Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Hadist

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KELOMPOK 1

PERBEDAAN QURAN HADITS, HADITS QUDSI, DAN NABAWI


Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Quran Hadits
Dosen Pengampu: Drs. Abdul Haris, M. Ag

Disusun Oleh
Muhammad Rizki (11170161000013)
Mella Nia Fitri (11180161000003)
Helsa Nanda Yova Putri (11180161000013)
Mafatihurrohmah (11180161000015)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wataala yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga makalah dengan judul “Perbedaan Quran Hadits, Hadits Qudsi, dan
Hadits Nabawi” ini dapat diselesaikan dengan baik. Selawat dan salam kepada nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam beserta keluarga dan sahabatnya yang membawa
kita dari Zaman Jahiliyah dan Zaman Islamiyah seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Semoga kita senantiasa berada dalam jalan-Nya yang lurus di atas jalan sunnah Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam dan jalan Shalafush-shaleh. Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Quran Hadits
pada semester lima di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
serta dapat memberi informasi lebih dalam kepada mahasiswa mengenai perbandingan dari
ketiga komponen tersebut. Adapun makalah ini masih terdapat kekurangan baik dari
referensi, penjelasan, atau yang lainnya. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terimakasih
atas kritik dan saran yang diberikan sehingga dapat meningkatkan kualitas atau kuantitas
pengetahuan mengenai Quran Hadits, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi. Ucapan terimakasih
penyusun sampaikan kepada Drs. Abdul Haris, M. Ag., selaku dosen pengampu mata kuliah
Quran Hadits. Penyusun pun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu selama proses penyusunan makalah ini. Segala kekurangan dalam makalah ini
adalah datang dari penyusun, dan segala kelebihan hanya pada Allah Subhanahu Wataala.
Semoga hati kita senantiasa berada di bawah naungan kaidah Allah dan berpegang teguh
pada al-Quran dan as-Sunnah. Aamiin.

Pasaman Barat, September 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam ajaran agama Islam
tentunya menempati posisi yang signifikan. Mengingat posisinya yang signifikan itu
maka diperlukan adanya pemahaman yang komprehensif terkait dengan eksistensi al-
Qur’an. Selain al-Qur’an, setiap muslim juga mengenal adanya sumber hukum yang
kedua yakni Hadis atau Sunnah, baik Hadis Qudsi maupun Hadis Nabawi.
Keduanya menjadi sumber hukum Islam yang diyakini dan dipedomani oleh
seluruh umat muslim. Keduanya memiliki perbedaan-perbedaan. Perbedaan di antara
keduanya harus diketahui oleh setiap muslim sebagai landasan awal dalam memahami
keduanya lebih lanjut. Pemahaman yang baik terhadap keduanya akan mempengaruhi
kualitas ibadah dari setiap muslim.
Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk kaum muslim atau suatu kelompok suku
tertentu semata, tetapi kehadiarannya juga menjadi rahmat bagi seluruh makhluk.
Universal kandungan isi al-Qur’an tidak disangsikan lagi, dari zaman dulu hingga
sekarang. Al-Qur’an sebagai kitab yang lengkap tentunya dia memiliki kelebihan-
kelebihan. Di antara kelebihan-kelebihan al-Qur’an ini adalah adanya nama-nama dan
sifat-sifat yang telah dijelaskan oleh Allah swt. dalam padanya.
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah swt. kepada umat
manusia melalui Nabi Muhammad saw. untuk dijadikan sebagai pedoman hidup.
Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai
kitab hidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang
berbagai masalah, baik informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan
al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan
manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-
Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan
kemanusiaan dan kehidupan modern.
B. Rumusan Masalah 
1. Bagaimana pengertian al-Qur’an?

4
2. Apa nama-nama dan sifat-sifat al-Qur’an?
3. Bagaimana pengertian hadits?
4. Bagaimana pengertian Hadits Qudsi?
5. Apa pengertian Hadits Nabawi?
6. Bagaimana perbedaan antara al-Qur’an, Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi?
C. Tujuan
1. Memahami pengertian al-Qur’an
2. Memahami nama-nama dan sifat-sifat al-Qur’an
3. Memahami pengertian hadits
4. Memahami pengertian Hadits Qudsi
5. Memahami pengertian Hadits Nabawi
6. Memahami perbedaan antara al-Qur’an, Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi

5
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:
1. Aspek Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari
kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan
oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari
sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati
kebenaran.1
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Umat ini menyakininya sebagai firman-
firman Allah SWT. yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi terakhir,
Muhammad SAW., untuk disampaikan kepada umat manusia hingga akhir zaman.
Dari segi pengertian bahasa, ulama berbeda pendapat tentang asal kata ‘al-Qur’an’.2
Menurut Manna’al-Quthan, qura`a berarti berkumpul dan menghimpun.
Qira’ah, menghimpunkan huruf-huruf dan kata-kata itu antara satu sama lain pada
waktu membaca al-Qur’an berasal dari qira’ah. Berasal dari kata-kata qara’a,
qira’atan, dan qur’aanan3. Allah swt. berfirman :
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (al-Qur’an) di
dadamu dan membuatmu pandai membaca. Maka bila kami telah selesai
membacakannya ikutilah bacaannya itu” (al-Qiyamah: 17-18)4
2. Aspek Terminologi
Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak
dikemukakan oleh para ‘Ulama. Di antaranya mereka ada yang memberikan
pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut
dikenal dengan sebutan al-kitab. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an
sebagai berikut :
1
Subhi Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Muassasah Ar-Risalah: Mesir, 1404H), h. 19.
2
Mardan, Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2009),
h. 27
3
Manna’ al Quthan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, Terj. oleh  Halimuddin dengan judul Pembahasan Ilmu al-
Qur’an, (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 11.
4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: CV. Karya Utama,
2005), h. 854.

6
Artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu”  (QS. An-Nahl : 89).5
Artinya : “Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian
kepada Tuhan mereka dikumpulkan” (QS. al-An’am : 38).6
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian al-Qur’an
adalah Kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan
diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia.7
Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari memberikan definisi bahwa al-kitab adalah
al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Muhammad untuk dipelajari dan
diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub di antara dua sisi awal dan akhir,
diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas. Dalam definisi di atas
tegas bahwa al-kitab adalah al-Qur’an itu sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini
dipandang perlu untuk membedakan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya
seperti Taurat, Injil dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah yang
wajib di imani oleh setiap muslim.8
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an
adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis
dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca. Dr. Subhi
Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang
mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf
serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.9
Dari beberapa definisi dan uraian diatas dapat diambil pengertian dan kesimpulan
bahwa Al-Qur’an secara terminologi meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kalamullah.
2. Dengan perantara malaikat Jibril.
3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

5
Ibid., h. 377.
6
Ibid., h. 177.
7
DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. I, Ed. IV; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008), h. 44.
8
Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, (Muassasah Al-Halaby: Kairo, t.th.), h. 147-148.
9
M. Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, (Dar Al-Arshad: Beirut, t.t.), h. 10.

7
4. Sebagai mu’jizat.
5. Ditulis dalam mushaf.
6. Dinukil secara mutawatir.
7. Dianggap ibadah orang yang membacanya.
8. Dimulai dengan surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah an-Nas.
9. Sebagai ilmu laduni global.
10. Mencakup segala hakikat kebenaran.10
B. Nama-nama dan Sifat Al-Quran

1. Nama-nama Al-Quran
Allah menamakan al-Quran dengan banyak nama, di antaranya:11
a. Al-Quran
) ٩: ‫إن هذا القرآن يهدي للتي هي أقوم ( السراء‬
“Al-Quran ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.” (al-Isra`: 9)
b. Al-Kitab
“Telah kami turunkan kepadamu al-Kitab yang di dalamnya terdapat kemuliaan
bagimu.” (al-Anbiya`: 10)
c. Al-Furqan
“Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya, agar dia
menjadi peringatan kepada penduduk alam.” (al-Furqan : 1)
d. Adz-Dzikr
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan adz-Dzikr, dan sesungguhnya kami
pula yang akan menjaganya. ” (al-Hijr : 9)
e. At-Tanzil
“Dan dia itu adalah Tanzil (kitab yang diturunkan) dari Tuhan semesta alam.” (asy-
Syu’ara : 192).
Al-Quran dan al-Kitab lebih popular dari nama-nama lainnya. Dalam hal ini,
Muhammad Abdullah Darraz berkata, “Dinamakan al-Quran karena ia dibaca dengan
lisan, dan dinamakan al-Kitab karena ia ditulis dengan pena. Kedua nama ini
menunjukkan makna yang relevan dengan kenyataannya.”
10
Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur’an Komprehensif, (t.t. Gama Media, 2003), h.1-2.
11
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 19-20.

8
2. Sifat-sifat Al-Quran
Allah telah melukiskan Quran dengan beberapa sifat, diantaranya ;
a. Nur (cahaya)
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari
Tuhanmu. dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang”.
(an-Nisa` : 174)
b. Huda (petunjuk), Syifa` (obat), Rahmah (rahmat),dan Mauizah (nasehat)
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman”. (Yunus : 57).
c. Mubin (yang menerangkan)
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang
menerangkan.” (al-Maidah :15).12
d. ‘Aziz
Artinya: yang mulia, dimuliakan oleh Allah dengan dijaga dari segala perubahan.
“Sesungguhnya orang-orang yang ingkar dengan adz-dzikru (Al-Quran) ketika
datang kepada mereka dan sesungguhnya dia adalah kitab yang
mulia.” (Fushshilat : 41)
e. Majiid
Artinya agung lagi mulia, Maksudnya agung maknanya dan luas ilmunya,
“Bahkan dia adalah Al-Quran yang agung.” (al-Buruj : 21)
f. Kariimun
Artinya mulia lagi banyak manfaatnya, besar kebaikannya dan dalam ilmunya,
“Sesungguhnya dia adalah Al-Quran yang mulia.” (al-Waqi’ah : 77)
g. Mubaarak
Artinya yang berbarakah (yang banyak manfaatnya dan banyak membawa
kebaikan),  Kebaikan bagi yang membacanya, yang menghafalnya, yang
mendengarnya, yang mentadabburinya, maupun yang mengamalkannya.

12
Anonim, dalam https://www.alhikmah.ac.id/nama-dan-sifat-al-quran/, diakses pada 11 September 2020,
pukul 09.30.

9
“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan berbarakah membenarkan apa yang
datang sebelumnya.” (al-An’am : 92)
h. Fashl
Artinya yang benar dan jelas, memisahkan antara yang haq dan yang bathil,
“Sesungguhnya dia (Al-Quran) adalah ucapan yang memisahkan (antara yang
haq dan yang bathil).”(Ath-Thariq : 13)
i. Hakiim
“Alif Lam Mim. Itu adalah ayat-ayat kitab yang hakīm, sebagai petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang berbuat baik.” (Luqman : 1-3)
j. Hakim
artinya Memiliki hikmah dan kebijaksanaan yang mendalam, ayat-ayatnya
muhkam, yaitu kokoh.
a) Dia kokoh karena datang dengan lafazh yang paling fasih dan jelas yang
mengandung makna yang dalam.
b) Kokoh karena tidak mungkin dirubah.
c) Kokoh karena kabar-kabar yang ada di dalamnya benar sesuai dengan
kenyataan.
d) Kokoh karena tidak memerintah kecuali dengan sesuatu yang merupakan
kebaikan bagi manusia dan tidaklah melarang kecuali dari sesuatu yang
merupakan keburukan bagi manusia, dan
e) Dia kokoh karena tidak ada pertentangan di antara ayat-ayatnya.
k. Berbahasa Arab yang jelas

“Dan sesungguhnya Al-Quran diturunkan dari Rabb semesta alam, turun


dengannya Ar-Ruhul Amin (Jibril) atas hatimu supaya engkau termasuk orang-
orang yang memberikan peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (asy-
Syu’ara : 192-195)13

C. Pengertian Hadits
“Hadits” atau al-Hadits menurut bahasa bearti al-Jadid (sesuatu yang baru), lawan
kata dari al-qadim. Kata hadits juga bearti al-Khabar (berita), yaitu sesuatu yang

13
Abdullah Roy, dalam HSI Abdullahroy diakses pada 11 September 2020 pukul 09.38.

10
dibincangkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Bentuk pluralnya adalah
al-Ahadits.14
Istilah Hadits sering juga disinonimkan dengan Sunnah, Khabar, dan Atsar.15
1. Sunnah
Pengertian sunnah secara etimologis
Jika dipandang dari sudut etimologi atau bahasa, sunnah berarti metode atau jalan.
Hal ini dapat disimpulkan dari hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  yang
artinya,
“Barang siapa yang mencontohkan jalan yang baik di dalam Islam, maka ia akan
mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan jalan
yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya
sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim: 2398)
Hadits di atas bermuara dari datangnya suku Mudhar ke kota Madinah dalam
keadaan miskin. Kondisi mereka membuat hati Rasulullah terenyuh. Selepas itu,
Rasulullah pun berkhutbah. Mendengar khutbah tersebut, seorang sahabat serta
merta menyedekahkan hartanya, pakaiannya, gandum, dan kurma. Lantas akhirnya
sahabat yang lain berbondong-bondong turut menyedekahkan apa yang mereka
punya, mengikuti sahabat yang bersedekah kali pertama. Maka Rasulullah pun
menyebutkan hadis di atas. Dari penjelasan ini dapat kita tarik benang merah bahwa
menurut bahasa sunnah berarti metode atau jalan, yang mencakup makna konotasi
positif maupun negatif.16
Menurut ‘Abbas dalam Nawir Yuslem (2001), bahwa Sunnah secara etimologi
bearti, “Jalan yang lurus yang berkesinambungan, yang baik atau yang buruk”.
Contoh dari pengertian sunnah tersebut terdapat dalam Quran surat al-Kahf: 55, yang
artinya: “Dan tidak ada (sesuatu pun) yang menghalangi manusia untuk beriman
ketika petunjuk telah datang kepada mereka dan memohon ampunan kepada
Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya (Allah yang telah berlaku pada)
umat yang terdahulu atau datangnya  atas mereka dengan nyata.”
14
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadits, (Surabaya: al-Muna, 2010), h. 1.
15
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Media Sumber Widya, 2001), h. 38-40
16
Roni Nurmansyah, dalam https://muslim.or.id/19111-makna-as-sunnah.html, diakses pada 11 Sepetember
2020, pukul 10.03

11
Di dalam hadits juga terdapat kata sunnah dengan pengertiannya secara etimologi di
atas, seperti yang telah diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya sebagai
berikut yang artinya: “Barangsiapa mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang
baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang melakukannya
setelahnya; tanpa berkurang sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barangsiapa
yang mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang buruk, maka ia menanggung
dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa berkurang sesuatu
pun dari dosa-dosa mereka” (Hadist Riwayat Muslim, Ibnu Majjah, dan ad-Darimi)
Berdasarkan contoh-contoh di atas, terlihat bahwa pada dasarnya Sunnah tidaklah
sama pengertiannya dengan Hadits, karena sunnah, sesuai dengan pengertiannya secara
bahasa adalah ditujukan terhadap pelaksanaan agama yang ditempuh, atau praktik yang
dilaksanakan, oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dsalam perjalanan hidupnya,
karena sunnah secara bahasa berarti ath-Thariqah yaitu jalan (jalan kehidupan).
Pengertian sunnah secara terminologis
a) Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Fikih
Adapun jika dilihat dari sudut terminologi atau secara istilah, maka makna sunnah
sangat beragam tergantung konteks kata sunnah itu sendiri. Definisi yang familiar di
kalangan mayoritas manusia, yaitu definisi menurut para fuqaha (ulama pakar dalam
disiplin ilmu fikih). Menurut mereka, sunnah adalah suatu amal yang dianjurkan oleh
syariat namun tidak mencapai derajat wajib atau harus.
Dalam versi lain yang masyhur, sunnah adalah segala perbuatan yang apabila
dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan maka tidak berdosa. Makna ini
memiliki beberapa kata yang serupa yaitu mustahab (dianjurkan) ataupun mandub,
salah satu tingkatan hukum-hukum syariat yang lima: wajib, haram, makruh, mubah,
dan sunnah. Ini termasuk makna sunnah yang cukup sempit. Dalam artian, definisi ini
hanya mencakup amal yang dihukumi sebagai mustahab. Sunnah dalam makna ini
terbagi menjadi dua: sunnah muakadah (dikuatkan atau sangat dianjurkan) dan sunnah
yang tidak muakadah. Contoh jenis pertama seperti puasa senin-kamis, salat rawatib,
dan lain sebagainya. Sedangkan sunnah untuk jenis kedua seperti salat dua rakaat
sebelum salat Magrib. Namun, tidak diperkenankan bagi seorang yang awam untuk
menafsirkan kalimat sunnah di dalam hadis Rasulullah, perkataan sahabat, tabiin, atau

12
imam-imam besar dengan makna mustahab. Karena sejatinya sunnah lebih umum
dari penamaan ini. Sunnah terkadang meliputi mustahab, dan terkadang wajib,
bahkan hal-hal yang jika diingkari menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam
kekufuran. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf abad ketiga yang menulis kitab-
kitab mereka dengan judul As-Sunnah mencakup pembahasan aqidah yang wajib
diyakini dan mengingkarinya adalah kekufuran. Seperti kitab As-Sunnah karya Imam
Ibnu Abi Ashim, Imam Ahmad, Imam Al-Marwazi, dan selain mereka. Karenanya,
tidak selayaknya menggiring kata sunnah yang terdapat pada ucapan sahabat, tabiin,
atau imam-imam besar lainnya dengan makna mustahab semata secara mutlak.
b) Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Hadits
Para muhadditsun (ulama pakar hadis) mendefinisikan sunnah sebagai segala hal
yang disandarkan kepada Nabi, baik itu berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (ketetapan), maupun sifat perangai atau sifat fisik. Baik sebelum
diutus menjadi nabi ataupun setelahnya.
Sunnah dalam versi ini memiliki makna yang lebih luas. Ia tidak hanya
menghimpun amal ibadah yang hukumnya sunnah, akan tetapi juga hal-hal yang
dihukumi wajib oleh ulama ahli fikih. Oleh sebab itu, jika mendengar suatu
pernyataan ini adalah sunnah atau disunnahkan, tidak berarti hukumnya sunnah. Bisa
jadi wajib, karena yang dimaksud sunnah tersebut adalah sunnah menurut ulama ahli
hadis.
Dari definisi sunnah yang telah dijelaskan, terdapat beberapa bentuk sunnah yang
dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Sunnah qauliyyah atau sunnah yang berupa perkataan adalah hadis yang memuat
ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu contohnya ialah hadis
yang diriwayatkan Umar bin Khathtab radhiyallahu ‘anhu. Dia menceritakan
bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan setiap orang akan memperoleh
sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
b. Sunnah fi’liyyah atau sunnah yang berupa perbuatan yaitu seorang sahabat
menukilkan kepada kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat

13
seperti ini dan seperti itu, meninggalkan ini dan itu, sebagaimana perkataan Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai labu.” (HR. Tirmidzi, dalam
Asy-Syama-il no. 161, Ad-Darimi 2/101, dan Ahmad no. 2/174)
Hal ini merupakan sunnah yang berwujud perbuatan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Di antara sunnah fi’liyyah lainnya adalah apa yang bersumber dari Rasulullah
berupa perbuatannya yang menjelaskan tentang salat, zakat, puasa, haji, dan
selainnya. Hal ini pun termasuk sunnah fi’liyyah.
c. Sunnah taqririyyah adalah ketika seseorang sahabat misalnya menceritakan atau
mengerjakan suatu perbuatan di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
atau pada masa beliau saat wahyu masih turun, lantas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam atau wahyu menetapkannya, tanpa diingkari maupun diubah.
Inilah taqrir menurut syariat di untuk suatu perbuatan.
d. sifat khuluqiyyah adalah sesuatu yang disampaikan para sahabat berkaitan dengan
bagaimana akhlak, perilaku, dan perangai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Sebagaimana di saat Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya ihwal akhlak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menjawab, “Akhlak Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Alquran.” (HR. Muslim, no. 1773)
e. Sifat khalqiyyah ia adalah sesuatu yang disampaikan oleh para sahabat berkenaan
dengan sifat fisik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti yang
disebutkan dalam beberapa hadis bahwa Rasulullah itu berbadan sedang, tidak
tinggi dan tidak pula pendek. Diceritakan pula bahwa wajah beliau putih, bak
rembulan. Juga dikabarkan bahwa Rasulullah seperti ini dan seperti itu,
sebagaimana yang diriwayatkan tentang sifat fisik beliau.
c) Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Ushul Fikih
Para ulama usul fikih mengungkapkan pengertian sunnah berupa sumber hukum
pensyariatan Islam setelah Alquran. Atau bisa diartikan sebagai segala hal yang
disandarkan kepada Nabi berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir atau ketetapan. Hal
itu dikarenakan ulama usul hanya melihat sunnah dari sisi pendalilan. Dan dalil itu
hanyalah mencakup perkataan, perbuatan, dan ketetapan.

14
Adapun yang berupa sifat fisik maupun akhlak, maka itu tidak termasuk sunnah.
Begitu pula yang terjadi sebelum diutusnya beliau menjadi Nabi, atau yang berasal
dari para Nabi sebelumnya, maupun generasi setelahnya, yaitu sahabat, tabiin, dan
selainnya, maka hal itu pun bukan termasuk sunnah dalam pandangan disiplin ilmu
mereka.
d) Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ulama Aqidah
Menurut ulama aqidah, sunnah adalah antonim atau lawan kata dari bidah. Jadi, setiap
amal perbuatan yang ada contoh dan tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, bukan perkara yang diada-adakan dalam agama, maka ini masuk dalam
kategori sunnah. Atau dalam arti lain, sunnah bukan hanya sesuatu yang dinukil dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi sunnah juga merupakan segala hal
yang dijelaskan oleh Al Qur’an, sunnah, kaidah syar’iyyah, atau yang semisalnya.
Makna sunnah ini otomatis menggambarkan agama Islam secara keseluruhan.
Hadits yang memuat pengertian ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, “Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan
sunnah khulafa rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan berhati-
hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Karena setiap
perkara yang baru dalam agama itu adalah bidah dan setiap bidah itu sesat.” (HR.
Abu Dawud, no. 4607, dan Tirmidzi, no. 2677).
Dengan mengetahui makna-makna sunnah di atas, semoga hati kita semakin
lapang dalam memahami suatu permasalahan. Janganlah menyempitkan sesuatu yang
sejatinya luas. Ketika mendengar kata sunnah, maka sudah selayaknya kita tidak
mencukupkan diri dengan memaknainya sebagai mustahab atau yang dianjurkan.
Sebaliknya, kita pun harus pandai memilah kata yang tepat jika hendak
menyampaikan suatu hal. Misalkan merinci makna sunnah yang dimaksud, dengan
mengucapkan, “Perbuatan ini adalah sunnah Nabi yang hukumnya wajib.” Atau bisa
pula dengan mengatakan, “Amal ini hukumnya sunnah alias mustahab.”
2. Khabar
Khabar menurut bahasa bearti an-Naba`, yaitu berita. Adapun pengertiannya menurut
istilah, terdapat tiga pendapat, yaitu:

15
a. Khabar adalah sinonim dari hadits, yaitusesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat.
b. Khabar berbeda dengan hadits. Hadits adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah
Shallallahu’Alaihi Wasallam, sedangkan khabar adalah berita dari selain nabi
Shallallhu ‘Alihi Wasallam. Atas dasar pendapat ini, maka seorang ahli hadits
atau ahli sunnah disebut dengan Muhaddits, sedangkan mereka yang
berkecimpung dalam sejarah dan sejenisnya disebut Akhbari.
c. Khabar lebih umum daripada Hadits. Hadits adalah sesuatu yang datang dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan khabar adalah sesuatu yang datang dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau dari selain nabi (orang lain).
3. Atsar
Atsar secara etimologis bearti baqiyyat al-syay’, yaitu sisa atau peninggalan sesuatu.
Adapun pengertian secara terminologis, terdapat dua pendapat, yaitu:
a. Atsar adalah sinonim dari hadits, yaitu segala sesuatu yang datang dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
b. Pendapat kedua menyatakan, Atsar adalah berbeda dengan hadits. Atsar secara
istilah menurut pendapat kedua ini adalah:
“Sesuatu yang disandarkan pada Sahabat dan Thabiin, yang terdiri atas
perkataan dan perbuatan”.
Jumhur ulama cenderung menggunakan istilah Khabar dan Atsar untuk segala
sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan
demikian juga kepada sahabat dan tabiin. Namun, para fuqaha Khurasan
membedakannya dengan mengkhusukan al-mawquf, yaitu berita yang
disandarkan kepada sahabat dengan sebutan Atsar, dan al-Marfu’, yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan
istilah khabar.

D. Hadits Qudsi
1. Pengertian Hadits Qudsi

16
Hadits Qudsi juga disebut Hadits illahi Rabbani. Dinamakan Qudsi (Suci), Ilahi
(Tuhan), dan Rabbani (keutuhan) karena ia bersumber dari Allah yang maha suci, dan
dinamakan hadits karena Nabi yang menceritakannya dari Allah Swt. Kata ‘Qudsi’
sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi hadits, sandaran hadits kepada tuhan
tidak menunjukan kualitas hadits. Oleh karena itu, tidak semua hadist Qudsi shahih,
hasan, dan dhaif, tergatung persyaratan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau
matan. Pengertian yang Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Illahi adalah:
‫مااخبرهللا نبيه بالمنام| فاخبر النبى صلى هللا عليه وسلم من ذالك المعنى بعبا رة نفسه‬
“Sesuatu yang dikabarkan Allah ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau
mimpi, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut
dngan ungkapan kata beliau sendiri”

Pengertian Hadits Qudsi dalam kitab At-Tarifat adalah kabar berita yang
disampaikan Allah SWT kepada Nabi-Nya SAW, baik melalui ilham atau mimpi,
kemudian Rosulullah SAW menyampaikan pesan dari allah tersebut dengan redaksi yang
berasal dari dirinya sendiri. Ali al-Qadri rahimallahu ta’ala berkata bahwa Hadist Qudsi
adalah pesan allah SWT yang diriwayatkan oleh perawi dan narasumber yang paling
terpercaya, terkadang penyampaiannya melalui malaikat jibril, melalui wahyu, ilham,
maupun lewat mimpi, sedangkan redaksinya yang diutarakan dalam hadits Qudsi
diserahkan sepenuhnya kepada Rasulullah SAW. 17

Definisi Hadits Qudsi yang lain adalah:


‫كل حديث يضيفه الرسو| الهلل صلى هللا عليه وسلم الى هللا عز وجل‬
“ Segala hadits yang disandarkan Rosul SAW, kepada allah azza wa jalla”

Dengan demikian, Hadits Qudsi adalah hadits yang maknanya berasal dari Allah
dan lafadzh-nya dari Rosulullah SAW. Definisi ini menjelaskan bahwa Nabi hanya
menceritakan berita yang disandarkan kepada allah SWT. Bentuk periwayatan Hadits
Qudsi biasanya menggunakan kat-kata yang disandarkan kepada Allah SWT, misalnya
sebagai berikut:
17
Supaiana, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Rosdakarya: 2017), Hlm. 167

17
‫قَ َل الَّنبِى َسلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم قَلَى هللا يَقُوْ ل هللا َعزَ َوج َّل‬
“ Nabi SAW bersabda: Allah azza wajalla berfirman…”18
Hadits Qudsi termasuk firman allah SWT, bukan sabda Nabi SAW, Nabi hanya
menceritakan saja dengan alasan sebagai berikut:
1. Hadits Qudsi selalu disandarkan pada allah. Oleh karena itu disebut hadits illahi.
2. Hadits Qudsi slalu menggunakan kata ganti (dhamir) orang pertama, saya atau
kami yang dimaksud adalah allah.
3. Sanad Hadits Qudsi tidak hanya berakhir pada Nabi, tetapi sampai kepada Allah
melalui Nabi, tidak seperti Hadits Nabawi dimana hanya sampai kepada Nabi
SAW.
2. Ciri-Ciri Hadits Qudsi
Hadits Qudsi biasanya diberi ciri-ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat seperti
dibawah ini:
a. ‫يقو ل هللا هللا‬
b. ‫يرو يه فيها‬
c. Lafadzh-Lafadzh lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas, setelah
selesai penyebutan rawi-rawi yang menjadi sumber (pertama)-Nya, yakni sahabat.
19

3. Perbedaan Hadist Qudsi dengan Hadits Nabawi


1. Sandaran Hadist Nabawi kepada rosul, sedangkan Hadits Qudsi sandarannya
kepada allah SWT. Pada Hadits Qudsi Nabi hanya memberitahukan apa yang
disandarkan kepada Allah dengan menggunakan redaksinya sendiri.
2. Hadits Nabawi merupaka penjelasan kandungan wahyu, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Maksud wahyu yang tidak langsung adalah bahwa Nabi
berijtihad terlebih dahulu dalam menjawab suatu masalah. Jawaban itu adakalanya
sesuai dengan wakyu dan adakalanya tidak sesuai dengan wahyu. Jika tidak sesuai
dengan wahyu, maka datanglah wahyu lain untuk meluruskannya. Hadits Qudsi
adalah wahyu langsung dari Allah SWT. 20

18
Ibid.,
19
Ibid.,
20
Ibid.,

18
E. Perbedaan antara Al-Qur’an, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi

1. Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Quran


a. Al-Quran adalah kalam allah yang diwahyukan kepada rosulullah dengan
lafazhnya. Al-Quran merupakan mu’jizat abadi hingga hari kiamat, sedangkan
hadits qudsi tidak untuk menentang dan tidak pula berfungsi sebagai mu’jizat.
b. Al-Quran hanya dinisbahkan kepada allah semata. Istilah yang dipakai biasanya,
“Allah ta’ala berfirman” adapun Hadits qudsi terkadang diriwayatkan dengan
disandarkan kepada allah. Penyandaran hadits qudsi kepada allah itu bersifat
penisbatan insya’i (yang diadakan). Disini juga mengungkapkan ungkapan “Allah
tela berfirman atau Allah berfirman”. Terkadang juga diriwayatkan dengan
disandarkan kepada rosulullah SAW, tetapi penisbatannya bersifat ikhbar
(pemberitaan), karena Nabi yang mengabarkan hadits itu dari allah. Maka disini
dikatakan: Rosulullah mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari
tuhannya.
c. Seluruh isi Al-Quran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah
mutlak (qath’I ats-tsubut), sedangkan hadits qudsi sebagian besar memilikiderajat
khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan (zhanni ats-
tsaubut) adakalanya hadits qudsi itu shahih, terkadang hasan (baik) da nada pula
yang dha’if (lemah).
d. Membaca Al-Quran merupakan ibadah, karena itu dibaca dalam solat.

“Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari al-qur’an” (Al- Muzammil:20)

Untuk hadits qudsi tidak disuruh membacanya dalam sholat. Allah memberikan
pahala membaca hadits qudsi tidak memperoleh pahala seperti membeca Aquran
bahwa pada setiap huruf mendapatkan 10 kebaikan.
e. Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Quran tidak berlaku bagi hadits, seperti
menyentuh dan membaca kitab kumpulan Hadits Qudsi tidak haram bagi orang
yang junub, wanita haid dan nifas.21

21
Syaikh Manna Al-Qaththan, Op.Cit., h.27

19
f. Al-quran baik lafadzh dan maknannya dari allah. Itulah wahyu. Adapun hadits
qudsi maknanya saja yang dari allah, sedangkan lafazh (redaksinya) dari
Rosulullah. Hadits qudsi wahyu dalam makna, bukan dalam lafazh. Oleh sebab itu
menurut sebagian besar ahli hadits, tidak mengapa meriwayatkan hadits qudsi
dengan maknanya saja.

20

Anda mungkin juga menyukai