Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Kajian Tentang Kemandirian Lembaga Kepolisian Dalam Penegakan Hukum Pada Era Reformasi Sri Hartini

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

KAJIAN TENTANG KEMANDIRIAN LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM

PENEGAKAN HUKUM PADA ERA REFORMASI

Sri Hartini
Dosen Hukum Acara Pidana di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum
FISE UNY

Abstract

Law enforcement is a condition sine qua non for the implementation of


democracy. It is necessary to maintain law order, secure political decision making
processes, guarantee individual freedom, and protect human rights. Beside, in the
context of law enforcement process, the independence of judiciary system is needed
for materialization of the principle of law based State. The judiciary system will be
independent as long as the stake holders of that institution are independent and truth
and justice oriented.
The independence of the police institution as sub-system of the judiciary is
necessary in the investigation of crime. Normatively it was recognized that the police
is institutionally independent and separated from the TNI since 1 July 2000, by the
promulgation of the People Assembly Number: VI/MPR/2000 and Act Number:
2/2002 on Indonesian Police. However, in operational level there are external and
internal shortcomings. Internal shortcomings meant are the behavior of the criminal
investigator police which are not transparent, militaristic, unprofessional,
discriminative, and tends to use violent actions. External shortcomings are problem
related to the existence of legal instruments, vertical and horizontal intervention from
the colleagues, public, “old brother”, and limited budget and facilities to support
investigation process.
The independence of the police as the criminal investigating institution in the
criminal justice system requires supporting aspects such as available legal
instrument, well organization, political will of the government, capable human
resources, budget, means, personal investigating police and cultural aspect of
criminal investigating police as civilian police. Therefore the works of the criminal
investigating police have to be reported to the concerned victims. Apart from that
exist legal instruments such as the law criminal procedure and related regulations
have to be reviewed an amended.

Key words: Law enforcement, independence of the police institution


Pendahuluan
Dewasa ini persoalan penegakan hukum semakin marak dibicarakan baik
melalui media cetak maupun media elektronik . Di mana masyarakat semakin kritis
dan korektif terhadap masalah penegakan hukum di Indonesia. Hal ini menunjukan
adanya tingkat pendidikan yang semakin meningkat, sehingga masalah penegakan
hukum mendapat respon dari masyarakat.
Kompleksitas masalah penegakan hukum apabila dipandang dari berbagai
sudut kajian menurut berbagai pihak senantiasa saling koreksi, dalam penegakan
hukum dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Di samping hal tersebut, tujuan
penegakan hukum adalah untuk tercapainya kedamaian dalam masyarakat. Suatu
penegakan hukum dikatakan fungsional apabila tujuan tersebut telah tercapai,
sehingga jika dilihat dari keseluruhan, maka penegakan hukum merupakan suatu
sistem. Sebagai suatu sistem, penegakan hukum yang baik adalah apabila terdapat
keselarasan antara nilai-nilai yang dituangkan dalam kaidah-kaidah hukum atau
peraturan perundang-undangan dengan perilaku manusia sebagai pelaksananya.
Penegakan hukum merupakan kondisi yang sangat dibutuhkan terhadap
keberadaan dan berfungsinya nilai-nilai dasar demokrasi antara lain: jaminan
terhadap keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan-keputusan politik,
persamaan dan kebebasan serta perlindungan terhadap martabat manusia. Di samping
itu, dalam penegakan hukum diperlukan adanya jaminan terhadap kemandirian atau
kebebasan lembaga peradilan. Kemandirian atau kebebasan lembaga peradilan
merupakan syarat dan kondisi agar azas negara hukum dapat terlaksana sepenuhnya.
Ini berarti bahwa lembaga peradilan mandiri manakala para pelaku lembaga itu juga
mandiri serta berorientasi pada rasa dan suara keadilan tidak pada kekuasaan tekanan
(I. S. Susanto, 1997).
Sehubungan dengan uraian tersebut di atas kemandirian lembaga kepolisian
yang merupakan sub sistem dari lembaga peradilan dalam penegakan hukum
mempunyai daya tarik tersendiri. Hal ini disebabkan karya kepolisian itu tersebar
secara jelas di mana-mana selama dua puluh empat jam. (Satjipto Rahardjo dan
Anton Tabah, 1993: 147). Dengan demikian dari pendapat tersebut menunjukkan,
bahwa kepolisian merupakan tokoh utama dalam pelaksanaan penegakan hukum.
Terlepasnya polisi dari ABRI (TNI) sejak 1 April 1999 dengan Instruksi
Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan
Kepolisian Negara RI dari ABRI, di mana Polri berada di bawah Departemen
Pertahanan dan Keamanan. Kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden
Nomor 89 Tahun 2000, terhitung sejak 1 Juli 2000 Kepolisian RI secara resmi
berpisah dari Departemen Pertahanan, yang selanjutnya akan langsung berada di
bawah wewenang presiden. Dengan demikian Kepala Kepolisian RI juga
bertanggung jawab langsung kepada Presiden ( Pasal 2 butir 3 Keputusan Presiden
Nomor 89 Tahun 2000). Lebih lanjut pada tanggal 18 Agustus Tahun 2000
pemisahan Kepolisian Negara RI dari TNI secara tegas dituangkan dalam Ketetapan
MPR Nomor VI/MPR/2000, dan sejak saat itu juga Kepolisian RI berada di bawah
Presiden. ( Pasal 7 ayat (3) Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000). Selanjutnya
ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolosian Negara
Republik Indonesia pada Pasal 18 bahwa, Kepolisian Negara RI berada di bawah
Presiden , yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden.
Pemisahan kepolisian dari Departemen Pertahanan dan TNI tersebut tentu saja
perlu kita sambut gembira. Namun apakah terpisahnya polisi dari Departemen
Pertahanan dan TNI tersebut akan membawa polisi menjadi lebih mandiri dalam
menyelenggarakan fungsi penegakan hukum?
Dalam realitanya selama lebih dari 10 tahun setelah reformasi penegakan
hukum khususnya melalui proses peradilan pidana teruma yang melibatkan aparat
kepolisian, sering melakukan penyimpangan terhadap hukum dan sering
mengabaikan kemanusiaan yang berdampak negatif pada hubungan antara lembaga
kepolisian tersebut dengan masayarakat. Banyak keluhan masyarakat terhadap
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh lembaga kepolisian, menunjukkan kurang
berfungsinya mekanisme pengawasan atau kontrol terhadap bekerjanya lembaga
kepolisian dalam menyelenggarakan fungsi penegakan hukum. Hal ini dapat terlihat
belum adanya perubahan perilaku lembaga peradilan tersebut dalam menangani suatu
kasus masih menunjukan adanya diskriminasi dalam menyelenggarakan pelaksanaan
penegakan hukum dalam peradilan pidana. Dalam kasus tindak pidana yang
dilakukan oleh rakyat kecil (kejahatan warungan) atau konvensional aparat penegak
hukum, polisi cepat bertindak atau pedang hukum sangat tajam ketika menghadapi
Nenek Minah yang buta hurup di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, didakwa
mencuri 3 buah kako di kebun PT Rumpun Sarai Antan, di hukum satu bulan 15 hari.
Hukumpun sempat merampas kebebasan Lanjar Sriyanto Warga Solo, Jateng, dalam
kecelakaan lalu lintas. Lanjar dianggap lalai mengendarai motor sengaja
menghilangkan nyawa istrinya. Alih-alih mengayomi dengan Pasal 359 KUHP aparat
justru menjaring dan memasukkan dalam penjara selama satu bulan . Demikian juga
kasus Rustono di Batang yang dituduh mencuri buah randu seharga Rp 12.000,-. Juga
kasus Besar Suyanto dan Kholil di Kediri yang mencuri semangka serta kasus
pencurian kaus bekas oleh Aspuri di kota Serang. Namun apabila dalam kasus
diduga ada pejabat yang terlibat para penegak hukum enggan untuk melakukannya
atau hukum menjadi tumpul/lembek, seperti dalam kasus atau skandal Bank Century
sampai sekarang aktor utama dibalik kasus tersebut belum terungkap. (Kompas,
tanggal 15 Februari 2010: 5). Di samping itu banyak kasus mengungkapkan
terjadinya praktik penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi di
lingkup kepolisian, kejaksaan, pengadilan, sampai pengacara. Cantoh kasus aktual,
rekaman Anggodo Widjoyo yang mengkriminalisasikan dua pimpinan KPK Bibit
Samad Rianto dan Candra M. Hamzah. Hal ini menunjukakan bahwa kepolisian
bukan mengabdi untuk kepentingan hukum, tetapi untuk pemodal, makelar, dan
kepentingan politik. Semua itu menunjukkan betapa bobroknya institusi penegak
hukum di Indonesia (Kompas, tanggal 7 Februari 2010: 23). Berita yang membuat
geger Mabes Polri yakni, pernyataan atau laporan Susno Duaji kepada Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum tentang para perwira yang yang diduga jadi makelar
kasus pajak senilai Rp 24 miliar. (Koran Tempo, 21 Maret 2010: A1).
Bertitik tolak pada uraian tersebut di atas perlu kiranya kemandirian lembaga
kepolisian dalam menyelenggarakan fungsi penyidikan dalam rangka penegakan
hukum dan keadilan pada peradilan pidana pada era reformasi sangat menarik untuk
dikaji, agar dapat mengetahui gambaran tentang kemandirian bekerjanya lembaga
kepolisian dalam menyelenggarakan funsi penyidikan dalam rangka penegakan
hukum dan keadilan pada peradilan pidana.

Konsep Penegakan Hukum dalam Konteks Sistem Peradilan pidana


Sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka
(machtstaat). Konsekuensi logis yang timbul, hukum harus menjadi ”center of
action” , semua aspek kehidupan berbangsa , bernegara dan bermasyarakat, harus
mengacu kepada hukum yang berlaku. Hal ini mengandung arti bahwa semua
tindakan pemerintah (pemegang kekuasaan) dan subjek hukum didasarkan pada
hukum, dan pemerintah mempunyai kewajiban untuk merealisasikan fungsi hukum
di negara hukum.
Berkaitan dengan fungsi hukum Sudikno Mertokusumo mengemukakan
bahwa, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar
kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum
dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran
hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui
penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Dalam menegakan hukum ada
tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit),
kemamfaatan (Zweckmassigkeid) dan keadilan (Gerechtigkeid). (Sudikno
Mertokusumo, 1991: 134). Berkaitan dengan keadilan yang merupakan salah satu
bagian dari fungsi hukum, maka setiap warga negara harus diperlakukan secara sama
sebagaimana warga negara mempunyai hak untuk hidup lainnya yang harus
dilindungi oleh hukum dan pemerintah.( Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 28A dan Pasal 28D ayat (1)).
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas secara teoritis , hukum di Indonesia
sudah mengemas nilai-nilai filosofis, yuridis dan sosiologis sebagaiman yang dituntut
oleh hukum. Namun apresiasi hukum dalam praktik di lapangan banyak menghendaki
kendala. Dampaknya sangat luas antara lain: hukum menjadi sakit, instrument hukum
kurang memadahi, aparatur penegak hukum kurang berwibawa dan system peradilan
tidak efektif.
Penegakan hukum yang ideal harus disertai dengan kesadaran bahwa
penegakan hukum merupakan sub sistem sosial, sehingga pengaruh lingkungan cukup
berarti seperti pengaruh perkembangan politik, sosial, ekonomi, pertahanan dan
keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan sebagainya. Hanya
komitmen terhadap prinsip-prinsip Negara hukum sebagaimana tersurat dan tersirat
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana
diuraikan di atas serta asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa yang
beradaplah yang dapat menghindarkan diri para penegak hukum dari praktik negative
akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut di atas.
Berkaitan dengan penegakan hukum tersebut Satjipto Rahardjo mengemukakn
bahwa penegakan hukum adalah suatu proses mewujudkan keinginan-keinginan
hukum yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan
dal;am peraturan-peraturan hukum menjadi kenyataan. (Satjipto Rahardjo, :24). Hal
tersebut relevan dengan Laporan Seminar Hukum Nasional Ke IV tahun 1979 yang
dikutif Barda Nawawi Arif, bahwa penegakan hukum adalah keseluruhan kegiatan
dari pelaksanaan penegak hukum kerah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan
terhadp harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, dan kepastian hukum
sesuai dengan Undan-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Barda
Nawawi Arif, 1998: 8).
Dengan demikian dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa
penegakan hukum adalah merupakan suatu proses, kegiatan atau pekerjaan agar
hukum itu tegak dan dapat mencapai keadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
harus ada suatu penyesuaian antara nilai-nilai atau kaidah-kaidah dengan pola
perilaku nyata yang dihadapi oleh petugas aparat penegak hukum. Sehubungan
dengan pendapat tersebut Jumly Assiddiqie, mengemukakn bahawa:
“Penegakan hukum dalam arti luas, kegiatan penegakan hukum mencakup
segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah
normative yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan
sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit,
penegakan hukum menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap
pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan ,
khususnya melalui proses peradilan yang melibatkan peran aparat kepolisian,
kejaksaan, advokat atau pengacara dan badan-badan peradilan”. (Jimly
Assiddiqie, 2006: 23).

Sebagaimana telah diuraiakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu


proses, yakni proses untuk mewujudkan hukum yang masih abstrak menjadi konkrit.
Artinya peraturan perundang-undangan tidak banyak arti apabila tidak diaplikasikan
secara konkrit oleh petugas.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum dipengaruhi oleh lima faktor;
yakni: ”1. hukumnya atau peraturan itu sendiri.
2. penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
Hukum.
3. sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku, atau
diterapkan.
5. kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup”. (Soerjono Soekanto,
1983: 34).

Dari kelima faktor tersebut satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi
penyelenggaraan proses penegakan hukum dalam peradilan di Indonesia. Meskipun
demikian dari kelima faktor tersebut , faktor penegak hukum atau manusialah yang
lebih dominan dibandingkan dari keempat faktor lainnya. Betapa pun undang-
undangnya sudah baik, didukung dengan sarana yang memadai serta partisipasi yang
positif dari masyarakat, namun bila ditangani oleh aparat penegak hukum yang
kurang bertanggung jawab serta kurang memiliki moral yang baik, dapat dipastikan
akan menghasilkan penegakan hukum yang bisa mengarah pada penyimpangan yang
merugikan negara dan pencari keadilan.
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Antonius Sujata, bahwa keberhasilan
penegakan hukum ditentukan oleh orang yang menegakkannya, yaitu aparat penegak
hukum. Lebih lanjut Antonius Sujato yang mengutip pendapat seorang pakar hukum
Belanda Profesor Taverne, mengemukakan bahwa “berilah aku hakim yang baik,
jaksa yang baik serta polisi yang lebih baik, maka dengan hukum yang buruk sekali
pun akan memperoleh hasil yang lebih baik”. (Antonius Sujata, 2000: 7). Hal yang
sama dikemukakan oleh Jimly Assidiqi, bahwa aktor-aktor utama yang perananya
sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara
dan hakim. (Jimly Asshiddiqie, 2006: 23).
Sehubungan dengan penegakan hukum tersebut, dari tata hukum Indonesia
secara skematis dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, dan tiap
sistem penegakan hukum tersebut didukung oleh alat perlengkapan negara sendiri
pula. Ketiga sistem penegak hukum yang dimaksud adalah penegakan hukum
perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegaklan hukum administrasi
negara. (Sudarto, 1986: 179). Disamping ketiga sistem penegakan hukum tersebut
yang keempat yakni penegakan hukum konstitusi (hukum ketatanegaraan). (Agus
Subroto, 2010: 1)
Berbicara mengenai sistem penegakan hukum pidana atau sistem peradilan
pidana, secara langsung teringat dan bersentuhan dengan masalah kebenaran dan
keadilan. Karena memang ide dan filosofis peradilan pidana bertujuan untuk
menegakkan ketertiban, kebenaran dan keadilan. Menurut M. Faal yang dimaksud
dengan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) adalah suatu sistem
berprosesnya suatu peradilan pidana, masing-masing komponen fungsi yang terdiri
dari kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntu umum, pengadilan
sebagai sebagai pihak yang mengadili dan lembaga pemasyarakatan yang berfungsi
untuk memasyarakatkan kembali para terhukum, yang bekerja secara bersama-sama,
terpadu di mana usaha untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk menanggulangi
kejahatan. (M. Faal, 1987: 24).
Berkaitan dengan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana tersebut
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, yang terdiri atas 22 Bab yang meliputi 268 pasal, sebagian besar mengatur
tentang kewenangan dari lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana.
Memperhatikan masih tampaknya gejala fragmentaris gerak operasional sub-
sub sistem peradilan pidana pada satu pihak, dan adanya kebutuhan pemahaman
pendekatan sistem (system approach), di mana kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendiri, tetapi
merupakan unsur penting dan berkaitan satu sama lain dalam penegakan hukum
pidana yang tampaknya kini sudah cukup menggejala sebagai suatu kebutuhan
international distrurbing issue (tanpa menutup mata terhadap adanya gerakan-
gerakan yang menyangsikan kemampuan sistem peradilan pidana dalam
menanggulangi kejahatan pada pihak lain). Hal demikian ini terjadi di Amerika
Serikat, dalam menanggulangi kejahatan juga diperkenalkan dan dikembangkan
pendekatan sistem sebagai pengganti pendekatan hukum dan ketertiban. Adapun ciri-
ciri pendekatan sistem tersebut adalah sebagai berikut:
a. Titik berat pada koordinasi danm sinkronosasi komponen peradilan seperti
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
b. Pengawasan dan pengedalian kekuasaan oleh komponen peardilan pidana.
c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara.
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan ”the
administration of jastice”. (Romli Atmasasmita, 1995: 9).

Keterpaduan gerak sistematik sub-sistem peradilan pidana dalam proses


penegakan hukum tentunya sangat diharapkan di dalam pelaksanaanya. Salah satu
indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah “sinkronisasi” pelaksanaan
penegakan hukum. Sinkronisasi di kalangan sub-sub sistem peradilan pidana yang
terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan penting
untuk diperhatikan dalam kerangka sistem itu mencapai tujuannya menanggulangi
kejahatan di dalam masyarakat.

Struktur Organisasi Penegak Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana


Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal
justice system) terdiri dari 4 (empat) sub-sistem, yaitu badan/lembaga penyidikan,
badan/lembaga penuntut umum, badan/lembaga pengadilan, dan badan/lembaga
pelaksana putusan/pidana. Apabila dilihat dari tingkat acara pidananya dibagi 4
(empat) tahap, yaitu:
a. Penyidikan yang dilakukan oleh polisi negara (Penyidik)
Tahap penyidikan ini merupakan tahap awal dalam penanganan perkara yang
dilakukan oleh penyidik. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencarai serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadidan
guna menentukan tersangkanya (UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pida, Pasal 1 angka 2). Tindakan pertama dari penyidikan
adalah penyelidikan, yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menentukan suatu peristiwa yang didugasebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP
(UU no. 8 tahun 1981 Pasal 1 angka 5). Semua Polisi Negara Republik Indoneasia
mulai dari pangkat terendah sampai dengan pangkat tertinggi adalah penyelidik
(polisi adalah penyelidik tunggal). Dalam melakukan penyidikan, penyidik diberi
kewewenang oleh undang-undang (KUHAP) untuk melakukan tindakan yang berupa
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, dan pemeriksaan surat, dan
menjalankan tugas dan kewenangannya itu penyidik harus memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya: (1) dalam melakukan penangkapan,
penyidik harus membawa surat perintah penangkapan dengan menunjukkan identitas
dirinya, dan lamanya penangkapan paling lama 1 X 24 janm (UU No. 8 tahun 1981
Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19); (2) dalam melakukan penahanan juga harus
membawa surat perintah penahanan, dan penahanan dilakukan terhadap tersangka
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, adanya
kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Penyidik hanya dapat melakukan
penahanan terhadap tersangka untuk jangka waktu 20 (dua puluh hari) dan dapat
diperpanjang oleh penuntut umum untuk waktu palinglama 40 (empat puluh) hari
(UU No, 8 Tahun 1981 Pasal 20-31); (3) dalam melakukan penggeledahan badan,
penyidik harus nengindahkan kesopanan, sedangkan dalam melakukan
penggeledahan rumah harus disertai suart ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat dan
disaksikan oleh dua orang saksi. Apabila penghuni rumah menolak, maka
penggeledahan tetap dilakukan di sanping harus dengan surat/ ijin ketua pengadilan
negeri setempat juga harus disaksikan oleh dua orang saksi dan kepala desa/lurah atau
ketua lingkungan. (UU No. 8 Tahun 1981 psal 32-37); (4) dalam melakukan
penyitaan, penyidik harus membawa surat izin dari Ketua pengadilan negeri setempat
(UU no. 8 Tahun 1981 Pasal 38-46); (5) dalam melakukan peneriksaan surat,
penyidik harus membawa surat ijin dari ketua pengadilan negeri (UU No. 8 Tahun
1981 Pasal 47-49). Namun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan
tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat
sebagaimana tersebut di atas dapat dikecualikan bila mana dalam keadaan yang
sangat perlu dan mendesak dan penyidik harus segera bertindak.
b. Penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa atau penuntut umum
Tahap penuntutan ini dilakukan oleh Jaksa sebagai penuntut umum atas
perkara pidana yang telah selesai dilakukan penyidikan oleh penyidik. Penyidik
setelah selesai melakukan penyidikan menyerahkan perkaranya (berkas perkara
beserta tersangkanya) kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan. Sebelum
melakukan penuntutan terlebih dahulu dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari jaksa
menilai kelengkapan alat bukti maupun berkas perkara yang diserahkan oleh
penyidik. Apabila jaksa menilai masih terdapat kekurangan untuk pembuktian di
persidangan, maka jaksa mengembalikan hasil penyidikan kepada penyidik disertai
dengan petunjuk untuk melengkapi, dalam waktu 14 hari setelah penyerahan berkas
perkara (prapenuntutan). Penuntutan adalah tindakan penunutut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadian negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang (KUHAP) dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan UU No. 8 tahun1981 Pasal 1
angka 7). Dalam tahap ini penuntut menyusun surat dakwaan untuk perkara pidana
yang bersangkutan berdasrkan hasil penyidikan yang diterimanya dari penyidik.
Selama melakukan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan
terhadap tersangka untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan negeri untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Baik dalam tahap pertama maupun tahap penuntutan, pejabat yang
bersangkutan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus hati-hati, cermat
secara profesional, karena kesalahan yang dilakukan akan berakibat tuntutan ganti
kerugiandan rehabilitasi dari pihak tersangka atau pihak yang berkepentinagan
kepada dirinya (penyidik dan penuntut umum) melalui lembaga praperadilan.
Praperadilan merupakan kewenagan pengadilan untuk memeriksa dan
mengadili sah tidaknya penangkapan, sah atau tidaknya penahan, sah atau tidaknya
penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan, sah tidaknya penghentian
penuntutan serta rehabilitasi dan atau ganti rugi sebagai akibat: (a) ditangkap, ditahan,
dituntut dan diadili atau tindakan lain tanpa alasan yang sah berdasar undang-undang;
(b) sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan; dan (c) akibat kekeliruan
mengenai orangnya. Permohonan praperadilan dapat diajukan oleh: (1) tersangka atau
oleh kuasa hukumya, dalam hal adanya penangkapan atau penahanan atau tindakan
lain tanpa alasan UU atau kekeliruan mengenai orangnya, serta permohonan
rehabilitasi dan ganti kerugian atas tidak sahnya penghentian penyidikan, penuntutan
atau karena tindakan lain yang tidak berdasarkan UU; (2) pihak ketiga yang
berkepentingan dalam hal adanya penghentian penyidikan dan penuntutan; (3)
penyidik dalam hal ini dihentikan perkara oleh penuntut umum; (4) penuntut umum
dalam hal dihentikan perkara oleh penyidik.
c. Pemeriksaan di depan sidang pengadilan oleh hakim
Pemeriksaan di depan sidang dilakukan setelah tahap penuntutan selesai oleh
penuntut umum. Kemudian penuntut umum melimpahkan berkas perkara kepada
ketua pengadilan negeri yang berwenang, dengan memohon perkara yang
bersangkutan untuk diperiksa oleh hakim di sidang pengadilan. Pemeriksaan di
sidang pengadilan dapat dilakukan dengan acara pemeriksaan biasa, singkat dan acara
pemeriksaan cepat.
Untuk pemeriksaan di sidang pengadilan dengan acara pemeriksaan biasa
prosedurnya secara garis besar adalah sebagai berikut: (a) hakim membuka sidang
terbuka untuk umum, kecuali untuk perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak;
(b) yang diperiksa peratama kali adalah terdakwa; (c) kemudian hakim ketua sidang
mempersilakan penutut umum membacakan surat dakwaan; (d) selanjutnya
pemeriksaan terhadap saksi-saksi, baik saksi yang memberatkan dakwaan (a charge)
maupun saksi yang meringankan dakwaan ( adecharge), demikian juga saksi ahli atau
keterangan ahli. Bilamana perlu dalam pemeriksaan terdakwa dan saksi-saksi, hakim
ketua sidang dapat memperlihatkan kepada mereka segala barang bukti dan dan
menanyakan apakah mereka mengenal benda itu; (e) setelah pemeriksaan dinyatakan
selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (requisatoir); (f) kemudian
terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan pembelaannya (pledoit); (g)
selanjutnya penuntut umum dapat mengajukan jawaban atas pembelaan terdakwa atau
penasehat hukumnya, dan terdakwa atau penasehat hukumnya dapat mengajukan
jawaban atas jawaban penuntut umum tersebut; (h) jika acara tersebut telah selesai,
hakim ketua sidang menyatakan pemeriksaan ditutup (untuk musyawarah hakim
mmengambil keputusan) dengan ketentuan dapat dibuka kembali untuk pembacan
putusan hakim; (i) setelah sidang dibuka kembali dan terbuka untuk umum hakim
ketua membacakan keputusannya.
Untuk pemeriksaan sidang perkara pidana dengan acara pemeriksaan singkat
diajukan/dilakukan oleh jaksa maupun hakim apabila perkara pidana baik berupa
kejahatan atau pelanggaran yang menurut jaksa penuntut umum cara pembuktian
maupun penerapan hukum mudah dan sifatnya sederhana (UU No. 8 Tahun 1981
Pasal 203). Pemeriksaan perkara singkat dilakukan tanpa perlu adanya surat dakwaan
khusus dari jaksa.
Untuk pemeriksaan cepat, dapat dilakukan terhadap tindak pidana ringan
(perbuatan pidana yang dilakukan terhadap tindak pidana ringan (perbuatan pidana
yang diancam pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau
pidana denda paling banyak Rp 7. 500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah), penghinaan
ringan dan tindak pidana dalam pelanggaran lalu lintas.
d. Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga pemasyarakatan di
bawah pengawasan ketua pengadilan yang bersangkutan
Sebelum uraian pelaksanaan putusan dirumuskan perlu ketahui terlebih
dahulu mengenai jenis-jenis putusan dalam hukum pidana dan upaya hukum. Jenis-
jenis putusan dalam hukum pidana, yaitu : (1) Putusan bebas, apabila seluruh
dakwaan jaksa tidak terbukti; (2) Putusan lepas, apabila dakwaan jaksa terbukti, tetapi
bukan merupakan perbuatan pidana, serta terdapat alasan penghapus pidana dan
penghapusan penuntutan; dan (3) Putusan pidana, apabila: (a) perbuatan yang
dilakukan merupakan perbuatan pidana: (b) dakwaan terbukti atau terdapat alat bukti
yang cukup; dan (c) tidak ada alasan penghapus pidana.
Bagi pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan hakim dapat melawan
putusan tersebut melalui upaya hukum. Upaya hukum dapat dikatakan sebagai usaha
melalui saluran hukum dari para pihak yang berperkara untuk melawan keputusan
hakim yang dianggap tidak adil atau tidak tepat. Upaya hukum menurut KUHAP
dibgi dalam upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa dengan pengaturan
masing-masing tersendiri. Upaya hukum biasa meliputi banding dan kasasi ( diatur
dalam UU No. 8 tahun 1981 BAB XVII Upaya Hukum Biasa Pasal 233-258),
sedangkan upaya hukum luar biasa meliputi kasasi demi kepentingan hukum dan
peninjaun kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
( diatur dala UU No. 1981 BAB XVIII Uapaya Hukum Luar Biasa , Pasal 259 – 269).
Setelah hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa, dan jika putusan hakim
itu berupa putusan pemidanaan (pidana0 yang berarti kesalahan terdakwa atas
perbuatan yan didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
jaksa dapat menahan terdakwa/terpidana dengan segera bila terdakwa tidak ditahan
sebelumnya atau jaksa dapat melanjutkan penahanan terhadap terdakwa sebelumnya.
Atas putusan hakim yang berupa pemidanaan ini kemudian jaksa membawa terpidana
ke Lembaga Pemasyaraktan untuk menjalani putusan hakim tersebut.

Kemandirian Lembaga Kepolisian dalam Penegakan Hukum Pada Era


Reformasi
Kepolisoian Negara Repubblik Indonesia sebagai salah satu aparat penegak
hukum, malaluiInstruksi Presidean Nomor 2 tahun 1999 yang berlaku sejak 1 April
di mana Polri dipisahkan kedudukan organisasinya dari ABRI. Selanjutnya
berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 89 Tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000
Kepolisian Negara Indonesia ditetapkan kedudukannya berada langsung di bawah
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lebih lanjut pada tanggal 18
Agustus 2000 ditegaskan lagi bahwa Keplosian Negara RI dipisahkan dari TNI yang
ditiuangkan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI
dan Kepolisian Negara RI. Selanjutnya ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2
tahun 2002 tentang Kepolosian Negara Republik Indonesia pada Pasal 18, bahwa
kepolisian Negara RI berada di bawah presiden , yang dalam pelaksanaan tugasnya
bertanggung jawab kepada Presiden.
Bertitik tolak pada uraian tersebut di atas dapat dikemukakn bahwa sejak
tanggal 1 Juli 2000 secara yuridis formal dari segi kelembagaan Polri sudah mandiri
dalam arti terpisah dari TNI. Namun dalam realita secara operasional masih terdapat
kendala untuk terwujudnya kemandirian bekerjanya lembaga kepolisian dalam proses
penyidikan tersebut baik bersifat intern berasal dari dalam lembaga kepolisian itu
sendiri dalam hal ini perilaku polisi selaku reserse (penyidik) maupun ekstern berasal
dari luar perilaku plisi selaku penyidik.

Kendala yang Bersifat Intern terhadap Kemandirian Bekerjanya Lembaga


Kepolisian dalam Menyelenggarakan Fungsi Penyidikan pada Peradilan Pidana
Era Reformasi
Kendala yang bersifat intern ini berupa perilaku polisi selaku reserse dalam
proses penyidikan masih memperlihatkan pola militer, yakni dengan kekerasan
melanggar HAM dan diskriminatif serta belum memperhatikan kinerja yang
profesional. Dengan perkataan lain bekerjanya lembaga kepolisian dalam hal ini
polisi selaku penyidik dalam menyelenggarakan fungsi penegakan hukum meskipun
sudah terlepas dari TNI belum memperlihatkan kultur sipil atau polisi sipil yakni,
menjalankan tugas tidak menerapkan cara yang pendek dan gampang, seperti
memaksa menggunakan kekerasan belaka, tetapi kesediaan untuk mendengar dan
mencari tahu hakekat dari penderitaan manusia. Hal tersebut dapat digambarkan
berikut ini:
a. Polisi lamban dalam mnindak lanjuti laporan sering tidak menunjukkan
surat akibatnya penyidik digugat praperadilan.
b. Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sering tidak
menunjukkan surat perintah penangkapan maupuan perintah penahanan.
c. Sering terjadi penggeledahan dan penyitaan dilakukan tanpa
pemberitahuan atau setidak-tidaknya sepengetahuan pihak-pihak yang
berwenang.
d. Untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka, sering terjadi
penggunaan kekerasan fisik yang mengesampingkan pendekatan
psykologis, terutama pemeriksaan yang berkaitan dengan kasus
curanmor, curat, curras, dan penyalahgunaan narkoba serta kasus
pembunuhan.
e. Sering terjadi perlakuan yang diskriminatif terhadap tahanan karena
faktor ekonomi maupun kekuasaan dan berdasarkan jenis kelamin.
f. Untuk mempermudah pemeriksaan sering terjadi, tersangka tidak
didampingi oleh penasehat hukum, dengan cara manakut-nakuti atau
mengancam tersangka jika menggunakan penasehat hukum bukan
pilihan polisi penyidik.
g. Sering bersikap defensif, tidak akomodatif dan tidak terbuka dalam
pelaksanaan rekonstruksi, sehingga sering terjadi perselisihan antara
penyidik dengan penasehat hukum.
h. sering terjadi reduksi perkara yang dilaporkan baik oleh korban maupun
pengadu dari masyarakat. Terutama jika yang terlibat ”saudara tua” atau
keluarganya, teman sejawat atu keluarganya, lebih-lebih yang terlibat
atasannya dan juga penyandang dana.
i. Dalam pengungkapan suatu kasus sering minta bantuan dari korban atau
pelapor terutama yang terkait dengan kasus curanmor dengan istilah
”kemitraan” , ”parmas” dan ”susu”.
j. Belum memperlihatkan pertanggungjawaban kepada korban atau pelapor
(horizontal) melainkan masih memperlihatkan pertanggungjawaban
kepada atasan (vertikal).

Kendala yang bersifat ekstern terhadap kemandirian bekerjanya lembaga


kepolisian dalam menyelenggarkan fungsi penyidikan dalam rangka penegakan
hukum dan keadilan pada peradilan pidana era reformasi
Sebagaimana telah dikemukan kendala yang bersifat ekstern yang dimaksud
adalah berasal dari luar perilaku polisi penyidik yaitu:
a. Instrumen hukum atau peraturan perundang-undangan yang belum memadai.
Artinya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara penuh mengenai
kewenangan kemandirian bekerjanya lembaga kepolisian dalam
menyelenggarakan fungsi penyidikan dalam rangka penegakan hukum dan
keadilan pada peradilan pidana.
b. Intervensi yang bersifat vertikal dan horizontal, yang dapat digambarkan sebagai
berikut:
1) Intervensi yang bersifat vertikal berasal dari atasan yang mempunyai
kepentingan
secara pribadi terhadap kasus yang sedang dalam penyidikan oleh polisi reserse
sebagai bawahannya. Bentuk intervensi yang dimaksud adalah dengan cara
komunikasi ”minta dipending” atau minta ”dibantu”.
2) Intervensi yang bersiofat horizontal berasal dari “saudara tua” , teman sejawat,
kekuatan politik, kekuatan ekonomi dan masyarakat baik secara individu
maupun secara massal, yang dapat digambarkan sebagai berikut.
a) Intervensi dari teman sejawat atau ”sudara tua” terjadi jika dalam suatu
kasus melibatkan teman sejawat termasuk keluarganya dan atau ”saudara
tua” termasuk keluarganya;
b) Intervensi yang bernuansa politis, terjadi jika untuk menyelesaikan kasus-
kasus yang mempunyai kaitan jabatan strategis baik bersifat lokal maupun
nasional yang selama ini terlalu kuat bukan dari lembaga yudisial, sehingga
kepolisian secara operasional tidak mempunyai kemandirian dalam
menyelenggarakan fungsi penyidikan pada peradilan pidana;
c) Intervensi dari klekuatan ekonomi, yakni berupa pemberian dana dari
masyarakat dan para pengusaha atau badan usaha yang merupakan uang
sogok atau kolusi tidak hanya kasuistis yang dilakukan oleh oknum,
melainkan praktik resmi di Polri. Untuk menutupi praktik resmi tersebut
digunakan jargon ”kemitraan”, ”parmas” (partisipasi masyarakat) dan
”susu” (sumbangan suka rela). Penyelewengan di tingkat organisasi ini
menjadi model bagi anggota reserse untuk menyelewengkan
kewenangannya dan mereka tidak sensitif terhadap isu-isu korupsi dan
kolusi;
d) Intervensi dari masyarakat baik secara individu maupun massal. Secara
individu sering terjadi jika individu atau keluarganya atau penasehat
hukumnya, yang berkaitan dengan penahanan atau pelaksanaan
rekonstruksi. Sedangkan secara massal, jika dalam kasus melibatkan massa
atau kelompok;
e) Keterbatasan anggaran untuk mendukung operasional penyidikan,
memunculkan sejumlah ekses di lapangan, karena tugas tetap harus
dilaksanakan. Untuk mengatasi keterbatasan anggaran atau dana tersebut
yang dilakukan polisi selaku reserse menggunakan istilah ”dengan
pengertian korban”, sehingga muncul dana ”kemitraan”, ”parmas” dan
”susu”.

Aspek-aspek yang Berperan Mendukung dalam Kemandirian Bekerjanya


Lembaga Kepolisian dalam Penegakan Hukum dan Keadilan pada Peradilan
Pidana
1. Aspek Hukum atau Peraturan Perundang-undangan, adanya peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara tegas mengenaikemandirian
bekerjanya lembaga keploisian dalam menyelenggarakan fungsi penyidikan
dalam rangka penegakan hukum dan keadilan pada peradilan pidana sangat
diperlukan. Hal ini penting karena, salah satu tonggak supremasi hukum
adalah keberadaan kepolisian yang mandiri yang ditandai profesionalismer
atau keberadaan lembaga penyidikan yang mandiri dan terpadu.
2. Aspek struktur organisasi, untuk menunjang kemandirian bekerjanya lembaga
kepolisian dalam penegakan hukum dan keadilan pada peradilan pidana lebih
tepat tidak diletakkan di bawah presiden melainkan diletakkan di bawah
kekuasaan kehakiman agar tidak terjadi intervensi dari presiden jika presiden
terlibat dalam kasus yang sedang dalam penyidikan.
3. Aspek pemerintah (political will), pemerintah harus betul-betul menunjukkan
adanya kemauan politik yang tinggi yang menunjukkan lembaga kepolisian
sungguh-sungguh sebagai pintu gerbang peradilan pidana atau merupakan
organisasi terdepan sebagai penewgak hukum dalam sistem peradilan pidana.
4. Aspek sumber daya manusia polisi penyidik, sebagian besar masih kurang
pengetahuan baik di bidang manajemen maupun identifikasi terutama di
tingkat Polres maupun Polsek. Dalam melakukan penyidikan terhadap senua
jenis kejahatan belum dilakukan oleh penyidik yang mempunyai keahlian
khusus yang terkait dengan jenis-jenis kejahatan yang terjadi melainkan
dilakukan oleh reserse umum. Dalam rangka meningkatkan sumber daya
polisi penyidik peningkatan ilmu pengetahuan dan pendidikan mempunyai
peranan yang penting dalam rangka kemandiriannya.
5. Aspek anggaran, sarana dan prasarana, mempunyai peranan penting dalam
mewujudkan kemandirian bekerjanya lembaga kepolisian dalam penegakan
hukum dan keadilan pada peradilan pidana. Untuk itu diperlukan anggaran
operasional yang memadai dan perlu ditingkatkan kesejahteraan anggota
reserse dengan gaji yang memadai, sehingga tidak mudah untuk diintervensi
dari kekuatan ekonomi.
6. Aspek masyarakat, adanya kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan
tugas polisi selaku penyidik dan adanya kesadaran hukum dari masyarakat
baik korban, pelapor/pengadu maupun aparat penegak hukum khususnya
polisi selaku penyidik. Tanpa adanya kepercayaan masyarakat terhadap polisi
dalam penegakan hukum dan keadilan pada peradilan pidana dan tanpa
adanya kesadaran hukum masyarakat (termasuk polisi), kemandirian lembaga
kepolisian dalam penegakan hukum dan keadilan pada peradilan pidana sulit
untuk diwujutkan.
7. Aspek Moral, mempunyai peran yang sangat penting untuk mewujutkan
kemandirian bekerjanya lembaga kepolisian dalam menyelenggarakan fungsi
penegakan hukum pada peradilan pidana. Sebagai aparat penegak hukum
yang mempunyai integritas pmoral yang tinggi dapat membedakan antara
yang baik dan yang buruk, antara yang benar dengan yang tidak benar,
sehingga dalam melaksankan fungsi penegakan hukum dan keadilan pada
peradilan pidana tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan apapun dan dari
mana pun.
8. Aspek kultur, sesuai dengan tuntutan ,masyarakat yakni terciptanya
masyarakat madani atau civil society, maka diperlukan polisi yang
melindungi, mengayomi, dan menjamin tegaknya hukum yang bersuara
kebenaran dan keadilan. Untuk itu berkaitan dengan kemandirian bekerjanya
lembaga kepolisian dalam penegakan hukum pada peradilan pidana, perlu
pengembangan metode dan pebdekatan yang tidak bersifat militeristik (polisi
sipil), tidak dengan kekerasan dan menghormati HAM tersangka maupun
korban serta memperhatikan aspek-aspek dan dinamika masyarakat sebagai
lingkungannya dengan menjalnakn prinsip-prinsip akuntabilitas polisi selaku
penyidik kepada kortban/pelapor/pengadu di samping kepada atasan.

Penutup
Berdasarkan uraian mengenai kemandirian lembaga kepolisian dalam
penegakan hukum pada peradilan pidanapada era reformasi dapat dikemukakan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara yuridis formal diakui bahwa dari segi kelembagaan sudah mandiri
dalam arti terpisah dari TNI sejak 1 Juli 2000, yakni dengan Keputusan
Presiden No. 89/2000 dan ditegaskan dalam Ketetapan MPR No.
VI/MPR/2000 sejak 18 Agustus 2000, serta dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Keplosian Republik Indonesia. Namun secara operasional
kemandirian bekerjanya lembaga kepolisian dalam menyelenggarakan fungsi
penegakan hukum pada peradilan pidana pada era reformasi belum dapat
terwujud, karena masih terdapat kendala yang bersifat internal dan ekternal.
Kendala yang bersifat internal berupa perilaku polisi penyidik masih
memperlihatkan perilaku yang militeristik cenderung menggunakan
kekerasan, melanggar hak-hak tersangka, diskriminatif, tidak transparan dan
tidak akomodatif serta belum memperlihatkan kinerja yang profesional.
Sedang kendala yang bersifat ekstern berupa instrumen hukum yang belum
memadai, intervensi yang bersifat vertikal (atasan) dan horizontal (kekuasaan
politik/pemerintah, ekonomi, ”saudara tua”, teman sejawat, masyarakat),
keterbatasan anggaran, sarana dan prasarana yang mendukung operasional
penyidikan.
2. Aspek yang berperan menunjang dalam kemandirian bekerjanya lembaga
kepolisian dalam menyelenggarakan fungsi penegakan hukum pada peradilan
pidana, antara lain: instrumen hukum yang memadai, struktur organisasi yang
baik, poltical will pemerintah, SDM reserse yang mumpuni, anggaran, sarana
dan prasarana serta kesejahteraan reserse, kepercayaan dan kesadaran hukum
masyarakat, integritas moral reserse dan aspek kultur yakni polisi reserse yang
berperilaku sipil.

Sumber Bacaan

Antonius Sujata. (2000). Reformasi dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Jambatan.

Barda Nawawi Arif. (1998). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan


Pembangunan

Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Jimly Assidiqi. (2006). Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia.


Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

M. Faal. ((1987). Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian).


Jakarta: Pradnya Paramita.

Romli Atmasasmita. (1995). Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme


dan Abolisionisme. Bandung: Binacipta.

Soerjono Soekanto. (1983 ). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.

Sudarto. (1986). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.


Sudikno Mertokusumo. (1991). Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.

Makalah:
Agus Subroto. (2010). Kontribusi Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Mewujudkan
Penegakan Hukum Yang Berwibawa, Makalah Seminar tentang
”Pembaharuan Pendidikan Tinggi Hukum Yang Berorientasi Profesi Dan
Berkeadilan” disampaikan dalam Acara Dies Natalis ke – 64 Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, tanggal 17 Februari 2010.

Mass Media:
Kompas, tanggal 7 Februari 2010.
Kompas, tanggal 15 Februari 2010
Koran Tempo, 21 Maret 2010.

You might also like