Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu
Rahayu Gita Pertiwi, Komang Giri Arta
Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya
Email: sayyid.umar.al-2019@fh.unair.ac.id, tjokorda.istri.kumari-2019@fh.unair.ac.id,
luh.putu.rahayu-2019@fh.unair.ac.id, komang.giri.arta-2019@fh.unair.ac.id
Abstract: Justice in absentia In the criminal act of corruption has been the pros and
cons to date, there is an assumption that the trial in absentia is a violation of human
rights because it is related to the human rights of the accused as a human being who
has the right to defend himself in court, on the other hand the trial in absentia can be
carried out as long as the defendant is completely unknown so that he cannot be
present at the trial hearing due to running away (fugitive ).This paper discusses the
implementation of justice in absentia in the handling of criminal acts of corruption
associated with human rights in efforts to save state finances , this study aims to
determine whether the trial process of a court hearing a defendant can be sentenced to
a criminal sentence by a judge without the defendant himself being present. a judicial
process in absentia . The research method used is normative research using data
collection methods, namely library research (library research) by searching , reading
and studying and understanding secondary data related to the problem under study.
The results of this study indicate that trials in absentia can be implemented and do
not violate human rights as long as they are implemented through correct procedures
and based on statutory provisions . The in absentia trial aims to break the impasse in
examining defendants who are not present at the trial and efforts to save state
finances , both those that have been corrupted and those that are still suspected of
having something to do with corruption cases, both those that have been confiscated
and those that have not been confiscated to be confiscated for the state through a
court decision.
Kata Kunci: judicial in absentia, criminal acts, corruption, human rights.
Abstrak : Peradilan in absentia pada tindak pidana korupsi telah menjadi pro dan kontra
sampai saat ini, ada anggapan bahwa peradilan in absentia merupakan suatu pelanggaran
terhadap hak asasi manusia dikarenakan terkait dengan hak-hak asasi terdakwa sebagai
manusia yang memiliki hak untuk membela dirinya dalam persidangan , disisi lain
peradilan in absentia dapat dilaksanakan sejauh terdakwa tidak diketahui sama sekali
keberadaanya sehingga tidak bisa dihadirkan pada pemeriksan sidang pengadilan
dikarenakan melarikan diri (buron ). Tulisan ini membahas pelaksanaan peradilan in
absentia dalam penanganan tindak pidana korupsi yang dikaitkan dengan hak asasi
manusia dalam upaya penyelamatan keuangan negara, penelitian ini bertujuan mengetahui
apakah proses pemeriksaan sidang pengadilan yang mengadili seorang terdakwa dapat
dijatuhi hukuman pidana oleh hakim tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri dalam suatu
proses peradilan in absentia . Metode penelitian yang digunakan merupakan penelitian
normatif dengan menggunakan metode pengumpulan data yaitu studi kepustakaan (library
research ) dengan cara mencari , membaca dan mempelajari dan memahami data -data
sekunder yang berhubungan dengan permasalahan diteliti. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa peradilan in absentia dapat dilaksanakan dan tidak melanggar hak asasi manusia
sepanjang penerapannya melalui prosedur yang benar serta berdasarkan ketentuan undangundang . Peradilan in absentia bertujuan untuk mencairkan kebuntuan pemeriksaan
terdakwa yang tidak hadir di persidangan dan upaya menyelamatkan keuangan negara ,
baik yang telah dikorupsi maupun yang masih diduga ada kaitannya dengan perkara
korupsi baik yang sudah disita maupun yang belum disita guna dirampas untuk negara
melalui suatu putusan pengadilan.
Kata Kunci: peradilan in absentia, tindak pidana, korupsi, hak asasi manusia.
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita
Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
baik yang telah dikorupsi maupun yang masih diduga ada kaitannya dengan perkara
korupsi baik yang sudah disita maupun yang belum disita guna dirampas untuk
negara melalui suatu putusan pengadilan.
Kata Kunci: peradilan in absentia, tindak pidana, korupsi, hak asasi manusia.
17
Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35
A. PENDAHULUAN
Seiring
berkembangnya
zaman berikut dengan kerasnya
arus kedinamisan pada masyarakat
membuat tuntutan masyarakat
untuk
memberantas
korupsi
semakin meningkat, hal ini
ditandai dengan maraknya aksi
demo yang dilakukan oleh
berbagai kalangan hingga tuntutan
masyarakat yang semakin mencuat
melalui
media
online.
Perkembangan
korupsi
di
Indonesia itu sendiri juga menjadi
salah satu dorongan
akan
pemberantasan
korupsi
di
Indonesia, namun kenyataannya
hingga kini penanganan korupsi di
Indonesia
masih
belum
menunjukkan titik terang dan tidak
sedikit kasus korupsi yang
menarik
perhatian
publik
mengalami kendala dalam proses
penanganannya
akibatnya
masyarakat merasa kurang puas
terhadap kinerja para penegak
hukum.
Banyak
faktor
yang
menjadi
hambatan
dalam
penanganan korupsi, salah satunya
adalah ketidakhadiran terdakwa
dalam
persidangan,
karena
terkadang
dapat
membatasi
kreativitas dan inisiatif aparat
lembaga
peradilan
dalam
penyelesaian
perkara
tindak
pidana korupsi. Prinsip hadirnya
terdakwa pada sidang pengadilan
dalam pemeriksaan perkara pidana
korupsi didasarkan pada hak-hak
asasi terdakwa yang berhak
membela
diri
dan
mempertahankan
hak-hak
kebebasannya.
Berkaitan dengan usaha
pemerintah dalam memberantas
korupsi dan memaksimalkan
penyelamatan keuangan negara,
maka terpaksa dilakukan upaya
luar
biasa
yaitu
dapat
dilangsungkannya pemeriksaan
perkara tanpa dihadiri oleh
terdakwa (in absentia). Sidang in
absentia telah diamanatkan dalam
Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 yang menyebutkan
bahwa, “dalam hal terdakwa telah
dipanggil secara sah dan tidak
hadir di sidang pengadilan tanpa
alasan yang sah, maka perkara
dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadirannya”. Tujuan dari suatu
persidangan secara in absentia,
seperti dalam perkara tindak
pidana korupsi adalah upaya
menyelamatkan kekayaan negara,
baik yang telah dikorupsi maupun
yang masih diduga ada kaitannya
dengan perkara korupsi, baik yang
masih disita maupun yang belum
disita guna dirampas untuk negara
melalui suatu putusan pengadilan.
Tentunya tujuan ini berbeda
dengan persidangan in absentia
dalam perkara tindak pidana
tertentu lainnya.1
Dari sisi hak asasi manusia
ada anggapan bahwa peradilan in
1
Marwan Effendi, Peradilan In absentia dan
Koneksitas, PT. Timpani Publishing, Jakarta,
2010, hlm. 3.
18
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita
Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
hak hidupnya, hak politik dan hak
ekonominya akibat hukuman yang
dijatuhkan dari proses peradilan in
absentia3
Peradilan in absentia
adalah contoh praktek hukum yang
potensial melahirkan kesewenangwenangan dan pelanggaran hak
asasi manusia. Meski bukan
pelanggaran atas hak-hak dasar,
praktek in absentia akan menjadi
preseden buruk bagi penegakan
hukum di Indonesia. Hak-hak
tersangka atau terdakwa menjadi
terhempas dan hilang, dan
semuanya
itu
merupakan
hilangnya indepedensi penegak
hukum dan adanya kelompok
kepentingan yang mengintervensi
kekuasaan yudikatif. Disinilah
muncul dilema untuk memilih
praktek
in
absentia
yang
menghilangkan hak-hak tersangka
atau terdakwa, atau untuk
melindungi
hak-hak
asasi
4
tersangka atau terdakwa.
absentia
merupakan
suatu
pelanggaran terhadap hak asasi
manusia karena terkait dengan
hak-hak asasi terdakwa sebagai
manusia yang memiliki hak untuk
membela dirinya di dalam
persidangan, seperti hak untuk
membantah terhadap barang bukti
yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum, membantah keterangan
saksi
hingga
memberikan
tanggapan, meskipun terdakwa
masih diberikan hak untuk
mengajukan
upaya
hukum
banding. Seperti yang dinyatakan
oleh Dwiyanto Prihartono bahwa
peradilan in absentia mempunyai
kaitan erat dengan hak asasi
manusia yang dimiliki oleh
tersangka, hak asasi manusia yang
dilanggar adalah menghilangkan
hak orang lain untuk mendapatkan
keadilan
hukum.2
Dengan
demikian, pelanggaran hak asasi
manusia bukan terletak pada
proses
peradilan
hukumnya,
namun pada penghilangan secara
paksa keadilan yang seharusnya
diperoleh.
Meskipun
proses
peradilan in absentia pada tingkat
prosesnya
telah
melanggar
derogable rights-(non) yang
dimiliki
tersangka,
tidak
semestinya keadilan yang justru
termasuk non derogable rights
juga turut dilanggar, karena
dengan menghilangkan keadilan
itu seseorang dapat dihilangkan
2
Dwiyanto Prihartono, Sidang Tanpa
Terdakwa, Pustaka Pelajar Offset ,
Yogyakarta, 2003, hlm. 16.
3
Sri Hastuti, dkk. Penanganan Perkara
Tindak Pidana Secara In absentia, Miswar,
Jakarta, 2011, hlm. 4.
B. PERMASALAHAN
1. Urgensi
Peradilan
In
absentia Dalam Tindak
Pidana Korupsi
Secara
hukum
peradilan in absentia banyak
diterapkan terhadap perkara
perdata
yang
dalam
pelaksanaannya
hanya
dihadiri oleh wakil atau kuasa
4
Riswal Saputradan Syukri Akub, Jurnal:
Pelaksanaan Peradilan In absentia Dalam
Perkara Tindak Pidana Korupsi Dan
Relevansinya Dengan Hak-Hak terdakwa.
19
Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35
dari
pihak-pihak
yang
berperkara, Hakim dapat
mengadili dan menjatuhi
putusan
tanpa
hadirnya
penggugat maupun tergugat
setelah
dilakukan
pemanggilan
secara
sah
menurut ketentuan hukum
yang berlaku. Secara yuridis
formal, peradilan in absentia
dapat dilakukan pada tindak
pidana pencucian uang, tindak
pidana terorisme, tindak
pidana perikanan dan juga
tindak
pidana
korupsi
disamping pelanggaran lalu
lintas jalan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 214
KUHAP.
Pada kasus tindak
pidana korupsi, sebenarnya
peradilan in absentia telah
diatur
sejak
berlakunya
Undang-Undang Nomor 3
Tahun
1971
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pada Pasal 23 ayat
(1) menyatakan bahwa: “jika
terdakwa dipanggil dengan
semestinya tidak hadir dalam
sidang pengadilan tanpa
memberi alasan yang sah
maka perkara dapat diperiksa
dan diputus oleh Hakim tanpa
kehadirannya”, dan pada
perkembangannya
dengan
menunjuk pada ketentuan
Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi Pasal 38 ayat
(1) menyatakan: “dalam hal
terdakwa telah dipanggil
secara sah, dan tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa
alasan yang sah maka
perkara dapat diperiksa dan
diputus tanpa kehadirannya”
dengan penjelasan dalam
undang-undang tersebut maka
dapat diartikan peradilan in
absentia dapat dilaksanakan
apabila
terdakwa
telah
dipanggil secara sah akan
tetapi tidak hadir di dalam
sidang pengadilan tanpa
alasan yang sah dan sepanjang
usaha aparat penegak hukum
untuk
mencari
dan
menghadirkan terdakwa ke
pemeriksa sidang pengadilan
sudah maksimal tetapi tidak
membawa hasil. Ketentuan ini
dipastikan
hanya
diperuntukan bagi terdakwa
yang tidak ditahan sebab bagi
terdakwa yang ditahan untuk
menghadapi
persidangan
tanpa diperlukan panggilan
kerana tanggung jawab Jaksa
penuntut
Umum
untuk
menghadirkan terdakwa ke
muka persidangan.
Namun
pada
kenyataanya peradilan in
absentia pada tindak pidana
korupsi menjadi pro dan
kontra sampai saat ini,
beberapa
pendapat
menyatakan bahwa peradilan
in absentia tidak dapat
dilaksanakan di dalam sidang
peradilan dikarenakan oleh
alasan-alasan tertentu seperti
tujuan pemidanaan dalam
tindak pidana korupsi tidak
semata-mata hanya untuk
menyatakan
seseorang
bersalah dan negara mendapat
20
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita
Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
uang pengganti atas apa yang
telah diperbuat terdakwa,
akan tetapi perlu dipikirkan
memberi pelajaran terhadap
seseorang
guna
mempertanggung jawabkan di
hadapan publik dan memiliki
rasa malu atas apa yang telah
dilakukannya, dengan begitu
salah satu cara mewujudkan
pertanggung jawaban publik
dan rasa malu tersebut adalah
dengan kehadiran seseorang
dipersidangan. Selain itu,
dengan memperhatikan pasalpasal dalam KUHAP juga
menganut asas audy at
alteram
partem
yang
mewajibkan hakim untuk
mendengarkan kedua belah
pihak dan juga secara materiil
sebenarnya terdakwa harus
dipandang sebagai pihak
karena memiliki kepentingan,
Hakim
harus
mempertimbangkan terlebih
dahulu
peran
terdakwa,
kerugian keuangan negara
yang telah di korupsi sebagai
akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan terdakwa, karena
sebelum menuntut terdakwa
Jaksa Penuntut Umum akan
mempertimbangkan hal-hal
yang
memberatkan
dan
meringankan, begitu pun
dengan majelis hakim dalam
memutus suatu perkara.
Pada pelaksanaannya,
peradilan in absentia dalam
penanganan tindak pidana
korupsi mengalami berbagai
hambatan dan permasalahan
dan yang terjadi di lapangan
seperti tidak adanya undangundang tersendiri mengenai
peradilan in absentia yang
mengatur.
Hal
tersebut
memungkinkan hakim untuk
menolak
melakukan
persidangan dengan berbagai
alasan
yang
tentunya
memerlukan
argumentasi
yang
memakan
waktu
sehingga kemungkinan besar
memberikan peluang bagi
tersangka
untuk
menghilangkan
atau
memindahtangankan
harta
kekayaan tersangka.
2.
Hak Asasi Manusia dalam
Peradilan In Absentia
Secara
substansi,
KUHAP telah memberikan
perlindungan
yang
baik
terhadap
hak-hak
asasi
terdakwa melalui hak untuk
mendapatkan bantuan hukum
dan hak untuk dianggap tidak
bersalah sebelum kasusnya
diputus oleh pengadilan atau
praduga
tidak
bersalah
(presumption of innocence).
Secara umum, fungsi suatu
undang-undang acara pidana
adalah membatasi kekuasaan
negara dan melindungi setiap
warga
masyarakat
yang
terlibat
dalam
proses
peradilan pidana, sehingga
diharapkan
terjamin
perlindungan para tersangka
dari tindakan aparat penegak
hukum
dan
pengadilan.
Dengan demikian, hukum
yang sama memberikan pula
21
Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35
pembatasan-pembatasan
terhadap hak asasi warganya.
Dengan kata lain, hukum
acara pidana adalah alat yang
memberi kekuasaan terutama
penegak hukum yang juga
sekaligus alat hukum untuk
membatasi
wewenang
kekuasaan tersebut.5 Jaminan
dan perlindungan terhadap
HAM dalam peraturan hukum
acara dalam rangkaian proses
dari hukum acara pidana ini
menjurus kepada pembatasanpembatasan HAM seperti
penangkapan,
penahan,
penyitaan, penggeledahan dan
penghukuman, yang pada
hakekatnya
adalah
pembatasanpembatasan
6
HAM.
Proses pembentukan
KUHAP menunjukkan bahwa
yang ingin diperjuangkan
adalah pemahaman untuk
melihat proses peradilan
pidana itu sebagai proses
peradilan berlandaskan proses
hukum yang adil (due process
of law) dimana hak-hak
tersangka, terdakwa dan
terpidana dilindungi serta
dianggap sebagai bagian dari
hak-hak warga negara (civil
rights) dan karena itu bagian
dari HAM. Ada sepuluh asas
yang
ditegaskan
dalam
5
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka,
Terdakwa dan Korban Tindak Pidana
Terorisme, Refika Aditama, Bandung, 2007,
hlm. 72
6
Erni Widhayanti, Hak-hak
Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP,
Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 34.
Penjelasan KUHAP mengatur
perlidungan
terhadap
keluhuran martabat dan harkat
manusia.7 Unsur-unsur dalam
asas praduga tak bersalah
adalah
prinsip
utama
perlindungan hak warga
negara melalui proses hukum
yang adil (due process of law),
yang
mencakup
bahwa
kesalahan seseorang harus
dibuktikan dalam sidang
pengadilan yang jujur atau
fair trail, berimbang dan tidak
memihak (impartiality).
Perlakuan sama di
muka
hukum
tanpa
diskriminasi
tidak
saja
terdapat dalam Penjelasan
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP),
tetapi juga tercantum dalam
bagian
menimbang
dari
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981. Asas ini serupa
dengan yang terdapat dalam
Pasal 6 dan 7 Universal
Declaration of Human Rights
(UDHR) dan Pasal 16
International Covenant on
Civil and Political Rights
(ICCPR). Baik tersangka,
terdakwa dan aparat penegak
hukum adalah sama-sama
warga
negara
yang
mempunyai hak, kedudukan
7
Mardjono Reksodipuro, HAM dalam Sistem
Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan dan
Pengabdian Hukum Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 27-28.
22
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita
Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
dan kewajiban yang sama di
hadapan hukum, yakni samasama bertujuan mencari dan
mewujudkan kebenaran dan
keadilan.
Setiap
orang,
apakah ia tersangka atau
terdakwa,
berhak
mendapatkan perlindungan
hukum
tanpa
adanya
diskriminasi.
Perlindungan
terhadap tindakan sewenangwenang dari pejabat negara,
sidang pengadilan harus
terbuka
untuk
umum,
tersangka dan terdakwa harus
diberikan jaminan-jaminan
untuk dapat membela diri
sepenuhnya, tanpa campur
tangan
pemerintah
atau
kekuasaan sosial politik
manapun.8
Meskipun
KUHAP
tidak memuat secara jelas,
tetapi
penafsiran
bahwa
peradilan in absentia tidak
dimungkinkan dalam KUHAP
dapat tersirat dalam beberapa
pasal misalnya pasal 145,
pasal 146, pasal 152 ayat (2),
pasal 154 ayat (4) dan ayat (5),
pasal 155 ayat (1), pasal 189,
pasal 196 ayat (1), pasal 203,
pasal 205 dan pasal 227.
Ada suatu mata rantai
yang terjalin antara ketentuan
pasal-pasal dalam KUHAP
tersebut
dengan
makna
Undang-Undang Nomor 31
Tahun
1999
yang
mengedepankan pentingnya
kehadiran terdakwa pada
pemeriksaan
sidang
8
pengadilan, karena disamping
memberikan kesempatan bagi
terdakwa untuk mengajukan
pembelaan juga agar terdakwa
dapat diperlakukan sesuai
dengan
harkat
dan
martabatnya sebagai manusia,
karena
hak
kehadiran
terdakwa di muka pengadilan
harus
diartikan
bahwa
pengadilan
tidak
dapat
memeriksa suatu perkara
tindak
pidana
apabila
terdakwa
tidak
dapat
dihadirkan oleh Jaksa.
Dengan berpedoman
pada proses hukum yang adil,
bagaimanapun kuatnya buktibukti yang dimiliki oleh Polisi
atau Penuntut Umum, sudut
pandang terdakwa tetap harus
selalu dipertimbangkan, dan
apabila terdakwa tidak dapat
hadir atau dihadirkan tetapi
proses peradilan pidana tetap
dijalankan, telah melanggar
hak untuk membela diri dan
praduga
tidak
bersalah
seorang warga negara.
C. ANALISIS
DAN
PEMBAHASAN
1. Penanganan Perkara Tindak
Pidana Korupsi Secara In
Absentia
Pada hakikatnya, proses
penyelenggaraan peradilan pidana
melalui implementasi ketentuanketentuan hukum acara pidana
bertujuan
untuk
mencari
kebenaran
materiil
yang
Ibid. hlm. 36.
23
Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35
melindungi kepentingan para
pencari keadilan (tersangka atau
terdakwa), kepentingan tersebut
harus
dijaga
dan
dijamin
keseimbangannya oleh hukum
acara pidana. Penerapan peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur prosedur pemeriksaan
terdakwa
sampai
dengan
penjatuhan pidana merupakan
proses penegakan hukum yang
wajib dilaksanakan dengan tepat
waktu dan sesegera mungkin
karena disamping membela hak
asasi terdakwa, juga untuk
kepastian
hukum
terdakwa.
Dengan begitu kehadiran terdakwa
dipersidangan adalah sebagai
upaya
untuk
melakukan
perlawanan atau keberatan atas
dakwaan penuntut umum. Akan
tetapi sebaliknya, ketidakhadiran
terdakwa di pemeriksaan sidang
pengadilan tanpa alasan yang sah
walaupun
telah
dilakukan
pemanggilan
secara
sah
merupakan upaya terdakwa untuk
secara sengaja menghindarkan diri
dari pemeriksaan yang berakibat
pada
kebuntuan
proses
pemeriksaan.
Rangkaian
upaya
menghadirkan
terdakwa
di
persidangan yang diawali dengan
perintah hakim ketua sidang
supaya terdakwa dipanggil masuk
ke dalam ruang persidangan, akan
tetapi apabila terdakwa pada
sidang yang telah ditentukan tidak
hadir, hakim ketua sidang akan
meneliti apakah terdakwa telah
dipanggil secara sah. Dalam
penelitian tersebut dapat dijumpai
beberapa kemungkinan, yaitu:
1.
Terdakwa ternyata dipanggil
“secara tidak sah”. Dalam hal
ini hakim ketua sidang akan
menunda persidangan dan
memerintahkan
penuntut
umum supaya memanggil
terdakwa sekali lagi untuk
hadir pada tanggal hari sidang
berikutnya;
2. Terdakwa ternyata sudah
dipanggil “secara sah”. Dalam
hal ini sekalipun terdakwa
telah dipanggil secara sah,
namun
tidak
datang
menghadiri persidangan tanpa
alasan yang sah: berdasarkan
ketentuan Pasal 154 Ayat (4)
dan Ayat (6) KUHAP maka
pemeriksa perkara tidak dapat
dilangsungkan dan hakim
ketua sidang akan menunda
atau
mengundurkan
persidangan pada tanggal hari
sidang berikutnya seraya
memerintahkan
penuntut
umum untuk memanggil
terdakwa sekali lagi pada
tanggal hari sidang yang telah
ditentukan. Apabila kemudian
setelah terdakwa dipanggil
secara sah untuk kedua
kalinya namun tetap juga
tidak hadir di persidangan
tanpa alasan yang sah, maka
dalam hal ini hakim ketua
sidang dapat memerintahkan
kepada penuntut umum untuk
menghadirkan
terdakwa
dengan paksa pada tanggal
hari
sidang
pertama
berikutnya.
Suatu panggilan dapat
dikatakan sah atau tidak apabila
memenuhi atau tidak memenuhi
24
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita
Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
ketentuan Pasal 145 KUHAP dan
Pasal 146 KUHAP tentang tata
cara
panggilan
terdakwa.
Sedangkan yang dimaksud dengan
tanpa alasan yang sah, ada
beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Sama
sekali
tidak
memberikan alasan apapun,
atau;
2. Memberikan alasan tetapi
alasan dinilai tidak patut, atau;
3. Alasan patut tetapi ternyata
tidak benar atau bohong.
Untuk alasan yang pertama
sudah jelas, sedangkan alasan
yang kedua berupa alasan yang
tidak ada relevansinya dengan
ketidakhadirannya, misalkan tidak
hadir karena mengantarkan anak
ke sekolah. Adapun alasan yang
ketiga ada relevansinya namun
ternyata terbukti alasan itu palsu,
misalnya alasan sakit namun
ternyata tidak sakit karena surat
keterangan dokter dipalsukan
olehnya.9 Dengan demikian alasan
sakit yang diperkuat dengan surat
keterangan dokter (yang tidak
dipalsukan) atau karena halangan
yang patut dan wajar seperti
misalnya terdakwa mengalami
musibah adalah alasan yang
dibenarkan atau alasan yang sah.
Alasan yang sah ini dengan
sendirinya
menghapuskan
wewenang hakim ketua sidang
untuk memerintahkan terdakwa
dihadirkan dengan paksa di
persidangan. Namun demikian
penentuan sah atau tidaknya suatu
alasan yang diajukan terdakwa
9
Adam Chazwi, Hukum Pidana Materiil dan
Formil tentang Korupsi di Indonesia,
tetap merupakan kewenangan
hakim. Seandainya hakim menilai
alasan
yang
dikemukakan
terdakwa sah, tindakan hakim
menunda dan mengundurkan
persidangan dan
selanjutnya
memerintahkan penuntut umum
memanggil terdakwa pada tanggal
hari sidang berikutnya, akan tetapi
apabila hakim ketua sidang
menilai alasan yang dikemukakan
terdakwa tidak sah, maka hakim
akan menerapkan substansi Pasal
154 Ayat (4) dan Ayat (6)
KUHAP.
Pada prinsipnya Pasal 154
utamanya Ayat (2), Ayat (4) dan
Ayat (6) KUHAP merupakan
pedoman menghadirkan terdakwa
dalam
persidangan
untuk
membuat terang dan jelas suatu
perkara yang didakwakan pada
terdakwa. Kehadiran terdakwa
tersebut juga sebagai upaya untuk
melakukan
perlawanan
atau
keberatan atas dakwaan penuntut
umum. Adapun Pasal 154 KUHAP
sebagai berikut:
1. Ayat
(2):
Jika
dalam
pemeriksaan
perkara
terdakwa yang tidak ditahan
tidak hadir pada hari sidang
yang telah ditetapkan, hakim
ketua sidang meneliti apakah
terdakwa sudah dipanggil
secara sah.
2. Ayat (4): Jika terdakwa
ternyata telah dipanggil secara
sah tetapi tidak datang di
sidang pengadilan tanpa
alasan yang sah, pemeriksaan
Bayumedia Publishing, Malang, 2003, hlm.
303.
25
Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35
perkara
tidak
dapat
dilangsungkan dan hakim
ketua sidang memerintahkan
agar terdakwa dipanggil
sekali lagi.
3. Ayat (6): Hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa
yang tidak hadir tanpa alasan
yang sah setelah dipanggil
secara sah untuk kedua
kalinya, dihadirkan dengan
paksa pada sidang pertama
berikutnya.
Terhadap tindak pidana
korupsi,
permasalahan
dikembalikan pada komitmen
pemerintah dalam memberantas
tindak pidana korupsi karena
keberadaan
barang
bukti
diperlukan
kepastiannya
mengingat nilai kemanfaatanya
relatif besar karena berkaitan
dengan pergerakan perekonomian
dan anggaran belanja negara atau
kekayaan negara. Sebagaimana
dijabarkan didalam beberapa pasal
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 seperti Pasal 2 dan Pasal 3
disebutkan bahwa “salah satu
unsur tindak pidana korupsi
adalah dapat merugikan keuangan
negara
atau
perekonomian
negara” dan menurut ketentuan
Pasal 4 “pengembalian keuangan
negara atau perekonomian negara
tidak
menghapus
pidananya
pelaku tindak pidana korupsi tetap
hanya merupakan salah satu
alasan
meringankan
hukumannya” yang terpenting
dalam hal ini adalah melaksanakan
penegakan
hukum
secara
konsisten dan terbuka. Kemudian
di dalam penjelasan Pasal 38 Ayat
(1) dijabarkan bahwa “ketentuan
dalam ayat ini dimaksudkan untuk
menyelamatkan
kekayaan
keuangan negara sehingga tanpa
kehadiran terdakwa pun perkara
dapat diperiksa dan diputus oleh
hakim”. Makna dari penjelasan
Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tersebut
adalah sebagai perwujudan adanya
kepastian hukum baik terhadap
pelaku maupun terhadap kekayaan
negara yang harus dikembalikan,
sehingga atas dasar hubungan
dilematis
antar
kepentingan
penegakan hukum yang bermuara
pada peningkatan kepercayaan
masyarakat terhadap reformasi
hukum,
dengan
kepentingan
hukum terdakwa atas hak yang
dimilikinya untuk hadir di
persidangan.
Peradilan in absentia
dalam tindak pidana korupsi dapat
dilihat sebagai suatu prosedur
pengecualian
(eksepsionalitas)
dari
hukum
acara
yang
keberadaanya
untuk
tujuan
tertentu
yaitu
penyelamatan
keuangan negara, sehingga secara
hukum ada sarana yang bisa
didayagunakan ketika hendak
merespon perbuatan korupsi yang
merugikan negara.10 Dengan
penanganan perkara tindak pidana
korupsi secara in absentia
10
Dwiyanto Prihartono, Sidang Tanpa
Terdakwa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2003 Hal. 16
26
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita
Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
diharapkan dapat membantu
menyederhanakan
prosedur
penuntutan ataupun peradilan
sehingga menghindari adanya
penumpukan perkara.
Saat
ini
penerapan
peradilan in absentia atas perkara
tindak pidana korupsi, senantiasa
dipengaruhi
oleh
perbedaan
beberapa pendapat para ahli
hukum mengenai keabsahan
peradilan in absentia. Ada tiga
kecenderungan
yang
11
mempengaruhi:
1. Menganggap pemeriksaan di
pengadilan
memutlakan
hadirnya terdakwa. Pendapat
ini berarti secara ekstrim
menolak
diberlakukannya
sidang in absentia. Pasalpasal yang menjadi acuan
kelompok pertama adalah
pasal-pasal yang termuat
dalam KUHAP yang meliputi
Pasal 145 Ayat (5), Pasal 154
Ayat (5), Pasal 155 Ayat (1),
Pasal 203 dan Pasal 205.
Pemahaman atas ketentuan
pasal-pasal tersebut diatas
adalah tidak mungkin sebuah
perkara diperiksa dan diadili
tanpa hadirnya terdakwa.
Bahwa para penyidik akan
mengalami kseulitan yang
substansial dalam menyusun
berita acara pemeriksaan,
karena bagaimana mungkin
pemeriksaan dilakukan tanpa
adanya obyek yang diperiksa.
2. Mereka yang berpandangan
bahwa
demi
alasan
pengembalian harta negara
11
dalam kasus korupsi dan
pemenuhan keadilan di masa
transisi, maka pasal-pasal
dalam undang-undang ini
harus diberi nafas dan
diterobos. Hal ini secara
teoritik dibenarkan dengan
alasan melakukan proses
penemuan
hukum
(rechtfinding) atas sebuah
kasus yang belum tegas
aturannya. Acuan kelompok
kedua yang memperbolehkan
yang
memperbolehkan
peradilan in absentia adalah
ketentuan Pasal 38 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31
Tahun
1999
yang
menggantikan ketentuan Pasal
23 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 yang
menyatakan bahwa “dalam
hal terdakwa telah dipanggil
secara sah dan tidak hadir
disidang pengadilan tanpa
alasan yang sah, maka
perkara dapat diperiksa dan
diputus tanpa kehadirannya”.
Semangat pasal yang dikutip
dari undang-undang tersebut
pada dasarnya menempatkan
kejahatan korupsi sebagai
kejahatan luar biasa (extra
ordinary
crime)
yang
penegakan hukumannya pun
diluar kebiasaan sebagaimana
diatur dalam KUHAP sebagai
suatu prosedur pengecualian
(eksepsionalitas)
untuk
menyelamatkan
kekayaan
negara. Pada prinsipnya
eksepsionalitas dalam hukum
Dwiyanto Prihartono, op.cit, hlm 26-27.
27
Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35
3.
12
acara merupakan prosedur
yang bersifat luar biasa seperti
pengenyampingan asa nonretroaktif
pada
kasus
pelanggaran
hak
asasi
manusia,
kewenangan
mengenyampingkan perkara
oleh Jaksa Agung ataupun in
absentia.
Eksepsionalitas
yang
diberlakukan pada
peradilan in absentia perkara
tindak
pidana
korupsi
mengingat kejahatan korupsi
senantiasa berkaitan dengan
jabatan
(disebut
dengan
jabatan
okupasional/occupational
crime) yakni kejahatan yang
terlaksananya mensyaratkan
adanya suatu jabatan atau
pekerjaan jenis tertentu yang
dilindungi
undang-undang
sehingga
setiap
pelaku
kejahatan
okupasi
yang
tergolong powerfull sulit
dijangkau
oleh
hukum.
Karena berkaitan dengan
jabatan, maka tindak pidana
korupsi
seringpula
dikelompokkan
sebagai
kejahatan kerah putih (white
collar crime) sehingga tindak
pidana korupsi dalam hal ini
dikategorikan
sebagai
kejahatan yang sangat luat
biasa (extraordinary crime).
Ketiga, pendapat yang paling
moderat. Kelompok ketiga
beranggapan kedua pendapat
diatas sama-sama merupakan
produk hukum yang memiliki
kekuatan
hukum
sama
sehingga perlu dipertemukan
menjadi suatu kekuatan dalil
baru. Pandangan moderat
berpendapat pada dasarnya
peradilan
in
absentia
merupakan amanat undangundang yang pelaksanaanya
harus benar-benar sesuai
dengan
ketentuan
yang
berlaku. Sidang in absentia
dapat saja dilakukan, tetapi
praktek itu tetap harus
melewati proses kerja normal
yang maksimal.
Namun pada akhirnya
seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, tujuan dari suatu
persidangan in absentia seperti
dalam perkara tindak pidana
korupsi adalah dalam upaya
menyelamatkan keuangan negara,
baik yang telah dikorupsi maupun
yang masih diduga ada kaitannya
dengan perkara korupsi baik yang
sudah disita maupun yang belum
disita guna dirampas untuk negara
melalui suatu putusan pengadilan,
tentunya tujuan ini berbeda dengan
persidangan in absentia dalam
perkara tindak pidana tertentu
lainnya.12 Peradilan in absentia
dalam perkara tindak pidana
korupsi dapat mengefektifkan
upaya penyelamatan kekayaan
negara apabila aset milik terdakwa
yang merupakan hasil korupsi
telah
dilakukan
penyitaan
sehingga setelah ada putusan
hakim aset-aset tersebut dapat
segera dieksekusi, disisi lain
peradilan in absentia menjadi
tidak efektif apabila aset milik
Marwan Effendy, loc.Cit.
28
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita
Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
terdakwa tidak ada yang dapat
disita karena tujuan utama
diterapkannya
peradilan
in
absentia dalam perkara tindak
pidana
korupsi
adalah
penyelematan kekayaan negara.
Dengan
demikian
peradilan in absentia dapat
dilakukan sepanjang memenuhi
kriteria alasan yang tidak sah,
yaitu terdakwa tidak dikenal atau
termasuk kriteria orang yang tidak
dikenal atau tidak diketahui sama
sekali keberadaanya, dan terdakwa
yang secara pasti dan jelas
diketahui keberadaannya tetapi
karena alasan hukum tertentu
terdakwa tidak bisa dihadirkan
pada
pemeriksan
sidang
pengadilan dan terdakwa yang
diketahui identitas secara lengkap
tetapi
tidak
diketahui
keberadaannya karena melarikan
diri (buron). Dalam hal ini
peraturan
perundang-undangan
membenarkan
diterapkannya
peradilan in absentia guna
mencairkan
kebuntuan
pemeriksaan
terdakwa
di
persidangan.
Meskipun
demikian
terhadap putusan in absentia
tersebut
masih
terbuka
kesempatan bagi terdakwa atau
kuasanya untuk mengajukan
banding terhdapa putusan yang
dijatuhkan, selain itu undangundang tindak pidana korupsi
memberikan
pengkhususan
apabila terdakwa meninggal dunia
sebelum
putusan
dijatuhkan
dengan pertimbangan terdapat
13
bukti yang cukup kuat bahwa yang
bersangkutan telah melakukan
tindak pidana korupsi maka hakim
atas tuntutan penutut umum
menetapkan perampasan barang
yang telah disita dan penetapan
perampasan tersebut tidak dapat
dimohon upaya banding.
2.
Pelaksanaan
Peradilan
In
absentia Dikaitkan Dengan Hak
Asasi Manusia
Secara substansi KUHAP
sudah memberikan perlindungan
yang baik terhadap hak-hak asasi
terdakwa, misalnya hak untuk
mendapat bantuan hukum dan hak
untuk dianggap tidak bersalah
sebelum kasusnya diputus oleh
pengadilan atau praduga tak
bersalah. KUHAP merupakan
salah satu instrument utama dalam
sistem peradilan pidana di
Indonesia.
Aturan-aturan
prosedural
itu
dimaksudkan
memberikan kepastian hukum.
Kepastian hukum berarti setiap
proses hukum harus mengikuti
standar yang sama atas semua
kasus yang sama dan terhadap
orang yang sama. Pasti berarti juga
terukur, jelas dan transparan.13
Peradilan in absentia pada
prinsipnya merupakan peradilan
yang menjunjung tinggi asas
constant
yustitie
dengan
memberikan jaminan kepastian
hukum, akan tetapi berdasarkan
perspektif hak asasi manusia,
peradilan in absentia merupakan
suatu pelanggaran terhadap hak
Dwiyanto Prihartono, op.cit, hlm. 41
29
Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35
asasi manusia. Namun demikian
pemberlakuan
peradilan
in
absentia kepada seseorang tetap
dapat dilakukan sepanjang negara
melalui aparat penegak hukum
dapat mengemukakan alasan
ketidakmampuan aparat penegak
hukum dalam menghadirkan
terdakwa
di
persidangan.
Peradilan in absentia dapat
dilaksanakan sepanjang terhadap
terdakwa secara resmi telah
dilakukan pemanggilan yang sah
sesuai dengan alamat yang
diketahui,
terdakwa
tidak
memberikan
alasan
ketidakhadirannya
dan
telah
dinyatakan buron oleh negara dan
negara melalui aparat penegak
hukum menyatakan tidak mampu
untuk
menangkap
dan
menghadirkan terdakwa.
Prasyarat lain yang harus
diperhatikan adalah peradilan in
absentia
dapat
dilaksanakan
apabila pihak penyidik telah
melakukan pemeriksaan terhadap
terdakwa (saat itu kapasitasnya
sebagai
tersangka)
untuk
menentukan apakah kasusnya
layak dan dapat diajukan ke
pengadilan. Dalam pengertian
layak atau tidak layaknya suatu
kasus
untuk
diajukan
ke
pengadilan tidak semata-mata
berdasarkan penilaian subyektif
pihak penyidik, tetapi didasarkan
pula oleh nilai keadilan khususnya
oleh tersangka. Oleh karena itu,
pemeriksaan terhadap tersangka
sebagai upaya untuk menemukan
bukti awal mutlak diperlukan.
Persyaratan lain yang tidak
kalah penting agar peradilan in
absentia
tidak
dianggap
melanggar hak asasi terdakwa
adalah pemanggilan terdakwa
untuk hadir di sidang pengadilan
sesuai dengan ketentuan Pasal 154
Ayat (4) dan Ayat (6) KUHAP,
dengan dipenuhi persyaratan
pemanggilan
tersebut
telah
mengedepankan
kepentingan
terdakwa untuk hadir pada sidang
pengadilan
tetap
merupakan
utama. Bahwa kehadiran tersangka
di persidangan adalah sebagai
upaya
untuk
melakukan
perlawanan atau keberatan atas
dakwaan penuntut umum, akan
tetapi
apabila
sebaliknya
ketidakhadiran
terdakwa
di
pemeriksaan sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah walaupun
telah dilakukan pemanggilan
secara sah, merupakan upaya
terdakwa untuk secara sengaja
menghindarkan
diri
dari
pemeriksaan yang berakibat pada
kebuntuan proses pemeriksaan.
Pada prinsipnya proses
pemeriksaan tindak pidana korupsi
di depan sidang pengadilan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku
dalam hukum acara, kecuali
undang-undang menentukan lain.
Hal ini dapat dilihat pada
ketentuan Pasal 38 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999,
yang berbunyi:
(1) Dalam hal terdakwa telah
dipanggil secara sah, dan
tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan
yang sah maka perkara
dapat
diperiksa
dan
diputus
tanpa
kehadirannya.
30
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita
Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
(2) Dalam hal terdakwa hadir
pada sidang berikutnya
sebelum
putusan
dijatuhkan,
maka
terdakwa wajib diperiksa,
dari segala keterangan
saksi dan surat-surat yang
dibacakan dalam sidang
sebelumnya
dianggap
sebagai diucapkan dalam
sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan
tanpa kehadiran terdakwa
diumumkan
oleh
penuntut umum pada
papan
pengumuman
pengadilan,
kantor
Pemerintah Daerah, atau
diberitahukan
kepada
kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya
dapat
mengajukan
banding atas putusan
sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa
meninggal dunia sebelum
putusan dijatuhkan dan
terdapat bukti yang cukup
kuat
bahwa
yang
bersangkutan
telah
melakukan tindak pidana
korupsi, maka hakim atas
tuntutan penuntut umum
menetapkan perampasan
barang-barang yang telah
disita.
(6) Penetapan perampasan
sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (5) tidak
dapat dimohon upaya
banding.
(7) Setiap
orang
yang
berkepentingan
dapat
mengajukan
keberatan
kepada pengadilan yang
telah
menjatuhkan
penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (5),
dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung
sejak
tanggal
pengumuman
sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (3).
Ketentuan-ketentuan
di
atas menunjukan bahwa dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, dalam Pasal 38 Ayat (1)
memungkinkan adanya peradilan
“in
absentia”
sebagaimana
dinyatakan: “dalam hal terdakwa
telah dipanggil secara sah, dan
tidak hadir di sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah, maka
perkara dapat diperiksa dan
diputus tanpa kehadirannya”,
sedangkan dalam pasal 38
menyatakan bahwa: “ketentuan
dalam ayat ini dimaksudkan untuk
menyelamatkan kekayaan negara
sehingga
tanpa
kehadiran
terdakwa pun perkara dapat
diperiksa dan diputus oleh
Hakim”.
Sesuai dengan ketentuan
Pasal 38 ayat (2) maka apabila
terdakwa hadir pada sidang
berikutnya ”sebelum” putusan
dijatuhkan, maka terdakwa wajib
diperiksa. Artinya, walaupun pada
waktu itu acara pemeriksaan sudah
sampai pada tahap tuntutan atau
pembacaan vonis maka harus
31
Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35
ditunda untuk mendengarkan
keterangan terdakwa. Meskipun
demikian, semua keterangan saksi
dan surat-surat dalam pemeriksaan
terdahulu tidak perlu diulangi lagi
dan dianggap sebagai diucapkan
dalam
sidang
pemeriksaan
tersebut. Apabila terdakwa tetap
tidak hadir maka selanjutnya
putusan yang dijatuhkan secara in
absentia dengan cara diumumkan,
yaitu mengumumkan petikan surat
putusan
pengadilan
dengan
mempublikasikannya pada surat
kabar atau ditempelkan di papan
pengumuman pengadilan dan
ditempat-tempat lainnya.
Asetelah
diputuskan
dijatuhkan oleh hakim maka
terdakwa atau kuasa hukumnya
dapat mengajukan banding (Pasal
38 Ayat 4), walaupun ketentuan ini
dalam
prakteknya
dapat
menimbulkan masalah karena
pada ayat ini tidak ditentukan
secara tegas apakah permintaan
banding itu dapat dilakukan oleh
penasihat hukum tanpa kehadiran
terdakwa. Atas dasar hubungan
dilematis antara kepentingan
penegak hukum yang bermuara
pada peningkatan kepercayaan
masyarakat terhadap reformasi
hukum,
dengan
kepentingan
hukum terdakwa atas hak yang
dimilikinya
untuk
hadir
dipersidangan, guna mencairkan
kebuntuan pemeriksaan terdakwa
di persidangan maka peraturan
perundang-undangan
membenarkan
diterapkannya
peradilan in absentia.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang
dapat kita ambil dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Peradilan in absentia dapat
diterapkan bagi pelaku tindak
pidana
korupsi
yang
keberadaanya tidak diketahui
(buron)
sepanjang
pemanggilan terdakwa telah
dilakukan secara patut sesuai
dengan ketentuan perundangundangan,
diantaranya
pemanggilan beberapa kali
dan telah diumumkan melalui
media massa tetapi terdakwa
tidak hadir di persidangan;
2. Peradilan
in
absentia
bertujuan
untuk
mengembalikan
dan
menyelamatkan
kekayaan
negara yang telah dikorupsi
oleh terdakwa;
3. Penerapan
perdilan
in
absentia tidak melanggar hak
asasi manusia sepanjang
penerapannya
melalui
prosedur dan berdasarkan
ketentuan
undang-undang.
Meskipun
hak
untuk
memperoleh
keadilan
senantiasa melekat pada diri
manusia karena hak universal
akan tetapi dalam kasus ini
terdakwa justru yang telah
melanggar hak asasi banyak
pihak yang telah dirugikan
karena perbuatannya;
4. Belum adanya aturan atau
undang-undang
mengenai
peradilan in absentia yang
dapat dijadikan pedoman bagi
32
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita
Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
aparat untuk menyelesaikan
kasus tindak pidana korupsi.
2.
dalam dan antar instansiinstansi pemerintah terkait
maupun swasta.
Saran
Terdapat
saran
yang
penulis berikan yaitu sebagai
berikut:
1. Perlu dilakukan penyitaan
terhadap
aset
kekayaan
tersangka yang diduga hasil
tindak pidana korupsi pada
saat penyidikan sebagai upaya
optimal
menyelamatkan
kekayaan keuangan negara;
2. Perlu
dibuat
peraturan
undang-undang
khusus
tentang peradilan in absentia
sebagai
pedoman
para
penegak hukum dan tidak
menimbulkan
perdebatan
polemik;
3. Diperlukan adanya komitmen
dari
semua
lapisan
masyarakat untuk mencegah
dan memberantas tindak
pidana korupsi, sesuai dengan
hak,
kewajiban
dan
kewenangannya.
Tindak
lanjut komitmen ini terus
menerus ditanamkan dan
disosialisasikan
melalui
pendidikan formal maupun
non formal.
4. Peningkatan
sikap
dan
kemampuan profesionalitas
terutama
aparat
hukum
terkait,
dengan
melalui
program
studi
lanjut,
pelatihan, penataran, diskusi
dan sebagainya.
5. Perlu dilakukannya petunjuk
teknis pengawasan internal
maupun eksternal, secara
vertikal maupun horizontal
33
Perspektif Hukum, Vol.21 No.1 Mei 2021 : 16-35
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adji, Indriyanto Seno dan Juan Felix
Tampubolon. 2001. Perkara
H.M. Soeharto. Jakarta: Multi
Mediametri.
Akub, Riswal Saputradan Syukri.
Jurnal: Pelaksanaan Peradilan
In absentia Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi Dan
Relevansinya Dengan Hak-Hak
Terdakwa.
BPKP.
Strategi
Pemberantasan
Korupsi
Nasional,
Pusat
Pendidikan dan Pengawasan
BPKP. Jakarta.
Chazwi, Adam. 2003. Hukum Pidana
Materiil dan Formil tentang
Korupsi di Indonesia. Malang:
Bayumedia Publishing.
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan RI. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Effendi, Marwan. 2010. Peradilan In
absentia
dan
Koneksitas.
Jakarta:
PT.
Timpani
Publishing.
Hadjon,
Philipus
M.
2010.
Perlindungan Hukum Bagi
Rakyat Indonesia. Surabaya:
Bina Ilmu.
Hamzah, Andi. 1984. Korupsi di
Indonesia
Masalah
dan
Pemecahannya. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Hamzah, Andi. 1986. Hukum Pidana
Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Hastuti, Sri, dkk. 2011. Penanganan
Perkara Tindak Pidana Secara
In Absentia. Jakarta: Miswar.
Lamintang, P.A.F. 1990. Hukum
Pidana Indonesia, Cet.III. Bandung:
Sinar Baru.
Nurdjana, IGM. 2010. Sistem Hukum
Pidana dan Bahaya Laten
Terorisme:
Perspektif
Tegaknya Keadilan Melawan
Mafia Hukum. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Prakoso, Djoko. 1984. Peradilan In
absentia di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Prihartono, Dwiyanto. 2003. Sidang
Tanpa Terdakwa. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Rainoer, M. 1983. Peradilan In
absentia
Tindak
Pidana
Korupsi
Dalam
Sistem
Peradilan
Pidana.
Tugas
Kuliah:
Sistem
Peradilan
Indonesia.
Reksodipuro, Mardjono. 1994. HAM
dalam
Sistem
Peradilan
Pidana.
Jakarta:
Pusat
Pelayanan dan Pengabdian
Hukum Hukum Universitas
Indonesia.
Salama, Adiatus. 2010. Fenomena
Korupsi Indonesia (Kajian
Mengenai Motif dan Proses
Terjadinya
Korupsi).
Semarang: Pusat Penelitian
IAIN Walisongo.
Soeharto. 2007. Perlindungan Hak
Tersangka, Terdakwa dan
Korban
Tindak
Pidana
Terorisme. Bandung: Refika
Aditama.
Soesilo, R. 1983. Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana
Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal.
Bogor: Politea.
Sunggono,
Bambang.
2003.
Metodologi Penelitian Hukum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
34
Sayyid Umar Al Masyhur,Tjokorda Istri Kumari Maharatu Pemayun , Luh Putu Rahayu Gita
Pertiwi, Komang Giri Arta, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
Widhayanti, Erni. 1998. Hak-hak
Tersangka/Terdakwa di dalam
KUHAP. Yogyakarta: Liberty.
Undang-Undang:
Undang-Undang: No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah dirubah
dengan UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Himpunan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA), Tahun 19751985, hlm.84.
Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia Tahun
1982-1993, hlm. 149-150.
35