Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

DINAMIKA MASYARAKAT DAN HUKUM

2018, Makalah Antropologi Hukum

Manusia bukanlah makhluk yang statis (tetap seperti keadaan semula), melainkan yang senantiasa dalam proses perubahan. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup selalu berinteraksi satu sama lainnya. Adanya interaksi sosial antar kebudayaan antar bangsa pada era globalisasi ini semakin mempercepat laju perubahan sosial. Dampak perubahan sosial itu tidak saja menimbulkan kesenjangan antara nilai lama dengan nilai baru, tetapi juga menimbulkan kesenjangan antara hukum yang telah mapan dengan realitas sosial yang terus mengalami perubahan. Perubahan sosial dan permasalahan sosial akan selalu tumbuh dan berkembang dan menuntut kepastian hukum. Peranan hukum di dalam masyarakat khususnya dalam menghadapi perubahan masyarakat perlu dikaji dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sosial. Pengaruh peranan hukum ini bisa bersifat langsung atau tidak. Hukum memiliki pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong munculnya perubahan sosial pada pembentukan lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Di sisi lain, hukum membentuk atau mengubah institusi pokok atau lembaga kemasyarakatan yang penting, maka terjadi pengaruh langsung, yang kemudian sering disebut hukum digunakan sebagai alat untuk mengubah perilaku masyarakat. Konsep dan pemikiran tentang Ubi Societas Ibi ius yang bermakna dimana ada masyarakat di situ ada hukum, maka perlu digambarkan hubungan antara perubahan sosial dan hukum dalam kaitannya dengan aturan. Masyarakat ada dan menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukum pun berubah. Perubahan hukum melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan pasif) dan bentuk lain yaitu hukum sebagai alat untuk mengubah ke arah yang lebih baik (law as a tool of sosial engineering). Dari uraian tersebut maka Penulis tertarik untuk membahas tentang "Dinamika Masyarakat dan Hukum".

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Manusia bukanlah makhluk yang statis (tetap seperti keadaan semula), melainkan yang senantiasa dalam proses perubahan. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup selalu berinteraksi satu sama lainnya. Adanya interaksi sosial antar kebudayaan antar bangsa pada era globalisasi ini semakin mempercepat laju perubahan sosial. Dampak perubahan sosial itu tidak saja menimbulkan kesenjangan antara nilai lama dengan nilai baru, tetapi juga menimbulkan kesenjangan antara hukum yang telah mapan dengan realitas sosial yang terus mengalami perubahan. Perubahan sosial dan permasalahan sosial akan selalu tumbuh dan berkembang dan menuntut kepastian hukum. Peranan hukum di dalam masyarakat khususnya dalam menghadapi perubahan masyarakat perlu dikaji dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sosial. Pengaruh peranan hukum ini bisa bersifat langsung atau tidak. Hukum memiliki pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong munculnya perubahan sosial pada pembentukan lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Di sisi lain, hukum membentuk atau mengubah institusi pokok atau lembaga kemasyarakatan yang penting, maka terjadi pengaruh langsung, yang kemudian sering disebut hukum digunakan sebagai alat untuk mengubah perilaku masyarakat. Konsep dan pemikiran tentang Ubi Societas Ibi ius yang bermakna dimana ada masyarakat di situ ada hukum, maka perlu digambarkan hubungan antara perubahan sosial dan hukum dalam kaitannya dengan aturan. Masyarakat ada dan menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukum pun berubah. Perubahan hukum melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan pasif) dan bentuk lain yaitu hukum sebagai alat untuk mengubah ke arah yang lebih baik (law as a tool of sosial engineering). Dari uraian tersebut maka Penulis tertarik untuk membahas tentang “Dinamika Masyarakat dan Hukum”. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: Apa saja bentuk-bentuk perubahan sosial? Bagaimana hubungan antara perubahan sosial dan hukum? Bagaimana hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat? Bagaimana hukum sebagai sarana pengatur perilaku? Apa batas-batas penggunaan hukum? Bagaimana pengaruh perubahan sosial terhadap aliran pemikiran dalam ilmu hukum? Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut : Untuk mengetahui bentuk-bentuk perubahan sosial. Untuk mengetahui hubungan antara perubahan sosial dan hukum. Untuk mengetahui hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Untuk mengetahui hukum sebagai sarana pengatur perilaku. Untuk mengetahui batas-batas penggunaan hukum. Untuk mengetahui pengaruh perubahan sosial terhadap aliran pemikiran dalam ilmu hukum. BAB II PEMBAHASAN Bentuk-bentuk Perubahan Sosial Evolusi Perubahan evolusi adalah perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam proses lambat, dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti kondisi perkembangan masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan kata lain, perubahan sosial terjadi karena dorongan dari usaha-usaha masyarakat guna menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan perkembangan masyarakat pada waktu tertentu. Comtoh, perubahan sosial dari masyarakat berburu menuju ke masyarakat tertentu. Evolusi kemasyarakatan tidaklah dianggap sebagai suatu proses sinambung atau linier, akan tetapi dapat dibedakan antara tingkatan-tingkatan luas dari kemajuan, tanpa melakukan adanya variasi. Ada tiga tingkatan evolusi yang umum, yang dinan “primitive”, “intermediate”, dan “modern”. Menurut Parsons: Bagi transisi dari masyarakat “primitif” menuju masyarakat “intermediate”, perkembangan terpenting adalah pada bahasa yang merupakan bagian utama dari sistem budaya. Pada transisi dari masyarakat “intermediate” ke “modern”, perkembangannya berpusat pada sistem hukum. Menurut Soerjono Soekanto (1987), terdapat tiga teori yang mengupas tentang evolusi, yaitu: Unilinier Theories of Evolution: menyatakan bahwa manusia dan masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahap tertentu, dari yang sederhana menjadi kompleks dan sampai pada tahap yang sempurna. Universal Theory of Evolution: menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Menurut teori ini, kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi yang tertentu. Multilined Theories of Evolution: menyatakan pada penelitian terhadap tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya, penelitian pada pengaruh perubahan sistem pencaharian dari sistem berburu ke pertanian. Dengan kata lain evolusi adalah kemajuan yang ditandai gerakan serentak kedua arah. Di satu sisi terciptanya keanekaragaman melalui perubahan kemampuan menyesuaikan diri, bentuk-bentuk baru dibedakan dari yang lain. Di lain sisi, evolusi menimbulkan kemajuan: bentuk-bentuk yang lebih tinggi muncul, dan melampaui yang lebih rendah. Sugihardjo, dkk. Perubahan Sosial Masyarakat di Kaki Pegunungan Kendeng: Strategi Pelestarian Lingkungan. (Surakarta: UNS Press, 2013), hlm. 79-82. Difusi Difusi sebagai proses yang menyebarkan penemuan (inovasi) ke seluruh lapisan satu masyarakat atau ke dalam satu bagian atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Menurut Kroeber, difusi selalu menimbulkan perubahan bagi kebudayaan yang menerima unsur kebudayan lain yang menyebar itu. Suatu komponen penting dari difusi dan proses adopsi adalah inovasi. Karakteristik suatu inovasi mempengaruhi tingkat adopsi. Terdapat lima atribut yang dapat mempengaruhi tingkat adopsi: (1) keuntungan relatif, atau tingkat suatu inovasi mengungguli gagasan yang digantikannya; (2) kompatibilitas, atau tingkat suatu inovasi konsisten dengan nilai-nilai dan pengalaman-pengalaman masa lampau yang ada; (3) kompleksitas, atau tingkat suatu inovasi relatif sulit dipahami dan digunakan; (4) divisibilitas, atau tingkat suatu inovasi dapat dicobakan pada suatu basis terbatas; dan (5) komunikabilitas, atau tingkat hasil-hasil dapat dipublikasikan kepada khalayak. Difusi jarang merupakan proses satu arah, bahkan ketika dua kebudayaan bersangkutan berada pada tingkat perkembangan ekonomi yang berbeda dan ketika satu masyarakat berada dalam keadaan relatif lebih lemah terhadap masyarakat lain. Ibid., hlm. 82-84. Akulturasi Akulturasi mengacu pada pengaruh satu kebudayaan terhadap kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan, yang mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan. Definisi Antropolog klasik seperti Redfield, Linton, dan Herskovits mengenai akulturasi, yaitu meliputi fenomena yang dihasilkan sejak dua kelompok yang berbeda kebudayaannya mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayan asli salah satu atau kedua kelompok itu. Menurut, definisi ini, akulturasi hanyalah satu aspek saja dari perubahan kebudayaan. Sedangkan difusi hanyalah satu aspek dari akulturasi. Ringkasnya, akulturasi adalah satu pola perubahan yang dapat terdapat tingkat penyatuan antara dua kebudayaan. Penyatuan itu dapat menimbulkan perubahan dalam kedua kebudayaan atau terutama dalam salah satu di antara kedua kebudayaan itu. Penyatuan di sini tak berarti bahwa kesamaannya lebih banyak daripada perbedaannya, tetapi hanya berarti bahwa kedua kebudayaan menjadi semakin serupa dibanding keadaan sebelum terjadinya kontak antara keduanya. Ibid., hlm. 84-85. Hubungan antara Perubahan Sosial dan Hukum Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam suatu masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (sebab-sebab intern) maupun di luar masyarakat tersebut (sebabs-sebab ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat disebutkan, misalnya pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan, dan seterusnya. Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat lain atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju. Sistem lapisan sosial yang tebuka, penduduk yang heterogen serta ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu, dapat pula memperlancar terjadinya perubahan-perubahan sosial, sudah tentu di samping faktor-faktor yang dapat memperlancar proses perubahan-perubahan sosial, dapat juga diketemukan faktor-faktor yang menghambatnya seperti sikap masyarakat yang mengagung-agungkan masa lampau (tradisionalisme), adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing, hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, dan seterusnya. Faktor-faktor tersebut di atas sangat mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan sosial beserta prosesnya. Di dalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang menegakkan hukum serta badan-badan pelaksana yang menjalankan hukum, merupakan ciri-ciri yang terdapat pada negara-negara modern. Pada masyarakat modern, ketiga fungsi tadi mungkin berada di tangan suatu badan tertentu atau diserahkan pada unit-unit terpenting dalam masyarakat seperti keluarga luas. Akan tetapi, baik pada masyarakat mdern maupun sederhana ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau sebaliknya, perubahan-perubahan hukum dan perubahan-perubahan sosial) tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya, pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi. Apabila terjadi hal yang demikian, maka terjadilah suatu social lag, yaitu suatu keadaan di mana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan. Tertinggalnya kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu disorganisasi, yaitu suatu keadaan di mana kaidah-kaidah lama telah berpudar, sedangkan kaidah-kaidah baru sebagai penggantinya belum disusun atau dibentuk. Keadaan tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya anomie, yaitu suatu keadaan yang kacau, oleh karena tidak adanya pegangan bagi para warga masyarakat untuk mengukur kegiatan-kegiatannya. Faktor tertinggalnya kaidah-kaidah hukum sudah menimbulkan berbagai persoalan, persoalan-persoalan tersebut akan bertambah banyak apabila diusahakan untuk menyoroti kemungkinan-kemungkinan bahwa unsur-unsur lain dalam masyarakat tertinggal oleh hukum. Hal ini terutama disebabkan oleh karakteristik kaidah-kaidah hukum itu sendiri yang mengakibatkan hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan perubahan-perubahan sosial tambah ruwet. Pertama-tama, kaidah-kaidah hukum merupakan suatu sistem tersendiri dalam masyarakat yang merupakan suatu jaringan dari hubungan-hubungan antarmanusia, hubungan antarmanusia dengan kelompok-kelompok sosial, dan hubungan antarkelompok sosial. Jaringan tersebut merupakan suatu subsistem dalam masyarakat, sebagaimana halnya sistem kekerabatan. Selanjutnya, pengaruh hukum pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya adalah sangat luas. Bahkan dapat dikatakan hukum mempengaruhi hampir semua lembaga –lembaga kemasyarakatan. Hukum mempunyai pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Sebaliknya, apabila hukum membentuk atau mengubah basic institutions dalam masyarakat, maka terajdi pengaruh langsung. Hal ini membawa pembicaraan pada penggunaaan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 112-121. Hukum sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat Selain sebagai control social, hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social engineering. Alat pengubah masyarakat yang dimaksudkan oleh Roscoe Pound, dianalogikan sebagai suatu proses mekanik. Hal itu terlihat dengan adanya perkembangan industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai dan norma baru. Peran "pegubah" tersebut dipegang oleh hakim melalui "interprestasi" dalam mengadili kasus yang dihadapinya secara "seimbang" (balance). Interprestasi-interprestasi tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut. Studi tentang aspek social yang actual dari lembaga hukum. Tujuan dari pembuat peraturan hukum yang efektif. Studi tentang sosiologi dalam mempersiapkan hukum. Studi tentang metodologi hukum. Studi tentang metodologi hukum. Sejarah hukum. Arti penting tentang alasan-alasan dan solusi dari kasus-kasus individual yang ada pada angkatan terdahulu berisi tentang keadilan yang abstrak dari suatu hukum yang abstrak. Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 24. Kalau melihat keberadaan hukum pada masa berkembangnya narural law atau hukum alam, Roscoe Pound menganjurkan agar konsepsi-konsepsi tentang norma dan nilai yang ditemukan dan disusun dari hasil pelaksanaan interprestasi analogi itu dikembangkan, sehingga dapat dilakukan usaha untuk mengembangkannya ke dalam suatu sistem hukum (legal system ). Oleh karena itu, legal system atau sistem hukum yang telah terbentuk itu dapat diaplikasikan ke dalam proses (kegiatan) peradilan (sebagaimana yang dikemukakan oleh Austin). Kegiatan penggalian dan pembentukan sistem hukum, serta pengaplikasiannya di pengadilan, oleh Pound disebut sebagai proses "administrasi hukum". Pound mencoba memperlihatkan bagaimana cara Amerika membentuk sistem hukum dengan mengembangkan administrasi peradilan (administrasi of justice), untuk sekaligus mengembangkan ilmu hukumnya. Cara yang ditempuh antara lain dengan memperhatikan hal berikut. Pertimbangan-pertimbangan pengadilan dalam menetapkan suatu keputusan yang adil, hukum yang standar seperti halnya dengan standar memelihara, standar keterbukaan dan standar tentang kepentingan umum; kekuatan ahli hukum untuk mempertahankan keputusan-keputusan yang bersifat umum dengan memeperluas penerapan hukum; penemuan hukum terhadap kasus tertentu yang harus diputuskan; penetapan hukum yang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh individu; metode informal dari suatu administrasi. Adanya ide dari Austin di atas mengenai proses (kegiatan) peradilan, menimbulkan pertanyaan: apakah proses peradilan ini termasuk ilmu hukum. Bila hukum merupakan suatu social control dan sekaligus dapat dijadikan agent of social change, maka hukum memuat prinsip, konsep atau aturan standar tingkah laku, doktrin-doktrin, dan etika profesi, serta semua yang dilakoni oleh "individu" dalam usaha memuas-kan kebutuhan dan "kepentingannya". Roscoe Pound mengemukakan bahwa agar hukum dapat dijadikan sebagai agen dalam perubahan social atau yang disebutnya dengan agent of social change. Maka pendapatnya dikuatkan oleh Williams James yang menyatakan bahwa "ditengah-tengah dunia yang sangat terbatas dengan kebutuhan (kepentingan) manusia yang selalu berkembang, maka dunia tidak akan dapat memuaskan kebutuhan (kepentingan) manusia tersebut". Hukum sebagai social engeineering berkaitan dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan masyarakat, maka interpretasi analogi Pound mengemukakan "hak" yang bagaimanakah seharusnya diatur oleh hukum, dan "hak-hak" yang bagaimanakah dapat dituntut oleh individu dalam hidup bermasyarakat. Selanjutnya, uraian Pound tentang interpretasi yang terlihat dari adanya temuan-temuan norma dan nilai yang telah dilakukan oleh para pemikir dan penulis ilmu pengetahuan tentang hukum, perlu diperhatikan oleh para praktisi hukum dengan melakukan apa yang disebutnya interpretasi analogy, demi terwujudnya ide hukum, yaitu "keseimbangan". Ibid., hlm. 27. Hukum sebagai Sarana Pengatur Perilaku Sebagai sarana social engeineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah, apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment, dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, dan para pencari keadilan (justiabelen), maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat. Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat hakikat hukum, juga perlu diketahui adalah batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur perikelakuan warga masyarakat). Sebab, sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah yang tepat untuk dipergunakan. Suatu contoh dari uraian di atas adalah, misalnya, perihal komunikasi hukum. Kiranya sudah jelas, supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hukum tadi harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan syarat bagi penyebaran serta pelembagaan hukum. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini semua termasuk apa yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat yang bersangkutan. Proses difusi tersebut, antara lain, dapat dipengaruhi oleh: Pengakuan, bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum), mempunyai kegunaan; Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin merupakan pengaruh negatif ataupun positif; Sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsur lama; Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempengaruhi efektivitas hukum di dalam mengubah serta mengatur perikelakuan warga-warga masyarakat. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengatur atau pengubah perikelakuan. Kaidah merupakan patokan untuk bertingkah laku sebagaimana diharapkan (statements of expected behavior). Pribadi-pribadi yang memilih, melakukan hal itu, oleh karena dia percaya bahwa dia menghayati perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perikelakuannya. Kaidah-kaidah itulah yang menghubungkan segi batiniah dari pribadi-pribadi yang memilih, dengan dunia atau masyarakat sekelilingnya. Dengan demikian, maka pokok di dalam proses perubahan perilkelakuan melalui kaidah-kaidah hukum adalah konsepsi-konsepsi tentang kaidah, peranan (role) dan sarana-sarana maupun cara-cara untuk mengusahakan adanya konformitas (conformity-inducing-measures). Yang dimaksudkan dengan peranan, adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perikelakuan, pada kedudukan-kedudukan tertentu di dalam masyarakat, kedudukan mana dapat dipunyai pribadi atau kelompok-kelompok. Pribadi yang mempunyai peranan tadi dinamakan pemegang peranan (role accupant) dan perikelakuannya adalah berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan apa yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah. Konsepsi-konsepsi sosiologi tersebut di atas, mungkin akan lebih jelas bagi kalangan hukum, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa hukum. Pemegang peranan adalah subyek hukum, sedangkan peranan merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum. Berperannya pemegang peranan merupakan peristiwa hukum yang dapat sesuai atau berlawanan dengannya. Hukum berproses dengan cara membentuk struktur pilihan-pilihan para pemegang peranan, melalui aturan-aturan serta sarana-sarana untuk mengusahakan konformitas (yang antara lain, berwujud samksi). Proses tadi berjalan dengan cara: Penetapan kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan; Perumusan tugas-tugas penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan positif atau negatif, sesuai dengan apakah ada kepatuhan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum. Uraian Kelsen tersebut, hanya terbatas pada hubungan antara kaidah-kaidah hukum tersebut. Oleh karena model Kelsen tersebut sangat terbatas ruang lingkupnya, maka diperlukan kerangka yang lebih luas yang mungkin lebih banyak mempertimbangkan masalah-masalah di sekitar penegak hukum subyek-subyek hukum lainnya. Untuk keperluan itu kiranya dapat dikemukakan langkah-langkah atau tahap-tahap yang didasarkan pada hipoteis-hipoesis sebagai berikut: Para pemegang peranan akan menentukan pilihannya, sesuai dengan anggapan-anggapan ataupun nilai-nilai mereka terhadap realitas yang menyediakan lemungkinan-kemungkinan untuk memilih dengan segala konsekuensinya. Salah satu di antara faktor-faktor yang menentukan kemungkinan untuk menjatuhkan pilihan adalah perikelakuan yang diharapkan dari pihak lain. Harapan terhadap peranan-peranan tertentu dirumuskan oleh kaidah-kaidah. Kaidah-kiadah hukum adalah kaidah-kaidah yang dinyatakan oleh para pelopor perubahan atau mungkin juga oleh pattern setting group. Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan untuk mengubah dan mengatur perikelakuan dapat dilakukan dengan cara-cara: Melakukan imbalan-imbalan serta psikologis bagi pemegang peranan yang patuh maupun melanggar kaidah-kaidah hukum; Merumuskan tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan serasi-tidak serasinya perikelakuan pemegang peranan dengan kaidah-kaidah hukum; Mengubah perikelakuan pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi perikelakuan pemegang peranan yang mengadakan interaksi; Mengusahakan perubahan pada persepsi, sikap, dan nilai-nilai pemegang peranan. Langkah-langkah di atas hanyalah merupakan suatu model belaka, yang pasti mempunyai kelemahan-kelemahan. Akan tetapi, dengan model tersebut di atas, setidaknya dapat diidentifikasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan tidak efektifnya sistem kaidah-kaidah hukum tertentu di dalam mengubah atau mengatur perikelakuan warga masyarakat di dalam arti luas. Hukum merupakan bagian dari masyarakat, yang timbul dan berproses di dalam dan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dengan warganyalah yang dapat menentukan luas daya cakup hukum, maupun batas kegunaannya. Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 135-143. Batas-Batas Penggunaan Hukum Menurut Roscoe Pound batas-batas kemampuan hukum terletak pada hal-hal sebagai berikut: Hukum pada umumnya hanya mengatur kepentingan-kepentingan para warga masyarakat, yang bersifat lahiriah. Dalam menerapkan sanksi-sanksi yang melekat pada hukum ada batas-batasnya, sebab sebagaimana dikatakan oleh Edwin Sutheland: “When the mores are adequate, laws are unnecessary; when the mores are inadequate are inneffective.” Lagi pula, untuk melaksanakan isi, maksud, dan tujuan hukum, diperlukan lembaga-lembaga tertentu. Faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan sekali apabila hukum hendak dipakai sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah pelopor perubahan yang ingin mengubah masyarakat dengan memakai hukum sebagai alatnya Beberapa kondisi yang harus mendasari suatu sistem hukum agar dapat dipakai sebagai alat untuk mengubah masyarakat, antara lain: Hukum merupakan aturan-turan umum yang tetap, jadi bukan merupakan aturan yang bersifat ad-hoc. Hukum tersebut harus jelas dan diketahui oleh warga masyarakat yang kepentingan-kepentingannya diatur oleh hukum tersebut. Sebaliknya dihindari penerapan-penerapan peraturan-peraturan yang bersifat retroaktif. Hukum tersebut harus dimengerti oleh umum. Tak ada peraturan-peraturan yang saling bertentangan. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan warga masyarakat untuk mematuhi hukum tersebut. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya perubahan-perubahan pada hukum, oleh karena warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pegangan bagi kegiatan-kegiatannya. Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Ibid., hlm. 143-149. Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Aliran Pemikiran Dalam Ilmu Hukum Paling tidak teori-teori perubahan sosial yang turut mempengaruhi aliran pemikiran dalam ilmu hukum, diantaranya: mazhab history, sociological jurisprudence dan aliran realisme. Itu artinya terdapat tiga mazhab dalam pemikiran ilmu hukum yang berutang budi pada ilmu sosial yang memberinya sumbangsi pemikiran baru. Mazhab sejarah hukum yang dipelopori oleh Carl Von Savigni saat menganggap hukum sebagai perkembangan jiwa dari suatu bangsa (volkgeist) pada dasarnya hanya memberi pengakuan terhadap pentingnya hukum tidak tertulis. Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum. (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002), hlm. 274. Penting untuk diketahui tat kala Savigni menggunakan frasa “perkembangan” dengan sendirinya pula ia sudah mengakui kalau memang hukum itu selalu mengalami perubahan. Oleh karena itu, apa yang terjadi dengan sudut pendekatan ilmu sosial, terutama dangan anasir perubahan sosial terhadap hukum dalam wilayah praksis adalah awal mulai tembusnya dinding positivisme hukum yang dulunya kebal dari berbagai unsur-unsur non hukum sebagaimana yang pernah dikukuhkan oleh Hans Kelsen. Selain Savigni, tokoh yang kemudian mengubah cara berpikirnya adalah Roscoe Pound W. Friedman. Teori dan Filsafat Hukum. (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 143. dalam pekerjaannya sebagai hakim, juga turut memberi andil atas interdependensi hukum dengan unsur-unsur non hukum lainnya. Oleh banyak kepentingan yang tertuang dalam sebuah masyarakat yang bernama komunitas, Pound mengerucutkan segala kepentingan itu dalam tiga bagian, diantaranya: kepentingan negara, kepentingan sosial dan kepentingan pribadi. Bahwa tiga jenis kepentingan itu, yang menyebabkan hukum tidak bisa lagi kukuh dengan sifat khasnya yang terlalu dogmatik. Selain dua mazhab yang telah dikemukakan di atas, aliran realisme juga dipengaruhi oleh berbagi model perubahan sosial. Hal itu yang menyebabkan sehingga salah satu tokoh realisme Scandinavia seperti Benjamin Natan Cardozo Benjamin N. Cardozo. The Nature Of Judicial Process. (New Haven: Yale University, 1921), hlm. 285. lalu memberi uraian; kalau sesungguhnya putusan-putusan yang dilahirkan oleh hakim tidaklah meluluh tafsir undang-undang belaka, tetapi di dalam putusan itu ibarat resep masakan yang di ramu dalam dapur-dapur pengadilan. Adapun maksud dapur pengadilan yang diuraikan oleh Cardozo, bahwa di sana terdapat berbagai unsur non hukum seperti politik, sejarah, ekonomi, dan budaya yang turut mepengaruhi putusan sang hakim bersangkutan. Terakhir, sebab pada bagian permasalahan pertama sempat pula disinggung kritik Jurgen Habermas terhadap salah satu bentuk perubahan sosial yang dianggap telah mapan, kemudian memerlukan pelibatan ilmu (sains), etika dan estetika agar perjuangan untuk mendapatkan kebebasan dan pemenuhan hak bersama dalam fase masyarakat modern. Maka teori ini perlu pula dijelaskan relevansinya terhadap kemajuan pemikiran dalam ilmu hukum. Sejatinya model krtik yang dibangun oleh Habemas dapat diadopsi sebagai bentuk pemikiran yang juga “melepaskan” kritik terhadap dogmatisme hukum dan hakim yang hanya menjadi corong undang-undang. Ilmu dalam konteks bidang hukum di sini harus dimaknai ilmu hukum yang sui generis dengan sifat kepastiannya tidaklah dapat berdiri sendiri, tanpa melibatkan aksiologi hukum (etika dan estetika). Semua itu dilakukan agar tindakan dapat menciptakan hukum berdimensi partisipatoris. BAB III PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan, maka penulis berkesimpulan, bahwa: Bentuk-bentuk perubahan sosial, yaitu: Evolusi Difusi Akulturasi Hubungan antara perubahan sosial dan hukum: Hukum mempunyai pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Sebaliknya, apabila hukum membentuk atau mengubah basic institutions dalam masyarakat, maka terajdi pengaruh langsung. Hal ini membawa pembicaraan pada penggunaaan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat: Selain sebagai control social, hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social engineering. Alat pengubah masyarakat yang dimaksudkan oleh Roscoe Pound, dianalogikan sebagai suatu proses mekanik. Hukum sebagai sarana pengatur perilaku: Hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Di dalam proses perubahan perilkelakuan melalui kaidah-kaidah hukum adalah konsepsi-konsepsi tentang kaidah, peranan (role) dan sarana-sarana maupun cara-cara untuk mengusahakan adanya konformitas (conformity-inducing-measures). Batas-batas penggunaan hukum: Menurut Roscoe Pound batas-batas kemampuan hukum terletak pada hal-hal sebagai berikut: Hukum pada umumnya hanya mengatur kepentingan-kepentingan para warga masyarakat, yang bersifat lahiriah. Dalam menerapkan sanksi-sanksi yang melekat pada hukum ada batas-batasnya, sebab sebagaimana dikatakan oleh Edwin Sutheland: “When the mores are adequate, laws are unnecessary; when the mores are inadequate are inneffective.” Lagi pula, untuk melaksanakan isi, maksud, dan tujuan hukum, diperlukan lembaga-lembaga tertentu. Pengaruh perubahan sosial terhadap aliran pemikiran dalam ilmu hukum: Paling tidak teori-teori perubahan sosial yang turut mempengaruhi aliran pemikiran dalam ilmu hukum, diantaranya: mazhab history, sociological jurisprudence dan aliran realisme. Itu artinya terdapat tiga mazhab dalam pemikiran ilmu hukum yang berutang budi pada ilmu sosial yang memberinya sumbangsi pemikiran baru. Saran Ketika masyarakat mengalami perubahan sosial, maka yang terjadi pribadi dan masyarakat kehilangan pegangan. Dalam suasana dan keadaan demikian maka seharusnya hukum lah yang membantu dengan memberi pegangan agar pribadi dan masyarakat tidak gelisah dan menemukan pegangan yang pasti dan benar. DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002. Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Cardozo, Benjamin N. The Nature Of Judicial Process. New Haven: Yale University, 1921. Friedman, W. Teori dan Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 1990. Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Press, 2011. Sugihardjo. Perubahan Sosial Masyarakat di Kaki Pegunungan Kendeng: Strategi Pelestarian Lingkungan. Surakarta: UNS Press, 2013. 19 1 1