Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Dini Sholihatunnisa - Materi Sex Education Pada Anak

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

SEX EDUCATION

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Keperawatan Anak 1

Dosen Pengampu : Ns. Herlina, M.Kep, Sp. Kep. An

Disusun oleh:

Dini Sholihatunnisa 1810711030

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada hakikatnya anak berhak untuk merasakan keamanan, kenyamanan, kesenangan,


serta kegembiraan. Undang-Undang Republik Indonesia tentang perlindungan anak (Undang-
Undang Nomor 35, 2014) telah menyatakan bahwa anak mendapatkan perlindungan yang
mencakup segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal
tersebut semakin memperkuat bahwa anak secara individual dilindungi oleh negara dari
segala macam tindakan yang mengganggu kehidupan, serta tumbuh kembangnya. Dengan
demikian apabila anak mengalami tindak kekerasan maka negara akan ikut serta dalam
menanganinya.
Ironisnya, akhir-akhir ini kasus kekerasan yang dialami oleh anak semakin marak, salah
satunya yaitu kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia relatif
meningkat dari tahun ke tahun. Data yang diungkapkan oleh Komisi Perlindungan Anak
(diakses melalui http://bankdata.kpai.go.id pada tanggal 27 Februari 2017) menunjukkan
bahwa menyatakan bahwa terdapat lebih dari 100 kasus kekerasan seksual pada anak yang
tercatat setiap tahunnya. Pada tahun 2011 kasus kekerasan seksual mencapai angka 216,
tahun 2012 sebanyak 412 kasus, tahun 2013 sebanyak 343 kasus, tahun 2014 sebanyak 656
kasus, tahun 2015 sebanyak 218 kasus, dan tahun 2016 terdapat 120 kasus. Namun jumlah
kasus yang tercatat Komisi Perlindungan Anak Indonesia tersebut jauh melebihi
kenyataannya karena masih banyak keluarga korban yang enggan melaporkan, sehingga
masih dimungkinkan adanya kenaikan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak setiap
tahunnya.
Kekerasan seksual anak (child sexual abuse) memiliki dampak secara fisik maupun
psikologis bagi anak. Dampak secara fisik dapat meliputi kesulitan dalam berjalan maupun
duduk, rasa sakit pada bagian atau organ genital, sedangkan dampak secara psikologis

2
mencakup perubahan perilaku atau mood, depresi, kesulitan konsentrasi, penurunan prestasi
(performance) di sekolah, agresif, kesulitan tidur, dan perubahan pola makan (Brilleslijper-
Kater, Friedrich, & Corwin, 2004; Goldman, 2007). Hornor (2010) menambahkan dampak
psikologis berupa post-traumatic stress disorder, bunuh diri, kecenderungan reviktimisasi
ketika dewasa, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang ketika dewasa.
Kekerasan seksual yang menimpa anak tidak terjadi begitu saja. Terdapat faktor-faktor
penyebab mengapa hal tersebut dapat terjadi. Menurut Syarifah Fauzi’ah (2016), terdapat
tiga faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak, antara lain: (1) adanya orientasi
ketertarikan seksual kepada anak-anak (pedofilia), (2) pengaruh pornomedia massa (media
yang menampilkan hal-hal bersifat porno), dan (3) ketidakpahaman anak terhadap persoalan
seksualitas. Di sisi lain, banyak kasus kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang
dewasa di sekitar anak termasuk anggota keluarga. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh
anggota keluarga atau orang dewasa yang dikenal anak jauh lebih sering terjadi dibandingkan
kekerasan yang dilakukan oleh orang asing. Anggota keluarga maupun orang dewasa yang
dikenal anak dalam kesehariannya memiliki akses lebih dengan anak. Mereka memiliki
waktu lebih lama dengan anak dan interaksi lebih dekat dengan anak.
Berdasarkan berbagai uraian permasalahan di atas, maka diperlukan upaya untuk
mencegah agar anak tidak mengalami pelecehan maupun kekerasan seksual yaitu melalui
pendidikan seks yang dilakukan oleh orangtua. Pendidikan seks yang selama ini dianggap
tabu seharusnya lambat laun dapat diberikan kepada anak usia dini. Orangtua diharapkan
dapat menjadi sumber informasi utama anak tentang seksualitas dan peran orangtua sangat
penting. Apabila orangtua dapat menjadi sumber informasi utama bagi anak, anak akan
memperoleh informasi yang tepat dan bukan melalui media dan internet yang semakin hari
aksesnya semakin mudah dan cepat. Pendidikan seks untuk anak usia dini kemudian akan
dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep pendidikan seks?
2. Mengapa pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini?
3. Bagaimana strategi orangtua dalam memberikan pendidikan seks untuk anak usia dini?

3
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memperoleh informasi mengenai konsep pendidikan seks.
2. Untuk memperoleh informasi mengenai pentingnya pendidikan seks pada anak sejak usia
dini.
3. Untuk memperoleh informasi mengenai strategi orangtua dalam memberikan pendidikan
seks pada anak.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PENDIDIKAN SEKS


Pendidikan merupakan suatu proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Seks secara umum adalah sesuatu yang
berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara hubungan
intim antara laki-laki dengan perempuan.
Pendidikan seks merupakan upaya transfer pengetahuan dan nilai (knowledge and
values) tentang fisik-genetik dan fungsinya khususnya yang terkait dengan jenis (sex)
laki-laki dan perempuan sebagai kelanjutan dari kecenderungan primitif makhluk hewan
dan manusia yang tertarik dan mencintai lain jenisnya (Roqib, 2008). Pendidikan seks
untuk anak usia dini lebih kepada upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang
masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak. Pengarahan dan pemahaman yang
sehat tentang seks dari berbagai aspek, di mana selain menerangkan tentang aspek-aspek
anatomi dan biologis juga menerangkan aspek-aspek psikologis dan moral.
Pendidikan seks telah menunjukkan beberapa manfaat untuk orang muda,
umumnya pada masa depan hidupnya. Sebagai contoh, anak muda yang telah
memperoleh pendidikan seks yang komprehensif akan terhindar dari resiko kekerasan
seksual, memiliki pasangan seks yang sedikit, lebih sesuai dalam menggunakan
perlindungan diri, dan jarang hamil pada usia remaja.

B. PENTINGNYA PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK


Diskusi mengenai seks dan topik yang berkaitan dengan seks seringkali dianggap
tabu karena kepercayaan umum bahwa mengajarkan anak mengenai seks adalah
bertujuan untuk mendorong aktivitas seksual. Hal tersebut menyebabkan banyak orangtua
tidak mendukung pendidikan seks untuk anak karena ketakutan bahwa anak akan
melakukan hubungan seks dan adanya kepercayaan bahwa pendidikan seks hanya
ditujukan kepada orang dewasa. Faktor lainnya adalah pengalaman orangtua ketika masa

5
kecil juga tidak mendiskusikan masalah seks dengan orangtua mereka, sehingga
pendidikan seks untuk anak belum dilakukan orangtua secara maksimal.
Pendidikan seks perlu dilakukan sejak usia dini dengan cara yang benar dan
sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Anak yang secara naluriah memiliki rasa
ingin tahu yang tinggi, lambat laun akan bertanya tentang bagian-bagian tubuhnya. Tidak
mungkin, seorang anak tidak ingin mengetahui tentang beberapa organ vital tersebut
sejak dini, padahal anak telah melalui proses-proses seksual tersebut secara alami sesuai
dengan tahapan dari Sigmund Freud.
Anak usia dini berada pada tiga fase psikoseksual yaitu fase oral, fase anal dan
tahap phalik (William Crain, 2014: 389). Fase oral adalah fase di mana bayi mulai
menghisap untuk bertahan hidup dan menimbulkan kesenangan. Fase anal berkisar
antara 1,5 sampai 2 tahun, adalah fase di mana anus dan fases menjadi bagian terpenting
untuk menjadi perhatian. Fase uretral, sekitar usia 3-6 tahun, anak mulai dapat
memperhatikan keadaan alat kelaminnya sendiri, mempermainkannya, bahkan terkadang
membanding-bandingkan dengan teman sebayanya.
Secara edukatif, anak dapat diberikan pendidikan seks sesuai dengan tahapan
perkembangan yang telah ia capai. Pendidikan seks dapat diberikan sejak anak mulai
bertanya tentang seks. Misalnya ketika bertanya tentang perbedaan alat kelaminnya
dengan alat kelamin milik adik.
Secara garis besar, terdapat beberapa alasan dan tujuan mengapa pendidikan seks
penting diajarkan sejak usia dini. Penelitian yang dilakukan oleh Kakavoulis (1998)
menyatakan bahwa melalui pendidikan seks, anak akan memiliki pengetahuan mengenai
tubuhnya, kesadaran yang baik, dan hubungan interpersonal yang tepat, mampu
membedakan identitas diri dan peran seks, pengetahuan tentang fungsi generatif, dapat
melindungi diri dari kekerasan, meningkatkan stabilitas emosi dan kesehatan, dan
kepribadian yang saling menghormati. Pendidikan seks juga membantu anak untuk
memahami struktur tubuh dari laki-laki dan perempuan serta memperoleh pengetahuan
mengenai kelahiran.
Selain itu, pendidikan seks mengajarkan anak untuk membangun dan menerima
peran serta tanggungjawab dari gender dirinya. Hal tersebut dikarenakan perbedaan dan
persamaan antara dua gender jika dilihat dari tubuh dan pemikiran akan mendorong

6
perkembangan ke depannya ketika berkenalan dengan teman dan hubungan interpersonal.
Pendidikan seks merupakan sebuah pendidikan holistik, di mana mengajarkan individu
mengenai penerimaan diri, sikap, dan keterampilan.
Sesulit dan serumit apapun sebuah pertanyaan, berapapun usia anak dan seperti
apapun substansi pertanyaan tersebut janganlah dihindari. Hal ini membuat anak merasa
bahwa seks adalah hal yang menakutkan dan dosa, maka muncullah perasaan gelisah dan
tertekan. Kondisi seperti ini akan membuat anak menjadi “tertutup” (kesulitan untuk
mengungkapkan sesuatu) dan lebih jauh akan mempengaruhi pandangannya terhadap
lawan jenis.
Sikap “tertutup” memiliki banyak akibat diantaranya : memunculkan rasa
keingintahuan berlebihan terhadap hal yang berkaitan dengan seks. Sikap ini akan
membuat anak berusaha mencari tahu sendiri hal-hal yang masih samar. Informasi dan
pengalaman seksual bisa diperoleh secara bebas, telanjang, dan tanpa filter. Hal ini bisa
berpengaruh secara psikis bagi anak. Jika anak memperoleh informasi dan
pengalaman tentang seks yang salah akan membuat beban psikis bisa mempengaruhi
kesehatan seksualnya kelak. Anak-anak memiliki kebiasaan menirukan apa yang
dilakukan oleh orang lain.
Para psikolog menegaskan keadaan “menutup diri” akan mengakibatkan
kegelisahan dalam berperilaku. Seorang anak yang memiliki perhatian berlebihan
terhadap masalah seks akan menjadu cuek terhadap sekitarnya (otaknya hampa), suka
berbohong dan mencuri-curi, bahkan terkadang menyebabkan ia lalai dengan pelajaran.

C. STRATEGI ORANGTUA DALAM PENDIDIKAN SEKS UNTUK ANAK


Keterlibatan aktif orangtua dalam pendidikan seks membuat anak menguasai
lebih banyak pengetahuan mengenai terminologi genital yang sesuai jika dibandingkan
dengan pendidikan seks yang diajarkan oleh guru. Anak yang dilatih oleh orangtuanya
juga akan menerima pengetahuan yang berulang-ulang secara konsisten dalam
lingkungan yang natural atau alamiah. Hal ini semakin menegaskan bahwa orangtua
merupakan orang dewasa pertama yang dijumpai dan sebagai pendidik utama anak.
Namun demikian, beberapa penelitian mengindikasikan bahwa orangtua,
meskipun seca ra naluri rela mengambil tugas dalam mendidik anak mereka, banyak dari

7
orangtua memerlukan dukungan yang mencakup dukungan informasi, motivasi, dan
strategi yang dapat membantu orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada anak.
Oleh karena itu, di bawah ini, terdapat beberapa pendapat mengenai strategi-strategi yang
dapat dilakukan oleh orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada anak.
Ilmawati (Jatmikowati, Angin, & Ernawati, 2015) menjelaskan pokok-pokok
strategi yang perlu diterapkan dan diajarkan orangtua kepada anak yang bersifat praktis,
di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Menanamkan rasa malu pada anak. Rasa malu harus ditanamkan kepada anak
sejak dini. Jangan biasakan anak-anak, meskipun mereka masih kecil,
dibiarkan untuk bertelanjang di depan orang lain; misalnya, ketika keluar
kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya.
2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada
anak perempuan. Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan
mempunyai perbedaan mendasar. Anak dapat diajak mengenali perbedaan
yang ada pada tubuhnya secara fisik. Dengan demikian anak akan
mengetahui identitas dirinya dengan tepat.
3. Memisahkan tempat tidur anak dari tempat tidur orang dewasa. Masa usia
dini merupakan masa dimana anak mengalami perkembangan yang pesat.
Anak mu- lai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir
tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya.
Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran
pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat tidur tersebut
terjadi antara dirinya dan orang tuanya, setidaknya anak telah dilatih untuk
berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya
(attachment behavior) dengan orang tuanya. Jika pemisahan tempat tidur
dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin,
secara langsung anak akan memiliki kesadaran tentang eksistensi perbedaan
jenis kelamin.
4. Mengenalkan waktu berkunjung. Anak tidak diperbolehkan untuk memasuki
kamar (ruangan) orang dewasa pada waktu tertentu (misalnya pada malam
hari) kecuali meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik kamar.

8
5. Mendorong anak agar menjaga kebersihan tubuhnya. Mengajari anak untuk
menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga
mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang air
pada tempatnya (toilet training). Segera setelah anak siap, pada usia 3-6
tahun, orang tua mulai melatih anaknya tentang toilet training (William
Crain, 2014:395). Toilet training sebaiknya diajarkan ketika anak sudah
dapat mengungkapkan dan memahami apa yang sedang diperintahkan kepada
dirinya, sehingga tidak akan menimbulkan ketegangan dan kecemasan pada
anak.

Sebagaimana yang dikutip oleh Roqib (2008) menyatakan bahwa pendidikan seks
untuk anak usia 0-5 tahun adalah dengan teknik atau strategi sebagai berikut.
1. Membantu anak agar ia merasa nyaman dengan tubuhnya. Apabila anak akan
merasa nyaman dengan tubuhnya, maka anak akan menyayangi dan merawat
tubuhnya (kebersihan dan kesehatannya).
2. Memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan
kasih sayang dari orangtuanya secara tulus. National Chatolic Services
(2004: 6) mengungkapkan bahwa orangtua sebaiknya menjelaskan mengapa
sentuhan-sentuhan tertentu itu aman, misalnya ketika ayah memeluk
sepulang bekerja. Sentuhan-sentuhan tersebut memiliki tujuan yang baik, dan
tidak ada maksud untuk melukai, dan sangat lazim dan aman. Pada dasarnya,
anak juga memerlukan perhatian, sentuhan yang pantas dari sanak famili,
guru, dan teman-teman. Mereka memerlukan ketenangan hati yang diperoleh
melalui sentuhan yang pantas.
3. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan di depan umum seperti anak selesai mandi harus
mengenakan baju kembali di dalam kamar mandi atau di dalam kamar. Anak
diberi tahu tentang hal-hal pribadi, mana bagian tubuh yang tidak boleh
disentuh, dan dilihat oleh orang lain.
4. Mengajar anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh laki-laki dan
perempuan. Hal tersebut dapat diawali dengan identifikasi bagian tubuh anak

9
itu sendiri. Orangtua dapat memulai dengan mengajarkan ke anak mengenai
jari-jari tangan, jari-jari kaki, lutut, dan hidung ketika anak berumur beberapa
bulan (National Chatolic Services, 2004). Ketika anak sudah berumur
mendekati 18 bulan, anak sebaiknya juga mulai belajar mengenai nama-nama
bagian tubuh privatnya dan perbedaan antara tubuh anak laki-laki dan anak
perempuan.
5. Memberikan penjelasan tentang proses perkembangan tubuh seperti hamil
dan melahirkan dalam kalimat yang sederhana, bagaimana bayi bisa dalam
kandungan ibu sesuai tingkat kognitif anak. Tidak diperkenankan berbohong
kepada anak seperti “adik datang dari langit atau dibawa burung”. Penjelasan
disesuaikan dengan keingintahuan atau pertanyaan anak misalnya dengan
contoh yang terjadi pada binatang.
6. Memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara wajar yang
mampu menghindarkan diri dari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta
fungsi tubuhnya sendiri.
7. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar pada setiap
bagian tubuh dan fungsinya. Vagina adalah nama alat kelamin perempuan
dan penis adalah alat kelamin pria, daripada mengatakan dompet atau
burung.
8. Membantu anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada mereka
kalau pembicaraan seks adalah pribadi.
9. Memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi
kepada orangtua untuk setiap pertanyaan tentang seks.

Miller (2010: 170-172) menjelaskan strategi khusus orangtua ketika menghadapi


anak yang menyentuh area genital, sebagai berikut:
1. Anak prasekolah biasanya beberapa waktu berada di kamar mandi untuk
membandingkan, menyentuh, mengeksplor, atau bercerita mengenai area
genitalnya serta di waktu yang lain juga membuka kaos ibunya (ibu masih
menyusui) untuk diminta menyusui boneka. Reaksi orangtua adalah bersikap
hati-hati akan tetapi tidak perlu berlebihan. Perilaku anak merupakan

10
ekspresi wajar rasa ingin tahu yang sehat. Terkadang orangtua juga dapat
memanfaatkan momen untuk mengajarkan kepada anak akan perbedaan.
Misalnya orangtua dapat mengatakan "iya, anak laki-laki dan perempuan
memiliki tubuh yang berbeda, tetapi setiap orang adalah spesial. Anak
perempuan akan tumbuh menjadi wanita dewasa dan anak laki-laki akan
tumbuh menjadi pria dewasa.”

2. Anak biasanya juga dapat menghisap ibu jari dan mastrubasi yang bertujuan
untuk menurunkan stressnya. Selain itu, anak usia dini juga menggosokkan
alat genitalnya ketika merasa lelah/kecewa/kebiasaan sederhana sebelum
tidur. Apabila anak yang mengalami adalah infant atau toddler, maka hanya
sedikit yang perlu dilakukan orangtua yaitu tetap fokus pada penghilangan
sumber stress anak. Orangtua dapat memastikan bahwa anak memiliki waktu
istirahat yang cukup, lingkungan yang nyaman, dan pengasuhan yang cukup.
Apabila anak yang mengalami adalah usia prasekolah, maka orangtua harus
lebih proaktif dalam membantu anak mengganti kebiasaan anak dengan
perilaku sosial yang mudah diterima. Misalnya: “ apakah kamu mau
memeluk boneka ketika akan tidur untuk membantumu untuk tidak

11
menggosokkan pantatmu?” atau “kamu harus ke kamar mandi jika perlu
untuk menyentuh pantatmu”.

D. TAHAPAN PENDIDIKAN SEKS


Secara garis besar berdasarkan usia anak, pendidikan seks terbagi dalam empat
tahap yakni usia 1 – 4 tahun, usia 5-7 tahun, 8 -11 tahun dan usia 12-16 tahun.

1. Usia 1 sampai 4 tahun


Pada usia ini orangtua disarankan mulai memperkenalkan anatomi tubuh,
termasuk alat genital. Perlu juga ditekankan pada anak bahwa setiap orang adalah
ciptaan Allah yang unik, dan berbeda satu sama lain. Kenalkan, “ini mata, ini
kaki, ini vagina”. Selain itu jelaskan pula bahwa anak laki-laki dan perempuan
diciptakan Allah berbeda, dengan keunikannya masing-masing. Bila perlu kita
pergunakan terminology Alquran, kita ajarkan anak menyebut “kemaluan laki-
laki” untuk menunjukkan venis dan “kemaluan perempuan” untuk menunjukkan
vagina.
Pada tahap usia ini sebaiknya beritahukan kepada anak bahwa alat kelamin
itu merupakan bagian paling pribadi. Untuk itulah kita harus berpakaian atau
menutup aurat. Sampaikan bahwa tidak boleh mempertonton alat kelamin kepada
lain. Bila sesekali mereka memamerkan tubuh, jangan langsung panik. Tetapi jika
berulang berilah pengertian dengan penuh kesabaran, jangan beri perlakuan yang
menakutkan atau hukuman berat.

2. Usia 5 – 7 tahun
Pada usia ini rasa ingin tahu anak tentang aspek seksual biasanya
meningkat. Dimulai dengan menanyakan kenapa temannya memiliki organ-organ
yang berbeda dengan dirinya sendiri. Selain pertanyaan seputar darimana asal dia,
bagaimana adik keluar biasanya muncul pada usia ini. Rasa ingin tahu itu
merupakan hal yang wajar.
Oleh karena itu, para orang tua diharapkan bersikap sabar dan komunikatif
dalam menjelaskan hal-hal yang ingin diketahui anak. Untuk menjelaskan

12
masalah reproduksi, tentang kehamilan dan asal bayi, saat seorang ibu hamil beri
kesempatan anak untuk merasakan gerakan bayi dalam perut sang ibu. Jelaskan
proses kelahiran bayi, yang keluar melalui jalan khusus yang disebut alat
kemaluan perempuan (vagina). Bila perlu bantu anak untuk memahami proses
tersebut dengan melihat kelahiran anak kucing atau binatang peliharaan lain.

3. Usia 8 – 11 tahun
Informasi yang perlu dimiliki anak merupakan informasi seputar
perubahan fisik dan psikhis yang terjadi pada masa pubertas. Sebaiknya kita
jelaskan kepada anak bagaimana perubahan-perubahan fisik yang akan terjadi,
seperti tumbuhnya rambutrambut, payudara, jakun, perubahan lain yang terjadi
karena proses hormonal.
Selain itu informasi yang sistematis tentang proses reproduksi, menstruasi,
dan mimpi basah, perlu diperoleh anak. Pada tahap usia ini, orangtua sudah bisa
menerangkan secara sederhana proses reproduksi, misalnya tentang sel telur dan
sperma yang jika bertemu akan membentuk bayi. Pada masa pubertas ini pula Dr.
Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa anak harus dijauhkan dari hal-hal
yang dapat membangkitka berahi. Apalagi pada akhir fase usia ini anak sudah
mulai menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis.

4. Usia 12-16 tahun


Pada usia remaja ini pendidikan seks difokuskan untuk membimbing anak
menemukan identitas dirinya, sehingga anak bisa menjawab pertanyaan
“Siapakah saya?” atau “Orang sepertikah saya?”. Sehubungan dengan penemuan
identitas diri, maka perlu bagi sang remaja untuk menjalin komunikasi dan
hubungan yang lebih dekat dengan orang tua yang memiliki jenis kelamin sama
dirinya.
Seorang remaja putri seyogyanya memiliki hubungan lebih dekat dengan
ibunya daripada kepada sang ayah. Pada masa ini banyak perubahan yang terjadi
pada diri anak. Orangtua harus menerima perubahan diri anaknya sebagai bagian
yang wajar dari pertumbuhan seorang anak-anak menuju tahap dewasa, dan tidak

13
memandangnya sebagai ketidakpantasan atau hal yang perlu disangkal. Bahkan
bimbingan dari orang tua sangat diperlukan anak pada masa ini untuk siap
menerima tanggung jawab sebagai seorang dewasa, misalnya persiapan
menghadapi kehidupan berumah tangga.

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa
pokok materi sebagai berikut:

1. Pendidikan seks untuk anak usia dini adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan
penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak.
Pengarahan dan pemahaman yang sehat tentang seks dari berbagai aspek, di mana
selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomi dan biologis juga menerangkan
aspek-aspek psikologis dan moral.
2. Meskipun diskusi mengenai seks dan topik yang berkaitan dengan seks seringkali
dianggap tabu, akan tetapi pendidikan seks perlu dilakukan sejak usia dini dengan
cara yang benar dan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Pendidikan seks
dapat diberikan sejak anak mulai bertanya tentang seks. Misalnya ketika bertanya
tentang perbedaan alat kelaminnya dengan alat kelamin milik adik. Ada beberapa
alasan dan tujuan mengapa pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini, di
antaranya melalui pendidikan seks, anak akan: (a) memiliki pengetahuan
mengenai tubuhnya, (b) memiliki kesadaran yang baik, (c) memiliki hubungan
interpersonal yang tepat, (d) mampu membedakan identitas diri dan peran seks,
(e) pengetahuan tentang fungsi generatif, (f) dapat melindungi diri dari kekerasan,
(g) meningkatkan stabilitas emosi dan kesehatan, dan (h) kepribadian yang saling
menghormati.
3. Strategi pendidikan seks oleh orangtua kepada anak usia dini sebaiknya dilakukan
dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan kemampuan serta pemahaman
anak sehingga bahasa dan penyampaian juga perlu dipertimbangkan. Terdapat
beberapa strategi yang dapat digunakan orangtua dalam memberikan pendidikan
seks pada anak usia dini antara lain: (a) membantu anak memahami perbedaan

15
perilaku yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan di depan umum, (b)
mendorong anak mengetahui identitas diri (laki-laki dan perempuan), (c)
memisahkan tempat tidur anak dari tempat tidur orang dewasa, (d) mengenalkan
waktu berkunjung, (e) mendorong anak agar menjaga kebersihan tubuhnya (toilet
training), (f) memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka
merasakan kasih sayang dari orangtuanya secara tulus serta mendorong anak
untuk dapat membedakan sentuhan boleh dan tidak boleh yang dilakukan oleh
orang lain, (g) memberikan penjelasan tentang proses perkembangan secara
sederhana, (h) memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara
wajar, (i) mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar, (j)
membantu anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada mereka
kalau pembicaraan seks adalah pribadi, dan (k) memberi dukungan dan suasana
kondusif agar anak mau berkonsultasi kepada orangtua untuk setiap pertanyaan
tentang seks.

16

Anda mungkin juga menyukai