Tafsir Filsafat
Tafsir Filsafat
Tafsir Filsafat
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satunya adalaha tafsir yang bercorak falsafat atau yang lebih dikenal dengan
tafsir falsafi. Tafsir falsafi ini berisi tentang teori-teori filsafat. Keberadaan tafsir corak
ini memunculkan para filosof muslim yang memberikan sumbangsih pemikiran yang luar
biasa terhadap dunia pemikiran Islam. Perdebatan, sanggahan dan dialog yang terjadi
mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Namun semua ini tidak lepas dari
segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh tafsir yang bercorak falsafi. Untuk
lebih jelasnya, makalah ini akan sedikit membahas tentang tafsir falsafi.
B. Rumusan Masalah:
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1999), hlm. 182
2
Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn , Dar al-Fikr (Beirut, 1995, Jilid I), hlm. 419
3
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran (Yogyakarta: Adab Press, 2012) hlm. 131-132
2
dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan filsafat dan agama serta
menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.4
4
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir , (Bandung :Pustaka Setia, 2008) hal. 169-170
5
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran ,,, hlm. 132
6
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995) hlm. 7
3
peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan para ulama saint tidak
ada yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist.
Filsafat dan sains berkembang dengan pesat pada zaman itu disamping ilmu-ilmu
agam yang lain seperti tafsir, hadist, akidah, ibadah, muamalah, tasawuf dsb.
Perkembangan yang pesat ini bukan hanya di Dunia Islam bagian Timur yang berpusat di
Baghdad, tetapi juga di Dunia Islam bagian Barat, yakni Andalusia (spanyol Islam)
dengan kedua kotanya yaitu Cordova dan Sevilla.7 Sumber lain juga menyebutkan bahwa
penerjemahan buku-buku Yunani pada masa Daulah Abbasiyah ke dalam bahasa Arab
membawa revolusi pemikiran dan keilmuan dalam dunia Islam. Munculnya kesadaran
ilmiah sehingga mendorong berbagai penemuan dan kajian-kajian keilmuwan dalam
berbagai bidang adalah salah satu akibat dari penerjemahan ini. Selain itu masuk juga ke
dalam khazanah keilmuan Islam, ilmu Filsafat Yunani, bahkan ia menjadi satu cabang
ilmu yang banyak dipelajari oleh para cendekiawan muslim. Sejak saat itulah ilmu
filsafat menjadi satu metode tersendiri dalam memahami berbagai sendi syariat Islam,
termasuk dalam penafsiran Al-Qur’an. Hasilnya adalah muncul ilmu tafsir falsafi yaitu
penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filsafat.
C. Karakteristik Tafsir Falsafi
karakter dari corak tafsir falsafi adalah penggunaan ilmu filsafat sebagai
penafsiran Al-Qur’an. Cara yang ditempuh adalah dengan mena’wil teks-teks agama dan
hakikat hukumnya yang sesuai dengan pandangan-pandangan filsosofi. Ini berarti bahwa
pemaknaan teks Al-Qur’an tunduk kepada pandangan filosof. Selain itu juga
menggunakan metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan
pandangan-pandangan filosof. 8Di dalam corak tafsir ini, berbagai aliran filsafat menjadi
variabel penting di dalam menafsirkan al-Quran. Pengertian filsafat tidak hanya
membahas tentang metode berfirkir saja, melainkan lebih dari itu filsafat telah menjadi
disiplin ilmu yang membicarakan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan dan
keberadaan Tuhan. Ranah nuansa tafisr filsafat adalah mengungkap pandangan al-Quran
7
Harun Nasution, Islam Rasional,,, hlm.7
8
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2000) hal. 15
4
secara komprehensif tentang keyakinan dan sistem teologi. Namun, proses yang
dilakukan bukan dalam rangka pemihakan terhadap madzhab tertentu, yang sudah
terbangun mapan dalam sejarah, tetapi lebih pada upaya menggali secara serius
bagaimana al-Quran berbicara dalam soal-soal teologis itu dengan melacak tema-tema
pokok, serta konteks-konteks di mana terma itu dipakai al-Quran.
”Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.”10
Penafsiran Al-Farabi terhadap ayat ini bercorak platonik, yakni penafsiran Plato
tentang kekekalan alam. Oleh karena itu Al-Farabi menafsirkan kepemulaan Allah dari
segi bahwa segala yang ada dan mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah
berasal dariNya. Allah adalah yang pertama dari segi adaNya. Ia yang pertama dari setiap
waktu yang keberadaanya bergantung padaNya. Telah ada waktu ketika tidak ada sesuatu
selain dariNya. Berkenaan dengan lanjutan ayat ini yaitu pada kalimat “ ” ُﻦِﻃﺎَﺒْﻟﭐَﻭ ُﺮِﻫ ّٰﺎَﻈﭐﻟَﻭ
artinya “Dia Yang Maha Dhahir dan Maha Bathin”, Al- Farabi menafsirkan dengan
menyatakan bahwa Tidak ada wujud yang lebih sempurna selain dari wujudNya, tidak
ada yang tersembunyi kekurangan wujudNya dan Dia ada pada dzat yang Dhahir, dan
tidak pantas muncul pada yang batin. DenganNya nampak segala sesuatu yang dhahir
9
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wal Mufasirun , Juz II, hal. 309
10
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah , hal. 16. Lihat pula Muhammad Husain Al-Dzahabi, At-Tafsir Wa Al-Mufasirun,
Juz II hal. 310
5
seperti matahari, dan nampak segala sesuatu yang bersembunyi dari persembunyiannya.
Beberapa ulama menolak model tafsir falsafi, mereka beralasan bahwa corak ini tidak
sesuai dengan riwayat-riwayat yang datang dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
Wasalam , di antara ulama yang menolak hal ini adalah Fakru Razi dalam tafsirnya
Mafatih al-Ghaib . Demikian juga pendapat dari al-Dzahabi dalam kitabnya yang menukil
pendapat al-Ghazali dan beberapa kelompok fuqaha lainnya.
Kemunculan produk tafsir di era pertengahan yang lebih bersifat ideologis dan
sektarian tidak lain merupakan representasi dari penafsirnya. Seorang penafsir ketika
menafsirkan al-Qur’an, ia telah membawa ideologi dan kepentingannya. Begitu pula
dengan tafsir yang bercorak teologis-falsafi, tafsir ini merupakan produk dari seorang
mufassir yang telah mempelajari filsafat, ahli dalam bidang filsafat, maupun yang tertarik
dengan pemikiran-pemikiran filsafat, sehingga menggunakan teori dan paradigma filsafat
untuk menafsirkan al-Qur’an. Beberapa mufassir yang dapat dikategorikan sebagai
mufassir yang memiliki kapasitas corak falsafi dalam karyanya, yaitu Az Zamakhsyari
adalah seorang ahli bahasa dan sastra yang terlahir di daerah basis Mu’tazilah, sehingga
ikatan emosionalnya dengan Mu’tazilah tidak diragkan lagi.11
11
Abdul Mustaqim, DinamikaSejarah Tafsir Al-Qur’an , (Yogyakarta : 2012, LSQ), hlm. 142
12
Syaikh Manna’Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Qur’an , (Jakarta : 2011, Pustaka Al Kautsar), hlm 480.
6
ia merupakan penganut Mu’tazilah yang kemudian belajar filsafat. Kemudian diikuti oleh
al-Razi (abad ke-10). Ia seorang filosof Islam yang ahli dalam bidang kedokteran yang
menulis buku ensiklopedia tentang ilmu kedokteran.
Selain itu juga muncul seorang pemikir Islam yang juga dikategorikan sebagai
filosof islam yaitu al-Farabi (870-950). Ia berkeyakinan bahwa filsafat dan agama tidak
bertentangan karena sama-sama membawa pada kebenaran. Pemikiran filsafatnya yang
terkenal yaitu tentang filsafat emanasi/pancaran tentang sifat Tuhan. Kemudian pada
tahun-tahun selanjutnya muncul filosof Islam yang lahir di Afsyana, di dekat Bukhara
yaitu Ibn Sina (980-1037). Ia juga ahli dalam bidang kedokteran yang dapat dilihat dari
karyanya yaitu ensiklopedi tentang Ilmu kedokteran yang dikenal dengan The Canon .
Kemudian pada abad ke 11 muncul pemikir Islam, yaitu seorang sufi sekaligus
filosof, Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Ia dikenal sebagai penganut filsafat
sekaligus pengkritik terhadap para filosof sebelumnya. Dalam karyanya Tahafut al
Falasifah, ia mengkritik kaum filosof dan memandang para filosof sebagai tersesat dalam
beberapa pendapat mereka. Kemudianmuncul Ibnu Rusyd, sebagai seorang filosof dan
ahli hukum, serta ahli dalam bidang kedokteran. Di barat ia dikenal dengan Commentator
dari Aristoteles, dan di Timur (dunia Islam) ia dikenal sebagai orang yang membela kaum
filosof dari serangan al-Ghazali, yaitu yang tertuang dalam karyanya Tahafut al Thafut.
Jika alam ini baru dan yang mengadakan adalah Allah maka pertanyaan yang
muncul, bagaimana membuktikan bahwa Allah itu esa. Dalam hal ini rupanya Ibnu
Rusyd menggunakan argumen teologis yang biasa dipakai oleh kaum teolog, yaitu Surat
al- Anbiya’, ayat 22; yang artinya: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan
selain Allah, tentulah keduanya akan rusak binasa. Maha suci Allah yang mempunyai
Arsy daripada yang mereka sifatkan.” Sebagaimana halnya para teolog di sini ibn Rusyd
menjelaskan ayat tersebut dengan al- Qiyas ‘ala al-gho’ib bi asy-Syahid yaitu
menganalogkan yang gaib dengan yang nyata. Kata Ibnu Rusyd:”Sudah menjadi hal yang
maklum bahwa berkumpulnya dua penguasa di satu negeri menyebabkan rusaknya negeri
7
tersebut”. Demikian pula jika di alam ini ada-dua tuhan bahkan lebih niscaya akan alam
ini akan rusak, namun kenyataan membuktikan bahwa alam ini tetapberjalan baik dan
teratur, berartl Allah itu esa. Ibnu Rusyd kemudian memperkuat loglka tersebut dengan
ayat lain yaitu: “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan
yang lain besertanya, kalau ada Tuhan besertanya, masing-masing tuhan itu akan
membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagian dari tuhantuhan itu akan
mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. (Q.S:
al-Mukminun: 9). Contoh dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, karya Ar-Razy. “Dan
sesungguhnyasebelum mereka telah Kami uji kaum Fir’aun dan telah datang kepada
mereka seorang Rosul yang mulia.” (QS. Ad-Dukhon [44]: 17). Ar-Rozy menyatakan
bahwa fitnah disini maksudnya adalah Allah bertindak seperti tindakan orang penguji
dengan mengutus seorang Rosul kepada kaumnya. Terlihat dalam tafsirannya dengan
jelas bagaimana ia menjelaskan kata fitnah yang digabungkan (muttasil) dengan kata
ganti “kami” untuk Allah yang mengagungkan Dzat-Nya dan dlomir itu mengisyaratkan
adanya keterlibatan Allah dalam menguji Fir’aun dan kaumnya.
BAB III
8
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian tafsir teologis falsafi dari beberapa tokoh adalah sebagai berikut: Tafsir falsafi
menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-
persoalan filsafat. Sedangkan Muhammad Husain al-Dzahabi mendefinisikan tafsir falsafi yaitu
menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi
al-ra`y . Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan
pemikiran yang menjustifikasi ayat. Dan menurut Dr. Abdul Mustaqim mengatakan hal yang
sama, bahwa Tafsir Falsafi adalah upaya penafsiran Al-Quran yang dikaitkan dengan persoalan-
persoalan filsafat.
Latar belakang munculnya tafsir falsafi ini Secara historis, tidak bisa lepas dari terjadinya
kontak dunia Islam dengan pemikiran filsafat Yunani. Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam
melalui filsafat Yunani yang dijumpai oleh ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia,
Persia, dan Mesir. Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia diterjemahkan ke
dalam Bahasa arab dengan modifikasi-modifikasi tertentu, akhirnya buku-buku terjemahan ini
dapat dikonsumsi oleh sebagian kalangan kaum muslim. Sedangkan menurut Prof. Dr. Harun
Nasution dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Islam Rasional, ia mengatakan bahwa
pertemuan Islam dengan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama
Islam pada waktu itu. Tetapi perlu ditegaskan disini bahwa ada perbedaan mendasar antarafilafat
Yunani dengan Filsafat Islam zaman itu. Di Yunani tidak dikenal agama samawi, maka
pemikirannya bebas tanpa terikat pada ajaran-ajaran agama, tumbuh dan berkembang. Sementara
pada filsafat Islam para ulama terikat kepada ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang
terdapat dalam al-Quran dan Hadist. Sedangkan untuk karakteristik dari tafsir falsafi adalah
penggunaan ilmu filsafat sebagai penafsiran Al-Qur’an. Cara yang ditempuh adalah dengan
mena’wil teks-teks agama dan hakikat hukumnya yang sesuai dengan pandangan-pandangan
filsosofi.
DAFTAR PUSTAKA
9
Syihab, Quraisy, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, Pustaka Firdaus: Jakarta, 1999
Husein al-Dzahabi, Muhammad, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn , Dar al-Fikr, Beirut, 1995,
Jilid I
Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran , Yogyakarta: Adab Press, 2012
S. Praja, Juhaya, Tafsir Hikmah , hal. 16. Lihat pula Muhammad Husain Al-Dzahabi, At-Tafsir
Wa Al-Mufasirun
Manna’Al Qaththan, Syaikh, Pengantar Studi Ilmu Qur’an, Jakarta : 2011, Pustaka Al Kautsar
10