Work Text:
Bertahun-tahun lamanya semenjak terakhir bertemu dengan ayah kandungmu, dan sekarang dirimu berdiri di depan kediaman ayahmu yang dikelilingi pagar hitam. Terdengar suara kunci dibuka dari pintu depan, lalu muncullah sesosok pria tampan berambut putih dan berbadan tegap:
Sylus.
Ia sedikit melongo saat melihatmu berdiri di depan rumahnya, setelah sekian lama tak berjumpa. Terakhir kali ayahmu melihatmu adalah saat kamu masih seorang gadis kecil, berusia tak lebih dari belasan tahun. Sylus jalan beberapa langkah, mendekat ke pintu pagar hitam yang tinggi menjulang. Netranya tak lepas darimu, memandangimu dari ujung rambut hingga ujung kaki di antara sela-sela pagar besi yang mengelilingi kediamannya. Bahkan saat ia membuka sedang gembok pagarnya, ayahmu tetap tak bisa melepaskan pandangan matanya.
Namamu dibisikkan oleh pemimpin Onychinus tersebut, dan ia hampir tak percaya saat memanggilmu — entahlah, mungkin saja saat ini ia tengah berada di dalam mimpi.
Pasalnya, ayahmu sudah banyak kali bermimpi tentangmu saat ia tidur, malamnya dihantui oleh rasa kangen terhadap anak gadisnya yang sudah lama tak bisa ia temui, karena ego ibumu yang terlampau tinggi semenjak mereka bercerai. Wajar saja Sylus merasa sedikit tercengang saat melihatmu di hadapannya, meski ayahmu sudah berusaha menyiapkan diri dan menata hati sejak dirinya secara tiba-tiba menerima pesan yang kamu kirimkan padanya beberapa jam lalu.
“Iya, papa… ini aku,” katamu dengan lembut, bibirmu sedikit tersenyum dan wajahmu tersipu malu.
Suara besi berdecit sedikit nyaring, menandakan pagar rumah ayahmu yang terbuka. Kakimu melangkah masuk menuju terasnya, sementara Sylus masih terdiam di belakangmu sambil kembali mengunci gemboknya — sudah malam, pikirnya. Bukan… bukan karena hal lain. Pria tersebut menghela napas dalam-dalam. Sesungguhnya, ayahmu sangat senang karena akhirnya bisa bertatap muka denganmu setelah kian lama tak berjumpa; bahkan, ia ingin segera memelukmu dengan erat dan memanggilmu dengan panggilan sayangnya.
Tapi, ayahmu ragu.
Masalahnya, kamu sekarang sudah dewasa — bukan lagi gadis kecil yang bisa ia peluk dan cium sesukanya.
“Ayo masuk, nak. Duduk dulu, biar papa buatkan minum,” ujarnya sambil kembali menarik napas beberapa kali, berusaha menenangkan dirinya sendiri yang seperti hendak meledak karena rasa gugup di dadanya. Sylus ingin bertanya banyak hal padamu, tapi sepertinya ia akan menyimpannya untuk nanti. Ia lebih ingin agar kamu yang pertama bercerita tentang hari-harimu saja, setelah sekian lama tak bertemu.
“Oke, pa,” jawabmu dengan senyum simpul, sembari perlahan menanggalkan sepatumu yang kamu kenakan dan menaruhnya di rak yang ada di dekat pintu masuk.
Ayahmu hanya bisa menyengir di dalam hatinya saat melihatmu, khususnya saat badanmu sedikit berlutut saat sedang melepas sepatumu — anaknya sudah besar, sudah dewasa; sekarang sudah sudah bisa lepas-pasang sepatu sendiri… tak lagi memerlukan bantuannya seperti dulu.
Sylus pun pergi ke dapur untuk membuat minuman untukmu, sementara kamu duduk manis di sofa ruang keluarga. Beberapa saat kemudian, ayahmu kembali sambil membawa sebuah cangkir berisi teh hangat beserta sedikit makanan kecil untukmu. Ia meletakannya perlahan di atas meja tepat di hadapanmu, sebelum ia turut duduk di sebelahmu.
“Minum, sayang,” pintanya dengan panggilan sayangnya saat kau masih kecil. Entah mengapa, saat ini ia ingin tetap memanggilmu seperti itu, padahal dirimu sudah dewasa. Mungkin ada sedikit rasa nostalgia yang masih tersisa di hatinya — meski pria tersebut tak bisa menampik bahwa anak gadisnya sekarang telah tumbuh menjadi seorang wanita berparas cantik. Sementara itu, dadamu terasa berdebar sedikit lebih kencang; rasa tegang beradu dengan keinginanmu untuk memulai pembicaraan lebih dulu dengan lelaki tampan yang duduk di sebelahmu.
Mengapa detak jantungmu begitu cepat? Padahal ia adalah ayahmu sendiri, tak seharusnya kau merasa seperti ini. Apakah mungkin karena kalian sudah lama tak berjumpa? Sehingga kamu merasa gugup — karena belum terbiasa?
Ya, pikirmu. Pasti hanya karena rasa gugup. Tak mungkin karena hal lain.
Pada akhirnya, kepalamu hanya bisa mengangguk pelan sebelum akhirnya meraih cangkir di depanmu sesuai permintaannya tadi. Sylus tersenyum, memerhatikan anak gadisnya menikmati teh bersama beberapa kudapan yang sudah disiapkannya. Tapi tak lama kemudian, ia akhirnya membuka suara.
“…sudah lama ya, nak?” Tanyanya diiringi helaan napas pelan — sangat jelas bahwa tak hanya kamu saja yang merasakan gelisah, ayahmu pun sama.
“Iya, pa,” jawabmu, sebelum kembali meminum teh hangatmu dan menghabiskannya dengan sedikit terburu-buru. “Aku kangen papa.” Jari-jemarimu sedikit gemetar saat tanganmu meletakkan cangkir yang sekarang kosong tersebut di atas meja; kau berharap agar ayahmu tak menyadari betapa gugupnya dirimu.
Sylus terdiam beberapa saat setelah mendengar jawabanmu tadi sebelum ia kembali berbicara, “papa juga kangen kamu, sayang…”
Kedua tanganmu berusaha untuk terlihat tenang dengan menelungkupkan kedua tanganmu. Padahal, sebenarnya kamu sangat ingin memeluk ayahmu dengan erat, layaknya saat kau masih seorang gadis kecil. “Papa… pengen peluk,” bisikmu malu-malu setelah menarik napas panjang demi mengumpulkan keberanianmu.
Di saat itulah Sylus akhirnya menghela napas dengan jauh lebih keras dan dalam dibandingkan dirimu sebelumnya. Ia akhirnya berujar dengan sedikit nada frustrasi. “Papa juga pengen peluk kamu, nak… tapi kamu sudah dewasa,” kata ayahmu. Terlihat sekali bahwa ia sedang berusaha keras untuk menahan diri dari keinginannya untuk segera merengkuhmu dalam rangkulannya begitu saja.
“Iya, tapi aku masih anak papa,” balasmu sambil mengambek. “Kapan lagi aku bisa ketemu papa? Aku mau peluk papa… ga peduli aku udah dewasa atau belum. Boleh ya, pa?” Lagi-lagi ayahmu dihadapkan dengan sikap keras kepala yang tak jauh berbeda dari kelakuanmu waktu kecil; membuat pria tersebut teringat akan masa lalu.
Sylus pun tak mampu untuk menampik permohonanmu tersebut.
“…ya sudah. Tapi cuma peluk aja, oke?” Ia akhirnya menyerah — kata-katanya seolah menunjukkan kecurigaan bahwa kalian akan melakukan hal-hal yang lebih dari batas wajar sebagai seorang ayah dan anak perempuan. Ayahmu segera meraih tubuhmu dengan kedua tangannya, memelukmu erat-erat di atas sofa keluarga yang kalian duduki bersama.
“Papa…” gumammu; kamu hanya bisa diam saat merasakan lengan Sylus yang berotot melingkari tubuhmu, dirimu merasakan kuatnya pelukan pria dewasa tersebut. Tak terasa, badanmu sedikit miring sehingga membuat ayahmu kehilangan keseimbangannya, dan sekarang ia sekarang terbaring di sofa — dengan kepalamu tepat di atas dada bidangnya.
Entah kenapa, tak ada satu pun dari kalian yang bergerak dari posisi tersebut.
“Aku kangen papa,” ulangmu. Tanganmu meraih kemeja hitam yang dikenakannya, sembari menghirup aroma maskulin yang sudah lama tak bisa kau cium.
“Papa juga kangen,” Sylus menyahut sembari mengelus rambutmu dengan lembut. Ia tersenyum melihat keadaanmu saat ini — kau terlalu manis, membuatnya ingin terus-terusan mengecup seluruh wajahmu sampai nanti kulitmu merah padam.
Sebentar… kenapa dia punya pikiran seperti itu? Kamu adalah anak kandungnya yang sudah dewasa… tidak seharusnya ia punya keinginan untuk menciumimu.
Bajingan kau Sylus, batin ayahmu berujar.
Ayo sadar, ini anak kandungmu sendiri.
Tapi sebelum ia bisa menenangkan hatinya, terdengar suara lirih dari atas tubuhnya.
“…papa,” ucapmu beberapa saat setelah hanya terdiam dan menikmati kehangatan badan ayahmu dan aromanya yang selalu membuatmu nyaman sejak kamu kecil. “Aku pengen cium papa. Boleh?” Pintamu, seolah kamu bisa membaca pikirannya dan merasakan segala kekacauan batinnya.
Sylus terdiam; ia tak menyadari bahwa kini jantungnya tengah berdebar sangat cepat sampai rasanya seperti mau copot dari dadanya. Ia hanya mampu memandang paras cantikmu, sebelum akhirnya menjawab permintaan tersebut dengan tenang — walau hatinya saat ini terasa seperti akan meledak.
“…boleh, sayang.”
Kedua tanganmu pun merangkak dari dada bidang ayahmu demi melingkari lehernya, membuat posisi kalian kian dekat. Kali ini, kamu berinisiatif untuk mengecup pipinya beberapa kali sebelum akhirnya bibirmu turun dan mencium ayahmu. Ia turut menopang lehermu dengan tangannya saat mulutmu yang lembut menerawang pipi serta bibirnya. Seketika itu, ia sudah sangat terpikat olehmu. Pria tersebut ingin menciummu lebih dalam; ingin bibir kalian bertaut dan berpagut dengan makin mesra.
Meski pria tersebut tahu bahwa kamu adalah anak semata wayangnya, dan ia adalah ayah kandungmu… Sylus tak bisa memungkiri bahwa setelah sekian lama kalian tak berjumpa, kau telah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa yang sangat cantik — membuatnya jatuh cinta pada anaknya sendiri; apalagi setelah kalian mulai berciuman. Bibirmu kini tak henti-hentinya mengecup ayahmu dengan mesra, lidahmu dengan malu-malu membelai tepian bibirnya.
Sebenarnya, dari tadi Sylus sudah sangat ingin menerobos bibirmu dengan lidahnya; ingin merasakan bagaimana nikmatnya menjelajahi rongga mulut anak gadisnya. Tapi, ia berusaha keras untuk menahan semua hasrat tersebut. Tangannya hanya bisa mengepal, berharap agar ia mampu untuk terus mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Namun, apa daya jika perbuatanmu sudah semakin ngawur dan berani — menghujamkan lidahmu ke dalam mulut ayah kandungmu sendiri?
Pria yang membuahi sel telur cikal bakal kehidupanmu?
Pria yang menyumbang separuh dari DNA-mu?
Itulah yang terjadi — ayahmu tak lagi mampu menahan diri. Akhirnya, ia dengan seksama melumat bibirmu; membiarkan lidahnya yang basah meliuk-liuk dan beradu dengan milik anak perempuannya, membuatnya bertukar air liur denganmu. Bibirmu terasa lembut dan manis; teramat sangat nikmat bagi ayahmu. Sylus tak percaya bahwa gadis kecil yang dulu duduk di pangkuannya kini telah tumbuh dewasa, dan sekarang dengan senang hati bercumbu dengannya setelah sekian lama tak berjumpa.
“Mmm… papa,” gumammu, merasakan nikmatnya lidah ayahmu yang begitu lihai masuk lewat sela bibirmu dan menjelajahi rongga mulutmu; menjilati lidahmu sebelum menghisapnya lembut. “Enak, pa… aku senang ciuman sama papa.”
“Ciuman sama ayah kandungmu sendiri bikin kamu enak, sayang?” Sahut Sylus sembari kembali menerobos bibirmu dengan lidahnya, membuatmu hanya bisa mengerang akibat sensasi nikmat yang hadir dari kehangatan organ tersebut, membelai seluruh bagian mulutmu.
“I-Iya, pa. Enak banget… pengen ciuman terus sama papa,” jawabmu dengan lengkingan bernada tinggi — seolah kamu tak pernah merasakan kenikmatan seperti itu sebelumnya.
“Sayang… kamu kangen papa sampai segininya?” Balas ayahmu, lidahnya masih terus mendominasimu dan menjamah bibirmu dengan rakus. “Masa iya ada anak perempuan baru ketemu papanya lagi, langsung minta dicium dan dicumbu kaya gini?”
Pertanyaannya membuatmu hanya bisa tersipu malu sebelum bibirmu kembali menyatu dengan miliknya; lidahnya kembali mengisi rongga mulutmu, memunculkan desahan nikmat akibat gesekan lidah basah ayahmu saat beradu dengan milikmu. “Maaf, pa,” sahutmu setelah terengah berkat sensasi nikmat ciuman Sylus. “Abisnya aku kangen banget sama papa… terus papa ganteng banget, jadi naksir sama papa.”
Jawabanmu berhasil membuat pria tersebut tertawa, sebelum kembali melumat bibirmu dengan lahap. Sekarang ayahmu sudah tak lagi berusaha untuk menahan diri. Persetan dengan tabu, pikirnya; kenikmatan tiada tara ini justru ada karena cinta terlarang kalian sebagai ayah dan anak.
“Hmm… kamu sudah gede, tapi masih manja — belum berubah dari waktu kamu kecil.” Tangan miliknya meraih dagumu dan membuat kepalamu menengadah ke atas, sehingga Sylus sekarang memiliki akses lebih mudah untuk menjelajahi rongga mulutmu. Ciumannya sekarang jauh lebih rakus, lidahnya tak kunjung berhenti menyodok-nyodok bagian dalam mulutmu yang hangat dan basah, membuat air liurmu tersentak akibat ciuman ayahmu yang sangat mendominasi.
“Ngh… papa— aku pengen,” keluhmu; intensitas ciumannya membuatmu terlampau nafsu. Kamu hanya bisa pasrah menerima hujaman lidah pria berambut putih tersebut, organnya menjelajahi setiap bagian dalam mulutmu dengan ganas. “Papa… aku masih perawan lho, pa. Aku pengen bercinta sama papa… aku pengen diperawani papa.”
“…sayang,” gumam Sylus sembari menghentikan ciumannya untuk beberapa saat, demi kembali memandangmu dari bawah dengan pandangan sayu. Lidahnya mengecap jejak air liur yang merembes dari sisi bibirmu akibat ciumannya sebelum berujar lagi, “papa akan jadi laki-laki pertama kamu? Kamu beneran pengen diperawani sama ayah kandungmu sendiri?”
“Iya, pa,” jawabmu dengan lantang sambil mengeratkan pelukanmu di lehernya; terlihat jelas bahwa saat ini kamu sudah kehilangan segala akal sehatmu, sehingga membiarkan segala hal yang tabu terjadi begitu saja — moral, imoral; benar, salah… persetan dengan itu semua. Persetan dengan apa kata logika. Kamu hanya ingin digagahi ayahmu. “Aku pengen papa jadi laki-laki pertamaku… dan juga yang terakhir. Aku cuma mau sama papa.”
“Hah… dasar kamu anak nakal.” Sylus merasakan detak jantungnya berdebar makin cepat, membuatnya makin tergiur untuk segera menidurimu di atas ranjangnya nanti. “Papa jadi bingung,” kata ayahmu sembari mengecup bibirmu lagi selama beberapa saat, sebelum kembali bergumam di dekat telingamu, “papa harusnya menolak… masa iya seorang ayah memerawani anak kandungnya sendiri?”
“Papa tapi juga mau, kan?” Balasmu dengan nada memohon, kedua tanganmu kini meraih wajahnya — berharap ayahmu akan menerima permintaanmu yang sudah jelas sangat tidak wajar sebagai seorang keturunan sedarahnya sendiri. “Aku pengen seks sama papa,” bisikmu dengan lembut, jari jemarimu meremas pipi ayahmu seolah ingin meyakinkannya. “Aku mau dimasukin papa. Boleh, ya?”
“…sialan, kamu memang nakal.” Kata-katamu membuat Sylus tak mampu melawan nafsunya lagi. Ia menghela napas dalam-dalam, berharap hatinya bisa kembali jernih lagi — namun ia tahu bahwa semuanya sudah terlanjur; semua akal sehat kalian berdua sudah hilang sejak lidahnya dan lidahmu beradu mesra beberapa saat lalu… ayahmu sudah tak bisa berbuat apapun sekarang.
“Kamu yakin, sayang?” Tanya pria tersebut; netranya yang merah melihatmu dengan pandangan sayu.
“Iya, papa. Aku yakin,” balasmu dengan mantap akibat nafsu yang tak tertahankan. “Aku udah dewasa, pengen bercinta sama papa.” Kedua tanganmu kini turun dan merengkuh tengkuk ayahmu dengan lembut; membuat kepala pria tersebut semakin mendekat ke dalam dekapmu. “Boleh ya, pa? Aku pengen diperawani papa,” Ujarmu dengan lembut, sambil salah tanganmu meraih tonjolan di selangkangan ayahmu. “Papa udah keras banget… lihat ini, pa — papa juga pengen kan, memerawani anak perempuanmu sendiri?”
“Dasar kamu anak nakal,” Sylus kembali menghela napas panjang akibat remasanmu terhadap batangnya yang mengeras di balik celananya, membuatnya menyadari bahwa saat ini ia sudah tak mampu lagi menahan hasratnya untuk segera memilikimu seutuhnya — tak mampu lagi menahan gairahnya untuk segera menggagahimu, meski kamu adalah anak kandungnya sendiri. “Ayo, pindah ke kamar papa,” ucapnya dengan suara yang sedikit tertahan.
“Iya, pa.” Jari jemarimu pun memegang tangan ayahmu dengan erat, berharap ia akan menuntunmu menuju kamar tidurnya. Perasaanmu saat ini adalah campur-aduk antara rasa tak sabar dan sedikit takut — terutama setelah merasakan betapa besar ukuran penis ayahmu, walau masih tertutup oleh celananya.
Apa iya barang sebesar itu bisa masuk ke lubang sempitmu yang masih perawan?
Saat kalian sudah sampai di dalam kamar tidur ayahmu, kamu membuat Sylus duduk di tepi ranjang; badanmu berlutut di antara kedua pahanya. Matamu berbinar — ingin segera membuka ritsleting celananya dan menyibak apa yang tertutup kain tersebut. Kedua tanganmu turun, meraih ritsleting celana ayahmu dan menariknya turun sebelum tanpa aba-aba kembali meremas ereksi ayahmu yang sudah sangat tegang.
“Ngh… sialan,” bisik Sylus saat ia kembali merasakan remasanmu di tonjolan miliknya, membuatnya bergumam, “bisa ya… anak perempuan sendiri senafsu ini sama papanya?” Tanya pria tersebut dengan napas tersengal.
“Iya, papa; abisnya papa ganteng, gagah, tinggi, badannya berotot… udah gitu burung papa gede banget,” katamu sembari meremas batang keras yang tertutup kain celana dalamnya sebelum kembali berbicara dengan nada merayu, tanganmu kini mulai menelanjangi ayahmu dari bagian pinggang ke bawah. “Mending aku nafsu sama papa, kan? Daripada sama laki-laki lain?”
Sylus hanya mampu terdiam beberapa saat akibat dari ucapanmu serta tindakanmu, membuatnya sedikit menghela napas panjang dan membuatnya makin tergiur untuk segera menjamah keperawananmu. “Iya, jangan sama laki-laki lain. Sama papa aja, nanti papa bikin kamu enak,” jawab ayahmu saat merasakan celananya ditanggalkan, kini hanya tersisa kemeja hitam yang ia kenakan. “Itu kan yang kamu mau, sayang? Diperawani papa?”
“I-Iya, papa,” ujarmu sambil matamu kembali memandang ke arah penis yang kini sudah terbuka, membuatmu sudah sangat tak sabar untuk segera merasakan bagaimana penuhnya vaginamu bila disodok olehnya. Tanganmu meraih batang tegak ayahmu dengan lembut, menyulut sensasi nikmat melalui saraf pria tersebut akibat sentuhanmu — berharap lubangmu yang masih perawan tidak akan kesulitan menerima ukurannya nanti. “Papa… gede banget, ya,” gumammu, rasa takut terlihat jelas di raut mukamu. “Kira-kira bisa cukup ga ya…?”
“Bakal cukup, kok,” sahut ayahmu dengan tegas — bahkan ia terlihat sangat yakin akan hal tersebut. “Nanti papa enakin kamu dulu sebelum papa masukin, biar cukup.” Sylus mengerang akibat tanganmu yang mulai mengocok kemaluannya, membuat pria tersebut kembali berujar, “tapi kamu jangan takut, ya? Papa akan pelan-pelan nanti… papa ga pengen menyakiti kamu, sayang.”
“Oke, pa,” kamu hanya mampu mengangguk sembari jari-jemari tanganmu meneruskan gerakan naik turun di penis ayahmu yang tegang, membuat ayahmu merasa kenikmatan yang hebat akibat kocokanmu. “Papa… aku pengen emut papa, boleh?” Bisikmu dengan sedikit malu-malu.
“Boleh, sayang,” jawab Sylus, dan seketika lidahmu pun menjilat kepala kemaluan ayahmu. Kedua tanganmu mengocok batang tersebut, membuatnya menghela napas akibat rasa nikmat dari sensasi tersebut sebelum mengecup manja penis ayahmu setelah menjilatinya. “Hngh… ah,” Sylus hanya mampu mengeluarkan desahan yang tersengal akibat nikmatnya mulut dan lidahmu.
“Hmm… nikmat ga, pa?” Tanyamu, sebelum menjamah kejantanannya dengan bibirmu; rahangmu terbuka lebar, memasukkan penis ayahmu ke dalam rongga mulutmu yang hangat dan basah, lidahmu menjilati sedikit cairan asin yang mulai meluber keluar.
“Enak, sayang… papa senang punya anak perempuan yang berbakti, yang ga segan buat emut ayahnya sendiri,” jawab pria tersebut dengan kepala sedikit terdongak — tangannya kini mencengkeram rambutmu akibat sensasi dari jilatan dan hisapanmu.
“Mmm… papa, aku suka emut papa,” kamu pun hanya bisa mengerang akibat ukuran besar penis ayahmu, sebelum menggerakkan kepalamu ke atas dan ke bawah sambil menghisapnya dengan lebih keras dan menghantamkan kemaluannya ke pangkal tenggorokanmu.
“Ah, sialan — enak banget, sayang,” Sylus berkata dengan napas tersengal akibat hisapanmu yang kian keras, membuat pria tersebut merasa sangat nikmat. Bajingan mana lagi yang seberuntung dia di dunia ini? Memangnya ada pria di dunia ini yang tidak senang bila penisnya dijilati, meski itu oleh anak kandungnya sendiri? “Lebih enak mana? Emut permen kesukaan kamu waktu kecil, atau emut papa kaya gini?” Tanyanya lembut, tangannya mengelus helai-helai rambutmu dengan seksama.
“Emut papa jauh lebih enak,” jawabmu dengan mulut yang tertutup oleh batang ayahmu, membuat ucapanmu jadi terdengar sedikit kurang jelas.
“Sialan… kamu emutnya kenceng banget, sayang,” ujar ayahmu dengan suara yang tercekat, jarinya terus menerus membelai kepalamu. “Papa mau keluar, kamu telan ya?”
“Hngh… iya papa, nanti aku telan,” kamu hanya mampu mengerang akibat elusan tangan ayahmu yang menenangkan, sebelum akhirnya kepalamu kembali maju dan mundur dengan cepat, sehingga kepala penis pria tersebut mengenai bagian terdalam dari pangkal tenggorokanmu — membuatmu hampir tersedak, dan ia pun mencapai puncak kenikmatan sembari menghentakkan pinggulnya.
Air mani ayahmu kemudian keluar dalam muncratan hebat, langsung mengalir masuk ke dalam sela tenggorokanmu — hanya beberapa tetes saja yang terpancar ke dalam mulutmu; membuatmu perlu berusaha keras untuk menahan sensasi batuk akibat hentakan penisnya.
“Ah… sayang,” Sylus mengerang akibat orgasmenya, membuatnya tak henti-henti mengelus-elus manja rambutmu. “Sekarang gantian papa yang bikin kamu enak, ya? Ayo sini, tiduran di kasur…” Kedua tangannya pun meraih pinggulmu, mengangkat badanmu sebelum membaringkanmu di atas tempat tidurnya. “Papa enakin kamu, ya sayang? Kamu mau mulut papa atau jari papa?” Bisik ayahmu sebelum mengecup dahimu.
“B-Boleh dua-duanya, pa?” Tanyamu, sekali lagi dengan nada malu-malu. “Pengen dibikin enak papa… dijilat, diemut, dihisap sambil dimasukin jari papa,” gumammu pelan, sementara kedua tangan ayahmu menanggalkan semua baju dan pakaian dalam yang kamu kenakan, membuatmu segera telanjang di depan matanya.
“Boleh, sayang,” sahut ayahmu sebelum kembali mengecup bibirmu dengan lembut. “Tapi kamu nanti jangan keras-keras ya, sayang… sudah malam, takutnya tetangga nanti dengar,” bisik Sylus di telingamu sebelum tubuhnya turun, kepalanya kini sudah berada di antara kedua pahamu yang terbuka lebar — bibirnya tepat ada di atas kemaluanmu.
“Oke, pa,” kamu hanya mampu meresponnya dengan lemah saat tiba-tiba dirimu merasakan lidah ayahmu menjilati labiamu yang basah dengan rakus, kepala ayahmu tertancap rapat di vaginamu sambil menggigit-gigit lembut klitorismu. “E-Enak— Papa, jarinya juga masukin, dong…” gumammu dengan suara terbata-bata akibat hisapannya.
“Hmm… gini ya, sayang?” Sylus bertanya pelan sebelum jari-jemarinya menyelip masuk ke dalam lubangmu yang masih sangat sempit, selaput daramu masih utuh karena kamu yang masih perawan, belum pernah dijamah oleh siapapun selain ayahmu. Jarinya mengocok keluar-masuk dalam waktu yang bersamaan dengan mulut ayahmu yang masih mengemut klitorismu — membuat seluruh ujung sarafmu seperti tengah dihajar oleh gempuran nikmat, tenggorokanmu tak lagi mampu menahanmu untuk tidak berteriak.
“Ahhh… pa— Papa, enak banget…!” Desahanmu tak henti-hentinya keluar akibat nikmatnya jari dan lidah ayahmu. “Papa, mau lagi… masukin jari satu lagi, dong?”
“Oke, sayang,” Sylus hanya mampu menghela napas akibat desahanmu, membuatnya makin tergiur untuk membuat anak gadisnya sendiri orgasme, sebelum ia menambahkan satu jarinya ke dalam vaginamu. Kedua jarinya bergerak lebih cepat di dalam lubangmu, membuatmu merasakan sensasi sangat nikmat akibat panjangnya jemari ayahmu — tubuhmu pun bergidik keenakan, apalagi sekarang mulut ayahmu semakin rakus menjilati kemaluanmu yang kian lama kian basah.
Kedua tanganmu mencengkeram rambut ayahmu, salah satu tangan pria tersebut kini merangkul tubuhmu dengan kuat, dirimu merasa seperti terjebak di bawah cengkeramannya. “Papa pengen kamu keluar… papa pengen kamu kerasa enak sebelum diperawani papa,” gumam Sylus dengan napas tersengal, ia tahu kalau anaknya sudah sangat dekat dengan titik klimaks akibat jilatannya. “Ayo keluar, sayang.”
“Papa, papa… aku pengen keluar, papa,” bisikanmu terdengar sangat lemah, sebuah kontras dari detak jantungmu yang berdebar kencang akibat napas ayahmu yang menerpa klitorismu. “Papa… aku keluar— ah…!” Seketika, tubuhmu gemetar akibat orgasmemu yang intens — kamu masih tak bisa percaya bahwa ayah kandungmu sendiri bisa membuatmu mencapai titik kenikmatan duniawi tertinggi.
Selagi kamu lemas, tubuh ayahmu naik ke atasmu — mulutnya kini kembali mengecup bibirmu dengan lembut sebelum menggesek-gesekkan permukaan kepala kemaluannya dengan labiamu. “Udah siap diperawani papa, sayang?” Bisik Sylus dengan mesra.
“Iya, pa… tapi pelan-pelan, ya?” Balasmu dengan sedikit takut saat merasakan penis ayahmu yang sudah sangat keras menyentuh bukaan lubangmu yang sangat sempit, membuatmu khawatir akan rasa sakitnya nanti.
“…papa janji, sayang,” jawabnya dengan lembut sebelum kembali mengecup bibirmu dengan penuh kasih sayang. “Papa janji bakal pelan-pelan… papa janji ga bakal bikin kamu kesakitan.” Kedua tangan ayahmu meraih pahamu dan mengangkatnya, menaruh kakimu di atas pundaknya yang lebar saat ujung penisnya sudah tepat di atas selaput daramu. “Papa masukin sekarang ya, sayang.”
“Iya, pa—” kamu bisa tersentak saat kemaluan ayahmu perlahan-lahan masuk ke dalam lubangmu yang belum terbiasa digauli, membuatmu terasa sedikit nyeri. “Papa, papa…! Gede banget punya papa,” gumammu dengan bibir terbuka, erangan akibat rasa sakit bercampur nikmat.
“Hngh… enak banget, sayang,” Sylus berujar dengan napas tersengal akibat batangnya yang sudah masuk sekitar sepertiga dalam tubuhmu; dirinya merasa sangat nikmat, terutama saat ia mendengar desahan lemahmu. “Makin lama kamu bakal makin terbiasa, kok. Ini papa pelan-pelan — papa ga masukin semuanya dulu, supaya kamu terbiasa… papa masukin dikit-dikit.”
“Oke, pa…” responmu dengan lirih akibat rasa perih, berkat kemaluan ayahmu yang kini sudah setengah masuk ke dalam liang perawanmu. “Papa… enak ga? Papa suka? Gimana rasanya merawani anak perempuanmu sendiri, pa…?”
“Enak, sayang,” Sylus hanya bisa menjawab dengan napas terputus akibat rasa nikmat dari kehangatan vaginamu. “Sialan, enak banget. Kamu sempit banget, sayang… papa merasa jadi laki-laki paling beruntung di dunia ini.”
Kedua tanganmu meraih pundak pria tersebut, mencengkeramnya dengan sedikit lebih keras akibat rasa sakit yang perlahan mulai berkurang berkat sensasi nikmat dari penis ayahmu. “Papa… masukin lagi, dong,” pintamu sambil melebarkan pahamu, tanpa malu mengangkang di bawah badan besarnya. “Mentokin dong, pa.”
“Oke, sayang,” sahutnya dengan napas tersengal. “Papa masukin lagi sampai mentok, ya?” Ujar Sylus sembari merobek sisa-sisa selaput daramu saat pinggulnya bergerak maju, membuat penisnya masuk lebih dalam ke liangmu yang masih saja terasa sangat sempit. “Ha—ah… sayang, ini papa sudah mentok. Kerasa? Burung papa nabrak rahim kamu, sayang.”
“Papa— ah… papa gede banget,” jawabmu lirih; dirimu hanya mampu meresponnya dengan lengkingan bernada tinggi berkat penisnya yang panjang dan besar memenuhi liang vaginamu. Seketika dirimu pun tersadar: ayah kandungmu sedang memerawanimu. Dan kamu sangat senang akan hal itu.
“Hngh… papa kayanya ga bisa gerak dulu,” Sylus hanya mampu tertawa akibat nikmatnya batang kemaluannya yang tertanam dalam vaginamu. “Sakit nanti buat kamu.” Tangannya mengusap paha dalammu dengan lembut, membuatmu terasa nyaman di balik segala intensitas kenikmatan yang kamu rasakan. “Lagian papa pengen menikmati momen ini. Papa nikmati gimana sempitnya lubangmu, gimana enaknya rasanya merawani anak gadis sendiri… habisnya, ga semua ayah bisa merawani anak kandungnya.”
Kamu terdiam akibat pernyataan mesumnya, membuat jantungmu berdebar kencang akibat enaknya batang kemaluan ayahmu yang tertancap dalam-dalam di vaginamu — bahkan tanpa ia menggerakkan pinggulnya lagi, tubuhmu sudah berasa seperti diiringi oleh gelombang kenikmatan duniawi. “Ah… papa, enak,” gumammu dengan sedikit terbata-bata. “Enak banget, pa… aku senang banget diperawani papa.”
“Makasih ya, sayang,” Sylus menghela napas panjang sebelum mengusap kelentitmu dengan ibu jarinya. “Banyak laki-laki di dunia ini yang cuma bisa berani bermimpi buat bercinta dengan anak perempuannya… tapi papa beruntung jadi salah satu ayah yang bisa merasakannya — berkat kamu, sayang.”
Jari-jemarinya kemudian kembali menyentil klitorismu dengan lembut, membuatmu lagi-lagi merasakan sensasi nikmat yang sangat kuat, desahan penuh gairah tak henti-hentinya keluar dari mulutmu sebelum kamu kembali berujar dengan napas tersengal. “Papa… papa bisa gerak sekarang.”
“…oke,” bisik ayahmu. Sylus merasakan vaginamu merapat saat ia sedikit menggerakkan pinggulnya maju dan mundur — sehingga membuat tubuhmu gemetar akibat sensasi dari ujung penisnya yang menumbuk titik-titik kenikmatan di dalam liangmu. “Hngh— gimana, sayang…? Enak ga, bercinta sama papa?”
“Enak… papa enak banget,” kamu hanya mampu mengerang akibat pinggul ayahmu yang kini terus maju dan mundur tanpa henti dengan ritme yang semakin cepat. “E-Enak banget… lagi, pa — mentokin lagi dong,” gumammu dengan suara bergetar akibat sensasi kenikmatan yang membuat otot vaginamu berkedut setiap beberapa saat.
“Iya, sayang,” sahut ayahmu dengan napas terengah-engah, tangannya menggenggam pahamu sambil menghentakkan pinggulnya dengan keras, membuat kepala kemaluannya menabrak serviksmu.
Air matamu mulai keluar akibat rasa nikmat yang tertahan, kian lama membuat napasmu kian tersengal akibat hentakan pinggulnya yang semakin tak terkendali. “Hngh… pa, enak banget,” kamu berusaha menarik badan ayahmu turun, mendekat kepadamu dengan satu tangan. “Lebih cepet lagi dong, pa… sambil papa cium aku.”
“Oke, sayang… sini, papa cium,” jawab Sylus dengan suara parau sebelum akhirnya menurunkan badannya — kepala ayahmu kini hanya beberapa senti jauhnya dari wajahmu, sebelum mulutnya menjamah milikmu dengan rakus.
Kau bisa merasakan deru napasnya yang kencang menerpa bibirmu, hentakannya terus menerus menumbuk serviksmu dengan keras dan cepat. Kedua tanganmu dengan lembut meraih kepala pria tersebut demi mencium bibirnya dengan lebih dalam, lidahmu beradu tanpa henti sembari mengeluarkan suara-suara basah akibat kecupanmu. Tubuhmu kembali bergetar dan bergidik keenakan akibat hentakan ayahmu yang semakin kencang, pinggulnya maju dan mundur dengan kasar — persis seperti pria yang kesetanan.
Nampaknya, ayahmu sudah tak peduli lagi dengan fakta bahwa kalian sedang melakukan hal yang teramat tabu dan berdosa besar — ia sudah terlanjur kecanduan nikmatnya bercinta dengan anak perempuannya sendiri. Kedua kakimu melingkari pinggangnya, mencengkeramnya dengan rapat. Tubuhmu terus gemetar akibat hujaman keras dari penis ayahmu yang teramat tegang; ia menggenjot vaginamu seperti hewan di tengah musim kawin.
“Hngh… sayang, papa udah ga tahan lagi, pengen keluar,” bisik Sylus di antara kecupannya. “Kamu pengen papa keluar di mana, sayang?”
“D-Di dalam…” kamu hanya mampu mendongakkan kepalamu sembari meniup nafas lembut ke telinganya dengan desahan manja. “Papa— aku pengen papa keluar di dalam,” bisikanmu terdengar sangat lemah dan sedikit terputus akibat hentakan penis ayahmu yang terus menerus menerjang serviksmu. “Pengen ngerasain dihamili air mani papa yang dulu bikin aku.”
“Oke,” pria berambut putih tersebut meraung dengan napas tersengal akibat perkataanmu. “Sayang… ini papa keluar ya, sayang? Sudah siap? Siap dihamili papa, sayang?”
“I-Iya, pa,” kamu meresponnya dengan kepala yang terus mendongak ke atas, sementara ayahmu menubrukkan penisnya pada titik ternikmatmu tanpa henti. “Papa keluar di dalam aja, pa… hamilin aku, aku pengen dihamilin papa — pengen hamil dari sperma papa.”
“Oke, sayang… ini papa keluar, ya,” Sylus pun menggenjot tubuhmu dengan lebih cepat, kata-katamu yang sangat tabu membuatnya makin dekat dengan orgasmenya.
Jari-jemarimu terus menjerat rambut ayahmu dengan kuat akibat hentakan keras dari pinggulnya — hingga akhirnya kamu merasakan penisnya memancarkan cairan hangat di dalam rahimmu, air maninya meluber hingga keluar dari liang kemaluanmu sembari kamu merasakan kenikmatan tiada tara berkat orgasmemu yang datang… sungguh nikmat rasanya, diperawani oleh ayah kandungmu sendiri.
Kedua kepala kalian kini tertelungkup, bibirmu kembali bertemu dengan bibir ayahmu dalam kecupan lembut — lubangmu yang sempit seakan terus memompa penisnya, menerima setiap tetes dari sisa sperma ayahmu. Seiring beberapa saat, gerakan pinggul Sylus pun kemudian berhenti; rasa letih dan lelah mulai muncul akibat orgasmenya yang sangat intens. Tangannya kini merangkul badanmu dengan erat, membuat tubuh kalian saling melebur bersama.
Ayahmu kini berbaring di atasmu, kepalanya bersandar di relung lehermu dengan kepala yang tertunduk. Tanganmu kembali meraih rambut pria tersebut, mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang — sebelum akhirnya kamu berbisik dengan napas terengah-engah pun lemah. “Aku cinta papa…”
“…papa juga cinta kamu juga, sayang,” balas Sylus sembari mengecup pelipismu dengan lembut.
Siapa sangka, bahwa anak gadisnya yang telah lama tak bisa ia temui sekarang sudah menjadi miliknya?