Rumput Laut Sebagai Bahan Baku Biofuel
Rumput Laut Sebagai Bahan Baku Biofuel
Rumput Laut Sebagai Bahan Baku Biofuel
“Para pelanggan tidak menginginkan bongkahan batu bara, bahan baku dari kilowatt/jam, atau tong
berisi cairan hitam dan lengket. Daripada itu, mereka menginginkan jasa yang disediakan oleh
energi: shower air panas dan bir dingin, mobilitas dan kenyamanan, mikrocip energi, aroma roti bakar
dan aluminium. Jasa tersebut dapat tersedia dengan energi yang lebih rendah dari yang kita gunakan
sekarang”.
Pendahuluan
Kalimat di atas adalah kutipan pernyataan dari Amory Bloch Lovins. Dia dan istrinya Hunter Lovins
mengabdikan hidup mereka pada bidang kebijakan energi (Energy Policy). Mereka mendukung teknologi
yang dinamakan ‘Soft Energy Technologies’ yang bersumber dari energi terbarukan seperti cahaya
matahari, angin, biofuel, geotermal, dan sebagainya. Berdasarkan data IEA (International Energy
Agency), energi terbarukan menyumbang sekitar 13,2% dari sumber energi dunia di tahun 2010. Dari
jumlah tersebut, energi yang bersumber dari biofuel cair dan biogas sampah menyumbang sekitar tiga
per empatnya.
Sampai saat ini, Amerika Serikat sebagai salah satu negara adidaya berusaha untuk meningkatkan
produksi bahan bakar alternatif dari energi yang terbarukan dan mengaturnya dalam undang-undang
yang dikenal dengan EISA (The Energy Independence and Security Act) pada tahun 2007. Undang-
undang ini memandatkan supayapada tahun 2022 bahan bakaryang beredar di US berupa bahan bakar
terbarukan sebanyak 164miliarliter. Instruksi serupa juga diberikan oleh Pemerintah Indonesia agar
produksi bahan bakar terbarukan pada tahun 2025 sekitar 17%, dengan lima persennya berasal
dari biofuel.Upaya ini dilakukan untuk antisipasi terjadinya krisis energipada masa yang akan datang
karena ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Para ahli percaya bahwa biofuel merupakan sumber
energi masa depan yang dapat menggantikan bahan bakar fosil.
Pengertian Biofuel dan Perkembangannya
Saat ini
Menurut Meriam Webster 11th, biofuel adalah bahan bakar yang tersusun atau diproduksi dari material
biologis. Jadi, biofuel bukan hanya bahan bakar yang bersifat cair, namun bahan bakar yang bersifat
padat dan gas. Biofuel dapat meliputi biomasa (kayu bakar, material biologis lainnya), biofuel cair
(biodiesel dan bioetanol), dan biogas (gas metana dari material biodegradasi) yang merupakan sumber
energi terbarukan.Produk energiyang dihasilkan mencakup listrik, bahan bakar cair, bahan bakar padat,
bahan bakar gas, panas, dan bahan yang lainnya.
Saat ini, bioetanol dari jagung atau tebu dan biodiesel dari kacang kedelai atau minyak kelapa sawit,
merupakan biofuel yang diproduksi dalam skala besar. Keempat bahan pangan ini digunakan sebagai
bahan baku biofuel karena penanamannya mudah dan sederhana. Selain itu, biayanyayang murah untuk
ekstraksi amilum, gula, atau minyak yang nantinya harus dikonversi menjadi biofuel cair. Namun, langkah
tersebut menimbulkan beberapa masalah baru, yakni:
1. meningkatkan gas rumah kaca,
2. mengancam biodiversitas,
3. meningkatkan permintaan akan bahan pangan untuk biofuel,
4. melangkakan sumber daya air tawar.
Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tersebut adalah menggunakan bahan baku yang tidak
berfungsi sebagai bahan makanan seperti residu pertanian, limbah kayu, dan rumput ( grass energy).
Sumber-sumber bahan baku ini sangat menguntungkan, karena murah, tidak mengubah tataguna lahan,
dan menghindari kompetisi antara bahan bakardengan bahan makanan. Walaupun sangat
menguntungkan, penggunaan bahan baku ini memiliki kekurangan, yaitu terbatasnya teknologi kimiawi
dan biologis untuk menyelesaikan masalah pelepasan gula dari lignoselulosa (tersusun dari lignin,
hemiselulosa, dan selulosa) dan mengubahnya menjadi heksosa dan pentosa. Selain itu, tujuan ekonomis
berupa jumlah produksi yang tinggi belum dapat dicapai dengan teknologi yang digunakan selama ini.
Dari tantangan yang telah disebutkan sebelumnya, alga laut (makroalga dan mikroalga) merupakan
sumber untuk produksi biofuel yang sangat menjanjikan dalam bentuk biomasa ataupun materi selulosa.
Selain itu, produksi biofuel dari alga laut memiliki beberapa manfaat, yakni:
1. efisiensi dalam konversi energi dari cahaya matahari yang tinggi yakni sekitar 3–8% (tumbuhan
darat hanya 0,5%),
2. kemampuan fiksasi karbon dioksida yang lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan darat,
3. tersusun dari polimer yang mudah dipecahkan menjadi monomer-monomer.
4. daerah penanamannya adalah air laut, sehingga tidak membutuhkan air tawar dan tanah untuk
pertumbuhan.
Kesimpulan
Rumput laut mengandung 83% karbohidrat yang dapat dimanfaatkan untuk produksi biofuel cair
(bioetanol) dan biogas (biometan). Untuk meningkatkan produksi biofuel dari rumput laut, tahapan
produksi biofuel yang dikembangkan adalah tahapan penanaman, pemanenan, dan fermentasi. Tahapan
penanaman, khususnya area penanaman, mulai dikembangkan untuk penanaman rumput laut di lepas
pantai,walaupunmetode ini tergolong agak mahal. Tahapan pemanenan telah dilakukan secara mekanis
dan terus ditingkatkan, namun pemanenan secara manual masih digunakan. Tahapan fermentasi, mulai
digunakan mikroorganisme hasil rekayasa untuk proses fermentasi. Meskipun demikian, tantangan
peningkatan produksi rumput laut dalam skala besar untuk biofuel adalah biaya produksi yang sangat
tinggi dan dampak negatif terhadap ekosistem laut.
Bibliografi
Huesemann, M., Roesjadi, G., Benemann, J., dan Metting, F. B. 2010. Biofuels from Microalgae and
Seaweeds. Dalam: A.A. Vertès, N. Qureshi, H.P. Blaschek, and H. Yukawa (eds). Biomass to Biofuels:
Strategies for Global Industries. London: John Wiley & Sons Ltd, Hal. 165 – 184.
Hughes, A. D., Kelly, M. S., Black, K. D., dan Stanley, M. S. 2012. Biogas from Macroalgae: Is It Time to
Revisit the Idea?. Biotechnology for biofuels 5 (1): 86 – 92.
Lovin, A. B. 1990. The Negawatt Revolution. Across The Board XXVII (9): 18 –23.
McHugh, D. J. 2003. A Guide to the Seaweed Industry. Roma: Food and Agricultural Organization of the
United Nations.
Wei, N., Quarterman, J., dan Jin, Y. S. 2013. Marine Macroalgae: An Untapped Resource for Producing
Fuels and Chemicals. Trends in biotechnology 31 (2): 70 – 77.
Hermanus Nawaly, AB Susanto, dan Jacob L.A. Uktolseja