Ruptur Uretra Posterior
Ruptur Uretra Posterior
Ruptur Uretra Posterior
ETIOLOGI
Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra pars
posterior. Menurut sejarahnya, banyak cedera semacam ini yang berhubungan dengan
kecelakaan di pabrik atau pertambangan. Akan tetapi, karena perbaikan dalam hal keselamatan
pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini dan menyebabkan peningkatan pada
cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas. Gangguan pada uretra terjadi sekitar 10% dari
fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada uretra membranasea yang berhubungan
dengan trauma tumpul terjadi bersamaan fraktur pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau
simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra
pars prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam
kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum
pubo-prostatikum ikut terobek, prostat berada buli-buli akan terangkat ke kranial. 2,4
Gambar 3. Cedera pada uretra posterior (membranasea). Prostat mengalami avulsi dari uretra
membranasea akibat fraktur pelvis. Terjadi ekstravasasi di atas ligamentum triangular dan periprostatik dan
perivesikal. Dikutip dari kepustakaan 3
Fraktur pelvis yang menyebabkan gangguan uretra biasanya penyebab sekunder karena
kecelakaan kendaraan bermotor (68%-84%) atau jauh dari ketinggian dan tulang pelvis hancur
(6%-25%). Pejalan kaki lebih beresiko, mengalami cedera uretra karena fraktur pelvis pada
kecelakaan bermotor dari pada pengendara. 4
EPIDEMIOLOGI
Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra posterior dengan
angka kejadian 20 per 100.000 populasi dan penyebab utama terjadinya fraktur pelvis adalah
kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh cedera pejalan kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian
lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan pada penumpang mobil (10,2%) dan kecelakaan kerja
(6%). Fraktur pelvis merupakan salah satu tanda bahwa telah terjadi cedera intraabdominal
ataupun cedera urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-20% pasien. Cedera organ terbanyak
pada fraktur pelvis adalah pada uretra posterior (5,8%-14,6%), diikuti oleh cedera hati (6,1%-
10,2%) dan cedera limpa (5,2%-5,8%). 7
Di Amerika Serikat angka kejadian fraktur pelvis pada laki-laki yang menyebabkan
cedera uretra bervariasi antara 1-25% dengan nilai rata-rata 10%. Cedera uretra pada wanita
dengan fraktur pelvis sebenarnya jarang terjadi, tetapi beberapa kepustakaan melaporkan
insiden kejadiannya sekitar 4-6%. 8
Angka kejadian cedera uretra yang dihubungkan dengan fraktur pelvis kebanyakan
ditemukan pada awal dekade keempat, dengan umur rata-rata 33 tahun. Pada anak (<12 tahun)
angka kejadiannya sekitar 8%. Terdapat perbedaan persentasi angka kejadian fraktur pelvis
yang menyebabkan cedera uretra pada anak dan dewasa. Fraktur pelvis pada anak sekitar 56%
kasus yang merupakan resiko tinggi untuk terjadinya cedera uretra. 7,8
Trauma uretra lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita, perbedaan ini
disebabkan karena uretra wanita pendek, lebih mobilitas dan mempunyai ligamentum pubis
yang tidak kaku. 7
MEKANISME TRAUMA
Cedera uretra terjadi sebagai akibat dari adanya gaya geser pada prostatomembranosa
junction sehingga prostat terlepas dari fiksasi pada diafragma urogenitalia. Dengan adanya
pergeseran prostat, maka uretra pars membranasea teregang dengan cepat dan kuat. Uretra
posterior difiksasi pada dua tempat yaitu fiksasi uretra pars membranasea pada ramus
ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan uretra pars prostatika ke simphisis oleh
ligamentum puboprostatikum. 9
KLASIFIKASI
Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat
cedera uretra dalam 3 jenis :
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (perengangan). Foto uretrogram
tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma
urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasai kontras yang masih
terbatas di atas diafragma
3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak.
Foto uretrogram menunjukkan ekstvasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma sampai
ke perineum 2
Gambar 4. Klasifikasi cedera uretra posterior. Dikutip dari kepustakaan 1
GAMBARAN KLINIS
Pada ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik
dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai
ruptur kandung kemih, bisa dijumpai tanda rangsangan peritoneum. Pasien biasanya mengeluh
tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian bawah.10,11
Kemungkinan terjadinya cedera uretra posterior harus segera dicurigai pada pasien
yang telah didiagnosis fraktur pelvis. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa
jenis fraktur pelvis lebih sering berhubungan dengan cedera uretra posterior dan terlihat pada
87% sampai 93% kasus. Akan tetapi, banyaknya darah pada meatus uretra tidak berhubungan
dengan beratnya cedera. Teraba buli-buli yang cembung (distended), urin tidak bisa keluar dari
kandung kemih atau memar pada perineum atau ekimosis perineal merupakan tanda tambahan
yang merujuk pada gangguan uretra. Trias diagnostik dari gangguan uretra
prostatomembranosa adalah fraktur pelvis, darah pada meatus dan urin tidak bisa keluar dari
kandung kemih. 4
Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling penting dari
kerusakan uretra. Pada kerusakan uretra tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter,
karena dapat menyebabkan infeksi pada periprostatik dan perivesical dan konversi dari
incomplete laserasi menjadi complete laserasi. Cedera uretra karena pemasangan kateter dapat
menyebabkan obstuksi karena edema dan bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat
mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh
tergantung fascia yang rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang
mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi. Adanya darah pada ostium uretra
eksterna mengindikasikan pentingnya uretrografi untuk menegakkan diagnosis. 3,10
Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan hematoma pada pelvis dengan pengeseran
prostat ke superior. Bagaimanapun pemeriksaan rektum dapat diinprestasikan salah, karena
hematoma pelvis bisa mirip denagan prostat pada palpasi. Pergeseran prostat ke superior tidak
ditemukan jika ligament puboprostikum tetap utuh. Disrupsi parsial dari uretra membranasea
tidak disertai oleh pergeseran prostat. 3
Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars membranasea dan terdorong ke atas
oleh penyebaran dari hematoma pada pelvis. High riding prostat merupakan tanda klasik yang
biasa ditemukan pada ruptur uretra posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur
pelvis kadang-kadang menghalangi palpasi yang adekuat pada prostat yang ukurannya kecil.
Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang normal mungkin adalah
hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui ada tidaknya jejas
pada rektal yang dapat dihubungkan dengan fraktur pelvis. Darah yang ditemukan pada jari
pemeriksa menunjukkan adanya suatu jejas pada lokasi yang diperiksa. 12
GAMBARAN RADIOLOGI
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis cedera
uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma. Sementara CT Scan
merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih bagian atas dan cedera vesika urinaria
dan terbatas dalam mendiagnosis cedera uretra. Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan
pelvis setelah trauma sebelum dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak berperan dalam
pemeriksaan cadera uretra. Sama halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam
pelvis dan vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik. 4
Gambar 5. Uretra posterior masih utuh tetapi meregang pada trauma tumpul. Retrograd uretrogram
memperlihatkan peregangan dari uretra posterior dan diastasis dari simphisis pubis. Dikutip dari kepustakaan 13
Gambar 6. Ruptur uretra posterior diatas dari diafragma urogenital yang masih utuh disertai trauma tumpul (cedera
uretra tipe II). Dikutip dari kepustakaan 13
Gambar 7. Ruptur uretra posterior meluas hingga di bawah diafragma urogenitalia, dan uretra pars bulbosa bagian
proksimal ikut rusak (cedera uretra tipe III). Dikutip dari kepustakaan 13
PENATALAKSANAAN
Emergency
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat analgesik.
Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu menggunakan alat-
alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada ekstravasasi pada
uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan dengan lubrikan yang adekuat. 14
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain, cukup
dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan
anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. 10
Pembedahan
Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Kateter uretra harus
dihindari.
1. Immediate management
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi midline
pada abdomen bagian bawah dibuat untuk menghindari pendarahan yang banyak pada pelvis.
Buli-buli dan prostat biasanya elevasi kearah superior oleh pendarahan yang luas pada
periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi oleh akumulasi volume urin yang banyak
selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin sering bersih dan bebas dari darah, tetapi
mungkin terdapat gross hematuria. Buli-buli harus dibuka pada garis midline dan diinspeksi
untuk laserasi dan jika ada, laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorpsi dan
pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin. Sistotomi suprapubik dipertahankan selama 3
bulan. Pemasangan ini membolehkan resolusi dari hematoma pada pelvis, dan prostat & buli-
buli akan kembali secara perlahan ke posisi anatominya. 3
Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari
kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading) 10
Gambar 8. Cara langsir (rail roading) pemasangan kateter
Foley menetap pada ruptur uretra. Dikutip dari
kepustakaan 10
A. Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde
dari meatus uretra
B. Sonde uretra pertama dari meatus eksternus dan sonde
kedua melalui sistotomi yang dibuat lebih dahulu saling
bertemu, ditandai bunyi denting yang dirasa di tempat
ruptur
C. Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung
dengan bimbingan sonde dari buli-buli
D. Sonde dicabut dari uretra
E. Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan
ujung kateter Foley yang dijahit pada kateter Nelaton
F. Ujung kateter ditarik kearah buli-buli
G. Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan
traksi ringan sehingga balon kateter Foley tertarik dan
menyebabkan luka ruptur merapat. Insisi di buli-buli
ditutup
PROGNOSIS
Jika komplikasinya dapat dihindari, prognosisnya sangat baik. Infeksi saluran kemih
akan teratasi dengan penatalaksaan yang sesuai. 14