Makalah Hukum Islam
Makalah Hukum Islam
Makalah Hukum Islam
Disusun Oleh
Kelompok 4 :
Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan dan melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahNya kepada penulis
sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.
Mengingat kurangnya kemampuan dan keterbatasan penulis dalam
menyelesaikan makalah ini, penulis meyakini bahwa tugas ini tidak dapat terselesaikan
tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Atas bimbingan dan bantuan
tersebut tiada yang dapat penulis ucapkan selain ucapan terima kasih kepada : Allah
SWT yang telah memberikan hikmat, sehat dan segala barokah-Nya. Seluruh pihak
yang membantu yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Demikian penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis
mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat bagi kita
semua. Semoga makalah ini dapat kita ambil manfaatnya bersama, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi para pembaca.
Wasalamualaikum wr.wb
1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 2
A. Kesimpulan..................................................................................................... 9
B. Kritik dan Saran .............................................................................................. 9
2
BAB I
PEMBUKAAN
3
1.3 Tujuan Penulis
Mengetahui pengertian serta pembagian Hukum Islam atau Hukum Syar'i dan macam-
macam dari taklifi dan wadh'i.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa, hukum bermakna “ menetapkan sesuatu pada yang lain”, seperti
menetapkan haram pada yang khamar. Sedangkan menurut istilah para ulama’ ushul
fiqh, a.l Abu Zahrah (1958: 26) hukum adalah kitab syar’I yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh’i.
Yang dimaksud dengan kitab Syar’I adalah ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan Allah dan Rosul-Nya terhadap berbagai kegiatan mukallaf.Kitab Wadh’I
adalah ketentuan syar’I tentang perbuatan mukallaf yang mempengaruhi perbuatan
taklif. Baca juga: Filsafat Hukum Islam dan Ilmu-ilmu Shariah Metodologis.
5
Pembagian wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaan
a. Wajib muthlaq yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya,
dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia
mampu melaksanakannya. Contohnya wajib membayar kafarah sumpah,
tapi waktunya tidak ditentukan oleh syarat.
b. Wajib muaqqadYaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan
dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa
ramadhan. Wajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
c. Wajib muwassa’Yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban
itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu. Contohnya waktu shalat
lima waktu, shalat isya dari petang sampai subuh.
d. Wajib mudhayyaqYaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya
dengan kewajibanitu sendiri.Contohnyapuasaramadhanwaktu mulainya
dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
e. Wajib dzu syahnainiYaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu
tertentu dan waktunya mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan
mudhayyaq, yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan
waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
6
b. Wajib mukhayyar yaitu Wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh
kafarah sumpah.
2. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan itu dituntut
untuk dikerjakan, yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan oleh seorang
mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah SWT, dan apabila ditinggalkan
tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal dengan istilah “Nadb(sunah)”.
Contohnya: sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis, dll. Mandub (sunah)
dibagi menjadi dua yakni :
Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut. Sunah
terbagi dua, yaitu :
a. Sunah muak kadah Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping
ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu
hal yang fardhu.
b. Sunah ghairu muak kadah Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh
nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut.
7
ditetapkan oleh dalil-dalil zhanni disebut karahah tahrim. Contohnya: memakan
harta anak yatim, memakan harta riba,dll.
4. Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu
pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan
mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”. Contohnya:
merokok,dll.
8
seseorang kepada tujuan. Menurut terminologi, Imam al-Amidi, mendefinisikan
dengan sifat Zhahir yang dapat diukur yang ditunjukkan oleh dalil Sam’I (al-Qur’an
dan sunnah) bahwa keberadaannya sebagai pengenal bagi hukum syari’.
Sedangkan menurut Prof. DR. Rachmat Syafii, M.A dalam bukunya Ilmu Ushul
Fiqih, bahwa “sebab” menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan
kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu
tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan sari’ (syarat) sebagai tanda
dari hukum.
Pengertian ini menunjukan bahwa sebab sama dengan illat walaupun sebenarnya
ada perbedaan antara sebab dengan illat tersebut. Akan tetapi tidak setiap sebab
disebut illat.Jadi, sebab itu masih bersifat umum sedangkan illat itu sudah bersifat
khusus. Contoh dari adanya sebab sesuatu adalah sebagaimana Allah SWTberfirman
yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,… “ (QS. Al-
Maidah:6)
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syari’
untuk mengetahui hukum syariat tertentu, artinya hukum syariat tersebut akan muncul
jika al-sabab tersebut ada, sebaliknya hukum syariat akan hilang dengan tidak adanya
al-sabab tersebut. Seperti firman Allah SWT.dalamQS.al-Isra`: 78 yang artinya:
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” Dalam ayat tersebut diterangkan
bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur.
2. Syarat (al-Syarthu)
Syarat adalah sesuatu yang berada di luar hukum syari’, tetapi keberadaan hukum
syara’ bergantung kepadanya.Apabila syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada,
tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Contohnya seperti
ketika kita akan melaksanakan shalat, maka syarat yang harus dipenuhi adalah
berwudhu. Akan tetapi ketika kita berwudhu, kita tidak harus melaksanakan shalat.
Dilihat dari segi hubungannya dengan al-sabab dan al-musabbab, al-syarthu dibagi
menjadi dua macam:
Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-sabab, artinya al-syarthu menguatkan akan
makna sebab akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum tersebut. Sebagai
9
contoh, penjagaan harta benda adalah syarat untuk melaksanakan hadd dalam
pencurian.
Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-musabbab, artinya menguatkan hakikat al-
musabbab atau rukunnya. Sebagai contoh, menghadap kiblat menjadi syarat
sahnya salat.
3. Pencegah (Al-Mani’)
Definisi al-mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”.Secara
terminologi; sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum
atau penghalang bagi berfungsinya sesuatu sebab.Sebuah akad perkawinan yang sah
karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris
mewarisi.Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa terhalang disebabkan suami misalnya
membunuh istrinya. Macam-macam al-Mani’terbagi menjadi dua macam:
Mâni’ al-hukmi, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan suatu hukum syariat.
Seperti tidak berlakunya qishâsh bagi seorang ayah yang telah membunuh
anaknya.
Mani’ al-sabab, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan al-sabab yang telah
memunculkan suatu hukum syariat. Seperti mengurangi nisab dalam zakat yang
menjadi al-mâni’ dari kewajiban zakat.
4. Sah (Al-Shihhah)
Al-sihhah adalah suatu hukum yang sesuai dengan ketentuan syari’ yaitu
terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya, mengerjakan shalat duhur
setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudu (syarat), dan tidak ada
halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam
hal ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah.Daripenjelasan di atas bahwa
As-sihhah adalah apabila kita akan mengerjakan sesuatu dikatakan sah apabila sudah
ada sebab dan syarat itu terpenuhi, dan tidak ada penghalang dari kedua hal tersebut.
5. Batal (al-Buthlan)
Al-Buthlan adalah sesuatu yang dilakukan atau hal yang diadakan oleh orang
mukallaf yang tidak sesuai dengan tuntunan syara’ adalah tidak sah dan tidak
10
mempunyai akibat hukum, baik tidak sahnya itu karena cacat pada rukun, maupun
tidak terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan dan baik dalam soal ibadah, maupun
dalam soal mu’amalah.Maka atas dasar ini sebagian para ahli ushu ltidak
membedakan antara pengertian Bathil dan Fasid.
Jadi al-Buthlan adalah sesuatu perbuatan yang tidak disyariatkan oleh Islam, oleh
sebab itu segala perbuatan yang tidak disyariatkan Islam adalah batal, seperti
halnyamemperjualkan minuman keras dan narkoba. Akad ini dipandang batal, karena
minuman keras dan narkoba tidak bernilai harta dalam pandangan syara.
6. Al-‘Azimah
Secara etimologi, ‘azimah berarti al-iradah al-muakkidah atau al-qashdu al-
muakkid,yaitu keinginan yang kuat, akan tetapi Azimah adalah hukum-hukum yang
disyariatkan Allah kepada hamba-hambanya sejak semula. Jadi Azimah adalah
peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah sejak dulu (asli) yang berlaku umum.
Adapun secara terminologi ‘azimah berarti hukum syariat bagi seorang mukallaf yang
berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Seperti kewajiban salat, zakat, puasa, dan
lain-lain.Misalnya bangkai, menurut aslinya, adalah haram dimakan oleh semua orang
mukallaf.Akan tetapi bagi orang yang dalam keadaan terpaksa, ia diperkenankan
untuk memakannya, asal tidak berlebih-lebihan ataudengan maksud untuk menentang
ketentuan Allah. Haram memakan bangkai itu azimah, sedangkan boleh memakan
bangkai itu adalah rukhsah.
7. Al-Rukhshah
Al-rukhsah ialah ketentuan yang disyariatkan oleh Allah sebagai peringatan
terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus.Secara etimologi, rukhshah berarti
al-suhulah dan al-yusru, atau al-tashil dan al-taisir yang berarti memudahkan atau
meringankan. Adapun secara terminology, rukhshah adalah hukum syariat yang telah
ditetapkan oleh Syari’ sebagai peringanan beban bagi seorang mukallaf dalam kondisi
tertentu, atau hukum syariat yang ditetapkan karena adanya halangan atau
masyaqqah dalam keadaan tertentu.
11
Macam-macam Rukhshah diantaranya yakni :
Pembolehan sesuatu yang haram pada waktu darurat atau terpaksa. Seperti
makan bangkai atau makanan yang diharamkan syariat ketika dalam keadaan
sangat lapar, tidak ada makanan lain, dan takut akan kematian.
Pembolehan meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir
atau seorang yang sedang sakit di bulan ramadhan dikarenakan adanya
masyaqqah.
Pembolehan suatu akad muamalat yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti akad
jual beli pemesanan. Pada dasarnya akad jual beli pemesanan tidak
diperbolehkan, karena barang yang dibeli tidak ada ketika akad berlangsung.
Syâri’ telah membolehkannya karena adanya kebutuhan manusia dan telah
menjadi hukum kebiasaan yang telah berlaku.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Hukum syara' adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum
syara', maka yangdimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia,
yakni yang dibicarakan dalam ilmufiqh, bukan hukum yang berpautan
dengan akidah dan akhlaq.
2. Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum
wadh'i.
3. Hukum taklifi adalah hukum syar'i yang mengandung tuntutan (untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallat) atau mengandung pilihan
antara yang dikerjakan danditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi
lima bagian, yaitu wajib mandub, haram, makruh, mubah.
4. Hukum Wadh'i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab
bagi adanya sesuatuyang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau
juga sebagai penghalang (mani) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.
Hukum wadh'i dibagi menjadi tiga, yaitu sebab, syarat, mani.
13
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.H.SatriaEfendi,M.zein,M.A,UshulFiqh,(Jakarta:Kencana2009).hlm:36.
Drs.MuinUmar,UshulFiqh1,(Jakarta:1985).hlm:20.
Prof.Dr.H.SatriaEfendi,M.zein,M.A,UshulFiqh,(Jakarta:Kencana2009).hlm:38-39.
Prof.Dr.H.SatriaEfendi,M.zein,M.A,UshulFiqh,(Jakarta:Kencana2009).hlm:40-41
Prof.Dr.H.SatriaEfendi,M.zein,M.A,UshulFiqh,(Jakarta:Kencana2009).hlm:43-46.
Prof.Dr.AbdulWahhabKhallaf,IlmuUshulFiqhKaidahHukumIslam,(Jakarta:PustakaAma
ni1977).hlm:146-151.
Prof.Dr.H.SatriaEfendi,M.zein,M.A,UshulFiqh,(Jakarta:Kencana2009).hlm:52-53
ibid.,hlm:53-54.
Prof.Dr.AbdulWahhabKhallaf,IlmuUshulFiqhKaidahHukumIslam,(Jakarta:PustakaAma
ni1977).hlm:156.
Prof.Dr.H.SatriaEfendi,M.zein,M.A,UshulFiqh,(Jakarta:Kencana2009).hlm:58
ibid.,hlm:60-61.
Prof.Dr.H.SatriaEfendi,M.zein,M.A,UshulFiqh,(Jakarta:Kencana2009).hlm:6162.
Ibid.,hlm:62
Ibid.,hlm:64
Prof.Dr.H.SatriaEfendi,M.zein,M.A,UshulFiqh,(Jakarta:Kencana2009).hlm:66-67
14