Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Kesultanan Bima

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
كسلطانن بيما مبوجو

Kesultanan Bima
1620–1958
Bendera Bima
Bendera
Istana Sultan Bima
Istana Sultan Bima
Ibu kotaBima
Bahasa yang umum digunakanBima
Agama
Islam
PemerintahanKesultanan
Sultan 
Sejarah 
• Kerajaan Bima berkonversi menjadi Kesultanan Bima
1620
• Status kesultanan dihapus oleh Republik Indonesia
1958
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Bima
Hindia Belanda
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Wilayah Kekuasaan Kerajaan Bima di Puncak Kejayaannya Pada Abad 15 di Bawah Kepemimpinan Tureli Manggampo Bilmana.
Sultan Muhammad Salahuddin (bertahta 1915-1951)

Kesultanan Bima (كسلطانن بيما) adalah kerajaan Islam yang didirikan pada abad 17, tanggal 7 Februari 1621 Masehi. Sultan pertamanya adalah raja ke-27 dari Kerajaan Mbojo Bima yang bernama La Kai. Puncak kejayaannya terjadi pada abad 15 di bawah kepemimpinan Tureli Manggampo Bilmana yang pernah membawa Bima menguasai Pulau Sumbawa, Pulau Flores, Pulau Sumba, Sawu, Larantuka hingga ke Alor. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan, dan Sultan terakhirnya adalah Sultan Muhammad Salahuddin.[1]

Aksara Bima Kuno yang termasuk rumpun aksara Hanacaraka-Brahmi. Diperkenalkan pertama kali di era kepemimpinan Ruma Sangaji Manggampo Jawa pada sekitar abad 10-11, disebut Tunti Mbojo. Sezaman dengan era Kerajaan Medang atau Mataram Kuno di Jawa.
Aksara Bima Baru, yang mendapat pengaruh dari hubungan dagang yang intens dengan Bugis-Makassar sekitar abad 16-17, disebut Tunti Bou. Sebelum digantikan dengan Aksara Pegon/Arab Melayu saat memasuki era Kesultanan.

Awal Pendirian

[sunting | sunting sumber]
Wilayah Sebaran Utama Suku Mbojo Pada Masa Awal Terbentuknya Federasi Ncuhi Bima Sekitar Abad ke-9 Masehi.

Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah kelompok masyarakat Suku Mbojo yang menganut paham makamba dan makimbi atau dalam bahasa Indonesianya animisme dan dinamisme, oleh masyarakat lokal kepercayaan ini disebut Parafu. Masyarakat ini kemudian disatukan bersama suku-suku lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh Sang Bima yang mengajarkan agama Hindu dari Jawa. Setelah itu, ia menggagas berdirinya Kerajaan Bima.[2]

Sebelum kedatangan Sang Bhima, para Ncuhi (penguasa wilayah) telah membentuk federasi untuk menghindari konflik perebutan wilayah yang berkepanjangan, namun tanpa pemimpin tertinggi seperti raja.

Kerajaan Bima mulai digagas oleh Sang Bhima pada abad ke-8 Masehi, tepatnya tahun 631 Saka atau 709 Masehi, berdasarkan umur situs Wadu Paa yang dipahat oleh Sang Bhima saat pertama datang ke Bima.

Sang Bhima menikah dengan seorang putri Bima yang berasal dari Pulau Satonda di bagian utara Bima bernama Indra Tasi Naga, dari keturunannya inilah yang menjadi raja-raja Bima nantinya. Karena sosoknya yang dinilai cerdas, karismatik dan berwibawa, para Ncuhi memintanya menjadi raja. Namun Sang Bhima harus kembali ke Kerajaan Medang. Ia kemudian mengatakan nanti akan mengirim anaknya untuk memimpin. Sehingga kepemimpinan sementara diberikan ke Ncuhi Dara, penguasa wilayah Tengah atau Kota Bima sekarang.

Tahun 823 (abad 9), dua anak Sang Bhima tiba di Bima, bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dibekali kemampuan sebagai pelaut dan nelayan, sedangkan Indra Kumala dibekali kemampuan ahli pertanian. Sebelum salah satunya diangkat sebagai raja Bima, Indra Zamrud diasuh oleh Ncuhi Dara, sementara Indra Kumala diasuh oleh Ncuhi Dorowuni, penguasa wilayah Timur. Namun Indra Zamrud lah yang diangkat menjadi raja dengan gelar Ruma Sangaji. Ruma/uma berarti rumah/pelindung, Sanga berarti percabangan seperti cabang pohon, dan Ji berarti jin. Sehingga Ruma Sangaji diartikan sebagai manusia setengah dewa; manusia sakti sebagai pelindung.

Indra Zamrud memberi nama Bima sebagai nama kerajaan untuk menghormati Sang Bhima yang telah merintis berdirinya kerajaan Bima. Ia membangun istana pertamanya bernama Asi Wadu Perpati dengan gotong royong bersama masyarakat di bawah pimpinan Bumi Jero sebagai kepala bagian pembangunan dan pertukangan.

Sedangkan Indra Kumala dikabarkan menghilang di salah satu mata air yang terletak di bagian timur pusat kota Bima, sekarang menjadi situs Oimbo, yang berasal dari kata Oi Mbora (Oi=Air, Mbora=Hilang) yang artinya mata air tempat hilangnya Indra Kumala.

Awal Kesultanan

[sunting | sunting sumber]
Wilayah Bima saat pertama kali muncul dalam peta pertama Melayu-Portugis buatan Eropa tahun 1563
Mahkota Sultan Bima

Pada tahun 1540 Masehi, para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Demak datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh Sunan Prapen, tetapi tidak dilanjutkan setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Ternate yang diutus oleh Sultan Baabullah. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan oleh Sultan Alauddin pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari Kesultanan Gowa dan Kesultanan Tallo dari Makassar. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi muslim pada tanggal 15 Rabiul Awal tahun 1030 Hijriyah. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.[3]

Imperium Nusantara Timur Selatan

[sunting | sunting sumber]

Puncak kejayaan Bima terjadi pada abad ke-15, ketika kerajaan ini menguasai seluruh Pulau Sumbawa dan melakukan ekspansi ke luar pulau, termasuk ke Sumba, Manggarai, Sabu/Sawu, Ende, Larantuka, Komodo, hingga kepulauan Alor di bawah kepemimpinan Tureli Manggampo Bilmana.

Seiring menguatnya pengaruh Bangsa Barat di Nusantara, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima perlahan menyusut. Hingga pada abad ke-19 M, hanya menyisakan Pulau Sumbawa bagian timur, Manggarai, dan pulau‑pulau kecil di Selat Alas. Wilayah Kesultanan Bima berbatasan langsung dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Di Pulau Sumbawa, wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi tiga distrik utama yaitu Belo, Bolo, dan Sape. Tiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut Djeneli. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah Reo dan daerah Pota. Pemimpin masing-masing distrik bergelar naib yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para naib ini memimpin para galarang, dan kepala kampung.[4]

Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur Hindia Belanda. Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu. Kesultanan Bima juga memperoleh wilayah Kerajaan Sanggar yang berada di pantai barat semenanjung Gunung Tambora pada tahun 1928.[5]

Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]
Bendera Nggusu Waru Bima Era Kerajaan

Kesultanan Bima menggunakan gelar Ruma kepada para sultannya. Gelar ini melambangkan bahwa sultan adalah khalifah dan wakil Allah di bumi. Sultan diberi wewenang oleh masyarakatnya untuk menjadi pemimpin dan pemerintah. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak mementingkan keperluan pribadinya. Pemerintahan sultan sepenuhnya dilaksanakan sesuai syariat Islam. Nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dipadukan dan membentuk tradisi pemerintahan.[6]

Mbangga Mbaru, lambang Kesultanan Bima

Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Kesultanan Bima pada tahun 1908 dan menerapkan pemerintahan terpusat. Wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi 5 distrik pemerintahan yaitu Distrik Rasanae, Distrik Donggo, Distrik Sape, Distrik Belo, dan Distrik Bolo. Distrik Rasanae dipimpin oleh Sultan, sedangkan Distrik Donggo dipimpin oleh Sultan Muda. Distrik Sapa dipimpin oleh Raja Bicara, Distrik Bolo dipimpin oleh Raja Sakuru. dan Distrik Bolo dipimpin oleh Rato Parado.[7] Pada tahun 1909, Kesultanan Bima digabung ke dalam Keresidenan Timur Hindia Belanda dengan pusat pemerintahan di Makassar. Semua urusan kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah kolonial Belanda.[8]

Sultan Ismail

[sunting | sunting sumber]

Sultan Ismail adalah sultan ke-10 Kesultanan Bima. Ia adalah putra dari Sultan Abdul Hamid. Kekuasaannya dimulai sejak pengangkatannya pada tanggal 26 November 1819.[9] Sultan Ismail berkuasa hingga tahun 1854. Selama masa kekuasaannya, Kesultanan Bima membangun banyak musala dan masjid di seluruh wilayahnya. Pada awal pemerintahannya, masyarakat hidup miskin dan menderita kelaparan akibat letusan Gunung Tambora, serangan bajak laut, dan kemarau panjang. Perekonomian Kesultanan Bima kemudian membaik setelah Sultan Ismail beralih patuh kepada Inggris.[10]

Sultan Abdul Kadim

[sunting | sunting sumber]

Sultan Abdul Kadim adalah sultan kedelapan dari Kesultanan Bima. Ia berkuasa sejak tanggal 9 Februari

Sultan Abdul Hamid

[sunting | sunting sumber]

Sultan Abdul Hamid adalah putra dari Sultan Abdul Kadim. Ia memerintah mulai tahun 1773 M. Pada masa pemerintahannya, perdagangan di wilayah Kesultanan Bima telah menjadi hak monopoli Belanda. Ia kemudian berperan dalam mempermudah izin pelayaran kapal-kapal di wilayah Kesultanan Bima.[11]

Sultan Muhammad Salahuddin

[sunting | sunting sumber]

Sultan Muhammad Salahuddin adalah putra Sultan Ibrahim. Ia berkuasa pada tahun 1915 dan mengubah keadaan politik dan pemerintahan.[7] Selama pemerintahannya, ia mendirikan sekolah Islam di Raba dan Kampo Suntu. Selain itu, masjid-masjid didirikan di tiap desa dalam wilayah Kesultanan Bima. Sultan Muhammad Salahuddin juga mendirikan peradilan urusan agama yang disebut Badan Hukum Syara. Ia juga mulai melepaskan pengaruh Hindia Belanda di kesultanannya dengan melakukan peperangan dan mendirikan berbagai organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.[12]

Kehidupan Masyarakat

[sunting | sunting sumber]

Masyarakatnya memiliki tiga sifat yang berasal dari masa awal pendirian Kerajaan Bima, yaitu sifat sabar, malu dan takut. Ketiga sifat ini diwariskan oleh Sang Bima kepada kedua anaknya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dibekali ilmu melaut, sedangkan Indra Kumala dibekali ilmu bertani. Pengetahuan ini kemudian diajarkan kepada masyarakat Bima.[13] Setelahnya, Wilayah Kesultanan Bima telah menjadi kawasan perdagangan sejak abad ke-11 M. Perannya adalah sebagai penghubung antara Kerajaan Medang di Pulau Jawa dan Kepulauan Maluku. Kerajaan Bima menjadi tempat perdagangan dan persinggahan. Hasil bumi yang diperdagangkan berupa soga, sapang dan rotan. Perdagangan dilakukan di pelabuhan Bima Lawa Due dan Nanga Belo. Para pedagang juga singgah untuk mempersiapkan bekal ke Maluku berupa makanan dan air minum.[14]

Struktur Sosial

[sunting | sunting sumber]

Penduduk asli di Kesultanan Bima adalah masyarakat Suku Donggo yang menghuni wilayah pegunungan. Wilayah pemukimannya berada di Kecamatan Donggo dan Kecamatan Wawo Tengah.[15] Penduduk yang lainnya adalah Suku Bima. Suku ini awalnya adalah para pendatang dari Suku Makassar dan Suku Bugis yang menghuni wilayah pesisir Bima. Mereka kemudian menikahi penduduk asli dan menetap sebagai penduduk di Bima pada abad ke-14.[16] Para pendatang lain berasal dari Suku Melayu dan Suku Minangkabau. Mereka menetap di wilayah Teluk Bima, Kampung Melayu, dan Benteng. DI Kesultanan Bima juga terdapat pemukiman Arab yang terdiri dari para pedagang dan mubalig.[17]

Lukisan Makam Kuno Raja-Raja Bima (1821)

Keagamaan

[sunting | sunting sumber]

Sebelum kedatangan Hindu dan Islam, masyarakat Bima telah memiliki agama lokalnya sendiri bernama Parafu. Kepercayaan ini mempercayai adanya kekuatan alam dan roh leluhur yang melindungi dan bersemayam di gunung, pohon dan bebatuan besar, juga di mata air serta di benda-benda yang dikeramatkan. Parafu berasal dari kata Ma dan Rapu, Ma artinya Yang, dan Rapu artinya Dekat, sehingga dapat diartikan sebagai Yang Dekat.

Agama Hindu masuk ke Bima bersamaan dengan kedatangan Sang Bhima, namun dalam implementasinya hingga memasuki era Kesultanan, kepercayaan Hindu tidak terlalu kuat, karena dicampur dengan kepercayaan lokal, dan menjadi Hindu khas Bima.

Islam pertama kali diperkenalkan ke Kesultanan Bima oleh Sayyid Ali Murtadlo atau Sunan Gisik yang berasal dari Gresik. Ia adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmaraqandi dan kakak dari Sunan Ampel. Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan perdagangan. Penerimaan Islam hanya oleh kelompok kecil pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah pesisir.[18]

Islamisasi di Sulawesi Selatan selama periode tahun 1605 hingga 1611 membuat Kesultanan Gowa memperluas penyebaran Islam ke Kepulauan Nusa Tenggara.[19] Kesultanan Gowa memusatkan penyebaran Islam di Pulau Sumbawa setelah hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan diislamkan.[20] Penyebaran Islam dilanjutkan oleh para pedagang dari Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, Kesultanan Luwu, Kesultanan Bone, dan Kesultanan Ternate. Hubungan politik, budaya dan ekonomi antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Bima akhirnya membuat raja Kerajaan Bima yang bernama La Kai menjadi muslim. Islam yang berkembang di Kesultanan Bima juga dipengaruhi oleh Kesultanan Gowa.[21]

Kesultanan Bima kemudian menerapkan hukum Islam dan hukum adat secara bersamaan. Pemerintahan Kesultanan Bima kemudian membentuk lembaga eksekutif dan yudikatif.[22] Sejak tanggal 14 Agustus 1788, Kesultanan Bima memiliki lembaga peradilan Islam yang bernama Mahkamah Syar'iyyah. Tugas utamanya adalah mengadili dalam urusan syariat Islam. Setelah Belanda memerintah di Kerajaan Bima, Mahkamah Syar’iyyah digantikan oleh sistem peradilan Hindia Belanda pada tahun 1908.[23]

Daftar Sultan

[sunting | sunting sumber]

Para sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Bima adalah sebagai berikut:[24]

Daftar Sultan di Kesultanan Bima
Sultan ke- Nama Gelar Periode
1 La Kai Seri Sultan Abdul Kahir I Ruma Ta Ma Bata Wadu 1621—1640
2 I Ambela Seri Sultan Abdul Khair Sirajuddin Muhammad Shah Ruma Ta Mantau Uma Jati 1640—1682
3 Seri Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Shah Ruma Ta Mawa’a Paju 1682—1687
4 Seri Sultan Jamaluddin Inayat Shah Ruma Ta Mawa’a Romo 1687—1696
5 Seri Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Shah Ruma Ta Mabata Bou 1696—1731
6 Seri Sultan Alauddin Muhammad Shah Zillullahi fi al Alam Ruma Ta Manuru Daha 1731—1748
7 Sultanah Kamalat Shah Rante Patola Sitti Rabi’ah Bumi Partiga 1748—1751
8 Seri Sultan Abdul Kadim Muhammad Shah Zillullahi fi al Alam Ruma Ta Mawa’a Taho 1751—1773
9 Seri Sultan Shafiuddin Abdul Hamid Muhammad Shah Zillullahi fi al Alam Ruma Ta Mantau Asi Saninu 1773—1817
10 Seri Sultan Ismail Muhammad Shah Zillullahi fi al Alam Ruma Ta Mantau Dana Sigi 1817—1854
11 Seri Sultan Abdullah Muhammad Shah Zillullahi fi al Alam Ruma Ta Mawa’a Adil 1854—1868
12 Seri Sultan Abdul Aziz Zillullahi fi al Alam Ruma Ta Mawa’a Sampela 1868—1881
13 Seri Sultan Ibrahim Zillullahi fi al Alam Ruma Ta Ma Taho Parange 1881—1915
14 Seri Sultan Muhammad Salahuddin Zillullahi fi al Alam Ruma Ta Ma Kakidi Agama Mambora di Jakarta 1915—1951
15 Seri Sultan Abdul Kahir II Muhammad Shah Zillullah fi al Alam Rumata Ma Wa’a Busi Ro Mawo Swapraja 1951—1958. Meninggal: 2001.

Peninggalan Sejarah

[sunting | sunting sumber]

Istana Asi Mbojo

[sunting | sunting sumber]
Istana Sultan Bima pada tahun 1949

Istana Asi Mbojo didirikan pada tahun 1888 dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim. Istana ini digunakan hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Pada tahun 1927, istana Asi Mbojo diperbaiki dan ditempati kembali pada tahun 1929. Arsitekturnya dirancang dengan menggunakan perpaduan arsitektur Bima dan Belanda. Perancangnya adalah Obzicter Rahatta yang merupakan tahanan Hindia Belanda dari Ambon. Istana Asi Mbojo kemudian menjadi Museum Asi Mbojo [25] Pada masa Kesultanan Bima, istana ini digunakan sebagai kediaman sultan bersama keluarganya, serta sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyiaran agama.[26]

Istana Asi Bou

[sunting | sunting sumber]

Istana Asi Bou dibangun pada tahun 1927 sebagai kediaman sementara untuk sultan dan keluarganya. Kediaman ini digunakan selama pembangunan ulang dari Istana Asi Mbojo. Istana Asi Bou merupakan sebuah rumah panggung tradisional. Bahan bangunannya berupa kayu jati yang berasal dari Tololai, Kecamatan Wera. Pembangunannya menggunakan biaya dari kas keuangaan Kesultanan Bima dan dana pribadi Sultan Muhammad Salahuddin.[27]

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin

[sunting | sunting sumber]

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin mulai dibangun pada tahun 1737 M dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim. Pembangunan masjid diteruskan oleh Sultan Abdul Hamid. Ia mengubah model atap masjid menjadi bersusun tiga yang menyerupai Masjid Kudus. Pada tahun 1943, Sultan Muhammad Salahuddin memerintahkan pembangunan ulang masjid yang hancur setelah dibom oleh pesawat pasukan sekutu dalam Perang Dunia II. Masjid ini kembali diperbaiki pada tahun 1990 oleh Siti Maryam yang merupakan putri dari Sultan Muhammad Salahuddin.[27]

Masjid Al-Muwahiddin

[sunting | sunting sumber]

Masjid Al-Muwahiddin dibangun pada tahun 1947 dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Tujuan pembangunannya adalah untuk menggantikan sementar fungsi dari Masjid Muhammad Salahuddin yang telah hancur. Masjid ini difungsikan sebagai tempat kegiatan ibadah, dakwah, dan studi Islam.[28]

Peninggalan Budaya

[sunting | sunting sumber]

Compo Sampari

[sunting | sunting sumber]
Upacara Compo Sampari di Bima tempo dulu, foto sekitar tahun 1953.

Compo sampari (penyematan keris) adalah tradisi upacara kedewasaan anak laki-laki Bima. Saat Bima memasuki era kesultanan, tradisi ini dikembangkan dalam nuansa islami dan menjadi penanda anak laki-laki yang akan dikhitan. Prosesinya dimulai dengan pembacaan zikir dan salawat, kemudian keris diarahkan mengelilingi anak sebanyak tiga atau tujuh kali yang dilakukan oleh tetua. Setelah itu, keris disematkan di bagian depan dan diapit menggunakan sabuk yang telah dilingkarkan di perut sang anak, dengan ujung keris mengarah ke kiri bawah. Badan sarung keris dipegang dengan tangan kiri, kemudian ganggangnya dipegang dengan tangan kanan sang anak. Kemudian prosesinya ditutup dengan salawat, setelah itu sang anak bergerak menghentakkan kaki ke tanah sambil mengacungkan keris yang dikeluarkan dari sarungnya ke arah atas kanan menggunakan tangan kanan.

Rimpu: pakaian muslimah perempuan Bima yang berkembang di era kesultanan.

Rimpu adalah busana wanita berupa sarung yang digunakan oleh para muslimah di Kesultanan Bima. Kegunaannya adalah sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri dari dua lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya bagian muka atau mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai pengganti rok.[29] Muka tertutup untuk yang masih gadis, dan muka terbuka untuk yang sudah menikah. Rimpu diperkenalkan pertama kali di Bima pada abad ke-17 M saat Bima bertransformasi dari pemerintahan berbentuk kerajaan menjadi pemerintahan berbentuk kesultanan.[30]

Songko Lenta

[sunting | sunting sumber]
Songko Lenta Bura.
Songko Lenta Me'e

Songko Lenta merupakan penutup kepala pria masyarakat Bima, yang awalnya hanya digunakan oleh Nenti Mone atau kasim Sultan Bima, dengan dua jenis warna, yaitu Me'e (hitam) dan Bura (putih keemasan)..

Sambolo Toho Leme; ikat kepala lelaki Bima untuk golongan bangsawan.

Sambolo merupakan ikat kepala yang terbuat dari kain tenun tradisional Bima, motifnya yang serupa sarung songket (songke), membuat sambolo kerap kali disebut sambolo songke. Cara memakainya yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga melingkari kepala dalam keadaan tertutup.

Bedasarkan status sosial pamakaiannya, maka cara memakai (memasang) sambolo ada dua bentuk, yaitu:

- Toho Leme (yang dipasang dalam bentuk kerucut), di bagian kerucutnya ditempatkan berposisi miring di sebelah kanan kepala, untuk para bangsawan.

Sambolo Toho Sungge; ikat kepala lelaki Bima untuk golongan rakyat biasa.

- Toho Sungge (yang dipasang dalam bentuk biasa), tidak bentuk berkerucut, tetapi dipasang dalam keadaan biasa saja, untuk rakyat biasa.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Mawaddah 2017, hlm. 141.
  2. ^ Saputri 2016, hlm. 633.
  3. ^ Saputri 2016, hlm. 634.
  4. ^ Haris 2006, hlm. 18.
  5. ^ Haris 2006, hlm. 19.
  6. ^ Effendy 2017, hlm. 185.
  7. ^ a b Sumiyati 2020, hlm. 22.
  8. ^ Sumiyati 2020, hlm. 23.
  9. ^ Mandyara 2017, hlm. 47.
  10. ^ Mandyara 2017, hlm. 48.
  11. ^ Mawaddah 2017, hlm. 142.
  12. ^ Sumiyati 2020, hlm. 25.
  13. ^ Sulistyo 2014, hlm. 160.
  14. ^ Sulistyo 2014, hlm. 159.
  15. ^ Aulia 2013, hlm. 2.
  16. ^ Aulia 2013, hlm. 3.
  17. ^ Aulia 2013, hlm. 4.
  18. ^ Salahuddin 2005, hlm. 194.
  19. ^ Effendy 2017, hlm. 188.
  20. ^ Effendy 2017, hlm. 189.
  21. ^ Salahuddin 2005, hlm. 195.
  22. ^ Salahuddin 2005, hlm. 195–196.
  23. ^ Salahuddin 2005, hlm. 196.
  24. ^ Haris 2006, hlm. 30–31.
  25. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13.
  26. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13–14.
  27. ^ a b Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 14.
  28. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 15.
  29. ^ Aksa 2018, hlm. 84.
  30. ^ Aksa 2018, hlm. 85.

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]