Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Proposal Waterfron

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

PENATAAN PEDAGANG DI KAWASAN PROMENADE WATERFRONT

CITY KOTA PONTIANAK BERDASARKAN PERATURAN WALIKOTA


PONTIANAK NOMOR 26 TAHUN 2019 TENTANG PENATAAN DAN
PENGAWASAN KAWASAN DAERAH WATERFRONT
KOTA DI KOTA PONTIANAK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan di suatu

daerah dilakukan untuk mendorong perubahan, yang sehingga daerah

menjadi maju. Sekarang ini, daerah dituntut untuk meningkatkan

fasilitas-fasilitas umum serta melakukan pemberdayaan masyarakat

daerah. Hal tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh

pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas suatu daerah yang

tidak lepas dari kerjasama antara pihak swasta maupun masyarakat.

Sungai Kapuas merupakan sebuah fenomena alam yang sudah

menjadi ikon bagi kota Pontianak dimana kawasan tersebut memiliki

daya tarik tersendiri bagi masyarakat setempat maupun luar daerah.

Kota Pontianak tumbuh dari keberadaan sungai sebagai sumber

kehidupan kota dan telah mengalami perkembangan dan

pertumbuhan pada pola ruang kotanya dan akan terus berkembang

sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan tuntutan

kebutuhan masyarakat akan fasilitas kota yang lebih modern. Hingga

saat ini, keberadaan Sungai Kapuas tetap menjadi daya tarik

1
tersendiri bagi masyarakat Pontianak. Pada saat ini, potensi Sungai

Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia tersebut

mulai dilirik pemerintah pusat untuk dikembangkan menjadi obyek

wisata yang mampu menarik minat wisatawan. Pemerintah akan

merevitalisasi kawasan tepian sungai agar dapat dijadikan sebagai

Kota Air (Waterfront City) guna menarik minat wisatawan domestik

dan mancanegara untuk berwisata ke Kota Pontianak.

Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah usaha sektor informal

berupa usaha dagang yang kadang-kadang juga sekaligus produsen.

Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari

tempat satu ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta

dorong) menjajakan bahan makanan, minuman dan barang-barang

konsumsi lainnya secara eceran. PKL Umumnya bermodal kecil

terkadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan

mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih payahnya. 1

Namun keberadaan PKL selain menguntungkan juga mendatangkan

permasalahan baru. Kegiatan para PKL dianggap sebagai kegiatan

liar karena penggunaan ruang tidak sesuai dengan peruntukannya

sehingga mengganggu kepentingan umum. Seperti kegiatan

pedagang kaki lima (PKL) yang mengunakan trotoar dan jalan atau

badan jalan sebagai tempat berdagang, pemasangan reklame yang

1
Henny Purwanti dan Misnarti. 2012. Usaha Penertiban dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di
Kabupaten Lumajang. Jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang. Hal.
1

2
sembarangan, perilaku buang sampah sembarangan dan perilaku

menyeberang jalan sembarangan.

Waterfron city juga menjadi salah satu titik berkumpulnya

masyarakat kota Pontianak yang menjadikan waterfron city sebagai

salah satu bidikan strategis bagi pedagang kaki lima (PKL) dalam

melakukan kegiatan komersil di sepanjang kawasan promenade

waterfron city, kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan

promenade waterfron city dianggap bertentangan dengan fungsi dan

kegunaan dari waterfron yang merupakan tempat wisata dan sarana

olahraga bagi masyarakat kota Pontianak, hal ini di atur dalam

Peraturan Walikota Nomor 26 Tahun 2019 Tentang Penataan Dan

Pengawasan Kawasan Daerah Waterfront Kota Di Kota Pontianak

yang melarang segala bentuk kegiatan berupa berjualan dan

melakukan kegiatan komersil yang tertuang dalam pasal 5 Peraturan

Walikota Nomor 26 Tahun 2019 yang tidak diperbolehkan dibangunan

water front kota dan fasilitas waterfront kota Pontianak adalah sebagai

berikut :

a. berjualan diatas waterfront kota dan fasilitas waterfront kota

Pontianak serta melakukan kegiatan komersil;

b. meletakkan peralatan dan fasilitas berjualan diatas waterfront kota

dan fasilitas waterfront kota pontianak;

c. menaikkan/mengendarai kendaraan bermesin roda dua ke atas

diatas waterfront kota dan fasilitas waterfront kota pontianak;

3
d. merusak bangunan waterfront kota dan fasilitas waterfront kota

pontianak;

e. mencoret-coret bangunan waterfront kota dan fasilitas waterfront

kota pontianak;

f. mengambil/mencabut/ mencuri bagian bangunan waterfront kota

dan fasilitas waterfront kota pontianak;

g. membuang sampah sembarangan diatas bangunan waterfront

kota, fasilitas waterfront kota pontianak serta kawasan waterfront

kota pontianak;

h. menaruh material/peralatan yang bukan termasuk bangunan

waterfront kota dan fasilitas waterfront kota pontianak di atas

waterfront dan fasilitas waterfront kota pontianak;

i. melakukan kegiatan tertentu tanpa izin Walikota;

j. mengambil retribusi/ biaya penggunaan bangunan waterfront kota

dan fasilitas waterfront kota pontianak tanpa izin dari Walikota;

k. mengambil retribusi parkir/ biaya parkir dilahan parkir yang

disediakan oleh Pemerintah Kota Pontianak sesuai rambu yang

ada;

l. menambatkan/ merapatkan kapal/perahu/atau sejenisnya di

bangunan waterfront dan fasilitas waterfront kota pontianak; dan

m. menaruh/melakukan permainan meriam karbit/ sejenisnya diatas

waterfront dan fasilitas water front kota pontianak. 2

2
Pasal 5 pearturan walikota pontianak nomor 26 tahun 2019

4
Pada kenyataan di lapangan adanya kegiatan komersil yang

dilakukan oleh pedagang di kawasan promenade waterfron city

dengan menjadikan promenade sebagai tempat berjualan dengan

meletakan fasilitas berjualan seperti meja, kursi maupun tenda dan

payung di sepenjang waterfron city dan juga di temukan banyaknya

pedagang yang menawarkan penyewaan scoter listrik di kawasan

promenade waterfron city. Apabila aktivitas pedagang di kawasan

promenade waterfron city ini tidak diatur atau ditata dengan baik dan

benar oleh Pemerintah Kota Pontianak, diyakini akan menimbulkan

masalah dikemudian hari.Hal ini mengingat dibeberapa kota di

Indonesia sering dihadapi dengan permasalahan yang berkaitan

dengan penataan Pedagang Kaki Lima. Kondisi ini akan tambah

parah lagi seiringan dengan gerak laju pertumbuhan penduduk di Kota

Pontianak yang semakin pesat. Oleh karena itu perlu adanya

penataan dan pengawasan terhadap pedagang yang melakukan

kegiatan komersil di kawasan promenade waterfron city guna

mengembalikan tujuan awal fungsi dari waterfron city sebagai tempat

wisata dan sarana olah raga serta sebagai upaya dalam menjaga

kawasan waterfron city agar tetap menjadi kawasan yang baik dan

indah guna menjadikan waterfron city sebagai etalase kota Pontianak.

Uraian di atas melatarbelakangi penulis untuk mengadakan

penelitian lebih lanjut dalam bentuk penelitian tesis dengan judul:

Penataan Pedagang Di Kawasan Promenade Waterfront City

5
Kota Pontianak Berdasarkan Peraturan Walikota Pontianak

Nomor 26 Tahun 2019 Tentang Penataan Dan Pengawasan

Kawasan Daerah Waterfront Kota Di Kota Pontianak

B. Rumusan Masalah

1. Bagaiamana Bentuk Penataan Terhadap Pedagang Di Kawasan

Promenade Waterfront City Pontianak Berdasarkan Peraturan

Walikota Pontianak Nomor 26 Tahun 2019 ?

2. Kendala Apa Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Penataan

Pedagang Di Kawasan Promenade Waterfront City Kota

Pontianak ?

3. Upaya Apa Yang Dilakukan Dalam Pelaksanaan Penataan

Pedagang Dikawasan Promenade Waterfron City Kota

Pontianak ?

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari

pemahaman tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui mekanisme penataan pedagang di

kawasan promenade waterfront city Kota Pontianak

Berdasarkan Peraturan Walikota Pontianak Nomor 26 Tahun

2019 Tentang Penataan Dan Pengawasan Kawasan Daerah

Waterfront Kota Di Kota Pontianak

6
2. Untung mengetahui kendala yang dihadapi dalam

melaksanakan penataan pedagang di kawasan promenade

waterfront city Kota Pontianak Berdasarkan Peraturan

Walikota Pontianak Nomor 26 Tahun 2019 Tentang Penataan

Dan Pengawasan Kawasan Daerah Waterfront Kota Di Kota

Pontianak

3. Untung mengetahui upaya yang dilakukan dalam penataan

pedagang di kawasan promenade waterfront city Kota

Pontianak Berdasarkan Peraturan Walikota Pontianak Nomor

26 Tahun 2019 Tentang Penataan Dan Pengawasan

Kawasan Daerah Waterfront Kota Di Kota Pontianak

D. Manfaat Penelitian

1. Secara akademik

Memberikan sumbagsih kepada masyarakat menegani

penyelesai masalah yang di lakukan melalui suatu kebijakan yang

saling menguntungkan

2. Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat, diharapkan masyarakat dapat memahami

eksistensi Pedagang Kaki Lima.

b. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi wahana untuk

menambah wawasan dan pengetahuan yang telah diperoleh

terutama yang berkaitan dengan persoalaan Pedagang Kaki

Lima.

7
c. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

evaluasi dalam pelaksaan pearturan walikota pontianak terkait

penataan dan pengawasan Daerah Waterfront Kota Di Kota

Pontianak

E. Kerangka Teori

1. Kebijakan Publik

Banyak definisi mengenai kebijakan publik yang telah di

kemukan beberapa ahli administrasi Anderson mengemukakan

ciri-ciri dan kebijakan antara lain: "Public policy is purposive, goal-

oriented behaviour rather than random or chance behaviour 3.

(kebijakan publik lebih bersifat memiliki tujuan, maksud dibanding

dengan sekedar random). "Public policy is based on law and is

authoritative. (kebijakan publik didasarkan atas hukum dan memiliki

otoritas).

Jadi dapat di simpulkan kebijakan publik merupakan

sebuah aturan yang berlandaskan dasar hukum yang kuat demi

mencapai sebuah tujuan dalam menegakan aturan untuk kebaikan

masyarakat pada umumnya, kebijakan publik dalam prosesnya

melibatkan beberapa instansi terkait. Kebijakan yang ingin di

laksanakan juga memiliki unsur – unsur sebagai berikut :

- Arah Kebijakan

Dalam kebijakan yang baik, hendaknya memenuhi empat

'criteria;
3
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2002), hal. 41.

8
diinginkan untuk dicapai, rasional, jelas dan berorientasi

kedepan.4

- Permasalahan

Masalah adalah sebuah tujuan dari lahirnya suatu

kebijakan yang, jika dalam terdapat kekeliruan dalam

menentukan suatu permasalahan akan berdampak kepada

kebijakan yang akan timbul kedepannya.

- Tuntutan

Tuntutan merupakan salah satu contoh dari partisipasi

publik, partisipasi merupakan indikasi dari masyarakat maju

(Huntington, 1990:1). Tuntutan dapat muncul antara lain

karena terabaikannya kepentingan suatu golongan dalam

perumusan suatu kebijakan, sehingga kebijakan yang

dibuat pemerintah dirasakan tidak memenuhi atau

merugikan kepentingan mereka.

- Konsikuensi

Konsikuensi merupakan tujuan lanjutan yang timbul

sebagai pengaruh dari tercapainya suatu tujuan.

Implementasi tidak dapat dipisahkan dari kebijakan yang

telah ditetapkan sebelumnya, karena implementasi merupakan

bagian dari suatu siklus. Pressman dan Wildaysky

mengemukakan bahwa "Implementation should not be divorced

from policy...and... must not be conceived as a process that takes


4
Thomas R Dye, Op. Cit., hal. 45.

9
place after, and independent of the design of policy. 5

(implementasi seharusnya tidak dapat diceraikan' dari kebijakan ...

dan ... tidak dapat dilihat sebagai suatu proses yang independen,

dalam desain suatu kebijakan).

Jika di lihat dari beberapa pendapat yang telah di kemukan

dari beberapa ahli dapat di Tarik kesimpulan bahwa implementasi

dari suatu kebijakan tak terlepas dari beberapa sumber yaitu

manusia itu sendiri dan pemerintah beserta jajaran yang terkait.

2. Pedagang Kaki Lima

Pengertian pedagang kaki lima menurut Aris Ananta (1985)

adalah orang-orang golongan ekonomi lemah, yang berjualan

barang–barang kebutuhan sehari-hari, makanan, atau jasa yang

modalnya relatif sangat kecil, modal sendiri atau modal orang lain,

baik berjualan di tempat terlarang maupun tidak. Pedagang Kaki

Lima merupakan pedagang yang terdiri dari orang–orang yang

menjual barang–barang atau jasa dari tempat–tempat masyarakat

umum, terutama di jalan–jalan atau di trotoar.6

Dengan adanya Pedagang Kaki Lima memberikan nilai

lebih berupa kesempatan kerja yang seerring terjadi di negara

berkembang seperti Indonesia saat ini, harga yang bersaing

mengingat mereka tidak dibebani pajak, dan ada sebagian

5
Robert T Nakamura, Frank Smallwood, The Politics of Policy Implementation, (London: St
Martin's Press In, 1980), hal. 13.
6
Aris Ananta. 2000. Ekonomi Sumber Daya Manusia, Jakarta: LPFE UI. Hal. 37

10
masyarakat kita lebih senang berbelanja di PKL mengingat faktor

kemudahan dan barang yang relatif lebih murah.

Selain adanya manfaat tambah terhadap keberadaan PKL

beberapa permasalahan juga ditimbulkan oleh PKL antara lain: 7

1. Penggunaan ruang publik bukan untuk fungsi semestinya dapat

membahayakan orang lain maupun PKL itu sendiri

2. Pencemaran yang dilakukan sering diabaikan oleh PKL

3. Sebagian besar PKL tidak mendapat perlindungan

4. Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat antara

pengusaha yang membayar pajak resmi dengan yang tidak

membayar pajak resmi

5. Ketiadaan perlindungan hukum menyebabkan pekerja di

ekonomi informal rentan eksploitasi baik oleh preman atau

oknum PNS

6. Mobilitas sebagian PKL di satu sisi merupakan alat survival

namun di sisi lain menyulitkan upaya pemberdayaan

masyarakat

Kaitannya dengan penggunaan ruang publik, keberadaan

PKL sering berhubungan dengan masalah penertiban dan

penggusuran. Upaya penertiban yang dilakukan oleh aparat

pemerintah daerah sering berakhir dengan bentrokan dan

mendapat perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen

masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL melakukan unjuk rasa


7
Kartini Kartono et all, 1990,Pedagang Kaki Lima, Bandung: Universitas Pharayangan. Hal. 66

11
yang selalu berakhir dengan kekacauan. Sehingga ketertiban yang

diharapkan sulit sekali untuk diwujudkan.

Menurut Satjipto Rahardjo ketertiban adalah sesuatu yang

dinamis. Ketertiban dan kekacauan sama-sama ada dalam asas

proses sosial yang berkesinambungan. Keduanya tidak

berseberangan, tetapi sama-sama ada dalam sati asas kehidupan

sosial. Ketertiban bersambung dengan kekacauan dan kekacauan

membangun ketertiban baru, demikian seterusnya. Dalam

ketertiban ada benih-benih kekacauan, sedangkan dalam

kekacauan tersimpan bibit-bibit ketertiban. Keduanya adalah sisi-

sisi dari mata uang yang sama. 8 mewujudkan arah kebijakan

tersebut di atas, pembentukan peraturan perundang-undangan

diharapkan dapat menciptakan harmonisasi yang sesuai dengan

aspirasi masyarakat.

Permasalahan penegakan hukum peraturan daerah masuk

dalam ranah Hukum Administrasi Negara yang memiliki tugas-

tugas administrasi meliputi kegiatan mengidentifikasi kebutuhan,

mendefinisikan kembali serta menginterpretasi dan menggunakan

tujuan organisasi sebagai tuntutan program dan pelayanan. Untuk

itu perlunya mempelajari Hukum Administrasi Negara yang

mencakup urusan sebagai berikut:9

8
Satjipto Rahardjo. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas Gramedia. Hal. 85
9
Muin Fahmal. 2008. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Jakarta. PT. Rineka Cipta.
Hal.37

12
1. Merencanakan dan merumuskan kebijakan publik pemerintah

(formulation of policy),

2. Melaksanakan kebijakan politik yang telah ditetapkan oleh

pemerintah dengan cara:

a) Menyusun organisasi dengan menyiapkan alat-alat yang

diperlukan, dan

b) Memimpin organisasi agar tercapai tujuan

Berdasarkan uraian di atas maka penting untuk membahas

permasalahan yang timbul dalam penegakan hukum terhadap

peraturan daerah tentang pedagang kaki lima. Hal ini karena

keberadaan suatu regulasi tidak serta merta diikuti dengan

kepatuhan masyarakat yang menjadi objek regulasi, melainkan

kepatuhan tersebut diperoleh melalui mekanisme sosial

masyarakatnya. Berbicara mengenai ketaatan hukum, maka kita

tidak dapat terlepas dari kesadaran hukum, karena keduanya

mempunyai hubungan yang erat Seseorang akan mudah muncul

kepatuhan hukumnya, jika ia menyadari pentingnya hukum. Tidak

mungkin seseorang dapat patuh terhadap hukum, jika ia tidak

memahami hukum. Selain itu, kesanggupan untuk memahami

hukum secara logis akan diikuti oleh kemampuan untuk menilainya,

terlepas dari adil atau tidaknya hukum tersebut. 10

Ronny Hanitijo Soemitro. 2000. Permasahan Hukum di dalam Masyarakat, Alumni, Bandung.
10

Hal. 19.

13
Masalah kepatuhan terhadap hukum merupakan unsur lain

dari persoalan yang lebih luas yaitu kesadaran hukum. Menurut

Soerjono Soekanto, indikator-indikator dari kesadaran hukum

sebenarnya merupakan petunjuk yang relatif kongkrit tentang taraf

kesadaran hukum. Dijelaskan lagi secara singkat bahwa: 11

bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum.

Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis

maupun hukum yang tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut

perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang

diperbolehkan oleh hukum.

1. Indikator pertama adalah pengetahuan hukum, seseorang

mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur

oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah

hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Perilaku

tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum

maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

2. Indikator kedua adalah pengakuan hukum, seseorang warga

masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman

mengenai aturan-aturan tertentu, misalnya adanya

pengetahuan dan pemahaman yang benar dari masyarakat

tentang hakikat dan arti pentingnya regulasi labelisasi halal.

11
Soerjono Soekanto, 2007. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta. Hal., 217-219

14
3. Indikator yang ketiga adalah sikap hukum Seseorang

mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian

tertentu terhadap hukum.

4. Indikator yang keempat adalah perilaku hukum, yaitu dimana

seseorang atau dalam suatu masyarakat warganya

mematuhi peraturan yang berlaku.

Tidak terlepas dari tujuan utama dari prosesnya jual beli

adalah penghasilan yang akan di peroleh, Dalam kamus besar

bahasa Indonesia penghasilan adalah hasil kerja (usaha atau

sebagainya).12 Sedangkan penghasilan dalam kamus manajemen

adalah uang yang diterima oleh perorangan, perusahaan dan

organisasi lain dalam bentuk upah, gaji, sewa, bunga, komisi,

ongkos dan laba.13 Penghasilan yaitu pertambahan nilai aktiva atau

penurunan kewajiban suatu organisasi sebagai akibat dari

penualan barang dan jasa kepada pihak lain dalam periode

tertentu, yang membuat nilai modal menjadi bertambah.

Penghasilan terdiri dari dua jenis, yaitu penghasilan usaha

yang diperoleh perusahaan dari kegiatan utama perusahaan

tersebut, misal penghasilan dari penjualan produk atau jasa. Pada

perusahaan jasa penghasilan diperoleh dari penyerahan jasa

sedangkan penghasilan dagang diperoleh dari penjualan barang

12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998), h. 185
13
BN. Marbun, Kamus Manajemen, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 230

15
dagangan.14 Semestera itu penghasilan diluar usaha diperoleh dari

kegiatan diluar perusahaan, misalnya pendaptan sewa atau bunga.

Penghasilan seseorang juga dapat didefinisikan sebagai

banyaknya penerimaan yang dinilai dengan satuan mata uang yang

dapat dihasilkan seseorang atau suatu bangsa dalam periode

tertentu. Reksoprayitno mendefinisikan: “Penghasilan (revenue)

dapat diartikan sebagai total penerimaan yang diperoleh pada

periode tertentu”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

penghasilan adalah sebagai jumlah penghasilan yang diterima oleh

para anggota masyarakat untuk jangka waktu tertentu sebagai

balas jasa atau faktor-faktor produksi yang telah disumbangkan. 15

Tujuan pokok dijalankannya suatu usaha perdagangan

adalah untuk memperoleh pendapatan, dimana pendapatan

tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan

kelangsungan hidup usaha perdagangannya. Pendapatan yang

diterima adalah dalam bentuk uang, dimana uang adalah

merupakan alat pembayaran atau alat pertukaran. Pendapatan

merupakan hasil yang didapatkan dari kegiatan usaha seseorang

sebagai imbalan atas kegiatan yang dilakukan. Pengusaha sebagai

pemimpin usaha memproduksi barang dan jasa dengan tujuan

untuk memperloeh keuntungan atau pendapatan. 16

14
Ibid H. 168
15
Reksoprayitno, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: Bina Grafika, 2004), hl.79
16
Ifany Damayanti, analisis factor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pedagang di pasar gede
kota Surakarta, Surakarta : Universitas Sebelas Maret, 2011, H. 29-30

16
3. Konsep Pengawasan

Siagian, mendefinisikan : “pengawasan adalah proses

pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi

untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang

dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan

sebelumnya".17 Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol

terhadap tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar

pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat mencapai tujuan

dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.18

Menurut Prayudi: “Pengawasan adalah suatu proses untuk

menetapkan pekerjaan apa yang di jalankan, dilaksanakan, atau

diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan


19
atau diperhatikan”. . Selanjutnya L.D. White menyatakan : “tujuan

daripada pengawasan adalah untuk menjaga agar supaya jalannya

pemerintahan sesuai dengan undang-undang dan untuk melindungi

hak-hak asasi manusia”.20 Dilihat dari segi bentuknya, Saiful Anwar

membedakan pengawasan ke dalam dua tipologi utama, yaitu:21

a. Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh

suatu badan atau organ yang secara organisatoris/struktural

17
Ibid.
18
Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora
Madani Press, Medan, 2004, Hlm.127.
19
Prayudi Admosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981,
Hlm. 80.
20
Sebagaimana dikutip oleh A. Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara, Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1993, Hlm. 61.
21
Saiful Anwar., Loc. Cit.

17
termasuk dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri.

Misalnya pengawasan yang dilakukan pejabat atasan

terhadap bawahannya sendiri.

b. Pengawasan eksternal dilakukan oleh organ atau lembaga-

lembaga yang secara organisatoris/struktural berada di luar

pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya pengawasan

keuangan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK).

Pengawasan terhadap aparatur pemerintah juga dapat

dibedakan dalam dua kategori yaitu :

a. Pengawasan dari segi hukum (rechtmatigheidstoetsing)

misalnya pengawasan yang dilakukan oleh badan peradilan

pada prinsipnya hanya menitik beratka pada segi legalitas.

Contoh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas menilai

sah tidaknya suatu ketetapan pemerintah. Selain itu tugas

hakim adalah memberikan perlindungan (law proteciton) bagi

rakyat dalam hubungan hukum yang ada diantarra

negara/pemerintah dengan warga masyarakat.

b. Pengawasan dari segi kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing)

yaitu pengawasan teknis administratif intern dalam lingkungan

pemerintah sendiri (builtincontrol) selain bersifat legalitas juga

lebih menitik beratkan pada segi penilaian kemanfaatan dari

tindakan yang bersangkutan.22


22
Ibid, Hlm. 129.

18
Kemudian pengawasan dari segi pelaksanaan pekerjaan

masih dapat dibedakan lagi atas:23

a. Pengawasan preventif, adalah pengawasan yang dilakukan

sebelum pekerjaan mulai dilaksanakan, misalnya dengan

mengadakan pengawasan terhadap persiapan rencana kerja,

rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-

sumber lainnya.

b. Pengawasan refresif, ialah pengawasan yang dilakukan setelah

pekerjaan atau kegiatan tersebut dilaksanakan. Contoh,audit

BPK RI tentang pengelolaan keuangan negara, pengelolaan

barang milik Negara/daerah dan penyertaan modal daerah.

Demikian pula menurut Paulus Effendi Lotulung, hakekat dari

pengawasan adalah sarana dan upaya untuk mencegah timbulnya

segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang

telah digariskan24. Lebih lanjut, Paulus Efendi Lotulung menegaskan,

bahwa terdapat berbagai macam kontrol yang dapat dilakukan

kepada pemerintah. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan tugas

pemerintah dalam. Tujuan pokok dari pengawasan ini, untuk

menghindari menyelenggarakan kesejahteraan umum dan

pelayanan kepentingan umum (public service) kekeliruan baik yang

23
Ibid.
24
Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap
Pemerintah, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993, Hlm.xv.

19
disengaja maupun tidak disengaja sebagai usaha pencegahan

(preventif) dan memperbaiki bila telah terjadi kekeliruan (represif).25

4. Konsep Penataan Ruang

Pengertian ruang menurut D.A. Tisnaatmadjaja adalah “wujud

fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang

merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan

kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak”. 26Sedangkan

dalam Keputusan Mentri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No.

327/KOTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang

Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah “wadah yang

meliputi daratan, ruang lautan, ruang udara sebagai satu kesatuan

wilayah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan

melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”. 27

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor

26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa ruang

adalah “wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang

udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan

wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain hidup, melakukan

kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya”. Dilihat dari

25
Ibid, Hlm. xv-xix
26
D.A Tisnaadmidjaja dalam Asep Warlan Yusuf, 1997, Pranata Pembangunan, Universitas
Parahiayang, Bandung, h. 6
27
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2008, Hukum Tata Ruang (dalam Konsep Otonomi
Daerah), Nuansa, Bandung, h. 23.

20
pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa ruang terbagi dalam

beberapa katagori, yaitu :

a. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak diatas dan

dibawah permukaan daratan, termasuk permukaan

perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah;

b. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di

bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut dari garis laut

terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi di

bawahnya, dimana negara Indonesia memiliki hak

yurisdiksinya;

c. Ruang Udara adalah ruang yang terletak diatas ruang

daratan dan atauruang lautan sekitar wilayah negara dan

melekat pada bumi, dimana negara Indonesia memiliki hak

yurisdiksinya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata

ruang merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang. Dimana

struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat permukiman dan

sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai

pendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang secara hierarkis

memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang merupakan

distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi

peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Pola pemanfaatan

21
ruang dalam hal ini meliputi pola lokasi, sebaran permukiman,

tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah

perkotaan dan pedesaan. Dimana tata ruang yang dimaksud

adalah tata ruang yang dirancanakan, sedangkan tata ruang yang

tidak direncanakan adalah tata ruang yang terbentuk secara

alami, seperti sungai, gua, gunung, dan lain-lain.

Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33

ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang dimana menyatakan bahwa

ruang sebagai wilayah Negara Kesatuan Negara Republik

Indonesia yang harus dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan

oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat, maka dari itu kemudian negara

menyelenggarakan suatu penataan ruang. Berdasarkan ketentuan

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, yang

dimaksud dengan penataan ruang adalah suatu sistem proses

perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan

pengendaian pemanfaatan ruang.

Hal tersebut merupakan ruang lingkup penataan ruang

sebagai objek Hukum Administrasi Negara. Penataan ruang

dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan,

wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis

kawasan. Pengertian kawasan menurut Pasal 1 angka 20

22
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang

memiliki fungsi utama lindung dan budi daya. Penataan ruang

berdasarkan fungsi utama kawasan merupakan komponen dalam

penataan ruang, baik yang dilakukan berdasarkan wilayah

administratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis kawasan.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini dapat dikatagorikan bersifat normatif dengan

pendekatan sosilogis. Bersifat normatif oleh karena sasaran

penelitian ini adalah hukum atau kaidah (norm). Pengertian kaidah

di sini meliputi asas hukum, kaedah hukum dalam arti nilai,

pengaturan hukum konkrit dan sistem hukum (Mertokusumo, 1996:

29). Berkaitan dengan penelitian hukum normatif obyeknya berupa

asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal

dan horizontal

Penelitian ini juga mempergunakan pendekatan sosiologis,

yang mendasarkan kajian pada pelaksanaan hukum, dengan

mengkaji realitas empirik yang dilakukan dalam level analisis mikro,

dengan melihat hukum sebagai paradigma definisi sosial.

Pendekatan penelitian sosiologi mikro ini lebih menitik beratkan

pada aspek makna aksi dan perilaku.

Penganalisisan penelitian mempergunakan pendekatan

kualitatif, yang pada dasarnya adalah mengamati orang dalam

23
lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha

memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.

2. Bentuk Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (library research)

Yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan

perundang-undangan, serta tulisan-tulisan para sarjana yang

erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.

b. Penelitian Lapangan (field research)

Yaitu dengan turun langsung ke lapangan untuk mencari data

pada sumber data yang ada kaitannya dengan masalah yang

diteliti.

3. Teknik dan Alat Pengumpul Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpul data yang

dipergunakan adalah teknik komunikasi langsung dan teknik

komunikasi tidak langsung.

a. Teknik Komunikasi Langsung, yaitu dengan melakukan

kontak langsung dengan sumber data dengan

mempergunakan wawancara sebagai alat pengumpul data.

b. Teknik Komunikasi Tidak Langsung, yaitu kontak tidak

langsung dengan sumber data dengan mempergunakan

angket (kuesioner) sebagai alat pengumpul data.

4. Populasi dan Sampel


a. Populasi

24
Populasi adalah keseluruhan obyek yang akan diteliti, dan

yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Kepala

Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Kepala

Satuan Polisi Pamong Praja Kota Pontianak. Sedangkan

kelompok sasaran adalah Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota

Pontianak.

b. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi, penentuan sampel

menggunakan metode purposive sampling. Ciri-ciri sampel

dalam penelitian lebih mengarah pada obyek yang

mempunyai relevansi dengan pokok permasalahan dalam

penelitian. Ronny Hanitijo Soemitro (1985: 47) menyatakan

bahwa:

Pada prinsipnya tidak ada peraturan-peraturan yang ketat


untuk secara mutlak menentukan berapa persen sampel
tersebut diambil dari populasi, namun pada umumnya orang
berpendapat bahwa sampel yang berlebihan itu lebih baik
daripada kekurangan sampel (over sampling is always better
than under sampling). Biasanya orang menentukan besar
kecilnya sampel itu atas pertimbangan-pertimbangan praktis
saja misalnya mengingat faktor pembimbing atau sponsor,
besarnya biaya pengeluaran, kesempatan dan limit waktu
yang diberikan, kemampuan fisik dan intelektual dari peneliti
sendiri, ciri-ciri khas fenomena yang akan digarap dan lain-
lain.

Bertitik tolak dari pendapat di atas dan dengan

pertimbangan-pertimbangan tertentu, maka jumlah sampel

yang penulis ambil dalam penelitian ini adalah:

25
1. Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan

UKM Kota Pontianak.

2. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Pontianak.

3. Pedagang Kaki Lima (PKL) di kota Pontianak.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini terdiri dari 4 (empat) Bab, yaitu Bab I

Pendahuluan terdiri dari Sub Bab Latar Belakang Penelitian,

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Kerangka Teoretik, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka sebagai suatu kerangka pemikiran

terhadap teori yang berkenaan kebijakan pemerintah daerah

dalam penataan dan pengawasan waterfroncity kota Pontianak

Bab III Pembahasan dan Analisis Hasil Penelitian, dalam

Bab ini akan dianalsis mengenai mekanisme penataan pedagang di

kawasan promenade waterfront city Kota Pontianak Berdasarkan

Peraturan Walikota Pontianak Nomor 26 Tahun 2019 Tentang

Penataan Dan Pengawasan Kawasan Daerah Waterfront Kota Di

Kota Pontianak. mengetahui kendala yang dihadapi dalam

melaksanakan penataan pedagang di kawasan promenade

waterfront city Kota Pontianak Berdasarkan Peraturan Walikota

Pontianak Nomor 26 Tahun 2019 Tentang Penataan Dan

Pengawasan Kawasan Daerah Waterfront Kota Di Kota Pontianak.

Mengetahui upaya yang dilakukan dalam penataan pedagang di

26
kawasan promenade waterfront city Kota Pontianak Berdasarkan

Peraturan Walikota Pontianak Nomor 26 Tahun 2019 Tentang

Penataan Dan Pengawasan Kawasan Daerah Waterfront Kota Di

Kota PontianakBab IV Penutup, yang berisi kesimpulan dari seluruh

hasil penelitian, dan saran yang berhubungan dengan masalah

yang diteliti.

27

Anda mungkin juga menyukai