Dakwah Nabi Muhammad SAW Periode Makkah
Dakwah Nabi Muhammad SAW Periode Makkah
Dakwah Nabi Muhammad SAW Periode Makkah
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Kelas 3 A Bilingual
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3
A. Masyarakat Arab Pra-Islam .................................................................................... 3
B. Dakwah Nabi Periode Makkah ............................................................................... 5
C. Masyarakat Madinah Pra-Islam ............................................................................ 12
D. Dakwah Nabi Periode Madinah ............................................................................ 12
E. Pembentukan Negara Madinah dan Masyarakat Islam ........................................ 14
F. Perbedaan Peran Nabi pada Periode Makkah dan Madinah ................................. 16
BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 20
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 20
B. Saran ..................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi masyarakat Arab Makkah sebelum datangnya
Islam?
2. Bagaimana metode dakwah Nabi pada periode Makkah?
3. Bagaimana kondisi Madinah sebelum datangnya Islam?
4. Bagaimana peran Nabi dalam berdakwah di Madinah dan membangun
suatu negara Islam di Madinah?
5. Apa perbedaan peran Nabi ketika dalam periode Makkah dan
Madinah?
1
2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi masyarakat Arab Makkah
sebelum datangnya Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana metode dakwah Nabi pada periode
Makkah.
3. Untuk mengetahui bagaimana kondisi Madinah sebelum datangnya
Islam.
4. Untuk mengetahui bagaimana peran Nabi dalam berdakwah di
Madinah dan membangun suatu negara Islam di Madinah.
5. Untuk mengetahui dan dapat membedakan peran Nabi ketika dalam
periode Makkah dan Madinah.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 27.
2
Ibid.
3
Ibid., hlm. 28.
3
4
tersebut membuat banyak orang ragu (termasuk sejarawan) dengan kebenaran cerita
atau kisah-kisah tersebut.
Sejarah Arab sebelum Islam yang paling dapat dipercaya adalah tinggalan-
tinggalan arkeologis yang masih dapat ditemukan di Yaman, Hadhramaut, sebelah
utara Hijaz dan sebelah selatan Suriah. Satu-satunya yang dapat diketahui adalah
penggalan-penggalan sejarah yang terdapat di gereja-gereja di Hirah, yang
kemudian dikaji oleh Al-Kalbi, sejarawan muslim kemudian. Dengan demikian,
data-data sejarah tentang masa sebelum Islam yang tercantum dalam karya-karya
sejarah yang ditulis pada masa Islam, menurut Husein Nashshar, harus diterima
dengan keraguan yang mendalam. Di samping itu, pengetahuan orang Arab
terhadap negeri-negeri tetangga, seperti Persia dan Romawi, juga merupakan cerita-
cerita yang bercampur legenda.4
Mengenai keyakinan masyarakat di sana, tahap pemujaan benda-benda
langit muncul sejak lama. Al-‘Uzza, al-Lat dan Manat memiliki tempat pemujaan
masing-masing yang disakralkan di daerah yang kemudian menjadi tempat
kelahiran Islam.5
Terdapat tiga berhala yang paling diagungkan pada masa itu, yaitu Al-
‘Uzza, Al-Lat, dan Manat yang semuanya ditaruh di tempat yang dianggap
memiliki kesakralan di dalamnya. Al-Uzza (yang paling agung, venus, atau bintang
pagi) dipuja di Nakhlah, sebelah Timur Makkah. Tempat pemujaannya terdiri atas
tiga batang pohon. Al-Lat (dari kata ilahat yang berarti Tuhan perempuan) memiliki
tempat pemujaan suci di dekat Tha’if, tempat berkumpul orang-orang Makkah dan
lainnya untuk beribadah Haji dan menyembelih binatang qurban. Untuk menjaga
kesucian tempat tersebut, maka di sana dilarang untuk menebang pohon, memburu
binatang, dan menumpahkan darah. Sedangkan Manat (berasal dari kata maniyah,
yang berarti pembagian nasib) adalah dewa yang (dipercaya) menguasai nasib.
Tempat suci utamanya adalah sebuah batu hitam di Qudayd, di sebuah jalan antara
Makkah dan Madinah. Dewa ini populer di kalangan suku Aus dan Khazraj.6
4
Ibid., hlm. 29.
5
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 123.
6
Ibid., hlm. 124 – 125.
5
7
Ibid., hlm. 125.
8
Ibid., hlm. 135.
9
Shafiyurrahman al‐Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 46.
6
dikenal dengan baik dan begitupun sebaliknya.10 Di dalam kitab Tarikh Islam,
mereka dikenal dengan sebutan al-sabiqun al-awwalun atau “yang terdahulu
dan yang pertama-tama (masuk Islam). Mereka di antaranya Khadijah binti
Khuwailid, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar al-Shiddiq, Utsman
bin ‘Affan, al-Zubair bin Awwam, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi
Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka adalah delapan orang yang lebih
dahulu masuk Islam yang kemudian disebut kelompok pertama sebagai “fajar
Islam”11.
Kelompok lain yang juga termasuk mula-mula masuk Islam adalah Bilal
bin Rabbah al-Habsyi, kemudian disusul kepercayaan umat ini, Abu Ubaidah
bin Amr bin al-Jarrah dari Bani Harits bin Fihr, Abu Salamah bin Abdul Asad,
Arqam bin Abil Arqam al-Makhzumy, Utsman bin Madz’un dan kedua
saudaranya, Qudamah dan Abdullah, Ubadah bin Harits bin Muththalib bin
Abdul Manaf, Sa’ad bin Zaid al-Adawiy dan istrinya Fathimah binti Khaththab,
Khabbab bin Arat, Abdullah bin Mas’ud al-Hadzaily, dan masih banyak lagi.
Mereka semua berasal dari kabilah Quraisy.12
َ َ َۡ ۡ َ َ َ َ ۡ ََ
٢١٤ شيتك ٱلقربِي ِ وأن ِذر ع
10
Ibid., hlm. 46 – 47.
11
Ibid., hlm. 47.
12
Ibid.
7
undangan beliau termasuk beberapa orang dari Bani Muththalib bin Abdul
Manaf.
Setelah pertemuan itu, Rasullah berdiri di bukit Shafa lalu berseru “Ya
shabahah!” (seruan untuk menarik perhatian orang untuk berkumpul di waktu
pagi dan biasa digunakan untuk berperang). Maka berkumpullah orang-orang
Quraisy. Beliau mengajak mereka kepada Tauhid dan beriman terhadap risalah
beliau dan hari akhir. Beliau kemudian berbicara, “Bagaimana menurut kalian
jika ku beritahu kepada kalian bahwa ada sepasukan berkuda di lembah sana
hendak menyerang kalian. Apakah kalian mempercayaiku?”. Mereka
menjawab, “Ya, tentu saja. Kami tidak pernah mengetahui kecuali Anda selalu
berbicara benar.” Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya aku ini adalah pemberi
peringatan bagi kalian dari adzab yang sangat pedih.” Maka Abu Lahab
menanggapi, “Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini
engkau kumpulkan kami?”. Maka ketika itu turunlah ayat13,
َّ َ َ َ َ َ ٓ َ َ ۡ َّ َ
١ ب و تب ٖ تبت يدا أ ِب له
Artinya: “1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan
binasa.” (Al-Qur’an Surah Al-Lahab ayat 1).
13
Ibid., hlm. 49 – 50.
14
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka al‐Husna, 2003), hlm. 77 – 80.
8
3. Fase dakwah di luar Makkah dan penyebarannya, yang dimulai sejak akhir
tahun kesepuluh kenabian hingga peristiwa hijrah Rasulullah ﷺ.
Setelah penyiksaan dan semua perlakuan yang didapat oleh Nabi dari
kaum Quraisy di makkah, Nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam ke luar
kota dengan harapa dakwah nabi akan mendapatkan reaksi yang berbeda dari
yang diterima Nabi di kota Makkah.
Tanda-tanda konkret bahwa Nabi Muhammad akan menjadi pimpinan
komunitas baru berdasarkan ajarannya, dan terlepas dari komunitas Makkah
lainnya. Bulan ketujuh tahun kelima kenabian berangkatlah 11 orang laki-laki
beserta 4 wanita. Kemudian rombongan berikut menyusul hingga jumlah yang
hijrah ke Habsyi mencapai 70 orang. Di antaranya adalah Utsman bin Affan dan
istrinya (Ruqayyah putri Nabi Muhammad )ﷺ, Zubair bin Awwam,
15
H.Munzier Suparto dan Harjani Hefni, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm.
48.
16
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 23.
9
Abdurrahman bin Auf, Ja’far bin Abi Thalib, dan lain-lain. Mereka melakukan
hijrah untuk mengamankan agama yang baru mereka anut, bahkan bersedia
melepaskan keluarga dalam rangka membentuk kehidupan bersama di sebuah
negeri asing. Ikatan keagamaan ini lebih kuat daripada ikatan darah. Dengan
cara demikian, agama baru tersebut mengancam tata kemasyarakatan yang lama
sekaligus menggantinya dengan tata kemasyarakatan yang baru.17 Kedatangan
orang-orang Islam di Habsyi disambut dengan baik oleh Raja Nejus. Bahkan ia
memberikan perlindungan dan diizinkan untuk melaksanakan ibadah Islam. Dia
juga menolak permintaan suku Quraisy supaya mengembalikan orang-orang
mukmin ke Mekah. Di saat pengikut nabi hijrah ke Habsyi, dia tetap berada di
Mekah untuk berdakwah. Dia mendapat perlindungan dari Bani Hasyim.
Bahkan dua orang tokoh Quraisy masuk ke dalam Islam yakni Hamzah bin
Abdul Muththalib dan Umar bin Khaththab. Masuknya Umar ke dalam Islam,
di mana awalnya dia adalah musuh Islam yang sangat kuat. Diceritakan bahwa
sewaktu Umar akan pergi mencari Nabi untuk membunuhnya. Di tengah jalan
dia berjumpa dengan Naim bin Abdullah dan menanyakan tujuan kepergian
Umar. Umar lalu menceritakan tentang keputusannya membunuh nabi. Dengan
mengejek Naim mengatakan agar Umar lebih baik memperbaiki urusan rumah
tangganya lebih dahulu. Seketika itu juga Umar kembali ke rumah dan
mendapati iparnya sedang asyik membaca Al-Quran. Umar marah dan
memukul sang ipar dengan ganas. Kejadian itu tidak membuat ipar dan adiknya
meninggalkan Islam. Sehingga Umar meminta dibacakan kembali Al-Quran
tersebut. Kandungan arti dan alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat
Umar begitu terpesona, sehingga ia bergegas ke rumah nabi dan langsung
memeluk agama Islam.18
Pada bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian, atau tepatnya di
penghujung Mei atau awal Juni tahun 619 M, Nabi ﷺkeluar ke Thaif yang
letaknya kira-kira sejauh enam puluh mil (dari kota Makkah). Beliau pergi ke
17
Rianawati, Sejarah Peradaban Islam, (Pontianak: STAIN Press, 2010), hlm. 33.
18
Patmawati, Sejarah Dakwah Rasulullah saw di Mekah dan Madinah, (Pontianak: IAIN
Pontianak, tt), hlm. 8.
10
19
Shafiyurrahman al‐Mubarakfuri, op.cit., hlm. 87.
20
Ibid., hlm. 89.
11
Aqabah II. Isi perjanjian tersebut, mereka mengundang nabi dan para
pengikutnya datang dan tinggal di kota mereka, dan bahkan menjadikan nabi
sebagai penengah dan juru damai dalam pertikaian-pertikaian yang terjadi di
antara mereka. Mereka juga menyatakan kesanggupan membela nabi dan para
pengikutnya dan menyertai beliau pindah dari Mekah ke kota mereka,
sebagaimana halnya mereka membela warga mereka sendiri. Dari perjanjian ini,
nabi mengirimkan kira-kira 60 keluarga ke Yatsrib terlebih dahulu, kemudian
nabi menyusul mereka ke Yatsrib. Kepindahan nabi dan para pengikutnya dari
Kota Makkah ke Yatsrib, dalam bahasa Arab dikenal hijrah, yang secara harfiah
berarti migrasi atau berpindah, peristiwa ini sangat menentukan sejarah
kerasulan Muhammad, bahkan penanggalan hijriah diambil dari peristiwa ini.
Kota Yatsrib menjadi pusat keagamaan dan komunitas muslim, nama Yatsrib
berubah menjadi al-Madinah yang berarti kota. Komunitas muslim disebut umat
yang berarti masyarakat.21 Di Mekah Muhammad merupakan pribadi biasa
yang berjuang melawan ketidakacuhan atau ketidakpedulian yang ada di
lingkungannya, dan kemudian juga melawan sikap permusuhan dari golongan
yang berkuasa. Masyarakat Mekah pada waktu itu terbagi atas dua bagian besar,
golongan merdeka dan golongan budak belian (al-hurr wal-abd). Dalam hal
kekayaan, mereka terbagi dua, orang kaya dan orang miskin (al-aghniya wal-
fuqara). Dalam kekuatan politik, mereka hanya mengenal yang kuat dan yang
lemah (al-mala wal-dhu‟afa). Status sosial sedemikian pentingnya, sehingga
budak belian bukan saja tak dianggap sebagai manusia, melainkan
diperjualbelikan seperti binatang, sehingga melahirkan bayi wanita dianggap
aib yang luarbiasa.22 Dilukiskan di dalam al-Quran: “Ingatlah ketika anak
perempuan itu ditanya dosa apa (yang mereka lakukan, sehingga) mereka
dibunuh?” (QS. 81: 8-9).
21
Bernard Lewis, The Middle East, terj. Abd. Rachman Abror, (Pontianak: STAIN Press, 2010), hlm.
80.
22
Patmawati, op.cit, hlm. 9.
12
25
Jamil Ahmad, Hundred Great Muslims, terj. “Seratus Muslim Terkemuka”, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hlm. 4.
26
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 26.
27
A. Syalabi, op.cit., hlm. 103.
14
623 M atau tahun ke-2 H. di antara dictum perjanjian paling penting adalah sebagai
berikut:28
1. Kaum muslimin dan kaum Yahudi hidup secara damai, bebas memeluk
dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
2. Orang-orang Yahudi berkewajiban memikul biaya mereka sendiri, dan
kaum muslimin wajib memikul biaya mereka sendiri. - Apabila salah
satu pihak diperangi musuh, maka mereka wajib membantu pihak yang
diserang.
3. Di antara mereka saling mengingatkan, dan saling berbuat kebaikan,
serta tidak akan saling berbuat kejahatan.
4. Kaum muslimin dan Yahudi wajib saling menolong dalam
melaksanakan kewajiban untuk kepentingan bersama.
5. Bumi Yastrib menjadi tanah suci karena naskah perjanjian ini.
6. Nabi Muhammad adalah pemimpin umum untuk seluruh penduduk
Madinah. Bila terjadi perselisihan di antara kaum muslimin dengan
kaum Yahudi, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada nabi sebagai
pemimpin tertinggi di Madinah.
Madinah adalah wilayah pertanian, dihuni oleh berbagai klan dan tidak oleh
sebuah kesukuan yang tunggal, namun berbeda dengan Mekah, Madinah
merupakan perkampungan yang diributkan oleh permusuhan yang sengit dan
28
Wahyu Ilahi dan Harjani Hefni, op.cit., hlm. 59.
29
Bernard Lewis, op.cit., hlm. 80.
15
anarkis antara kelompok kesukuan yang terpandang –Suku Aus dan Khazraj.
Permusuhan yang berkepanjangan mengancam keamanan rakyat kecil dan
mendukung timbulnya permasalahan eksistensi Madinah. Berbeda dengan
masyarakat Badui, masyarakat Madinah telah hidup saling bertetangga dan tidak
berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya. Selanjutnya berbeda dengan Mekah,
Madinah senantiasa mengalami perubahan sosial yang meninggalkan bentuk
kemasyarakatan absolut model Badui. Kehidupan sosial Madinah secara berangsur-
angsur diwarnai oleh unsur kedekatan ruang daripada oleh sistem kekerabatan.
Madinah juga memiliki sejumlah warga Yahudi, yang mana sebagian besar
penduduknya lebih simpatik terhadap monoteisme.30 Namun setelah masyarakat
muslim berkembang menjadi besar dan berkuasa, mereka mulai menaruh rasa
dendam dan tidak suka. Islam di Madinah bukan hanya sebuah agama, tetapi juga
mengatur Negara. Karena masyarakat Islam telah terwujud, maka menjadi suatu
keharusan Islam untuk menentukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat yang
baru terwujud itu. Sebab itu ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan dalam periode ini
terutama ditujukan kepada pembinaan hukum. Ayat-ayat yang diturunkan itu diberi
penjelasan oleh Rasulullah. Mana-mana yang belum jelas dan belum terperinci
dijelaskan oleh Rasulullah dengan perbuatan-perbuatan beliau.31
Islam yang diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi melalui perantaraan
kenabian Muhammad ﷺditujukan sebagai pedoman bagi kehidupan di dunia dan
akhirat. Islam mengembang amanat untuk memerdekakan manusia dari segala
perbudakan dan membebaskan manusia dari segala penindasan. Islam tidak
mengenal batas-batas suku, keturunan, tempat tinggal, atau jenis kelamin. Semua
umat manusia, dalam pandangan Islam, mempunyai kedudukan setara. Sebab,
kemuliaan kedudukan manusia dalam Islam tergantung dari kualitas ketaqwaannya
pada Allah SWT atau amal salehnya. Tentu saja kualitas ketaqwaan atau amal saleh
ini tidak hanya diukur dengan perilaku vertical kepada Tuhannya, namun juga
30
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terj. Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Ummat
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 38
31
A. Syalabi, op.cit., hlm. 104.
16
akhlak horizontal kepada sesama manusia.32 Sesuai dengan firman Allah dalam Al-
Quran surah al-Hujurat ayat 13: “hai manusia, sesungguhnya kami jadikan kamu
berasal dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya orang yang termulia di
antaramu pada sisi Allah ialah orang yang lebih taqwa”.
32
Patmawati, op.cit., hlm. 13.
17
tidak mudah bagi mereka untuk dapat menerima pendapat atau keyakinan
orang lain.
2. Periode Madinah
a. Kondisi Kota Madinah
Berbeda dengan Makkah, Madinah senantiasa mengalami
perubahan sosial yang meninggalkan bentuk kemasyarakatan absolut model
badui. Kehidupan sosial Madinah secara berangsur-angsur diwarnai oleh
unsur kedekatan ruang daripada oleh sistem kekerabatan. Madinah juga
memiliki sejumlah warga Yahudi, yang mana sebagian besarnya lebih
simpatik terhadap monoteisme.33
Penduduk Madinah yang terdiri dari kaum Muhajirin, Anshar, dan
non-muslim tersebut, merupakan sebuah keberagaman yang ada pada masa
lalu dan sudah menjadi suatu hal yang tidak bisa lagi dipungkiri
eksistensinya. Tapi bukan hal itu yang akan digaris bawahi, yang terpenting
adalah jiwa sosialis masyarakat Madinah sangat tinggi. Ini terbukti dari
persaudaraan yang tinggi dan sangat kokoh. Tidak ditemukan konflik
karena masalah perbedaan. Kalaupun ada masalah itu dengan cepat segara
terselesaikan, karena nabi sangat bijak dalam hal itu dan sangat hati-hati
terhadap peletakan sebuah nilai kemasyarakatan.
Nabi berhasil membentuk sistem yang luar biasa bagus. Masyarakat
Madinah merasa bahwa dirinya itu satu. Maka dari itu, apabila ada satu yang
sakit maka yang lain turut merasakan. Hal ini lebih khusus lagi pada umat
Muslim sendiri, di mana sudah menjadi kewajiban di setiap Muslim
sebagaimana dalam riwayat nabi sering kali memerintahkannya.
33
Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Umat Islam. (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada : Cet. I, 1999), hlm.
38
19
agama samawi. Dapat kita lihat ketika Nabi memasuki Madinah, beliau
mendapat penyambutan yang luar biasa dari masyarakat.
Ada beberapa strategi dakwah yang dilakukan oleh Nabi, yaitu sebagai
berikut:34
1) Membina masyarakat Islam melalui pertalian persaudaraan antara kaum
Muhajirin dengan kaum Anshar.
2) Memelihara dan mempertahankan masyarakat Islam.
3) Meletakkan dasar-dasar politik ekonomi dan sosial untuk masyarakat
Islam
34
Wahyudin, Dakwah Rasulullah SAW Periode Madinah,
(https://id.scribd.com/document/15239407/Dakwah‐Rasulullah‐SAW‐Periode‐Madinah , Diakses
16 September 2017).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat Arab pra-Islam dikenal dengan Jahiliyyah karena khas dengan
pemujaan terhadap berhala (syirik), praktik ekonomi ribawi, buta huruf, dan lain-
lain. Tetapi tidak berarti semua masyarakat terkenal akan kebodohan dan
kesyirikannya. Hal ini ditandai dengan adanya karya sastra, syair-syair yang
“menghiasi” kota Makkah.
Kemudian Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺyang bertujuan untuk
meluruskan hal-hal yang salah, kesyirikan yang terjadi pada masyarakat tersebut.
Namun, gejolak demi gejolak dihadapi nabi namun nabi tidak gentar dan menyerah.
Di periode Makkah, ada tiga fase dakwah nabi, di antaranya adalah fase dakwah
sembunyi-sembunyi, dakwah terang-terangan, dan fase dakwah meluas ke luar kota
Makkah.
Di Yatsrib (sekarang Madinah), masyarakat lebih berkembang karena
adanya kontak budaya lintas negara yang membuat peradaban lebih maju. Hal ini
pun menjadikan agama Islam mudah diterima di samping peran nabi berdakwah
yang baik.
Dakwah Nabi di Madinah terbilang lebih banyak daripada di Makkah. Nabi
melakukan tindakan-tindakan di mana membuat masyarakat percaya kepada beliau.
Membangun masjid sampai membangun negara yang mengusung perdamaian dan
kemurnian ‘aqidah dan ajaran Islam sehingga menjadi negara maju.
Pembentukan negara di Madinah dimulai dari suatu perjanjian antar agama
di sana sehingga Rasulullah dipercaya dapat berlaku adil dan mengayomi semua
lapisan masyarakat selama taat kepada perjanjian, diberlakukannya hukum Islam,
dan lain sebagainya.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi keadaan Masyarakat mungkin
yang menjadi faktor utama lebih pesatnya perkembangan Islam di Madinah
20
21
B. Saran
Untuk memahami sebuah sejarah diperlukan literatur terpercaya sehingga
sejarah dapat dipercaya kebenarannya. Begitu pula dengan sejarah perjuangan
Rasulullah ﷺ, banyak literatur baik dari ulama salaf (terdahulu) maupun ulama
khalaf (kontemporer) yang menuliskan dengan baik sejarah Rasulullah ﷺdan
sangat kami rekomendasikan untuk dibaca dan dikaji lebih dalam.
DAFTAR PUSTAKA
22