Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Penyakit Lyme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Borrelia burgdorferi, bakteri penyebab penyakit Lyme.

Penyakit Lyme (bahasa Inggris: Lyme disease) adalah penyakit menular pada manusia dan hewan dengan perantara (vektor) berupa caplak.[1] Penyakit ini diberi nama Lyme dari kata Old Lyme, suatu kota di Connecticut, tempat kasus ini pertama kali ditemukan.[1] Penyakit ini disebabkan oleh Borrelia burgdorferi, bakteri dari golongan Spirochetes, dan disebarkan secara luas oleh caplak Ixodes scapularis.[1] Caplak tersebut umumnya mengisap darah burung, hewan peliharaan, hewan liar, dan juga manusia.[1]

Epidemologi

[sunting | sunting sumber]
Ixodes scapularis, vektor pembawa penyakit Lyme.

Di beberapa daerah di Amerika, penyakit Lyme tidak hanya ditularkan oleh Ixodes scapularis, tetapi juga oleh Ixodes paficius dan kutu.[1] Di Eropa, spesies Borrelia lainnya yaitu B. garinii juga mampu menyebabkan penyakit dengan gejala yang mirip seperti penyakit Lyme.[2] Penularan penyakit tersebut di daerah Eropa dilakukan dengan vektor berupa kutu I. ricinus.[2] Di daerah Asia, penyakit Lyme disebabkan oleh B. afzelii melalui perantaraan I. persulcatus.[3] Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa distribusi penyakit ini sangat luas dan ditransmisikan ke manusia via golongan Borrelia dan berbagai jenis kutu yang berbeda spesiesnya, tergantung pada wilayah masing-masing.[2][3]

Gejala erythema migrans pada penderita penyakit Lyme.

Sel B. burgdorferi ditransmisikan ke manusia saat kutu sedang mengisap darah manusia.[4] Gejala utama dari penyakit ini adalah sakit kepala, sakit punggung, dingin, dan kelelahan. Pada 75 persen kasus penyakit Lyme, ditemukan adanya bintik merah yang lebar pada daerah sekitar tempat kutu mengigit manusia yang disebut erythema migrans.[4] Saat gejala awal timbul, penyakit ini dapat diatasi dengan tetrasiklin atau penisilin, tetapi apabila tidak diobati maka penyakit akan akan berkembang ke tingkat kronis yang dimulai beberapa minggu atau bulan setelah digigit kutu.[5] Penyakit Lyme kronis ditandai dengan artritis dan gangguan neurologis seperti kelumpuhan, kelemahan pada beberapa bagian anggota badan, serta dapat terjadi kerusakan jantung.[5] Apabila tetap tidak ditangani, sel B. burgdorferi dapat dapat menginfeksi sistem saraf pusat dan dorman hingga terjadi gejala klinis lainnya yang meliputi gangguan penglihatan, kejang, dan kelumpuhan wajah.[5] Sebagian gejala penyakit Lyme mirip dengan penyakit sifilis, tetapi penyakit Lyme tidak ditularkan melalui hubungan seks atau kontak fisik lainnya, berbeda dengan penyakit sifilis.[4] Penelitian menunjukkan bahwa sebagian B. burgdorferi ikut keluar dari tubuh penderita melalui urin dan penularan pada hewan diduga banyak terjadi melalui urin yang terinfeksi.[2][4]

Diagnosis

[sunting | sunting sumber]

Berbagai uji serologis seperti ELISA dan pewarnaan fluoresensi dapat dilakukan untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap B. burgdorferi yang muncul 4–6 minggu setelah infeksi terjadi.[6] Namun, uji serologis yang paling efektif saat ini adalah western blot, ini disebabkan keberadaan antibodi B. burgdorferi dapat dideteksi mulai dari infeksi pertama kali diderita hingga beberapa tahun setelahnya.[6] Setelah beberapa tahun, tubuh tidak lagi menghasilkan antibodi terhadap bakteri tersebut karena bakteri itu laten di dalam tubuh.[6]

Untuk mendeteksi B. burgdorferi dari cairan tubuh dan jaringan, dapat digunakan reaksi berantai polimerase (PCR) yang relatif sensitif dan cepat.[2] Namun, metode PCR tidak mampu membedakan antar sel B. burgdorferi yang masih hidup atau sudah mati di dalam tubuh.[2] Sebagian tes mikrobiologi dengan mengkultur B. burgdorferi dari bagian erythema migrans juga dapat dilakukan namun jarang sekali karena B. burgdorferi memerlukan media yang kompleks dan spesifik untuk pertumbuhannya.[2] Umumnya, dokter akan memberikan antibiotik ketika gejala-gejala awal penyakit ini muncul dan pasien pernah digigit kutu dalam waktu dekat kemudian diikuti dengan kemunculan erythema migrans.[7]

Pengobatan dan Pencegahan

[sunting | sunting sumber]

Untuk mencegah gigitan kutu pada kulit dan dari pakaian, dapat digunakan senyawa penangkal kutu berupa dietil-m-toluamida (DEET).[2] Vaksin untuk penyakit Lyme juga telah dikembangkan dan terutama diperuntukkan untuk hewan.[3] Untuk mengobati infeksi penyakit ini, dapat digunakan doksisiklin (senyawa turunan tetrasiklin), atau amoksisilin (antibiotik beta-laktam) selama 20–30 hari.[2] Apabila penyakit telah memasuki fase kronis maka dapat digunakan penisilin atau ceftriaxone dalam dosis tinggi yang disertai dengan probenicid, senyawa kimia yang dapat mempertahankan serum antibiotik di dalam tubuh hingga 30 hari.[2][8]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e (Inggris) Rachel Verdon (2006). Lyme Disease And the Ss Elbrus. Elderberry Press (OR). ISBN 978-1-932762-62-4. Hal.15-19
  2. ^ a b c d e f g h i j (Inggris) Madigan MT, Martinko JM, (2000). Brock Biology of Microorganisms. Prentice Hall. ISBN 978-0-13-081922-2.Hal.893-895
  3. ^ a b c (Inggris) Jeremy S. Gray (2002). Lyme borreliosis: biology, epidemiology, and control. CABI. ISBN 978-0-85199-632-5. Hal. 158-160;293
  4. ^ a b c d (Inggris) Frank J. Domino (2006). The 5-Minute Clinical Consult. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 978-0-7817-6334-9. Hal. 732-733
  5. ^ a b c (Inggris) W. Michael Scheld, Richard J. Whitley, Christina M. Marra (2004). Infections of the central nervous system. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 978-0-7817-4327-3.  Hal.21
  6. ^ a b c (Inggris) Constance A. Bean, Lesley Ann Fein (2008). Beating Lyme: Understanding and Treating This Complex and Often Misdiagnosed Disease. AMACOM. ISBN 978-0-8144-0944-2. Hal. 109-111
  7. ^ (Inggris) Karen Vanderhoof-Forschner (2003). Everything you need to know about Lyme disease and other tick-borne disorders. Wiley. ISBN 978-0-471-40793-5. Hal. 84-85
  8. ^ (Inggris) P.G. WELLING, S. DEAN, A. SELEN, M.J. KENDALL, R. WISE (1979). "PROBENECID: AN UNEXPLAINED EFFECT ON CEPHALOSPORIN PHARMACOLOGY" (PDF). Br. J. clin. Pharmac. 8: 491–495.