Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Laporan Lengkap Fisbiola - Rafsanjani

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN LENGKAP

PRAKTIKUM I

PENGARUH SALINITAS TERHADAP BIOTA LAUT IKAN


Amphiprion sp.
(OSMOREGULASI)

NAMA

: RAFSANJANI

NIM

: L1 11 14 319

KELOMPOK

: VI (ENAM)

ASISTEN

: MUSTONO

LABORATURIUM EKOTOKSIKOLOGI LAUT


JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

I.

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ikan badut (Amphiprion) termasuk jenis ikan hias akuarium air laut yang
mempunyai penggemar cukup banyak, salah satu jenis yang sangat umum dikenal
dan telah berhasil ditangkarkan adalah Amphiprion ocellaris. Ada 28 jenis
Amphiprion yang telah teridentifikasi, ditemukan pada perairan dangkal sampai
dalam, pada dasar yang berkarang. Ikan ini hidup secara bergerombol, habitatnya
di alam selalu berdampingan atau bersimbiosis dengan anemon laut, dimana ikan
lain tidak mampu bertahan hidup dalam ruang anemon. Simbiosis spesifik
tersebut membuat ikan hias Amphiprion ini mendapat julukan Anemonfish atau
Clownfish, selain itu juga dikenal dengan nama ikan badut karena penampilan
warna yang cerah serta gerakan lucu dan menarik (Nurul et al, 2013).
Adaptasi adalah suatu proses penyesuaian diri secara bertahap yang
dilakukan oleh suatu organisme terhadap kondisi yang baru. Faktor-faktor
lingkungan yang mempengaruhi kemampuan adaptasi dari organisme tersebut
adalah faktor abiotik yang meliputi fisika (suhu, penyinaran, densitas, tekanan,
dan kekeruhan). Faktor yang lain adalah faktor biotik yaitu kelimpahan dan
keragaman organisme, predator dan parasit. Faktor-faktor lingkungan tersebut
suatu saat mengalami fluktuasi dan kadang-kadang ditemui kondisi yang ekstrim.
Faktor tersebut dapat berubah secara harian dan musiman. Fluktuasi faktor
tersebut akan mempengaruhi kehidupan organisme, baik terhadap proses fisiologis
maupun tingkah lakunya; resisten dan kematian. Pada praktikum ini, proses
adaptasi yang dicobakan menggunakan perlakuan salinitas dalam hubungannya
dengan sistem metabolisme tubuh ikan, menuju survival ikan tersebut (Nurul et
al, 2007).

Salinitas atau kadar garam adalah jumlah kandungan bahan padat dalam satu
kilogram air laut, dalam hal mana seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida,
brom dan yodium yang telah disetarakan dengan klor dan bahan organik yang
telah dioksidasi. Salinitas mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air. Secara
langsung, salinitas 13 media akan mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh
ikan. Apabila osmotik lingkungan (salinitas) berbeda jauh dengan tekanan
osmotik cairan tubuh (kondisi tidak ideal) maka osmotik media akan menjadi
beban bagi ikan sehingga dibutuhkan energi yang relatif besar untuk
mempertahankan osmotik tubuhnya agar tetap berada pada keadaan yang ideal.
Hal ini dapat menurunkan laju metabolisme dan pada akhirnya akan menurunkan
tingkat konsumsi pakan dan akhirnya akan menurunkan laju pertumbuhan. Jadi
salinitas mediaakan mempengaruhi pembelanjaan energi untuk osmoregulasi,
yang disisi lain juga akan mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Nurul et al,
2007).
Berdasarkan penjelasan diatas maka untuk mengetahuai pengaruh yang
ditimbulkan oleh faktor salinitas terhadap biota laut khususnya ikan Amphiprion
sp. maka perlu dilakukan praktikum ini.

B. Tujuan dan kegunaan

Tujuan praktikum ini adalah untuk untuk mengamati pengaruh salinitas yang
berbeda terhadap proses osmoregulasi pada ikan Amphiprion sp.
Kegunaan diadakannya praktikum adalah agar praktikan dapat melihat secara
langsung proses osmoregulasi ikan Amphiprion sp.pada salinitas yang berbeda.
C. Ruang lingkup
Ruang lingkup praktikum ini mencakup pengukuran berat ikan, pengamatan
adaptasi tingkah laku pergerakan organisme, serta banyaknya bukaan operculum
ikan terhadap toleransi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Osmoregulasi
Osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan
air dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungannya melalui mekanisme
pengaturan tekanan osmose. Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan
sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmose antara substansi dalam
tubuhnya dengan lingkungan melalui sel yang permeabel (Fujaya, 2004).
Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan
lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk
mmelakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang
dimilikinya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang osmoregulasi sangat penting
dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan, terutama salinitas. Hal ini
karena dalam osmoregulasi, proses regulasi terjadi melalui konsentrasi ion dan air
di dalam tubuh dengan kondisi dalam lingkungan hidupnya (Adi et al, 2013).
Regulasi ion dan air pada ikan terjadi hipertonik, hipotonik atau isotonik
tergantung pada perbedaan (lebih tinggi, lebih rendah atau sama) konsentrasi
cairan tubuh dengan konsentrasi media. Perbedaan tersebut dapat dijadikan
sebagai strategi dalam menangani komposisi cairan ekstraselular dalam tubuh ikan
(Marshall & Grosel, 2006).
Untuk

ikan-ikan

potadrom

yang

bersifat

hiperosmotik

terhadap

lingkungannya dalam proses osmoregulasi, air bergerak ke dalam tubuh dan ionion keluar ke lingkungan dengan cara difusi. Keseimbangan cairan tubuhnya dapat
terjadi dengan cara meminum sedikit air atau bahkan tidak minum sama sekali.
Kelebihan air dalam tubuhnya dapat dikurangi dengan membuangnya dalam
bentuk urin. Untuk ikan-ikan oseanodrom yang bersifat hipoosmotik terhadap

lingkungannya, air mengalir secara osmose dari dalam tubuhnya melalui ginjal,
insang dan kulit ke lingkungan, sedangkan ion-ion masuk ke dalam tubuhnya
secara difusi (Marshall & Grosel, 2006).
Sedangkan untuk ikan-ikan eurihalin, memiliki kemampuan 17 untuk dengan
cepat menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuhnya dengan media
(isoosmotik), namun karana kondisi lingkungan perairan tidak selalu tetap, maka
proses ormoregulasi seperti halnya ikan potadrom dan oseanodrom tetap terjadi
(Marshall & Grosel, 2006).
Salinitas atau kadar garam adalah jumlah kandungan bahan padat dalam satu
kilogram air laut, dalam hal mana seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida,
brom dan yodium yang telah disetarakan dengan klor dan bahan organik yang
telah dioksidasi. Secara langsung, salinitas media akan mempengaruhi tekanan
osmotik cairan tubuh ikan. Pengetahuan tentang metabolisme dapat juga dikaitkan
dengan beberapa cabang ilmu lain, misalnya genetika, toksikologi dan keilmuan
lain sehingga ikan yang dihasilkan dapat memiliki kualitas yang lebih unggul dari
sebelumnya. Hal ini karena ikan menginvestasikan sebesar 25-50% dari total
output metabolik dalam mengontrol komposisi cairan intra- dan ekstraselularnya
(Marshall & Grosel, 2006).
B. Pengaruh salinitas terhadap Biota Laut
Perubahan kadar salinitas mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan,
sehingga ikan melakukan penyesuaian atau pengaturan kerja osmotik internalnya
agar proses fisiologis di dalam tubuhnya dapat bekerja secara normal kembali.
Apabila salinitas semakin tinggi, ikan berupaya terus agar kondisi homeostasi
dalam tubuhnya tercapai, hingga pada batas toleransi yang dimilikinya. Kerja

osmotik tersebut memerlukan energi yang lebih tinggi pula. Hal tersebut juga
berpengaruh kepada waktu kenyang (satiation time) dari ikan tersebut. Salinitas
yang optimal (perbedaan antara osmotik media dan osmotik tubuh ikan paling
kecil), pembelanjaan energi untuk proses adaptasi akan semakin kecil (Nurul et
al, 2013).
Penurunan salinitas dari air laut menjadi air tawar dapat mempengaruhi
keseimbangan antara konsentrasi air dan ion dalam tubuh ikan, yang berkaitan
dengan proses osmoregulasi. Menurut Fujaya (2004), osmoregulasi dapat terjadi
karena adanya penyesuaian keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan
(Nurul et al, 2013).
Hiperosmotik bagi ikan kakap putih dimana konsentrasi cairan tubuh lebih
tinggi dari media lingkungannya. Menyebabkan air bergerak masuk ke dalam
tubuh dan ion-ion dikeluarkan ke lingkungan secara difusi (Lantu, 2010). Ikan
mengkonsumsi air dalam jumlah sedikit, dan untuk mengurangi kelebihan air
dalam tubuh, ikan memproduksi sejumlah besar urin. Meskipun ginjal
mengabsorbsi kembali beberapa garam dari urinnya untuk tetap mempertahankan
sejumlah ion-ion dalam tubuh ikan (Fujaya, 2004). Proses tersebut menyebabkan
ikan mengeluarkan energi untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya. Sisa
energi yang ada pada tubuh ikan dialihkan untuk pertumbuhan (Nurul et al, 2013).
Salinitas adalah salah satu penyebab penyakit non infeksi pada ikan. Pada
kondisi salinitas tinggi >20 ppt ikan rentan terkena penyakit. Hal ini disebabkan
karena kadar garam tinggi menyebabkan gas-gas kurang terlarut, sehingga terjadi
penurunan kadar oksigen dalam air. Pada air tawar dengan salinitas 0 ppt pada
suhu 300 C memiliki kelarutan oksigen sebesar 7,6 mg/liter, sedangkan pada air

laut dengan salinitas 30 ppt kelarutan oksigen sebesar 6,1 mg/liter. Pada kondisi
seperti inilah ikan rentan terkena penyakit infeksi (Irianto, 2005).
C. Fisiologi Ikan Amphiprion sp.
Ikan Amphiprion sp. atau sering disebut juga dengan anemonefish (ikan yang
hidup diantara anemon) memiliki badan berwarna dasar kuning kecoklatan dengan
tiga belang berwarna putih (white band) dan sedikit warna hitam di bagian kepala,
badan dan pangkal ekor. Tulang di muka dan di bawah mata tidak berduri
panjang, bergigi pendek, jari-jari keras sirip punggungnya tidak sama panjang,
memiliki 11 jari-jari pada sirip dorsal dan 17 jari-jari pada pectoral, dan di alam
dijumpai dapat mencapai panjang 110 mm (Allen, 1997).
Menurut Allen (1997), Ikan Amphiprion sp. merupakan ikan karang tropis
yang hidup di perairan hangat pada daerah terumbu dengan kedalaman kurang
dari 50 meter dan berair jernih. Dengan daerah penyebaran di Samudera Pasifik
(Fiji), Laut Merah, Samudra Hindia (Indonesia, Malaysia, Thailand, Maladewa,
Burma), dan Great Barrier Reef Australia. Kondisi parameter kualitas air yang
sesuai bagi ikanAmphiprion sp. adalah pada suhu air berkisar 25-33 oC, oksigen
terlarut 3,5-4,6 ppm, salinitas 26-32 ppt, pH 7, 8-8, 6 dan amonia kurang dari 1
ppm.
Secara umum ikan badut berukuran kecil, maksimalnya dapat mencapai
ukuran 105 cm. Berwarna cerah, tubuh lebar (tinggi), dan dilengkapi dengan
mulut yang kecil. Sisiknya relatif besar dengan sirip dorsal yang unik. Pola warna
pada ikan ini sering dijadikan dasar dalam proses identifikasi mereka, disamping
bentuk gigi, kepala dan bentuk tubuh. Variasi warna dapat terjadi pada spesies
yang sama, khususnya berkenaan dengan lokasi sebarannya (Thresher, 1984).

Ikan Amphiprion sp. dan anemon memiliki hubungan simbiosis mutualisme.


Mereka hidup berdampingan dan saling menguntungkan. Anemon akan
melindungi ikan Amphiprion sp. dan ikan Amphiprion sp. akan menangkal ikan
kupu-kupu (Butterfly Fish) yang suka memakan anemon. Ikan Amphiprion
sp. juga akan memakan invertebrata kecil yang melekat di tentakel anemon yang
membahayakan anemon (parasit) dan membantu membersihkan anemon dari
kotoran seperti pasir. Di sisi lain kotoran dari ikan Amphiprion sp. memberikan
nutrisi untuk anemone (Allen, 1997).
Ikan Amphiprion sp. merupakan ikan omnivora (organisme pemakan hewan
dan tumbuhan), jadi selain invertebrata kecil (crustacea & parasit yang melekat
pada tubuh anemon), alga juga diketahui memenuhi 2025% kebutuhan nutrisinya
(Thresher, 1984).
Semua ikan Amphiprion sp. berjenis kelamin jantan ketika mereka lahir.
Setelah mereka dewasa, individu dominan akan berubah menjadi betina. Betina
biasanya berukuran lebih besar daripada jantan dan akan menjadi pemimpin
utama dari wilayah mereka. Ikan Amphiprion sp. hidup dalam kelompok kecil
dalam satu anemon yang terdiri dari pasangan induk, beberapa ikan jantan muda,
dan beberapa anakan ikan yang juga berkelamin jantan. Ketika betinanya mati,
ikan jantan dominan akan berubah kelamin menjadi betina dan akan mencari
pasangan

jantan,

strategi

ini

dikenal

sebagai sequential

hermaphroditism (perubahan kelamin secara berurutan) (Thresher, 1984).


Telur ikan Amphiprion sp. bentuknya seperti kapsul. Saat musim pemijahan
(sekitar bulan purnama), telur diletakkan pada permukaan relatif datar dekat
anemon mereka. Kedua induk menjaga telur dan mengipas telur mereka dengan

air segar selama 6 - 10 hari. Biasanya penetasan terjadi saat malam hari, kurang
lebih 2 jam setelah matahari terbenam. Setelah menetas, bayi ikan akan naik ke
permukaan dan hidup dengan memakan plankton. Predator alami dari
ikanAmphiprion sp. di laut adalah Belut, Ikan Barakuda, dan Ikan Grouper
(Thresher, 1984).
D. Organ-Organ yang Berperan dalam Proses Osmoregulasi
Beberapa organ yang berperanan dalam proses osmoregulasi ikan yaitu insang,
ginjal dan usus. Organ-organ ini melakukan fungsi adaptasi di bawah kontrol
hormon osmoregulasi, terutama hormon-hormon yang diekresi oleh pituitari,
ginjal dan urofisis (Nugroho, 2013).
Beberapa organ yang berperan dalam osmoregulasi menurut Ciptani (2015):
a. Insang : pada insang, sel-sel yang berperan dalam osmoregulasi adalah sel-sel
chloride yang terletak pada dasar lembaran-lembaran insang.perubahan ion
pada sel-sel chlorida oseanodrom berbeda dengan patadrom.pada diadrom
selama migrasi antara air tawar dan air laut membran dan motokondria sel
mengalami perubahan besar sehingga dapat bersifat seperti oseadrom bila
berada di air laut dan potadrom bila berada di air tawar.
b. Ginjal : ginjal melakukan dua fungsi utama:1) mengeksekresikan sebagian
besar produk akhir metabolisme tubuh, 2) mengatur konsentrasi cairan tubuh.
c. Usus : setelah air masuk ke dalam usus, dinding usus aktif mengambil ion-ion
monovalen dan air sebaliknya membiarkan lebih banyak ion-ion divalen tetap
di dalam usus sebagai cairan rektal agar osmolaritas usus sama dengan darah.
Pemilihan insang sebagai organ yang diamati dikarenakan insang merupakan
organ respirasi yang mengalami kontak langsung dengan bahan pencemar dan

berperan dalam proses pertukaran ion dan air saat proses osmoregulasi (Soegianto
et al.,1999; Sunarto, 2012).
E. Kaitan Antara Salinitas dan Proses Osmoregulasi
Karnaky Jr dan Karl., J (1998) menyatakan bahwa golongan ikan menghadapi
tantangan yang sulit dalam mempertahankan kandungan garam dalam tubuh
karena mereka hidup di lingkungan perairan dan mempunyai tendensi untuk
melepaskan air sebanyak mungkin. Konsentrasi garam pada tubuh ikan air tawar
dikeluarkan ke perairan. Untuk mengatasi hal ini ikan mempunyai beberapa cara,
diantaranya mereka akan mengkonsumsi sejumlah air yang banyak dan
konsekuensinya akan memproduksi sejumlah besar urine (10-20 kali sama seperti
hewan mamalia darat). Ginjal dari golongan ikan ini menyerap sejumlah garam
dan melepaskan garam tersebut ke aliran darah. Cara yang lain adalah golongan
ikan ini mempunyai pompa ion dibagian ginjal yang akan menanngkap garam dari
air serta melepaskan ammonia dan hasil buangan lainnya.
Ikan air laut memiliki masalah yang sama tapi kebalikannya. Untuk ikan air
laut, air laut mengandung konsentrasi garam yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kandungan garam yang ada di tubuh ikan. Sebagai hasinya, garam
cenderung masuk ke tubuh ikan sehingga ikan harus menggunakan ginjalnya serta
pompa ionnya untuk mengeluarkan kelebihan garam. Proses osmoregulasi pada
ikan air laut dan ikan air tawar dapat dilihat pada gambar 1 (Lantu, 2010).

Gambar 1. Proses Osmoregulasi Ikan Air Tawar dan Ikan Air Laut
F. Perbandingan Antara Osmoregulasi Ikan Air Laut dan Ikan Air Tawar
1. Ikan Air Tawar
Ikan-ikan yang hidup di air tawar mempunyai cairan tubuh yang bersifat
hiperosmotik terhadap lingkungan, sehingga air cenderung masuk ketubuhnya
secara difusi melalui permukaan tubuh yang semipermiable. Bila hal ini tidak
dikendalikan atau diimbangi, maka akan menyebabkan hilangnya garam-garam
tubuh dan mengencernya cairan tubuh, sehingga cairan tubuh tidak dapat
menyokong fungsi-fungsi fisiologis secara normal (Ciptani, 2015).
Ginjal akan memompa keluar kelebihan air tersebut sebagai air seni. Ginjal
mempunyai glomeruli dalamjumlah banyak dengan diameter besar. Ini
dimaksudkan untuk lebih dapat menahan garam-garam tubuh agar tidak keluar
dan sekaligus memompa air seni sebanyak-banyaknya (Ciptani, 2015).
Ketika cairan dari badan malpighi memasuki tubulus ginjal, glukosa akan
diserap kembali pada tubulus proksimal dan garam-garam diserap kembali pada
tubulus distal. Dinding tubulus ginjal bersifat impermiable (kedap air) (Ciptani,
2015).

Air seni yang dikeluarkan ikan sangat encer dan mengandun sejumlah kecil
senyawa nitrogen, seperti (Ciptani, 2015):
Asam urat
Asam urat merupakan sisa metabolisme yang mengandung nitrogen (sama
dengan amonia) dan mempunyai daya racun lebih rendah dibandingkan amonia,
karena daya larutnya di dalam air rendah.
Asam urat dioksidasi oleh asam nitrat pekat membentuk asam dialurat dan
aloksan. Zat-zat ini berkondensasi dengan ammonia membentuk mureksida
(ammonium purpurat) yang berwarna ungu kemerahan.
Kreatinin
Rs = 0, 249 nm, Ru = 0, 375 nm. Kadar kreatinin = 0,249/0,375 X 1500/1 X
1/1000 = 0,996 g/24jam. Kreatinin disintesis di dalam hati dari metionin, glisin,
dan arginin. Dalam otot rangka kreatinin difosforilasi untuk membentuk
fosforilkreatin yang merupakan simpanan tenaga penting bagi sintesis ATP. ATP
yang terbentuk oleh glikolisis dan fosforilasi oksidatif bereaksi dengan kreatin
untuk membentuk ADP dan banyak fosforilkreatin.
Amoniak
Meskipun air seni mengandung sedikit garam, keluarnya air yang berlimpah
menyebabkan jumlah kehilangan garam yang cukup besar. Garam-garam juga
hilang karena difusi dari tubuh. Kehilanan garam ini diimbangi dengan garamgaram yang terdapat pada makanan dan penyerapan aktif melalui insang.

Kreatin

Pada golongan ikan Teleostei, gelembung air seni (urinary bladder) dapat
digunakan untuk menampung air seni. Disini dilakukan penyerapan kembali
terhadap ion-ion. Dinding gelembung air seni bersifat impermiable terhadap air.
2. Ikan Air Laut
Ikan laut hidup pada lingkungan yang hipertonik terhadap jaringan dan cairan
tubuhnya, sehingga cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang, dan
kemasukan garam-garam. Untuk mengatasi kehilangan air, ikan minumair laut
sebanyak-banyaknya. Dengan demikian berarti pula kandungan garam akan
meningkat dalam cairan tubuh. Padahal dehidrasi dicegah dengan proses ini dan
kelebihan garam harus dihilangkan. Karena ikan laut dipaksa oleh kondisi
osmotik untuk mempertahankan air, volume air seni lebih sedikit dibandingkan
dengan ikan air tawar. Tubulus ginjal mampu berfungsi sebagai penahan air.
Jumlah glomerulus ikan laut cenderung lebih sedikit dan bentuknya lebih kecil
dari pada ikan air tawar (Ciptani, 2015).
Kira-kira 90% hasil buangan nitrogen yang dapat disingkirkan melalui
insang, sebagian besar berupa amonia dan sejumlah kecil urea. Meskipun
demikian, air seni masih mengandung sedikit senyawa tersebut. Air seni
Osteichthyes mengandung (Ciptani, 2015):
Kreatin
Pada golongan ikan Teleostei, gelembung air seni (urinary bladder) dapat
digunakan untuk menampung air seni. Disini dilakukan penyerapan kembali
terhadap ion-ion. Dinding gelembung air seni bersifat impermiable terhadap air.
Kreatinin
Senyawa nitrogen

Trimetilaminoksida (TMAO)

III. METODOLOGI

A. Waktu dan tempat


Praktikum mengenai pengaruh salinitas terhadap biota laut khususnya ikan
Amphiprion sp. dilakukan pada hari Kamis, 14 April 2016 pukul 09:00-11:00
WITA bertempat di Laboratorium Ekotoksikologi Laut, Jurusan Ilmu kelautan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
B. Alat dan bahan
Peralatan yang digunakan pada praktikum ini yakni akuarium kecil yang
berfungsi sebagai wadah sampel dan medianya, timbangan digital yang berfungsi
untuk menimbang sampel berupa ikan Amphiprion sp., ember yang berfungsi
sebagai wadah, timba berfungsi untuk mengambil sampel, penyaring berfungsi
untuk memudahkan mengambil dan memindahkan sampel, lap berfungsi untuk
membersihkan peralatan, tissue roll berfungsi untuk mengeringkan alat, label
berfungsi untuk menandai sampel, handrefractometer berfungsi untuk mengukur
salinitas setiap media, dan stopwatch berfungsi untuk menghitung waktu yang
dibutuhkan selama praktikum berlangsung, dan handy-counter berfungsi untuk
mengukur jumlah bukaan operculum pada ikan.
Kemudian bahan yang digunakan yakni ikan Amphiprion sp. yang berfungsi
sebagai objek yang diamati, air laut sebagai media ikan, dan larutan akuades
sebagai larutan campuran proses pengenceran.
C. Prosedur kerja
Pertama, menyiapkan akuarium kecil yang telah bersih dan diberi label
masing-masing 0ppt, 5ppt, 15ppt, 25ppt, dan 32ppt. Lalu, menyiapkan air laut
dengan konsentrasi yang diinginkan menggunakan proses pengenceran air laut
dengan salinitas tinggi. Kemudian, mengisi masing-masing akuarium dengan air

laut bersalinitas sesuai dengan label yang telah dipasang. Selanjutnya, menimbang
ikan Amphiprion sp., dengan menggunakan timbangan digital. Berikutnya,
memasukkan ikan yang telah ditimbang secara perlahan ke dalam tiap akuarium.
Terakhir, melakukan pengamatan mengenai tingkah laku; aktivitas gerak; dan
menghitung bukaan operculum menggunakan handy-counter.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan
1. Perhitungan Pengenceran
a. Pengenceran 35 ppt ke 25 ppt

b. Pengenceran 35 ppt ke 15 ppt

N1V1 = N2V2

N1V1 = N2V2

35.2

= 25. V2

35.1

= 15. V2

V2

V2

V2

= 2,8 liter

V2

= 2,33 liter

V2

= 2,8 2 liter

V2

= 2,33 2 liter

V2

= 0,8 liter

V2

= 0,33 liter

liter

liter

c. Pengenceran 35 ppt ke 5 ppt


N1V1 = N2V2
35.0,5 = 5. V2
V2

liter

V2

= 3,5 liter

V2

= 3,5 2 liter

V2

= 1,5 liter

2. Pengamatan Bobot ikan Amphiprion sp.

Tabel 1. Hasil pengamatan bobot ikan Amphiprion sp.


Salinitas

B0

B1

(Ppt)

(Berat Awal)

(Berat Akhir)

2,74

3,57

3,32

3,67

15

3,07

3,74

25

3,39

3,40

32

3,80

3,66

3. Pengamatan tingkah Laku, aktifitas gerak, dan bukaan operculum ikan

Amphiprion sp.
Tabel 2. Hasil Pengamatan tingkah Laku, aktifitas gerak, dan bukaan operculum
ikan Amphiprion sp.

ppt

15

25

32

Waktu pengamatan

Fisiologi

15

30

45

TL

+++

++

++

AG

+++

++

++

BO

192

132

100

93

TL

+++

AG

+++

++

BO

165

148

142

124

TL

AG

BO

94

87

78

70

TL

++

++

++

++

AG

++

++

++

++

BO

80

97

80

84

TL

+++

AG

+++

++

BO

135

123

86

63

Keterangan :
TL = Tingkah Laku
AG = Aktivitas Gerak
BO = Bukaan Operculum
+ = Pasif
++ = Normal
+++ = Aktif

4. Hasil pengamatan lendir pada ikan Amphiprion sp.

Tabel 3. Pengamatan lendir ikan Amphiprion sp.


Salinitas (ppt)

lendir

Keterangan

Sangat sedikit

Sangat Sedikit

15

Sangat Sedikit

25

Sangat Sedikit

32

++

Sedikit

Keterangan :
+

= Sangat Sedikit

++

= sedikit

+++

= Banyak

B. Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan pengamatan terhadap beberapa aspek fisiologi
ikan Amphiprion sp. berupa perubahan bobot ikan, sekresi kelenjar mucor (lendir)
dan, tingkah laku ikan. Pada pengamtan ini dilakukan dengan tingkat salinitas
yang berbeda dari tingkatan 0, 5, 15, 25 dan, 32 pada setiap biota yang diberi
perlakuan.
Pada salinitas 0 ppt atau air tawar maka didapatkan tingkah laku 0 - 15 menit
aktif bergerak naik turun dari permukaan ke dalam kolom air. Pada aktifitas gerak
yang juga aktif dengan pegerakan sirip ikan. Dengan jumlah bukaan operkulum
sebanyak 192. Pada waktu 15 - 30 menit didaptkan tingkah laku yang aktif.
Aktifitas gerak yang aktif dengan bukaan operculum 192 kali. Perubahan tingkah
laku ikan berubah pada saat menit ke 30 menuju 45 menit di ikuti dengan aktifitas
gerak yang menurun menjadi normal. Pada menit ini bukaan operculum melambat
100 kali. Kemudian tingkah laku dan aktifitas gerak menjadi pasif pada pukul 45 60 menit. Dengan bukaan operkulum sebanyak 93 kali. Kemungkinan

menurunnya fisiologis ikan ini disebabkan gagalnya adaptasi pada salinitas 0 ppt
atau air tawar.
Pada salinitas 5 ppt didapatkan tingkah laku yang aktif pada waktu 0 - 15
menit dengan bukaan operculum 165 kali. Selanjutnya keadaan fisiologi ikan
mulai menuju pasif pada waktu 15 - 30 menit dengan bukaan operculum 148.
Keadaan ini terus berlanjut hingga pengamatan selama 1 jam dengan bukaan
operkulum pada waktu 45 - 60 menit 124 kali. Pengaruh

ini juga dapat

disebabkan terlalu ekstremnya lingkungan yang didapatkan ikan saat memasuki


lingkungan air 5 ppt.
Pada perlakuan salinitas 15 ppt ini didaptkan semua aktifitas gerak dan
tingkah laku yang pasif kejadian. Kemudian bukaan operculum yang mulai
melambat pada waktu 0 - 15 menit terdapat 94 kali dan terus menurun pada waktu
45 - 60 menit hanya terdapat bukaan operkulum sebanyak 70. Kejadian ini karena
tingginya osmoregulasi ikan yang harus dilakukan. Maka dari itu kerena kegiatan
osmoregulasi ini memerluka energi kemungkinan ikan tersebut memakai seluruh
energi untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.
Pada perlakuan salinitas 25 ppt didapatkan tingkah laku yang normal dengan
bukaan operculum yang rata rata 85 kali. Hal ini sesuai denganoleh Ari et al.
(2007) bahwa kondisi parameter kualitas air yang sesuai bagi ikan Badut pada air
laut yaitu suhu air berkisar 25 - 33 oC, oksigen terlarut 3,5 - 4,6 ppm, salinitas 26 35 ppt, pH 7,8- 8,6 dan amonia kurang dari 1 ppm.
Pada perlakuan salintas 32 ppt ini didaptkan hasil yang berbeda denga tingkat
aktivitas gerak dan tingkah laku pada menit pertama termasuk aktif dan berada di
permukaan. Dengan bukaan operculum sebanyak 135 kali. Selanjutnya tingkah

laku dan aktivitas gerak mulai meurun higga pada saat waktu 45 - 60 menit diikuti
bukaan operculum yang menurun hanya sebanyak 62 kali.

V. PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari hasil praktikum di atas dapat dilihat bahwa semakin rendah salinitas
maka proses adaptasi yang dilakukan oleh ikan Amphiprion sp. untuk bertahan
akan semakin tinggi, ini terlihat dari bukaan operkulum yang berbanding terbalik
dengan penurunan salinitas. Semakin rendah salinitas maka bukaan operkulum
akan tinggi.
Bobot ikan Amphiprion sp. bertambah setelah ditempatkan pada air yang
memiliki salinitas rendah, hal ini terjadi karena cairan yang ada diluar memasuki
sel dari ikan sehingga berat ikan Amphiprion sp. bertambah.
Perbedaan salinitas dapat mempengaruhi fisiologi suatu biota (ikan) baik
secara tingkah laku, aktifitas gerak, maupun proses metabolisme didalam tubuh.
B. Saran
Sebaiknya dalam praktikum ini disediakan alat alat yang lengkap sehingga
praktikum akan berjalan lancar.

DAFTAR PUSTAKA
Adi et al. 2013. Pengaruh Salinitas dalam Proses Osmoregulasi. Fisiologi Hewan
Air. Pdf.

Aji, R. S., E. Aditya P., A. Sahidin. 2007. Diversifikasi Produk Olahan Belut
(Monoptherus albus) Sebagai alternative Bahan Pangan Berprotein
Tinggi. Makalah PKM (Pekan Kreativitas Mahasiswa). Universitas
Padjadjaran.
Allen, G.R. 1997. Marine Fishes of South East Asia. Kaleidoscope Print and
Prepress Periplus Edition, Perth, Western Australia
Ciptani, 2015. Sistem Osmoregulasi pada Ikan. Document.
Fujaya , Y. 2004. Fisiologi Ikan, dasar pengembangan teknik perikanan. Penerbit
Rineka Cipta. 179 hal.
Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Lantu, 2010. Osmoregulasi Pada Hewan Akuatik. Jurnal Perikanan dan Kelautan.
Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Nugroho, 2013. Organ Osmoregulasi. Osmoregulasi. http://staff.unila.ac.id
/gnugroho/files/2013/10/Osmoregulasi-Ikan.pdf
Nurul et al. 2013. Adaptasi Fisiologis Terhadap Salinitas. Fisiologi Hewan Air.
Pdf.
Marshall, W.S., and Grosell, M. 2006. ion transport, osmoregulation, and acidbase balance. In the Physiology of Fishes, Evans, D.H., and Claiborne,
J.B. (eds.). taylor and Francis Group. 601 pp
Thresher, R. 1984. Reproduction in Reef Fishes. T.F.H. Publications, Neptune
City, N.J.

Anda mungkin juga menyukai