Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Penggunaan Als Als Utk Pengadaan DTM Berketelitian Tinggi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 7

Penggunaan Airborne Laser Scanning (ALS) untuk Pengadaan DTM Berketelitian Tinggi

Heri Sutanta Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Jl. Grafika no. 2, Yogyakarta, telp. 0274 902121, telp./faks. 0274 520226 email: herisutanta@ugm.ac.id
Abstrak Kebutuhan adanya Digital Terrain Model (DTM) yang berketelitian tinggi semakin meningkat. Salah satu teknik baru untuk pengadaan DTM berketelitian tinggi adalah dengan menggunakan Airborne Laser Scanning (ALS). Pihak pembuat alat dan perusahaan yang menggunakannya mengklaim bahwa ketelitian vertikal yang diperoleh berada pada level 15 cm. Tulisan ini akan membahas prinsip-prinsip dasar dari ALS, aspek operasionalnya, dan uji ketelitian yang dilakukan. Uji ketelitian dilakukan pada DTM kota Glanerburg Zuid, Belanda. Data pembanding yang digunakan adalah titik-titik ketinggian yang diperoleh dari pengamatan GPS metode Real Time Kinematic (RTK). DTM dan titik-titik ketinggian telah berada pada sistem tinggi yang sama, yaitu Amsterdam Height Datum (AHD). Hasil perbandingan antara 99 titik tinggi GPS dengan DTM dari ALS menunjukkan RMS yang sangat kecil, yaitu 15,4 cm. Kata kunci: DSM, DTM, Airborne Laser Scanning, ketelitian.

Pendahuluan
Airborne Laser Scanning (ALS) merupakan suatu teknologi baru yang menggunakan sinar laser, yang dibawa pada pesawat udara, untuk melakukan pengukuran jarak. Laser (Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation), didapatkan dengan melewatkan sinar dengan frekuensi tertentu ke sebuah prisma sehingga sumber cahaya yang relatif lemah dapat menempuh jarak yang jauh dengan sedikit reduksi. Pengukuran jarak dengan laser dengan ketelitian tinggi sebenarnya bukan merupakan teknologi yang baru. Hal yang baru dari ALS adalah bahwa sensor laser-nya diletakkan pada wahana yang bergerak. Sebelumnya laser digunakan untuk pengukuran dengan obyek dan sensor yang diam. Diluncurkannya satelit Global Positioning System memungkinkan ditentukannya posisi suatu wahana yang bergerak dengan ketelitian yang tinggi, dengan mengacu pada suatu sistem koordinat tertentu. Jika posisi sensor dapat ditentukan dengan ketelitian yang cukup tinggi, dan juga jarak dan sudut antara sensor dengan titik obyek di permukaan bumi, maka posisi obyek tersebut dapat juga ditentukan. Saat ini berbagai perusahaan pembuat alat ini mengklaim bahwa ketelitian yang didapatkan dari ALS sekitar 6 inchi ( 15 cm). Tingkat ketelitian seperti ini memungkinkan dibuatnya Digital Terrain Model (DTM) yang sangat teliti.

Pembuatan DTM merupakan aplikasi yang pertama dan paling banyak dari ALS. ALS dapat digunakan untuk memperoleh DTM untuk daerah terbuka maupun daerah yang yang memiliki banyak vegetasi (jenis tertentu). ALS dapat digunakan untuk daerah yang mempunyai vegetasi karena keampuannya merekam pantulan pertama dan terakhir dari sinyal yang dipancarkan ke permukaan bumi. DTM dari ALS banyak digunakan untuk memonitor daerah banjir. Aplikasi yang lain adalah dalam pembuatan model kota 3 dimensi (Batty, et.al., 2000; Ackermann, 1999). Karakteristik menarik dari ALS adalah dapat diaturnya frekuensi pancaran sinyal, yang memungkinkan diaturnya densiti titik tiap satuan luas tertentu. Densiti titik yang tinggi dapat digunakan untuk mendeteksi jaringan transmisi listrik tegangan tinggi. Di samping berbagai kelebihan tersebut, tentu saja terdapat kelemahan pada ALS. Data yang diperoleh dari ALS hanyalah data geometrik, tidak terdapat citra dari daerah yang dipetakan. Informasi tentang breaklines tidak dapat diperoleh langsung dari data hasil pengamatan. Biasanya dalam survei ALS selalu disertakan kamera video atau kamera non-metrik untuk mendapatkan citra daerah yang dipetakan, yang sangat penting pada saat proses pengolahan akhir. Pada bagian-bagian berikut akan diuraikan tentang deskripsi dari ALS, perbandingan dengan metode pembuatan DTM

yang lain, dan hasil uji ketelitian yang dilakukan penulis di kota Glanerburg Zuid, Belanda. Deskripsi Sensor Pada dasarnya sistem ALS terdiri atas komponen dari sistem sensor laser dan

komponen navigasi (gambar 1). Sistem sensor Laser fungsinya adalah untuk mendapatkan informasi jarak sensor terhadap permukaan tanah. Komponen navigasi digunakan untuk mendapatkan informasi posisi pesawat, dan sensor laser, terhadap suatu sistem referensi koordinat tertentu.

Laser Sensor System

Geometrical Relations

Sensor for absolute orientation determination

Rotating or oscillating mirror

Laser Sensor

GPS

INS

Angle between the laser beam and the nadir ()

Distance between the laser and the measured point (D)

Coordinates of the GPS antenna in WGS84 ref system (X,Y,Z)

Aircraft & laser sensor attitude Pitch angle Roll angle heading angle)

Gambar 1. Komponen dari ALS (sumber: Terra Imaging)

Komponen sistem sensor laser terdiri atas sensor laser dan cermin. Sensor laser melakukan pengukuran jarak antara sensor terhadap permukaan tanah. Pengukuran jarak ada yang menggunakan prinsip beda waktu dan ada yang menggunakan prinsip beda fase (Baltsavias, 1999b). Pada pengukuran jarak dengan prinsip beda waktu, maka

oleh panjang gelombang sinar laser yang digunakan dan foot print size. Ilustrasi berikut menunjukkan besarnya sudut divergence (diambil dari Baltsavias, 1999b).

t t R = c ; R = c ; 2 2

D untuk = 1064 nm, D = 10 cm; maka IFOVdiff = 0.026 mrad.


Frekuensi pemancaran pulsa sinar laser dan frekuensi penyiaman biasanya dapat diatur. Frekuensi pemancaran pulsa menunjukkan seberapa sering pulsa sinar laser dipancarkan dari alat pembangkitnya tiap satu detik. Sedangkan frekuensi penyiaman menunjukkan seberapa banyak garis penyiaman yang dapat dilakukan dalam satu detik. Pada sistem yang ada saat ini frekuensi pemancaran pulsa berkisar dari 2 kHz sampai dengan 25 kHz. Terdapat satu sistem yang mencapai 80 kHz (Ackermann, 1999). Kedua hal tersebut, ditambah dengan faktor ketinggian terbang dari atas permukaan tanah akan menentukan densiti titik tiap satu satuan luas tertentu. Dari ketinggian terbang 900 m 1000 m, bisa didapatkan densiti titik dari 1 titik tiap 25 m2 sampai dengan 20 titik tiap 1 m2. Jika dianalogikan dengan pengukuran teristris menggunakan rambu ukur, maka densitas titik 1 buah titik tiap 25 m2 akan sama dengan pendirian rambu ukur tiap luasan 5 x 5 m. Sedangkan densitas titik 20 buah titik tiap 1 m2 akan sama dengan pendirian rambu sebanyak 20 kali di daerah dengan luasan 1 x 1 m. Hal yang seperti ini tentu saja tidak mungkin dilakukan dalam survei konvensional, karena kendala waktu dan dana. Belum lagi untuk daerah-daerah yang medannya sulit, seperti tepi sungai, kawasan pesisir, dan sebagainya. Perbandingan dengan Teknik Pengadaan DTM yang lain Laser scanning merupakan teknologi terbaru dalam pengadaan DTM berketelitian tinggi. Sebelum munculnya teknologi ini, telah ada berbagai metode untuk pembuatan DTM berketelitian tinggi. Pada bagian ini akan disajikan perbandingan antara ALS dengan fotogrametri dan interferometri SAR (InSAR). Fotogrametri merupakan metode pembuatan DTM yang telah ada sejak lama. Prinsip utamanya adalah dengan memnggunakan foto udara stereo untuk mengekstrak ketinggian dari medan. Perkembangan terakhir adalah dengan penggunaan teknik fotogrametri digital, yang memungkinkan otomatisasi pembuatan DTM.

IFOVdiff = 2.44

R merupakan jarak antara sensor dan obyek yang diukur, c merupakan kecepatan cahaya, sedangkan t merupakan waktu tempuh sinyal. Karena sinyal menempuh perjalanan dari sensor ke obyek, dan kembali lagi ke sensor, maka faktor 2 harus dimasukkan. Pengukuran waktu tempuh sinyal dapat dilakukan sampai mendekati level 10-10 detik (Ackermann, 1999). Cermin digunakan untuk memantulkan sinyal dari pembangkit laser ke permukaan tanah. Ada dua jenis cermin yang digunakan yaitu rotating dan oscilating mirror, dengan pola pantulan yang masing-masing (gambar 2).

i ii a b iii

Gambar 2. Pola data hasil scanning dengan oscillating mirror (a), dan rotating mirror (b). Arah panah menunjukkan arah terbang. Terdapat beberapa pendefinisian tentang satu garis penyiaman (scan line), yaitu i, ii, dan iii. Yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan tentang definisi satu garis penyiaman dalam data hasil scanning dengan oscillating mirror. Karakteristik lain dari sensor laser yang adalah panjang gelombang dari sinar laser yang digunakan, divergence angle, ukuran pulsa sinar laser di permukaan tanah (foot print size), frekuensi pemancaran pulsa, frekuensi penyiaman. sudut penyiaman Sudut divergence merupakan sudut yang terbentuk antara 2 kali pemancaran pulsa sinar laser yang berurutan. Sudut ini ditentukan

InSAR menggunakan prinsip beda fase pada backscatter data radar yang diperoleh dari dua buah antena yang posisinya berbeda. Pada kasus spaceborne SAR posisi antena yang berbeda didapatkan dari pengamatan repeat pass, dan tandem mode (ERS-1 dan ERS-2). Pada airborne SAR (ada yang menyebut dengan istilah AIRSAR) posisi antena yang berbeda didapatkan dengan menggunakan dua buah antena penerima yang jaraknya terpisah sekitar 1 m. Kedua antena akan menerima sinyal pantulan dari obyek di permukaan bumi dalam waktu yang berbeda, sehingga didapatkan beda fase. Perbandingan antara ALS dan fotogrametri dapat dilihat, misalnya di Baltsavias (1999a), sedangkan perbandingan antara ALS dan INSAR dapat dilihat di Brugelmann (2001). Persamaan umum dari ketiga metode di atas adalah kemampuannya untuk menghasilkan DTM dengan metode yang sebagian besar bersifat otomatis. Perbedaan antara fotogrametri dengan ALS adalah bahwa fotogrametri merupakan sistem penginderaan jauh pasif, sedangkan ALS (dan INSAR) merupakan sistem penginderaan jauh aktif. Fotogrametri merupakan sensor linear dengan perpekstif geometri, sedangkan ALS merupakan sensor titik dengan geometri polar. INSAR menggunakan geometri pandang samping. Pada fotogrametri, koordinat 3D didapat dengan metode tidak langsung, sedangkan pada ALS dan INSAR didapat dengan metode langsung. Fotogrametri memiliki kelebihan untuk mendapatkan citra dengan kualitas yang tinggi, serta dapat pula dalam format multispektral. InSAR dapat juga menghasilkan citra dengan kualitas yang lebih rendah dari foto udara. Pada ALS tidak didapatkan adanya citra. Kelebihan ALS adalah kemampuanya untuk melihat obyek yang ukurannya lebih kecil dari ukuran footprint-nya. Karena ALS dan INSAR merupakan penginderaan jauh sistem aktif, maka survei dapat dilakukan siang atau malam, dengan pengaruh awan dapat dikatakan sangat minimal. Fotogrametri hanya dapat dilakukan pada siang hari pada kondisi cuaca yang bagus. Dari sisi DTM yang dihasilkan, Baltsavias (1999a) menyatakan bahwa untuk tinggi terbang yang identik, yang berkisar dari 400 1000 m, akurasi dari fotogrametri masih sedikit lebih baik dari ALS. Pada tinggi terbang yang lebih dari 1000 m, akurasi dari ALS diprediksikan lebih baik dari fotogrametri. Namun demikian belum ada publikasi penelitian yang demikian.

Akurasi vertikal ALS yang sangat tinggi (2-5 kali lebih baik dari akurasi horisontal), mengindikasikan bahwa hasilnya didapat dari daerah yang datar. Kraus & Pfeifer (1998) menyatakan bahwa dengan meningkatnya kemiringan dan kekasaran permukaan, maka akurasi tinggi dari ALS akan menurun. Satu kelebihan utama dari ALS adalah kemampuannya untuk menghasilkan DTM pada daerah yang bervegetasi, hal yang sulit didapatkan dari fotogrametri dan INSAR. Pulsa sinar dari laser sebagaian masih dapat menembus celah-celah dedaunan, dan pantulan baliknya dapat diterima kembali oleh sensor. Penelitian ini banyak dilakukan di Eropa dan Amerika utara dimana jenis pohon dan hutannya memiliki lebar dan kerapatan daun yang berbeda dengan di daerah tropis. Dibandingkan dengan INSAR, maka penelitian dari Brugelmann dan de Lange menunjukkan bahwa hasil dari ALS sangat baik. DEM dari INSAR yang diuji memiliki grid sebesar 1 m, sedangan densitas titik untuk ALS sebesar 10-16 titik/m2. Ketelitian tinggi dari INSAR DEM yang mereka punyai memiliki pergeseran sistematik sebesar 7 cm, dengan standar deviasi 37 cm. Sedangkan pada ALS, pergeseran sistematiknya sebesar 3 cm, dengan standar deviasi 4 cm. Studi Kasus: DTM Glaneburg Zuid Data yang digunakan untuk studi kasus ini berupa DTM untuk kota Glanerburg Zuid, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah timur Enschede, beberapa km dari Jerman. DTM yang digunakan diperoleh dari Survey Department, Ministry of Transport, Public Works and Water Management Belanda. Tutupan lahan di daerah tersebut meliputi daerah terbuka dengan rerumputan, tubuh air (danau), daerah permukiman dengan taman dan pagar hidup, serta infrastruktur jalan Foto udara dan Digital Surface Model (DSM) dari area penelitian ditampilkan di gambar 3 dan 4.

ketelitian posisi yang didapatkan mencapai level cm. Secara keseluruhan 109 buah titik direkam. Titik-titik tersebut terletak di pinggir danau (sebanyak 25 buah) dan di daerah perumahan (sebanyak 84 buah). Titik-titik yang di daerah perumahan terletak di tengah jalan, di pinggir pagar dan pinggir rumah. Titik-titik GPS tersebut kemudian diolah secara post-processing. Referensi tinggi yang digunakan disamakan dengan DTM laser scanning, yaitu Amsterdam Height Datum (AHD). Hasil perhitungan perbedaan tinggi antara titik GPS dan DTM laser scanning ditunjukkan dalam tabel 1 berikut. Tabel 1. Perbedaan tinggi antara titik-titik GPS dan DTM laser scanning. Perbedaan tinggi Gambar 3. Foto udara lokasi penelitian. Minimum (m) Maksimum (m) Standar deviasi (m) Terbuka (25 titik) 0.084 -0.134 0.058 Perumahan (84 titik) -0.136 1.874 0.342

Gambar 4. Digital Surface Model lokasi penelitian. Sebagai data pembanding diputuskan menggunakan data hasil pengamatan dengan GPS metode Real Time Kinematic (RTK). Digunakan dua buah receiver GPS, satu sebagai stasiun referensi, dan yang lain sebagai rover receiver. Receiver GPS yang digunakan adalah dari Leica tipe 500. Receiver referensi dipasang di belakang gedung ITC yang berjarak 2 km. Komunikasi antara rover dan reference dilakukan dengan menggunakan komunikasi radio. Pada saat awal pengamatan ternyata terdapat gangguan, sehingga sinyal dari stasiun referensi tidak dapat digunakan. Akhirnya digunakan stasiun referensi lain yang terletak di Jerman, dengan menggunakan GSM sebagai sarana komuikasi. Posisi tiap titik pengamatan direkam sesudah controller memberitahukan bahwa

Di daerah rerumputan (daerah terbuka), perbedaan tinggi yang ada ternyata kurang dari 15 cm. Di daerah perumahan, didapatkan perbedaan tinggi dari GPS dan DEM laser yang nilainya lebih besar dari pada daerah terbuka. Terdapat 1 titik yang perbedaan tingginya mencapai 187 cm, dan beberapa titik lain yang perbedaannya mencapai 50 cm. Terdapat 10 buah titik yang perbedaan tingginya lebih dari 50 cm. Titiktitik GPS tersebut kemudian ditumpangtindihkan dengan visualisasi 3D dari lokasi penelitian. Hasilnya menunjukkan bahwa titik-titik tersebut terletak di dekat rumah atau pagar rumah. Rumah-rumah di daerah penelitian kebanyakan memiliki pagar hidup yang terdiri atas pohon-pohon perdu yang berdaun rapat. Tampaknya data yang diteliti masih berupa Digital Surface Model (DSM), belum direduksi menjadi elevasi permukaan tanah saja. Titik-titik ini disimpulkan merupakan outliers, yang kemudian dicoba dihilangkan dari proses perhitungan. Dari semula 84 titik, menjadi 74 titik yang digunakan. Standar deviasi untuk daerah perumahan adalah yang semula 34.2 cm, menjadi 16.2 cm. Ketika 10 titik yang merupakan outliers tersebut dihilangkan dari perhitungan RMS untuk seluruh daerah penelitian, maka RMS-nya pun menjadi sangat baik, dari 31,6 menjadi 15,4 cm. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat ketelitian yang dinyatakan oleh perusahaan pembuat sensor dapat dibuktikan dengan penelitian independen.

Penutup Telah dipaparkan berbagai aspek yang berhubungan dengan airborne laser scanning (ALS). Teknologi ini sudah sampai pada tahap operasional di USA dan Canada, serta Eropa Barat. Salah satu kendala dalam penggunaannya di Indonesia adalah masih mahalnya biaya operasionalnya. Namun demikian teknologi ini menjanjikan berbagai hal yang sangat menarik, terutama dari sisi ketelitian DTM yang diperoleh, yang mencapai 15 cm. Tingkat ketelitian ini pun telah dibuktikan oleh berbagai penelitian indenpenden. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mr. Gerrit Huurneman, M.Sc. dan Mr Gerrard Reining dari Remote Sensing Group, International Institute for Geo-information Science and Earth Observation (ITC), Enschede, the Netherlands. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mounira, Daisy Cusi, Charles Luhega, dan Garcia Abal. Referensi Ackermann, F., 1999, Airborne Laser Scanning-present status and future expectations, ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing 54 (1999), pp. 64-67. Baltsavias, EP., 1999a, A Comparison between photogrammetry and laser scanning, ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing 54 (1999), pp. 83-94. Baltsavias, EP., 1999b, Airborne Laser Scanning: basic rel;ations and formulas, ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing 54 (1999), pp. 199 - 214. Batty, M., et.al., 2000, Visualizing the City: Communicating Urban Design to Planners and Decision-Makers, Working Paper nr. 26, Centre for Advanced Spatial Analysis, University College London, London. Brugelman, R., Remco de Lange, 2001, Airborne lasercanning versus airborne InSAR a quality comparison of DEMs, OEEPE Workshop on Airborne Laserscanning and Interferometric SAR, Stockholm. Coombe, L.J., 1997, The Implication of GPS Data Loss on Real Time Digital Terrain Modelling, the Australian Surveyor. Crombaghs, M.J.E., Brugelman, R., E.J. de Min, 2000, On the Adjustment of Overlapping Strips of the

Laseraltimeter Height Data, IAPRS, Vol. XXXIII, Amsterdam. Fowler, RA., 1999, The Lowdown on LIDAR, Earth Observation Magazine, 1999.

Anda mungkin juga menyukai