Iman
Ma'rifatullah | |
---|---|
Tauhid | Tauhid Dzati • Tauhid Sifat • Tauhid Af'al • Tauhid Ibadah |
Furuk | Tawasul • Syafa'at • Tabarruk • |
Keadilan Ilahi | |
Kebaikan dan keburukan • Bada' • Amrun bainal Amrain • | |
Kenabian | |
Keterjagaan • Penutup Kenabian • Nabi Muhammad Saw • Ilmu Gaib • Mukjizat • Tiada penyimpangan Alquran | |
Imamah | |
Keyakinan-keyakinan | Kemestian Pelantikan Imam • Ismah Para Imam • Wilayah Takwini • Ilmu Gaib Para Imam • Kegaiban Imam Zaman as • Ghaibah Sughra • Ghaibah Kubra • Penantian Imam Mahdi • Kemunculan Imam Mahdi as • Raj'ah |
Para Imam | |
Ma'ad | |
Alam Barzah • Ma'ad Jasmani • Kebangkitan • Shirath • Tathayur al-Kutub • Mizan • Akhirat | |
Permasalahan Terkemuka | |
Ahlulbait • Empat Belas Manusia Suci • Taqiyyah • Marja' Taklid |
Iman (bahasa Arab: الإيمان) adalah keyakinan hati kepada ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw dan dua belas Imam Maksum as. Fukaha Syiah menjadikan iman sebagai syarat kelaziman untuk marja taklid, imam salat jama’ah, hakim dan pengambil zakat. Menurut mayoritas ulama Syiah, iman tidak dibolehkan untuk taklid.
Para teolog Syiah mendefinisikan iman, selain percaya pada tauhid, nubuwah Nabi Muhammad saw, keadilan Ilahi dan Ma’ad juga harus percaya pada keimamahan imam maksum setelah Nabi Muhammad saw. Sesuai dengan pondasi ajaran Alquan bahwa iman berbeda dengan Islam dan berada pada derajat yang lebih tinggi. Iman juga memiliki kemampuan untuk bertambah dan berkurang serta tidak ada yang bisa membuat seseorang beriman dengan cara mengancam dan memaksa.
Banyak ulama dari kalangan Syiah meyakini Islam lebih umum dari iman. Sehingga dengan dasar ini, mereka meyakini setiap mukmin sudah pasti muslim, namun setiap muslim belum tentu mukmin. Namun sebagian ulama Syiah seperti Khawajah Nashiruddin Thusi dan Syahid Tsani meyakini iman dan dan Islam sejati adalah satu, namun keduanya menempatkan Islam secara zahir berada pada posisi lebih di bawah dari iman.
Berkenaan dengan permasalahan iman ada banyak kajian dan pembahasan yang dapat dikaji, dimana yang terpenting darinya adalah yang berkenaan dengan; essensi iman, objek iman, bertambah dan berkurangnya iman, iman berdasarkan taqlid, dampak-dampak dari iman dan hubungan antara iman dengan amal saleh atau maksiat.
Iman secara Bahasa
Kata iman berasal dari kata "أمن" yang berarti ketenangan dan keyakinan hati serta tidak adanya ketakutan. Kata kerja dari Tsulatsi Mazid dari kata أمن adalah آمن – يؤمن dimana jika menjadi Fi'il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan objek) dengan huruf "ب" dan huruf "ل" seperti dalam ayat-ayat di bawah ini:وَمَا أَنتَ بِمُؤْمِنٍ لَّنَا وَلَوْ کنَّا صَادِقِینَ ... ...dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada Kami, Sekalipun Kami adalah orang-orang yang benar." (Yusuf: 17) ...أَفَتَطْمَعُونَ أَن یؤْمِنُوا لَکمْ "Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu..." (Surah Al-Baqarah: 75) Menurut kesepakatan ahli bahasa berarti meyakini (tashdiq). [1] Dan jika menjadi Fi'il Muta'addi dengan sendirinya (tanpa tambahan huruf lain) maka akan berarti mendapatkan ketenangan (ithmi'nan) sebagai lawan dari ketakutan dan kegelisahan, dimana makna ini sama dengan makna yang dimiliki dalam kata kerja Tsulatsi Mujarrad. [2]
Makna Iman dalam Istilah Fikih-Riwayat
Dalam riwayat-riwayat fikih, iman memiliki dua makna; umum dan khusus:
Makna iman secara umum adalah keyakinan hati atas apa-apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Sementara dalam pandangan Syiah, selain memiliki makna yang umum juga memiliki makna yang khusus yaitu mencakup keyakinan kepada kepemimpinan dan wilayah kepada para imam dua belas. Dalam istilah ini seluruh penganut mazhab Syiah adalah mereka yang berkeyakinan kepada dua belas imam. [3] Alhasil, makna umum dan khusus ini sebenarnya bisa disatukan; yaitu keimanan atas "apa yang dibawa oleh Nabi Saw", di setiap zaman memiliki esensi sendiri-sendiri. Contohnya, sebelum disyariatkannya salat dan puasa, keyakinan kepada keduanya tidak menjadi syarat bagi iman dan Islam. Akan tetapi, setelah kedua hal itu disyariatkan, maka keyakinan akan keduanya menjadi syarat bagi keimanan. Oleh karenanya, setelah penyampaian urusan kekhalifaan Ali as dan para putranya yang maksum dari sisi Allah swt serta lewat pelantara Nabi Saw, maka keimanan pada hal itu menjadi bagian dari "apa yang dibawa oleh Nabi saw".
Para Fuqaha banyak mengkaji tentang keimanan secara khusus dalam beberapa bab seperti; Jihad, Taqlid, Thaharah, Salat, Zakat, Khumus, Puasa, I'tikaf, Haji, Wakaf, Nadzar, Qadha dan Kesaksian (Syahadat).
Iman secara khusus merupakan salah satu dari kewajiban-kewajiban, bahkan prinsip dan pondasi darinya serta menjadi syarat sah dan diterimanya seluruh ibadah yang dilakukan. Sudah merupakan sebuah kesepakatan Ijma' bahwa keimanan merupakan syarat sah seluruh ibadah dan seluruh ibadah akan batal jika seseorang kehilangan imannya. Keimanan bagi marja' taklid, imam salat jama'ah, yang berhak mendapatkan (mustahiq) zakat dan khumus, hakim, saksi dan pembagi harta yang diangkat oleh hakim syar'i, merupakan sebuah syarat yang harus dimiliki. Banyak dari para fuqaha yang mensyaratkan keimanan bagi seorang muadzin salat berjamaah dan juga bagi Naib (pengganti) dalam haji.
Makna Iman dalam Istilah Teolog
Para teolog memiliki perbedaan pendapat tentang makna istilah dari keimanan
Amal Qalbi
Iman adalah amal qalbi dan kerja hati. Berdasarkan pandangan ini, keimanan adalah keyakinan hati terhadap Tuhan, para nabi dan wahyu. Seorang mukmin adalah seseorang yang dengan hatinya ia meyakini dan tidak ada keharusan yang mesti diikrarkan oleh lisan serta amal perbuatan keluar dari cakupan keimanan dan hasil-hasil darinya. Keyakinan ini berbeda dengan makrifat dan pada hakekatnya keimanan hati dan perbuatan ikhtiari bersumber dari makrifat. Terkadang seseorang memiliki ilmu terhadap suatu perkara, akan tetapi ilmu ini tidak ia yakini (yang mana ini merupakan perkerjaan ikhtiari dan qalbi). Seperti, orang-orang yahudi di kota Madinah yang menurut kesaksian Alquran, mereka mengetahui bahwa Nabi Islam saw adalah seorang yang diutus oleh Tuhan, akan tetapi mereka tidak meyakininya:الَّذِینَ آتَینَاهُمُ الْکتَابَ یعْرِفُونَهُ کمَا یعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِیقًا مِّنْهُمْ لَیکتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ یعْلَمُونَ "orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) Mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. dan Sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui". Atas dasar ini, ilmu dan makrifat saja tidak menyebabkan keimanan. Tokoh-tokoh masyhur Asyairah, [4] dan sebagian para pengikut Maturidiyah[5] juga sebagian dari madzhab Imamiyah seperti Ibnu Naubakh, Sayyid Murtadha, Syekh Thusi, Ibnu Maitsam Bahrani, Fadhil Miqdad dan Abdul Razak Lahiji[6] , mereka menerima pendapat ini.
Hanya Ikrar Lisan
Iman hanyalah ikrar di lisan; artinya, jika manusia bersaksi dengan dua kelimat syahadat hanya dengan lisannya saja tanpa ada keyakinan hati atau mengamalkan seluruh konsekwensi dari iman tersebut, maka realitasnya ia (masih terhitung) sebagai mukmin , sehingga orang munafik di dunia juga termasuk daripada mukmin. Ini merupakan pandangan kaum Karramiyah dan sebagian dari kaum Murji'ah juga memiliki keyakinan seperti ini. [7]
Makrifat dan Pengetahuan
Iman adalah makrifat dan pengetahuan; hampir semua sepakat bahwa Jahm bin Shafwan berkeyakinan akan pendapat ini. Akan tetapi pendapat ini juga dihubungkan kepada sebagian lainnya seperti; Najariyah, sebagian dari Qadariyah, sebagian Imamiyah dan juga kepada Abul Hasan Al-As'ari. [8]
Menjalankan Seluruh Kewajiban dan Meninggalkan Seluruh Keharaman
Iman adalah mengamalkan seluruh ketaatan, kewajiban dan hal-hal yang disunahkan serta menjauhi seluruh yang diharamkan; kebanyakan penganut madzab Mu'tazilah, [9] Khawarij dan kaum Ghulat[10] adalah diketahui sebagai penganut paham ini. Abu Ali Janai, Abu Hasyim Janai dan kebanyakan Mu'tazilah Bashrah berpendapat bahwa menjalankan hal-hal yang sunnah bukanlah termasuk dari keimanan. [11]
Keyakinan Hati, Ikrar Lisan
Pendapat ini dianut oleh sebagian Imamiyah seperti Khajeh Nashiruddin Thusi, Allamah Hilli dan Syekh Salim bin Mahfudz. [12]
Keyakinan Hati, Ikrar Lisan dan Mengamalkan Kewajiban
Iman adalah keyakinan hati, ikrar lisan dan mengamalkan kewajiban-kewajiban. Ini merupakan pendapat dari Ahli Hadits, sebagian para ulama terdahulu seperti Ibnu Mujahid, [13] Syafi'i[14] dan Syekh Mufid dari madzhab Imamiyah. [15]
Makna Iman dalam Istilah Filsafat
Dalam pandangan kaum Filsuf, keimanan adalah perjalanan jiwa (sair nafs) manusia pada tingkatan-tingkatan kesempurnaan teoritis. Mengamalkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, walaupun tergolong dari perjalanan jiwa pada tingkatan-tingkatan kesempurnaan praktis, akan tetapi perjalanan ini merupakan efek eksternal dari kesempurnaan teoritis ini. Seorang mukmin adalah seorang yang keyakinannya sesuai dengan realitas eksistensi.
Perbedaan Antara Iman Islami dan Iman Masihi
Definisi-definisi dari para kelompok yang disebutkan diatas dari iman, menunjukkan bahwa dalam pandangan mereka Iman Islami adalah "capaian manusia", dimana itu adalah sesuatu yang dihasilkan oleh seorang mukmin. Modal-modal ini berdasarkan penciptaannya sudah ada dalam fitrah, akal atau potensi-potensi manusia, yang mana Tuhan, para nabi dan kitab-kitab samawi menyuruh manusia untuk mengenalnya, mengimaninya dan hidup dengan keimanan tersebut. Iman dan konsep ini, bukanlah iman terhadap sebuah "rahasia". Sepertinya, dari sisi ini terdapat perbedaan antara Iman Islami dan Iman Masihi. Iman Masihi adalah iman kepada yang "rahasia". Dalam ajaran masihi, wahyu merupakan sebuah hakekat supra natural dan begitu juga iman, kedua-duanya merupakan perkara hakekat yang supra natural, rahasia Tuhan nempak bagi manusia lewat Isa Al-Masih.
Hilangnya Keimanan
Salah satu diantara pembahasan-pembahasan teolog yang berkenaan dengan kajian keimanan adalah bahwasannya apakah seorang mukmin dapat kehilangan imannya ataukah tidak? Kebanyakan para teolog berpendapat bahwa ada kemungkinan seorang mukmin kehilangan imannya. Akan tetapi dikatakan bahwa Sayid Murtadha berpendapat bahwa tidak mungkin seseorang kehilangan iman hakikinya dan pendapat ini pun diterima oleh Syahid Tsani. [16] Sementara Sayid Abdullah Syubar berkeyakinan akan adanya perbedaan antara tingkatan kesempurnaan keyakinan; dimana jika keyakinan sudah mencapai kesempurnaanya, maka tidak mungkin bisa hilang, sementara jika belum sampai pada tingkatan kesempurnaanya mungkin saja seseorang bisa kehilangan imannya. [17]
Iman Taklidi
Berkenaan dengan permasalahan tentang dibenarkannya taklid dalam keimanan ataukah harus berdasarkan argumentasi dan dalil, terjadi perdebatan tentangnya. Para fuqaha Ahli Sunnah, [18] Hasywiyah dan Ta'limiyah menganggap benar keimanan berdasarkan taklid sementara madzhab Mu'tazilah dan yang masyhur dari Asya'irah[19] dan juga Imamiyah menganggap keimanan tidak cukup dengan bertaklid dan mewajibkannya untuk berdalil dan berargumentasi dalam keimanan. [20] Walau pun demikian berkenaan dengan sumber kewajiban; apakah harus rasional ataukah tidak, terjadi perbedaan; Mu'tazilah dan Imamiyah berpendapat bahwa itu bersifat rasional sementara Asya'irah berkeyakinan bahwa itu bersifat nakli atau tekstual.
Objek-objek Keimanan
Alquran menyebutkan beberapa objek dari keimanan:
- Iman kepada Allah swt: [21] (Al-Baqarah: 256) dan (Al-Baqarah: 186; Ali-Imran: 52, 110, 193; An-Nisa: 175 dan...).
- Iman kepada seluruh para nabi: [22] (Ali-Imran: 179) dan (Hadid: 19; Al-Baqarah: 177; An-Nisa: 136).
- Iman kepada apa yang dibawa oleh para nabi yang diturunkan oleh Allah swt (kitab-kitab samawi dan sejenisnya): [23] (Al-Baqarah: 136) dan (An-Nisa: 162).
- Iman kepada hari kiamat: [24] (Al-Baqarah: 62) dan (Al-Baqarah: 126, 228, 232, 264 dan...).
- Iman kepada para malaikat: [25] (Al-Baqarah: 285) dan (Al-Baqarah: 177).
- Iman kepada yang ghaib:[26] (Al-Baqarah: 4).
Poin penting di sini adalah bahwa objek-objek keimanan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, apakah ia mengimani seluruh dari objek-objek keimanan ini dan berarti ia adalah mukmin, ataukan tidak mengimaninya, baik mengimani sebagian darinya ataukah sama sekali tidak mengimaninya. Ayat-ayat Al-Quran betul-betul mengindikasikan: وَالَّذِینَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ یفَرِّقُوا بَینَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ أُولَٰئِک سَوْفَ یؤْتِیهِمْ أُجُورَهُمْ ۗ وَکانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِیمًا "orang-orang yang beriman kepada Allah dan Para Rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surah An-Nisa 152)" إِنَّ الَّذِینَ یکفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَیرِیدُونَ أَن یفَرِّقُوا بَینَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَیقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَکفُرُ بِبَعْضٍ وَیرِیدُونَ أَن یتَّخِذُوا بَینَ ذَٰلِک سَبِیلًا "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan Kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan Perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir)." (Surah An-Nisa: 150).
Dampak dan Kelaziman-kelaziman Iman dalam Alquran
- Iman berbeda dengan Islam, dimana iman adalah tingkatan tinggi dari Islam. (Surah Al-Hujurat: 14)
- Iman hakiki selalu dibarengai dengan kecintaan yang besar kepada Allah swt. (Surah Al-Baqarah: 165)
- Allah swt mengeluarkan orang-orang mukmin dari "kegelapan" dan memasukan mereka ke alam "Cahaya". (Surah Al-Baqarah: 257)
- Dalam banyak ayat diisyaratkan; setelah pujian atas keimanan secara langsung menjelaskan tentang melaksanakan "amal shaleh" yang harus dilakukan oleh seorang mukmin, dimana dipahami darinya bahwa adanya korelasi eksternal antara keimanan dan amal soleh.
- Keimanan hakiki memiliki kemungkinan untuk "bertambah dan berkurang". (Surah Al-Taubah: 124)
- Hati-hati orang yang beriman akan mendapatkan "ketenangan" dengan keimanannya. (Surah Al-Ra'd: 28)
- Orang-orang yang beriman akan kokoh dengan "Qaul Tsabit" dan "Ucapan yang mantap" dari sisi Allah swt dalam kehidupan dunianya. (Surah Ibrahim: 27)
- Syetan tidak akan memiliki "kekuasaan" bagi orang-orang mukmin yang tidak menerima "wilayah" syetan. (Surah Al-Nahl: 99)
- Alquran merupakan wasilah "penyembuhan" dan hidayah bagi kaum mukminin. (Surah Fusshilat: 44)
- Allah swt menjadikan keimanan sesuatu yang dicintai oleh orang-orang yang beriman dan menjelmakan itu sebagai sesuatu yang indah di dalam hati mereka. (Surah Al-Syura: 52)
- Turunnya "sakinah", ketenangan dan kenyamanan dari sisi Allah swt ke dalam hati orang-orang yang beriman, membuat keimanan mereka bertambah. (Surah Al-Fath: 4)
- Mukminin adalah orang-orang yang ketika disebutkan nama Allah swt, hati mereka merasakan ketakutan. (Surah Al-Anfal: 2)
- Mukminin mungkin saja ketika mendapatkan ujian Ilahi mereka mengalami goncangan ruhani yang besar. (Surah Al-Ahzab: 11)
- Tidak bisa memaksa seseorang untuk menjadi sorang mukmin. (Surah Al-Baqarah: 256)
- Berbeda dengan kecintaan Nabi saw, kebanyakan masyarakat tidak beriman. (Surah Yusuf: 103)
Kata-kata "Mukmin", "Mukminin", sifat-sifat dan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan orang-orang mukmin dalam banyak ayat Al-Quran menjelaskan bahwa mukminin adalah kelompok khusus dari manusia dan bentuk kehidupan mereka betul-betul berbeda dengan orang-orang yang tidak beriman. Memiliki kehidupan dengan pandangan dunia, pemikiran, kondisi, adab dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dengan non-mukminin. Mereka jadikan poros kehidupan mereka adalah setia kepada janji yang telah mereka berikan kepada Allah swt (Al-Mukminun: 1-6; At-Tauba: 71; Al-Anfal: 74 dan Al-Ahzab: 23). Pada saat yang sama mukminin juga bukanlah manusia-manusia yang tidak memiliki kekurangan dan tanpa kesalahan. Dalam beberapa ayat di dalam Al-Quran menjelaskan kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan dosa-dosa orang-orang yang beriman serta meminta mereka untuk memperbaiki diri. (Surah Al-Shaff: 2; Surah Al-Mumtahanah: 1; Surah Al-Hujurat: 1-12 dan Surah Al-Mujadalah: 9) Prinsip-prinsip Keimanan Para teolog Syiah berpendapat bahwa objek-objek iman itu adalah: iman kepada tauhid, iman kepada keadilan Ilahi, iman kepada para nabi, iman kepada para imam maksum setelah Nabi saw dan iman kepada hari akhir. [27] [28] Yang harus ditekankan di sini bahwa pengingkaran terhadap iman kepada para imam maksum, tidak mengakibatkan kekafiran atau keluar dari Islam, seperti yang akan kita bahas berikutnya bahwa akan dikaji hubungan antara Islam dan iman. Dalam pandangan madzhab Mu'tazilah, objek-objek mendasar iman adalah: tauhid, keadilan Ilahi, ikrar akan kenabian Nabi Muhammad saw, wa'd (janji) dan Wa'id (ancaman) dan melaksanakan Amar Makruf Nahi Munkar. [29] Sedangkan menurut pandangan madzhab Asya'irah, keyakinan akan kenabian atas apa-apa yang kita ketahui dengan keyakinan bahwa ia meyakininya, seperti keesaan Tuhan, kewajiban shalat, keyakinan global atas apa-apa yang diketahui secara global serta keyakinan rinci atas apa-apa yang diketahui secara rinci; [30] seperti keimanan kepada Allah swt, para malaikat, kitab-kitab Ilahi, para nabi dan hari kiamat. [31] Hubungan antara Islam dan Iman Satu lagi dari pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan masalah keimanan adalah hubungan antara Islam dan iman. Secara konsep dan arti bahasa, iman berbeda dengan Islam. Iman secara bahasa berarti keyakinan hati sementara Islam menurut bahasa adalah tunduk dan khusyu. [32] Sementara makna secara istilah dari keduanya, para teolog berbeda pendapat:
- Islam dan iman adalah satu: Mu'tazilah, [33] sebagian besar dari kaum Khawarij, Zaidiyah[34] , Abu Hanifah dan para pengikutnya, [35] Syekh Thusi[36] dan Thabarsi dari kalangan Imamiyah memilih pendapat ini. [37]
- Islam dan iman berbeda: pendapat ini masyhur di kalangan Imamiyah, [38] masyhur di kalangan Asya'irah. [39] Mereka berkeyakinan bahwa Islam lebih umum dari iman dan seluruh mukmin adalah muslim akan tetapi tidak seluruh muslim adalah mukmin.
- Pendapat yang merinci: iman dan Islam hakiki adalah satu, akan tetapi Islam Lahiriyah berbeda dengan iman dan lebih umum darinya; ini merupakan pendapat dari Khajeh Nashiruddin Thusi, [40] Syahid Tsani[41] dan Taftazani. [42]
Pendapat Allamah Thabathabai
Allamah Thabathabai memberikan rincian untuk makna Islam dan iman:
a. Tingkatan pertama dari Islam, adalah penerimaan secara lahiriyah perintah-perintah dan larangan-larangan Ilahi dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, baik hatinya menerima ataupun menentang. Firman Allah swt: قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰکن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا یدْخُلِ الْإِیمَانُ فِی قُلُوبِکمْ ۖ...
"orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian..." (Surah Al-Hujurat: 14)
Tingkatan pertama Islam ini diikuti oleh tingkatan pertama dari iman; yang mana itu adalah keyakinan hati atas kandungan dari dua kalimat syahadat secara global dan kelaziman-kelazimannya berupa mengamalkan kebanyakan dari hukum-hukum furu' Islam.
b. Tingkatan kedua dari Islam yang terletak setelah tingkatan pertama dari iman; adalah ketundukan dan kepatuhan hati atas keyakinan-keyakinan yang benar secara merinci yang kemudian diikuti dengan melaksanakan amal-amal shaleh, walaupun mungkin saja ada penyimpangan pada sebagian hal. Allah swt berfirman tentang sifat orang-orang yang bertakwa:الَّذِینَ آمَنُوا بِآیاتِنَا وَکانُوا مُسْلِمِینَ "(yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan adalah mereka dahulu orang-orang yang berserah diri." (Surah Al-Zukhruf: 69)
Dan juga dalam surat Al-Baqarah ayat 20... Tingkatan kedua dari iman terletak setelah tingkatan Islam ini, yaitu keyakinan secara rinci terhadap seluruh hakekat-hakekat agama. Allah swt berfirman:إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِینَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ یرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِی سَبِیلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِک هُمُ الصَّادِقُونَ "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar." (Surah Al-Hujurat: 15) Dan juga surat Shaf ayat 11.
c. Setelah tingkatan kedua dari iman, berikutnya adalah tingkatan ketiga dari Islam; dengan urutan bahwa ketika manusia sudah mendapatkan "Uns" dengan tingkatan kedua dari keimanan dan berakhlak dengan akhlaknya, maka seluruh potensi-potensi hewaninya tunduk dan patuh kepadanya... dan manusia akan sampai pada tingkatan dimana ia beribadah kepada Allah swt seolah-olah ia melihatNya, dan jika pun ia tidak melihatNya akan tetapi Allah swt melihat kepadanya..., Allah swt berfirman:فَلَا وَرَبِّک لَا یؤْمِنُونَ حَتَّیٰ یحَکمُوک فِیمَا شَجَرَ بَینَهُمْ ثُمَّ لَا یجِدُوا فِی أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَیتَ وَیسَلِّمُوا تَسْلِیمًا "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa: 65)
Setelah tingkatan Islam ini terdapat tingkatan ketiga dari iman, seperti yang difirmankan oleh Allah swt:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ﴿۱﴾الَّذِینَ هُمْ فِی صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴿۲﴾ وَالَّذِینَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ ﴿۳﴾ "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman * (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya * dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna." (Surah Al-Mukminun: 1-3)
d. Setelah tingkatan keimanan ini berlanjut ke tingkatan Islam yang keempat; dimana manusia ketika berada pada tingkatan sebelumnya dari Islam, terkadang Inayah Rabbaniyah menguasainya dan menunjukan sebuah hakekat kepadanya bahwa kepemilikan hanyalah milik Allah swt dan tidak seorang pun yang memilikinya. Alhasil, tingkatan ini adalah makam pemberian (mauhubati) dan karunia Ilahi dimana di sana sama sekali tidak ada peran manusia sedikitpun. Mungkin saja ayat yang berbunyi: رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَینِ لَک... "Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau ..." (Al-Baqarah: 128)
Mengisyaratkan pada tingkatan dari Islam ini, sebab Nabi Ibrahim As telah menerima Islam Ikhtiari dan Iradi sebelum permohonan ini..., Setelah tingkatan dari Islam ini berikutnya adalah tingkatan keempat dari iman dan itu adalah menyeluruhnya kondisi tersebut di dalam seluruh kondisi dan perbuatan hamba yang mukmin, seperti difirmankan oleh Allah swt:أَلَا إِنَّ أَوْلِیاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَیهِمْ وَلَا هُمْ یحْزَنُونَ ﴿۶۲﴾ الَّذِینَ آمَنُوا وَکانُوا یتَّقُونَ ﴿۶۳﴾ "Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. * (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (Surah Yunus: 63) [43]
Catatan Kaki
- ↑ Kitab Al-'Ain, hal. 40; Mu'jam Maqayid Al-Lughoh, jld 1, hal. 133; Lisan Al-Arab, jld 1, hal. 163-164; Aqrab Al-Mawarid, jld 1, hal. 73.
- ↑ Lisan Al-Arab, jld 1, hal. 163.
- ↑ Maslak Al-Afham, jld 5, hal. 337-338.
- ↑ Syarah Al-Maqashid, jld 5, hal. 177; Mawaqif, jld 3, hal. 527; Syarh Tajrid, hal. 393.
- ↑ Al-Tauhid, hal. 395; Kitab Ushul Al-Din, hal. 250-251.
- ↑ Al-Dzakhirah fii Ilmi Al-Kalam, hal. 536-537; Al-Iqtishad fii maa Yata'allaq bi Al-I'tiqad, hal. 227; Qawaid Al-Maram fii Ilmi Al-Kalam, hal. 170; Irsyad Al-Thalibiin, hal. 442; Al-Lawaami' Al-Ilahiyah fii Al-Mabahits Al-Kalamiyah, hal. 440; Sarmoye-e Iman, hal. 165.
- ↑ Maqalaat Al-Islamiyyin, jld 1, hal. 223; Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, hal. 709; Al-Milal wa Al-Nihal, jld 1, hal. 127; Al-Munqidz min Al-Taqlid, jld 1, hal. 162; Syarh Al-Maqashid, jld 5, hal. 183; Syarh Tajrid, hal. 393; Haqaiq Al-Iman, hal. 54.
- ↑ Syarh Al-Maqashid, jld 5, hal. 177; Irsyad Al-Thalibiin, hal. 439.
- ↑ Maqalaat Al-Islamiyyiin, jld 1, hal. 330; Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, hal. 707.
- ↑ Al-Munqidz min Al-Taqlid, jld 2, hal. 164; Mawaaqif, jld 3, hal. 528; Syarh Tajrid, hal. 393; Haqaiq Al-Iman, hal.54.
- ↑ Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, hal. 707; Al-Munqidz min Al-Taqlid, jld 2, hal. 163; Mawaaqif, jld 3, hal. 528; Syarh Tajrid, al. 393, Haqaiq Al-Iman, hal. 54.
- ↑ Irsyad Al-Thalibiin, hal. 440-441.
- ↑ Syarh Tajrid, hal. 393; Haqaiq Al-Iman, 54.
- ↑ Ushul Al-Din 'Inda Al-Imam Abu Hanifah, hal. 41.
- ↑ Al-Iqtishad fii maa Yata'allaqu Bil- I'tiqad, hal. 227; Irsyad Al-Thalibiin, hal. 440; Haq Al-Yaqin, hal. 558-559.
- ↑ Haqaiq Al-Iman, hal. 110; Haq Al-Yaqin, hal. 572.
- ↑ Haq Al-Yaqin, hal. 573.
- ↑ Syarh Al-Maqashid, jld 5, hal. 218.
- ↑ Syarh Al-Maqashid, jld 5, hal. 288.
- ↑ Haqaiq Al-Iman, hal. 59.
- ↑ فَمَنْ یکفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَ یؤْمِنْ بِاللَّهِ فقد استَمْسَک بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقی
- ↑ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَ رُسُلِهِ وَ إِنْ تُؤْمِنُوا وَ تَتَّقُوا فَلَکمْ أَجْرٌ عَظیم
- ↑ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَ ما أُنْزِلَ إِلَینا وَ ما أُنْزِلَ إِلی إِبْراهیمَ وَ إِسْماعیلَ وَ إِسْحاقَ وَ یعْقُوبَ وَ الْأَسْباطِ وَ ما أُوتِی مُوسی وَ عیسی وَ ما أُوتِی النَّبِیونَ مِنْ رَبِّهِمْ لا نُفَرِّقُ بَینَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَ نَحْنُ لَهُ مُسْلِمُون
- ↑ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَ الْیوْمِ الْآخِرِ وَ عَمِلَ صالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِم
- ↑ آمَنَ الرَّسُولُ بِما أُنْزِلَ إِلَیهِ مِنْ رَبِّهِ وَ الْمُؤْمِنُونَ کلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَ مَلائِکتِهِ وَ کتُبِهِ وَ رُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَینَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِه
- ↑ الَّذینَ یؤْمِنُونَ بِالْغَیبِ وَ یقیمُونَ الصَّلاةَ وَ مِمَّا رَزَقْناهُمْ ینْفِقُون
- ↑ Qawaaid Al-Aqaid, hal. 145.
- ↑ Haqaiq Al-Iman, hal. 144-146.
- ↑ Qawaaid Al-Aqaid, hal. 145.
- ↑ Syarh Al-Maqasid, jld 5, hal. 177; Mawaqif, jld 3, hal. 527.
- ↑ Kitab Ushul Al-Din, hal. 252.
- ↑ Lisan Al-Arab, jld 7, hal. 243.
- ↑ Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, hal. 705.
- ↑ Awail Al-Maqalaat, hal. 54.
- ↑ Ushul Al-Din 'Inda Al-Imam Abu Hanifah, hal. 435-436.
- ↑ Al-Tibyaan, jld 2, hal. 418.
- ↑ Majma' Al-Bayan, jld 1, hal. 418.
- ↑ Awail Al-Maqalaat, hal. 54.
- ↑ Tamhiid Al-Awail wa Talkhish Al-Dalail, hal. 391.
- ↑ Qawaid Al-Aqaid, hal. 142-143.
- ↑ Haqaiq Al-Iman, hal. 120-121.
- ↑ Syrah Al-Maqashid, jld 5, hal. 207.
- ↑ Al-Mizan, jld 1, hal. 301-303.
Daftar Pustaka
- Al-Dzakhirah fii Ilmi Al-Kalam, Murtadha Alamul Huda, Ali bin Husein, Tahqiq: Sayyid Ahmad Huseini, Muassasah Nasyr Islami, Qom, 1411 H.Q.
- Al-Iqtishad Fii Maa Yata'allaqu Bil-I'tiqad, Thusi, Muhammad bin Hasan, Berut, 1406 H.Q.
- Al-Kafi, Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, Tashhih wa Ta'liq: Ali Akbar Ghafari, Daar Al-Kutub Al-Islamiyah, ketujuh, Tehran, 1383.
- Al-Khishal, Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali, Tashhih wa Ta'liq: Ali Akbar Ghafari, Intisyaraat Jameah Mudarrissin, qom, 1362 H.Q.
- Al-Lawami' Al-Ilahiyah fii Al-Mabahits Al-Kalamiyah, Tahqiq: Sayyid Muhammad Ali Qadhi Thabathabai, Intisyarat Daftar Tablighaat Islami, Qom, 1422 H.Q., 1380 H.S.
- Al-Milal wa Al-Nihal, Syahristani, Abdul Karim, Taqdim wa Ta'liq: Shalahuddin Al-Hawari, Maktab Al-Hilal, Berut, 1998 M.
- Al-Mizan, Thabathabai, Muhammad Husein, A'lami, Berut, 1393 H.Q.
- Al-Muhashal, Fakhrur Razi, Muhammad, Taqdim wa Tahqiq: Husein Atai, Daar Al-Turats, Mesir, 1411 H.Q.
- Al-Munidz min Al-Taqlid, Hamshi Razi, Sadidudin Mahmud, Muassasah Nasyr Islami, Qom, 1414 H.Q.
- Al-Tibyan, Thusi, Muhammad bin Hasan, Maktab Al-A'la Al-Islami.
- Aqrab Al-Mawarid, Syartuni, Said, Daar Al-Uswah Li Al-Thaba'ah wa Al-Nasyr, Tehran, 1374 H.S.
- Awail Al-Maqalaat fii Al-Madzahib wa Al-Mukhtaraat, Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad, Ta'liq wa Taqwim: Syekh Al-Islam Zanani, Intisyarat Dawari, Bita, Qom.
- Bihar Al-Anwar, Majlisi, Muhammad Baqir, Muassasah Wafa, Berut, 1403 H.Q.
- Buhuts Fii Al-Milal wa Al-Nihal, Subhani, Ja'far, Markaz Mudiriyat Hauzeh Elmiyah, Qom, 1370 H.S., 1412 H.Q.
- Haq Al-Yaqin fii Ma'rifah Ushul Al-Din, Syubar, Sayyid Abdullah, A'lami, Berut, 1418 H.Q.
- Haqaiq Al-Iman, Amili, Zainuddin Ali, Tahqiq: Sayyid Mahdi Rajai, Maktabah Ayatullah Al-Udhma Mar'asyi Najafi, Qom, 1409 H.Q.
- Ihya Ulum Al-Din, Ghazali, Abu Hamid (505 M.). Tahqiq: Syekh Muhammad Dali Balthah, Al-Maktabah Al-Ashriyah, Berut, 1421 H.Q., 2000 M.
- Irsyad Al-Thalibiin ila Nahj Al-Mustarsyidiin, Sayuri Hilli, Jamaluddin Miqdad, Tahqiq, Sayyid Mahdi Rajai, Ketab Khaneh Ayatullah Al-Udhma Mar'asyi Najafi, 1405 H.Q.
- Kasyf Al-Murad fii Syarhi Tajrid Al-Aqaid, Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf, Tashhih, Taqdim wa Ta'liq: Hasan Hasan adeh Amuli, Nasyr Islami, Qom, 1407 H.Q.
- Kitab Al-'Ain, Farahidi, Khalil bin Ahmad, Daar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Berut, 1426 H.Q.
- Kitab Al-Mawaqif, Iji, 'Adhuddin, Syarih: Sayyid Syarif Jarjani, Tahqiq wa Ta'liq: Abdurrahman Umairah, Daar Al-Jalil, Berut, 1417 H.Q.
- Kitab Al-Tauhid, Maturidi, Abu Manshur Muhammad, Tahqiq wa Taqwim: Fathullah Khalif, Daar Al-Masyrik, Bita, Berut.
- Kitab Ushul Al-Din, Ghaznawi, Jamaluddin Ahmad, Tahqiq wa Ta,liq: Amr Waqiq Adda'uqi, Daar Al-Basyair Al-Islamiyah, Berut, 1419 H.Q.
- Lisan Al-Arab, Ibnu Mandzur, Daar Shadir, Berut, 2003 M.
- Majma' Al-Bayan, Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Berut, Muassasah Al-A'la Lil Mathbu'aat.
- Maqalaat Al-Islamiyyiin wa Ikhtilaf Al-Mushaliin, Asy'ari, Abul Hasan Ali bin Ismail, Tahqiq: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Maktabah Al-'Ashriyah, Berut, 1419 H.Q.
- Mu'jam Maqayis Al-Lughah, Ibnu Faris, Ahmad, Tahqiq: Abdus Salam Muhammad Harun, Maktab Al-I'lami Al-Islami, Qom, 1404 H.Q.
- Qawaid Al-Aaid, Thusi, Nashiruddin, Tahqiq: Ali Rabbani Gulfaigani, Markaz Mudiriat Hauzah Ilmiyah Qom, 1416 H.Q.
- Qawaid Al-Maram fii Ilami Al-Kalam, Bahrani, Maitsam bin Ali, Tahqiq: Sayyid Ahmad Huseini, Maktabah Ayatullah Al-Udhma Mar'asyi Najafi, Qom, 1406 H.Q.
- Qawaid Aqaid, Ghazali, Tahqiq wa Ta'liq: Musa Muhammad Ali, Alam Al-Kitab, Berut, 1405 H.Q.
- Sarmyeh-e Iman, Lahiji, Abdurrazaq , Tashhih: Shadiq Larijani, Al-Zahra, Tehran, 1364 H.S.
- Shahih Muslim, Muslim bin Hajjaj Qusyairi Nisyaburi, Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, Bita, Berut.
- Sunan Ibnu Majah, Qazwini, Muhammad bin Yazid, Tahqiq wa Ta'liq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Al-Fikr Lil-Thaba'ah wa Al-Nasyr.
- Syarh Al-Maqashid, Taftazani, Mas'ud, Tahqiq: Dr. Abdurrahman Umairah, Mansyuraat Al-Radhi, Qom, 1409 H.Q.
- Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Mu'tazili, Abdul Jabar, Ta'liq: Ahmad bin Husein bin Abu Hasyim, Tahqiq wa Taqwim: Abdul Karim Utsman, Maktabah wa Hibah, Mesir, 1408 H.Q.
- Syarh Tajrid Al-Aqaid, Rahli, Qusyaji, Alauddin Ali, Mansyuraat Razawi Bidar Azizi, Bita, Qom.
- Takhrij Al-Ahadits wa Al-Atsar, Zael'i, Tahqiq: Adullah Abdurrahman As'ad, Daar Ibnu Khuzaimah, Riyadh, 1414 H.Q.
- Tamhid Al-Awail wa Talkhish Al-Dalail, Baqalani, Muhammad bin Thabib, Tahqiq: Imaddudin Ahmad Haidar, Muassasah Al-Kutub Al-Tsaqafiyah, Berut, 1411 H.Q.
- Ushul Al-Din 'Inda Al-Imam Abu Hanifah, Khumais, Muhammad Abdurrahman, Daar Al-Shami'i, Saudi Arabia, 1416 H.Q.