Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Proposal TBA

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini, seiring dengan perubahan iklim di Indonesia, menyebabkan
individu rentan terkena gejala penyakit seperti hal nya flu, batuk, serta hidung
tersumbat. Hal ini, memicu tercetusnya ide para inovator industri untuk lebih giat
merancang produk inovatif guna menunjang pengobatan efektif dan efisien dalam
nyata praktisnya. Menimbang produk kimia sintesis yang begitu marak di pasaran,
serta inovasi produk baru sulit ditembus dikalangan masyarakat sosial, maka
tercetuslah ide inovatif pembuatan produk berbahan dasar herbal yang mampu
mengurangi gejala hidung tersumbat dan gejala gejala ringan lainya. Daun sirih,
minyak papermint dan basis minyak kelapa menjadi target bahan campuran dasar
dalam penelitian ini.
Sirih merupakan salah satu jenis tumbuhan yang banyak dimanfaatkan untuk
pengobatan. Daun sirih dimanfaatkan sebagai antisariawan, antibatuk, astrigent, dan
antiseptik. Kandungan kimia tanaman sirih adalah saponin, flavonoid, polifenol, dan
minyak astari. Senyawa saponin dapat bekerja sebagai antimikroba dan membunuh
sel. Senyawa flavonoid diduga memiliki mekanisme kerja mendenaturasi protein sel
bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi. 11 Mekanisme fenol
sebagai agen antibakteri berperan sebagai toksin dalam protoplasma, merusak dan
menembus dinding serta mengendapkan protein sel bakteri (Aiello,2012;
Harman,2013).
Selain daun sirih, minyak papermint (Menthae piperitha/arvensis), anggota
keluarga labitae, keluarga ini mencakup banyak minyak atsiri terkenal, seperti
chermin, lavender, sage, marjoram, dan thyme. Merupakan tanaman obat terkenal dan
penting yang banyak digunakan dalam sistem pengobatan asli untuk berbagai manfaat
terapeutik yaitu analgesik, anaestesi, antiseptik, adstringen, karminativa,
dekongestan, ekspectoran, saraf, stimulan, lambung, penyakit radang, maag, dan
masalah perut.

1
2

Sedangkan untuk minyak kelapa atau Coconut Oil, merupakan basis lemak
alami yang terstruktur dari asam lemak (fatty acid) yang mana dalam prosesnya
memanfaatkan santan kelapa yang telah diparut kemudian diproses lebihlanjut.
Memiliki komponen utama asam laurat( asam tak jenuh) . Asam laurat ini dalam
minyak kelapa mempunyai jumlah yang paling banyak, sehingga tahan terhadap
ketengikan akibat oksidasi. selain itu terdapat juga kandungan asam lemak tak jenuh
dalam minyak kelapa (Alamsyah, 2005).

Semua komponen tersebut dirancang menjadi bentuk sediaan suppositoria intra


nasal yang akan dikemas dalam bentuk wadah inhaler, sehingga dengan dirancangnya
bentuk sediaan tersebut, secara praktis masyarakat akan lebih suka menggunakaan
produk olahan herbal dan aroma khas terapi.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah formula yang digunakan cocok untuk dibuat sediaan dry nose
supositoria?
2. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi hasil produksi?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini yaitu menghasilkan produk inovasi berbahan dasar
alami yang berkualitas tinggi serta mampu dipasarkan.
1.4 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan dapat memperoleh produk
campuran bahan alam yang bermanfaat dalam meringankan gejala penyakit yang
dialami masyarakat terutama pada sistem saluran pernapasan yang sering ditemui
akhir-akhir ini.
3

1.5 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-bulan Mei 2020, bertempat di
Laboratorium Bahan Alam Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Jl Soekarno Hatta 354.
Bandung Jawa Barat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Sirih hijau (Piper betle Linn)


Secara tradisional, tanaman yang berasal dari India, Srilangka, dan Malaysia
ini dipakai untuk mengatasi bau badan dan mulut, sariawan, mimisan, gatal- gatal dan
koreng, serta mengobati keputihan pada wanita. Hal ini karena tanaman obat yang
sudah dikenal sejak tahun 600 SM ini mengandung zat antiseptik yang mampu
membunuh kuman. Kandungan kavikol dalam sifat antiseptiknya lima kali lebih
efektif daripada fenol biasa.
Dalam farmakologi Cina, sirih dikenal sebagai tanaman yang memiliki sifat
hangat dan pedas (Ann,2008).Dari hasil penelitian sebagaimana dikutip oleh buku
tanaman obat terbitan Kebun Tanaman Obat Karyasari diungkapkan bahwa sirih juga
mengandung arecoline diseluruh bagian tanaman. Zat ini bermanfaat untuk
merangsang saraf pusat dan daya pikir, meningkatkan gerakan peristaltik dan
meredakan dengkuran. Pada daunnya terkandung eugenol yang berfungsi sebagai
analgesik yaitu mengurangi rasa sakit (Heyne, 1987). Selain itu, kandungan tannin
pada daunnya bermanfaat mengurangi sekresi cairan pada vagina, melindungi fungsi
hati dan mencegah timbulnya diare dan keputihan pada wanita (Triarsary, 2007).
Sirih menghentikan batuk, mengurangi peradangan dan menghilangkan gatal.
Pada pengobatan tradisional India, daun sirih dikenal sebagai zat aromatik yang
menghangatkan, bersifat antiseptik. Selain itu sirih juga dapat dikunyah untuk dapat
memperbaiki kualitas suara penyanyi (Moeljanto ,2003). Kasiat daun sirih sudah
banyak dikenal dan diuji secara klinis. Hingga kini, penelitian tentang tanaman ini
masih terus dikembangkan. Daun sirih telah berabad- abad dikenal oleh nenek
moyang kita sebagai tanaman obat berkhasiat. Tidak hanya dikenal sebagai tanaman
obat, tanaman dengan nama latin Piper ini juga punya tempat istimewa dalam acara-
acara

4
adat di sejumlah daerah di Indonesia ( Triarsary, 2007 ). Menurut Robinson (1991),
klasifikasi tanaman Piper betle linn adalah sebagai berikut :
Kingdom :Plantae (tumbuhan)
Subkingdom :Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio :Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio :Magnoliophyta (berbunga)
Kelas :Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub-kelas :Magnoliidae
Ordo :Piperales
Familia :Piperaceae (suku sirih-sirihan)
Genus :Piper
Spesies :Piper betle Linn

Gambar 2.1 Sirih hijau ( Piper betle Linn ) Sumber: www. wikipedia.org/ piper-betle/
images

2.1.1. Kandungan Kimia Daun Sirih hijau (Piper betle Linn)


Bagian yang digunakan :Daun
Nama simplisianya :Pipperis follium; Daun sirih
Sifat Khas :Tajam Menghangatkan, dan membersihkan darah
Kandungan kimia :Minyak atsiri (eugenol, methyl eugenol, karvakrol,
kavikol, alil katekol, kavibetol, sienol, estragol),

5
karoten, tiamin, riboflavin, asam nikotinat, vitamin C,
tannin, gula, pati dan asam animo.
Kasiat :Astrigen, ekspektoran, hemostatik, dan antiseptik.
Kegunaan :Batuk, bau badan, demam, difteri, disentri,
keputihan, sariawan, sakit gigi, sakit tenggorokan,
wasir, borok (obat luar), gatal, memperbanyak
keluarnya ASI, mimisan, nafas dan bau mulut,
reumatik, radang mulut,sakit mata, eksim,
menghilangkan jerawat, pendarahan gusi, bronkitis,
batuk dan asma, luka, sakit jantung, sifilis, alergi, dan
diare.
Selain kegunaan diatas, kandungan antiseptik di dalam sirih dapat
digunakan sebagai obat kumur dan menjaga kesehatan alat kelamin wanita.
Sirih juga umum digunakan untuk mengatasi bau badan dan mulut, sariawan,
mimisan, gatal-gatal, koreng, serta mengobati keputihan pada wanita. Daun
sirih juga dapat memperbanyak keluarnya air susu ibu (ASI) untuk ibu yang
baru melahirkan dengan banyak meminum air rebusan daun sirih ( Moeryanti,
1998 ).
2.1.2. Sirih Hijau sebagai Tanaman Obat Multifungsi
Selain berfungsi sebagai tanaman hias, sirih juga berkhasiat mengobati
berbagai jenis penyakit. Sirih berkhasiat menghilangkan bau badan yang
ditimbulkan bakteri dan cendawan. Daun sirih juga mampu menahan
perdarahan, menyembuhkan luka pada kulit, gangguan saluran pencernaan,
bersifat mengerutkan, mengeluarkan dahak, dan hemostatik. Daun sirih dapat
mengobati berbagai penyakit yang diakibatkan oleh jamur, yakni, keputihan
pada wanita atau TBC yang diakibatkan tumbuhnya jamur pada paru-paru.
Khasiat lainnya, daun sirih dikenal berkhasiat sebagai penguat gigi dan gusi
serta mengatasi bau mulut sejak dulu. Saat ini, penelitian tentang daun sirih
sebagai obat penawar penyakit, terus dikembangkan oleh para pemerhati
tanaman sirih.

6
Sirih sebagai tanaman obat dapat dikonsumsi secara teratur. Tujuannya,
meningkatkan daya tahan tubuh manusia. Sirih memiliki sifat antiseptik yang
dapat mencegah atau membunuh kuman, bakteri, dan jamur. Mengkonsumsi
daun sirih secara teratur dianggap sebagai tindakan preventif terhadap penyakit.
Untuk mengatasi penyakit, daun sirih dapat digunakan secara tunggal atau
dikombinasikan dengan tanaman obat lainnya. Untuk mengobati penyakit yang
berada di bagian luar tubuh, seperti mimisan, luka, jerawat, biasanya daun sirih
digunakan secara tunggal. Untuk penyakit dalam seperti batuk, diare, asma dan
TBC, daun sirih bisa dikombinasikan dengan bahan lainnya seperti gula batu,
cengkih bunga belimbing, madu, dan lain- lain.(Bangun, 2008).
2.2 Minyak Kelapa (Coconut oil)
Kelapa termasuk jenis Palmae yang bersel satu (monokotil). Batang tanaman
tumbuh lurus ke atas dan tidak bercabang. Adakalanya pohon kelapa dapat
bercabang, namun hal ini merupakan keadaan yang abnormal, misalnya akibat
serangan hama tanaman. Dalam tata nama atau sistematika (taksonomi) tumbuh-
tumbuhan, tanaman kelapa (Cocos nucifera).
Penggolongan varietas kelapa pada umunya didasarkan pada perbedaan umur
pohon mulai berbuah, bentuk dan ukuran buah, warna buah, serta sifat-sifat khusus
yang lain. Buah kelapa umumnya hanya dimanfaatkan untuk kelapa sayur dan
minyak goreng. Di beberapa tempat telah berkembang pula berbagai produk olahan
dari kelapa dan hasil sampingnya, seperti dessicated coconut, nata de coco, serat
sabut, dan arang aktif
Coconut oil adalah minyak yang dihasilkan dari buah kelapa segar. Yang mana
dalam prosesnya memanfaatkan santan kelapa yang telah diparut kemudian diproses
lebih lanjut, Coconut Oil dapat dihasilkan tidak hanya menggunakan proses panas
yang tinggi, Banyak alternatif lain yang dapat digunakan dalam pembuatan minyak
kelapa ini. Coconut Oil bermanfaat bagi kesehatan tubuh, hal ini disebabkan Coconut
Oil mengandung banyak asam lemak rantai menengah (Medium Chain Fatty Acid /
MCFA).

7
Coconut Oil juga memiliki sejumlah sifat fisik yang menguntungkan. Di
antaranya, memiliki kestabilan secara kimia, bisa disimpan dalam jangka panjang dan
tidak cepat tengik, serta tahan terhadap panas. Komponen utama dari Coconut Oil
adalah asam lemak jenuh dan memiliki ikatan ganda dalam jumlah kecil, Coconut Oil
relatif tahan terhadap panas, cahaya dan oksigen. Kandungan paling besar dalam
minyak kelapa adalah asam laurat (Hapsari, 2007).
2.2.1 Klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Sub-Divisio : Angiospermae (Berbiji tertutup)
Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu)
Ordo : Palmales
Familia : Palmae
Genus : Cocos
Spesies : Cocos nucifera L.
2.2.2 Karakterisasi Minyak Kelapa :
Dalam pembuatan minyak kelapa yang berkualitas harus memenuhi
syarat-syarat antara lain:
1. Kandungan air maksimal 0,5%
2. Bilangan Iod 8–10 g/100g
3. Bilangan penyabunan 255–265 mg KOH/g
4. Bilangan Peroksida maksimal 5,0 mg Oksigen/g
5. Asam lemak bebas maksimal 5%
6. Densitas 0,91 – 0,93 gr/ml (Dyah, 2010)
2.2.3 Kandungan Minyak Kelapa
Coconut Oil mengandung asam laurat yang tinggi. Asam laurat adalah
lemak jenuh yang berantai medium atau biasa disebut Medium Chain Fatty
Acid (MCFA) yang terdiri dari asam kaprilat, asam kaprat asam laurat, dan
asam miristat. Dalam minyak kelapa terdapat juga asam laurat yang berantai
panjang atau biasa disebut dengan Long Chain Fatty Acids (LCFA) yang terdiri

8
dari asam palimtat, asam stearat dan polyunsaturated. Dalam minyak kelapa
terkandung energi sebanyak 6,8 kal/gr, lemak 100g dan lemak jenuh 92,1g
(Gani, 2005). Komponen utama minyak kelapa adalah asam lemak jenuh
sekitar 90% dan asam lemak tak jenuh sekitar 10%. Asam lemak jenuh minyak
kelapa didominasi oleh asam laurat yang memiliki rantai C12. Minyak kelapa
mengandung ±53% asam laurat dan sekitar 7% asam kapriat. Keduanya
merupakan asam lemak jenuh rantai sedang yang biasa disebut Medium Chain
Fatty Acid (MCFA), sedangkan menurut Price (2004), Coconut oil
mengandung 92% lemak jenuh, 6% lemak mono tidak jenuh dan 2% lemak poli
tidak jenuh.
2.2.4 Sifat Fisika Kimia Minyak Kelapa
Menurut (Darmoyuwono,2006) sifat-sifat kimia dan fisika dari minyak
kelapa adalah:
A. Tidak berwarna, berbentuk kristal seperti jarum.
B. Sedikit berabu asam ditambah dengan wangi caramel
C. Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alcohol (1:1)
D. Memiliki berat jenis 0,883 padasuhu 20ºC
E. Memiliki pH yang tidak teukur, karena tidak larut dalam air. Namun
karena termasuk dalam senyawa asam maka dipastikan memiliki pH di
bawah 7.
F. Tidak menguap padasuhu 21ºC (0%)
G. Memiliki titik cair20-25ºC
H. Memiliki titik didih 225ºC
I. Memiliki kerapatan uap (Udara=1): 6,91
J. Memiliki tekanan uap (mmHg): 1 pada suhu 121

2.3 Minyak Peppermint


Minyak pepermint adalah minyak yang mudah menguap yang diperoleh melalui
proses destilasi. Menurut Alankar (2009), minyak mint dalam bentuk ekstrak

9
memiliki berbagai ester, terutama menthyl acetate dan monoterpen yang
menghasilkan aroma khas yang bermanfaat untuk bernafas
Unsur utama dari daun peppermint adalah minyak atsiri (0,5-4%), yang
mengandung mentol (30-55%) dan menthone (14-32%). Mentol terjadi kebanyakan
dalam bentuk bebas alcohol, dengan jumlah antara (3-5%) asetat dan valerat ester.
Monoterpen lain yang hadir termasuk isomenthone (2-10%), 1,8-cineole (6-14%), a-
pinene (1,0-1,5%), b-pinene (1-2%), limonene (1-5%), neomenthol (2,5-3,5%) dan
menthofuran (1-9%) (Anshori, 2010)
Daun peppermint (Mentha piperita L) mempunyai aroma wangi dan cita rasa
dingin menyegarkan. Aroma wangi daun mint disebabkan kandungan minyak atsiri
berupa minyak menthol. Daun peppermint mengandung vitamin C, provitamin A,
fosfor, zat besi, kalsium dan potassium. Serat, klorofil dan fitonutrien juga banyak
terkandung didalam daun peppermint. Daun peppermint dipercaya dapat memulihkan
stamina tubuh, meredakan sakit kepala, mencegah demam, mempunyai sifat
antioksidan pencegah kanker dan menjaga kesehatan mata (Maulina, 2012).
2.3.1 Morfologi Pepperint
Mentha piperita L. (Lamiaceae) merupakan herba, tinggi 30-90 cm.
Batang tegak persegi, bercabang, bagian atas selalu berbentuk segi empat. Daun
berlawanan, berbentuk petiolate, ovaleoblong (oblong-lanset), bergigi dan
berwarna hijau tua pada permukaan atas. Bunga keungu\an, setiap bunga
menunjukkan kelopak berbentuk tabung dengan 5 gerigi tajam, berbulu, dan
tidak teratur, 4-sumbing corolla, 4 benang sari pendek, sebuah ovarium 4-bersel
berakhir dengan stigma terpecah dua (Azizah, dkk. 2013).
2.3.2 Kandungan Kimia
Pada daun mint juga mengandung senyawa spesifik antara lain: flavonoid
seperti quercetin, menthoside, dan isorhoifolin, vitamin K, eugenol, dan
thymol(Styavati, dkk., 1987). Berdasarkan beberapa penelitian pula, daun mint
memiliki kandungan 90% mint oil. Minyak dari daun mint (mint oil) memiliki
kandungan monoterpenes (menthone, menthonefuran, methyl acetate cineole
dan limonene), sesquiterpenes (viridiflorol), flavonoid (luteolin, methoside,

10
isorhoifolin, rutinhesperidin), Phenolic acids (ceffeic acid, chlorogenic dan
rosmarinic), tripenes(squalene, a-amyrin, urosolic acid dan sitosterol), phytol,
tocopherol, carotenoids, choline, betaine, cyclenes, rosmarinic acid, tannin dan
mineral (Oinen, dkk., 2006; Institute for Medical Research, Herbal Medical
Research Centre, 2002; dan Rajesh, dkk., 2013).

2.4 Simplia
Simplisia adalah bahan alamiah yang telah dikeringkan dipergunakan sebagai
obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain
(Depkes RI, 2000). Simplisia menurut Depkes RI (1989) terbagi menjadi 3, yaitu:
2.4.1 Simplisia Nabati
Simplisia nabati yaitu simplisia yang berupa tanaman atau eksudat
tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari
tanaman atau isi sel dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat
nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan
belum berupa zat kimia murni.
2.4.2 Simplisia Hewani
Simplisia hewani yaitu simplisia yang berupa hewan utuh, bagian dari
hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat
kimia murni.
2.4.3 Simplisia Mineral
Simplisia mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan
(mineral)yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum
berupa zat kimia murni.
2.5 Ekstrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia
nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari

11
langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Sebagai cairan
penyari digunakan air, eter atau campuran etanol dan air (Anonim, 1979).
Ekstraksi adalah proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan metode
yang berbeda-beda sesuai dengan sifat dan tujuan dari ekstraksi. Proses ekstraksi
dihentikan jika telah tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam
pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut
dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan melalui
teknik pemisahan tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu,
ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas dan ukuran
molekul yang sama (Mukhriani, 2014).

2.6 KLT
Kromatografi merupakan metode pemisahan yang paling banyak digunakan
untuk tujuan kualitatif, kuantitatif dan preparatif. Pemisahan dengan kromatografi
dilakukan dengan memodifikasi langsung beberapa sifat umum molekul seperti
kelarutan, adsorptibilitas dan volatilitas (Gritter et al., 1991).
Pada penelitian Susanti (2017), fase gerak yang digunakan untuk memisahkan
senyawa golongan fenol dari daun sirih hijau adalah campuran toluen: etil asetat =
93: 7 v/v (fase gerak I) dan campuran toluen: etil asetat: asam formiat (3:3:0,2) v/v
(fase gerak II). Masing-masing bercak diidentifikasi dengan pereaksi warna FeCl3
dan Folin Ciocalteau. Evaluasi pemisahan yang baik dilihat dari nilai Rs (Resolusi)
dan Tf (Tailing Factor) dari masing-masing fase gerak. Fase gerak terbaik digunakan
untuk tahap selanjutnya untuk menentukan profil fingerprint sampel. Sampel dielusi
dengan fase gerak terpilih, yaitu fase gerak yang memenuhi persyaratan nilai Rs dan
Tf. Identifikasi senyawa golongan fenol dilakukan dengan penampak bercak
menggunakan pereaksi warna, yaitu FeCl3 dan Folin Ciocalteau. Hasil kromatografi
Fingerprint senyawa golongan fenol dapat dilihat pada gambar 2.3 Terdapat tiga
bercak yang positif senyawa golongan fenol berdasarkan reaksi dengan pereaksi
warna, yaitu hitam untuk FeCl3 dan biru tua untuk Folin-Ciocalteau

12
(Nugrahaningtyas dkk., 2005; Banu and Nagarajan, 2014). Spektrum dari masing-
masing puncak kromatogram senyawa golongan fenol dapat dilihat pada gambar 2.3

Gambar 2.3 Hasil Pemisahan dari Kedua Fase Gerak.

Keterangan: (a) = Fase Gerak I (Toluen: Etil Asetat = 93:7 v/v); (b) = Fase Gerak II
(Toluen: Etil Asetat: Asam Format = 3:3:0,2 v/v); (A) = Kromatogram pada Panjang
Gelombang 210 nm; (B) = Pengamatan Bercak Kromatogram Sampel Ekstrak Etanol
Daun Sirih; (I) = Sinar Tampak; (II) = UV 254; (III) = sinar tampak setelah dicelup
dengan pereaksi FeCl3; (IV) = sinar tampak setelah disemprot dengan pereaksi Folin-
Ciocalteau; (1), (mP1), (S1) = Puncak senyawa golongan fenol 1; (2), (mP2), (S2) =
Puncak senyawa golongan fenol 2; (3), (mP3), (S3) = Puncak senyawa golongan
fenol 3.

2.7 Evaluasi sedian suppositoria


2.10.1. Uji Organoleptis
Organoleptis dilakukan pada penelitian ini bertujuan mengetahui
penampilan fisik suppositoria yang dilakukan dengan mengamati bentuk, bau
dan warna dari suppositoria dalam berbagai perbedaan bobot oleum cacao
dan cera alba. Pembuatan suppositoria juga mempengaruhi organoleptis
suppositoria ekstrak yang dilakukan dengan metode pencetakan atau
penuangan. Suppositoria dibuat dengan metode ini karena merupakan metode
yang paling umum digunakan pada skala kecil dan juga dapat digunakan
untuk skala besar serta tidak membutuhkan alat yang mahal. Jika digunakan
metode kompresi dibutuhkan alat khusus yang mahal dan biasanya metode ini
digunakan untuk. Untuk persyaratan organoleptis tidak ada spesifikasi khusus

13
namun disesuaikan dengan bentuk stabil dan bahan dari sediaan yang
diharapkan.
2.10.2. Uji Keseragaman Bobot Supositoria
Uji keseragaman bobot ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua
suppositoria yang dihasilkan mempunyai bobot seragam yang artinya masing-
masing bobot suppositoria tidak menyimpang dari bobot rata-
ratanya.Suppositoria ditimbang sebanyak 20 buah dengam mengambil secara
acak setiap formula, lalu dihitung rata-ratanya, data penimbangan dan
perhitungan bobot rata-rata. Batasan persyaratan keseragaman bobot yang
ditetapkan British Pharmacopoeia yaitu tidak lebih dari 2 suppositoria yang
masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih dari 5%
dan tidak satu suppositoriapun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-
ratanya lebih dari 10% (British Pharmacopoeia Commission, 2002).
2.10.3. Uji Stabilitas Penyimpanan
Uji stabilitas dapat dilakukan dengan metode real time (jangka
panjang) atau accelerated (dipercepat). Pada kedua metode uji stabilitas
tersebut, frekuensi pengujian harus cukup menyatakan profil stabilitas produk
jadi.
Frekuensi pengujian untuk kondisi penyimpanan pada uji stabilitas
jangka panjang (real time), umumnya dilakukan tiap 3 bulan pada tahun
pertama; tiap 6 bulan pada tahun kedua dan setahun sekali pada tahun
berikutnya hingga masa simpan yang telah ditetapkan.
Frekuensi pengujian untuk kondisi penyimpanan pada uji stabilitas
dipercepat (accelerated), dilakukan pada minimal 3 (tiga) titik masa/waktu,
termasuk pada titik awal dan akhir, misal uji stabilitas dilakukan dalam
periode 6 bulan maka rekomendasi frekuensi pengujian ditetapkan pada bulan
ke-0; bulan ke-3 dan bulan ke-6.
Apabila perubahan signifikan tersebut terjadi dalam masa 3 bulan
pertama dari penyimpanan dengan kondisi dipercepat, maka perlu justifikasi
yang menyatakan pengaruh yang akan timbul akibat paparan diluar kondisi

14
penyimpanan yang tertera pada label, misal selama pengangkutan/pengiriman
(shipping) atau penanganan produk (handling). Bila perlu, justifikasi
didukung dengan uji pada satu bets produk dalam periode kurang dari 3 bulan
dan frekuensi pengujian yang lebih dari umumnya.
Jika suatu perubahan signifikan terjadi dalam masa 3 bulan tersebut,
maka uji terhadap produk tidak perlu dilanjutkan dan masa simpan ditetapkan
berdasarkan data uji stabilitas jangka panjang (real time). Hal ini dapat
diterapkan pada produk-produk Obat Tradisional seperti salep, krim atau
supositoria yang tidak mungkin untuk dilakukan uji stabilitas dipercepat
sehingga hanya uji stabilitas jangka panjang yang dipersyaratkan. Pengujian
stabilitas harus dilakukan pada produk beserta kemasannya sesuai dengan
yang akan dipasarkan termasuk kemasan sekunder(BPOM RI,2014).
2.10.4. Uji Kekerasan
Uji kekerasan ini dilakukan untuk menguji seberapa keras suppositoria
sehingga dapat bertahan pada proses produksi, distribusi dan penyimpanan
(Depkes RI, 1995). Waktu dan beban yang diperlukan dicatat sehingga
masing-masing suppositoria hancur. Apabila suppositoria hancur pada detik
antara 0 – 20 detik maka beban dianggap tidak ada, apabila suppositoria
hancur pada detik antara 21 – 40 detik maka beban tambahan dihitung
setengahnya, dan apabila suppositoria hancur pada detik antara 41 – 60 detik
maka beban tambahan dihitung penuh.
Hasil penelitian pada jurnal Nuryanti et. All, 2016 menunjukkan
bahwa semakin besar konsentrasi PEG 400 dan semakin kecil konsentrasi
PEG 6000 maka akan menurunkan beban uji kekerasan suppositoria yang
artinya hanya dengan menambahkan sedikit beban uji suppositoria maka
suppositoria akan hancur. Semakin besar konsentrasi PEG 400 dan semakin
kecil konsentrasi PEG 6000 akan meningkatkan tingkat kerapuhan
suppositoria dikarenakan bentuk PEG 400 yang berupa cairan, semakin
banyak diberikan maka suppositoria akan semakin lunak. Menurut Baviskar et

15
al. (2013) suppositoria yang memiliki kekerasan yang optimum berkisar
antara 1500-2500 gram.

2.8 Formulasi
2.8.1 Formulasi I
Untuk 1 batch pembuatan dry nose suppository @1,5 inci :
Tabel 2.1 Formulasi Standar

Nama bahan Jumlah


Bubuk Daun Komprey 2 Sendok Makan
Coconut Oil ½ Cangkir
Peppermint Oil 15 tetes

2.9.2 Formulasi II
Untuk 1 batch pembuatan dry nose suppository @1,5 inci :
Tabel 2.2 Formulasi yang akan dibuat
Nama bahan Jumlah
Bubuk Daun Sirih 2 Sendok Makan
Coconut Oil ½ Cangkir
Peppermint Oil 15 tetes
PEG 400 : PEG 6000 50:50 (Nuryanti., et. all,2016)

16
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi , toples
,pipet tetes , gelas ukur, waterbath, cawan penguap, plat KLT , vaporator,
spektrofotometer uv, plastik wrap, alumunium foil
3.1.2 Bahan
Daun Sirih , coconut oil , peppermint oil, PEG 400 dan PEG 6000
3.2 Prosedur Penelitian
3.2.1 Penyiapan simplisia
Sejumlah daun saga dibersihkan dengan cara dicuci dengan menggunakan
air mengalir. Daun sirih yang telah dibersihkan dikeringkan dengan cara
diangin-anginkan tanpa terkena sinar matahari. Simplisia daun sirih dihaluskan
dengan cara di blender sampai menjadi serbuk halus.
3.2.2 Skrining fitokimia
A. Alkaloid
Sejumlah serbuk simplisia dalam mortir, dibasakan dengan ammonia
sebanyak 1 mL, kemudian ditambahkan kloroform dan digerus kuat.
Cairan kloroform disaring, filtrat ditempatkan dalam tabung reaksi
kemudian ditambahkan HCl 2 N, campuran dikocok, lalu dibiarkan
hingga terjadi pemisahan. Dalam tabung reaksi terpisah. Filtrat 1:
Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi dragendroff diteteskan ke dalam filtrat,
adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan atau
kekeruhan berwarna hingga coklat. Filtrat 2: Sebanyak 1 tetes larutan
pereaksi mayer diteteskan ke dalam filtrat, adanya alkaloid ditunjukkan
dengan terbentuknya endapan atau kekeruhan berwarna putih. Filtrat 3:
Sebagai blangko atau contol negatif.

17
B. Kuinon
Serbuk simplisia ditambahkan dengan air, dididihkan selama 5 menit
kemudin disaring dengan kapas. Pada filtrat ditambahkan larutan KOH
1N. Terjadinya warna kuning menunjukkan bahwa dalam bahan uji
mengandung senyawa golongan kuinon.
C. Tanin
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan di
tangas air, kemudian disaring. Pada filtrat ditambahkan gelatin 1% akan
timbul endapan putih bila ada tannin.
D. Saponin
Serbuk simplisia ditambahkan dengan air, didihkan selama 5 menit
kemudian dikocok. Terbentuknya busa yang konsisten selama 5-10 menit
± 1 cm, hal tersebut menunjukkan bahwa bahan uji mengandung saponin.
E. Monoterpen dan Seskuiterpen
Simplisia ditambahkan eter kemudian diuapkan setelah itu
ditambahkan vanilin sulfat sampai terbentuk warna coklat, merah, dan
ungu.
F. Steroid dan Triterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian fase eter diuapkan
dalam cawan penguap hingga kering, pada residu ditetesi pereaksi
Liberman-Burcahard. Terbentuknya warna ungu menunjukkan kandungan
triterpenoid sedangkan bila terbentuk warna hijau biru menunjukkan
adanya senyawa steroid.
G. Flavonoid
Sejumlah serbuk simplisia digerus dalam mortir dengan sedikit air,
pindahkan dalam tabung reaksi, tambahkan sedikit logam magnesium dan
5 tetes HCl 2N, seluruh cmpuran dipanaskan selma 5-10 menit. Setelah
disaring panas-panas dan filtrat dibiarkan dingin, kepada filtrat

18
ditambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuat-kuat, reaksi positif dengn
terbentuknya warna merah pada lapisan amil alkohol.
3.2.3 Karakterisasi Simplisia
Karakterisasi suatu simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai
bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi
terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika). Parameter yang diuji
diantaranya:
A. Penetapan Kadar Air
Di timbang 5 gram serbuk serbuk simplisia didalam cawan dangkal
berdasar rata yang telah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan dalam
oven pada suhu 105ºC selama 5 jam, kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Kadar dihitung dalam persen
terhadap bahan yang dikeringkan diudara.
% Kadar Air = (B – (C – A))/B x 100 %
Keterangan:
A = Berat cawan
B = Berat bahan
C = Berat cawan + Berat Bahan
B. Penetapan Kadar Sari Larut Air
Serbuk simplisia kering terlebih dahulu dikeringkan diudara,
kemudian 5 gram serbuk simplisia dimaserasi dengan menggunakan
100ml air:kloroform P (1000 : 2,5) dalam botol sambil berkali-kali
dikocok selama 6 jam pertama, dan kemudian dibiarkan selama 18 jam,
kemudian disaring dan diambil 20 ml filtrat diuapkan hingga kering
dalam cawan yang telah ditara dengan suhu 105oC, kemudian dihitung
terhadap bobot bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1989).
% Kadar Sari Larut Air = W2 - W0x 100 %
W1
Keterangan :
W0 = Bobot cawan kosong (g)

19
W1 = Bobot cawan isi (g)
W2 = Bobot simplisia yang diambil (g)
C. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol
Serbuk simplisia kering terlebih dahulu dikeringkan diudara,
kemudian 5 gram serbuk simplisia dimaserasi dengan menggunakan 100
ml etanol dalam botol sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama,
dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring dan diambil
20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan yang telah ditara
dengan suhu 105oC, kemudian dihitung terhadap bobot bahan yang telah
dikeringkan (Depkes, 1989).
% Kadar Sari Larut Etanol = W2 - W0x 100 %
W1
Keterangan :
W0 = Bobot cawan kosong (g)
W1 = Bobot cawan isi (g)
W2 = Bobot simplisia yang diambil (g)
D. Penetapan Kadar Abu
Sebanyak 1 g bahan (W1) dan di gerus halus kemudian di masukkan
kedalam cawan krus yang telah dipijarkan dan ditimbang (W 0). Cawan
krus di pijarkan hingga suhu 600± 25oC hingga arangnya habis, setelah
itu di dinginkan dan di timbang (W2) (Depkes RI, 1980).
% Kadar Abu Total = W2 - W0x 100 %
W1
Keterangan :
W0 = Bobot cawan kosong (g)
W1 = Bobot ekstrak awal (g)
W2 = Bobot cawan + ekstrak setelah diabukan (g)
E. Penetapan Susut Pengeringan
Botol timbang disiapkan, dipanaskan pada suhu 105°C selama 30
menit, lalu ditimbang. Hal tersebut dilakukan sampai memperoleh bobot

20
botol timbang yang konstan atau perbedaan hasil antara 2 penimbangan
tidak melebihi 0,005 g. Sebanyak 1 g bahan uji ditimbang, dimasukkan ke
dalam botol timbang. Bahan uji kemudian dikeringkan pada suhu 105°C
selama 5 jam dan ditimbang kembali. Proses pengeringan dilanjutkan dan
timbang kembali selama 1 jam hingga perbedaan antara penimbangan
berturut- turut tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000). Susut
pengeringan dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini. Susut
pengeringan tidak boleh lebih dari 13%.

Z Susut pengeringan (%) =


Keterangan : a = berat awal simplisia (g);
b = berat akhir simplisia (g).
3.2.4 Pembuatan Ektrak kental daun sirih
Ekstrak dibuat dari serbuk kering simplisia dengan cara maserasi
menggunakan pelarut yang sesuai. Gunakan pelarut yang dapat menyari
sebagian besar metabolit skunder yang terkandung dalam serbuk simplisia.
Jika tidak dinyatakan lain gunakan etanol 70% P (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2008).
Masukkan satu bagian serbuk kering simplisia kedalam maserator ,
tambahkan 10 bagian pelarut, rendam selama 6 jam pertama sambil sesekali
diaduk, kemudian diamkan selama 18 jam. Pisahkan maserat dengan cara
pengendapan, sentrifugasi, dekantasi atau filtrasi (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2008).
Ulangi proses penyarian sekurangkurangnya dua kali dengan jenis dan
jumlah pelarut yang sama . Kumpulkan semua maserat, kemudian uapkan
dengan penguap vakum atau penguap dengan tekanan rendah hingga
diperoleh ekstrak kental. Persen rendemen dihitung berdasarkan persentase
bobot per bobot (b/b) antara rendemen yang didapatkan dengan bobot serbuk
simplisia yang digunakan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

21
3.2.5 Pembuatan Ektrak kering daun sirih
Ekstrak kental yang telah didapat, keringkan dengan menambahkan
laktosa : sama banyak dengan berat ekstrak, satu setengah dari berat ekstrak
dan dua kali berat ekstrak. Kemudian digerus sampai homogen. Pada serbuk
kering ini tambahkan pelarut heksan ± 300 ml untuk setiap 100 g ekstrak,
kemudian diaduk sempurna beberapa kali selama 2 jam, biarkan mengendap
dan enap tuangkan cairan, lalu campurkan sisa dengan heksan 300 ml aduk
sempurna dan pisahkan kelebihan heksan, keringkan ekstrak yang telah dicuci
dengan heksan tersebutpada suhu ± 70º C, timbang serbuk (Nuryanti et
all,2016).

3.2.6 Pembuatan Dry Nose Suppositoria


Dibuat rol kertas alumunium diameter pensil sebagai cetakan. Lebur
minyak kelapa dan PEG 4000 serta PEG 6000 dalam cawan uap diatas water
bath dan aduk sampai homogen. Dalam kondisi hangat, tambahkan minyak
peppermint dan bubuk ekstrak kering daun sirih, aduk perlahan sampai
homogeny. Masukan campuran bahan pada cetakan. Dinginkan pada suhu
lemari dingin ± 5 menit, kemudian potong sediaan dengan ukuran 1,5 inci tiap
potongan. Evaluasi sediaan dan kemas ke dalam wadah inhaler.
3.2.7 Evaluasi Sediaan
A. Uji Organoleptis
Dilakukan dengan cara mengambil 10 supositoria yang dihasilkan,
kemudian diamati secara visual, meliputi homogenitas warna, bentuk
sediaan, dan kondisi permukaan supositoria
B. Uji Keseragaman Bobot Supositoria
Dilakukan dengan cara menimbang 10 supositoria, kemudian dihitung
bobot rata-rata dan persen deviasinya
C. Uji Stabilitas Penyimpanan
Sediaan disimpan pada suhu ruang dan lemari es. Dilakukan selama 3
hari. Dicatat hasilnya.

22
D. Uji Kekerasan
Uji kekerasan ini dilakukan untuk menguji seberapa keras suppositoria
sehingga dapat bertahan pada proses produksi, distribusi dan
penyimpanan (Depkes RI, 1995). Waktu dan beban yang diperlukan
dicatat sehingga masing-masing suppositoria hancur. Apabila
suppositoria hancur pada detik antara 0 – 20 detik maka beban dianggap
tidak ada, apabila suppositoria hancur pada detik antara 21 – 40 detik
maka beban tambahan dihitung setengahnya, dan apabila suppositoria
hancur pada detik antara 41 – 60 detik maka beban tambahan dihitung
penuh.

23
DAFTAR PUSTAKA
Aiello, Susan E. The Merck etinary manual. USA: Merck Sharp & Dohme Corp;
2012. .
Anonim. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Alamsyah, Andi Nur., (2005), Virgin Coconut Oil Minyak Penakluk Aneka Penyakit.
Jakarta : Penerbit Agro Media Pustaka.
BPOM RI, 2014, Persyaratan Mutu Obat Tradisional, Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Indonesia, p. 1–25.
British Pharmacopoeia Commission, 2002.British pharmacopoeia. London: The
Pharmaceutical Press
Gritter, R.J., Bobbit, J.M., dan Swharting, A.E. 1991. Pengantar Kromatografi. Edisi
Kedua. Penerbit ITB. Bandung.
Harman DA.”Efektivitas anti bakteri ekstrak daun sirih (Piper betle L.) terhadap
bakteri Enterococcus faecalis (penelitian in vitro) “. Makasar: Universitas
Hasanudin; 2013.
Nuryanti, Harwoko, Rani Saskia Jeanita, Ade Rizki Nur Azhar. 2016. Formulasi dan
Evaluasi Suppositoria Ekstrak Terpurifikasi Daun Lidah Buaya (Aloe vera). 4(1)
7-14 ; ISSN: 2337-8433
Syamsuhidayat dan Hutapea, J.R., 1991, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, 305-
306, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Thomas A.N.S. 1994. Tanaman Obat
Tradisional 2. Yogyakarta : Kanisius.
Wijayakusuma, H, Setawan Dalimarta, Wirian. 1996. Tanaman Berkhasiat Obat di
Indonesia. Jilid 4. Jakarta: Pustaka Kartini.
Hapsari, N. 2007, "Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Dengan Metode
Sentrifugasi”, Jurnal, Teknik Kimia UPN Veteran, Surabaya.
Alankar, S., 2009, A Review on Peppermint Oil, Asian Journal of Pharmaceutical and
Clinical Research, 2, 27-32.
Mukhriani, 2014, Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa
Aktif,Jurnal Kesehatan, 7(2)

24
LAMPIRAN
1. Kalender rancangan kerja

Bulan/ februari maret april Mei Juni Juli


Kegiatan 1 2 2 0 1 2
4 1 8 6 3 7
Pengolahan R
data dan A
pengajuan M
proposal A
D
H
N
Pengolahan
Simplisia
(Skrining,
UPS)
Pengolahan
bahan
(evaluasi
bahan)
Pembuatan
produk
Evaluasi U
produk A
S
Presentasi
hasil

25

Anda mungkin juga menyukai