View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
brought to you by
CORE
provided by Institut Seni Indonesia Yogyakarta: Jurnal Online ISI Yogyakarta / Indonesia Institute of...
Pengelolaan Pertunjukan Teater di Jakarta
Tahun 1972 Hingga Tahun 2017
jurnal tari, teater, dan wayang
volume 4 number 1, May 2021
page 36 – 43
Deden Haerudin1
Program Studi Pendidikan Tari, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Jakarta
Abstract
Theater Performance Management in Jakarta from 1972 to 2017. Theatre
performances are defined as communicating the ideas and thoughts of an
artist through performances. Even though several power limitations limit the
communication process. This study aims to determine theatre performances at
the Jakarta Theater Festival from 1972 to 2017. This research was conducted by
using the method of the historical case study. The research data was collected
through documents and interviews and then categorized and analyzed to find
several findings. The research findings are then validated by the data source of
the triangulation validation technique, which synchronizes several data sources
on the research findings. This research reveals that the management of theatre
performances of FTJ adapting government policies which are authorized is
marked by two periods (1972-2000 period and 2000-2017 period) by taking
into account the needs and potentials of the artists’ expressive power. FTJ has
become a magnet for theatre activists to recognize as a theatre group, although
few theatre groups disbanded after participating at FTJ. This study recommends
further research topics to reveal post-participation theatre management at FTJ.
Keywords: arts centre in Jakarta; theatre festival; historical study; posttheatre management
Pendahuluan
Sentra kesenian seyogianya mewadahi
para seniman untuk berkarya dan
memberikan pengalaman yang berbeda
bagi penikmat seni (Kevin & Huwae, 2019).
Karya-karya para seniman tersebut diuji
sekaligus disosialisasikan melalui sejumlah
kegiatan, antara lain pameran, pagelaran, dan
pertunjukan, sehingga sentra kesenian dapat
secara optimal menjadi pusat kegiatan para
seniman, kritikus seni, dan penikmat seni.
Salah satu sentra kesenian yang senantiasa
aktif dalam melaksanakan deretan kegiatan
seni di DKI Jakarta ialah Taman Ismail Marjuki.
Taman Ismail Marzuki (TIM) berlokasi di
pusat Jakarta, yakni di Jalan Cikini Raya No. 73.
TIM memiliki kegiatan rutin berupa sederet
1
36
acara seni dan budaya, seperti pementasan
drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi,
pameran lukisan, dan pertunjukan film.
Adapun acara-acara yang diselenggarakan di
TIM beragam, baik acara bersifat tradisional
maupun kontemporer, mulai dari yang bersifat
tradisi asli Indonesia hingga mancanegara.
Khusus pada pertunjukan teater, TIM
memiliki acara rutin, yakni berupa kompetisi
teater yang dinamakan Festival Teater
Jakarta (FTJ). Festival tersebut merupakan
agenda acara tahunan di Indonesia. FTJ
melibatkan sejumlah kelompok seniman
teater untuk saling meningkatkan kemampuan
kelompoknya dalam melaksanakan proses
kreatif yang diwujudkan dalam sebuah
karya pertunjukan. FTJ sebagai sebuah
acara tertua di Indonesia, tentunya memiliki
Alamat korespondensi: Jl. R. Mangun Muka Raya No.11, RW.14, Rawamangun, Kec. Pulo Gadung, Jakarta
Timur, DKI Jakarta 13220. Email: deden.rengga@gmail.com; HP.: 081287116554.
Dance & Theatre Review | volume 4 number 1, May 2021
sistem pengelolaan tertentu sehingga mampu
melaksanakan kegiatan rutin sejak pertama
kali diselenggarakan, yakni pada tahun 1972
hingga kini. Sistem pengelolaan FTJ disinyalir
menjadi contoh pengelolaan acara serupa di
kota-kota besar lainnya di seluruh Indonesia.
Namun, FTJ ini dinilai sebagai salah
satu pengekangan kebebasan berkarya para
seniman. Para seniman dalam FTJ dipaksa
untuk memenuhi standar pertunjukan
yang diputuskan oleh sejumlah orang yang
tergabung dalam Dewan Kesenian Jakarta.
Selain itu, kemasan FTJ dalam bentuk festival
lebih dirasakan seperti halnya perlombaan
yang secara bertingkat. Sejatinya sebuah
karya memiliki daya ungkap tersendiri yang
menunjukkan kedewasaan para senimannya.
Oleh karena itu, penelitan ini bermaksud
untuk mengetahui seluk-beluk pengelolaan
pertunjukan dalam program kegiatan FTJ di
pusat kesenian Jakarta. Adapun penelitian
ini mengungkap kesejarahan Taman Ismail
Marzuki sebagai pusat kesenian di Jakarta,
kelembagaan dan sistem pengelolaan dewan
kesenian Jakarta, serta sistem pengelolaan FTJ
dan capaian yang berhasil diraih oleh FTJ.
Guna menjawab tujuan penelitian
ini, peneliti menggunakan metode studi
kesejarahan organisasi (Moleong, 2008;
Stake, 2010). Penelitian ini dilaksanakan
dengan kurun waktu 45 tahun, ditandai
dengan awal penyelenggaraan FTJ hingga
tahun 2017. Data pada penelitian ini antara
lain sejumlah dokumen yang berkaitan dengan
penyelenggaraan FTJ, wawancara kepada
narasumber dari Dewan Kesenian Jakarta,
beberapa juri FTJ, pengamat teater, pelaku seni
serta penikmat teater, dan anotasi pengamat
teater terhadap pelaksanaan FTJ.
Data penelitian tersebut dikelompokkan
ke dalam kategori sejarah kelembagaan,
kebijakan, dan proses penyelenggaraan FTJ.
Kategori data sejarah kelembagaan dan
kebijakan FTJ didapat dari dokumen internal
milik Dewan Kesenian Jakarta. Sementara
kategori proses penyelenggaraan FTJ didapat
dari wawancara sejumlah Juri FTJ, pengamat,
pelaku serta penikmat teater, dan komentar
pengamat teater yang dituliskan pada
sejumlah media cetak.
Setelah dikelompokkan dalam sejumlah
kategori yang dipaparkan di atas, dilakukan
analisis data untuk mencari generalisasi atas
sejumlah temuan yang ada. Temuan tersebut
kemudian divalidasi dengan menggunakan
teknik triangulasi sumber data.
Teknik triangulasi sumber data merupakan kombinasi penguji keabsahan yang
menguji sebuah temuan dari sumber data
yang beragam. Dengan demikian, semua
temuan yang dilaksanakan dan diungkapkan
dapat dinyatakan sebagai temuan yang
valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, keseluruhan temuan dirajut guna
menghasilkan sebuah simpulan dari tujuan
penelitian.
Pembahasan
Penelitian pengelolaan ini mengungkap
adanya peran serta masing-masing elemen yang
akan dipaparkan dalam sejumlah subkategori,
antara lain sejarah perkembangan Taman
Ismail Marzuki, kebijakan Dewan Kesenian
Jakarta, dan Proses penyelenggaraan Festival
Teater Jakarta tahun 1972-2000 dan proses
penyelenggaraan Festival Teater Jakarta tahun
2000-2017.
Sejarah Perkembangan Taman Ismail
Marzuki
Pendirian Taman Ismail Marzuki (TIM)
bertujuan mengurangi gejolak sosial yang telah
terjadi sejak tahun 1950. Sejumlah seniman
saat itu sebagian besar dicap sebagai pro
terhadap aktivitas Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Mencoba untuk tidak melupakan sejarah,
pada 17 Agustus 1950, Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) resmi didirikan oleh PKI untuk
mewadahi kalangan seniman (Ahmadi, 2020).
Pada tahun 1965, para seniman anggota
Lekra dieksekusi tanpa ampun (Probo, 2015).
37
Deden Haerudin, Pengelolaan Pertunjukan Teater di Jakarta
Beberapa pegiat seni Lekra yang bertahan
memilih menerima kenyataan dan berdamai
dengan pemerintahan yang baru dengan
bersembunyi.
Sekuat apapun tekanan kekuasaan,
karya-karya, gagasan, ataupun pemikiran
seniman tetap hadir. Para seniman tetap saja
menyuarakan aspirasi ataupun kegelisahan
dirinya atas fenomena yang terjadi, baik di
lingkungan sekitar maupun negara, dalam
bentuk karya. Gejolak pemikiran yang datang
dari kalangan seniman inilah yang mendesak
pemerintah untuk menyediakan pusat
kesenian. Oleh karena itu, TIM merupakan
pusat kesenian Jakarta yang didirikan pada
tahun 1968 atas kesepakatan sejumlah
akademisi dan budayawan dengan Gubernur
DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin.
TIM didirikan sebagai ruang ekspresi
seniman yang menyajikan karya inovatif
sekaligus wadah kontrol pemerintah atas
gejolak yang mungkin dihadapi di kemudian
hari. TIM membuka kebebasan seluasluasnya bagi para seniman untuk melakukan
eksperimen terhadap ide-ide yang muncul
dari ruang berpikir para seniman. Kebebasan
tersebut dimaksudkan untuk menciptakan
kreasi seni yang berkualitas.
Penetapan TIM sebagai wadah ekspresi
mendorong sejumlah seniman Indonesia
berkiblat ke DKI Jakarta serta memberikan
tawaran pertunjukan ekperimen baru di atas
pentas. Misalnya, Rendra dengan sederet
nomor pertunjukannya, antara lain Be Bop,
Ssssttt, Oedipus Rex, Menunggu Godot, Hamlet,
dan nomor-nomor lainnya. Secara tidak
langsung, TIM menyerap sejumlah seniman
Indonesia untuk melakukan pentas di Jakarta.
Ditambah dengan dukungan Jakarta sebagai
pusat pemerintahan negara Indonesia, kaum
seniman pun melakukan urbanisasi dan
membentuk klaster urban dengan polemik
yang dibawanya masing-masing. Hal demikian
membuat TIM semakin padat dengan beragam
kreativitias seniman dari seluruh daerah.
Jumlah ketersediaan panggung dengan
permintaan kelompok teater pada saat
38
maraknya perpindahan secara massif penduduk
desa ke kota, membuat para seniman lokal
Jakarta memiliki kesempatan yang tidak
lagi banyak seperti sebelumnya. Keadaan
tersebut menyebabkan gubernur melanjutkan
pembangunan sejumlah pusat kesenian yang
bersifat lokal dengan mendirikan gelanggang
remaja.
Sejarah Dewan Kesenian Jakarta
Eksistensi TIM tentunya memerlukan
lembaga yang melaksanakan pada tatanan
operasional. Oleh karena itu, masyarakat
seniman berinisiasi mendirikan kelembagaan
yang diberikan kewenangan dan dapat
bersinergi dengan kebijakan pemerintah.
Lembaga tersebut dinamakan Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) yang dikukuhkan oleh Gubernur
DKI Jakarta pada tanggal 17 Juni 1969. Tugas
dan fungsi DKJ adalah sebagai mitra gubernur
DKI Jakarta untuk merumuskan kebijakan
guna mendukung kegiatan dan pengembangan
kehidupan kesenian di wilayah Provinsi DKI
Jakarta. Anggota DKJ diangkat oleh Akademi
Jakarta yang terdiri atas para budayawan dan
cendekiawan dari seluruh Indonesia.
Sejalan dengan maksud pendirian TIM,
DKJ menjadi keterwakilan para seniman
dalam menumbuhkan kebudayaan yang lahir
dari pemikiran anak bangsa dengan landasan
kebebasan berpikir dan berpolemik. DKJ juga
menjadi tiang penyangga para seniman dalam
mengutarakan opini tanpa campur tangan
kekuatan dan kekuasaan politik (Ikranegara,
1999).
Sepak terjang DKJ diawali dengan tujuh
formatur dengan penetapan kebijakan
berupa tugas lembaga antara lain: 1) untuk
memberi contoh (model) dari manifestasimanifestasi kesenian terbaik yang dihasilkan
oleh para seniman Indonesia dalam segala
bidang kesenian yang ditemui di Indonesia
(jadi termasuk daerah), dan 2) berusaha
dengan segala macam cara untuk membina
apresiasi masyarakat terhadap hasil-hasil
kesenian yang bermutu. Dengan demikian,
Dance & Theatre Review | volume 4 number 1, May 2021
dapat mengalihkan perhatian orang banyak
dari tontonan-tontonan dan pertunjukan
yang diadakan berdasarkan selera burukbaik yang datang dari dalam dan luar negeri
dengan jalan memberikan suatu “tandingan”
dan menghindarkan diri dari penggunaan
“kekuasaan melarang” yang umumnya amat
merugikan perkembangan kebudayaan.
Kebijakan tersebut melahirkan sejumlah
prosedur menampung aspirasi kesenian
secara lahir dan batin yang terdapat di
kalangan seniman. Adapun kebijakan tersebut memiliki misi tersendiri, yakni untuk
pembentukan selera seni tinggi dengan
pengharapan kemunculan ekspresi-ekspresi
seni baru (Hauser, 2011) dan dapat diakui
dalam konstruksi kesenian dunia.
Pemilihan anggota DKJ kini dilakukan
secara terbuka, melalui pembentukan tim
pemilihan yang terdiri dari beberapa ahli dan
pengamat seni, selain anggota Akademi Jakarta.
Nama-nama calon diajukan dari berbagai
kalangan masyarakat ataupun kelompok
seni. Masa kepengurusaan DKJ sebanyak tiga
tahun dengan menjalankan sejumlah program
tahunan yang terbagi atas sejumlah komite,
antara lain komite film, komite musik, komite
sastra, komite seni rupa, komite tari, dan komite
teater. Melalui komite teater inilah muncul
program tahunan yang dikenal dengan FTJ.
FTJ: Kurun Waktu Tahun 1972-2000
FTJ digagaskan oleh Wahyu Sihombing
dengan tujuan menggiatkan pertumbuhan
teater Jakarta dan mengisi panggung
pertunjukan di Taman Ismail Marzuki
(Sumardjo, 1997). Saat itu dinamakan Festival
Teater Remaja Jakarta. Gagasan FTJ sebagai
kegiatan rutin beriringan dengan tahun
pendirian sejumlah gelanggang di lima wilayah
kota adminsitrasi Jakarta. Dengan demikian,
pementasan kelompok teater di Taman Ismail
Marzuki merupakan prestise bagi kalangan
seniman.
FTJ itu sendiri merupakan rangkaian
proses produksi pertunjukan sejumlah ka-
langan seniman. Diawali dengan sayembara
naskah pertunjukan. Naskah yang terpilih
menjadi materi pertunjukan yang harus disajikan kelompok teater. Kemudian dilakukan
eliminasi terhadap interpretasi pemanggungan dari naskah terpilih oleh kelompok teater
pada tingkatan wilayah yang diselenggarakan di tiap gelanggang di lima wilayah kota
administrasi Jakarta. Hasil pengeliminasian
selanjutnya dikontestasikan di TIM.
Proses FTJ yang diawali dari sayembara
naskah memang berdampak pada bertambahnya literasi sastra. Hal itu dibuktikan
dengan jumlah bank naskah yang semakin
bertambah secara kuantitas tiap tahunnya.
Namun, tentu saja dalam tiap hal positif selalu
diikuti hal negatif, yakni kelompok-kelompok
teater cenderung menunggu hasil pemenang
lomba naskah agar dapat dianalisis supaya
dapat disajikan dengan pemanggungan yang
baik. Alhasil sejumlah kelompok teater seperti
kehilangan warna sejati dari kelompoknya.
Proses FTJ dengan menggunakan naskah
pemenang lomba terpaksa diubah, yakni
dengan meniadakan keharusan mementaskan
naskah pemenang lomba pada tahun 1987. Hal
tersebut tentu mendatangkan keuntungan bagi
sejumlah kelompok seniman yang menjunjung
tinggi idealisme pementasan yang diyakininya.
Kemunculan ini ditandai dengan pementasanpementasan eksperimen teater, seperti Teater
SAE, Teater Kubur, Bandar Teater Jakarta,
Teater Gelanggang Jakarta Timur, Teater
Aquilla, dan masih banyak lainnya.
Bagi kelompok yang dinyatakan
pemenang dalam FTJ, tentu saja akan
mendapatkan sejumlah hadiah yang menarik,
baik secara material maupun nonmaterial.
Hak material tentu saja berupa adanya uang
pembinaan yang dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari pegiat
seni teater pada kelompok tersebut. Adapun
secara nonmaterial adalah hak akses untuk
melakukan pentas (hak tampil) di TIM. Tentu
saja hak tampil itu adalah kesempatan untuk
disaksikan oleh lebih banyak penonton
yang memungkinkan untuk mendatangkan
39
Deden Haerudin, Pengelolaan Pertunjukan Teater di Jakarta
sejumlah uang, baik dari sponsor maupun
dari penjualan tiket penonton. Selain itu, bagi
kelompok teater yang telah memenangkan
festival teater sebanyak tiga kali, akan
mendapat predikat senior.
Legitimasi senior merupakan capaian
puncak dan sebuah kebanggaan tersendiri.
Sebagai teater senior yang sudah dilegitimasi
oleh dewan juri yang terdiri dari tokoh-tokoh
teater nasional, mendapatkan keistimewaan,
didaulat sebagai teater yang mapan, mampu
berdiri sendiri, dan berhak mengadakan
pementasan di Taman Ismail Marzuki, sejajar
dengan kelompok-kelompok teater profesional
lainnya secara periodik.
FTJ: Kurun Waktu Tahun 2000-2017
Selama penyelenggaraannya, FTJ tidaklah
lepas dari pro dan kontra yang mengkritisi,
baik proses maupun hasil yang dicapai.
Tidaklah asing apabila dalam kritikan tersebut
bersifat konstruktif dan destruktif. Inisiasi
perubahan FTJ pada kurun waktu tahun 2000
ini diawali pada pernyataan pengamat budaya,
Noorca Masardi dan Radhar Panca Dahana,
pada FTJ ke-21 tahun 1994. Masardi dan
Dahana menyarankan agar FTJ dibubarkan
atau diubah dengan program lain. Dahana
menegaskan bahwa FTJ semestinya telah
memasuki usia kedewasaan untuk memberi
ruang kemungkinan artistik keteateran di
ibukota (Dahana, 2001).
Ruang gerak informasi pada tahun
1994 memang sangat dibatasi, mengingat
tahun itu suara seniman masih dibungkam
oleh kekuasaan politik. Namun, perubahan
susunan pemerintahan terjadi seiring
dengan pendewasaan diri yang dilakukan
oleh FTJ. Pada tahun 2000, seiring dengan
penghapusan Departemen Penerangan pada
era pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid, memberikan peluang besar bagi
para seniman untuk ikut mengubah konsep
pendewasaan diri.
Konsep pendewasaan yang dilakukan DKJ
pada Festival Teater Remaja Jakarta, yakni
40
dengan menghilangkan kata remaja. Memang
pada saat penyandangan kata remaja banyak
aspirasi kelompok seniman yang dibatasi
dalam memberikan kontribusi pemikiran dan
konsep pembaruan. Menyembunyikan diri
dalam pengistilahan remaja saat itu dinyatakan
tepat sebab bagaimanapun sebelum tahun
2000 semua aspirasi dikategorikan sebagai
ungkapan kegelisahan remaja yang dianggap
kurang berarti.
Sesungguhnya, secara faktual, pelaku seni
tidaklah sepenuhnya remaja lagi. Banyak di
kalangan pelaku seni sudah jauh dari sebutan
remaja. Kebebasan berpendapat yang ditandai
dengan perubahan penghapusan Departemen
Penerangan memberikan ruang keartistikan
baru yang digambarkan Dahana. Dahana
menambahkan bahwa festival semestinya
tidak ditelikung oleh sistem atau kriteria
penilaian yang ketat (Dahana, 2001). FTJ
pada kurun waktu tahun 2000 hingga kini
dikembalikan pada hakikat festival. Festival
dalam FTJ dimaknai sebagai sebuah pesta
yang bersifat komemorasi (peringatan) yang
membedakan makna festival dari pemaknaan
umum lainnya (Sunardi, 2005).
Pesta sebagai komemorasi yang hakikatnya dalam festival adalah mengambil objek
keberhasilan manusia memberi nilai. Komemorasi dalam festival senantiasa terkait
dengan lahirnya nilai baru dalam masyarakat.
Visi dalam sebuah festival kesenian merupakan
manifestasi dari budaya kritis. Pemahaman ini
bersumber pada cara kita membaca kesenian
dan hubungannya dengan berbagai isu sensitif
yang sedang berlangsung dalam kehidupan
publik. Budaya kritis akan membuat festival
bukan hanya berarti karena “siapa yang akan
tampil” dalam festival tersebut, melainkan
karena festival tersebut juga bagian dari
budaya kritis yang bertanggung jawab kepada
publik, yaitu bagaimana festival tersebut
membangun budaya pertunjukan sebagai
membuka berlangsungnya “perang ikon”
dan publik bisa membaca perang itu adalah
positif untuk membaca ulang keberadaan
mereka di antara berbagai ikon publik yang
Dance & Theatre Review | volume 4 number 1, May 2021
sedang memainkan peranan penting dalam
kehidupan bersama kita (Malna, 2005).
Budaya kritis itu sama pentingnya, yakni
dalam menjawab bagaimana festival itu
menempatkan dirinya dalam kondisi publik
yang dihadapinya. Sebuah festival tentu
saja tidak harus menjadi ekspresi dari seni
publik. Namun, bagaimana festival itu dikemas
dan melibatkan berbagai unsur penting di
masing-masing kota, akan membuat festival
itu menjadi bagian dari ekspresi kota.
Kalau dicermati, selama digelarnya FTJ
memberikan gambaran perjalanan kota
Jakarta sebagai kota metropolitan dalam
bingkai seni teater. Afrizal Malna menyatakan
bahwa FTJ tak hanya berhenti sebagai
“peristiwa kesenian” namun juga merupakan
bagian dari dinamika kehidupan Kota Jakarta
(Malna, 2005).
FTJ menjadi fenomena pertumbuhan Jakarta, sejalan dengan kepesatan laju perubahan fisik Kota Jakarta yang banyak menggusur
ruang-ruang kreativitas remaja sebagai wahana penyalur energi kreatif. FTJ terus melaju
menjaga keseimbangan peradaban Jakarta.
Bisa dibayangkan bagaimana para generasi
muda kehilangan lahan aktivitas penyaluran
energi kreatifnya, berkompensasi pada aktivitas destruktif yang merusak masa depannya,
menjurus pada penghancuran peradaban kota
(Tyasawan, 2012).
FTJ telah membuktikan keterlibatan
ratusan, bahkan ribuan generasi muda Jakarta
dan sekitarnya menjadi tertantang untuk
terus-menerus setiap tahun melakukan upaya
kreatif dalam event kompetitif. Pada sisi inilah
FTJ masih dibutuhkan dan terus-menerus
dilaksanakan.
Visi dalam festival menjadi sangat penting. Tidak hanya karena visi inilah setiap
kelompok kesenian mempertanyakan dirinya
kembali lewat festival yang akan diikutinya,
tetapi juga bagaimana masyarakat kota
menjadi terlibat lewat festival berlangsung
di kotanya. Festival kesenian tidak hanya
berfungsi memberikan pertanggungjawaban
ke publik atas perkembangan, fenomena, dan
gelombang kesenian yang sedang berlangsung,
tetapi juga bisa untuk membongkar situasi
dekadensi ataupun keterasingan, tidak
hanya yang dihadapi kesenian, dan juga yang
dirasakan oleh warga kota. Sebuah festival
kiranya juga harus inheren menguasai peta
sosial kota sebagai tempat berlangsungnya
festival hingga warga kota ikut memilikinya
(Malna, 2005).
Melibatkan kota dalam festival sama
dengan mengikutkan masyarakat ke dalam
pembentukan proses kualitatif kehidupan
publik, dan membawa kebijakan kota untuk
mempertimbangkan kualitas ruang publik
dalam tata kota yang mereka ciptakan. Bahwa
festival tidak hanya sibuk dengan berbagai
pertunjukan, tetapi juga penting untuk
pembentukan budaya pertunjukan dan bagian
dari pembentukan budaya kota.
Sebagai peristiwa kesenian, FTJ terus
melakukan perubahan demi pencapaian
puncak keunggulan kualitas artistik dan
estetikanya. Oleh karena itu, pengelola FTJ,
yaitu Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta
terus melakukan perubahan sistem dan
mekanisme pelaksanaannya untuk memberi
ruang kemungkinan bagi pencapaian kualitas
maksimal.
Perubahannya bukan saja pada sistem
tata pengaturan pelaksanaannya, melainkan
dengan dicanangkannya tema-tema acara
yang menjadi dasar pilihan bagi kelompokkelompok teater peserta FTJ. Seperti perhelatan ke-40 tahun 2012, FTJ mengambil
tema “Membaca Aku Membaca Laku” dengan
subtema “Membaca Tradisi”.
Pembongkaran subtema “Membaca
Tradisi” untuk memberi pemahaman yang
lebih jelas dan nyata pada kelompok-kelompok
teater (calon) peserta FTJ 2012. Untuk itu,
Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta
bekerjasama dengan asosiasi perteateran
di lima wilayah kota administrasi se-DKI
Jakarta telah melakukan beberapa program,
seperti diskusi dan workshop. Program yang
mengawali rangkaian pelaksanaan FTJ 2012
mulai di tingkat wilayah (babak penyisihan)
41
Deden Haerudin, Pengelolaan Pertunjukan Teater di Jakarta
sampai ke tingkat provinsi (babak final) ini
diharapkan menjadi semacam perangsang
dan pengondisian kehidupan perteateran di
Jakarta. Peserta FTJ harus berupaya membaca
pada persoalan peningkatan kualitas tampilan
estetik dan artistik di satu sisi, sementara
pada sisi konten (tema cerita) pun menyentuh
persoalan kehidupan manusia, khususnya
masyarakat urban Jakarta (Tyasawan, 2012).
Jangkauan dari dua sisi inilah yang nantinya diharapkan mewujudkan pada ‘teater yang
hidup’ dan mengembalikan teater sebagai
hiburan yang mencerdaskan serta menjadikan
teater sebagai kebutuhan masyarakat Jakarta.
Fenomena FTJ ini telah melahirkan dan
mengakomodasi ekspresi kelompok teater
yang banyak berdiam dalam kultur urban
kontemporer masyarakat Jakarta. Dua nama
besar teater jebolan FTJ, yaitu Teater SAE dan
Teater Kubur, telah membuktikan kehadirannya
dalam perteateran modern dengan konsep
dan idealisme pemanggungannya sesuai
karakteristik urban kontemporer Jakarta.
membuktikan eksistensi kelompok kepada
ajang FTJ dan tentunya berharap adanya
pengakuan dari pengamat, pelaku, dan
penikmat teater.
Tidaklah dapat dipungkiri bahwa FTJ
telah menjadi alasan sejumlah kelompok
teater untuk tetap hidup, meskipun alasan
kelompok-kelompok tersebut didominasi oleh
faktor dukungan ketermudahan pemerolehan
finansial, baik dari sponsor maupun hadiah
uang pembinaan yang diberikan DKJ
sebagai bentuk apresiasi. Namun demikian,
keberadaan para pegiat seni yang tetap
konsisten dan mampu bertahan dari himpitan
dan atau desakan kekuasan politik di periode
awal patut diapresiasi. Kini menjadi mampu
mengubah sistem pengelolaan pertunjukan
dengan memanfaatkan momen yang terjadi
pada perkembangan ekonomi, sosial,
politik, dan budaya di Indonesia. FTJ pun
dapat menjadi saksi perjalanan karya atas
problematika yang ada di kota Jakarta dan
Indonesia, pada umumnya.
Penutup
Kepustakaan
TIM sebagai sentra kesenian Jakarta
bahkan Indonesia, pada masa-masa awal
tentunya telah memberi warna bagi
kalangan seniman teater. Kemunculan TIM
sebagai bentuk perwujudan wadah aspirasi
seniman dalam mengemukakan gagasan,
pemikiran, dan karya-karya yang bersumber
dari persoalan kehidupan. TIM sendiri
merupakan wadah atas bukti terselenggaranya
pendewasaan kesenimanan pegiat teater di
Jakarta, khususnya, dan di Indonesia pada
umumnya. Melalui acara tahunan FTJ yang
mengikuti perjalanan kota Jakarta, berhasil
melahirkan sejumlah kelompok teater yang
memilik daya ungkap keartistikannya.
Pengelolaan FTJ bermula dari bersifat
sentral dilaksanakan di TIM, kini mulai
dilaksanakan adanya seleksi di tingkatan
wilayah. Hal itu jelas membuktikan bahwa
setiap tahunnya terdapat banyak kelompok
teater yang lahir dan tumbuh kembang untuk
Ahmadi, D. 2020. LEKRA : Setelah 50 Tahun*.
Medium.https://medium.com/@
doniahmadi/lekra-setelah-50-tahuna035beb8efd
Dahana, R. P. 2001. Homo Theatricus. Yayasan
Indonesiatera.
Hauser, A. 2011. The Sociology of Art. Routledge.
Ikranegara. 1999. Teater Nasional Indonesia.
In Teater Indonesia: Konsep Sejarah,
Problema. Dewan Kesenian Jakarta.
Kevin, S., & Huwae, S. 2019. Gedung Galeri
Kesenian Di Menteng, Jakarta Pusat.
Jurnal STUPA, 1(1), 327–331.
Malna, A. 2005. Festival sebagai Peristiwa Kota
dalam sorak sorai Festival (Ed. Khusus).
GONG Media Seni dan Pendidikan Seni.
Moleong, L. J. 2008. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Remaja Rosdakarya.
Probo, V. 2015. Suara Veteran Lekra
Menguak Kebenaran. CNN Indonesia.
h t t p s : / / w w w. c n n i n d o n e s i a . c o m /
42
Dance & Theatre Review | volume 4 number 1, May 2021
hiburan/20150930202508-241-81966/
suara-veteran-lekra-menguak-kebenaran
Stake, R. E. 2010. Qualitative Research: Studying
How Things Work. Guilford.
Sumardjo, J. 1997. Perkembangan Teater
Modern dan Sastra Drama Indonesia. STSI
Press.
Sunardi, S. 2005. Mencari Mania dalam Religi,
Uang dan Seni dalam Sorak Sorai Festival
(Ed. Khusus). GONG Media Seni dan
Pendidikan Seni.
Tyasawan, M. 2012. Wawancara dengan Madin.
43