Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Filsafat Bahasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Filsafat bahasa)
Mazhab Athena (1509-1511) karya Raffaello Sanzio, menampilkan para filsuf Yunani terkemuka pada latar ruangan indah yang terinspirasi karya-karya arsitektur Yunani Kuno

Filsafat bahasa dalam filsafat analitik mengkaji sifat bahasa, hubungan antara bahasa, pengguna bahasa, dan dunia. Pengkajiannya mencakup sifat makna, intensionalitas, referensi, konstitusi kalimat, konsep, pembelajaran, dan pemikiran. Gottlob Frege dan Bertrand Russell merupakan tokoh pentinnya. Kedua ahli dan penulis tersebut diikuti oleh Ludwig Wittgenstein (Tractatus Logico-Philosophicus), Lingkaran Wina serta positivis logis, dan Willard Van Orman Quine.[1]

Dalam filsafat kontinental, bahasa tidak dipelajari sebagai disiplin ilmu yang terpisah. Sebaliknya, hal tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari banyak bidang pemikiran lain, seperti fenomenologi, semiotika struktural,[2] bahasa matematika, hermeneutika, eksistensialisme, dekonstruksi, dan teori kritis.

Filsafat kuno

[sunting | sunting sumber]

Kajian soal bahasa di negara barat telah berlangsung sejak abat ke-5 sebelum Masehi (SM). Kajian soal bahasa telah dimulai oleh sejumlah ahli, diantaranya Socrates, Plato, Aristoteles, dan Stoa.[3] Selain di barat, di India, Yunani dan negara lainnya, spekulasi linguistik telah lebih dahulu munculnya tradisi gramatikal deskripsi sistematis bahasa, yang muncul sekitar abad ke-5 SM di India (lihat Yāska), dan sekitar abad ke-3 SM di Yunani (lihat Rhianus).

Dalam dialog Cratylus, seorang ahli bernama Platon menimbang-nimbang pertanyaan apakah nama-nama benda ditentukan oleh konvensi atau oleh alam atau tidak. Dia mengkritisi konvensionalisme lantaran mengakibatkan konsekuensi aneh, bahwa apa pun dapat secara konvensional dinominasikan dengan nama apa pun. Oleh sebab itu menyebabkan tidak bisa dijelaskan aplikasi nama antara yang benar atau salah. Ia mengklaim bahwa ada kebenaran alami untuk nama. Demi melakukan itu, dia menunjukkan bahwa kata dan frasa majemuk memiliki kisaran kebenaran. Dia juga memberikan pendapat bahwa nama-nama primitif memiliki kebenaran yang alami. Alasannya karena setiap fonem mewakili ide atau sentimen dasar. Semisalnya, bagi Plato, huruf dan suaranya mewakili gagasan kelembutan. Meski negitu, pada akhir dialog Cratylus tersebut, dia mengakui bahwa beberapa konvensi sosial juga terlibat, dan ada kesalahan dalam gagasan bahwa fonem memiliki makna individual.[4] Plato sering dianggap sebagai pendukung realisme ekstrim.

Aristoteles tertarik dengan masalah logika, kategori, dan penciptaan makna. Dia melahirkan sebuah teori yang disebut sebagai nominalisme. Teori itu memisahkan segala sesuatu ke dalam kategori spesies dan genus. Dalam teori yang dilahirkannya, Aristoteles berpendapat bahwa makna suatu predikat dibentuk melalui abstraksi persamaan-persamaan antara berbagai hal individu.[5] Namun, karena Aristoteles menganggap kesamaan ini didasari oleh kesamaan bentuk yang nyata, ia lebih sering dianggap sebagai pendukung " realisme moderat."

Filsuf Stoic menyajikan kontribusi penting bagi analisis tata bahasa, membedakan lima bagian pidato: kata benda, kata kerja, apelatif (nama atau julukan ), konjungsi dan artikel. Mereka juga mengembangkan doktrin canggih terkait lektón yang berhubungan dengan setiap tanda bahasa, namun berbeda dari tanda itu sendiri dan hal yang dirujuknya. Lekton ini sendiri memiliki makna arti (atau pengertian) dari pada setiap istilah. Istilah Lekton dewasa ini sering disebut dengan istilah proposisinya.[6] Hanya proposisi yang dianggap sebagai "pembawa kebenaran" atau "wahana kebenaran" (yaitu, mereka dapat disebut benar atau salah) sedangkan kalimat hanyalah sarana ekspresi mereka. Lekta yang berbeda juga dapat mengungkapkan hal-hal selain proposisi, seperti perintah, pertanyaan, dan seruan.[butuh rujukan]

Filsafat abad pertengahan

[sunting | sunting sumber]

Filsuf abad pertengahan sangat tertarik pada seluk-beluk bahasa dan penggunaannya. Bagi banyak skolastik, minat ini dipicu oleh kebutuhan untuk menerjemahkan teks-teks Yunani ke dalam bahasa Latin. Ada beberapa filsuf bahasa yang terkenal pada periode abad pertengahan. Menurut Peter J. King, (meskipun ini telah diperdebatkan), Peter Abelard mengantisipasi teori referensi modern.[7] Juga, Summa Logicae William dari Ockham mengajukan salah satu proposal serius pertama untuk mengkodifikasi bahasa mental.[8]

Para skolastik pada massa abad pertengahan terdahulu, seperti Ockham dan John Duns Scotus, memeberikan pendapat bahwa logika sebagai scientia sermocinalis diartikan sebagai ilmu bahasa. Hal itu berdasarkan hasil studi mereka yaitu elaborasi gagasan linguistik-filosofis yang kompleksitas yang kehalusannya diapresiasi. Banyak permasalahan yang panting dari filsafat bahasa moderen yang telah atasi oleh kedua pemikir abad pertengahan tersebut. Fenomena terkait ambiguitas dan ketidakjelasan mereka dianalisis secara intensif sehingga menyebabkan meningkatnya minat pada masalah yang berhubungan dengan pemakaian kata-kata sinkategorematik seperti dan, tidak, atau, setiap, dan jika. Kajian soal kata istilah atau kategoris dan sifat-sifatnya juga dikembangkan dengan pesat ketika itu.[9] Salah satu perkembangan utama skolastik dibidang itu yaitu doktrin suppositio.[10] Suppositio suatu istilah merupakan interpretasi yang dipersembahkan kepadanya dalam konteks tertentu. Hal ini bisa tepat atau tidak tepat (misalnya ketika digunakan dalam metonim, metafora, dan kiasan lainnya). Sebuah suppositio yang tepat, pada waktunya, dapat berupa formal maupun material sesuai dengan saat mengacu pada referensi non-linguistik yang biasa (misalnya dalam "Charles adalah seorang pria"), atau untuk dirinya sendiri sebagai entitas linguistik (misalnya dalam "Charles memiliki tujuh huruf"). Pola klasifikasi seperti itu merupakan pendahulu dari berbagai perbedaan moderen antara penggunaan dengan penyebutan, dan antara bahasa dengan metabahasa.[10]

Ada sebuah tradisi yang dikenal dengan tata bahasa spekulatif yang sudah ada sejak abad ke-11 hingga ke-13. Ahli terkemuka pada saat itu adalah Martin dari Dacia dan Thomas dari Erfurt (lihat Modistae).

Filsafat moderen

[sunting | sunting sumber]

Para ahli bahasa dari periode Renaisans dan Barok, diantaranya Athanasius Kircher, John Wilkins, dan Johannes Goropius Becanus, tergila-gila dengan gagasan bahasa filosofis membalikkan kebingungan bahasa yang dipengaruhi oleh penemuan bertahap karakter Cina dan hieroglif Mesir (Hieroglyphica ). Pemikiran ini seiring dengan gagasan bahwa mungkin ada bahasa musik yang universal.

Dipelopori oleh Jean François Pons dan Henry Thomas Colebrooke (editio princeps Varadarāja, seorang ahli tata bahasa Sanskerta abad ke-17, sekitar tahun 1849), para ilmuwan Eropa mulai menyerap tradisi linguistik India hanya dari pertengahan abad ke-18.

Dari awal abad ke-19, filsuf Denmark Soren Kierkegaard bersekukuh bahwa bahasa harus memainkan peran yang lebih besar dalam filsafat Barat. Soren memberikan pendapat bahwa filsafat saja belum cukup fokus pada peran yang dimainkan bahasa dalam kognisi dan bahwa filsafat masa depan harus melanjutkan dengan fokus sadar pada bahasa:

If the claim of philosophers to be unbiased were all it pretends to be, it would also have to take account of language and its whole significance in relation to speculative philosophy ... Language is partly something originally given, partly that which develops freely. And just as the individual can never reach the point at which he becomes absolutely independent ... so too with language.[11]

Filsafat kontemporer

[sunting | sunting sumber]

Ungkapan "pergantian linguistik" digunakan untuk menggambarkan penekanan penting yang diberikan oleh para filsuf kontemporer pada bahasa.

Pada abad ke-20, bahasa mulai memainkan peran sentral dalam filsafat Barat. Salah seorang tokoh berpengaruh yang terlibat dalam perkembangan ini adalah filsuf Jerman bernama Gottlob Frege, melalui karyanya tentang logika filosofis dan filsafat bahasa. Karyanya itu diterbitkan pada akhir abad ke-19 dan mempengaruhi karya filsuf analitik abad ke-20 Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein. Filsafat bahasa menjadi begitu meresap sehingga untuk sementara waktu, dalam lingkaran filsafat analitik, filsafat secara keseluruhan dipahami sebagai masalah filsafat bahasa.

Karya mendasar dalam filsafat kontinental, adalah Cours de linguistique générale karya Ferdinand de Saussure,[12] diterbitkan secara anumerta pada tahun 1916.

Topik dan subbidang utama

[sunting | sunting sumber]

Komunikasi

[sunting | sunting sumber]

Pertama, bidang studi ini berupaya agar penutur dan pendengar lebih memahami apa yang dilakukan satu sama lain dengan bahasa dalam komunikasi, serta bagaimana bahasa itu digunakan secara sosial. Minat khusus meliputi topik, penciptaan bahasa, tindak tutur, dan pembelajaran bahasa. Kedua, mengkaji pertanyaan tentang bagaimana bahasa berhubungan dengan pikiran pembicara dan penafsir. Fokus utamanya adalah alasan keberhasilan penerjemahan kata dan konsep ke dalam padanannya dalam bahasa lain.

Komposisi dan bagian

[sunting | sunting sumber]

Adanya perbedaan bagian-bagian dalam pidato sudah cukup lama diketahui. Salah satu bagiannya adalah kata leksikal, yang terdiri dari kata benda, kata kerja, dan kata sifat. Sebuah pertanyaan besar di berbagai tempat – mungkin satu-satunya pertanyaan terpenting bagi para pemikir formalis dan strukturalis – adalah, "Bagaimana makna sebuah kalimat muncul dari bagian-bagiannya tersebut?"

Contoh pohon sintaksis

Dibidang linguistik sintaksis, cukup banyak aspek masalah komposisi kalimat yang dibahas. Semantik filosofis lebih cenderung fokus kepada prinsip komposisionalitas untuk menjelaskan hubungan antara bagian-bagian yang bermakna serta keseluruhan kalimat. Prinsip komposisionalitas menegaskan bahwa sebuah kalimat dapat dipahami berdasarkan makna bagian -bagian kalimat (yaitu, kata, morfem) bersama dengan pemahaman tentang strukturnya (yaitu, sintaksis, logika). Kemudian, proposisi sintaksis disusun ke dalam struktur 'wacana' atau 'narasi', yang juga mengkodekan makna melalui pragmatik seperti hubungan temporal dan pronominal.[13]

Penggunaan konsep fungsi dimungkinkan untuk menggambarkan bagaimana makna leksikal bekerja: mereka juga dapat digunakan untuk menggambarkan makna dari sebuah kalimat. Misalnya dengan menggunakan kalimat "kuda itu merah". Kita dapat memberikan anggapan bahwa "kuda" sebagai produk dari fungsi proposisional. Fungsi ini merupakan operasi bahasa yang mengambil entitas (yang dalam hal ini, kuda) sebagai input dan juga output fakta semantik tadi (yaitu, proposisi yang diwakili oleh "Kuda itu merah"). Dengan begitu, fungsi proposisional tak lain seperti algoritma. Arti "merah" dalam hal ini adalah apa pun yang mengambil entitas "kuda" dan mengubahnya menjadi pernyataan, "Kuda itu merah."[14]

Setidaknya dua metode umum telah dikembangkan oleh ahli bahasa untuk memahami hubungan antara bagian-bagian dari string linguistik. Selain itu bagaimana hal tersebut disatukan: pohon sintaksis dan semantik. Pohon sintaksis mengacu pada kata-kata dan kalimat dengan tata bahasa kalimat dalam pikiran. Sementara itu, pohon semantik berfokus pada peran makna kata-kata dan bagaimana makna tersebut digabungkan untuk memberikan wawasan tentang asal-usul fakta semantik.

Pikiran dan bahasa

[sunting | sunting sumber]

Bawaan dan pembelajaran

[sunting | sunting sumber]

Sejumlah masalah utama dalam persimpangan filsafat bahasa dan filsafat pikiran juga dibahas dalam psikolinguistik modern. Beberapa pertanyaan pentingnya adalah; Berapa banyak bahasa bawaan?; Apakah penguasaan bahasa merupakan fakultas khusus dalam pikiran?; Apa hubungan antara pikiran dan bahasa?.

Ada tiga pendapat umum terkait masalah pembelajaran bahasa. Pertama, perspektif behavioris, yang menyatakan bahwa tidak hanya sebagian besar bahasa yang dipelajari, namun dipelajari juga melalui pengkondisian. Kedua, perspektif pengujian hipotesis, yang memahami pembelajaran anak terkait aturan sintaksis dan makna untuk melibatkan postulasi serta pengujian hipotesis melalui penggunaan fakultas umum kecerdasan. Pilihan terakhir untuk penjelasan adalah perspektif bawaan yang menyatakan bahwa setidaknya sejumlah pengaturan sintaksis merupakan bawaan dan tertanam, berdasarkan modul pikiran tertentu.[15][16]

Ada banyak gagasan terkait struktur otak dalam perihal bahasa. Salah satunya yaotu model koneksionis yang menekankan bahwa leksikon seseorang dan pemikirannya beroperasi dalam semacam jaringan asosiatif yang terdistribusi.[17] Kemudian yang lainnya, model nativis yang menegaskan bahwa ada perangkat khusus di otak yang didedikasikan untuk akuisisi bahasa.[16] Selanjutnya model komputasi yang menekankan gagasan tentang bahasa pemikiran representasional dan pemrosesan komputasi seperti logika yang dilakukan pikiran atas mereka.[18] Lalu model darurat yang berfokus pada gagasan bahwa fakultas alam adalah sistem kompleks yang muncul dari bagian biologis yang lebih sederhana..Terakhir model reduksionis yang mencoba menjelaskan proses mental tingkat tinggi dalam kaitannya dengan aktivitas neurofisiologis otak tingkat rendah dasar.[19]

Bahasa dan pikiran

[sunting | sunting sumber]

Masalah serius yang menyentuh filsafat bahasa dan filsafat pikiran yaitu sejauh mana bahasa memberikan pengaruh kepada pikiran dan sebaliknya. Ada sejumlah perspektif yang berbeda tentang masalah ini, masing-masing menawarkan sejumlah wawasan dan saran.

Ahli bahasa Sapir dan Whorf memberikan saran bahwa bahasa membatasi sejauh mana anggota "komunitas linguistik" dapat berpikir terkait subjek tertentu (sebuah hipotesis yang disejajarkan dengan novel George Orwell, Nineteen Eighty-Four ).[20] Dengan begitu, bahasa adalah analitis sebelum berpikir. Filsuf Michael Dummett juga merupakan pendukung sudut pandang "bahasa-pertama".[21]

Ahli bahasa Paul Grice memberikan saran lain dari Sapir dan Whorf yaitu bahwa pemikiran (atau, lebih luas lagi, konten mental) memiliki prioritas di atas bahasa. Posisi "mengutamakan pengetahuan" dapat ditemukan dalam karyanya Paul.[21] Kemudian, pandangan tersebut berkaitan erat dengan Jerry Fodor dan hipotesis bahasa pemikirannya. Paul berargumen, bahasa lisan dan tulisan memperoleh intensionalitas dan maknanya sendiri dari bahasa internal yang dikodekan dalam pikiran.[22] Argumen utama Paul yang mendukung pandangan seperti itu adalah, struktur pemikiran dan struktur bahasa tampaknya memiliki karakter komposisional dan sistematis yang sama. Argumen lainnya yaitu, sulitnya untuk menjelaskan bagaimana tanda dan simbol di atas kertas dapat mewakili sesuatu yang bermakna kecuali ada semacam makna yang dimasukkan ke dalamnya oleh isi pikiran. Salah satu argumen utama yang menentang yaitu tingkat bahasa seperti hal tersebut dapat menyebabkan kemunduran yang tak terhingga.[22] Walakin, banyak filsuf pikiran dan bahasa, seperti Ruth Millikan, Fred Dretske dan Fodor yang baru-baru ini mengalihkan perhatiannya untuk menjelaskan makna isi dan keadaan mental secara langsung.

Tradisi lain dari para filsuf telah berupaya untuk menampakkan bahwa bahasa dan pemikiran adalah koekstensif – bahwa tidak ada cara lain untuk menjelaskan yang satu tanpa yang lainnya. Dalam esainya yang berjudul “Thought and Talk”, Donald Davidson memberikan argumen bahwa pengertian kepercayaan hanya bisa muncul sebagai produk interaksi linguistik publik saja. Daniel Dennett memiliki pandangan interpretasi yang sama tentang sikap proposisional. Hingga batas tertentu, dasar-dasar teoretis untuk semantik kognitif (termasuk gagasan tentang pembingkaian semantik) menunjukkan pengaruh bahasa terhadap pemikiran.[23] Akan tetapi, tradisi yang sama memandang makna dan tata bahasa sebagai fungsi konseptualisasi, sehingga sulit untuk menilai secara langsung.

Sejumlah pemikir, seperti Gorgias sofis kuno, meberikan pertanyaan apakah bahasa mampu menangkap pikiran atau tidak.

...speech can never exactly represent perceptibles, since it is different from them, and perceptibles are apprehended each by the one kind of organ, speech by another. Hence, since the objects of sight cannot be presented to any other organ but sight, and the different sense-organs cannot give their information to one another, similarly speech cannot give any information about perceptibles. Therefore, if anything exists and is comprehended, it is incommunicable.[24]

Ada sejumlah penelitian yang memberikan bukti bahwa bahasa membentuk cara orang memahami kausalitas. Diantaranya dibawakan oleh Lera Boroditsky. Semisalnya, penutur bahasa Inggris yang lebih cenderung mengatakan hal-hal seperti "John memecahkan vas" bahkan untuk hal yang tidak disengaja sekalipun. Akan tetapi, jauh berbeda dengan penutur bahasa Spanyol atau Jepang yang lebih cenderung mengatakan "vas itu pecah dengan sendirinya". Penutur tersebut tak menyebut siapa yang memecahkannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Caitlin Fausey di Universitas Stanford, penutur bahasa Inggris, Spanyol, dan Jepang menonton video dua orang yang memecahkan balon, memecahkan telur, dan menumpahkan minuman baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Selanjutnya setiap orang diberi pertanyaan apakah mereka dapat memeberi tahu siapa yang berbuat. Penutur bahasa Spanyol dan Jepang tidak memberi tahu siapa pelaku peristiwa yang tidak disengaja dan berbeda dengan penutur bahasa Inggris yang memeberi tahu.[25]

Penutur bahasa Rusia, yang membuat perbedaan dominan antara biru muda dan biru tua dalam bahasa mereka, lebih mampu membedakan warna biru secara visual. Sebuah suku di Brasil bernama Piraha, yang bahasanya hanya memiliki sedikit istilah dan banyak alih-alih angka, sehingga tak dapat melacak jumlah yang tepat.[26]

Disebuh penelitian, sejumlah orang penutur bahasa Jepang dan Spanyol diminta untuk memberikan deskripsi soal objek "lawan jenis" dalam bahasa masing-masing. Dari penelitian itu, deskripsi yang diberikan oleh orang yang diteliti tersebut berbeda dengan cara yang diprediksi berdasarkan gender gramatikal. Semisalnya, ketika mereka diminta untuk mendeskripsikan "kunci" —kata yang maskulin dalam bahasa Jerman dan feminin dalam bahasa Spanyol— penutur bahasa Jerman lebih cenderung menggunakan kata-kata seperti "berat", "logam", "bergerigi", "keras", dan "berguna" sedangkan penutur bahasa Spanyol lebih cenderung mengatakan "rumit", "emas", "indah", "kecil", dan "mengkilap". Untuk mendeskripsikan "jembatan", yang feminin dalam bahasa Jerman dan maskulin dalam bahasa Spanyol, penutur bahasa Jerman mengatakan "elegan", "indah", "damai", "rapuh", "ramping", dan "cantik" sedagnkan penutur bahasa Spanyol mengatakan "berbahaya", "besar", "panjang", "kokoh", "menjulang", dan "kuat". Hal tersebut terjadi meskipun semua pengujian dilakukan dalam bahasa Inggris, bahasa tanpa membedakan gender gramatikal.[27]

Gary Lupyan dalam serangkaian penelitiannya, sejumlah orang diminta untuk melihat sederertan gambar alien imajiner.[28] Apakah setiap alien ramah atau bermusuhan ditentukan oleh fitur halus tertentu tetapi orang yang ditelitinya tidak diberi tahu hal itu terkait apa. Mereka yang dijadikan sebagai objek penelitiannya harus menebak apakah setiap alien ramah atau bermusuhan, dan setelah setiap respon mereka diberi tahu apakah mereka benar atau salah. Ia juga membantu mereka mempelajari isyarat halus yang membedakan teman dari musuh. Seperempatnya dari orang yang diteliti diberitahu sebelumnya bahwa alien yang ramah disebut "leebish" dan yang bermusuhan sidebut "grecious", sementara seperempat lainnya diberitahu sebaliknya. Sementara selebihnya para alien tetap tak bernama. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa peserta yang diberi nama untuk alien belajar mengkategorikan alien jauh lebih cepat, bahkan akurasi mencapai 80 persen dalam waktu kurang dari setengah waktu yang dibutuhkan oleh mereka yang tidak menyebutkan namanya. Pada akhir penelitian, mereka yang diteliti diberi tahu nama dapat mengkategorikan 88 persen alien dengan benar, dibandingkan dengan hanya 80 persen untuk yang lainnya. Disimpulkan bahwa penamaan objek membantu kita mengkategorikan dan menghafalnya.

Dalam rangkaian penelitian lainnya,[29] sekelompok orang diminta untuk melihat furnitur dari katalog IKEA. Separuh waktu mereka diminta untuk memberi label pada objek –apakah objek tersebut merupakan kursi atau lampu, misalnya– sementara sisanya mereka harus mengatakan apakah mereka menyukainya atau tidak menyukainya. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa ketika diminta untuk melabeli barang, mereka yang diteliti cenderung tidak mengingat detail spesifik produk, seperti apakah kursi memiliki lengan atau tidak. Disimpulkan bahwa pelabelan objek membantu pikiran kita membangun prototipe objek khas dalam kelompok dengan mengorbankan fitur individu.[30]

Istilah "arti"

[sunting | sunting sumber]

Topik yang sangat banyak memeperoleh perhatian dalam filsafat bahasa adalah "sifat makna". Yaitu topik yang menjelaskan apa itu "makna" dan apa yang kita maksudkan ketika kita berbicara tentang makna itu. Dalam area ini, isu-isu meliputi: sifat sinonim, asal usul makna itu sendiri, pemahaman tentang makna, serta sifat komposisi (pertanyaan tentang bagaimana unit-unit bahasa yang bermakna tersusun dari bagian-bagian bermakna yang lebih kecil, dan bagaimana makna dari bahasa itu. Keseluruhannya berasal dari arti bagian-bagiannya).

Ada sejumlah penjelasan khusus tentang apa "makna" linguistik tersebut. Masing-masingnya telah dikaitkan dengan tubuh sastranya sendiri.

  • Teori makna ideasional, paling sering dikaitkan dengan empiris Inggris John Locke, mengklaim bahwa makna adalah representasi mental yang dipicu oleh tanda-tanda.[31] Meskipun pandangan tentang makna ini telah diliputi oleh sejumlah masalah sejak awal (lihat artikel utama untuk detailnya), minat terhadapnya telah diperbarui oleh beberapa ahli teori kontemporer dengan kedok internalisme semantik.[32]
  • Teori makna kebenaran-kondisional memegang makna sebagai kondisi di mana ekspresi mungkin benar atau salah. Tradisi ini setidaknya kembali ke Frege dan dikaitkan dengan kumpulan karya modern yang kaya, yang dipelopori oleh para filsuf seperti Alfred Tarski dan Donald Davidson.[33][34] (Lihat juga teori bahasa bergambar Wittgenstein).
  • Teori penggunaan makna, yang paling sering dikaitkan dengan Wittgenstein kemudian, membantu meresmikan gagasan "makna sebagai penggunaan", dan pandangan komunitarian tentang bahasa. Wittgenstein tertarik pada cara komunitas menggunakan bahasa, dan sejauh mana hal itu dapat ditempuh.[35] Itu juga terkait dengan PF Strawson, John Searle, Robert Brandom, dan lainnya.[36]
  • Teori makna konstruktivis, mengklaim bahwa pidato tidak hanya secara pasif menggambarkan realitas yang diberikan, tetapi juga dapat mengubah realitas (sosial) yang digambarkannya melalui tindak tutur, yang bagi linguistik adalah penemuan yang sama revolusionernya dengan fisika adalah penemuan yang sangat penting. tindakan pengukuran dapat mengubah realitas yang diukur itu sendiri. Teori tindak tutur dikembangkan oleh JL Austin, meskipun pemikir lain sebelumnya memiliki gagasan serupa.[37]
  • Teori referensi makna, juga dikenal secara kolektif sebagai eksternalisme semantik, memandang makna setara dengan hal-hal di dunia yang benar-benar terhubung dengan tanda. Ada dua subspesies besar dari eksternalisme: sosial dan lingkungan. Yang pertama paling dekat hubungannya dengan Tyler Burge dan yang kedua dengan Hilary Putnam, Saul Kripke dan lain-lain.[38][39][40]
  • Teori makna verifikasionis umumnya diasosiasikan dengan gerakan positivisme logis awal abad ke-20. Rumusan tradisional teori semacam itu adalah bahwa makna sebuah kalimat adalah metode verifikasi atau pemalsuannya. Dalam bentuk ini, tesis itu ditinggalkan setelah penerimaan oleh sebagian filsuf dari Duhem-Quine tesis dari konfirmasi holisme setelah publikasi Quine's 'Dua Dogma dari Empirisme'. Namun, Michael Dummett telah menganjurkan bentuk verifikasionisme yang dimodifikasi sejak tahun 1970-an. Dalam versi ini, pemahaman (dan karenanya makna) dari sebuah kalimat terdiri dari kemampuan pendengar untuk mengenali demonstrasi (matematis, empiris atau lainnya) dari kebenaran kalimat.[41]
  • Teori makna pragmatis adalah teori apa pun di mana makna (atau pemahaman) sebuah kalimat ditentukan oleh konsekuensi penerapannya. Dummett mengaitkan teori makna semacam itu dengan Charles Sanders Peirce dan pragmatis Amerika awal abad ke-20 lainnya.[41]
  • Teori kontras makna menunjukkan bahwa atribusi pengetahuan memiliki struktur terner dari bentuk 'S tahu bahwa 'p' daripada 'q'. Hal ini berbeda dengan pandangan tradisional dimana atribusi pengetahuan memiliki struktur biner dari bentuk 'S' tahu bahwa 'p'.[42]

Ada teori lain yang membahas makna non-linguistik (yaitu, makna yang disampaikan oleh bahasa tubuh, makna sebagai konsekuensi, dan lain sebagainya).

Istilah referensi

[sunting | sunting sumber]

Referensi disebut sebagai kajian tentang bagaimana bahasa berinteraksi dengan dunia. Ahli bahasa yang mengusulkan teori referensi adalah Gottlob Frege. Referensi membagi konten semantik dari setiap ekspresi, termasuk juga kalimat yang dibagi menjadi dua komponen yaitu sense dan reference. Pengertian dari sebuah kalimat adalah buah pikiran yang diungkapkan. Pemikiran seperti ini abstrak, universal dan objektif. Pengertian dari setiap ekspresi sub-kalimat terdiri dari kontribusinya terhadap pemikiran yang diungkapkan oleh kalimat penyematnya. Sebagai penentu referensi dan juga mode penyajian objek yang dirujuk ekspresi adalah indra. Referensi merupakan objek di dunia yang dipilih oleh kata-kata. Indera kalimat adalah pikiran, sedangkan acuannya adalah nilai kebenaran (benar atau salah). Rujukan kalimat yang tertanam dalam anggapan sikap proposisional dan konteks buram lainnya adalah indra mereka yang biasa.[43]

Dalam berbagai tulisannya, Bertrand Russell memaparkan alsan alasan-alasan yang berkaitan dengan teori kenalannya dalam epistemologi. Dalam tulisnnya tersebut, ia menyatakan bahwa satu-satunya ekspresi referensial langsung sebagai "nama yang tepat secara logis". Istilah yang tepat secara logis itu sendiri misalnya I, now, here dan indexicals lainnya.[44][45] Bertrand memandang istlah yang tepat dari jenis yang dijelaskan di atas sebagai deskripsi pasti yang disingkat. (lihat Teori deskripsi ). Oleh sebab itu, Joseph R. Biden bisa jadi singkatan daripada "Presiden Amerika Serikat saat ini dan suami Jill Biden". Deskripsi pastinya adalah frasa yang menunjukkan (lihat " Tentang Penanda ") yang dianalisis oleh Russell ke dalam konstruksi logis yang dikuantifikasi secara eksistensial. Ungkapan itu memberikan arti bahwa ada objek yang memenuhi deskripsi. Meski begitu, objek-objek tersebut tidak dianggap bermakna dengan sendirinya, tetapi hanya memiliki makna dalam proposisi yang diungkapkan oleh kalimat-kalimat di mana objek-objek tersebut menjadi bagiannya. Dengan begitu, mereka tidak secara langsung referensial dengan cara yang sama seperti nama yang tepat secara logis, bagi Russell.[46][47]

Sementara itu, Frege memberikan argumen bahwa setiap ekspresi rujukan mempunyai arti dan juga rujukan tersendiri. Pandangan "referensi termediasi" seperti itu memiliki keunggulan teoretis tertentu dibandingkan pandangan Mill. Semisalnya, nama referensial bersama, seperti Samuel Clemens dan Mark Twain, menyebabkan masalah untuk tampilan referensial langsung karena mungkin saja seseorang mendengar "Mark Twain merupakan Samuel Clemens" dan terkejut – dengan demikian, konten kognitif mereka tampak cukup berbeda.

Terlepas dari perbedaan pandangan Frege dengan Russell, mereka pada dasarnya disatukan sebagai deskriptivis tentang nama diri. Deskriptivisme seperti hal tersebut dikritik dalam Penamaan dan Kebutuhan Saul Kripke .

Kripke memberikan istilah "argumen modal" (atau "argumen dari kekakuan"). Ia mempertimbangkan nama Aristoteles dan deskripsi "murid terbesar Plato", "pendiri logika" dan juga "guru Alexander". Aristoteles secara jelas memenuhi semua deskripsi dan banyak deskripsi lainnya, meski begitu tidak selalu benar bahwa jika Aristoteles ada, maka Aristoteles adalah salah satu, atau semua, dari deskripsi yag muncul tersebut. Adanya Aristoteles bisa saja tanpa melakukan satu pun dari hal-hal yang diketahui oleh anak cucunya sendiri. Atau bahkan telah meninggal sejak ia bayi. Misalkan saja Aristoteles dikaitkan oleh Maria dengan deskripsi "filsuf besar terakhir dari zaman kuno" dan (yang sebenarnya) Aristoteles meninggal saat masih bayi. Selanjutnya, deskripsi Mary sepertinya lebih merujuk kepada Plato. Akan tetapi hal tersebut sangat bersimpangan dengan intuisi. Dengan begitu, nama adalah penanda yang kaku. Hal tersebutlah yang dikemukakan oleh Kripke. Labih tepatnya, menurut Kripke, mereka merujuk pada individu yang sama pada setiap kemungkinan dunia di mana individu itu berada. Masih pada karya itu, Kripke mengartikulasikan sejumlah argumennya yang lain yang melawan deskriptivismenya Frege–Russell.[40]

Seluruh upaya filosofis mempelajari referensi telah dikritik oleh ahli bahasa Noam Chomsky dalam berbagai karya.[48][49]

Interaksi sosial dan bahasa

[sunting | sunting sumber]

Umunya bahasa diatur oleh konvensi sosial. Hal tersebut berdasarkan klaim umum yang ada. Pertanyaan yang pasti muncul pada topik sekitarnya. Pertanyaanya, Apa sebenarnya yang dimaksud dengan konvensi itu, dan bagaimana cara mempelajarinya?. Pertanyaan selanjutnya, Sejauh mana konvensi itu penting dalam studi bahasa?" David Kellogg Lewis mengusulkan jawaban yang layak untuk pertanyaan pertama dengan menguraikan pandangan bahwa konvensi adalah keteraturan perilaku yang mengabadikan diri secara rasional. Namun, pandangan ini tampaknya bersaing sampai batas tertentu dengan pandangan Gricean tentang makna pembicara, yang membutuhkan salah satu (atau keduanya) untuk dilemahkan jika keduanya dianggap benar.[50]

Sejumlah orang mempertanyakan apakah konvensi relevan dengan studi makna apakah tidak. Ada yang mengusulkan, studi bahasa dapat dilakukan dalam istilah I-Language, atau bahasa internal orang. Ia adalah seorang ahli bernama Noam Chomsky. Jika begitu, maka hal tersebut akan merusak pencarian penjelasan dalam kerangka konvensi, dan menurunkan penjelasan tersebut ke domain metasemantik. Istilah ini adalah istilah yang digunakan oleh filsuf bahasa Robert Stainton untuk menggambarkan semua bidang yang mencoba menjelaskan bagaimana fakta semantik timbul.[14] Sebuah penelitian yang bermanfaat melibatkan pengkajian terhadap kondisi sosial yang memunculkan makna dan bahasa. Etimologi (studi tentang asal-usul kata) dan stilistika (argumentasi filosofis tentang apa yang membuat "tata bahasa yang baik", relatif terhadap bahasa tertentu) adalah dua contoh bidang lain yang dianggap metasemantik.

Tidak begitu heran jika banyak bidang yang terpisah (tetapi terkait) telah mengkaji topik konvensi linguistik dalam paradigma penelitian mereka sendiri. Anggapan yang menopang setiap pandangan teoretis sangat menarik bagi filsuf bahasa. Semisalnya, salah satu bidang utama sosiologi, interaksionisme simbolik yang didasarkan kepada pemahaman yang berarti bahwa organisasi sosial manusia hampir seluruhnya didasari pada penggunaan makna.[51] Oleh karena itu, setiap penjelasan tentang struktur sosial (seperti institusi) penting memperhitungkan makna bersama yang menciptakan dan menopang struktur tersebut.

Kajian soal kata-kata tertentu yang dipergunakan oelh kebanyakan orang demi mencapai efek emosional dan rasional yang tepat pada pendengar. Baik yang membujuk, menyayangi, memprovokasi, atau yang mengajar. Sejumlah aplikasi relevan di lapangan, termasuk juga pemeriksaan propaganda dan didaktisisme, pemeriksaan tujuan sumpah serapah dan merendahkan (terutama bagaimana hal tersebut mempengaruhi perilaku orang lain, dan mendefinisikan hubungan). Mungkin juga efek bahasa gender. Hal demikian juga dapat digunakan untuk mempelajari transparansi linguistik (atau berbicara dengan cara yang dapat diakses), serta ucapan performatif dan berbagai tugas yang dapat dilakukan oleh bahasa (disebut "tindak tutur"). Ini juga memiliki aplikasi untuk studi dan interpretasi hukum, dan membantu memberikan wawasan tentang konsep logis dari domain wacana .

Teori sastra merupakan disiplin ilmu yang menurut sejumlah ahli teori sastra tumpang tindih dengan filsafat bahasa. Hal tersebut menekankan metode yang digunakan pembaca dan kritikus dalam memahami sebuah teks. Bagian ini adalah hasil dari studi soal bagaimana menafsirkan pesan dengan benar. Tidak mengherankan terkait erat dengan disiplin hermeneutika kuno.

Kebenaran

[sunting | sunting sumber]

Pada akhirnya, para filsuf bahasa mengkaji bagaimana bahasa dan makna berhubungan dengan kebenaran dan realitas yang dirujuk. Para filsuf tersebut kemudian cenderung kurang terpikat pada kalimat mana yang "benar-benar benar", dan malah lebih tertarik dengan jenis makna yang benar atau salah . Seorang filsuf bahasa yang memilih pada kebenaran mungkin banyak bertanya apakah kalimat yang dinilai tidak berarti bisa benar atau salah, atau apakah kalimat dapat mengungkapkan proposisi tentang hal-hal yang tidak ada atau tidak, daripada cara kalimat digunakan.[butuh rujukan]

Bahasa dan filsafat kontinental

[sunting | sunting sumber]

Pada filsafat kontinental, bahasa tidak dipelajari sebagai disiplin ilmu yang terpisah, seperti dalam filsafat analitik. Sebaliknya, itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari banyak bidang pemikiran lain, seperti fenomenologi, semiotika struktural,[52] hermeneutika, eksistensialisme, strukturalisme, dekonstruksi, dan teori kritis. Ide bahasa sering dikaitkan dengan logika yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai "logos" yang berarti dialektika atau wacana. Bahasa dan konsep juga dipandang telah dibentuk oleh sejarah dan politik, atau bahkan oleh filsafat sejarah itu sendiri.

Umumnya, bidang hermeneutika dan teori interpretasi memberikan peran penting dalam filsafat bahasa dan ontologi kontinental pada abad ke-20. Hal tersebut diinisiasi oleh Martin Heidegger. Dia menggabungkan fenomenologi dengan hermeneutika Wilhelm Dilthey . Heidegger mempercayai bahwa bahasa merupakan salah satu konsep terpenting bagi Dasein . Heidegger juga percaya bahwa bahasa saat ini usang karena terlalu sering menggunakan kata-kata penting, dan tidak akan memadai untuk studi mendalam tentang Being (Sein). Misalnya, Sein (makhluk), kata itu sendiri dipenuhi dengan banyak arti. Dengan begitu, Heidegger menemukan kosakata baru dan gaya linguistik tersendiri. Hal tersebut berdasarkan hubungan kata etimologis Yunani dan Jerman Kuno untuk membedakan kata-kata yang umum digunakan. Dia menghindari kata-kata seperti kesadaran, ego, manusia, alam, dan lain sebagainya. Dan sebaliknya berbicara secara holistik tentang Menjadi-di-dunia, Dasein.

Heidegger membangun teori tentang bahasa dengan konsep baru seperti Being-in-the-world, yang berpusat pada pidato. Heidegger percaya bahwa pidato (berbicara, mendengarkan, diam) merupakan bentuk bahasa yang paling esensial dan murni. Dia mengklaim jika menulis hanyalah pelengkap pidato saja, hal itu karena pembaca bahkan membangun atau menyumbangkan pembicaraan mereka sendiri saat membaca. Fitur yang terpenting dari bahasa adalah proyektivitasnya, gagasan bahwa bahasa mendahului ucapan manusia. Ini berarti bahwa ketika seseorang "dilempar" ke dunia, keberadaannya dicirikan sedari awal oleh pra-pemahaman tertentu terkait dunia. Meski begitu, hanya setelah penamaan, atau "artikulasi kejelasan", seseorang dapat memiliki akses utama ke Dasein dan Being-in-the-World.[53]

Hans-Georg Gadamer mengembangkan gagasan yang diberikan Heidegger tersebut dan mengusulkan sebuah teori baru yang disebut ontologi hermeneutik yang lebih lengkap. Dalam karyanya, Truth and Method, Gadamer menggambarkan bahasa sebagai "media di mana pemahaman dan kesepakatan substantif terjadi antara dua orang".[54] Tidak hanya itu, Gadamer juga mengklaim bahwa dunia dibentuk secara linguistik yang tai terpisah dari bahasa. Dalam karyanya ia memberikan contoh, monumen dan patung tidak dapat berkomunikasi tanpa bantuan bahasa. Gadamer juga mengklaim bahwa setiap bahasa merupakan pandangan dunia, karena sifat linguistik dunia membebaskan setiap individu dari lingkungan objektif: "... fakta bahwa kita memiliki dunia sama sekali bergantung pada [bahasa] dan menampilkan dirinya di dalamnya". Dunia sebagai dunia ada untuk manusia sebagaimana tidak ada makhluk lain di dunia".[54]

Paul Ricoeur, di sisi lain, mengusulkan hermeneutika yang berhubungan kembali dengan pengertian Yunani asli dari istilah, menekankan penemuan makna tersembunyi dalam istilah samar-samar (atau "simbol") dari bahasa biasa. Filsuf lain yang telah bekerja dalam tradisi ini termasuk Luigi Pareyson dan Jacques Derrida.[55]

Studi tentang transmisi, penerimaan, dan makna tanda dan simbol secara umum disebut dengan Semiotika. Merupakan bahasa manusia (baik alami maupun buatan). Hal itu memungkinkan mereka untuk mengambil keuntungan dari dan memungkinkan juga bagi mereka untuk memanipulasi dunia luar secara efektif untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri dan mengirimkan makna ini kepada orang lain. Setiap objek, setiap orang, setiap peristiwa, dan setiap kekuatan berkomunikasi (atau menandakan) secara terus menerus. Misalnya dering telepo, adalah telepon. Asap yang saya lihat di cakrawala adalah tanda bahwa ada api. Asap menjadi pertan. Hal-hal dunia, dalam penglihatan tersebut tampaknya dilabeli dengan tepat untuk makhluk cerdas yang hanya perlu menafsirkannya seperti yang dilakukan manusia. Semuanya memiliki arti. Komunikasi yang benar, termasuk penggunaan bahasa manusia, bagaimanapun, membutuhkan seseorang (pengirim) yang mengirim pesan, atau teks, dalam beberapa kode kepada orang lain (penerima). Bahasa dipelajari hanya sejauh itu adalah salah satu dari bentuk-bentuk ini (bentuk yang paling canggih) dari komunikasi. Charles Sanders Peirce, Roland Barthes, dan Roman Jakobson merupakan sejumlah tokoh penting dalam sejarah semiotika. Umberto Eco, AJ Greimas, Louis Hjelmslev, dan Tullio De Mauro adalah tokoh-tokohnya yang paling terkenal di zaman modern.[55] Investigasi tanda-tanda dalam komunikasi non-manusia merujuk pada biosemiotika, bidang yang dicetus pada akhir abad ke-20 oleh Thomas Sebeok bersama dengan Thure von Uexküll .

Masalah dalam filsafat bahasa

[sunting | sunting sumber]

Sifat bahasa

[sunting | sunting sumber]

Bahasa kerap kali dianggap sebagai sistem tanda pada tradisi semiotik yang bersumber dari John Locke yang kemudian berpuncak pada gagasan Saussure tentang bahasa sebagai semiologi: sistem interaktif tingkat semantik dan simbolik.[56] Membangun strukturalisme Saussurian, Louis Hjelmslev melihat organisasi tingkat sebagai komputasi sepenuhnya.[57]

Filsuf Zaman Pencerahan Antoine Arnauld memberikan pendapat bahwa orang telah menciptakan bahasa secara rasional pada proses langkah per langkah demi memenuhi kebutuhan psikologis agar berkomunikasi dengan orang lain.[58] Romantisme pada abad ke-19 memberikan penekanan pada hak pilihan manusia dan kehendak bebas dalam konstruksi makna. Dewasa ini, Eugenio Coșeriu menekankan peran niat dalam proses. Sedangkan yang lain seperti Esa Itkonen percaya bahwa konstruksi sosial bahasa tercipta secara tak sadar.[59] Dalam gagasan Saussure, bahasa adalah fakta sosial yang muncul dari interaksi sosial, tetapi tidak dapat direduksi menjadi tindakan individu atau psikologi manusia, yang mendukung otonomi studi bahasa dari ilmu-ilmu lain.[60]

Pandangan humanistik ditantang oleh teori biologi bahasa yang menganggap bahasa sebagai fenomena alam.[61] Charles Darwin menganggap bahasa sebagai spesies.[62] Linguistik evolusioner abad ke-19 dikembangkan paling jauh oleh August Schleicher yang membandingkan bahasa dengan tumbuhan, hewan, dan kristal. Dalam Neo-Darwinisme, Richard Dawkins dan pendukung teori replikator budaya lainnya menganggap bahasa sebagai populasi virus pikiran.[63] Noam Chomsky, di sisi lain, berpandangan bahwa bahasa bukanlah organisme tetapi organ, dan bahwa struktur linguistik terkristalisasi.[64] Hal ini dihipotesiskan disebabkan oleh mutasi tunggal pada manusia,[65] tetapi Steven Pinker berpendapat bahwa ini adalah hasil dari evolusi bersama manusia dan budaya.[66]

Masalah universal dan komposisi

[sunting | sunting sumber]

Perdebatan tentang makna universal merupakan salah satu perdebatan yang menarik minat para filsuf. Seseorang mungkin bertanya, seperti, "Ketika orang mengatakan kata batu, apa yang dilambangkan oleh kata itu?" Ada dua jawaban yang mencuat terkait pertanyaan tersebut. Beberapa orang mengatakan bahwa ungkapan itu mewakili beberapa universal yang nyata dan abstrak di dunia yang disebut "batu". Yang lain mengatakan bahwa kata itu adalah singkatan dari beberapa kumpulan batuan individu tertentu yang kita kaitkan hanya dengan nomenklatur. Posisi yang pertama disebut realisme filosofis, dan yang terakhir disebut nominalisme.[67]

Masalah tersebut dapat dijelaskan jika kita memeriksa proposisi "Socrates adalah Manusia".

Dari padangan realis, hubungan antara S dan M merupakan hubungan antara dua entitas abstrak. Ada entitas "manusia", dan entitas "Socrates". Keduanya terhubung dalam beberapa cara atau tumpang tindih.

Dari pandangan nominalis, hubungan antara S dan M merupakan hubungan antara entitas tertentu (Socrates) dan kumpulan besar hal-hal tertentu (laki-laki). Menyebut bahwa Socrates merupakan seorang pria berarti mengatakan bahwa Socrates merupakan bagian dari kelas "pria". Perspektif lainnya yaitu menganggap "manusia" sebagai milik entitas, "Socrates".

Ada pilihan ketiga, yaitu antara nominalisme dengan realisme (ekstrim), umumnya disebut "realisme moderat" dan dikaitkan dengan Aristoteles dan juga Thomas Aquinas. Realis moderat memberikan pendapat bahwa "manusia" mengacu kepada esensi atau bentuk nyata yang benar-benar hadir dan identik di Socrates dan semua manusia lainnya, tetapi "manusia" tidak ada sebagai entitas yang terpisah dan berbeda. Ini merupakan posisi realis, karena "Manusia" itu adalah nyata, selama dia benar-benar ada pada semua manusia; namun ini adalah realisme moderat, karena "Manusia" bukanlah entitas yang terpisah dari manusia yang diinformasikan.

Pendekatan formal dan informal

[sunting | sunting sumber]

Sejauh mana logika formal dapat dimamfaatkan sebagai alat yang efektif dalam analisis serta memahami bahasa alami yaitu pertanyaan lain yang membuat para filsuf bahasa terbagi-bagi. Sementara sebagian besar filsuf, seperti Alfred Tarski, Gottlob Frege, dan juga Rudolf Carnap, tak begitu yakin soal formalisasi bahasa alami, cukup banyak diantara mereka yang mengembangkan bahasa formal untuk digunakan dalam sains atau bagian formal dari bahasa alami untuk penyelidikan. Beberapa anggota yang paling menonjol dari tradisi semantik formal ini termasuk Tarski, Carnap, Richard Montague dan Donald Davidson.[68]

Di sisi lain perbedaan, terutama yang menonjol pada 1950-an dan 1960-an, yaitu apa yang disebut "filsuf bahasa biasa". Filsuf seperti PF Strawson, John Langshaw Austin dan Gilbert Ryle menekankan pentingnya mempelajari bahasa alami tanpa harus memperhatikan kondisi kebenaran kalimat dan referensi istilah. Para filsuf itu tak percaya bahwa dimensi sosial dan praktis dari makna linguistik dapat ditangkap oleh segala upaya formalisasi menggunakan logika. Logika merupakan satu hal dan bahasa merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda. Bagi mereka, yang terpenting bukanlah ekspresi itu sendiri tetapi apa yang digunakan orang untuk berkomunikasi.[69]

Dengan begitu, Austin mengembangkan teori tindak tutur. Teoti ini menggambarkan hal-hal yang dapat dilakukan dengan sebuah kalimat (pernyataan, perintah, pertanyaan, seruan) pada konteks penggunaan yang berbeda pada kesempatan yang berbeda.[70] Strawson memberikan pendapat bahwa semantik tabel merupakan kebenaran dari penghubung logis (misalnya, , dan ) yang tidak menangkap arti dari bahasa aslinya ("dan", "atau" dan "jika-maka"). Sedangkan gerakan "bahasa biasa" pada dasarnya mati pada 1970-an, pengaruh yang diberikan sangat penting bagi perkembangan bidang teori tindak tutur serta studi pragmatik. Cukup banyak ide-idenya telah diserap oleh para ahli teori, diantaranya Kent Bach, Robert Brandom, Paul Horwich dan Stephen Neale.[71] Dalam karya terbaru mereka, pembagian antara semantik dan pragmatik telah menjadi topik diskusi yang hidup pada antarmuka filsafat dan linguistik, semisalnya dalam karya Sperber dan Wilson, Carston dan Levinson.[72][73][74]

Sembari mengingat tradisi-tradisi tersebut, pertanyaan besarnya adalah, apakah ada alasan untuk konflik antara pendekatan formal dan informal masih jauh dari diputuskan. Beberapa ahli teori seperti Paul Grice, sangat skeptis terhadap klaim bahwa ada konflik substansial antara logika dan bahasa alami.[75]

Terjemahan dan interpretasi

[sunting | sunting sumber]

Para filsuf bahasa kerap menemukan dua masalah lain yang terus menggelitik, yaitu penerjemahan dan interpretasi. Pada 1950-an, WV Quine memberikan argumen soal ketidakpastian makna dan referensi yang didasarkan pada prinsip terjemahan radikal. Di Word and Object, Quine meminta pembaca untuk membayangkan situasi di mana mereka dihadapkan dengan kelompok masyarakat adat yang sebelumnya tidak terdokumentasi di mana mereka harus berusaha memahami ucapan dan gerakan yang dibuat oleh anggotanya. Inilah situasi penerjemahan radikal.[76]

Ia memberikan pernyataan bahwa dalam situasi seperti itu, pada prinsipnya sangat tidak memungkinkan untuk yakin betul akan makna atau acuan yang dilekatkan oleh penutur bahasa masyarakat adat pada sebuah ujaran. Seperti "jika seorang pembicara melihat seekor kelinci dan mengatakan gavagai, apakah yang dia maksudkan adalah kelinci utuh, ekor kelinci, atau bagian temporal kelinci". Langkah yang dapat diambil yaitu memeriksa ujaran tersebut sebagai bagian dari keseluruhan perilaku linguistik individu. Kemudian menggunakan pengamatan tersebut untuk menginterpretasikan makna dari seluruh ujaran yang ada. Berdasarkan hal tersebut, seseorang dapat membentuk manual terjemahannya sendiri. Akan tetapi, karena rujukan yang tak pasti, akan menimbulkan banyak manual seperti hal tersebut dan tidak ada yang lebih benar dari yang lain dari pada itu. Makna bukanlah sesuatu yang dikaitkan dengan satu kata atau kalimat, melainkan sesuatu yang, jika dapat dikaitkan sama sekali, hanya dapat dikaitkan dengan seluruh bahasa bagi Quine, seperti bagi Wittgenstein dan Austin.[76] holisme semantik merupakan tampilan yang dihasilkan.

Donald Davidson yang terinspirasi dari diskusi Quine memperluas gagasan terjemahan radikal ke interpretasi ucapan dan perilaku dalam satu komunitas linguistik. Ia menamai paham tersebut dengan tafsir radikal. Donald memeberikan saran bahwa makna dari setiap individu dianggap bersumber dari sebuah kalimat hanya dapat ditentukan dengan menghubungkan makna ke banyak, mungkin semua, dari pernyataan individu, serta keadaan mental dan sikap mereka.[34]

Ketidakjelasan

[sunting | sunting sumber]

Ketidakjelasan kata-kata merupakan salah satu masalah yang mengganggu para filsuf bahasa dan logika. Salah satu contoh spesifiknya yaitu di mana keberadaan "kasus-kasus batas" membuat tampaknya mustahil untuk mengatakan apakah suatu predikat itu benar atau salah. Contoh lainnya adalah "tinggi" atau "botak", di mana tidak dapat dikatakan bahwa beberapa kasus garis batas (beberapa orang tertentu) tinggi atau tidak tinggi. Hal itu mengakibatkan ketidakjelasan dan menimbulkan paradoks tumpukan. Sudah cukup banyak ahli teori yang berusaha untuk memecahkan paradoks tersebut dengan cara logika bernilai- n, seperti logika fuzzy, yang secara radikal telah menyimpang dari logika dua-nilai klasik.[77]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Philosophy of Language". Internet Encyclopedia of Philosophy (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-15. Diakses tanggal 24 Desember 2021. 
  2. ^ David Kreps, Bergson, Complexity and Creative Emergence Diarsipkan 2021-12-25 di Wayback Machine., Springer, 2015, halaman 92.
  3. ^ Blackburn, S. "History of the Philosophy of Language". The Oxford Companion to Philosophy Diarsipkan 2023-05-07 di Wayback Machine.. ed. Ted Honderich. Oxford: Oxford University Press. 1995. ISBN 0-19-866132-0
  4. ^ Plato, Cratylus (c. 360 BCE). Series: Cambridge Studies in the Dialogues of Plato. Trans. David Sedley. Cambridge Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.: University of Cambridge Press. 2003. ISBN 978-0-521-58492-0
  5. ^ Steven K. Strange, (1992) Porphyry: On Aristotle, Categories Diarsipkan 2021-12-25 di Wayback Machine.. Ithaca: Cornell University Press. ISBN 0-8014-2816-5.
  6. ^ Eco, Umberto (1986). Semiotics and the Philosophy of LanguagePerlu mendaftar (gratis) (dalam bahasa Inggris). Indiana University Press. hlm. 30. ISBN 9780253203984. BHAGLAND (The Stoic Concept of Lekton. 
  7. ^ King, Peter. Peter Abelard. Stanford Encyclopedia of Philosophy. http://plato.stanford.edu/entries/abelard/#4 Diarsipkan 2008-05-14 di Wayback Machine.
  8. ^ Chalmers, D. (1999) "Is there Synonymy in Occam's Mental Language?". Published in The Cambridge Companion to Ockham Diarsipkan 2021-12-25 di Wayback Machine., edited by Paul Vincent Spade. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-58244-5
  9. ^ Marconi, D. "Storia della Filosofia del Linguaggio". In L'Enciclopedia Garzantina della Filosofia Diarsipkan 2023-06-03 di Wayback Machine.. ed. Gianni Vattimo. Milan: Garzanti Editori. 1981. ISBN 88-11-50515-1
  10. ^ a b Kretzmann, N., Anthony Kenny & Jan Pinborg. (1982) Cambridge History of Later Medieval Philosophy Diarsipkan 2021-12-25 di Wayback Machine.. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-22605-8
  11. ^ Søren Kierkegaard (1813–1855). In Cloeren, H. Language and Thought. Berlin: Walter de Gruyter, 1988.
  12. ^ David Kreps, Bergson, Complexity and Creative Emergence, Springer, 2015, halaman 92.
  13. ^ Givón, Talmy (2001). Syntax: An Introduction (dalam bahasa Inggris). John Benjamins Publishing. ISBN 978-1-58811-066-4. 
  14. ^ a b Stainton, Robert J. (1996). Philosophical perspectives on language. Peterborough, Ont., Broadview Press.
  15. ^ Fodor, Jerry A.; Fodor, Professor Jerry A.; Fodor, Jerry (1983). The Modularity of Mind: An Essay on Faculty Psychology (dalam bahasa Inggris). MIT Press. ISBN 978-0-262-56025-2. 
  16. ^ a b Pinker, S. (1994) L'Istinto del Linguaggio. Original title: The Language Instinct. 1997. Milan: Arnaldo Mondadori Editori. ISBN 88-04-45350-8
  17. ^ Churchland, Paul M. (1996). The Engine of Reason, the Seat of the Soul: A Philosophical Journey Into the Brain (dalam bahasa Inggris). MIT Press. ISBN 978-0-262-53142-9. 
  18. ^ Fodor, J and E. Lepore. (1999) All at Sea in Semantic Space: Churchland on Meaning Similarity Diarsipkan 2021-12-25 di Wayback Machine.. Journal of Philosophy 96, halaman 381–403.
  19. ^ Hofstadter, D.R. (1979) Gödel, Escher, Bach: An Eternal Golden Braid. New York: Random House. ISBN 0-394-74502-7
  20. ^ Kay, P. and W. Kempton. 1984. "What is the Sapir-Whorf Hypothesis? Diarsipkan 2023-03-17 di Wayback Machine." American Anthropologist 86(1): halaman 65–79.
  21. ^ a b Bunnin, Nicholas; Tsui-James, E. P. (1999). The Blackwell Companion to PhilosophyAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan. Oxford: Blackwell. hlm. 97, halaman 120–121. 
  22. ^ a b Fodor, Jerry A. (1975). The Language of Thought (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. ISBN 978-0-674-51030-2. 
  23. ^ Lakoff, George (1987). Women, Fire, and Dangerous Things: What Categories Reveal about the Mind (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-46804-4. 
  24. ^ Giorgias (c. 375 BCE) translated by Kathleen Freeman. In Kaufmann, W. Philosophic Classics: Thales to Ockham. New Jersey: Prentice Hall, Inc. 1961, 1968.
  25. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-04-26. Diakses tanggal 2021-12-25. 
  26. ^ Boroditsky, Lera (23 Agustus 2010). "Lost in Translation. New cognitive research suggests that language profoundly influences the way people see the world; a different sense of blame in Japanese and Spanish by Lera Boroditsky". Online.wsj.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-23. Diakses tanggal 24 Desember 2021. 
  27. ^ Lera Boroditsky (6 November 2009). "How Does Our Language Shape The Way We Think?". Edge.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-26. Diakses tanggal 24 Desember 2021. 
  28. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-04-19. Diakses tanggal 2021-12-25. 
  29. ^ Gary Lupyan. "Archived copy" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2 November 2013. Diakses tanggal 24 Desember 2021. 
  30. ^ David Robson (6 September 2010). "What's in a name? The words behind thought by David Robson". Newscientist.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-02-09. Diakses tanggal 24 Desember 2021. 
  31. ^ Nossum, Rolf T.; Intelligence, European Coordinating Committee for Artificial (1988-12-28). Advanced Topics in Artificial Intelligence: 2nd Advanced Course, ACAI '87, Oslo, Norway, July 28 - August 7, 1987 (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. hlm. 9. ISBN 978-3-540-50676-8. 
  32. ^ Block, Ned. "Conceptual Role Semantics" (online) Diarsipkan 2021-12-05 di Wayback Machine.. Diakse pada tanggal 24 Desember 2021
  33. ^ Tarski, Alfred. (1944). "The Semantical Conception of Truth". PDF Diarsipkan 2011-05-13 di Wayback Machine.. Diakses pada tanggal 24 Desember 2021.
  34. ^ a b Davidson, Donald (2001-09-27). Inquiries Into Truth and Interpretation: Philosophical Essays Volume 2 (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-924628-1. 
  35. ^ Wittgenstein, L. (1958) Philosophical Investigations. Third edition. trans. G. E. M. Anscombe. New York: Macmillan Publishing Co.
  36. ^ Brandom, R. (1994) Making it Explicit. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. ISBN 0-674-54330-0
  37. ^ Kordić, Snježana (1990). "Filozofija jezika i pragmatika" [Philosophy of language and pragmatics] (PDF). Revija (dalam bahasa Serbo-Kroasia). Osijek. 30 (7): 99. ISSN 0034-6888. SSRN 3451166alt=Dapat diakses gratis. Templat:CROSBI. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 10 September 2012. Diakses tanggal 24 Desember 2021.  (NSK) Diarsipkan 2022-07-06 di Wayback Machine..
  38. ^ Burge, Tyler. 1979. Individualism and the Mental. Midwest Studies in Philosophy Diarsipkan 2021-12-25 di Wayback Machine. 4: 73-121.
  39. ^ Putnam, H. (1975) "The Meaning of 'Meaning'" Error in webarchive template: Check |url= value. Empty.. In Language, Mind and Knowledge. ed. K. Gunderson. Minneapolis: University of Minnesota Press. ISBN 88-459-0257-9
  40. ^ a b Kripke, Saul A. (1980). Naming and Necessity (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. ISBN 978-0-674-59846-1. 
  41. ^ a b Dummett, M. (1991) The Logical Basis of Metaphysics. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. ISBN 88-15-05669-6
  42. ^ Schaffer, J., Contrastive Knowledge Diarsipkan 2023-05-22 di Wayback Machine., in Gendler and Hawthorne, eds. (2005), Oxford University Press, 235–271; Schaffer, J., The Contrast-Sensitivity of Knowledge Ascriptions Diarsipkan 2015-09-19 di Wayback Machine., Social Epistemology 22(3): halaman 235–245 (2008).
  43. ^ Frege, G. (1892). On Sense and Reference Diarsipkan 2023-02-09 di Wayback Machine.. In Frege: Senso, Funzione e Concetto. eds. Eva Picardi and Carlo Penco. Bari: Editori Laterza. 2001. ISBN 88-420-6347-9
  44. ^ Stanley, Jason. (2006). Philosophy of Language in the Twentieth Century Error in webarchive template: Check |url= value. Empty.. Akan datang dalam Panduan Routledge untuk Filsafat Abad Kedua Puluh.
  45. ^ Gaynesford, Maximilian de (2006-03-02). I: The Meaning of the First Person Term (dalam bahasa Inggris). Clarendon Press. ISBN 978-0-19-153704-2. 
  46. ^ Russell, B. (1905) "On Denoting". Published in Mind.online text Diarsipkan 2011-04-11 di Wayback Machine., Neale, Stephen (1990) Descriptions, Cambridge, Massachusetts: MIT Press.
  47. ^ Russell, B. (1903) I Principi della Matematica. Original title: The Principles of Mathematics Diarsipkan 2023-06-07 di Wayback Machine.. Italian trans. by Enrico Carone and Maurizio Destro. Rome: Newton Compton editori. 1971. ISBN 88-8183-730-7
  48. ^ Chomsky, Noam; Chomsky, Institute Professor & Professor of Linguistics (Emeritus) Noam (2000-04-13). New Horizons in the Study of Language and Mind (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-65822-5. 
  49. ^ Piattelli-Palmarini, Massimo, Juan Uriagereka, and Pello Salaburu, eds. Of Minds and Language: A Dialogue with Noam Chomsky in the Basque Country. Oxford University Press, 2009, halaman 27.
  50. ^ Bunnin, Nicholas; Tsui-James, E. P. (1999). The Blackwell Companion to PhilosophyAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan. Oxford: Blackwell. hlm. 97, 120–121. 
  51. ^ Teevan, James J. and W.E. Hewitt. (2001) Introduction to Sociology: A Canadian Focus. Prentice Hall: Toronto, halaman 10.
  52. ^ Kreps, David (2015-08-04). Bergson, Complexity and Creative Emergence (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 95. ISBN 978-1-137-41220-1. 
  53. ^ Heidegger, Martin (1967). Being and Time (dalam bahasa Inggris). Blackwell. ISBN 978-0-631-19770-6. 
  54. ^ a b Gadamer, Hans G. (1989) Truth and Method, New York: Crossroad, 2nd ed., ISBN 0-8264-0401-4
  55. ^ a b Volli, U. (2000) Manuale di Semiotica. Rome-Bari: Editori Laterza. ISBN 88-420-5953-6
  56. ^ Nöth, Winfried (1990). Handbook of Semiotics (PDF). Indiana University Press. ISBN 978-0-253-20959-7. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-08-15. Diakses tanggal 2021-12-25. 
  57. ^ Hjelmslev, Louis (1969) [First published 1943]. Prolegomena to a Theory of Language. University of Wisconsin Press. ISBN 0299024709. 
  58. ^ Arnauld, Antoine; Lancelot, Claude (1975) [First published 1660]. General and Rational Grammar : The Port-Royal GrammarPerlu mendaftar (gratis). The Hague: Mouton. ISBN 902793004X. 
  59. ^ Itkonen, Esa (2011). "On Coseriu's legacy" (PDF). Energeia (III): 1–29. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-01-14. Diakses tanggal 24 Desember 2021. 
  60. ^ de Saussure, Ferdinand (1959) [terbit pertama kali pada 1916]. Course in general linguistics (PDF). New York: Philosophy Library. ISBN 9780231157278. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-04-14. Diakses tanggal 2021-12-25. 
  61. ^ Lehmann, Winfred P. (1984). "Mellow glory: see language steadily and see it whole". Dalam Copeland, James E. New Directions in Linguistics and Semiotics. John Benjamins. hlm. 17–34. ISBN 9789027286437. 
  62. ^ Darwin, Charles (1871). The Descent of Man (PDF). London: Murray. hlm. 415 pages. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-05-19. Diakses tanggal 2021-12-25. 
  63. ^ Dawkins, Richard (1993). "Viruses of the mind" (PDF). Dalam Dahlbom, B. Dennett and his Critics : Demystifying Mind. Oxford: Blackwell. hlm. 13–27. ISBN 9780631185499. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-10. Diakses tanggal 2021-12-25. 
  64. ^ Chomsky, Noam (2006). Language and mind (PDF). Cambridge University Press. ISBN 052167493X. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-05-31. Diakses tanggal 2021-12-25. 
  65. ^ Progovac, Liljana (2016). "Review: Why only us? Language and evolution by Robert C. Berwick and Noam Chomsky" (PDF). Language. 92 (4): 992–996. doi:10.1353/lan.2016.0085. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-04-19. Diakses tanggal 24 Desember 2021. 
  66. ^ Pinker, Steven (1994). The Language Instinct. New York: William Morrow. ISBN 0-688-12141-1. 
  67. ^  Herbermann, Charles, ed. (1913). "Nominalism, Realism, Conceptualism". Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. 
  68. ^ Partee, B. Richard Montague (1930–1971) Diarsipkan 2023-02-10 di Wayback Machine.. In Encyclopedia of Language and Linguistics, 2nd Ed., ed. Keith Brown. Oxford: Elsevier. volume 8, halaman 255–57, 2006.
  69. ^ Lycan, W. G. (2008). Philosophy of Language: A Contemporary Introduction. New York: Routledge.
  70. ^ Austin, J.L. (1962). J.O. Urmson., ed. How to Do Things With Words: The William James Lectures delivered at Harvard University in 1955. Oxford: Clarendon Press. ISBN 0-674-41152-8. 
  71. ^ Brandom, R. (1994) Making it Explicit. Cambridge Diarsipkan 2021-12-25 di Wayback Machine., Massachusetts: Harvard University Press. ISBN 0-674-54330-0
  72. ^ Sperber, Dan; Wilson, Deirdre (2001). Relevance : communication and cognition (edisi ke-2nd). Oxford: Blackwell Publishers. ISBN 9780631198789. OCLC 32589501. 
  73. ^ Robyn., Carston (2002). Thoughts and utterances : the pragmatics of explicit communication. Oxford, U.K.: Blackwell Pub. ISBN 9780631178910. OCLC 49525903. 
  74. ^ C., Levinson, Stephen (2000). Presumptive meanings : the theory of generalized conversational implicature. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. ISBN 9780262621304. OCLC 45733473. 
  75. ^ Grice, Paul. Logic and Conversation. Perspectives in the Philosophy of Language. (2000) ed. Robert Stainton.
  76. ^ a b Quine, Willard Van Orman (1960-01). Word and Object (dalam bahasa Inggris). Technology Press of the Massachusetts Inst. of Technology. ISBN 978-0-262-67001-2. 
  77. ^ Sorensen, Roy. (2006) Vagueness Diarsipkan 2018-04-27 di Wayback Machine.. Stanford Encyclopedia of Philosophy.