Cekaman Suhu Tinggi - Scribd
Cekaman Suhu Tinggi - Scribd
Cekaman Suhu Tinggi - Scribd
KELOMPOK : 6 (ENAM)
ANGGOTA : TRI SUWARTO (191520101011)
FARCHAN MUSHAF AL R. (191520101012)
`
CEKAMAN SUHU (UDARA) TINGGI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cekaman suhu tinggi sering didefinisikan ketika terjadi kenaikan suhu di luar batas
selama jangka waktu yang cukup untuk menyebabkan terjadinya kerusakan pertumbuhan
dan perkembangan tanaman yang tidak dapat balik. Secara umum, peningkatan 10–15ºC di
atas suhu ambien dianggap sebagai cekaman suhu tinggi (heat shock, heat sress). Namun
demikian, cekaman suhu tinggi adalah fungsi yang kompleks dari intensitas suhu, durasi,
dan laju peningkatan suhu (Sopandie, 2013).
Menurut Ahmad et al., (2010), pengaruh suhu terhadap reaksi biokimia dapat
dimodelkan seperti produk dua fungsi, peningkatan secara eksponensial dari reaksi
pembentukan dan laju kerusakan secara eksponensial yang dihasilkan dari denaturasi
enzim-enzim ketika suhu meningkat. Suhu tinggi menyebabkan kerusakan dan gangguan
terhadap keseimbangan yang baik antara fotosintesis dan respirasi. Ketika suhu meningkat
di atas maksimum untuk pertumbuhan, tanaman mengalami penuaan. Daun tanaman
kehilangan warna hijaunya sehingga tidak mampu berfotosintesis. Ketika suhu sangat
tinggi, akan menyebabkan kematian. Suhu di atas optimal suhu kardinal akan
menyebabkan aktivitas fisiologi menurun yang berdampak terhadap inaktivasi beberapa
enzim. Selain mengalami kekeringan, suhu tinggi mengganggu keseimbangan fotosintesis
dan respirasi, tanaman mengalami kerusakan melalui beberapa cara seperti respirasi yang
berlebihan pada biji. Hal yang terpenting adalah gangguan terhadap stabilitas enzim untuk
mencegah denaturasi. Kegagalan fungsi enzim penting dapat meyebabkan kematian
tanaman. Fakta ini menunjukkan bahwa kebanyakan tanaman dapat bertahan pada suhu
tinggi dalam kisaran yang sempit, yaitu maksimum pada 40–45ºC.
Pada iklim tropis, radiasi matahari berlebih dan suhu tinggi sering menjadi faktor
pembatas pertumbuhan dan hasil tanaman. Suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada
fase pra-panen dan pascapanen, termasuk terbakarnya daun, cabang dan batang, senesen
dan absisi daun, penghambatan pertumbuhan, perubahan warna (discoloration) dan
kerusakan buah, serta penurunan hasil (Wahid et al., 2007).
1.2 Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka didapatkan beberapa tujuan
yaitu sebagai berikut.
1. Mengetahui teori perioditas suhu.
2. Mengetahui batas suhu tinggi pada tanaman.
3. Mengetahui respon fisiologis tanaman terhadap suhu tinggi.
4. Mengetahui respon ekologis terhadap suhu tinggi.
BAB 2. PEMBAHASAN
emisi spesifik (IPCC 2007). Sejak munculnya industrialisasi, suhu permukaan bumi telah
meningkat sebesar 0,6ºC, umumnya disebabkan oleh kenaikan konsentrasi CO2 dan GRK
lainnya selama periode tersebut (Stott et al., 2000). Hiscock et al., (2004) memprediksi
bahwa pada tahun 2050 suhu permukaan bumi akan meningkat 2,1ºC dibandingkan dengan
suhu pada tahun 2000, di mana suhu air laut kenaikannya akan lebih tinggi, yaitu
meningkat lebih dari 2,5ºC.
Kebanyakan jaringan tanaman tingkat tinggi tidak mampu hidup pada suhu di atas
45ºC dalam waktu lama. Jaringan tanaman yang tidak sedang tumbuh (non growing cells)
atau jaringan yang terdehidrasi (dehydrated tissue) seperti biji dan pollen dapat hidup pada
suhu tinggi dibandingkan dengan jaringan terhidrasi (hydrated tissue). Biji kering bisa
tahan pada suhu 120ºC, sedangkan pollen beberapa spesies bisa tahan pada. Tabel 2.2
menunjukkan suhu letal (mematikan) untuk beberapa tanaman dan jaringan tanaman.
Secara umum, batas bawah dan batas atas suhu berbeda antarspesies tanaman sesuai
perbedaan habitat (Sopandie, 2013).
Gambar 2.1 Suhu tinggi menginduksi penghambatan evolusi oksigen dan aktivitas PSII. Suhu
tinggi menyebabkan (1) disosiasi atau (2) penghambatan OEC. Hal ini menyebabkan
donor e-internal alternatif seperti prolin sebagai pengganti H 20 untuk mendonorkan
elektron kepada PSII.
Sumber: De ronde et al. (2004).
BAB 3. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A., H. Diwan, Y. P. Abrol. 2010. Global Climate Change, Stress and Plant
Productivity. In Pareek, A., S. K. Sopony, dan H.J. Boohnert. Abiotic Stress
Adaptation in Plants. Springer, pp 503-517.
De Ronde J. A. D., W. A. Cress, G. H. J. Kruger, R. J. Strasser, dan J. V. Staden. 2004.
Photosynthetic response of transgenic soybean plants containing an Arabidopsis
P5CR gene, during heat and drought stress. Journal of Plant Physiology. 161
(2004): 1211-1224.
Hiscock, K., A. Southward, I. Tittley, S. Hawkins. 2004. Effects of changing temperature
on benthic marine life in Britain and Ireland. Aquat Conserv: Mar Freshw Ecosyst.
14: 333-362.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007. Synthesis report.Contribution
of Working Groups to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change. DOI: 10.1017/CBO9780511546013.
Stott, P. A., S. F. B. Tett, G. S. Jones, M. R. Allen, J. F. B. Mitchell, G. Jenkins. 2000.
External control of 20th century temperature by natural and anthropogenic forcing.
Science. 290: 2133-2137.
Sopandie, D. 2013. Fisiologi Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Abiotik pada
Agroekosistem Tropika. PT Penerbit IPB Press: Bogor.
Wahid, A., S. Gelani, M. Ashraf, dan M. R. Foolad. Heat tolerance in plants: An overview.
Environmental and Experimental Botany. 61 (2007): 199-223.
Zhang, J.H., W. D. Huang, Y. P. Liu, dan Q. H. Pan. 2005. Effects of temperature
acclimation pretreatment on the ultrastructure of mesophyll cells in young grape
plants (Vitis vinifera L. cv. Jingxiu) under cross-temperature stresses. Journal of
Integrative Plant Biology. 47 (8): 959-970.