Metode Konversi
Metode Konversi
Metode Konversi
INFORMASI DI DALAM PERUSAHAAN Dosen : Dr. Ir. Arif Imam Suroso, MSc Disusun
Oleh : Desi Maryanti (E47) P PROGRAM PASCA SARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR Februari 2014
2 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Proses Konversi Sistem Informasi di Dalam Perusahaan sebagai tugas mata kuliah
sistem informasi menajemen (SIM) pada program pasca sarjana manajemen dan bisnis, Institut
Pertanian Bogor. Melalui pelaksanaan tugas ini, penulis bisa memahami bahwa metode konversi
yang digunakan dapat mempengaruhi kegagalan atau keberhasilan implementasi suatu sistem
informasi di dalam suatu perusahaan. Dengan landasan pengetahuan tersebut diharapkan, ilmu
yang diperoleh dari kegiatan perkuliahan ini tidak hanya sekedar menjadi prasyarat untuk
menyelesaikan jenjang pendidikan pada program pasca sarjana MB IPB saja, namun dapat
menjadi bekal yang berharga bagi jenjang karir penulis selanjutnya. Penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, terutama kepada Bapak Dr. Ir. Arif Imam Suroso, M.Sc selaku dosen mata kuliah
Sistem Informasi Manajemen atas segala bimbingan dan arahannya dalam perkuliahan. Tidak
ada gading yang tak retak, tidak ada karya manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik
Allah SWT semata. Penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan untuk
berkarya dengan lebih baik. Terakhir, penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Bogor, Februari 2014 Penulis
3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan sistem informasi di dalam suatu
organisasi mutlak dilakukan untuk meningkatkan daya saingnya di lingkungan bisnis yang sangat
dinamis dewasa ini. Kemampuan sistem informasi untuk meningkatkan proses bisnis yang
berjalan telah disadari sepenuhnya oleh para pengambil keputusan di dalam organisasi, sehingga
mereka berani untuk melakukan investasi pada proyek-proyek TI (teknologi informasi). Namun
sayangnya implementasi sistem informasi tersebut tidak selalu berjalan sesuai harapan meskipun
perusahaan telah mengeluarkan dana investasi yang sangat besar. Beynon-Davies dan Lloyd-
Williams menyatakan bahwa 60% hingga 70% software sistem TI gagal beroperasi (dalam
Chowdhury et. al, 2007). Pada penelitian yang lain Conference Board Survey melaporkan bahwa
40% proyek TI gagal untuk mencapai tujuannya dalam 1 tahun pertama sesudah implementasi
(IT Cortex dalam Chowdhury et. al, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa sistem informasi
berbasis teknologi tidak selalu berjalan efektif dan bermanfaat bagi perusahaan/organisasi yang
menggunakannya. Kegagalan tersebut tidak bisa sepenuhnya ditimpakan pada sistem
informasinya semata-mata, karena banyak sekali faktor yang berpengaruh pada keberhasilan atau
kegagalan implementasi sistem TI. Dengan demikian top executive perusahaan harus memahami
benar apa sistem TI yang dibutuhkan, bagaimana mengkomunikasikan kebutuhan tersebut
kepada pengembang sistem dan merencanakan dengan baik proses konversi sistem TI ke dalam
sistem yang telah berjalan di perusahaan. Hal ini diperlukan agar investasi yang telah ditanamkan
ke dalam sistem TI tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas operasional perusahaan. Setelah sistem TI selesai dibuat maka perusahaan harus
melalui proses yang cukup kritis di dalam implementasi sistem TI, yaitu konversi sistem TI yang
lama ke sistem yang baru. Murdick et. al. (1984) menyatakan dalam bentuk kurva kumulatif
bahwa proses implementasi sistem TI membutuhkan biaya yang paling tinggi dibandingkan
proses perencanaan dan perancangan sistemnya itu sendiri.
4 Oleh karena itu, perlu dibuat perencanaan yang matang sebelumnya tentang bagaimana
konversi sistem yang akan dilakukan oleh perusahaan, sehingga proses implementasi sistem
informasi yang baru dapat berlangsung mulus tanpa mengganggu aktivitas operasional yang
berjalan di dalam perusahaan Tujuan Makalah ini bertujuan untuk : 1. Memahami proses
konversi sistem informasi di dalam perusahaan 2. Menganalisa proses konversi sistem informasi
berdasarkan real case di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan Ferens Primary Care Trust
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Manajemen Saat ini manusia sebagai
pengguna informasi sangat bergantung pada berbagai sistem informasi yang tersedia mulai dari
sistem informasi manual yang sederhana hingga sistem informasi berbasis komputer yang rumit
dan menggunakan saluran telekomunikasi canggih. Di dalam organisasi, apapun jenis dan
bentuknya, sistem informasi bahkan telah memainkan peran penting dalam mendukung kegiatan
operasional, mendukung pengambilan keputusan hingga mendukung organisasi mencapai
keunggulan kompetitif yang strategis. a. Sistem Sistem adalah kelompok elemen yang saling
berhubungan dan saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu melalui sebuah proses yang
terorganisasi. Menurut O brien (2005), setiap sistem setidaknya terdiri dari tiga komponen atau
fungsi dasar yang saling berinteraksi, yaitu : 1. Masukan (input) meliputi kegiatan penangkapan
(capturing) dan pengumpulan (assembling) elemen yang akan dimasukkan ke dalam sistem
untuk diproses. Masukan dapat dibedakan menjadi maintenance input yang memungkinkan
sistem dapat beroperasi dan signal input yang nantinya akan diolah menjadi produk. Contohnya,
bahan baku, data, dan energi. 2. Pemrosesan (processing) meliputi proses pengubahan masukan
menjadi keluaran. Contohnya, proses pembuatan mobil. 3. Keluaran (output) meliputi proses
pemindahan elemen yang telah melewati tahap pemrosesan ke tujuan akhir yang ditetapkan.
Keluaran dari sebuah sistem selalu berupa keluaran yang berguna dan sisa pembuangan. b.
Sistem Informasi Sistem informasi dapat merupakan kombinasi teratur apapun dari orangorang,
hardware, software, jaringan komunikasi, dan sumber daya data yang mengumpulkan,
mengubah, dan menyebarkan informasi dalam sebuah organisasi (O Brien, 2005). Komponen
sistem informasi tersebut secara lebih jelas ditunjukkan pada Gambar 1.
6 Gambar 1. Komponen Sistem Informasi Menurut O Brien (2005), terdapat 3 peran utama
sistem informasi dalam bisnis yaitu : Mendukung proses bisnis dan operasional Mendukung
pengambilan keputusan Mendukung strategi untuk keunggulan kompetitif Gambar 2. Tiga Peran
Utama Sistem Informasi Mengembangkan solusi sistem informasi yang berhasil baik mengatasi
masalah bisnis adalah tantangan utama untuk para manajer dan praktisi bisnis saat ini. Sebagai
seorang praktisi bisnis bertanggungjawab untuk mengajukan atau mengembangkan teknologi
informasi baru atau meningkatkannya bagi perusahaan. Adapun untuk seorang manajer
bertanggungjawab untuk mengelola usaha pengembangan yang dilakukan para spesialis sistem
informasi dan para pemakai akhir bisnis. Mengembangkan solusi sistem informasi untuk
mengatasi masalah bisnis dapat diimplementasikan dan dikelola sebagai beberapa proses
bertahap atau beberapa siklus seperti ditunjukkan pada Gambar 3 di bawah ini (O Brien, 2005).
7 Gambar 3. Siklus Pengembangan Sistem Informasi Namun demikian, ada berberapa faktor
yang perlu dipertimbangkan pada perencanaan dan pengembangan suatu sistem informasi,
diantaranya adalah : 1) Lingkungan dimana organisasi harus melakukan fungsi 2) Struktur
organisasi, Hirarki, spesialisasi, standart prosedur operasi 3) Budaya dan politik organisasi 4)
Tipe organisasi 5) Kemampuan mendukung dan memahami top manajemen 6) Level organisasi
dimana sistem diadakan 7) Kelompok kepentingan utama yang dipengaruhi sistem 8) Jenis tugas
dan keputusan dalam mana sistem informasi didesain 9) Sentimen dan sikap karyawan dalam
organisasi yang akan menggunakan sistem informasi 10) Riwayat organisasi; berkaitan dengan
investasi dalam bidang teknologi informasi yang telah dilakukan, skill yang dimiliki, program-
program penting, dan sumber daya manusia.
8 2.3 Pengembangan Sistem Pengembangan sistem dilakukan secara terus menerus karena
beberapa hal yaitu : adanya perubahan yang tidak bisa dihindari (misal perkembangan
perusahaan, perkembangan lingkungan, adanya pesaing baru, adanya peraturan pemerintah baru)
adanya perubahan manajemen baru yang meminta informasi lebih banyak adanya perkembangan
teknologi informasi Menurut O Brien dan Markas (2006) siklus pengembangan sistem atau
System Development life Cycle (SDLC) terdiri dari lima tahapan yaitu : 1) Sistem Investigasi
Tahap ini meliputi pertimbangan dari usulan yang dihasilkan oleh proses perencanaan IT/bisnis.
Tahap investigasi juga meliputi pembelajaran awal dari solusi sistem informasi yang diusulkan
untuk menemukan prioritas dan kesempatan bisnis sebuah perusahaan yang diidentifikasi dalam
proses perencanaan. 2) Sistem Analisis Sistem analisis menggambarkan apa yang harus
dilakukan sistem untuk menemukan informasi yang dibutuhkan oleh pemakai. Pembelajaran
sistem analisis pada umumnya meliputi: o Informasi yang dibutuhkan oleh perusahaan dan
pemakai akhir o Aktivitas, sumber daya, dan produk dari satu atau lebih sistem informassi yang
digunakan saat ini o Kemampuan sistem informasi yang dibutuhkan untuk menemukan informasi
yang diperlukan dan pemegang saham bisnis lainnnya yang menggunakan sistem 3) Sistem
Perancangan Sistem perancangan menjelaskan bagaimana sistem akan menyelesaikan tujuan ini.
Sistem perancangan terdiri aktivitas perancangan (hardware, software, people, network, dan data
resources) yang menghasilkan spesifikasi sistem yang memenuhi kebutuhan fungsional yang
dikembangkan dalam proses sistem.
9 4) Sistem Impelementasi Ketika sistem informasi yang baru telah selesai dirancang, maka
harus diterapkan dan dipelihara agar dapat beroperasi dengan baik. Tahap ini meliputi pengujian
sistem, pelatihan user untuk mengoperassikan sistem barum mengubah sistem lama ke sistem
bisnis yang batu, dan mengatur akibat dari perubahan sistem pada pemakai akhir. Impelementasi
adalah tahap penting dalam pengembangan teknologi informasi untuk mendukung karyawan,
pelanggan, dan pemegang saham perusahaan bisnis lainnya. Implementasi merupakan proses
yang sulit dan memakan waktu. Bagaimanapun tahap ini penting dalam memastikan kesusksesan
dari pengembangan sistem yang baru, bahkan sistem yang dirancang dengan baik sekalipun
dapat gagal jika tidak diterapkan dengan baik. 5) Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan
meliputi pengawasan, evaluasi dan modifikasi sistem operasional bisni untuk membuat
peningkatan sesuai dengan yang dibutuhkan. Pemeliharaan juga penting bagi masalah lain yang
timbul selama pengoperasian sistem. Aktivitas pemeliharaan meliputi proses peninjauan sesudah
tahap implementasi untuk memastikan bahwa sistem baru yang diimplementasikan memenuhi
tujuan bisnis yang dibangun. Pemeliharaan juga meliputi pembauatan modifikasi untuk
membangun sistem selama perubahan dalam lingkungan bisnis. Gambar 4 System Development
Life Cycle
10 2.2 Konversi Sistem Informasi Konversi sistem merupakan tahapan yang digunakan untuk
mengoperasikan sistem baru dalam rangka menggantikan sistem yang lama atau proses
pengubahan dari sistem lama ke sistem baru. Proses ini umum terjadi di semua organisasi yang
mengaplikasikan sistem informasi di dalam fungsi bisnisnya. Derajat kesulitan dan kompleksitas
dalam pengkonversian dari sistem lama ke sistem baru tergantung pada sejumlah faktor. Dari sisi
teknologi informasi, proses konversi dapat melibatkan perubahan pada hardware, operating
system (OS), sistem pengelolaan database (database management system) maupun database-nya
itu sendiri (Mallach, 2009). Sedangkan dari sisi sumber daya manusia (SDM), konversi sistem TI
akan mengubah prosedur (SOP) yang harus dijalankan oleh operator sistem (end user).
Pengelolaan proses konversi yang efektif merupakan hal yang sangat vital bagi kesuksesan
implementasi sistem TI pada jangka panjang. Memilih strategi konversi yang tepat bukan hal
yang mudah, karena proses tersebut akan mempengaruhi empat komponen TI sebagaimana
halnya dengan SDM dan prosedur aplikasi sistem TI secara keseluruhan. Metode untuk
mengkorversi sistem informasi Menurut literatur, termasuk text book standar seperti Baltzan &
Phillips dan Stair & Reynolds (dalam Mallach, 2009), ada empat metode yang dapat digunakan
dalam proses konversi sistem informasi : 1. Konversi Langsung (Direct Cutover) Konversi ini
dilakukan dengan cara menghentikan sistem lama dan menggantikannya dengan sistem baru
sesegera mungkin. Cara ini merupakan metode konversi yang paling beresiko, namun relatif
lebih murah. Konversi langsung adalah pengimplementasian sistem baru dan pemutusan
jembatan sistem lama, yang kadang-kadang disebut pendekatan cold turkey. Apabila konversi
telah dilakukan maka tak ada cara untuk balik ke sistem lama. Pendekatan atau cara konversi ini
akan bermanfaat apabila : Sistem tersebut tidak mengganti sistem lain Sistem yang lama
sepenuhnya tidak bernilai Sistem yang baru bersifat kecil atau sederhana atau keduanya
11 Rancangan sistem baru sangat berbeda dari sistem lama dan perbandingan antara sistem-
sistem tersebut tidak berarti Apabila konversi langsung akan digunakan, maka aktivitas-aktivitas
pengujian dan pelatihan akan sangat diperlukan agar sistem informasi yang baru dapat
diimplementasikan secara optimal. 2. Konversi Pilot (Pilot Conversion) Pendekatan ini dilakukan
dengan cara menerapkan sistem baru pada satu bagian tertentu, sedangkan sisanya tetap
menggunakan sistem yang lama. Jika konversi ini dianggap berhasil maka akan diperluas ke
tempat-tempat yang lain. Metode ini dilakukan untuk melokalisasi masalah terbatas pada bagian
yang dipilih sebagai pilot/pelopor saja, sehingga resikonya dapat lebih rendah dibandingkan
direct conversion. Segala kesalahan dapat dilokalisir dan dikoreksi sebelum dilakukan
implementasi yang lebih jauh. Metode pilot sangat cocok untuk digunakan apabila sistem baru
yang dikembangkan melibatkan prosedur baru dan perubahan yang drastis dalam hal perangkat
lunaknya. Selain berfungsi sebagai tempat pengujian, sistem pilot juga digunakan untuk melatih
pemakai seluruh organisasi dalam menghadapi lingkungan live sebelum sistem tersebut
diimplementasikan di lokasi mereka sendiri. 3. Konversi Bertahap (Phased Conversion) Konversi
dilakukan dengan menggantikan suatu bagian dari sistem lama dengan sistem baru. Jika terjadi
sesuatu, bagian yang baru tersebut akan diganti kembali dengan yang lama. Jika tidak terjadi
masalah, modul-modul baru akan dipasangkan lagi untuk mengganti modul-modul lama yang
lain. Dengan pendekatan seperti ini, akhirnya semua sistem lama akan tergantikan oleh sistem
baru. Cara seperti ini lebih aman daripada konversi langsung. Dengan metode konversi Phased
sistem baru diimplementasikan beberapa kali, sedikit demi sedikit mengganti yang lama. Metode
ini mampu menghindarkan resiko yang ditimbulkan oleh konversi langsung dan memberikan
waktu yang banyak kepada pemakai untuk mengasimilasi perubahan. Selain itu kecepatan
perubahan dalam organisasi tertentu bisa diminimalisir dan sumber-sumber pemrosesan data
dapat diperoleh sedikit demi sedikit selama periode waktu
12 yang lebih luas. Namun sayangnya metode ini memerlukan biaya lebih untuk
mengembangkan interface sementara dengan sistem lama dan daya terapnya terbatas. 4.
Konversi Paralel (Parallel Conversion) Pada konversi ini, sistem baru dan sistem lama sama-
sama dijalankan. Setelah melalui masa tertentu, jika sistem baru telah bisa diterima untuk
menggantikan sistem lama, maka sistem lama segera dihentikan. Cara seperti ini merupakan
pendekatan yang paling aman namun merupakan cara yang paling mahal karena pemakai harus
menjalankan dua sistem sekaligus. Konversi paralel adalah suatu pendekatan dimana sistem lama
dan sistem baru beroperasi secara serentak untuk beberapa periode waktu. Dalam mode konversi
paralel, output yang dihasilkan dari masing-masing sistem dibandingkan, dan perbedaannya
direkonsiliasi. Konversi ini mempunyai kelebihan dalam hal tingkat proteksi yang tinggi kepada
organisasi dari kegagalan sistem yang baru. Namun perlu biaya yang besar untuk menduplikasi
fasilitas-fasilitas dan biaya personal yang memelihara sistem rangkap tersebut. Ketika proses
konversi suatu sistem baru melibatkan operasi paralel, maka orang-orang pengembangan sistem
harus merencanakan untuk melakukan peninjauan berskala dengan personal operasi dan pemakai
untuk mengetahui kinerja sistem tersebut. Mereka harus menentukan tanggal atau waktu
penerimaan dalam tempo yang wajar dan memutus sistem lama. Gambar 5 berikut ini
menyajikan representasi grafik metode konversi yang dapat dipilih oleh perusahaan untuk
mengimplementasikan sistem informasi yang baru. Direct Conversion Parallel Conversion
Phased Conversion Pilot Conversion Gambar 5. Metode Konversi Sistem Informasi Untuk
mengurangi resiko kegagalan dalam proses konversi sistem TI, Palvia et. al. (dalam Mallach,
2009) mengenalkan metode kombinasi dari metode-metode
14 Metode Untuk Mengkonversi File Data Keberhasilan konversi sistem sangat tergantung pada
seberapa jauh profesional sistem menyiapkan penciptaan dan pengkonversian file data yang
diperlukan untuk sistem baru. Dengan mengkorversi suatu file, maksudnya adalah bahwa file
yang telah ada {existing) harus dimodifikasi setidaknya dalam : Format file tersebut Isi file
tersebut Media penyimpanan dimana file ditempatkan dalam suatu konversi sistem,
kemungkinan beberapa file bisa mengalami ketiga aspek konversi tersebut secara serentak. Ada
dua metode dasar yang bisa digunakan untuk menjalankan konversi file : Konversi File Total
dapat digunakan bersama dengan semua metode konversi file sistem di atas. Konversi File
Gradual (sedikit demi sedikit) terutama digunakan dengan metode paralel dan phase-in. Dalam
beberapa contoh, ia akan bekerja untuk metode pilot. Umumnya konversi file gradual tidak bisa
diterapkan untuk konversi sistem langsung. 1. Konversi File Total Jika file sistem baru dan file
sistem lama berada pada media yang bias dibaca komputer, maka bisa dituliskan program
sederhana untuk mengkonversi file dari format lama ke format baru. Umumnya pengkonversian
dari satu sistem komputer ke sistem yang lain akan melibatkan tugas-tugas yang tidak bisa
dikerjakan secara otomatis. Rancangan file baru hampir selalu mempunyai fieldfield record
tambahan, struktur pengkodean baru, dan cara baru perelasian itemitem data (misalnya, file-file
relasional). Seringkali, selama konversi file, kita perlu mengkonstruksi prosedur kendali yang
rinci untuk memastikan integritas data yang bisa digunakan setelah konversi itu. Dengan
menggunakan klasifikasi file berikut, perlu diperhatikan jenis prosedur kendali yang digunakan
selama konversi : File Master. Ini adalah file utama dalam database. Biasanya paling sedikit satu
file master diciptakan atau dikonversi dalam setiap konversi sistem.
15 File Transaksi. File ini selalu diciptakan dengan memproses suatu subsistem individual di
dalam sistem informasi. Akibatnya, ia harus dicek secara seksama selama pengujian sistem
informasi. File Indeks. File ini berisi kunci atau alamat yang menghubungkan berbagai file
master. File indeks baru harus diciptakan kapan saja file master yang berhubungan dengannya
mengalami konversi. File Tabel. File ini dapat juga diciptakan dan dikonversi selama konversi
sistem. File tabel bisa juga diciptakan untuk mendukung pengujian perangkat lunak. File
Backup. Kegunaan file backup adalah untuk memberikan keamanan bagi database apabila terjadi
kesalahan pemrosesan atau kerusakan dalam pusat data. Oleh karenanya, ketika suatu file
dikonversi atau diciptakan, file backup harus diciptakan. 2. Konversi File Gradual Beberapa
perusahaan mengkonversi file-file data mereka secara gradual (sedikit demi sedikit). Record-
record akan dikonversi hanya ketika mereka menunjukkan beberapa aktivitas transaksi. Record-
record lama yang tidak menunjukkan aktivitas tidak pernah dikonversi. Metode ini bekerja
dengan cara berikut: 1. Suatu transaksi diterima dan dimasukkan ke dalam sistem. 2. Program
mencari file master baru (misalnya file inventarisasi atau file account receivable) untuk record
yang tepat yang akan di update oleh transaksi itu. Jika record tersebut telah siap dikonversi,
berarti peng-updatean record telah selesai. 3. Jika record tersebut tidak ditemukan dalam file
master baru, file master lama diakses untuk record yang tepat, dan ditambahkan ke file master
baru dan di update. 4. Jika transaksi tersebut adalah record baru, yakni record yang tidak
dijumpai pada file lama maupun file baru (misalnya, pelanggan baru), maka record baru
disiapkan dan ditambahkan ke file master baru.
16 2.3 Edukasi dan Pelatihan bagi para End-User dan Spesialis Training atau pelatihan
merupakan aktivitas implementasi yang sangat vital. Sebagai contoh, IS merupakan user
consultant, yang harus memastikan bahwa para end-user harus telah terlatih untuk
mengoperasikan sistem yang baru, jika tidak, implementasi akan menjadi gagal. Pelatihan
terkadang hanya melingkupi aktivitas seperti data entry, atau terkadang juga melingkupi segala
aspek dari pengoperasian sistem baru. Sebagai tambahan, para manajer dan end-user harus
dididik bagaimana mengetahui efek dari pengimplementasian sistem baru bagi kegiatan operasi
dan manajemen bisnis perusahaan. Pengetahuan ini harus diimplementasikan dari program
training untuk semua hardware baru, software, dan kegunaannya untuk pekerjaan yang lebih
spesifik.
17 BAB III. PEMBAHASAN Proses konversi sistem informasi yang dilakukan oleh perusahaan
diketahui tidak selalu berjalan dengan mulus. Kegagalan tersebut dapat diakibatkan oleh banyak
faktor, baik faktor teknis maupun karena human error. Berikut ini disampaikan dua kasus
kegagalan implementasi sistem informasi yang berkaitan dengan proses konversi sistem lama ke
sistem baru. 1. Kasus Direct Conversion di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Aplikasi
integrated operational control system (IOCS) di maskapai penerbangan Garuda Indonesia adalah
salah satu proses konversi sistem informasi yang menggunakan metode direct coversion. Sistem
tersebut merupakan gabungan dari beberapa sistem operasional Garuda seperti jadwal
penerbangan, pengaturan jadwal kru pesawat yang bertugas, pergerakan pesawat dan lain lain.
Sebagaimana diketahui, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk adalah perusahaan yang bergerak di
bidang transportasi udara komersial untuk penumpang yang menangani rute penerbangan
nasional dan internasional. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menerbangkan armadanya ke 31
tujuan domestik dan 19 tujuan internasional. Saat ini, PT Garuda Indonesia memiliki 49 branch
office dengan total karyawan sekitar 5500 orang. Selain itu PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
juga memiliki 3 SBU yaitu Citilink, usaha Cargo dan GSM, serta 4 anak perusahaan
(Aerowisata, Asyst, GMF, Abacus) yang saling berkoordinasi untuk meningkatkan performa
perusahaan. Sebelum menerapkan sistem IOCS, Garuda telah berhasil mengaplikasikan sistem
online ticketing yang memudahkan customer untuk mendapatkan tiket penerbangan dengan
maskapai tersebut. Sistem IOCS diharapkan dapat memberikan pemecahan masalah terhadap
kebutuhan operasional perusahaan dan meningkatkan efektivitas pelayanan maskapai Garuda
Indonesia kepada pelanggan-pelanggannya. Namun yang terjadi sebaliknya, ada kegagalan
dalam implementasi sistem sehingga menimbulkan permasalahan yang cukup serius bagi
perusahaan. Untuk menerapkan sistem IOCS PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengeluarkan
dana investasi sebesar US$ 1.5 juta. Salah satu akibat yang terjadi karena kegagalan
implementasi sistem informasi tersebut adalah kacaunya jadwal
18 kru pesawat dan jadwal pilot yang bertugas. Penyebab kegagalan tersebut diindikasi karena
adanya ketidaksinkronan data dalam proses migrasi dari sistem lama ke sistem baru, sehingga
mengakibatkan jadwal awak kabin menjadi kacau. Artinya kegagalan yang terjadi itu
penyebabnya adalah human error, yaitu kesalahan dari SDM yang menggunakan aplikasi
tersebut. Hal ini dimungkinkan apabila proses pelatihan/training tidak berjalan secara optimal.
Dengan kegagalan tersebut PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk harus mengeluarkan tambahan
dana sebesar Rp 220 juta rupiah sebagai kompensasi kerugian kepada penumpang dan budget
iklan permohonan maaf di media-media nasional. Masalah tersebut di atas bisa disebabkan oleh
dua hal. Yang pertama, karena sistem baru belum cukup siap atau sempurna untuk
diimplementasikan menggantikan sistem yang lama. Yang kedua, kurangnya perencanaan yang
matang dalam proses migrasi/transisi sistem lama ke sistem baru. Dalam proses transisi Garuda
seharusnya mempertimbangkan beberapa aspek dimana selain testing sistem secara seksama,
proses migrasi/transisi dari sistem lama ke sistem baru juga juga harus diperhatikan karena
merupakan titik kritis dalam implementasi suatu sistem informasi. Metode direct conversion
yang dipilih oleh Garuda untuk mengimplementasikan sistem IOCS tersebut memang dinilai
mudah dan tidak membutuhkan biaya yang besar, karena sistem lama diberhentikan sama sekali
dan langsung digantikan sistem baru. Namun metode ini memiliki kelemahan yaitu hanya baik
dilakukan untuk sistem yang kecil dan tidak kompleks, sedangkan kita tahu sistem penerbangan
seperti Garuda Indonesia merupakan sebuah sistem informasi penerbangan yang sangatlah
kompleks dan besar, tentunya konversi secara langsung memberikan celah kegagalan sistem
yang besar dan tidak ada backup system sehingga jika terjadi masalah tidak dapat diatasi dengan
segera. Seharusnya Garuda Indonesia melakukan proses transisisi dengan menggunakan konversi
bertahap (phased conversion) yang dinilai lebih aman walaupun membutuhkan biaya lebih besar
dan proses transisi yang tidak mudah. Namun jika metode tersebut memberikan jaminan
keamanan terhadap proses transaksi yang sedang berjalan, hal ini dinilai sepadan. Seharusnya
perusahaan penerbangan sekelas garuda tidak melakukan direct cut over dalam proses
19 perubahan sistem lama ke sistem baru, karena resiko kegagalan sistem akan berdampak
sistemik pada semua sistem yang telah berjalan sebelumnya. Selain metode konversi, perusahaan
juga harus memperhatikan perangkat pendukung sistem informasi yang digunakan. Sebaiknya
Garuda menggunakan distributed system sehingga akan memiliki fasilitas bakc up dan fail over.
Dengan demikian jika ada salah satu server down maka sistem akan tetap berjalan karena sistem
tidak bersifat terpusat. Tentunya Garuda Indonesia juga harus mulai mengadopsi sistem
informasi semacam ini untuk menunjang kelancaran operasionalnya. Dukungan lainnya adalah
jaringan yang kuat dan secure, Garuda seharusnya dapat mengandalkan sistem VPN network
sebagai koneksi yang menghubungkan antar branch ke sistem pusat, selain terpisah, jaringan
VPN juga terenkripsi sehingga aman untuk lalu-lintas data. Dengan dukungan sistem informasi
yang handal, proses migrasi dan transisi sistem yang aman serta dukungan infrastruktur yang
baik, tentunya kegagalan sistem akan dapat diminimalisasi sehingga operasional perusahaan
dapat tetap berjalan tanpa gangguan yang berarti. 2. Kasus Pilot Conversion di Ferens Primary
Care Trust Kegagalan implementasi sistem informasi lainnya terjadi pada kasus Ferens Primary
Care Trust (PCT) yang dilaporkan oleh Chowdhury et. al. (2007). PCT adalah salah satu
organisasi yang memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Inggris Utara. Mereka
bermaksud untuk membangun sistem layanan kesehatan multi bahasa karena daerah tersebut
dihuni oleh banyak etnis yang terdiri dari etnis Arab, Bengali, Cina, Inggris, Gujarat, Somali dan
Urdu. Tujuannya adalah : 1. Memberikan kesetaraan layanan pada seluruh etnis yang ada di
dalam masyarakat. Keterbatasan dalam kemampuan berbahasa Inggris menyebabkan kesulitan
bagi tenaga medis di PCT untuk mengetahui kebutuhan pasien-pasien yang berasal dari etnis
lain. Hal ini mau tidak mau akan berimplikasi pada kualitas pelayanan kepada mereka. 2.
Menyediakan informasi kesehatan dalam berbagai bahasa yang berkaitan dengan isu kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat
21 Sistem yang sangat canggih ini memungkinkan konversi tampilan leaflet lama (paper based)
menjadi lebih menarik dengan kreasi diagram-diagram yang ditunjukkan di dalam monitor
(paperless based). Sistem tersebut juga memiliki fasilitas auto-remind sehingga statistik
penggunaan dapat terecord dan termonitor. Biaya yang diinvestasikan untuk membangun pilot
project tersebut adalah 32, (atau kira-kira $60,647.07), sudah termasuk dengan training staf.
Sistem tersebut dinamakan the Patient Information Centre (PIC). Seharusnya PIC diinstal di
bulan Januari 2005, namun baru bulan April 2005 sistem tersebut dapat digunakan di Ferens
PCT. Keterlambatan tersebut diclaim karena keterbatasan pada provider internet service lokal.
Mereka baru kali itu mengembangkan sistem informasi spesifik semacam PIC. Alasan lainnya
berkaitan dengan aturan Komputer Kesehatan yang berlaku di daerah tersebut. Seluruh SDM dari
lintas departemen di Ferens PCT diundang untuk mengikuti pelatihan agar dapat
mengimplementasikan sistem yang baru dalam aktivitas pekerjaan mereka. Pelatihan dilakukan
dua kali, yaitu di bulan Mei dan Juli Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat melakukan
kegiatannya secara terintegrasi dengan kegiatan dari departemen lainnya. Namun pada
prakteknya, keinginan tersebut terbukti tidak dapat terealisasi. Para staf tetap saja menggunakan
sistem yang lama dalam mengerjakan tugas-tugas mereka. Sistem yang baru dianggap
merupakan sistem mandiri yang terlepas dari sistem sebelumnya yang biasa mereka gunakan.
Jadi meskipun respon dari pasien-pasien sangat baik, namun secara keseluruhan sistem PIC ini
gagal mencapai tujuannya. Pada akhir bulan Desember 2005, program PIC pilot ini dievaluasi.
PIC secara statistik telah digunakan oleh hampir 5000 pengguna dan sebagian besar dari mereka
merasa puas dengan sistem tersebut, sehingga Poli Umum merekomendasikan untuk
menggunakan sistem tersebut secara keseluruhan. PIC populer diantara pengguna dan
profesional sebagai mekanisme yang modern, aman dan dapat diandalkan sebagai penyedia
informasi bagi pasien dengan mempertimbangkan kesetaraan bagi seluruh etnis yang
menggunakannya. Meskipun hasilnya cukup positif, namun proposal pengembangan sistem PIC
untuk seluruh Poli yang ada di Ferens PCT ditolak PEC (Professional Executive Committee),
sebagai pembuat kebijakan dalam organisasi pelayanan
22 kesehatan daerah. Mereka mengclaim bahwa sistem PIC tidak berhasil mencapai tujuan yang
mereka harapkan, selain itu PEC juga tidak memiliki dana untuk mengembangkan sistem
tersebut di Ferens PCT. Meskipun claim tersebut tidak dapat dibuktikan namun pihak
pengembang tidak mampu mendesak lebih jauh, sehingga proyek PIC secara keseluruhan
dianggap gagal total. Berdasarkan dua kasus di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pengalihan sistem informasi dari sistem yang lama ke sistem yang baru dapat tidak selalu
berjalan lancar. Hal itu dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini : 1. Ketidaksiapan SDM
untuk mengaplikasikan sistem yang baru. 2. Kesalahan prosedur dalam melaksanakan sistem
yang baru, sehingga keberadaan sistem baru tersebut justru mempersulit kinerja yang sudah ada.
3. Kurangnya perencanaan dalam aplikasi sistem informasi 4. Tidak ada komunikasi yang baik
diantara vendor sebagai penyedia IT dengan perusahaan sebagai pengguna, sehingga sistem baru
yang dikembangkan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan penggunanya 5. Perusahaan
memandang perubahan teknologi merupakan hal yang harus dilakukan agar perusahaan tidak
ketinggalan zaman. Namun sebenarnya perusahaan tidak memiliki dana yang memadai untuk
membiayainya 6. Level kematangan perusahaan terhadap TI masih rendah 7. Dengan adanya
perubahan dari sistem lama ke sistem baru maka karyawan akan menghadapi masa transisi yaitu
keharusan menjalani adaptasi yang dapat berupa adaptasi teknikal (skill, kompetensi, proses
kerja), kultural (perilaku, mind set, komitmen) dan politikal (munculnya isu efisiensi
karyawan/phk, sponsorship/dukungan top management). Dengan adanya ketiga hal ini maka
akan terjadi saling tuding di dalam organisasi pada saat sistem TI tersebut gagal
diimplementasikan, dimana manajemen puncak menyalahkan bawahan yang bertanggung jawab,
konsultan, vendor bahkan terkadang peranti TI itu sendiri. Kegagalan dalam konversi sistem
lama ke sistem baru terbukti dapat mengakibatkan kerugian yang cukup signifikan bagi
perusahaan. Oleh karena itu seluruh komponen yang terlibat di dalam pengembangan sistem
harus mempersiapkan perencanaan yang matang menyangkut keseluruhan proses
23 implementasi sistem informasi tersebut. Selain itu, diperlukan juga komitmen bersama bagi
seluruh karyawan untuk mengaplikasikan sistem yang baru di dalam tugas-tugas yang
dijalankannya, karena pada prinsipnya sistem informasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan
performa kinerja karyawan di seluruh departemen (di seluruh fungsi organisasi) pada khususnya
dan performa perusahaan pada umumnya. Dengan komitmen yang penuh dan bersungguh-
sungguh dari semua pihak yang terlibat, maka kegagalan implementasi sistem informasi di dalam
perusahaannya semestinya dapat dihindari.
24 BAB IV. KESIMPULAN Proses konversi sistem merupakan bagian yang cukup kritis dalam
implementasi sistem informasi di dalam perusahaan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal,
perusahaan harus menjalankan tahapan-tahapan yang benar di dalam proses implementasi
tersebut. Perusahaan dapat memilih metode konversi langsung, paralel, pilot ataupun bertahap
disesuaikan dengan kondisinya masing-masing. Perencanaan implementasi yang tidak matang
dan pemilihan metode konversi yang kurang tepat akan memperbesar peluang terjadinya
kegagalan sistem. Oleh karena itu perusahaan sebagai end user sebaiknya terlibat langsung
dalam pengembangan sistem informasi yang sesuai bagi institusinya. Selain dukungan
manajemen, proses implementasi sistem informasi yang baru juga membutuhkan dukungan dan
komitmen penuh dari seluruh karyawan yang akan menggunakan sistem tersebut dalam tugas-
tugasnya. Hal ini mutlak diperlukan karena pada proses konversi akan terjadi masa transisi
dimana mereka harus membiasakan diri untuk menggunakan sistem baru yang akan
menggantikan sistem yang lama. Kondisi tersebut pada umumnya menyebabkan
ketidaknyamanan bagi para karyawan, karena mereka dipaksa untuk mengubah metode yang
biasa digunakan. Oleh karena itu pihak manajemen harus memastikan seluruh karyawan
mendapatkan pelatihan yang memadai, artinya mereka mendapatkan cukup waktu dan
kesempatan untuk melakukan trial and error sebelum diharuskan menggunakan sistem tersebut di
dalam tugas-tugasnya. Jika seluruh tahapan yang diperlukan dalam implementasi sistem
informasi yang baru di perusahaan telah dilakukan dengan baik, maka diharapkan proses
konversi akan dapat berjalan dengan mulus tanpa mengganggu aktivitas operasional yang sedang
berjalan. Pada akhirnya, semua aktivitas pengembangan sistem membutuhkan evaluasi dan
dokumentasi yang lengkap. Keduanya diperlukan untuk mendeteksi potensi terjadinya kegagalan
sistem, penanggulangan error system secara cepat dan efektif dan pengulangan prosedur yang
telah berjalan baik. Hasil dari evaluasi dan dokumentasi dapat dijadikan sebagai bahan
penyusunan SOP aplikasi sistem yang baru sekaligus referensi untuk pengembangan sistem TI ke
25 depan. Selain itu, dokumentasi yang lengkap juga akan menghindarkan perusahaan dari
ketergantungan kepada pengembang sistem tertentu (yang digunakan pada saat ini), sehingga
mereka bisa mengembangkan sistem yang baru dengan pengembang lain apabila biaya yang
diminta terlalu mahal atau service yang diberikan kurang memuaskan. Pada akhirnya, penerapan
sistem informasi di dalam perusahaan harus mampu meningkatkan proses bisnis yang sudah ada
dengan cara meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi. Dengan demikian perusahaan
tersebut diharapkan memiliki daya saing yang tinggi dan mampu beradaptasi dengan perubahan
dinamika bisnis yang sangat cepat.
Sistem yang dikembangkan tidak atau kurang sesuai dengan keinginan user, karena proses
investigasi ,analisa design sistem yang dikembangkan kurang tajam.
Adanya perilaku yang cenderung menolak atau sulit menerima setiap perubahan dalam
organisasi perusahaan, khususnya yang sistem informasi baru yang memerlukan peningkatan
pengetahun dan keterampilan.
Adanya kekhawatiran dari karyawan perusahaan apabila sistem informasi baru (komputerisasi)
diimplementasikan akan terjadi ‘lay-off’ karyawan perusahaan. (pengurangan pegawai).
Tidak dibarengi dengan ‘business re-engineering process’, sehingga sistem komputerisasi kurang
memberikan dampak effisiensi dan efektivitas yang maksimal bagi perusahaan.
Perencanaan aktivitas implementasi tidak dipersiapkan secara comprehensive dan integrated
yang meliputi aktivitas :
d) System documentation
e) Conversion methode : pilot project, paralllel cut-over, phase-in cut over, direct cut over
(plunge).
Pada konversi sistem sering terjadi didalam pelaksanaanya tidak melihat seluruh aspek seperti
tersebut diatas, sehingga menimbulkan beberapa masalah, bahkan sering pula terjadi akhirnya
konversi gagal (balik ke sistem lama). Beberapa permasalahan yang umum terjadi biasanya
berupa :
Infrastruktur SI :
Tidak melihat adanya kebutuhan baru (baik hardware maupun software) didalam sistem baru,
seperti adanya kebutuhan hardware / software yang sebelumnya tidak ada, kebutuhan perubahan
kapasitas hardware (hardisk, memori, processor, dll), dll.
Tidak memeriksa kompabilitas sistem yang terpasang seperti versi operating system sudah tidak
mendukung, protocol yang digunakan tidak match dengan sistem baru (berupa prosedur untuk
hubungan antar subsistem dan message format yang digunakan), beberapa pheriperal (system
printer, validasi printer, passbook printer, dll) tidak dapat digunakan (tidak compatible didalam
interface fisik ataupun logic), dll.
Tidak memperhatikan kebutuhan cabling system yang baru seperti sistem lama menggunakan
RS232 cukup dengan 4 kawat, menjadi 25 kawat, dulunya dengan interface RS232 / V24
menjadi V35, dulunya dengan cable coaxial menjadi dengan UTP Category 5, dll.
Tidak memperhatikan kebutuhan sistem sumber daya listrik seperti power plug dengan british
type (kaki tiga) dulunya kaki 2, membutuhkan power plug dengan koneksi legrand, dulunya
sistem membutuhkan single phase untuk yang baru membutuhkan 3 pahse, kapasitas daya yang
terpasang tidak mencukupi, dll.
Data :
Tidak melaksanakan analisa antara data yang lama dan yang baru (data maping) sehingga
didalam konversi data banyak terjadi kesalahan atau kegagalan (tidak dapat dikonversi).
Tidak melaksanakan pembersihan data lama (data clean up) dari data-data yang masih salah,
tidak konsisten, tidak perlu ada, dll.
Tidak membuat tool-tool untuk konversi data sehingga hampir seluruhnya dilaksanakan dengan
cara manual, akibatnya prosesnya terlalu lama sehingga oleh user proses konversi ditolak
(mengganggu operasi sehari-hari, biasanya ada batas waktu sistem boleh down).
People :
Tidak memeriksa adanya kebutuhan SDM dengan kwalifikasi tertentu akibat adanya sistem yang
baru sehingga didalam operasi sehari-hari masih sangat tergantung pada fihak luar.
Tidak melaksanakan training dengan baik bagi para user, sehingga didalam mengoperasikan
sistem baru para user mengalami kesulitan.
Kurang didalam mensosialisasikan sistem baru, sehingga user enggan (terdapat reluktansi)
didalam menggunakan sistem baru (biasanya orang perlu mempunyai alasan didalam benaknya
untuk berpindah ke suatu sistem yang lain dari yang sudah ada).
Terlalu banyaknya kebiasaan yang sudah terlanjur lama dilaksanakan tiba-tiba harus dirubah, hal
ini biasanya menimbulkan keengganan bagi para user.
Kurangnya komitmen dari manajemen, sebab walaupun sudah dilaksanakan sosialisasi dengan
baik biasanya masih ada beberapa orang yang menolak kehadiran sistem baru, untuk itu didalam
hal ini perlu adanya ketegasan dari fihak manajemen.
Prosedur :
Tidak memperhatikan adanya sistem baru menyebabkan terjadinya perubahan prosedur yang
memerlukan adanya pos jabatan baru. Sementara didalam pelaksanaan konversi tidak
dilaksanakan perubahan organisasi kerja.
Kurang teliti didalam mempelajari prosedur baru sehingga sulit dilaksanakan dilapangan.
Ada prosedur baku yang tidak dapat dihilangkan (baik karena alasan keamanan, adanya regulasi
dari fihak eksaternal, dll), yang tidak di support oleh sistem baru.
Features :
Terlalu banyaknya perbedaan fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh sistem maupun aplikasi baru
dibandingkan sistem dan aplikasi lama. Hal ini khususnya dari titk pandang user apabila mereka
sudah merasakan manfaat yang besar di fasilitas lama akan enggan menggunakan sistem baru
atau mengangggap bahwa sistem baru kurang baik.
Kadang-kadang belum tentu semua fasilitas di sistem baru akan lebih baik dari sistem lama, hal
ini biasanya jadi titik lemah dari sistem tersebut sehingga sering kali hal ini dijadikan alasan
untuk menolak adanya sistem baru tersebut.
Tidak mampunya para pengembang sistem baru untuk membatasi ekspektasi dari user, sehingga
permintaan-permintaan yang timbul tidak dapat diakomodasi.
Cara melakukan konversi sistem lama ke sistem baru baik agar kesalahan tidak terjadi, yaitu
sebagai berikut :
Sistem yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan dan keinginan user.
User training diberikan secara lengkap, terpadu, mudah difahami oleh end user dan harus
menarik
Komputerisasi perlu dibarengi dengan ‘bussiens re–engineering process; agar terjadi effisisiensi
dan effektivitas operasi dalam perusahaan.
Conversion method harus ditetapkan sedemikan rupa sehingga tidak menyulitkan bagi user di
lapangan. Sebagai contoh hindari proses palallel-run yang terlalu lama, karena akan menyulitkan
user, dan kalau dimungkinkan menerapkan secara langsung ‘phase – in methode’ atau tanpa
melalui proses paralallel atau ‘plunge methode’ , dengan catatan system test dan user acceptance
test dilakukan secara ketat.
Proses perubahan dari sistem lama ke sistem baru dilakukan secara bertahap, dimulai dengan
yang hanya memiliki satu atau lebih sedikit komponen fungsionalitas dan secara gradual
berkembang hingga ke seluruh sistem.
Perubahan secara langsung, sistem baru diterapkan dan sistem lama langsung dihentikan,
Perubahan secara paralel, sistem baru dijalankan bersama-sama dengan system lama, jika sistem
baru tidak ada masalah maka sistem lama dihentikan pemakaiannya, Perubahan secara bertahap,
perubahan system lama ke sistem baru dilakukan perjenis kegiatan setelah sistem yang baru
dianggap telah ok, Perubahan secara moduler, perubahan system lama ke sistem baru dilakukan
permodul (misalnya sistem penjualan, dilanjutkan system pembelian dst.) Perubahan secara
terdistribusi, mirip dengan perubahan secara moduler hanya saja perubahannya meliputi berbagai
lokasi/cabang.
Proses pengubahan dari sistem lama ke sistem baru. Kompleksitas dalampengconversian
tergantung pada beberapa faktor al : Jenis PL, Database, Perangkat H/W, Kendali, Jaringan,
prosedur.
Konversi Langsung
Konversi ini dilakukan dengan cara menghentikan sistem lama dan menggantikannya dengan
sistem baru. Cara ini merupakan yang paling berisiko, tetapi murah. Konversi langsung adalah
pengimplementasian sistem baru dan pemutusan jembatan sistem lama, yang kadang-kadang
disebut pendekatan cold turkey. Apabila konversi telah dilakukan, maka tak ada cara untuk balik
ke sistem lama. Apabila konversi langsung akan digunakan, aktivitas-aktivitas pengujian dan
pelatihan yang dibahas sebelumnya akan mengambil peran yang sangat penting
Konversi Paralel
Memberikan derajat proteksi yang tinggi dari kegagalan sistem baru
Biaya yang dibutuhkan cukup besar
Konversi Phase-In
Sistem baru diimplementasi beberapa kali, sedikit demi sedikit untuk menggantikan sistem yang
lama
Konversi Pilot
Perlunya segmentasi organisasi
Resiko lebih rendah dibandingkan metode konversi langsung
Biaya lebih rendah dibandingkan metode paralel
Cocok digunakan apabila adanya perubahan prosedur, H/W dan S/W
Konversi/Modifikasi meliputi :
Format File
Isi File
Media Penyimpanan