Wali Songo
Wali Songo
Wali Songo
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) berperan penting dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, khususnya
Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah pendiri dinasti kesultanan Banten yang dimulai dengan putranya, Sultan Maulana
Hasanudin. Pada tahun 1527, Sunan Gunung Jati menyerang Sunda Kelapa di bawah pimpinan panglima perang
Kesultanan Demak, Fatahillah.
Sunan Gunung Jati merupakan sosok yang cerdas dan tekun dalam menuntut ilmu. Karena kesungguhannya, ia diizinkan
ibunya untuk menuntut ilmu ke Makkah. Di sana, dia berguru pada Syekh Tajudin Al-Qurthubi. Tak lama kemudian, ia
lanjut ke Mesir dan berguru pada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili, ulama bermadzhab Syafi’i. Di sana, Sunan
Gunung Jati belajar tasawuf tarekat syadziliyah.
Setelah diarahkan oleh Syekh Ataillah, Syarif Hidayatullah memutuskan pulang ke Nusantara untuk berguru pada Syekh
Maulana Ishak di Pasai, Aceh. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan ke Karawang, Kudus, sampai di Pesantren
Ampeldenta, Surabaya. Di sana, ia berguru pada Sunan Ampel.
Sunan Gunung Jati lantas diminta untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon dan menjadi guru
agama. Ia menggantikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung Sembung. Setelah masyarakat Cirebon banyak yang memeluk
agama Islam, Syarif Hidayatullah lantas lanjut berdakwah ke daerah Banten.
Selama berdakwah di Cirebon, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Pakungwati, putri dari Pangeran Cakrabuana atau
Haji Abdullah Iman, penguasa Cirebon saat itu. Di sana, ia mendirikan sebuah pondok pesantren, lalu mengajarkan
agama Islam kepada penduduk sekitar. Para santri di sana memanggilnya dengan julukan Maulana Jati atau Syekh Jati.
Selain itu, ia juga mendapatkan gelar Sunan Gunung Jati karena berdakwah di daerah pegunungan.
Suatu ketika, Sunan Ampel diberi tanah oleh Prabu Brawijaya di daerah Ampel Denta. Ia lantas mendirikan sebuah
masjid. Di sana, masjid tersebut dijaga oleh Mbah Sholeh. Ia sangat terkenal sebagai orang yang selalu menjaga
kebersihan. Hal itu juga diakui oleh Sunan Ampel. Hingga suatu hari, Mbah Sholeh meninggal dunia. Ia lantas
dimakamkan di samping masjid.
Sepeninggal Mbah Sholeh, Sunan Ampel tak kunjung menemukan pengganti penjaga masjid yang serajin Mbah Sholeh.
Akibatnya, masjid tak terurus dan kotor. Sunan Ampel kemudian bergumam, “Seandainya Mbah Sholeh masih hidup,
pasti masjidnya jadi bersih.”
Seketika itu pula sosok serupa Mbah Sholeh muncul. Ia lantas menjalankan rutinitas yang biasa dilakukan Mbah Sholeh,
namun tak lama kemudian meninggal lagi dan dimakamkan persis di samping makam Mbah Sholeh. Peristiwa itu
terulang hingga sembilan kali. Konon, Mbah Sholeh baru benar-benar meninggal setelah Sunan Ampel meninggal dunia.
Metode dakwah dari Kanjeng Sunan Ampel terkenal dengan keunikannya dimana ia melakukan upaya akulturasi dan
asimilasi dari aspek budaya pra-Islam dengan Islam, baik melalui jalan sosial, budaya, politik, ekonomi, mistik, kultus,
ritual, tradi keagamaan, maupun konsep sufisme yang khas untuk merefleksikan keragaman tradisi muslim secara
keseluruhan yang dibahas pada buku Mazhab Dakwah Wasathiyah Sunan Ampel.
Sunan Gresik diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke 14. Ia merupakan guru para wali lainnya. Sunan Gresik
berasal dari keluarga muslim yang taat. Kendati ia belajar agama Islam sejak kecil, namun tidak diketahui siapa saja
gurunya hingga ia menjadi ulama.
Pada abad ke-14, Sunan Gresik ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam ke Asia Tenggara. Ia berlabuh di Desa
Leran, Gresik. Saat itu, Gresik merupakan bandar kerajaan Majapahit. Tentu saja masyarakat saat itu banyak yang
memeluk agama Hindu dan Buddha. Di Gresik, ia menjadi pedagang dan tabib. Di sela-sela itu, ia berdakwah.
Sunan Gresik berdakwah melalui perdagangan dan pendidikan pesantren. Pada awalnya, ia berdagang di tempat terbuka
dekat pelabuhan agar masyarakat tidak kaget dengan ajaran baru yang dibawanya. Sunan Gresik berhasil mengundang
simpati masyarakat, termasuk Raja Brawijaya. Akhirnya, ia diangkat sebagai Syahbandar atau kepala pelabuhan.
Tidak hanya jadi pedagang andal, Sunan Gresik juga berjiwa sosial tinggi. Ia bahkan mengajarkan cara bercocok tanam
kepada masyarakat kelas bawah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh ajaran Hindu. Karena strategi dakwah
inilah, ajaran agama Islam secara berangsur-angsur diterima oleh masyarakat setempat.
Sebab, ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit. Sunan Bonang menyebarkan ajaran
agama Islam dengan cara menyesuaikan diri terhadap corak kebudayaan masyarakat Jawa. Seperti diketahui, orang Jawa
sangat menggemari wayang dan musik gamelan. Karena itulah, Sunan Bonang menciptakan gending-gending yang
memiliki nilai-nilai keislaman.
Setiap bait lagu ciptaannya diselingi ucapan dua kalimat syahadat sehingga musik gamelan yang mengiringinya kini
dikenal dengan istilah sekaten. Grameds dapat membaca kisah hidup Sunan Bonang serta ajaran spiritualnya melalui
buku Sunan Bonang Kisah Hidup Sejarah Karomah & Ajaran Spiritual oleh Asti Musman dibawah ini.
Sunan Giri pernah belajar di pesantren Ampel Denta, melakukan perjalanan haji bersama Sunan Bonang. Sepulangnya
dari haji, ia singgah di Pasai untuk memperdalam ilmu agama. Saat itu, Sunan Giri mendirikan sebuah pesantren di
daerah Giri. Kemudian, ia mengirimkan banyak juru dakwah ke berbagai daerah di nusantara.
Sunan Giri juga dikenal sebagai sang ahli tata negara. Bagaimana kisah hidup seorang Sunan Giri? Pelajari hal tersebut
melalui buku Sunan Giri: Sang Ahli Tata Negara yang bisa kamu dapatkan hanya di Gramedia.
Sunan Drajat merupakan Wali Songo yang memiliki banyak nama, yaitu Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan
Muryapada, Raden Imam, dan Maulana Hasyim. Pada 1484, ia diberi gelar oleh Raden Patah dari Demak, yaitu Sunan
Mayang Madu. Pelajari kisah hidup seorang Sunan Drajat melalui buku Sunan Drajat: Merantau Untuk Berdakwah.
Ketika Sunan Drajat datang ke Desa Banjaranyar, Paciran, Lamongan, ia mendatangi pesisir Lamongan yang gersang
bernama Desa Jelak. Masyarakat sekitar masih menganut agama Hindu dan Buddha. Di desa tersebut, Sunan Drajat
membangun mushola untuk beribadah dan mengajarkan agama Islam.
Selain itu, Sunan Drajat juga membangun daerah baru di dalam hutan belantara. Ia mengubahnya menjadi daerah yang
berkembang, subur, serta makmur. Daerah tersebut bernama Drajat, oleh sebab itu ia diberi gelar Sunan Drajat.
Membaurnya Sunan Muria dengan masyarakat dikenal dengan istilah “topo ngeli”. Artinya, menghanyutkan diri dalam
masyarakat. Sunan Muria berdakwah dengan metode tersebut hingga ke Gunung Muria.
Sunan Muria sendiri berasal dari nama Gunung Muria dimana tempat beliau berdakwah, mendirikan masjid dan
pesantren, serta tempat beliau dimakamkan kelak. Pelajari kisah hidup beliau secara lengkap melalui buku Sunan Muria:
Pendakwah Dari Gunung Muria.
Selain itu, ia juga berdakwah lewat kesenian seperti gamelan, wayang, dan tembang jawa. Ajaran Sunan Muria meliputi
penghayatan kebenaran dan ketaatan pada Allah SWT, wirid, kesederhanaan, kedermawanan, dan ajaran dakwah secara
bijak dalam menghadapi budaya masyarakat yang dianut.
Karena dakwahnya, ada beberapa hasil kesenian peninggalan Sunan Muria yang masih bisa dipelajari hingga saat ini. Di
antaranya tembang Kinanthi dan Sinom. Tembang Kinanthi terkenal karena menceritakan tentang bimbingan dan kasih
sayang orang tua kepada anaknya.
Hal ini dikarenakan beliau merupakan panglima serta pemimpin peperangan menggantikan ayahnya yang dapat Grameds
temukan pada kisah hidupnya dalam buku Sunan Kudus: Sang Panglima Perang.
Sunan Kudus merupakan putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan, dekat Blora.
Selain belajar agama kepada ayahnya, Sunan Kudus juga belajar kepada beberapa ulama terkenal, seperti Kiai
Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Setelah menimba ilmu agama dari Kyai Telingsing, Sunan Kudus mewarisi ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar
atau meraih cita-cita. Selanjutnya, Sunan Kudus juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun
lamanya.
Perjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan para wali lainnya.
Ia senantiasa menempuh jalan kebijaksanaan. Dengan siasat dan taktik itu, masyarakat dapat diajak memeluk agama
Islam.
Saat itu, masyarakat di Kudus masih banyak yang belum beriman. Tentu saja bukan pekerjaan yang mudah untuk
mengajak mereka memeluk agama. Apalagi mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-
istiadat jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat dengan kondisi seperti itulah Sunan Kudus harus berjuang
menegakkan agama.
Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga memperkenalkan bentuk wayang yang terbuat dari kulit kambing atau biasa dikenal
sebagai wayang kulit. Sebab, pada masa itu wayang populer dilukis pada semacan kertas atau wayang beber. Dalam seni
suara, ia menciptakan lagu Dandanggula.
Selain itu, Sunan Kalijaga juga memiliki cara yang unik saat menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Ia berhasil
mengenalkan ajaran agama Islam dengan memadukan budaya Jawa seperti wayang. Bahkan, Sunan Kalijaga juga
mengarang sebuah tembang Jawa yang sangat terkenal sampai saat ini, yaitu Ilir-Ilir.
00000000000000000000000000000000
000WALI SONGO
Nama : Falliza
Kelas : 4-d
No.Absen : 08