Kajian Tentang Kemandirian Lembaga Kepolisian Dalam Penegakan Hukum Pada Era Reformasi Sri Hartini
Kajian Tentang Kemandirian Lembaga Kepolisian Dalam Penegakan Hukum Pada Era Reformasi Sri Hartini
Kajian Tentang Kemandirian Lembaga Kepolisian Dalam Penegakan Hukum Pada Era Reformasi Sri Hartini
Sri Hartini
Dosen Hukum Acara Pidana di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum
FISE UNY
Abstract
Dari kelima faktor tersebut satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi
penyelenggaraan proses penegakan hukum dalam peradilan di Indonesia. Meskipun
demikian dari kelima faktor tersebut , faktor penegak hukum atau manusialah yang
lebih dominan dibandingkan dari keempat faktor lainnya. Betapa pun undang-
undangnya sudah baik, didukung dengan sarana yang memadai serta partisipasi yang
positif dari masyarakat, namun bila ditangani oleh aparat penegak hukum yang
kurang bertanggung jawab serta kurang memiliki moral yang baik, dapat dipastikan
akan menghasilkan penegakan hukum yang bisa mengarah pada penyimpangan yang
merugikan negara dan pencari keadilan.
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Antonius Sujata, bahwa keberhasilan
penegakan hukum ditentukan oleh orang yang menegakkannya, yaitu aparat penegak
hukum. Lebih lanjut Antonius Sujato yang mengutip pendapat seorang pakar hukum
Belanda Profesor Taverne, mengemukakan bahwa “berilah aku hakim yang baik,
jaksa yang baik serta polisi yang lebih baik, maka dengan hukum yang buruk sekali
pun akan memperoleh hasil yang lebih baik”. (Antonius Sujata, 2000: 7). Hal yang
sama dikemukakan oleh Jimly Assidiqi, bahwa aktor-aktor utama yang perananya
sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara
dan hakim. (Jimly Asshiddiqie, 2006: 23).
Sehubungan dengan penegakan hukum tersebut, dari tata hukum Indonesia
secara skematis dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, dan tiap
sistem penegakan hukum tersebut didukung oleh alat perlengkapan negara sendiri
pula. Ketiga sistem penegak hukum yang dimaksud adalah penegakan hukum
perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegaklan hukum administrasi
negara. (Sudarto, 1986: 179). Disamping ketiga sistem penegakan hukum tersebut
yang keempat yakni penegakan hukum konstitusi (hukum ketatanegaraan). (Agus
Subroto, 2010: 1)
Berbicara mengenai sistem penegakan hukum pidana atau sistem peradilan
pidana, secara langsung teringat dan bersentuhan dengan masalah kebenaran dan
keadilan. Karena memang ide dan filosofis peradilan pidana bertujuan untuk
menegakkan ketertiban, kebenaran dan keadilan. Menurut M. Faal yang dimaksud
dengan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) adalah suatu sistem
berprosesnya suatu peradilan pidana, masing-masing komponen fungsi yang terdiri
dari kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntu umum, pengadilan
sebagai sebagai pihak yang mengadili dan lembaga pemasyarakatan yang berfungsi
untuk memasyarakatkan kembali para terhukum, yang bekerja secara bersama-sama,
terpadu di mana usaha untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk menanggulangi
kejahatan. (M. Faal, 1987: 24).
Berkaitan dengan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana tersebut
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, yang terdiri atas 22 Bab yang meliputi 268 pasal, sebagian besar mengatur
tentang kewenangan dari lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana.
Memperhatikan masih tampaknya gejala fragmentaris gerak operasional sub-
sub sistem peradilan pidana pada satu pihak, dan adanya kebutuhan pemahaman
pendekatan sistem (system approach), di mana kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendiri, tetapi
merupakan unsur penting dan berkaitan satu sama lain dalam penegakan hukum
pidana yang tampaknya kini sudah cukup menggejala sebagai suatu kebutuhan
international distrurbing issue (tanpa menutup mata terhadap adanya gerakan-
gerakan yang menyangsikan kemampuan sistem peradilan pidana dalam
menanggulangi kejahatan pada pihak lain). Hal demikian ini terjadi di Amerika
Serikat, dalam menanggulangi kejahatan juga diperkenalkan dan dikembangkan
pendekatan sistem sebagai pengganti pendekatan hukum dan ketertiban. Adapun ciri-
ciri pendekatan sistem tersebut adalah sebagai berikut:
a. Titik berat pada koordinasi danm sinkronosasi komponen peradilan seperti
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
b. Pengawasan dan pengedalian kekuasaan oleh komponen peardilan pidana.
c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara.
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan ”the
administration of jastice”. (Romli Atmasasmita, 1995: 9).
Penutup
Berdasarkan uraian mengenai kemandirian lembaga kepolisian dalam
penegakan hukum pada peradilan pidanapada era reformasi dapat dikemukakan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara yuridis formal diakui bahwa dari segi kelembagaan sudah mandiri
dalam arti terpisah dari TNI sejak 1 Juli 2000, yakni dengan Keputusan
Presiden No. 89/2000 dan ditegaskan dalam Ketetapan MPR No.
VI/MPR/2000 sejak 18 Agustus 2000, serta dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Keplosian Republik Indonesia. Namun secara operasional
kemandirian bekerjanya lembaga kepolisian dalam menyelenggarakan fungsi
penegakan hukum pada peradilan pidana pada era reformasi belum dapat
terwujud, karena masih terdapat kendala yang bersifat internal dan ekternal.
Kendala yang bersifat internal berupa perilaku polisi penyidik masih
memperlihatkan perilaku yang militeristik cenderung menggunakan
kekerasan, melanggar hak-hak tersangka, diskriminatif, tidak transparan dan
tidak akomodatif serta belum memperlihatkan kinerja yang profesional.
Sedang kendala yang bersifat ekstern berupa instrumen hukum yang belum
memadai, intervensi yang bersifat vertikal (atasan) dan horizontal (kekuasaan
politik/pemerintah, ekonomi, ”saudara tua”, teman sejawat, masyarakat),
keterbatasan anggaran, sarana dan prasarana yang mendukung operasional
penyidikan.
2. Aspek yang berperan menunjang dalam kemandirian bekerjanya lembaga
kepolisian dalam menyelenggarakan fungsi penegakan hukum pada peradilan
pidana, antara lain: instrumen hukum yang memadai, struktur organisasi yang
baik, poltical will pemerintah, SDM reserse yang mumpuni, anggaran, sarana
dan prasarana serta kesejahteraan reserse, kepercayaan dan kesadaran hukum
masyarakat, integritas moral reserse dan aspek kultur yakni polisi reserse yang
berperilaku sipil.
Sumber Bacaan
Makalah:
Agus Subroto. (2010). Kontribusi Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Mewujudkan
Penegakan Hukum Yang Berwibawa, Makalah Seminar tentang
”Pembaharuan Pendidikan Tinggi Hukum Yang Berorientasi Profesi Dan
Berkeadilan” disampaikan dalam Acara Dies Natalis ke – 64 Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, tanggal 17 Februari 2010.
Mass Media:
Kompas, tanggal 7 Februari 2010.
Kompas, tanggal 15 Februari 2010
Koran Tempo, 21 Maret 2010.