Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Tulisan Lontara

(Dilencongkan daripada Aksara Lontara)

Aksara Lontara (ᨒᨚᨈᨑ) ialah sistem tulisan dipakai masyarakat suku Bugis dan Makassar masing-masing menulis bahasa Bugis dan bahasa Makassar. Ia juga pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan tambahan atau modifikasi.[1] Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi.[2] Aksara Lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M, hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Rumi. Aksara ini masih diajarkan di Sulawesi Selatan sebagai sebahagian daripada ajaran setempat, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan harian.

hafizul
hafizul
Jenis tulisan
Tempoh masa
Abad 15 hingga sekarang
Arah tulisanLeft-to-right Sunting ini di Wikidata
Bahasa-bahasaBugis, Makassar, Mandar, (diubahsuai untuk Bima, Ende, dan Sumbawa)
Tulisan berkaitan
Sistem tulisan induk
Sistem tulisan kerabat
Bali
Batak
Baybayin
Jawa
Makassar
Sunda Kuno
Rencong
Rejang
ISO 15924
ISO 15924Bugi (), ​Templat:ISO 15924 name
Unikod
Alias Unikod
Buginese
U+1A00–U+1A1F
 Laman ini mengandungi transkripsi fonetik daripada Abjad Fonetik Antarabangsa (AFA). Untuk panduan pengenalan simbol-simbol AFA, sila lihat Bantuan:AFA. Untuk membezakan simbol [ ], / / dan ⟨ ⟩, sila lihat IPA § Tanda-tanda kurung dan pembatas-pembatas transkripsi.
Rencana ini mengandungi teks Bugis.
Tanpa sokongan pantisan yang betul, anda mungkin akan melihat tanda soal, petak, simbol dsb. bukannya Lontara.

Sistem tulisan ini berjenis abugida yang terdiri dari 23 huruf dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merwakili satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisionalnya, aksara ini ditulis tanpa dijarakkan (scriptio continua) dengan tanda baca yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Lontara, sehingga teks Lontara secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.

Sejarah

sunting

Para pengkaji umumnya meyakini bahawa aksara Lontara telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh Islam yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahawa aksara Lontara menggunakan dasar sistem abugida Indik ketimbang huruf Arab yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.[3] Tulisan ini berakar pada aksara Brahmi dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.[2][4][5]

Kesamaan rupa aksara-aksara Sumatra Selatan seperti aksara Rejang dengan aksara Lontara membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua sistem tersebut.[6] Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahawa aksara Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang selari dari pengaruh purwarupa aksara Gujarat, India.[7]

Lontara di Sulawesi Selatan tampaknya pertama kali dikembangkan kawasan Bugis di wilayah Cenrana-Walannae pada sekitar tahun 1400. Penulisan mungkin telah menyebar ke bahagian lain di Sulawesi Selatan dari wilayah ini, tetapi kemungkinan perkembangan bebas tidak dapat ditolak. Yang jelas adalah bahawa catatan bertulis paling awal yang ada bukti adalah salasilah.[8]

Ketika kertas tersedia di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, tulisan Lontara, yang sebelumnya harus ditulis lurus, bersudut dan kaku pada daun lontar, sekarang dapat ditulis lebih cepat dan lebih bervariasi menggunakan tinta di atas kertas. R.A. Kern (1939: 580-3) menulis bahawa aksara Lontara yang diubah suai yang mempunyai bentuk melengkung yang terdapat di atas kertas nampaknya tidak terdapat dalam tulisan Bugis yang ditulis pada daun lontar yang dipelajarinya. [9]

Melalui usaha ahli bahasa dari Lembaga Penginjilan Belanda, B.F. Matthes, mesin cetak Lontara Bugis, yang dirancang dan dihasilkan di Rotterdam pada pertengahan abad ke-19, telah digunakan sejak itu untuk mencetak di Makassar, Sulawesi Selatan dan Amsterdam. Hasil cetak itu juga digunakan sebagai model untuk mengajar tulisan Lontara Bugis di sekolah, bermula di sekolah-sekolah Makassar dan sekitarnya, kemudian secara bertahap menyebar ke wilayah lain di Sulawesi Selatan. Proses penyeragaman ini jelas mempengaruhi tulisan tangan kemudian. Apabila model standard Lontara Bugis telah muncul, variasi yang ada sebelumnya perlahan-lahan hilang. [10] Dan pada akhir abad ke-19, penggunaan aksara Makassar (atau aksara Jangang-Jangang) telah diganti sepenuhnya oleh aksara Lontara Bugis, yang kadang-kadang disebut oleh para penulis Makassar sebagai "Lontara Baru".

Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Lontara, Makassar (atau aksara Jangang-Jangang), Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskhah yang menggunakan lebih dari satu tulisan, termasuk naskhah beraksara Lontara yang sering ditemukan bercampur dengan Arab Melayu.[11]

Aksara Lontara kebanyakan ditemukan dalam bentuk buku dengan kertas yang diimpor dari Eropa. Teks umum ditulis dengan tinta lokal menggunakan rusuk daun palem atau kallang (kalam) yang terbuat dari batangan buluh.[12] Terdapat pula beberapa naskhah beraksara Lontara yang ditemukan dalam bentuk unik menyerupai pita rekaman: selembar daun lontar yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada kaset. Teks kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan. Namun demikian, media ini hanya ditemukan pada beberapa contoh saja; sastera beraksara Lontara lebih lazim ditemukan pada media kertas.[13] Selain kertas, aksara Lontara juga dapat ditemukan pada benda-benda tertentu sebagai sebahagian daripada seni terapan, misal pada cap[14] dan kerajinan perak.[15]

Memasuki pertengahan abad 19 M, berkembang teknologi cetak aksara Lontara yang diprakarsai oleh B. F. Matthes. Matthes dikomisikan oleh Lembaga Penginjilan Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan Injil yang layak bagi bahasa-bahasa tersebut. Matthes tiba di Makassar pada tahun 1848 M dan tinggal di sana selama sepuluh tahun. Bekerja sama dengan percetakan Tetterode di Rotterdam, sebuah font cetak untuk aksara Lontara yang Matthes anggap cukup memuaskan selesai diproduksi pada tahun 1856, dengan beberapa suntingan selama beberapa tahun ke depannya. Sejak itu, bacaan sastera Makassar dan Bugis, dengan font Lontara yang digubah Matthes, dapat dicetak massal dan menjadi lumrah beredar di khalayak umum. Langgam cetak ini kemudian menjadi model pengajaran standar di sekolah-sekolah dasar masa itu, bermula dari sekolah-sekolah di daerah Makassar yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Akibat tersebarnya langgam standar tersebut, gaya tulis aksara Lontara yang awalnya memiliki beberapa macam variasi lama kelamaan menjadi lebih seragam.[16]

Penggunaan

sunting

Secara tradisional, aksara Lontara digunakan untuk menulis beberapa bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan. Materi beraksara Lontara paling banyak ditemukan dalam bahasa Bugis, diikuti oleh bahasa Makassar, kemudian bahasa Mandar yang materinya paling sedikit. Masyarakat Toraja yang juga berdiam di Sulawesi Selatan tidak menggunakan aksara Lontara kerana tradisi sastera Toraja mengandalkan penyampaian lisan tanpa tradisi naskhah asli.[17] Aksara Lontara yang sedikit diolah juga digunakan untuk beberapa bahasa di luar Sulawesi Selatan yang wilayahnya pernah mendapat pengaruh Bugis-Makassar, seperti bahasa Bima di Sumbawa timur dan bahasa Ende di Flores.[18]

Penggunaan Aksara Lontara

Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pra-kemerdekaan, aksara Lontara kerap digunakan dalam sejumlah tradisi teks yang berhubungan, sebahagian besarnya dalam bentuk manuskrip atau naskhah kertas. Istilah lontara (kadang dieja lontaraq atau lontara' untuk menandakan bunyi hentian glotal di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastera yang membahas sejarah dan salasilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Genre ini bisa dibahagi ke dalam beberapa sub-jenis: salasilah (lontara' pangngoriseng), catatan harian (lontara' bilang), dan catatan sejarah atau kronik (attoriolong dalam bahasa Bugis, patturioloang dalam bahasa Makassar). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.[19] Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bahagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastera Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara unsur berlegenda relatif sedikit muncul dan selalu disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis.[20][21] Meskipun begitu, catatan sejarah seperti attoriolong Bugis dan patturiolong Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.[22]

Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastera Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Nusantara lainnya.[23] Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (Bugis: arung, Makassar: karaeng), atau perdana menteri (Bugis: tomarilaleng, Makassar: tumailalang). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibahagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, namun apabila satu hari memiliki banyak catatan maka seringkali baris aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman kerana satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak terputus.[23] Salah satu peninggalan catatan harian beraksara Lontara dalam koleksi publik adalah satu volume catatan harian Sultan Ahmad al-Salih Syamsuddin (sultan ke-22 Kerajaan Boné, berkuasa 1775–1812 M) yang ia isi sendiri antara 1 Januari 1775 M hingga 1795 M.[24]

Salah satu sastera puitis yang umum ditemukan dalam naskhah Lontara adalah epos Bugis I La Galigo (ᨕᨗᨒᨁᨒᨗᨁᨚ, dikenal pula dengan nama Sure' La Galigo ᨔᨘᨑᨛᨁᨒᨗᨁᨚ). Epos mengenai asal-usul masyarakat Bugis ini merupakan puisi berbait yang terdiri dari cuplikan berbagai protagonis di latar kerajaan mitologis pra-Islam bernama Luwu'. Meski terbagi ke dalam berbagai episod cerita yang merentang hingga beberapa generasi watak, semua cuplikan saling menyambung dan cenderung konsisten dari segi isi dan bahasa sehingga semuanya membentuk satu piawaian yang lancar. Apabila disatukan, keseluruhan I La Galigo dapat mencapai hingga 6000 halaman folio, menjadikannya salah satu karya sastera terpanjang di dunia.[25] Konvensi puitis dan alusi Galigo kemudian melahirkan pula genre puisi tolo', yang menggabungkan kesejarahan genre lontara'​ dengan bentuk puitis Galigo.[26]

Aksara Lontara juga kerap ditemukan dalam teks-teks Islami yang mencakup namun tidak terbatas pada hikayat, panduan doa, azimat, tafsir, serta kitab hukum-hukum Islam.[27] Naskhah semacam ini hampir selalu ditulis dengan campuran abjad Jawi untuk istilah Arab atau Melayu. Jenis teks ini juga merupakan penggunaan aksara Lontara yang bertahan paling lama dan masih diproduksi (dalam jumlah yang terbatas) hingga awal abad 21 M. Salah satu lembaga yang kerap memproduksi materi beraksara Lontara di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Pesantren As'adiyah di Sengkang yang menerbitkan berbagai teks Islami dengan bahasa Bugis dan aksara Lontara cetak sejak pertengahan abad 20 M. Namun memasuki abad 21 M, kualitas cetakan dan jumlah terbitan beraksara Lontara di Sulawesi Selatan kian menurun; hampir tidak ada buku baru yang disusun dalam aksara Lontara dan bahkan buku lama yang beraksara Lontara seringkali dicetak ulang dengan alih aksara Latin yang menggantikan aksara Lontara sepenuhnya.[28]

Dalam aksara Lontara, setiap konsonan mempunyai bunyi vokal /a/. Penyatuan antara konsonan bagi aksara ini adalah tidak wujud.Sebagai contoh, gabungan ᨉ (da), ᨕ (a) dan ᨊ (na) tidak akan menghasilkan 'dan' sebaliknya akan menghasilkan 'da-a-na'. Setiap konsonan diubah bunyinya dengan penggunaan tanda vokal.

 
Konsonan Lontara

Secara asasnya, penamaan konsonan-konsonan Lontara adalah berdasarkan sebutannya. Bagi tanda vokal pula, mereka dipanggil ana sure' (IPA:ʔanaˡsurəʔ) dan setiap satunya dipanggil dengan bunyinya. Berikut adalah jadual bagi aksara Lontara:

Konsonan lontara

Ka

Ga

Nga

Ngka

Pa

Ba

Ma

Mpa

Ta

Da

Na

Nra

Ca

Nya

Ja

Nca

Ya

Ra

La

Wa

Sa

A

Ha
Tanda vokal (ana sure') Tanda baca
◌ᨗ i ◌ᨘ u ᨙ◌ e ◌ᨚ o ◌ᨛ ə

Tanda baca

sunting

Aksara Lontara mempunyai dua tanda baca unik iaitu pallawa lontara, '᨞' serta penutup perenggan, '᨟'. Fungsi pallawa adalah sama seperti tanda noktah serta tanda koma dalam huruf rumi. Penutup perenggan pula berfungsi sebagai noktah di penghujung perenggan atau bahagian.

Pada masa kini, tulisan-tulisan yang menggunakan aksara Lontara turut menggunakan tanda-tanda baca latin seperti tanda koma (,), titik bertindih (:}, tanda soal (?), dan sebagainya.

Ciri-ciri fonetik

sunting
Jadual fonetik konsonan Lontara
Penyuaraan Labial Dental Palatal velar glotis
nasal bersuara m n ɲ ŋ
gugus bersuara - tak bersuara mp nr ɲc ŋk
hentian bersuara b d g
tak bersuara p t k ʔ
geseran dan bunyi afrikat bersuara ɟ
tak bersuara s c h
lambdal bersuara l
rhotal bersuara r
geluncuran tak bersuara w j

Pengekodan komputer

sunting

Unicode

sunting

Dalam unicode, julat kod bagi aksara Lontara adalah dari U+1A00 sehingga U+1A1F [1]:

    0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+1A0x  
U+1A1x   ◌ᨗ ◌ᨘ ᨙ◌ ◌ᨚ ◌ᨛ ¤ ¤


Catatan: Simbol '¤' pada kod U+1A1C dan U+1A1D adalah untuk dua tanda bacaan yang belum disahkan penggunaannya.

Rujukan

sunting
  1. ^ Tol 1996, m/s. 213, 216.
  2. ^ a b Macknight 2016, m/s. 57.
  3. ^ Macknight 2016, m/s. 55.
  4. ^ Tol 1996, m/s. 214.
  5. ^ Jukes 2014, m/s. 2.
  6. ^ Noorduyn 1993, m/s. 567–568.
  7. ^ Miller, Christopher (2010). "A Gujarati origin for scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines". Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society. 36 (1).
  8. ^ Druce, Stephen C. (2009). "The lands west of the lakes, A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE". KITLV Press Leiden: 63. Cite journal requires |journal= (bantuan)
  9. ^ Druce, Stephen C. (2009). "The lands west of the lakes, A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE". KITLV Press Leiden: 57–58. Cite journal requires |journal= (bantuan)
  10. ^ J. Noorduyn (1993). Variation in the Bugis/Makasarese script In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Manuscripts of Indonesia 149, no:3. KITLV. m/s. 535.
  11. ^ Tol 1996, m/s. 213–214.
  12. ^ Macknight 2016, m/s. 61.
  13. ^ Tol 1996, m/s. 217–219.
  14. ^ Gallop, Annabel Teh (2019). Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia (dalam bahasa Inggeris). Singapore: NUS Press. ISBN 9813250860. Cite has empty unknown parameter: |1= (bantuan)
  15. ^ Macknight 2016, m/s. 63–65.
  16. ^ Noorduyn 1993, m/s. 537, 543–544.
  17. ^ Tol 1996, m/s. 213.
  18. ^ Tol 1996, m/s. 216.
  19. ^ Tol 1996, m/s. 223–226.
  20. ^ Cummings 2007, m/s. 8.
  21. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, m/s. xi–xii.
  22. ^ Cummings 2007, m/s. 11.
  23. ^ a b Tol 1996, m/s. 226–228.
  24. ^ Gallop, Annabel Teh (01 January 2015). "The Bugis diary of the Sultan of Boné". British Library. Dicapai pada 11 April 2020. Check date values in: |date= (bantuan)
  25. ^ Tol 1996, m/s. 222–223.
  26. ^ Tol 1996, m/s. 228–230.
  27. ^ Tol 1996, m/s. 223.
  28. ^ Tol, Roger (2015). "Bugis Kitab Literature. The Phase-Out of a Manuscript Tradition". Journal of Islamic Manuscripts. 6: 66–90. doi:10.1163/1878464X-00601005.
Sumber utama
  • Jukes, Anthony (2014). "Writing and Reading Makassarese". International Workshop of Endangered Scripts of Island Southeast Asia: Proceedings (dalam bahasa Inggeris). LingDy2 Project, Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies.CS1 maint: ref=harv (link)
  • Tol, Roger (1996). "A Separate Empire: Writings of South Sulawesi". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn (penyunting). Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggeris). Jakarta: Lontar Foundation. ISBN 0834803496.CS1 maint: ref=harv (link)
  • Macknight, Charles Campbell (2016). "The Media of Bugis Literacy: A Coda to Pelras". International Journal of Asia Pacific Studies (dalam bahasa Inggeris). 12 (supp. 1): 53–71.CS1 maint: ref=harv (link)
  • Macknight, Charles Campbell; Paeni, Mukhlis; Hadrawi, Muhlis, penyunting (2020). The Bugis Chronicle of Bone (dalam bahasa Inggeris). Diterjemahkan oleh Campbell Macknight; Mukhlis Paeni; Muhlis Hadrawi. Canberra: Australian National University Press. ISBN 9781760463588.CS1 maint: ref=harv (link)

Pautan luar

sunting