Filsafat Islam Antara Tradisi Dan Kontroversi PDF
Filsafat Islam Antara Tradisi Dan Kontroversi PDF
Filsafat Islam Antara Tradisi Dan Kontroversi PDF
Syamsuddin Arif*
Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Ponorogo
Email: tagesauge@yahoo.co.id
Abstract
Is there such a thing called “Islamic philosophy”? If there is one, what is
it? What does it mean for philosophy to be Islamic? How does Islamic philosophy
differ from non-Islamic one? Why do some Muslim scholars reject philosophy,
ban its instruction, and even scorn its proponents? The present article will address
all these questions and seeks to offer a balanced perspective on controversial
issues pertaining to philosophy in Islamic intellectual context, drawing upon
authoritative, primary sources. The first section deals with definition and
terminology, including the disagreement among scholars over which of these
is the best appellation: ‘Islamic philosophy’, ’Muslim philosophy’, or ’Arabic
philosophy’. This will be followed by a discussion of the main sources of
Islamic philosophy and its impacts, as well as the aims and benefits of studying
philosophy according to its exponents. The final section provides a critical
appraisal of the arguments for and against philosophy that have been put
forward by its defenders and its critics. Furthermore, the article also discusses
three current approaches to Islamic philosophy, namely the mystical-
hermeneutical such as advocated by Leo Strauss and Henry Corbin, the historical-
philological study such as practiced Richard Walzer and Dimitri Gutas, and the
philosophical-analytical approach such as espoused by Oliver Leaman and Lenn
E. Goodman. A final word about the challenges and prospect of Islamic
philosophical studies is in order, taking into account recent developments in
various parts of the world following revival of interest in Avicenna, Averroes
and al-Ghazali.
*
Kampus Pusat UNIDA, Jl. Raya Siman Km. 06, Siman, Ponorogo Jawa Timur, Telp:
+62352 483762 Fax: +62352 488182
Abstrak
Adakah sesuatu yang dinamakan ’filsafat Islam’? Dan jikalau ada, apakah
yang dimaksud dengan ’filsafat Islam’? Dimana letak perbedaan antara ’filsafat
Islam’ dengan filsafat bukan Islam? Mengapa banyak ulama yang menolak filsafat
dan melarang orang mempelajarinya? Pertanyaan-pertanyaan ini dan seumpama-
nya akan coba dijawab dan dibahas secara jernih lagi bernas dengan merujuk
kepada sumber-sumber otoritatif dan karya-karya primer sebatas jangkauan
penulis. Bagian pertama dari artikel ini akan mengulas definisi dan terminologi
filsafat dalam Islam, termasuk perbedaan pendapat mengenai frasa apakah yang
paling tepat dari tiga ini: filsafat Islam, filsafat Muslim ataukah filsafat Arab.
Berikutnya akan ditinjau ulang sumber-sumber filsafat Islam dan pengaruhnya,
terhadap dunia Islam, diikuti oleh ulasan mengenai tujuan dan manfaat belajar
filsafat, dan diakhiri dengan diskusi seputar argumentasi mereka yang melarang
maupun yang membolehkan untuk melakukan kajian filsafat dalam Islam.
Selanjutnya dibahas dalam artikel tiga pendekatan yang dominan dalam studi
filsafat Islam, yaitu pendekatan hermeneutik-mistik yang dianjurkan oleh Leo
Strauss dan Henry Corbin, pendekatan historis-filologis yang dicontohkan oleh
Richard Walzer dan Dimitri Gutas, serta pendekatan filosofis-analitis yang dipilih
oleh Oliver Leaman dan Lenn E. Goodman. Pembahasan terakhir berkenaan
dengan tantangan-tantangan serta prospek lebih lanjut dari studi filsafat Islam
dalam rangka mempertimbangkan perkembangan-perkembangan terkini di
berbagai belahan dunia seiring dengan meningkatnya minat dalam mempelajari
Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan al-Ghazali.
Pendahuluan
eberapa dekade terakhir menyaksikan kebangkitan kembali
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 3
Makna Filsafat
Istilah ’filsafat’ atau ’falsafah’ dalam bahasa Indonesia diserap
dari bahasa Arab: ﻓﻠﺴﻔﺔ. Ia merupakan pengaraban dari kata majmuk
(philosophia) yang dalam bahasa Yunani kuno gabungan
dari kata philein (cinta) dan sophia (kearifan). Apa makna “sophia”?
Kata Aristoteles: “Biasanya sophia dipahami sebagai pengetahuan me-
ngenai pokok-pokok perkara dan sebab-sebabnya (
περί τινας !ρχ"ς κα# α$τίας %στ#ν %πιστήμη δ&λον ).”1 Para cendekiawan Ro-
mawi dan Skolastik abad pertengahan kemudian menerjemahkan
“sophia” ke dalam bahasa Latin menjadi “sapientia”, dari kata kerja
sapere yang artinya mengetahui. Thomas Aquinas menurunkan de-
finisinya: “Sapientia adalah pengetahuan yang membahas sebab-
sebab utama dan sebab-sebab umum; sapientia meneliti sebab-sebab
inti dari segala sebab (sapientia est scientia quae considerat causas primas
et universales causas; sapientia causas primas omnium causarum con-
siderat).”2 Pengertian ini dipakai hingga abad kedelapan-belas, di-
mana Claudius Frassen menulis: “Philosophia dicitur amor sapientiae,
et formatur a nominibus Gracis, [amicus], et [sapientia], unde
Philosophus is dicendus est, qui studio et assidua animi contentione
sapientiam investigat.”3
Singkatnya, “filsafat” itu ilmu pengetahuan yang dicapai manu-
sia dengan akal pikirannya. Para filsuf/mempelajari aneka persoalan
alam semesta, langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,
mineral, dan lain sebagainya. Mereka adalah kelompok orang-orang
yang di zaman sekarang kita panggil sebagai saintis. Betul, filsuf ada-
lah saintis, karena waktu itu belum dikenal pemisahan dan pem-
bedaan sempit seperti yang kita kenal saat ini antara filsafat dan sains,
antara filsuf dan saintis, antara ahli biologi dan ahli geologi, antara
ahli fisika dan ahli kimia. Bahkan hingga zaman Isaac Newton (1642-
1
Aristoteles, Ta Meta Ta Physika, Terj. H. Tredennick (Cambridge: MA, 1980),
I.i.17/982a.
2
Thomas Aquinas, In Metaphysicam Aristotelis Commentaria, Ed. M.-R. Cathala (Turin,
1926), I, ii. Bandingkan dengan definisi Christian Wolff dalam Philosophia rationalis sive logica
methodo scientifica pertractata et ad usum scientiarum atque vitae aptata. Praemittitur discursus
praeliminaris de philosophia in genere (Frankfurt, 1728), §1: “Filsafat adalah ilmu tentang segala
sesuatu yang mungkin sebagaimana adanya, atau mengapa dan bagaimana yang mungkin itu
mungkin (philosophia est scientia possibilium quatenus esse possunt, sive cur et quomodo sint
possibilia).”
3
Claudii Frassen, Philosophia Academica, (Venice: Nicolaus Pezzana, 1767), 7:
Quaestio secunda: Quid sit philosophia.
4
Lihat Ann Blair, “Natural Philosophy,” dalam The Cambridge History of Science:
Early Modern Science, Ed. Katharine Park and Lorraine Daston, Vol. 3 (Cambridge: Cambridge
University Press, 2006), 365.
5
Lihat Logical Positivism in Perspective: Essays on Language, Truth and Logic, Ed.
Barry S. Gower (London: Croom Helm, 1987) dan Logical Empiricism: Historical and
Contemporary Perspectives, Ed. Paolo Parrini et al. (Pittsburgh: Pittsburgh University Press,
2003).
6
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-philosophicus, Terj. C.K. Ogden (New York:
Barnes & Noble, 2003; berdasarkan cetakan perdana London: Kegan Paul, 1922), 3.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 5
pendapat ini kita ikuti, niscaya Plato dan Aristoteles pun tak akan
layak disebut filsuf, sebab hanya kaum positivis-logis sajalah yang
pantas menyandang gelar filsuf.
7
Al-‘Amiri, Kitâb al-Amad ‘alâ al-Abad, Ed. dan Terj. E. Rowson, A Muslim Philosopher
on the Soul and Its Fate, (New Haven: American Oriental Society, 1988), paragraf III.1.
8
Lihat Rasâ’il al-Kindî al-Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. 2 jilid, (Kairo, 1950-3),
1: 124; cf. T.Z. Frank, Al-Kindî’s Book of Definitions, (Unpublished PhD diss. Yale University,
1975), s.v. ‘falsafa’.
9
al-Farabi, Kitâb Tah}s }îl al-Sa‘âdah (Hyderabad: Majlis Dâ’irat al-Ma‘ârif al-
‘Utsmâniyyah, 1345), 38.
10
Ibnu Sina, Uyûn al-H}ikmah, Ed. Abdurrahman Badawi, (Kuwait: Wakâlat al-Mat}bûât,
1954), 16.
11
Imam al-Ghazali, Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn, Ed. Sidqi Muhammad Jamil al-‘Ammar, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1420/1999), jilid 1, 40-41 (Bayân mâ buddila min alfâz} al-‘ulûm).
12
Lihat: Rasâ’il al-Kindî al-Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. 2 jilid, (Kairo, 1950-3),
1: 124, 173, 274; cf. T.Z. Frank, Al-Kindî’s Book of Definitions, (Unpublished PhD diss. Yale
University, 1975), 124-31.
13
Al-Farabi, Kitâb al-Jam’i bayna Ra’yay al-Hakîmayni Aflât}ûn al-Ilâhi wa Arist}ût}âlîs,
Ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar el-Machreq, 1968), 80.
14
Al-Farabi, Kitâb Tah}s}îl al-Sa‘âdah, (Hyderabad: Majlis Dâ’irat al-Ma‘ârif al-
‘Utsmâniyyah, 1345 H), 38-39.
15
Lihat: Rasa’il Ikhwân al-S}afâ’ wa Khullân al-Wafâ’, (Beirut: 1957), 1: 23.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 7
16
Lihat: Abu Hayyan al-Tawhidi, Al-Muqâbasât, Ed. M.T. Husayn, (Baghdad: 1970),
203-4 (Pasal ke-48); cf. J. L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, (Leiden, 1986),
246-7; juga D.M. Dunlop, “The Existence and Definition of Philosophy,” dalam jurnal Iraq
13 (1951): 76-93.
17
Al-Dhahabi, Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A‘lâm, Ed. ‘Umar ‘A.
al-Tadmuri, (Beirut: 1999), Tabaqah 59, daftar wafat 587 Hijriah, pada biografi Suhrawardi al-
Maqtul.
18
Ibnu H}ajar al-‘Asqalani, Lisân al-Mîzân, (Beirut: 1971), 4: 242 (biografi no. 653 s.v.
‘Ali ibn ‘Ubaydillah Abu al-Hasan al-Zaghuni).
19
Al-Suyuti, S}awn al-Mant}iq wa al-Kalâm ‘an Fannay al-Mant}iq wa al Kalâm, (Kairo:
1947), 19.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 9
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 11
demikian: “Know that all that the Muslims, both the Mu’tazilites and the Ash’arites, have said on
these subjects are opinions based upon certain propositions, which propositions are taken from the
books of Greeks and Syrians who sought to oppose the views of the philosophers and to refute their
assertions.” Lihat: H.A. Wolfson, The Philosophy of Kalâm, (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1976), 48.
32
Lihat: Richard M. Frank, “The Kalâm, an Art of Contradiction Making or Theological
Science?” dalam Journal of American Oriental Society (JAOS) 88 (1968): 295-309; Josef van
Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology,” dalam Logic in Classical Islamic Culture,
ed. Gustav E. von Grunebaum (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1970), 24 ff; Josef van Ess,
“Disputationspraxis in der islamischen Theologie. Eine vorläufige Skizze,” dalam Revue des
Études Islamiques, 44 (1976): 23-60 Josef van Ess, “The Beginning of Islamic Theology,”
dalam The Cultural Context of Medieval Learning, Ed. J. Murdoch dan E. Sylla, (Boston: D.
Reidel, 1975); Shlomo Pines, “A Note on an Early Meaning of the Term Mutakallim,” dalam
Israel Oriental Studies 1 (1971): 224-40; dan Michael Cook, “The Origins of Kalâm,” dalam
Bulletin of the School of Oriental and African Studies (BSOAS) 43 (1986): 32-43.
33
Lihat: Michael Schwarz, “The Letter of al-Hasan al-Basrî,” dalam Oriens, vol. XX
(1972), 15-30.
34
Lihat: Shlomo Pines, Beiträge zur Islamischen Atomenlehre (Berlin:
Gräfenhainichen, 1936) dan Alnoor Dhanani, The Physical Theory of Kalâm: Atoms, Space,
and Void in Basrian Mu’tazilî Cosmology, (Leiden: Brill, 1994).
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 13
ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif dan Alparslan Acikgenc.35
Menurut mereka, filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan
berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika
unsur-unsur internal umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam
dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an yang men-
duduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum
Muslim.
Memang, dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan ke-
dudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau
bahkan diabaikan sama sekali. Menurut para sejarawan filsafat
seperti Hegel, Coplestone, atau Russell, kalau pun ada nilainya maka
itu terlalu kecil dan insignifikan, sebatas menampung dan melestari-
kan warisan pemikiran Yunani kuno untuk kemudian meneruskan-
nya kepada orang-orang Barat yang saat itu hidup dalam apa yang
mereka namakan Zaman Kegelapan (Dark Ages), atau sekadar
menjadi “jembatan peradaban” (Kulturvermittler) ¯ meminjam istilah
sejarawan Eropa.36
Walhasil, jika ditelusuri dan diteliti karya-karya mereka, para
filsuf Muslim bukan semata-mata mereproduksi apa yang mereka
pelajari dari khazanah pemikiran Yunani kuno. Mereka tidak reseptif-
pasif, tidak menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah
tanpa resistensi dan sikap kritis. Sebaliknya, para pemikir Muslim
telah mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi,
menjelaskan dan menyanggah, mengkritik, dan menilai, menyaring
dan mengubahsuaikan, mengurangi dan menambahkan, mem-
perkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru
ke dalam istilah-istilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi
baru untuk persoalan-persoalan perennial dalam filsafat. Di samping
berhasil melahirkan sintesis cemerlang dan membangun sistem
pemikiran tersendiri, filsuf Muslim itu terutama berhasil
mengakomodasi khazanah keilmuan Yunani kuno dalam kerangka
pandangan hidup (Weltanschauung) Islam. Dengan kata lain, yang
telah mereka lakukan adalah upaya Islamisasi.
35
Lihat: Alparslan Acikgenc, “The Framework for a History of Islamic Philosophy,”
al-Shajarah, 1: 1-2 (1996).
36
Pandangan-pandangan reduksionistik dan eurosentrik semacam ini telah diulas
oleh Hans Daiber, “What is the Meaning of and to What End Do We Study the History of
Islamic Philosophy? The History of a Neglected Discipline,” dalam Bibliography of Islamic
Philosophy, 2 jilid (Leiden: Brill, 1999), 1: xi-xxxiii.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 15
39
al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, Ed. Sulaymân Dunyâ (Kairo, 1961), 81.
40
Ibid., 80. Bandingkan dengan kitab Al-Munqidh min al-D}alâl, Ed. ‘Abd al-Mun’im
al-‘Ânî (Damaskus, 1415/1994), 55.
41
Ibid., 52-54.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 17
45
Lihat: Muhsin Mahdi, “Al-Fârâbî’s Imperfect State,” dalam JAOS, 110 (1990), 691-
726.
46
Lihat: O. Leaman, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), 9
(“Introduction”).
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 19
Penutup
Di atas itu semua kita masih punya harapan, menyaksikan
kajian filsafat Islam masih berlanjut di dunia Islam dan kian semarak
di banyak perguruan tinggi di Eropa dan Amerika. Semakin banyak
karya-karya filsuf Muslim yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, bahkan Itali. Hampir saban tahun
digelar konferensi internasional untuk mendiskusikan berbagai
aspek pemikiran Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, bahkan Ibnu Taimiyyah.
Ini belum termasuk kajian-kajian serius dalam bentuk tesis dan
disertasi mengenai aneka topik dalam wilayah filsafat Islam yang
sebagian basar telah disenaraikan dalam Bibliography of Islamic
Philosophy oleh Hans Daiber. Maka tak berlebihan jika Julio César
Cárdenas Arenas menyimpulkan: “La ía islámica puede considerarse
una tradición viva y dinámica que en su tiempo actualizó y adecuó los
conceptos extranjeros para su propia lengua y tiempo (Filsafat Islam itu
boleh dikata merupakan tradisi hidup dan dinamika yang meng-
kontekstualisasi konsep-konsep asing agar sesuai dengan konteks
bahasa dan zamannya). []
Daftar Pustaka
‘Abdul Raziq, Mustafa. 1944. Tamhîd li Târîkh al-Falsafah al-
Islâmiyyah. Kairo.
Adamson, P. dan R.C. Taylor. 2005. The Cambridge Companion to
Arabic Philosophy. Cambridge: CUP.
Al-‘Asqalani, Ibn Hajar. 1971. Lisân al-Mîzân. Beirut.
Al-Âmiri. 1988. Kitâb al-Amad alâ al-Abad, Ed. dan Terj. E. Rowson,
A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate. New Haven:
American Oriental Society.
Ali, Mufti. 2008. Muslim Opposition to Logic and Theology in the Light
of the Works of Jalâl al-Dîn al-Suyuti. Leiden University.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 21
______. 1968. Kitâb al-Jam’i baina Ra’yai al-H} a kîmaini Aflât} û n al-
Ilâhi wa Arist}ût}âlîs, Ed. Albert N. Nader. Beirut: Dar el-Masyriq.
Frank, T.Z. 1975. Al-Kindî’s Book of Definitions. Unpublished PhD
diss. Yale University.
Frassen, Claudii. 1767. Philosophia Academica. Venice: Nicolaus
Pezzana.
G.F, Hourani. 1978. Essays on Islamic Philosophy and Science. Albany:
SUNY Press.
Al-Ghazali. 1415/1994. al-Munqidh min al-D}alâl, Ed. ‘Abd al-Mun’im
al-‘Ânî. Damaskus.
______. 1420/1999 Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn. Jilid 1. Ed. Sidqi Muhammad
Jamil al-‘Ammar. Beirut: Dâr al-Fikr.
______. 1961. Tahâfut al-Falâsifah. Ed. Sulayman Dunya. Kairo.
H.A, Wolfson. 1976. The Philosophy of Kalâm. Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Hernandez, Miguel. 1953. Cruz ia Hispano-Musulmana. Madrid.
Ibnu Sina. 1954. Uyûn al-H} i kmah, Ed. Abdurrahman Badawi.
Kuwait: Wakâlat al-Mat}bûât.
Al-Kindi. 1950. Fî al-Falsafah al-Ûlâ. dalam Rasâil al-Kindî al-
Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. Kairo.
Kraemer, J. L. 1986. Philosophy in the Renaissance of Islam. Leiden.
Leaman, Oliver. 2002. An Introduction to Classical Islamic Philosophy.
Cambridge: CUP.
Madkour, Ibrahim. T.Th. Al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa
Tat}biquhu. Kairo.
Marmura, M.E. 1984. Islamic Theology and Philosophy. Albany: SUNY
Press.
Morewedge, P. 1981. Islamic Philosophy and Mysticism. Delmar.
Nasr, S.H. 1996. History of Islamic Philosophy. London: Routledge.
Nasr, S.H. and O. Leaman. 1996. History of Islamic Philosophy.
London: Routledge.
Al-Nasysyar, Ali Sami. 1977. Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm.
Kairo.
Parrini, Paolo (et al.). 2003. Logical Empiricism: Historical and
Contem-porary Perspectives, Ed. Pittsburgh: Pittsburgh
University Press.
Jurnal TSAQAFAH