Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Kemunduran Dan Gerakan Pemb Pend Islam

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

KEMUNDURAN DAN GERAKAN PEMBARUAN


PENDIDIKAN ISLAM

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas Mata kuliah


Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Pendidikan Multikultural)

Dosen Pengampu :
Dr. H. Ahmad Thoyib Mas’udi, MA, MM

Disusun Oleh Kelompok 3 :


1. Atik Inayatul
2. Nur Esti Setia Ningrum
3. Mawardatun Nasukhah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM QOMARUDDIN GRESIK
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

anugerah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah

yang berjudul “KEMUNDURAN DAN GERAKAN PEMBARUAN

PENDIDIKAN ISLAM” dengan baik. Makalah ini berisikan tentang kemunduran

dan gerakan pembaruan pendidikan islam dan yang berkaitan dengan hal itu.

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat

kepada kita. Penulis menyadari bahwa makalah atau karya tulis ini masih jauh dari

sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat

membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini.

Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang

telah berperan serta dalam penyusunan karya tulis ini.

Bungah, 20 Mei 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................i

DAFTAR ISI ......................................................................................................ii


BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang ....................................................................................1
B.Rumusan Masalah ..............................................................................1
C.Tujuan Penulisan .................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Masa kemunduran Pendidikan Islam ...............................................4

B. Pembaruan Pendidikan Islam .......................................... .................7

C. Pola Pembaruan Pendidikan Islam ...................................................9

D. Pendidikan Islam di Indonesia .........................................................12

E. Lembaga-lembaga Pendidikan Islam ..............................................14

F. Pendidikan Islam pada masa penjajahan .........................................31

BAB III PENUTUP


A.Kesimpulan .........................................................................................40
B.Saran ...................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................42

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Islam secara khusus tidak dapat disamakan dengan makna

pendidikan secara umum. Pendidikan Islam dikenal dan diyakini oleh penganut

agama Islam sebagai suatu kegiatan pendidikan yang bersumber dari pokok

ajaran Islam (al-Quran) dan al-Hadits sebagai penjelasnya. Pendidikan Islam

yang mulai dirintis sejak turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad

SAW mengalami pasang dan surut seiring dengan perjalanan panjangnya

melintasi ruang dan waktu hingga masa sekarang.

Hal tersebut bergantung pada bagaimana pelaku sejarah pada masanya itu

melaksanakan proses pendidikan. Puncak kejayaan pendidikan Islam dimulai

dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan

madrasah-madrasah formal di berbagai pusat kebudayaan Islam. Hal ini

dipengaruhi oleh jiwa dan semangat kaum muslimin pada waktu itu yang

sangat dalam penghayatan dan pengamalannya terhadap ajaran Islam.

Dengan demikian, dalam sebuah lembaga pendidikan pasti terjadi

pertumbuhan dan perkembangan, dan ini sama halnya dengan pendidikan

Islam. Dalam pendidikan Islam ada beberapa masa yaitu masa perintisan, masa

kejayaan, masa kemunduran, dan ada pula masa pembaharuan. Pada masing-

masing periode berpengaruh dalam perkembangan pendidikan Islam. Agar

lebih jelasnya akan disampaikan dalam pembahasan selanjutnya.

2
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Masa kemunduran Pendidikan Islam?

2. Bagaimana Pembaruan Pendidikan Islam?

3. Bagaimana Pola Pembaruan Pendidikan Islam?

4. Bagaimana Pendidikan Islam di Indonesia?

5. Apa saja Lembaga-lembaga Pendidikan Islam?

6. Bagaimana Pendidikan Islam pada masa penjajahan?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai :

1. Untuk mengetahui Masa kemunduran Pendidikan Islam

2. Untuk mengetahui Bagaimana Pembaruan Pendidikan Islam

3. Untuk mengetahui Bagaimana Pola Pembaruan Pendidikan Islam

4. Untuk mengetahui Bagaimana Pendidikan Islam di Indonesia

5. Untuk mengetahui Apa saja Lembaga-lembaga Pendidikan Islam

6. Untuk mengetahui Bagaimana Pendidikan Islam pada masa penjajahan

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masa Kemunduran Pendidikan Islam

Sepanjang sejarah sejak awal dalam pemikiran terlibat dua pola

yang saling berlomba mengembangkan diri dan mempunyai pengaruh

besar dalam pengembangan pola pendidikan umat Islam. Kedua pola

tersebut adalah: Pola pemikiran tradisional dan Pola pemikiran rasional.

Pada pola pemikiran tradisional ini selalu mendasarkan diri pada wahyu,

yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistis dan

mengembangkan pola pendidikan sufi yang sangat memperhatikan aspek-

aspek batiniyah dan akhlak atau budi pekerti manusia. Sedangkan pada

pola pemikiran rasional, mementingkan akal pikiran yang menimbulkan

pola pendidikan empiris rasional yang sangat memperhatikan pendidikan

intelektual dan penguasan material.

Pada masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola pendidikan

tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling

melengkapi. Akan tetapi ketika pola pemikiran rasional diambil alih oleh

Eropa dan dunia Islam pun meninggalkan pola berfikir tersebut. Sehingga

tinggal pemikiran sufistis yang sifatnya memang sangat memperhatikan

kehidupan batin yang akhirnya mengabaikan dunia material. Dari aspek

inilah dikatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan Islam mengalami

kemunduran.

4
Setelah kita mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita

perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu

kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan,

kemungkinan dan tantangan. Kemunduran suatu peradaban tidak bisa

dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah

sebuah organisme yang sistematik, maka jatuh bangunnya suatu peradaban

juga bersifat sistematik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau

elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara

satu faktor dengan faktor lainnya, yang secara umum dibagi menjadi faktor

eksternal dan internal berkaitan erat sekali.

Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam

secara eksternal kita rujuk paparan al-Hasan, faktor-faktor tersebut adalah:

1. Faktor ekologi dan alami, yaitu kondisi tanah dimana negara-negara

Islam berada adalah gersang, atau semi gersang. Kondisi ini juga

rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Demikian pula di tahun

1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syiria

dan Iraq. Karena faktor ini penduduk tidak terkonsentrasi pada suatu

kawasan tertentu dan kepada pendidikan.

2. Perang salib yang terjadi dari 1096-1270, dan serangan Mongol dari

tahun 1220-1300an. ”Perang Salib” menurut Bernand Lewis,” pada

dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang

ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan

menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.

5
3. Hilangnya perdagangan islam internasional dan munculnya kekuatan

barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus

mulai petualangannya. Dalam mencari rute ke India ia menempuh

jalur yang melewati negara-negara islam. Pada saat yang sama

Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-

negara Islam. Disaat itu kekuatan umat Islam baik di laut maupun di

Barat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos perdagangan itu

dengan mudah dikuasai mereka.

4. Meskipun barat muncul sebagai kekuatan baru, umat muslim bukanlah

peradaban yang seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi.

Peradaban Islam terus dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan

dan bahkan dianggap sebagai ancaman barat. Akan tetapi kolonialis

melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil

mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras, dan bangsa dapat

dilemahkan yaitu dengan cara adu domba dan teknik divide et impera

sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya

negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.

Menurut Ibnu Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah

peradaban lebih bersifat internal dari pada eksternal. Suatu peradaban

dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa

dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap

bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong

tindak korupsi dan dekadensi moral.

6
M. M. Sharif dalam bukunya Muslim Thougt, mengungkapkan gejala

kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam tersebut sebagai berikut :

“...... kita saksikan bahwa pikiran islam telah melaksanakan satu

kemajuan yang hebat dalam jangka waktu yang terletak diantara abad ke

VII dan abad ke XIII M.

Selanjutkan diungkapkan juga bahwa sebab-sebab pikiran Islam

menurun dan melemah antara lain sebagai berikut:

1. Telah berkelebihan filsafat Islam (yang bercorak sufistis) Al-Ghazali di

Timur dan berkelebihannya pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat

Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia Islam barat. Sehingga Al-

Ghazali dengan filsafat islamnya menuju kerohanian hingga menghilang

ke dalam maga tasawuf mendapat sukses di timur, dan Ibnu Rusd dengan

filsafatnya yang bertentangan dengan Al-Ghazali dengan menuju ke jurang

materialisme mendapat sukses di Barat.

2. Umat Islam, terutama pada pemerintahannya (khalifah, sultan, amir-amir)

melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang mana pada mulanya

mereka memberi kesempatan untuk berkembang dan memperhatikan ilmu

pengetahuan dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para

ahli ilmu pengetahuan. Namun pada masa ini mereka lebih mementingkan

pemerintahan, begitu juga dengan para ahli ilmunya yang telibat dalam

urusan-urusan pemerintahan.

3. Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan

serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran yang

7
mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan di

dunia Islam.

B. Pembaruan Pendidikan Islam

Setelah warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam diterima oleh bangsa

Eropa dan umat Islam sudah tidak memperhatikannya lagi maka secara

berangsur-angsur telah membangkitkan kekuatan di Eropa dan menimbulkan

kelemahan di kalangan umat Islam. Secara berangsur-angsur tetapi pasti,

kekuasaan umat Islam ditundukkan oleh kekuasaan bangsa Eropa.

Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslimin

dari bangsa-bangsa Eropa dalam berbagai bidang kehidupan ini, telah timbul

mulai abad ke 11 H/17 M dengan kekalahan-kekalahan yang diderita oleh

kerajaan Turki Usamani dalam peperangan dengan negara-negara Eropa.

Kekalahan-kekalahan tersebut mendorong raja-raja dan pemuka-pemuka

kerajaan untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan mereka dan rahasia

keunggulan lawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan kebudayaan

Eropa, terutama Perancis yang merupakan pusat kemajuan kebudayan Eropa

pada masa itu dan mengirim duta-duta untuk mempelajari kemajuan Eropa,

terutama di bidang militer dan kemajuan Ilmu pengetahuan.

Dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan modern dari Barat, untuk

pertama kali dalam dunia Islam dibuka suatu percetakan di Istambul pada

tahun 1727 M. Guna mencetak berbagai macam buku ilmu pengetahuan

yang diterjemahkan dari buku-buku ilmu pengetahuan barat, Al-Qu’ran dan

ilmu-ilmu pengetahuan agama lainnya.

8
Penduduk Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M, adalah

merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kembali

kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Ekspedisi Napoleon

tersebut bukan hanya menunjukkan akan kelemahan umat Islam, tetapi juga

sekaligus menunjukkan kebodohan mereka. Ekspedisi Napoleon tersebut

disamping membawa pasukan tentara yang kuat, juga membawa pasukan

ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah, untuk mengadakan penelitian

di Mesir. Inilah yang memukan mata kaum muslimin akan kelemahan dan

keterbelakangannya, sehingga akhirnya timbul berbagai macam usaha

pembaharuan dalam segala bidang kehidupan, untuk mengejar ketertinggalan

dan keterbelakangan mereka, termasuk usaha-usaha di bidang pendidikan.

Menurut pendapat Afiful Ikhwan 1 tugas pendidikan islam dapat ditinjau dari

tiga pendekatan: Pertama pendidikan sebagai pengembangan potensi. Kedua

pewarisan budaya. Ketiga, interaksi antara potensi dan budaya. Berdasarkan

uraian di atas dapat dipahami bahwa tugas pendidikan Islam adalah

membantu pembinaan anak didik pada ketakwaan dan berakhlak.

C. Pola-Pola Pembaharuan Pendidikan Islam

Dengan memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan

kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, dan

dengan memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami

oleh bangsa-bangsa Eropa, maka pada garis besarnya terjadi tiga pola

pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut adalah :

1
Afiful Ikhwan, integrasi Pendidikan Islam (Nilai-Nilai Islami dalam Pembelajaran), Ta’allum
Jurnal, Volume. 2, Nomer. 2, November 2014: 179-194, hlm. 184

9
pola pembaharuan pendidikan yang berorientasi kepada pola pendidikan

modern di Eropa, yang berorientasi dan bertujuan untuk pemurnian

kembali ajaran Islam, yang berorientasi pada kekayaan dan sumber budaya

bangsa masing-masing dan yang bersifat nasionalisme.2 :

a. Golongan yang Berorientasi Pada Pola Pendidikan Modern di Barat.

Pada dasarnya mereka berpendapat bahwa sumber kekuatan dan

kesejahteraan hidup yang dialami oleh Barat adalah sebagai hasil dari

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka

capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-

bangsa Barat sekarang, tidak lain adalah merupakan pengembangan

dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di

dunia Islam. Oleh karena itu, mereka bertekad untuk mengembalikan

kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan dan

kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.

Pembaharuan pendidikan dengan pola Barat ini, mulanya timbul di

Turki Usmani pada akhir abad ke 11 H / 17 M setelah mengalami

kalah perang dengan berbagai negara Eropa Timur pada masa itu,

yang merupakan benih bagi timbulnya usaha sekularisasi Turki yag

berkembang kemudian dan membentuk Turki Modern. Sultan

Mahmud II (yang memerintah di Turki Usmani 1807-1839), adalah

pelopor pembaharuan pendidikan di Turki. Usaha-usaha yang

dilakukan oleh Sultan Mahmud II diantaranya :

2
Zuharini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), hlm. 117.

10
a. Mengadakan perubahan dalam kurikulum madrasah dengan

menambahkan pengetahuan-pengetahuan umum kedalamnya yang

semula hanya mengajarkan pengetahuan agama.

b. Mengeluarkan perintah supaya anak sampai umur dewasa jangan

dihalangi masuk madrasah

c. Mendirikan sekolah militer, sekolah teknik, sekolah kedokteran dan

sekolah pembedahan

d. Mengirim siswa-siswi ke Eropa, untuk memperdalam ilmu

pengetahuan dan teknologi langsung dari sumber pengembangan.

Pola pembaharuan pendidikan yang berorientasi ke barat ini, juga

nampak dalam usaha Muhammad Ali Pasya di Mesir yang berkuasa

pada tahun (1805-1848) yaitu dengan mengadakan pembaharuan

dengan jalan mendirikan sekolah yang meniru sistem pendidikan dan

pengajaran Barat, mendatangkan guru-guru dari Barat (terutama dari

Perancis), mengirimkan pelajar ke Barat untuk belajar,

menterjemahkan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab.

b. Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam yang Berorientasi pada

Sumber Islam yang Murni

Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri

merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan

juga ilmu pengetahuan modern. Menurut analisis mereka, diantara

sebab-sebab kelemahan umat Islam adalah karena mereka tidak lagi

melaksanakan ajaran agama Islam secara semestinya. Ajaran-ajaran

11
Islam yang menjadi sumber kemajuan dan kekuatannya ditinggalkan,

dan menerima ajaran-ajaran islam yang tidak murni lagi.

Pola pembaharuan ini telah dirintis oleh Muhammad bin Abd al

Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh jamaluddin AlAfgani

dan Muhammad Abduh (akhir abad 19 M). Menurut jamamluddin Al-

Afgani, pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an

dan Al-Hadits dalam arti yang sebenarnya tidaklah mungkin. Ia

berkeyakinan bahwa Islam sesuai dengan perkembangan zaman dan

bangsa dan semua keadaan.3

c. Usaha Pembaharuan Pendidikan yang Berorientasi pada Nasionalisme

Rasa nasionalisme timbul bersama dengan berkembangnya pola

kehidupan modern, dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat

mengalami kemajuan rasa Nasionalisme yang kemudian menimbulkan

kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri, keadaan tersebut

mendorong pada umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah

lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing.

Disamping itu, adanya keyakinan dikalangan pemikir-pemikir

pembaharuan di kalangan umat Islam, bahwa pada hakikatnya ajaran

Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan tempat. Oleh

karena itu, ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme ini

pun bersesuaian dengan ajaran Islam.

D. Pendidikan Islam di Indonesia

3
Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014), hlm. 92-94.

12
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai

oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari

yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung

modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam memainkan fungsi dan

perannya sesuai dengan tuntutan zamannya. 4

Perkembangan pendidikan Islam ditandai dengan kemunculan

pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam. Kehadian

pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Oleh karena itu,

pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam selalu menjaga hubungan

yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya

di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang

sama segala aktivitas yang dilakukan di pesantren mendapat dukungan dan

apresiasi penuh dari masyarakat.

Begitu juga dengan pendidikan madrasah untuk saat ini sudah

banyak mengalami kemajuan, sehingga terbentuk seperti sekolah-sekolah

modern adapun bentuk-bentuk atau tingkatan-tigkatannya adalah madrasah

Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, dan dengan penbagian-pembagian

tingkatan tersebut diyakini mampu mempermudah santri atau pelajar-

pelajar yang belajar di madrasah.Kemunculan madrasah dipandang

menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan

prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana

4
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal,
279

13
terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah

cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural yang

mampu mengendalikan tingkah laku manusia, sehingga manusia berbuat

sebagaimana fitrahnya.

E. Lembaga-lembaga Pendidikan Islam

1. Masjid dan Langgar

Masjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat yang lima

waktu ditambah dengan sekali dalam satu minggu shalat Jum’at dan dua

kali dalam satu tahun untuk shalat hari raya. Selain dari mesjid ada juga

tempat ibadah yang disebut dengan langgar bentuknya lebih kecil dari

mesjid dan hanya di gunakan untuk shalat lima waktu, bukan untuk

shalat jum’at.

Selain dari fungsi utama mesjid dan langgar di fungsikan juga untuk

tempat pendidikan di tempat ini dilakukan pendidikan buat orang

dewasa maupun anak-anak. Pengajian buat orang dewasa adalah

penyampaian-penyampaian ajaran Islam oleh mubaligh kepada para

jama’ah dalam bidang yang berkenaan dengan akqidah, ibadah dan

akhlak. Sedangkan pengajian yang dilaksanakan ialah anak-anak

berpusat kepada pengajian Al-Qur’an menitik beratkan kepada

kemampuan membaca dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah

14
bacaan, selain dari itu anak-anak juga diberikan pendidikan keimanan,

ibadah dan akhlak.5

Sistem pengajaran di masjid, sering memakai sistem halaqah, yaitu

guru membaca dan menerangkan pelajaran sedangkan siswa

mempelajari atau mendengar saja, hampir mirip dengan sistem klasikal

yang berlaku sekarang. Salah satu sisi baik dari sistem halaqah ialah

pelajar-pelajar diminta terlebih dahulu mempelajari sendiri materi-

materi yang akan diajarkan oleh gurunya, sehingga seolah-olah pelajar

menselaraskan pemahamannya dengan pemahaman gurunya tentang

maksud dari teks yang ada dalam sebuah kitab. Sistem ini mendidik

palajar belajar secara mandiri.

2. Meunasah, Rangkang dan Dayah

Secara etimologi meunasah, secara etimologi berasal dari bahasa

Arab, yakni madrasah, yang berarti tempat belajar. Dalam perjalanan

waktu kata madrasah itu oleh masyarakat Aceh berubah menjadi

meunasah.6 Terminologinya adalah tempat untuk salat dan juga

digunakan untuk belajar tentang ilmu keislaman pada tingkat dasar

termasuk orang yang baru belajar membaca al Qur’an. Ismuha

mengungkapkan bahwa keberadaan meunasah yang ada di setiap desa

atau kampung di seluruh Aceh , sejak zaman kerajaan Aceh, digunakan

5
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 20-21.
6
A. Hasyimi, Mnera Johan (Bandung: Bulan Bintang, 1976), hlm. 104.

15
sebagai tempat belajar agama, mengaji, sebagai tempat salat lima

waktu, tempat musyawarah, tempat penyelesaian sengketa yang terjadi

di tengah-tengah masyarakat dan sebagai tempat untuk berbagai

kegiatan sosial dan keagamaan lainnya. Jadi kalau disebut sesorang

sebagai teungku meunasah, maka dia adalah orang yang mengajar

mengaji al Qur’an dan sering menjadi imam salat di meunasah. Taufik

Abdullah, dalam Ismail Sunni, mengatakan bahwa sebelum suatu

kampung dibangun, mereka (masyarakat Aceh) terlebih dahulu

membangun meunasah sebagai tempat beribadah dan belajar, baru

kemudian mendirikan perkempungan. Di samping sebagai tempai

beribadah, meunasah juga berfungsi sebagai suatu tempat belajar

tingkat dasar dalam tiap-tiap gampoung (kampung/desa) ketika itu.7

Di tinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga

pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat di samakan dengan

tingkatan sekolah dasar. Di meunasah para murid di ajar

menulis/membaca huruf Arab, ilmu agama dalam bahasa Jawi

(Melayu), akhlak. Disetiap kampung di Aceh ada meunasah, sebagai

tempat belajar bagi anak-anak.

Rangkang adalah tempat tinggal murid, yang di bangun di sekitar

mesjid. Sistem pendidikan di Rangkang ini sama dengan sistem

pendidikan di pesantren, murid-murid duduk membentuk lingkaran dan

7
Ismail Sunni, Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Batara Karya Aksara, 1980), hlm. 211.

16
si guru menerangkan pelajaran, berbentuk halakah, metode yang

disampaikan di dunia pesantren di sebut namanya dengan sorogan dan

wetonan.

Rangkang itu dalam bentuk rumah, tetapi lebih sederhana,

memiliki satu lantai saja, di kanan kiri gang pemisah (blog) masing-

masing untuk 1-3 murid, kadang-kadang rumah yang tidak dipakai lagi

oleh rang shaleh diwakafkan untuk siswa. Rumah tersebut di serahkan

kepada guru untuk dijadikan sebagai rangkang.8

Lembaga pendidikan khas Aceh yang selanjutnya disebut Dayah

merupakan sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya

sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai

sebuah institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir

bersamaan tuanya dengan Islam di Nusantara. Kata Dayah berasal dari

bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok Istilah zawiyah, yang

secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama

kali digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad saw

berdakwah pada masa awal Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah

difahami sebagai pusat agama dan kehidupan mistik dari penganut

tasawuf, karena itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang telah

dibawa ke tengah-tengah masyarakat. Kadang-kadang lembaga ini

dibangun menjadi sekolah agama dan pada saat tertentu juga zawiyah

dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual. Dhus,

8
Haidar Putra Daulay, Op.Cit., hlm. 24.

17
sangat mungkin bahwa disebarkan ajaran Islam di Aceh oleh para

pendakwah tradisional Arab dan sufi; Ini mengidentifikasikan

bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh. Di samping itu, nama lain

dari dayah adalah rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan peran

rangkang dalam kancah pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan

dayah.9

Dayah atau rangkang dianggap sama dengan pesantren di Jawa

atau surau di Sumatera Barat, namun ketiga lembaga pendidikan ini

tidaklah persis sama. Setidaknya bila ditnjau dari segi latar belakang

historisnya. Pesantren sudah ada sebelum Islam tiba di

Indonesia.Masyarakat Jawa kuno telah mengenal lembaga pendidikan

yang mirip dengan pesantren yang diberi nama dengan pawiyatan. Di

lembaga ini guru yang disebut Ki ajar hidup dan tinggal bersama

dengan muridnya yang disebut Cantrik. Disinilah terjadi proses

pendidikan, dimana Ki ajar mentransfer ilmunya dan nilai-nilai kepada

cantriknya.Kata pesantren berasal dari “santri” yang berarti seorang

yang belajar agama Islam, demikian pesantren mempunyai arti tempat

orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Sedangkan surau di

Minangkabau merupakan suatu institusi penduduk asli Minangkabau

yang telah ada sebelum datangnya Islam ke wilayah tersebut. Di era

Hindu – Budha di Minangkabau, suarau mempunyai kedudukan penting

dalam struktur masyarakat. Fungsinya lebih dari sekedar tempat

9
Muntasir, Dayah dan Ulama dalam Masyarakat Aceh, dalam Sarwah, vol II, hlm. 43.

18
aktifitas keagamaan. Menurut ketentuan Adat, suarau berfungsi sebagai

tempat berkumpulnya para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin

atau duda.Dengan demikian ketiga institusi ini pada prinsipnya

memiliki latar belakang historis yang berbeda, namun mempunyai

fungsi yang sama.10

3. Surau

Dalam kamus bahasa Indonesia, surau di artikan tempat (rumah)

ummat islam melakukan ibadahnya (shalat, mengaji dan sebagainya),

pengertian apabila dirinci mempunyai arti bahwa surau berarti suatu

tempat bangunan kecil untuk tempat shalat, tempat belajar mengaji

anak, tempat wirid (pengajian agama) bagi orang dewasa.

Di pandang dari sudut budaya keberadaan suarau sebagai

perwujudan dari budaya Minagkabau yang matriachat. Anak-anak yang

sudah akil baligh, tidak lagi layak tinggal dirumah orang tuanya, sebab

saudara-saudara perempuannya akan kawin.

Surau berfungsi sebagai lembaga sosial budaya, dalah fungsinya

sebagai tempat pertemuan par apemuda dalam upaya mensosialisasikan

diri mereka. Selain dari itu suarau juga berfungsi sebagai tempat

persinggahan dan peristirahatan para musafir yang sedng menempuh

perjalanan, dengan demikian suarau mempunya multifungsi.

10
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan Madrasah (Yogjakarta: Tiara
Wacana, 2001), hlm7

19
Sistem pendidikan disuaru banyak kemiripannya dengan sistem

pendidikan di pesantren. Murid tidak terikat dengan sistem administrasi

yang ketat. Syekh atau guru mengajar dengan metode bendongan dan

sorongan, ada juga murid yang berpindah kesurau lain dia sudah merasa

cukup memperoleh ilmu di surau terdahulu. Dari segi mata pelajaran

yang diajarkan di surau sebelum masuknya ide-ide pembaruan

pemikiran islam pada awal abad ke-20 adalah mata pelajaran agama

yang berbasis kepada kitab-kitab klasik.

4. Pesantren

Pesantren adalah sekolah Islam berasrama yang terdapat di

Indonesia yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-

Qur’an dan Sunnah Rasul dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-

kaidah tata bahasa-bahasa Arab. Pesantren merupakan pendidikan islam

tertua di Indonesia yang berfungsi sebagai pusat dakwah dan

pengembangan agama islam. Kata pesantren berasal dari bahsa tamil

yang berarti “guru mengaji” namun ada juga yang menyebut berasal

dari bahsa sansekerta “shstri” yang berarti orang-orang yang

mempelajari buku-buku suci atau orang yang melek huruf.

Pada umumnya pesantren terdiri dari beberapa element atau unsur,

yaitu:

a. Pondok

20
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam

tradisional yang lebih menekankan aspek moralitas kepada santri

dalam kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai tersebut diperlukan

bimbingan yang matang kepada santri, untuk memudahkan itu

diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di

bawah bimbingan seorang kiayi.

b. Masjid

Masjid merupakan elemen yang paling penting, sebab masjid

merupakan tempat pusat kegiatan yang ada bagi umat Islam.

Masjid di jadikan sebagai pusat pendidikan. Seorang kiyai yang

ingin mengembangkan pasantren, bisanya yang pertama didirikan

adalah masjid di dekat rumahnya, karena dengan demikian berarti

Ia telah memulai sesuatu dengan simbol keagaman, yaitu Masjid

yang merupakan rumah Allah, dimana di dalamnya dipenuhi

dengan rahmat dan ridho Allah SWT .

c. Santri

Santri adalah siswa yang tinggal di pesantrenseorang santri

harus memperoleh kerelaan sang kyai, dengan mengikuti segenap

kehendaknya dan melayani segenap kepentingannya. Pelayanan

harus dianggap sebagai tugas kehormatan yang mrupakan ukuran

penyerahan diri itu. Kerelaan kyai ini, yang dikenal dipesantren

21
dengan nama “barokah”, adalah alasan tempat berpijaknya santri di

dalam menuntut ilmu.

d. Kitab kuning

Kitab Kuning, pada umumnya dipahami sebagai kitab- kitab

keagamaan berbahasa Arab, mengunakan aksara Arab, yang

dihasilkan oleh para ulama dan pemikir muslim lainnya di masa

lampau, hususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab Kuning

mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas “kekuning-

kuningan”.pada umunya isinya menyinggung masalah syaria’at

atau fiqih dan masalah-masalah keimanan.

e. Kyai

kyai merupakan unsur kunci dalam pesantren, karena itu sikap

hormat (takzim) dan kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah

satu nilai pertama yang ditanamkan kepada santri. Kyai dengan

karomahnya, adalah orang yang senantiasa dapat memahami

keagungan Allah dan rahasia alam. Dengan demikian, kyai

dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, utamanya

oleh orang biasa. Karena karomahnya, santri dan masyarakat

menyerahkan kekuasaan yang luas pada kyai, dan biasanya mereka

percaya hanya orang-orang tertentu yang bisa mewarisi

karomahnya tersebut seperi keturunannya dan santri

kepercayaannya.

22
Ada dua metode yang sering digunakan dalam pendidikan

pesantren, yaitu:

a. Metode Wetonan

Yaitu metode dimana Kiai membaca suatu kitab dalam

waktu tertentu, dan santri dengan membawa kitab yang

sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai tersebut.

Dalam sistem pengajaran yang semacam ini tidak mengenal

absen. Santri boleh datang dan tidak boleh datang, juga

tidak ada ujian. Apakah santri itu memahami apa yang

dibaca Kiai atau tidak, hal itu tidak bisa diketahui. Dalam

hal ini dapat dikatakan bahwa sistem pengajaran di Pondok

Pesantren itu adalah bebas, yaitu bebas mengikuti kegiatan

belajar dan bebas untuk tidak mengikuti kegiatan belajar.

b. Metode Sorongan

Yaitu metode dimana santri (biasanya yang pandai)

menyedorkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di

hadapan kiai itu. Dan kalau ada kesalahan langsung

dibetulkan oleh kiai itu. Di Pondok Pesantren yang besar,

mungkin untuk dapat tampil di depan kiainya dalam

membawakan/ menyajikan materi yang ingin disampaikan,

dengan demikian santri akan dapat memahami dengan cepat

23
terhadap suatu topik yang telah ada papa kitab yang

dipegangnya.11

5. Madrasah

Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk

mengenyam proses pembelajaran.12 Dalam bahasa Indonesia madrasah

disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar

dan memberi pengajaran.13

Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah

atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian

lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.

6. Sekolah-Sekolah Dinas

Setelah indonesia merdeka, ditetapkan departemen yang membidangi

dan mengurus masalah agama adalah departemen agama. Departemen

agama berdiri sejak tanggal 3 Januari 1946, dengan Mentri Agamanya

yang pertama M. Rasyidi, BA. Dari sekian banyak tugas Departemen ini,

salah diantaranya ada bidang pendidikan. Dengan ditanda tanganinya SKB

11
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 144.
12
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 50
13
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka,
1984), hlm. 889.

24
3 Mentri yang berisikan tentang peraturan pengajaran agama di sekolah-

sekolah negeri yang berlaku mulai 1 Januari 1947.

Pada surat keputusan bersama ini dijelaskan:

a. Guru-guru agama diangkat, diberhentikan dan sebagainya oleh

Mentri Agama, atas instansi agama yang bersangkutan

b. Begitu pula segala biaya untuk pendidikan agama itu menjadi

tanggungan Kementirian Agama.

Berdasarkan SKB tersebut, maka Kementrian Agama berkewajiban

untuk mengangkat dan mengadakan guru agama, dalam hal mengadakan

guru agama menjadi persoalan bagaimana mendapatkan tenaga guru untuk

mengajar agama disekolah-sekolah. Pada Tanggal 15 Agustus 1950

Kepala Bagian Pendidikan Agama mengeluarkan Surat Edaran No.

277/C/C-9 yang berdasarkan anjuran pembukaan Sekolah Guru Agama

Islam (SGAI) yang dibagi kepada dua bagian, yaitu 5 tahun setelah tamat

Sekolah Rakyat, atau Madrasah Rendah dan 2 tahun setamat SMP atau

Madrasah Lanjutan Pertama. Disamping SGAI juga dianjurkan dibuka

SGHAI (Sekolah Guru Hakim Agama Islam) yang lama pelajarannya 4

tahun sesudah SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Dengan Penetapan Mentri

Agama No. 7 Tgl. 15 Februari 1951 seluruh SGAI di ubah namanya

menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) yang lama belajarnya 5 tahun

Sesudah Sekolah Rakyat atau Madrasah Rendah dan SGHAI di ubah

25
menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama) yang pelajarannya 4 tahun

setamat SMP atau Madrasah Tsanawiyah.

Berdasarkan penetapan Mentri Agama No. 35 Tgl. 21 November 1953

terhitung mulai tahun ajaran 1953/1954 lama belajar di PGA menjadi 6

tahun dan PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) PGAA (Pendidikan

Guru Agama Atas) 2 tahun.

Penetapan Menteri Agama No. 14 Tgl. 19 Mei 1954 SGHA terdiri

dari 4 bagian. Bagian A (sastra), B (Ilmu Pasti), C (Ilmu Agama), D

(Hukum Agama) berangsur di hapuskan kecuali bagian D kemudian

dijadikan PHIN (Pendidikan Hukum Islam Negeri) yang lama belajarnya 3

tahun setelah PGAP. PHIN yang sejak berdirinya hanya ada satu buah di

Yogyakarta sedangkan PGA berkembang, baik negeri maupun swasta di

seluruh Indonesia.Sekolah Dinas maksudnya adalah setelah lulus dari

sekolah tersebut di angkat menjadi pegawai negeri dan karena itu murid-

murid di kedua sekolah ini harus berikatan dinas sesuai dengan Peraturan

Menteri Agama No. 8 Tahun 1951. Karena kekurangan anggaran negara

sejak tahun 1969 tidak lagi disediakan ikatan dinas 7 Perguruan Tinggi

Islam.

a. Pendidikan Tinggi Islam

Mahmud Yunus mengemukakan bahwa di Padang Sumatera Barat

pada tanggal 9 Desember 1940 telah berdiri perguruan tinggi

26
Islam yang dipelopori oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam

(PGAI).

b. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)

PTAIN yang berdiri diresmikan berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 34 Tahun 1950, baru beroperasi secara praktis pada tahun

1951. Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan

jumlah siswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan

pimpinan fakultasnya adalah KH. Adnan. PTAIN ini mempunyai

jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah dengan lama belajar 4

tahun pada tinggkat bakalaureat dan doktoral. Mata pelajaran

agama didampingi mata pelajaran umum terutama yang berkenaan

dengan jurusan. Mahasiswa Jurusan Tarbiyah diperlukan

pengetahuan umum mengenai ilmu pendidikan, dan begitu juga

jurusan lainnya diberikan pula pengetahuan umum yang sesuai

dengan jurusannya.

c. Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)

Dengan di tetapkannya peraturan bersama Menteri Agama,

Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pada tahun 1951 No.

K/651 tanggal 20 Januari 1951(Agama) dan No. 143/K tanggal 20

Januari 1951 (pendidikan), maka pendidikan agama dengan resmi

di masukkan kesekolah-sekolah negeri dan swasta. Berkenaan

dengan itu, dan berkaitan dengan peraturan-peraturan sebelumnya,

27
maka departemen agama untuk kesuksesan pendidikan agama di

sekolah-sekolah. Sehubungan dengan itu untuk merealisasikan

salah satu tugas tersebut pemerintah mendirikan Akademi Dinas

Ilmu Agama (ADIA) dengan maksud dan tujuan guna mendidik

dan mempesiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah

pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik

agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum maupun

kejuruan dan agama.

d. Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Setelah PTAIN berusaha kuranag lebih 9 tahun, maka lembaga

pendidikan tinggi di maksud telah mengalami perkembangan.

Dengan perkembangan tersebut dirasakan bahwa tidak mampu

menampung keluasan cakupan ilmu-ilmu keislaman tersebut kalau

hanya berada di bawah satuan payung fakultas saja. Berkenaan

dengan itu timbullah ide-ide, gagasan-gagasan untuk

mengembangkan cakupan PTAIN kepada yang lebih luas.

Untuk menciptakan IAIN memerlukan proses yang cukup

serius, ringkasnya penggabungan dua lembaga yang pada mulanya

berdiri masing-masing PTAIN dan ADIA , berdasarkan pasal 2

peraturan Perisiden No. 11 Tahun 1960 tersebut Mentari agama

mengeluarkan sebuah ketetapan Menteri Agama No. 43 Tahun

1960 tentang penyelenggaraan Institut Agama Islam Negeri dan

28
sebagai pelaksanaannya di keluarkanlah Peraturan Menteri Agama

No. 8 tahun 1961 tentang pelaksanaan penyelenggaraan IAIN.

e. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

IAIN pada awalnya cabang dari Yogyakarta atau Jakarta

menjadi IAIN yang berdiri sendiri. Demikianlah hingga tahu 1973

IAIN tercatat 14 di seluruh Indonesia.

IAIN yang berdidri sendiri itu, berdasarkan kebutuhan

berbagai daerah membuka cabang pula di luar IAIN induknya

sehingga IAIN menjadi berkembang di berbagai daerah, dalam

perkembangan itu muncullah duplikasi fakultas.

Untuk menyahuti jiwa dan peraturan, yakni untuk

menghindari terjadinya duplikasi tersebut serta untuk menjadikan

fakultas-fakultas tersebut mandiri dan lebih dapat

mengembangkan diri tidak terikat kepada peraturan yang

mengengkang oleh IAIN induknya maka, maka fakultas-fakultas

tersebut dilepasskan dari IAIN induknya masing-masing yang

secara administrasi tidak lagi memiliki ikatan dengan IAIN

induknya masing-masing. Setelah dipisahkan itu bernamalah

lembaga ini menjadi STAIN. Yang dulunya bernama Fakultas

Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Padangsidimpuan, berubah

menjadi STAIN Padangsidimpuan, demikian seterusnya.

Beda IAIN dengan STAIN adalah. Jika Institut

menyelenggarakan program akademik dan/atau profesional dalam

29
sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau

kesenian yang sejenis. Sedangkan sekolah tinggi

menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/profesional

dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu.14

f. Universitas Islam Negeri

Beberapa tahun belakangan ini ada pikiran yang ingin

mengembangkan IAIN menjadi Universitas. Rintisan kearah itu

telah mulai di laksanakan. Ada beberapa modal dasar yang

dimiliki IAIN yang menjadikan landasannya bagi

pengembangannya.

a) Landasan filosofis dan konstitusional

b) Sosiologis

c) Edukatif

g. Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)

UII setelah dinegerikan menjadi PTAIN tahun 1950,

kemudian PTAIN digabungkan dengan ADIA menjadi IAIN, dan

dari IAIN dari fakultas-fakultas daerahnya menjadi STAIN,

fakultas yang non agama UII (ekonomi, hukum, dan pendidikan)

tetap menjadi fakultas swasta. Fakultas swasta menjadi

berkembang dan sekarang ditambah dengan fakultas-fakultas lain.

Universitas Islam yang semacam ini sudah tersebar luas di

Indonesia, ada yang di asuh oleh organisasi-organisasi Islam dan

14
Haidar Putra Daulay, Op.Cit., hlm 134-135.

30
ada pula yang brbentuk yayasan yang tidak bernaung dalam satu

organisasi Islam, seperti UISU (Universitas Islam Sumatera

Utara).

Universitas-Universitas Islam yang di bawah langsung

organisasi Islam, tercatat misalnya Universitas Muhammadiyah,

Universitas Nahdatul Ulama dll, universitas yang diasuh oleh

organisasi maupun independen, fakultas keagamaan ini dibawah

pengawasan Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta

(Kopertais) pada wilayah setempat.

F. Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan

1. Masa Penjajahan Belanda

Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Agama Islam sudah masuk

di Indonesia melalui jalur perdagangan. Pedagang muslim dari Arab,

Persia, dan India sampai ke kepulauan Indonesia sejak abad ke-7. Para

pedagang dalam menjalankan misi dakwahnya melalui pengajaran,

aktualisasi ajaran Islam, sikap yang simpati diperlihatkan kepada

masyarakat termasuk kelompok bangsawan. Pengajaran sangat

sederhana, mula-mula mengajarkan Islam dengan syahadat sebagai

landasan ke Islaman, selanjutnya berkembang dengan pengajaran

materi ”fikih dengan mazhab syafii”15. Dalam tradisi pendidikan Islam,

pembelajaran ini dikenal dengan sistem khalaqa. Sistem tersebut pada

akhirnya berkembang menjadi pesantren.

15
Zuhairini et.al, Sejarah Pendidikan Islam (Cet.VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.136 .

31
Sementara berjalan proses pertumbuhan pendidikan Islam,

Pemerintah Belanda mulai datang menjajah Indonesia pada tahun 1619

yaitu ketika Jan Pieter Coen menduduki Jakarta.16 Kemudian Belanda,

satu demi satu memperluas jajahannya ke berbagai daerah dan diakui

bahwa Belanda datang ke Indonesia bermotif ekonomi, politik dan

agama.

Belanda datang ke Indonesia, menghadapi kenyataan bahwa

sebagian besar penduduk yang dijajahnya di kepulauan Nusantara ini

adalah beragama Islam. Belanda sangat khawatir akan timbulnya

pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Islam sangat ditakuti,

karena kurangnya pengetahuan mereka yang tepat mengenai Islam,

sehingga mula-mula Belanda tidak berani mencampuri agama ini

secara langsung. Namun melihat kondisi tersebut, kolonial Belanda

sampai pada kesimpulan, bahwa mereka tidak akan bertahan lama,

apabila agama Islam dibiarkan tumbuh dan berkembang. Sebab Islam

adalah agama yang membenci segala bentuk penindasan dan

penjajahan. Dengan demikian pihak Pemerintah Belanda dalam

membuat kebijakan terhadap pendidikan Islam selalu arahnya ke

penekanan terhadap keberlangsungan Pendidikan Islam, di sisi lain

menguntungkan pihak pemerintah Belanda.

a. Kebijakan Belanda Terhadapa Pendidikan Islam

16
Ibid., h. 147.

32
Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik

pemerintah penjajah Belanda. Sejalan dengan pola ini, maka kebijakan

di bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus

dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan

menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19

Snouck Hurgronje telah begitu optimis bahwa Islam tidak akan

sanggup bersaing dengan pendidikan Barat. Agama ini dinilai beku

dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan

meningkatkan taraf kemajuan pribumi.

Agaknya ramalan tersebut belum memperhitungkan faktor

kemampuan Islam untuk mempertahankan diri di negeri ini, juga

belum memperhitungkan faktor kesanggupan Islam menyerap

kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri. Memang cukup alasan

agaknya untuk merasa optimis. Kondisi obyektif pendidikan Islam

pada waktu itu memang sedemikian rupa, sehingga diperkirakan tidak

akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak akan sanggup

melawan pendidikan Kristen yang jauh lebih maju dalam segala

bidang, dan tidak akan dapat berhadapan dengan sikap diskriminatif

pemerintah penjajah. Tetapi ternyata kemudian kondisi agama ini

berkembang menjadi berbeda dengan perhitungan dan ramalan

tersebut.

Kesadaran bahwa pemerintahan penjajah merupakan

“pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan bangsa mereka,

33
semakin mendalam tertanam di benak para santri. Pesantren yang

merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap

anti Belanda. Di mata umat Islam, pemerintah penjajah sering dituduh

sebagai pemerintahan Kristen, sementara pelbagai kebijakan

pemerintah lebih difokuskan untuk kepentingan mereka sendiri. Semua

itu ikut memperdalam jurang pemisah antara pemerintah penjajah

dengan masyarakat santri. Penjajah Belanda melakukan penekanan dan

bertindak represif terhadap kegiatan keagamaan ummat Islam. Aksi

menimbulkan reaksi. Dengan segala kekurangan dan kelemahannya,

umat Islam berusaha mempertahankan diri dan kemudian ternyata

berhasil. Perang diponegoro adalah contoh perlawanan besar yang

melibatkan banyak tokoh-tokoh agama dan sejumlah santri. Demikian

juga halnya dengan perang Paderi, perang Aceh, dan lain-lain. Dalam

hal ini Agama Islam menganjurkan untuk bersatu dan bergotong

royong “Ukhuwwah Islamiyah”, sebagaimana Firman Allah swt. dalam

Q.S. al-Maidah/5: 2.

ُ ‫ش ِديد‬ َّ ‫َّللاَ إِ َّن‬


َ َ‫َّللا‬ ِ ‫َوتَعَ َاونُوا َعلَى ْالبِ ِ ِّر َوالت َّ ْق َوى َوال تَعَ َاونُوا َعلَى اإلثْ ِم َو ْالعُد َْو‬
َّ ‫ان َواتَّقُوا‬

ِ ‫ْال ِعقَا‬
‫ب‬

Terjemahnya :“ dan tolong-menolonglah kamu dalam

(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong

dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada

Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

34
Setelah itu pemerintah penjajah Belanda mulai agak mengurangi

penekanan, pengawasan atau pembatasan terhadap aktivitas dan

pengamalan keagamaan umat Islam. Mereka, misalnya, memberi

sedikit kelonggaran terhadap ummat Islam yang ingin menunaikan

ibadah haji. Umat Islam selain menunaikan haji juga mempelajari

ilmu-ilmu agama secara serius dan tekun. Sekembalinya dari tanah

suci, mereka mengamalkan dan mengajarkan ilmu, sehingga jumlah

guru agama, dan lembaga pendidikan meningkat pesat.

b. Ciri Khas Pendidikan Islam Zaman Penjajahan Belanda

1. Dikotomis

Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pertentangan antara

pendidikan Belanda (HIS;Hollands inlandse school, MULO; Meer

Uit gebreid lager school ,AMS; Algemene Middelbare School

dan lain-lain), dengan pendidikan Islam (Pesantren, dayah, surau).

Pertentangan ini dapat dilihat dari sudut ilmu yang dikembangkan.

Di sekolah-sekolah Belanda dikembangkan ilmu-ilmu umum17

(ilmu-ilmu sekuler). Pemerintah penjajah Belanda tidak

mengajarkan pendidikan agama sama sekali di sekolah-sekolah

yang mereka asuh.

Pemerintah Belanda mempunyai sikap netral terhadap

pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, dalam ordonansi.

Pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu

17
Marwan Saridjo, op. cit., h. 58.

35
diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing.

Pengajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam sekolah.

Sedangkan di lembaga pendidikan Islam dalam hal ini di pesantren,

pendidikan yang diberikan adalah pendidikan keagamaan yang

bersumber dari kitab-kitab klasik. Dengan demikian suasana

pendidikan dikotomis itu amat nyata di zaman penjajahan Belanda.

Berkaitan dengan itu kedua lembaga pendidikan ini (sekolah dan

pesantren) memiliki filosofi yang berbeda yang sekaligus

melahirkan output yang memiliki orientasi yang berbeda pula.

Perbedaan yang tajam antara ilmu agama dan ilmu umum

menyebabkan munculnya sistem pendidikan umum dan sistem

pendidikan agama pada fase terakhir abad ke-19, dan dilanjutkan

serta diperkuat pada abad ke-20.

2. Diskriminatif

Pemerintah Belanda memberikan perlakuan diskriminatif

terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Diantara pelaksanaan

diskriminatif adalah pemerintah Belanda membentuk suatu badan

khusus untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan

Islam. Dualistik diskriminatif, yaitu membedakan bahasa pengantar

pendidikan untuk orang-orang Belanda (berbahasa Belanda)

dengan pendidikan untuk orang-orang bumiputra (berbahasa

Melayu).

36
3. Sentralistik, yaitu pendidikan itu secara keseluruhan diatur dan

ditentukan orang Belanda.

2. Masa Penjajahan Jepang

Pendidikan Islam di zaman penjajahan Jepang terkait erat dengan

saling membutuhkan antara Jepang dan umat Islam di Indonesia.

Jepang membutuhkan umat Islam Indonesia terkait dengan perang

Asia Timur Raya, agar pihak Jepang mendapat bantuan dari umat

Islam Indonesia.18 Sedangkan dari umat Islam mengharapkan akan

diperoleh kemerdekaan Indonesia. Di depan ulama, Letnan Jendral

Imamura, pejabat militer Jepang di Jawa menyampaikan pidato yang

isinya bahwa pihak Jepang bertujuan untuk melindungi dan

menghormati Islam.

Kebijakan Jepang secara umum tersebut tentu pula berpengaruh

pada kebijakan dalam hal pendidikan Islam di Indonesia. Pengaturan

pendidikan agama juga diberlakukan pada masa pendudukan penjajah

Jepang. Meskipun pada esensinya pengaturan itu juga dilakukan untuk

mengawasi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada di

masyarakat, namun Jepang tampak sedikit lebih lunak dibanding

pemerintah penjajah Belanda. Mungkin karena keberadaannya di bumi

Indonesia yang masih seumur jagung, sehingga mereka merasa perlu

untuk mengambil hati umat Islam. Jepang bahkan menawarkan

bantuan dana bagi madrasah, serta membiarkan masyarakat membuka

18
Haidar Putra Daulay. Sejarah Pertumbuha dan Pembaruan Islam di Indonesia (Cet. I;
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 37.

37
kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup oleh pemerintah

penjajah Belanda.

Jepang, awalnya memberi prioritas umat Islam di Indonesia untuk

mengembangkan pendidikan Islam utamanya syiar Islam, hal itu

merupakan siasat yang dijalankan Jepang untuk kepentingan Perang

Dunia II terbukti setelah Jepang mendapat tekanan dari sekutu justru

Jepang memperlihatkan dirinya sebagai penjajah yang lebih kejam dari

Belanda. Rakyat dipaksa untuk bergabung dengan badan pertahanan

Jepang sehingga pendidikan rakyat terbengkalai. Meskipun di bawah

penindasan Jepang, masih ada madrasah-madrasah yang bisa jalan

dalam lingkungan pesantren di mana lingkungan tersebut jauh dari

jangkauan Jepang sebab pada umumnya pesantren terletak pada daerah

terpencil.

38
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kemunduran pendidikan Islam di mulai dengan runtuhnya daulah Bani

Abbasiyah yang disebabkan oleh berlebihannya sufisme, sedikitnya

kurikulum Islam, tertutupnya pintu ijtihad, adanya pemberontakan serta

serangan dari luar yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi pendidikan

dan kebudayaan Islam.

2. Pembaharuan pendidikan Islam adalah suatu upaya melakukan proses

perubahan kurikulum, cara, metodologi, situasi dan kondisi pendidikan

Islam dari yang tradisional kearah yang lebih rasional, dan professional

sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu.

3. Pola pembaharuan pemikiran pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut yaitu

a. Pola pembaharuan yang berorientasi pada pola pendidikan Barat

b.Golongan yang berorientasi pada sumber Islam yang murni

c. Usaha yang berorientasi pada Nasionalisme.

4. Pendidikan Islam di Indonesia

Perkembangan pendidikan Islam ditandai dengan kemunculan

pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam. Kehadian

pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Oleh karena itu,

pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam selalu menjaga hubungan

yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya

di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang

39
sama segala aktivitas yang dilakukan di pesantren mendapat dukungan dan

apresiasi penuh dari masyarakat.

5. Lembaga-lembaga Pendidikan Islam

a. Masjid dan Langgar

b. Meunasah, Rangkang dan Dayah

c. Surau

d. Pesantren

e. Madrasah

f. Sekolah-Sekolah Dinas

g. Pendidikan Tinggi Islam

h. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)

i. Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)

j. Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

k. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

l. Universitas Islam Negeri

m. Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)

6. Pendidikan Islam pada masa penjajahan

1. Pendidikan Islam pada masa Penjajahan Belanda

Kondisi obyektif pendidikan Islam pada waktu itu memang

sedemikian rupa, sehingga diperkirakan tidak akan mampu

menghadapi superioritas Barat, tidak akan sanggup melawan

pendidikan Kristen yang jauh lebih maju dalam segala bidang, dan

tidak akan dapat berhadapan dengan sikap diskriminatif pemerintah

40
penjajah. Tetapi ternyata kemudian kondisi agama ini berkembang

menjadi berbeda dengan perhitungan dan ramalan tersebut.

2. Pendidikan Islam pada masa Penjajahan Jepang

Pendidikan Islam di zaman penjajahan Jepang terkait erat dengan

saling membutuhkan antara Jepang dan umat Islam di Indonesia.

Jepang membutuhkan umat Islam Indonesia terkait dengan perang

Asia Timur Raya, agar pihak Jepang mendapat bantuan dari umat

Islam Indonesia.

B. Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Untuk itu

kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca dalam

menyempurnakan makalah Puji syukur kepada Allah atas segala limpahan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah

ini. Penulis menyadari tentunya masih banyak kekurangan dalam makalah

ini. Penulis berharap makalah ini dapat berkontribusi bagi pembaca.

41
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Pustaka pelajar, 2010
Azra, Azsyumardi. Jaringan Ulama, cet.I; Bandung : Mizan, 1995.
Azra, Azsyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru. Cet.I; akarta: Logos Wacana ilmu, 1999.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982
Djaelani, A. Timur. Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan
Tinggi Agama, Jakarta: Dermaga, 1980
Faisal, Yusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam, cet. I; Jakarta: PT. Gema
Insani Press, 1995
Hamka. Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Nusantara, 1961), h. 660 – 662. Lihat juga
Ibrahim Bukhari, Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan
Pergerakan Nasional di Minangkabau, Jakarta: Gunung Tiga, 1981
Hasbullah. Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada,
1995
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintas Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan , Jakarta: PT Grafindo Persada, 1999.
Hasjimi, A. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang,
1990
Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya , Cet.II; Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kkusut Dunia
Pendidikan Cet. I; Jakarta: PT.Raja Garafindo, 2004.
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam, cet II, Jakarta: Prenada, 2008.
Nizar, Hayati. Analisis Historis Pendidikan Demokrasi di Minangkabau,Majallah
Hadharah PPS IAIN Imam Bonjol Bapang, vol 3 edisi Pebruari 2006.
Putra, Haidar Daulay. Sejarah Pertumbuha dan Pembaruan Islam di Indonesia
Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009
Rasyidi, M. Strategi Kebudayaan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Jakarta:
Bulan Bintang, 1980.
Saridjo Marwan. Pendidikan Islam dari masa ke masa Cet. I; Jakarta:
Penamadani, 2010.
Suryanegara , Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam
Indonesia Jakarta: Mizan, 1998.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam, cet; VII; Jakarta: Hidakarya Agung,
1992.

42

Anda mungkin juga menyukai