Science & Mathematics">
Proposal Udang Sari
Proposal Udang Sari
Proposal Udang Sari
OLEH
SARI WIDAYATI
E0D114004
OLEH
SARI WIDAYATI
E0D114004
Menyetujui
Pembimbing Utama
Mengetahui
Ketua Program Studi Pembimbing Pendamping
2
PRAKATA
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Proposal Kerja
Praktek Akhir dengan judul Penerapan Gmp (Good Manufacturing Practice)
Pada Produk Frozen Raw Shrimp Dalam Bentuk Block Frozen Di Pt. Bumi
Menara Internusa, Lampung dengan baik. Adapun pembuatan proposal ini
bertujuan untuk memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Diploma
- III di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan Universitas Jambi, Jambi.
Tidak lupa juga ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak
yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan proposal ini,
terutama kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, M.Sc., Agr selaku Dekan Fakultas
Peternakan Universitas Jambi
2. Bapak Dr. Ir. Agus Budiansyah, MS selaku Ketua Program Studi D-III
Teknologi Hasil Perikanan
3. Dosen pembimbing kami yaitu Bapak Dr. Ir. Suryono, M.Si, Ibu Ir. Sri
Novianti, MP yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing kami
dalam menyelesaikan proposal ini
4. Seluruh Dosen Program Studi D-III Teknologi Hasil Perikanan
5. PT. Bumi Menara Internusa yang telah memberikan peluang kepada kami
untuk melakukan Kerja Praktek Akhir
6. Orang tua dan teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada
penulis sehingga proposal ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari proposal ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah proposal ini
penulis buat. Semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Sari Widayati
1
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA.................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang........................................................................ 1
1.2. perumusan masalah................................................................. 2
1.3. Tujuan..................................................................................... 3
1.4. Manfaat................................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 4
2.1. Udang Vannamei ( Litopenaeus Vannamei )........................... 4
2.2. Komposisi Kimia Udang......................................................... 5
2.3. Pembekuan Udang.................................................................. 7
2.4. Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)................ 8
2.5. Proses Pembuatan Forzen Raw Shrimp - Block Frozen.......... 12
BAB III. MATERI DAN METODA............................................................ 21
3.1. Tempat dan Waktu .................................................................. 21
3.2. Materi dan Peralatan............................................................... 21
3.3. Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data........................ 21
3.4. Objek yang Diamati................................................................ 22
3.5. Analisis Data........................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 23
2
BAB I
PENDAHULUAN
1
Perencanaan unit sanitasi pada pabrik pembekuan udang ini meliputi
perencanaan sanitasi bahan baku dan bahan pembantu, sanitasi air, sanitasi mesin
dan peralatan, sanitasi pekerja, sanitasi ruang proses, sanitasi fasilitas pabrik, dan
sanitasi lingkungan sekitar. Sanitasi sangat terkait dengan GMP (Good
Manufacturing Practices). Pabrik pembekuan udang ini diasumsikan sudah
menerapkan GMP dengan baik. Jika GMP sudah diterapkan dengan baik maka
biaya yang dikeluarkan untuk sanitasi relatif lebih rendah atau murah karena
pabrik sudah tergolong relatif bersih.
Good Manufactoring Practice (GMP) atau Cara Produksi Makanan yang Baik
(CPMB) merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan dengan tujuan
agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen
(Thaheer, 2005). Menurut Wiryanti dan Witjaksono (1999), faktor penting yang
harus diperhatikan dalam penerapan GMP adalah cara berproduksi yang baik dan
benar, memiliki beberapa persyaratan yaitu persyaratan bahan baku dan
persyaratan produk akhir harus sesuai dengan persyaratan keamanan dan mutu
yang berlaku. Persyaratan penanganan tergantung dari jenis produk yang diolah,
namun secara umum ditekankan bahwa pada penanganan bahan baku sejak
penerimaan sampai menjadi produk akhir harus dilakukan secara hati-hati, saniter,
dan higiene serta diterapkan sesuai dengan sistem FIFO (First In First Out).
1.3. Tujuan
Tujuan yang diharapakan dari pelaksanaan magang KPA (Kerja Praktek Akhir)
ini adalah sebagai berikut :
a. Mendapatkan pengalaman dan pengetahuan serta memahami proses
pembuatan produk Frozen Raw Shrimp dalam bentuk Block Frozen di PT.
Bumi Menara Internusa, Lampung.
2
b. Mengetahui penerapan GMP (Good Manufactoring Practice) pada produk
Frozen Raw Shrimp dalam bentuk Block Frozen di PT. Bumi Menara
Internusa, Lampung.
1.4. Manfaat
Melalui pelaksanaan magang ini diharapkan mahasiswa mampu meningkatkan
pengetahuannya serta pengalaman kerja tentang proses pembuatan produk Frozen
Raw Shrimp dalam bentuk Block Frozen, sehingga hal tersebut dapat dijadikan
sebuah dasar pijakan untuk melangkah demi menyongsong masa depan yang lebih
baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Udang Vannamei ( Litopenaeus Vannamei )
Udang vannamei memiliki nama umum pacific white shrimp, camaron blanco,
dan longostino. Udang vanamei juga mempunyai nama F.A.O yaitu whiteleg
shrimp, crevette pattes blanches, dan camaron patiblanco. Udang ini berwarna
putih sehingga sering disebut udang putih dan bentuk tubuhnya sering bercorak
agak kebiru-biruan yang memiliki kromatophor dominan biru yang terpusat dekat
dengan batas uropod dan telson (Eldred dan Hutton 1960 diacu dalam Muzaki
2004).
3
Penggolongan udang vannamei menurut tseng (1987) diacu dalam Pranoto
(2007), adalah :
Filum : Anthropoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Eumalacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaidae
Genus : Litopenaeus
Udang vannamei dapat tumbuh sampai 230 mm/9 inchi. Udang vannamei
menyukai dasar yang berpasir dengan kedalaman sekitar 72 m dari permukaan
laut (Dore dan Frimodt 1987 diacu dalam Muzaki 2004). Spesies ini memiliki
karapas yang bening sehingga warna pada ovary dapat terlihat. Pada betina gonad
pertama berukuran kecil, berwarna coklat keemasan atau coklat kehijauan pada
musim pemijahan (Brown dan Patlan 1974 diacu dalam Muzaki 2004).
Total ekspor udang Indonesia tahun 2007 mencapai 125.598 ton. Beberapa
keunggulan yang dimiliki oleh udang vannamei antara lain responsif terhadap
4
pakan yang diberikan atau nafsu makan yang tinggi, lebih tahan terhadap serangan
penyakit dan lingkungan yang kurang baik. Udang vannamei juga memiliki
pasaran yang pesat di tingkat internasional (Ariawan, 2005). Bahkan udang ini
sudah laku dijual pada saat berukuran 7,0 10,0 gram/ekor atau pada saat udang
berumur sekitar 60 hari di tambak. Selanjutnya menurut Briggs et.al. (2004),
udang vannamei membutuhkan pakan dengan kandungan protein 25-30%, lebih
rendah ketimbang udang windu. Berdasarkan data pemerintah kapasitas produksi
udang jenis vannamei dalam negeri mencapai 270 ton per tahun.
Kandungan Komposisi
5
Air 78,2 %
Protein 18,1 %
Lemak 0,8 %
Karbohidrat 1,4 %
Garam mineral 145-320 mg/100gr
Garam magnesium 40-105 mg/gr
Phospor 1,6 mg/100gr
Zat besi 140 mg/100gr
Natrium 220 mg/100gr
Kalium 0,81 %
Sumber : Hadiwiyoto, 1993
6
Pada prinsipnya proses pembekuan produk udang berkisar pada suhu -18 0C
merupakan standar suhu pusat dalam industri pembekuan udang. Penyimpanan
beku berarti meletakkan produk yang sudah beku di dalam ruangan dengan suhu
yang dipertahankan sama dan telah ditentukan sebelumnya yaitu -250C (Saulina,
2009).
Standar syarat mutu dan keamanan pangan udang beku dapat dilihat pada
Tabel 3 berikut :
7
2.4. penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)
Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi Makanan
yang Baik (CPMB) adalah cara produksi makanan yang baik dan
dirancang untuk seluruh jenis operasi pengolahan pangan. GMP
adalah persyaratan minimal sanitasi dan pengolahan umum yang
sebaiknya diterapkan pada semua bangunan pengolahan pangan
(Lukman, 2001).
Penerapan GMP menurut FDA (Food and Drug Administration)
mencakup :
A. Lokasi dan lingkungan sekitar pabrik
1. Lingkungan pabrik
Peralatan di pabrik harus didesain dengan rapih. Kotoran
dan sampah harus dibuang. Rumput liar di sekitar bangunan
harus dipotong karena dapat menjadi sarang hama. Jalan,
pekarangan dan area parkir harus dipelihara sehingga tidak
menjadi sumber pencemaran di dalam area pengolahan.
Pabrik harus memiliki fasilitas saluran pembuangan yang
cukup untuk mengalirkan sampah. Sistem penanganan
sampah dan limbah harus dilaksanakan dengan baik
sehingga tidak terjadi kontaminasi dari sampah.
2. Konstruksi dan desain lokasi
Karyawan pabrik harus melakukan tindakan pencegahan untuk mengurangi
potensi kontaminasi dengan cara pengaturan lokasi, penggunaan sekat
pemisah ruang, aliran udara dan lain-lain. Lantai, dinding dan langit-langit
dibangun sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan dan dirawat oleh
Pekerja. Sumber penerangan harus cukup tersedia di area mencuci tangan,
ruang ganti, toilet, area pengolahan produk, area pengujian produk dan
tempat pembersihan peralatan. Lampu harus memiliki penutup yang tidak
mudah pecah. Fasilitas pertukaran udara yang cukup (lubang ventilai, kipas
angin, blower) untuk mencegah kondensasi uap air dan bau yang dapat
mencemari produk pangan.
B. Operasi sanitasi
8
1. Pemeliharaan umum
Bangunan, peralatan dan fasilitas fisik lainnya harus dipelihara dan dirawat
sehingga selalu dalam kondisi saniter. Dengan demikian peralatan tidak
menjadi sumber pencemaran.
2. Bahan pembersih dan sanitasi
Bahan dan alat sanitasi yang digunakan dalam pembersihan
atau sanitasi harus bebas dari mikroorganisme yang tidak
diinginkan dan harus aman jika digunakan. Bahan
pembersih harus dilengkapi dengan jaminan supplier atau
tes laboratorium. Bahan sanitasi dan pestisida yang bersifat
toksik harus diberi tanda pengenal, disimpan di tempat yang
baik sehingga tidak menyebabkan kontaminasi terhadap
produk maupun permukaan yang bersentuhan dengan
produk.
3. Pengendalian hama
Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan produk harus senantiasa
kering. Setelah dibersihkan/disanitasi, permukaan harus dikeringkan
kembali. Area pengolahan yang basah dan bersentuhan dengan produk harus
dibersihkan dan disanitasi sebelum dan setelah digunakan. Saat peralatan
digunakan pada proses yang berkelanjutan (kontinyu), peralatan dan
permukaan yang bersentuhan dengan produk harus dibersihkan dan
disanitasi. Jumlah bahan sanitasi harus cukup. Bahan sanitasi juga harus
aman digunakan. Kegiatan sanitasi harus diatur, dijadwal, ditulis dalam
bentuk prosedur dan dilaksanakan secara rutin.
4. Penyimpanan dan penanganan alat-alat pembersih yang dapat dipindahkan
(portable)
Peralatan portable harus disimpan di tempat yang terlindung dari
kontaminasi.
C. Fasilitas sanitasi
1. Penyediaan air
9
Air yang digunakan untuk pengolahan harus tersedia dalam
jumlah yang cukup dan diperoleh dari sumber yang bersih.
Air harus aman dan saniter.
2. Pipa-pipa saluran air
Pipa air harus memiliki ukuran dan desain yang baik dan
dipasang dengan baik sehingga dapat mengalirkan air
dengan jumlah yang cukup untuk seluruh keperluan
pengolahan dan sanitasi. Pipa limbah harus dapat dilewati
oleh limbah dari seluruh pabrik. Saluran limbah tidak
mencemarkan produk, saluran air bersih dan peralatan.
Tidak terjadi aliran silang antara pipa yang mengalirkan air
bersih dan pipa yang mengaliran air limbah.
3. Pembuangan limbah
Sistem dan sarana pembuangan limbah harus cukup dan
dapat berfungsi dengan baik.
4. Fasilitas toilet
Toilet harus dibersihkan dan selalu dalam kondisi saniter.
Toilet harus diperbaiki jika mengalami kerusakan. Pintu toilet
harus dapat menutup sendiri. Pintu toilet tidak boleh
membuka ke area pengolahan pangan.
5. Fasilitas mencuci tangan
Fasilitas cuci tangan dilengkapi dengan fasilitas sanitasi
tangan. Setiap karyawan harus dapat mencuci tangan
sesuai ketentuan. Bahan pembersih harus efektif dan
saniter. Tersedia alat pengering tangan yang berfungsi
dengan baik. Kran air didesain sedemikian rupa sehingga
tidak mengkontaminasi tangan yang sudah bersih. Ada
petunjuk tertulis yang mudah dipahami pekerja. Pekerja
harus mencuci tangan sebelum bekerja, setelah keluar dari
area lain dan melanjutkan produksi, maupun saat tangan
terkontaminasi.
6. Sampah dan pembuangan limbah
10
Sampah dan kotoran limbah harus dialirkan, dikumpulkan
dan dibuang sebelum menimbulkan bau dan berpotensi
menjadi penyebab kontaminasi silang.
D. Sanitasi pekerja
1. Pemeriksaan kesehatan
Setiap pekerja harus menjalani tes kesehatan, karena
pekerja dengan luka terbuka, infeksi maupun penyakit dapat
menyebabkan kontaminasi mikrobiologi. Pekerja yang sakit
juga harus melaporkan kondisi kesehatannya kepada
pengawas (supervisor).
2. Kebersihan
Setiap pekerja yang bersentuhan dengan produk pangan
dan bahan pengemas harus memakai pakaian pelindung
sehingga tidak menyebabkan kontaminasi.
3. Pelatihan dan pembinaan
Pekerja yang bersentuhan dengan produk pangan harus
memiliki tanggung jawab dan kesadaran akan kebersihan,
kesehatan, kondisi saniter dan keamanan produk pangan.
Mereka harus mendapatkan pelatihan dan pembinaan
tentang prinsip sanitasi pekerja.
E. Peralatan dan Perlengkapan
Peralatan dan perlengkapan harus didesain sesuai dengan
proses produksi dan kondisi pekerja. Peralatan harus mudah
dibersihkan dan tidak menyebabkan kontaminasi bahan
berbahaya. Peralatan sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak
beracun dan tahan korosi. Sambungan pada permukaan yang
bersentuhan dengan produk harus rapat dan halus, bersih dan
bebas dari akumulasi sisa produk maupun kotoran yang
memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme.
F. Pengendalian proses
1. Bahan baku dan bahan lainnya
11
Bahan baku maupun bahan tambahan harus diperiksa dan ditangani dengan
baik. Bahan baku harus bersih dan disimpan di tempat yang baik sehingga
tidak rusak dan terkontaminasi kotoran. Bahan harus bebas dari aflatoksin
dan senyawa toksik berbahaya sesuai ketentuan FDA. Bahan baku cair dan
kering diterima dan disimpan dengan baik sehingga tidak terjadi
kontaminasi.
2. Proses produksi
Peralatan produksi harus selalu bersih dan saniter. Semua tahap produksi,
termasuk pengemasan dan penyimpanan harus dilakukan dengan
pengawasan petugas. Pengawasan proses sterilisasi, iradiasi, pasteurisasi,
pembekuan, refrigerasi, pengendalian pH dan aw harus cukup dilakukan.
Proses diharapkan dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang
tidak diinginkan maupun mikroba patogen. Kontaminasi tidak boleh terjadi
sepanjang proses produksi mekanik seperti pencucian, pengupasan,
pemotongan, sortasi dan sebagainya. Pengujian suhu produk harus
dilakukan selama proses berlangsung. Pengujian pH pada produk dengan
kadar asam rendah (< 4.6) harus dilakukan untuk mencegah pertumbuhan
mikroorganisme patogen. Area dan peralatan produksi tidak boleh
digunakan untuk kegiatan produksi bahan nonpangan (nonfoodgrade) untuk
mencegah timbulnya kontaminasi.
3. Penyimpanan dan distribusi
Kontaminasi produk oleh benda fisik, senyawa kimia maupun mikrobiologi
tidak boleh terjadi selama proses penyimpanan dan distribusi.
12
perlakuan pemotongan kepala dan pembekuan hingga suhu pusat mencapai -18C
atau lebih rendah hingga lapisan es menutupi seluruh permukaan produk. Proses
pembekuan udang merupakan salah satu cara untuk mengawetkan udang, karena
dengan menurunkan suhu dapat mencegah semua reaksi kimia dan aktivitas enzim
serta pertumbuhan mikroorganisme namun cara ini tidak dapat mensterilkan
makanan (Frazier 1978).
Proses pembekuan produk pada suhu -18oC merupakan standar suhu pusat
dalam industri pembekuan udang. Penyimpanan beku berarti meletakkan produk
yang sudah beku di dalam ruangan dengan suhu yang dipertahankan sama dan
telah ditentukan sebelumnya yaitu -25oC. Oleh sebab itu, diperlukan penerapan
sistem GMP dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi yang
diminta pembeli (buyer). Menurut Koswara (2009), berdasarkan alat pembeku dan
cara pengemasan/penyimpannya, udang beku bentuk headless dibedakan menjadi
dua, yaitu: bentuk blok (block frozen of headless shrimp) dan bentuk individual
(individual frozen of headless shrimp). Dari kedua bentuk olahan ini, block frozen
of headless shrimp paling mendominasi dalam perdagangannya, termasuk dalam
investasi industrinya di Indonesia.
Pencucian 1 penggelasan
Pencucian 3
pengemasan
Pemotongan kepala perendaman
penyimpanan
Pencucian 2 penimbangan
Stuffing/ekspor
Penimbangan 2 penyusunan
13
Sortasi akhir
14
petunjuk pada teknik penanganan dan pengolahan pada SNI 01-3457.3-2006.
Pemotongan kepala tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang. Panjang genjer
juga harus sesuai agar rendemen yang dihasilkan tidak menyusut. Pada proses
pemotongan kepala ini diharapkan rendemen berkisar antara 68 - 70%, sudah ada
ketentuan dari perusahaan mengenai cara pemotongan kepala yang benar.
Penerapan rantai dingin pada proses pemotongan kepala dilakukan dengan
memberikan es curah pada udang yang akan dan telah dipotong kepalanya.
2.5.5. Pencucian II
Pencucian yang bertujuan untuk membuang lendir dan kotoran yang menjadi
sumber kontaminasi bakteri dan membersihkan kotoran dari kepala udang yang
masih menempel pada badan udang. Pencucian dilakukan dengan mesin
pembersih (washing tank). Pencucian menggunakan air dingin bersuhu <5 0C
yang mengalir. Menurut Hadiwiyoto (1993), air pencucian harus dalam keadaan
dingin bersuhu 0-60C, setiap kali pencucian air dalam bak diganti atau didalam
bak dialirkan air bersih dan dingin secara terus menerus.
2.5.6. Penimbangan II
Penimbangan ini bertujuan untuk menentukan berat udang yang dhasilkan tiap
meja pemotongan kepala sehingga dapat diketahui rendemen dari HO ke HL dan
digunakan untuk menentukan upah karyawan borongan bagian pemotongan
kepala udang. Penimbangan dilakukan secara higienis menggunakan timbangan
yang tidak berkarat (SNI 01-3457.3-2006).
15
Sortasi akhir dilakukan oleh karyawan berpengalaman secara cepat, cermat,
dan hati-hati dengan cara memisahkan kembali udang yang telah disortasi awal
sehingga didapatkan size sesuai rencana produksi.
Bahan baku udang yang telah di sortasi akan mengalami proses seperti
pencucian, deheading, sizing and grinding, weighting, penyusunan udang dalam
pan dan pengisian air, pembekuan, glazing, pemeriksaan logam, pengemasan, dan
penyimpanan dalam cold storage (Murniati dan Sari, 2002).
16
merendam keranjang yang berisi udang kedalam bak yang berisi air dingin
bersuhu <5oC. Air pencucian diganti setiap 1 jam sekali bertujuan untuk mencegah
kontaminasi silang dari air tehadap produk.
Menurut Hadiwiyoto (1993), air pencucian harus dalam keadaan dingin
bersuhu 0-60C, setiap kali pencucian air dalam bak diganti atau didalam bak
dialirkan air bersih dan dingin secara terus menerus.
2.5.13. Penimbangan IV
Penimbangan ini dilakukan secara cepat dan hati-hati, penimbangan ini
bertujuan untuk mengukur berat udang per pan, biasanya udang setelah dtreatmen
ditiriskan selama 3 menit kemudian ditimbang seberat 4 lbs (1816-1820) atau 900
gr tergantung permintaan buyer.
Penimbangan harus dilakukan secara higienis menggunakan timbangan yang
tidak berkarat. Timbangan harus selalu dikalibrasi untuk menjaga ketetapan
penimbangan (Purwaningsih, 1995).
17
2.5.14. Penyusunan
Pada tahap penyusunan udang disusun dalam inner pan dengan menggunakan
tangan (manual) sesuai jenis, ukuran dan permintaan pasar. Metode penyusunan
udang ini dilakukan secara berlawanan arah. Setelah udang disusun,
permukaannnya ditekan dengan plate stainless berlubang untuk meratakan
permukaan udang agar terlihat rapi.
2.5.16. Pembekuan
Pada prinsipnya proses pembekuan produk udang berkisar pada suhu -18 oC
merupakan standar suhu pusat dalam industri pembekuan udang. Penyimpanan
beku berarti meletakkan produk yang sudah beku di dalam ruangan dengan suhu
yang dipertahankan sama dan telah ditentukan sebelumnya yaitu -25oC (Saulina,
2009).
Teknologi pembekuan mempunyai peranan yang penting dalam usaha
mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan udang beku. Penerapan
teknologi ini dapat menekan kerugian yang besar dilihat dari nilai gizi, mutu
kesegaran dan nilai ekonomi. Misalkan dalam persyaratan mutu untuk ekspor
sangat ketat, sehingga hanya udang beku dengan mutu terbaik yang bisa diterima
jika diekspor dalam keadaan beku. Ekspor udang beku membutuhkan persyaratan
yang ketat, sehingga Industri pangan khususnya pengolahan perikanan yang ingin
bertahan harus dapat menghasilkan produk bermutu yang sesuai dengan tuntutan
kebutuhan konsumen (Saulina, 2009).
18
pan. Pelepasan inner pada bak ini dilakukan dengan menggunakan pencungkil.
Posisi inner pan dibalik dan ditekan atau dihentakkan hingga udang beku terlepas
dari inner pan, selanjutnya udang beku ini dialirkan / dicelupkan ke bak
penggelasan dengan suhu air glassing <50C yaitu 2,40C selama 2-3 detik sampai
penggelasan merata keseluruh udang. Proses penggelasan harus dilakukan secara
cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat udang maksimal
-180C. Tujuan utama dari glazing adalah melapisi udang dengan air es agar tidak
mudah terjadi pengeringan pada saat penyimpanan (SNI 01-3457.3-2006).
Penggelasan yang sempurna akan menghasilkan lapisan es dengan warna putih
merata atau permukaan udang mengkilat.
19
Menurut Purwaningsih (1995), menjelaskan bahwa bahan pengemas yang
digunakan harus cocok dengan bahan yang dikemas, tidak bersifat racun, dan
menarik konsumen.
20
BAB III
MATERI DAN METODA
Kerja Praktek Akhir ini dilaksanakan di PT. Bumi Menara Internusa yang
beralamat di Jl. Ir. Sutami KM.12 Desa Lematang Tanjung Bintang, Kabupaten
Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Waktu pelaksanaan Kerja Praktek Akhir ini
yaitu mulai pada 10 April sampai 20 Mei 2017.
21
manajemen produksi di lapangan, serta survey ke lokasi fasilitas produksi.
2) Wawancara
Teknik ini dilakukan dengan melakukan tanya jawab secara langsung
dengan pembimbing lapang dan para pekerja yang ada di lokasi baik di
fasilitas produksi maupun manajemen. Teknik ini dilakukan untuk
memperoleh keterang-keterangan yang dibutuhkan untuk membantu
menyelesaikan tugas-tugas Kerja Praktek Akhir (KPA).
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari :
1. Dokumentasi
Teknik ini dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan
dokumen-dokumen, laporan-laporan, buku-buku yang berhubungan
dengan obyek pembahasan.
2. Studi kepustakaan
Teknik ini dilakukan dengan bantuan dari bermacam-macam sumber
pustaka yang bertujuan untuk membandingkan hasil yang diperoleh selama
pelaksanaan Kerja Praktek Akhir (KPA) dengan literatur yang
berhubungan dengan obyek pembahasan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Briggs M., Simon F.S., R. Subasinghe, and M. Phillips. 2004. Introduction and
movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and the
Pacific. FAO-UN. Bangkok.
Lukman. D.W. 2001. Good Manufacturing Practices (GMP). Ditjen Bina Produksi
Peternakan Deptan Kerjasama dengan Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor. 27-31 Agustus 2001. Bogor.
23
Semarang dan Kabupaten Cilacap). [Tesis], Program Studi Magister
Manajemen Sumberdaya Pantai. Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro. Semarang. 149 hlm
Wiryanti J, Witjaksono HT. 2001 Hazard analysis and critical control point dalam
Pelatihan Manajemen Dokumentasi dan Perekaman serta Audit Internal Hazard
Analysis and Critical Control Point. 12-20 Maret 2001. Bogor.
24