Studi Kasus Pada Pasien Hemodialisa Deng
Studi Kasus Pada Pasien Hemodialisa Deng
Studi Kasus Pada Pasien Hemodialisa Deng
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Chronic Kidney Disease ( CKD ) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dimana kemampuan tubuh tersebut gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. Chronic
Kidney Disease ( CKD ) disebabkan oleh berbagai keadaan, meliputi penyakit –
penyakit yang mengenai ginjal atau pasokan darahnya misalnya glumeluropati,
hipertensi, diabetes, Pada gagal ginjal kronis ( GGK ) yang sudah lanjut kadar
natrium, kalium, magnesium, amino dan fosfat didalam darah semuanya akan
mengalami peningkatan sementara kadar kalsium menurun. Retensi natrium dan air
akan menaikan volume intravaskuler yang menyebabkan hipertensi
(Berkowitz,2012).
Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2007) dan Burden of
disease, Gagal Ginjal Kronik telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia.
Penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000
orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukan bahwa penyakit ini menduduki peringkat
ke-12 tertinggi angka kematian. Prevelensi gagal ginjal kronik telah mengalami
peningkatan cukup tinggi. Di Amerika Serikat angka kejadian penyakit ginjal
meningkat tajam dalam 10 tahun, dari data tahun 2002 terjadi 34.500 kasus, tahun
2007 menjadi 80.000 kasus, dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan yaitu 2 juta
orang yang menderita penyakit ginjal. Dari data tersebut pravelensi penyakit ginjal
kronik meningkat hingga 43% selama decade tersebut (Lukman et al., 2011 ).
Penyakit Gagal Ginjal di Indonesia menempati urutan ke 10 dalam penyakit tidak
menular (Kemenkes RI, 2013). Pravelensi gagal ginjal di Indonesia mencapai
400.000 juta orang tetapi belum semua pasien tertangani oleh tenaga medis, baru
sekitar 25.000 orang pasien yang dapat ditangani, artinya ada 80% pasien yang tidak
mendapat pengobatan dengan baik.
2
akhir ), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu
penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit
gagal ginjal yang di derita pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan
kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal ( Wijayakusuma, 2008 ). Pada
penderita Chronic Kidney Disease gangguan pemenuhan kebutuhan cairan akan
menunjukan beberapa tanda dan gejala, mayor harus ada edema, kulit tegang dan
mengilap, minor yang mungkin ada asupan cairan lebih banyak daripada haluaran,
sesak nafas, penambahan berat badan (carpenito, 2009). Keparahan kondisi
bergantung pada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari adalah usia
pasien, manifestasi kardio vaskuler diantaranya hipertensi, gagal ginjal kongestif,
edema pulmonal, perikarditis, gejala – gejala dermatalogis diantaranya gatal – gatal
hebat atau proritus, serangan uremik karena pengobatan dini dan agresif, gejala
gastrointestinal diantaranya anoreksia, mual, muntah dan cegukan, haus, rasa kecap
logam dalam mulut, perubahan.
Menurut data dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada bulan Januari sampai
Desember tahun 2011, didapatkan jumlah penderita penyakit ginjal kronik yang
tercatat dari Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Daerah berjumlah 1171 rawat inap
dan laporan pada bulan Januari sampai Desember tahun 2011 Berdasarkan data hasil
observasi di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar didapatkan hasil dari 16
pasien di ruang Hemodialisa Sanglah sebanyak 100% mengalami penyakit gagal
ginjal kronik stadium V dengan komplikasi 50 % hemodialisa dengan hipertensi, 20%
hemodialisa dengan anemia, 30 % pasien hemodialisa dengan edema. Berdasakan
latar belakang data tersebut penulis melakukan studi kasus terhadap kasus pasien
hemodialisa dengan Hipertensi di RSUP Sanglah Denpasar.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melakukan studi kasus asuhan keperawatan dengan pasien
hemodialisa dengan hipertensi di ruang Hemodialisa 3 RSUP Sanglah
Denpasar.
2. Tujuan Khusus
3
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn.D
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn,D
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada
Tn,D
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn.D
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn.D
A. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Hasil studi kasus ini dapat menjadi pengalaman belajar dalam
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penulis dalam
memberikan asuhan keperawatan.
2. Bagi Institusi
a. Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan pemberian
pelayanan kesehatan berkaitan dengan pasie hemodialisa
b. Pendidikan
Hasil studi kasus ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi
institusi keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah
dalam penanganan pasien dengan hemodialisa.
4
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
6
a.Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
b.Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -
89 mL/menit/1,73 m2)
c.Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
d.Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
e. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.
3. Etiologi
Gagal ginjal kronik menurut (Mansjoer, 2007) terjadi setelah berbagai macam
penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim
ginjal difus dan bilateral.
a) Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
b) Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
c) Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteri renalis.
d) Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e) Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
f) Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
g) Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h) Nefropati obstruktif
i) Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
j) Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
4. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
7
rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan
semakin berat.
a) Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh
ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli)
klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan
meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif
dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid.
b) Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan
urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari,
tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan
resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin
dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam, mencetuskan
resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
c) Asidosis
8
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia
(NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan
ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi
d) Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.
5) Gatal
Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:
a) Toksik uremia yang kurang terdialisis
b) Peningkatan kadar kalium phosphor
c) Alergi bahan-bahan dalam proses HD
d) Kering bersisik
Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit.
a) Kulit mudah memar
b) Kulit kering dan bersisik
c) rambut tipis dan kasar
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal
yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian
10
perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR
menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien
menderita apa yang disebut Sindrom Uremik
Terdapat dua kelompok gejala klinis : Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi;
kelainan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi
metabolit nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi
ginjal, Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan lainnya
B. KONSEP HEMODIALISA
1. Pengertian
Dialisis merupakan proses yang menggantikan secara fungsional pada gangguan
fungsi ginjal dengan membuang kelebihan cairan dan akumulasi toksin endogen
atau eksogen (Doenges, 2000). Hemodialisis merupakan suatu proses terapi
pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser),
yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa
metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada
pasien gagal ginjal (Black & Hawks, 2006; Ignatavicius & Workman, 2006).
Sedangkan menurut Baradero (2008), hemodialisis adalah pengalihan darah pasien
dari tubuhnya melalui dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi yang
kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien.Bagi pasien dengan penyakit
11
ginjal kronik, hemodialisis merupakan salah satu terapi yang mampu
memperpanjang kehidupan (Smeltzer et al, 2008).
Jadi Hemodialisa adalah suatu proses pencucian darah dengan ginjal buatan
dengan menggunakan selaput membran semipermeabel untuk mengeluarkan sisa
metabolisme dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta untuk
memperpanjang hidup penderita gagal ginjal tersebut.
2. Epidemiologi
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada bulan Januari sampai
Desember tahun 2011, didapatkan jumlah penderita penyakit ginjal kronik yang
tercatat dari Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Daerah berjumlah 1171 rawat
inap dan laporan pada bulan Januari sampai Desember tahun 2011 jumlah pasien
yang mengalami rawat jalan adalah 661. Peningkatan kasus baru hemodialisa
sebesar 33% pertahun. Diperkirakan telah lebih dari 100.000 pasien yang akhir-
akhir ini menjalani dialisis. ). Sementara di RSUP H. Adam Malik Medan
didapatkan total pasien HD pada Februari 2013 sebanyak 197 pasien dengan
jumlah tindakan hemodialisis sebanyak 1.081 (Maruli, 2013).
3. Tujuan Hemodialisa
a. Meningkatkan kualitas hidup pasien menderita penurunan fungsi ginjal.
b. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer (asam basa) tubuh.
c. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan lain.
12
Tujuan hemodialisa adalah menghilangkan gejala, yaitu mengendalikan uremia,
kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien dengan
penyakit ginjal tahap akhir. Hemodialisa efektif mengeluarkan cairan, elektrolit,
dan sisa metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung bertujuan untuk
memperpanjang umur klien (Kallenbach et all, 2003). Menurut Brunner dan
Suddarth (2001), tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen
yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada
hemodialisa, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan
dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien
1. Indikasi Hemodialisa
Indikasi dilakukannya hemodialisa secara umum, diantaranya yaitu: (Brunner &
Suddarth, 2008)
b. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
h. Sindrom hepatorenal
Menurut Daugirdas, Blake & Ing (2007), indikasi hemodialisis dibedakan
menjadi 2 yaitu: hemodialisis emergency atau hemodialisis segera dan
hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis dilakukan pada keadaan
kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat, overhidrasi, oliguria
13
(produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50 ml/12 jam),
hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5 mmol/I),
asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150 mg/dL),
ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum,
disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia dan keracunan akut
(alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialysis.
Dialisis dimulai jika GFR <15 ml/menit, keadaan pasien yang mempunyai GFR
<15 ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika
dijumpai salah satu dari: 1) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis; 2) gejala
uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea dan muntah;, 3) adanya malnutrisi
atau hilangnya massa otot; 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan
cairan dan 5) komplikasi metabolik yang refrakter
1. Kontraindikasi Hemodialisa
a. Tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa.
b. Akses vaskuler sulit.
c. Hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organic (Pernefri, 2006)
1. Proses Hemodialisa
Komponen Hemodialisa
a. Dializer
Dializer atau ginjal buatan terdiri dari membran semi permeabel yang
memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Dializer merupakan kunci utama
dalam proses hemodialisa. Dializer berbentuk silinder dengan panjang rata-rata
30 cm dan diameter 7 cm dan di dalamnya terdapat ribuan filter yang sangat
kecil. Dializer terdiri dari 2 kompartemen masing-masing untuk cairan dialysate
dan darah. Kedua kompartemen tersebut dipisahkan oleh membran
semipermiabel yang mencegah cairan dialisat dan darah bercampur jadi satu.
b. Water Treatment
14
Air dalam tindakan hemodialisa dipakai sebagai pencampur dialisat pekat
(diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air
sumur, yang harus dimurnikan terlebih dahulu dengan cara “water treatment”
sehingga memenuhi standar AAMI (Association for the Advancement of
Medical Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu sesi hemodialisis
seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
c. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi tertentu.
Jenis larutan dialisat yang sering digunakan yaitu dialisat bicarbonate.
1. Konsentrasi Bicarbonate
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan asam dan
larutan bikarbonat. Larutan bikarbonat sangat mudah terkontaminasi mikroba
karena konsentratnya merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri. Konsentrasi bikarbonat yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya
hipoksemia dan alkalosis metabolik yang akut. Kandungan dialisat
bikarbonat yaitu natrium: 140, 0 mmol/liter, kalium: 2,0 mmol/liter, kalsium:
1,3 mmol/liter, magnesium: 0,2 mmol/liter, Cloride: 110,0 mm0l/liter, acetat:
3,0 mmol/liter, bicarbonate: 32,0 mmol/liter.
Tabel 1. Konsentrasi substansi dalam darah dan dialisat
Darah Substansi Dialisat
133 – 144 Natrium (mmol/L) 132 – 155
3,3 – 5,3 Kalium (mmol/L) 0 – 3,0
2,5 – 6,5 Ureum (mmol/L) 0
60 – 120 Creatinin (mmol/L) 0
2,2 – 2,6 Kalsium (mmol/L) 1,25 – 2,0
0,85 Magnesium (mmol/L) 0,25 – 0,75
4,0 – 6,6 Glukosa (g/L) 0 –10
22 – 30 Bicarbonat (mmol/L) 30 –40
15
Mesin hemodialisis terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat
dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari
tempat tusukan vaskuler kepada dializer. Kecepatan dapat diatur biasanya antara
200-300 ml per 3,3-8,33 menit. Untuk pengendalian ultrafiltrasi diperlukan
tekanan negatif. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan
arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34 0-
390C sebelum dialirkan kepada dializer. Sistem monitoring setiap mesin
hemodialisa sangat penting untuk menjamin efektivitas proses dialisis dan
keselamatan penderita.
c. Arterial-Venouse Blood Line (AVBL)
1. Arterial Blood Line (ABL)
Arterial Blood Line (ABL) adalah tubing atau line plastic yang
menghubungkan darah dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju
dialiser, disebut inlet ditandai dengan warna merah.
2. Venouse Blood Line (VBL)
Venouse Blood Line (VBL) adalah tubing atau line plastic yang
menghubungkan darah dari dialiser dengan tubing akses vaskular menuju
tubuh pasien disebut outlet ditandai dengan warna biru.
a. Akses Vaskuler
Tusukan vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk
program hemodialisa akut maupun kronik. Tusukan vaskuler merupakan tempat
keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali
lagi ke tubuh penderita. Darah harus dapat keluar dan masuk tubuh penderita
dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Teknik-teknik akses vaskuler utama untuk
hemodialisis dibedakan menjadi akses eksternal dan akses internal (Price &
Wilson, 2006).
1. Akses Internal (Permanen)
a) Arterio-Venous Fistula (AVF)
AVF dibuat dengan teknik bedah melalui anastomosis langsung dari
suatu arteri dengan vena (biasanya arteri radialis dan vena sefalika
pergelangan tangan). Hubungan ke sistem dialisis dibuat dengan
menempatkan satu jarum di distal (garis arteri) dan sebuah jarum lagi di
16
proksimal (garis vena) pada vena yang sudah di arterialisasi tersebut
(Price & Wilson, 2006).
b) Arterio-Venous Graft (AVG)
AVG diciptakan dengan menempatkan ujung kanula dari teflon dalam
arteri (biasanya arteri radialis atau tibialis posterior) dan sebuah vena
yang berdekatan. Ujung-ujung kanula kemudian dihubungkan dengan
selang karet silikon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau.
Pada waktu dilakukan dialisis, maka selang pirau eksternal dipisahkan
dan dibuat hubungan dengan dializer. Darah kemudian mengalir dari jalur
arteri, melalui dializer dan kemudian kembali ke vena.
1. Akses Eksternal atau Kateter
Kateter adalah suatu pipa berlubang yang dimasukkan ke dalam vena
subklavia, jugularis, atau vena femoralis yang memiliki akses langsung
menuju jantung kateter ini merupakan akses vaskular sementara. Akses ini
digunakan jika akses internal tidak dapat digunakan untuk pengobatan, dan
pasien membutuhkan dialisis darurat.
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut. Molekul
zat terlarut dari kompartemen darah akan berpindah ke dalam kompartemen
dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran
semipermiabel demikian juga sebaliknya.
Ultrafiltrasi
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut secara
simultan dari kompartemen darah ke dalam kompartemen dialisat melalui
membran semipermiabel. Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi
hidrostatik dan osmotik.
Ultrafiltrasi Hidrostatik
KUf adalah jumlah cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per
mmHg perbedaan tekanan atau perbedaan TMP yang melewati membran.
Ultrafiltrasi osmotic
18
Proses osmosis merupakan proses berpindahnya air karena tenaga kimia, yaitu
perbedaan osmolaritas darah dan dialisat (Lumenta), di mana terjadi perpindahan
cairan dari larutan dengan osmolaritas rendah ke osmolaritas yang lebih tinggi.
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita
dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer. Prosedur ini
memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka
dibuat suatu hubungan buatan di antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan
untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik
pada vena subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam
kondisi aseptic.
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa
darah. Untuk mencegah pembekuan darah selama berada dalam dializer maka
diberikan heparin. Di dalam dializer, suatu selaput buatan yang memiliki pori-pori
memisahkan darah dari suatu cairan (dialisat) yang memiliki komposisi kimia yang
menyerupai cairan tubuh normal. Tekanan di dalam ruang dializer lebih rendah
dibandingkan dengan tekanan dalam darah, sehingga cairan, limbah metabolik dan
zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan masuk ke dalam dialisat.
Tetapi sel darah dan protein yang besar tidak dapat menembus pori-pori selaput
buatan ini.
19
Gambar 1. Proses Hemodialisa
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah akan dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan
dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Air yang berlebihan dikeluarkan
dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialysis.
Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia atau keseimbangan cairan. Sistem
bufer tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari
cairan dialisat kedalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk
membentuk bikarbonat.
Darah yang telah dicuci lalu dikembalikan ke dalam tubuh penderita. Darah yang
telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang
postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan
mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas
sirkuit untuk mengembalikan darah pasien (Brunner & Suddarth, 2008).
1. Faktor yang Mempengaruhi Hemodialisa
a. Aliran darah
Secara teori seharusnya aliran darah secepat mungkin. Hal-hal yang membatasi
kemungkinan tersebut antara lain: tekanan darah dan jarum yang digunakan.
Terlalu besar aliran darah bisa menyebabkan syok pada penderita.
b. Luas selaput/membran yang dipaka
Luas selaput yang biasa dipakai adalah 1−1,5 cm2 tergantung dari besar badan/
berat badan pasien.
c. Aliran dialisat
Semakin cepat aliran dialisat semakin efisien proses hemodialisa, sehingga
dapat menimbulkan borosnya pemakaian cairan.
d. Temperatur suhu dialisat
20
Temperature dialisat tidak boleh kurang dari 360C karena bisa terjadi spasme
dari vena sehingga aliran darah melambat dan penderita menggigil. Temperatur
dialisat tidak boleh lebih dari 420C karena bisa menyebabkan hemolisis.
1) Punksi Cimino
a. Persiapan Alat-alat
- 1 buah bak instrumen besar, yang terdiri dari: 3 buah mangkok kecil (1
untuk tempat NaCL, 1 untuk tempat Betadine, 1 untuk Alkohol 20%),
arteri klem
- 1 spuit 20 cc, 1 spuit 10 cc, 1 spuit 1 cc
- Kassa 5 lembar (secukupnya), IPS sarung tangan, lidocain 0,5 cc (bila
perlu)
- Plester, masker, 1 buah gelas ukur / math can, 2 buah AV Fistula
- Duk steril, perlak untuk alas tangan, plastik untuk kotoran
a. Persiapan Pasien
- Timbang berat badan, observasi tanda-tanda vital dan anamnesis
- Raba desiran pada cimino apakah lancer
- Tentukan daerah tusukan untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin
- Tentukan pembuluh darah vena lain untuk masuknya darah dari mesin ke
tubuh pasien
- Beritahu pasien bahwa tindakan akan dimulai
21
- Letakkan perlak di bawah tangan pasien
- Dekatkan alat-alat yang akan digunakan
a. Persiapan Perawat
- Mencuci tangan, memakai masker, buka bak instrumen steril
- Mengisi masing-masing mangkok steril dengan: Alcohol, NaCl 0,9%, dan
Betadine
- Buka spuit 20 cc dan 10 cc, taruh di bak instrument, memakai sarung
tangan
- Ambil spuit 1 cc, hisap lidocain 1% untuk anestesi lokal (bila digunakan)
- Ambil spuit 10 cc diisi NaCl dan Heparin 1500u untuk mengisi AV
Fistula
a. Memulai Desinfektan
- Jepit kassa betadine dengan arteri klem, oleskan betadine pada daerah
cimino dan vena lain dengan cara memutar dari arah dalam ke luar, lalu
masukkan kassa bekas ke kantong plastic
- Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah Cimino dan
vena lain dengan cara seperti no.1
- Lakukan sampai bersih dan dikeringkan dengan kassa steril kering,
masukkan kassa bekas ke kantong plastik dan arteri klem diletakkan di
gelas ukur
- Pasang duk belah di bawah tangan pasien, dan separuh duk ditutupkan di
tangan
a. Memulai Punksi Cimino
- Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang akan dipunksi)
dengan spuit insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain.
- Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10 cm dari anastomose
- Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm
- Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain
- Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril
a. Memasukkan Jarum AV Fistula
- Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada tusukan yang telah dibuat pada
saat pemberian anestesi lokal
22
- Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit 10 cc dan dorong dengan NaCl
0,9% yang berisi heparin, AV Fistula diklem, spuit dilepaskan, dan ujung
AV Fistula ditutup, tempat tusukan difiksasi dengan plester dan pada atas
sayap fistula diberi kassa steril dan diplester
- Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada vena lain, jarak penusukan inlet
dan outlet usahakan lebih dari 3 cm
- Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai 20 ml/mnt kemudian pasang
sensor monitor
- Program mesin hemodialisis sesuai kebutuhan pasien
- Bila aliran kurang dari 100 ml/mnt karena ada penyulit, lakukan
penusukan pada daerah femoral
- Alat kotor masukkan ke dalam plastik, sedangkan alat-alat yang dapat
dipakai kembali di bawa ke ruang disposal
- Penusukan selesai, perawat mencuci tangan
1) Punksi Femoral
Cara Melakukan Punksi Femoral
- Obeservasi daerah femoral (lipatan), yang aka digunakan penusukan
- Letakkan posisi tidur pasien terlentang dan posisi kaki yang akan ditusuk
fleksi
- Lakukan perabaan arteri untuk mencari vena femoral dengan cara
menaruh 3 jari di atas pembuluh darah arteri, jari tengah di atas arteri
- Dengan jari tengah 1 cm ke arah medial untuk penusukan jarum AV
Fistula
23
- Perhatikan posisi catheter double lumen: apakah tertekuk?, apakah posisi
catheter berubah?, apakah ada tanda-tanda meradang /nanah? Jika ada laporkan
pada dokter
- Memulai desinfektan
- Tentukan posisi kateter dengan tepat dan benar
- Pangkal kateter diberi Betadine dan ditutup dengan kassa steril
- Kateter difiksasi kencang
- Kateter double lumen siap disambungkan dengan arteri blood line dan venus
line
- Alat-alat dirapikan, pisahkan dengan alat-alat yang terkontaminasi
- Bersihkan alat-alat, perawat cuci tangan
Kateter double lumen mempunyai 2 cabang berwarna merah untuk inlet
(keluarnya darah dari tubuh pasien ke mesin) dan biru untuk outlet (masuknya
darah dari mesin ke tubuh pasien)
Hemodialisa dinilai adekuat bila mencapai hasil sesuai dosis yang direncanakan.
Adekuasi hemodialisa diukur secara kuantitatif dengan menghitung kt/V yang
merupakan rasio dari bersihan urea dan waktu hemodialisa dengan volume
distribusi urea dalam cairan tubuh. Konsesus Dialisis Pernefri (2006) menyatakan
bahwa di Indonesia adekuasi hemodialisa dapat dicapai dengan jumlah dosis
hemodialisa 10-15 jam perminggu. Pasien yang menjalani hemodialisa 3
kali/minggu diberi target Kt/V 1,2, sedangkan pasien yang menjalani hemodialisa
2 kali/minggu diberi target Kt/V 1,8. Kt/V untuk setiap pelaksanaan hemodialisa
yang direkomendasikan adalah minimal 1,2 dengan target adekuasi 1,4.
Keterangan:
24
K : Klirens dialiser yaitu darah yang melewati membran dialiser dalam mL/menit
Ln : Logaritma natural
V : Volume cairan tubuh dalam liter (laki-laki 65 % BB/berat badan dan wanita BB
berat badan).
2. Komplikasi Hemodialisa
Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,
infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat
25
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
disequilibirium menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
Masalah pada dialisat Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal
Chlorine
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala
neurologi, aritmia
Kontaminasi Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi dari
bakteri/endotoksin dialisat maupun sirkuti air
b. Komplikasi Kronik
26
b. Protein tinggi, untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen dan mengganti
asam amino yang hilang selama dialisis, yaitu 1-1,2 g/kg BB
c. ideal/hari.
f. Natrium diberikan seseuai jumlah urin yang keluar /24 jam yaitu 1 g untuk tiap
1/2 liter urin.
g. Kalium sesuai dengan urin yang keluar /24 jam yaitu 1 g untuk tiap 1 liter urin.
h. Kalsium tinggi, yaitu 1000 mg/hari. Bila perlu diberikan suplemen kalsium.
j. Cairan dibatasi, yaitu jumlah urin /24 jam ditambah 500-750 ml.
k. Suplemen vitamin bila diperlukan, terutama vitamin larut air seperti B12,
m.Bila nafsu makan kurang, berikan suplemen enteral yang mengandung energi
dan protein tinggi (Almatsier, 2008).
Diet pada dialisis bergantung pada frekuensi dialisis, sisa fungsi ginjal dan berat
badan pasien. Diet untuk pasien dengan dialisis biasanya harus direncanakan
perorangan. Berdasarkan berat badan, diet dialisis dibedakan menjadi 3 jenis
yaitu:
b. Diet dialisi II, 65 g protein, diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 60
kg.
27
c. Diet dialisis III, 70 g protein, diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 65
kg (Almatsier, 2008).
b. Kelapa
c. Santan
d. Minyak kelapa
e. Margarin
f. Lemak hewan
1. Pendidikan Kesehatan
Pasien hemodialisa yang akan memulai terapi memerlukan pengajaran tentang
topik-topik berikut:
a. Rasional dan tujuan terapi dialysis.
b. Hubungan antara obat-obat yang diresepkan dengan dialysis.
c. Efek samping obat dan antikoagulan pasien HD.
d. Perawatan akses vaskuler; pencegahan, pendeteksian dan penatalaksanaan
komplikasi yang berkaitan dengan akses vaskuler.
e. Dasar pemikiran untuk diet dan pembatasan cairan; konsekuensi akibat
kegagalan dalam mematuhi pembatasan ini.
f. Pedoman pencegahan dan pendeteksian kelebihan muatan cairan.
g. Strategi untuk pendeteksian, penatalaksanaan dan pengurangan gejala pruritus,
neuropati serta gejala-gejala lainnya.
h. Penatalaksanaan komplikasi dialisis yang lain dan efek samping terapi (dialisis,
diet yang membatasi, obat-obatan).
i. Strategi untuk menangani dan mengurangi kecemasan serta ketergantungan
pasien sendiri dan anggota keluarga mereka.
28
j. Pilihan lain yang tersedia buat pasien
k. Pengaturan finansial untuk dialisis, strategi untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber-sumber finasial
l. Strategi untuk mempertahankan kemandirian dan mengatasi kecemasan
anggota keluarga (Cahyaningsih, 2009).
A. Pengkajian
29
1. Identitas Klien
Meliputi: nama klien, no. RM, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
dx medis dan mula inisiasi HD
2. Keluhan Utama
Keluhan yang paling dirasakan oleh klien diantara keluhan yang dirasakan
yang didapatkan secara langsung dari pasien/keluarga.
3. Riwayat Kesehatan
1. Pemeriksaan Fisik
30
- Kepala: rambut rontok
a. Pemeriksaan darah
31
c. Pemeriksaan LFT (liver fungsi test)
g. Pemeriksaan urin
h. Pemeriksaan Radiologi
i. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 15 ml/menit, LFG kurang dari
10 ml/menit dengan gejala uremia atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5
ml/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis.
B. Pathway (Terlampir)
32
2. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional akibat prosedur terapi
ditandai dengan klien mengatakan merasa cemas, klien tampak gelisah dan
ketakutan
Intra Hemodialisa
Post Hemodialisa
3. Intoleransi Aktivitas
33
34
Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Kelebihan Setelah silakukan asuhan NIC Label: Fluid Management NIC Label: Fluid Manageme
volume cairan keperawatan selama 2 kali 1. Kaji status cairan 1. Pengkajian merupakan d
berhubungan pertemuan diharapkan masalah memperoleh data, pem
a. Timbang bb pre dan post hd
dengan kelebihan cairan teratasi dengan evaluasi dari intervensi
b. Keseimbangan masukan dan haluaran
gangguan kritreria hasil : 2. Pembatasan cairan akan
c. Turgor kulit dan edema
mekanisme NOC : dry weight, haluaran urin
regulasi d. Distensi vena leher terhadap terapi.
1. Electrolit and acid base
balance e. Monitor vital sign 3. UF & TMP yang sesu
2. Fluid balance 2. Batasi masukan cairan pada saat priming & kelebihan volume cairan
wash out hd target BB edeal/dry weigh
3. Hydration
3. Lakukan hd dengan uf & tmp sesuai dg 4. Sumber kelebihan ca
Setelah dilakukan tindakan kenaikan bb hd sebelumnya
keperawatan selama 5 jam diketahui
diharapkan keseimbangan volume 4. Identifikasi sumber masukan cairan 5. Pemahaman ↑kerjasama
cairan tercapai dengan
5. Jelaskan pada keluarga & klien rasional keluarga dalam pembatasa
Kriteria Hasil: pembatasan cairan
6. 6.Kebersihan mulut
a. Terbebas dari edema, 6. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih
efusi, anaskara kekeringan mulut, sehingga ↓
37
b. BB post HD sesuai dry muncul memburuk klien untuk minum
weight
c. Bunyi nafas bersih, tidak
ada dyspneu/ortopneu
d. Memelihara vital sign
dalam batas normal
2 Ansietas Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Anxiety Reduction NIC Label: Anxiety Reductio
berhubungan keperawatan selama 1 x … jam, 1. Observasi adanya tanda – tanda 1. Pengungkapan kecemas
dengan krisis diharapkan kecemasan klien cemas/ansietas baik secara verbal maupun langsung tentang kecem
situasional dapat berkurang dengan kriteria nonverbal. klien, dapat menandakan
akibat prosedur hasil: 2. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi klien.
terapi ditandai NOC Label: Anxiety Level yang dapat menstimulus kecemasan. 2. Agar pasien dapat men
dengan klien a. Mengatakan secara 3. Jelaskan segala sesuatu mengenai penyakit menanggulangi kecemasan
mengatakan verbal tentang tidak ada yang klien derita. 3. Menambah wawasan kli
merasa cemas, kecemasan 4. Ajarkan klien teknik relaxasi, seperti penyakit klien dapat me
klien tampak b. Mengatakan secara menarik nafas dalam. pengertian klien tentang p
gelisah dan verbal tentang tidak ada 5. Kolaborasi pemberian medikasi berupa obat sehingga dapat
ketakutan, ketakutan penenang. kecemasan klien.
38
insomnia, c. Tidak ada kepanikan 4. Dapat memberi efek keten
takikardi NOC Label: Anxiety Self- klien
Control 5. Untuk menurunkan ansieta
a. Mampu mengurangi terjadi secara berlebihan.
penyebab cemas
b. Mengontrol respon
cemas
39
ekspresi wajah menahan 3. Berikan informasi tentang nyeri, 3. Agar pasien mengetahui info
nyeri penyebab nyeri, berapa lama akan tentang nyeri, penyebab
c. Mampu mengontrol nyeri berlangsung, dan antisipasi berapa lama akan berlangsun
(tahu penyebab nyeri, mampu ketidaknyamanan akibat prosedur. antisipasi ketidaknyamanan
menggunakan tehnik prosedur.
nonfarmakologi untuk 4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 4. Agar pasien mampu mela
mengurangi nyeri, mencari (relaksasi napas dalam, distraksi, guided teknik terapi non farmak
bantuan) imagery) untuk mengatasi nyeri
d. Tanda vital dalam rentang mandiri.
normal (TD: 110/70 mmHg, 5. Kolaborasi dengan dokter untuk 5. untuk mengatasi nyeri p
N: 80x/menit) pemberian analgetik untuk mengurangi secara farmakologi
nyeri NIC Label: Vital Sign Monitor
NIC Label: Vital Sign Monitoring 1. Untuk mengetahui te
1. Monitor tekanan darah dan nadi pasien darah dan nadi pasien akibat
yang dirasakan oleh pasien
4 Risiko Setelah diberikan asuhan NIC Label: Bleeding Precaution NIC Label: Bleeding Precautio
perdarahan keperawatan selama 1 x … jam 1. Monitor kondisi yang dapat 1. Dapat memperkirakan
berhubungan diharapkan pasien tidak menyebabkan perdarahan mencegah terjadinya perdarah
dengan efek mengalami perdarahan dengan 2. Monitor jumlah dan kenampakan 2. Memonitor jumlah darah
40
samping kriteria hasil: kehilangan darah hilang dapat digunakan
pengobatan NOC Label: Blood Loss 3. Catat hemogblobin dan hematocrit menentukan juml cairan peng
yaitu Severity 4. Monitor statius intake dan output cairan 3. Hb dan hematocrit meru
penggunaan a. Tidak terlihat kehilangan 5. Monitor protein koagulasi (PT/PTT, komponen penting dalam p
obat darah fibrinogen, jumlah platelet) jaringan dan indicator v
antikoagulan b. Tidak ada Hematuria 6. Monitor faktor yang mempengaruhi cairan
c. Tekanan darah sistolik dan distribusi oksigen (PaO2, SaO2, dan 4. Mengetahui adanya dehidrasi
diastolik normal hemoglobin serta kardiak output) 5. Memastikan status pemb
d. Tidak terjadi Penurunan 7. Perkirakan kemungkinan transfusi darah darah pasien baik
kesadaran 8. Berikan produk darah 6. Memastikan oksigen
e. Tidak terjadi Penurunan terdistribusi ke seluruh tubuh
kadar darah (HGB) 7. Dapat melakukan pers
f. Tidak terjadi penurunan prosuk darah
pembekuan darah (HCT) 8. Untuk mengganti kehilangan
5 Risiko infeksi Setelah diberikan asuhan
berhubungan keperawatan selama 2 x 5 jam 1. Agar memudahkan pengam
NIC Label: Infection Protection
dengan diharapkan tidak terjadi infeksi intervensi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
ketidakadekuata dengan kriteria hasil: 2. Sebagai monitor adanya
dan local
n pertahanan NOC Label: Hemodialysis infeksi.
41
tubuh primer Access 2. Monitor hitung granulosit, WBC 3. Untuk meng
akibat prosedur a. Temperatur kulit pada area tinggi/rendahnya tingkat i
invasif akses akses penusukan normal 3. Monitor kerentanan terhadap infeksi pada klien, sehingga memud
vaskular b. Nadi perifer bagian distal pengambilan intervensi
normal NIC Label: Infection Control NIC Label: Infection Control
c. Warna kulit bagian distal 1. Bersihkan lingkungan setelah digunakan 1. Agar bakteri dan penyakit
normal oleh klien. menyebar dari lingkungan
d. Warna kulit pada area akses orang lain.
penusukan normal 2. Batasi jumlah pengunjung. 2. Mengurangi organism pat
e. Drainase pada area masuk ke tubuh klien.
penusukan tidak ada 3. Ajarkan klien dan keluarga tekhnik 3. Mencegah terjadinya infeks
f. Edema perifer bagian distal mencuci tangan yang benar. mikroorganisme yang ad
area penusukan tidak ada tangan.
4. Pergunakan sabun anti microbial untuk 4. Mencuci tangan menggu
mencuci tangan sabun lebih efektif
5. Cuci tangan sebelum dan sesudah membunuh bakteri.
melakukan tindakan keperawatan. 5. Mencegah infeksi nosokomial
6. Terapkan Universal precaution. 6. Untuk meminim
42
7. Pertahankan lingkungan aseptik selama terkontaminasi mikroba
perawatan. bakteri.
8. Anjurkan klien untuk memenuhan 7. Untuk mencegah penye
asupan nutrisi dan cairan adekuat. infeksi selama perawatan
9. Kolaborasi pemberian antibiotik bila 8. Untuk mempercepat perb
perlu. kondisi klien
9. Untuk mengatasi penyebab in
43
sekunder
4 Gangguan Setelah diberikan asuhan NIC Label: Pruritus Management NIC Label: Pruritus Managem
Integritas Kulit keperawatan selama 1 x … jam 1. Lakukan pemeriksaan fisik untuk 1. Untuk mengevaluasi a
berhubungan diharapkan perawat dapat mengidentifikasi kerusakan kulit (seperli kerusakan kulit akibat garuka
dengan meminimalkan komplikasi lesi, blister, abrasi, dan ulkus) 2. Untuk melembabkan kulit seh
pruritus dengan kriteria hasil: 2. Gunakan lotion sesuai indikasi mengurangi gatal
a. Klien mengatakan gatal 3. Kolaborasi pemberian antipruritus 3. Untuk mengurangi gatal
berkurang 4. Kolaborasi pemberian antihistamin 4. Mencegah pembentukan his
b. Klien tidak menggaruk 5. Instruksikan pada klien untuk sehingga dapat mengurangi ga
anggota tubuh yang gatal menghindari penggunaan sabun yang 5. Mencegah iritasi pada kulit
c. Klien dapat melakukan menggunakan parfum atau minyak 6. Mengurangi gatal akibat ke
manajemen pruritus. 6. Instruksikan klien untuk menggunakan berlebih
47
pakaian yang dapat menyerap keringat 7. Mencegah timbulnya luka
7. Instruksikan pasien untuk infeksi akibat garukan
mempertahankan kuku tetap pendek 8. Mengurangi gatal akibat ke
8. Instruksikan klien untuk mengurangi hal- berlebih
hal yang dapat menyebabkan keringat 9. Mencegah timbulnya luka
berlebih. infeksi akibat garukan
9. Intruksikan klien agar tidak menggaruk
bagian tubuh yang gatal, klien hanya
boleh menggunakan telapak tangan untuk
menggosok secara halus area sekitar.
48
49
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn.D
Umur : 53 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan Turi No.4 Denpasar
PenanggungJawab : Tn.A
Tanggal HD : 3 Mei 2018
No. RM : 01630059
Dx. Medis : CKD Stadium V
2. PENGKAJIAN
49
Tanggal 3 Mei 2018 klien mengatakan sedang menjalani HD regular dan
mengeluh badan terasa lemas dan klien mengeluh susah tidur pada malam
hari. Tanggal 7 Mei 2018 klien mengatakan tidak ada keluhan hari ini dan
mengatakan berat badannya sekarang 71 kg.
1. Dialisis
1) Dialisis ke : 279
2) Re – Use : -
1) Dialisis ke : 280
2) Re – Use : -
1. Pemeriksaan Fisik
2) Kesadaran : Sadar
4) Nadi : 80 x/menit
5) Respirasi : 20 x/menit
6) Suhu : 370C
12) Parameter mesin : conductivity : 14,3 mS/cm, suhu mesin 370C, dialisat
flow : 95 ml/mnt, luas membran : 1,8 m2, volume priming : 95 ml, jenis
membrane : high flux
2) Kesadaran : Sadar
4) Nadi : 78 x/menit
51
5) Respirasi : 20x/menit
6) Suhu : 370C
12) Parameter mesin : conductivity : 14,3 mS/cm, suhu mesin 370C, dialisat flow :
95 ml/mnt, luas membran : 1,8 m2, volume priming : 95 ml, jenis membrane :
high flux.
1. Waktu Dialisis
Jam Qb UF TD N S
V - 3 140/90 80 37
2) UF Target : 3
52
Tanggal 7 Mei 2018
Jam Qb UF rate TD N S
V 140/90 80 37
2) UF Target : 3
1. Akses Dialisis
1. DATA PENUNJANG
53
1) Pemeriksaan Laboraturium
WBC
5,51 4.1-11,0
RBC
3.46 4.5-5.9 Rendah
HGB
9.60 13.5-17.5 Rendah Tidak dianjurkan Hb≥13
gr/dl, sedangkan Hb<7 gr/dl
indikasi transfusi. (Suwitra,
hal 46)
HCT
32.11 41.0-53.0 Rendah
MCHC
29.90 31-36 Rendah .
PLT
144.90 150-440 Rendah
BUN
33,4 8-23
Kreatinin
20,15 0.7-1.2 Tinggi Bila > 18 mg/dl berarti HD
tidak adekuat, fungsi ginjal
sisa sedikit, asupan protein
berlebih, kerusakan massa
ototr. Bila Kreatinin
kurang dari 10 mg/dl berarti
54
fungsi ginjal sisa, cukup,
malnutrisi (Suwitra,hal.47)
1. ANALISA DATA
KEMUNGKINAN
NO DATA MASALAH
PENYEBAB
55
1 DS : Klien mengatakanKelebihan Volume Kerusakan ginjal .
badan terasa lemas Cairan
Penurunan GFR
DO : TD : 150/80 mmHg,
Gangguan fungsi ginjal
N: 80x/menit, RR:
berlangsung kronik
20x/menit, klien tampak
oedem pada kedua kaki, Sindrom uremia
asites pada perut, Refleks
Retensi Na
hepatojungular positif,
BBK: 68 kg, BB Pre :71 Edema
kg, UF Goal : 3, UF rate :
668 Td : 5 jam
Kelebihan volume cairan
DS : Klien mengatakan
merasa lemas.
2.
DO : Klien terlihat lemas,
TD; 140/90 mmHg, N:
Resiko Perdarahan Pemberian terapi heparin
80X/menit, S:370C, RR :
20x/menit, ada perdarahan Terapi antikoagulan
saat AV dicabut.
Menghambat faktor-faktor
pembekuan darah
Terapi antikoagulan
Resiko perdarahan
3
56
Resiko Infeksi Hemodialisa
2. Diagnosa Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi ditandai dengan klien mengeluh lemas dan
klien tampak oedem pada kedua kaki, asites pada perut, BB : 68
kg,BB Pre HD : 71 kg.
57
1. INTERVENSI KEPERAWATAN
2. Fluid balance 2. Batasi masukan cairan pada saat priming & kelebihan volume cairan
wash out hd target BB edeal/dry weigh
3. Hydration
3. Lakukan hd dengan uf & tmp sesuai dg 4. Sumber kelebihan ca
Setelah dilakukan tindakan kenaikan bb hd sebelumnya
keperawatan selama 5 jam diketahui
diharapkan keseimbangan volume 4. Identifikasi sumber masukan cairan 5. Pemahaman ↑kerjasama
cairan tercapai dengan
57
Kriteria Hasil: 5. Jelaskan pada keluarga & klien rasional keluarga dalam pembatasa
pembatasan cairan
a. Terbebas dari edema, 6. 6.Kebersihan mulut
efusi, anaskara 6. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih
muncul memburuk kekeringan mulut, sehingga ↓
b. BB post HD sesuai dry
klien untuk minum
weight
c. Bunyi nafas bersih, tidak
ada dyspneu/ortopneu
d. Memelihara vital sign
dalam batas normal
58
yaitu Severity 4. Monitor statius intake dan output cairan 3. Hb dan hematocrit meru
penggunaan a. Tidak terlihat kehilangan 5. Monitor protein koagulasi (PT/PTT, komponen penting dalam p
obat darah fibrinogen, jumlah platelet) jaringan dan indicator v
antikoagulan b. Tidak ada Hematuria 6. Monitor faktor yang mempengaruhi cairan
c. Tekanan darah sistolik dan distribusi oksigen (PaO2, SaO2, dan 4. Mengetahui adanya dehidrasi
diastolik normal hemoglobin serta kardiak output) 5. Memastikan status pemb
d. Tidak terjadi Penurunan 7. Perkirakan kemungkinan transfusi darah darah pasien baik
kesadaran 8. Berikan produk darah 6. Memastikan oksigen
e. Tidak terjadi Penurunan terdistribusi ke seluruh tubuh
kadar darah (HGB) 7. Dapat melakukan pers
f. Tidak terjadi penurunan prosuk darah
pembekuan darah (HCT) 8. Untuk mengganti kehilangan
3. Risiko infeksi Setelah diberikan asuhan NIC Label: Infection Control NIC Label: Infection Control
berhubungan keperawatan selama 2 x 5 jam 1. Bersihkan lingkungan setelah digunakan 1. Agar bakteri dan penyakit
dengan diharapkan tidak terjadi infeksi oleh klien. menyebar dari lingkungan
ketidakadekuata dengan kriteria hasil: orang lain.
n pertahanan NOC Label: Hemodialysis 2. Batasi jumlah pengunjung. 2. Mengurangi organism pat
tubuh primer Access masuk ke tubuh klien.
akibat prosedur a. Temperatur kulit pada area 3. Ajarkan klien dan keluarga tekhnik 3. Mencegah terjadinya infeks
59
invasif akses akses penusukan normal mencuci tangan yang benar. mikroorganisme yang ad
vaskular b. Nadi perifer bagian distal tangan.
normal 4. Pergunakan sabun anti microbial untuk 4. Mencuci tangan menggu
c. Warna kulit bagian distal mencuci tangan sabun lebih efektif
normal 5. Cuci tangan sebelum dan sesudah membunuh bakteri.
d. Warna kulit pada area akses melakukan tindakan keperawatan. 5. Mencegah infeksi nosokomial
penusukan normal 6. Terapkan Universal precaution. 6. Untuk meminim
e. Drainase pada area 7. Pertahankan lingkungan aseptik selama terkontaminasi mikroba
penusukan tidak ada perawatan. bakteri.
f. Edema perifer bagian distal 8. Anjurkan klien untuk memenuhan 7. Untuk mencegah penye
area penusukan tidak ada asupan nutrisi dan cairan adekuat. infeksi selama perawatan
9. Kolaborasi pemberian antibiotik bila 8. Untuk mempercepat perb
perlu. kondisi klien
9. Untuk mengatasi penyebab in
NIC Label: Infection Protection
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik 1. Agar memudahkan pengam
dan local intervensi
2. Monitor hitung granulosit, WBC 2. Sebagai monitor adanya
60
infeksi.
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi 3. Untuk meng
tinggi/rendahnya tingkat i
pada klien, sehingga memud
pengambilan intervensi
NIC Label: Dialysis Access Maintenance
1. Monitor kateter exit site 1. Mengevaluasi kondisi exit sit
2. Monitor area akses penusukan dari adanya tanda-tanda infeksi
edema, panas, drainase, perdarahan, perdarahan sehingga
hematoma, dan penurunan sensasi menentukan intervensi yang t
3. Lakukan perawatan dengan memberikan 2. Mengevaluasi kondisi
baluan steril pada area penusukan dengan penusukan dari adanya tanda
CVC (central venous catheter) infeksi dan perdarahan seh
dapat menentukan intervensi
tepat
3. Mencegah terjadinya i
sekunder
61
1. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Hari
Jam Implementasi Evaluasi Hasil
Tanggal
1 d. Distensi vena leher 2. Pasien tidak makan dan minum saat priming
dan wash out HD
1 e. Memonitor vital sign
3. Uktrafiltrasi 668, temperatur 37 dengan
2. Membatasi masukan cairan pada
62
1 saat priming & wash out hd peningkatan berat badan 2,8 kg, UF Goal : 3
1 3. Melakukan hd dengan uf & tmp 4. Sumber masukan klien berasal dari minum 6
sesuai dg kenaikan bb hd gelas air satu hari
1
sebelumnya
5. Klien dan keluarga mengatakan mengerti
4. Mengidentifikasi sumber
6. Tidak ada tanda cairan berlebih muncul
masukan cairan
18.55 Dx.2 1. Memonitor kondisi yang dapat 1. Kondisi AV Shunt klien tampak bersih tidak
63
1,2 3. Monitor status intake dan output 3. Status intake dan output klien normal, klien
cairan mengatakan minum air 300 cc per hari dan
makan 3 kali sehari dengan menu nasi,sayur
dan daging.
7 Mei 14.05 Dx 1 1. Mengkaji status cairan dengan 1. BBK : 68 kg, BB Pre HD : 71 kg, BB post
2018 WITA HD : 68,2 kg, Turgor kulit elastic , asites
a. Menimbang bb pre dan
pada perut, edema pada kaki , TD :
post hd
160/90mmHg, RR : 20x/menit, N:
b. Memonitor 80x/menit, S: 370C, tidak ada distensi
keseimbangan masukan vena leher, CRT < 3 detik, cairan masuk
dan haluaran 300 cc , cairan keluar 200 cc
65
18.09 Dx 2 1. Memberi heparin sesuai dosis 1. Heparin diberikan dengan dosis total 7000
WITA 2. Melakukan HD dengan QB international unit
Maksimal diatas 150 ml/mnt,
monitor dialiser, QB, Blood line 2. QB ; 250, jenis dialiser : high flux, av
66
kemerahan, panas, drainase 3. Klien mengatakan sebelum HD sudah
3. Mencuci tangan sebelum dan mencuci tangan dengan handrub
sesudah tindakan keperawatan
4. Mengajarkan keluarga/klien 4. Keluarga klien dan klien mengatakan
tentang tanda dan gejala infeksi mengerti tentang tanda dan gejala infeksi
68
BAB IV
PEMBAHASAN
Pembahasan dari bab ini dimulai dari pengkajian sampai dengan pendokumentasian.
Sehingga dapat diketahui adanya kesenjangan antara teori dengan pelaksanaan
tindakan asuhan keperawatan keperawatan dalam kasus nyata. Selain itu juga dapat
diketahui adanya faktor penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan Tn “D” .
A. Pembahasan Pengkajian
Penulis melakukan pengkajian kepada pasien dengan menggunakan
pendekatan kepada klien, keluarga, dan tenaga kesehatan. Pengkajian dilakukan
setiap kali pasien datang ke HD Sanglah dari tanggal 3 Mei 2018, 7 Mei 2018, 10
Mei 2018 dengan menggunakan metode observasi, wawancara, pemeriksaan fisik dan
studi dokumentasi baik perawatan maupun medis. Pada 3 kali pertemuan selama
hemodialisa klien mengeluh badannya lemas , mual dan kram otot, serta sakit kepala
berdasarkan teori lemas pada saat HD komplikasi yang didapatkan setelah HD
menurut (Suwitra,2017) adalah Mual, muntah, sakit kepala, komplikasi ini sering
terjadi pada pasien yang mengalami hemodialisis atau belum stabil, penyebabnya
multifaktorial di antaranya, terlalu cepat dalam menaikkan QB atau ultrafiltrasi,
bagian dari episode hipotensi intradialitik atau bagian dari episode sindrom
disequibirium. Penanganannya , dengan mengurangi QB atau ultrafiltrasi, berikan
antiemetik (oral atau parenteral), kalau sakit kepala berikan analgetik ( acetaninofen
+tramadol ) oral, berikan dextrose 40% (25-50) ml untuk menambah volume
intravaskuler. Komplikasi ini bisa dicegah dengan cara lebih perlahan dalam
68
melakukan peningkatan QB atau ultrafiltrasi. Bisa terjadi komplikasi sakit kepala
setiap kali hemodialisis dengan penyebab yang tidak jelas, Sakit kepala ini tetap
terjadi walaupun semua kecurigaan penyebab sudah dihilangkan, Keluhan ini
biasanya dirasakan menjelang selesai hemodialisis dan kadang-kadang berlangsung
lama (sampai 24 jam). Untuk mengatasi hal itu dapat diberikan anti migrain (caffein
ergotamin ), profilling ultrafiltrasi (ultrafiltrasi pada awal hemodialisis ditinggikan, 1-
2 jam menjelang selesai diturunkan ) atau lakukan hemodialisis pakai ulang (reuse).
Kram otot terjadi 5-20% pada pasien yang mengalami hemodialisis,
kram otot umumnya terjadi pada akhir hemodialisis dan mengenai otot kaki,
pada umumnya faktor predisposisi kram otot yaitu : hipotensi, penurunan
berat badan dibawah berat badan kering, kadar sodium dializat yang rendah.
Pada pemeriksaan elektromyelografi ditemui adanya peningkatan aktifitas
elektrik tonus otot.untuk mrngatasi kram otot dilakukan beberapa hal seperti :
mengurangi ultrafiltrasi, Pasien diposisikan trendelenburg, memberikan cairan
infus NaCL 3 % ( 50-100) ml, menaikkan konsentrasi sodium pada dialisat.
Meningkatkan berat badan kering 0,5 kg, untuk mengurasi rasa sakit pasien
dapat diberikan paracetamol 500 mg, dan diazepam 5 mg per oral
(suwitra,2017). Untuk mencegah terjadinya kram otot, lakukan penentuan
yang cermat terhadap berat badan kering pasien.
Tn.D mengeluh lemas komplikasi ini sering terjadi pada Tn.D yang
mengalami hemodialisis sesuai dengan teori Suwtra (2017) atau belum stabil,
penyebabnya multifaktorial di antaranya, terlalu cepat dalam menaikkan QB
atau ultrafiltrasi, bagian dari episode hipotensi intradialitik atau bagian dari
episode sindrom disequibirium. Penanganannya , dengan mengurangi QB atau
ultrafiltrasi. Riwayat penyakit klien sebelumnya klien menderita penyakit
gagal ginjal kronik stadium V selama 5 tahun, riwayat penyakit keturunan,
klien tidak meiliki penyakit keturunan.
69
Berdasarkan data hasil laboratorium Tn.D tanggal 13 Maret
2018 didapatkan hasil hemoglobin rendah (9,60) sehingga tidak dianjurkan
Hb≥13 gr/dl, sedangkan Hb<7 gr/dl indikasi transfusi. (Suwitra, hal 46),
Kreatinin tinggi ( 20,15), bila > 18 mg/dl berarti HD tidak adekuat, fungsi
ginjal sisa sedikit, asupan protein berlebih, kerusakan massa otot. Bila
Kreatinin kurang dari 10 mg/dl berarti fungsi ginjal sisa, cukup, malnutrisi
(Suwitra,hal.47). Ferritin tinggi (677,80) untuk menentukan pemberian Fe dan
Ferritin tinggi terjadi karena inflamasi (Suwitra, hal.48)
71
Diagnosa ketiga pada Tn.D adalah Risiko infeksi berhubungan dengan
ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer akibat prosedur invasif akses vascular
ditandai dengan klien terpasang AV Shunt sinistra dan fistula. Tn.D akses vaskularnya
tidak bocor dan tidak ditemukan tanda-tanda infesi setelah dilakukan penusukan
tanggal 3 Mei 2018, sehingga Tn.D menjaga agar AV shunt yang dimiliki tidak
infeksi.
C. Intervensi Keperawatan
Klasifikasi intervensi keperawatan NIC (Nursing Intervention Clasification)
mengkategorikan aktifitas keperawatan dengan menggunakan bahasa baku. Prioritas
intervensi merupakan intervensi yang yang berdasarkan penelitian yang
dikembangkan oleh The Lawo Intervention Projek sebagai pilihan perawatan untuk
suatu keperawatan tertentu (Wilkinson dalam Gunawan,2013).
Intervensi Keperawatan disesuaikan dengan kondisi klien dan fasilitas yang
ada, sehingga rencana tindakan dapat diselesaikan dengan Spesifik, Measure,
Archievable, Rasional, Time (SMART) selanjutnya akan diuraikan rencana
keperawatan dari diagniosa yang ditegakkan (Nursalam,2011)
Tujuan yang dilakukan penulis adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 5 jam diharapkan klien dapat mempertahankan BB ideal tanpa kelebihan
cairan dengan kriteria hasil : Menunjukkan BB Ideal, Mempertahankan pembatasan
cairan yang lambat, Menunjukkan turgor kulit normal tanpa oedema. Dengan
ditegakkan diagnosa keperawatan Kelebihan volume cairan berhubungan dengan
retensi cairan dan natrium, penurunan pengeluaran urine, berdasarkan NIC ( Nursing
Intervention Classification ) maka penulis merencanakan tindakan keperawatan
dengan : Kaji status cairan (timbang BB harian,observasi turgor kulit dan edema,
TD,RR,N,S), Batasi masukan cairan, Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional
dalam pembatasan cairan, Kolaborasi dalam pemberian obat dan HD. Intervensi pada
72
diagnose lainnya sesuai dengan rencana keperawatan yang dimuat dalam kasus
tersebut dan terlampir.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan yaitu
kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang
dilakukan dan diselesaikan. Dalam teori implementasi dari rencana asuhan
keperawatan mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan
(Potter dan Perry,2005).
E. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan hasil evaluasi terhadap tindakan
dengan diagnosa keperawatan Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan
retensi cairan dan natrium, penurunan pengeluaran urine dengan
menggunakan metode SOAP (Subyektif, Obyektif, Asassment, Planning)
dengan hasil data subyektif pasien mengatakan badan lemas, dan hasil data
73
obyektif menunjukkan bahwa klien terlihat lemas, BBK : 68 kg, BB Pre HD :
71 kg, BB post HD :68,2 kg, Turgor kulit elastis, warna kulit kehitaman,
refleks hepatojungular positif, kaki edema, perut acites, gangguan tekanan
darah, klien mengerti penjelasan perawat. Hasil analisis masalah kelebihan
volume cairan belum teratasi. Intervensi dilanjutkan. mengkaji status cairan
(menimbang BB harian, turgor kulit, edema, TD, N, RR,S), membatasi
masukan cairan, menjelaskan pada pasien dan keluarga rasional dalam
pembatasan cairan, berkolaborasi dalam pemberian obat (Eprex 2000 UI), dan
HD.
74
BAB V
PENUTUP
A.Simpulan
Berdasarkan data diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan yaitu sebagai
berikut
75
pembatasan cairan, Melakukan kolaborasi dalam pemberian obat HD (Eprex
2000 UI).
B.Saran
76
77
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta:
EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2006). Medical Surgical Nursing: Clinical Management
for Positive Outcomes. 8th Edition. Philadelpia: WB. Saunders Company
Brunner and Suddarth. (2008). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8,
Volume 1. Jakarta: EGC
Daugirdas, J.T., Blake, P.G. & Ing, T.S. (2007). Handbook of dialysis. 4th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Morhead, S., Jhonson, M., Maas, M.L., Swanson, E. (2004). Nursing Outcomes
Classification (NOC). 5th Edition. St Louis, Missouri: Mosby.
Pernefri. (2006), Konsensus dialisis. Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian Ilmu
Penyakit dalam.. Jakarta: FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses penyakit.
Volume 2. Jakarta: EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata,M. & Setiati, S. (2009). Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II, Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing