Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Bab I: 1.1.latar Belakang

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
HIV kepanjangan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitunvirus jenis retrovirus yang
hidup dan berkembang dalam tubuh manusia dan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh.
AIDS kepanjangan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrom, yaitu sekumpulan
gejalah penyakit yang timbul akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh yang didapat. AIDS
disebabkan oleh infeksi HIV.
Jumlah kasus HIV dan AIDS dalam sepuluh tahun terakhir secara umum meningkat.
Peningkatan ini sejalan dengan makin banyaknya masyarakat yang sadar dan melakukan tes
HIV.
Direktur Pengendalian Penyakit Menular Kementrian Kesehatan Sigit Priohutomo,
mengatakan meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS di Indonesia layaknya fenomena
gunung es. Namun fenomena tersebut perlahan tapi pasti mulai terangkat. Menurutnya, hal
tersebut juga tidak terlepas dari pergeseran target program deteksi dini dan skrining. Dulu,
kata Sigit, yang dites hanya kelompok kunci, yang diduga mengidap HIV.
Menurut data Kemenkes, sejak tahun 2005 sampai September 2015, terdapat kasus HIV
sebanyak 184.929 yang didapat dari laporan layanan konseling dan tes HIV. Jumlah kasus
HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (38.464 kasus), diikuti Jawa Timur (24.104 kasus), Papua
(20.147 kasus), Jawa Barat (17.075 kasus) dan Jawa Tengah (12.267 kasus).
Kasus HIV Juli-September 2015 sejumlah 6.779 kasus. Faktor risiko penularan HIV
tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (46,2%), penggunaan jarum
suntik tidak steril (3,4%), dan LSL (Lelaki Sesama Lelaki) (24,4%).
Sementara, kasus AIDS sampai September 2015 sejumlah 68.917 kasus. Berdasarkan
kelompok umur, persentase kasus AIDS tahun 2015 didapatkan tertinggi pada usia 20-29
tahun (32,0%), 30-39 tahun (29,4%), 40-49 tahun (11,8%), 50-59 tahun (3,9%), kemudian
15-19 tahun (3%).
Kasus AIDS di Indonesia ditemukan pertama kali pada tahun 1987. Sampai September
2015, kasus AIDS terbesar di 381 (77%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi di
Indonesia.
Wilayah pertama kali ditemukan adanya kasus AIDS adalah Provinsi Bali. Sedangkan
yang terakhir melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011.

1.2.Rumusan Masalah
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Voluntary Counseling Testing (VCT) atau Konseling Dan Test Sukarela
(KTS) HIV
1. Definisi VCT
VCT kepanjangan dari Voluntary Counseling Testing, yaitu:
a. V (Voluntary) : Klien melakukan tes HIV secara sukarela, tanpa ada paksaan
b. C (Counseling) : Konselor membantu klien siap tes/ memilih tidak tes dan siap
menerima hasil tes
c. T (Testing) : Tes darah untuk mengetahui status HIV klien (positif atau negative)
HIV.
VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus
antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah penularan HIV,
memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepda ODHA, keluarga
dan lingkungannya.
Layanan test HIV dan konseling ini disebut sebagai VCT ( Voluntary Counseling and
Testing). Tes HIV biasanya berupa tes darah untuk memastikan adanya antibodi HIV di
dalam sampel darah. Tes HIV bersifat sukarela dan rahasia. Sebelum melakukan tes HIV,
akan dilakukan konseling untuk mengetahui tingkat risiko infeksi dari perilaku selama
ini dan bagaimana nantinya harus bersikap setelah mengetahui hasil tes HIV. Untuk tes
cepat dapat juga digunakan tes usapan selaput lendir mulut ( Oraquick).
Jadi, VCT adalah konseling tes HIV sebagai upaya untuk memberikan dukungan
secara psikologis dan emosional yang dapat dilakukan melalui dialog personal antara
sesorang ‘konselor’ dan seorang ‘klien’ atau antara seorang konselor bersama klien dan
pasangan (couple counceling).
VCT ( Voluntary Counselling and Testing ) diartikan sebagai Konseling dan Tes
Sukarela (KTS) HIV. Konseling HIV dan AIDS merupakan komunikasi bersifat rahasia
antara klien dan konselor yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menghadapi
stres dan mengambil keputusan berkaitan HIV dan AIDS.
VCT terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
a. Konseling sebelum testing HIV
b. Testing HIV
c. Konseling setelah testing HIV
Proses konseleing termasuk evaluasi resiko personal peneluran HIV, fasilitas
pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuain diri ketika klien memperoleh hasil tes HIV
positif.
Testing HIV adalah pengambilan darah untuk pemeriksaan HIV yang dapat dilakukan
dirumah sakit, klinik, labolatorium dan lembaga swadaya masyarakat yang menyediakan
pelayanan VCT.
1) Syarat tes HIV (VCT) pada klien adalah:
a) Tes harus dilaksanakan dengan sepengetahuan dan dengan izin dari pasien.
b) Pasien harus paham mengetahui HIV/AIDS sebelum tes dilaksanakan.
c) Konseling duberikan pada pasien sebelum tes untuk membantu pasien membuat
pertimbangan yang bijaksana sebelum memutuskan: mau dites atau tidak.
d) Tes HIV harus dirahasiakan oleh dokter dan konselor. Hasilnnya tidak boleh
dibocorkan kepada orang lain kecuali oleh pasien.
e) Seteah tes, konseling harus diberikan lagi agar pasien dapat memahami hasil tes
dan untuk membantu pasien mennyusun rencana sert tes dan untuk membantu
pasien mennyusun rencana serta langkah-langkah selanjutnya sesuai hasil tes.
2) Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dlam konselig VCT:
a) Pasien akan mendapatkan pengetahuan mengenai HIV dan AIDS.
b) Pasien bisa menceritakan permasalahan yang dihadapi.
c) Konselor akan membantu untuk mencari jalan keluar atau membantu menentukan
keputusan, dalam hal ini tentang HIV/AIDS.
d) Konseling sifatnya menjelaskan pilihan pasien.
e) Orang yang memberikan konseling tidak boleh memaksakan kehendak atau nilai-
nilai pribadi pada pasien.
f) Dalam konseling, kerahasiaan pasien harus dijunjung tinggi.
g) Jika konselor atau dokter harus mendiskusikan permaslahan pasien ke konselor
atau doker lain, sifatnya adalah pembahsan kasus dan bukan tentang pribadi
pasien.
3) Konseling dalam VCT ini dimaksudkan memberikan informasi factual dan dukungan
kepada ODHA dan keluarganya,karena itu diperlukan materi-materi yaitu (Depkes,2003):
a) Kebutuhan primer untuk mencegah infeksi dan infeksi ulang.
b) Informasi dasar tentang infeksi HIV dan penyakit terkait dan cara penularan.
c) Penilaian tingkat risiko infeksi HIV.
d) Mengkaji kemungkinan sumber infeksi klien.
e) Informasi khusus untuk menurunkan risiko dengan perubahan perilaku berisiko.
2. Waktu Dilakukannya VCT
VCT perlu dilakukan bila seseorang merasa kawatir atau takut akan tertular HIV
dikerenakan:
a. Perilaku beresiko dengan berganti-ganti pasangan seks tanpa menggunakan
kondom.
b. Pernah tertular IMS atau penyakit kelamin lebih dari dua kali.
c. Menggunkan jarum suntik secra bergantian atau tidak steril.
d. Pernah menrima trnfusi darah tanpa melalui proses pemeriksaan( screening).

2.2. Tujuan VCT


a. mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Upaya pencegahan HIV/AIDS;
2. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan
mereka tentang faktor-faktor risiko penyebab seseorang terinfeksi HIV;
3. Upaya pengembangan perubahan prilaku, sehingga secara dini mengarahkan
mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi
antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.
Sedangkan menurut KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional), VCT bertujuan
untuk membantu setiap orang agar mendapatkan akses kesemua layanan informasi,
edukasi, terapi atau dukungan psiko sosial, sehingga kebutuhan akan informasi akurat
dan tepat dan dicapai. Sehingga proses berfikir, perasaan dan prilaku dapat di arahkan
keperilaku yang lebih sehat yaitu melalui:
1. Penyediaan dukungan psikologis, seperti dukungan yang terkait dengan
kesejahteraan emosi psikologis, sosial dan spiritual ODHA.
2. Pencegahan peneluran HIV dengan menyediakan informasi mengenai perilaku
beresiko dan membantu dalam pengembangan keterampilan pribadi yang
diperlukan untuk perubahan perilaku dan negosiasi praktik yang lebih aman.
3. Memastikan efektifitas rujukan kesehatan,terapi dan perawatan melalui
pemecahan masalah kepatuhan berobat.
b. Alasan Dilakukan VCT
1. Karena merupakan pintu masuk (entry point) ke seluruh layanan HIV/AIDS
(akses ke berbagai pelayanan);
2. Karena VCT menjadi salah satu bentuk dukungan, baik yang hasil testnya
positif/negative, dengan berfokus pada dukungan atas kebutuhan klien seperti
perubahan prilaku, dukungan mental, pemahaman factual dan terkini atas
HIV/AIDS, dukungan terapi ARV & perawatan (CST);
3. Karena dengan VCT dapat mengurangi stigma & diskriminasi di masyarakat;
4. Karena VCT mencangkup pendekatan menyeluruh baik kesehatan fisik maupun
mental;
5. Karena dengan VCT dapat pemberdayaan ODHA melalui training, KDS
(meningkatkan kwalitas hidup ODHA).

c. Adapun fungsi VCT adalah sebagai berikut:


1. Pencegahan HIV.
2. Dengan VCT diperoleh pendejatan pencegahan penyakit yaitu dengan
mempromosikan perubahan perilaku seksual untuk menurunkan penularan
HIV.Menawarkan untuk mencari tahu status HIV dan perencanaan hidup bagi
yang terkena HIV,juga pencegahan pada keluarganya.
3. Pintu masuk menuju terapi dan perawatan
4. Dengan interfensi yang amandan efektif untuk pencegahan peneluran HIV ibu-
anak.Membantu untuk konseling kepatuhan berobat agar rutinitas pemakaian obat
terjaga dan mencegah terjadinya resistensi obat.
5. VCT dilakukan sebagai penghormatan atas hak asasi manusia dari sisi kesehtan
masyarakat,kerena infeksi HIV mempunyai dampak serius bagi kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.

2.3. Konseling Dan Testing Hiv/Aids Sukarela (Vct)


a. Definisi Konseling dalam VCT
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan
psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan
memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.

b. Peran Konseling dan Testing Sukarela (VCT)


Konseling awal (konseling pra testing) pada VCT meliputi:
 Alasan datang untuk konseling Keluhan utama
 Riwayat penyakit sekarang
 Apakah memiliki masalah kesehatan sebelumnya
 Identifikasi faktor risiko
 Informasi mengenai HIV/AIDS, termasuk prosedur pemeriksaan dan
penularannya
 Penjelasan mengenai window period
 Alternatif pemecahan masalah
 Dampak yang mungkin muncul setelah dinyatakan positif HIV dan upaya
menanggulangi dampak tersebut
 Keuntungan dan kerugian jika menjalani test HIV
 Dukungan yang akan diberikan untuk yang positif HIV

Cara mengeliminasi faktor pemicu di masa sebelumnya Konseling setelah hasil


pemeriksaan diketahui (konseling pasca testing) meliputi:
 Menjelaskan hasil pemeriksaan dengan empati (kemungkinan hasil dapat
positif, negative, atau indeterminate)
 Membiarkan pasien mengekspresikan perasaannya setelah mengetahui
hasil pemeriksaan HIV
 Mendiskusikan masalah yang mungkin muncul dan membantu
menyelesaikan masalah tersebut
 Menyampaikan informasi yang diperlukan pasien (pemeriksaan lanjutan
atau pengobatan)
 Mendiskusikan pola hidup yang dianjurkan Pelayanan kesehatan dasar
untuk individu yang terdiagnosis HIV negatif
 konseling untuk individu/pasangan suami isteri tentang pencegahan HIV
 Promosi mengenai kondom
 Pelayanan jarum suntik steril dan harm reduction untuk Penasun
(Pengguna Narkoba suntik)
 Profilaksis setelah paparan
 Tes ulangan setelah 3 bulan Pelayanan kesehatan dasar untuk individu
yang terdiagnosis HIV positif
 Konseling pasca testing mengenai pencegahan penularan, perawatan, dan
terapi HIV/AIDS
 Dukungan untuk keluarga dan konseling suami isteri
 Seks yang aman dengan penggunaan kondom
 Pelayanan jarum suntik steril dan harm reduction untuk Pengguna
(Pengguna Narkoba suntik)
 Pencegahan penularan dari ibu hamil ke janinnya
 Pelayanan kesehatan reproduksi dan KBKeterlibatan Penyakit Lain

2.4. Tahap Konseling HIV


Tahap pertama : Dimulai dari membina hubungan baik dan membina kepercayaan ,
dengan menjaga rahasia dan mendiskusikan keterbatasan rahasia, melakukan ventilasi
permasalahan, mendorong ekspresi perasaan, diutamakan dapat menggali masalah, terus
mendorong klien menceritakannya.
Upayakan dapat memperjelas harapan klien dengan mendeskripsikan apa yang konselor
dapat lakukan dan cara kerja mereka serta memberi pernyataan jelas bahwasanya
komitmen konselor akan bekerja bersama dengan klien
Tahap kedua : Mendefinisikan dan pengertian peran, memberikan batasan dan
kebutuhan untuk mengungkapkan peran dan batasan hubungan konseling, mulai dengan
memaparkan dan memperjelas tujuan dan kebutuhan klien, menyusun prioritas tujuan
dan kebutuhan klien, mengambil riwayat rinci – menceritakan hal spesifik secara rinci ,
menggali keyakinan, pengetahuan dan keprihatinan klien
Tahap ketiga : Proses dukungan konseling lanjutan yakni dengan meneruskan ekspresi
perasaan / pikiran , mengidentifikasi opsi, mengidentifikasi ketrampilan, penyesuaian diri
yang telah ada, mengembangkan keterampilan penyesuaian diri lebih lanjut,
mengevaluasi opsi dan implikasinya, memungkinkan perubahan perilaku, mendukung
dan menjaga kerjasama dalam masalah klien, monitoring perbaikan tujuan yang
terindentifikasi , rujukan yang sesuai
Tahap empat : Untuk menutup atau mengakhiri hubungan konselin . Disarankan
kepada klien dapat bertindak sesuai rencana klien menata dan menyesuaiakan diri
dengan fungsi sehari-hari, bangun eksistensi sistem dukungan dan dukungan yang
diakses, lalu mengidentifikasi strategi untuk memelihara hal yang sudah beruhah baik .
Untuk pengungkapan diri harus didiskusikan dan direncanakan, atur interval parjanjian
diperpanjang, disertai pengenalan dan pengaksesan sumber daya dan rujukan yang
tersedia, lalu pastikan bahwa ketika ia membutuhkan para konselor senantiasa bersedia
membantu.
Menutup atau mengakhiri konseling dengan mengatur penutupan dengan diskusi dan
rencana selanjutnya, bisa saja dengan membuat perjanjian pertemuan yang makin lama
makin panjang intervalnya.
Senantiasa menyediakan sumber dan rujukan yang telah dikenali dan dapat diakses –
memastikan klien dapat mengakses konselor jika ia memilih untuk kembali ketika
membutuhkan.

2.5. Pengobatan HIV/AIDS

a. Obat-obatan ART (Anti Retroviral Therapy)


ART (Anti Retroviral Therapy) yaitu terapi yang diberikan kepada ODHA dengan
menggunakan obat anti HIV (ARV=AntiRetroviral) yang berfungsi mengubah HIV dari
penyakit yang mematikan menjadi ‘’Penyakit Kronis’’ .
Anti Retroviral Therapy (ART) berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat.
Karena HIV adalah Retrovirus, obat ini biasa disebut sebagi obat Anti Retroviral (ARV).
ARV tidak membunuh virus itu. Namun ART dapat melambatkan pertumbuhan virus.
Waktu pertumbuhan virus dilambatkan begitu juga penyakit HIV.
Tujuan utama dari ART adalah untuk menjaga jumlah HIV di dalam tubuh pada
tingkat yang rendah, dan mengurangi atau memulihkan kerusakan pada sistem kekebalan
tubuh akibat infeksi HIV, sehingga dapat mengurangi angka penyakit dan kematian
akibat HIV dan pengidap HIV dapat meningkatkan mutu hidupnya.
Program ART adalah bagian dari respons yang lebih luas terhadap HIV/AIDS dan harus
melengkapi program yang sudah ada. Program ART mendukung upaya pencegahan
dengan mendorong warga yang berprilaku beresiko tinggi untuk menggunakan layanan
konseling dan test. Program ART dalam pelayanan komprehensif perawatan, dukungan
dan perawatan ODHA harus memperkuat sistem kesehatan Nasional serta layanan
kesehatan dasar untuk menjamin layanan efektif dari perawatan dan pengobatan
HIV/AIDS secara paripurna. Pelayanan ini terintegrasi kedalam layanan kesehatan
tersedia disemua tingkat daerah kabupaten/kota ataupun propinsi dan nasional.
CST melalui Highly Active ART (HAART)
HAART adalah singkatan dari Highly Activ ART, yaitu terapi anti retroviral sangat aktiv
yang direkomendasikan pada semua pasien stadium IV tanpa memperdulikan jumlah
CD4 mereka,dan direkomendasikan pada pasien stadium I,II,III, dengan jumlah CD4
dibawah 200 sel/mm3.
Jenis-jenis obat ART
Ada tiga golongan obat yang sudah dipakai secara luas yaitu
a. Golongan NRT(Nucleoside Reverse Transcriptase), berfungsi untuk menghambat
replikasi DNA virus.Jenis obat yang termasuk dalam golongan ini , diantaranya :
1) AZT(Axidiothymidine)/ZDV(Zidovudine).
2) 3TC(Lamivudin).
3) D4T(Stavudine).
4) Tenofir.
b. Golongan NNRTI(Non Nucleoside Reverse Transcriptase),mempunyai fungsi yang
smaa dengan NRTI tetapi dengan cara yang berbeda.Jenis obat yang termasuk dalam
golongan ini, diantaranya:
1) EFV(Efavirenz)
2) NVP(Nevirapine)
3) DRV(Delavirdine)
c. Golongan PI (Protease Inhibitor),berfungsi memotong virus baru dengan potongan
khusus sehingga tidak dapat dirakit menjadi virus yang siap bekerja.Jenis obat yang
termasuk dalam golongan ini,diantayanya:
1) NFV(Nevinavir).
2) IDV(Indinavir).
3) RTV(Ritonavir).
4) APV(Amprenavir).
5) TAZ(Atazanavir).
6) LPV(Lopinavir).
Efek samping obat ART
Sebagian besar orng yang memakai obat anti HIV akan mengalami efek
samping.Banyaknya efek samping yang akan dialami,bergantung dari jumlah obat dan
berat tubuh penderita.Semakin banyak jenis obat yang di minum dan semakin kecil berat
tubuh penderita,maka semakin besar efek smping yang akan didapat.Jenis efek samping
yang lazim terjadi diantaranya:
a) Kelelahan
b) Anemia
c) Masalah pencernaan
d) Masalah kulit
e) Masalah tulang
f) Neuropati(kerusakan syaraf)
g) Lipodistrofi
h) Toksisitas mitocondria(kerusakan sel)
Resistensi
Resistensi obat adalah suatu kondisi obat dimana virus HIV dapat terus
menggandakan diri sementara memakai suatu obat,maka virus HIV akan resistan
terhadap obat tersebut.Resistensi silang(Cross resistant) yaitu HIV yang bermutasi dan
menjadi resisten terhadap lebih dari satu jenis obat.Terdapat tiga jenis resistensi:
a) Resistensi klinis, HIV tetap menggandakan diri dalam tubuh walaupun
sedang menggunkan ARV
b) Resistensi fenotipe, HIV tetap menggandakan diri dalam tabung setelah
ARV diberikan
c) Resistensi genotipe, kode genetik HIV mempunyai mutasi yang terkait
dengan resistensi terhadap obat
Kepatuhan ART
Kepatuhan dalam ART berhubangan erat dengan disiplin pribadi yang tinggi untuk
menghindari resistensi obat. Dalam ART terdapat lima kepatuhan, yaitu:
a) Patuh dengan jenis obat yang tepat
b) Patuh dengan cara minum yang tepat
c) Patuh dengan waktu minum yang tepat
d) Patuh dengan dosis yang tepat
e) Patuh dengan masa kerapian tepat
b. CST (Care, Support, and Treatment)
CST (Care, Support, and Treatment) yaitu perawatan, dukungan dan pengobatan bagi
ODHA yang merupakan program lanjutan dari VCT. CST bertujuan agar ODHA dapat
hidup lebih lama secara positif, berkualitas dan memiliki aktifitas social dan ekonomi
yang normal seperti anggota masyarakat lainnya.
CST merupakan suatu layanan medis, psikologis, dan sosial yang terpadu dan
berkesinambungan dalam menyelesaian masalah terhadap ODHA selama perawatan dan
pengobatan. Akselerasi upaya CST akan maksimal jika disinergikan dengan upaya
pencegahan penularan dari ODHA sendiri.
Dalam akselerasi upaya CST, pemerintah, praktisi kesehatan, LSM, serta elemen
lainnya harus bekerjasama dalam peningkatan akses pendanaan, perencanaan yang
mapan dan penataan manajement program untuk mempercepat langkah global
penanggulangan HIV/AIDS jangka panjang.
CST melalui Perawatan Paliatif dan Perawatan Rumah
Perawatan paliatif adalah perawatan penunjang yang berpusat pada kenyamanan pasien,
meringankan penderitaan serta meningkatkan mutu hidupnya. Perawatan paliatifmemiliki
karakteristik :
 Berpusat pada pasien dan keluarga.
 Meningkatkan mutu hidup dengan mengawali, mencegah dan mengobati penderita.
 Menghadapi kebutuhan fisik, mental, emosi, sosial dan spiritual.
 Menggunakan pendekatan tim dengan membangun hubungan yang saling
menghormati dan jujur.
 Memudahkan otonomi pasien, informasi dan pilihan.

2.6. Masa Antenatal


Penularan HIV dari ibu ke bayi selama masa kehamilan dapat terjadi melalui
hubungan transplasenta dengan risiko 5 sampai 10%. Plasenta merupakan sumber bagi
bayi untuk mendapatkan nutrisi selama berada di dalam kandungan. Jika plasenta telah
terinfeksi virus HIV, darah ibu yang sudah terinfeksi tersebut akan bercampur dengan
darah bayi sehingga resiko tertular HIV pada bayi sangat besar. Oleh karena itu, asuhan
kebidanan komprehensif pada ibu hamil trimester I, II dan III dengan status HIV +
sangat diperlukan diantaranya:
1. Kepatuhan terhadap obat ARV.
2. Pendidikan kesehatan mengenai nutrisi.
3. Pendidikan kesehatan mengenai tanda dan gejala penyakit oportunistik
HIV/AIDS dan IMS.
4. Persiapan persalinan dan laktasi.
5. Dukungan psikologis ibu.
6. Perujukan apabila ada tindakan di luar kewenangan bidan.
7. Informasi kelompok. (Ratimah dan Sinar 2011)

2.7. Persalinan
Risiko penularan HIV AIDS dari ibu ke bayi pada masa persalinan terjadi sekitar 10
sampai 20%. Hal ini terjadi akibat:
1. His sehingga tekanan pada plasenta meningkat maka terjadi sedikit pencampuran
antara darah ibu dengan darah bayi, lebih sering terjadi jika plasenta meradang
atau terinfeksi.
2. Bayi terpapar darah dan lendir serviks pada saat melewati jalan lahir.
3. Bayi kemungkinan terinfeksi karena menelan darah dan lendir serviks pada saat
resusitasi. (Trisiani, 2011)
Peran bidan dalam memberikan asuhan persalinan komprehensif untuk mewujudkan
persalinan yang aman, yaitu: Ibu, pasangan dan keluarga perlu dikonseling sehubungan
cara persalinan.
1. Seksio sesarea
a. Keuntungan : risiko penularan rendah dan terencana.
b. Kerugian : perawatan ibu lama, memerlukan fasilitas pendukung, sarana
pendukung, dan biaya yang mahal.
2. Pervaginam
a. Keuntungan : mudah dilakukan di sarana kesehatan terbatas dan biaya yang
diperlukan murah.
b. Kerugian : risiko penularan tinggi (kecuali bila ibu minum ARV teratur lebih
dari 4 minggu dan Viral Load tidak terdeteksi).
3. Bidan harus memperhatikan kondisi fisik ibu dalam persalinan.
4. Pertolongan persalinan harus memperhatikan kewaspadaan universal standar.

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh bidan dalam asuhan persalinan pada wanita dengan
HIV +:
1. Menganggap semua ibu bersalin yang datang dengan HIV +.
2. Meminimalkan pemeriksaan dalam atau vaginal toucher.
3. Hindari partus lama.
4. Memberikan oksitosin untuk mempersingkat persalinan pada saat yang
tepat.
5. Hindari pecah ketuban lebih dari 4 jam sebelum kala II dimulai.
6. Hindari tindakan episiotomi.
7. Hindari trauma pada bayi yaitu dengan persalinan buatan dengan vacuum
atau forcep.
8. Gunakan praktik transfusi aman dan minimalkan penggunaan transfusi
darah

2.8. Masa Nifas


1. Asuhan yang berkelanjutan
a. Pemeriksaan rutin ginekologi yaitu pap smear sangat penting dilakukan karena
perempuan HIV+ dengan kadar CD4 <200cells/mikroliter memiliki resiko yang lebih
tinggi untuk mengalami cervical dysplasia dan maligna, sehingga disarankan melakukan
pap smear setiap 6 bulan. Apabila fasilitas tidak ada maka lakukan perujukan. Bidan
hanya berwenang untuk mengambil apus vagina/serviks saja.
b. Melakukan kajian ulang dan dukungan pemilihan makanan untuk bayi:
- Ibu tidak menyusui: Berikan saran untuk menggunakan obat yang dapat
mengurangi produksi ASI.
- Ibu yang menyusui: Pastikan ibu mengetahui teknik menyusui yang benar,
ibu membersihkan payudaranya 1 hari 1 x untuk mencegah masalah-
masalah saat menyusui yang dapat meningkatkan transmisi HIV melalui air
susu.
c. Mendiskusikan rencana untuk VCT ibu dan pasangannya.
d. Mendiskusikan mengenai aktivitas seksual pada masa postpartum dan perlindungan
melawan infeksi HIV.
e. Mendiskusikan alat KB dan menyarankan penggunaan kondom bila diperlukan.
f. Memberikan rujukan untuk pemberian ARV untuk bayi.
g. Memberikan pendidikan dan dorongan untuk pengasuhan bayinya.
h. Melakukan kajian ulang tentang pencegahan infeksi dan berikan perhatian terhadap
kondisi kesehatan yang memerlukan penanganan segera.
i. Melakukan pemeriksaan lengkap.
j. Menjadwalkan kunjungan ulang. (Pertiwi, 2011)
2. Keluarga Berencana
Perencanaan penggunaan KB yang tepat harus didiskusikan sejak masa antenatal care
dan sebelum ibu pulang. Di area dimana praktik menyusui dilakukan dalam jangka
waktu yang lama, beberapa perempuan mengandalkan KB MAL (Metode Amenorea
Laktasi) dan ini dapat hilang dengan perubahan pola makan bayi. Pemilihan alat
kontrasepsi pada pasien HIV/AIDS disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemilihan KB
hormonal tidak memberikan perlindungan terhadap penyakit HIV yang diderita. Alat
kontrasepsi yang dapat dipilih untuk menghindari transmisi HIV/ AIDS yakni kondom.

2.9. Bayi dan Balita


Penanganan untuk anak dengan HIV-positif
a. Imunisasi
Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga dengan infeksi HIV tetapi belum
menunjukkan gejala, harus diberi semua jenis vaksin yang diperlukan (sesuai jadwal
imunisasi nasional), termasuk BCG. Berhubung sebagian besar anak dengan HIV
positif mempunyai respons imun yang efektif pada tahun pertama kehidupannya,
imunisasi harus diberikan sedini mungkin sesuai umur yang dianjurkan.Jangan beri
vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV yang telah menunjukkan gejala.Berikan
pada semua anak dengan infeksi HIV (tanpa memandang ada gejala atau tidak)
tambahan imunisasi Campak pada umur 6 bulan, selain yang dianjurkan pada umur 9
bulan.
b. Pencegahan dengan Kotrimoksazol
Pencegahan dengan Kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi dan anak dengan
infeksi HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan oleh pneumonia berat. PCP
saat ini sangat jarang di negara yang memberikan pencegahan secara rutin.
Semua anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV) sejak umur
4-6 minggu (baik merupakan bagian maupun tidak dari program pencegahan transmisi
ibu ke anak = prevention of mother-to-child transmission [PMTCT]).Setiap anak yang
diidentifikasi terinfeksi HIV dengan gejala klinis atau keluhan apapun yang mengarah
pada HIV, tanpa memandang umur atau hitung CD4.
 Kotrimoksazol harus diberikan kepada:
anak yang terpapar HIV – sampai infeksi HIV benar-benar dapat disingkirkan
dan ibunya tidak lagi menyusuianak yang terinfeksi HIV— terbatas bila ARV
tidak tersediaJika diberi ART—Kotrimoksazol hanya boleh dihentikan saat
indikator klinis dan imunologis memastikan perbaikan sistem kekebalan selama
6 bulan atau lebih (lihat juga di bawah). Dengan bukti yang ada, tidak jelas
apakah kotrimoksazol dapat terus memberikan perlindungan setelah perbaikan
kekebalan.
 dihentikannya Kotrimoksazol bila :
Terdapat reaksi kulit yang berat seperti Sindrom Stevens Johnson, insufisiensi
ginjal atau hati atau keracunan hematologis yang beratPada anak yang terpajan
HIV, hanya setelah dipastikan tidak ada infeksi HIVPada anak umur < 18 bulan
yang tidak mendapat ASI—yaitu dengan tes virologis HIV DNA atau RNA yang
negatif.Pada anak umur < 18 bulan yang terpajan HIV dan mendapat ASI. Tes
virologis negatif dapat dipercaya hanya jika dilaksanakan 6 minggu setelah anak
disapih.Pada anak umur > 18 bulan yang terpajan HIV dan mendapat ASI – tes
antibodi HIV negatif setelah disapih selama 6 minggu.Pada anak yang terinfeksi
HIVjika anak mendapat ART, kotrimoksazol dapat dihentikan hanya jika terdapat
bukti perbaikan sistem kekebalan. Melanjutkan pemberian Kotrimoksazol
memberikan keuntungan bahkan setelah terjadi perbaikan klinis pada anak.Jika
ART tidak tersedia, pemberian kotrimoksazol tidak boleh dihentikan.
 Dosis
Dosis yang direkomendasikan 6–8 mg/kgBB Trimetoprim sekali dalam sehari.
Bagi anak umur < 6 bulan, beri 1 tablet pediatrik (atau ¼ tablet dewasa, 20 mg
Trimetoprim/100 mg sulfametoksazol); bagi anak umur 6 bulan sampai 5 tahun
beri 2 tablet pediatrik (atau ½ tablet dewasa); dan bagi anak umur 6-14 tahun, 1
tablet dewasa dan bila > 14 tahun digunakan 1 tablet dewasa forte. Gunakan dosis
menurut berat badan dan bukannya dosis menurut luas permukaan tubuh.Jika
anak alergi terhadap Kotrimoksazol, alternatif terbaik adalah memberi Dapson.

Penilaian terhadap toleransi dan ketaatan: Pencegahan dengan Kotrimoksazol harus


merupakan bagian rutin dari perawatan terhadap anak dengan infeksi HIV dan dilakukan
penilaian pada semua kunjungan rutin ke klinik atau kunjungan tindak lanjut oleh tenaga
kesehatan dan/atau anggota lain dari tim pelayanan multidisiplin. Tindak lanjut klinis
awal pada anak, dianjurkan tiap bulan, selanjutnya tiap 3 bulan, jika Kotrimoksazol dapat
ditoleransi dengan baik
c. Nutrisi
Anak harus makan makanan yang kaya energi dan meningkatkan asupan energi
mereka.Orang dewasa dan anak dengan infeksi HIV harus dianjurkan untuk makan
berbagai variasi makanan yang menjamin asupan mikronutrien.

2.10. Kesehatan Reproduksi Remaja


Pada remaja yang telah terinfeksi virus HIV, asuhan komprehensif yang dapat
dilakukan:
1. Konseling setelah testing HIV
Konseling ini berisikan upaya meningkatkan kualitas hidup remaja tersebut, kepatuhan
terhadap ARV untuk menghambat replikasi virus HIV, serta upaya mencegah penularan
virus HIV ke orang lain.
2. Memberikan dukungan moral, tidak melakukan diskriminasi, dan stigma.
3. Menjaga kerahasiaan penderita HIV bersama pasangannya.
4. Perujukan untuk pemberian ARV.

You might also like