MAKALAH Masa Kepemimpinan Ali Dan Lahirnya Muawiyah
MAKALAH Masa Kepemimpinan Ali Dan Lahirnya Muawiyah
MAKALAH Masa Kepemimpinan Ali Dan Lahirnya Muawiyah
SITUASI SOSIAL POLITIK AKHIR KEPEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB RA. DAN
LAHIRNYA BANI UMMAYAH
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
2022
Kata Pengantar
Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
bisa menyelesaikan tugas penyusunan Makalah Sejarah Kebudayaan Islam dengan judul situasi
sosial politik akhir kepemimpinan ali bin abi thalib ra. dan lahirnya bani ummayah.
Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak
selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam yang telah memberikantugas
membuat makalah ini. Makalah situasi sosial politik akhir kepemimpinan ali bin abi thalib ra.
dan lahirnya bani ummayah. Dalam makalah dengan tema Sejarah Peradaban Islam Pada Masa
kepemimpinan ali bin abi thalib ra. dan lahirnya bani ummayah ini, kami akan membahas
tentang Situasi Sosial Politik Akhir Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Proses Kelahiran Dinasti
Umayyah . Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami tidak menutup diri dari para pembaca akan saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah dimasa yang akan
datang. Dan kami berharap, semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi kami
penyusun dan para pembaca semuanya.
Kelompok 5
i
Daftar Isi
Kata Pengantar i
Daftar Isi ........................................................................................................................................................ ii
BAB I .............................................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................................................................... 1
BAB II ............................................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................................... 2
1.4 Situasi Sosial Politik Akhir Khalifah Ali bin Abi Thalib ................................................................... 2
4.1 Proses Kelahiran Dinasti Umayyah ............................................................................................... 4
4.2 Khalifah-khalifah Dinasti Umayyah ............................................................................................... 7
BAB III ............................................................................................................................................................ 9
PENUTUP ....................................................................................................................................................... 9
4.3 Kesimpulan.................................................................................................................................... 9
4.4 Saran ............................................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Keadaan sosial politik pada awal kepemimpinan Ali sangat tidak stabil karena
terjadi pemberontakan dimana-mana. Pemberontakan-pemberontakan itu tidak dapat
diselesaikan hingga kepemimpinan Ali, sehingga hal tersebut menyebabkan pecahnya
umat Islam menjadi beberapa golongan dan sangat tidak menguntungkan bagi Ali.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
adalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana Situasi Sosial Politik Akhir Khalifah Ali bin Abi Thalib?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai adalah
sebagai berikut:
1.3.1 Dapat mengetahui Situasi Sosial Politik Akhir Khalifah Ali bin Abi Thalib
1.3.2 Dapat memahami dan menjelaskan bagaimana proses kelahiran dinasti Bani
Umayyah
1
BAB II
PEMBAHASAN
1.4 Situasi Sosial Politik Akhir Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah pengangkatan sebagai Khalifah pasca terbunuhnya Utsman, Ali bin Abi
Thalib berusaha keras memulihkan keamanan yang tidak kondusif. Di atas telah
dijelaskan bahwa pengangkatan Ali berada dalam kondisi yang amat sulit. Stabilitas yang
tidak terjamin menyebabkan Ali mengalami berbagai kesulitan yang tidak sedikit.
Beratnya tugas pemerintahan, Ali harus mengambil berbagai kebijakan, walaupun kadang
- kadang kebijakan itu tidak populer, atau bertentangan dengan kecenderungan yang
berkembang dalam masyarakat. Di antara langkah-langkah yang dilakukan Ali bin Abi
Thalib, yaitu:
2. Penggantian pejabat lama dengan yang baru
Khalifah Ali bin Abu Thalib memerintah hanya enam tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun
dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan
khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi dikarenakan keteledoran mereka.
3. Penarikan Kembali Tanah Hadiah
Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada
penduduk dengan menyerahkan hasl pendapatannya kepada negara., dan memakai
kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana
pernah diterapkan oleh Umar bin Khattab.
4. Mengadapi Para Pemberontak
Setelah kebijakan tersebut diterapkan, Ali bin Abu Thalib menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau
menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah
Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali
menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar
2
keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara tersebut secara damai.
Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun terjadi.
Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Perang Unta), karena
Aisyah dalam pertempuran ini menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan
lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan
Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh putranya yang bernama
Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Namun karena Hasan ternyata lemah, sementara
Muawiyah kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjajian ini dapat
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah
Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah
menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan ini dikenal
dalam sejarah sebagai tahun Amul Jamaah. Dengan demikian berakhirlah apa yang
disebut dengan Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam
sejarah politik Islam.
3
4.1 Proses Kelahiran Dinasti Umayyah
Kebijakan Ali bin Abi Thalib yang mengganti beberapa gubernur yang diangkat
oleh Usman bin Affan sedikit banyak menimbulkan gejolak di beberapa wilayah.
Muawiyyah sebagai gubernur Syam waktu itu termasuk yang terkena imbas dari
kebijakan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah tidak mau melepaskan jabatannya sebagai
Gubernur Syam sebelum Ali bin Abi Thalib menghukum para pembunuh Usman.
Sementara Ali bin Abi Thalib sebagai seorang khalifah menganggap berhak memecat
Muawiyah dan belum saatnya menghukumi para pembunuh Usman dengan alasan
meredam gejolak umat Islam yang sedang dalam masa transisi.
4
Setelah melalui berbagai pertimbangan akhirnya pasukan Ali bin Abi Thalib
menerima tawaran damai tersebut dengan pertimbangan agar tidak bertambah lagi
korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Kedua belah pihak bersepakat untuk
mengembalikan keputusan kepada kitabullah dan menunjuk utusan masing-masing
pihak untuk mengadakan perundingan.
Dari pihak Ali bin Abi Thalib ditunjuklah Abu Musa al-Asy‟ari dan dari pihak
Muawiyah ditunjuklah Amr bin Ash. Mereka bersepakat dengan sebuah perjanjian
Tahkim yang salah satu keputusannya adalah sepakat untuk genjatan senjata dan
memutuskan untuk mengembalikan persoalan umat kepada kitabullah.
Ketika tiba saat yang ditentukan kedua belah pihak berkumpul untuk
memutuskan perdamian dikalangan umat Islam, dengan masing-masing kubu membawa
400 pasukan. Mereka berkumpul disebuah tempat bernama Daumatul Jandal, tepatnya
di Adzruh. Abu Musa Al-Asy‟ari diberi kesempatan oleh Amr bin Ash untuk
menyampaikan pidatonya di hadapan pasukan: “saudara-saudara kami telah mengkaji
persoalan ini, maka kami tidak melihat keputusan yang paling tepat dan paling bisa
menghindarkan kekacauan sekarang ini yang sama-sama disepakati olehku dan oleh
Amr selain satu saja, kita mencopot Ali dan Muawiyah dari jabatannya, hadapilah
urusan ini dan angkatlah orang yang menurut kalian berhak menjadi kepala Negara
kalian”.
Abu Musa mundur dari mimbar dan kemudian Amr bin Ash maju dan berdiri di
mimbar, lalu menyampaikan pidatonya: “Abu Musa telah menyampaikan pernyataan
seperti yang telah kalian dengar tadi, dia telah mencopot sahabatnya (Ali bin Abi
Thalib), dan akupun mencopot sahabatnya itu seperti yang dia lakukan. Dan aku
kokohkan kedudukan sahabatku, karena dialah ahli waris Usman, dan pihak yang paling
berhak menggantikan kedudukan Usman.
5
Demikianlah pada akhirnya tahkim tidak dapat memuaskan kedua belah pihak
terutama dari pihak Ali bin Abi Thalib dan para pendukungnya, walaupun pihak
Muawiyah tidak mendapatkan dukungan dari kubu Ali namun paling tidak dalam
keputusan tersebut terdapat pernyataan bahwa kekuasaan tidak lagi berada di tangan Ali
dan kemudian diserahkan kepada kaum Muslim untuk memilih pemimpin yang mereka
inginkan, dan pada saat itu Muawiyah memiliki pasukan yang cukup besaryang
dipilihnya, dan tidak ada seorangpun yang bisa menandingi kekuatannya, sehingga
keinginannya untuk menjadi khalifah kaum muslim pun semakin besar.
Dengan putusan Tahkim tersebut, posisi Muawiyah menjadi kuat, dia dibai‟at
menjadi khalifah oleh penduduk Syam dan berturut-turut dia mencari kekuatan
dukungan dari Mesir dan memberangkatkan pasukan ke beberapa wilayah yang dikuasai
Ali bin Abi Thalib. Kekecewaan pun muncul dari pendukung Ali yang kemudian keluar
dari golongan Ali dan menamakan dirinya sebagai golongan Khawarij.
Setelah Ali bin Abi Thalib wafat atas kekejaman Khawarij, maka dibai‟atlah
Hasan bin Ali menjadi Khalifah selanjutnya. Hasan bin Ali memiliki pandangan yang
tepat terkait beberapa kondisi yang ada di sekelilingnya, dia melihat tentaranya tidak
bisa mempercayainya, musuhnya sedemikian kuat watak dan tekadnya. Selain itu Hasan
sendiri tidak menyukai kekacauan dan lebih menginginkan persahabatan dan
perdamaian bagi kaum muslim.
Maka dia tidak memiliki pilihan yang lebih bijak untuk diri dan umatnya selain
turun dari jabatannya, membuat perjanjian damai dengan sejumlah syarat yang dapat
disetujui oleh kedua belah pihak, lalu dia menuliskan pembai‟atannya kepada
Muawiyah, dan menyerahkan kota Kufah kepada Muawiyah pada akhir Rabi‟ul awal
tahun 41 H. Ketegangan pun mereda dan kaum muslim menyebut tahun itu sebagai
Amul Jamaah (tahun persatuan).
6
4.2 Khalifah-khalifah Dinasti Umayyah
a. Khalifah di Damaskus
Kekuasaan Daulah Umayyah berlangsung selama kurang lebih 90
tahun, selama kurun waktu itu Daulah Umayyah dipimpin oleh 14 orang
khalifah, yaitu :
7
b. Khalifah di Andalusia
Dinasti Umayyah di Andalusia yang berkuasa dari 756-1031 M
berhasil mencapai kemajuan dengan banyak menginspirasi peradaban Eropa
untuk keluar dari zaman kegelapan terutama ketika dijabat oleh
Abdurrahman I, Abdurrahman III, Hakam II, dan Al-Hajib al-Mansur Billa
atau Muhammad II. Dinasti Umayyah di Andalusia berkuasa selama 275
tahun dengan 16 khalifah, yaitu:
1. Aburrahman ad-Dakhil (Abdurrahman I) 756-788 M,
2. Hisyam bin Abdurrahman (Hisyam I) 788-796 M,
3. al-Hakam bin Hisyam (al-Hakam I) 796-822 M,
4. Abdurrahman al-Ausat (Abdurrahman II) 822-852 M,
5. Muhammmad bin Abdurrahman (Muhammad I) 852-886 M,
6. Munzir bin Muhammad 886-888 M,
7. Abdullah bin Muhammad 888-912 M,
8. Abdurrahman an-Nasir (Abdurrahman III) 912-961 M,
9. Hakam al-Muntasir (al-Hakam II) 961-976 M,
10. Hisyam II (al-Muayyad) 976-1009 M,
11. Muhammad II (al-Mahdi) 1009-1010 M,
12. Sulaiman 1013-1016 M,
13. Abdurrahman IV (al-Murtada) 1016-1018 M,
14. Abdurrahman V (al-Muntazir) 1018-1023 M,
15. Muhammad III (al-Mustafi) 1023-1025 M,
16. Hisyam III (Al-Muktadi) 1027-1031 M.
8
BAB III
PENUTUP
4.3 Kesimpulan
4.4 Saran
Berdasarkan makalah yang telah dibahas di atas, maka dapat dijadikan pelajaran
bahwa musyawarah yang dilakukan secara benar tidak akan menimbulkan perpecahan
antar umat Islam sehingga tidak sampai pada pemberontakan hingga pembunuhan yang
keji ini.
9
DAFTAR PUSTAKA
Wakhid, Achmadi dkk. Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XII. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani. 2008.
Achmadi, Wahid dkk. Menjelajahi Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2006.
Al-’Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Yatim, Badri 2011. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II),.Rajawali Pers,
Jakarta.
Yatim, Badri 2010. Sejarah Peradaban Islam, cet. 22, PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Jakarta.
10