Agitasi Anastesi Referat PDF
Agitasi Anastesi Referat PDF
Agitasi Anastesi Referat PDF
Disusun Oleh :
Hamdah (1102014117)
Pembimbing :
Agitasi merupakan manifestasi penderitaan akibat nyeri dan kecemasan di ICU, dimana
terjadi pergerakan merusak yang berlebihan bersama dengan tekanan dari dalam dan
disertai dengan kecemasan, panik, depresi, delusi, halusinasi dan delirium.
2. Definisi
Agitasi post operasi dapat didefinisikan menjadi “gangguan kesadaran dan perhatian
terhadap lingkungan sekitar disertai disorientasi dan perubahan persepsi termasuk
diantaranya hipersensitif terhadap stimulus dan perilaku hiperaktif pada periode post
anestesi”. Agitasi memiliki ciri berteriak – teriak, bergerak tanpa henti, aktifitas fisik
involunter, dan gaduh gelisah.
Istilah agitasi sering diartikan Emergence Delirium atau Emergence Agitation, dan para
peneliti masih berdebat tentang definisi ini. Penyebabnya adalah istilah agitasi sering
tertukar oleh delirium dan eksitasi, karena sulit untuk menilai keadaan psikologis anak
pada saat agitasi. Tidak seperti delirium, agitasi tidak menyebabkan perubahan perilaku.
Insiden kejadian agitasi pasca operasi tergantung dari definisinya, umur, teknik
anestesi, prosedur operasi dan penggunaan obat beserta adjuvant. Secara umum prevalensi
sebesar 10 – 50%, namun juga pernah dilaporkan hingga 80%.
3. Etiologi
Penyebab dari agitasi pasca operasi masih belum diketahui secara jelas. Kombinasi dari
etiologi diduga meningkatkan resiko untuk terjadi agitasi pasca operasi.
Penyebab agitasi pada sevoflurane sendiri belum ditemukan secara pasti. Diperkirakan
sevoflurane bekerja pada reseptor NMDA sehingga mengeksitasi otak, namun belum
didapatkan data secara pasti. Teori ini sendiri berlawanan dengan angka kejadian agitasi
pada Desflurane yang cukup tinggi, mengingat desflurane bersifat tidak mengeksitasi otak.
a. Nyeri
Nyeri merupakan faktor yang paling dipertimbangkan dalam menyebabkan agitasi.
Penanganan nyeri yang tidak adekuat terbukti menyebabkan agitasi. Pemberian
analgetik preemptif sudah terbukti menurunkan angka agitasi pasca operasi, dimana hal
ini membuktikan bahwa nyeri merupakan faktor yang berperan.
Walaupun begitu, nyeri bukanlah satu – satunya faktor. Penelitian yang dilakukan
oleh Isik (2006) pada pediatri, dilaporkan bahwa pasien yang dilakukan pemeriksaan
MRI dalam pembiusan menggunakan induksi dan agen rumatan sevoflurane juga
didapatkan kasus agitasi.
b. Jenis Operasi
Operasi daerah mata dan THT memiliki angka kejadian agitasi lebih tinggi
dibandingkan jenis operasi lainnya. Hal ini dimungkinkan akibat perasaan tidak
nyaman karena gangguang indera baik penglihatan, penciuman, pendengaran maupun
akibat perasaan ‘sufokasi’ pada pasien pasca operasi THT dimana terjadi gangguan
jalan nafas akibat prosedur operasi.
Eckenhoff et al (1961)4 dan Voepel-Lewis (2003) pada studi prospektifnya
melaporkan operasi THT merupakan faktor independen untuk terjadinya agitasi pasca
operasi.
ManajemenAnalgesia
ManajemenFarmakologi
Opioid
Opioid adalah opiat dan substansi lain yang menghasilkan efek rangsangan terhadap reseptor
opioid di sistem saraf pusat.Rangsangan terhadap reseptor opioid menghasilkan beberapa efek,
diantaranya analgesia, sedasi, euforis, konstriksi pupil, depresi pernapasan, bradikardia, konstipasi,
mual, muntah, rentesi urin dan pruritus. Opioid adalah suatu obat yang sering digunakan dalam
mengatasi nyeri dan sedasi ringan di ICU, tanpa memiliki efek anmesia.5
Opioid yang paling banyak digunakan di ICU adalah morfin, fentanyl dan hydromorfon. Cara
penggunaan ketiga opioid ini dapat dilihat pada tabel 4 Dosis pada tabel 4 adalah dosis efektif secara
umum, akan tetapi kebutuhan dosis individu dapat bervariasi secara luas sesuai dengan respons
setiap pasien, bukan berdasarkan jumlah dosis.5 Morfin adalah opioid yang paling sering
digunakan di ICU, tetapi fentanil lebih disukai karena mula kerja yang cepat, tidak memiliki
metabolit aktif dan tidak terlalu berefek terhadap tekanan darah. Morfin memiliki metabolit aktif
yang dapat berakumulasi pada kondisi gagal ginjal. Salah satu metabolit morfin (morphine-3-
glucoronide) dapat menyebabkan eksitasi system saraf pusat sehingga dapat menimbulkan kejang,
sedangkan hasil metabolit lainnya(morphine-6- glucoronide) memiliki efek analgesia lebih kuat
dibandingkan dengan obat asalnya. Fentanil tidak memiliki metabolit aktif, sehingga dosisnya tidak
perlu edisesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal. Morfin dapat menyebabkan pelepasan
histamin yang akan menimbulkan vasodilatasi dan hipotensi. Sedangkan fentanyl tidak mempunyai
sifat ini sehingga lebih dipilih pada pasien dengan gangguan hemodinamik. Infus fentanil lebih dari
4 jam dapat menyebabkan akumulasi obat pada jaringan lemak yang menyebabkan pemanjangan
efek obat. Efek ini dapat diminimalisir dengan mentitrasi obat serendah mungkin hingga
mencapai dosis terendah yang masih dapat mengatasi nyeri.5
Untuk pasien yang sadar dan mampu untuk memberikan obat sendiri, patient-controlled
analgesia (PCA) dapat dijadikan metode efektif dalam mengatasi nyeri. Metode PCA menggunakan
pompa infus elektronik yang dapat diaktifkan oleh pasien. Saat merasakan nyeri, pasien menekan
tombol pada alat yang akan memompakan bolus obat intravena. Setelah pemberian bolus, alat
tersebut tidak dapat digunakan untuk waktu tertentu (lockout interval), untuk menghindari
overdosis. PCA dapat digunakan secara tunggal, atau bersamaan dengan infus opioid dosis rendah.
PCA berhubungan dengan penanganan analgesia yang efektif, meningkatkan kepuasan pasien dan
efek samping yang minimal.5
Pemberian opioid melalui epidural adalah metode yang popular untuk mengatasi nyeri pasca
operasi abdomen dan thorax. Kateter epidural biasanya dipasang di ruang operasi sesaat sebelum
operasi, dan dipertahankan beberapa hari setelah operasi. Dosis analgesia yang biasa digunakan
pada epidural analgesia, yaitu golongan opioid fentanyl 2–5 mcg/mL, morfin 20–100 mcg/mL,
dilaudid 0,04 mg/mL, serta anestesi lokal seperti bupivakain dengan konsentrasi 0,06–0,125 %
dan ropivakain dengan konsentrasi 0,1–0,2 %.5
Untuk epidural torakal biasanya digunakan kecepatan infus 4–8 mL/jam sedangkan untuk
epidural abdominal dengan kecepatan 6–12 mL/ jam. Epidural opioid dapat diberikan dengan
cara bolus intermiten, akan tetapi lebih sering diberikan infus dengan disertai anestesi lokal
seperti bupivakain. Penambahan anestesi lokal meningkatkan efek analgesia dan mengurangi efek
samping dari opioid. Akan tetapi penambahan anestesi local dapat menyebabkan kelemahan motorik dan
hipotensi.5
Penelitian pada klinis dalam membandingkan analgesia sistemik dan epidural menunjukkan hasil yang
tidak konsisten. Akan tetapi secara umum, analgesia epidural berhubungan dengan analgesia yang lebih
baik, pemulihan fungsi usus yang lebih cepat, komplikasi paru-paru yang minimal dan mengurangi risiko
infark miokardium.5
Efek samping dari epidural analgesia lebih sering pada penggunaan morfin dibandingkan
fentanil. Epidural morfin dapat menyebabkan depresi pernapasan dan mula kerja yang lambat
hingga 12 jam. Kejadian depresi pernapasan berbanding lurus dengan penggunaan morfin
intra fena. Selain hal di atas, efek samping lain dari epidural analgesia adalah pruritus, mual dan
retensi urin.5 Efek samping penggunaan opioid intra vena diantaranya depresi pernapasan. Opioid
menghasilkan efek sentral berupa penurunan laju pernapasan dan volume tidal, tergatung pada
dosis yang digunakan. Dosis tinggi opioid dapat menimbulkan apnea yang ditimbulkan dari efek
opioid terhadap reseptor perifer di paru-paru. Pasien dengan riwayat sleep apnea syndrome
atau hiperkapnia kronis lebih mudah mengalami depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh
opioid.5 Terhadap sistem kardiovaskular, opioid dapat menimbulkan penurunan tekanan darah
dan denyut jantung sebagai akibat dari turunnya aktivitas simpatis dan meningkatnya parasimpatis.
Efek ini biasanya ringan dan dapat ditoleransi. Reaksi yang berat biasanya timbul pada pasien
hipovolemia atau dengan gagal jantung, atau bila dikombinasikan dengan benzodiazepin.5
Opioid juga dikenal dalam menurunkan motilitas usus dan efek ini lebih tampak pada
pasien di ICU. Naloxon oral 4–8 mg tiap 6 jam dapat mengatasi efek opioid terhadap usus tanpa
berefek terhadap efek analgesia sistemik. Pruritus yang ditimbulkan oleh opioid dapat dikurangi
dengan pemberian naloxon dosis rendah (0,25–1 mg/kg/jam).5 Efek dari opioid terhadap chemoreceptor
trigger zone dapat menimbulkan adanya atau terjadinya mual dan muntah. Antiemetik seperti
ondansetron dan naloxon yang diberikan dalam dosis rendah dapat digunakan untuk mengatasi
efek mual dan muntah akibat dari efek samping opioid yang ditimbulkan.5
AnalgesiaNonopioid
Ketorolak
Terdapat beberapa alternatif analgesia parenteral selain opioid. Di Amerika Serikat hanya satu obat
yang diizinkan untuk digunakan di ICU, yaitu ketorolak. Ketorolak adalah obat yanf termasuk
golongan nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID) yang diperkenalkan pertama pada tahun
1990 sebagai analgesia parenteral untuk nyeri pasca operasi. Ketorolak tidak menimbulkan
sedasi ataupun depresi pernapasan. Meskipun demikian, popularitas dari ketorolak berkurang
akibat dari efek samping yang ditimbulkannya. Ketorolak adalah penghambat non-spesifik enzim
siklooksigenase dengan aktivitas analgesia yang kuat dan aktivitas antiinflamasi yang moderat.
Ketorolak 350 kali lebih poten dari aspirin. Setelah pemberian intramuskular, efek analgesia
dapat dihasilkan dalam 1 jam, dengan lama kerja selama 5–6 jam. Obat ini dimetabolisme di hepar
dan diekskresikan dalam urin. Eliminasinya memanjang pada gangguan ginjal dan usia tua.
Untuk analgesia pasca operasi, ketorolak 30 mg setara dengan 10–12 mg morfin. Ketorolak dapat
diberikan tunggal atau dikombinasikan dengan opioid dengan menghasilkan opioid sparring
effect, dimanan dosis opioid dapat dikurangi sekitar 25%–50%. Ketorolak dapat diberikan
secara oral, intravena atau intramuskular. Untuk pasien di bawah usia 65 tahun, dapat
diberikan dosis inisial 30 mg intravena atau 60 mg intramuskular, diikuti dengan pemberian 30
mg intramuskular atau intravena setiap 6 jam (maksimal 120 mg/hari) selama 5 hari. Untuk
pasien di atas usia 65 tahun, atau dengan gangguan ginjal, dosis inisial 15 mg iv atau 30 mg im
dilanjutkan dengan 15 mg im atau iv setiap 6 jam (maksimal 60 mg/hari) selama 5 hari. Ketorolak
juga dapat diberikan melalui infus intravena dengan kecepatan 5 mg/jam dan menghasilkan
analgesia yang lebih efektif dibandingkan dengan pemberian intravena intermiten.5
Seperti obat NSAIDs lainnya, ketorolak menghambat agregasi trombosit dan sebaiknya
tidak diberikan pada pasien dengan risiko perdarahan. Pemberian ketorolak lebih dari 5
hari dengan dosis lebih dari 75 mg/hari dapat meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal
dan luka operasi, terutama pada pasien geriatric ≥65 tahun. Ketorolak menghambat sintesis
prostaglandin ginjal dan dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal, terutama pada pemberian
lebih dari 5 hari.5
Parasetamol
Analgetik yang sangat berguna untuk mengatasi nyeri pada jaringan lunak dan memiliki efek
opioid sparingpada kondisi nyeri yang berat. Parasetamol dapat diberikan melalui oral, rektal
atau intravena. Parasetamol dapat menyebabkan gangguan fungsi liver pada dosis normal, sehingga
harus diperhatikan pemberiannya pada pasien dengan gangguan hati berat. Parasetamol juga
mempunyai efek antipiretik dan dihubungkan dengan hipotensi ringan pada pasien di ICU. 8
Ketamin
Ketamin adalah antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA), memiliki potensi sedasi dan analgesia
yang baik. Pada dosis yang tinggi (1–2 mg/kg), ketamin merupakan obat anestesi yang baik.
Ketamin dapat mengaktivasi sistem saraf simpatis dan berhubungan dingan peningkatan tekanan
darah dan takikardia. Obat ini digunakan untuk jangka pendek, pada prosedur tindakan berulang
seperti mengganti balutan pada pasien luka bakar. Biasanya diberikan intravena, meskipun dapat
diberikan intratekal atau oral. Efek samping utama dari ketamin adalah reaksi psikotomimetik
berupa halusinasi dan mimpi buruk yang dapat diminimalisir dengan pemberian benzodiazepin. 8
Regionalanalgesia
Regional analgesia pada umumnya digunakan untuk mengontrol rasa nyeri pada pasca operasi,
dimana manfaat utamanya dapat mengurangi penggunaan opioid yang dapat menimbulkan
efek samping yang tidak diinginkan. Pada beberapa kondisi, seperti fraktur kosta, regional
analgesia dapat mengurangi komplikasi respirasi dan mempercepat waktu pemulihan. Regional
analgesia dapat dibagi menjadi neuraksial dan blok saraf tepi.8
Blokade pada neuraksial meliputi pemberian anestesi lokal atau obat lain ke dalam medula
spinalis atau serabut sarafnya. Teknik regional anagesia yang paling umum digunakan adalah
analgesia spinal dan epidural. Analgesia spinal adalah pemberian obat analgesia ke dalam cairan
cerebrospinal dengan cara menyuntikkannya pada ruang intervertebra lumbal 3 dan 4. Teknik
ini biasanya dilakukan dengan penyuntikkan tunggal. Pemberian obat infus berkelanjutan
dapat digunakan, namun berhubungan dengan kerusakan saraf dan toksisitas. Anastesi lokal
yang diberikan intratekal memiliki lama kerja yang pendek, biasanya beberapa jam. Pemberian
morfin menghasilkan analgesia dengan lama kerja panjang hingga 24 jam. Teknik ini biasanya
dilakukan setelah operasi besar abdomen dan toraks, dan menghasilkan analgesia yang baik
dengan komplikasi kardiovaskular yang minimal. Akan tetapi insidensi gangguan respirasi cukup
tinggi bila dibandingkan dengan teknik yang lain.8
Teknik analgesia epidural adalah memberikan obat analgesia kedalam ruang epidural, biasanya
melalui kateter yang dimasukkan dengan jarum Tuohy. Kateter dapat ditempatkan di seluruh level
vertebra, tergantung blokade dermatom anesthesia yang diharapkan. Kecepatan infus diatur sesuai
dengan derajat penyebaran dan area analgesia yang diharapkan. Opioid dapat ditambahkan ke dalam
larutan anestesi lokal untuk mengurangi jumlah anestesi lokal yang dibutuhkan dan mengurangi
adanya efek samping yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan blokade simpatis. Opioid
yang ditambahkan ke dalam ruang epidural dapat menyebabkan efek sistemik.8
Keuntungan analgesia epidural dibandingkan dengan opioid sistemik adalah meminimalisir
stres respons pembedahan, mengurangi kejadian deep vein thrombosis, mengembalikan motilitas
usus lebih cepat dan mengurangi kejadian gagal pernapasan.8 Komplikasi yang berhubungan
dengan analgesia epidural dapat dilihat pada table 5 Blokade pada saraf perifer adalah memberikan
larutan obat anestesi lokal di sekitar saraf tepi sehingga menghasilkan analgesia pada daerah
tertentu. Kateter ditempatkan di sekitar saraf atau plexus saraf, dan infus anestesi lokal diberikan
untuk rumatan analgesia dalam beberapa hari. Penggunaan dari teknik regional analgesia ini
adalah untuk menghidari efek-efek sistemik dari opioid dan hipotensi yang berhubungan dengan
epidural analgesia. Kelemahan dari teknik ini adalah ketidaknyamanan dari pasien. Komplikasi
teknik ini diantaranya adalah trauma pada serabut saraf dan hematoma di sekitar area penyuntikan.8
I. DEFINISI SEDASI
Definisi baru oleh JCAHO dan standar sedasi mengacu pada rekomendasi ASA. Standar
JCAHO direvisi pada 1 Januari 2001. Tindakan sedasi dan analgesia adalah penggunaan
obat-obat sedatif, analgetik, dan disosiatif untuk menghasilkan ansiolisis, analgesia, sedasi,
dan kendali motorik selama tindakan diagnostik dan terapi. (Leroy, Gorzeman, and Sury,
2009).
Definisi empat derajat sedasi dan analgesia adalah :
1. Sedasi minimal (ansiolisis)
Pada derajat ini, pasien masih bisa merespon secara normal dan perintah verbal.
Fungsi kognitif dan koordinasi mungkin terpengaruh, fungsi ventilasi dan
kardiovaskuler tidak terpengaruh.
2. Sedasi atau analgesia sedang (sedasi sadar)
Pasien mungkin masih bisa merespon perintah verbal baik dengan atau tanpa
stimulasi taktil ringan. Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga patensi jalan
napas, dan ventilasi spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler masih stabil.
3. Sedasi dan analgesia dalam
Terjadi depresi kesadaran sehingga pasien tidak mudah dirangsang tetapi dapat
merespon oleh stimulasi nyeri. Kemampuan untuk menjaga fungsi ventilasi
terganggu. Pasien memerlukan asisten untuk menjaga patensi jalan napas dan
ventilasi spontan mungkin tidak adekuat. Fungsi kardiovaskuler masih terjaga.
4. Anestesi
Anestesi umum merupakan kehilangan kesadaran akibat obat-obatan dimana pasien
tidak terangsang meskipun diberikan stimulasi nyeri. Kemampuan untuk
mempertahankan fungsi ventilasi mungkin terganggu. Pasien memerlukan asisten
untuk menjaga patensi jalan napas dan ventilasi tekanan positif diperlukan karena
terjadi depresi ventilasi spontan dan depresi fungsi neuromuskuler. Fungsi
kardiovaskuler mungkin terpengaruh. (Krauss and Green, 2000); (Green, et. al.,
2007)
Tingkat sedasi diukur secara kuantitatif dengan scoring sedasi Ramsay (Lim TW et al,
1997):
1. Pasien sadar, cemas, gelisah atau tidak tenang
2. Pasien sadar, kooperatif, bisa mengendalikan diri dan tenang
3. Pasien sadar, respon pada perintah
4. Pasien tidur, respon terhadap stimulasi suara
5. Pasien tidur, respon terhadap stimulasi nyeri
6. Pasien tidur, tidak ada respon terhadap stimulasi
Tingkat agitasi-sedasi berdasarkan Riker Sedation- Agitation Scale (Riker RR, 1999).
1. Agitasi berbahaya, misalnya dengan menarik ET, mencoba melepaskan kateter, marah
pada paramedic.
2. Sangat agitasi, tidak tenang meskipun mengingatkan pada paramedic terbatas, menggigit
ET.
3. Agitasi, cemas dan agitasi ringan, mencoba untuk duduk, kembali ketempat atas perintah.
4. Tenang dan kooperatif, tenang, mudah bangun dan mengikuti perintah.
5. Sedasi, sulit bangun, bangun dengan stimulasi verbal.
6. Sangat tersedasi, bangun dengan stimulasi fisik tetapi tidak komunikatif.
7. Tidak bangun, minimal atau tidak ada respon terhadap stimuli.
adrenergic berdasarkan dari penemuan penurunan kebutuhan anestesi pada pasien yang
mendapakan pengobatan clonidine yang lama. Mengakibatkan efek dari dexmedetomidine dapat
Karakteristik Fisiokimia
Dexmedetomidine adalah S-enantiomer yang aktif yang berasal dari medetomidine, yang
merupakan agonis α2-adrenergik yang sangat selektif dan derivat imidazole yang biasa
digunakan untuk pengobatan pada hewan. Dexmodetomidine merupakan obat yang larut dalam
Farmakokinetik
terjadinya proses konjugasi, N-methylation, dan hidroksilasi yang diikuti dengan konjugasi. Hasil
metabolisme di ekskresikan melalui urine dan cairan bile. Pembersihan obat pada tubuh
sangatlah tinggi dan waktu-paruh yang sangat pendek. Akan tetapi terdapat peningkatan yang
signifikan pada waktu-paruh apabila diberikan dengan cara infus dari 4 menit setelah 10 menit
diberikan infus sampai 240 menit setelah 8 jam diberikan melalui infus.
Farmakodinamik
Dexmedetomidine menghasilkan efek α2-agonist yang selektif melalui aktivasi dari SSP
α2-reseptor. Keadaan hipnotik diasumsikan sebagai hasil stimulasi dari α2-reseptor di locus
ceruleus, dan efek analgesi berawal dari level batang spinal. Efek sedatif terbentuk sangat
berbeda kualitasnya dengan obat anestesi intravena lainnya, dibandinkan dengan obat anestesi
intravena lainnya kualitas sedatif yang diakibatkan oleh obat ini adalah seperti stadium tidur
yang fisiologis akibat dari aktivasi jalur endogen pada jalur tidur. Dexmedetomidine mengurangi
aliran darah otak tanpa ada perubahan yang signifikan pada TIK dan CMRO2. Efek toleransi dan
Sistem Kardiovaskuler
terlalu berat pada denyut jantung dan tahanan vaskular sistemik dan hasil dari penurunan ini akan
mengakibatkan penurunan dari tekanan darah. Pemberian obat dangan cara IV bolus akan
menimbulkan peningkatan sementara dari tekanan darah sistemik dan menunjukkan adanya
penurunan pada denyut jantung, dan efek ini termediasi dari aktivasi dari rangsangan perifer dari
reseptor α2-adrenergik. Apabila terjadi bradikardi setelah pemberian obat ini, dibutuhkan
penatalaksanaan. Blokade jantung, bradikardi yang berat atau terjadinya asistol mungkin akibat
dari stimulasi vagal yang terganggu. Respon terhadap obat antikolinergi setelah pemberian obat
Sistem Respirasi
Efek dari demedotimHidine pada sistem pernapasan adalah kecil sampai menengah yaitu
penurunan volume tidal dan perubahan sedikit pada rasio respirasi. Respon ventilasi terhadap
perubahan kadar karbondioksida tidak berubah. Walaupun efek pada respirasi itu ringan,
obstruksi jalan nafas atas dapat terjadi akibat efek sedasi. Sebagai tambahan, dexmedetomidine
Penggunaan Klinis
Dexmedetomidine secara prinsip digunakan sebagai sedasi dalam waktu yang singkat
untuk intubasi trakhea dan pasien dengan ventilator mekanik di ICU. Pada pasien yang berada di
kamar operasi, dexmedetomidine mungkin digunakan sebagai tambahan anestesi umum atau
menyediakan sedasi pada pasien dengan trakheal intubasi yang menggunakan fiberoptic atau
selama anestesi regional. Ketika diberikan selama anestesi umum, dexmedetomidine (0.5 sampai
1-µg/kg sebagai dosisi inisial bertahan 10-15 menit, diikuti dengan infus sebanyak 0.2 – 0.7
µg/kg/jam) dapat mengurangi dosis yang dibutuhkan pada anestesi inhalasi dan injeksi anestesi.
Pada pasien sakit kritis yang membutuhkan sedasi yang berkepanjangan infus kontinyu
menjadi metode utama.
Pasien sakit kritis mengalami perubahan signifikan dalam parameter farmakokinetik
obat sedasi akibat patofisiologi penyakit, konsekuensi dari resusitasi agresif serta dukungan
fungsi organ. (Andrew H.W. Tse, Lowell Ling, Gavin M. Joynt, Anna Lee. Prolonged infusion
of sedatives and analgesics in adult intensive care patients: A systematic review of
pharmacokinetic data reporting and quality of evidence. 2017.)
DAFTAR PUSTAKA
4. Singer M WAR. Oxford handbook of critical care. Pain and post operative intensive care.
Oxford University Press Inc; 2005:530–35.
5. Marino P L. The ICU book: Analgesia and Sedation. Lippincott williams & wilkins;
2007;49:938–66.
6. McConachie I. Handbook of ICU therapy. Analgesia for the high risk patient. New York:
Cambridge University Press; 2006;4:51–64.
7. Sessler CN VK. Patient-Focused Sedation and Analgesia in The ICU. Chest 2008;133:552–
65.
8. Mitchell E. Pain control. Dalam : Core topics in critical care medicine. New York:
Cambridge university press; 2010:72–6.
9. Peitz J Gregory, Olsen M Keith. Top 10 Myths Regarding Sedation and Delirium in the ICU. J
Critical Care Medicine 2013;41:S46–56.
10. Reade C Michael, Finfer Simon. Sedation and Delirium in the Intensive Care Unit. J
New England 2014:444–54.
11. Riessen.R, Pech.R. Comparison of the ramsay score and the richmond agitation sedation
score for the measurement of sedation depth. Crit Care 2012.16 (Suppl 1):326.
12. Recommended standards for short latency auditory evoked potentials.American clinical
neurophysiology society.2008:12-9.
13. Stern. TA. Manual of intensive care medicine. Diagnosis and treatment of agitation and
delirium in the intensive care unit patient. Lippincott williams.2000; 179:871–75.