Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Karakteristik Sistem Komunikasi Indonesia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KARAKTERISTIK SISTEM KOMUNIKASI

INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan perspektif ideologi, Karakteristik Sistem Komunikasi Indonesia dapat juga di
sebut Sistem Komunikasi Pancasila yang sangat berbeda dengan Sistem Komunikasi Otoritarian,
Sistem Komunikasi Libertarian, Sistem Komunikasi Komunis, dan sstem komunikasi lainnya.
1.2 Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut :
Memahami Sistem Komunikasi Pancasila
Memberikan pengetahuan lebih dalam mengenai Usaha Bersama dan Kekeluargaan
Sebagai tugas yang wajib di kerjakan dalam mata kuliah komunikasi.

1.3 Rumusan Masalah


Apa yang dimaksud dengan Sistem Komunikasi Pancasila ?
Bagaimana usaha bersama dan kekeluargaan dalam pusat kajian Sistem Komunikasi
Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 . Sistem Komunikasi Pancasila
Penyebutan Sistem Komunikasi Indonesia sebagai Sistem Komunikasi Pancasila telah sejalan
dengan penyebutan Sistem Pers Pancasila, Sistem Perfilman Pancasila dan Sistem Penyiaran
Pancasila. Hal itu menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi resmi Negara
Republik Indonesia telah diaplikasikan dan diaktualisasikan dalam Sistem Komunikasi
Indonesia. Dengan demikian, Sistem Komunikasi Indonesia sebagai Sistem Komunikasi
Pancasila memiliki muatan yang berat tentang nilai-nilai (values) dan bobot ideologi karena pers,
perfilman, dan penyiaran sebagai lembaga sosial dan media massa berorientasi, bersikap, dan
berperilaku berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Hal itu emmberi gambaran penekanan pada ranah atau domain afektif
yang sangat tajam yang berkaitan erat dengan agama, etika, dan moral.
1. Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai religius yang termuat dalam Pancasila, terutama pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha
Esa, dimaksudkan agar politik negara mendapatkan dasar moral yang kuat. Sila Ketuhanan YME
tidak hanya bermakna sebagai dasar hormat menghormati agama masing-masing, tetapi juga
menjadi dasar untuk memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan
persaudaraan antara manusia dan bangsa.
Sebagai aplikasi dan aktualisasi dari kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan YME itu,
dalam setiap undang-undang, termasuk UU Pers, UU Perfilman, dan UU Penyiaran yang
disahkan atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia dengan
Presiden Republik Indonesia, selalu terdapat kalimat pembuka, “Atas Rakhmat Tuhan Yang
Maha Esa”. Hal yang sama juga terjadi dalam setiap Peraturan Pemerintah dan peraturan-
peraturan lainnya yang dibentuk atau diterbitkan oleh negara. Dengan demikian segala peraturan
perundang-undanngan dan ketentuan lainnya dalam Sistem Komunikasi Indonesia yang
berwawasan keindonesiaan itu senantiasa mengandung nilai-nilai agama, moral, dan etika
sebagai aplikasi dan aktualisasi dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu.
Dilihat dari perspektif etika penyebutan diri sebagai Pers Pancasila bagi Pers Indonesia oleh
Dewan Pers (1984), yang beranggotakan insan pers ditambah unsur masyarakat (ulama,
pendidik, akademisi) dan unsur pemerintah, merupakan suatu bentuk kesadaran etika mereka,
terhadap adanya nilai-nilai etika bangsa terutama yang bersumber dari sila Ketuhanan YME.
Kesadaaran etika yang seperti itu dijabarkan dalam kode etik jurnalistik dan kode etik lain dari
organisasi wartawan atau organisasi jurnalistk yang ada di Indonesia.
Kesadaran etik tersebut diaplikasikan dalam Sistem Komunikasi Indonesia, yang
diselenggarakan Pancasila dan UUD 1945, terutama yang terkait dengan sila Ketuhanan YME,
dalam bentuk pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran, sebagai aplikasi dan
aktualisasi dari arah penyiaran, yang terkandung dalam rumusan Undang-Undang Penyiaran
2002 (Pasal 5), yaitu menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri
bangsa. Rumusan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung juga dalam konsederans
Undang-Undang Penyiaran 2002 (butir e), yaitu bahwa penyelenggaraan penyiaran wajib
bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribaian, dan kesatuan
bangsa yag berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam Undang-Undang Perfilman 2009 (Pasal 2 butir a) disebutkan dengan jelas bahwa
perfilman berasaskan Ketuhana yang Maha Esa. Hal itu dimaksudkan bahwa dengan asas
Ketuhanan Yang Maha Esa, perfilman harus menempatkan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai
Maha Suci, Maha Agung, dan Maha Pencipta. Hal itu kemudian dijabarkan dalam kode etik yang
dimiliki oleh organisasi insan perfilman Indonesia.
Dalam upaya mengaplikasikan dan mengakualisasikan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
Sistem Komunikasi Indonesia yang dapat juga disebut sebagai Sistem Komunikasi Pancasila,
senantiasa mengandung substansi atau rumusan tentang iman dan takwa (kepada Tuhan YME).
Hal itu tercantum dalam Undang-Undang Penyiaran 2002 (Pasal 3) dalam tujuan penyiaran,
yaitu frasa, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa. Substansi tersebut
juga ditemukan dalam Undang-Undang Penyiaran 1997 dengan rumusan pada konsiderans
bahwa penyiaran melalui radio dan televisi memiliki peranan penting dalam meningkatkan
kehidupan bangsa yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dirumuskan juga bahwa penyiaran yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 berasaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penjabaran iman dan takwa itu dapat juga disimak dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia, sebagai amanah Pasal 48 Undang-Undang
Penyiaran 2002. Terdapat substansi yang berkaitan dengan rasa hormat terhadap pandangan
keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta palarangan dan pembatasan adegan seks. Lembaga
penyiaran juga dilarang menyajikan adengan pemerkosaan atau pemaksaan seksual, atau adegan
yang menggambarkan upaya ke arah pemerkosaan dan pemaksaan seksual, serta perilaku
menyimpang, pekerja seks komersial, homoseksual, dan adegan telanjang.
Meskipun dalam Undang-Undang Pers 1999 tidak terdapat satu kata atau frasa iman dan takwa,
dalam Pasal 5 ayat 1 dirumuskan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan
opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat dengan
menghormati asas praduga tidak bersalah. Karenanya, wartawan Indonesia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, wajib melaporkan dan menyiarkan informasi secara
faktual dan jelas sumbernya.
Dalam perfilman, kata atau frasa iman dan takwa juga sama sekali tidak ditemukan. Namun
aplikasi dan penjabarannya dapat ditemukan dlam kalimat bahwa perfilman diselenggarakan
berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Perfilman dalam Undang-Undang Perfilman
1992 diarahkan untuk terpeliharanya rasa kesusilaan. Demikian juga dalam Undang-Undang
Perfilman 2009, terdapat larangan melakukan pertunjukan film yang mengandung isi yang
menonjolkan pornografi, menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama.
Kode etik dalam Sistem Komunikasi Indonesia sebagai pengalaman Pancasila, menunjukkan
adanya kesadaran tentang peranan Tuhan. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa dipandang sangat sentral dalam menjalankan kgiatan jurnalistik dan karya seni budaya serta
kegiatan komunikasi lainnya. Iman dan takwa atau sikap yang percaya dan apresiatif kepada
Tuhan bukanlah nilai yang statis, melainkan nilai yang dinamis, karena teraktualisasi dalam
bentuk akhlak mulia atau kelakuan baik. Dengan demikian beriman kepada dan bertakwa kepada
Tuhan YME, dipandang sebagai sumber etika dan moral yang sangat kuat bagi seorang
komunikator profesional, agar secara sungguh-sungguh selalu menempuh jalan yang jujur dalam
memperoleh berita.
Pers, film, dan televisi Indonesia memang wajib memiliki kekuatan moral yang bersumber dari
nilai-nilai agama, moral, dan etika bangsa sebagai aplikasi nilai-nilaia Ketuhanan Yang maha
Esa, sehingga eksistensi komunikasi Indonesia terutama dalam abad ke-21 itu bersifat fungsional
dan bukan sekedar substansial. Film, radio, dan televisi nasional tidka boleh merujukan
kesadaran etikanya kepada semangat liberalisme Barat, melainkan harus mengacu kepada
Pancasila sebagai suatu sumber nilai yang telah banyak memberikan kekuatan moral yang
bersifat fundamental dan universal bagi manusia Indonesia dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Demikian juga Pancasila sebagai filsafat dan ideologi terbuka dan
tidak bersifat dogmatif itu tetap relevan sebagai rujukan nilai etika dan moral, sumber
pencerahan, sumber inspirasi, dan solusi berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan.
2. Nilai-Nilai Kemanusiaan dan Persatuan Indonesia
Selain aplikasi dan aktualisai nilai-nilai Ketuhanan YME, nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab telah ditemukan juga dalam Sistem Komunikasi Indonesia. Kemanusiaan yang adil dan
beradab itu merupakan manifestasi atas kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai
sumber dan tujuan kebenaran serta nilai-nilai (values). Nilai-nilai dasar yang tercakup dalam sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab itu ialah bahwa manusia adalah makhluk yang monodualis.
Maksudnya, manusia secara individu memiliki kebebasan sebagai bentuk hak asasi manusia
(HAM), dan manusia sebagai makhluk sosial, juag memiliki tanggung jawab sosial.
Nilai-nilai dasar tersebut tergambar dalam prinsip bebas dan bertanggung jawab, baik dalam
Sistem Pers Indonesia, maupun dalam Sistem Penyiaran Indonesia. Dalam Undang-Undang Pers
1999 disebutkan bahwa kebebasan atau kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia.
Dalam menjalankan peranannya pers nasional mendorong terwujudnya hak asasi manusia serta
menghormati kebhinnekaan. Kebebasan itu diimbangi dengan tanggung jawab antara lain bahwa
pers dilarang memuat iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu
kerukunan hidup umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
Aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab itu juga terjadi dalam
perfilman. Dalam Undang-undang Perfilman 2002 yang membentuk Sistem Perfilman Indonesia
telah disebutkan bahwa salah satu asas perfilman itu adalah kemanusiaan. Maksudnya
menunjukkan bahwa perfilman harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia.
Dalam sistem Penyiaran Indonesia yang dikembangkan dari Undang-Undang Penyiaran 2002,
aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab itu ditemukan juga dalam
konsiderans bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui
penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras, dan seimbang dengan kebebasan.
Demikian juga dalam Pedoman Perilaku Televisi Indonesia ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta)
denga tegas disebutkan bahwa anggota ATVSI mendukung dan membantu memperkukuh
integrasi bangsa, serta terbinanya watak dan jati diri bangsa. Anggota ATVSI harus menghindari
penayangan yang dapat memicu pertentangan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Sebaliknya dalam Undang-Undang Pers 1966, 1982, dan 1999, tidak pernah termuat istilah
Persatuan Indonesia, persatuan bangsa atau integrasi nasional. Namun, secara tersirat dapat
dipahami bahwa upaya ke arah itu, dapat disimak dalam Kode Etik Jurnalistik Persatuan
Wartawan Indonesia, yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia mengabdi kepada
kepentingan bangsa dan negara. Berdasarkan kode etik jurnalistik sebagai rujukan etik dan
moral, dalam Sistem Pers Pancasila dkembangkan juga asas perwatakan yang objektif yang tidak
mencampur adukan antara kejadian atau fakta dan pendapat atau opini serta menyajikan berita
secara berimbang dan adil.
Sesuai dengan karakteristik dan jati diri Pers Pancasila yang mengkombinasikan kolektivisme
dan individualisme serta kebebasan dan tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat Indonesia, masyarakat pers memberikan rumusan mengenai berita yang
berbeda dengan rumusan berita yang dijumpai dalam kepustakaan yang berasla dari luar. Berita
dalam Sistem Pers Pancasila adalah peristiwa yang sudha sampai pada khalayak.
Berdasarkan hal tersebut, berita dalam Sistem Pers Pancasila tidak boleh hanya dipandang sebagi
komoditas (barang dagangan) sebagaimana dikenal dalam pers industri Barat, tetapi berita harus
mengandung makna kultural dan edukatif. Tidak semua peristiwa yang luar biasa dan aktual
dapat diberitakan atau disiarkan kepada khalayak, terutama jika hal itu diduga dapat
membahayakan persatuan Indonesia, keselamatan, dan keamanan negara, kesatuan bangsa,
menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh
undang-undang.
3. Nilai-Nilai Kerakyatan dan Keadilan Sosial
Dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaa dalam
permusyawaratan/perwakilan, terkandung konsep kedaulatan rakyat yaitu kedaulatan berada
ditangan rakyat, yang diimplementasikan dengan sistem perwakilan untuk mengambil keputusan
dengan cara bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Hal itu mencakup nilai-nilai dasar tentang
dialog, yaitu komunikasi yang bersifat horizontal, setara dan manusiawi berdasarkan kekuatan
penalaran dengan argumentasi yang rasional, saling menghormati. Nilai dasar dalam sila
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mencakup keadilan dalam bidang sosial, terutama
keadilan dalam bidang ekonomi yaitu pembagian kekayaan atau rezeki agar setiap orang
memperoleh bagian yang wajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagai manifestasi dari
kemanusiaan yang adil dan beradab yang bersumber dari Tuhan YME.
Hal tersebut merupakan salah satu karakteristik ideologi Indonesia yang mengombinasikan
antara demokrasi dan keadilan sosial. Aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kerakyatan dalam
bentuk kedaulatan rakyat itu dijabarkan dalam bentuk kemerdekaan pers dalam Undang-Undang
Pers 1999. Dalam undang-undang itu disebutkan pada konsiderans bahwa kemerdekaan pers
merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat. Demikian juga dalam Pasal 2 dirumuskan bahwa
kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Meskipun dalam Sistem Pers Indonesia sebagai Sistem Pers Pancasila, sama sekali tidak
ditemukan istilah keadilan sosial, dalam Undang-Undang Pers 1999, pembagian kekayaan atau
rezeki dalam perusahaan tercantum dengan jelas dan tegas. Undang-undang itu mengatur bahwa
perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk
kepemilikan saham dan atau laaba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Dalam sistem Penyiaran Indonesia, istilah kedaulatan rakyat, ditemukan dalam Penjelasan
Umum Undang-Undang Penyiaran 2002, “Bahwa kemerdekaan menyatakan pendapat,
menyampaikan dan memperoleh informasi bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak
asasi manusia.......”. tertulis juga bahwa penyiaran harus mampu melindungi kebebasan
berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan, termasuk menjamin kebebasan
berkreasi dengan bertumpuh pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum.
Upaya negara untuk menghindari monopoli dalam pembagian rezeki sebagai bentuk aplikasi
nilai-nilai keadilan sosial, juga diwujudkan melalui kesempatan yang luas dalam dunia
perfilman. Kemudian peran serta masyrakat sebagai aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai
kerakyatan atau nilai-nilai demokrasi yang semakin luas itu diwujudkan melalui kesempatan
yang luas sebagai pelaku perfilman. Peran ini sendiri diwadahi oleh Undang-Undang Perfilman.
Ditambah lagi untuk menghindari terjadinya monopoli dalam usaha perfilman dan monopoli
informasi yang berkaitan dengan produksi dan distribusi pesan, dalam Undang-Undang
Perfilman 2009 terdapat aturan yang melarang usaha perfilman memiliki usaha perfilman lain
yang dapat mengakibatkan integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak langsung, yaitu
sumber penerimaan pasokan film kepada pihak lain.

2.2 Usaha Bersama dan Kekeluargaan


Salah satu hal yang mendai pusat kajian dalam Sistem Komunikasi Indonesia adalah pemikiran
pers, film, radio, dan televisi, karena pemilikan pers, film, radio, dan televisi itu sangat berkaitan
dengan konsep kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan berbicara dan kebebasan
berekspresi yang tercakup dalam kebebasan informasi.
Kegiatan jurnalistik yang berintikan berita atau informasi publik yang bersifat umum dan aktual
itu, diselenggarakan juga melalui radio dan televisi dalam bentuk siaran berita, dan melalui film
dalam bentuk film berita.
Pers dalam arti kegiatan jurnalistik yang bebas menurut pandangan orang komunis adalah pers
yang tidak dimiliki atau tidak dikendalikan oleh kapitalis. Sedang orang Amerika menyebut
bahwa pers yang bebas adalah pers yang dimiliki oleh kapitalis dan tidak dikontrol oleh
pemerintah. Dengan adanya dua pandangan yang bertolak belakang tersebut, dalam Sistem
Komunikasi Indonesia, ditempuh semacam “jalan tengah” karena dalam ideologi Pancasila,
Indonesia dianut konsep kedaulatan rakyat yang bermakna demokrasi politik sekaligus
demokrasi ekonomi.
1. Perusahaan Pers, Idealisme, dan Komersialisme
Pada awalnya terdapat sejumlah surat kabar nasional yang dimiliki dan dikendalikan atau
diawasi oleh partai politik sebagai alat perjuangan nasional. Kemudian dinamika politik
memisahkan pers dari partai politik yang kemudian secara berangsur-angsur bergeser ke tangan
pemilik modal.
Dalam Undang-Undang Pers tahun 1999 dinyatakan bahwa perusahaan pers didirikan oleh setiap
warga negara dan negara harus berbentuk badan hukum Indonesia (Pasal 9), seperti PT, koperasi,
yayasan atau BUMN. Setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama untuk
bekerja sesuai dengan hak asasi manusia, termasuk mendirikan perusahaan pers. Demikian juga
pemerintah, atas nama negara, dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk lembaga
atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers.
Perusahaan pers pada awaln perkembangannya diawasi oleh pemerintah melalui SIUPP (Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers) yang diatur dlaam Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 Tentang
Pers. Perlunya SIUPP, disamping pengelolahan secara kekeluargaan serta adanya saham bagi
wartawan dan karyawan pers, merupakan juga identitas Sistem Pers Pancasila.
Peran negara merupakan salah satu ciri negara kesejahteraan dan negara kekeluargaan untuk
melindungi insan pers yang memiliki idealisme yang besar dengan perusahaan pers yang masih
sedang berkembang, agar tetap mampu eksis menjalankan dan mengembangkan perusahaan pers
yang dikelolanya.
SIUPP kemudian dihilangkan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, namun
fungsi ekonomi bagi pers dicantumkan secara resmi dalam Pasal 2. Hal itu menunjukkan
perubahan yang mendasar dalam teori dan sistem Pers Pancasila, sebagai akibat terjadinya
liberalisasi dalam bidang politik dan bidang ekonomi. Kombinasi antara kolektivisme dan
individualisme dlaam konsep kedaulatan rakyat berubah dengan membesarnya individualisme
dan mengecilnya kolektivisme. Demokrasi politik tidak diimbangi dengan demokrasi ekonomi
dalam kehidupan pers. Padahal kedaulatan rakyat yang tercantum dalam konstitusi dan
merupakan rujukan kemerdekaan pers, mengandung makna demokrasi politik sekaligus
demokrasi ekonomi.
Pers yang lebih menekankan orientasi politik mengalami kemunduran, dan berkembanglah surat
kabar yang berorientasi bisnis, dengan perusahaan pers yang semakin rasional dan profesional.
Per bisnis atau per komersial pada umumnya bersifat independen dan mengutamakan pelayanan
informasi kepada masyarakat daripada berusaha berperan sebagai pengarah dalam perubahan.
Pers bisnis yang lebih berorientasi pada kepentingan pasar, mendorong pemberitaan objektif dan
pengembangan wartawan profesional.
Perkembangan di bidang pendidikan, transportasi, kesejahteraan, dan teknologi dengan
sendirinya ikut pula mendorong perkembangan penyebaran surat kabar, sehingga akhirnya pers
Indonesia sama sekali tidak dapat menghindarkan diri ke arah perkembangan sebagai pers bisnis.
Dalam teori dan sistem Pers Pancasila, negara memiliki kewajiban untuk embetasi
perkembangan pers ke arah bisnis raksasa agar pers tidak terlalu berorientasi bisnis seperti
negara kapitalis liberal dengan melupakan idealismenya. Itulah sebabnya untuk penerbitan pers,
pada masa lalu diperlukan SIUPP, agar konglomerasi dalam bidang pers dapat dikendalikan dan
diawasi.
Teori Pers Pancasila yang bertumpu pada filsafat Pancasila dan dijabarkan dlaam bentuk konsep
kedaulatan rakyat dan negara kesejahteraan, secara esensial menghendaki tumbuhnya pers yang
sehat dari segi perusahaan sebagai sebuah bidang usaha bagi swasta atau negara dengan modal
sendiri, tanpa larangan mencari keuntungan. Namun harus tetap dijaga agar bisnis pers itu
senantiasa memperhatikan aspek idealisme sebagai alat perjuangan nasional dan sebagai pers
pembangunan. Pers sebagai perusahaan tidka boleh melupakan idealismenya karena pers
nasional lahir, tumbuh dan berkembang sebagai media perjuangan yang menyebarkan
nasionalisme dan untuk memperoleh kemerdekaan.
2. Perusahaan Film, Radio, dan Televisi
Dalam sistem Perfilman Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perfilman
2009, terdapat kegiatan perfilman yang bersifat nonkomersial dan usaha perfilman yang bersifat
komersil. Meliputi: pembuatan film, jasa teknik film, pengendara film, pertunjukan film,
penjualan film, dan/atau penyewaan film, pengarsipan film, ekspor film, dan impor film. Kecuali
usaha impor film, usha perfilman itu wajib mengutamakan film Indonesia dan menggunakan
sumber daya dalam negeri secara optimal, yaitu: insan perfilman, alam, bahan dan/atau produk,
jasa, peralatan, dan kekayaan budaya Indonesia.
Selain itu, perfilman juga dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dpaat mengakibatkan
integritas vertikal, baik langsung maupun tidak langsung. Integritas vertikal yang dimaksud,
adalah sumber penerimaan pasokan film kepada pihak lain dari hulu sampai hilir atas dua jenis
usaha atau lebih. Demikian juga pelaku usaha perfilman dilarang untuk mempertunjukkan film
hanya berasal dari satu usaha pembuat film atau usaha pengedraan film dan usaha impor film
melebihi 60% jam pertunjukkan selama 6 jam perbulan berturut-turut yang mengakibatkan
monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Berdasarkan hal tersebut maka dlaam Siste Perfilman Indonesia, tidak boleh terjadi monopoli
dalam usaha perfilman untuk mencegah terjadi monopoli informasi baik dlaam produksi maupun
dalam distribusi pesan. Hal tersebut sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUP 1945 yang menghendaki
antara lain, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Dalam sistem penyiaran indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Penyiaran
2002, Radio dan TV dikembangkan dalam bentuk lembaga penyiaran yang bersifat nonkomersial
dan lembaga penyiaran yang bersifat komersial.lembaga nonkomersial, adalah Lembaga
Penyiaran Publik yang didirikan oleh komunitas tertentu. Sedang lembaga komersial adalah
Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Dalam Sistem Penyiaran Indonesia sebagai Sistem Penyiaran Pancasila yang berbasis ideologi
Pancasila disebutkan bahwa penyiaran memiliki tujuan agar industri penyiaran itu tumbuh sesuai
dengan fungsi ekonomi dan penyiaran Indonesia. Selain harus memperhatikan seluruh aspek
penyiaran kehidupan berbangsa dan bernegara, juga harus mempertimbangkan penyiaran sebagai
lembaga ekonomi yang penting dan strategis, baik dlam skala nasional maupun internasional.
3. Vitalisasi dan Aktualisasi Negara Kesejahteraan
Pada penghujung abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 pers nasional mengalami reformasi.
Pengendalian negara terhadap perusahaan pers kemudian hilang dlam UU Pers 1999. Terjadilah
liberalisasi, kapitalisasi dan komersialisasi dalam kehidupan pers nasional. Kekhawatiran
berkembangnya perusahaan pers atau penerbitan pers ke arah bisnis raksasa dan monopoli
informasi yang mengancam demokrsi, betul-betul menjadi kenyataan. Namun setelah
berlangsung selama satu dekade, liberalisasi, kapitalisasi, dan komersialisasi dalam pers telah
menimbulkan sejumlah implikasi sosial, budaya, ekonomi, politik, dan ketahanan nasional, yang
mengancam demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang tersimpul dalam konsep kedaulatan
rakyat dan fungsi negara kesejahteraan.
Kesadaran akan perlunya aktualisasi kedaulatan rakyat dan negara kesejahteraan serta Sistem
Pers Pancasila sebagai bagian dari Sistem Komunikasi Indonesia juga timbul dikalangan elit
nasional dan sejumlah akademisi yang sadar ancaman neoliberalisme dan kapitalisme baru.
Kesadaran ersbeut
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem komunikasi Indonesia menjadi salah satu yang penting dalam mata kuliah
Komunikasi. Agar kita dapat memahami komunikasi dengan baik dan benar. Adanya
Karakteristik Sistem Komunikasi Indonesia dapat mempermudah kita dalam belajar komunikasi.

B. Saran
Kita harus belajar lebih banyak lagi mengenai tentang Karakteristik Sistem Komunikasi
Indonesia , agar kita memiliki pengetahuan yang cukup luas dan tidak hanya satu referensi buku
saja, harus lebih banyak membaca dan belajar dengan buku yang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai