Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Kuduskanlah hari Sabat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

"Kuduskanlah hari Sabat", atau "Kuduskanlah hari Tuhan", adalah salah satu dari Sepuluh Perintah Allah[1] yang ditemukan dalam Alkitab Ibrani.

Teks lengkap dari perintah ini menyatakan:

Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Saat Allah memberikan Sepuluh Perintah-Nya kepada bangsa Israel di Gunung Sinai, mereka diperintahkan untuk mengingat hari Sabat serta menjaga kekudusannya dengan tidak melakukan pekerjaan apapun dan memperbolehkan seluruh anggota rumah tangga untuk meninggalkan pekerjaan mereka.[2] Hal ini merupakan pengakuan atas tindakan penciptaan Allah dan status istimewa yang Allah berikan pada hari ketujuh dalam pekan penciptaan.[3]

Perjanjian Baru

[sunting | sunting sumber]

Semua kewajiban atau keharusan moral yang merupakan cerminan sembilan perintah lainnya dalam Sepuluh Perintah Allah diulangi dalam Perjanjian Baru, tetapi perintah terkait hari Sabat ini dikatakan tidak ada sama sekali.[4] Meski demikian, latar belakang dan pemahaman Yahudi atas perintah menguduskan hari Sabat mempertegas banyak pembahasan dan narasi dalam Perjanjian Baru.[5] Sebagai contoh, Yesus dikisahkan mencela orang-orang Yahudi karena kesalahpahaman mereka akan Hukum Musa dengan menjalankan perintah hari Sabat secara lebih ketat daripada yang telah Allah perintahkan. Menurut Yesus, makan pada hari Sabat tidak melanggar hukum, sekalipun makanan tersebut diperoleh dengan memetik gandum langsung dari bulirnya. Melakukan perbuatan baik pada hari Sabat juga dipandang tidak melanggar hukum oleh Yesus. Menyembuhkan orang sakit merupakan suatu karya belas kasih atau kerahiman, dan Yesus, yang digambarkan sebagai Tuhan atas hari Sabat, merupakan figur yang penuh belas kasihan. Konsekuensinya, dalam Kekristenan, kritik atas penyembuhan yang dilakukan pada hari Sabat tidak dapat dibenarkan.[6]

Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya. Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepada-Nya: "Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat."

Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam? Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah. Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat."

Setelah pergi dari sana, Yesus masuk ke rumah ibadat mereka. Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya. Mereka bertanya kepada-Nya: "Bolehkah menyembuhkan orang pada hari Sabat?" Maksud mereka ialah supaya dapat mempersalahkan Dia. Tetapi Yesus berkata kepada mereka: "Jika seorang dari antara kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada hari Sabat, tidakkah ia akan menangkapnya dan mengeluarkannya? Bukankah manusia jauh lebih berharga dari pada domba? Karena itu boleh berbuat baik pada hari Sabat."

Lalu kata Yesus kepada orang itu: "Ulurkanlah tanganmu!" Dan ia mengulurkannya, maka pulihlah tangannya itu, dan menjadi sehat seperti tangannya yang lain. Lalu keluarlah orang-orang Farisi itu dan bersekongkol untuk membunuh Dia.

— Matius 12:1-14[7]

Pandangan Katolik

[sunting | sunting sumber]

Paus Benediktus XVI mengutip kata-kata Jacob Neusner, seorang akademisi dan rabi Yahudi, untuk menjelaskan bahwa bagi Israel memelihara perintah ini adalah lebih dari sekadar ritual; perintah ini merupakan suatu cara meneladani Allah yang beristirahat pada hari ketujuh setelah peristiwa penciptaan dunia. Selain itu perintah ketiga ini juga membentuk inti dari tatanan sosial.[8]

Paus Benediktus XVI mempersembahkan Ekaristi, suatu sakramen yang dirayakan dalam setiap Misa Katolik.

Kendati ada sedikit denominasi Kristen yang mengikuti praktik Yahudi dengan merayakan hari Sabat pada hari Sabtu, umat Katolik bersama dengan sebagian besar umat Kristen merayakan hari Minggu sebagai suatu hari khusus, yang mereka sebut "Hari Tuhan". Praktik ini dimulai pada abad pertama, timbul dari keyakinan jemaat saat itu bahwa Yesus bangkit dari antara orang mati pada hari pertama minggu tersebut.[note 1][9] Didache memuat seruan agar umat Kristen berkumpul bersama pada Hari Tuhan untuk memecahkan roti dan bersyukur. Tertulianus adalah orang pertama yang menyebutkan istirahat pada hari Minggu:[9] "Bagaimanapun (sebagaimana tradisi mengajarkan kita) pada hari Kebangkitan Tuhan kita seharusnya tidak hanya berlutut, tetapi juga memelihara setiap sikap dan kesadaran, menangguhkan bahkan urusan-urusan kita agar jangan sampai kita memberi suatu tempat bagi iblis" ("De orat.", xxiii; lih. "Ad nation.", I, xiii; "Apolog.", xvi).

Pada abad ke-6, Santo Sesarius dari Arles mengajarkan bahwa seluruh kemuliaan hari Sabat Yahudi telah dipindahkan ke hari Minggu dan umat Kristen harus memelihara hari Minggu dengan cara yang sama sebagaimana orang Yahudi diperintahkan untuk memelihara hari Sabat. Konsili Orléans III pada tahun 538 mengecam kecenderungan ini, yang menerapkan hukum Sabat Yahudi ke dalam perayaan hari Minggu Kristen, karena bermotif Yahudi dan non-Kristen.[9]

Pada abad-abad berikutnya para pemimpin Gereja mencantumkan istirahat hari Minggu ke dalam ajaran resmi Gereja, dan para pemerintah Kristen sepanjang sejarah telah berupaya untuk memberlakukan istirahat hari Minggu.[9] Bagi umat Katolik, ajaran Yesus bahwa "hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat"[10] berarti bahwa perbuatan-perbuatan baik "pada saat kebutuhan orang lain menuntutnya" dapat menjadi bagian dari hari istirahat.[11] Katekismus Gereja Katolik menyajikan panduan tentang bagaimana merayakan Hari Tuhan, termasuk menghadiri Misa pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib.[12] Pada hari-hari tersebut, umat Katolik mungkin tidak bekerja atau melakukan aktivitas yang menghalangi ibadah yang ditujukan kepada Allah, tetapi "karya-karya belas kasih dan relaksasi yang pantas dalam semangat suka cita" diizinkan.[11]

Menurut Konferensi Uskup Katolik Amerika Serikat (USCCB), perintah ini "telah diwujud nyatakan bagi umat Katolik" sebagai salah satu dari aturan-aturan Gereja. Organisasi tersebut mengutip ensiklik kepausan Dies Domini:

Karena umat beriman diwajibkan untuk menghadiri Misa kecuali ada suatu halangan serius, para pastor memiliki tugas untuk menawarkan kemungkinan nyata kepada semua orang agar dapat memenuhi aturan tersebut. ... Namun lebih dari sekadar aturan, perayaan [Misa] seharusnya dilihat sebagai suatu kebutuhan yang timbul dari kedalaman hidup Kristiani. Adalah sangat penting bahwa semua umat beriman seharusnya yakin bahwa mereka tidak dapat menghidupi iman mereka atau berbagi secara penuh dalam kehidupan komunitas Kristiani kecuali mereka mengambil bagian secara teratur dalam persekutuan Ekaristis pada hari Minggu.[13]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Umat Kristen Yahudi merayakan hari Sabat pada hari terakhir setiap minggu dan tetap memelihara hukum-hukum Yahudi terkait hari Sabat. Namun, sejak abad-abad awal, sebagian besar umat Kristen non-Yahudi telah merayakannya pada hari pertama setiap minggu dengan pertimbangan bahwa mereka bebas dari ketentuan-ketentuan hukum Yahudi yang banyak itu.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Keluaran 20:1-21, Ulangan 5:1-23; (Inggris) "Ten Commandments", New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1174-1175
  2. ^ Keluaran 20; (Inggris) "Sabbath", New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1042-1043; Sabbath, The New Unger's Bible Dictionary, Moody Publishers, 1988, pp. 1095-1096
  3. ^ Keluaran 20:11-12; (Inggris) "Sabbath", New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1042-1043
  4. ^ (Inggris) Warren W. Wiersbe, The Bible Exposition Commentary: New Testament: Volume 1, Cook Communications, 1989, p. 392; Greg L. Bahnsen, Wayne G. Strickland, Douglas J. Moo, Willem A. Van Gemeren, Five Views of Law and Gospel, Zondervan, 1999,p. 81; John F. Walvoord, Roy B. Zuck, The Bible Knowledge Commentary: New Testament Edition, David C. Cook, 1983, p. 678; William Henry Branson, In Defense of the Faith, Herald, 1949, p. 122; Normal Geisler, Ron Rhodes, Conviction Without Compromise, Harvest House, 2008, p. 316
  5. ^ (Inggris) Sabbath, New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1042-1043; Sabbath, The New Unger's Bible Dictionary, Moody Publishers, 1988, pp. 1095-1096
  6. ^ Matius 12:1-14; (Inggris) "Sabbath", New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1042-1043
  7. ^ Matius 12:1-14
  8. ^ (Inggris) Benedict XVI, Pope (2008). Jesus of Nazareth. Doubleday. hlm. 108. ISBN 978-0-385-52341-7. 
  9. ^ a b c d (Inggris)  Stapleton, John (1913). "Sunday". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. 
  10. ^ Markus 2:27
  11. ^ a b (Inggris) Schreck, Alan (1999). The Essential Catholic Catechism. Servant Publications. hlm. 306. ISBN 1-56955-128-6. 
  12. ^ (Inggris) (Inggris) "Paragraphs 2168–2195", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  13. ^ (Inggris) USCCB (United States Conference of Catholic Bishops) (2008). United States Catechism for Adults. USCCB Publishing. hlm. 366–367. ISBN 978-1-57455-450-2. 

Bacaan tambahan

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]