Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)

Perspektif Hukum

Justice in absentia In the criminal act of corruption has been the pros and cons to date, there is an assumption that the trial in absentia is a violation of human rights because it is related to the human rights of the accused as a human being who has the right to defend himself in court, on the other hand the trial in absentia can be carried out as long as the defendant is completely unknown so that he cannot be present at the trial hearing due to running away (fugitive). This paper discusses the implementation of justice in absentia in the handling of criminal acts of corruption associated with human rights in efforts to save state finances, this study aims to determine whether the trial process of a court hearing a defendant can be sentenced to a criminal sentence by a judge without the defendant himself being present. a judicial process in absentia. The research method used is normative research using data collection methods, namely library research (library research) by search...

Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Email: sayyid.umar.al-2019@fh.unair.ac.id, tjokorda.istri.kumari-2019@fh.unair.ac.id, luh.putu.rahayu-2019@fh.unair.ac.id, komang.giri.arta-2019@fh.unair.ac.id Abstract: Justice in absentia In the criminal act of corruption has been the pros and cons to date, there is an assumption that the trial in absentia is a violation of human rights because it is related to the human rights of the accused as a human being who has the right to defend himself in court, on the other hand the trial in absentia can be carried out as long as the defendant is completely unknown so that he cannot be present at the trial hearing due to running away (fugitive ).This paper discusses the implementation of justice in absentia in the handling of criminal acts of corruption associated with human rights in efforts to save state finances , this study aims to determine whether the trial process of a court hearing a defendant can be sentenced to a criminal sentence by a judge without the defendant himself being present. a judicial process in absentia . The research method used is normative research using data collection methods, namely library research (library research) by searching , reading and studying and understanding secondary data related to the problem under study. The results of this study indicate that trials in absentia can be implemented and do not violate human rights as long as they are implemented through correct procedures and based on statutory provisions . The in absentia trial aims to break the impasse in examining defendants who are not present at the trial and efforts to save state finances , both those that have been corrupted and those that are still suspected of having something to do with corruption cases, both those that have been confiscated and those that have not been confiscated to be confiscated for the state through a court decision. Kata Kunci: judicial in absentia, criminal acts, corruption, human rights. Abstrak : Peradilan in absentia pada tindak pidana korupsi telah menjadi pro dan kontra sampai saat ini, ada anggapan bahwa peradilan in absentia merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia dikarenakan terkait dengan hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang memiliki hak untuk membela dirinya dalam persidangan , disisi lain peradilan in absentia dapat dilaksanakan sejauh terdakwa tidak diketahui sama sekali keberadaanya sehingga tidak bisa dihadirkan pada pemeriksan sidang pengadilan dikarenakan melarikan diri (buron ). Tulisan ini membahas pelaksanaan peradilan in absentia dalam penanganan tindak pidana korupsi yang dikaitkan dengan hak asasi manusia dalam upaya penyelamatan keuangan negara, penelitian ini bertujuan mengetahui apakah proses pemeriksaan sidang pengadilan yang mengadili seorang terdakwa dapat dijatuhi hukuman pidana oleh hakim tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri dalam suatu proses peradilan in absentia . Metode penelitian yang digunakan merupakan penelitian normatif dengan menggunakan metode pengumpulan data yaitu studi kepustakaan (library research ) dengan cara mencari , membaca dan mempelajari dan memahami data -data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan diteliti. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peradilan in absentia dapat dilaksanakan dan tidak melanggar hak asasi manusia sepanjang penerapannya melalui prosedur yang benar serta berdasarkan ketentuan undangundang . Peradilan in absentia bertujuan untuk mencairkan kebuntuan pemeriksaan terdakwa yang tidak hadir di persidangan dan upaya menyelamatkan keuangan negara , baik yang telah dikorupsi maupun yang masih diduga ada kaitannya dengan perkara korupsi baik yang sudah disita maupun yang belum disita guna dirampas untuk negara melalui suatu putusan pengadilan. Kata Kunci: peradilan in absentia, tindak pidana, korupsi, hak asasi manusia. Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) baik yang telah dikorupsi maupun yang masih diduga ada kaitannya dengan perkara korupsi baik yang sudah disita maupun yang belum disita guna dirampas untuk negara melalui suatu putusan pengadilan. Kata Kunci: peradilan in absentia, tindak pidana, korupsi, hak asasi manusia. 17 Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35 A. PENDAHULUAN Seiring berkembangnya zaman berikut dengan kerasnya arus kedinamisan pada masyarakat membuat tuntutan masyarakat untuk memberantas korupsi semakin meningkat, hal ini ditandai dengan maraknya aksi demo yang dilakukan oleh berbagai kalangan hingga tuntutan masyarakat yang semakin mencuat melalui media online. Perkembangan korupsi di Indonesia itu sendiri juga menjadi salah satu dorongan akan pemberantasan korupsi di Indonesia, namun kenyataannya hingga kini penanganan korupsi di Indonesia masih belum menunjukkan titik terang dan tidak sedikit kasus korupsi yang menarik perhatian publik mengalami kendala dalam proses penanganannya akibatnya masyarakat merasa kurang puas terhadap kinerja para penegak hukum. Banyak faktor yang menjadi hambatan dalam penanganan korupsi, salah satunya adalah ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan, karena terkadang dapat membatasi kreativitas dan inisiatif aparat lembaga peradilan dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi. Prinsip hadirnya terdakwa pada sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana korupsi didasarkan pada hak-hak asasi terdakwa yang berhak membela diri dan mempertahankan hak-hak kebebasannya. Berkaitan dengan usaha pemerintah dalam memberantas korupsi dan memaksimalkan penyelamatan keuangan negara, maka terpaksa dilakukan upaya luar biasa yaitu dapat dilangsungkannya pemeriksaan perkara tanpa dihadiri oleh terdakwa (in absentia). Sidang in absentia telah diamanatkan dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa, “dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”. Tujuan dari suatu persidangan secara in absentia, seperti dalam perkara tindak pidana korupsi adalah upaya menyelamatkan kekayaan negara, baik yang telah dikorupsi maupun yang masih diduga ada kaitannya dengan perkara korupsi, baik yang masih disita maupun yang belum disita guna dirampas untuk negara melalui suatu putusan pengadilan. Tentunya tujuan ini berbeda dengan persidangan in absentia dalam perkara tindak pidana tertentu lainnya.1 Dari sisi hak asasi manusia ada anggapan bahwa peradilan in 1 Marwan Effendi, Peradilan In absentia dan Koneksitas, PT. Timpani Publishing, Jakarta, 2010, hlm. 3. 18 Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) hak hidupnya, hak politik dan hak ekonominya akibat hukuman yang dijatuhkan dari proses peradilan in absentia3 Peradilan in absentia adalah contoh praktek hukum yang potensial melahirkan kesewenangwenangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Meski bukan pelanggaran atas hak-hak dasar, praktek in absentia akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Hak-hak tersangka atau terdakwa menjadi terhempas dan hilang, dan semuanya itu merupakan hilangnya indepedensi penegak hukum dan adanya kelompok kepentingan yang mengintervensi kekuasaan yudikatif. Disinilah muncul dilema untuk memilih praktek in absentia yang menghilangkan hak-hak tersangka atau terdakwa, atau untuk melindungi hak-hak asasi 4 tersangka atau terdakwa. absentia merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena terkait dengan hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang memiliki hak untuk membela dirinya di dalam persidangan, seperti hak untuk membantah terhadap barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, membantah keterangan saksi hingga memberikan tanggapan, meskipun terdakwa masih diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum banding. Seperti yang dinyatakan oleh Dwiyanto Prihartono bahwa peradilan in absentia mempunyai kaitan erat dengan hak asasi manusia yang dimiliki oleh tersangka, hak asasi manusia yang dilanggar adalah menghilangkan hak orang lain untuk mendapatkan keadilan hukum.2 Dengan demikian, pelanggaran hak asasi manusia bukan terletak pada proses peradilan hukumnya, namun pada penghilangan secara paksa keadilan yang seharusnya diperoleh. Meskipun proses peradilan in absentia pada tingkat prosesnya telah melanggar derogable rights-(non) yang dimiliki tersangka, tidak semestinya keadilan yang justru termasuk non derogable rights juga turut dilanggar, karena dengan menghilangkan keadilan itu seseorang dapat dihilangkan 2 Dwiyanto Prihartono, Sidang Tanpa Terdakwa, Pustaka Pelajar Offset , Yogyakarta, 2003, hlm. 16. 3 Sri Hastuti, dkk. Penanganan Perkara Tindak Pidana Secara In absentia, Miswar, Jakarta, 2011, hlm. 4. B. PERMASALAHAN 1. Urgensi Peradilan In absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi Secara hukum peradilan in absentia banyak diterapkan terhadap perkara perdata yang dalam pelaksanaannya hanya dihadiri oleh wakil atau kuasa 4 Riswal Saputradan Syukri Akub, Jurnal: Pelaksanaan Peradilan In absentia Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Dan Relevansinya Dengan Hak-Hak terdakwa. 19 Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35 dari pihak-pihak yang berperkara, Hakim dapat mengadili dan menjatuhi putusan tanpa hadirnya penggugat maupun tergugat setelah dilakukan pemanggilan secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku. Secara yuridis formal, peradilan in absentia dapat dilakukan pada tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perikanan dan juga tindak pidana korupsi disamping pelanggaran lalu lintas jalan sebagaimana tercantum dalam Pasal 214 KUHAP. Pada kasus tindak pidana korupsi, sebenarnya peradilan in absentia telah diatur sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa: “jika terdakwa dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim tanpa kehadirannya”, dan pada perkembangannya dengan menunjuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 38 ayat (1) menyatakan: “dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya” dengan penjelasan dalam undang-undang tersebut maka dapat diartikan peradilan in absentia dapat dilaksanakan apabila terdakwa telah dipanggil secara sah akan tetapi tidak hadir di dalam sidang pengadilan tanpa alasan yang sah dan sepanjang usaha aparat penegak hukum untuk mencari dan menghadirkan terdakwa ke pemeriksa sidang pengadilan sudah maksimal tetapi tidak membawa hasil. Ketentuan ini dipastikan hanya diperuntukan bagi terdakwa yang tidak ditahan sebab bagi terdakwa yang ditahan untuk menghadapi persidangan tanpa diperlukan panggilan kerana tanggung jawab Jaksa penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa ke muka persidangan. Namun pada kenyataanya peradilan in absentia pada tindak pidana korupsi menjadi pro dan kontra sampai saat ini, beberapa pendapat menyatakan bahwa peradilan in absentia tidak dapat dilaksanakan di dalam sidang peradilan dikarenakan oleh alasan-alasan tertentu seperti tujuan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi tidak semata-mata hanya untuk menyatakan seseorang bersalah dan negara mendapat 20 Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) uang pengganti atas apa yang telah diperbuat terdakwa, akan tetapi perlu dipikirkan memberi pelajaran terhadap seseorang guna mempertanggung jawabkan di hadapan publik dan memiliki rasa malu atas apa yang telah dilakukannya, dengan begitu salah satu cara mewujudkan pertanggung jawaban publik dan rasa malu tersebut adalah dengan kehadiran seseorang dipersidangan. Selain itu, dengan memperhatikan pasalpasal dalam KUHAP juga menganut asas audy at alteram partem yang mewajibkan hakim untuk mendengarkan kedua belah pihak dan juga secara materiil sebenarnya terdakwa harus dipandang sebagai pihak karena memiliki kepentingan, Hakim harus mempertimbangkan terlebih dahulu peran terdakwa, kerugian keuangan negara yang telah di korupsi sebagai akibat yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa, karena sebelum menuntut terdakwa Jaksa Penuntut Umum akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan, begitu pun dengan majelis hakim dalam memutus suatu perkara. Pada pelaksanaannya, peradilan in absentia dalam penanganan tindak pidana korupsi mengalami berbagai hambatan dan permasalahan dan yang terjadi di lapangan seperti tidak adanya undangundang tersendiri mengenai peradilan in absentia yang mengatur. Hal tersebut memungkinkan hakim untuk menolak melakukan persidangan dengan berbagai alasan yang tentunya memerlukan argumentasi yang memakan waktu sehingga kemungkinan besar memberikan peluang bagi tersangka untuk menghilangkan atau memindahtangankan harta kekayaan tersangka. 2. Hak Asasi Manusia dalam Peradilan In Absentia Secara substansi, KUHAP telah memberikan perlindungan yang baik terhadap hak-hak asasi terdakwa melalui hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum kasusnya diputus oleh pengadilan atau praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Secara umum, fungsi suatu undang-undang acara pidana adalah membatasi kekuasaan negara dan melindungi setiap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana, sehingga diharapkan terjamin perlindungan para tersangka dari tindakan aparat penegak hukum dan pengadilan. Dengan demikian, hukum yang sama memberikan pula 21 Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35 pembatasan-pembatasan terhadap hak asasi warganya. Dengan kata lain, hukum acara pidana adalah alat yang memberi kekuasaan terutama penegak hukum yang juga sekaligus alat hukum untuk membatasi wewenang kekuasaan tersebut.5 Jaminan dan perlindungan terhadap HAM dalam peraturan hukum acara dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana ini menjurus kepada pembatasanpembatasan HAM seperti penangkapan, penahan, penyitaan, penggeledahan dan penghukuman, yang pada hakekatnya adalah pembatasanpembatasan 6 HAM. Proses pembentukan KUHAP menunjukkan bahwa yang ingin diperjuangkan adalah pemahaman untuk melihat proses peradilan pidana itu sebagai proses peradilan berlandaskan proses hukum yang adil (due process of law) dimana hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana dilindungi serta dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga negara (civil rights) dan karena itu bagian dari HAM. Ada sepuluh asas yang ditegaskan dalam 5 Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 72 6 Erni Widhayanti, Hak-hak Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 34. Penjelasan KUHAP mengatur perlidungan terhadap keluhuran martabat dan harkat manusia.7 Unsur-unsur dalam asas praduga tak bersalah adalah prinsip utama perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of law), yang mencakup bahwa kesalahan seseorang harus dibuktikan dalam sidang pengadilan yang jujur atau fair trail, berimbang dan tidak memihak (impartiality). Perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi tidak saja terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi juga tercantum dalam bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Asas ini serupa dengan yang terdapat dalam Pasal 6 dan 7 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Pasal 16 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Baik tersangka, terdakwa dan aparat penegak hukum adalah sama-sama warga negara yang mempunyai hak, kedudukan 7 Mardjono Reksodipuro, HAM dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 27-28. 22 Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kewajiban yang sama di hadapan hukum, yakni samasama bertujuan mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Setiap orang, apakah ia tersangka atau terdakwa, berhak mendapatkan perlindungan hukum tanpa adanya diskriminasi. Perlindungan terhadap tindakan sewenangwenang dari pejabat negara, sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya, tanpa campur tangan pemerintah atau kekuasaan sosial politik manapun.8 Meskipun KUHAP tidak memuat secara jelas, tetapi penafsiran bahwa peradilan in absentia tidak dimungkinkan dalam KUHAP dapat tersirat dalam beberapa pasal misalnya pasal 145, pasal 146, pasal 152 ayat (2), pasal 154 ayat (4) dan ayat (5), pasal 155 ayat (1), pasal 189, pasal 196 ayat (1), pasal 203, pasal 205 dan pasal 227. Ada suatu mata rantai yang terjalin antara ketentuan pasal-pasal dalam KUHAP tersebut dengan makna Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengedepankan pentingnya kehadiran terdakwa pada pemeriksaan sidang 8 pengadilan, karena disamping memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan pembelaan juga agar terdakwa dapat diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia, karena hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan harus diartikan bahwa pengadilan tidak dapat memeriksa suatu perkara tindak pidana apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan oleh Jaksa. Dengan berpedoman pada proses hukum yang adil, bagaimanapun kuatnya buktibukti yang dimiliki oleh Polisi atau Penuntut Umum, sudut pandang terdakwa tetap harus selalu dipertimbangkan, dan apabila terdakwa tidak dapat hadir atau dihadirkan tetapi proses peradilan pidana tetap dijalankan, telah melanggar hak untuk membela diri dan praduga tidak bersalah seorang warga negara. C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 1. Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Secara In Absentia Pada hakikatnya, proses penyelenggaraan peradilan pidana melalui implementasi ketentuanketentuan hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil yang Ibid. hlm. 36. 23 Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35 melindungi kepentingan para pencari keadilan (tersangka atau terdakwa), kepentingan tersebut harus dijaga dan dijamin keseimbangannya oleh hukum acara pidana. Penerapan peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur pemeriksaan terdakwa sampai dengan penjatuhan pidana merupakan proses penegakan hukum yang wajib dilaksanakan dengan tepat waktu dan sesegera mungkin karena disamping membela hak asasi terdakwa, juga untuk kepastian hukum terdakwa. Dengan begitu kehadiran terdakwa dipersidangan adalah sebagai upaya untuk melakukan perlawanan atau keberatan atas dakwaan penuntut umum. Akan tetapi sebaliknya, ketidakhadiran terdakwa di pemeriksaan sidang pengadilan tanpa alasan yang sah walaupun telah dilakukan pemanggilan secara sah merupakan upaya terdakwa untuk secara sengaja menghindarkan diri dari pemeriksaan yang berakibat pada kebuntuan proses pemeriksaan. Rangkaian upaya menghadirkan terdakwa di persidangan yang diawali dengan perintah hakim ketua sidang supaya terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang persidangan, akan tetapi apabila terdakwa pada sidang yang telah ditentukan tidak hadir, hakim ketua sidang akan meneliti apakah terdakwa telah dipanggil secara sah. Dalam penelitian tersebut dapat dijumpai beberapa kemungkinan, yaitu: 1. Terdakwa ternyata dipanggil “secara tidak sah”. Dalam hal ini hakim ketua sidang akan menunda persidangan dan memerintahkan penuntut umum supaya memanggil terdakwa sekali lagi untuk hadir pada tanggal hari sidang berikutnya; 2. Terdakwa ternyata sudah dipanggil “secara sah”. Dalam hal ini sekalipun terdakwa telah dipanggil secara sah, namun tidak datang menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah: berdasarkan ketentuan Pasal 154 Ayat (4) dan Ayat (6) KUHAP maka pemeriksa perkara tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang akan menunda atau mengundurkan persidangan pada tanggal hari sidang berikutnya seraya memerintahkan penuntut umum untuk memanggil terdakwa sekali lagi pada tanggal hari sidang yang telah ditentukan. Apabila kemudian setelah terdakwa dipanggil secara sah untuk kedua kalinya namun tetap juga tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, maka dalam hal ini hakim ketua sidang dapat memerintahkan kepada penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa dengan paksa pada tanggal hari sidang pertama berikutnya. Suatu panggilan dapat dikatakan sah atau tidak apabila memenuhi atau tidak memenuhi 24 Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) ketentuan Pasal 145 KUHAP dan Pasal 146 KUHAP tentang tata cara panggilan terdakwa. Sedangkan yang dimaksud dengan tanpa alasan yang sah, ada beberapa kemungkinan, yaitu: 1. Sama sekali tidak memberikan alasan apapun, atau; 2. Memberikan alasan tetapi alasan dinilai tidak patut, atau; 3. Alasan patut tetapi ternyata tidak benar atau bohong. Untuk alasan yang pertama sudah jelas, sedangkan alasan yang kedua berupa alasan yang tidak ada relevansinya dengan ketidakhadirannya, misalkan tidak hadir karena mengantarkan anak ke sekolah. Adapun alasan yang ketiga ada relevansinya namun ternyata terbukti alasan itu palsu, misalnya alasan sakit namun ternyata tidak sakit karena surat keterangan dokter dipalsukan olehnya.9 Dengan demikian alasan sakit yang diperkuat dengan surat keterangan dokter (yang tidak dipalsukan) atau karena halangan yang patut dan wajar seperti misalnya terdakwa mengalami musibah adalah alasan yang dibenarkan atau alasan yang sah. Alasan yang sah ini dengan sendirinya menghapuskan wewenang hakim ketua sidang untuk memerintahkan terdakwa dihadirkan dengan paksa di persidangan. Namun demikian penentuan sah atau tidaknya suatu alasan yang diajukan terdakwa 9 Adam Chazwi, Hukum Pidana Materiil dan Formil tentang Korupsi di Indonesia, tetap merupakan kewenangan hakim. Seandainya hakim menilai alasan yang dikemukakan terdakwa sah, tindakan hakim menunda dan mengundurkan persidangan dan selanjutnya memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa pada tanggal hari sidang berikutnya, akan tetapi apabila hakim ketua sidang menilai alasan yang dikemukakan terdakwa tidak sah, maka hakim akan menerapkan substansi Pasal 154 Ayat (4) dan Ayat (6) KUHAP. Pada prinsipnya Pasal 154 utamanya Ayat (2), Ayat (4) dan Ayat (6) KUHAP merupakan pedoman menghadirkan terdakwa dalam persidangan untuk membuat terang dan jelas suatu perkara yang didakwakan pada terdakwa. Kehadiran terdakwa tersebut juga sebagai upaya untuk melakukan perlawanan atau keberatan atas dakwaan penuntut umum. Adapun Pasal 154 KUHAP sebagai berikut: 1. Ayat (2): Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. 2. Ayat (4): Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, pemeriksaan Bayumedia Publishing, Malang, 2003, hlm. 303. 25 Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35 perkara tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. 3. Ayat (6): Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. Terhadap tindak pidana korupsi, permasalahan dikembalikan pada komitmen pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi karena keberadaan barang bukti diperlukan kepastiannya mengingat nilai kemanfaatanya relatif besar karena berkaitan dengan pergerakan perekonomian dan anggaran belanja negara atau kekayaan negara. Sebagaimana dijabarkan didalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 seperti Pasal 2 dan Pasal 3 disebutkan bahwa “salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dan menurut ketentuan Pasal 4 “pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidananya pelaku tindak pidana korupsi tetap hanya merupakan salah satu alasan meringankan hukumannya” yang terpenting dalam hal ini adalah melaksanakan penegakan hukum secara konsisten dan terbuka. Kemudian di dalam penjelasan Pasal 38 Ayat (1) dijabarkan bahwa “ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan keuangan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim”. Makna dari penjelasan Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut adalah sebagai perwujudan adanya kepastian hukum baik terhadap pelaku maupun terhadap kekayaan negara yang harus dikembalikan, sehingga atas dasar hubungan dilematis antar kepentingan penegakan hukum yang bermuara pada peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap reformasi hukum, dengan kepentingan hukum terdakwa atas hak yang dimilikinya untuk hadir di persidangan. Peradilan in absentia dalam tindak pidana korupsi dapat dilihat sebagai suatu prosedur pengecualian (eksepsionalitas) dari hukum acara yang keberadaanya untuk tujuan tertentu yaitu penyelamatan keuangan negara, sehingga secara hukum ada sarana yang bisa didayagunakan ketika hendak merespon perbuatan korupsi yang merugikan negara.10 Dengan penanganan perkara tindak pidana korupsi secara in absentia 10 Dwiyanto Prihartono, Sidang Tanpa Terdakwa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2003 Hal. 16 26 Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) diharapkan dapat membantu menyederhanakan prosedur penuntutan ataupun peradilan sehingga menghindari adanya penumpukan perkara. Saat ini penerapan peradilan in absentia atas perkara tindak pidana korupsi, senantiasa dipengaruhi oleh perbedaan beberapa pendapat para ahli hukum mengenai keabsahan peradilan in absentia. Ada tiga kecenderungan yang 11 mempengaruhi: 1. Menganggap pemeriksaan di pengadilan memutlakan hadirnya terdakwa. Pendapat ini berarti secara ekstrim menolak diberlakukannya sidang in absentia. Pasalpasal yang menjadi acuan kelompok pertama adalah pasal-pasal yang termuat dalam KUHAP yang meliputi Pasal 145 Ayat (5), Pasal 154 Ayat (5), Pasal 155 Ayat (1), Pasal 203 dan Pasal 205. Pemahaman atas ketentuan pasal-pasal tersebut diatas adalah tidak mungkin sebuah perkara diperiksa dan diadili tanpa hadirnya terdakwa. Bahwa para penyidik akan mengalami kseulitan yang substansial dalam menyusun berita acara pemeriksaan, karena bagaimana mungkin pemeriksaan dilakukan tanpa adanya obyek yang diperiksa. 2. Mereka yang berpandangan bahwa demi alasan pengembalian harta negara 11 dalam kasus korupsi dan pemenuhan keadilan di masa transisi, maka pasal-pasal dalam undang-undang ini harus diberi nafas dan diterobos. Hal ini secara teoritik dibenarkan dengan alasan melakukan proses penemuan hukum (rechtfinding) atas sebuah kasus yang belum tegas aturannya. Acuan kelompok kedua yang memperbolehkan yang memperbolehkan peradilan in absentia adalah ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menggantikan ketentuan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang menyatakan bahwa “dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir disidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”. Semangat pasal yang dikutip dari undang-undang tersebut pada dasarnya menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang penegakan hukumannya pun diluar kebiasaan sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai suatu prosedur pengecualian (eksepsionalitas) untuk menyelamatkan kekayaan negara. Pada prinsipnya eksepsionalitas dalam hukum Dwiyanto Prihartono, op.cit, hlm 26-27. 27 Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35 3. 12 acara merupakan prosedur yang bersifat luar biasa seperti pengenyampingan asa nonretroaktif pada kasus pelanggaran hak asasi manusia, kewenangan mengenyampingkan perkara oleh Jaksa Agung ataupun in absentia. Eksepsionalitas yang diberlakukan pada peradilan in absentia perkara tindak pidana korupsi mengingat kejahatan korupsi senantiasa berkaitan dengan jabatan (disebut dengan jabatan okupasional/occupational crime) yakni kejahatan yang terlaksananya mensyaratkan adanya suatu jabatan atau pekerjaan jenis tertentu yang dilindungi undang-undang sehingga setiap pelaku kejahatan okupasi yang tergolong powerfull sulit dijangkau oleh hukum. Karena berkaitan dengan jabatan, maka tindak pidana korupsi seringpula dikelompokkan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) sehingga tindak pidana korupsi dalam hal ini dikategorikan sebagai kejahatan yang sangat luat biasa (extraordinary crime). Ketiga, pendapat yang paling moderat. Kelompok ketiga beranggapan kedua pendapat diatas sama-sama merupakan produk hukum yang memiliki kekuatan hukum sama sehingga perlu dipertemukan menjadi suatu kekuatan dalil baru. Pandangan moderat berpendapat pada dasarnya peradilan in absentia merupakan amanat undangundang yang pelaksanaanya harus benar-benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sidang in absentia dapat saja dilakukan, tetapi praktek itu tetap harus melewati proses kerja normal yang maksimal. Namun pada akhirnya seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tujuan dari suatu persidangan in absentia seperti dalam perkara tindak pidana korupsi adalah dalam upaya menyelamatkan keuangan negara, baik yang telah dikorupsi maupun yang masih diduga ada kaitannya dengan perkara korupsi baik yang sudah disita maupun yang belum disita guna dirampas untuk negara melalui suatu putusan pengadilan, tentunya tujuan ini berbeda dengan persidangan in absentia dalam perkara tindak pidana tertentu lainnya.12 Peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dapat mengefektifkan upaya penyelamatan kekayaan negara apabila aset milik terdakwa yang merupakan hasil korupsi telah dilakukan penyitaan sehingga setelah ada putusan hakim aset-aset tersebut dapat segera dieksekusi, disisi lain peradilan in absentia menjadi tidak efektif apabila aset milik Marwan Effendy, loc.Cit. 28 Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) terdakwa tidak ada yang dapat disita karena tujuan utama diterapkannya peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi adalah penyelematan kekayaan negara. Dengan demikian peradilan in absentia dapat dilakukan sepanjang memenuhi kriteria alasan yang tidak sah, yaitu terdakwa tidak dikenal atau termasuk kriteria orang yang tidak dikenal atau tidak diketahui sama sekali keberadaanya, dan terdakwa yang secara pasti dan jelas diketahui keberadaannya tetapi karena alasan hukum tertentu terdakwa tidak bisa dihadirkan pada pemeriksan sidang pengadilan dan terdakwa yang diketahui identitas secara lengkap tetapi tidak diketahui keberadaannya karena melarikan diri (buron). Dalam hal ini peraturan perundang-undangan membenarkan diterapkannya peradilan in absentia guna mencairkan kebuntuan pemeriksaan terdakwa di persidangan. Meskipun demikian terhadap putusan in absentia tersebut masih terbuka kesempatan bagi terdakwa atau kuasanya untuk mengajukan banding terhdapa putusan yang dijatuhkan, selain itu undangundang tindak pidana korupsi memberikan pengkhususan apabila terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dengan pertimbangan terdapat 13 bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi maka hakim atas tuntutan penutut umum menetapkan perampasan barang yang telah disita dan penetapan perampasan tersebut tidak dapat dimohon upaya banding. 2. Pelaksanaan Peradilan In absentia Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia Secara substansi KUHAP sudah memberikan perlindungan yang baik terhadap hak-hak asasi terdakwa, misalnya hak untuk mendapat bantuan hukum dan hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum kasusnya diputus oleh pengadilan atau praduga tak bersalah. KUHAP merupakan salah satu instrument utama dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Aturan-aturan prosedural itu dimaksudkan memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum berarti setiap proses hukum harus mengikuti standar yang sama atas semua kasus yang sama dan terhadap orang yang sama. Pasti berarti juga terukur, jelas dan transparan.13 Peradilan in absentia pada prinsipnya merupakan peradilan yang menjunjung tinggi asas constant yustitie dengan memberikan jaminan kepastian hukum, akan tetapi berdasarkan perspektif hak asasi manusia, peradilan in absentia merupakan suatu pelanggaran terhadap hak Dwiyanto Prihartono, op.cit, hlm. 41 29 Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35 asasi manusia. Namun demikian pemberlakuan peradilan in absentia kepada seseorang tetap dapat dilakukan sepanjang negara melalui aparat penegak hukum dapat mengemukakan alasan ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam menghadirkan terdakwa di persidangan. Peradilan in absentia dapat dilaksanakan sepanjang terhadap terdakwa secara resmi telah dilakukan pemanggilan yang sah sesuai dengan alamat yang diketahui, terdakwa tidak memberikan alasan ketidakhadirannya dan telah dinyatakan buron oleh negara dan negara melalui aparat penegak hukum menyatakan tidak mampu untuk menangkap dan menghadirkan terdakwa. Prasyarat lain yang harus diperhatikan adalah peradilan in absentia dapat dilaksanakan apabila pihak penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa (saat itu kapasitasnya sebagai tersangka) untuk menentukan apakah kasusnya layak dan dapat diajukan ke pengadilan. Dalam pengertian layak atau tidak layaknya suatu kasus untuk diajukan ke pengadilan tidak semata-mata berdasarkan penilaian subyektif pihak penyidik, tetapi didasarkan pula oleh nilai keadilan khususnya oleh tersangka. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap tersangka sebagai upaya untuk menemukan bukti awal mutlak diperlukan. Persyaratan lain yang tidak kalah penting agar peradilan in absentia tidak dianggap melanggar hak asasi terdakwa adalah pemanggilan terdakwa untuk hadir di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 154 Ayat (4) dan Ayat (6) KUHAP, dengan dipenuhi persyaratan pemanggilan tersebut telah mengedepankan kepentingan terdakwa untuk hadir pada sidang pengadilan tetap merupakan utama. Bahwa kehadiran tersangka di persidangan adalah sebagai upaya untuk melakukan perlawanan atau keberatan atas dakwaan penuntut umum, akan tetapi apabila sebaliknya ketidakhadiran terdakwa di pemeriksaan sidang pengadilan tanpa alasan yang sah walaupun telah dilakukan pemanggilan secara sah, merupakan upaya terdakwa untuk secara sengaja menghindarkan diri dari pemeriksaan yang berakibat pada kebuntuan proses pemeriksaan. Pada prinsipnya proses pemeriksaan tindak pidana korupsi di depan sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum acara, kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 38 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999, yang berbunyi: (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. 30 Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dari segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. (4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1). (5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. (6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (5) tidak dapat dimohon upaya banding. (7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3). Ketentuan-ketentuan di atas menunjukan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dalam Pasal 38 Ayat (1) memungkinkan adanya peradilan “in absentia” sebagaimana dinyatakan: “dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”, sedangkan dalam pasal 38 menyatakan bahwa: “ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun perkara dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim”. Sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) maka apabila terdakwa hadir pada sidang berikutnya ”sebelum” putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa. Artinya, walaupun pada waktu itu acara pemeriksaan sudah sampai pada tahap tuntutan atau pembacaan vonis maka harus 31 Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35 ditunda untuk mendengarkan keterangan terdakwa. Meskipun demikian, semua keterangan saksi dan surat-surat dalam pemeriksaan terdahulu tidak perlu diulangi lagi dan dianggap sebagai diucapkan dalam sidang pemeriksaan tersebut. Apabila terdakwa tetap tidak hadir maka selanjutnya putusan yang dijatuhkan secara in absentia dengan cara diumumkan, yaitu mengumumkan petikan surat putusan pengadilan dengan mempublikasikannya pada surat kabar atau ditempelkan di papan pengumuman pengadilan dan ditempat-tempat lainnya. Asetelah diputuskan dijatuhkan oleh hakim maka terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan banding (Pasal 38 Ayat 4), walaupun ketentuan ini dalam prakteknya dapat menimbulkan masalah karena pada ayat ini tidak ditentukan secara tegas apakah permintaan banding itu dapat dilakukan oleh penasihat hukum tanpa kehadiran terdakwa. Atas dasar hubungan dilematis antara kepentingan penegak hukum yang bermuara pada peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap reformasi hukum, dengan kepentingan hukum terdakwa atas hak yang dimilikinya untuk hadir dipersidangan, guna mencairkan kebuntuan pemeriksaan terdakwa di persidangan maka peraturan perundang-undangan membenarkan diterapkannya peradilan in absentia. D. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Peradilan in absentia dapat diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang keberadaanya tidak diketahui (buron) sepanjang pemanggilan terdakwa telah dilakukan secara patut sesuai dengan ketentuan perundangundangan, diantaranya pemanggilan beberapa kali dan telah diumumkan melalui media massa tetapi terdakwa tidak hadir di persidangan; 2. Peradilan in absentia bertujuan untuk mengembalikan dan menyelamatkan kekayaan negara yang telah dikorupsi oleh terdakwa; 3. Penerapan perdilan in absentia tidak melanggar hak asasi manusia sepanjang penerapannya melalui prosedur dan berdasarkan ketentuan undang-undang. Meskipun hak untuk memperoleh keadilan senantiasa melekat pada diri manusia karena hak universal akan tetapi dalam kasus ini terdakwa justru yang telah melanggar hak asasi banyak pihak yang telah dirugikan karena perbuatannya; 4. Belum adanya aturan atau undang-undang mengenai peradilan in absentia yang dapat dijadikan pedoman bagi 32 Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) aparat untuk menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi. 2. dalam dan antar instansiinstansi pemerintah terkait maupun swasta. Saran Terdapat saran yang penulis berikan yaitu sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penyitaan terhadap aset kekayaan tersangka yang diduga hasil tindak pidana korupsi pada saat penyidikan sebagai upaya optimal menyelamatkan kekayaan keuangan negara; 2. Perlu dibuat peraturan undang-undang khusus tentang peradilan in absentia sebagai pedoman para penegak hukum dan tidak menimbulkan perdebatan polemik; 3. Diperlukan adanya komitmen dari semua lapisan masyarakat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, sesuai dengan hak, kewajiban dan kewenangannya. Tindak lanjut komitmen ini terus menerus ditanamkan dan disosialisasikan melalui pendidikan formal maupun non formal. 4. Peningkatan sikap dan kemampuan profesionalitas terutama aparat hukum terkait, dengan melalui program studi lanjut, pelatihan, penataran, diskusi dan sebagainya. 5. Perlu dilakukannya petunjuk teknis pengawasan internal maupun eksternal, secara vertikal maupun horizontal 33 Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35 DAFTAR PUSTAKA Buku: Adji, Indriyanto Seno dan Juan Felix Tampubolon. 2001. Perkara H.M. Soeharto. Jakarta: Multi Mediametri. Akub, Riswal Saputradan Syukri. Jurnal: Pelaksanaan Peradilan In absentia Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Dan Relevansinya Dengan Hak-Hak Terdakwa. BPKP. Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Pengawasan BPKP. Jakarta. Chazwi, Adam. 2003. Hukum Pidana Materiil dan Formil tentang Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Effendi, Marwan. 2010. Peradilan In absentia dan Koneksitas. Jakarta: PT. Timpani Publishing. Hadjon, Philipus M. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu. Hamzah, Andi. 1984. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hamzah, Andi. 1986. Hukum Pidana Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Hastuti, Sri, dkk. 2011. Penanganan Perkara Tindak Pidana Secara In Absentia. Jakarta: Miswar. Lamintang, P.A.F. 1990. Hukum Pidana Indonesia, Cet.III. Bandung: Sinar Baru. Nurdjana, IGM. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Terorisme: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Prakoso, Djoko. 1984. Peradilan In absentia di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Prihartono, Dwiyanto. 2003. Sidang Tanpa Terdakwa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Rainoer, M. 1983. Peradilan In absentia Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana. Tugas Kuliah: Sistem Peradilan Indonesia. Reksodipuro, Mardjono. 1994. HAM dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Hukum Universitas Indonesia. Salama, Adiatus. 2010. Fenomena Korupsi Indonesia (Kajian Mengenai Motif dan Proses Terjadinya Korupsi). Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo. Soeharto. 2007. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme. Bandung: Refika Aditama. Soesilo, R. 1983. Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea. Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 34 Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) Widhayanti, Erni. 1998. Hak-hak Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP. Yogyakarta: Liberty. Undang-Undang: Undang-Undang: No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Tahun 19751985, hlm.84. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1982-1993, hlm. 149-150. 35