Bulan Muharram - Amrul
Bulan Muharram - Amrul
Bulan Muharram - Amrul
DAN
BEBERAPA HAL YANG TERKAIT
D
I
S
U
S
U
N
O
L
E
H
TAHUN 2024
BULAN MUHARRAM DAN BEBERAPA HAL YANG TERKAIT
1. DEFENISI
Kata Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa
berkata, “Dinamakan bulan Muharram karena peperangan(jihad) diharamkan pada
bulan tersebut”(1); jika saja jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi
terlarang pada bulan tersebut maka hal ini bermakna perbuatan-perbuatan yang
secara asal telah dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan pengharaman
untuk lebih dihindari secara khusus pada bulan ini. Pada bulan ini Allah melarang
umatnya untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Seperti misalnya
berperang, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang kuraisy sebelum
datangnya agama Islam.
Dalam tanggalan Islam atau Tahun Hijriah, awal bulan dinamai dengan
Muharram. Awal bulan ini ternyata memiliki makna tersendiri bagi umat Islam dan
banyak keutamaan di belakangnya.
Seperti yang dijelaskan Pengurus Lembaga Dakhwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Ustadz Fauzan Amin, dalam menyambut awal tahun ini, umat Islam disunnahkan
membaca doa awal tahun yang bertujuan agar Allah SWT melindungi kita semua
dalam segala urusan.
Ustadz Fauzan juga menuturkan bahwa bulan Muharram itu memiliki
maknanya sendiri. Jika merujuk pada arti kata, Muharram secara bahasa berarti
diharamkan. Maksudnya adalah salah satu bulan dari dari empat bulan yang
diharamkan Allah SWT untuk melakukan peperangan. Dia menjelaskan, menurut
Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa, ada makna lain dari Muharram ini. “Dinamakan bulan
Muharram karena peperangan (jihad) diharamkan pada bulan tersebut, jika saja
hukum awal jihad disyariatkan, maka khusus bulan tersebut Allah SWT
mengharamkannya. Diharamkan pula mendzolimi diri sendiri dengan perbuatan
dosa, Allah SWT berfirman:
إمس َم َو ِإت َو ْ َإْل ْر َض ِم ْْنَا َّ إَلل ي َ ْو َم َخلَ َقِ َّ ََش َشه ًْرإ ِِف ِك َت ِاب َ َ إَلل إثْنَا غ ِ َّ َإمشه ُِور ِغ ْند ُّ إ َّن ِػ َّد َة
ِ
ِْ َأ ْرب َ َؼ ٌة ُح ُر ٌم َذ ِ َِل إ ّ ِل ُين إمْلَ ِ ّ ُِي فَ ََل ت َْظ ِل ُموإ ِف ِهي َّن َأهْ ُف َس ُ ُْك َوكَا ِتلُوإ إمْ ُم
َش ِك َني ََكف َّ ًة َ ََك يُلَا ِتلُونَ ُ ُْك ََكف َّ ًة
إَلل َم َع إمْ ُمتَّ ِل َني
َ َّ َوإ ْػلَ ُموإ َأ َّن
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin
itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (Q.S. at Taubah :36).
Sejarah kalender Tahun Baru Islam diawali ketika Gubernur Abu Musa Al-
Asyari mengirimkan surat kepada Khalifah Umar Bin Khattab pada tahun 17
Hijriah. Tujuannya untuk mengungkapkan kebingungannya perihal surat yang tidak
memiliki tahun.
Pada masa itu, umat Muslim masih mengadopsi peradaban Arab pra-Islam
dalam menggunakan penanggalan yaitu menuliskan sebatas bulan dan tanggal
tanpa tahun di dalamnya. Hal tersebut menyulitkan sang Gubernur saat melakukan
pengarsipan dokumen. Atas keresahan tersebut, muncul gagasan awal untuk
menetapkan kalender Islam.
Menindak lanjuti surat dari Abu Musa al-Asy'ari, Khalifah Umar memanggil Ali bin
Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf RA, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam RA,
Sa'ad bin Waqqas, serta Thalhan bin Ubaidillah sebagai tim yang bertugas
penyusunan kalender Islam.
Selain itu, ada juga yang mengusulkan di tahun pengangkatan menjadi Rasul, hingga
muncul opsi di tahun hijrah Rasulullah ke Madinah yang disampaikan oleh Ali bin
Abi Thalib. Usulan peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah disepakati
sebagai penanda awal Tahun Baru Islam sebab hijrah merupakan momen
transformasi dakwah Islam besar-besaran.
Namun, usulan ini ditolak. Khalifah Umar justru memilih bulan Muharram sebagai
bulan pertama dalam susunan tahun Hijriyah. Pendapat ini didukung pula oleh
Utsman bin Affan.
Alasan lain pemilihan bulan Muharram adalah meskipun hijrah dilakukan di bulan
Rabi' al-Awwal, akan tetapi permulaan Hijrah dimulai sejak bulan Muharram.
Khalifah Umar mengatakan, wacana hijrah dimulai setelah beberapa sahabat
membaiat Nabi, yang dilaksanakan pada penghujung bulan Zulhijah.
Adapun bulan yang muncul setelah Zulhijah yaitu bulan Muharram. Oleh sebab itu,
Muharram dipilih serta disepakati menjadi bulan pembuka dalam tahun Hijriyah
3. DALIL-DALIL
Hal ini tertulis dalam Al-Quran Surah At-Taubah ayat 36 sebagai berikut:
2. Bulan Allah
Keistimewaan bulan Muharram yang kedua yakni bulan Muharram disebut
sebagai bulan Allah (Syahrullah). Hal ini karena bulan Muharram memiliki
keutamaan lebih dibanding dengan bulan-bulan lainnya.
Menurut Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, kelebihan bulan Muharram terletak pada
namanya yang islami dibandingkan nama bulan Hijriyah lainnya. Nama bulan
Hijriyah selain Muharram merupakan nama bulan yang dipakai pada masa
jahiliah.
Adapun bulan Muharram pada era masyarakat jahiliah dinamai bulan Shafar
Awwal. Sedangkan bulan setelah Muharram disebut bulan Shafar Tsani. Ketika
Islam datang, Allah menyebut Shafar Awwal dengan bulan Muharram yang
dinisbatkan dengan asma-Nya.
َو َج َؼ َل، و َغظم ُح ُرماهتن،ُ َُّث إ ْخ َت َّص ِم ْن َذ ِ َِل َأ ْرب َ َؼ َة َأ ْشهُ ٍر فَ َج َؼلَه َُّن َح َرإ ًما
إمطا ِم َح َو ْ َإْل ْج َر َأغ َْظ َم
َّ َوإمْ َؼ َم َل،إ ََّّله َْب ِف ِهي َّن َأغ َْظ َم.
Artinya: Allah SWT mengkhususkan empat bulan haram dari 12 bulan yang ada,
bahkan menjadikannya mulia dan istimewa, juga melipatgandakan perbuatan
dosa disamping melipatgandakan perbuatan baik.
Hari Asyura merupakan hari ke sepuluh bulan Muharram yang paling istimewa
dalam bulan mulia tersebut. Pada hari Asyura terjadi banyak peristiwa penting
dan bersejarah.
Di hari Asyura atau hari ke-10 bulan Muharram, umat muslim dianjurkan untuk
melaksanakan puasa. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim dikatakan bahwa
berpuasa pada 10 Muharram dapat menghapuskan dosa setahun sebelumnya.
Berikut ini bunyi haditsnya:
Ketika tanggal 1 Suro tiba, masyarakat Jawa akan melaksanakan ritual untuk
menyambut kedatangan Bulan Muharram yang dalam penanggalan Jawa disebut
dengan Bulan Suro atau Suran. Masyarakat Jawa telah melaksanakan tradisi ini
sejak Zaman Mataram Islam di masa pemerintahan Sultan Agung. Kalender Jawa
lahir di masa pemerintahan sang raja dan bermula dari tahun Saka agama Hindu
yang kemudian disesuaikan dengan Tahun Baru Islam Hijriah, tepatnya pada tahun
1633 M atau 1555 dalam kalender jawa.
Malam 1 Suro memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Jawa. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena masyarakat Jawa memandang nilai-
nilai spiritual dan mistik ada dalam pergantian tahun baru Jawa dan ini mereka
jadikan
Kedua, masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa malam satu suro
merupakan malam keramat atau sakral, apalagi jika bertepatan dengan hari Jumat.
Sebab secara kasat mata, dalam Bulan Suro terdapat momen di mana seluruh
gerbang gaib terbuka. Pergantian tahun dianggap waktu bertemunya dunia gaib
dan dunia manusia dalam kosmologi orang Jawa. Untuk itu, banyak masyarakat
Jawa yang melakukan interaksi khusus dengan makhluk gaib sesuai kepercayaan
mereka, sehingga dijuluki sebagai bulan keramat.
Ketiga, Bulan Suro bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai bulan prihatin. Oleh
karenanya, tidaklah tepat menggelar pesta di bulan prihatin, karena diyakini akan
berakibat tidak baik jika dilanggar. Demi mendapat keselamatan pada Bulan Suro,
alih-alih menggelar pesta, masyarakat Jawa lebih dianjurkan untuk menggelar
tirakatan atau mendekatkan diri kepada Tuhan.
Mengutip laman Berita Magelang, Budayawan Ahmad Tohari menyebut bahwa
Bulan Suro dianggap bulan prihatin oleh masyarakat Jawa lantaran terkait dengan
tragedi Karbala yang menewaskan cucu kesayangan Nabi Muhammad Saw, yakni
Husain Ali bin Abi Thalib. Akibat peristiwa tersebut kemudian larangan menggelar
hajatan pada Bulan Suro muncul, sebagai bentuk penghormatan atas meninggalnya
dua cucu kesayangan Rasulullah Saw.
6. MENIKAH DI BULAN MUHARRAM DALAM PANDANGAN ISLAM
Melalui Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36, Allah menerangkan bahwa ada 12
bulan yang hadir dalam kehidupan manusia di dunia. Di antara ke-12 bulan itu,
terdapat 4 bulan yang disebut sebagai bulan haram oleh-Nya. Keempat bulan
tersebut adalah Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab. Penafsiran ini sesuai
dengan apa hadis Rasul yang berbunyi:
Ilustrasi pernikahan.
“Sesungguhnya zaman ini telah berjalan (berputar), sebagaimana perjalanan
awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun ada 12
bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan,
yaitu Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharram. Kemudian Rajab yang berada di antara
Jumadil (Akhir) dan Syaban.” (HR Bukhari dan Muslim)
Meski demikian, bukan berarti bulan selain Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan
Rajab adalah bulan tidak baik. Pada intinya semua waktu baik bagi kita, dan kita
bisa melangsungkan hajat apa pun setiap harinya, termasuk pernikahan. Dalam
syariat Islam, tak ada hari tertentu yang dilarang untuk melangsungkan pernikahan.
Dalam syariat Islam tidak ada nash yang membahas tentang penentuan hari, bulan,
dan tahun tertentu untuk melaksanakan pernikahan, baik itu dari Al-Qur’an
maupun hadis.
Selain itu, tidak ada pula nash yang melarang seseorang melangsungkan
pernikahan di bulan-bulan tersebut. Sebab, pernikahan merupakan sunatullah yang
sangat dianjurkan oleh Allah Swt sebagaimana tercantum dalam surah An-nur ayat
32. Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah Saw juga menganjurkan umatnya untuk
melaksanakan pernikahan apabila umat muslim telah memiliki kemampuan untuk
melakukannya.
Apabila Allah dan Rasul-Nya telah menentukan hukum sesuatu secara jelas.
Baik itu wajib, sunah, haram, makruh, maupun mubah dan juga telah dijelaskan
batasan serta rinciannya, maka kewajiban kita adalah berpegangan padanya
sebagai penentu syariat. Sedangkan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
mensyariatkan sesuatu, sementara batasan dan penjelasan detailnya tidak
disebutkan secara tegas, maka dalam masalah seperti ini, al-‘urf atau adat dan
kebiasan yang telah populer di masyarakat bisa dijadikan pedoman.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk melangsungkan pernikahan
dalam agama Islam tak perlu menunggu waktu, seperti hari, bulan, atau tahun
tertentu. Dan menurut pandangan Islam, menikah di Bulan Suro atau Muharram
tidak dilarang, alias diperbolehkan.
Dalam syarat dan rukun pernikahan yang tercantum dalam hukum Islam
ataupun dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga
tidak menyebutkan bahwa melakukan pernikahan harus dilakukan pada hari atau
bulan tertentu. Tidak disebutkan pula ada larangan melakukan pernikahan pada
waktu-waktu tertentu. Jadi, melakukan pernikahan boleh dilaksanakan kapan pun
termasuk pada Bulan Suro atau Bulan Muharram.
2. Do’a Zikir
Setelah melaksanakan shalat isya berjamaah, dipimin oleh seorang Imam atau
orang yang di tunjuk olh imam untuk berkumpul di suatu tempat (biasanya di
halaman masjid), kemudian mulailah jamaah beserta sang imam membacakan
kafiat dan beberapa kali Suratul Fatihah. Adapun Fatihah tersebut biasanya
ditujukan pahala bacaannya kepada :
a. Yang pertama untuk Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan shahabatnya,
b. Muslimin Muslimat
c. Untuk hajat niat mengharapkan kampung bertambah berkah dan terhindar
dari segala hal-hal yang tidak di inginkan