Bab IV Kolid Tanah 11sp
Bab IV Kolid Tanah 11sp
Bab IV Kolid Tanah 11sp
Secara fisik, koloid atau partikel koloidal tanah dapat didefinisikan sebagai
zarah tanah yang berukuran < 2 μm. Koloid tanah dikelompokan menjadi dua,
yaitu: (1) koloid anorganik yang meliputi beberapa mineral primer dan sekunder
dan (2) koloid organik yang umumnya merupakan hasil dekomposisi bahan or-
ganik tanah. Partikel koloidal tersebut merupakan bagian fase padatan tanah
yang paling aktif karena ukurannya yang sangat kecil (permukaan efektifnya
luas) dan bermuatan listrik.
J. Priyono
KIMIA TANAH 46
Tabel 4.1. Diameter dan nisbah diameter kation terhadap O 2- (Rx/Ro) dan angka
koordinasi kation yang umum ditemukan pada mineral silikat (Hurlbut dan
Klein, 1977)
J. Priyono
KIMIA TANAH 47
O2- yang terletak pada sudut struktur tetrahedral, lebih kecil daripada yang dapat
masuk ke dalam struktur oktahedral menggantikan Al 3+ (Schulze, 1989). Menu-
rut Hurlbut dan Klein (1977), kation yang dapat menggantikan Si 4+ dalam struk-
tur tetrahedral harus mempunyai diameter maksimum 0,414 x diameter O 2-
(Rx/Ro < 0,414), sedangkan untuk dapat menggantikan Al 3+ dalam struktur okta-
hedral harus mempunyai diameter maksimum 0,732 x diameter O 2- (Rx/Ro <
0,732. Berdasarkan hasil perhitungan itu, kation yang dapat menggantikan Si 4+
dalam struktur tetrahedral hanya Al3+, sedangkan kation yang dapat mengganti-
kan Al3+ dalam struktur oktahedral adalah Fe 3+, Ti4+ Mg2+, Mn2+, Fe2+, Ca2+, dan
Na+. Ion Al3+ dapat masuk ke struktur tetrahedral maupun oktahedral, karena
mempunyai nilai Rx/Ro sebesar 0,364, mendekati nilai batas terendah (0,414).
Ionisasi gugus fungsional pada permukaan mineral liat, mineral amorf (ok-
sida/hidroksida dari logam polivalen), dan koloid organik, dapat menghasilkan
kelebihan muatan listrik yang besarnya mudah dipengaruhi oleh pH, sehingga
disebut ‘muatan tergantung pH’ (pH-dependent charge). Kelebihan muatan
yang dihasilkan melalui proses ini dapat positif maupun negatif, tergantung pa-
da tingkat kemasaman di sekitar koloid itu. Perubahan ‘muatan tergantung pH’
pada pinggir patahan mineral kaolinit dan gugus karboksil koloid organik ma-
sing-masing diilustrasikan pada Gambar 4.1.
Dalam kondisi masam, dimana (H+) > (OH-), reaksi bergerak ke kiri, se-
hingga terjadi penambahan muatan positif atau penurunan muatan negatif pada
gugus hidroksil di pinggiran kristal liat (Gambar 4.1.(a) atau gugus fungsional
koloid organik (Gambar 4.1.(b)). Sebaliknya, dalam keadaan basa, dimana (H +)
< (OH-), reaksi bergerak ke kanan dan terjadi penambahan muatan negatif. Jadi,
peningkatan pH tanah umumnya akan meningkatkan muatan negatifnya
sehingga meningkatkan kemampuan koloid itu untuk menjerap kation.
⇋ ⇋
+ 3H2O
-OH2+ -OH -O-
Gambar 4.1. Ilustrasi terjadinya perubahan muatan pada koloid tanah yang dise-
babkan oleh terjadinya perubahan pH tanah.
J. Priyono
KIMIA TANAH 49
‘mika’ yang termasuk mineral primer dibahas dalam buku ini sebagai pemban-
ding untuk tipe liat 2:1.
○
○
○◘ ○
○ ● ○
○
○
○
○ O /OH
2- -
●Si 4+
◘ Al3+
Mineral Liat Tipe 1:1. Mineral tipe ini tersusun dari satu lapisan struktur
(kisi) oktahedral dan satu lapisan struktur tetrahedral. Ion O 2- pada ujung tetra-
hedral digunakan bersama oleh struktur oktahedral membentuk satu unit mine-
ral liat 1:1. Contoh mineral liat tipe 1:1 adalah kaolinit dan haloisit. Struktur
kaolinit dan haloisit secara skematik disajikan pada Gambar 4.3.
Kaolinit mempunyai rumus kimia ideal Al 2Si2O5(OH)4. Kation Al3+ berada
dalam struktur oktahedral dan Si4+ dalam struktur tetrahedral. Dua kisi 1:1 (te-
trahedral - oktahedral) dihubungkan dengan ikatan kovalen (elektrostatik le-
mah) antara gugus hidroksil pada oktahedral kisi pertama dengan oksigen pada
tetrahedral kisi kedua. Kumpulan dari banyak ikatan kovalen itu menghasilkan
ikatan kimia yang begitu kuat sehingga menghasilkan ruang antar kisi 1:1 yang
sempit. Akibatnya, molekul air tidak mudah masuk ke ruang antar kisi, sehing-
ga kaolinit tidak mudah mengembang dan mengkerut.
J. Priyono
KIMIA TANAH 50
Kaolinit Haloisit
OH H2O
Tetrahedral Oktahedral
Gambar 4.3. Skema struktur kristal mineral liat tipe 1:1 (kaolinit dan haloisit)
J. Priyono
KIMIA TANAH 51
(Gambar 4.4.). Mineral liat tipe 2:1 yang umumnya dapat dijumpai dalam tanah
mineral adalah montmorilonit, vermikulit, dan mika.
Montmorilonit Vermikulit
Tetrahedral Oktahedral
Gambar 4.4. Skema struktur kristal mineral liat tipe 2:1 (monmorilonit dan
vermikulit).
J. Priyono
KIMIA TANAH 52
J. Priyono
KIMIA TANAH 53
Mineral Liat Tipe 2:1:1. Mineral liat tipe 2:1:1 dicirikan oleh dua kisi 2:1
bermuatan negatif yang mengapit brusit ([AlMg 2(OH)6]2+ ) (Gambar 4.5). Cara
penyusunan seperti itu menyebabkan sifat mengembang – mengkerut mineral
2:1:1 sangat terbatas, serta luas permukaan efektif dan KTK-nya rendah. Con-
toh mineral liat tipe 2:1:1 adalah klorit dengan rumus umum setengah selnya
[(AlMg2(OH)6)x(Mg3(Si4-xAlx)O10(OH)2)]. Posisi Si4+ pada tetrahedral ditempati
oleh Mg2+, sedangkan sebagian Al 4+ pada struktur dasar oktahedral ditempati
oleh Si+3. Luas permukaan efektif klorit berkisar antara 70.10 3 sampai 150.103
m2 kg-, sedangkan KTK-nya berkisar antara 10 sampai 40 cmol c kg- .
J. Priyono
KIMIA TANAH 54
Mika Klorit
K+ K+ K+ K+ K+ K+ AlMg2(OH)6) 2+(brusit)
Tetrahedral Oktahedral
J. Priyono
KIMIA TANAH 55
Alofan mempunyai KTK sangat beragam (10 sampai 150 cmol c. kg-) karena
muatan negatifnya tidak tetap (tergantung pH). Makin tinggi pH tanah/mineral
tersebut, makin tinggi nilai KTK-nya. Luas permukaan efektif alofan juga sa-
ngat beragam, 70.103 - 300.103 m2. kg-, dipengaruhi pula oleh pH dan tingkat
kristalisasinya.
J. Priyono
KIMIA TANAH 56
Pada Gambar 4.6 disajikan grafik yang menjelaskan sumbangan koloid or-
ganik dalam menentukan intensitas pengaruh perubahan pH tanah terhadap nilai
KTK. Sumbangan bahan (koloid) organik terhadap KTK tanah sangat tinggi.
Peningkatan muatan negatif yang disebabkan oleh peningkatan pH pada koloid
organik, lebih tajam daripada yang terjadi pada mineral liat silikat. Hal itu dika-
renakan koloid organik mengandung lebih banyak gugus fungsional daripada
mineral liat silikat. Jika terjadi ionisasi akibat peningkatan pH, maka peningkat-
an muatan negatif pada koloid organik jauh lebih tinggi daripada yang terjadi
pada mineral liat. Selain itu, proses ionisasi pada liat silikat hanya terjadi pada
gugus hidroksil di pinggiran kristal yang kuantitasnya relatif kecil dibandingkan
pada koloid organik.
250
200
KTK (cmol c kg )
-
150
100
Mineral liat
50
0
2 3 4 5 6 7 8 9
pH
Gambar 4.6. Pengaruh bahan (koloid) organik terhadap hubungan antara pH
dengan KTK 60 tanah Wisconsin (digambar berdasarkan data dari Helling et
al., 1964)
J. Priyono
KIMIA TANAH 57
J. Priyono
KIMIA TANAH 58
tanah ini mempunyai nilai TMN tinggi. Sebaliknya, tanah-tanah yang masih
muda, kaya mineral primer dan sekunder yang muatan listriknya tak tergantung
pH (misalnya mika, montmorilonit, dan vermikulit, klorit), mempunyai nilai
TMN rendah, relatif lebih subur daripada tanah A. Jadi, tanah yang TMN-nya
tinggi relatif kurang subur dibandingkan dengan tanah yang TMN-nya rendah.
McBride (1989) telah mengumpulkan nilai TMN untuk beberapa mineral
dari berbagai literatur, dan disitir dalam Tabel 4.2. Tampak pada tabel tersebut
bahwa nilai TMN setiap mineral berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan
oleh sifat kation penyusun masing-masing oksida/hidroksidanya, yaitu diameter
dan muatannya (valensi kation). Menurut Parks (1967), hubungan antara TMN
dengan sifat-sifat kation itu adalah TMN = 18,6 - 11,5(Z/r). Simbol Z adalah
muatan kation dan r adalah total diameter kation dan oksigen. Muatan kation
menentukan kekuatan ikatan antara kation itu dengan hidroksida pada gugus
fungsional mineral, sedangkan diameter logam menentukan jumlah molekul
H2O atau OH- yang dapat diikat oleh kation itu. Makin tinggi muatan kation da-
lam mineral tersebut, makin rendah nilai TMN; dan makin kecil diameter kation
tersebut, makin tinggi TMN mineral yang terbentuk dari kation/logam itu.
Tabel 4.2. Nilai TMN beberapa mineral yang umum dijumpai pada tanah mine-
ral (data dikumpulkan oleh McBride, 1989 dari berbagai literatur)
J. Priyono
KIMIA TANAH 59
Sebagai contoh, perhatikan nilai TMN untuk -AlOOH dan -FeOOH da-
lam Tabel 4.2. Ion logam Al 3+ dan Fe3+ dalam mineral itu mempunyai muatan
yang sama, tetapi diameter Al 3+ (0,051 nm) lebih besar daripada Fe 3+ (0,064
nm). Jika nilai tersebut dimasukkan ke dalam rumus Parks (1967), maka TMN
untuk -AlOOH akan lebih tinggi daripada untuk -FeOOH. Jadi, nilai TMN
suatu tanah tergantung pada kuantitas dan kualitas mineral penyusunnya, khu-
susnya mineral yang bersifat koloidal (< 2 μm). Nilai TMN mineral tersebut sa-
ngat ditentukan oleh logam penyusunnya yang bertanggung jawab terhadap
mudah-tidaknya proses protonisasi/deprotonisasi berlangsung pada gugus fung-
sional pada senyawa yang terbentuk dari logam itu.
4.5. Ringkasan
Koloid tanah (zarah anorganik dan organik tanah < 2 μm) merupakan fase
padatan tanah yang paling reaktif dan sangat menentukan sifat fisik maupun
kimia tanah. Rekativitas itu berkaitan dengan permukaan efektifnya yang luas
dan bermuatan listrik (kelebihan mutan negatif maupun positif). Kelebihan mu-
atan listrik tersebut dihasilkan dari proses substitusi isomorfik/dan ionisasi gu-
gus fungsional.
Substitusi isomorfik adalah proses penggantian posisi kation pada strutur
dasar tetrahedral atau oktahedral oleh kation lain yang ukuran ioniknya tidak ja-
uh berbeda, tetapi muatannya lebih rendah. Proses itu menghasilkan kelebihan
muatan negatif permanen. Muatan yang dihasilkan dari proses ionisasi gugus
fungsional dipengaruhi oleh pH (pH-dependent charges). Makin tinggi pH sua-
tu mineral/tanah, makin tinggi kelebihan mutan negatif mineral/ tanah tersebut.
Koloid anorganik dalam fraksi liat tanah mineral terdiri atas mineral liat
silikat (clay) yang bersifat kristalin, dan mineral amorfus (non kristalin). Mine-
ral liat tersusun dari dua struktur dasar, yaitu struktur tetrahedral dan
oktahedral. Satu unit struktur dasar tetrahedral terdiri atas satu atom Si 4+ yang
dikelilingi oleh 4 atom oksigen/dan hidroksida, sedangkan satu unit oktahedral
terdiri atas satu atom Al 3+ dikelilingi oleh 6 atom oksigen/dan hidroksida.
Berdasarkan cara penyusunan kisi struktur dasar tersebut, mineral liat dapat
J. Priyono
KIMIA TANAH 60
menjadi beberapa ti-pe, yaitu tipe 1:1, 2:1, dan 2:1:1. Contoh masing-masing
tipe mineral liat beser-ta sifat utamanya diringkas dalam Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Tipe dan beberapa sifat penting mineral liat silikat (clay)
Subs. Isomorfik ≈0 ≈0 -0,25 s/d -0,6 -0,6 s/d -0,9 -1,0 -2,0
Koloid anorganik lain adalah mineral amorfus (non kristalin), misalnya he-
matit (Fe2O3) dan geotit (Fe2O3.nH2O) atau alofan (kompleks Al 2O3, Fe2O3, dan
SiO2). Meskipun kuantitasnya relatif kecil dibanding mineral liat kristalin, mi-
neral amorfus mampu memberikan ciri kenampakan yang khas dan tegas, ter-
utama pada tanah yang telah berkembang lanjut. Mineral itu mempunyai KTK
dan luas permukaan efektif yang beragam, tergantung pada pH di sekitarnya
dan tingkat kristalisasinya.
Koloid organik (humus) mempunyai peran penting dalam menentukan sifat
fisiko-kimia tanah. Gugus fungsinonal pada koloid organik berperan sebagai
sumber utama muatan negatif, jumlahnya lebih banyak dibandingkan pada kolo-
id anorganik. Hal itu menyebabkan muatan pada koloid organik sangat tergan-
J. Priyono
KIMIA TANAH 61
tung pH dan umumnya total muatan listriknya lebih tinggi dibandingkan pada
koloid anorganik.
Kualitas (kesuburan) relatif tanah dapat diprediksi dengan mengukur nilai
titik muatan nol (TMN), yaitu nilai pH tanah pada saat total muatan listriknya
nol (total muatan positif = negatif). Tanah dengan nilai TMN rendah, mengan-
dung sedikit mineral amorf, relatif lebih subur daripada tanah dengan nilai
TMN tinggi.
J. Priyono
KIMIA TANAH 62
J. Priyono