Analisis Wacana Naskah Drama Barabah
Analisis Wacana Naskah Drama Barabah
Analisis Wacana Naskah Drama Barabah
PENDAHULUAN
Perkembangan wacana berkembang sangat pesat. Berbagai kajian wacana
sangat dibutuhkan untuk mengimbangi perkembangan tersebut. Wacana
berkembang di berbagai aspek kehidupan dan melalui berbagai media dengan
mengusung berbagai maksud dan tujuan.
Salah satu jenis wacana yang berkembang dalam masyarakat adalah jenis
wacana sastra. Perkembangan sastra yang akhir-akhir ini berkembang cukup pesat
karena memang masyarakat membutuhkannya sebagai pendamping kehidupan
yang sudah cukup penat sebagai bagian yang mampu menghibur untuk hanya
sekedar bersantai atau lebih dari itu. Dunia sastra yang cukup kompleks dengan
berbagai genrenya, cukup menarik untuk dikaji dari segi kewacanaan.
Genre sastra prosa dan puisi sudah cukup sering dijumpai dalam berbagai
rubrik tidak terkecuali berbagai kajian tentang genre tersebut. Salah satu genre
sastra yang sedikit termarginalkan adalah genre sastra drama. Sebenarnya genre
ini dilihat dari sisi apresiatifnya lebih mudah tetapi di balik kemudahannya
memang genre ini juga cukup bahkan paling kompleks dibandingkan dengan
genre sastra yang lainnya.
Pandangan tentang wacana sastra hanya sebagai wacana santai akhirakhir ini mengalami pergeseran, karena ternyata ketika dikaji lebih lanjut, wacana
sastra justru banyak sekali mengandung muatan-muatan yang cukup besar. Hanya
saja memang tidak secara eksplisit dikemukakan oleh pengarangnya.
Dalam uraian ini akan disajikan sebuah kajian naskah drama Barabah
sebagai sebuah analisis wacana. Naskah drama ini merupakan naskah karya
Motinggo Buyse. Naskah ini bukanlah naskah yang panjang dan hanya tergolong
satu babak. Meskipun satu babak naskah ini mampu memunculkan sebuah
peristiwa yang cukup menarik. Hal ini sangat cocok sekali untuk dikaji dari sudut
analisis wacana, bagaimana suatu drama yang hanya dalam satu babak mampu
menghadirkan kualitas yang dapat dikatakan baik. Tentunya hal itu tidak terlepas
dari adanya suatu kesatuan unsur-unsur wacana di dalamnya. Dalam makalah ini
akan dipaparkan suatu analisis naskah drama Barabah sebagai salah satu jenis
wacana.
II.
KAJIAN PUSTAKA
1. Pengertian Wacana dan Analisis Wacana
Menurut Kridalaksana, wacana adalah satuan bahasa terlengkap; dalam
hierarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (1983
: 179). Lebih lanjut dikatakan bahwa wacana ini direalisasikan dalam bentuk
karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf,
kalimat atau kata yang mambawa amanat yang lengkap. Wacana mrupakan
suatu satuan tertinggi dari hierarki gramatikal bahasa yang di dalamnya sudah
terkandung keutuhan yang lengkap dan membawa amanat tertentu.
Senada dengan Kridalaksana, Tarigan mengemukakan bahwa wacana
adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas
kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang
berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan secara
lisan atau tertulis (1987 : 27). Pendapat tersebut tidak hanya mendasarkan
pada wacana sebagai satuan tertinggi tetapi juga di dalamnya menuntut adanya
suatu koerensi dan kohesi yang tinggi dan mempunyai awal dan akhir yang
nyata.
Chaer juga berpendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa yang
lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan tertinggi atau
terbesar (1994 : 267). Pendapat ini sama dengan pendapat dari Kridalaksana,
bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang tertinggi secara gramatikal.
Dalam kaitannya dengan analisis wacana terdapat pula beberapa
pendapat dari beberapa ahli bahasa. Stubbs (dalam Oetomo, 1993 : 4)
menyatakan bahwa analisis wacana merujuk pada upaya mangkaji pengaturan
bahasa di atas kalimat atau klausa, dan karenanya mengkaji satuan-satuan
kebahasaan yang lebih luas, seperti pertukaran percakapan atau teks tertulis.
Pendapat tersebut mempunyai konsekuensi adanya suatu pengkajian terhadap
unsur-unsur di luar aspek linguistik, yang turut memberi andil dalam
terbentuknya suatu wacana.
Senada dengan Stubbs, Kartomihardjo menyatakan bahwa analisis
wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk
menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat dan lazim
disebut wacana (1993 : 21). Cukup sederhana pengertian tersebut, jadi analisis
wacana lebih pada suatu pengkajian suatu unit bahasa yang lebih besar
daripada kalimat.
Berangkat dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
analisis wacana adalah suatu upaya pengkajian bahasa pada tataran di atas
kalimat atau klausa yang juga melibatkan aspek-aspek di luar aspek linguistik
yang turut memberi makna terhadap suatu bahasa yang digunakan tersebut.
2. Jenis-jenis Wacana
Wacana merupakan suatu bahasa yang terlengkap dan merupakan
satuan yang tertinggi dalam hierarki gramatikal. Dalam hal ini wacana
mengandung suatu yang lengkap dan utuh. Wacana-wacana yang ada dalam
penggunaan bahasa digolongkan menjadi beberapa jenis.
Berdasarkan realitasnya, wacana dibagi menjadi dua yaitu wacana
verbal dan nonverbal. Didasarkan pada media komunikasinya, wacana dibagi
manjadi dua yaitu wacana tulis dan wacana lisan. Berdasarkan cara
pengungkapannya ada wacana langsung dan wacana tak langsung. Dilihat dari
cara pembeberannya ada wacana pembeberan (expository discourse) dan
wacana penuturan (narrative discourse). Berdasarkan bentuknya dibagi
menjadi wacana prosa, wacana puisi, dan wacana drama. Wacana berdasarkan
isinya ada wacana naratif, wacana prosedural, wacana hortatori, wacana
d. Perangkaian (konjungsi)
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan
dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana.
Unsur yang dirangkai dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat,
dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan
pemarkah lanjutan, dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik atau
pemarkah disjungtif.
4. Aspek Leksikal
Kohesi leksikal adalah hubungan antar unsur dalam wacana secara
semantis. Hubungan kohesif yang diciptakan atas dasar aspek leksikal, dengan
pilihan kata yang serasi, menyatakan hubungan makna atau relasi semantik
antara satuan lingual yang satu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana.
Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu
(a) repetisi (pengulangan), (b) sinonimi (padan kata), (c) kolokasi (sanding
kata), (d) hiponimi (hubungan atas-bawah), (e) antonimi (lawan kata), dan (f)
ekuivalensi (kesepadanan).
a. Repetisi (pengulangan)
Repetisi atau pengulangan adalah pengulangan satuan lingual (bunyi,
suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi
tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual
yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dibedakan lagi menjadi
delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis (pengulangan satuan lingual yang
penting beberapa kali secara berturut-turut), tautotes (pengulangan satuan
lingual, sebuah kata, beberapa kali dalam sebuah konstruksi), anafora
(pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris
atau kalimat berikutnya), epistrofora (pengulangan satuan lingual kata/frasa
pada akhir baris dalam puisi atau akhir kalimat dalam prosa), sinekdoke
(pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat
berturut-turut), mesodiplosis (pengulangan satuan lingual di tengah-tengah
baris atau kalimat secara berturut-turut), epanalepsis (pengulangan satuan
lingual yang kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan
kata/frasa pertama), dan anadiplosis (pengulangan kata/frasa terakhir dari
baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya).
b. Sinonimi
Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk sebuah benda atau
hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan
ungkapan lain. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk
mendukung kepaduan wacana. Berdasarkan wujud satuan lingualnya,
sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) sinonimi antar
morfem (bebas) dengan morfem (terikat), (2) kata dengan kata, (3) kata
dengan frasa atau sebaliknya, (4) frasa dengan frasa, (5) klausa/kalimat
dengan klausa/kalimat.
c. Antonimi (lawan kata)
Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benada atau hal
yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan beroposisi dengan
satuan lingual yang lain. Berdasarkan sifat oposisi makan dapat dibedakan
menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak (contoh: hidup-mati), (2)
oposisi kutub (contoh: kaya-miskin), (3) oposisi hubungan (contoh: bapakibu), (4) oposisi hirarkial (contoh: kilogram-ton), (5) oposisi majemuk
(contoh: berdiri-jongkok-duduk-berbaring).
d. Kolokasi (sanding kata)
Kolokasi adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata
yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi
adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan
tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang
berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Misalnya kata sawah, petani, lahan, bibit padi, sistem pengolahan,
panen, dan hasil panen akan sering dijumpai dalam jaringan pertanian.
e. Hiponimi (hubungan atas-bawah)
Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang
mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut
hipernim atau superordinat. Contoh : binatang melata = reptil => katak, ular,
cicak, kadal, bunglon.
f. Ekuivalensi (kesepadanan)
Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual
tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Contohnya
kata membeli, dibeli, membelikan, dibelikan, dan pembeli, semua bentuk
asalnya adalah beli.
5. Konteks dan Inferensi dalam Analisis Wacana
Konteks wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala
sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana (Sumarlam, 2003 :
47) konteks wacana secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu konteks bahasa dan konteks luar bahasa (extra linguistic
context) disebut dengan konteks situasi dan konteks budaya atau konteks saja.
Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau
pembicara untuk memahami maksud pembicara atau penulis. Proses
pemahaman seperti itu tidak dapat dilakukan melalui pemhaman makna secara
harfiah saja, melainkan harus didasari pula oleh pemhaman makna
berdasarkan konteks sosial dan budaya.
Pemahaman konteks situasi dan budaya dalam wacana dapat dilakukan
dengan berbagai prinsip penafsiran dan analogi. Prinsip-prinsip tersebut yaitu:
prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran
temporal, dan prinsip analogi (Sumarlam, 2005 : 47-54).
Prinsip penafsiran personal berkaitan dengan siapa sesuangguhnya
yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur
dan siapa mitra tutur sangat menentukan makna sebuah tuturan. Prinsip
penafsiran lokasional berkenaan dengan penafsiran tempat atau lokasi
terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka
memahami wacana. Penafsiran temporal berkaitan dengan pemahaman
mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya kita dapat menafsirkan kapan atau
berapa lama waktu terjadinya suatu situasi (peristiwa, keadaan, proses).
Prinsip analogi digunakan sebagai dasar, baik oleh penutur maupun mitra
tutur, untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud dari (bagian atau
keseluruhan) sebuah wacana. Interensi adalah proses yang harus dilakukan
oleh komunikan (pembaca/pendengar/mitra tutur) untuk memahami makna
yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh
komunikator (pembicara/penulis/penutur).
6. Unsur-unsur dalam Drama
Unsur-unsur dalam drama secara garis besar hampir sama dengan
genre sastra yang lain, hanya saja untuk drama mempunyai kekhasan
dibanding genre sastra yang lain. Dalam drama lebih mementingkan pada
dialog, jadi bukan prosa, lebih pada ujaran-ujaran yang langsung. Secara garis
besar struktur naskah drama ada enam bagian penting yaitu plot atau kerangka
cerita, penokohan atau perwatakan, dialog atau percakapan, setting atau
landasan, tema atau nada dasar cerita, dan amanat atau pesan pengarang
(Waluyo, 2008 : 6-28).
Plot sering juga disebut alur. Plot will mean the artistic arrangement of
those events (Kennedy, 1983 : 9). Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka
awal hingga ahir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang
berlawanan (Waluyo, 2002 : 8). Alur dari suatu cerita inilah yang
merangkaikan berbagai peristiwa yang ada dalam suatu cerita sehingga
terbentuklah suatu urutan peristiwa yang menarik untuk dinikmati.
Penokohan atau perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat
karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama yaitu tokoh atau
suatu peran. Tarigan mengatakan bahwa sang dramawan haruslah dapat
memotret para pelakunya dengan tepat dan jelas untuk menghidupkan impresi
(1993 : 76). Watak tokoh itu akan menjadi nyata terbaca dalam dialog dan
catatan samping, jenis dan warna dialog akan menggambarkan watak tokoh itu
(Waluyo, 2008 : 14). Mengkaji sebuah cerita tentu tidak terlepas dari tokoh,
karena tokoh merupakan unsur yang penting dalam sebuah cerita. Tokoh
cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan
dan apa yang dilakukan dalam tindakan (dalam Nurgiyantoro, 2002 : 165).
Setting sering juga disebut latar cerita. Wiyanto berpendapat bahwa
setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan (2004: 28).
Hampir senada dengan Wiyanto, Waluyo berpendapat bahwa setting biasanya
meliputi tiga dimensi, yaitu : tempat, ruang, dan waktu (2008 : 23). Hudson
menyatakan bahwa setting adalah keseluruhan lingkungan
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandunga dalam drama.
Tema berhubungan dengan premis dari drama tersebut yang berhubungan pula
dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang dikemukakan
oleh pengarang (Waluyo, 2008 : 24). Mengenai premis, ia juga
Kekhasan dari genre sastra ini adalah media dialog atau percakapan
yang digunakan dalam penyampaiannya. Ciri khas suatu drama adalah naskah
itu berbentuk cakapan atau dialog (Waluyo, 2008 : 20). Lebih lanjut lagi
KORPUS DATA
(1) Banio
(2) Banio
(6) Banio
(7) Banio
(8) Banio
(9) Banio
: Ya, naik kapal terbang. Cuma itu yang belum kunaiki. Aku
pernah naik mobil, sepur, pernah naik kuda dan kerbau, pernah
naik gunung. Semua sudah kunaiki kecuali kapal terbang. Aku
pernah melihat foto Bung Karno naik helikopter.
(10)
(11)
Barabah: Baik?
IV.
(12)
(13)
akan
kawin
(14)
Banio : Diam kau. Saya tak tanya sama kamu (KEPADA BARABAH)
Barabah, inikah perempuan yang berkumis itu, dan rambutnya
seperti jambul kuda?
(15)
Banio : Cepat-cepatlah pergi. Itu kereta api sudah di tepi bukit. Jangan
tunggu aku menangis (ZAITUN BANGUN) Zaitun.
(16)
PEMBAHASAN
Dalam naskah drama Barabah ini terdapat banyak sekali hal-hal yang
masuk dalam kajian analisis wacana baik aspek gramatikal leksikal maupun
konteks dan inferensi. Beberapa sampel data telah diambil dan dikaji, yang akan
dipaparkan pembahasannya pada bagian berikut.
1. Aspek Gramatikal
a. Pengacuan (referensi)
(1) Pengacuan Persona
Dalam naskah drama ini banyak sekali dimunculkan suatu pengacuan
persona, seperti pada cuplikan data (2), (3), dan (4). Penggunaan kata ku yang diucapkan oleh tokoh Banio pada kata punggungku, mengacu
pada dirinya (Banio). Kemudian ada juga kata ibah yang diucapkan oleh
tokoh Barabah mengacu pada dirinya (tokoh Barabah), tetapi pada
dialog data (4) terdapat perubahan pengacuan dari kata ibah menjadi
kata aku, yang sama-sama mengacu pada tokoh Barabah. Namun hanya
pada dialog itu tokoh Barabah menggunakan kata aku untuk mengganti
dirinya ketika berbicara dengan suaminya (Banio). Untuk dialog dengan
tokoh selain Banio, tokoh Barabah menggunakan kata ganti saya.
10
SIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta
Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan .1976. Cohesion in English. London :
Longman
Kartomihardjo, Soeseno. 1993. Analisis Wacana dengan Penerapannya pada
Beberapa Wacana, dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed). PELLBA 6.
Yogyakarta : Kanisius
Kennedy. 1983. An Introduction to Fiction (Third Edition). Boston, Toronto :
Little Brown and Company
Kridalaksana, Harimurti.1983. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia
Oetomo, Dede. 1993. Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, dalam
Bambang Kaswanti Purwo (ed) . PELLBA 6. Yogyakarta : Kanisius
Sumarlam (ed). 2005. Analisis Wacana. Surakarta : UNS Press
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa
_____.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa
12
Waluyo, Herman J. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga : Widya Sari Press
_____. 2008. Drama Teori dan Pengajaran. Surakarta : UNS Press
Wiyanto, Asul. 2004. Terampil Bermain Drama. Jakarta : Gramedia
13