Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Psikoanalisa Sigmund Freud

Sebuah upaya awal untuk membaca metode psikoanalisa Freud. Tentang Analisa Diri, Mimpi, dan Teori Kepribadian.

PSIKOANALISA SIGMUND FREUD Oleh: Risalatul Hukmi (Fakultas Filsafat UGM) A. Pendahuluan Bahwa titik berangkat filsafat bisa dengan berbagai jalur, adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Jalur apa yang dimaksud kiranya? Adalah jalur ilmu pengetahuan lain. Pada keberangkatan pertama itu, yang terpenting adalah rasa takjub yang menuntun untuk munculnya pertanyaan-pertanyaan sebagai inti awal kegiatan berfilsafat. Atas pemahaman itu lantas kita teringat Sigmund Freud, tokoh psikologi. Pada awalnya seorang mahasiswa psikologi dan terapis atau psikolog. Namun pada kemudian hari, ketokohan freud, dikaji pula dalam ilmu filsafat. Pergumulan freud dengan psikologi dan tentunya filsafat teoritis historis pada akhirnya melahirkan gagasan psikoanalisa. Sebuah ilmu baru, tentang manusia, dan persoalan kesadaran manusiawi. Lantas sudah seharusnya kita bertanya, pada titik mana gagasan-gagasan freud menunjukkan implikasi filosofisnya? Pada intinya gagasan freud tentang kuasa struktur pra-sadar –id, ego, superego- dalam mengendalikan tingkah laku manusia. Implikasi manusia dengan prilakuknya hanyalah dikendalikan oleh struktur pra-sadar, yang bentuknya adalah peniruan-peniruan, yang kendalinya ada pada ingatan masa kecil yang telah hilang. Dan Freud mencoba melakukan suatu analisa pada fakta-fakta empiris seseorang mengenai mimpi-mipinya yang kemudian Ia interpretasikan dengan suatu metode yang kemudian disebut dengan psikoanalisa. Pada akhirnya, suatu pemikiran filosofis mengandaikan kepada kita bahwa pemikiran itu tersusun di atas suatu metode berfikir yang sistematis dalam sebuah rumusan teori yang mendalam. Dengan demikian, dalam makalah yang relatif sederhana ini, kita akan mencoba menguraikan gagasan-gagasan dan metode berfilsafat Sigmund Freud, terutama pada pokok kajian mengenai gaya filsafat dan bagaimana metode Freud untuk sampai pada psikoanalisanya. B. Pembahasan 1. Orangnya Sigmund Freud lahir 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia, yang sekarang menjadi bagian dari Republik Cekoslowakia (Yustinus, 2006:44). Pada tahun 1860, ketika Freud hampir berusia 4 tahun keluarganya pindah ke Wina (ibukota Austria). Ia memasuki Sekolah Kedokteran Universitas Wina pada tahun 1873. Namun, setelah lulus pada tahun 1881, ia tidak ingin melakukan praktek kedokteran. Ia lebih menyukai penelitian di bidang fisiologi. Pada tahun 1885, ia menerima dana untuk meninggalkan Universitas Wina dan memutuskan untuk belajar di Paris bersama neurolog Prancis, Jean-Martin Charcot. Dari Charcot ia mempelajari teknik hipnosis untuk merawat histeria, suatu gangguan dengan ciri khasnya kelumpuhan atau bagian-baigan tertentu dari tubuh tidak berfungsi dengan baik. Karya-karyanya: The Interpretation of Dreams (1900); Psychopathologof Everyday Life (1901); Wit and its Relation to the Unconscious (1905); General Introduction to phycho-analysis (1920). 2. Filsafatnya Meskipun Freud memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap segala macam fisafat, namun tidak mengartikan bahwa ia tidak dipengaruhi oleh gagasan- gagasan filosofis. Seperti halnya dengan setiap ilmuwan, kegiatan ilmiah Freud pun bertumpu pada prasangka-prasangka ilmiah. Dengan menemukan ketidaksadaran ia membuka suatu dimensi baru dalam pengertian kita tentang manusia, tetapi penemuan itu diolah menurut pola-pola pemikiran yang lazim pada waktu itu (Bertens, 1987:46). Pembagian freud atas aspek psyche dalam diri manusia menjadi id, ego dan superego merupakan sebuah kepribadian total. Tiga titik pembagian itu mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamisme dan mekanismenya sendiri ( Calvin,1993:63). Pada titik ini bisa kita lacak konteks historis gagasan tersebut diturunkan dari pemahaman Descartes tentang dualisme jiwa badan. Freud menarik gagasan Descartes pada implikasi praktis dengan menganalisis struktur res cogitans (jiwa) yang terpisah dari badan. Maka terlihat pemahaman freud akan manusia adalah mekanistis dualistis Cartesian. Sebuah upaya mencari objektivikasi gaya Cartesian pada ranah ilmu jiwa. Dalam hal ini, gaya filsafat Freud cenderung mengarah pada gaya Descartes yang percaya bahwa alam semesta dikuasai oleh hukum-hukum yang sama sekali universal sifatnya. Freud mengandaikan bahwa teorinya adalah bersifat universal yang menafikan kemungkinan lain yang bersifat parsial. Ketundukan pada suatu hukum yang universal tersebut mengimplikasikan bahwa Freud memandang manusia secara deterministik, tidak ada sesuatu pun yang spontan dan kebetulan. Apa yang disebut dengan ‘kebebasan’ hanyalah suatu ilusi belaka. 3. Metodenya a) Konsistensi Internal (internal consistency) Dalam penyusunan teorinya, Freud lebih menyukai jalan induksi, lebih terbuka, informal dan yang berakar pada dukungan bukti-bukti empiris daripada tipe teori deduktif formal. Freud menganggap bahwa hanya setelah kita meneliti bidang observasi secara saksama maka kita dapat merumuskan konsep-konsep ilmiah dasarnya secara lebih tepat, dan secara progresif mampu memodifikasinya, sehingga ide-ide itu dapat digunakan dan menjadi konsisten dengan suatu bidang yang luas (Calvin, 1993:99). Dengan mengatakan bahwa metode yang dipakai Freud adalah metode induksi, maka hal itu mengimplikasikan bahwa ia berangkat dari beberapa asumsi-asumsi yang ada yang kemudian terangkum dalam sebuah rumusan ilmiah yang bersifat induktif (generalisasi). Akan tetapi teknik pengumpulan asumsi-asumsi (data) yang kemudian ditarik menjadi sebuah kesimpulan harus didasarkan pada sejenis jaringan fakta yang saling berkaitan secara koheren satu sama lain. Untuk mendapatkan sejumlah asumsi-asumsi yang kemudian akan dirumuskan menjadi sebuah teori, Freud memiliki beberapa metode tersendiri sebagai berikut: 1) Asosiasi Bebas Sebelum ia mengembangkan metode asosiasi bebasnya, ia pernah mencoba metode hipnosis yang saat itu sangat digemari, terutama di Perancis. Kemudian ia mepelajari metode baru yang oleh Breuer dinamakan “catharsis” atau “pengobatan dengan berbicara” dengan cara menyuruh pasien menguraikan secara terinci masing-masing simtom segera. Setelah simtom itu muncul dan diikuti dengan menghilangnya simtom-simtom tersebut. Dari metode inilah Freud secara bertahap mengembangkan metode asosiasi bebasnya. Secara sederhana, metode asosiasi bebas menuntut pasien mengatakan segala sesuatu yang muncul dalam kesadarannya, tak peduli betapa memalukan atau tak pantas untuk dibicarakan. Tak peduli penting atau tidak penting apa yang dibicarakan. Lain halnya dengan metode catharsis yang hanya berhenti pada asal-usul simtom, metode asosiasi bebas ini ini memungkinkan dan bahkan menuntut pasien supaya berbicara tentang segala sesuatu dan apa saja yang terjadi pada dirinya dengan leluasa, tanpa uraian yang logis, teratur dan penuh arti. Peran ahli terapi disini sebagian besar adalah pasif. Ia hanya duduk dan mendengarkan, dengan sesekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan bila pasien sudah kehabisan kata-kata (Calvin, 1993:100). Jika metode diatas berhasil, maka akhirnya pasien akan menceritakan ingatan-ingatan tentang pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak awalnya. Ingatan-ingatan ini memberikan Freud pemahaman real tentang pembentukan struktur kepribadian dan perkembangan selanjutnya. Anggapan Freud tentang ucapan-ucapan pasien yang serba tidak teratur ini adalah bahwa setiap pernyataan memiliki hubungan dinamik dan penuh arti dengan pernyataan sebelumnya, sehingga terbentuklah suatu rangkaian asosiasi yang kontinyu dari awal hingga akhir. Dalam asosiasi bebas ini, bukan tidak mungkin ditemukan persoalan ketika seorang pasien melakukan perlawanan terhadap prosedur-prosedur dan proses-proses analisis. Hal tersebut mengganggu usaha-usaha pasien untuk mengingat dan memperoleh serta mengasimilasikan pemahaman, yang beroprasi melawan egorasional pasien dan hasratnya untuk berubah disebut resistensi (Yustinus, 2006:209). 2) Analisis Mimpi Masih berkaitan dengan metode asosiasi bebasnya, analisis tentang mimpi-mimpi ini bukanlah suatu metode yang terpisah dari asosiasi bebas. Analisis tentang mimpi merupakan konsekuensi wajar dari instruksi kepada para pasien agar mereka berbicara tentang segala sesuatu yang muncul dalam kesadarannya. Analisis mimpi merupakan suatu teknik yang penting untuk menyingkapkan bahan yang tidak disadari dan memberikan pemahaman kepada pasien terhadap beberapa masalah yang tidak terselesaikan. Freud memandang bahwa mimpi-mimpi sebagai jalan yang mudah menuju ketidaksadaran karena melalui mimpi-mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan-ketakutan yang tidak disadari akan diungkapkan (Yustinus, 2006: 191). Freud menyatakan bahwa ada dua metode dasar untuk menafsirkan mimpi yang digunakan oleh dunia ilmu pengetahuan non-ilmiah, metode pertama: melihat isi mimpi secara keseluruhan dan mencoba menggantinya dengan yang lain, yang dapat dimengerti dan dapat disamakan dalam beberapa hal. Ini disebut tafsir simbolik. Metode kedua: digambarkan sebagai metode sandi rahasia. Setiap tanda diterjemahkan ke dalam tanda lain yang diketahui artinya, sesuai dengan kunci yang telah ditetapkan (Freud, 2011: 118-119). Untuk memecahkan problem mimpi, usaha-usaha lain yang bisa dilakukan adalah dengan menelaah langsung pada ‘isi mimpi nyata’ (manifes) yang tersimpan dalam ingatan. Usaha ini mencoba untuk menghasilkan tafsir dari isi mimpi tersebut, jika kita membuang tafsir, kita tetap akan mendasarkan kesimpulan pada fakta, tanda, atau petunjuk dalam isi mimpi tersebut. Bagaimanapun juga kita dihadapkan pada sekumpulan data yang berbeda-beda. Yang tampak pada kita adalah sebuah materi psikis baru yang menempatkan dirinya diantara isi mimpi dan hasil-hasil penelitian kita atas mimpi tersebut: yaitu isi mimpi laten, atau pikiran mimpi, yang hanya bisa diperoleh melalui metode-metode tafsir yang kita gunakan. Kita membangun solusi atas sebuah mimpi dari isi laten ini, dan bukan dari isi mimpi manifes (Freud, 2011:339). 3) Analisis Diri Bahan yang digali dari ketidaksadarannya sendiri merupakan sumber data empiris yang penting bagi Freud. Seperti yang diceritakan oleh Ernest Jones (salah seorang murid Freud), Pada tahun 1897 Freud melakukan perbuatannya yang paling dramatis yaitu melakukan analisa terhadap alam tak sadarnya sendiri dengan cara interpretasi akan mimpi-mimpi, dan peningkatan apresiasinya terhadap seksualitas masa bayi (Ernest Jones, 2007:261). Dari penelitian diri yang mendalam ini, Freud secara memuaskan meneguhkan teori tentang mimpi-mimpi dan teori tentang seksualitas infantil. Ia menemukan dalam kepribadiannya sendiri konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi serta irrasionalitas-irrasionalitas yang telah ia observasi pada pasien-pasiennya dan mungkin melebihi yang lain, pengalaman ini telah menjadikannya yakin tentang kebenaran hakiki pandangan-pandangannya. Pada kenyataannya, Freud enggan menerima validitas setiap hipotesis sebelum ia mengujinya pada dirinya sendiri. Freud terus menganalisis dirinya sepanjang hidupnya, menyisihkan setengah jam terakhir dari setiap hari untuk kegiatan ini (Calvin, 1993:107). 4. Hasil Metodis a. Psikoanalisis Sebagai Teori Kepribadian Struktur psikis manusia menurut Freud meliputi tiga instansi atau tiga sistem yang berbeda-beda. Sebagaimana akan dijelaskan lagi, sistem-sistem ini memegang peranan sendiri-sendiri dan kesehatan psikis seseorang sebagian besar tergantung pada keharmonisan kerja di antaranya. Ketiga instansi ini masing-masing adalah Es, Ich, dan Uberich. a) Es Es adalah satu-satunya struktur mental yang ada sejak lahir yang merupakan dorongan-dorongan biologis dan berada dalam ketidaksadaran. Dorongan ini disebut dorongan primitif, yaitu dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaan. Bentuk dorongan tersebut ialah dorongan untuk hidup (life instinct) dan dorongan untuk mati (death instinct). Dorongan untuk hidup berupa dorongan seksual atau libido. Libido sendiri adalah stimulisasi umum yang menyenangkan dan tidak hanya terbatas pada kenikmatan genital atau seksual. Sendangkan bentuk dorongan untuk mati adalah agresi, yaitu dorongan untuk menyerang orang lain. Es bekerja menurut prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan mencari kepuasan untuk semua dorongan primitif (Yustinus, 2006:12). Freud mengibaratkan kehidupan psikis manusia seperti gunung es yang terapung di laut. Yang terlihat oleh kita hanya puncak gunung yang ada di atas permukaan air, tapi sebagian besar gunung es itu tidak terlihat karena terpendam air laut (Bertens, 2013:53). Hidup psikis manusia sebagian besar tidak tampak atau lebih tepatnya dalam ketidaksadaran, namun ia tetap menjadi kenyataan yang harus diperhitungkan. b) Ich Jika Es sebelumnya merupakan dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaan. Ich disini adalah sistem yang telah dibentuk oleh kebudayaan, ia tumbuh dari Es melalui kontaknya dengan dunia luar, khususnya dengan yang dekat dengannya seperti orangtua dan pengasuh. Meskipun Ich berada diatas Es dalam hierarkinya, ia bisa sadar, prasadar maupun tak sadar. Tapi sebagian besar ia bersifat sadar (Bertens, 2013:5556). Ich merupakan pikiran yang beroprasi menurut prinsip kenyataan (reality principle) dan beroprasi menurut proses sekunder. Tujuan prinsip kenyataan adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Dalam hal ini untuk sementara waktu prinsip kenyataan akan menunda prinsip kenikmatan, meskipun pada akhirnya prinsip kenikmatan akan terpenuhi ketika objek yang dibutuhkan ditemukan dan dengan demikian tegangan direduksikan (Calvin, 1993:66) Proses sekunder sendiri adalah berpikir realistik. Dengan proses sekunder, ego (Ich) menyusun rencana untuk memuaskan kebutuhan dan kemudian menguji rencana itu, biasanya melalui suatu tindakan untuk melihat rencana itu berhasil atau tidak. Satu yang harus diingat adalah bahwa ego (ich) merupakan bagian id (es) yang terorganisasi yang hadir untuk memenuhi tujuan-tujuan es dan bukan mengecewakannya. Ich tidak terpisah dari es dan tidak pernah bebas sama sekali dari es. Peran utamanya adalah menengahi kebutuhankebutuhan instingtif dari organisme dan kebutuhan-kebutuhan lingkungan sekitarnya; tujuan-tujuannya yang sangat penting adalah mempertahankan kehidupan individu dan memperhatikan bahwa spesies dikembangbiakkan (Calvin, 1993:66-67). c) Uberich Uberich merupakan bagian dari nilai-nilai moral dan beroprasi menurut prinsip moral yang terbentuk melalui proses identifikasi dalam pertengahan masa kanak-kanak. Uberich mulai berkembang pada waktu ich menginternalisasikan norma-norma sosial dan moral. Uberich adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita tradisional masyarakat. Ia dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralistik dan idealistik yang bertentangan dengan prinsip kenikmatan dari es dan prinsip kenyataan dari ich. Uberich mencerminkan sesuatu yang ideal bukan yang real, memperjuangkan kesempurnaan bekan kenikmatan. Perhatian utamanya adalah memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah, dengan demikian ia dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui dalam masyarakat (Yustinus, 2006:66). Referensi Bertens K, Etika, Yogyakarta, Kanisius, 2003 Bertens K, Panorama Filsafat Modern, Jakarta, Gramedia 1987 Semiun Yustinus, Teori Kepribadian & Terapi Psikoanalitik FREUD, Yogyakarta, Kanisius, 2006 Jones Ernest, Dunia Freud Sebuah Biografi Lengkap , Yogyakarta, IRCiSoD,2007 Mudhofir Ali, Kamus Filsafat Barat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001 Hall, Calvin S., dan Gardner Lindzey, Psikologi Kepribadian 1,Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Yogyakarta, Kanisius 1993 Freud Sigmund, Tafsir Mimpi, Yogyakarta, Jendela, 2001