PENGARUH VARIASI KETEBALAN CALCIUM TITANATE
TERHADAP PERFORMANSI PEROVSKITE SOLAR CELL DENGAN
SIMULASI SCAPS-1D
SKRIPSI
TEKNIK ELEKTRO KONSENTRASI ELEKTRONIKA
Ditujukan untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Teknik
GIFARI INDRA KEMAL
NIM. 135060300111030
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
MALANG
2020
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya dan
berdasarkan hasil penulusuran berbagai karya ilmiah, gagasan dan masalah ilmiah yang
diteliti dan diulas dalam Naskah Skripsi adalah asli dari pemikiran saya, tidak terdapat karya
ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik pada
perguruan tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain, kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam
sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata dalam naskah Skripsi ini dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan,
saya bersedia Skripsi dibatalkan, serta diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku (UU No.20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
Malang, 7 Agustus 2020
Mahasiswa,
Gifari Indra Kemal
NIM. 135060300111030
Teriring Ucapan Terima Kasih kepada:
Papa, Mama, dan Keluarga tercinta
RINGKASAN
Gifari Indra Kemal, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya,
Juni 2020, Pengaruh Variasi Ketebalan Calcium Titanate Terhadap Performansi Perovskite
Solar Cell dengan Simulasi SCAPS-1D, Dosen Pembimbing: Eka Maulana, S.T., M.T.,
M.Eng. dan Ir. Nurussa’adah, M.T.
Sebanyak 84.7% konsumsi energi dunia pada tahun 2018 berasal dari sumber energi
tak terbarukan (batu bara, minyak bumi, dan gas alam) dan sisanya merupakan konsumsi
dari energi lain (energi nuklir, energi terbarukan, dan energi hydroelectricity). Di Indonesia
khususnya, 96.6% energi yang digunakan merupakan energi fosil.
Salah satu piranti untuk memanfaatkan energi matahari dan mengubahnya menjadi
energi listrik adalah sel surya. Perovskite Solar Cell (PSC) merupakan generasi ketiga dari
sel surya yang sedang banyak dilirik oleh banyak ilmuwan karena efisiensinya yang cukup
tinggi dan harga fabrikasinya cukup murah untuk produksi massal . Pada tahun 2017,
penelitian PSC berhasil menghasilkan efisiensi yang tinggi hingga 22,1% menggunakan
perovskite berbasis Organologam Halida (CH3NH3PbI3).
Dalam penelitian ini, bahan perovskite yang digunakan adalah Calcium Titanate
(CaTiO3) fase kristal tetragonal dengan variasi ketebalan 300 nm, 400 nm, 500 nm, 600 nm,
dan 700 nm. Struktur PSC yang digunakan adalah kaca TCO sebagai substrat, TiO2 fase
kristal anatase sebagai penerima elektron dari CaTiO3, elektrolit sebagai pendonor elektron,
dan karbon sebagai katalis. Luas permukaan dari PSC yang diuji adalah 6.25 cm2 dan sumber
cahaya yang digunakan adalah sinar matahari dengan AM 1.5. Penelitian ini dilakukan
dengan bantuan simulator SCAPS-1D yang mengukur karakteristik I-V dari PSC yang telah
diuji.
Berdasarkan hasil pengujian dengan variabel di atas, diketahui nilai karakteristik yang
berupa tegangan hubung buka (VOC), arus hubung singkat (ISC), daya maksimal (PMAX), serta
efisiensi terbesar pada variasi ketebalan CaTiO3 300 nm. Daya maksimal dan efisiensi yang
dihasilkan sebesar 53.475x 10-6 W dan 8.322 x 10-3 %
Kata kunci: Perovskite Solar Cell (PSC), Titanium dioksida (TiO2), Calcium Titanate
(CaTiO3), SCAPS-1D
SUMMARY
Gifari Indra Kemal, Department of Electrical Engineering, Fakultas of Engineering
University of Brawijaya, Juni 2020, Effect of Calcium Titanate Thickness Variation on
Perovskite Solar Cell Performance with SCAPS-1D Simulation, Academic Supervisor: Eka
Maulana, S.T., M.T., M.Eng. and Ir. Nurussa’adah, M.T.
In 2018, 84,7% of global energy consumption came from non-renewable energy
sources (coal, petroleum,
and natural gas) and the rest was other sources (nuclear
energy, renewable energy, and hydroelectric energy). In Indonesia particularly had used
96,6% of its energy consumption from fossil sources.
One of the devices to utilize solar enegy and transform it to electrical energy is solar
cell. Perovskite Solar Cell (PSC) is the third generation of solar cell that has been looked at
by the researchers because of its high efficiency and low fabrication cost for mass
production. And in 2017, PSC research succeeded in producing high efficiencies of up to
22.1% using organometallic-based perovskite Halides (CH3NH3PbI3).
In this research, Calcium Titanate (CaTiO3) tetragonal phase was used as perovskite
material in PSC with variations in thickness 300 nm, 400 nm, 500 nm, 600 nm ,700 nm. The
PSC structure used is glass TCO as a substrate, anatase crystal TiO2 as the electron receiver
of CaTiO3, electrolyte as an electron donor, and carbon as a catalyst. The surface area of
the PSC to be tested is 6.25 cm2 and the light source used is sunlight with AM 1.5. This
research will be carried out with the help of the SCAPS-1D simulator which will measure
the I-V characteristics of the PSC to be tested.
Based on the test results with the variables above, it is known the characteristic value
in the form of open circuit voltage (VOC), short circuit current (ISC), maximum power (PMAX),
and the highest efficiency in the variation of CaTiO3 thickness of 300 nm. Maximum power
and efficiency produced are 53,475x 10-6 W and 8,322 x 10-3%.
Keywords: Perovskite Solar Cell (PSC), Titanium dioxide (TiO2), Calcium Titanate
(CaTiO3), SCAPS-1D .
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya serta
petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi berjudul “Pengaruh Variasi Ketebalan Calcium Titanate Terhadapat
Performansi Perovskite Solar Cell dengan Simulasi SCAPS-1D” ini disusun untuk
memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik di Jurusan Teknik
Elektro Universitas Brawijaya.
Laporan skripsi ini disusun berdasarkan data dari hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh penulis. Penyusunan laporan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1.
Kedua orang tua penulis, Ayahanda Bagus Pramudito, Ibunda Wiwin Tri Astuti,
kedua adik saya yang penulis sayangi Kintan Muthia Yasmine Emily dan Karen
Noorlita Emily, dan seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan
semangat, dukungan, motivasi inspirasi, nasihat dan telah banyak mendoakan
kelancaran serta saudara penulis atas segala macam dukungan yang telah
diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
2.
Bapak Prof. Ir. Hadi Suyono, S.T., M.T., Ph.D., IPU. selaku Ketua Jurusan Teknik
Elektro Universitas Brawijaya.
3.
Ibu Ir. Nurussa’adah, M.T. selaku Sekretaris Jurusan Teknik Elektro Universitas
Brawijaya dan Dosen Pembimbing II atas segala bimbingan, saran dan kritik yang
diberikan selama proses penyusunan dan pengerjaan skripsi.
4.
Ibu Rahmadwati, S.T., M.T., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Sarjana Teknik
Elektro Universitas Brawijaya.
5.
Bapak Raden Arief Setyawan, S.T., M.T. selaku Ketua Kelompok Jabatan
Fungsional Teknik Elektronika Jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya
yang selalu membantu dalam memudahkan setiap hal yang ada di jurusan.
6.
Bapak Eka Maulana, S.T., M.T., M.Eng. selaku Dosen Pembimbing I skripsi yang
telah meluangkan waktu dan memberikan ilmu, bimbingan, arahan, gagasan, ide
dan saran yang bermafaat baik dalam pembuatan skripsi maupun lainnya.
7.
Bapak Zainul Abidin, S.T., M.T., M.Eng. selaku dosen pembimbing akademik
atas segala bimbingan, nasehat dan motivasi yang telah diberikan.
i
8.
Seluruh dosen dan karyawan Teknik Elektro Universitas Brawijaya, yang telah
memberikan banyak ilmu dan pelajaran berharga selama penulis menempuh ilmu
di Teknik Elektro Universitas Brawijaya.
9.
Staf Rekording, staf Pengajaran, dan staf Ruang Baca Jurusan Teknik Elektro
yang telah membantu segala urusan penulis selama ini.
10. Seluruh mahasiswa Jurusan Teknik Elektro angkatan 2013 “SPECTRUM’13”
atas kerjasama, bantuan dan inspirasi-inspirasinya.
11. Keluarga SLR12 yang telah memberikan kenangan tidak terlupakan selama
menjalani kehidupan kuliah bersama.
12. Teman-teman konsentrasi Teknik Elektronika angkatan 2013 TEUB atas
kebersamaan, bantuan, masukan dan kerjasamanya.
13. Teman seperjuangan penelitian perovskite solar cell Agatha Rama angkatan 2015
yang
selalu
membantu,
mengingatkan,
dan
berjuang
bersama
dalam
menyelesaikan skripsi ini.
14. Laboratorium Sistem Digital TEUB, Laboratorium Dasar Elektrik dan
Pengukuran TEUB, Laboratorium Elektronika Proses TEUB, Laboratorium
Farmasi FKUB yang telah memberikan peminjaman alat dan menyediakan tempat
bagi penulis untuk mengerjakan skripsi.
15. Teman-teman serta semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, yang
telah memberikan bantuan, doa, semangat, dukungan dan motivasinya sehingga
penelitian ini bisa diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan
ilmu dan kendala-kendala lain yang terjadi selama pengerjaan. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan agar dapat menjadi
lebih baik. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Malang, Juni 2020
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
1.3
Batasan Masalah ..................................................................................................... 2
1.4
Tujuan ..................................................................................................................... 3
1.5
Manfaat ................................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 4
2.1
Sel Surya ................................................................................................................. 4
2.1.1
Definisi Sel Surya ............................................................................................ 4
2.1.2
Karakteristik Sel Surya .................................................................................... 4
2.1.3
Fotometri ......................................................................................................... 5
2.2
Perovskite Solar Cell .............................................................................................. 9
2.2.1
Definisi Perovskite Solar Cell ......................................................................... 9
2.2.2
Struktur Perovskite Solar Cell ......................................................................... 9
2.2.3
Prinsip Kerja Perovskite Solar Cell ............................................................... 10
2.2.4
Proses Konversi Foton menjadi Elektron ...................................................... 12
2.3
Material Penyusun Perovskite Solar Cell ............................................................. 12
2.3.1
Kalsium Karbonat (CaCO3) ........................................................................... 12
2.3.2
Titanium Dioksida (TiO2).............................................................................. 13
2.3.3
Kalsium Titanat (CaTiO3) ............................................................................. 14
2.3.4
Substrat Kaca TCO ........................................................................................ 15
2.3.5
Elektrolit ........................................................................................................ 15
iii
2.3.6
2.4
Elektroda Lawan ............................................................................................ 16
Simulasi SCAPS-1D ............................................................................................. 16
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................................... 17
3.1
Perancangan Struktur Perovskite Solar Cell ......................................................... 17
3.2
Langkah-langkah Simulasi Perovskite Solar Cell Menggunakan SCAPS-1D ..... 19
3.2.1
Mendefinisikan Struktur ................................................................................ 19
3.2.2
Menentukan Parameter di Tiap Layer Struktur ............................................. 20
3.2.3
Menentukan Kondisi Titik Kerja Simulasi .................................................... 21
3.3
Variabel Penelitian ................................................................................................ 21
3.4
Pengujian Penelitian ............................................................................................. 23
3.4.1
Pengujian Tegangan Hubung Buka (VOC) dan Arus Hubung Singkat (ISC) .. 23
3.4.2
Pengujian VMPP dan IMPP ................................................................................ 23
3.4.3
Pengujian Fill Factor .................................................................................... 24
3.4.4
Pengujian Daya Keluaran Maksimum Perovskite Solar Cell........................ 24
3.4.5
Pengujian Efisiensi ........................................................................................ 25
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS ...................................................................... 26
4.1
Pengujian Tegangan Hubung Buka (VOC) dan Arus Hubung Singkat (ISC) .......... 26
4.2
Analisis Perhitungan Karakteristik Perovskite Solar Cell .................................... 27
4.2.1
Analisis Perhitungan Karakteristik pada Sampel CaTiO3 300 nm ................ 28
4.2.2
Analisis Perhitungan Karakteristik pada Sampel CaTiO3 400 nm ............... 30
4.2.3
Analisis Perhitungan Karakteristik pada Sampel CaTiO3 500 nm ............... 33
4.2.4
Analisis Perhitungan Karakteristik pada Sampel CaTiO3 600 nm ............... 35
4.2.5
Analisis Perhitungan Karakteristik pada Sampel CaTiO3 700 nm ............... 37
4.3
Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Keluaran Perovskite Solar Cell ................ 39
4.3.1
Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Tegangan Keluaran (VOC) PSC ......... 40
4.3.2
Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Arus Keluaran (ISC) PSC ................... 41
4.3.3
Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Fill Factor PSC ................................. 42
4.3.4
Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Daya Maksimum (PMAX) PSC ........... 43
iv
4.3.5
Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Efisiensi (η) PSC............................... 44
BAB V PENUTUP .............................................................................................................. 46
5.1
Kesimpulan ........................................................................................................... 46
5.2
Saran ..................................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 47
LAMPIRAN ........................................................................................................................ 50
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Karakteristik kurva I-V pada sel surya ............................................................ 4
Gambar 2.2 Sudut pembacaan Air Mass berdasarkan Tekanan .......................................... 8
Gambar 2.3. Sudut pembacaan Air Mass berdasarkan bayangan......................................... 8
Gambar 2.4. Struktur kristal perovskite ................................................................................ 9
Gambar 2.5 Struktur perovskite solar cell ......................................................................... 10
Gambar 2.6. Prinsip kerja perovskite solar cell.................................................................. 11
Gambar 2.7. Aliran elektron dan hole pada solar cell ........................................................ 12
Gambar 2.8. Serbuk Kalsium Karbonat (CaCO3) .............................................................. 13
Gambar 2.9. Titanium Dioksida oleh Sigma-Aldrich......................................................... 14
Gambar 2.10. Kaca TCO oleh Sigma-Aldrich ................................................................... 15
Gambar 2.11. Tampilan utama simulator SCAPS-1D......................................................... 16
Gambar 3.1
Desain Perovskite Solar Cell ........................................................................ 17
Gambar 3.2. Diagram alir pembuatan PSC ....................................................................... 18
Gambar 3.3
Luas area kerja kaca TCO............................................................................. 18
Gambar 3.4. Simulator SCAPS 1-D .................................................................................. 19
Gambar 3.5. Mendefinisikan Struktur Perovskite Solar Cell ............................................ 19
Gambar 3.6. Struktur Perovskite Solar Cell dalam SCAPS 1-D ....................................... 20
Gambar 3.7. Penentuan Parameter layer ........................................................................... 20
Gambar 3.8. Penentuan Titik Kerja ................................................................................... 21
Gambar 3.9. Karakteristik Kurva I-V Sel Surya ............................................................... 24
Gambar 4.1. Grafik karakteristik hubungan I-V sampel CaTiO3 300 nm ......................... 28
Gambar 4.2. Grafik karakteristik pengujian VOC dan ISC sampel CaTiO3 300 nm ............ 29
Gambar 4.3. Grafik karakteristik hubungan I-V sampel CaTiO3 400 nm ......................... 30
Gambar 4.4. Grafik karakteristik pengujian VOC dan ISC sampel CaTiO3 400 nm ............ 32
Gambar 4.5. Grafik karakteristik hubungan I-V sampel CaTiO3 500 nm ......................... 33
Gambar 4.6. Grafik karakteristik pengujian VOC dan ISC sampel CaTiO3 500 nm ............ 34
Gambar 4.7. Grafik karakteristik hubungan I-V sampel CaTiO3 600 nm ......................... 35
Gambar 4.8. Grafik karakteristik pengujian VOC dan ISC sampel CaTiO3 600 nm ............ 36
Gambar 4.9. Grafik karakteristik hubungan I-V sampel CaTiO3 700 nm ......................... 37
Gambar 4.10. Grafik karakteristik pengujian VOC dan ISC sampel CaTiO3 700 nm ............ 39
Gambar 4.11. Grafik hubungan ketebalan CaTiO3 terhadap tegangan keluaran (VOC) ...... 40
vi
Gambar 4.12. Grafik hubungan ketebalan CaTiO3 terhadap arus keluaran (ISC) PSC ........ 41
Gambar 4.13. Grafik hubungan ketebalan CaTiO3 terhadap fill factor PSC....................... 42
Gambar 4.14. Grafik hubungan ketebalan CaTiO3 terhadap daya keluaran maksimum .... 43
Gambar 4.15. Grafik hubungan ketebalan CaTiO3 terhadap efisiensi ............................... 44
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Parameter dari setiap layer perovskite solar cell ............................................... 22
Tabel 4.1. Hasil Simulasi pengujian tegangan hubung buka .............................................. 26
Tabel 4.2. Hasil simulasi pengujian arus hubung singkat .................................................. 27
Tabel 4.3. Perhitungan VMPP dan IMPP pada sampel CaTiO3 300 nm ................................. 29
Tabel 4.4. Perhitungan VMPP dan IMPP pada sampel CaTiO3 400 nm ................................. 31
Tabel 4.5. Perhitungan VMPP dan IMPP pada sampel CaTiO3 500 nm ................................. 34
Tabel 4.6. Perhitungan VMPP dan IMPP pada sampel CaTiO3 600 nm ................................. 36
Tabel 4.7. Perhitungan VMPP dan IMPP pada sampel CaTiO3 700 nm ................................. 38
Tabel 4.8. Hasil analisis ketebalan CaTiO3 terhadap tegangan keluaran (VOC) PSC ......... 40
Tabel 4.9. Hasil analisis ketebalan CaTiO3 terhadap arus keluaran (ISC) PSC................... 41
Tabel 4.10. Hasil analisis ketebalan CaTiO3 terhadap fill factor PSC................................ 42
Tabel 4.11. Hasil analisis ketebalan CaTiO3 terhadap daya keluaran maksimum PSC ..... 43
Tabel 4.12. Hasil analisis ketebalan CaTiO3 terhadap efisiensi PSC ................................. 44
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Simulasi SCAPS-1D dengan ketebalan 300 nm .................................... 51
Lampiran 2. Hasil Simulasi SCAPS-1D dengan ketebalan 400 nm .................................... 52
Lampiran 3. Hasil Simulasi SCAPS-1D dengan ketebalan 500 nm .................................... 54
Lampiran 4. Hasil Simulasi SCAPS-1D dengan ketebalan 600 nm .................................... 56
Lampiran 5. Hasil Simulasi SCAPS-1D dengan ketebalan 700 nm .................................... 57
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dewasa ini kebutuhan manusia terhadap energi tiap tahun semakin meningkat.
Menurut laporan BP dalam Statistical Review of World Energy, sebanyak 84.7% konsumsi
energi dunia pada tahun 2018 berasal dari sumber energi tak terbarukan (batu bara, minyak
bumi, dan gas alam) dan sisanya merupakan konsumsi dari energi lain (energi nuklir, energi
terbarukan, dan energi hydroelectricity). Di Indonesia khususnya, 96.6% energi yang
digunakan merupakan energi fosil (BP, 2019). Pemakaian energi di Indonesia masih
didominasi penggunaan energi berbasis fosil terutama bahan bakar minyak bumi dan batu
bara. Apabila dalam waktu dekat tidak ditemukan sumber – sumber energi baru yang
signifikan pada tahun 2046 mendatang dikhawatirkan Indonesia akan mengalami defisit
energi. Penggunaan energi baru dan terbarukan harus menjadi perhatian utama pemerintah
Indonesia tidak hanya sebagai upaya untuk mengurangi pemakaian energi fosil melainkan
untuk mewujudkan energi bersih atau ramah lingkungan (Jaelani, 2017, p. 2).
Energi matahari merupakan salah satu energi alternatif yang dapat dimanfaatkan
untuk mengatasi ketergantungan energi fosil di Indonesia. Energi fosil dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif karena kawasan Indonesia memiliki distribusi
penyinaran sekitar 4.5kWh/m2/hari untuk Indonesia bagian barat dan 5.1 kWh/m2/hari untuk
Indonesia bagian timur. (Yandri, 2016, p.15).
Salah satu piranti untuk memanfaatkan energi matahari dan mengubahnya menjadi
energi listrik adalah sel surya. Perkembangan sel surya saat ini sudah sampai pada generasi
ketiga. Generasi pertama adalah sel surya berbasis silikon, generasi kedua sel surya berbasis
material tipis dan generasi ketiga sel surya organik. Sel surya generasi pertama dan kedua
mengunakan efek fotovoltaik yang artinya produksi energi listrik bertumpu pada material
semi konduktor yang digunakan sementara untuk sel surya generasi ketiga mengunakan efek
fotoelktrokimia. Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) merupakan pelopor pertama dari sel
surya generasi ketiga yang ditemukan oleh M. Gratzel di EPFL. Seiring berjalannya waktu,
DSSC tidak mampu bersaing dengan sel surya generasi sebelumnya karena efisiensi yang
dihasilkan (10-14%) lebih rendah dari sel surya generasi sebelumnya (> 20%) (Damayanthi,
2019).
Perovskite Solar Cell (PSC) merupakan generasi ketiga yang sedang banyak dilirik
oleh banyak ilmuwan karena efisiensinya yang cukup tinggi dan harga fabrikasinya cukup
1
2
murah untuk produksi massal (Sahoo et al, 2018). Pada tahun 2017, PSC milik UNIST
berhasil menghasilkan efisiensi yang tinggi hingga 22,1% menggunakan perovskite berbasis
Organologam Halida (CH3NH3PbI3). Namun, adanya kandungan timbal yang sangat
beracun membuat para ilmuwan terus berinovasi untuk menciptakan perovskite solar cell
yang terbuat dari material yang aman dan ramah lingkungan serta dapat menghasilkan
efisiensi yang tinggi. Sel surya berbasis perovskit CaTiO3 berhasil menghasilkan efisiensi
paling tinggi hingga 2,04% (Damayanthi, 2019,p. 2). Telah diteliti bahwa proses pembuatan
CaTiO3 memiliki pengaruh besar karena saat dibakar pada suhu tertentu struktur kristal
CaTiO3 akan berubah dari bentuk ortorombik menjadi tetragonal (Wright et al., 1992, p. 10),
dan berubah dari tetragonal menjadi kubus pada suhu yang lebih tinggi.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan pada perovskite solar cell, variabelvariabel yang dapat mempengaruhi performansi perovskite solar cell diantaranya adalah luas
area kerja (Damayanthi, 2019), kecepatan putar pendeposisian lapisan CaTiO3 (Riyanti,
2019), komposisi bahan absorber perovskite (Hedar, 2019), dan ketebalan lapisan dari
perovskite (Hossain, 2016) namun sayangnya belum ada penelitian mengenai pengaruh
ketebalan CaTiO3 untuk perovskite solar cell.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui pengaruh ketebalan CaTiO3 terhadap performansi perovskite solar cell.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pembuatan perovskite solar cell dengan bahan material CaTiO3
dan TiO2 dengan simulasi SCAPS?
2. Bagaimana pengaruh variasi ketebalan CaTiO3 terhadap performansi pada
perovskite solar cell dengan simulasi SCAPS?
1.3
Batasan Masalah
Dengan mengacu pada permasalahan yang telah dirumuskan, maka hal-hal yang
berkaitan dengan penelitian diberi batasan sebagai berikut:
1. Software simulasi yang digunakan adalah SCAPS 1-D.
2. Jumlah prototype perovskite solar cell yang disimulasi berjumlah 5 buah masingmasing dibedakan dengan variasi ketebalan lapisan CaTiO3.
3. Sumber cahaya yang digunakan untuk pengujian adalah cahaya matahari AM 1.5
4. Pengujian yang dilakukan pada SCAPS 1-D hanya pengujian arus dan tegangan.
3
5. Parameter yang diuji ialah tegangan keluaran, arus keluaran, daya keluaran, serta
efisiensi perovskite solar cell.
6. Pembahasan mengenai reaksi kimia yang terjadi tidak dibahas lebih lanjut.
1.4
Tujuan
Tujuan dilakukannya penilitian ini untuk mengetahui proses pembuatan perovskite
solar cell dengan bahan CaTiO3 dan TiO2 serta pengaruh variasi ketebalan CaTiO3 terhadap
performansi perovskite solar cell dengan simulasi software SCAPS.
1.5
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ketebalan CaTiO3 terhadap
performansi perovskite solar cell.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sel Surya
2.1.1 Definisi Sel Surya
Photovoltaics adalah proses konversi secara langsung energi matahari menjadi energi
listrik menggunakan sel surya. Oleh karena, itu sel surya dapat didefinisikan sebagai devais
yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik. Devais photovoltaics
pertama kali ditemukan pada tahun 1839 oleh Edmond Becquerel. Namun pemahaman lebih
mendalam serta eksploitasi dari efek tersebut bergantung pada sebagian besar perkembangan
sains dan teknologi pada abad ke-20 (Wenham et al, 2011. p. 20).
Bahan yang digunakan untuk membuat sel surya ini akan menghasilkan arus listrik
ketika mendapat cahaya tetapi terhenti pada ruang gelap. Setiap sel dari sel surya tersebut
menghasilkan tegangan yang kecil. Maka untuk menaikkan tegangan sel-sel harus
dihubungkan seri. Tegangan ditentukan oleh perbedaan potensial dari satu sisi ke sisi yang
lain arus listrik berbanding langsung dengan luas permukaan dari sel yang dikenai cahaya,
karena itu sel yang kecil menghasilkan arus yang kecil (Gunadi, 2006).
2.1.2 Karakteristik Sel Surya
Daya listrik yang dihasilkan oleh sel surya ketika mendapatkan cahaya diperoleh dari
kemampuan perangkat sel surya tersebut untuk memproduksi tegangan ketika diberi beban
dan arus melalui beban pada waktu yang sama. Kemampuan ini direpresentasikan dalam
kurva arus tegangan (I-V) pada gambar 2.1
Gambar 0 Karakteristik Kurva I-V pada Sel Surya
Sumber: Purba, 2019
4
5
Ketika sel dalam keadaan short-circuit, arus maksimum atau arus short-circuit (ISC)
dihasilkan, sedangkan pada kondisi open-circuit, tidak ada arus yang mengalir sehingga
terjadi tegangan maksimum yang disebut tegangan open-circuit (VOC). Titik pada kurva I-V
yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik daya maksimum atau
maximum power point (MPP). Kemudian digunakan VMPP dan IMPP untuk mencari nilai Fill
Factor (FF) dan daya maksimum (PMAX). Fill Factor atau faktor pengisian adalah pengertian
dari seberapa penuh hubungan kurva I-V mendekati performansi sel surya ideal yang dalam
hal tersebut adalah MPP berada di garis putus-putus. Untuk mencari nilai fill factor dapat
menggunakan persamaan berikut:
Fill Factor =
VMPP . IMPP
VOC . ISC
(1)
Dengan menggunakan persamaan fill factor, daya maksimum sel surya dapat
diketahui menggunakan persamaan:
PMAX = VOC x ISC x FF
(2)
Dengan demikian nilai efisiensi sel surya (η) dapat diketahui sebagai daya yang
dihasilkan sel surya (PMAX) dibagi dengan daya dari cahaya datang (PCAHAYA) dengan
persamaan:
η=P
PMAX
CAHAYA
x 100%
(3)
Apabila sumber cahaya menggunakan sinar matahari, maka cahaya datang (PCAHAYA)
dapat didefinisikan sebagai intensitas pencahayaan matahari (IG) dikali dengan luas
permukaan sel surya (A dengan satuan m2). Oleh karena itu diperoleh persamaan:
η=
PMAX
IG x A
x 100%
(4)
(Purba, 2019. p. 7)
2.1.3 Fotometri
Cahaya matahari memancarkan gelombang elektromagnetik dalam rentang sinar
ultraviolet, cahaya tampak, hingga inframerah. Pengukuran cahaya matahari disebut dengan
radio metri. Sedangakan fotometri merupakan pengukuran dalam rentang cahaya tampak.
Cahaya tampak adalah pancaran energi yang membuat retina mata menjadi sensitif. Kita
6
dapat membedakan intensitas antara dua sumber cahaya, yaitu dengan menghitung jumlah
daya (dalam watt ataupun Joule/s) yang dipancarkan oleh cahaya tampak (Andriana, 2015).
Dalam pengukuran cahaya tampak, terdapat beberapa besaran fotometri, diantaranya
intensitas penerangan (candela), fluks cahaya (lumen), illuminance (lux), serta luminance
(candela/m2). Jumlah fluks pancaran yang sama memiliki pengaruh yang berbeda untuk mata
pada setiap warna yang berbeda.
2.1.3.1 Spektrum Cahaya
Cahaya merupakan sebagian dari gelombang elektromagnetik yang dapat dilihat
mata dengan komponennya yaitu cahaya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.
Berdasarkan penelitian-penelitian lebih lanjut, cahaya merupakan suatu gelombang
elektromagnetik yang dalam kondisi tertentu dapat berkelakuan seperti suatu partikel.
Gelombang elektromagnetik merupakan gelombang yang tidak memerlukan medium untuk
merambat. Oleh karena itu, cahaya matahari dapat sampai ke bumi dan memberikan
kehidupan di dalamnya. Cahaya merambat dengan sangat cepat, dengan kecepatan 3x108
m/s, artinya dalam waktu satu detik cahaya mampu menempuh jarak 300.000 km
(Sunardi,2012). Panjang gelombang cahaya berada pada kisaran antara 0.2 µm hingga 0.5
µm, yang bersesuaian dengan frekuensi antara 6x1015 Hz hingga 20x1015 Hz (Jati, 2010).
Dua Indikator cahaya yang paling jelas dapat langsung dideskripsikan dengan teori
gelombang untuk cahaya adalah intensitas (kecerahan) dan warna. Intensitas cahaya
merupakan enregi yang dibawanya per satuan waktu dan sebanding dengan kuadrat
amplitude gelombang. Warna cahaya berhubungan dengan Panjang gelombang atau
frekuensi cahaya tersebut. Cahaya tampak yaitu cahaya yang sensitif pada mata kita jatuh
pada kisaran 400-750 nm. Kisaran ini dikenal sebagai spektrum tampak, dan di dalamnya
terdapat warna ungu sampai merah (Giancoli, 2001).
2.1.3.2 Intensitas Penerangan
Intensitas penerangan (luminous intensity) adalah banyaknya cahaya yang
dipancarkan oleh sebuah sumber titik pada setiap sudut ruang (steradian). Intensitas
penerangan memiliki simbol I dengan satuan unit Candela. Berikut merupakan perhitungan
untuk mencari nilai intensitas penerangan
Keterangan
I
𝐼=
𝑑𝐹
𝑑𝜔
: Intensitas penerangan (Cd)
(6)
7
dF
: fluks cahaya (Lm)
d𝜔
: sudut ruang
2.1.3.3 Fluks Cahaya
Fluks cahaya (luminous flux) adalah arus cahaya yang dipancarkan oleh sebuah
sumber cahaya. Luminous flux biasa digunakan untuk mengukur output cahaya tampak pada
lampu. Persamaan dari luminous flux adalah sebagai berikut.
𝐹 = 4𝜋𝐼
(7)
Keterangan
F
: Fluks cahaya (lm)
I
: Intensitas cahaya (Cd)
2.1.3.4 Illuminance
Ketika sinar cahaya mencapai permukaan padat, proses ini dikenal sebagai
illuminance atau kuat pencahayaan. Dengan cara yang sama kita memiliki lumens untuk
mengukur luminous flux, kita perlu pengukuran untuk jumlah iluminasi. Illuminance yang
juga disebut derajat pancaran, yaitu banyaknya fluks cahaya yang jatuh tegak lurus pada
satuan permukaan. Persamaan dari internsitas penerangan atau iluminasi cahaya sebagai
berikut (National Framework, 2009).
𝐸=
Keterangan
𝐹
𝐴
E
: Derajat pancaran (lux)
F
: Fluks Cahaya (lm)
A
: Luas permukaan (m2)
(8)
Dalam SI atau system international unit, unit dasar dari pencahayaan adalah lumen
per meter persegi atau Lux.
2.1.3.5 Cahaya Matahari AM 1.5
Air Mass 1,5 (AM 1.5) merupakan jenis pengukuran yang umum digunakan pada
pengukuran PSC. AM 1.5 merupakan nilai yang didapat dari banyaknya atmosfer yang harus
dilalui radiasi matahari sebelum akhirnya menyentuh permukaan bumi. Saat matahari tepat
berada di atas permukaan bumi keadaan tersebut dinyatakan sebagai AM 1. Sedangkan nilai
AM 0 adalah keadaan di luar angkasa dimana tidak ada atmosfer. Dan nilai AM 1.5 adalah
8
posisi dimana matahari berada pada 48.2⁰ dari posisi AM 1 dimana sudut ini disebut sudut
zenith. Nilai Air Mass didapat dari perbandingan sudut zenith dikalikan dengan
perbandingan tekanan di permukaan bumi dengan di batas atmosfer. Berikut ilustrasi sudut
zenith pada perhitungan Air Mass yang ditunjukan pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Sudut Pembacaan Air Mass Berdasarkan Tekanan
Sumber: Purba,2019
Selain menggunakan tekanan, nilai AM 1.5 dapat diperoleh dari mengukur bayangan
benda. Seperti yang diketahui AM =
1
cos Ɵ
.
Gambar 2.3. Sudut Pembacaan Air Mass Berdasarkan Bayangan
Sumber: Purba, 2019
s 2
Berdasarkan gambar 2.3, AM = √1 + ( ) di mana h merupakan panjang benda
h
sebenarnya sedangkan s merupakan panjang bayangan benda. Sedangkan untuk intensitas
cahaya yang diterima luasan yang tegak lurus dengan cahaya matahari (ID) 𝐼𝐷 =
1,353 . 0,7𝐴𝑀
0,678
dapat diperhitungan dan AM bernilai 1.5 dapat diperoleh dengan nilai ID
sebesar 0.846 kW/m2.
9
Sedangkan pada umumnya, pada hari yang cerah cahaya matahari terdifusi sebanyak
10%. Jadi pada setiap hari normal yang cerah dapat diperhitungkan intensitas cahaya
matahari adalah sebagai berikut 𝐼𝐺 = 1,1 . 𝐼𝐷 sehingga nilai IG diperoleh sebesar 0.9306
kW/m2 (Purba, 2019. p. 27). Namun nilai intensitas cahaya matahari dapat berubah ubah dari
sekitar 0.9306 kW/m2 hingga 1.12 kW/m2 (Newport, 2013).
2.2
Perovskite Solar Cell
2.2.1 Definisi Perovskite Solar Cell
Perovskite solar cell merupakan sel surya berbasis senyawa berstruktur perovskite
sebagai lapisan penyerap cahayanya. Umumnya material yang digunakan untuk membuat
perovskite solar cell adalah gabungan material hibrid antara organik, halida dan metal (Fu
et al, 2017). Perovskite merupakan mineral yang memiliki rumus stoikiometri ABX3. Nama
perovskite berasal dari mineral CaTiO3 yang diidentifikasi oleh seorang ahli mineral fisika
padatan, sains material dan geologi Rusia. Pada tahun 1893 ditemukan mineral CaTiO3 di
Pegunungan Ural oleh Gustav Rose, kimiawan asal Jerman. Kemudian dinamai Perovskite
untuk menghormati Lev Alexeievitch Perovsky (Elfianuari, 2017).
2.2.2 Struktur Perovskite Solar Cell
Perovskite sejati (mineral) tersusun atas kalsium, titanium, dan oksigen dengan
bentuk CaTiO3. Sementara itu struktur generik dari perovskite adalah ABX3 dan memiliki
struktur kristal yang sama seperti perovskite sejati. Pengaturan kisi perovskite ditunjukkan
di bawah ini. Cara termudah untuk menggambarkan perovskite adalah sebagai kation atom
atau molekul besar (bermuatan positif) tipe A di tengah kubus. Sudut-sudut kubus kemudian
ditempati oleh atom B (kisi bermuatan positif) dan permukaan kubus ditempati oleh atom X
yang lebih kecil dengan muatan negatif (anion).
Gambar 2.4 Struktur kristal Perovskite
Sumber: Michael M. Lee et al., 2012
10
Struktur perovskite CaTiO3 dapat diperoleh dengan beberapa metode sintesis seperti
reaksi solid state, metode co-presipitasi, metode kimia-basah/wet-chemical (sol-gel), dan
teknik hidrotermal (Torimtubun, 2018. p. 2). Metode sol-gel memiliki biaya rendah,
persiapan mudah, kontrol komposisi yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan, homogenitas
kristal tinggi, serta suhu kristalisasi yang lebih rendah. Penelitian ini dilakukan secara
structural dan sifat fisikokimia serbuk CaTiO3 yang disintesis mengunakan metode sol-gel.
Kemudia, bentuk pasta dari CaTiO3 yang disintesis dideposisi dalam lapisan perovskite aktif
untuk aplikasi perovskite solar cell.
Gambar 2.5 Struktur generic perovskite solar cell
Sumber: Torimtubun et al, 2018.
2.2.3 Prinsip Kerja Perovskite Solar Cell
Material perovskite bertindak sebagai elektrolit untuk menyerap cahaya matahari
yang akan mengeksitasi hole (muatan positif) dan elektron (muatan negatif). Elektron akan
menuju Electron Transport Material (ETM) yang bertindak sebagai n-type semikonduktor.
Material ETM yang umumnya digunakan adalah logam oksida seperti TiO2 atau ZnO.
Sementara hole akan menuju Hole Transport Material (HTM) yang bertindak sebegai ptype semikonduktor. Material HTM yang umumnya digunakan adalah material organic
seperti Spiro-OMeTAD atau FDA (Marinova, 2016. p. 385).
Dalam PSC, terdapat katoda dan anoda. Logam Emas (Au) atau Perak (Ag)
merupakan katoda yang umumnya digunakan. Sedangkan Indium Tin Oxide (ITO)
atau Fluorine Tin Oxide (FTO) merupakan anoda yang sering digunakan. Material
perovskite bersifat higroskopis yang ketika kontak dengan uap air dan cahaya matahari
11
akan menghasilkan gas hidrogen bukan listrik. Sehingga dalam memproduksi material
perovskite membutuhkan glove box untuk menjaga kelembaban (Prasanthkumar, 2016. p.
1287). Prinsip kerja sel surya perovskit dijelaskan dalam Gambar 2.4
Gambar 2.6 Prinsip kerja sel surya perovskit
Sumber: Hedar.2019
Prinsip kerja sel surya perovskite berdasarkan pada Gambar 2.6 dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Skema susunan sel surya persovskit tersensitisasi (sensitized perovskite solar
cell). Pada sel surya perovskite dengan struktur seperti ini, lapisan aktif terdiri
dari lapisan berpori (mesoporous) TiO2 dan absorber cahaya perovskite
CaTiO3. Lapisan aktif berada di tengah antara lapisan semikonduktor tipe p dan
tipe n.
b.
Skema susunan sel surya perovskit lapisan tipis (thin-film perovskite solar cell)
Pada susunan ini, lapisan perovskite berada di tengah lapisan semikonduktor
tipe n dan tipe p.
c.
Prinsip kerja sel surya perovskit tersensitisasi. Cahaya yang diserap oleh
perovskite akan mengeksitasi elektron, elektron ini akan ditransfer menuju
TiO2. Bersamaan dengan itu, terbentuk hole yang akan ditransfer menuju
semikonduktor tipe p.
d.
Cahaya yang diserap oleh lapisan perovskite akan mengeksitasi elektron-hole.
Elektron-hole ini masing-masing akan menuju lapisan semikonduktor tipe p
dan tipe n.
12
(Hedar,2019. p. 6)
2.2.4 Proses Konversi Foton menjadi Elektron
Sinar matahari yang terpancar mengandung energi foton yang dapat mengeksitasi
elektron dari semikonduktor tipe n dan menyebabkan adanya aliran elektron. Aliran elektron
inilah yand disebut sebagai aliran arus listrik. Perovskite solar cell pada dasarnya terdiri dari
sambungan bahan semikonduktor tipe p dan n (p-n junction). Pada sisi p-junction terdapat
kelebihan elektron. Sinar matahari yang mengenai permukaan bahan solar sel (absorber)
akan diserap, dipantulkan, atau dilewatkan begitu saja. Hanya foton dengan level energi
tertentu yang dapat mengeksitasi elektron dari pita valensi menuju pita konduksi. Level
energi ini disebut energi band-gap yang didefinisikan sebagai jumlah energi yang dibutuhkan
untuk mengeluarkan elektron dari ikatan kovalennya sehingga terjadi aliran arus listrik.
Terlepasnya elektron ini meninggalkan hole pada daerah yang ditinggalkan oleh elektron
yang disebut dengan fotogenerasi electron-hole yakni, terbentuknya pasangan elektron dan
hole akibat sinaran cahaya matahari.
Adanya perpindahan elektron menuju p-junction dan hole menuju n-junction
menyebabkan p-junction kekurangan jumlah hole dan n-junction kekurangan jumlah
elektron. Daerah p-junction menjadi bermuatan negatif, sedangkan n-junction bermuatan
positif. Daerah negative dan positif ini disebut dengan daerah deplesi(W).
Gambar 2.7 Aliran elektron dan hole pada solar sel
Dikarenakan adanya perbedaan muatan positif dan negatif di daerah deplesi, maka
timbul medan listrik internal (E) (Riyanti, 2019. p. 11).
2.3
Material Penyusun Perovskite Solar Cell
2.3.1 Kalsium Karbonat (CaCO3)
Batu kapur merupakan bahan alam yang banyak terdapat di Indonesia. Batu kapur
adalah batuan padat yang mengandung banyak kalsium karbonat (Lukman et al., 2012. p. 1).
Mineral karbonat yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur adalah aragonite
13
(CaCO3), yang merupakan mineral metastable karena pada kurun waktu tertentu dapat
berubah menjadi kalsit (CaCO3) (Sucipto et al., 2007. p. 25).
Kalsium karbonat adalah mineral inorganik yang dikenal tersedia dengan harga
murah secara komersial. Sifat fisis kalsium karbonat seperti, morfologi, fase, ukuran dan
distribusi ukuran harus dimodifikasi menurut bidang pengaplikasiannya. Bentuk morfologi
dan fase kalsium karbonat (CaCO3) terkait dengan kondisi sintesis seperti, konsentrasi
reaktan, suhu, waktu aging dan zat adiktif alam (Kirboga & Oner, 2013. p.2119). Kalsit
(CaCO3) merupakan fase yang paling stabil dan banyak digunakan dalam industri cat, kertas,
magnetic recording, industri tekstil, detergen, plastik, dan kosmetik (Lailiyah et al., 2012.p.
6).
Seperti yang diketahui bahwa batu kapur mengandung sebagian besar mineral
kalsium karbonat yaitu sekitar 95%. Kandungan kalsium karbonat ini dapat diubah menjadi
kalsium oksida dengan kalsinasi sehingga lebih mudah dimurnikan untuk mendapatkan
kalsiumnya. Dengan cara ini, batu kapur dapat dimanfaatkan dalam sector kesehatan, yakni
dalam aplikasi klinis untuk penelitian dibidang medis dan untuk perkembangan dalam
pembuatan biomaterial sehingga meningkatkan nilai ekonomis batu kapur itu sendiri (Gusti,
2008).
Gambar 2.8 Serbuk kalsium karbonat (CaCO3)
Sumber: Laboratorium Elektronika Proses, Teknik Elektro FT-UB.
2.3.2 Titanium Dioksida (TiO2)
TiO2 merupakan bahan semikonduktor yang sudah dikenal luas memiliki sifat optik
yang baik. TiO2 yang ada di alam umumnya mempunyai tiga fasa yaitu rutile, anatase, dan
brookite. Dalam aplikasinya pada fotokatalis, hanya dua fasa yang TiO2 yang sering
digunakan sebagai fotokatalis yaitu anatase dan rutile (Zhang, Banfield, 2000).
Terbentuknya fasa anatase maupun fasa rutile pada struktur polikristalin TiO2 bergantung
pada transisi fasa yang kristalin TiO2.
14
Kemampuan fotoaktivitas semikonduktor TiO2 dipengaruhi oleh morfologi, luas
permukaan, kristanilitas dan ukuran partikel. Anatase diketahui sebagai kristal titania yang
lebih fotoaktif daripada rutil. Hal ini disebabkan harga bandgap TiO2 jenis anatase yang
lebih tinggi yaitu sebesar 3,2 eV sedangkan rutil sebesar 3,0 eV. Harga bandgap yang lebih
tinggi akan menghasilkan luas permukaan aktif yang lebih besar sehingga menghasilkan
fotoaktivitas yang lebih efektif. Dalam aplikasinya pada fotokatalis, umumnya digunakan
TiO2 pada fasa anatase karena mempunyai kemampuan fotovolatik yang tinggi. Selain itu,
untuk meningkatkan kinerja sistem, struktur nanokristal dan juga luas permukaan yang
tinggi dari TiO2 adalah faktor yang penting untuk meningkatkan densitas dan transfer
elektron (H. Zhang dan J.F. Banfield, 2000 dalam Henni, dkk. 2012). TiO2 hanya mampu
menyerap sinar ultraviolet (350-380 nm). Untuk meningkatkan serapan spektra TiO2 di
daerah tampak, dibutuhkan lapisan zat warna yang akan menyerap cahaya tampak. Zat warna
tersebut berfungsi sebagai sensitizer (Vitriyani & Gatut, 2013. p. 16).
Gambar 2.9 Titanium (IV) Oxide oleh sigma aldrich
Sumber: Laboratorium Elektronika Proses, TE-UB
2.3.3 Kalsium Titanat (CaTiO3)
Kalsium titanat (CaTiO3) adalah salah satu bahan pembuatan perovskite dengan
rumus umum ABX3, kation A menempati di dalam situs kubus-oktahedral dan kation dari B
menempati situs oktahedral di mana X adalah halida. Kalsium titanat mempunyai struktur
kristal berbentuk ortorombik pada saat suhu ruangan dan space group Pbnm. Telah diteliti
bahwa CaTiO3 berubah bentuk struktur kristalnya dari bentuk ortorombik menjadi tetragonal
di sekitar suhu 1200oC dan berubah dari tetragonal menjadi kubus pada suhu yang lebih
tinggi. Namun sayangnya suhu tepat saat kalsium titanat mengalami perubahan belum diteliti
15
lebih lanjut (Wright, 1992. p. 10). CaTiO3 memilikii celah pita 3,8-4,0 eV yang dapat
digunakan sebagai perangkat optoelektronik dan juga menunjukkan sifat dielektrik dengan
nilai permitivitas relatif hingga 186 (Krause, dkk, 2015).
2.3.4 Substrat Kaca TCO
Substrat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kaca TCO. TCO
(Transparent Conductive Oxide) yang merupakan kaca transparan konduktif. Material
substrat itu sendiri berfungsi sebagai elektroda kerja (anoda) dan elektroda lawan (katoda).
Elektroda kerja akan mentransfer elektron menuju elektroda lawan melalui rangkaian
eksternal. Material penysusun TCO adalah Flourinedoped Tin Oxide (Sn:F atau FTO) dan
Indium Tin Oxide (ITO). Hal ini dikarenakan dalam proses pelapisan material kepada
substrat, diperlukan proses sintering pada temperatur 400-500°C dan kedua material tersebut
merupakan pilihan yang cocok karena tidak mengalami defect pada range temperatur
tersebut (Wijayanti, 2010. p. 13).
Terdapat beberapa macam kaca TCO, diantaranya: ITO (Indium Tin Oxide), FTO
(Flourine Tin Oxide), dan AZO (Aluminum Zinc Oxide). Namun diantara ketiga jenis kaca
tersebut, jenis ITO yang paling baik karena memiliki nilai konduktivitas yang cukup tinggi
yakni 8-12 Ω/sq. Kaca TCO jenis ITO yang diproduksi oleh Sigma Aldrich dapat dilihat
pada Gambar 2.10
Gambar 2. 10 Kaca TCO (Transparent Conductive Oxide) (Sigma-Aldrich®)
Sumber: Laboratorium Elektronika Proses, Teknik Elektro FT-UB
2.3.5 Elektrolit
Elektrolit digunakan untuk menggantikan kehilangan elektron pada pita HOMO
(Highest Occupied Molecular Orbital) dari perovskite akibat eksitasi dari pita HOMO ke
pita LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital) karena penyerapan cahaya tampak
16
dilakukan oleh perovskite. Elektrolit juga menerima elektron pada sisi counter electrode
(Khoiruddin, 2012. p. 16). Elektrolit yang digunakan adalah iodide (I-) dan triiodide (I3-)
yang memiliki sifat stabil dan reversibility yang baik .
2.3.6 Elektroda Lawan
Elektroda lawan digunakan dalam proses katalis untuk mempercepat kinetika reaksi
proses reduksi triiodide pada substrat. Elektroda lawan karbon mempunyai keaktifan reduksi
triiodide yang menyerupai elektroda platina. Platina adalah material yang umumnya sering
digunakan (William et al., 2007).
2.4
Simulasi SCAPS-1D
SCAPS-1D merupakan program simulasi sel surya 1 dimensi yang dikembang oleh
Departemen Elektronika dan Sistem Informasi (ELIS) universitas Gent, Belgia. SCAPS pada
awalnya hanya didesain untuk solar sel dengan struktur keluarga dari CuInSe2 dan CdTe
namun seiring berjalannya waktu simulator SCAPS juga dapat digunakan untuk crystalline
solar cell (keluarga Si dan GaAs) dan sel tak berbentuk (amorphous cell).
Gambar 2.11 Tampilan utama Simulator SCAPS-1D
Sumber: Niemegeers, Alex et al. 2013
BAB III
METODE PENELITIAN
Penyusunan proposal penilitian ini bersifat desain dan simulasi sistem yang telah
didesain sebelumnya. Langkah-langkah yang diperlukan untuk mensimulasikan sistem yang
dibuat adalah membuat desain struktur perovskite solar cell, menentukan sifat parameter
dari tiap layer solar cell, pengujian dan analisis, dan penarikan kesimpulan.
3.1
Perancangan Struktur Perovskite Solar Cell
Perancangan dalam penelitian ini dimulai dengan perancangan desain sel surya
perovskit. Pada proses perancangan, terdapat dua buah kaca TCO yang berfungsi sebagai
elektroda kerja (working electrode) dan elektroda lawan (counter electrode). Susunan kedua
TCO dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Kaca TCO
Elektroda Lawan
Carbon
(Counter Electrode)
Elektrolit
CaTiO3
Elektroda Kerja
TiO2
(Working Electrode)
Kaca TCO
Gambar 3.1 Desain Perovskite Solar Cell
Proses perancangan dan pembuatan secara keseluruhan dijelaskan pada Gambar 3.2
diagram alir berikut.
Mulai
Desain struktur PSC
Menentukan parameter kaca
TCO.
17
18
Menentukan parameter TiO2
Menentukan parameter CaTiO3
Menentukan parameter elektrolit
Pengujian dan analisis
Kesimpulan
Selesai
Gambar 3.2 Diagram alir pembuatan PSC
Dengan menggunakan material CaTiO3 sebagai perovskite dan TiO2 sebagai
Electron Transport Layer, maka luas substrat kaca TCO yang digunakan adalah 3 x 2.5 cm2
dan luas daerah aktif 2.5 x 2.5 cm2 digunakan agar menghasilkan daya keluaran dan efisiensi
terbesar (Damayanthi,2019). Desain kaca TCO yang akan digunakan dapat dilihat pada
gambar 3.3.
2,5 cm
2.5cm
3 cm
2,5 cm
Gambar 3.3 Luas area kaca TCO
19
3.2
Langkah-langkah Simulasi Perovskite Solar Cell Menggunakan SCAPS-1D
3.2.1 Mendefinisikan Struktur
Gambar 3.4 Simulator SCAPS 1-D
Pada tampilan utama simulator SCAPS 1-D, langkah pertama adalah membuat
struktur perovskite solar cell. Untuk membuat struktur, klik Set problem.
Gambar 3.5 Mendefinisikan Struktur Perovskite Solar Cell
Gunakan tombol add layer untuk menambah layer dari struktur yang akan
disimulasikan pada SCAPS 1-D. Simbol anak panah merupakan representasi dari arah
sumber cahaya yang ditembakkan ke solar cell.
20
3.2.2 Menentukan Parameter di Tiap Layer Struktur
Gambar 3.6 Struktur Perovskite Solar Cell pada SCAPS 1-D
Setelah mendefinisikan semua layer dari struktur yang akan disimulasikan, langkah
selanjutnya adalah memberi parameter dari setiap layer dengan cara mengklik nama layer
yang telah dibuat.
Gambar 3.7 Pententuan parameter kaca TCO
Sebagai contoh, gambar 3. merupakan potongan tampilan SCAPS 1-D dimana
parameter tiap layer dari kaca TCO akan ditentukan. Parameter – parameter di atas berfungsi
21
sebagai variabel kontrol dari simulasi yang akan dilakukan. Proses ini juga dilakukan untuk
layer – layer lain yang telah didefinisikan sebelumnya.
3.2.3 Menentukan Kondisi Titik Kerja Simulasi
Penentuan titik kerja perlu dilakukan agar peneliti mampu menggunakan
kemampuan simulator SCAPS-1D untuk menghitung nilai Voc dan Isc dari solar cell yang
telah didefinisikan sebelumnya.
Gambar 3.8 Penentuan titik kerja
Untuk pengujian nilai Voc dan Isc, parameter yang ditentukan hanya nilai temperatur
dan illuminasi. Temperatur diatur dengan suhu 300K dan sumber cahaya yang digunakan
merupakan sinar matahari dengan nilai AM 1.5 dengan nilai iluminasi yang divariasi karena
iluminasi matahari nilainya bervariasi antara 930 W/m2 hingga 1120 W/m2.
3.3
Variabel Penelitian
Untuk melakukan penelitian menggunakan simulasi SCAPS-1D diperlukan
parameter yang berupa sifat-sifat elektris dari setiap lapisan perovskite solar cell. Untuk
lapisan kaca TCO, parameter yang digunakan bersumber dari penelitian milik Faruk Hossain
(Hossain, 2016). Untuk lapisan TiO2, parameter bersumber dari penelitian milik Soma Zandi
(Zandi, et al. 2019). Untuk lapisan CaTiO3, parameter didapat dari penelitian milikYi Lin
(Lin, 2005). Untuk lapisan elektrolit, parameter didapat dari penelitian Tony Harker (Harker
,1997) dan M.N Amalina (Amalina,2013).
22
Tabel 3.1 Parameter dari setiap layer perovskite solar cell
Parameter
TCO
TiO2
CaTiO3
Elektrolit
Ketebalan (nm)
200
90
300 (variabel)
350
Band gap (eV)
3.5
3.2
2
2.9
Afinitas elektron (eV)
4
4
3.7
3.18
Permitivitas dielektrik relatif
9
9
7
5
Kerapatan wilayah efektif pita konduksi
2.2x1018
1x1019
1021
2.2x1018
1.8x1019
1x1019
1022
1.8x1019
Mobilitas elektron (Cm2/Vs)
20
20
5.65
2x10-4
Mobilitas hole (Cm2/Vs)
10
10
5.65
2x10-4
Shallow uniform donor density ND(cm-3)
1x1018
5x1018
1013
0
Shallow uniform acceptor density NA (cm-3)
0
0
0
2x1018
(cm-3)
Kerapatan wilayah efektif pita valensi
(cm-3)
Parameter kaca TCO milik Faruk Hossain diambil sebagai parameter lapisan kaca
TCO simulasi karena kesamaan topik penelitian antara milik penulis dengan Faruk Hossain
dan juga parameter kaca TCO yang banyak digunakan pada simulasi penelitian lain nilainya
identik antara satu sama lain. Pengambilan parameter lapisan electron transport material
TiO2 milik Soma Zandi sebagai parameter lapisan kaca TiO2 simulasi karena parameter yang
TiO2 milik Soma Zandi menggunakan senyawa TiO2 dengan fase struktur kristal anatase
dimana fase anatase diketahui dapat meningkatkan kinerja sistem, strukturnya yang
berukuran nanokristal dan juga luas permukaan yang tinggi dari TiO2 adalah faktor yang
penting untuk meningkatkan densitas dan transfer elektron. Serta parameter Soma Zandi
merupakan kurasi dari referensi-referensi lain dengan parameter TiO2. Untuk CaTiO3
tetragonal, tidak banyak penelitian yang meneliti mengenai sifat maupun parameter elektris
dari CaTiO3 tetragonal dikarenakan perubahan fase struktur terjadi pada suhu 1200oC yang
mungkin menjadi hambatan penelitian sehingga penelitian milik Yi Lin tahun 2005
digunakan sebagai sumber referensi parameter simulasi. Untuk elektrolit Potassium Iodida,
penelitian milik Harker dipilih karena penelitian yang dilakukan memiliki parameter elektris
yang paling lengkap untuk senyawa Potassium Iodida.
23
Selain menentukan variabel-variabel kontrol untuk parameter lapisan pada simulator
SCAPS-1D seperti pada tabel 3.1 di atas, adapula variabel lain yang diamati yaitu variabel
bebas, variabel terikat, serta variabel keluaran.
1. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian adalah ketebalan lapisan CaTiO3
dengan variasi 300 nm, 400 nm, 500 nm, 600 nm, dan 700 nm.
2. Variabel tak bebas (terikat) yang dipengaruhi oleh perlakuan pada variabel bebas
meliputi tegangan keluaran (VOC) dan arus keluaran (ISC).
3. Variabel output yang digunakan dalam penilitian ini adalah:
a. Tegangan keluaran (VOC)
b. Arus keluaran (ISC)
c. Daya keluaran maksimum (PMAX)
d. Efisiensi (η)
3.4
Pengujian Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh variasi ketebalan lapisan calcium titanate maka
dilakukan pengujian Voc dan Isc,VMPP dan IMPP, daya maksimum, serta Fill Factor pada
perovskite solar cell.
3.4.1 Pengujian Tegangan Hubung Buka (VOC) dan Arus Hubung Singkat (ISC)
Ketika sel dalam keadaan short-circuit, arus maksimum atau arus short-circuit (ISC)
dihasilkan, sedangkan pada kondisi open-circuit, tidak ada arus yang mengalir sehingga
terjadi tegangan maksimum yang disebut tegangan open-circuit (VOC). Pengujian tegangan
hubung buka dan arus hubung singkat dilakukan dengan simulator SCAPS-1D. Sumber
cahaya yang digunakan adalah sinar matahari Air Mass 1.5G dengan variasi iluminasi 930
W/m2 sampai 1120 W/m2.
3.4.2 Pengujian VMPP dan IMPP
Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik
daya maksimum (MPP).
24
Gambar 3.9 Karakteristik Kurva I-V pada Sel Surya
Sumber: Purba, 2019
Nilai VMPP dan IMPP diperoleh menggunakan hasil pengalian terbesar antara nilai arus
dan tegangan yang ditampilkan oleh SCAPS-1D. Kemudian digunakan VMPP dan IMPP untuk
mencari nilai Fill Factor (FF) dan daya maksimum (PMAX).
3.4.3 Pengujian Fill Factor
Fill factor atau faktor pengisian adalah pengertian dari seberapa penuh hubungan
kurva I-V mendekati performansi sel surya ideal yang dalam hal tersebut adalah MPP berada
di garis putus-putus. Nilai fill factor dari sel surya didefinisikan sebagai perbandingan daya
maksimum sel terhadap tegangan rangkaian hubung buka (VOC) dan arus hubung singkat
(ISC).
Fill Factor =
VMPP . IMPP
VOC . ISC
3.4.4 Pengujian Daya Keluaran Maksimum Perovskite Solar Cell
Daya keluaran yang dihasilkan perovskite solar cell merupakan daya maksimum.
Daya keluaran PSC dapat dirumuskan sebagai berikut.
𝑃𝑀𝐴𝑋 = 𝑉𝑂𝐶 × 𝐼𝑆𝐶 × 𝐹𝐹
VOC
: tegangan hubung buka (volt)
ISC
: arus hubung singkat (ampere)
FF
: Fill factor
25
3.4.5 Pengujian Efisiensi
Efisiensi pada perovskite solar cell merupakan perbandingan antara daa maksimum
terhadap daya masukan yang didapat dari intensitas radiasi cahaya dan daerah aktif PSC
(Irmansyah et al, 2008). Persamaan untuk efisiensi PSC adalah sebagai berikut.
η=
𝑃𝑀𝐴𝑋
𝑃𝑀𝐴𝑋
× 100% =
× 100%
𝑃𝐶𝐴𝐻𝐴𝑌𝐴
𝐼𝐺 × 𝐴
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Pengujian dan analisis dilakukan untuk mengetahui apakah sistem dapat bekerja
sesuai dengan teori perancangan yang telah dibuat. Pada penelitian ini pengujian yang perlu
dilakukan antara lain :
4.1
1.
Pengujian tegangan hubung buka (VOC) dan arus hubung singkat (ISC)
2.
Analisis perhitungan karateristik perovskite solar cell
Pengujian Tegangan Hubung Buka (VOC) dan Arus Hubung Singkat (ISC)
Pengujian tegangan hubung buka (VOC) dan arus hubung singkat (ISC) dilakukan
bersam aan menggunakan sumber cahaya sinar matahari AM 1.5G dengan bantuan simulator
SCAPS-1D. Kondisi pencahayaan yang umum digunakan untuk pengukuran sel surya
adalaah pada saat AM 1.5, yang berarti matahari berada pada sudut 48.2° dari posisi AM 1
dimana posisi matahari berada tepat tegak lurus dengan permukaan bumi. Nilai kuat
pencahayaan matahari pada saat AM 1.5 bervariasi mulai dari 930 W/m2 hingga 1120 W/m2.
Hasil simulasi pengujian tegangan hubung buka dan arus hubung singkat ditunjukkan pada
tabel 4.1 dan 4.2.
Tabel 4.1 Hasil simulasi pengujian tegangan hubung buka
Kuat pencahayaan
VOC (V)
(W/m2)
300 nm 400 nm 500 nm 600 nm 700 nm
930
1.4504
1.4208
1.3938
1.3713
1.3537
980
1.4545
1.4245
1.3979
1.375
1.3572
1030
1.4586
1.4281
1.4016
1.3786
1.3605
1080
1.4622
1.4317
1.4048
1.3819
1.3634
1120
1.4649
1.4346
1.4074
1.3843
1.3656
1.4584
1.428
1.4014
1.3785
1.3604
Rata-rata
1028
Berdasarkan data pada Tabel 4.1, didapatkan tegangan rata-rata sel surya perovskit
yang bervariasi di setiap sampel. Untuk sampel dengan ketebalan CaTiO3 300 nm, nilai
tegangan hubung buka sebesar 1.4584 V. Sampel dengan ketebalan CaTiO3 400 nm nilai
tegangan hubung buka sebesar 1.428 V. Sampel dengan ketebalan CaTiO3 500 nm nilai
tegangan hubung buka sebesar 1.4014 V. Sampel dengan ketebalan CaTiO3 600 nm nilai
tegangan hubung buka 1.3785 V. Dan untuk sampel terakhir dengan ketebalan CaTiO3 700
26
27
nm, nilai tegangan hubung buka sebesar 1.3604 V. Pada pengujian ini, semakin besar
ketebalan CaTiO3 semakin kecil nilai tegangan hubung buka.
Tabel 4.2 Hasil simulasi pengujian arus hubung singkat
Kuat pencahayaan
ISC (μA)
(W/m2)
300 nm 400 nm 500 nm 600 nm 700 nm
930
104.561
60.757
40.647
31.376
27.044
980
109.016
62.832
41.632
31.857
27.296
1030
113.473
64.866
42.612
32.339
27.546
1080
117.926
66.937
43.59
32.817
27.794
1120
121.405
68.593
44.371
33.1981
27.99
113.295
64.783
42.573
32.319
27.536
Rata-rata
1028
Berdasarkan data pada Tabel 4.2, didapatkan arus hubung singkat rata-rata sel surya
perovskit yang bervariasi di setiap sampel. Untuk sampel dengan ketebalan CaTiO3 300 nm,
nilai arus hubung singkat sebesar 113.295 μA. Sampel dengan ketebalan CaTiO3 400 nm
nilai arus hubung singkat sebesar 64.783 μA. Sampel dengan ketebalan CaTiO3 500 nm nilai
arus hubung singkat sebesar 42.573 μA. Sampel dengan ketebalan CaTiO3 600 nm nilai arus
hubung singkat 32.319 μA. Dan untuk sampel terakhir dengan ketebalan CaTiO3 700 nm,
nilai arus hubung singkat sebesar 27.536 μA. Pada pengujian ini, sama seperti pengujian
tegangan hubung buka, semakin tebal lapisan perovskite CaTiO3 maka semakin kecil nilai
arus hubung singkat.
4.2
Analisis Perhitungan Karakteristik Perovskite Solar Cell
Setelah tegangan hubung buka (VOC) rata-rata dan arus keluaran (ISC) rata-rata
diperoleh, kemudian data nilai karakteristik I-V juga dapat ditampilkan oleh simulator
SCAPS-1D dimana nilai karakteristik I-V dapat digunakan untuk memperoleh nilai VMPP
dan IMPP. Nilai VMPP dan IMPP diperoleh menggunakan hasil pengalian terbesar antara nilai
arus dan tegangan yang ditampilkan oleh SCAPS-1D. Setelah itu nilai VMPP dan IMPP yang
telah dihitung digunakan untuk mendapatkan luasan maksimum yaitu FF (Fill Factor) dan
daya maksimum. Nilai dari Fill Factor akan digunakan untuk menghitung nilai daya
maksimum (PMAX) dan daya maksimum digunakan untuk menghitung nilai efisiensi dari
perovskite solar cell. Untuk menghitung nilai efisiensi dibutuhkan nilai kuat pencahayaan
28
matahari atau IG sebesar 1028 W/m2. Sehingga besarnya daya cahaya yang diterima oleh
perovskite solar cell didefinisikan sebagai besarnya kuat pencahayaan matahari (IG) dikali
dengan luas area kerja yaitu 6.25 cm2.
4.2.1 Analisis Perhitungan Karakteristik pada Sampel CaTiO3 300 nm
Simulasi yang dilakukan pada sampel perovskite solar cell dengan ketebalan lapisan
CaTiO3 300 nm menunjukkan nilai VOC dan Isc berturut-turut sebesar 1.4584 V dan 113.295
μA.
(x1, y1) = (1.4584 ; 0)
(x2, y2) = (0 ; 113.295)
Gambar 4.1 Grafik karakteristik hubungan I-V sampel CaTiO3 300 nm
Ketika sel dalam keadaan short-circuit, arus maksimum atau arus short-circuit (Isc)
dihasilkan, sedangkan pada kondisi open-circuit, tidak ada arus yang mengalir sehingga
terjadi tegangan maksimum yang disebut tegangan open-circuit (Voc). Gambar 4.1
menunjukkan grafik karakteristik I-V dari sampel CaTiO3 ketebalan 300 nm. Nilai VOC dan
ISC dari sampel perovskite solar cell dengan ketebalan CaTiO3 adalah 1.4584 V dan 113.295
μA. Data simulasi SCAPS-1D untuk nilai arus dan tegangan sampel perovskite solar cell
dengan ketebalan CaTiO3 300 nm ditunjukkan pada Tabel 4.3.
29
Tabel 4.3 Perhitungan VMPP dan IMPP pada sampel CaTiO3 300 nm
V
I
V.I
0
113.295
0
0.08
0.16
0.24
0.32
110.183
107.066
103.943
100.813
8.815
17.131
24.946
32.260
0.4
0.48
0.56
0.64
0.72
0.8
0.88
0.96
1.04
1.12
1.2
1.28
1.36
1.44
1.46
97.674
94.522
91.355
88.169
84.958
81.716
78.436
75.108
71.722
68.260
64.701
60.940
55.586
25.849
2.778
39.070
45.371
51.159
56.428
61.169
65.373
69.024
72.104
74.590
76.452
77.641
78.004
75.596
37.223
4.055
Pmax (1.28;60.940)
Gambar 4.2 Grafik karakteristik berdasarkan pengujian VOC dan ISC sampel CaTiO3
300 nm
Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik
daya maksimum(MPP). Pada Gambar 4.2 titik koordinat garis putus-putus menunjukkan
30
nilai MPP atau Maximum Power Point. Sumbu x pada garis putus-putus menunjukkan nilai
VMPP dan sumbu y menunjukkan nilai IMPP.
Berdasarkan perhitungan VMPP dan IMPP yang ditunjukkan pada tabel 4.3, didapatkan
nilai VMPP dan IMPP sebesar 1.28 V dan 60.94 μA. Nilai VMPP dan IMPP ini selanjutnya
digunakan untuk menghitung nilai fill factor, daya maksimum, serta efisiensi.
𝐹𝑖𝑙𝑙 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =
VMPP . IMPP
VOC . ISC
=
1.28 ×60.94
1.4584×113.295
= 0.472
𝑃𝑀𝐴𝑋 = 𝑉𝑜𝑐 × 𝐼𝑠𝑐 × 𝐹𝐹 = 1.4584 × (113.295 × 10−6 ) × 0,472
𝜂
= 53.475 × 10−6 Watt
=
𝑃𝑀𝐴𝑋
53.475 × 10−6
× 100% =
x 100%
1028 W/m2 𝑥 6.25 × 10−4 𝑚2
𝑃𝐶𝐴𝐻𝐴𝑌𝐴
= 0.008322%
Pengujian perovskite solar cell dengan ketebalan CaTiO3 300 nm dengan simulasi
SCAPS-1D diperoleh nilai fill factor 0.472, daya maksimum (PMAX) sebesar 53.475 μW, dan
efisiensi sebesar 0.008322%.
4.2.2 Analisis Perhitungan Karakteristik pada Sampel CaTiO3 400 nm
Simulasi yang dilakukan pada sampel perovskite solar cell dengan ketebalan lapisan
CaTiO3 400 nm menunjukkan nilai VOC dan Isc berturut-turut sebesar 1.428 V dan 64.783
μA.
(x1, y1) = (1.428; 0)
(x2, y2) = (0 ; 64.783)
Gambar 4.3 Grafik karakteristik hubungan I-V sampel CaTiO3 400 nm
Ketika sel dalam keadaan short-circuit, arus maksimum atau arus short-circuit (Isc)
dihasilkan, sedangkan pada kondisi open-circuit, tidak ada arus yang mengalir sehingga
31
terjadi tegangan maksimum yang disebut tegangan open-circuit (Voc). Gambar 4.3
menunjukkan grafik karakteristik I-V dari sampel CaTiO3 ketebalan 400 nm. Nilai VOC dan
ISC dari sampel perovskite solar cell dengan ketebalan CaTiO3 adalah 1.428 V dan 64.783
μA. Data simulasi SCAPS-1D untuk nilai arus dan tegangan sampel perovskite solar cell
dengan ketebalan CaTiO3 400 nm ditunjukkan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Perhitungan VMPP dan IMPP pada sampel CaTiO3 400 nm
V
I
V.I
0
64.783
0
0.08
0.16
0.24
0.32
62.510
60.253
58.015
55.795
5.001
9.640
13.924
17.854
0.4
0.48
0.56
0.64
0.72
0.8
0.88
0.96
1.04
1.12
1.2
1.28
1.36
1.44
53.592
51.405
49.234
47.077
44.933
42.799
40.672
38.550
36.427
34.298
32.149
29.857
25.472
13.209
21.437
24.675
27.571
30.130
32.352
34.239
35.791
37.008
37.884
38.414
38.579
38.217
34.642
19.021
32
Pmax(1.2; 32.149)
Gambar 4.4 Grafik karakteristik berdasarkan pengujian VOC dan ISC sampel CaTiO3 400 nm
Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik
daya maksimum(MPP). Pada Gambar 4.4 titik koordinat garis putus-putus menunjukkan
nilai MPP atau Maximum Power Point. Sumbu x pada garis putus-putus menunjukkan nilai
VMPP dan sumbu y menunjukkan nilai IMPP.
Berdasarkan perhitungan VMPP dan IMPP yang ditunjukkan pada tabel 4.4, didapatkan
nilai VMPP dan IMPP sebesar 1.2 V dan 32.149 μA. Nilai VMPP dan IMPP ini selanjutnya
digunakan untuk menghitung nilai fill factor, daya maksimum, serta efisiensi.
𝐹𝑖𝑙𝑙 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =
𝑃𝑀𝐴𝑋
𝜂
VMPP . IMPP
VOC . ISC
=
1.2×32.149
1.428×64.783
= 0,417
= 𝑉𝑜𝑐 × 𝐼𝑠𝑐 × 𝐹𝐹 = 1.428 × (64.783 × 10−6 ) × 0,417
= 38.576 × 10−6 Watt
=
38.576 × 10−6
𝑃𝑀𝐴𝑋
× 100% =
x 100%
1028 W/m2 𝑥 6.25 × 10−4 𝑚2
𝑃𝐶𝐴𝐻𝐴𝑌𝐴
= 0.006004%
Pengujian perovskite solar cell dengan ketebalan CaTiO3 400 nm dengan simulasi
SCAPS-1D diperoleh nilai fill factor 0.417, daya maksimum (PMAX) sebesar 38.576 μW, dan
efisiensi sebesar 0.006004%.
33
4.2.3 Analisis Perhitungan Karakteristik pada Sampel CaTiO3 500 nm
Simulasi yang dilakukan pada sampel perovskite solar cell dengan ketebalan lapisan
CaTiO3 500 nm menunjukkan nilai VOC dan Isc berturut-turut sebesar 1.4014 V dan 42.573
μA.
(x1, y1) = (1.4014; 0)
(x2, y2) = (0 ; 42.573)
Gambar 4.5 Grafik karakteristik hubungan I-V sampel CaTiO3 500 nm
Ketika sel dalam keadaan short-circuit, arus maksimum atau arus short-circuit (Isc)
dihasilkan, sedangkan pada kondisi open-circuit, tidak ada arus yang mengalir sehingga
terjadi tegangan maksimum yang disebut tegangan open-circuit (Voc). Gambar 4.5
menunjukkan grafik karakteristik I-V dari sampel CaTiO3 ketebalan 400 nm. Nilai VOC dan
ISC dari sampel perovskite solar cell dengan ketebalan CaTiO3 adalah 1.4014 V dan 42.573
μA. Data simulasi SCAPS-1D untuk nilai arus dan tegangan sampel perovskite solar cell
dengan ketebalan CaTiO3 500 nm ditunjukkan pada Tabel 4.5.
34
Tabel 4.5 Perhitungan VMPP dan IMPP pada sampel CaTiO3 500 nm
V
I
V.I
0
42.573
0
0.08
0.16
0.24
0.32
40.679
38.815
36.979
35.174
3.254
6.210
8.875
11.256
0.4
0.48
0.56
0.64
0.72
0.8
0.88
0.96
1.04
1.12
1.2
1.28
1.36
1.42
33.398
31.651
29.935
28.249
26.593
24.967
23.371
21.804
20.266
18.753
17.257
15.621
11.213
12.712
13.359
15.193
16.764
18.079
19.147
19.974
20.567
20.932
21.076
21.004
20.708
19.995
15.249
18.052
Pmax (1.04 ; 20.266)
Gambar 4.6 Grafik karakteristik berdasarkan pengujian VOC dan ISC sampel CaTiO3 500 nm
Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik
daya maksimum(MPP). Pada Gambar 4.6 titik koordinat garis putus-putus menunjukkan
nilai MPP atau Maximum Power Point. Sumbu x pada garis putus-putus menunjukkan nilai
VMPP dan sumbu y menunjukkan nilai IMPP.
35
Berdasarkan perhitungan VMPP dan IMPP yang ditunjukkan pada tabel 4.5, didapatkan
nilai VMPP dan IMPP sebesar 1.04 V dan 20.266 μA. Nilai VMPP dan IMPP ini selanjutnya
digunakan untuk menghitung nilai fill factor, daya maksimum, serta efisiensi.
𝐹𝑖𝑙𝑙 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =
VMPP . IMPP
VOC . ISC
=
1.04 ×20.266
1.4014×42.573
= 0,323
𝑃𝑀𝐴𝑋
= 𝑉𝑜𝑐 × 𝐼𝑠𝑐 × 𝐹𝐹 = 1.4014 × (42.573 × 10−6 ) × 0,323
𝜂
𝑃𝑀𝐴𝑋
19.2707 × 10−6
=
× 100% =
x 100%
1028 W/m2 𝑥 6.25 × 10−4 𝑚2
𝑃𝐶𝐴𝐻𝐴𝑌𝐴
= 19.2707 × 10−6 Watt
= 0.00299%
Pengujian perovskite solar cell dengan ketebalan CaTiO3 500 nm dengan simulasi
SCAPS-1D diperoleh nilai fill factor 0.323, daya maksimum (PMAX) sebesar 19.2707 μW,
dan efisiensi sebesar 0.00299%.
4.2.4 Analisis Perhitungan Karakteristik pada Sampel CaTiO3 600 nm
Simulasi yang dilakukan pada sampel perovskite solar cell dengan ketebalan lapisan
CaTiO3 600 nm menunjukkan nilai VOC dan Isc berturut-turut sebesar 1.3785 V dan 32.319
μA.
(x1, y1) = (1.3785; 0)
(x2, y2) = (0 ; 32.319)
Gambar 4.7 Grafik karakteristik hubungan I-V sampel CaTiO3 600 nm
Ketika sel dalam keadaan short-circuit, arus maksimum atau arus short-circuit (Isc)
dihasilkan, sedangkan pada kondisi open-circuit, tidak ada arus yang mengalir sehingga
terjadi tegangan maksimum yang disebut tegangan open-circuit (Voc). Gambar 4.7
menunjukkan grafik karakteristik I-V dari sampel CaTiO3 ketebalan 400 nm. Nilai VOC dan
36
ISC dari sampel perovskite solar cell dengan ketebalan CaTiO3 adalah 1.3785 V dan 32.319
μA. Data simulasi SCAPS-1D untuk nilai arus dan tegangan sampel perovskite solar cell
dengan ketebalan CaTiO3 600 nm ditunjukkan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Perhitungan VMPP dan IMPP pada sampel CaTiO3 600 nm
V
I
V.I
0
32.320
0
0.08
0.16
0.24
0.32
30.603
28.920
27.270
25.655
2.448
4.627
6.545
8.210
0.4
0.48
0.56
0.64
0.72
0.8
0.88
0.96
1.04
1.12
1.2
1.28
1.36
1.38
24.075
22.532
21.025
19.557
18.126
16.735
15.384
14.075
12.807
11.581
10.387
9.025
4.065
0.412
9.630
10.815
11.774
12.516
13.051
13.388
13.538
13.512
13.319
12.971
12.464
11.551
5.528
0.569
Pmax (0.88 ; 15.384)
Gambar 4.8 Grafik karakteristik berdasarkan pengujian VOC dan ISC sampel CaTiO3 600 nm
37
Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik
daya maksimum(MPP). Pada Gambar 4.8 titik koordinat garis putus-putus menunjukkan
nilai MPP atau Maximum Power Point. Sumbu x pada garis putus-putus menunjukkan nilai
VMPP dan sumbu y menunjukkan nilai IMPP.
Berdasarkan perhitungan VMPP dan IMPP yang ditunjukkan pada tabel 4.6, didapatkan
nilai VMPP dan IMPP sebesar 0.88 V dan 15.384 μA. Nilai VMPP dan IMPP ini selanjutnya
digunakan untuk menghitung nilai fill factor, daya maksimum, serta efisiensi.
𝐹𝑖𝑙𝑙 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =
𝑃𝑀𝐴𝑋
𝜂
VMPP . IMPP
VOC . ISC
=
0.88×15.384
1.3785×32.319
= 0,303
= 𝑉𝑜𝑐 × 𝐼𝑠𝑐 × 𝐹𝐹 = 1.3785 × (32.319 × 10−6 ) × 0,303
= 13.499 × 10−6 Watt
𝑃𝑀𝐴𝑋
13.499 × 10−6
=
× 100% =
x 100%
𝑃𝐶𝐴𝐻𝐴𝑌𝐴
1028 W/m2 𝑥 6.25 × 10−4 𝑚2
= 0.002101%
Pengujian perovskite solar cell dengan ketebalan CaTiO3 600 nm dengan simulasi
SCAPS-1D diperoleh nilai fill factor 0.303, daya maksimum (PMAX) sebesar 13.499 μW, dan
efisiensi sebesar 0.002101%.
4.2.5 Analisis Perhitungan Karakteristik pada Sampel CaTiO3 700 nm
Simulasi yang dilakukan pada sampel perovskite solar cell dengan ketebalan lapisan
CaTiO3 700 nm menunjukkan nilai VOC dan Isc berturut-turut sebesar 1.3604 V dan 27.536
μA.
(x1, y1) = (1.3604; 0)
(x2, y2) = (0 ; 27.536)
Gambar 4.9 Grafik karakteristik hubungan I-V sampel CaTiO3 700 nm
38
Ketika sel dalam keadaan short-circuit, arus maksimum atau arus short-circuit (Isc)
dihasilkan, sedangkan pada kondisi open-circuit, tidak ada arus yang mengalir sehingga
terjadi tegangan maksimum yang disebut tegangan open-circuit (Voc). Gambar 4.9
menunjukkan grafik karakteristik I-V dari sampel CaTiO3 ketebalan 400 nm. Nilai VOC dan
ISC dari sampel perovskite solar cell dengan ketebalan CaTiO3 adalah 1.3604 V dan 27.536
μA. Data simulasi SCAPS-1D untuk nilai arus dan tegangan sampel perovskite solar cell
dengan ketebalan CaTiO3 700 nm ditunjukkan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Perhitungan VMPP dan IMPP pada sampel CaTiO3 700 nm
V
I
V.I
0
27.536
0
0.08
0.16
0.24
0.32
25.902
24.303
22.741
21.216
2.072
3.889
5.458
6.789
0.4
0.48
0.56
0.64
0.72
0.8
0.88
0.96
1.04
1.12
1.2
1.28
1.36
1.38
19.728
18.280
16.871
15.504
14.179
12.898
11.661
10.472
9.331
8.239
7.184
5.915
0.089
5.454
7.891
8.774
9.448
9.923
10.209
10.318
10.262
10.053
9.704
9.227
8.621
7.571
0.121
7.526
39
Pmax (0.8;12.898)
Gambar 4.10 Grafik karakteristik berdasarkan pengujian VOC dan ISC sampel CaTiO3 700 nm
Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik
daya maksimum(MPP). Pada Gambar 4.10 titik koordinat garis putus-putus menunjukkan
nilai MPP atau Maximum Power Point. Sumbu x pada garis putus-putus menunjukkan nilai
VMPP dan sumbu y menunjukkan nilai IMPP.
Berdasarkan perhitungan VMPP dan IMPP yang ditunjukkan pada tabel 4.7, didapatkan
nilai VMPP dan IMPP sebesar 0.8 V dan 12.898 μA. Nilai VMPP dan IMPP ini selanjutnya
digunakan untuk menghitung nilai fill factor, daya maksimum (PMAX), serta efisiensi.
𝐹𝑖𝑙𝑙 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =
𝑃𝑀𝐴𝑋
𝜂
VMPP . IMPP
VOC . ISC
=
0.8 ×12.898
1.3604×27.536
= 0,275
= 𝑉𝑜𝑐 × 𝐼𝑠𝑐 × 𝐹𝐹 = 1.3604 × (27.536 × 10−6 ) × 0,275
= 10.3014 × 10−6 Watt
=
10.3014 × 10−6
𝑃𝑀𝐴𝑋
× 100% =
x 100%
1028 W/m2 𝑥 6.25 × 10−4 𝑚2
𝑃𝐶𝐴𝐻𝐴𝑌𝐴
= 0.001603%
Pengujian perovskite solar cell dengan ketebalan CaTiO3 700 nm dengan simulasi
SCAPS-1D diperoleh nilai fill factor 0.275, daya maksimum (PMAX) sebesar 10.3014 μW,
dan efisiensi sebesar 0.001603%.
4.3
Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Keluaran Perovskite Solar Cell
Pengujian perovskite solar cell menggunakan simulasi SCAPS-1D dengan
menggunakan sumber cahaya AM 1.5 berhasil menunjukkan nilai tegangan keluaran (Voc),
40
arus keluaran (Isc) dan karakteristik I-V dari perovskite solar cell. Nilai karakteristik I-V
tersebut dijadikan acuan untuk melakukan perhitungan fill factor, daya maksimum (PMAX),
serta efisiensi perovskite solar cell sehingga dapat diketahui bagaimana karakteristik
perovskite solar cell akibat pengaruh variasi ketebalan calcium titanate.
4.3.1 Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Tegangan Keluaran (VOC) PSC
Tabel 4.8 Hasil Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Tegangan Keluaran (VOC) PSC
Ketebalan (nm)
VOC (V)
300
1.4584
400
1.428
500
1.4014
600
1.3785
700
1.3604
1.48
1.46
VOC (V)
1.44
1.42
1.4
1.38
1.36
1.34
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Ketebalan CaTiO3 (nm)
Gambar 4.11 Grafik hubungan ketebalan CaTiO3 terhadap tegangan keluaran (VOC) PSC
Berdasarkan tabel 4.8 dan grafik pada gambar 4.11 diperoleh bahwa tegangan
keluaran (Voc) dengan sampel ketebalan 300 nm memiliki tegangan keluaran paling tinggi
dibanding dengan sampel yang lainnya, ini membuktikan bahwa ketebalan CaTiO3
mempengaruhi tegangan keluaran perovskite solar cell. Selain itu diperoleh bahwa semakin
tinggi nilai ketebalan perovskite, tegangan keluaran yang dihasilkan semakin turun.
41
4.3.2 Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Arus Keluaran (ISC) PSC
Tabel 4.9 Hasil Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Arus Keluaran (ISC) PSC
Ketebalan (nm)
ISC (μA)
300
113.295
400
64.783
500
42.573
600
32.319
700
27.536
120
100
ISC (μA)
80
60
40
20
0
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Ketebalan (nm)
Gambar 4.12 Grafik hubungan ketebalan CaTiO3 terhadap arus keluaran (ISC) PSC
Berdasarkan tabel 4.9 dan grafik pada gambar 4.12 diperoleh bahwa arus keluaran
(ISC) dengan sampel ketebalan 300 nm memiliki arus keluaran paling tinggi dibanding
dengan sampel yang lainnya, ini membuktikan bahwa ketebalan CaTiO3 mempengaruhi arus
keluaran perovskite solar cell. Selain itu diperoleh bahwa semakin tinggi nilai ketebalan
perovskite, arus keluaran yang dihasilkan semakin turun.
42
4.3.3 Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Fill Factor PSC
Tabel 4.10 Hasil Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Fill Factor PSC
Ketebalan (nm)
Fill Factor
300
0.472
400
0.417
500
0.323
600
0.303
700
0.275
0.6
0.5
Fill Factor
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Ketebalan (nm)
Gambar 4.13 Grafik hubungan ketebalan CaTiO3 terhadap fill factor PSC
Berdasarkan tabel 4.10 dan grafik pada gambar 4.13 diperoleh bahwa nilai fill factor
dengan sampel ketebalan 300 nm memiliki nilai paling tinggi dibanding dengan sampel
yang lainnya, ini membuktikan bahwa ketebalan CaTiO3 mempengaruhi fill factor dari
perovskite solar cell. Selain itu diperoleh bahwa semakin tinggi nilai ketebalan perovskite,
fill factor yang dihasilkan semakin turun.
43
4.3.4 Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Daya Maksimum (PMAX) PSC
Tabel 4.11 Hasil Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Daya Maksimum PSC
Ketebalan (nm)
PMAX (μW)
300
53.475
400
38.576
500
19.2707
600
13.4999
700
10.3014
60
50
PMAX (μW)
40
30
20
10
0
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Ketebalan (nm)
Gambar 4.14 Grafik hubungan ketebalan CaTiO3 terhadap Daya Keluaran Maksimum PSC
Berdasarkan tabel 4.11 dan grafik pada gambar 4.14 diperoleh bahwa nilai daya
maksimum yang dapat dihasilkan perovskite solar cell dengan sampel ketebalan 300 nm
memiliki nilai paling tinggi dibanding dengan sampel yang lainnya, ini membuktikan bahwa
ketebalan CaTiO3 mempengaruhi daya keluaran maksimum dari perovskite solar cell. Selain
itu diperoleh bahwa semakin tinggi nilai ketebalan perovskite, daya keluaran maksimum
yang dihasilkan semakin turun.
44
4.3.5 Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Efisiensi (η) PSC
Tabel 4.12 Hasil Analisis Ketebalan CaTiO3 Terhadap Efisiensi PSC
300
𝜂 (%)
400
6.004 x 10-3
500
2.99 x 10-3
600
2.101 x 10-3
700
1.603 x 10-3
Ketebalan (nm)
8.322 x 10-3
9
8
Efisiensi (10-3%)
7
6
5
4
3
2
1
0
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Ketebalan (nm)
Gambar 4.15 Grafik hubungan ketebalan CaTiO3 terhadap Efisiensi PSC
Berdasarkan tabel 4.12 dan grafik pada gambar 4.15 diperoleh bahwa nilai efisiensi
dihasilkan perovskite solar cell dengan sampel ketebalan 300 nm memiliki nilai paling
tinggi dibanding dengan sampel yang lainnya, ini membuktikan bahwa ketebalan CaTiO3
mempengaruhi efisiensi dari perovskite solar cell. Selain itu diperoleh bahwa semakin tinggi
nilai ketebalan perovskite, efisiensi yang dihasilkan semakin turun.
Dilihat dari seluruh pengujian performansi perovskite solar cell, dapat dikatakan
semakin tebal lapisan perovskite CaTiO3 nilai tegangan hubung buka (VOC), arus hubung
singkat (ISC), fill factor, daya keluaran maksimum, dan efisiensi akan semakin kecil . Ini
dikarenakan apabila lapisan perovskite semakin tebal dan kualitas perovskite tidak cukup
bagus maka dapat terjadi rekombinasi arus. Rekombinasi arus adalah peristiwa saat elektron
bebas yang telah tereksitasi berikatan kembali dengan hole. Kualitas absorber disini adalah
nilai dari mobilitas elektron dan hole dimana apabila elektron tidak cukup cepat untuk
mengalir menuju lapisan TiO2 dan hole tidak cukup cepat untuk mengalir menuju lapisan
45
elektrolit, maka dapat terjadi rekombinasi arus. Sehingga perovskite dengan ketebalan tipis
juga dibutuhkan namun di sisi lain juga akan mengurangi jumlah elektron yang akan
tereksitasi (Hossain,2016).
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil simulasi, perhitungan dan juga analisis yang telah dilakukan dalam
simulasi PSC dengan variasi ketebalan lapisan CaTiO3 dengan simulasi SCAPS-1D maka
dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Proses simulasi perovskite solar cell berhasil dilakukan dengan langkah
menentukan struktur PSC yang disimulasikan, menentukan parameter dari kaca
TCO, TiO2 anatase, CaTiO3 tetragonal, dan elektrolit untuk disimulasikan, serta
melakukan analisis fill factor, daya maksimum (PMAX), dan efisiensi.
2. Sampel yang memiliki ketebalan CaTiO3 paling tipis dari sampel yang diujikan
yaitu 300 nm menghasilkan rata-rata tegangan dan arus keluaran paling tinggi.
Tegangan hubung buka (VOC) dan arus hubung singkat (ISC) yang dihasilkan
sebesar 1.4584 V dan 113.295 μA. Nilai daya maksimum (PMAX) dan efisiensi dari
sampel PSC dengan ketebalan CaTiO3 300 nm juga tertinggi dari semua sampel
yang disimulasikan yaitu 53.475x 10-6 W dan 8.322 x 10-3%. Dengan
bertambahnya ketebalan dari lapisan CaTiO3 nilai tegangan hubung buka (VOC),
arus hubung singkat (ISC), daya maksimum (PMAX), serta efisiensi PSC akan turun.
5.2
Saran
Pada penilitian masih banyak kekurangan yang diharapkan dapat diperbaiki dan
disempurnakan pada penelitian selanjutnya. Berikut merupakan saran penulis yang dapat
dijadikan pertimbangan.
1. Dengan mudahnya melakukan simulasi solar cell dengan software SCAPS-1D,
diharapkan penelitian selanjutnya dapat menggunakan material untuk absorber
yang memiliki nilai mobilitas elektron dan hole yang tinggi dan HTM yang
memiliki karakteristik yang lebih baik seperti Spiro-OMeTAD atau FDA agar nilai
daya maksimum (PMAX) serta efisiensi dari PSC lebih tinggi dan dapat
diaplikasikan di dunia nyata.
2. Penentuan parameter sangat krusial untuk simulasi PSC. Diharapkan saat
penelitian selanjutnya menggunakan material perovskite solar cell yang telah
banyak diteliti parameter elektriknya agar memudahkan saat mencari parameter
material yang hendak diteliti.
46
DAFTAR PUSTAKA
Amalina. M.N. (2013). Investigation on the I2: CuI thin films and its stability over time.
Faculty of Electrical Engineering, Universiti Teknologi MARA
Andriana, Yuanita. (2015). Rancang Bangun Alat Ukur Efisiensi lampu Pijar Berbasis
Mikrokontroler. Jakarta: Universitas Indonesia.
BP.(2019). BP Statistical Review of World Energy.London:BP
Damayanthi, E.(2019).Pengaruh Luas Permukaan terhadap performansi Perovskite Solar
Cell.Skripsi. Tidak dipublikasikan.Malang:Universitas Brawijaya.
Fu, R., David, F., Robert, M., Mike, W. & Kristen, A. (2017). U. S. Solar Photovoltaic
System Cost Benchmark: Q1 2017. Alexandria: National Renewable Energy
Laboratory.
Gunadi. (2005). Pengatur arah pada Solar Cell dengan Menggunakan Mikrokontroller
AT89C52. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Brawijaya.
H. Zhang, J.F. Banfield. (2000). Understanding Polymorphic Phase Transformation
Behavior during Growth of Nanocrystalline Aggregates: Insights from TiO2. J-Phys
Chem B, vol. 104.
Harker, Tony. (1997). Crystal data of Potassium Iodide. Department of Physics and
Astronomy.University
College
London.
https://www.ucl.ac.uk/~ucapahh/research/crystal/ki.htm (diakses 11 Juni 2020).
Hedar, Farihah. (2019).Pengaruh Variasi Komposisi Bahan Kalsium Karbonat dan
Titanium Dioksida terhadap Karakteristik Solar Sel Perovskit.Tidak dipublikasikan
Universitas Brawijaya.Malang
Hossain, Faruk, Faisal, Mohammad, Okada, Hiroyuki. (2016). Device Modelling and
performance Analysis of Perovskite Solar Cells Based on Similarity with Inorganic
Thin Film Solar Cells Structure. Department of Electrical and Electronic Engineering.
Rajshahi University of Engineering and Technology. Bangladesh
Jaelani,A.(2017). Kebijakan Energi Baru Terbaukan di Indonesia: Isyarat Ilmiah Al-Qur’an
dan Implementasinya dalam Ekonomi Islam.Munich Personal RePEc Archive.
Jati, Bambang Murdaya Eka, dkk. (2010). Fisika Dasar Listrik-Magnet-Optika-Fisika
Modern. Yogyakarta:Andi.
Kay, A. Grätzel, M.. (1996). Low cost photovoltaic modules based on dye sensitized
nanocrystalline titanium dioxide and carbon powder. Solar Energy Materials & Solar
Cells.
Khoiruddin. (2012). Ekstrak Beta Karoten Wortel (Daucus Carota) Sebagai Dye Sentisizer
pada DSSC. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
47
48
Kirboga, S., Oner, M. (2013). Effect of the Experimental Parameters on Calcium Carbonate
Precipitation. Chemical Engineering Transaction, Vol. 32, ISSN: 1974-9791. Italia:
AIDIC.
Lailiyah, Q., Baqiya, M., Darminto. (2012). Pengaruh Temperatur dan Laju Aliran Gas CO2
pada Sintesis Kalsium Karbonat Presipitat dengan Metode Bubling. Jurnal Sains dan
Seni ITS. Vol. 1, No. 1 ISSN: 2301-928X. Surabaya: ITS.
Liebermann, R., Wang, Y., dan Liu, X., (1990).Domain Structure and Phase Transititin in
CaTiO3 at High Temperature. Eos, 71(17):529.
Lin, Y., Yi-Feng .(2004).New Infrared Properties of Tetragonal CaTiO3. Department of
Physics and State Keys Laboratory of Laser Technology. Huangzhong University of
Science and Technology.
Lukman, M., Yudyanto & Hartatiek. (2012). Sintesis Biomaterial Komposit CaO-SiO2
Berbasis Material Alam (Batuan Kapur dan Pasir Kuarsa) dengan Variasi Suhu
Pemanasan dan Pengaruhnya terhadap Porositas, Kekerasan dan Mikrostruktur.
Jurnal Sains. Vol. 2 No. 1. Malang: UM.
Marinova, N., Valero, S., Delgado, J.L. (2016). Organic and Perovskite Solar Cells :
Working Principles, Materials and Interfaces. Barrio Sarriena: University of the
Basque Country-Spain.
Michael, M. Lee, et al. (2012). Efficient Hybrid Solar Cells Based on Meso-Superstructured
Organometal Halide Perovskites. Science magazine. Vol. 338, 643-647.
Newport Corporation. (2013). Introduction to Solar Radiation. California.
https://www.newport.com/t/introduction-to-solar-radiation. (diakses 10 Juni 2020).
Niemegeers,Alex, et al. 2013.SCAPS manual.University of Gent.Belgium.
Prasanthkumar, S dan Giribabu, L. (2016). Recent Advances in Perovskite-Based Solar
Cells. Hyderabad: CSIR-Indian Institute of Chemical Technology.
Purba, Manerep Luis Fernando.(2019).Pengaruh variasi pH dye karotenoid dari buah tomat
terhadap daya keluaran DSSC.Tidak dipublikasikan.Universitas Brawijaya. Malang.
Riyanti. Rizka Sisna.(2019). Pengaruh kecepatan putaran spin coating terhadap
performansi
perovskite
solar
cell.Tidak
dipublikasikan
.Universitas
Brawijaya.Malang.
Rosemount Analitic inc. (2010). Emerson Process Management. Irvine: Barranca Parkway.
Sahoo,S.K.,Manoharan,B.,Sivakumar.N.(2018). Introduction:
Perovskite Solar cells?. VIT University. India.
Why
Perovskite
and
S. Wilman, D. Fajarisandi, M. Aditia. (2007). Pembuatan Prototipe Solar Cell Murah
dengan Bahan Organik- Inorganik. Penghargaan PT. Rekayasa Industri Penelitian
Bidang Energi. Jakarta: tidak diterbitkan.
49
Sucipto, E. (2007). Hubungan Pemaparan Partikel Debu pada Pengolahan Batu Kapur
terhadap Penurunan Kapasitas Fungsi Paru. Semarang: Universitas Diponegoro.
Sunardi,dkk.(2012) Fisika Berbasis Pendidikan Karakter Bangsa. Bandung:PT. Srikandi
Empat Widya Utama.
Torimtubun, Alfonsina A. A., Augusty, Anniza C., dkk. (2018). Affordable and Sustainable
New Generation of Solar Cells: Calcium Titanate (Catio3)-Based Perovskite Solar
Cells. Balikpapan: Institut Teknologi Kalimantan.
Trianiza, Ice., dan Gatut Yudoyono. (2009). Fabrikasi DSSC (Dye Sensitized Solar Cell)
dengan Teknik Pelapisan Spin Coating Menggunakan Kaca ITO dan FTO sebagai
Substrat dan Variasi Jahe Merah (Zingiber Officinale Var Rubrum) sebagai Dye
Sensitiser. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Vitriyani, E. dan Gatut, Y. (2013). Fabrikasi Dssc dengan Dye Ekstrak Jahe Merah
(Zingiber Officinale Linn Var. Rubrum) Variasi Larutan TiO2 Nanopartikel Berfase
Anatase dengan Teknik Pelapisan Spin Coating. Jurnal Sains dan Seni POMITS Vol.
2, No.1. Jurusan Fisika, Fakultas IPA Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya
Wenham, S. T., Martin, A. G., Muriel, E. W., Richard, C. & Alistair, S. (2011). Applied
Photovoltaics. London: Earthscan.
Wijayanti, Sarroh. (2010). Fabrikasi Prototype DSSC (Dye-Sensitized Sola Cell)
Menggunakan Klorofil Bayam (Amaranthus Hybidus L.) Sebagai Dye Alami. Skripsi.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Wright, K. et al., (1992). High-temperature Creep of the Perovskites CaTiO3 and
NaNbO3.University College London.London
Yandri, Valdi Rizki. (2012). Prospek pengembangan energi surya untuk kebutuhan listrik
di Indonesia. . ISSN 1979 4657. Pp 14-19
Zandi, Soma., Razaghi Mohammad. (2019). Finite element simulation of perovskite solar
cell: A study on efficiency improvement based on structural and material
modification.Departement of Electrical Engineering. University of Kurdistan. Iran
LAMPIRAN
50
51
LAMPIRAN 1. SIMULASI SCAPS-1D DENGAN KETEBALAN CATIO3 300 NM
Simulasi sampel pada iluminasi 930 W/m2
Simulasi pada iluminasi 980 W/m2
Simulasi pada iluminasi 1030 W/m2
52
Simulasi pada iluminasi 1080 W/m2
Simulasi pada iluminasi 1120 W/m2
LAMPIRAN 2. SIMULASI SCAPS-1D DENGAN KETEBALAN CATIO3 400 NM
53
Simulasi pada iluminasi 930 W/m2
Simulasi pada iluminasi 980W/m2
Simulasi pada iluminasi 1030 W/m2
Simulasi pada iluminasi 1080 W/m2
54
Simulasi pada iluminasi 1120 W/m2
LAMPIRAN 3. SIMULASI SCAPS-1D DENGAN KETEBALAN CATIO3 500 NM
Simulasi pada iluminasi 930W/m2
Simulasi pada iluminasi 980W/m2
55
Simulasi pada iluminasi 1030W/m2
Simulasi pada iluminasi 1080W/m2
Simulasi pada iluminasi 1120W/m2
56
LAMPIRAN 4. SIMULASI SCAPS-1D DENGAN KETEBALAN CATIO3 600 NM
Simulasi pada iluminasi 930W/m2
Simulasi pada iluminasi 980W/m2
57
Simulasi pada iluminasi 1030W/m2
Simulasi pada iluminasi 1080 W/m2
Simulasi pada iluminasi 1120 W/m2
LAMPIRAN 5. SIMULASI SCAPS-1D DENGAN KETEBALAN CATIO3 700 NM
58
Simulasi pada iluminasi 930 W/m2
Simulasi pada iluminasi 980 W/m2
Simulasi pada iluminasi 1030 W/m2
59
Simulasi pada iluminasi 1080 W/m2
Simulasi pada iluminasi 1120 W/m2