Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Hadist 1 & 5 Arbain Annawawi

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 20

Artinya:

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan
sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.
Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang
hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

Makna Hadist secara Global


Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi poros Islam. Al-Imam Ahmad
dan Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini mengandung sepertiga ilmu dan
masuk ke dalam tujuh puluh bab pembahasan fikih.” Disebut sepertiga ilmu karena
perbuatan seorang hamba tidak lepas dari tiga bagian: hati, lisan, dan anggota
tubuh. Sedangkan niat yang bermukim di dalam hati adalah salah satunya.

Al-Imam Ahmad berkata: “Pokok islam ada pada tiga hadits; kemudian beliau
menyebutkan salah satunya adalah hadits Umar di atas.”

Al-Imam Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seandainya


aku menyusun sebuah buku, akan kumulai pada setiap babnya dengan hadits ini.”
Beliau juga berkata, “Siapa saja yang ingin menyusun sebuah kitab hendaklah ia
mulai dengan hadits ini.”

Al-Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Khattab Al-
Khattabi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Ma’alim, “Dahulu
para masyayikh kami menyukai mendahulukan hadits ini pada segala sesuatu.”

Sebagian salaf juga berkata, “Sepatutnya hadits ini dijadikan pembuka setiap kitab
dari kitab-kitab ilmu.”

Demi menjalankan wasiat para Imam tersebut, banyak ulama’ yang menjadikan
hadits ini sebagai pembuka tulisan mereka, sebagai contoh Al-Imam Al-Bukhari
dalam kitab Shahih-nya, ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam ‘Umdatul Ahkam, Al-
Baghawi dalam dua kitabnya; Mashabihus Sunnahdan Syarhus Sunnah, demikian
pula As-Suyuthi dalam Al-Jami’ush Shaghir , serta Al-Imam Nawawi dalam dua
kitabnya; Al-Majmu’ dan Al-Arba’in yang sedang kita bahas ini.

Makna Hadist perkata


lafazh Innama (hanyalah) dalam ilmu ma’ani bahasa arab berfungsi
sebagai hashr(pembatasan).

[ amal perbuatan dengan niat ] Maknanya adalah: hanyalah amal perbuatan akan
diterima atau akan menjadi benar dengan niat. Amal perbuatan di sini mencakup
ucapan dan perbuatan; ucapan hati dan perbuatan hati, dan ucapan lisan juga
perbuatan lisan, demikian pula ucapan dan perbuatan jawarih (anggota tubuh).

Akan tetapi niat hanya berlaku untuk amalan yang bersifat perintah, adapun untuk
amalan yang bersifat larangan maka tidak disyari’atkan untuk berniat, seperti
membersihkan najis, meninggalkan khamar, atau menjauhi ghibah. Seseorang yang
meninggalkan perbuatan tersebut atau yang semisalnya akan tetap sah walaupun
tidak didahului dengan niat. Berbeda dengan amalan yang bersifat perintah, seperti
shalat, puasa, dan wudhu’. Seseorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak
akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala kecuali apabila disertai dengan
niat yang benar. Wallahu a’lam.

[ dan seseorang akan dibalas sesuai dengan niatnya ] yakni amal perbuatan hamba
disesuaikan dengan niatnya; keabsahan atau kerusakannya, kesempurnaan atau
kekurangannya. Maka siapa saja yang melakukan perbuatan ketaatan dengan niat
untuk mendekatkan diri kepada Allah maka ia akan mendapatkan pahala yang
besar. Dan siapa saja meniatkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka
yang dia dapatkan hanya kenikmatan dunia, baik berupa kedudukan, pujian atau
yang lainnya.
Terkadang sebuah amalan yang asalnya mubah bisa bernilai ibadah disebabkan
niat. Sebagai contoh adalah makan dan minum yang asalnya mubah, tetapi jika
diniatkan untuk melakukan ketaatan seperti makan sahur maka ia bernilai ibadah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Makan sahurlah kalian, karena
pada makan sahur terdapat barakah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

[ Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya ] asal


kata hijrah maknanya ialah meninggalkan. Adapun makna hijrah karena
Allah ialah meninggalkan sesuatu karena mengharap keridhaan Allah. Dan
makna hijrah karena Rasul-Nya ialah meningalkan sesuatu karena mengikuti
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Dan yang dimaksud hijrah pada hadits ini adalah meninggalkan negeri syirik
menuju negeri Islam. Termasuk juga seseorang yang meninggalkan negeri bid’ah
menuju negeri sunnah, atau negeri yang dipenuhi kemaksiatan menuju negeri yang
sedikit maksiatnya.

[ maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya ] hijrah yang diniatkan karena
mencari keridhaan Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam adalah ibadah, dan pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar. Ini
adalah perumpamaan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang seorang
yang melakukan amalan ibadah ikhlas karena Allah.

[ dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan dia raih atau wanita yang
akan dia nikahi maka hijrahnya sesuai dengan niatnya ] Ini adalah perumpamaan
bagi seorang yang melakukan ibadah karena mencari kenikmatan dunia berupa
harta atau wanita. Maka pelakunya hanya mendapatkan apa yang dia niatkan.
Demikian pula seluruh amalan akan dinilai sesuai dengan niatnya.

Sebagian ulama’, seperti Ibnu Daqiqil ‘Ied dan An-Nawawi menyebutkan bahwa
hadits ini berkenaan dengan seorang shahabat yang melakukan hijrah dari Mekkah
menuju Madinah karena ingin menikahi wanita yang dia cintai bernama Ummu
Qais. Sehingga orang tersebut dijuluki Muhajir Ummu Qais (orang yang pindah
karena mencari Ummu Qais). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia
berkata, “Dahulu ada seseorang berhijrah untuk menikahi seorang wanita yang
disebut Ummu Qais, sehingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.” Dalam riwayat
lain, “Dahulu ada di antara kami seorang yang melamar wanita dikenal dengan
Ummu Qais, ia enggan untuk dinikahi sampai lelaki tersebut melakukan hijrah,
maka lekaki itupun berhijrah kemudian menikahinya. Orang itu kami juluki
Muhajir Ummu Qais.”

Menanggapi cerita di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, sanadnya shahih sesuai
syarat Al-Bukhari dan Muslim. Namun, tidak ada keterangan pada kisah di atas
bahwa hadits innamal a’malu bin niyat (diucapkan oleh Nabi) bertepatan dengan
kejadian itu. Aku juga tidak menemukan satupun dalam banyak sanad hadits ini
yang menegaskan hal tersebut.” (Fathul Bari 1/10)

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/74-75) juga
menjelaskan: “Sangat masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qais adalah sebab
diucapkannya hadits “Barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia atau wanita yang
akan dia nikahi” banyak orang (ulama) sekarang yang menyebutkan hal itu di
kitab-kitab mereka. Namun, kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam
sanad yang shahih, wallahu a’lam.”

Dari penjelasan Ibnu Hajar dan Ibnu Rajab di atas menjadi jelas bahwa kisah
Muhajir Ummu Qais tidak ada kaitannya dengan hadits innamal a’malu bin
niyyat ini. Wallahu a’lam.

SYARAH

Imam an-Nawawi berkata:

Hadist ini menunjukkan bahwa niat itu sebagai barometer untuk menilai sahnya
amalan. Bila niatnya baik, maka amalnya baik dan bila rusak, maka rusak pula
amalnya. Jika dijumpai suatu amalan dan dibarengi oleh niat, maka ia punya tiga
keadaan:

Pertama, ia melakukan hal itu karena takut kepada Allah, dan ini ibadahnya
hamba.

Kedua, ia melakukan hal itu karena mencari surga dan pahala, ini ibadahnya
pedagang.

Ketiga, ia melakukan hal itu karena malu kepada Allah swt, menunaikan hak
ubudiyah, dan menunaikan rasa syukur. Kendati demikian ia merasa dirinya lalai,
dan bersamaan dengan itu hatinya merasa takut. Karena ia tidak tau apakah
amalnya diterima ataukah tidak? Ini ibadahnya orang-orang merdeka. Itulah yang
diisyaratkan Rasulullah saw ketika aisyah mengatakan kepada beliau pada saat
beliau melakukan qiyamul lail sehingga kedua telapak kaki beliau bengkak,
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini dengan susah payah,
padahal Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang kemudian?”
Beliau menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang banyak
bersyukur?”

Jika ditanyakan mana yang lebih utama, beribadah disertai rasa takut atau ibadah
disertai dengan harapan. Menurut al-Ghazali, ibadah disertai harapan lebih utama,
karena harapan menyebabkan cinta, sedangkan takut menyebabkan keputusan. Tiga
keadaan ini berlaku untuk orang-orang yang ikhlas. Keikhlasan itu ada kalanya
terjangkit penyakit ‘ujub atau bangga diri. Barangsiapa yang dibuat kagum dengan
amalnya, maka amalnya batal. Jika orang yang sombong, maka batal amalnya.

Riya’ ada dua macam, yang pertama ia menaatiNya hanya karena riya’ kepada
manusia. Kedua, ia menginginkan manusia dan Rabb manusia. Keduanya
membatalkan dengan amalan. Pendapat ini dinukil al-Hafizh Abu Nu’aim dalam al-
Hilyah dari sebagian salaf. Sebagian mereka berargumenkan atas hal itu juga dengan
Firman Allah : “Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci
Allah dari apa yang mereka persekutuan.” (Al-Hasyr:23).

Sebagaimana Dia menolak istri, anak dan sekutu, Dia menolak pula amalan
yang disekutukan dengan selainNya. Karena Dia Maha tinggi, Mahabesar, yang
memiliki segala kebesaran. Contohnya, siapa yang shalat Zhuhur, dan berniat
menunaikan apa yang difardhukan Allah swt, tetapi ia memanjangkan rukun-rukun
dan bacaannya serta memperbagus shalatnya karena manusia, maka pokok shalatnya
diterima. Adapun apa yang dipanjangkan dan diperbaguskannya demi manusia,
maka tidak akan diterima, karena meniatkannya untuk manusia.

Menurut para ulama, jika ia seorang alim yang diteladani, dan ia menyebutkan
hal itu untuk memberi semangat kepada orang-orang yang mendengarnya supaya
mengamalkannya, maka tidak apa-apa. Al-Mirzabani mengatakan, “Orang yang
shalat membutuhkan empat hal sehingga shalatnya diterima:

Pertama, khusyu’ hatinya.

Kedua, sadar akalnya.

Ketiga, tunduk tubuhnya.

Keempat, khusyu’ anggota tubuhnya.

Siapa yang sholat tanpa kekhusyu’an hati, maka ia adalah orang yang shalat
tapi lalai. Siapa yang shalat tanpa kesadaran akal, maka ia adalah orang yang shalat
tapi lupa. Siapa yang shalat tanpa ketundukkan tubuh, maka ia adalah orang yang
shalat tapi hampa. Siapa yang shalat tanpa kekhusyu’an anggota tubuh, maka ia
adalah orang yang shalat tapi salah. Dan siapa yang shalat dengan rukun-rukun ini,
maka ia adalah orang yang shalat secara sempurna. Sabda Nabi Shallallahu alaihi
wa Sallam, “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya”. Yang dimaksud adalah
amalan-amalan ketaatan, bukan amalan-amalan mubah.

Al-Harits al-Muhasibi mengatakan, ikhlas itu tidak masuk dalam perkara


mubah, karena ia tidak meliputi ibadah dan tidak pula membawa kepada qurbah.
Tidak ada keikhlasan dalam suatu yang diharamkan dan yang dimakruhkan, seperti
orang yang melihat seuatu yang dilarang untuk dilihatnya dengan dalih bertafakur
terhadap ciptaan Allah swt.

Kejujuran adalah berniat karena Allah swt. dalam beribadah, disertai


kekhusyu’an hati kepadaNya. Setiap orang yang jujur adalah orang yang ikhlas,
tetapi tidak semua orang yang ikhlas adalah orang yang jujur. Inilah makna ittishal
(terhubung) dan infishal (terpisah), karena ia terpisah dari Allah swt. tapi terhubung
kepada Allah swt. dengan kekhusyu’an.

Niat menurut bahasa, ialah al-Qashad (tujuan). Sedangkan niat menurut


syariat, ialah meniatkan sesuatu diiringi dengan perbuatan. Jika seseorang sudah
berniat dan tidak segera mengerjakan, maka ini disebut tekad. Niat disyariatkan
untuk membedakan kebiasaan dari peribadatan, atau membedakan tingkatan ibadah
yang satu dengan yang lainnya.

Arti kata asal muhajarah adalah meninggalkan. Istilah hijrah masuk dalam
berbagai kategori:

Hijrah pertama, hijrahnya para sahabat dari Makkah ke Habsyah. Ketika kaum
musyirikin mengganggu Rasulullah saw, mereka berlari kepada an-Najasyi. Terjadi
setelah lima tahun setelah kenabian.

Hijrah kedua, hijrah dari Makkah ke Madinah. Terjadi 13 tahun setelah masa
kenabian. Setiap Muslim di Makkah wajib berhijrah kepada Rasulullullah saw ke
Madinah.

Hijrah ketiga, hijrahnya berbagai kabilah kepada Rasullullah saw untuk belajar
syariat dan mengajarkannya kepada kaumnya sendiri.

Hijrah keempat, hijrahnya orang-orang yang sudah masuk Islam dari penduduk
Makkah. Mereka datang kepada nabi dan kembali ke kaumnya.

Hijrah kelima, hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam. Tidak halal jika seorang
Muslim tinggal di negeri kafir.
Hijrah keenam, seorang Muslim mengucilkan saudaranya lebih dari tiga hari tanpa
sebab syar’i. Ini makruh pada hari ketiga, dan selebihnya haram, kecuali karena
suatu dharurat.

Hijrah ketujuh, suami meninggalkan istrinya, jika terbukti kedurhakaannya.

Hijrah kedelapan, meninggalkan apa yang dilarang Allah swt.ini adalah hijrah yang
paling umum.

Imam Ibnu Daqiq berkata:

Ini hadits shahih yang disepakati keshahihannya, sangat besar kedudukannya,


dan banyak faidahnya. Ini adalah hadits yang menjadi poros Islam. Kata “Innama”
adalah untuk pembatasan, untuk menetapkan apa yang disebutkan dan menfikan
selanjutnya. Kata “Innama” kadang bermakna pembatasan mutlak dan kadangkala
pembatasan yang dikhususkan, hal itu bisa dipahami dengan berbagai qarinah.

“Sessungguhnya amal itu tergantung niatnya”. Yang dimaksud amal disini


adalah amal syar’iyyah yang artinya amal tidak dinilai dengan tanpa niat. Contohnya
seperti wudhu, mandi, shalat, zakat, puasa, haji dan lainnya. Adapun menghilangkan
najis tidak butuh niat, karena itu termasuk perkara yang harus ditinggalkan dan tidak
perlu niat.

Syaikh as-Sa’di berkata:

“kepada Allah dan RasulNya” berisi keihklasan kepada Dzat yang disembah
dan mengikuti Rasul, yang keduanya adalah syarat bagi setiap ucapan dan perbuatan,
zahir dan batin. Barangsiapa yang mengikhlaskan amalnya karena Allah dan
mengikuti Rasulullah, maka inilah yang amalnya diterima. Barangsiapa yang
kehilangan kedua hal itu, atau salah satunya, maka amalnya ditolak, dan masuk
dalam kategori FirmanNya. Dan orang yang menghimpun dua kriteria tersebut,
maka masuk dalam kategori FirmanNya.

Niat adalah bersengaja melakukan perbuatan untuk mendekatkan diri kepada


Allah swt. dan mencari keridhaan serta pahalanya. Didalamnya termasuk niat, amal,
dan niat tujuan amal perbuatan. Niat amal, maka tidak sah bersuci dengan berbagai
jenisnya, shalat, zakat, puasa, haji dan semua peribadatan, kecuali dengan
meniatkannya. Jika ibadah mengandung beberapa jenis, seperti shalat, yang
diantaranya ada yang fardhu, sunnah tertentu maupun sunnah mutlak, maka yang
mutlak sudah cukup berniat shalat. Adapun yang tertentu berupa fardhu atau sunnah
tertentu, contohnya witir atau rawatib, maka harus bersama niat shalat, meniatkan
suatu yang tertentu. Begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya.

Artinya:

Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah ra. berkata, Rasulullah saw.


bersabda: “Barangsiapa mendatangkan hal baru dalam urusan agama yang tidak
termasuk bagian darinya [tidak ada dasar hukumnya] maka tertolak.” (HR Bukhari
dan Muslim)
Riwayat Muslim menyebutkan, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa
melakukan amalan, tanpa didasari perintah kami, maka tertolak.”

Kandungan hadits:

1. Islam dilakukan dengan cara ittiba’ [mengikuti], bukan ibtida’ [mencipatakan].


Melalui hadits ini Rasulullah saw. menjaga kemurnian Islam dari tangan orang-
orang yang melampaui batas. Hadits ini merupakan jawami’ul kalim [singkat
namun penuh makna], yang mengacu kepada berbagai nash al-Qur’an yang
menyatakan bahwa keselamatan seseorang hanya akan didapat dengan mengikuti
petunjuk Raulullah saw. tanpa menambah atau mengurangi, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allaha: “Katakanlah wahai Muhammad, ‘Jika kalian
semua mencintai Allah maka ikutilah aku, tentu Allah akan mencintai kalian.” (Ali
Imraan: 31) juga dalam firman Allah: “Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan [yang sesat] karena
dapat mencerai-beraikan kalian dari jalan-Ku.” (al-An’am: 153)

2. Berbagai perbuatan yang tertolak. Hadits ini merupakan dasar yang jelas bahwa
semua perbuatan yang tidak didasari oleh perintah syar’i adalah tertolak. Hadits ini
juga menunjukkan bahwa semua perbuatan, baik yang berhubungan dengan
perintah maupun larangan terikat dengan hukum syara’. Karenanya, sungguh
sangat sesat perbuatan yang keluar dari koridor yang telah ditentukan oleh syara’,
seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syara’ dan bukan syara’ yang
menghukumi perbuatan. Karena itu setiap muslim wajib menyatakan bahwa
perbuatan-perbuatan tersebut [yang ada di luar koridor syara’] adalah bathil dan
tertolak. Perbuatan-perbuatan yang ada di luar koridor syara’ ini terbagi dua, dalam
ibadah dan muamalah.
a. Dalam ibadah. Jika ibadah yang dilakukan seseorang keluar dari hukum syara’,
maka perbuatan tersebut tertolak. Ini termasuk dalam firman Allah swt., “Apakah
mereka mempunyai sekutu, yang membuat peraturan [dalam agama] bagi mereka,
yang Allah tidak mengizinkannya.” (asy-Syura: 21).
Contohnya mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengar nyanyian, menari,
melihat wanita atau berbagai perbuatan lainnya yang tidak berdasarkan syara’.
Mereka inilah orang-orang yang dibutakan hatinya oleh Allah hingga tidak bisa
melihat kebenaran bahkan kemudian selalu mengikuti langkah-langkah setan.
Mereka mengklaim bahwa mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah melalui
kesesatan yang mereka ciptakan. Mereka ini tidak jauh berbeda dengan orang-
orang Arab jahiliyyah yang menciptakan satu bentu ibadah dan pendekatan diri
kepada Allah, sedangkan Allah tidak menurunkannya. Allah swt. berfirman,
“Ibadah mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan
tangan. Maka rasakan azab disebabkan karena kekafiranmu.” (al-Anfal: 35)
Kadang, orang menyangka bahwa jika dengan melakukan ibadah bisa
mendekatkan diri kepada Allah, maka pendekatana tersebut juga bisa dilakukan
dengan perbuatan yang lain. Sebagai contoh, dimana Nabi Muhammad ada orang
yang berpuasa sambil berdiri di bawah sengatan terik matahari. Ia tidak duduk dan
tidak berteduh. Lalu Rasulullah saw. menyuruhnya untuk duduk dan berteduh
sambil terus menyempurnakan puasanya.

b. Mu’amalah.
Sama halnya dalam ibadah, jika tidak ada dasar syar’i, maka amalan [yang
berkenaan dengan mu’amalah] yang dilakukan seseorang batal dan tertolak. Ini
didasarkan oleh kejadian pada masa Rasulullah saw. Suatu saat ada seseorang yang
bertanya kepada Rasulullah saw. dan menginginkan agar hukuman zina diubah
dengan denda, maka Rasulullah menolaknya. Lebih lengkapnya kejadian tersebut
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam sebuah hadits yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. kedatangan seseorang. Orang tadi
berkata: “Anakku bekerja pada si fulan, lalu berzina dengan istrinya. Saya telah
membayar denda sebanyak seratus kambing dan seorang pembantu.” Mendengar
penuturannya Rasulullah saw. bersabda: “Seratus kambing dan pembantu
dikembalikan kepadamu dan hukuman bagi anakmu seratus kali cambukan dan
diasingkan selama setahun.”
Demikian juga semua akad [transaksi] yang dilarang oleh syara’, atau dua orang
yang melakukan akad mengabaikan salah satu rukun atau syarat akad maka akad
tersebut batal dan tertolak. Permasalah ini, secara rinci bisa dibaca di buku-buku
fiqih.

3. Perbuatan yang diterima


Dalam kehidupan ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan
dengan syariat. Bahkan sesuai atau cenderung bertentangan dengan syariat. Bahkan
sesuai atau cenderung didukung dasar-dasar syara’. Maka perkara-perkara tersebut
diterima. Para Shahabat banyak mencontoh hal ini. Seperti pengumpulan al-Qur’an
di masa Abu Bakar, penyeragaman [bacaan] al-Qur’an di masa Utsman bin Affan
dengan mengirimkan salinan-salinan mushaf ke berbagai penjuru disertai para
qari’.
Contoh lain, penulisan ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan sebagai ilmu lainnya,
baik teori maupun yang bersifat empiris yang sangat bermanfaat bagi manusia, dan
dapat mendorong terwujudnya pelaksanaan hukum Allah di muka bumi.
4. Bid’ah yang tercela dan bid’ah yang terpuji
Dari uraian di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwa perkara-perkara yang sifatnya
baru dan bertentangan dengan syara’, maka perkara tersebut tergolong bid’ah yang
tercela dan sesat. Namun perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan
syariat bahkan sesuai dan didukung oleh syariat, maka perkara tersebut baik dan
sifatnya fardlu kifayah. Karena itulah Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Apa-apa
yang sengaja dibuat dan tidak sesuai dengan al-Qur’an atau Sunah ataupun ijma’,
maka perkara tersebut masuk dalam katagori bid’ah yang sesat. Apa-apa yang
sengaja diciptakan dan bersifat baik juga tidak betentangan dengan syara’ maka
masuk dalam katagori bid’ah yang baik.”
Bid’ah yang sesat pun berfariasi, ada yang makruh dan ada yang haram, tergantung
bahaya yang ditimbulkan dan ketidaksesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan
dalam melakukan perbuatan bid’ah tersebut seseorang bisa terjerumus dalam
kekufuran dan kesesatan, misalnya: orang yang bergabung dengan aliran sesat,
yang mengingkari wahyu dan syariat Allah, mengajak untuk menerapkan hukum
buatan manusia, menuduh penerapan hukum Allah merupakan keterbelakangan.
Atau orang yang bergabung dengan jama’ah-jama’ah sufi, yang meremehkan
berbagai kewajiban atau mempunyai paham wihdatul wujud atau hulul
[manunggaling kawula gusti] dan berbagai perilaku sesat lainnya.
Termasuk bid’ah sayi’ah atau sesat adalah pengagungan suatu benda dan minta
keberkahan kepada benda tersebut, dengan keyakinan bahwa benda tersebut,
dengan keyakinan bahwa benda yang dia agungkan bisa memberi manfaat,
misalnya: mengagungkan pohon, batu, atau kuburan. Pernah suatu saat para
shahabat lewat di samping pohon bidara yang diagung-agungkan orang musyrik.
Para shahabat berkata: “Ya Rasulallah, biarkanlah kami mempunyai gantungan
[senjata] sebagaimana mereka orang musyrik mempunyai gantungan.” Rasulullah
bersabda: “AllaHu akbar, ini seperti yang dikatakan kaumnya Musa: ‘Buatkanlah
kamu tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan.’” Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya kalian adalah kaum yang tidak mengerti dan pasti kalian akan
mengikuti kaum sebelum kalian.”

5. Kami sengaja menyebutkan hadits kedua: “Barangsiapa melakukan amalan yang


tidak didasari perintah kami, maka ia tertolak.” Karena sebagian ahli bid’ah
membantah hadist pertama “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara
[ibadah] yang tidak ada dasar hukumnya maka ia tertolak.” Dengan argumen
mereka, “Kami tidak pernah menciptakan hal baru. Apa yang kami lakukan telah
kami dapatkan dari orang-orang sebelum kami.”
Maka dengan menyebutkan hadits kedua ini, argumentasi mereka tidak bernilai.

6. Dari hadits di atas bisa kita pahami bahwa barangsiapa yang mereka-reka satu
amalan, maka dosanya ia sendiri yang menanggung dan amalan tersebut tertolak.

7. Setiap larangan cenderung pada dampak kerusakan.

8. Agama Islam sangat sempurna tidak ada satu kekuranganpun, tidak perlu
ditambah-tambah lagi atau dikurangi.

Tentang hadits ini, para ulama mengatakan: Hadits ini merupakan timbangan-
timbangan amalan yang zhahir (nampak), sedangkan hadits Umar yang telah
disebutkan di awal buku ini, yaitu: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung
dari niatnya”, adalah timbangan amalan yang bathin, karena setiap amalan
memiliki niat dan bentuk. Bentuk inilah yang disebut dengan amalan zhahir,
sedangkan niat adalah amalan yang sifatnya bathin.
Hadits ini mengandung beberapa faedah:

•Orang yang mengada-adakan dalam urusan ini –yakni Islam- perkara-perkara


yang tidak ada asalnya, maka amalan itu tertolak, walaupun pelakunya memiliki
niatan yang baik. Berdasarkan prinsip ini, maka segenap bid’ah adalah tertolak dari
pelakunya kendati ia memiliki niatan yang baik.

•Barangsiapa mengerjakan suatu amalan sekalipun pada asalnya disyari’atkan,


akan tetapi amalan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan cara-cara yang telah
diperintahkan, maka amalan itu tertolak, berdasarkan riwayat kedua yang telah
diriwayatkan oleh Muslim di atas.

Atas dasar ini, maka barangsiapa melakukan jual beli dengan cara yang
diharamkan, maka jual beli tersebut bathil, dan barangsiapa yang melakukan shalat
tathawwu’ (sunnah) pada waktu yang terlarang tanpa adanya suatu sebab, maka
shalatnya bathil. Dan barangsiapa berpuasa pada hari raya (‘Iedul fitri / ‘Iedul
adha), maka puasanya bathil. Demikianlah seterusnya. Karena semua amalan
tersebut tidak sesuai dengan perintah Allah dan rasul-Nya, sehingga amalan
tersebut tertolak.
1. Hadits ini merupakan pokok yang mendasar dalam menimbang seluruh amalan
yang zhahir. Dan amalan apapun tidak akan dianggap kecuali jika sesuai dengan
syariat. Sebagaimana hadits “innamal a’maalu bin niyyat“, merupakan pokok yang
mendasar dalam menimbang seluruh amalan batin. Dan semua amalan apapun
yang dijadikan taqarrub (ibadah) kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas
hanya untuk Allah, dan harus benar dengan niatnya.

2. Jika wudhu, mandi janabat, shalat, dan ibadah-ibadah lainnya dilakukan


dengan tidak sesuai syariat, maka ibadah-ibadah tersebut tertolak dan tidak
dianggap. Dan segala sesuatu yang diperoleh dengan akad yang rusak, wajib
dikembalikan kepada pemiliknya dan tidak boleh dimiliki. Dan yang menunjukkan
hal ini adalah kisah seorang pekerja sewaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada ayahnya,

…Adapun budak wanita dan kambing, maka itu dikembalikan


kepadamu… Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2695) dan Muslim (1697).

3. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang melakukan perbuatan bid’ah,
yang sama sekali tidak ada asal usulnya dalam syariat ini, maka itu tertolak,
sekaligus pelakunya terancam dengan ancaman (dari Allah dan Rasul-Nya).
Sungguh Nabi telah bersabda tentang keutamaan kota Al-Madinah,

Barangsiapa mengada-ada sebuah amalan di dalamnya, atau memberi tempat


tinggal kepada orang yang mengada-ada tersebut, maka atasnya laknat Allah, para
malaikat, dan seluruh manusia… (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1870), dan
Muslim (1366).
4. Riwayat kedua yang terdapat dalam Shahih Muslim lebih umum dari riwayat
yang terdapat pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim).
Karena riwayat dalam Shahih Muslim ini mencakup seluruh orang yang
melakukan bid’ah. Sama saja orang tersebut yang pertama kali
mengadakan bid’ah ataupun ia hanya mengikuti pendahulunya dalam
melakukan bid’ah.

5. Makna sabdanya “raddun” dalam hadits ini artinya “marduudun ‘alaihi”


(tertolak kepada si pelakunya). Dan ini (dalam bahasa Arab) disebut penamaan
objek dengan kata dasar. Seperti “khalqun” (penciptaan) artinya “makhluuqun”
(yang diciptakan). Atau “naskhun” (penghapusan hukum) artinya “mansuukhun”
(hukum yang dihapuskan).

6. Tidak masuk ke dalam hadits segala sesuatu yang justru membantu dan
membuat kemaslahatan dalam menjaga agama Islam. Atau yang mebantu dalam
memahamkan dan mengetahui agama Islam. Seperti mengumpukan Al-Qur’an
dalam mus-haf. Menulis ilmu-ilmu bahasa dan nahwu. Dan yang semisalnya.

7. Hadits ini, secara umum menunjukkan bahwa semua amalan yang menyelisihi
syariat pasti tertolak. Walaupun maksud pelakunya baik. Dan dalil yang
menunjukkan hal ini adalah kisah seorang sahabat yang menyembelih hewan
kurbannya sebelum shalat ‘Idul Adh-ha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada sahabat ini,

Kambing sembelihanmu, kambing sembelihan biasa saja (yakni; hanya sembelihan


biasa saja). Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (955) dan Muslim (1961).
8. Hadits ini, secara lafazhnya menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak ada
perintah syariat padanya maka tertolak. Dan secara pemahamannya, menunjukkan
bahwa amalan yang padanya terdapat perintah syariat, maka tidak akan tertolak.
Makna (ringkasnya); setiap amalan yang berada dalam koridor hukum-hukum
syariat Islam dan sesuati dengannya, maka ia diterima. Dan yang keluar darinya,
maka tertolak.

Pelajaran dan Faidah Hadits

Haramnya berbuat bid’ah dalam agama.

Setiap amalan yang terbangun di atas bid’ah, maka ia tertolak atas pelakunya.

Setiap larangan (untuk melakukan sesuatu) mengandung kerusakan (pada sesuatu


tersebut).

Sesungguhnya amalan yang shalih, jika dilakukan tidak sesuai dengan syariat,
seperti melakukan shalat sunnah di waktu yang terlarang dan tanpa ada sebabnya,
dan berpuasa pada hari ‘Id, dan yang semisalnya, maka amalan ini batil dan tidak
dianggap sama sekali.

Penghukuman seorang hakim tidak dapat merubah perkara sesungguhnya,


berdasarkan sabdanya “suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami“.

Sesungguhnya perdamaian atau akad yang rusak (hukumnya) batil, dan barang
apapun yang diambil di atas akad yang rusak tersebut harus dikembalikan.
Sebagaimana dalam hadits seorang pekerja sewaan.

You might also like