Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Biografi Sultan Hasanuddin

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

Biografi Sultan Hasanuddin - Ayam Jantan Dari Timur

Wink Biografi, Biografi Indonesia, Biografi Tokoh, Pahlawan


Nasional, Sejarah, Tokoh Pemimpin
Biografi Sultan Hasanuddin. Nama Sultan Hasanuddin dikenal sebagai nama pahlawan
Indonesia yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Beliau dikenal sebagai penguasa
kerajaan islam Gowa yang ketika itu menguasai jalur perdagangan perdagangan wilayah
timur Indonesia. Sultan Hasanuddin bahkan membawa kerajaan Islam Gowa
mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 16 sebagai salah satu kerajaan terbesar di
bagian timur ketika itu.

Biografi dan Profil Sultan Hasanuddin


Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar,
Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.

Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin


Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja.
Oleh Belanda ia di juluki sebagai Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa Belanda
disebut de Haav van de Oesten karena keberaniannya melawan penjajah Belanda. Beliau
diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655).
Menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid yang wafat.

Selain bimbingan dari ayahnya, Sultan Hasanuddin mendapat bimbingan mengenai


pemerintahan melalui Karaeng Pattingaloang, seorang Mangkubumi kerajaan Gowa. Beliau
juga merupakan guru dari Arung Palakka, yang merupakan raja Bone.

Perjuangan Sultan Hasanuddin


Dibawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya.
Beliau merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan
Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili VOC sedang
berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah.

VOC Belanda sedang berusahan melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah


melihat Sultan Hasanuddin dan kerajaan Gowa sebagai penghalang mereka. Orang
Makassar dapat dengan leluasa ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Hal inilah yang
menyebabkan Belanda tidak suka.

Reruntuhan Benteng Somba Opu


Sejak pemerintahan Sultan Alauddin hingga Sultan Hasanuddin, Kerajaaan Gowa tetap
berpendirian sama, menolak keras monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC
Belanda. Saat itu Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang
menguasai jalur perdagangan.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa yang
dikenal memiliki armada laut yang tangguh. dan juga pertahanan yang kuat melalui benteng
Somba Opu.

Tak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh Belanda selain menghancurkan kerajaan Gowa
yang dianggap mengganggu mereka. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta,
ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur
untuk melawan Kompeni Belanda. Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan
Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660.

Sejarah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka


Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone dibawah pimpinan Arung Palakka yang
merupakan kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa. Namun armada kerajaan Gowa yang
masih sangat kuat membuat Kerajaan Gowa tidak dapat ditaklukkan.

Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Arung Palakka
berhasil meloloskan diri bahkan kerajaan Gowa mencarinya hingga ke Buton. Perang
tersebut berakhir dengan perdamaian. Berbagai peperangan kemudian perdamaian
dilakukan.

Akan tetapi, perjanjian damai tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin
yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de
Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah besar.

Arung Palakka yang dari tahun 1663 berlayar dan menetap di Batavia menghindari kejaran
kerajaan Gowa kemudian membantu VOC dalam mengalahkan kerajaaan Gowa yang ketika
itu dipimpin oleh Sang Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.

VOC Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis
Speelman. Ia dibantu oleh Kapiten Jonker dan pasukan bersenjatanya dari Maluku serta
Arung Palakka, penguasa Kerajaan Bone yang ketika itu mengirimkan 400 orang sehingga
total pasukan berjumlah 1000 orang yang diangkut 21 kapal perang bertolak dari Batavia
menuju kerajaan Gowa pada bulan November 1966.

Perang besar kemudian terjadi antara Kerajaan Gowa melawan Belanda yang dibantu oleh
Arung Palakka dari Bone. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk
menandatangani perjanjian paling terkenal yaitu Perjanjian Bongaya pada tanggal 18
November 1667.

Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap
Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan
pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda. Yang akhirnya membuat
Sultan Hasanuddin mengakui kekuasaan Belanda.

Makam Sultan Hasanuddin


Sultan Hasanuddin Wafat
Walaupun begitu, Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama
dengan Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan
Gowa dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Dan dimakamkan di kompleks pemakaman
raja-raja Gowa di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo'mo Tobo
merupakan nama-nama dari Istri Sultan Hasanuddin. Ketika beliau wafat, beliau digantikan
oleh I Mappasomba Daeng Nguraga atau dikenal dengan Sultan Amir Hamzah yang
merupakan anak dari Sultan Hasanuddin, selain anak bernama Sultan Muhammad Ali dan
karaeng Galesong.

Perjuangan melawan Belanda selanjutnya dilaukan oleh Karaeng Galesong yang berlayar
hingga ke Jawa membantu perlawanan dari Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa di
Banten melawan Belanda.
Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahkan gelar
Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin dengan SK Presiden Ri No 087/TK/1973.
Nama Sultan Hasanuddin juga diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Makassar yakni
Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, selain itu namanya juga dipakai sebagai
nama Universitas Negeri di Makassar yakni Universitas Hasanuddin dan menjadi nama jalan
di berbagai daerah.
Biografi Iskandar Muda - Pahlawan Nasional dari Aceh
muhamad nurdin fathurrohman Saturday, February 15, 2014 Indonesia, pahlawan
nasional

Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh,
yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Sultan Iskandar Muda lahir di Aceh, Banda
Aceh pada tahun 1593 atau 1590 dan wafat di Banda Aceh, Aceh pada tanggal 27
September 1636.

Sultan Iskandar Muda besar dalam lingkungan istana, ketika telah cukup umur Iskandar
Muda dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, salah seorang ulama dari Baitul
Mukadis pakar ilmu falak dan ilmu firasat. Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau.

Selanjutnya ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan
dari Gujarat. Diantaranya adalah tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual
Iskandar Muda, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad Jamani dari Mekah
dan Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.

Sultan Iskandar Muda dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, pada masa kepemimpinan
beliau, Aceh mencapai kejayaannya, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar
dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.

Asal usul

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari
pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan
Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang
terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam.
Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut
takhta.

Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah
anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra
dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut
Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur
Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.

Pernikahan

Sri Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini
dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan
istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman
Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu
yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu
Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini
Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Masa kekuasaan

Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636,
merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat
yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari
setelah mangkatnya Sultan.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut
seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat
Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.

Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi
angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut
Indonesia. Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai
barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya
dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang
asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu
pengetahuan.

Kontrol di dalam negeri

Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi
yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah
Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua
bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah
himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang
Imam (Aceh: Imeum). Ulèëbalang (Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-
utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik
feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.

Hubungan dengan bangsa asing

Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara
Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan
Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk
berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-
hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di
atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya
Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan
Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

"...I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of
Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch
from the sunrise to the sunset..."

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas
tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada
Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yang baik antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan
Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja
James.

Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim
surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut
maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan
tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.

Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda.
Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia
dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-
pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam,
maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di
makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia
Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.

Utsmaniyah Turki

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Saat pulang, utusan Kerajaan Aceh
tersebut terlunta-lunta sedemikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi
sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika
mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau
Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah
meriam dan beberapa orang yang mahir dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh.
Meriam tersebut masih ada hingga kini yang dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak.
Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan
Aceh.

Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi
Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka
mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam
bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari
benda-benda berharga.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki
Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut,
Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama
Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi
Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah.
Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk menggali sebuah kanal yang mengaliri air
bersih dari sumber mata air di Mata Ie hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh dimana kanal
tersebut melintasi istananya, sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir
tenang di sekitar Meuligoe. Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-
tetamunya.

Sultan Iskandar Muda memberikan tatanan baru dalam kerajaannya. Beliau mengangkat
pimpinan adat untuk tiap suku dan menyusun tata negara sekaligus qanun yang menjadi
tuntunan penyelenggaraan kerajaan dan hubungan antara raja dan rakyat.

Selama 30 tahun masa pemerintahannya (1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar Muda telah
membawa Kerajaan Aceh Darussalam dalam kejayaan. kerajaan ini telah menjadi kerajaan
Islam kelima terbesar di dunia setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra.

Seluruh wilayah semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya dan secara
ekonomi kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi perdagangan yang
baik secara internasional. Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran dengan pengaturan
yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar Muda.

Tahun 1993, pada tanggal 14 September, pemerintah Republik Indonesia


menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Iskandar Muda atas jasa dan
kejayaannya membangun dasar-dasar penting hubungan ketatanegaraan dan atas
keagungan beliau, yakni dengan dikeluarkannya Keppres No. 77/TK/1993.
SEJARAH SULTAN KHAIRUN JAMIL DARI KESULTANAN TERNATE

Sultan/Raja Ternate ke-23 Khairun Jamil (periode 1534-1570)


adalah putera Sultan Bayanullah (periode 1500-1522), penguasa Ternate ke-20 dari ibu
beretnis Jawa. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin arif, tegas, pemberani dan muslim
yang taat serta toleran. Tumbuh dalam masa penuh gejolak dan menyaksikan tindak-tanduk
keji Portugis terhadap rakyat dan saudara-saudaranya membuatnya sangat membenci
bangsa Eropa yang satu ini.
Di masa awal pemerintahannya
pengaruh Portugis telah kuat merasuk dalam sendi-sendi kesultanan, dikarenakan sejak
masa Sultan Bayanullah Portugis telah diberi kedudukan dan hak istimewa sebagai mitra
dan penasihat kesultanan. Lambat laun kekuasaan dan pengaruh mereka semakin besar
hingga tak jarang mereka turut campur dalam urusan kesultanan. Ternate pun tak ubahnya
boneka Portugis. Sultan manapun yang dianggap menentang kehendak Portugis, difitnah
kemudian dibunuh atau diasingkan ke negeri yang jauh.
Sultan Khairun naik tahta menggantikan saudara tirinya Sultan Tabariji (periode 1533-
1534) yang diasingkan Portugis ke Goa-India. Sebelumnya Portugis juga turut andil dalam
perebutan kekuasaan di Ternate yang mengakibatkan kematian Sultan
Dayalu/Hidayatullah (periode 1522-1529) dan Sultan Abu Hayat II (periode 1529-1532)
dua saudara tiri Khairun yang lain.
Sultan Khairun menaiki tahta dalam usia belia sehingga oleh Portugis dipandang remeh
sebagai "bocah" yang mudah dikendalikan namun kemudian ternyata anggapan itu salah
besar. Sementara itu di Goa-India selama dalam tahanan mantan Sultan Tabariji ditekan
oleh Portugis untuk menyerahkan sejumlah daerahnya termasuk Ambon, Buru dan Seram
kepada Portugis dengan imbalan hak-hak dan kedudukannya akan dikembalikan. Tabariji
akhirnya menyetujui dan hendak dipulangkan dan dipulihkan sebagai Sultan Ternate.
Kejadian ini kontan membuat berang rakyat Ternate dan Sultan Khairun dengan tegas
menolak perjanjian berat sebelah itu. Beruntung bagi Sultan Khairun karena Tabariji
meninggal dalam perjalanan pulang ke Ternate sehingga perjanjiannya dengan Portugis
dengan begitu menjadi absurd dan Ternate terhindar dari ancaman perang saudara.
Walaupun membenci Portugis dan menyadari kekurang ajaran mereka, Sultan Khairun tidak
semerta-merta memutuskan hubungan dengan Portugis karena menyadari kedudukan
Portugis di Maluku ketika itu sangat kokoh dan lagi pengaruh Portugis dalam istana sudah
sedemikian kuat sehingga perlu baginya untuk tetap mengadakan hubungan dengan
mereka sembari memperkuat dirinya sendiri. Untuk itu Sultan pun giat mencari dukungan
dari luar. Melalui Aceh sebagai perantara Sultan pun kemudian menjalin hubungan dengan
kekaisaran Turki Usmani musuh Portugis di Eropa darimana ia memperoleh persenjataan,
meriam-meriam dan cendekiawan yang didatangkan ke Ternate.
Tahun 1546 datang seorang misionaris terkenal, Saint Francis Xavier atau Franciscus
Xaverius ke Ternate. Sultan kemudian memberi izin untuk kegiatan misionaris di Maluku
dengan syarat kegiatan misionaris hanya ditujukan bagi rakyat Ternate yang masih
menganut animisme, apapun tindakan untuk memengaruhi orang islam beralih agama
dilarang. Namun belakangan peraturan itu dilanggar. Portugis menggunakan kegiatan
misionaris sebagai tameng dalam upayanya merongrong Ternate, sejumlah kerajaan kecil
yang telah dikristenkan dihasut untuk menentang Ternate, rakyat kerajaan-kerajaan kecil itu
yang muslim dipaksa beralih agama. Tindak-tanduk Portugis ini menimbulkan kemarahan
Sultan Khairun yang akhirnya secara terang-terangan mengumumkan perang terhadap
Portugis. satu persatu kerajaan-kerajaan kecil yang memberontak ditundukan disamping itu
Sultan Khairun juga mengirimkan sejumlah armada lautnya untuk membantu Demak dan
Aceh menggempur Portugis di Malaka. Benteng tempat kedudukan Gubernur Portugis di
Ternate dikepung, sedang kedudukan Portugis di daerah lain diserang. Sultan Khairun
sengaja menahan diri untuk tidak memberangus pusat Portugis Maluku di Ternate dengan
harapan mereka akan menyadari kekeliruannya dan memohon damai.
Tahun 1558 sementara Benteng Portugis di Ternate dikepung, Sultan Khairun menunjuk
puteranya pangeran Laulata sebagai Salahakan (Gubernur) Ambon dan bertugas memukul
kedudukan Portugis di Maluku selatan serta menaklukan banyak daerah baru untuk Ternate.
Raja Muda Portugis di Goa kemudian mengirim armada besar ke Ambon dibawah
pimpinan Henrique De Sa untuk memukul mundur pasukan Ternate, dan untuk beberapa
lama upaya mereka berhasil sebelum Sultan Khairun kembali mengirim ekspedisi ke Ambon
dan dengan bantuan orang-orang Jawa dan muslim Hitu kekuatan Portugis di Maluku
selatan berhasil diberangus tahun 1567.
Karena ketidakberdayaannya Gubernur Portugis di Maluku Lopez de Mesquita memohon
damai kepada Sultan Khairun yang kemudian disambut dengan itikad baik. Semua hak-hak
istimewa Portugis menyangkut monopoli perdagangan rempah-rempah dihilangkan namun
mereka tetap diperbolehkan untuk berdagang dan bersaing dengan pedagang nusantara
serta pedagang asing lainnya secara bebas.
Sultan Khairun dikenal sangat toleran. Rakyat Ternate yang telah memeluk Kristen dibiarkan
menjalankan ibadahnya secara bebas, pusat-pusat kegiatan misionaris serta pembangunan
gereja-gereja kembali diperbolehkan dibuka di Maluku. Namun suasana damai ini diam-diam
dimanfaatkan Portugis untuk menyusun kembali kekuatan. tahun 1569 Portugis membangun
kembali benteng mereka di Ambon dan menyusun kekuatan menunggu waktu untuk bangkit
kembali. Tokoh sentral dalam perlawanan terhadap Portugis di Maluku adalah Sultan
Khairun dan ini disadari betul oleh mereka, untuk menguasai Maluku tokoh ini harus
dilenyapkan. Maka dengan tipu muslihat Gubernur Lopez de Mesquita mengundang sang
Sultan untuk berkunjung ke Bentengnya. Tanggal 25 Februari 1570 Sultan Khairun
memenuhi undangan itu, percaya akan niat baik Portugis sang Sultan datang dengan hanya
ditemani segelintir pengawal, tak disangka dia dibokong dan dibunuh beserta pengawalnya
atas perintah sang Gubernur. Gubernur De Mesquita berharap dengan matinya Sultan
Khairun, rakyat Maluku akan patah semangat dan tercerai berai namun tak menyangka
sama sekali perbuatannya ini justru akan membawa kehancuran bagi Portugis di Maluku.
Kematian Sultan Khairun membuat kebencian rakyat Maluku terhadap Portugis semakin
menjadi-jadi. Putera Sultan Khairun Kaicil (pangeran) Baab dinobatkan sebagai Ternate
berikutnya. Sultan Baabullah (periode 1570-1583) ternyata lebih hebat lagi dari ayahnya.
Dia memimpin segenap rakyat Maluku menentang Portugis dalam peperangan selama 5
tahun berikutnya dan berhasil mengusir Portugis dari bumi Maluku untuk selamanya tahun
1575.
Biografi dan Profil Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di
Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa
ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non
permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden
Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan


ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara
Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton.

Author Pick:
 Biografi dan Profil Wolter Monginsidi - Kisah Patriotik Pahlawan Nasional
 Biografi dan Profil Yos Sudarso - Kisah Pahlawan Nasional Indonesia
 Biografi dan Profil Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Madji
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V
(1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi
Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari
dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak
disetujui Diponegoro.
Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro
Perang Diponegoro adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun
(1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan
penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang
dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini
telah berjatuhan korban yang tidak sedikit.

Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah,
disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak
serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh
Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa,
maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Setelah kekalahannya dalam Perang
Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha
menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah
jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.

Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan
keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia
yang ketika itu sudah sangat menderita.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha


menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan
Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku
Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa.

Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo,
seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap
mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.

Awal Mula Pecahnya Perang Diponegoro


Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan
pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya
dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat
melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro.

Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk
mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk
mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai
telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran
beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di
Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang
terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda yang tidak
berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman Pangeran.

Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di
Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati
goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau.
Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah
dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun
lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat
“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela
sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan
Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin
spiritual pemberontakan

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta
gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan
sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa
menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Penangkapan dan Masa Pengasingan


16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal,
Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng
Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan
Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa


mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang.
Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan
teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke
Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada
5 April.

Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung
Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal
Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar.

Pangeran Diponegoro Wafat


Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta
para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan
dibuang ke Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan
dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal 8


Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam
perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau
Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Perjuangan Anak Pangeran Diponegoro


Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu
Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu
ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon
atau Ki Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas
Darah Dalem Keraton Yogyakarta.

Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian
eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena
memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah
dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil
dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang
bukti suksesnya penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada
sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-
pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat
itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai
penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama
Singlon yang artinya penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki


Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan
dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto,
Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah
Sodewo. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang
semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.

Anda mungkin juga menyukai