Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Bab III Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Pesisir Dan Nelayan

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

BAB III

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MELAYU


PESISIR DAN NELAYAN

37

A.

Masyarakat Pesisir dan Nelayan


Masyarakat pesisir, sebagai komunitas yang mempunyai orientasi ke

laut, corak kehidupan sosial ekonominya, pranata-pranata sosial yang


telah melembaga serta sudut pandang budayanya telah mengalami
proses adaptasi menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik laut.
Sungguhpun sebagian sudah memanfaatkan teknologi mesin dan inovasiinovasi teknologi modern tertentu, akan tetapi masyarakat pesisir secara
umum dianggap masih memanfaatkan teknologi tradisional. Disebut
teknologi tradisional, karena masih sangat mengandalkan pengetahuan
asli setempat dan pemanfaatan sumber daya alam dari lingkungan sendiri.
Berbeda dengan teknologi mesin atau teknologi modern yang harus
mereka peroleh dari luar dan sama sekali menggunakan sistem
pengetahuan yang berbeda dengan sistem pengetahuan asli mereka.
Penjelasan

mengenai

bagaimana

suatu

masyarakat

memadukan

teknologi tradisional dengan teknologi modern dapat diketahui melalui


kajian tentang proses akulturasi yang sedang mereka alami. Proses
akulturasi, atau kontak-kontak sosial dan kebudayaan tersebutlah yang
memberi jalan bagi masuknya pengetahuan dan teknologi baru kepada
mereka.
Secara struktural, ciri ekonomi masyarakat pesisir dan nelayan mirip
dengan ekonomi petani yaitu berskala kecil, peralatan dan pemasaran
yang sederhana, eksploitasi sering merupakan masalah kooperatif. Akan
tetapi, dari prilaku ekonominya, kehidupan nelayan sangat berbeda bila
dibandingkan dengan kehidupan petani. Dalam proses produksi petani
sejak awal telah terlibat secara langsung dari mulai menyiapkan lahan,
menanami sampai proses pasca tanam seperti pemupukan, pengairan,
dan penyiangan. Proses seperti ini mirip dengan proses yang dilakukan
oleh petani tambak yang sejak awal telah terlibat langsung dalam proses
produksi. Akan tetapi pada masyarakat nelayan, persiapan dalam proses
produksi yang dilakukannya tidaklah banyak meskipun diperlukan
keterampilan penguasaan teknis, pengetahuan terhadap iklim, prilaku
38

buruan, dan habitat ikan sangat penting dikuasai (Ismail, 2001). Apabila
pola petani lebih menunjukkan pola pendapatan yang teratur maka pola
masyarakat pesisir dan nelayan lebih menunjukkan ketidak teraturan.
Kehidupan masyarakat pesisir tidak bisa dipisahkan dari sektor
perikanan dan dominasi nelayan. Perikanan merupakan semua kegiatan
yang berkaitan dengan ikan. Menurut Soselisa (2001), perikanan
didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau
budidaya hewan atau tanaman air yang hidup bebas di laut atau perairan
umum. Adapun menurut Mubyarto (1984), yang dimaksud dengan
perikanan ialah segala usaha penangkapan, budidaya ikan serta
pengolahan sampai pemasaran hasilnya. Dewasa ini aktivitas perikanan,
termasuk agrobisnis perikanan, tengah berlangsung di masyarakat. Di
beberapa kawasan, agrobisnis perikanan sebagai suatu kegiatan kegiatan
ekonomi telah menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat dan
memberikan dampak ganda kepada sektor lain, bahkan terhadap aspek
sosial dan budaya.
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan. Dalam kajian perikanan perairan umum, nelayan
adalah orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan di
perairan umum. Orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat
Jaring, mengangkut alat-alat penangkapan ikan ke dalam perahu/kapal
motor, mengangkut ikan dari perahu/kapal motor, tidak dikategorikan
sebagai nelayan. Istri, anak dan orang tua nelayan yang tidak aktif dalam
operasi penangkapan ikan tidak dikategorikan sebagai nelayan. Ahli mesin
dan ahli listrik yang bekerja di atas kapal penangkap dikategorikan
sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan
penangkapan ikan.
Nelayan umunya berdomisili di kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil yang beraktivitas perikanan laut (marine fisheries) dan perikanan
perairan umum (inland fisheries) yang berdomisili di sekitar perairan
danau, waduk, rawa dan sungai. Kedekatan nelayan terhadap sumber
daya air, baik laut maupun perairan umum dikarenakan mereka
39

menghendaki aksebilitas yang tinggi ke laut dan menjadikan perairan


umum sebagai ladang penghidupan.
Pentingnya perairan laut dapat dilihat dari pusat perkembangan
kebudayaan yang terkonsentrasi di daerah pesisir. Tidak mengherankan
bila kemunculan kota-kota di propinsi Riau pada awalnya tumbuh dan
berkembang di wilayah pesisir seperti Pekanbaru, Rengat, Tembilahan
dan Bagan Siapi-api. Demikian halnya penduduk yang bermukim di pesisir
memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya kelautan. Bagi
masyarakat nelayan tradisional, laut dan pesisir memiliki fungsi ekonomi,
perlindungan,

pengembangan

keturunan,

aktualisasi

diri,

jaminan

aksebilitas terhadap lingkungan yang lebih luas dan pengembangan


kesetiakawanan sosial (Subur Budhisantoso, 1995).
Di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1998,
banyak manufuktur maupun jasa mengalami defisit atau tumbuh secara
negatif hingga saat ini. Namun, usaha perikanan mampu berkembang
dengan pertumbuhan yang positif. Dengan tingginya harapan yang
dibebankan kepada sektor perikanan, maka diupayakan untuk lebih
banyak lagi menggali dan memanfaatkan potensi perikanan.
Hamparan lamun, selain berfungsi sebagai daerah asuhan bagi ikanikan, juga berperan dalam mengontrol sedimentasi akibat aliran air
permukaan (run-off) dari daratan. Salah satu sumberdaya penting dari
hamparan lamun ini yang kontribusinya tidak bisa diabaikan adalah
rumput laut. Perkiraan manfaat konsumsi langsung dari sumberdaya ini
adalah berkisar antara Rp 0,5 milyar sampai Rp 1 milyar per tahun. Hasil
perhitungan GEF/UNDP/IMO memperkirakan bahwa nilai kegunaan
rumput laut dan ekosistemlamun sekitarUS$ 16 juta, yang meliputi nilai
perikanan dan perlindungan pantai serta keanekaragaman hayati (Idris et.
al., 2001). Nilai ekonomi sumberdaya wilayah pesisir yang cukup penting
lainnya adalah pantai. Kawasan pantai banyak memberikan manfaat
ekonomi antara lain untuk kegiatan pariwisata dan tempat penetasan telur
penyu. Total nilai ekonomi dari kedua pemanfaatan ini sekitar US$ 348

40

juta (nilai kotor) atau sekitar US$ 248 juta (nilai bersih) (GEF/UNDP/IMO,
1999 dalam Idris et al., 2001).

Gambar 3.1 Salah satu karakteristik permukiman masyarakat


pesisir, rumah di atas air
Dengan potensi dan kondisi yang demikian, tidak mengherankan jika
wilayah pesisir menjadi tujuan utama manusia sebagai tempat bermukim
dan mempertahankan hidupnya, sekaligus tempat pengembangan usaha
yang besar manfaatnya bagi pembangunan ekonomi. Selain jaminan
ketersediaan

sumberdaya

untuk

kehidupan,

wilayah

pesisir

juga

merupakan wilayah yang memiliki mobilitas yang tinggi dalam memacu


perekonomian, terutama dalam memfasilitasi arus barang dan jasa. Di
Indonesia, sekitar 60 % penduduknya tinggal dekat dengan pesisir dan
menggantungkan hidupnya di daerah tersebut. Rata-rata kepadatan
penduduk di kebanyakan desa pesisir ini lebih dari 100 orang/km2.
B.

Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Pesisir dan Nelayan


Orang

Melayu

dapat

dikatakan

sebagai

penduduk

pemula

(tradisional) di Riau. Mereka mendiami daerah perairan, ada yang tinggal


di pulau-pulau, pesisir pantai, dan adapula yang mendiami daerah aliran
sungai (DAS). Sebab itu budaya Melayu pertama-tama adalah budaya
perairan. Meskipun sebagian dari mereka telah nikah-kawin dengan
berbagai suku seperti Bugis, Banjar, Jawa, dan Arab serta suku bangsa
lainnya, tetapi budaya melayu tetap dominan. Kenyataan ini member
41

petunjuk bahwa kata Melayu tidak lagi sebatas merujuk kepada fisik
antropologis, tetapi lebih banyak menjurus kepada kultural antropologis.
Hampir semua masyarakat pesisir membuat rumah di atas tiangtiang yang relatif tinggi dari tanah. Tujuannya bukan saja agar tidak
terendam oleh air pada waktu air laut pasang naik, tapi juga agar tidak
diganggu oleh binatang-binatang kecil yang berkeliaran di tanah, seperti
ular, kalajengking, lipan, semut dan serangga-serangga lain. Bahan-bahan
untuk membangun rumah itu seluruhnya diperoleh dari lingkungan
setempat. Daerah-daerah yang banyak ditumbuhi jenis palem rawa seperti
Rumbia, Nibung atau Sagu memanfaatkan hampir semua bagian dari
tumbuhan tersebut untuk keperluan rumah. Mulai dari batangnya yang
dibuat dari batang nibung, atap dari anyaman daun rumbia, lantai dari
bilah-bilah batang rumbia, dan dinding dari pelepah daunnya. Masyarakat
pesisir di daerah lain memanfaatkan bambu atau pohon kelapa untuk
membuat rumah. Lain halnya dengan komuniti-komuniti perairan yang
menghabiskan sebagian besar hidup mereka di atas air, seperti orang
suku Duano di Indragiri Hilir. Bagi masyarakat ini rumah mereka sekaligus
adalah alat transportasi dan rumah tempat tinggal keluarga.
Begitu pentingnya arti sumber daya kelautan dan pesisir, mendorong
perkembangan upaya-upaya untuk menjaga atau melestarikannya. Upaya
tersebut didasarkan pada pengetahuan yang didapat dari pengalaman
adaptasi terhadap lingkungannya. Pengetahuan lokal tentang pelestarian
lingkungan pesisir dan laut, seringkali terkait dengan pranata kepercayaan
dan pranata penataan ruang. Penerapan tabu dan adanya tempat-tempat
keramat

merupakan

bukti

keterkaitan

sistem

ekonomi

dengan

kepercayaan. Bentuk lain dalam wujud ide adalah dorongan dari dalam
masyarakat untuk melakukan pengaturan sendiri yang diwujudkan dengan
ketentuan-ketentuan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Pengaturan
itu dalam bentuk larangan menangkap jenis ikan tententu, larangan
menggunakan alat tertentu, larangan menangkap ikan pada tempattempat tertentu, serta larangan melaut pada saat-saat tertentu.
42

Berdasarkan

pengalaman

adaptasi

yang

berlangsung

terus-

menerus, masyarakat pesisir atau nelayan mengembangkan pengetahuan


tradisional dalam mengelola lingkungan dan memnfaatkan sumber daya
alam. Pengetahuan lokal tersebut, antara lain: pengetahuan tentang
pelayaran (navigasi), perbintangan, iklim dan musim, ramalan cuaca dan
arah angin, alam gaib, dan kekuatan supranatural, pengawetan hasil
produksi, tanda-tanda alam, sumber daya laut dan pesisir serta
pemanfaatannya, dan pengetahuan tentang pengobatan tradisional.
Walaupun sebagian masyarakat sudah memanfaatkan teknologi dan
inovasi

tertentu,

akan

tetapi

secara

umum

masih

dianggap

memanfaatakan teknologi tradisional karena mengandalkan pengetahuan


asli setempat (local knowledge atau indigenous knowledge) dan
pemanfaatan sumberdaya alam dari lingkungan setempat. Berbeda
dengan teknologi dan inovasi modern yang harus mereka peroleh dari
luar.
Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem
kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan
merupakan nilai yang sangat positif untuk pelestarian lingkungan dalam
konsep pembangunan berkelanjutan. Pada peinsipnya, pola hubungan
manusia di kawasan pesisir didasarkan pada saling ketergantungan yang
bersifat interaktif dan fungsional. Laut tidak hanya di eksploitasi, tetapi
juga dipelihara dan dipertahankan agar dapat berfungsi karena ekosistem
laut harus dipandang dalam kondisi yang lebih luas yaitu sejauh mana laut
beserta

isinya

terkait

dalam

berbagai

pranata

sosial

kehidupan

masyarakat.
Sebagai suatu pranata dalam masyarakat tradisional sejalan dengan
perkembangan kehidupan manusia yang pebuh dengan dinamika ke arah
proses transformasi struktural yang lebih maju, adalah sangat menarik
bahwa hak ulayat laut (HUL)/sea tenure masih tetap dipertahankan oleh
sebagian masyarakat pesisir. HUL merupakan seperangkat aturan atau
praktik pengelolaan wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung
43

didalamnya, yang menyangkut siapa saja yang memiliki hak atas suatu
wilayah,

jenis sumberdaya

yang

boleh

dimanfaatkan

dan

teknik

mengeksploitasi sumberdaya yang diperkenankan.


Aturan-aturan yang terbentuk dalam sistem penguasaan bersama
pada dasarnya merupakan suatu kesadaran kolektif yang memiliki dua
sifat pokok. Sifat yang pertama adalah kesadaran kolektif dari suatu
komunitas atau kelompok sosial sesungguhnya berada diluar kedirian
setiap individu yang disosialisasikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Sifat yang kedua adalah kesadaran kolektif mengandung
suatu kekuatan psikis yang memaksa individu-individu anggota kelompok
untuk menyesuaikan diri terhadapnya. HUL sebagai suatu pranata
merupakan bagian dari struktur ekonomi masyarakat nelayan yang
bersama dengan pranata lain membentuk suatu struktur ekonomi. Dalam
hal ini, HUL dipandang sebagai salah satu sistem mata pencaharian yang
berfungsi mendukung eksistensi suatu komunitas.
Keragaman model kearifan lingkungan yang berkembang pada
berbagai kelompok masyarakat akan diuraikan pada beberapa tulisan
berikut.

KEARIFAN LOKAL SUKU AKIT DALAM


PEMANFAATAN DAN PELESTARIAN SUMBERDAYA PESISIR
Suku Akit atau orang Akik, adalah kelompok sosial yang berdiam di
daerah Pesisir Riau termasuk di Propinsi Kepulauan Riau. Sebutan Akit
diberikan kepada masyarakat ini karena sebagian besar kegiatan hidup
44

mereka berlangsung di atas rumah rakit. Dengan rakit tersebut mereka


berpindah dari satu tempat ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai.
Mereka juga membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir
pantai untuk dipergunakan ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat.
Mata

pencaharian

pokok

orang

Akit

adalah

menangkap

ikan,

mengumpulkan hasil hutan, berburu binatang, dan meramu sagu. Suku


Akit tidak mengenal sistem perladangan secara menetap. Pengambilan
hasil hutan yang ada di tepi-tepi pantai biasanya disesuaikan dengan
jumlah kebutuhan. Penangkapan ikan atau binatang laut lainnya mereka
lakukan dengan cara sederhana, misalnya dengan memasang perangkap
ikan (bubu).
Suku ini pada mulanya berada di bawah kekuasaan Kerajaan GasibSiak. Mereka mendapat tugas dari Sultan Siak mengambil dan merakit
kayu. Suku Akit termasuk keturunan bangsa negroid, dapat dilihat dari
rambut mereka yang keriting dan badan yang kekar dan besar. Mereka
mendiami sungai Mandau (cabang sungai Siak), Rupat, Pulau Padang,
Tebing Tinggi dan Karimun.
Mengingat pentingnya

fungsi

lingkungan

untuk

menjamin

kelangsungan hidup manusia, sehingga masyarakat Suku Akit sangat


memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dengan
lingkungannya. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan dengan
lingkungan dapat terwujud dari adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
sehari-hari, misalnya dengan berbagai upacara tradisional, dongengdongeng atau mitologi (cerita rakyat), adanya pantangan-pantangan,
peralatan tradisional ramah lingkungan dan berbagai pantun-pantun yang
mengajarkan

agar

manusia

senantiasa

arif

dalam

mengelola

lingkungannya.
Laut dimanfaatkan masyarakat sebagai prasarana perhubungan dan
sumber pencaharian bagi nelayan. Sebagai prasarana perhubungan,
melalui laut dengan menggunakan perahu dan speed boat mampu
menjangkau daerah-daerah lainnya. Sarana transportasi air yang
biasanya digunakan penduduk berupa pompong (perahu mesin) dan
45

sampan. Pemanfaatan laut sebagai prasarana perhubungan untuk


melakukan

kegiatan

perekonomian,

komunikasi

sosial

dan

lain

sebagainya. Laut juga berfungsi sebagai wahana sosialisasi anak-anak


sejak dini guna memperkenalkan diri dengan lingkungan sekaligus strategi
adaptasinya.

Gambar 3.2 Salah seorang anak Suku Akit


sedang menjaring udang
Keramba tempat memelihara ikan kerapu ditempatkan di laut sekitar
pantai dekat perkampungan, sehingga ikan tersebut merasa hidup pada
habitat yang tidak berbeda dengan aslinya. Dengan adanya arus, ikanikan kecil dan plankton masuk ke dalam keramba sebagai pakan ikan
kerapu peliharaan sehingga tidak memerlukan modal besar dalam
perawatannya. Kemudahan lain, bibit ikan kerapu banyak terdapat di laut
sekitar pulau yang mereka tinggali. Anak-anak ikan kerapu senantiasa ada
di laut sehingga pembudidayaan dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Berdasarkan pengalaman mereka, tanda-tanda laut yang memiliki
banyak ikan, seperti adanya terumbu karang, laut dangkal (beting), dasar
laut berlumpur, pantainya ditumbuhi pohon bakau. Karena itu, keberadaan
terumbu karang maupun pohon bakau penting artinya bagi kehidupan
nelayan dan sekaligus perlu dijaga kelestariannya. Mereka juga mengenali
tempat-tempat yang dianggap berbahaya karena memiliki arus atau
gelombang besar, di samping juga tempat-tempat yang di anggap keramat
sehingga perlu dihindari.

46

Menurut kepercayaan tradisional yang masih melekat pada nelayan


Suku Akit, laut dipercaya dihuni oleh mambang, sejenis makhluk halus
atau hantu. Makhluk halus tersebut diyakini memiliki kekuatan gaib, bisa
mendatangkan kebaikan dan keburukan bagi nelayan. Untuk menjaga
hubungan yang baik dengan penghuni alam laut itu, dikembangkan etika
lingkungan yang mengandung berbagai pantangan dan anjuran yang
harus dipatuhi oleh nelayan. Pelanggaran terhadap pantangan tersebut
dapat

mengganggu

nelayan

saat

melakukan

aktivitasnya.

Untuk

menghindarkan hal itu, harus mematuhi pantangan dan larangan di laut,


seperti buang air kecil tidak boleh langsung ke laut, melainkan ditampung
dengan gayung, sesudah ditampung baru boleh dibuang ke laut.
Membuang air besar harus di darat. Pantangan lainnya, di tengah laut
tidak boleh mencarut, bercakap cabul, bersiul, menyahut dan menjeritjerit. Pantangan tersebut di atas bila dilanggar, maka berbagai musibah
akan dialami, misalnya tampak makhluk aneh yang menakutkan, muntah
berak, jaring sering tersangkut pada karang, hanyut, karam, dan lain-lain.
Salah satu bentuk kearifan lingkungan yang dikembangkan nelayan
Suku Akit adalah penggunaan peralatan dan teknologi yang relatif ramah
lingkungan. Umumnya peralatan tersebut dibuat sendiri dari bahan yang
sebagian besar diperoleh dari hutan sekitar. Tidak mengherankan jika
hasil tangkapan nelayan relatif sedikit dengan jangkauan perairan di
sekitar

pantai.

Demikian

juga

dampak

penggunaannya

terhadap

lingkungan relatif tidak mencemari, tidak merusak dan tidak eksploitatif.


Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari yang tidak dapat dipenuhi
dengan

bernelayan,

mereka

juga

memanfaatkan

waktu

istirahat

menunggu musim yang ideal, dengan bercocok tanam atau berkebun


karet. Bahkan nelayan Suku Akit di Kepulauan Riau, memanfaatkan waktu
luangnya untuk mengerjakan pembuatan kerupuk ikan. Sedangkan di
Rupat, mereka memanfaatkan waktu luang menunggu angin tenang
dengan berkebun kelapa dan bercocok tanam sayur-sayuran.
Kesadaran pentingnya fungsi lingkungan untuk

menjamin

kelangsungan hidup, mendorong masyarakat nelayan Suku Akit menjalin


47

hubungan yang serasi dengan lingkungannya. Dalam rangka menciptakan


hubungan yang serasi dengan lingkungan itulah berkembang kearifan
lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk tindakan, ide, dan peralatan
produksi yang ramah lingkungan.

KEARIFAN LOKAL SUKU LAUT DALAM


PEMANFAATAN DAN PELESTARIAN SUMBERDAYA PESISIR
Suku Laut terkenal sebagai representasi masyarakat bahari, yakni
masyarakat yang memiliki jiwa bahari dengan tradisi menjadikan laut
sebagai basis terbentuknya kebudayaan. Hal ini disebabkan Suku Laut
dulunya hidup berkelana menangkap ikan dengan sampan yang mereka
istilahkan dengan berkajang yang ternyata juga sekaligus berfungsi
sebagai rumah, sehingga semua aktivitas kehidupan dilakukan di atas
sampan tersebut. Penduduk suku laut (suku Duano) merupakan
keturunan dari perkawinan campuran dua ras besar yaitu ras Veddoid dan
Mongoloid (Proto-Melayu). Wilayah persebaran Orang Laut tidak hanya di
Indragiri Hilir, seperti Orang Sungai Bela (Orang Laut kelompok Sungai
Bela ), Orang Kuala Pata Parang (Orang Laut kelompok Suku Pata
Parang) dan Orang Concong, tetapi juga Kepuluan Riau, mereka tersebar
secara mengelompok, antara lain: di daerah Mantang (Kecamatan Bintan
Timur), di sekitar Batam, dan di Desa Penuba (Kecamatan Lingga). Hasil
48

penelitian Asmah Haji Omar (2003) menunjukkan bahwa suku Duano juga
terdapat di negeri Johor, khususnya di bahagian pantai sekitar Pontian,
Batu Pahat dan Kota Tinggi.
Orang Suku Laut secara alami telah menyatukan dirinya dengan
kehidupan laut, selaras dengan lingkungan sumberdaya alamnya dan
menjadi bagian dari laut dalam segala aspek alami dan sosial buidaya
yang tidak mudah dipisahkan dari keberadaan dan kelangsungan
hidupnya. Sesungguhnya mereka tidak selamanya menjadi kelompok
manusia pengembara di lautan. Banyak pula diantara mereka telah
menetap dan membangun rumah di tepi-tepi pantai dari gugusan pulaupulau

pada

jalur

pelayaran

yang

pernah

mereka

lalui

dalam

pengembaraannya
Suku Laut memiliki berbagai kemampuan mengenal laut sebagai
lingkungan hidupnya, menghadapi tantangan hidup di laut, menggali
kekayaan laut serta melestarikan sumberdaya yang ada di laut.
Kemampuan tersebut memiliki muatan sains. Sains dalam tradisi budaya
suku laut merupakan sistem pengetahuan ilmu yang memiliki aspek
pengetahuan, sains dan magis yang saling berkaitan. Hal ini dapat dilihat
dalam hal penanganan sengatan hewan laut berbisa yang memiliki toksin
berupa protein, dimana pengobatannya menggunakan arang lidi yang
dicelupkan ke campura cuka getah atau asam formiat dan cabai. Asam
formiat

adalah

senyawa

yang

bersifat

asam

dan

berpotensi

mendenaturasi struktur protein toksin. Kapsaisin pada cabai merupakan


zat aktif yang dapat mencegah peradangan.
Kearifan masyarakat lokal yang sering diistilahkan secara singkat
sebagai kearifan lokal atau Local Wisdom, merupakan sesuatu yang
diketahui sebagai perilaku sosial masyarakat lokal dalam berinteraksi dan
berrinterelasi dengan kehidupannya. Perilaku sosial dalam kaitannya
dengan lingkungan paling tidak terdiri dua dimensi, yaitu : pertama,
bagaimana karakteristik dan kualitas lingkungan mempengaruhi perilaku

49

sosial

tertentu,

dan

kedua,

bagaimana

perilaku

sosial

tertentu

mempengaruhi karakteristik dan kualitas lingkungan (Usman, 1996).

Gambar 3.3 Udang nenek (Mantis sp.)


Melihat jenis pekerjaan penduduk Suku Laut yang dominan adalah
sebagai nelayan, maka hal ini juga mengandung arti bahwa sumber
pandapatan utama penduduk adalah di sektor perikanan, dari hasil. Jenis
hasil tangkapan utama perikanan yang diperoleh penduduk Suku Laut di
desa Panglima Raja, Indragiri Hilir adalah kerang (Anadara granosa) dan
udang nenek (Mantis sp.). Musim tangkapan kedua jenis hasil laut ini
berbeda dimana pada musim tangkap Kerang maka tangkapan udang
nenek akan berkurang, Sedangkan musim udang nenek maka tangkapan
kerang akan berkurang, demikian juga harga kedua jenis tangkapan akan
berbalik sesuai dengan musimnya,
Kondisi sosial budaya masyarakat Suku Laut juga telah terakumulasi
dengan sosial budaya masyarakat pendatang yang terdiri dari suku-suku
lain yang menetap di daerah mereka seperti, cina, banjar, bugis, jawa dan
minang. Sebahagian besar masyarakat Suku Laut memeluk agama Islam,
sehingga orientasi budaya yang dijalankan berakar pada budaya Islam.

50

Ritual dan esensi agama Islam tercermin dalam kehidupan sehari-hari


seperti pengajian yasinan dan kegiatan hajatan.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Suku Laut masih dijumpai
semangat kebersamaan dan gotong royong. Bentuk-bentuk kegiatan
bersama yang sering dilakukan adalah dalam bentuk kegiatan bakti bersih
lingkungan

(dilakukan

setiap

hari

Jumat),

pelaksanaan

kegiatan

perkawinan, perayaan hari besar nasional, kematian dan lain-lain, dalam


kegiatan-kegiatan adat biasanya yang dipakai adalah adat Melayu.
Kearifan lokal merupakan sesuatu yang diketahui sebagai perilaku
sosial masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan
kehidupannya. Perilaku sosial dalam kaitannya dengan lingkungan paling
tidak terdiri dua dimensi, yaitu : pertama, bagaimana karakteristik dan
kualitas lingkungan mempengaruhi perilaku sosial tertentu, dan kedua,
bagaimana perilaku sosial tertentu mempengaruhi karakteristik dan
kualitas lingkungan (Usman, 1996).
Dapat dijelaskan bahwa dimensi yang pertama selalunya terjadi
pada masyarakat tradisional, dimana terdapat ketergantungan yang tinggi
terhadap perubahan lingkungan alam. Dimensi yang kedua biasanya
terjadi pada masyarakat modern, karena penguasaan pengetahuan dan
teknologi yang tinggi telah memunculkan kemampuan dan keahlian bahwa
manusia mampu mengatur dan mengendalikan kondisi lingkungan. Hasil
penelitian Zulkarnain (2009) pada Suku Laut di Indragiri Hilir menunjukkan
bahwa terdapat berbagi nilai-nilai kearifan lokal terkait pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya pesisir, antara lain:
Penentuan waktu, cuaca dan musim dalam melakukan penangkapan
ikan

sangat

memberikan

pengaruh

terhadap

keberhasilan

penangkapan, jika kegiatan penangkapan dilakukan pada waktu, cuaca


dan

musim

yang

sesuai

maka

kegiatan

penangkapan

akan

mendapatkan hasil yang baik. Begitu juga sebaliknya. Kemudian pada


musim

angin

utara

misalnya,

masyarakat

tidak

melakukan

penangkapan karena gelombang dang angin laut kurang bersahabat,


51

pada hal waktuwaktu seperti ini berbagai jenis ikan melakukan


pemijahan. Sehingga kegiatan tidak menangkap ikan pada musim utara
dapat memberikan kesempatan bagi keberlangsungan berbagai jenis
spesies ikan untuk berkembang.
Upaya

mempertahankan

penggunaan

alat

tangkap

tradisional

merupakan salah satu cara yang baik untuk menjaga pelestarian


berbagai sumberdaya perikanan. Penggunaan alat tangkap tradisional
diyakini lebih efektif dan hasil tangkapannya lebih selektif, dengan kata
lain

kegiatan

pemanfaatan

sumberdaya

perikanan

dengan

menggunakan alat tangkap tradisional dapat mempertahankan kondisi


potensi sumberdaya perikanan yang ada. Nilai kearifan lokal yang
terkandung adalah masyarakat mengembangkan penggunaan teknologi
penangkapan yang ramah lingkungan, menangkap ikan dengan caracara yang tidak merusak lingkungan.
Penebangan bakau hanya boleh dilakukan pada kawasan tertentu yang
jauh dari pinggiran pantai, hal ini memiliki makna bahwa jika
penebangan bakau dilakukan di sekitar kawasan pinggiran pantai akan
merusak tempat tinggal berbagai jenis sumberdaya perikanan. Daun
bakau yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme
diuraikan menjadi partikel detritus yang menjadi sumber makanan bagi
bermacam hewan laut.
Upacara penghormatan terhadap laut merupakan kegiatan masyarakat
yang berasal dari nenek moyang pendahulu mereka. kegiatan ini
memiliki nilai kearifan terhadap pelestarian sumberdaya perikanan,
dimana setelah melakukan upacara semah laut masyarakat tidak boleh
melaut, padahal selama itu wilayah tersebut akan dimanfaatkan oleh
berbagai jenis ikan yang sudah matang gonad untuk melakukan
pemijahan, setelah melakukan pemijahan beberapa hari kemudian telur
menetas menjadi larva. Pada masa ini kondisi larva sangat rentan
terhadap perubahan lingkungan salah satunya disebabkan oleh
kegiatan penangkapan. Karena tenangnya wilayah perairan dari
52

kegiatan penangkapan menyebabkan larva tumbuh menjadi benih yang


lebih kuat. Hal ini lah yang kemudian yang menjadikan semah laut
memiliki nilai kearifan lokal dalam pelestarian sumberdaya pesisir.
Menganggap wilayah tertentu sebagai wilayah keramat makna yang
dapat diambil bagi pelestarian sumberdaya pesisir adalah menciptakan
susana tenang dikawasan perairan sehingga memudahkan ikan-ikan
melangsungkan pemijahan, kemudian larva-larva ikan tersebut mudah
berkembang menjadi benih. Inilah nilai pelestarian sumberdaya pesisir
yang terkandung terhadap adanya pantangan dan larangan tersebut.
Komitmen tidak menangkap dan membunuh lumba-lumba. Diketahui
bahwa jika disuatu kawasan perairan terdapat lumba-lumba dan ikan
berukuran besar di kawasan itu banyak terdapat ikan-ikan yang
berukuran lebih kecil, karena merupakan sumber makanan lumbalumba dan ikan-ikan besar. Nilai kearifannya adalah lumba-lumba
merupakan petunjuk bahwa diperairan mereka masih terdapat banyak
ikan.
Menganggap tabu makan bertaburan dan membuang rimah/sampah
atau tidak sopan di laut. Makna yang diambil dari pantang larang ini
adalah agar laut tidak tercemar, sehingga berbagai aktifitas kehidupan
hewan laut tidak terganggu. Jika sampah berserakan di laut, akan
mengganggu

kualitas

perairan,

menghalangi

intensitas

cahaya

matahari yang masuk yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan


ekosistem perairan.
Komitmen tidak menggunakan songko bermesin dalam mengumpulkan
kerang Hal ini akan berkaitan dengan kelangsungan kehidupan
berbagai jenis kerang yang dimanfaatkan masyarakat. Cara kerja alat
tangkap ini dengan menggunakan mesin, hasil tangkapannya sangat
banyak

jika

dibandingkan

dengan

menggunakan

alat

tangkap

tradisional yang mereka sebut tongkah, berbagai jenis ukuran kerang


tertangkap melalui alat tangkap ini, sehingga dapat merusak sistem
kehidupan kerang.
53

Menjaga hutan bakau yang berada di kawasan pinggir pantai. nilai


kearifan yang terkandung karena perairan di sekitar bakau ini banyak
terdapat udang, ikan dan berbagai jenis kerang. Maka oleh sebab itu
masyarakat memandang tabu melakukan penebangan pohon bakau
atau mangrove yang berada di tepi pantai.

54

Anda mungkin juga menyukai