieke democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardighied, tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali...saya usulkan: kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek ekonmische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.10 Konseptualisasi gagasan demokrasi ekonomi ini dapat dilihat secara lebih praktis dari pandangan Prof. Mr. Soepomo saat sidang BPUPKI, 31 Mei 1945 tentang negara integralistik Baron Secondat Montesquieu, “The Spirit of Law” in Great Books of The Western World, 2nd Edition, Mortimer J. Adler (ed.), (Chichago: Encyclopedia Britannica Inc., 1990). Hal. 221. 10 Sekretariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995). Hal. 84. 9 yang menggambarkan bagaimana pola penguasaan negara atas “perusahaan” dan “tanah” dilakukan : Sekarang tentang perhubungan antara negara dan perekonomian. Dalam negara berdasar integralistik...maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara” (staatsocialisme). Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan tetapi pada hakikatnya negara yang akan menentukan di mana dan di masa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan kepada sesuatu badan hukum prive atau kepada seseorang, itu semua tergantung daripada kepentingan negara, kepentingan rakyat seluruhnya...Begitu pun tentang hal tanah. Pada hakikatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya, tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri.11 Menilik ke belakang, gagasan mengenai perlunya penguasaan negara atas sumber daya agraria telah disampaikan oleh Moh. Hatta yang menanggap bahwa hal tersebut merupakan kolektivisme yang berakar dari sistem nilai masyarakat desa. 12 Kolektivisme itu ditunjukan dengan melakukan penguasaan atas tanah: ...segala tanah lainnya di liar lingkungan desa dan tanah milik rakyat adalah di bawah kekuasaan negara. Perusahaan di atas tanah menguasai hidup orang banyak yaitu tempat orang banyak menggantungkan dasar hidupnya, mestilah berlaku di bawah kekuasaan atau pemilikan negara. Cara menjalankan eksploitasinya boleh diserahkan kepada badan yang bertanggung jawab, di bawah pemilikan anggota badan pengurus negara atau bagiannya menurut peraturan yang tertentu.13 Gagasan para perumus UUD 1945 tentang demokrasi ekonomi pada dasarnya tidak menempatkan hak menguasai negara sebagai sesuatu yang absolut, sebab secara implisit Pasal 33 tidak melarang penguasaan atau pemilikan sumber daya agraria oleh entitas privat. Berkenaan dengan itu, Asshiddiqie (1995) berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 sebetulnya memberikan kategorisasi atas jenis-jenis sumber kemakmuran (yakni cabang produksi dan sumber daya alam) yang dapat menjadi acuan bagaimana hak menguasai negara dilakukan: i) Sumber-sumber kemakmuran yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; ii) Sumber-sumber kemakmuran yang penting bagi negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; iii) Sumber-sumber kemakmuran yang tidak penting bagi negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak; iv) Sumber-sumber kemakmuran yang tidak penting bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak.14 Berdasarkan kategorisasi ini negara dapat mengidentifikasi kegiatan-kegiatan apa saja yang harus secara mutlak harus diusahakan oleh negara, dapat diberikan kepada badan usaha milik negara, atau sepenuhnya dapat diberikan kepada entitas privat. 11 Ibid., Hal. 62-3. Bivitri Susanti, “Neo-liberalism and Its Resistance in Indonesia’s Constitution Reform 1999-2002, (Tesis Magister Hukum, University of Warwick, UK, 2002). Hal. 64. 13 Sritua Arif, Negeri Terjajah: Menyingkap Ilusi Kemerdekaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2006). Hal. 129-30. 14 Jimly, op.cit.,Hal. 95-6 12 b. UUPA 1960 Sebagai Pengejawantahan Pasal 33 ayat (3) Aturan peralihan UUD 1945 memandatkan dilakukannya perubahan sistem perundangundangan kolonial sebagai manifestasi kemerdekaan seutuhnya Republik Indonesia. Satu diantaranya berkaitan dengan hukum keperdataan yang mengatur kegiatan perekonomian dan hubungan hukum antara manusia dengan tanah dan/atau properti. Salah satu keberhasilan pemerintahan Orde Lama dalam hal ini adalah pengundangan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang secara radikal mengubah konsep hukum kebendaan atas tanah dan properti yang sebelumnya diatur dalam Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata kolonial (Burgerlijk Wetboek). Lebih dari itu, UUPA memberikan kejelasan mengenai penerapan hak menguasai negara yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) dengan menghapuskan asas domeinverklaring yang dianut dalam sistem hukum tanah kolonial. Asas domeinverklaring merupakan asas penguasaan tanah yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial melalui Agrarische Wet (Staatsblad No. 55 Tahun 1870) dan Agrarische Besluit (Staatsblad No. 118 Tahun 1870). Asas domeinverklaring menyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendoom (milik) –nya, adalah domein negara. Dengan asas ini maka pihak lain yaitu rakyat harus dapat membuktikan bahwa sebidang tanah adalah hak eigendoom-nya, jika tidak dapat membuktikannya maka negara-lah yang memilikinya. Asas ini sebenarnya bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek yang menyatakan bahwa barang siapa yang mendalilkan sebuah hak atau mengemukakan peristiwa untuk menguatkan haknya ataupun membantah hak orang lain, harus membuktikan haknya atau peristiwa tersebut. Oleh karena itu, seharusnya negara yang membuktikan bahwa tanah itu miliknya bukan pihak lain (rakyat) yang harus membuktikan bahwa tanah itu miliknya.15 Van Vollenhoven mengecam penerapan asas domeinverkalring Karena tidak memberikan jaminan perlindungan bagi hak-hak rakyat pribumi dan masyarakat hukum adat dalam bentuk hak ulayat atas tanah.16 Dalam tafsiran pemerintah Hindia Belanda, tanah-tanah yang dipunyai rakyat secara turun temurun, demikian juga tanah-tanah ulayat masyarakat hukum adat adalah tanah domein negara. Hak atas tanah yang bersumber dari hukum adat tidak disamakan dengan hak milik dalam Burgerlijk Wetboek , sehingga hanya dianggap sebagai hak memakai tanah domein negara bahkan kemudian dianggap sebagai vrij lands domein (tanah negara bebas) yang dapat diambil alih oleh negara selaku pemilik tanah.17 Meskipun terdapat ketentuan bahwa pengambilalihan harus disertai dengan kompensasi yang disebut recognite, hal ini tidak dimengerti oleh rakyat yang tingkat kesadaran hukumnya rendah sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan. Sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan UUPA bahwa: “Asas domein adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas daripada negara yang merdeka dan modern”.18 15 Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria (Citra Media, 2007). 16 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya (Djambatan, 2003). Hal. 45. 17 Ibid.Hal. 46. 18 UUPA, Penjelasan Umum Bagian II butir 2. Asas domeinverklaring memungkinkan negara untuk memberikan hak atas tanah kepada pihak lain selaku pemilik tanah. Dengan asas ini maka hubungan hukum antara negara dengan tanah adalah hubungan kepemilikan sehingga penguasaan negara atas tanah tidak semata berdimensi publik tetapi juga berdimensi perdata.19 Asas domeinverklaring sebagai produk Agrarische Wet yang diundangkan pada 9 April 1870 tak dapat dilepaskan dari keinginan kuat pemilik modal swasta Belanda yang ingin menikmati keuntungan dari pengelolaan tanah di Hindia Belanda sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial saat periode tanam paksa.20 Setelah diundangkannya Agrarische Wet dan Agrarische Besluit maka Hindia Belanda secara khusus Pulau Jawa telah berkembang menjadi perkebunan besar milik swasta asal Belanda. Sementara itu penduduk yang semula merupakan petani pemilik tanah kehilangan tanah-tanah mereka karena penerapan asas domeinverklaring, mereka kemudian menjadi buruh-buruh di perkebunan besar milik pengusaha-pengusaha Belanda. Dengan demikian sebenarnya Agrarsiche Wet dan Agrarsiche Besluit lebih merupakan suatu undang-undang penanaman modal daripada sebuah kebijakan pertanahan.21 UUPA merubah secara fundamental pola penguasaan atas tanah sebagai salah satu sumber kemakmuran rakyat. Asas domeinverkalring dengan tegas dicabut22 dan diberlakukan konsep hak menguasai negara merujuk kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berorientasi kepada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pencabutan asas domenverklaring menunjukan bahwa penguasaan negara atas tanah bukanlah dalam bentuk pemilikan perdata yang merugikan rakyat, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan UUPA: Undang-undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun negara, bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku badan penguasa.23 Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka seluruh kekayaan alam (bumi, air ,dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan dan penjelmaan seluruh rakyat.24 Dengan dicabutnya asas domeinverklaring, UUPA menghapuskan pemilikan perdata dalam konsep penguasaan negara. Oleh Karena itu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, konsep penguasaan negara atau hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya hanya memiliki dimensi publik dimana negara diberikan kewenangan untuk: 19 Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria., Hal. 33. Endang Suhendar and Ifdhal Kasim, Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru (ELSAM, 1996).Hal. 13. 21 Ibid. Hal. 15. 22 Sebagaimana dicantumkan dalam bagian memutuskan pada konsiderans-nya, UUPA dengan tegas menyatakan mencabut keberlakuan Agrarische Wet (S. 1870-55), Domein Verklaring dalam Agrarische Besluit (S. 1870-118), Algemene domeinverklaring (S. 1875-119a), Domein Verklaring untuk Sumatera (S 1874- 94f), Domeinverklaring untuk Manado (S. 1877 -55), Domeinverklaring untuk wilayah Borneo (S. 1888 -58), Koninklijk Besluit (S. 1872 -117), Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia (Burgerljk Wetboek) sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 23 UUPA, Penjelasan Umum 24 UUPA, Pasal 2 ayat (1) 20 a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. UUPA menyatakan bahwa hak menguasai negara bersumber dari hak bangsa yakni hubungan antara bangsa Indonesia, yakni kesatuan seluruh tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia,25 dengan kekayaan alam (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya).26 Dalam Penjelasan Umum No. II/1, hak bangsa Indonesia atas kekayaan alam merupakan semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Indonesia.27 Dari hak bangsa ini diturunkan kewenangan kepada negara melalui hak menguasai negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Negara kemudian mengatur hak-hak perorangan yang diturunkan dari hak menguasai negara dan pelaksanaannya harus bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat (3) UUPA) dan menghormati hak ulayat masyarakat hukum adat (Pasal 3 UUPA). Hal ini menunjukan bahwa arah kebijakan negara, baik menurut Pasal 33 UUD 1945 maupun UUPA, adalah kemakmuran seluruh rakyat, bukan kemakmuran orang per orang, namun demikian harkat dan derajat individu dipelihara dan dijunjung tinggi.28 Dalam hal ini negara hanya mempunyai kekuasaan untuk mengatur upaya pencapaian kemakmuran tersebut. Konsep hak menguasai negara dalam UUPA mensyaratkan adanya peran negara yang kuat dalam mendistribusikan kemakmuran kepada seluruh rakyat dengan prinsip-prinsip keadilan, atau pemihakan kepada kepentingan rakyat. Dalam pemikiran ini tidak dikehendaki berlakunya prinsip ekonomi pasar terutama dalam hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, apalagi yang menyangkut masalah pertanahan sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945. 29 Prof. Boedi Harsono bahkan menyatakan bahwa penjabaran konsep hak menguasai negara dalam UUPA merupakan penafsiran otentik atas kata “dikuasai” yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.30 25 UUPA, Pasal 1 ayat (1) UUPA, Pasal 1 ayat (3) 27 UUPA, Penjelasan No. II/1 28 Komitmen untuk menghormati hak-hak individual sebagai wujud keselarasan kolektivisme dan individualisme ditunjukan dalam rumusan pokok UUPA yang dibuat oleh Panita Soewahjo (diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo), selaku panitia perumus naskah UUPA yakni: (i) Penghapusan asas domeinverklaring dan pengakuan hak rakyat yang harus ditundukan dibawah kepentingan umum; (ii) Penggantian asas domein dengan “hak menguasai negara” sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) UUDS 1950 (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945); (iii) Penghapusan dualisme hukum agraria; (iv) Hak-hak atas tanah meliputi hak milik sebagai hak terkuat yang dilekati dengan fungsi sosial, hak usaha, hak bangunan, dan hak pakai; (v) Hak milik hanya dapat dipunyai oleh WNI; (vi) Perlunya penetapan batas maksimum dan minimim luas tanah yang boleh dimiliki; (vii) Pengerjaan dan pengusahaan sendiri tanah pertanian oleh pemiliknya sebagai asas; dan (viii) Pelaksanaan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah. Kasim dan Suhendar, op. cit., hal 46-50. 29 Ibid., Hal. 21-2 30 Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya.Hal. 223-24 26 c. Kontestasi Ekonomi Pancasila vs Neo-Liberalisme dalam Amandemen Pasal 33 Meski telah mendapatkan penjabaran yang detail berkenaan dengan konsepsi, ruang lingkup dan arah pelaksanaannya dalam UUPA, Pasal 33 ayat (3) tidak pernah benar-benar dilaksanakan secara utuh terutama dalam masa pemerintahan Orde Baru. Pemerintah Orde Baru cenderung menerapkan Pasal 33 ayat (3) secara pragmatis dengan mempertimbangkan perkembangan situasi perekonomian, sehingga dalam kurun 32 tahun penguasaan negara bergerak dalam pendulum monopoli oleh negara/badan usaha milik negara dan liberalisasi. Meski UUPA tidak pernah benar-benar dihapuskan, pemerintah Orde Baru mengabaikan regulasi populis ini dengan mengeluarkan berbagai regulasi dan kebijakan yang nyata bertabrakan dengan semangat hak menguasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih dari itu, Pasal 33 ayat (3) juga digunakan oleh negara pada saat itu untuk melegitimasi praktik monopoli yang sarat nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru dengan kesenjangan ekonomi yang nyata melahirkan desakan untuk melakukan pembaruan dalam struktur perekonomian dengan secara utuh menerapkan demokrasi ekonomi (TAP MPR No. XVI/MPR/1998) dan pembaruan penguasaan sumber daya alam (TAP MPR IX/MPR/2001). TAP MPR XVI/1998 mengafirmasi belum terwujudnya amanat demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 194531 serta masih menumpuknya aset dan kekuatan ekonomi (faktor produksi) pada sekelompok orang.32 Secara lebih tegas TAP MPR IX/2001 menyatakan bahwa dalam hal sumber daya agraria dan sumber daya alam, masih terjadi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya sehingga menimbulkan konflik, penurunan kualitas lingkungan dan berbagai persoalan lainnya.33 Dua keputusan politis ini melandasi proses amandemen pasal 33 UUD 1945 dalam proses amandemen konstitusi 1999-2002, yang dalam perjalanannya memperlihatkan perbedaan paradigma dan ideologi dalam memandang hubungan antara negara dan perekonomian. Pembahasan penting mengenai konsep penguasaan negara dalam proses amandemen ini dapat dilihat dalam rapat ke-47 PAH I tanggal 26 Juni 2000 yang mengagendakan pandangan fraksi-fraksi.34 Dalam pembahasan ini terungkap agar konsep penguasaan negara atas sumber-sumber kemakmuran dalam Pasal 33 tetap dipertahankan namun dengan penjabaran yang lebih lengkap dan memadai agar tidak terjadi distorsi dalam penerapannya. Sebagaimana yang dungkapkan oleh Pataniari Siahaan dari Fraksi PDIP: …sampai saat ini MPR belum dapat merinci dan menjabarkan apa yang dimaksud Pasal 33 tersebut…apa sajakah cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara dan apa saja cabang produksi yang kurang penting yang dapat dikelola oleh perusahaan swasta dan perorangan? Juga dipertanyakan apa yang 31 TAP MPR No. XVI/MPR/1998, Konsiderans huruf a Ibid., Pasal 3. 33 TAP MPR IX/MPR/2001, Konsiderans huruf c 34 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VII : Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hal. 340. 32 dimaksud dengan kekuasaan negara, dimiliki oleh negara atau dikelola negara?35 Hal senada juga dikemukakan yang menyatakan bahwa: oleh Ali apakah Hardi dikuasai Kiaidemak dari sama dengan Fraksi PPP …ternyata kesederhanaan daripada penuangan ide-ide yang cemerlang dan tulus dari para pendiri negara kita dalam Pasal 33 dalam perjalanannya ternyata oleh kekuasaan pemerintahan di waktu yang lampau telah dikembangkan, diimplementasikan dengan terlalu menitikberatkan pada kepentingan kekuasaan, bukan lagi pada orientasi kerakyatan dan kebersamaan…Demikian juga pengembangan istilah dikuasai negara. ini karena kepentingan kekuasaan pada saat itu maka dikuasai negara diartikan bukan dalam arti fisik tetapi bisa dalam arti pengawasan sehingga kita melihat bahwa bagaimana pertambangan, bagaimana usaha-usaha besar yang menguasai hidup orang banyak lalu diserahkan kepada pengusaha swasta yang dikuasai perorangan.36 Kedua pendapat ini menginginkan agar ketentuan mengenai penguasaan negara atas sumber-sumber kemakmuran tetap dipertahankan tetapi dengan penjabaran yang lebih terang untuk menghindari penyalahgunaan sebagaimana yang terjadi pada masa lalu. Oleh karena itu dalam rapat pembahasan ini muncul gagasan untuk menambahkan kata “diatur” dan “diatur berdasarkan undang-undang” setelah kata “dikuasai” agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.37 Terungkap pula usulan agar ketentuan mengenai penguasaan negara dikaitkan dengan fungsi lembaga perwakilan rakyat untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan.38 Sementara itu Fraksi PKB dan Fraksi PAN mengusulkan agar penguasaan negara diatur berdasarkan prinsip-prinsip yang umum diterapkan dalam kegiatan ekonomi yakni “asas efisiensi”, “asas keadilan”, “asas pembangunan berkelanjutan”, “asas kelestarian lingkungan” dan “asas 39 penghormatan terhadap hak milik pribadi”. Ada pula usulan untuk menghapuskan sama sekali kata “dikuasai” dalam rumusan amandemen Pasal 33, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB: …kata-kata dikuasai oleh negara ini dalam sejarah kita telah memberikan implikasi negatif dalam hal ini negara telah melaksanakan kekuasaannya sedemikian rupa sehingga bisa memperkosa hak-hak rakyat dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam hal dikuasai oleh negara ini kami usulkan kata-kata yang lebih manusiawi, yaitu diurus oleh negara.40 35 Ibid., Hal. 341. Ibid., Hal. 349 37 Pendapat ini diusulkan oleh Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PPP. Ibid., hal 347 dan 349. 38 iusulkan oleh Fraksi PDKB yang mengusulkan rumusan: “Sumber kekayaan alam dan keuangan negara, dikelola dengan permufakatan lembaga perwakilan rakyat”. Lihat Ibid., hal. 352. 39 Ibid., hal. 360-362 40 Ibid., hal. 373-374. 36 PAH I akhirnya berhasil merumuskan usulan perubahan yang kemudian diajukan dalam Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR pada 10 Agustus 2000. Namun usulan perubahan mengenai Pasal 33 belum dibahas secara mendalam sehingga tidak dicapai kesepakatan, oleh karena itu BP MPR kembali ditugaskan untuk mempersiapkan rancangan amandemen pada sidang Majelis berikutnya. Adapun rumusan usulan perubahan Pasal 33, termasuk mengenai konsep penguasaan negara atas sumber-sumber kemakmuran, dilampirkan dalam TAP MPR No. IX/MPR/2000 yang selengkapnya berbunyi: (1) Perekonomian disusun dan dikembangkan sebagai usaha bersama seluruh rakyat secara berkelanjutan berdasarkan atas asas keadilan, efisiensi, dan demokrasi ekonomi untuk mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai dan/atau diatur oleh negara berdasarkan asas keadilan dan efisiensi yang diatur dengan undang-undang. (3) Bumi, air, dan dirgantara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai dan/atau diatur oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang diatur dengan undang-undang. (4) Pelaku ekonomi adalah koperasi, badan usaha milik negara, dan usaha swasta termasuk usaha perseorangan. (5) Penyusunan dan pengembangan Perekonomian Nasional harus senantiasa menjaga dan meningkatkan tata lingkungan hidup, memperhatikan dan menghargai hak Ulayat, serta menjamin keseimbangan kemajuan seluruh wilayah negara. Dalam usulan perubahan ini konsep penguasaan negara tetap dipertahankan dengan pembatasan yakni pengaturan oleh undang-undang, berdasarkan asas efisiensi dan keadilan, serta ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun secara keseluruhan usul perubahan Pasal 33 UUD 1945 yang menambah dua ayat tambahan adalah untuk mengakomodir ketentuan dalam penjelasan UUD 1945 yang disepakati untuk dihapuskan. Dalam pembahasan pada periode perubahan ketiga UUD 1945, rumusan amandemen Pasal 33 UUD 1945 mendapatkan masukan dari Tim Ahli Ekonomi yang disertakan dalam rapat pembahasan PAH I. Tim Ahli Ekonomi diketuai oleh Prof. Dr. Mubyarto sebagai ketua, Dr. Sri Mulyani sebagai sekretaris, dan anggota yang terdiri dari Prof. Drs. Dawam Rahardjo, Dr. Sjahrir, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, Dr. Didiek J. Rachbini, dan Dr. Sri Adiningsih.41 Dilibatkannya Tim Ahli Ekonomi dalam perumusan usulan perubahan Pasal 33 UUD 1945 ditujukan untuk memberikan pengetahuan teknis dan masukan sesuai dengan disiplin ilmu agar perumusan naskah usulan amandemen tidak berputar dalam perdebatan normatif dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Namun dalam perjalanannya terdapat perbedaan pandangan dan ideologi ekonomi yang mencolok diantara anggota tim ahli yang bertitik tolak dari perbedaan pandangan mengenai perlu tidaknya mempertahakan rumusan asli Pasal 33 UUD 1945. Perdebatan dan perbedaan pandangan yang begitu mencolok 41 Ibid., hal. 376. ini menimbulkan polarisasi yang tajam sehingga usulan Tim Ahli Ekonomi selalu disampaikan dalam dua versi. Pendapat pertama dirumuskan oleh Mubyarto dan Dawam Rahardjo yang bersikeras mempertahankan rumusan asli Pasal 33 UUD 1945 sebagai manifestasi pelaksanaan ekonomi kerakyatan. Sementara pendapat kedua dirumuskan oleh Sjharir, Bambang Sudibyo, Didiek J. Rachbini, Sri Mulyani, dan Sri Adiningsih yang lebih realistis dengan situasi ekonomi Indonesia kontemporer sehningga cenderung berpandangan neo-liberal.42 Perbedaan pandangan di antara tim ahli ekonomi sudah tampak sejak pertemuan pertama tim ahli pada 19 Maret 2001. Menurut Mubyarto, dalam pertemuan tersebut tim ahli “bersepakat untuk berbeda pendapat”.43 Tim ahli sepakat untuk tetap mencantumkan pengaturan sistem ekonomi dalam konstitusi namun tidak bersepakat mengenai usualan perubahan Pasal 33 UUD 1945. Mayoritas tim ahli beranggapan bahwa kata “dikuasai” yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) sebagai keniscayaan dianutnya sistem sosialisme yang sangat mempengaruhi pemikiran ekonomi Bung Hatta dalam merumuskan Pasal 33 UUD 1945.44 Berikut pernyataan Sjahrir: Bilamana kita memperhatikan literatur sistem ekonomi, maka sulit bagi kita untuk menghindari kesan bahwa ketiga ayat-ayat dari Pasal 33 tersebut merupakan ayat-ayat yang cocok dengan pengertian sistem ekonomi sosialis. Saya tidak ingin mempertentangkan ayat-ayat tersebut dengan realitas di Indonesia kini, apalagi dengan kenyataan gejala globalisasi yang berlangsung di seluruh dunia, tetapi cukup tampak tanda-tanda bahwa sulit sekali untuk bisa mempertahankan sepenuhnya ayat-ayat tersebut tanpa perubahan apapun.45 Pandangan ini disanggah oleh Mubyarto yang menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia berdasarkan Pasal 33 bukanlah sistem ekonomi sosialis, melainkan sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (1). Selain itu dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dijelaskan bahwa Indonesia menganut demokrasi ekonomi yang bertolak belakang dengan sosialisme yang sentralistis. Kata “dikuasai” dalam ayat (2) dan (3) tidak menunjukan sistem ekonomi Indonesia melainkan mekanisme operasional, yaitu bagaimana pokok-pokok kemakmuran rakyat yakni cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya diatur pemanfaatannya sedemikian rupa sehingga melahirkan kesejahteraan bagi rakyat secara keseluruhan.46 Usulan untuk menghapuskan kata “dikuasai” juga disampaikan oleh Sri Adiningsih yang menyatakan bahwa kata “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) mengandung bllured kejernihan dan dapat menimbulkan multi-interpretasi sehingga tidak layak untuk dijadikan rumusan dalam pasal-pasal konstitusi.47 Selain itu kata “dikuasai oleh negara” lekat 42 Ibid., hal 379 Mubyarto, Amandemen Konstitusi…, op. cit., hal. 9 44 Ibid., hal. 10 45 Susanti, op. cit., hal. 68. 46 Mubyarto, Amandemen Konstitusi…,op. cit., hal. 11 47 Sri Adiningsih, Perlunya Amandemen UUD 1945 Dalam Bidang Ekonomi, Makalah disampaikan dalam diskusi panel “Kontroversi Amandemen Pasal 33 UUD 1945” yang 43 mencirikan kuatnya intervensi negara dalam perekonomian yang tidak sesuai lagi dengan trend perekonomian global yang semakin bebas, terbuka, dan peran negara yang minimal. Perkembangan penting yang banyak mempengaruhi kita pada saat ini adalah proses demokratisasi dan market economy di banyak negara. Selain itu perubahan penting yang perlu mendapat perhatian dalam bidang ekonomi adalah adanya liberalisasi pasar pada tingkat global. Indonesia sudah mengikatkan diri dengan AFTA, APEC, dan WTO yang tentunya semua komitmen yang dibuat tersebut tidak dapat ditiadakan begitu saja.48 Perbedaan pandangan diantara tim ahli berlanjut dalam rapat pleno ke-18 PAH I 16 Mei 2001 yang mengagendakan penyampaian kesimpulan dan pendapat Tim Ahli Ekonomi. Usulan yang disampaikan oleh Sri Adiningsih itu selengkapnya berbunyi: 1) Perekonomian disusun dan diatur sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kemanusiaan, moralitas sosial, keadilan, manfaat dan berkelanjutan, serta perlindungan konsumen dan pemihakan pada usaha kecil dan menengah serta demokrasi ekonomi melalui sistem pasar yang berdaya saing-efisien-terbuka dan persaingan sehat untuk mewujudkan sebesar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 2) Darat, laut, termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya, udara diatasnya, serta seluruh lingkungan dan kekayaan yang terkandung di dalam dasar wilayah kedaulatan dan kewenangan Indonesia diatur oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang diatur dengan undang-undang. 3) Penyusunan dan pengaturan perekonomian nasional harus senantiasa menjaga dan meningkatkan tata lingkungan hidup yang harmonis, memperhatikan dan menghargai hak ulayat, dan menjamin keseimbangan kemajuan seluruh warga negara.49 Usulan perubahan ini tidak disepakati secara bulat oleh tim ahli ekonomi sebab Mubyarto dan Dawam Raharadjo bersikeras untuk mempertahankan rumusan Pasal 33 dalam naskah asli UUD 1945. Menurut Mubyarto tidak terwujudnya kesejahteraan rakyat bukan disebabkan oleh tidak memadainya konsep demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945, melainkan Karena penguasa tidak pernah menerapkannya secara sungguh-sungguh. Mubyarto juga berpendapat bahwa dengan lahirnya TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, menunjukan adanya komitmen untuk meluruskan kekeliruan dalam pelaksanaan Pasal 33 sebagai landasan konstitusional demokrasi ekonomi. Berikut ini adalah pendapat Mubyarto: …kesimpulan kita adalah bahwa terjadinya pengurasan kekayaan alam bukanlah ketentuan Pasal 33 tidak memadai atau karena kesalahan Pasal 33 tetapi karena dasar demokrasi ekonomi benar-benar telah dilanggar atau tidak dilaksanakan. Perubahan dan tertib pembahasan dan perdebatan sengit di antara anggota Tim Ahli bidang ekonomi, khususnya perlu tidaknya Pasal 33 diamandemen, seakan-akan diselenggarakan oleh Kajian Ekonomi Pembangunan Indonesia, Indonesia 3 Juli 2001, hal. 2. 48 Ibid., hal. 3. 49 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, op. cit., hal. 376. Fakultas Ekonomi Universitas mengisyaratkan bahwa jika Pasal 33 tidak diamandemen maka krisis ekonomi tidak akan pernah teratasi, KKN akan terus merajalela…50 Perdebatan yang sengit dalam tubuh tim ahli berujung pada mundurnya Mubyarto dan Dawam Rahardjo dari kenggotaan tim ahli pada 23 Mei 2001. Dalam surat pengunduran dirinya, Mubyarto menyatakan bahwa hal ini adalah konsekuensi atas pendiriannya untuk tetap mempertahankan naskah asli Pasal 33 UUD 1945. Sementara itu tim ahli seolah diamanatkan hanya untuk mengubah Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana usulan perubahan yang dilampirkan dalam TAP MPR No. IX/MPR/2000.51 Mundurnya Mubyarto dan Dawam Rahardjo dari keanggotaan Tim Ahli bidang Ekonomi membuat dominasi kelompok berpandangan neo-liberal semakin kuat. Secara garis besar pandangan neo-liberal menghendaki agar perumusan ketentuan mengenai ekonomi dalam konstitusi memperhatikan tiga hal pokok yakni : intervensi negara yang minimal dan hanya dibenarkan untuk menjamin berjalannya mekanisme pasar serta dijalankan berdasarkan undang-undang; ditegaskannya sistem ekonomi pasar sesuai dengan kenyataan ekonomi kontemporer; dan perlindungan terhadap hak milik pribadi termasuk investasi asing dari pengambilalihan oleh negara.52 Usulan tim ahli tidak banyak memberikan perubahan berarti dalam rumusan perubahan Pasal 33 sebagaimana yang dilampirkan dalam TAP MPR No. IX/MPR/2000. Meski demikian perdebatan sengit yang terjadi antara kutub ekonomi kerakyatan dan ekonomi neo-liberal dalam tubuh Tim Ahli Ekonomi telah memunculkan kembali wacana untuk mempertahankan naskah asli Pasal 33 UUD 1945 sebagai sistem ekonomi yang sesuai dengan jati diri bangsa dalam pembahasan pada perubahan keempat konstitusi. Mundurnya Mubyarto dari keanggotaan Tim Ahli Ekonomi terutama disebabkan oleh keinginan yang kuat dari mayoritas tim ahli dan anggota PAH I untuk menghapuskan asas kekeluargaan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 dan menggantinya dengan asas-asas ekonomi yang lazim digunakan dalam sistem ekonomi pasar seperti “asas efisiensi” dan “asas keadilan”. Dihapuskannya “asas kekeluargaan” akan menimbulkan konsekuensi yuridis bagi keberadaan konsep “penguasaan negara” sebagai mekanisme operasional pelaksanaan sistem ekonomi berdasarakan atas asas kekeluargaan. Hal ini dikarenakan konsep “dikuasai oleh negara” menunjukan intervensi negara yang kuat yang bertentangan dengan prinsip efisiensi karena dalam paradigma ekonomi pasar diyakini dapat mendistorsi perekonomian. Usulan untuk merombak fundamen Pasal 33 UUD 1945 juga tampak dalam pembahasan usulan perubahan keempat UUD 1945. Pada rapat ke-5 PAH I, 25 Februari 2002, Boediono yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan memberikan usulan untuk mengganti asas kekeluargaan: Mengenai asas kekeluargaan…ini adalah nampaknya sebagai suatu istilah yang sangat elastis. Kalau suatu istilah itu begitu elastisnya, itu tampaknya bisa menampung berbagai penafsiran dan akibatnya bisa menimbulkan pengertian yang sangat berbeda mengenai hal ini. Oleh sebab itu, pendapat kami pribadi, alangkah baiknya kalau konteks yang elastis ini diganti, atau bukan diganti, tapi dijabarkan menjadi asas-asas 50 Ibid., hal. 377-378 Mubyarto, Amandemen Konstitusi…,op. cit., hal. 178. 52 Susanti, op. cit., hal. 64-67. 51 yang lebih spesifik. Misalnya soal efisiensi, keadilan, soal pembangunan berkelanjutan, demokrasi ekonomi dalam arti yang lebih spesifik.53 Terkait dengan konsep penguasaan negara, Sjahril Sabirin yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia memberikan pendapat: Kami merasakan misalnya ayat (2) dan (3) itu sudah lebih fleksibel dbandingkan yang lama karena disini cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai, sudah pakai dan atau diatur oleh negara. Jadi, ini sudah lebih fleksibel dibandingkan dengan yang lama sehingga bisa saja pelaksanaannya swasta, tetapi diatur oleh negara sehingga faktor-faktor efisiensi dan lain sebagainya itu dapat dicapai tanpa mengorbankan kepentingan umum.54 Meski demikian perdebatan yang tajam di dalam tubuh tim ahli pada pembahasan perubahan ketiga UUD 1945 telah melahirkan pula wacana untuk kembali ke naskah asli UUD 1945. Sebagaimana diungkapkan oleh Soedijarto dari Fraksi Utusan Golongan pada rapat PAH I tanggal 28 Januari 2002: Disadari bahwa di abad XXI ini dunia telah sepenuhnya menjadi satu kesatuan ekonomi global yang dikuasai oleh kapitalisme global yang menganut pasar bebas. Oleh karena itu, setiap negara harus membangun sistem ekonomi yang handal…Namun banyak negara di Eropa terutama di negara-negara Skandinavia dan Jerman yang merupakan pemain tangguh dalam percaturan ekonomi global, tetapi sistem ekonomi nasionalnya tidak sepenuhnya dikembangkan dengan asas pasar bebas. Oleh karena itu, F-UG berpendapat bahwa Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 harus tetap dipertahankan.55 Perdebatan dalam tubuh tim ahli bidang ekonomi juga mempengaruhi pendapat publik yang menghendaki agar rumusan asli Pasal 33 tetap dipertahankan. Secara politis hal ini turut mempengaruhi pandangan anggota PAH I yang mayoritas menolak diadopsinya pandangan neo-liberal dalam usulan perubahan Pasal 33 UUD 1945. Dalam pembahasan perubahan keempat UUD 1945 tampak keinginan untuk mempertahankan gagasan para pendiri bangsa namun pada saat yang bersamaan juga berupaya untuk mengakomodir globalisasi. Dengan demikian asas kekeluargaan sebagai sistem ekonomi dan konsep penguasaan negara sebagai mekanisme operasional pelaksanaannya tetap dipertahankan. Akan tetapi terdapat pembatasan dan kualifikasi tambahan dalam pelaksanaannya agar tidak terjadi penyimpangan sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Konsep penguasaan negara sebagai operasional penyelenggaran perekonomian atas asas kekeluargaan harus dilaksanakan berdasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.56 Usulan perubahan Pasal 33 ini kemudian ditempatkan menjadi ayat (4) dan (5) dalam Pasal 33 yang rumusan aslinya tetap dipertahankan. Usulan perubahan Pasal 33 disampaikan dalam Rapat Paripurna ke-3 Sidang Tahunan MPR pada 3 Agustus 2002. Meskipun tidak menyampaikan secara eksplisit, fraksi-fraksi di MPR secara prinsip menyepakati rumusan perubahan Pasal 33 UUD 1945. Hal ini menunjukan 53 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, op. cit., hal. 407. Ibid., hal. 395. 55 Ibid., hal. 453 56 Ibid., hal. 468. 54 disepakatinya jalan tengah antara kelompok yang menginginkan agar rumusan asli Pasal 33 tetap dipertahankan dan kelompok yang menginginkan agar konstitusi adaptif dengan perkembangan ekonomi yang semakin dinamis. Soetjipno dari Fraksi PDIP bahkan menyatakan bahwa tetap dipertahankannya rumusan asli Pasal 33 sesuai dengan cita negara hukum (rechtstaat) dan kedaulatan rakyat (volkssouvereiniteit) yang berkembang ke arah negara hukum materiel (materiele rechtstaat), sehingga kedaulatan rakyat juga mencakup bidang ekonomi selain bidang politik.57 Meski demikian terdapat pula kekhawatiran terjadinya distorsi dan bias akademik dengan diadopsinya kata “efisiensi” dalam rumusan ayat (4) yang dapat melumpuhkan paham “kebersamaan dan kekeluargaan” dengan paham individualisme dan liberalisme ekonomi.58 Selain itu perubahan judul bab yang menaungi Pasal 33 yang sebelumnya berjudul “Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial” dikhawatirkan akan menjadikan posisi rakyat dan kemakmuran rakyat yang substansial menjadi derivat dari perekonomian.59 Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Sri-Edi Swasono anggota Fraksi Utusan Golongan: …mengenai Pasal 33 telah diubah dari judul aslinya, justru ini akan menimbulkan distorsi yang sangat-sangat jauh…Justru judul bab yang lama, “Kesejahteraan Sosial” artinya bahwa ekonomi itu merupakan derogate dari tujuan mensejahterakan rakyat. Jadi, tujuan utamanya adalah mensejahterakan rakyat dan ekonomi harus mendukung dan harus menjadi referensi…jadi, kalau dibalik maka tidak jelas lagi subject matternya di dalam kehidupan ekonomi…Kedua mengenai ayat (4)…dalam rumusan seperti ini menimbulkan semacam kontradiksi dan inkonsistensi dan bahkan mungkin menimbulkan penafsiran yang tidak jelas…misalnya efisiensi, efisiensi ini dalam scope apa? Sebab kalau hanya efisiensi saja…akan terjadi struktur proses produksi yang sangat berubah menjadi kapital intensif…Dengan kata lain, harus ada perkataan efisiensi yang berkemandirian, efisiensi yang berkeadilan…60 Menurut Sri-Edi Swasono, pencantuman kata “efisiensi” memiliki implikasi serius sebab dalam ilmu ekonomi kata “efisiensi” berorientasi pada perolehan keuntungan maksimum (maximum gain) dalam aktivitas usaha dan kepuasan maksimum (maximum satisfaction) dalam transaksi ekonomi individu.61 Hal ini merupakan dasar dari paham ekonomi neo-klasik yang berkembang menjadi paham ekonomi neo-liberalisme yang beroperasi melalui pasar bebas. Agar prinsip efisiensi sesuai dengan demokrasi ekonomi menurut Pasal 33, maka perlu dilakukan perubahan menjadi efisiensi ekonomi yang berdimensi kepentingan sosial yang tidak berorientasi pada kepentingan perorangan. Dengan mencantumkan kata “efisiensi berkeadilan” maka pelaksanaan prinsip efisiensi dalam kegiatan ekonomi harus berdasarkan kepada pemihakan terhadap yang lemah, yang miskin, dan yang terbelakang dalam rangka mewujudkan keadilan.62 57 Ibid., hal. 478 Sri Edi Swasono, “Mewaspadai Otoritarianisme dan Tirani Ekonomi…”,op. cit., hal. 11. 59 Ibid., Hal. 12. 60 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, op. cit., hal. 476 61 Swasono, “Mewaspadai Otoritariansime dan Tirani Ekonomi…”, op. cit., hal. 14. 62 Ibid., hal. 13. 58 Usulan Sri-Edi Swasono untuk mengubah kata “efisiensi” menjadi “efisiensi berkeadilan” mementahkan kembali usulan perubahan yang diajukan oleh PAH I BP MPR. Setelah melalui berbagai pembahasan akhirnya pada 8 Agustus 2002 PAH I menyepakati perubahan kata “efisiensi” menjadi “efisiensi berkeadilan” pada Pasal 33 ayat (4), dan pada sidang paripurna MPR tanggal 10 Agustus 2002 ditetapkan menjadi bagian dari perubahan keempat UUD 1945.63 Adapun rumusan Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara lengkap adalah: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 4) Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan Pasal ini diatur dalam undang-undang. d. Interpretasi Mahkamah Konstitusi atas Hak Menguasai Negara Politik hukum liberal tidak lama setrelah amandemen UUD 1945 yang tampak pada perundang-undangan privatisasi BUMN dan sektoral menimbulkan polemik yang luas di masyarakat. Pengajuan undang-undang privatisasi sektoral, seperti UU ketenagalistrikan, UU Minyak dan Gas Bumi, dan UU Sumber Daya Air serta Undang-undang Penanaman Modal ke Mahkamah Konstitusi merupakan wujud penolakan masyarakat terhadap kebijakan privatisasi pasca reformasi.64 Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 194565 membuka peluang bagi resistensi terhadap derasnya arus liberalisasi ekonomi yang mewarnai proses pembentukan hukum setelah amandemen keempat konstitusi. Lima perundang-undangan yang terkait dengan penguasaan negara atas sumber-sumber kemakmuran yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi yakni UU Ketenagalistrikan, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal memilki benang merah yang dapat dilihat dari dalil permohonan pengujian perundang-undangan tersebut. Benang merah tersebut berkaitan dengan penetrasi liberalisme/neo-liberalisme dalam bentuk deregulasi, privatisasi, liberalisasi, dan komersialisasi dalam pengelolaan sumber-sumber kemakmuran. Hal tersebut dianggap akan mereduksi peran negara dalam penguasaan sumbersumber kemakmuran menurut Pasal 33 UUD Negara RI Tahun 1945 dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. 63 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, op. cit., hal. 484. Yudho, op. cit., hal. 97-99. 65 Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik ayat 1. 64 Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 C Atas pengajuan permohonan pengujian tersebut, dilihat dari amar putusannya Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang bebeda-beda. Ada pemohonan yang dikabulkan secara keseluruhan (UU Ketenagalistrikan), ditolak dengan conditionally constitutional (UU Sumber Daya Air),66 dan dikabulkan sebagian (UU Minyak dan Gas Bumi dan UU Penanaman Modal). Meski putusan yang diberikan berbeda-beda, namun lewat putusan-putusan ini Mahkamah Konstitusi telah berperan memberikan penafsiran atas frasa “dikuasai oleh negara” yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD Negara RI tahun 1945. Dalam memberikan penafsiran terhadap frasa “dikuasai oleh negara” Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam ketentuan tersebut terdapat daya berlaku normatif sebagai berikut: 1. Konstitusi memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak; 2. Kewenangan tersebut ditujukan kepada mereka baik yang akan maupun yang telah mengusahakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pada cabang produksi yang jenis produksinya belum ada atau baru akan diusahakan, yang jenis produksi tersebut penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, negara mempunyai hak diutamakan/didahulukan yaitu negara mengusahakan sendiri dan menguasai cabang produksi tersebut serta pada saat yang bersamaan melarang perorangan atau swasta untuk mengusahakan cabang produksi tersebut. 3. Pada cabang produksi yang diusahakan oleh perorangan atau swasta dan ternyata produksinya penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, negara dapat mengambil alih cabang produksi tersebut dengan cara yang sesuai dengan aturan hukum yang adil.67 Penguasaan oleh negara, menurut Mahkamah Konstitusi, tidak ditujukan untuk kekuasaan semata melainkan agar negara dapat menunaikan kewajibannya sebagaimana yang tecantum dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945. Penguasaan negara atas cabang produksi mengandung misi untuk memenuhi kepentingan masyarakat, yaitu: ketersediaan yang cukup, distribusi yang merata, dan terjangkaunya harga bagi banyak orang.68 Kedua hal ini merupakan keutuhan paradigma yang dianut oleh konstitusi dan merupakan cita hukum (rechtside) dari UUD Negara RI Tahun 1945. Konsep penguasaan menurut Mahkamah 66 negara dalam Pasal 33 UUD Negara RI Tahun 1945 Konstitusi mengandung pengertian yang lebih tinggi dan Yang dimaksud dengan conditionally constitutional dalam putusan pengujian UU Sumber Daya Air terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah bahwa dalam menjalankan undang-undang tersebut pemerintah haruslah memperhatikan pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Jika pelaksanaannya ditafsirkan lain, maka undangundang tersebut tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan pengujian kembali. Hal ini merupakan terobosan hukum yang dilakukan oleh MK mengingat undang-undang menyatakan bahwa pengujian udang-undang terhadap konstitusi adalah final dan mengikat. Lihat: Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005, hal. 495 67 Ibid., hal. 329-330 68 Ibid lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsep penguasaan negara adalah konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam konstitusi, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itulah rakyat dipahami sebagai sumber, pemilik, sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam pengertian tertinggi tersebut, tercakup pula kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.69 Meski menolak konsepsi perdata dalam konsep penguasaan negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kepemilikan perdata itu adalah suatu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kemakmuran.70 Dengan demikian, meski Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa konsep penguasaan negara berdimensi hukum publik, hal itu tidak berarti bahwa peran negara direduksi menjadi sebatas pengatur (regulator) dalam kegiatan perekonomian. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah kemudian mengintroduksi penafsiran penguasaan negara dalam Pasal Negara RI Tahun 1945 yang mencakup lima fungsi, yakni71: Konstitusi 33 UUD 1. Fungsi Pengurusan oleh negara (Besturdaad) dilakukan dengan kewenangan negara dalam hal ini pemerintah untuk mengeluarkan dan mencabut faslitas perizinan, lisensi, dan konsesi. 2. Fungsi pengaturan oleh negara (Regelandaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah. 3. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan untuk medayagunakan sumber-sumber kemakmuran untuk rakyat. 4. Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara dalam hal ini pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan negara atas cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 5. Fungsi kebijakan oleh negara (beleid) dilakukan dengan kewenangan untuk mengadakan dan merumuskan kebijakan. Selain mendefinisikan cakupan fungsi penguasaan negara, dalam putusan pengujian Undangundang Minyak dan Gas Bumi MK menyatakan bahwa tingkat konstitusionalitas penguasaan negara dapat dilihat secara bertingkat. Pada tingkatan pertama, penguasaan negara dilakukan 69 Ibid., hal. 332-333. Ibid. 71 Ibid., hal. 334. 70 dengan pengelolaan langsung sumber daya alam oleh negara. Jika negara sudah memiliki kemampuan teknologi dan finansial namun tidak melakukan pengelolaan tersebu, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan yang inkonstitusional. Pada tingkatan kedua, negara membuat kebijakan dan pengurusan yang hanya dapat dibenarkan (dinyatakan konstitusional) jika negara secra faktual belum memiliki kemapuan untuk menjalankan penguasaan negara pada tingkatan pertama. Pada tingkatan terakhir, yang hanya dibenarkan jika negara sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam secara langsung, penguasaan negara dilakukan dengan menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan. Mahkamah berpandangan bahwa untuk memastikan penguasaan negara diterapkan secara konstitusional akan menjamin tercapainya unsur “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3), sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah dalam putusannya: Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyt. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumer daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungna bagi negara aan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Meski menegaskan peran dominan negara dalam penguasaan atas sumbersumber kemakmuran, Mahkamah Konstitusi juga memberikan keabsahan atau konstitusionalitas bagi pelaksanaan privatisasi. Hal ini terkait dengan penafsiran Mahkamah terhadap asas efisiensi berkeadilan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945.72 Dalam fungsi pengelolaan (behersdaad) yang dilakukan oleh BUMN melalui kepemilikan perdata atas saham, diperbolehkan adanya share-holding atau berbagi saham antara saham dari pemerintah dengan saham modal swasta. Selengkapnya Mahkamah dalam amar putusannya menyatakan: …maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun pemerintah hanya memiliki saham mayoritas-relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas pemilikan saham pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945…73 Terkait dengan penafsiran Pasal 33 ayat (4), dalam putusan pengujian Undang-undang Penanaman Modal, Mahkamah Konstitusi menjabarkan prinsip-prinsip dasar 72 73 Ibid., hal. 336. Ibid., hal. 336 demokrasi ekonomi yang diturunkan Negara RI Tahun 1945 sebagai berikut74: dari Pasal 33 ayat (4) UUD 1. Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mengedepankan efisiensi yang berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif dan berdaya saing. 2. Asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang. 3. Asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. 4. Asas kemandirian adalah asas yang mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi. 5. Asas keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional, adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan nasional. Penafsiran makna demokrasi ekonomi yang merujuk pada Pasal 33 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi berbeda dengan penjabaran mengenai demokrasi ekonomi sebagaimana yang tercantum dalam Penejelasan UUD 1945 sebelum dihapuskan pada amandemen keempat. Demokrasi ekonomi menurut penjelasan UUD 1945 diartikan dengan produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. 2. Kronik Pengaturan Kegiatan Pertambangan Freeport Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh Freeport di wilayah Papua adalah contoh yang paling tepat untuk menggambarkan relasi Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat dengan kekuatan investor asing. Berbagai kemudahan dalam hal regulasi dan pemberian konsesi yang diberikan negara kepada Freeport -yang dengan sendirinya menyimpangi mandat penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3), dan berbagai ancaman Freeport untuk membawa persoalan yang muncul berkenaan dengan penyesuaian aktivitas mereka terhadap aturan yang lebih ketat ke forum arbitrasi internasional mempertegas relasi yang tidak imbang antara negara dengan sebuah entitas privat. Bagian ini akan menganalisis beberapa regulasi dan kebijakan penting yang memberikan legitimasi kepada Freeport untuk menjalankan aktivitas usahanya di Papua. Analisis tersebut akan digunakan untuk menilai sejauhmana kegiatan usaha Freeport telah sejalan dengan mandat penguasaan negara atas sumber daya alam yang diatur di Pasal 33 ayat (3) yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya. 74 Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 21-22/PUU-V/2007, hal. 221-222. a. Linimasa Aktivitas Freeport di Indonesia Eksplorasi potensi tambang di Papua telah dilakukan sejak tahun 1936 saat tim yang dimpimpin Dozy menemukan gunung bijih (Ertsberg) yang kaya akan tembaga dan emas. Pada tahun 1960 sebuah ekspedisi yang dimpimpin oleh Forbes Wilson dilakukan dengan tujuan untuk menemukan kembali Erstberg. Segera setelah rezim berganti di Jakarta, di tahun 1967 Freeport dan Pemerintah Republik Indonesia menyepakati Kontrak Karya I dengan Freeport Inc. yang berlaku selama tiga puluh tahun sejak Freeport resmi beroperasi di tahun 1973. Terwujudnya kesepakatan Kontrak Karya tidak bisa dilepaskan dari lahirnya berbagai regulasi di awal pemerintahan Orde Baru yang secara radikal merombak orientasi perekonomian nasional dari semua berorientasi pada sosialisme menuju sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka. Pada tahun 1988 potensi tambang lain ditemukan oleh Freeport di Grasberg. Berkenaan dengan itu Kontrak Karya II disiapkan untuk menjamin investasi besar yang dikeluarkan oleh Freeport untuk menambang Grasberg. Kontrak Karya II disepakati di tahun 1991 antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia yang berlaku selama 30 tahun (berakhir tahun 2021) dengan kemungkinan perpanjangan sebanyak 2 kali selama 10 tahun (berakhir tahun 2041). Aturan baru tentang kegiatan pertambangan mineral dan batu bara disahkan oleh DPR pada tahun 2009 (Undangundang No. 4 Tahun 2009) yang memandatkan penyesuaian pola hubungan antara pemerintah dengan investor dalam skema perzinan bukan hubungan kontraktual keperdataan. Perubahan ini diikuti oleh kewajiban-kewajiban lain sebegai konsekuensi dari perubahan tersebut, diantaranya kewajiban melakukan pengolahan raw material dengan pembangunan smelter dan pelarangan ekspor konsentrat. Upaya tersebut dilakukan oleh negara untuk meningkatkan nilai tambah dari kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh investor asing. Berkenaan dengan hal tersebut, pada tahun 2012 dan 2014 dilakukan perundingan renegosiasi dalam rangka amandemen kontrak karya yang mencakup pembahasan mengenai: luas wilayah, kelanjutan operasi pemurnian, penggunaan barang, jasa, dan tenaga kerja dalam negeri. Pada tahun 2015, dicapai sebuah nota kesepahaman baru antara pemerintah dengan Freeport yang berisi: komitmen Freeport untuk memberikan tambahan kontribusi lebih besar bagi rakyat Papua; peningkatan aspek keselamatan kerja; peningkatan pemanfaatan kandungan local dalam operasional Freeport; jaminan perpanjangan kegiatan Freeport dari pemerintah dengan melakukan revisi peraturan pemerintah berkenaan dengan perpanjangan kontrak; komitmen Freeport untuk tunduk kepada UU 4/2009 dengan menyetujui perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Point kesepakatan terakhir memicu konflik baru sebab Freeport berpandangan hal tersebut menyimpangi kesepakatan Kontrak Karya dan pemerintah dianggap melanggar kesucian kontrak (pacta sun servanda). Ekskalasi tensi hubungan pemerintah dengan Freeport semakin meningkat di awal tahun 2017 seiring dengan keinginan pemerintah untuk mempercepat penerapan ketentuan dalam UU 4/2009. Pada tanggal 12 Januari 2017, Freeport tidak lagi mendapatkan izin untuk melakukan ekspor konsentrat. Pada tanggal 20 Januari 2017 Freeport memberikan tenggat waktu selama 120 hari kepada pemerintah untuk mempertimbangkan kembali point-point perbedaan antara pemerintah dan Freeport terkait pemberian izin rekomendasi ekspor berdasarkan ketentuan kontrak karya (KK). Terkait dengan hal tersebut, Freeport menyatakan telah mempersiapkan upaya hukum untuk membawa persoaan ini ke forum arbitrase internasional jika dalam kurun waktu 120 hari tidak dicapai kesepakatan baru. Freeport bersikukuh untuk mempertahankan ketentuan dalam Kontrak Karya yang disepakati sebelumnya dan dengan demikian menolak penyesuaian ketentuan hukum dan fiskal yang mengiringi perubahan status menjadi IUPK. Freeport beragumen bahwa selain asas kesucian kontrak, UU 4/2009 juga memberikan legitimasi bagi berlakunya KK sampai dengan masa berlakunya habis. Polemik ini untuk sementara berakhir setelah Freeport mendapatkan status IUPK Sementara pada tanggal 17 Februari 2017 yang membuka peluang bagi Freeport untuk mengajukan permohonan izin ekspor konsentrat sesuai dengan ketentuan perundang-undang yang berlaku. Jalan keluar sementara ini dimungkinkan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan dua peraturan menteri ESDM yang diterbitkan di hari yang sama dengan diterbitkannya peraturan ini: Peraturan Menteri ESDM No 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pemgolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri; dan Peraturan Menteri ESDM No. 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral Keluar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. b. Konstitusionalitas Kegiatan Pertambangan Freeport Diberikannya status IUPK Sementara kepada Freeport tidak serta merta menghentikan polemik penyesuaian kegiatan usaha pertambangan Freeport agar sejalan dengan mandat UU No. 4/2009. Regulasi ini secara tidak langsung hendak berupaya mengoreksi kekeliruan yang dibuat oleh pemerintah di masa silam yang bertindak seolah sebagai pemilik kekayaan alam yang dengannya melakukan tindakan keperdataan dengan pihak lain dalam sebuah hubungan kontraktual. Hal ini secara nyata melanggar prinsip penguasaan negara yang dibatasi hanya dalam dimensinya yang bersifat publik sebagaimana yang diatur dalam UUPA yang saat negosiasi kontrak karya generasi pertama dilakukan di tahun 1967 masih berlaku dan memiliki kekuatan hokum mengikat. Penyimpangan atas ketentuan UUPA tidak bisa dilepaskan dari perubahan arah kebijakan dan politik hukum pemerintah Orde Baru yang mengikuti perubahan orientasi pembangunan dan perekonomian yang sebelumnya sosialistis dan cenderung menjurus pada etatisme menjadi lebih terbuka terhadap investasi asing dan keterlibatan sektor swasta. Kontrak Karya antara Freeport dengan pemerintah pertama kali disepakati pada 7 April 1967 dengan menggunakan paying hukum Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Pasal 8 UU No. 1/1967 menyatakan bahwa kegiatan PMA di bidang pertambang dilakukan dengan bentuk kontrak karta atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini ditegaskan kembali di Pasal 10 UU No. 11/1967 yang menyatakan bahwa dalam mengusahakan kegiatan pertambangan, pemerintah dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk mengadakan perjanjian kontrak karya. Pilihan untuk menggunakan kontrak karya dilakukan karena pada saat itu belum ada bentuk baku perjanjian kerjasama pengusahaan tambang, sehingga dipilih model yang serupa dengan kontrak bagi hasil pada investasi asing dalam kegiatan pertambangan minyak bumi. Sebagai hubungan kontraktual antara kedua belah pihak, Kontrak Karya merupakan hukum yang mengikat baik bagi pemerintah Indonesia maupun bagi Freeport dan atasnya berlaku asas kesucian kontrak (pacta sun servanda). Pasal 21 dalam Kontrak Karya ini memastikan bahwa semua sengketa yang timbul akibat pelanggaran isi kontrak dalam hubungan kontratual ini akan dibawa ke mekanisme sengketa arbitrase internasional (UNCITRAL) berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan dilakukan setelah menempuh proses konsutasi dan negosiasi untuk menemukan jalan keluar. Hal ini merupakan konsekuensi langsung atas bentuk hubungan anatara pemerintah dan Freeport yang mengikatkan diri dalam hubungan keperdataan. Negara, yang diwakili pemerintah, dianggap memiliki kedudukan hukum yang setara dengan sebuah badan usaha sehingga segara perubahan berkenaan dengan pengaturan kegiatan Freeport tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh Negara selaku penguasa publik. Hal ini jelas membatasi pelaksanaan fungsi negara dalam melakukan penguasaan atas sumber daya alam sesuai dengan mandat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral dan Batu Bara meluruskan kekeliruan ini dengan mengembalikan fungsi negara sebagai penguasa publik atas sumber daya alam -bukan sebagai penguasa privat yang dapat melakukan hubungan konraktual dengan pihak ketiga, yang ditandai dengan mandat penyesuaian semua rezim kontrak dalam kegiatan pertambangan (kontrak karya dan perjanjian karya penguasaan batu bara) menjadi rezin perizinan. Dengan demikian UU No. 4/2009 menginginkan perubahan pengaturan dari hukum keperdataan menjadi hukum administrasi negara dalam relasi antara negara dengan investor yang mengusahakan kegiatan pertambangan. Berkenaan dengan hal ini, Pasal 169 UU No. 4/2009 menyatakan bahwa semua kegiatan pertambangan yang dilakukan dalam kerangka rezim kontrak yang telah ada saat undang-undang ini dibuat tetap dinyatakan berlaku sampai berakhirnya periode kontrak dengan kewajiban melakukan penyesuaian isi kontrak dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang paling lambat 1 tahun sejak berlakunya undangundang No. 4/2009. Jika dipahami secara utuh, ketentuan dalam undang-undang ini menghendaki kegiatan pertambangan dengan alas hak berupa kontrak karya (atau PKP2B) diubah menjadi IUP (Izin Usaha Pertambangan) Khusus dan dilaksanakan di wilayah yang telah ditetapkan oleh menteri sebagai WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) Perubahan signifikan dari perubahan rezim kontrak menjadi rezim perizinan adalah berubahnya pola relasi antara negara sebagai badan hukum dengan investor yang tidak lagi setara dalam sebuah perjanjian melainkan menjadi pola relasi administratif dimana negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh penerima izin. Hal ini juga berdampak pada pilihan penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme peradilan tata usaha negara, bukan mekanisme arbitrase karena objek sengketa adalah kebijakan/keputusan tata usaha negara yang dibuat oleh pemberi izin. Secara fiskal, perubahan ini juga akan memaksa Freeport untuk menyesuaikan pengenaan sistem perpajakan dengan ketentuan nasional yang berlaku bukan menggunakan pola pengenaan pajak tetap yang disepakati saat kontrak dibuat. Perubahan rezim kontrak menjadi rezim izin merupakan langkah yang dilakukan untuk menjamin konstitusionalitas penyelenggaraan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3). Selain mengembalikan kedudukan negara sebagai penguasa publik, UU No. 4/2009 juga memuat ketentuan lain yang didisain sebagai langkah negara untuk menjamin penguasaan negara yang memastikan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat sesuai dengan original intent dan penafsiran Mahkamah Konstitusi mengenai penerapan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan penting yang diatur dalam UU No. 4/2009 dan menjadi pokok persoalan yang dipermasalahkan Freeport karena dianggap mencederai kontrak mencakup: Pertama, ketentuan mengenai larangan melakukan ekspor konsentrat disertai dan kewajiban pengelolaan dan pemurnian dalam negeri sebagai upaya untuk hilirisasi industri pertambangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 79-102,103, 104,124. Dalam konteks ini, UU No. 4/2009 memandatkan kepada Freeport selaku pemegang Kontrak Karya untuk melakukan pemurnian di dalam negeri dalam kurun waktu 5 tahun sejak diberlakukannya UU No. 4/2009 (Pasal 170). Jika dilihat dari rumusan penormaannya, ketentuan ini bersifat imperatif, bersifat keharusan, dan tidak membuka penafsiran lain selain yang tertulis dalam narasi teks. Meski demikian, pada kenyataannya dalam konteks Freeport, pengecualian dapat diberikan di mana Freeport mendapatkan kelonggaran perpanjangan tenggat waktu untuk melakukan pemurnian di dalam negeri hingga 2 tahun dari berakhirnya tenggat yang diatur dalam undang-undang di tahun 2014. Kedua, Adanya kewajiban untuk melakukan divestasi hingga mencapai 51% dalam jangka waktu 5 tahun setelah beroperasinya kegiatan pertambangan75. Dengan ketentuan ini pemilikan saham di badan usaha pemegang IUP dan IUPK dapat secara berangsur beralih dari pemilikan asing ke pemilikan oleh negara (pemerintah atau pemerintah daerah), badan usaha milik negara atau daerah, atau badan usaha swasta nasional. Ketiga, ketentuan mengenai pembatasan areal konsesi pertambangan (mineral logam) yang dapat diberikan bagi pemegang IUPK yakni maksimal seluas 100.000 hektare untuk tahap eksplorasi dan 25.000 hektar untuk tahap operasi produksi.76 Keempat, ketentuan perpanjangan masa kegiatan pertambangan hanya diberikan paling lama 20 tahun yang sebanyak dua kali masing-masing 10 tahun dan setelah habis masa berlaku dan perpanjangannya areak konsesi harus dikembalikan ke pemerintah. Ketentuan ini hanya dapat berlaku jika pemegang rezim kontrak telah mengubah alas hukumnya menjadi IUPK.77 Kelima, adanya ketentuan untuk sebanyak mungkin menggunakan barang dan jasa dari dalam negeri dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan. 78 Keenam, penyesuaian pengenaan tarif penerimaan negara bukan pajak dari iuran produkis/royalti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terbaru. Dalam konteks Freeport, royalti yang harus dibayarkan adalah 4 persen dari harga jual per ton untuk tembaga; 3,75 persen untuk emas; dan 3,25 persen unyuk perak.79 Keenam, selain kewajiban melakukan pembarana pajak dan pembayaran bukan pajak berupa iuran-iuran, UU No. 4/2009 juga memuat kewajiban bagi pemegang IUPK Operasi Produksi untuk melakukan pembayaran sebesar 4 persen kepada Pemerintah dan 6 persen kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berporduksi.80 Menilik pada rumusan ketentuan-ketentuan ini di dalam UU No. 4 Tahun 2009, terlihat bahwa semua ketentuan tersebut bertujuan untuk memberikan manfaat yang lebih besar bagi negara dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh swasta atau asing. Selain itu penormaan ketentuan-ketentuan tersebut bersifat imperatif atau keharusan. Dengan demikian semua badan usaha penyelenggara kegiatan pertambangan, tidak terkecuali Freeport, harus tunduk pada ketentuan ini. Di sisi lain pemerintah juga seharusnya bersungguh-sungguh 75 Pasal 79 dan 112 UU No. 4 Tahun 2009 Ibid., Pasal 83 77 Ibid., Pasal 83 Jo. Pasal 112 B PP No. 77 Tahun 2014 78 Ibid., Pasal 141 79 Ibid., Pasal 128, 131, 132 Jo. Lampiran 1 PP No. 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 80 Ibid., UU No. 4 Tahun 2009, Pasal 129. 76 dalam penerapan ketentuan-ketentuan ini. Pengecualian yang seolah terus menerus diberikan kepada Freeport akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemerintah untuk melakukan penataan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berorientasi pada sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pemberian “IUPK Sementara” kepada Freeport adalah langkah mundur yang hanya dilandasi oleh pragmatisme yang mengabaikan semangat penataan pengelolaan sumber daya alam berdasar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selain istilah “IUPK Sementara” tidak dikenal dalam rezim perundang-undangan minerba yang berlaku saat ini, bentuk “perizinan” ini tidak lain merupakan quasi-izin, izin semu yang “palsu” sebab sama sekali tidak mengubah ketentuan dalam kontrak karya yang menjadi pokok permasalahan konstitusionalitas penyelenggaraan kegiatan tambang dalam hubungan kontraktual keperdataan. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh pemerintah, IUPK Sementara tidak lebih dari sekedar alat negosiasi dengan Freeport yang mengancam akan menghentikan kegiatan operasi, melakukan PHK massal hingga membawa polemik ini ke forum arbitrase internasional. Secara tidak langsung hal ini menunjukan ketidakberdayaan pemerintah dihadapan investor asing yang beroperasi di Indonesia. Di sisi lain, kesungguhan pemerintah untuk menjalankan mandat konstitusional Pasal 33 ayat (3) di sektor pertambangan sendiri patut dipertanyakan. Hal ini berkaitan dengan diterbitkannya paket peraturan pelaksana UU No. 4/2009 di awal tahun 2017: Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara; Peraturan Menteri ESDM No. 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri; Peraturan Menteri ESDM No. 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Persyaratan dan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral Keluar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Secara substantif materi muatan ketiga peraturan ini bertentangan dengan UU No. 4/2009, dan secara prosedural terdapat potensi pelanggaran administrasi dalam penyusunan peraturan perundangundangan sebab ketiga peraturan yang sifatnya hirarkis ini dibuat di hari yang sama. Hal ini dapat mengindikasikan peraturan menteri yang disusun tidak sepenuhnya dibuat berdasarkan peraturan pemerintah yang menjadi acuannya serta secra tidak langsung memastikan tidak adanya prosedur partisipasi publik dalam penyusunannya. Ketentuan pokok dalam UU No. 4/2009 dibuat dalam penormaan yang bersifat imperatif bukan opsional. Sehingga semestinya tidak ada penafsiran lain dalam penerapannya. Akan tetapi hal ini tidak tampak dalam tiga peraturan organik sebagai peraturan pelaksanaannya yang disahkan di awal tahun 2017 ini dan cenderung menunjukan kontradiksi satu dengan lainnya. Kontradiski itu dapat dilihat atara lain: Pertama, terbukanya peluang bagi pemegang IUP Operasi Produksi (IUP OP) untuk melakukan ekspor tanpa harus melakukan pemurnian di dalam negeri sebagaimana diatur di Pasal 112C angka 4 PP No. 1/2007. Hal ini bertentangan dengan Pasal 102-103 UU No.4/2009 yang secara tegas mencantumkan kewajiban melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Kedua, adanya peluang untuk melakukan ekspor bagi pemegang IUP OP, IUPK OP, dan IUP OP khusus pengolahan dan/atau pemurnian setelah terpenuhinya batas minimum kuota pemanfaatan mineral logam dari hasil penambangan dalam negeri sebagai bagian dari kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian sebagaimana di atur di Pasal 9 dan 10 ayat (2) dan (3) Permen ESDM No. 5/2017 dan Pasal 2 Permen ESDM No. 6/2017. Secara substantif ketentuan ini pada dasarnya dapat dibenarkan, namun secara formal Pasal 103 ayat (3) dengan tegas menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini akan diatur dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian kedua peraturan menteri tersebut mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam bentuk peraturan pemerintah sebagaimana dimandatkan oleh peraturan yang menjadi dasar hukum/rujukannya. Hal ini juga menunjukan penyusunan kedua peraturan ini telah melanggar ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang. Ketiga, Pasal 17 angka 2 Permen ESDM No. 5 Tahun 2017 membuka ruang penafsiran bahwa pemegang kontrak karya dapat serta merta mengajukan perubahan bentuk pengusahaan pertambangannya menjadai IUPK Operasi Produksi sebagai bagian dari prasyarat untuk mendapatkan izin ekspor ke luar negeri. Hal ini bertentangan dengan ketentuan mengenai prosedur untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagaimana diatur di Pasal 27-33, Pasal 74, dan Pasal 83 UU No. 4/2009. Ketetuan tersebut mensyaratkan bahwa IUPK hanya bisa diberikan di kawasan yang telah ditetapkan sebagai WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) yang merupakan bagian dari WUPK (Wilayah Usaha Pertambangan Khusus). Keberadaan WUPK sendiri amat bergantung dari penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang dalam prosesnya harus mendapatkan peretujuan Dewan Perwakilan Rakyat dengan memeprtimbangkan aspirasi daerah. Semangat utama yang dibawa oleh UU No. 4/2009 adalah pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kerangka ini, regulasi tersebut mendorong perubahan rezim kontrak menuju rezim perizinan dan upaya hilirisasi industri tambang yang memberikan nilai lebih dan manfaat lebih besar bagi masyarakat melalui kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri serta penerapan larangan ekspor konsentrat. Semangat yang sama juga dapat dilihat dalam arah politik dan kebijakan anggaran pemerintah sebagaimana tercantum dalam Nota Keuangan RAPBN 2017 yang mencantumkan kebijakan hilirisasi industri mineral tambang melalui proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah 81 serta kebijakan untuk melakukan percepatan amandemen kontrak karya dan PKP2B sebagai salah satu kebijakan yang ditempuh untuk meningkatan penerimaan negara SDA Non-Migas yang ditagretkan mencapai Rp. 23.195,9 miliar atau meningkat sebesar 6,2 persen dari target APBN tahun 2016.82 Oleh karena itu, sudah semestinya pemerintah konsisten menjalankan mandat UU No. 4/2009 untuk menjamin konstitusionalitas penyelenggaraan kegiatan pertambangan. Keengganan Freeport untuk tunduk pada upaya penataan kegiatan pertambangan yang menempatkan kepentingan nasional diatas kepentingan investor ini hendaknya tidak menjadi momok untuk melakukan penataan kegiatan tambang sesuai dengan arahan Pasal 33 ayat (3). Jika menjadikan asas kesucian kontrak sebagai alasan, perlu diperhatikan bahwa keabsahan suatu perjanjian hanya berlaku selama isinya tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan kepatutan.83 Jika pada akhirnya polemik ini dibawa ke forum abitrase internasional, perlu diperhatikan pula bahwa Freeport pun telah melakukan pelanggaran kesepakatan Kontrak Karya II yang memandatkan divestasi saham sebesar 51 persen, namun pada kenyataannya Freeport menegosiasikan penurunan kewajiban divestasi menjadi 30 persen pada tahun 2014. Selain itu jika menilik pada rumusan Kontrak Karya, disebutkan bahwa yurisdiksi forum arbitrase tidak berlaku secara unilateral artinya hanya berlaku ketika kedua belah pihak telah 81 Republik Indonesia, Nota Keuangan dan RAPBN 2017, Hal. 58 Republik Indonesia, Nota Keuangan dan RAPBN 2017, Hal. 81 83 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pasal 1338 82 sama-sama menyepakati dibawanya sebuah sengketa untuk diselesaikan di forum abitrase yang dimaksud.84 Dengan memperhatikan posisi, kedudukan, dan legitimasi konstitusional dan yuridis pemerintah untuk mendorong penataan pengelolaan kegiatan pertambangan, pemerintah seharusnya tidak gentar dengan ancaman Freeport perihal sengketa di forum arbitrase internasional. Sebagaimana akan dijelaskan di bagian berikutnya, terdapat preseden dan argumentasi hukum yang dapat digunakan untuk memeperkuat pemenuhan dan penghormatan atas kepentingan nasional dalam relasi antara investor asing dengan negara. Ketidakberdayaan negara dalam menunjukan superioritasnya dalam sengketa ini dapat menjadi preseden buruk bagi penataan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang yang dilakukan oleh investor asing yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di masa yang akan datang. III. Tinjauan Hukum Investasi Internasional Polemik antara pemerintah dengan Freeport seiring dengan upaya pemerintah untuk melakukan penataan penyelenggaraan kegiatan pertambangan merepresentasikan hubungan yang kerap kali bersifat dialektis antara kepentingan nasional dari negara penerima investasi (host States) dengan kepentingan investor asing, baik itu yang berbentuk perusahaan swasta maupun perusahaan asing yang dimiliki oleh negara (State owned companies), maupun dengan negara asal investor asing tersebut. Hukum investasi internasional sebagai salah satu disiplin dalam ilmu hukum internasional berusaha menjembatani hubungan dialektis tersebut dengan mengupayakan sebuah kerangka aturan tentang investasi asing yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam kurun 65 tahun terakhir berbagai upaya, baik dalam kerangka PBB ataupun melalui mekanisme multilateral lainnya, telah dilakukan untuk mengkodifikasi dan mengembangkan kerangka aturan dalam hubungan investasi internasional.85 Namun sampai saat ini belum ada satu perjanjian internasional yang secara komprehensif berhasil dicapai. Hal ini berbeda misalnya dengan areal lain dalam hukum internasional seperti hukum laut, hukum lingkungan dan hak asasia manusia yang telah memiliki perangkat aturan internasional dan body of knowledge yang kokoh. Hukum investasi internasional karenanya masih mengacu pada hukum kebiasaan internasional (customary international law), yurisprudensi dari peradilan internasional dan tribunal, perjanjian-perjanjian investasi bilateral, dan berbagai insrumen soft law yang dikembangkan dalam kerangka PBB atau organisasi-organisasi di bawahnya.86 Bagian ini akan mengelaborasi perkembangan hukum investasi internasional sebagai rujuan untuk menganalisis sejauh mana kepentingan nasional dapat diakomodasi dalam relasinya dengan investor asing. Telaah ini akan mengulas beberapa doktrin dan perangkat hukum yang tersedia yang dapat menjadi basis argumentasi pemerintah dalam melakukan penataan hubungan dengan investor asing, tidak terkecuali dalam kegiatan pertambangan dengan Freeport. 84 Pasal 21 Kontrak Karya Freeport dan Pemerintah Republik Indonesia Evans, “International Law.”Hal. 727 86 Dolszer, Schreur 2012 85 1. Perkembangan hukum investasi internasional Perkembangan sejarah peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari hubungan perdagangan antar bangsa. Interaksi manusia dari berbagai latar belakang budaya dan peradaban tersebut melahirkan perlunya pengaturan mengenai aktivitas perekonomian yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Hukum investasi internasional berkembang sebagai konsekuensi dari meningkatnya hubungan perdagangan dan kegiatan usaha antar bangsa tersebut. Oleh karena itu, hukum investasi internasional juga kerap disebut sebagai salah satu cabang ilmu hukum tertua. Selain itu, sifat alami hubungan ekonomi antar bangsa yang melibatkan manusia dari beragam negara yang memiliki sistem, karakteristik, dan budaya hukum yang berbeda juga menjadikan disiplin ini sebagai salah satu disiplin ilmu hukum yang paling kompleks. Di dalamnya terdapat dimensi hukum publik selain hukum perdata, sebab aktivitas usaha lintas batas teritorial akan bersinggungan pula dengan aspek kedaulatan sebuah bangsa, dalam hal ini kedaulatan hukum, politik, dan ekonomi saat berhadapan dengan entitas asing yang melakukan aktivitas usaha di wilayah yurisdiksinya. Dalam konteks ini berkembang pandangan yang menanggap negara berdaulat memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur entitas usaha asing yang beroperasi di wilayahnya. Di sisi lain, terdapat pula pandangan yang memandang bahwa aktivitas perekonomian yang melibatkan subjek hukum lintas bangsa hendaknya tidak dibatasi oleh kerangka hukum lokal, melainkan oleh standar minimum yang diakui secara internasional. Perkembangan hukum investasi internasional karenanya merupakan pendulum dari dua titik ekstrem ini: kepentingan nasional dari negara penerima investasi (host States) versus kepentingan investor asing dan negara asal investor tersebut. a. Kontestasi antara kepentingan nasional dengan standar minimum internasional Pada periode awal perkembangan hukum investasi internasional, gagasan pokok tentang kerangka hukum atas hubungan usaha lintas batas teritorial adalah asas personalitas yang memandang bahwa sistem hukum mengikuti ke mana pun seseorang pergi, termasuk ke wilayah di luar batas teritorial negara asalnya. Oleh karena itu para pedagang lintas bangsa dianggap hanya tunduk kepada sistem hukum dari negara asal mereka masing-masing ketika terjadi persoalan hukum yang melibatkan mereka. Seiring dengan kompleksitas hubungan perdagangan antar bangsa yang berkelindan dengan dominasi politik lewat kolonialisme, gagasan ini kemudian berkembang menjadi pandangan yang melihat bahwa terdapat sistem hukum yang lebih superior ketimbang yang lainnya. Oleh karena itu pada awal perkembangannya di negara-negara koloni di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, hukum investasi internasional hanya memihak entitas usaha asing yang dianggap berhak mendapatkan perlakuan berbeda dan lebih menguntungkan ketimbang entitas usaha lokal. Seiring dengan perkembangan negara bangsa modern, pandangan ini berimplikasi pada keyakinan bahwa negara tidak boleh melakukan tindakan pengambilalihan (expropriation) dan nasionalisasi atas asest-aset usaha yang dimiliki oleh entitas asing di negaranya. Pandangan ini mendapatkan penolakan pada mulanya di Amerika Latin sebagai wilayah yang pertama kali berhasil lepas dari cengkeraman kolonialisme. Negara-negara Amerika Latin menggunakan doktrin tentang kedaulatan di mana negara berdaulat memiliki kekuasaan penuh untuk menerapkan sistem hukum kepada semua orang yang ada dalam wilayah yurisdiksinya, termasuk kepada entitas usaha asing yang melakukan kegiatan usaha di negara mereka. Hal ini diafirmasi secara tegas di Article 9 of the Convention on the Rights and Duties of States, yang disahkan pada pertemuan ketujuh konferensi Pan-Amerika: The jurisdiction of states within the limits of national territory applies to all inhabitants. National and foreigners are under the same protection of law and the national authorities and the foreigners may not claim rights other or more extensive than those of the nationals. Hal yang diinisiasi oleh negara-negara Amerika Latin di awal abad ke-20 ini dikenal sebagai national treatment dalam hukum investasi internasional yang menekankan pada kesetaraan perlakuan terhadap pelaku usaha di sebuah negara baik itu entitas usaha lokal maupun asing. Negara tidak berkewajiban memberikan perlakukan berbeda dan perlindungan yang lebih besar kepada investor asing ketimbang entitas usaha lokal di negara tersebut, dan hal ini tidak dapat serta merta menjadi argumen untuk menganggap negara tersebut telah melanggar ketentuan hukum internasional. Pandangan tentang kesetaraan perlakuan ini berbasis pada pijakan bahwa banyak negara-negara yang baru meraih kemerdekaannya belum memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan sistem hukum yang memadai untuk memberikan perlakuan dan memberikan standar yang lebih tinggi kepada investor asing yang berusaha di wilayahnya. Konsekuensi dari doktrin national treatment adalah adanya hak melekat yang dimiliki negara untuk melakukan pengambilalihan (right to expropriate) aset-aset yang dimiliki oleh entitas usaha asing dengan kompensasi sebagai wujud penerapan asas kedaulatan negara. Pandangan yang mendukung national treatment disokong oleh Doktrin Calvo, yang dikembangkan oleh Carlos Calvo seorang jurist terkemuka berkebangsaan Argentina yang memformulasikan gagasan tentang kedaulatan ekonomi negara dan relasinya dengan perlakuan terhadap investor asing: It is certain that aliens who establish themselves in a country have the same right to protection as nationals, but they ought not to lay claims to a protection more extended. If they suffer any wrong, they ought to count on the government of the country prosecuting the delinquents, and not claim from the state to which the authors of the violence belong any pecuniary indemnity…The rule that in more than one case in has been attempted to impose on American states is that foreigners merit more regard and privileges more marked and extended than those accorded even to the nationals of the country where they reside. The principle is intrinsically contrary to the law of equality of nations. Doktrin Calvo pada dasarnya menekankan pada kedaulatan teritorial yang berimplikasi pada prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) baik itu warga negara maupun asing, penundukan diri warga negara asing dan properti yang adalah dalam penguasaan mereka kepada rezim hukum yang berlaku di negara mereka tinggal atau berinvestasi, dan larangan yang tegas atas intervensi pemerintahan dari negara asing mana pun, khususnya dari negara asal warga negara asing yang berinvestasi di negara tersebut, untuk campur tangan dalam sengketa yang melibatkan warga negara asing tersebut dan properti yang ada dalam penguasaan mereka. Berkenaan dengan sengketa investasi, Doktrin Calvo menghendaki agar semua permasalahan hukum yang muncul diselesaikan di lembaga dan mekanisme peradilan yang tersedia di negara tersebut. Superioritas atas sistem hukum nasional merupakan konsekuensi logis dari penerapan Doktrin Calvo yang menitikberatkan pada kedaulatan negara. Dari sudut pandang ini, Doktrin Calvo memberikan legitimasi penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam yang berada di teritorialnya, dan tidak ada entitas asing mana pun yang dapat secara permanen memiliki atau mengusahakannya. Negara-negara Barat yang aset-aset milik warganya di ambil alih sebagai konsekuensi dari berkembangnya gagasan kedaulatan negara, national treatment, serta Doktrin Calvo memberikan reaksi balik dengan menyatakan bahwa seharusnya semua bentuk pengambilalihan aset dan nasionalisasi dilakukan dengan syarat yang ketat sesuai dengan kaidah hukum internasional dan terutama dilakukan dengan memberikan kompensasi yang segera diberikan, adil, dan efektif. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang memprotes keras tindakan pengambilalihan lahan milik warga negaranya yang dilakukan oleh Mexico menyusul revolusi agraria yang terjadi di awal abad ke-20. Sebuah komisi beranggotakan pihak-pihak dari kedua negara dibentuk pada tahun 1927 untuk menyelesaikan klaim investor asal Amerika yang asetnya diambil oleh Mexico. Upaya ini tidak menghasilkan hasil yang diharapkan sampai pada tahun 1938 saat Amerika Serikat mengambil langkah diplomatik yang lebih tegas dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Cordell Hull yang memberikan pandangan resmi Amerika tentang kompensasi berkaitan dengan nasionalisasi dan pengambilalihan aset yang pada intinya menyatakan bahwa pengambilalihan properti (milik warga negara asing di sebuah negara) tanpa memberikan kompensasi bukanlah pengambilalihan (expropriation) melainkan tindakan perampasan (confiscation). Hull berpandangan bahwa jika sebuah negara diberikan hak untuk melakukan pengambilalihan aset milik warga asing yang berada di negara tersebut hanya dengan menggunakan penilaian dan pertimbangan kondisi perekonomian yang diafirmasi dalam produk legislasi yang mereka hasilkan, maka jaminan konstitusional yang tercantum dalam konstitusi dan rezim hukum internasional yang memberikan perlindungan hak kepada semua orang (termasuk di antaranya hak milik) akan menjadi ilusif. Hal tersebut akan mendorong negara untuk melakukan pengambilalihan aset milik warga asing tanpa memperhatikan kemampuan dan kesediaan mereka untuk membayarkan kompensasi. Lebih lanjut Hull menyatakan bahwa tindakan ini dapat dibenarkan dan merupakan urusan domestik jika diberlakukan hanya kepada warga negara tersebut, namun jika diberlakukan kepada warga asing (dalam konteks ini Amerika Serikat) hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Tindakan tersebut menurut Hull hanya bisa dilakukan dengan memberikan kompensasi dan memperhatikan prinsip-prinsip yang diakui secara universal dalam hukum internasional yang tidak bisa dinegasikan oleh hukum nasional. Pandangan Hull ditolak oleh Menteri Luar Negeri Mexico yang menyatakan bahwa tidak ada aturan dalam hukum internasional yang secara universal diterima baik dalam teori maupun praktik. Selain itu tindakan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk melakukan redistribusi lahan dalam rangka reforma agraria yang berorientasi pada tercapainya keadilan sosial. Hull membalas pandangan ini dengan memberikan interpretasinya tentang status investasi asing dalam hukum internasional sebagai berikut: The Government of the United States merely adverts to a self-evident fact when it notes that the applicable precedents and recognised authorities on international law supports its declaration that, under every rule of law and equity, no government is entitled to expropriate private property, for whatever purpose, without provision for prompt, adequate and effective payment thereof. In addition, clauses appearing in the constitution of almost all nations today, and in particular in the constitution of the American republics, embody the principle of just compensation. These, in themselves, are declaratory of the like principles in the law of nations. Hal terpenting dalam pandangan Hull terkait dengan nasionalisasi dan pengambilalihan aset milik asing adalah pada adanya kompensasi yang diberikan, memenuhi rasa keadilan, dan dilaksanakan secara efektif. Selain itu semua tindakan tersebut hanya boleh dilakukan dengan mengacu kepada prinsip umum yang diterima secara universal dalam hukum internasional. Meskipun upaya diplomatik untuk menyelesaikan sengketa antara Amerika Serikat dan Mexico ini tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan, gagasan Hull yang kelak dalam hukum investasi internasional dikenal sebagai Hull Formula ini membuka diskursus mengenai perlakuan kepada investor asing menggunakan standar minimum internasional yang diambil dari prinsipprinsip umum hukum internasional. Meskipun gagasan National Treatment dan Doktrin Calvo yang berpihak pada kepentingan nasional diakui sebagai praktik yang dapat diterima dalam hukum internasional, perlu diperhatikan bahwa semua aktivitas pengambilalihan aset dan nasionalisasi hanya dapat dilakukan dengan memberikan kompensasi. Selain itu jika hukum nasional dianggap belum berkembang dengan baik atau tidak mampu mencapai standar keadilan dan kesetaraan, maka perlakuan kepada investor asing harus mengacu kepada standar minimum internasional (international minimum standard). Gagasan ini berkembang sebagai anti-tesis dari konsep national treatment yang dianggap tidak menjamin hak investor asing. Asumsi dasar dari gagasan ini adalah bahwa standar minimal perlakuan terhadap investor asing dapat diambil dari hukum internasional dan negara seharusnya mengadopsi prinsip-prinsip tersebut ke dalam sistem hukum nasional mereka. Elihu Root, jurist dan pengacara internasional terkemuka berkebangsaan Amerika berpandangan mengenai hal tersebut: If any country’s system of law does not conform to that standard, although the people of the country may content or compelled to live under it, no other country can be compelled to accept it as furnishing a satisfactory measure of treatment to its citizens. Pandangan ini dipertegas oleh Schwarzenberger, jurist berkebangsaan Inggris yang menyatakan: The national standard cannot be used as a means of evading international obligations under the minimum standard of international law. Even if the standard of national treatment is laid down in a treaty, the presumption is that it has been the intention of the parties to secure to their nationals in this manner additional advantages, but not to deprive them of such rights as, in any case, they would be entitled to enjoy under international customary law or the general principles of law recognized by civilized nations. Keharusan untuk memberikan jaminan perlindungan kepada entitas usaha asing dalam aktivitas investasi dipertegas oleh Mahkamah Internasional (the International Court of Justice) di tahun 1970 dalam sengketa (contentious case) antara Belgia dan Spanyol atau yang lebih dikenal dengan Barcelona Traction case: When a state admits into its territory foreign investment or foreign nationals, whether natural or juristic persons, it is bound to extend to them the protection of the law and assumes obligations concerning the treatment to be afforded to them. Berbagai pandangan tersebut menjadikan standar minimum internasional -sebagai acuan perlakuan kepada investor asing, sebagai topik yang banyak diperbincangkan dalam kaitannya dengan kodifikasi hukum investasi internasional. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya untuk mendefinisikan standar minimum internasional tersebut dilakukan dengan menggali prinsipprinsip umum tentang keadilan dan kesetaraan dalam hukum internasional, praktik yang dilakukan oleh negara-negara dalam perlakuannya terhadap investor asing, dan aturan hukum berkaitan dengan hak asasi manusia yang sudah ada baik itu berupa konvensi tertulis maupun hukum kebiasaan internasional (customary international law). Keterkaitan antara hak asasi manusia dengan standar minimum perlakukan terhadap investasi asing dapat dipahami dalam konteks perkembangan prinsip hak asasi manusia internasional yang memberikan jaminan bagi semua individu, baik itu natural person (orang) maupun juridical person (badan hukum), untuk memperoleh pemenuhan hak asasi manusia yang paling mendasar salah satunya berupa hak milik (property rights). Dalam konteks berbeda, prinsip-prinsip hak asasi manusia juga memiliki keterkaitan dengan investasi asing khususnya dalam hubungan antara dampak aktivitas bisnis dengan pemenuhan hak asasi manusia. b. Kerangka pengaturan investasi asing oleh PBB Mencermati sejarah perkembangan hukum investasi internasional, terlihat adanya antinomi atau pertentangan nilai yang merepresentasikan polarisasi kepentingan antara negara-negara maju (investor-state) dengan negara-negara berkembang (host states). Hal ini pula yang terjadi saat PBB melakukan upaya kodifikasi pengaturan investasi asing dalam aturan internasional yang disepakati bersama. Negara-negara asal investor berpegang pada keharusan kedua belah pihak (investor dan negara penerima investasi) untuk menghormati kontrak investasi yang telah ada sesuai dengan asas kesucian kontrak (pacta sunt servanda). Sementara itu di sisi lain, negara penerima investasi yang didorong oleh semangat anti kolonialisme menghendaki adanya pembaruan penataan pengelolaan sumber-sumber perekonomian mereka dengan menerbitkan legislasi dan kebijakan baru yang secara prinsip dapat mencederai kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya dengan investor. Kontestasi dua kepentingan ini melatari lahirnya beberapa resolusi Majelis Umum (General Assembly) sebagai forum tertinggi dalam organisasi PBB yang menyinggung perihal hubungan investasi asing dan kedaulatan negara penerima investasi: i) ii) iii) iv) Resolution 1803 (XVII) on the Permanent Sovereignty of States over Their Natural Resources (PSNR), pada 14 Desember 1962; Resolution 3201 (S-VI) on the Declaration on the Establishment of a New International Economic Order; Resolution 3202 (S-VI) on Programme of Action on the Implementation of the Declaration, keduanya pada 1 Mei 1974, dan; Resolution 3281 (XXIX) on Charter of Economic Rights and Duties of States, pada 12 Desember 1974. Resolusi 1803 tentang PSNR merupakan salah satu terobosan terpenting yang dapat menemukan titik temu antara kepentingan negara investor dan negara penerima investasi. Formulasi resolusi ini tidak mengikuti Doktrin Calvo maupun Hull Formula, melainkan mencari jalan tengah yang mengafirmasi kepentingan kedua belah pihak sebagaimana dapat dilihat dalam pokok pengaturannya. Pertama, resolusi ini menegaskan bahwa kedaulatan atas sumber daya alam dan sumber kekayaan lain di sebuah negara merupakan hak yang dimiliki oleh negara dan orang-orang yang berada di dalamnya (the right of peoples and nations). Pemenuhan hak tersebut hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan pembangunan nasional dan kesejahteraan dari orang-orang yang ada di negara tersebut. Kedua, segala aktivitas eksplorasi, eksploitasi atau bentuk pengusahaan lainnya atas sumbersumber kemakmuran dan sumber daya alam di sebuah negara serta investasi asing yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan pengusahaan tersebut harus sejalan dengan aturan dan prasyarat-prasyarat yang dirasakan perlu oleh negara dan orang-orang yang ada di dalamnya. Hal ini memberikan kewenangan kepada negara untuk memberikan otorisasi, pembatasan, atau bahkan larangan atas dilakukannya aktivitas pengusahaan tersebut. Ketiga, dalam hal negara memberikan otorisasi (izin) atas dilakukannya pengusahaan sumber daya alam oleh investor asing, kesepakatan mengenai pembagian keuntungan yang didapat dari kegiatan tersebut harus diatur berdasarkan peraturan nasional yang berlaku dan hukum internasional. Kesepakatan mengenai pembagian keuntungan harus diakukan dengan penuh kehati-hatian sedemikian sehingga tidak melanggar prinsip kedaulatan negara atas sumber daya alam. Keempat, tindakan nasionalisasi, pengambilalihan aset (expropriation), ataupun permintaan dari negara penerima investasi untuk melakukan penyesuaian (requisitioning) atas kegiatan usaha yang dilakukan oleh investor asing hanya boleh dilakukan atas dasar: i) kepentingan publik; ii) keamanan; iii) dan kepentingan nasional yang secara nyata dapat dibuktikan dan bukan kepentingan individual/privat baik itu asing ataupun domestik. Jika tindakan-tindakan tersebut dilakukan maka kompensasi yang wajar (appropriate)87 harus diberikan dan tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku yang tidak melanggar kaidah umum hukum internasional. Jika muncul sengketa yang diakibatkan dari tindakan ini, maka atas dasar kesepakatan kedua belah pihak penyelesaian sengketa dilakukan melalui mekanisme adjudikasi atau arbitrase internasional.88 Meski Resolusi 1803 dianggap lebih berpihak kepada kepentingan negara-negara berkembang (penerima investasi), relatif tidak ada penolakan berarti dalam proses tercapainya resolusi ini. Lebih dari itu dalam beberapa putusan adjudikasi dan arbitrase internasional, prinsip-prinsip dalam resolusi ini salah satunya yang dapat dilihat pada kasus Texaco v Libya dimana arbiter menyatakan bahwa resolusi 1803 merefleksikan hukum kebiasaan internasional: “On the basis of the circumstances of adoption mentioned above and by expressing an opinion juris communis, resolution 1803 (XVII) seems to this tribunal to reflect the state of customary international law existing in this field.”89 87 Bandingkan dengan rumusan Hull Formula yang menyatakan bahwa kompensasi harus diberikan seketika (prompt), cukup (adequate), dan efektif. 88 Bandingkan dengan Doktrin Calvo yang menghendaki supremasi hukum nasional termasuk dalam hal mekanisme penyelesaian sengketa yang diharuskan dilakukan oleh lembaga peradilan nasional sebagai implementasi asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) dan national treatment. 89 Texaco Overseas Petroleum et.al v Libya, 53 I.L.R 389. Sengketa ini bermula dari tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Libya atas aset dan properti yang dimiliki oleh Texaco yang mendapatkan hak untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan minyak berdasarkan kontrak yang diberikan tahun 1973 dan 1974. Kompensasi yang seharusnya diberikan oleh Pemerintah Libya berdasarkan undang-undang nasionalisasi yang mereka buat tidak dilaksanakan, dengan dasar itu Texaco membawa sengketa ini ke mekanisme arbitrase internasional. Arbiter Rene-Jean Dupuy mengafirmasi bahwa Libya telah melakukan pelanggaran atas kontrak dan diharuskan untuk memberikan kompensasi. Disisi lain arbiter juga mengulas kedudukan hukum resolusiresolusi Majelis Umum PBB yang dijadikan landasan klaim oleh pemerintah Libya. Dalam putusannya, arbiter mengakui bahwa Resolusi 1803 merefleksikan hukum kebiasaan internasional namun tidak memberikan pandangan serupa untuk resolusi-resolusi lainnya. Hal ini menjadi sangat signifikan mengingat resolusi Majelis Umum PBB dalam hukum internasional merupakan soft law yang tidak mengikat (non-legally binding) dan tidak dapat serta merta ditegakan (non-enforceable). Dengan memperoleh status sebagai customary international law, prinsip-prinsip mengenai kedaulatan permanen negara atas sumber daya alam telah menjadi sumber hukum internasional sesuai dengan Article 38 (1) dari statuta International Court of Justice (ICJ) dan karenanya dapat diperlakukan sebagai hukum selayaknya konvensi internasional yang memiliki kekuatan hukum mengikat.90 Dengan demikian sebagai salah satu sumber hukum internasional, prinsip kedaulatan permanen negara atas sumber daya alam dapat digunakan oleh negara untuk melakukan tindakan-tindakan yang dirasa perlu dalam rangka pemenuhan prinsip-prinsip atau hak yang diatur di dalamnya. Lebih dari itu, prinsip tersebut juga dapat digunakan sebagai klaim yang kuat saat negara tersebut bersengketa dengan negara atau pihak lain di berbagai mekanisme penyelesaian sengketa internasional. Resolusi 1803 ditegaskan kembali dalam Resolusi 3201 tentang deklarasi New International Economic Order (NIEO) yang menyatakan bahwa fondasi tatanan baru ekonomi internasional salah satunya adanya pemenuhan secara utuh hak atas kedaulatan permanen negara atas sumber daya alam: In order to safeguard these resources, each state is entitled to exercise effective control over them and their exploitation with means suitable to its own situation, including the right to nationalization or transfer of ownership to its nationals, this right being an expression of full permanent sovereignty of the state. No state may be subjected to economic, political, or any type of coercion to prevent the free and full exercise of this inalienable right.91 Dapat disimpulkan bahwa prinsip kedaulatan permanen negara atas sumber daya dalam merupakan prasyarat dikehendaki untuk mewujudkan tata ekonomi dunia yang baru (enabling condition). Beberapa sarjana bahkan berpendapat bahwa prinsip kedaulatan permanen negara atas sumber daya alam telah diakui sebagai salah satu prinsip fundamental dalam hukum internasional kontemporer. Negara-negara berkembang dan negara maju sama-sama menggunakan ketentuan yang terangkum dalam prinsip tersebut di Resolusi 1803 untuk melindungi kepentingannya masing-masing.92 Lebih dari itu, Resolusi 1803 juga telah dianggap sebagai prinsip utama dalam hukum internasional yang dapat digunakan untuk menyatakan ketidakberlakuan (invalidate) sebuah perjanjian investasi yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan permanen negara, untuk merestrukturisasi/menegosiasikan kembali 90 Statuta ICJ merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UN Charter. Semua negara anggota PBB secara otomatis juga menerima dan menundukan diri pada statuta ICJ. Article 38 (1) merupakan bagian terpenting dalam statuta ICJ yang oleh para sarjana disepakati sebagai sumber hukum internasional. Article 38 (1) menyatakan bahwa dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, Mahkamah Internasional harus merujuk kepada: a) international conventions whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b) international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c) the general principles of law recognized by civilized nations; d) subject to the provision of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of law. 91 GA Res 3201 (S-VI), Article 4 (e) 92 A F M Maniruzzaman, “State Contracts with Aliens-The Question of Unilateral Change by the State in Contemporary International Law’(1992) 9 J Int’l Arb 141. Hal. 160. kesepakatan investasi berjalan, atau untuk mengembangkan bentuk baru dalam kesepakatan investasi asing.93 c. Validitas Asas Kesucian Kontrak dalam Hukum Internasional Kontemporer Lahirnya Resolusi 1803 tentang PSNR dan kontribusinya dalam pembentukan hukum investasi internasional serta statusnya yang sudah diakui sebagai bagian dari customary international law -atau bahkan mencapai status sebagai jus cogens94 seperti yang diyakini oleh beberapa sarjana95, memunculkan kembali perdebatan mengenai asas kesucian kontrak dalam hubungan kontraktual antara negara dan entitas swasta asing (investor). Hal ini menempatkan kedua prinsip hukum internasional ini dalam posisi diametral yang saling menegasikan satu sama lain. Perlu dicatat bahwa dalam konteks hukum internasional, asas pacta sun servanda memang telah lama diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional.96 Hans Kelsen bahkan menempatkan asas ini sebagai grundnorm dari keseluruhan sistem yang kelak dikenal sebagai hukum internasional (the law of nations).97 Namun seiring dengan perkembangan hukum internasional yang tidak hanya menempatkan negara sebagai subjek hukum internasional, asas ini dianggap tidak lagi relevan terutama dalam kaitannya dengan hubungan kontraktual antara dua entitas yang tidak setara: negara dan entitas individual/privat asing, dalam konteks ini investor asing. Terdapat polemik tajam dikalangan sarjana hukum internasional berkaitan dengan keberlakuan asas kesucian kontrak antara negara dan investor asing. Di pihak yang beranggapan asas tersebut tetap berlaku dalam hubungan kontraktual antara negara dan pihak swasta asing adalah Prof. Hans Wehberg yang melakukan telaah atas orisinalitas asas kesucian kontrak: We have described above the rule of Pacta sunt servanda as a general principle of law that is found in all nations. It follows, therefore, that the principle is valid exactly in the same manner, whether it is in respect of contracts between states or in respect of contracts between states and private companies. Whether one regards, with Verdross, the contracts of a state with a foreign company for the purpose of granting a concession as being quasi-international law agreements, or whether one ascribes to them another character, the principle of the sanctity of contracts must always be applied. ...the principle of sanctity of contracts is an essential condition of the life of any social community. The life of the international community is based not only on relations between states, but also, to an ever-increasing degree, on relations between states and foreign corporations or foreign individuals. No economic relations between states and foreign corporations can exist without the principle Pacta sunt servanda…The best proof that the principle also applies in such a case is the following fact: it has long been suggested that disputes between states and foreign companies (or foreign individuals) should be submitted to international adjudication. Such a course would be 93 Ibid. Jus Cogens atau Preemproty norm dalam hukum internasional adalah prinsip utama dan fundamental yang tidak dapat dinegasikan atau dikurangi pemenuhannya dalam bentuk apapun. Lihat Ian Brownlie and Kathleen Baker, Principles of Public International Law, vol. 1 (Clarendon Press Oxford, 1973). 95 Maniruzzaman, op.cit.,. Hal. 143, 96 Ibid., Hal. 141. 97 Hans Kelsen, Principles of International Law (The Lawbook Exchange, Ltd., 1952).Hal. 447. 94 meaningless if the principle Pacta sunt servanda were not applicable also to that kind of relations98. Wehberg beranggapan bahwa perkembangan ekonomi kontemporer telah menyebabkan pola relasi internasional tidak terbatas pada hubungan antara negara yang memiliki kedudukan setara, melainkan juga mencakup hubungan antara negara dan entitas privat asing. Dalam pandangannya, untuk menjamin agar pola relasi tersebut berjalan dalam keadaban maka penghormatan terhadap semua perjanjian yang muncul dari relasi tersebut harus dihormati dan berlaku sama kuatnya seperti hubungan perjanjian yang dilakukan antara negara berdaulat. Hal ini juga berkaitan dengan penyelesaian sengketa yang muncul dalam relasi tersebut, yang menurutnya akan mustahil dijalankan jika asas kesucian kontrak dianggap tidak berlaku dalam pola relasi ini. Dalam pandangan yang bersebrangan, terdapat pula pandangan yang menanggap pendukung asas kesucian kontrak telah gagal melihat perbedaan fundamental antara hubungan kontraktual yang murni bersifat privat (antara individu) dengan hubungan kontraktual yang memiliki dimensi publik didalamnya.99 Kelompok ini berargumen bahwa asas kesucian kontrak berakar dari semangat individualisme laissez-faire abad ke-19 yang tidak lagi relevan dan kontekstual dengan situasi kontemporer. Semangat individualisme ini merepresentasikan kebebasan berkehendak (free will) dari para pihak yang mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian.100 Dalam alam pikir liberalisme dan kapitalisme abad ke-19 ini, kontrak menempati posisi yang sangat penting untuk mewujudkan kepentingan setiap individu (individual self-interest) dan karenanya campur tangan otoritas publik di dalamnya menjadi hal yang tabu.101 Dalam konteks ini, institusi pengadilan juga mengafirmasi kebebasan setiap individu untuk membuat kontrak (freedom of contract) dan kewajiban untuk melakukan penghormatan atasnya sebagai wujud asas kesucian kontrak. Hal ini misalnya terlihat dalam pandangan Sir George Jessel MR dalam Printing and Numerical Registration co v Sampson, kasus landmark berkaitan dengan asas kesucian dan kebebasan berkontrak di pengadilan Inggris pada tahun 1875: “...if there is one thing which more than another public policy requires it is that men of full age and competent understanding shall have the utmost liberty of contracting, and that their contracts when entered into freely and voluntarily shall be held sacred and shall be enforced by courts of justice. Therefore, you have this paramount public policy to consider—that you are not lightly to interfere with this freedom of contract.”102 Meski demikian, dalam kenyataannya asas kebebasan berkontrak kerap kali menjurus pada tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak yang memiliki relasi kuasa lebih besar dalam sebuah hubungan kontraktual.103 Hal ini misalnya terlihat dalam hubungan kontrak antara pemilik pabrik dengan buruh di abad ke-19. Dalam konteks ini, gagasan tentang kebebasan dan kesucian kontrak perlahan mulai ditinggalkan dengan diperkenalkannya pendekatan intervensionis dalam hubungan kontraktual melalui intervensi kebijakan politik dan legislatif oleh negara, terutama yang berkaitan dengan perlindungan terhadap pihak-pihak yang lemah dalam hubungan keperdataan. Dalam konteks hubungan perburuhan misalnya, hal ini dapat dipahami sebagai bergesernya hubungan kontrak antara buruh-majikan dari hubungan Hans Wehberg, “Pacta Sunt Servanda,” The American Journal of International Law 53, no. 4 (1959). Hal. 786. 99 Maniruzzaman, “State Contracts with Aliens"., op.cit., Hal. 142 100 Samuel K B Asante, “Stability of Contractual Relations in the Transnational Investment Process,” International and Comparative Law Quarterly, 1979., Hal. 401. 101 Ibid. 102 Printing and Numerical Registering Co. v. Sampson, L.R. (1875) 19 Eq 462, para. 465. 103 Maniruzzaman, “State Contracts with Aliens"., op,cit. 98 keperdataan biasa (yang didalamnya melekat asas kebebasan dan kesucian kontrak) menjadi hubungan yang berdimensi publik. Dengan kata lain asas kesucian dan kebebasan berkontrak hanya dihormati sepanjang kepentingan publik juga tidak dilanggar. Bersandar pada pemikiran ini, pihak yang menolak universalitas asas kesucian kontrak berpandangan bahwa intervensi negara untuk mengatur kontrak telah menjadi hal yang umum di negara-negara welfare state dan hal tersebut dengan sendirinya telah menegasikan asas kesucian kontrak, sebagaimana dikemukakan oleh Sornarajah (1986): “The powers of the State have been used to regulate conditions of employment, to prohibit restrictive business practices and to protect the consumer. The increasing regulation of the market-place and the economy by the State has considerably eroded the notion of sanctity of contracts. With such an accent on the role of the State in the regulation of the economy, it is doubtful that the notion of sanctity of contracts can limit a State in its own contractual dealings. In view of these developments the value of the doctrine of sanctity of contracts as a general principle of law must be doubted.”104 Pandangan kelompok yang menolak universalitas asas kesucian kontrak semakin relevan seiring dengan lahirnya Resolusi 1803 tentang PSNR, terutama dalam hubungan kontrak yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.105 Selain itu, jika asas kesucian kontrak atas hubungan kontraktual antara negara dengan entitas privat asing hendak disetarakan selayaknya hubungan perjanjian antara negara-negara berdaulat seperti yang dikemukakan oleh Wehberg, maka perlu diperhatikan bahwa hukum internasional juga mengenal asas clausula rebus sic stantibus selain asas pacta sunct servanda. Asas ini merupakan doktrin hukum internasional yang menyatakan bahwa sebuah perjanjian atau kesepakatan di antara bangsa-bangsa dapat dinyatakan tidak berlaku (invalid) jika perubahan situasi yang fundamental (fundamental changed circumstances) yang menyebabkan perjanjian atau kesepakatan tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian internasional asas kesucian kontrak tidak dapat diberlakukan secara mutlak. Oleh karena itu pemberlakuan asas ini dalam perjanjian atau hubungan kontraktual antara sebuah negara dengan entitas privat asing juga menjadi sangat relevan. Asas ini telah lama disepakati sebagai bagian dari customary international law yang kemudian diafirmasi di dalam Article 62 Vienna Convention on the Law of Treaties: Article 62 Fundamental Change of Circumstances 1. A fundamental change of circumstances which has occurred with regard to those existing at the time of the conclusion of a treaty, and which was not foreseen by the parties, may not be invoked as a ground for terminating or withdrawing from the treaty unless: a. The existence of those circumstances constituted an essential basis of the consent of the parties to be bound by the treaty; and b. The effect of the change is radically to transform the extent of obligations still to be performed under the treaty 2. A fundamental change of circumstances may not be invoked as a ground for terminating or withdrawing from a treaty: 104 Muthucumaraswamy Sornarajah, The Pursuit of Nationalized Property, vol. 8 (Martinus Nijhoff Publishers, 1986).Hal.110. 105 Maniruzzaman, op. cit., Hal. 143. a. If the treaty establishes a boundary; or b. If the fundamental change is the result of a breach by the party invoking it either of an obligation under the treaty or of any international obligation owed to any other party to the treaty 3. If, under the foregoing paragraphs, a party may invoke a fundamental change of circumstances as a ground for terminating or withdrawing from a treaty it may also invoke the change as a ground for suspending the operation of the treaty Dalam konteks investasi internasional, telah terdapat beberapa preseden penggunaan asas clausula rebus sic stantibus terutama karena terjadinya perubahan situasi (changed circumstances) sebagai unsur pokok untuk mengklaim penerapan asas ini. Pertama, saat terjadi kenaikan harga minyak dunia secara drastis di dekade 70-an yang menyebabkan negara-negara penerima investasi (host countries) mendesak investor pemilik konsesi minyak di negaranya menegosiasikan kembali kontrak mereka untuk menyesuaikan kesepakatan pembagian hasil dan kebijakan fiskal yang dikenakan. Berkenaan dengan hal ini, negara-negara penerima investasi menolak klaim pemegang konsesi terkait dengan asas kesucian kontrak dengan menyatakan bahwa perubahan ketentuan dan penyesuaian kontrak yang bersifat retrospektif dapat dibenarkan secara hukum pada konteks ini. Hal ini dilakukan, misalnya, oleh Inggris dan Norwegia yang pada tahun 1975 mengesahkan legislasi baru untuk memaksa pengenaan pajak yang lebih tinggi kepada pemegang konsesi minyak di negaranya menyesuaikan dengan naiknya keuntungan yang mereka dapatkan akibat melonjaknya harga minyak dunia. Tindakan yang dilakukan oleh Inggris dan Norwegia mengafirmasi perbedaan kepentingan yang bersifat antinomis antara investor yang berkepentingan atas stabilitas dan kepastian usahanya dengan negara yang memiliki kepentingan publik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Higgins (1982): “The problems that arise in balancing the legitimate expectations of a private party, which has invested on the basis of agreements which it expects to continue into the future, and of the legitimate needs of a government to protect the public interest against changed and unforeseen circumstances, is not peculiar to petroleum concessions in the developing world. The United Kingdom experience in the North Sea is witness to the fact that the same pressures operate upon all nations possessing important exploitable natural resources, regardless of their stage of development or their traditional commitment to the sanctity of contracts and the inviolability of international obligations.” Prinsip clausula rebus sic stantibus juga sedikit banyak digunakan dalam penyelesaian sengketa antara Questech Inc dengan Kementerian Pertahanan Iran oleh Iran-US Claims Tribunal106 sebagai tindak lanjut penyelesaian krisis dan sengketa antara kedua negara yang muncul akibat Revolusi Islam Iran tahun 1979. Dengan mengajukan klaim bahwa telah terjadi perubahan situasi yang fundamental, pemerintah Iran mendapatkan justifikasi untuk membatalkan kontrak dengan Questech Inc dalam rangka pengembangan kemampuan pengumpulan informasi intelijen angkatan udara Iran. Dalam putusannya, arbiter mengafirmasi 106 Iran-US Claims Tribunal merupakan mekanisme arbitrase internasional yang didirikan sesuai dengan Algeirs Accord pada tahun 1981 yang dimediasi oleh Algeria sebagai tindak lanjut penyelesaian sengketa keperdataan/investasi antara Iran dan Amerika Serikat pasca Revolusi Islam Iran tahun 1979. faktor-faktor yang memenuhi klaim Iran mengenai terjadinya perubahan situasi (changed circumstances) tersebut: “The fundamental changes in the political conditions as a consequence of the revolution in Iran, the different attitude of the new government and the new foreign policy, especially towards the United States which had considerable support in large sections of the people; the drastically changed significance of the highly sensitive military contracts ... especially those to which the U.S. companies were parties... Penerapan prinsip ini juga dapat dilihat dalam penyelesaian sengketa antara pemerintah Kuwait dengan the American Independent Oil Company (Aminoil) pada tahun 1982. Sengketa ini bermula ketika Aminoil, yang mendapatkan konsesi pengusahaan minyak di Kuawait selama 60 tahun dari Arab Saudi dan Inggris yang pada masa itu memiliki otoritas atas wilayah Kuwait, harus melakukan penyesuaian berkenaan dengan kontrak yang dimilikinya seiring dengan perkembangan negara Kuwait modern dan perubahan situasi geopolitik di dekade 1970-an. Meski menyangkal penerapan prinsip ini dalam putusannya, mahkamah arbitrase mengakui bahwa telah terjadi perubahan-perubahan situasi yang secara langsung berimplikasi pada sifat dan karakteristik kontrak yang dimiliki oleh Aminoil: The Tribunal wishes however to stress here that the case is not one of a fundamental change of circumstances (rebus sic stantibus) within the meaning of Article 62 of the Vienna Convention on the Law of Treaties. It is not a case of a change involving a departure from a contract, but of a change in the nature of the contract itself, brought about by time, and the acquiescence or conduct of the Parties. Walaupun tidak secara tegas mengafirmasi clausula rebus sic stantibus beberapa sarjana tetap berkeyakinan bahwa pandangan mahkamah arbiter tetap mengindikasikan digunakannya doktrin hukum selain yang sudah diatur dalam Article 62 dari Konvesni Wina yang memberikan legitimasi atas perubahan (atau bahkan menyatakan tidak berlaku) sebuah kesepakatan kontrak dalam rangka investasi asing. Dalam konteks perjanjian investasi asing di sektor sumber daya alam, baik asas kesucian kontrak maupun prinsip calusula rebus sic stantibus hendaknya tidak diterapkan secara absolut. Untuk menghindari terjadinya kebuntuan hukum akibat penggunaan klaim dan doktrin hukum ini oleh masing-masing pihak, Schwebel (1959) menyarankan agar dilakukan “constant renegotiation” atas kontrak investasi asing untuk menyiasati perubahan-perubahan yang terjadi yang dapat mempengaruhi perjanjian antara negara dengan investor maupun aktivitas usaha yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan pandangan Charlston (1958) yang menyatakan bahwa perjanjian investasi asing dalam jangka panjang hendaknya menjadi semacam “living law” yang secara praksis dilakukan melalui proses renegosiasi yang dilakukan secara tetap. Pada akhirnya dengan berbagai kompleksitas menyangkut aspek kedaulatan negara dan doktrin-doktrin hukum yang terkait, karakter perjanjian investasi asing di sektor sumber daya alam sebagian besar diatur dalam kerangka hukum publik, bukan perjanjian privat/keperdataan biasa. Selain itu karakter kerja sama dan investasi yang disepakati hendaknya bersifat dinamis dan didesain sebisa mungkin untuk mampu berevolusi menyesuaikan dengan perubahan-perubahan situasi yang terus berlanjut. IV. Kesimpulan Pemerintah Indonesia memiliki legitimasi konstitusional untuk melakukan penataan penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara telah memberikan arah tentang bagaimana penataan tersebut sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks aktivitas pertambangan Freeport, perubahan rezim kontrak karya menjadi rezim perizinan merupaka hal fundamental yang harus dilakukan. Selain tidak sesuai dengan mandat pasal 33 ayat (3) UUD 1945, rezim kontrak yang bersifat keperdataan juga cenderung bersifat statis dan rigid sehingga sulit untuk melakukan penyesuaian atas situasi yang berubah. Ancaman Freeport untuk membawa inisiaitf pemerintah ini ke mekanisme arbitrase internasional seharusnya tidak menyurutkan langkah pemerintah. Secara faktual pemerintah telah memberikan berbagai keisitimewaan terhadap Freeport untuk menjalankan aktivitas usahanya, hal yang juga mengindikasikan ketaatan pemerintah terhadap asas kesucian kontrak. Namun artikel ini telah mengafirmasi adanya kepentingan publik dan terutama konstitusional yang lebih besar dari itu, sehingga perubahan terhadap status kontrak karya Freeport tidak dapat dihindarkan. Selain itu artikel ini juga telah menunjukkan bahwa terdapat preseden, doktrin, peraturan dan hukum kebiasaan internasional (customary international law) yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk memperkuat klaim atas upaya penataan kegiatan usaha Freeport jika polemik ini berujung pada sengketa arbitrase internasional. Referensi Asante, Samuel K B. “Stability of Contractual Relations in the Transnational Investment Process.” International and Comparative Law Quarterly, 1979, 401–23. Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan Kolektivismme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-An. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Bakri, Muhammad. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria. Citra Media, 2007. Bezuidenhout, Henri, and Ewert Kleynhans. “Implications of Foreign Direct Investment for National Sovereignty: The Wal-Mart/Massmart Merger as an Illustration.” South African Journal of International Affairs 22, no. 1 (2015): 93–110. doi:10.1080/10220461.2015.1009155. Bijl, Paul. “Human Rights and Anticolonial Nationalism in Sjahrir’s Indonesian Contemplations.” Law & Literature, January 18, 2017, 1–22. doi:10.1080/1535685X.2016.1268769. Brownlie, Ian, and Kathleen Baker. Principles of Public International Law. Vol. 1. Clarendon Press Oxford, 1973. Douglas, Zachary, Joost Pauwelyn, and Jorge E Viñuales. The Foundations of International Investment Law: Bringing Theory into Practice. OUP Oxford, 2014. Evans, Malcolm D. “International Law.” Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2014. Foster, George K. “Striking a Balance between Investor Protections and National Sovereignty: The Relevance of Local Remedies in Investment Treaty Arbitration.” Columbia Journal of Transnational Law 49, no. 2 (2011): 201. http://usyd.summon.serialssolutions.com/2.0.0/link/0/eLvHCXMwtV1LS8NAEF6sJxH E9xvmHiJtd7tpBA9aLL0JVsyr0gQW4j10L_gr3Zms3m0IOjBSyjbMkl2v3ns9NsZxnj_qhuv2YTUCaHQNVtnEpfIgU X9tFL0uhk3Whqxltmummg0Y_-68DiGS08Haf-w-LVQHMDPCAG8IgjwisYTBdF_uYPIkaaWIyoxhU1K_clNuZFFG. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Djambatan, 1994. Kahin, George McTurnan, and Nin Bakdi Soemanto. Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. Sebelas Maret University Press, 1995. Kelsen, Hans. Principles of International Law. The Lawbook Exchange, Ltd., 1952. Maniruzzaman, A F M. “State Contracts with Aliens-The Question of Unilateral Change by the State in Contemporary International Law’(1992) 9 J Int’l Arb 141; D Vagts,’Rebus Revisited: Changed Circumstances in Treaty Law.” Essays in Honor of Oscar Schachter 43 (2005). McConnell, Lee. “ASSESSING THE FEASIBILITY OF A BUSINESS AND HUMAN RIGHTS TREATY.” The International and Comparative Law Quarterly 66, no. 1 (2017): 143–80. doi:10.1017/S0020589316000476. Sornarajah, Muthucumaraswamy. The Pursuit of Nationalized Property. Vol. 8. Martinus Nijhoff Publishers, 1986. Suhendar, Endang, and Ifdhal Kasim. Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru. ELSAM, 1996. Wehberg, Hans. “Pacta Sunt Servanda.” The American Journal of International Law 53, no. 4 (1959): 775–86. Widaningsih, Yuliani Sri. “Nationalism In The Indonesian Multicultural Community.” PROCEEDING ICTESS, 2017.