Satyawati
सत्यवती | |
---|---|
Tokoh Mahabharata | |
Nama | Satyawati |
Ejaan Dewanagari | सत्यवती |
Ejaan IAST | Satyavatī |
Nama lain | Durgandini, Gandawati, Matsyagandi, Yojanagandi, Kali, Basawi, Daseyi, Gandakali, Kasturigandi |
Kitab referensi | Mahabharata (Adiparwa), Hariwangsa, Bhagawatapurana |
Asal | sungai Yamuna |
Kediaman | Hastinapura |
Profesi | tukang perahu, nelayan |
Ayah | Basu (kandung) Dasabala/Dasaraja (angkat) |
Suami | Santanu |
Anak |
|
Satyawati (Dewanagari: सत्यवती; IAST: Satyavatī ; alias Durgandini) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah permaisuri Santanu dari Hastinapura, dan ibu kandung bagi Byasa, Citrānggada, dan Wicitrawirya. Ia merupakan nenek buyut bagi para Pandawa dan Korawa, tokoh utama Mahabharata.
Tokoh ini diceritakan dalam jilid awal Mahabharata, terutama Adiparwa. Selain kitab Mahabharata, kisahnya terdapat dalam Hariwangsa dan Bhagawatapurana.[1] Menurut Adiparwa, Satyawati merupakan putri dari Basu, seorang Raja Chedi. Ia dipungut oleh keluarga nelayan di tepi sungai Yamuna. Sewaktu kecil ia berbau amis, tetapi disembuhkan oleh seorang resi bernama Parasara (dalam versi pewayangan, ia disembuhkan oleh Resi Byasa). Saat dewasa, ia dinikahi oleh seorang raja bernama Santanu dari Hastinapura. Kemudian, keturunan Satyawati menjadi penerus Dinasti Kuru.
Dalam versi pewayangan Jawa, Satyawati lebih terkenal dengan nama Durgandini. Sementara itu, tokoh Setyawati dalam pewayangan adalah nama istri dari Prabu Salya, paman para Pandawa.
Arti nama
[sunting | sunting sumber]Satyawati dikenal dengan banyak nama dalam Mahabharata, contohnya: Daseyi, Gandakali, Gandawati, Kali, Matsyagandi, Satya, Basawi, dan Yojanagandi.[2] Nama "Daseyi"—panggilan yang sering diucapkan oleh Bisma, putra tirinya—berarti "orang dari kaum dasa (budak), atau "putri kaum Dasa" (ayah Satyawati dikenal sebagai Dasaraja atau Dasabala).[1][3] Basawi berarti "putri Raja Basu". Nama kelahirannya, yaitu Kali (si hitam), mengindikasikan warna kulitnya yang gelap. Nama lahirnya yang lain, yaitu Satyawati, berarti "dapat dipercaya" atau "meyakinkan"; satya berarti "kesetiaan". Seperti disebutkan tadi, ia juga dijuluki Matsyagandi saat masih kecil, dan Gandakali ("si hitam yang harum"), Gandawati, dan Yojanagandi setelah bertemu dengan Parasara.[2]
Kelahiran
[sunting | sunting sumber]Kisah asal-usul dan kelahiran Satyawati dijelaskan dalam Adiparwa. Dikisahkan seorang raja bernama Basu (Basuparisara), bertakhta di Kerajaan Chedi. Raja tersebut masih seorang keturunan Puru (leluhur Pandawa dan Korawa), memiliki permaisuri bernama Girika. Pada saat sang raja pergi berburu di tengah hutan, ia melihat bunga-bunga bermekaran, yang membuatnya teringat akan kecantikan wajah permaisurinya. Tanpa disadari, air mani sang raja menetes, lalu tertampung pada sehelai daun. Sang raja memanggil seekor elang yang sedang terbang di udara—bernama Syena—untuk mengantarkan air tersebut kepada permaisurinya. Dalam perjalanan, air tersebut jatuh ke sungai Yamuna. Di sana terdapat seekor ikan besar (penjelmaan bidadari yang dikutuk, bernama Adrika). Air mani sang raja ditelan oleh sang ikan; akibatnya ikan tersebut hamil.
Di tepi sungai Yamuna terdapat keluarga nelayan; kepala keluarga tersebut bernama Dasabala. Suatu hari ia menangkap seekor ikan besar yang sedang hamil. Karena sabda dewata, ikan tersebut tidak dimakan oleh Dasabala. Setelah dibedah, di dalam perut ikan tersebut terdapat dua bayi manusia, lelaki dan perempuan. Kemudian ikan tersebut berubah ke wujudnya semula, yaitu bidadari, lalu terbang ke kahyangan. Kedua anak yang dilahirkan tersebut diserahkan kepada Raja Basu. Anak yang laki-laki diasuh oleh keluarga raja dan di kemudian hari menjadi raja di Kerajaan Matsya, sedangkan anak yang perempuan dikembalikan kepada Dasabala karena berbau amis. Anak tersebut kemudian diberi julukan Matsyagandi karena berbau amis seperti ikan. Dasabala merawatnya sebagaimana anak sendiri, dan memberinya nama Kali ("si hitam") karena warna kulitnya yang gelap. Seiring waktu berjalan, Kali mendapat nama baru Satyawati ("dapat dipercaya"). Satyawati membantu ayahnya sebagai tukang perahu; menyeberangkan orang-orang di sungai Yamuna. Ia juga tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik.[2][4]
Pertemuan dengan Parasara
[sunting | sunting sumber]Dalam kitab Adiparwa dikisahkan tentang Resi Parasara—putra Bagawan Sakri yang merupakan cucu Maharesi Wasistha—hendak menyeberangi Sungai Yamuna. Satyawati mengantarkannya ke seberang dengan perahu. Di tengah sungai, sang resi terpikat oleh kecantikan Satyawati, meskipun berbau amis. Satyawati menjelaskan bahwa ia terkena penyakit aneh yang menyebabkan badannya berbau amis. Mendengar hal itu, Parasara menyanggupi untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Ia meraba kulit Satyawati. Tak berapa lama kemudian, bau harum semerbak tersebar. Kemudian Satyawati diberi julukan Yojanagandi ("yang wanginya tercium hingga jarak satu yojana").[1] Wanginya seperti kesturi, sehingga ia juga diberi julukan Kasturigandi ("yang berbau kesturi").[2].
Setelah membuat Satyawati berbau harum berkat kesaktiannya, Parasara berniat untuk memadu asmara dengan gadis tersebut. Namun Satyawati menolak karena tindakan tersebut tidak pantas dilakukan pada siang hari, sebab siapa saja dapat melihat mereka di tempat yang terbuka. Dengan kesaktiannya, sang resi menyeliputi area di sekitar mereka dengan kabut. Sebelum Parasara mencurahkan hasrat, Satyawati merasa muram sebab ia berpikir bahwa sang resi akan merenggut keperawanannya lalu pergi begitu saja. Mendengar keluhan tersebut, sang resi pun menganugerahkan bahwa keperawanan Satyawati akan kembali seperti sediakala setelah koitus terjadi. Selain itu, ia menganugerahkan bahwa putra yang akan dilahirkan akan luar biasa sebagaimana ayahnya, dan keharuman serta kecantikan Satyawati tidak akan lekang oleh waktu.[1]
Pada saat itu juga, Satyawati melahirkan seorang bayi laki-laki di suatu pulau di tengah sungai Yamuna. Putra tersebut tumbuh menjadi seorang pemuda secara cepat dan berjanji kepada ibunya bahwa ia akan segera muncul kapan pun Satyawati menyebut namanya. Putra tersebut diberi nama Krishna ("si hitam") karena berkulit gelap, alias Dwaipayana ("yang lahir di tengah pulau"), yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai Byasa—penghimpun Weda, penulis Purana dan Mahabharata.[1][2][5] Setelah mengucapkan perpisahan kepada ibunya, Byasa (Krishna Dwaipayana) pergi ke tengah hutan untuk bertapa, sedangkan Satyawati pulang untuk membantu ayahnya.[2][4]
Pernikahan dengan Santanu
[sunting | sunting sumber]Kisah pertemuan Satyawati dengan Santanu terdapat dalam Adiparwa. Kisah tersebut diawali dengan munculnya desas-desus bahwa di sekitar sungai Yamuna tersebar bau yang sangat harum semerbak. Kabar tersebut akhirnya sampai ke Hastinapura, ibu kota kerajaan Kuru, dan didengar oleh Prabu Santanu. Dengan penasaran, sang raja berjalan-jalan ke sana. Ia menemukan sumber bau harum tersebut dari seorang bunga desa, bernama Satyawati. Santanu jatuh cinta dan melamarnya. Orang tua Satyawati mengajukan syarat bahwa jika putrinya menjadi permaisuri Prabu Santanu yang sah, maka ia harus diperlakukan sesuai dengan dharma dan keturunannya harus menjadi penerus takhta. Mendengar syarat tersebut, sang raja membatalkan lamarannya, sebab ia telanjur mengangkat Dewabrata, putranya sebagai putra mahkota. Ia menjadi jatuh sakit karena terus memikirkan gadis pujaannya yang tak kunjung ia dapatkan.
Melihat ayahnya jatuh sakit, Dewabrata menyelidikinya. Ia bertanya kepada kusir yang mengantarkan ayahnya jalan-jalan. Dari sana ia memperoleh informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada seorang gadis. Akhirnya, ia berangkat ke sungai Yamuna. Ia mewakili ayahnya untuk melamar putri Dasabala yang sangat diinginkan ayahnya. Ia menuruti segala persyaratan yang diajukan Dasabala. Ia juga bersumpah tidak akan menikah seumur hidup dan tidak akan meneruskan takhta Dinasti Kuru agar tidak terjadi perebutan kekuasan antara keturunannya dengan keturunan Satyawati. Sumpahnya disaksikan oleh para dewata dan semenjak saat itu namanya berubah menjadi Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Satyawati menikah, lalu memiliki dua orang putra bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Silsilah
[sunting | sunting sumber]Pratipa | Sunanda | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Dewapi | Bahlika | Gangga | Santanu | Satyawati | Parasara | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Somadata | Bisma | Citrānggada | Wicitrawirya | 2 istri | Byasa | pelayan | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2 putra | Burisrawa | Gandari | Dretarastra | pelayan | Kunti | Pandu | Madri | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
100 Korawa | Dursilawati | Yuyutsu | 5 Pandawa | Widura | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e Bhattacharya, Pradip (May–June 2004). "Of Kunti and Satyawati: Sexually Assertive Women of the Mahabharata" (PDF). Manushi (142): 21–25.
- ^ a b c d e f Mani p. 709
- ^ Pargiter, F.E. (1972). Ancient Indian Historical Tradition, Delhi: Motilal Banarsidass, p.69.
- ^ a b Ganguli, Kisari Mohan (1883–1896). "SECTION LXIII". The Mahabharata: Book 1: Adi Parva. Sacred texts archive.
- ^ Mani pp. 885-6
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Mani, Vettam (1975). Puranic Encyclopaedia: A Comprehensive Dictionary With Special Reference to the Epic and Puranic Literature. Delhi: Motilal Banarsidass. ISBN 0-8426-0822-2.
- Meyer, Johann Jakob (1989) [1971]. Sexual life in ancient India. Motilal Banarsidass Publ. ISBN 81-208-0638-7.