Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

REHABILITASI PENYALAHGUNA NARKOTIKA

PROSES REHABILITASI PENYALAH GUNA NARKOTIKA DALAM RANGKA MENCEGAH RELAPSE PASCA REHABILITASI OLEH BNN Latar Belakang Dampak Narkotika yang dapat menyebabkan “Lost Generation” dan mampu mengarahkan sebuah bangsa pada negara yang gagal (failed state), menyadarkan berbagai negara untuk memerangi Narkotika. Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar nomor 4 (empat) di dunia yang menjadi pangsa internasional berbagai komoditi termasuk peredaran gelap Narkotika. Tingginya harga jual Narkotika di Indonesia dibandingkan dengan negara lain menjadi daya tarik bagi sindikat kejahatan Narkotika internasional. Perbandingan harga antara pasaran Narkotika dunia dengan Indonesia mencapai lebih dari 100 persen. Di Iran harga shabu per-gram bekisar Rp 60 ribu bila dirupiahkan. Sementara Indonesia harga per-gram dengan jenis yang sama mencapai harga Rp 2 Juta. Sedangkan konsumen Malaysia mematok harga 30 hingga 40 dolar per-gram atau sebesar Rp 270 ribu sampai Rp 360 ribu. Heroin di Indonesia kini mencapai harga Rp 2 juta untuk tiap gramnya. Hampir sama dengan di Amerika Serikat (Siswandi 2011: 143-145) Perkembangan operasionalisasi organisasi kejahatan Narkotika internasional tidak bisa dihindari. Bergulirnya revolusi industri di Inggris yang memudahkan mobilisasi manusia di dunia, membentuk suatu keadaan dimana suatu negara dengan negara lain seperti tidak memiliki batas (Bordeless World). Moises Naim (2005:77) menggambarkan meningkatnya operasionalisasi kejahatan Narkotika sebagai berikut: “During the 1990s the number of reported drug seizures worldwide, which had been stagnant at around 300,000 per year, more than quadrupled to 1,4 million in 2001 . this explosion should come as no surprise, for the entire legal and technological apparatus of globalization has made the illicit drug trade faster, more efficient, and easier to hide. It all start with volume: with daily traffic of about 550 cargo containers only at the port of hongkong or 63 million passengers a year at London’s Heathrow Airport (1,250 flights per day), the compact nature of illicit drugs makes them the equivalent of the made the needle in the haystack”. Dalam menghadapi operasionalisasinya kejahatan Narkotika yang semakin meluas oleh organisasi kejahatan transnational, Indonesia membentuk badan khusus Non-Kementerian yang bernama Badan Narkotika Nasional (BNN). Penegakkan hukum yang selama ini dilakukan oleh BNN dan Polri telah membuahkan hasil yang memuaskan dengan pengungkapan berbagai jaringan pengedar internasional dan industri Narkotika di Indonesia. Namun disisi lain jumlah korban Narkotika di Indonesia dari waktu ke waktu juga mengalami peningkatan yang signifikan. Korban Narkotika berdasarkan UNODC pada tahun 2011 adalah sebanyak 4,5 juta jiwa, atau 2,2 persen penduduk Indonesia. Angka korban Narkotika ini meningkat dari tahun 2010 yaitu 3,9 juta jiwa atau 1,9 persen dari penduduk Indonesia. Meningkatnya jumlah korban merupakan suatu sinyalemen bahwa pemberantasan Narkotika harus dilaksanakan secara komprehensif di berbagai bidang tidak hanya dalam bentuk penegakkan hukum, namun juga dalam bidang pencegahan. Salah satu bentuk pencegahan yang dapat dilakukan adalah mengurangi peminat Narkotika karena kejahatan ini mengikuti hukum ekonomi yaitu permintaan dan penawaran (supply and demand). Program rehabilitasi bagi pecandu/penyalah guna Narkotika dapat mengurangi peminat Narkotika. Perkembangan Internasional terkait pandangan bahwa pecandu Narkotika bukan sebagai pelaku kriminal melainkan sebagai orang yang menderita penyakit kecanduan dan perlu diberikan rehabilitasi, semakin kuat mempengaruhi negara-negara di dunia. Indonesia sebagai anggota dari United Nations dan World Health organization, mengikuti perubahan pandangan internasional tersebut dengan dikeluarkannya Undang-undang No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika yang menggunakan pendekatan Balanced Security dan Welfare Approach. Undang-Undang ini sangat keras terhadap pelaku produsen, impor dan eksport illegal, serta peredaran gelap Narkotika, namun sangat humanis terhadap para pecandu, penyalah guna dan korban penyalahgunaan Narkotika. Pusat rehabilitasi yang ada di Indonesia saat ini masih terbatas sehingga belum mampu menampung sebagian besar penyalah guna Narkotika. BNN (2011) menyebutkan hanya 10 % penyalah guna Narkotika pergi ke fasilitas pelayanan, sehingga 90 % pecandu ada di masyarakat (keluarga, sekolah, tempat kerja, penjara, dan komunitas). Saat ini BNN memiliki UPT Terapi dan Rehabilitasi yang terletak di Lido. Pusat rehabiltasi ini mempunyai peran strategis sebagai rujukan nasional karena memiliki fasilitas rehabilitasi medis dan sosial dalam suatu lokasi yang sama (One Stop Service). BNN saat ini juga mengembangkan Program aftercare pasca rehabilitasi bagi mantan penyalah guna Narkotika. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mengangkat judul: Proses rehabilitasi penyalah guna Narkotika dalam rangka mencegah relapse pasca rehabilitasi oleh BNN. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Temuan hasil penelitian Berdasarkan kegiatan penelitian dan pengkajian yang dilakukan memperoleh temuan penelitian sebagai berikut: Penyimpangan dalam proses penyalah guna menjadi residen. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh oknum institusi terkait kegiatan rehabilitasi dalam proses masuknya pecandu/penyalah guna Narkotika menjadi seorang residen (sebutan bagi penyalah guna Narkotika yang sedang menjalani program rehabilitasi) dikaji dari teori penyimpangan dari Clinnard yang dikutip oleh Nitibaskara (1988:10) adalah sebagai berikut: Pembuatan Asesmen palsu. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Penyalah guna Narkotika menyebutkan bahwa tujuan diadakan asesmen terhadap penyalah guna Narkotika adalah untuk mengetahui kondisi penyalah guna Narkotika yang meliputi aspek medis dan aspek sosial, sehingga dapat ditentukan apakah perlu atau tidaknya seorang penyalah guna Narkotika untuk direhabilitasi. Asesmen juga menjadi pedoman hakim untuk memberikan vonis rehabilitasi bagi terdakwa yang merupakan pecandu atau penyalah guna Narkotika sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Asesmen seharusnya dibuat oleh sebuah tim berdasarkan surat perintah dan teregistrasi di BNN. Pembuatan asesmen palsu dilakukan oleh dr AM, sejak awal 2010 dr AM sudah mengeluarkan 300 asesmen palsu dan pada tahun 2011 sekitar 80 buah. Sebagian besar klien dr AM adalah para bandar/pengedar Narkotika. Selain itu dr AM juga bertindak sebagai pendamping dalam sidang pengadilan sehingga para terdakwa mendapat keringanan hukuman dengan putusan sebagai pengguna dengan vonis ringan atau menjalani rehabilitasi Narkotika. Saat ini dr AM sedang menjalani hukuman penjara dalam rangka mempertanggungjawabkan perbuatannya. Penyuapan kepada aparat penegak hukum agar mendapat vonis rehabilitasi. Putusan rehabilitasi oleh hakim di pengadilan seharusnya menjadi hak terdakwa yang terbukti sebagai penyalah guna Narkotika. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa putusan rehabilitasi bukan berdasarkan ketentuan rehabilitasi yang berlaku namun karena penyalah guna (keluarga) memberikan sejumlah materi kepada Penyidik, Jaksa dan Hakim. Para residen yang berasal dari vonis hakim, menyatakan bahwa telah melakukan negoisasi mulai dari penyidik, jaksa dan hakim dalam rangka memperoleh putusan rehabilitasi. Berdasarkan wawancara dengan 11 (sebelas) residen yang mendapatkan vonis rehabilitasi di Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido dalam mendapatkan putusan rehabilitasi para residen/keluarganya memberikan sejumlah materi dalam proses peradilan. Jumlah materi yang diberikan bervariasi dari 50 juta rupiah sampai 800 juta rupiah tergantung dari latar belakang keluarga penyalah guna Narkotika dan hasil negoisasi dengan aparat penegak hukum. Diskriminasi putusan pengadilan. K (20 tahun) mengalami diskriminasi putusan pengadilan. K menceritakan bahwa yang bersangkutan tertangkap bersama dengan temannya R karena kepemilikan Narkotika. K dan R mendapat putusan rehabilitasi selama 1 (satu) tahun namun lokasi rehabilitasi yang berbeda, K melaksanakan rehabilitasi di Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido sedangkan R melaksanakan terapi dan rehabilitasi di sebuah RSKO. Berdasarkan wawancara dengan K, temannya R hanya melaksanakan detoktifikasi selama dua minggu setelah itu pergi ke luar negeri. Kualitas pelayanan Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido Pelayanan yang diberikan oleh Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido adalah pelayanan yang diberikan kepada para residen yang mengikuti program terapi dan rehabilitasi penyalahgunaan Narkotika. Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido sesuai dengan Kep Men PAN No. 81/1993 merupakan Instansi Pemerintah yang memberikan pelayanan jasa kepada residen dalam bentuk pelayanan kegiatan rehabilitasi medis dan sosial dalam rangka membantu residen pulih dari ketergantungan Narkotika. Sebagai Instansi Pemerintah sudah selayaknya Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido memperhatikan sendi-sendi pelayanan yang terdiri dari kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, ketertiban, efisiensi, ekonomis, keadilan yang merata, dan ketepatan waktu. Pelayanan yang diberikan oleh Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido dilihat dari teori kepuasan dari Philip Kothler (2000) sudah cukup baik, karena para residen yang mengikuti program kegiatan terapi dan rehabilitasi menyatakan puas terhadap pelayanan yang diberikan walaupun masih ditemukannya berberapa kekurangan di beberapa aspek pelayanan. Berdasarkan 5 (lima) dimensi pokok pelayanan dari Parasuraman dan rekan-rekan (dalam Fitzsimons dan Fitzsimons, 1994; Zeithaml dan Bitner, 1996) kualitas pelayanan Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido adalah sebagai berikut: Bukti nyata/berwujud (Tangibles). Aspek penampilan petugas yang bersih dan rapi serta berpenampilan simpatik membuat para residen tidak takut untuk berkomunikasi dan meminta bantuan terkait permasalahan yang dihadapinya. Aspek kebersihan dan kerapian fasilitas yang dimiliki oleh Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido. Aspek fasilitas fisik yang dimiliki oleh Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido sudah lengkap dan mencukupi kebutuhan residen, namun masih ditemukan adanya keluhan dari residen yang berasal dari female terkait akses menggunakan fasilitas yang ada, karena lebih banyak digunakan oleh residen male Keandalan (Realibility) Aspek pemberian informasi yang masih kurang oleh petugas pendaftaran di Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido, sehingga para residen merasa bingung ketika menghadapi situasi yang dihadapi atau pada saat mengikuti program yang dilaksanakan. Aspek perencanaan dengan pelaksanaan pelayanan secara garis besarnya sudah sesuai namun ada beberapa kegiatan yang tidak secara konsistensi dilakukan seperti kegiatan spiritual yang tidak semua agama dapat dilaksanakan. Daya tanggap/kesigapan (Responsiveness). Aspek ketanggapan petugas dalam menangani keluhan residen. Ditemukan bahwa daya tanggap pegawai yang memberikan pelayanan di bidang sosial sudah bagus namun ada beberapa keluhan dari residen terhadap petugas yang memberikan pelayanan di bidang medis. Aspek Ketanggapan perbaikan fasilitas fisik yang rusak masih ditemukannya keterlambatan perbaikan oleh pegawai bagian perawatan dan pemeliharaan. Jaminan/kepastian (Assurance). Aspek Rasa aman dan bebas kekerasan dalam pelaksanaan terapi dan rehabilitasi. Para residen dalam mengikuti proses terapi dan rehabilitasi di Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido mendapatkan jaminan yang meliputi rasa aman dan bebas dari kekerasan baik dari sesama residen maupun oleh pegawai/petugas yang ada didalamnya. Kondisi ini membuat para residen merasa aman dan tenang selama mengikuti program yang ada di Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido. Aspek pelayanan yang gratis tidak dipungut biaya apapun. Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido, sama sekali tidak menarik biaya kapada para residen yang mengikuti program terapi dan rehabilitasi. Hal ini membuat para residen merasa senang mengikuti program yang diselenggarakan karena tidak perlu memikirkan biaya yang harus dikeluarkan. Aspek Keterampilan dan kemampuan petugas dalam pelayanan. Keterampilan dan kemampuan petugas dalam pelayanan di bidang medis masih kurang sedangkan di bidang sosial sudah baik Empati (Emphaty) Aspek mendengarkan keluhan yang dialami oleh residen. Pegawai dan konselor yang ada di Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido memiliki kesediaan secara aktif mendengarkan setiap keluhan dan permasalahan yang dialami oleh para residen. Aspek sikap petugas dalam memberikan pelayanan rehabilitasi kepada residen.. Pegawai/konselor khususnya yang memberikan pelayanan di kelompok male memiliki empati yang cukup bagus, sedangkan pegawai/konselor yang memberikan pelayanan di kelompok female masih ditemukan adanya konselor yang kurang berempati terhadap residen. Kohesi sosial yang terbentuk dalam program pasca rehabilitasi Kohesi sosial merupakan modal bagi penyalah guna Narkotika dalam rangka membantu mencegah relapse (penggunaan kembali Narkotika setelah menjalani program terapi dan rehabilitasi). Kohesi sosial disebut modal karena salah satu penyebab para mantan residen relapse karena kembali ke komunitas awal di mana sebelumnya mereka terjerumus ke dalam perilaku menyimpang dengan menggunakan narkotika. Kohesi sosial yang terbentuk akan membangun terbentuknya komunitas baru yang terdiri dari para mantan penyalah guna Narkotika yang memiliki kemauan dan permasalahan yang sama untuk senantiasa menghindari penyalahgunaan Narkotika. Ritzen et al.(2000) mendefinisikannya kohesi sosial sebagai satu keadaan dimana sekelompok orang (dalam suatu wilayah geografis) menunjukkan kemampuan untuk berkolaborasi dan menghasilkan iklim untuk perubahan. Sedangkan Council of Europe menyatakan kohesi sosial merupakan kapasitas masyarakat untuk memastikan kesejahteraan bagi seluruh anggotanya, meminimkan disparitas, dan menghindari polarisasi (http://andikaboni.blogspot.com). Dalam konteks ini para penyalah guna Narkotika diharapkan dapat saling membantu dan bekerja sama dalam mencegah kekambuhan kembali (relapse) serta saling mendukung untuk menjadi warga masyarakat yang produktif. Pendekatan strategis dalam kohesi sosial melihat bahwasanya dalam suatu ikatan sosial masyarakat, tidak mungkin terciptanya sebuah kesederajatan atau kesamaan nilai antar individu dalam masyarakat tersebut. Pendekatan strategis, melihat kohesi sosial melalui dua pendekatan turunan, yaitu pendekatan negatif (negative approach) dan pendekatan positif (positive approach). BNN memandang kohesi sosial yang akan di bentuk dalam program pasca rehabilitasi melalui pendekatan positif (positive approach), dengan menumbuhkan kebersamaan dan motivasi bagi para penyalah guna Narkotika untuk bangkit pulih dari ketergantungan Narkotika dan melalui kebersamaan berusaha untuk menjadi warga masyarakat yang produktif. Kohesi sosial yang terbentuk dalam program pasca rehabilitasi yang diselanggarakan oleh BNN, dilihat dari karakteristik kohesi sosial yang disampaikan oleh Mitchell (1994) adalah sebagai berikut: Komitmen individu untuk norma dan nilai umum. Para residen yang telah mengikuti program rehabilitasi dan pasca rehabilitasi telah mempunyai komitmen untuk tidak menggunakan kembali Narkotika. Permasalahan terjadi ketika para residen kembali ke komunitas semula di tempat tinggalnya setelah mengikuti program rehabilitasi dan bertemu kembali dengan teman-temannya, mantan residen yang telah pulih ini tergoda untuk menggunakan kembali Narkotika. Kesalingtergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest). Kesalingtergantungan antar mantan residen belum muncul karena tidak ada niat untuk berbagi, karena mantan residen sendiri tidak memiliki kepercayaan terhadap mantan residen yang lain karena sewaktu-waktu bisa relapse dan merugikannya, karena menurut sumber informasi selaku mantan penyalah guna merasa bahwa penyalah guna Narkotika tidak dapat dipercaya dan tidak jujur di kemudian hari. Individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu. Mantan residen pada dasarnya telah mengidentifikasikan dirinya kepada kelompok mantan penyalah guna Narkotika namun karena saat ini komunitas mantan penyalah guna masih jarang ada di setiap daerah maka mantan penyalah guna ini menutupi identitas dirinya karena menghindari persepsi negatif dalam masyarakat. Sistem Rehabilitasi berkelanjutan. Sistem rehabilitasi penyalah guna Narkotika berkelanjutan merupakan sistem terbuka karena dapat dipengaruhi oleh dari lingkungannya. Sistem rehabilitasi berkelanjutan terdiri dari 3 (tiga) subsistem yaitu subsistem proses masuknya penyalah guna menjadi residen, subsistem terapi/rehabilitasi dan subsistem pasca rehabilitasi. Sistem rehabilitasi berkelanjutan bagi penyalah guna Narkotika bertujuan mewujudkan mantan penyalah guna Narkotika yang pulih dari ketergantungan Narkotika, produktif dan bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai model sistem yang dinamik, sistem rehabilitasi berkelanjutan bagi penyalah guna Narkotika, memiliki unsur : 1) Input yaitu penyalah guna Narkotika; 2) tempat untuk memproses yaitu pusat rehabilitasi BNN; 3) metode berupa kegiatan rehabilitasi medis dan sosial serta kegiatan pasca rehabilitasi; dan 4) out put berupa mantan penyalah guna Narkotika yang telah pulih dari ketergantungan Narkotika, produktif dan bermanfaat bagi masyarakat Saat ini sistem rehabilitasi berkelanjutan bagi penyalah guna Narkotika belum berjalan dengan optimal karena massih tingginya mantan residen yang relapse. Dalam penelitian ini dalam satu kelompok yang terdiri dari 10 orang yang pernah mengikuti program pasca rehabilitasi lebih dari 50 % diantaranya menggunakan kembali Narkotika (relapse), sedang secara keseluruhan peneliti tidak mendapat data yang pasti karena BNN sendiri belum melakukan monitoring dan pendataan terhadap mantan residen yang telah mengikuti kegiatan rehabilitasi di BNN. Data relapse juga ditemukan berdasarkan rekam medis yang ada di Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido, namun data ini belum mencerminkan kondisi efektifitas rehabilitasi karena data relapse residen yang pernah mengikuti kegiatan rehabilitasi Narkotika di berbagai tempat, tidak terbatas pada residen yang pernah mengikuti rehabilitasi di BNN. Sistem rehabilitasi berkelanjutan bagi penyalah guna Narkotika yang belum optimal dikarenakan berbagai faktor yang yang meliputi: Penyimpangan yang terjadi dalam Subsistem proses masuknya penyalah guna Narkotika menjadi residen karena di pengaruhi oleh: a) Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap aturan yang berlaku; b) Lemahnya pengawasan dalam internal masing-masing isntitusi terkait kegiatan rehabilitas, termasuk didalamnya aparat penegak hukum; c) Lemahnya pengawasan oleh pihak ekternal; d) Moralitas oknum aparat penegak hukum yang tidak baik; dan e) Sistem administrasi yang tidak tertib dan teratur. Subsistem terapi dan rehabilitasi secara garis besar telah memberikan kualitas pelayanan yang baik, sehingga residen merasa nyaman dalam menjalani program di Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido, namun masih ada aspek pelayanan yang masih kurang yang dirasakan oleh residen. Beberapa kekurangan yang terjadi dalam pelayanan yang diberikan oleh Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido karena dipengaruhi oleh:a) Faktor anggaran; b) Faktor kebijakan pimpinan.; c) Faktor sumber daya manusia; d) katalisator keluhan para residen yang dilayani; dan e) Faktor kurangnya insentif yang diterima petugas konselor (honorer). Belum terbentuk kohesi sosial secara sempurna dalam Subsistem pasca rehabilitasi, dipengaruhi oleh: a) Para residen pasca rehabilitasi berasal dari berbagai sumber; dan b) Komunikasi yang tidak aktif antar sesama mantan residen setelah kegiatan pasca rehabilitasi. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Ketentuan perundang-undangan terkait rehabilitasi penyalah guna Narkotika belum dilaksanakan secara optimal, karena masih adanya penyimpangan terjadi pada saat proses penyalah guna Narkotika menjadi residen. Kondisi ini menggambarkan bahwa tujuan de-kriminalisasi yang ada dalam Undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum tercapai. Kualitas pelayanan yang diberikan oleh Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido dalam penyelenggaraan program rehabilitasi bagi penyalah guna Narkotika sudah cukup bagus, namun akan lebih baik bila memperbaiki beberapa kekurangan yang ada di beberapa aspek pelayanan. Kohesi sosial dalam program pasca rehabilitasi yang diselenggarakan oleh BNN belum terbentuk secara utuh antar para residen. Kondisi ini menyebabkan para residen yang telah selesai mengikuti kegiatan program pasca rehabilitasi banyak diantaranya yang kembali ke komunitas awal, hal ini merupakan salah satu sebab yang mengakibatkan para mantan pecandu relapse setelah menjalani program rehabilitasi dan pasca rehabilitasi. Sistem rehabilitasi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh BNN bagi penyalah guna Narkotika belum bisa berjalan secara efektif untuk mencapai tujuannya yaitu mewujudkan mantan pecandu narkotika yang sehat, produktif dan bermanfaat bagi masyarakat. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi. Faktor yang mempengaruhi lebih dominan environmental. Saran BNN perlu meningkatkan sosialisasi terkait de-kriminalisasi dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terutama filosofi dan tujuannya yang sangat humanis dibandingkan dengan Undang-undang sejenis yang ada sebelumnya. Penyimpangan yang terjadi pada proses penyalah guna Narkotika menjadi residen, seperti penyuapan kepada penegak hukum agar memperoleh vonis rehabilitasi serta berbagai penyimpangan yang terjadi akibat kurangnya pemahaman aparat penegak hukum serta masyarakat. Perlunya dibentuk peradilan khusus terkait kasus Narkotika sehingga memudahkan pengawasan dan memudahkan akuntabilitas bagi penanganan kasus-kasus Narkotika, sehingga tersangka kasus Narkotika mendapatkan vonis yang sesuai dengan tingkat pelanggaran hukum yang dilakukan. Perlunya pembenahan sistem rehabilitasi berkelanjutan dengan dimulai dari administrasi yang teratur serta pendataan yang akurat dari masuknya residen (data IPWL, asesmen, vonis hakim) sampai pada monitoring residen yang telah selesai menjalani program rehabilitasi dalam jangka waktu tertentu sehingga diketahui secara pasti efektifitas program yang dijalankan. BNN perlu melakukan kajian terhadap pelayanan yang diberikan oleh Unit Terapi dan Rehabilitasi Lido dan program pasca rehabilitasi. Pada prinsipnya pelayanan yang diberikan sudah cukup bagus namun belum mampu mengindikasikan tercapainya tujuan sebagaimana visi organisasi. BNN perlu membentuk sistem pengawasan yang baku terhadap pelaksanaan proses peradilan terkait masalah Narkotika. Pengawasan dilakukan melalui kerja sama dengan pengawas internal masing-masing institusi yang terkait menangani permasalahan Narkotika dan membuka akses bagi pengawas ekternal. Daftar Pustaka Atep Adya Barata,2004. Dasar-dasar Pelayanan Prima, Cetakan ke-2, PT. Gramedia; Jakarta, 2004 Amirin, M.Tatang. 2003, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Beck, J. S. (2011). Cognitive behavior therapy: Basics and beyond. 2nd ed. New York: Guilford Barker, Thomas & David L. Carter “Police Deviance Third Edition ”., penyadur Kunarto 1999, Jakarta cipta manunggal Kotler, Philip, 2000. Marketing Management, The Millenium Edition, New Jersey: Prentice Hall International, Inc Kurniawan, Agung., 2005, Transformasi Pelayanan Publik, Yogyakarta, Penerbit Pembaruan Matson, Jhonny L & Thomas H. Ollendick. (1988). Enhancing Children's Social. Skill: Assessment and Training. New York: Pergamon Press Naim, Moises, 2005, Illicit: How Smugglers, Traffickrs, And Copycats Are Hijacking The Global Economy, USA, Doubleday Nitibaskara, Roni, 2001, Ketika kejahatan Berdaulat: Pendekatan Kriminologi, Sosiologi dan Hukum, Jakarta, PT M2 Print -----------------------, 2006, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta, Penerbit Buku Kompas Robbin P. Stephen, 2006, Perilaku Organisasi, PT Intan Sejati (Gramedia group), Klaten Parasuraman, et.al, 1985, Pelayanan Pelanggan yang Sempurna, Kunci Ilmu,Yogyakarta Sadli, saparinah 1976, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, tesis doktor pada fakultas psikologi univ Indonesia Jakarta . Siswandi Drs, 2011, Pangsa Narkotika Dunia-Indonesia, Jakarta (tanpa penerbit). Tjiptono, Santoso, Singgih dan Fandy, 2001, Riset Pemasaran: Konsep dan Aplikasi dengan SPSS, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Journal Mitchell, Bruce 1994, Sustainable Development Development at The Village Level in Bali, Indonesia. Human Ecology an Interdisciplinary Journal vol. 22 no 3 September 1994, (pp 189-211) Ritzen, et.al. ‘On “Good” Politicians and “Bad” Policies: Social Cohesion, Institutions, and Growth.’ World Bank Policy Research Working Paper 2448, 2000, The World Bank. Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan Narkotika, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial Internet Antaranews, Polri Ungkap 26561 Kasus Narkoba Pada 2012, diakses melalui http://www.antaranews.com/berita/349418/polri-ungkap-26561-kasus-narkoba-pada-2012 pada tanggal 8 Januari 2012 Viva news, Gories Mere: 99% Pecandu Tidak Dapat Terapi, diakses melalui http://nasional.news.viva.co.id/news/read/192356-gories-mere--99--pecandu-belum-direhabilitasi pada tanggal 8 Januari 2012. Andikaboni, 2011 ’Kohesi Sosial: Pendekatan Konseptual dan Strategis’ diakses melalui, http://andikaboni.blogspot.com/2011/07/kohesi-sosial-pendekatan-konseptual-dan.html. pada tanggal 8 Januari 2012. UNODC 2011 World Drug Report 2011. United Nations Office on Drugs and Crime. diakses melalui http://www.unodc.org pada tanggal 8 Januari 2012. 12