Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0 PROSIDING Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Artikel ditulis dan dipaparkan dalam sesi paralel seminar nasional oleh: Tim Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PENERBIT Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat POLITEKNIK NEGERI JEMBER REDAKSI Gedung P3M Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip 164, Jember 68101 Telp. (0331) 333532-34, Fax. (0331) 333531 Email : p3m@polije.ac.id Laman : publikasi.polije.ac.id i Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0 PROSIDING Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ISBN : 978-602-14917-2-0 Penanggung Jawab Ir. Nanang Dwi Wahyono, MM. Pengarah Ir. Abi Bakri, M.Si. Saiful Anwar, S.TP., MP. Moh. Munih Dian Widianta, S.Kom., MT. Pemimpin Redaksi Dr. Ir. Budi Hariono, M.Si. Sekretaris Redaksi Dr. Ir. Rr. Merry Muspita Dyah Utami, MP. Dewan Redaksi Prof. Yuli Hariati (Universitas Jember) Dr. Drs. Ir. R. Edy Purwanto, M.Sc. (Politeknik Negeri Malang) Dr. Ir. Hari Rujito, MT. (Politeknik Negeri Jember) Editor Hendra Yufit Riskiawan, S.Kom., M.Cs. Kesekretariatan Dra. Yogyarsi Budiwiyanti Ike Agustin Yuvianti, SE. Desain Sampul dan Tata Letak Ahmad Vikri Bahtiar, A.Md. Cetak dan Distribusi Suryadi PENERBIT Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat REDAKSI DAN DISTRIBUTOR Gedung P3M Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip 164, Jember 68101 Telp. (0331) 333532-34, Fax. (0331) 333531 Email : p3m@polije.ac.id Laman : publikasi.polije.ac.id Cetakan Pertama, September 2016 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis dalam bentuk dan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit. ii Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0 KATA PENGANTAR Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat pendanaan tahun 2016 ini merupakan gagasan untuk melakukan diseminasi dan pemaparan hasil kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat yang telah dilaksanakan. Sebagai luaran dari kegiatan seminar yang dilaksanakan, panitia menerbitkan prosiding sebagai upaya untuk memfasilitasi publikasi hasil kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang telah dilaksanakan melalui pembiayaan dari Direktorat Riset dan Pendidikan Tinggi (DRPM) Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi khususnya pendanaan tahun 2016. Redaksi juga menerima artikel ilmiah hasil kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat tahun sebelumnya dengan catatan belum pernah dipublikasikan melalui jurnal, prosiding, maupun wahana publikasi lainnya. Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian masyarakat ini diikuti dengan pemaparan 30 pelaksana penelitian dan 15 pelaksana kegiatan pengabdian masyarakat. Diantara pelaksana penelitian dan pengabdian masyarakat yang telah memaparkan hasil penelitiannya, 34 merupakan peneliti dan pengabdi dari Politeknik Negeri Jember, 6 Universitas Negeri Jember, 1 Politeknik Negeri Banyuwangi, 1 Universitas Islam Jember, 1 Universitas Terbuka, 1 Universitas Islam Lamongan dan 1 STIE Mandala. Pemaparan akan dibahas oleh Prof. Yuli Hariati dari Universitas Jember dan Dr. Drs. Ir. R. Edy Purwanto, M.Sc. dari Politeknik Negeri Malang. Redaksi sangat mengharap kritik, saran dan partisipasi aktif dari peneliti, pengabdi, dan staf kependidikan Politeknik Negeri Jember serta dari institusi Perguruan Tinggi, Pusat/Lembaga Pengabdian Masyarakat, dan Instansi lainnya. Akhirnya, redaksi mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada penulis, mitra bestari, dan seluruh pihak khususnya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat serta Politeknik Negeri Jember yang telah mendukung terlaksananya kegiatan ini. Semoga prosiding yang dihasilkan ini membawa manfaat bagi semua pihak dan masyarakat. Jember, September 2016 REDAKSI iii Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0 SUSUNAN DEWAN REDAKSI Penanggung Jawab : Ir. Nanang Dwi Wahyono, MM. Pengarah : Ir. Abi Bakri, M.Si. Saiful Anwar, S.TP., MP. Moh. Munih Dian Widianta, S.Kom., MT. Pemimpin Redaksi : Dr. Ir. Budi Hariono, M.Si. Sekretaris Redaksi : Dr. Ir. Rr. Merry Muspita Dyah Utami, MP. Dewan Redaksi : Prof. Yuli Hariati (Universitas Jember) Dr. Drs. Ir. R. Edy Purwanto, M.Sc. (Politeknik Negeri Malang) Dr. Ir. Hari Rujito, MT. (Politeknik Negeri Jember) Editor : Hendra Yufit Riskiawan, S.Kom., M.Cs. Kesekretariatan : Dra. Yogyarsi Budiwiyanti Ike Agustin Yuvianti, SE. Ahmad Vikri Bahtiar, A.Md. Cetak dan Distribusi : Suryadi PENERBIT: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Gedung P3M Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip 164, Jember 68101 Telp. (0331) 333532-34, Fax. (0331) 333531 Email : p3m@polije.ac.id Laman : publikasi.polije.ac.id iv Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iii SUSUNAN DEWAN REDAKSI ....................................................................................... iv DAFTAR ISI ........................................................................................................................ v Teknologi Pengendali Hayati Metarhizium anisopliae Dan Beauveria bassiana Terhadap Hama Kumbang Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros) Dyah Nuning Erawati dan Irma Wardati.......................................................................... 1 Model Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Jember Endro Sugiartono dan Wenny Dhamayanthi .................................................................... 6 Kajian Potensi dan Strategi Pengembangan Agribisnis di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember Taufik Hidayat, Retno Sari Mahanani dan Dewi Kurniawati ......................................... 11 Struktur Bayesian Network untuk Penentuan Class Karakteristik Siswa pada Sistem Tutor Cerdas Ika Widiastuti dan Ratih Ayuninghemi ............................................................................. 15 Penggunaan Metode Fuzzy Dalam Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Daerah Rawan Banjir Di Kabupaten Jember Nugroho Setyo Wibowo, Dwi Putro Sarwo Setyohadi dan Hariyono Rakhmad............ 20 Sistem Multi-Agent Cerdas Penguji Perangkat Lunak Secara Otomatis Elly Antika, Prawidya Destarianto dan Hendra Yufit Riskiawan .................................. 27 Analisa Sifat Mekanis Biokomposit Laminat Serat Tebu – Polyester Yuni Hermawan dan Robertus Sidartawan ...................................................................... 33 Perancangan “Mobile Weather Station” Pengukur Intensitas Cahaya Matahari, Curah Hujan, Kecepatan Angin Dan Keasaman Tanah Wendy Triadji Nugroho dan Naning Retnowati ............................................................... 38 Rancang Bangun Alat Sterilisasi Non Thermal Metode Pulsa Ultraviolet Untuk Karkas Ayam Wahyu Suryaningsih, Supriono dan Budi Hariono .......................................................... 44 Karakteristik Citarasa Dan Komponen Flavor Kopi Luwak Robusta IN VITRO Berdasarkan Dosis Ragi Kopi Luwak Dan Lama Fermentasi Mukhammad Fauzi, Giyarto dan Septi Wulandari .......................................................... 51 Prevalensi dan Diversitas Lactobacillus sp. pada Susu Kambing Etawa Segar Bambang Poerwanto dan Titik Budiati.............................................................................. 57 Analisa Kinerja Metode PID pada Suhu Alat Pengering Biji Kedelai Guido Dias Kalandro, Ali Rizal Chaidir dan Alfredo Bayu Satriya ............................... 61 v Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0 Potensi Bakteri Pseudomas fluorescence dan Bacillus subtillis untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri pada Kedelai (Pseudomonas syringae pv. glycine) Abdul Majid ......................................................................................................................... 66 Penggunaan Ekstrak Bawang Putih dalam Pakan terhadap Performans Ayam Broiler Tropis Fase Starter Merry Muspita Dyah Utami dan Dadik Pantaya .............................................................. 72 Resistensi Antibiotika Bifidobacterium Pada Kefir dan Yogurt Titik Budiati dan Wahyu Suryaningsih ............................................................................. 76 Perubahan Karakteristik Kimia Kopi Luwak Robusta In Vitro dengan Variasi Lama Fermentasi dan Dosis Ragi Muhammad Fauzi dan Nur Wahyu Hidayati ................................................................... 80 Optimasi Produksi Pepton dari Bungkil Kedelai Untuk Media Produksi Yeast Dadik Pantaya, Dicky Pamungkas, Merry Muspita DU, Suci Wulandari dan Anang Febri ...................................................................................................................................... 85 Sentra Hortikultura Lahan Sawah Di Kabupaten Jember Muhammad Firdaus dan Suherman .................................................................................. 89 Reliabilitas Microsoft Kinect Untuk Pengukuran Sudut Joint Sendi Bahu Pada Posisi Frontal Dan Sagittal Plane Beni Widiawan, Yogiswara dan I Putu Dody Lesmana ................................................... 93 Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan Penyakit Infeksi Virus Dengue (Studi Kasus Dinas Kesehatan Kabupaten Jember) I Putu Dody Lesmana dan Rinda Nurul Karimah............................................................ 97 Keunggulan Komparatif Dan Kompetitif Gula Tebu Besuki Raya: Sebuah Pengembangan Analisis Kebijakan Bagus Putu Yudhia Kurniawan .......................................................................................... 104 Implementasi Memperpanjang Masa Produk Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) Segar Menjadi Produk Bahan Kering. Kasutjianingati, Edi Siswadi, Tririni Kusparwanti, Niniek Wihartiningseh dan Agung Wahyono ............................................................................................................................... 109 Pemetaan Kognitif Penyebab dan Dampak Eksplotasi Pasir Sepanjang Sempadan Pantai di Kabupaten Merauke R. Abdoel Djamali, Philipus Betaubun, Didiek Hermanuadi dan Rahmat Ali Syaban 114 Sistem Identifikasi Jenis Kelamin Manusia Berdasarkan Foto Panoramik Nur Nafi’iyah dan Retno Wardhani................................................................................... 120 Aplikasi Sistem Kontrol PI Pada Mesin Pendingin Tipe Air Blast Sebagai Kontrol Ekspansi Otomatis (Application PICONTROL System On Refrigerator Plate Touch Type For Automatic Expansion Valve Control) Bayu Rudiyanto, Budi Hariono dan Abi Bakri ................................................................. 126 Kajian Energi Mesin Pembeku Lempeng Sentuh Dengan Penurunan Suhu Media Bertahap Budi Hariono, Abi Bakri dan Bayu Rudiyanto ................................................................. vi 132 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0 Penentuan Prioritas Komoditi Unggulan Hasil Budidaya Laut Yang Sustainable dengan Pendekatan Multi Criteria Decision Making di Kabupaten Situbondo Didiek Hermanuadi, R. Abd. Djamali dan Tri Rini Kusparwanti .................................. 136 Strategi Formulasi Pakan yang Tepat bagi Performan Ayam Kampung (Gallus domesticus) Menggunakan Near Infra-Red Spectroscopy (NIRS): Studi Regulasi Konsumsi Pakan Suluh Nusantoro, Erfan Kustiawaan, Nurkholis, F Pinataanwar, A D Fitaloka dan N D Wulandari ......................................................................................................................... 142 Penanganan Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk Dalam Desain Sistem Pakar Diagnosis Penyakit Menggunakan Metode Euclidean Distance Ir. M. Zayin Sukri, MP dan Hariyono Rakhmad, S.Pd, M.Kom .................................... 146 Penciptaan Kinerja Program Studi : Sebuah Pengembangan Model Teoritik (Studi Empiris pada Program Studi Politeknik di Jawa Timur) Sri Sundari............................................................................................................................ 155 Pengembangan Usaha IKM Jamu Tradisional di Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates Kabupaten Jember Naning Retnowati dan Dewi Kurniawati ........................................................................... 162 IbM Kelompok Pengusaha Bakpao di Tegal Besar Siti Djamila, Titiek Budiati, Iswahyono dan Amal Bahariawan ..................................... 168 Stimulasi, Promosi, Produksi Dan Pemasaran Tempe Koro Pedang Muhammad Juhan dan Mohammad Zaedan Fitri ........................................................... 173 Ibm Kelompok Tani Kentang Berbasis Kearifan Lokal Di Desa Sukorejo Kecamatan Sumberwringin Kabupaten Bondowoso Kasutjianingati, Liliek Dwi Soelaksini, Sri Rahayu dan Prayitno................................... 178 Peningkatan Produktivitas Keripik Buah melalui Aplikasi Vakum Very High (VH) Budi Hariono, Abi Bakri dan Mokh Fathoni K ................................................................ 183 IbM Sistem Usahatani Terpadu Hulu-Hilir pada Kelompok Tani LADEWI Bondowoso Produksi Baby Fish Organik Sistem Mina Padi Inovatif Tanti Kustiari1, Ariesia Gema A.P dan Rizal ................................................................... 187 Scale Up Produksi Ripe Banana Chip di UD. Burno Sari Nurhayati Nurhayati, Eka Ruriani dan Maryanto ........................................................... 193 IbM Kelompok Usaha Bersama Aneka Cemilan “Dua Putera” Hesti Herminingsih, Nita Kuswardhani dan Khodijah Hayati ....................................... 198 Peningkatan Produktivitas Ternak Domba: Peternakan Domba di Daerah Perkebunan Tebu Kabupaten Bondowoso dengan Pembuatan Pakan Komplit Bermutu Sistem Drum Berbasis Limbah Pucuk Tebu Suci Wulandari, Merry Muspita DU dan Nurkholis ........................................................ 203 IbM Untuk Kelompok Pengrajin Manik-Manik di Desa Tutul Kabupaten Jember Yogiswara dan Ratih Ayuninghemi 208 IbM Pemanfaatan Pekarangan dengan Usahatani Jahe secara Vertikultur Muhammad Firdaus dan Dwi Indarti ................................................................................ 214 vii Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0 Penerapan Teknologi Dan Manajemen Usaha Untuk Meningkatkan Efektifitas Dan Efisiensi Produksi Serta Keuntungan Pada Ikm Keripik Talas Wendy Triadji Nugroho, Dessy Putri Andini dan Oktanita Jaya Angraeni .................. 219 IbM Kelurahan Sobo Banyuwangi Dalam Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga NON Produktif Zulis Erwanto, Dadang Dwi Pranowo dan Yuni Ulfiyati ................................................. 224 Kelompok Petani Jamur Tiram ”MUTIARA JAMUR” Tegal Gede - Jember Suharjono dan Dwi Rahmawati.......................................................................................... 230 Aplikasi Cutter Disc Rotary untuk Pengolahan Kerupuk Rambak R. Abdoel Djamali, Didiek Hermanuadi dan Cholyubi Yusuf ........................................ 233 viii Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 TEKNOLOGI PENGENDALI HAYATI Metarhizium anisopliae DAN Beauveria bassiana TERHADAP HAMA KUMBANG KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros) Dyah Nuning Erawati1 dan Irma Wardati2 Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip PO BOX 164 Jember 1erawati_dn@yahoo.com 2irmawardati@gmail.com Abstract Oryctes rhinoceros has now been readily developed to a notorious pest of young oil palm plantations. Biological agents as controlling oil palm beetle have specific properties such as host specific, located spesific and narrow spectrum that have potential synergies with environment. Therefore, the necessary exploration of oil palm beetle control technology with biological control to increase productivity while maintaining a safe environment quality. The purpose of this study was to exploration of biological control for oil palm beetle with Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana from many localities. This research is compiled in a Randomized Block Design non factorial with some kinds of biological control technology : 1. M. anisopliae Kedu; 2. M. anisopliae Jombang; 3. M. anisopliae Jember; 4. B. bassiana Kedu; 5. B. bassiana Jombang; 6. B. bassiana Jember with spore density applications equally 109/ml. and 7. Chemical insecticide. The result showed that : 1) Biological agents Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana from Kedu, Jombang, Jember had potential as a biological control of O. rhinoceros; 2) Keywords— biological control, oil palm beetle, technology Bab I. Pendahuluan Kelapa sawit (Elaesis guineensis) termasuk familia Arecaceae dan merupakan tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari subfamili Cocoideae. Sektor minyak kelapa sawit Indonesia mengalami perkembangan yang berarti, hal ini terlihat dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah yaitu menjadi 7,3 juta hektar pada 2009 dari 7,0 juta hektar pada 2008. Sedangkan produksi minyak sawit (crude palm oil/CPO) terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dari 19,2 juta ton pada 2008 meningkat menjadi 19,4 juta ton pada 2009. Sementara total ekspornya juga meningkat, pada 2008 tercatat sebesar 18,1 juta ton kemudian menjadi 14,9 juta ton pada tahun 2009. Kelapa sawit masih memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah. Komoditas kelapa sawit, baik berupa bahan mentah maupun hasil olahannya, menduduki peringkat ketiga penyumbang devisa nonmigas terbesar bagi Indonesia setelah karet dan kopi (Pahan, 2010). Permasalahan yang sering dihadapi para petani kelapa sawit dalam pengembangannya di Indonesia adalah hambatan pada teknologi budidaya, seperti pemilihan bibit, penanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta penanganan pasca panen. Hasil panen kelapa sawit yang berkualitas, selain ditentukan oleh pemeliharaan dan pemupukan juga tergantung dari cara mengatasi hama dan penyakitnya. Salah satu hama utama tanaman kelapa sawit adalah kumbang penggerek pucuk (Oryctes rhinoceros). Pengendalian kimiawi merupakan salah satu cara yang sering dilakukan oleh petani kelapa sawit karena insektisida kimia mempunyai daya bunuh cepat, berspektrum luas sehingga segera dapat dilihat hasilnya. Pengendalian hama dengan insektisida kimiawi akan memberikan dampak positif dengan matinya hama tetapi menimbulkan dampak negatif seperti resistensi, resurgensi, dan letusan hama kedua. Selain itu juga mengganggu kesehatan manusia dan keseimbangan lingkungan, yang disebabkan oleh residu yang tinggi pada komponen produksi dan ekosistem (Erawati, 2009). Pengendalian kumbang penggerek pucuk di lapang dilakukan apabila populasi kumbang dan atau kerusakan baru > 5 per ha dengan pengendalian kimiawi menggunakan insektisida. Apabila populasi kumbang dan kerusakan baru tersebut < 5 per ha maka insektisida yang digunakan adalah insektisida dengan bahan aktif Karbosulfan dosis 5 g produk per pohon per 2 minggu 1 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 ditaburkan diketiak daun atau sipermetrin konsentrasi 2% sebanyak 100 cc larutan per pohon disemprotkan dengan knapsack sprayer mulai dari pucuk sampai 2 pelepah di bawahnya (IMC Plantation, 2011). Penggunaan insektisida kimia akan meningkatkan bahaya akumulasi residu kimia sintetik pada lahan dan hasil produksi tanaman sehingga bisa meningkatkan resiko kerusakan lingkungan. Salah satu alternatif pengendalian hama yang aman bagi lingkungan dan dapat menekan residu kimia pada produk pertanian adalah dengan pengendalian hayati. Erawati (2012) melaporkan bahwa pengendalian hama dan penyakit tanaman tembakau dengan menggunakan pengendali hayati tidak berpengaruh terhadap produktivitas tanaman secara kuantitatif. Pengembangan agensia hayati seperti B. bassiana untuk pengendali hama serta Trichoderma sp. untuk pengendali penyakit mempunyai potensi dan prospek baik karena bersifat spesifik inang sehingga tidak berbahaya bagi manusia, musuh alami maupun lingkungan. Biaya pengendalian dapat ditekan karena pengendali hayati dapat diperbanyak sendiri. Kelebihan yang lain adalah residu dan akumulasi senyawa toksik yang berpotensi untuk mencemari lingkungan sangat rendah karena agensia hayati bersifat lebih mudah terurai. Pengendali hayati yang mempunyai potensi besar sebagai pengendali alami hama penggerek pucuk kelapa sawit adalah cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana. Erawati (2006) melaporkan bahwa hasil uji patogenesitas jamur entomopatogen Beauveria bassiana menunjukkan bahwa prosentase kematian larva S. litura yang terinfeksi B. bassiana strain 725 dengan kerapatan spora 107/ml mencapai 32 % pada 48 jam setelah aplikasi dan mencapai 60 % pada 72 jam setelah aplikasi. Lebih lanjut Marheni, dkk (2011) melaporkan bahwa aplikasi M. anisopliae sebanyak 20 gram media jagung menunjukkan mortalitas tertinggi larva O. rhinoceros sampai 100%. Kemampuan cendawan entomopatogen dalam mematikan serangga hama bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh karakter fisiologi dan genetik cendawan (Trizelia, 2005 dalam Hamdani, dkk., 2011). Pengendali hayati M. anisopliae dan B. bassiana dikenal sebagai cendawan entomopatogen yang mempunyai kisaran inang yang luas, namun tetap memiliki sifat spesifik inang dan spesifik lokasi sebagai karakteristik khas pengendali hayati (Gabarty, et.all, 2011). Pengembangan teknologi pengendali hayati M. anisopliae dan B. bassiana yang efektif dan efisien sebagai pengendali hama O. rhinoceros sangat penting untuk dapat meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit dengan tetap memperhatikan kualitas lingkungan hidup. Hasil penelitian tahun 1 pada uji screening menunjukkan bahwa Metarhizium anisopliae isolat Jombang memiliki tingkat virulensi tertinggi dengan mortalitas O. rhinoceros 80% pada 144 jam setelah infeksi sedangkan B. bassiana mempunyai kecenderungan lebih lambat mematikan O. rhinoceros karena sifat spesifik inang dan spesifik lokasi (Erawati dan Wardati, 2015). Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan teknologi pengendalian hama kumbang kelapa sawit (Oryctes rhinoceros) dengan eksplorasi dan aplikasi pengendali hayati Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana melalui uji laboratorium dan lapang. Bab II. Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan Laboratorium Perlindungan Tanaman, Laboratorium Biosain dan lahan penelitian Politeknik Negeri Jember, mulai bulan Maret sampai Oktober 2016. Penelitian disusun berdasar Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal dengan 6 (enam) ulangan dengan faktor tunggal berupa paket pengendali hayati, yaitu: 1). M. anisopliae Jember; 2). M. anisopliae Jombang; 3). M. anisopliae Kedu; 4). B. bassiana Jember; 5). B. bassiana Jombang; 6). B. bassiana Kedu dengan masing-masing konsentrasi kerapatan spora 109spora/ml dan 7). insektisida kimia sintetik konsentrasi 2 mg/liter. A. Persiapan Pengendali Hayati dan Serangga Uji Persiapan bahan pengendali hayati M. anisopliae dan B. Bassiana diperbanyak dengan media Pottato Dextrose Agar (PDA). Pengendali hayati yang akan diuji merupakan hasil pemurnian yang diambil dari kadaver serangga uji yang positif terinfeksi pengendali hayati hasil screening test. Serangga uji yang akan diinfestasikan di lapang adalah larva O. rhinoceros instar 3. B. Aplikasi Perlakuan di Lapang 1. Larva uji berupa larva instar tiga O. rhinoceros yang sebelumnya telah dilaparkan selama 24 jam. 2. Penetapan konsentrasi pengendali hayati M. anisopliae dan B. bassiana dengan haemocytometer untuk aplikasi di lapang sebesar 109 spora / ml untuk setiap perlakuan pengendali hayati 3. Aplikasi perlakuan dengan menyiramkan 250 ml/tanaman TBM kelapa sawit dan 75 ml/tanaman nursery dengan aplikasi tiap 2 minggu. Sedangkan untuk perlakuan insektisida kimia dengan aplikasi insektisida granular sesuai dosis anjuran tiap 2 minggu Bab III. Hasil dan Pembahasan A. Gejala Kematian Serangga Uji Gejala kematian serangga uji dapat diidentifikasi melalui aktivitas dan perubahan warna kutikula selama proses mumifikasi pada serangga uji sebagai salah satu 2 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 tanda kematian yang disebabkan oleh infeksi pengendali hayati M. anisopliae dan B. Bassiana. Larva instar 3 O. rhinoceros yang sehat dan normal mempunyai ukuran tubuh 10 -12 cm, memiliki 3 pasang kaki thorakal dan rahang yang kuat. Larva mempunyai kutikula tubuh berwarna putih dengan bagian kepala berwarna coklat kehitaman. Serangga uji yang terinfeksi M. anisopliae awalnya masih aktif (gambar 1A). Ketika laju infeksi mulai meningkat, kutikula berwarna pucat merata pada seluruh tubuh dan larva uji akan mati dengan bagian posterior mengecil (gambar 1B). Tubuh larva menjadi kaku dan akan muncul hifa berwarna putih pada hari ke 2 setelah mati, terutama pada bagian anterior dan posterior. Pada hari ke 3 setelah mati, cendawan akan bersporulasi warna hijau (gambar 1C). Tubuh kadaver tertutup cendawan berwarna hijau pada hari ke 5 – 10 setelah mati (gambar 1D) mampu membunuh serangga uji rata-rata sebesar 80% 100% pada hari ke 7 sampai hari ke 9 setelah infeksi. Pengendali hayati M. anisopliae Jombang mempunyai tingkat mortalitas tertinggi yaitu 60 % pada hari ke 5 setelah infeksi, 80% pada hari ke 6 setelah infeksi dan 100% pada hari ke 7 setelah infeksi. Perlakuan B. bassiana menunjukkan mortalitas rata-rata 80% pada hari ke 9 setelah infeksi. Mortalitas Serangga Uji (%) 150 100 50 0 A1 A2 5 hsi 6 hsi A3 7 hsi A4 8 hsi A5 A6 9 hsi Gambar 3. Histogram mortalitas serangga uji A B C D Gambar 1. Tahapan gejala kematian larva uji akibat infeksi M. anisopliae Serangga uji yang terinfeksi B. bassiana akan menurun aktivitasnya. Kutikula masih cerah mengkilat dan ukuran tubuh masih normal (gambar 2A). Setelah larva uji mati maka tubuh mengeluarkan cairan sehingga tampak basah dan berbau seperti etanol. Sesaat setelah larva uji mati, tubuh masih lemas dan belum kaku. Warna kutikula pucat agak kecoklatan dan bagian posterior berlekuk serta mengecil. Selanjutnya tubuh kadaver akan tampak kusam, kering dan kaku serta mulai tumbuh hifa terutama pada bagian thorak dan abdomen (gambar 2B dan 2C). Miselum berwarna putih akan tumbuh menyelimuti tubuh kadaver setelah hari ke 7 – 12 (gambar 2D). A B C D Gambar 2. Tahapan gejala kematian larva uji akibat infeksi B. bassiana B. Mortalitas Serangga Uji Daya infeksi merupakan kemampuan pengendali hayati dalam mematikan serangga uji. Setiap perlakuan memberikan pengaruh berbeda terhadap tingkat kematian serangga uji yang tertera pada gambar 3 Gambar 3 memperlihatkan bahwa semua perlakuan menyebabkan kematian pada serangga uji. M. anisopliae M. anisopliae Jombang memberikan penekanan yang paling tinggi terhadap mortalitas larva uji O. rhinoceros. M. anisopliae Jombang efektif menyebabkan kematian serangga uji diduga karena bersifat spesifik inang dan spesifik lokasi. M. anisopliae Jombang diisolasi dari larva Oryctes rhinoceros pada ketinggian tempat 0 – 70 m dpl. Sedangkan M. anisopliae Kedu diisolasi dari larva Lepidiota stigma dan M. anisopliae Jember diisolasi dari larva Stephanoderes hampei. Hasil penelitian Sambiran dan Hosang (2003 dalam Marheni, 2011) memperlihatkan bahwa inang yang terbaik untuk berkembang M. anisopliae adalah larva O. rhinoceros. Menurut Gabarty, et.all., (2011), pengendali hayati M. anisopliae dikenal sebagai cendawan entomopatogen yang memiliki kisaran inang yang luas, tetapi masih memiliki sejumlah karakteristik inang dan lokasi tertentu sebagai karakteristik khas dari pengendali hayati. Mekanisme infeksi M. anisopliae digolongkan menjadi empat tahapan etiologi penyakit serangga. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara inokulum jamur dengan tubuh serangga. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan spora jamur pada integumen serangga. Tahap ketiga adalah penetrasi dan invasi, yaitu terbentuk tabung kecambah dan masuk emnembus integumen serangga. Tahap keempat adalah destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian menyebar kedalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. Setelah serangga mati, jamur tetap melanjutkan siklus hidup dalam fase saprofitik dengan mengkoloni tubuh inang dan produksi spora infektif (Freimoser, et. all, 2003 dalam Marheni, 2011). 3 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Infeksi B. bassiana berjalan lambat karena mekanisme infeksi dimulai dengan melekatnya konidia pada kutikula larva uji kemudian berkecambah dan tumbuh didalam tubuh inang. Serangga yang terinfeksi menunjukkan gejala awal seperti serangga menjadi lemah, kepekaan dan aktivitas makan menjadi berkurang yang lambat laun serangga akan mati. Kematian serangga menandai berakhirnya fase parasit dari perkembangan jamur. Selanjutnya miselia akan tumbuh secara saprofit memenuhi seluruh jaringan tubuh serangga (Ferron, 1981 dalam Erawati, 2009). produksi dan meningkatkan kualitas produksi. Hal ini sesuai dengan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang mempunyai sasaran meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi, mempertahankan kestabilan produksi sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani dengan tetap mempertahankan keberadaan hama pada tingkat yang tidak merugikan sekaligus memperhatikan kualitas lingkungan hidup Bab IV. Kesimpulan 1. Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana dari Kedu, Jombang, Jember berpotensi sebagai pengendali hayati O. rhinoceros 2. Metarhizium anisopliae Jombang memiliki tingkat virulensi tertinggi dengan mortalitas O. rhinoceros 80% pada 144 jam setelah infeksi C. Intensitas Serangan Ucapan Terimakasih D. Pertumbuhan Tanaman Aplikasi pengendali hayati dan insektisida tidak mempengaruhi rerata jumlah daun TBM kelapa sawit seperti yang diperlihatkan pada gambar 4. Hasil ini menunjukkan bahwa aplikasi pengendali hayati masih mampu mempertahankan pertumbuhan tanaman. Pengendali hayati akan meningkatkan kestabilan alami ekosistem dan mendukung keberadaan musuh alami yang lain pada lahan dan petak penelitian. Beberapa jenis musuh alami selain pengendali hayati yang diaplikasikan banyak ditemukan di petak penelitian. Keberadaan musuh alami pada ekosistem akan mendukung pengendalian alami berjalan dengan seimbang dan populasi hama bisa dipertahankan pada batas yang tidak merugikan. Jumlah Daun 10 5 0 A1 A2 A3 Blok I A4 A5 A6 Blok II Blok III Blok IV Blok V Blok VI A7 Gambar 4. Diagram batang jumlah daun TBM kelapa sawit Pola pengendalian hama kumbang kelapa sawit O. rhinoceros dengan paket pengendalian hayati dan insektisida yang diaplikasikan setiap 2 minggu dapat diterapkan oleh petani karena dapat mempertahankan Penelitian dilaksanakan dengan dana dari Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk kegiatan Penelitian Hibah Bersaing dengan nomor kontrak 0004.3/023-01.0/-/2016. Daftar Pustaka Erawati, D.N. 2006. Patogenisitas Nematoda dan Jamur Entomopatogen Terhadap Spodoptera litura F. Jurnal Ilmiah Inovasi. 6 (3) : 228-235. Erawati, D.N. dan Siti Humaida. 2009. Prospek Agens Hayati Bacillus thuringiensis dan Beauveria bassiana dalam Usahatani Tembakau VO. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Tepat Guna Agroindustri. Politeknik Negeri Lampung : 183-187 Erawati, D.N. 2009. Infeksi Agens Hayati Entomopatogen terhadap Gejala kematian dan Perilaku Spodoptera litura F. Prosiding Seminar Nasional Peran Agroteknologi Untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Perkebunan. Fakultas Pertanian Universitas Jember : 322-328. Erawati, D.N, Irma W, Cherry T and Siti H . 2012. Improvement of Biological Control Technology Package by Environment Vision on Kasturi Tobacco Farm Management. Prosiding Seminar Internasional The Impacts of Regulations on Tobacco Control. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember : 316-321. Erawati, D.N dan Irma Wardati. 2015 Gabarty, A, H.M. Salem, A.A. Ibrahim. 2014. Pathogenicity Induced by The Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae in Agrotis ipsilon (Hufn). Journal of Radiation Research and Gomes, K.A. dan A.A. Gomes. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian (terjemahan oleh E. Sjamsudin dan J.S. Baharsjah). UI-Press. Jakarta. Hamdani, Yaherwandi dan Trizelia. 2011. Potensi Cendawan Entomopatogen Indigenus Sebagai Pengendali Hayati Hama Penggerek Buah Kakao Conomorpha cramerella SNELL. Jurnal Manggaro Vol. 12 (2) 75 – 80 Harjaka, T., E. Martono, Witjaksono dan B.H. Sunarminto. 2011. Potensi Jamur Metarhizium anisopliae untuk Pengendalian Uret Perusak Akar Tebu. Seminar Nasional Pesnab IV. Jakarta 4 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Rev. by van der Laan. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. Marheni, Hasanuddin, Pinde dan W. Suziani. 2011. Uji Patogenesis Jmaur Metarhizium anisopliae dan Cordyceps militaris terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa (Oryctes rhinoceros) di Laboratorium. Jurnal Ilmu Pertanian KULTIVAR Vol. 5 ( 1 ) : 32 – 40 Pahan, I. 2010. Kelapa Sawit : Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. Robert, D.W. 1981. Toxins of Entomopathogenic Fungi dalam H.D Burges (Ed.) Microbial Control of Pest and Plant Diseases. Academic Press Inc.New York 5 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Model Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Jember Endro Sugiartono#1, Wenny Dhamayanthi*2, Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember# dan Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember Sumbersari, Jember 1endro0870@gmail.com 2wennydhamayanthi@gmail.com Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember Sumbersari, Jember Abstract Berdasarkan hasil penelitian tahun pertama yang telah merumuskan 3 hasil, yaitu : kondisi modal sosial (social capital), modal manusia (human capital) masyarakat dan modal fisik (physical capital) di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember, tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses pemberdayaan di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta sarana yang harus diperbaiki untuk meningkatkan efektivitas program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember, maka permasalahan penelitian pada tahun kedua ini, mengangkat Model dan strategi pemberdayaan masyarakat seperti apa yang efektif atau sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan? Penelitian ini bertujuan untuk Menentukan implementasi model dan strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember sesuai dengan kondisi dan potensi lokal. Penelitian dilakukan pada masyarakat sekitar kawasan hutan di Kabupaten Jember selama 8 bulan. Hal ini dilakukan karena mengingat ruang lingkup kajian penelitian yang cukup luas. Metode analisis yang digunakan yaitu Perumusan model dan strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember sesuai dengan kondisi dan potensi lokal. Data yang digunakan merupakan data primer yang didapatkan dari wawancara dengan responden dan nara sumber yang kompeten. Selain itu data juga diperoleh dengan pengamatan dan dokumentasi. Data sekunder berupa studi literatur dan data dari instasi terkait. Output yang diharapkan dalam penelitian ini nantinya akan menjadi masukan untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan di Kabupaten Jember. Keyword: Pemberdayaan masyarakat I. PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang berperan dalam menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan tanah. Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi kehidupan manusia. Agar tata lingkungan hidup terjamin kelestariannya, maka pengurusan hutan yang berkelanjutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat berdasarkan pada norma hukum lokal dan nasional agar pendayagunaannya dilakukan seoptimal mungkin bagi kesejahteraan umat manusia. Paradigma baru pembangunan kehutanan saat ini menekankan bahwa hutan harus dipandang sebagai sumber daya secara komprehensif dengan menitik beratkan pada pembangunan kehutanan bersama masyarakat (community development). Dengan demikian salah satu pendekatan pembangunan kehutanan adalah melibatkan partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai social yang meruapakan cermin dari pradigma baru pembangunan kehutanan yang bersifat “people centered, participatory, empowering, and sustainable”. Tujuan akhir dari proses pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya. Daya, kekuatan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat secara memadai akan mendorong masyarakat untuk dapat mengakses sumber-sumber daya produktif, mandiri dalam pengambilan keputusan dan percaya diri dalam bertindak. Strategi pengembangan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember, yang dapat dikembangkan adalah : menyempurnakan proses pemberdayaan dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam tahapan proses pemberdayaan, meningkatkan kemampuan pelaku pemberdayaan, 6 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 terutama terkait dengan ketrampilan dan sikap keberpihakan pada masyarakat dan penguatan modal sosial masyarakat, untuk meningkatkan kemampuan pelaku pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan, kursus, seminar dan lain sebagainya, sedangkan untuk menguatkan modal sosial masyarakat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan, pendampingan dan pelibatan masyarakat dalam proses pemberdayaan secara optimal dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kerjasama, saling percaya, mentaati norma, kepedulian terhadap sesama dan keikutsertaan dalam aktivitas organisasi sosial masyarakat; Materi pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan yang dapat dikembangkan diantaranya adalah : Peningkatan produktivitas pertanian rakyat, Peningkatan produktivitas dan daya saing perkebunan rakyat, Peningkatan kemampuan masyarakat terhadap usaha peternakan rakyat, Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan, Peningkatan kemampuan kerajinan rakyat, Hutan rakyat kemitraan. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu alternatif untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember secara berkelanjutan. Berdasarkan uraian hasil kegiatan penelitian tahap pertama setelah mengetahui alternatif strategi dan model pemberdayaan masyarakat di kawasan hutan Kabupaten Jember, maka permasalahan yang dirumuskan adalah bagaimanakah implementasi strategi dan model pemberdayaan masyarakat yang efektif untuk dikembangkan di kawasan hutan Kabupaten Jember? Tujuan penelitian di tahun kedua ini adalah Menentukan implementasi model dan strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember sesuai dengan kondisi dan potensi lokal. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survai (survey research) dengan pendekatan metode kuantitatif dan kualitatif, sedangkan subyek penelitian ini adalah masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember. Penggunaan metode kuantitatif bertujuan agar penelitian menjadi lebih luas dan terukur sedangkan penggunaan pendekatan kualitatif bertujuan agar dapat melihat permasalahan lebih utuh, mendalam dan komperehensif. Kajian empiris ini adalah menilai sejauh mana efektivitas kegiatan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Kajian efektivitas ditunjukkan untuk mempelajari efektivitas pencapaian pemberdayaan masyarakat yang selama ini sudah dilakukan khususnya pengaruh dan efektivitas progamprogram intervensi sosial ekonomi terhadap kelampok masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember. Partisipasi masyarakat dalam mendukung keamanan dan kelestarian kawasan juga menjadi salah satu parameter yang diukur. Sebagaimana telah diuraikan pada tujuan penelitian, maka penelitian yang diusulkan ini dilaksanaan dalam periode waktu selama 8 (delapan) bulan. Perumusan model dan strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember sesuai dengan kondisi dan potensi lokal. Untuk perumusan strategi yang lebih tepat digunakan analisis Strenght, Weakness, Opportunity and Threat (SWOT). Analisis dilakukan untuk membandingkan faktor eksternal peluang dan tantangan dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan (Rangkuti 2002). Unsur-unsur SWOT diberi bobot (nilai) kemudian dihubungkan untuk memperoleh beberapa alternatif strategi dengan rangking tertinggi merupakan alternatif strategi kebijakan peningkatan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan di Kabupaten Jember. Setelah dilakukan analisa SWOT kemudian dilanjutkan dengan Analisa Hirarki Proses (AHP) untuk menentukan strategi kebijakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat, dimana variabel-variabel dimasukkan kedalam suatu susunan hierarki, yang memberi pertimbangan numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas relatif yang tertinggi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Model dan Bentuk Pemberdayaan Masyarakat Model Efektif Pemberdayaan Masyarakat Perumusan model pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan bertujuan untuk menyederhanakan faktorfaktor yang secara konseptual didukung oleh beberapa kajian teori yang relevan dan mampu menjelaskan keadaan suatu sistem. Faktor-faktor yang menjadi komponen model pemberdayaan warga masyarakat terdiri dari faktor input, process, output dan outcame. Faktor input terdiri dari modal fisik, modal manusia, dan modal sosial, faktor yang berfungsi sebagai process adalah kemampuan pelaku pemberdayaan dan proses pemberdayaan, sedangkan faktor output adalah tingkat keberdayaan masyarakat dan faktor outcame adalah masyarakat sejahtera dan hutan lestari. Faktor-faktor yang ada dalam model pemberdayaan warga masyarakat yang dibangun berdasarkan teori dan logika, dianalisis berdasarkan data empirik yang dikumpulkan dari hasil survei, pengamatan, wawancara, indepth interview dan Focus Grup Discussion (FGD). Tingkat keberdayaan masyarakat dapat ditingkatkan melalui perbaikan proses pemberdayaan warga masyarakat terutama pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program dan meningkatkan kemampuan pelaku pemberdayaan, terutama terkait peningkatan ketrampilan dan sikap keberpihakan pada 7 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 masyarakat. Secara empirikal model hubungan dan besarnya pengaruh faktor-faktor modal fisik, modal manusia, modal sosial, kemampuan pelaku pemberdayaan dan proses pemberdayaan terhadap keberdayaan warga masyarakat. Agar model efektif pemberdayaan dapat meningkatkan keberdayaan warga masyarakat, maka dikembangkan strategi sebagai berikut; pertama, menyempurnakan proses pemberdayaan dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam tahapan proses pemberdayaan meningkatkan kemampuan pelaku pemberdayaan, terutama terkait dengan ketrampilan dan sikap keberpihakan pada masyarakat dan penguatan modal sosial masyarakat; kedua, untuk meningkatkan kemampuan pelaku pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan, kursus, seminar dan lain sebagainya; dan ketiga, untuk menguatkan modal sosial masyarakat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan, pendampingan dan pelibatan masyarakat dalam proses pemberdayaan secara optimal dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kerjasama, saling percaya, mentaati norma, kepedulian terhadap sesama dan keikutsertaan dalam aktivitas organisasi sosial masyarakat dan keempat, perlu disadari bahwa selain variabel yang diungkapkan dalam modal ini masih ada variabel di luar model dan diduga mempengaruhi keberdayaan masyarakat, seperti tingkat pendapatan, dinamika kelompok, penegakan hukum dan sebagainya. Bentuk Pemberdayaan Masyarakat Model efektif pemberdayaan yang telah dirumuskan dari perpaduan faktor modal fisik, modal manusia, modal sosial, kemampuan pelaku pemberdayaan, dan proses pemberdayaan diharapkan dapat dilaksanakan, sehingga tercipta masyarakat yang berdaya, berkekuatan atau berkemampuan dalam menolong dirinya sendiri. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut belum memadai/cenderung menurun. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya tertentu untuk merumuskan materi dan bentuk pemberdayaan warga masyarakat yang berpotensi menguatkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas faktor-faktor tersebut, sehingga tujuan terciptanya masyarakat berdaya dan hutan lestari dapat tercapai. Materi pemberdayaan masyarakat tentunya disesuaikan dengan kondisi, potensi dan sumber daya yang dimiliki masyarakat sekitar kawasan hutan. Materi pemberdayaan warga masyarakat ke depan perlu diarahkan pada: a. Peningkatan Produktivitas Pertanian Rakyat Sistem pertanian yang dilakukan masyarakat sekitar kawasan hutan pada umum sistem pertanian lahan kering (berladang/tegalan). Masyarakat terbiasa menanam tanaman pangan berupa jagung, umbi-umbian dan kacangkacangan. Sistem pertanian yang ada masih tradisional sehingga perlu adanya campur tangan pihak lain terutama pemerintah dan pihak swasta agar usaha pertanian masyarakat dapat maju. Ke depan sasaran pertanian ladang harus diarahkan pada terciptanya sektor pertanian ladang yang maju, efisien, dan tangguh. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas, sarana dan prasarana yang mendukung serta tersedianya teknologi perladangan yang tepat guna agar masyarakat dapat melakukan kegiatan perladangan dengan efisien, produktif, dan tidak merusak hutan. Dengan demikian, masyarakat sekitar kawasan hutan yang bermata pencaharian sebagai petani (peladang) akan memiliki kekuatan ekonomi dari hasil ladangnya dan menjadikan ladangnya sebagai investasi ekonomi masa depan yang menjanjikan. b. Peningkatan produktivias dan daya saing perkebunan rakyat Masyarakat sekitar kawasan hutan di samping memiliki ladang/tegalan juga hampir setiap kepala rumah tangga memiliki lahan perkebunan. c. Peningkatan kemampuan masyarakat terhadap usaha peternakan rakyat. Masyarakat sekitar kawasan hutan memiliki kebiasan memelihara ternak dari turun temurun. Ternak yang mereka pelihara umumnya adalah unggas, kambing dan sapi. Kendala yang dihadapi masyarakat sekitar kawasan hutan dalam mengembangkan ternaknya adalah ketersediaan pakan dan lahan penggembalaan yang kurang memadai. Sasaran pembangunan peternakan rakyat sebaiknya diarahkan agar usaha -usaha rakyat dapat maju, efisien, dan tangguh. Pencapaian sasaran tersebut perlu dilakukan langkahlangkah sebagai berikut: (1) meningkatkan kemampuan dan penguasaan masyarakat terhadap teknologi peternakan, terutama tentang bibit unggul, pembuatan kandang, pemberian pakan, pencegahan penyakit ternak, penyediaan pakan ternak yang berkelanjutan, pemasaran telur dan daging, dan cara pengusahaan ternak untuk meningkatkan pendapatan peternak; (2) menyediakan sarana dan prasarana transportasi dan pemasaran melalui kerjasama antar peternak dalam koperasi ternak serta pengusaha; (3) untuk ternak-ternak besar yang memerlukan lapangan pengembalaan perlu disediakan lahan pengembalaan tertentu. Dengan demikian diharapkan para peternak akan semakin berdaya dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan keluarganya. d. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan. Perencanaan pemanfaatan sumberdaya hutan harus mengikutsertakan masyarakat di lingkungan dalam arti yang seluas-luasnya. Bentuk pengelolaan hutan di kawasan hutan dilakukan bersama masyarakat dengan menerapkan sistem kemitraan. Kemitraan yang dimaksud adalah pemerintah, swasta, pemerhati lingkungan, LSM dan masyarakat merupakan tim kerja yang memiliki 8 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 fungsi, peran, hak dan tanggungjawab yang jelas. Pemerintah memberi kesempatan kepada masyarakat yang ada sekitar kawasan hutan sebagai pelaku utama program pengelolaan hutan seperti program penghijauan dan rehabilitasi di kawasan hutan serta penanaman komoditas kayu jati di lahan milik masyarakat. Pemerintah menyiapkan sarana dan prasarana, biaya, tenaga ahli dan perangkat hukum yang berpihak pada rakyat dan kelestarian lingkungan. Salah satu program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang digagas dan dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember adalah program rehabilitasi lahan di luar kawasan hutan yang tidak produktif, hutan rakyat untuk tanaman pangan dan program pemanfaatan sumberdaya lahan di bawah tegakan seperti jahe, tales, porang (iles-iles dll). Sedangkan pihak swasta bermitra dengan masyarakat dalam hal pemasaran serta penyediaan modal, tenaga ahli dan pembukaan lapangan kerja baru. Mekanisme pelaksanaan kemitraan pembangunan hutan antara pembangunan kawasan hutan ex pembalakan liar atau perambahan (dalam kawasan hutan lindung) dan lahan miliki masyarakat harus berbeda. Untuk pembangunan hutan di dalam kawasan hutan lindung sebaiknya bertujuan memaksimumkan peranan hutan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, bentuk hutan yang dibangun hendaknya tidak mengarah ke monokultur melainkan ke arah hutan campuran berbagai jenis dan bukan hutan seumur. Jenis-jenis kayu utama dalam hutan campuran adalah jenis kayu yang tidak memiliki produksi kayu ekonomi tinggi tetapi tanaman kayu penghasil komoditas perdagangan seperti, pisang, kelapa, nangka, durian dan sebagainya atau tanaman kayu yang memiliki fungsi lindung terhadap ketersediaan air dan kesuburan tanah. Masyarakat berpartisipasi dalam penanaman, pemeliharaan dan pemanfaatan hasilnya (non kayu), pemerintah menyediakan sarana dan prasarana, dana, tenaga ahli dan prangkat hukum yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan lindung yang berpihak pada kelesetarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Pada lahan masyarakat ditanami hutan campuran berbagai jenis dan bukan hutan seumur. Jenis-jenis kayu utama dalam hutan campuran tersebut adalah jati, mahoni dan tanaman kayu jenis lokal seperti jabon, (tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi) serta tanaman penghasil komoditas perdagangan seperti pisang, kelapa, nangka, durian dan sebagainya. Pada pengelolaan hutan di lahan masyarakat pemerintah sebaiknya memainkan peran seperti pada pengolahan hutan di kawasan hutan lindung, sedangkan pihak swasta berperan dalam pengolahan pasca panen dan pemasaran serta penguatan kelembagaan lokal. Jika pola pengelolaan hutan di sekitar dan di dalam kawasan hutan dilakukan secara baik oleh semua pihak, maka dan jangka panjang tujuan untuk memberdayakan masyarakat dan melestarikan kawasan hutan akan terealisasi. e. Peningkatan kemampuan kerajinan rakyat. Masyarakat, terutama ibu-ibu rumah tangga dan anak gadis yang memiliki keterampilan kerajinan dapat memanfaatkan keterampilannya. Masyarakat, terutama ibu rumah tangga dengan keterbatasan yang ada tidak menurunkan niat untuk terus menekuni pekerjaan tersebut yang mereka yakini. Tujuan utama pemberdayaan masyarakat melalui keterampilan kerajinan adalah menjadikan pengrajin yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai agar mereka menjadi pengrajin yang tangguh dan memiliki daya saing yang tinggi, menjadikan kerajinan sebagai salah satu komoditi unggulan masyarakat dan kerajinan tenun merupakan sumber pendapatan keluarga alternatif. Agar sasaran tercapai, maka pemerintah perlu melakukan langkah- langkah sebagai berikut; (1) melakukan promosi tentang hasil kerajinan masyarakat kepada pihak-pihak lain; (2) mengalokasikan dana melalui APBD untuk penyediaan peralatan dan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan para pengrajin agar hasil mereka dapat bersaing di pasaran; (3) menciptakan kondisi investasi yang kondusif dan kemudahan birokrasi bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya di sektor kerajinan; (4) mendorong instansi dan pihak-pihak terkait untuk melakukan pembinaan secara intensif kepada masyarakat pengrajin; dan (5) menjadikan hasil kerjinana masyarakat sebagai produk unggulan. Tercapainya sasaran tersebut diharapkan mempunyai dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat di kawasan sekitar hutan. Berdasarkan uraian di atas, maka bentuk pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan, khususnya hutan rakyat adalah pendampingan, pembinaan, pelayanan, pelatihan, kursus, bantuan modal usaha, penyediaan infrastrukur dan penyediaan sarana produksi yang berhubungan dengan profesi dan kondisi sosial budaya serta potensi yang dimiliki masyarakat. Beberapa potensi yang dapat dikembangkan adalah tinggi jumlah penduduk usia produktif, adanya kemauan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan terhadap profesinya, lahan pertanian belum diolah secara optimal, dan masyarakat masih memiliki modal sosial yang relatif kuat. Pendampingan dan pembinaan yang dimaksud terkait dengan teknologi produksi dan inovasi teknologi pengolahan hasil, selain itu juga pelatihan teknis pengelolaan dan pengembangan usaha yang juga termasuk di dalamnya terkait dengan pemasaran hasil. Hal ini khususnya terkait dengan potensi wilayah dua kecamatan lokasi penelitian yaitu kecamatan Arjasa dan Ledokombo. Mengingat hutan rakyat di kecamatan ini sangat potensial untuk dikembangkan budidaya dan pengolahan tanaman porang (iles-iles). Oleh karena itu, agar potensi ini dapat dikembangkan maka diperlukan dukungan semua pihak, terutama pemerintah dalam hal penyedian sarana dan prasarana pendukung 9 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 yang memadai dan pembiayaan serta bersama-sama pihak swasta, LSM, pemerhati lingkungan dan masyarakat untuk melakukan kegiatan pendampingan, pembinaan, pelayanan, pelatihan dan kursus yang berpotensi meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik masyarakat agar mereka kreatif, inovatif, optimis, percaya diri, dan bertanggungjawab dalam setiap tutur dan tindakannya. (8) (9) (10) IV. KESIMPULAN Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor modal fisik, modal manusia, modal sosial, kemampuan pelaku pemberdayaan dan proses pemberdayaan belum memadai/cenderung menurun. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya tertentu untuk merumuskan materi dan bentuk pemberdayaan warga masyarakat yang berpotensi menguatkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas faktor-faktor tersebut, sehingga tujuan terciptanya masyarakat berdaya dan hutan lestari dapat tercapai. Model pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan, khususnya hutan rakyat adalah pendampingan dan pembinaan. Pendampingan dan pembinaan yang dimaksud terkait dengan teknologi produksi dan inovasi teknologi pengolahan hasil, selain itu juga pelatihan teknis pengelolaan dan pengembangan usaha yang juga termasuk di dalamnya terkait dengan pemasaran hasil. Hal ini khususnya terkait dengan potensi wilayah dua kecamatan lokasi penelitian yaitu kecamatan Arjasa dan Ledokombo. Mengingat hutan rakyat di kecamatan ini sangat potensial untuk dikembangkan budidaya dan pengolahan tanaman porang (iles-iles). (11) http://poverty.worldbank.org/library/subtopic/5038 Error! Hyperlink reference not valid. Creswell, J.W. 2008. Educational Research : Planning, Conducting, And Evaluating Quantitative And Qualitative Research. New Jersey Pearsonn. Nurrohmat Dan Dodik, R 2005. Strategi Pengelolaan Hutan : Upaya Menyelamatkan Rimba Yang Tersisa. Penerbit Pustaka Pelajar. Jogjakarta. Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Fakultas Kehutanan UGM. 2007. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Kolaborasi Antara Masyarakat Desa Hutan Dengan Perum Perhutani. Perhutani dalam pengelolaan sumbedaya hutan di jawa. Sidu, D. 2007. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan di mamuju. Disertasi. PPS. Institute Pertanian Bogor. DAFTAR PUSTAKA (1) Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. (2) Alder, P.S. & W.K. Seok. 20002. ”Social Capital: Prospect for a New Concept”. Academy of management Journal. Vol. 27. No. 1: 17 (3) Azwar, S. 2001. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bahtiar, C. 2005. Investasi Sosial. Jakarta: LaTofi Enterprise. (4) (BPS) Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Jember Dalam Angka. (5) Bachrach P. Dan M.S. Baratz. 1970. Power and Poverty: Theory and Parctice. New York: Oxford University Press. (6) Budi, R. 2005. “Membincangkan Modal Sosial”. (Article on-line). Didapat dari http://www.pikiranrakyat.Com/cetak/2005/0205 (7) Coleman, J. 1998. ”Social Capital in the Creation of Human Cpaital”. (Articleon-line). 10 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Kajian Potensi dan Strategi Pengembangan Agribisnis di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember Taufik Hidayat#1, Retno Sari Mahanani*2, Dewi Kurniawati3 Jurusan Manajemen Agrbisnis, Politeknik Negeri Jember#1 dan Jurusan Manajemen Agrbisnis, Politeknik Negeri Jember3 Sumbersari, Jember 1mastaufik05@gmail.com 3dewidewikurniawati@gmail.com * Jurusan Manajemen Agrbisnis, Politeknik Negeri Jember2 Kebonsari, Jember 2retno7089@gmail.com Abstract Kajian terhadap pengembangan ekonomi masyarakat kawasan pesisir Kabupaten Jember memiliki potensi sebagai kekuatan dan peluang, disamping kendala sebagai kelemahan dan ancaman. Kekuatannya, yaitu: tenaga kerja cukup tersedia, usia potensial, tingkat pendidikan dan ketekunan/motivasi; peluangnya, yaitu: potensi Sumber Daya Ikan (SDI), kesempatan kerja di bidang perikanan terbuka, keberadaan koperasi dan dukungan pemerintah daerah; Kelemahannya, yaitu: keterbatasan teknologi, akses permodalan, akses pemasaran, tidak berkembangnya kelompok masyarakat pesisir dan keterbatasan fasilitas penunjang usaha perikanan; dan Ancamannya, yaitu: harga ikan rendah, harga BBM tinggi, Cuaca dan musim yang buruk; dan llegal Fishing. Penelitian ini merupakan penelitian dengan tujuan menyusun strategi pola pengembangan ekonomi masyarakat berbasis agribisnis sesuai potensi masing-masing di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember dengan menggunakan metode analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember memiliki potensi sebagai kekuatan dan peluang, kekuatannya yaitu: tenaga kerja (SDM) cukup tersedia, usia potensial, tingkat pendidikan dan ketekunan/motivasi tinggi; peluangnya, yaitu: potensi SDI, kesempatan kerja di bidang perikanan terbuka. Hasil analsis SWOT telah dirumuskan tujuh alternatif perbaikan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir di Kabupaten Jember, yaitu: pengembangan teknologi dan skala usaha perikanan, pengembangan akses permodalan, pengembangan akses pemasaran, penguatan kelembagaan masyarakat pesisir, pembangunan sarana prasarana penunjang usaha perikanan, pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat, pengembangan diverisifikasi pengolahan ikan. Keywords : Agribisnis, Kawasan Pesisir, Pemberdayaan, I. PENDAHULUAN Pembangunan daerah telah membuktikan bahwa kebutuhan sumberdaya alam semakin banyak dan senantiasa menghadapi berbagai kendala yang semakin serius, terutama di kawasan pesisir. Kabuapten Jember memiliki beberapa kawasan pesisir yang terletak di sepanjang pesisir pantai selatan dan memiliki potensi cukup besar pada hasil perikanan, dimana dalam perkembangannya menjadi bagian dari pendorong pertumbuhan ekonomi daerah, hal ini ditandai dengan ramainya aktifitas di sepanjang kawasan pesisir tersebut, dari permukiman yang padat, wisata pantai, hingga sektor industri. Kabupaten Jember mencakup wilayah seluas 3.293,34 km2 dengan kondisi alam pegunungan yang berbatasan dengan lautan, sehingga menjadi kelebihan, khususnya berkaitan dengan sektor pariwisata serta potensi sektor kelautan dan perikanan. Kawasan pesisir Kabupaten Jember memiliki prospek pengembangan ekonomi ditinjau dari potensi yang dimilikinya, seperti lokasi yang strategis dan dukungan wilayah sekitarnya Namun sejauh ini, masih merupakan suatu pertanyaan apakah peningkatan aktivitas di kawasan pesisir Kabupaten Jember tersebut akan mengganggu fungsi ekologis kawasan dan apakah akan berdampak lebih buruk dimasa mendatang. Fenomena yang terjadi di kawasan pesisir Kabupaten Jember dengan potensi sumberdaya alam yang besar dan melimpah saat ini belum mampu berkontribusi terhadap pengembangan perekonomian sebagaian masyarakat. Untuk itu, maka membutuhkan suatu strategi peningkatan aktivitas perikanan untuk memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan agar lebih berperan dalam lingkup lokal, regional, maupun nasional. Salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan 11 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 masyarakat pesisir dengan melakukan diversifikasi usaha diluar usaha pokok yang ada dengan cara menerapkan teknologi yang tepat guna. Dalam konteks diversifikasi tersebut, kegiatan kenelayanan tetap dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan yang bisa di manfaatkan pada saat yang tepat. Usaha tersebut tetap dalam kerangka agribisnis yang berorientasi mendapatkan tambahan pendapatan bagi masyarakat dengan melakukan kegiatan program pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan adalah sebagai proses memampukan dan memandirikan masyarakat yang didasarkan pada unsurunsur budaya yang ada dalam masyarakat (Hikayat, 2001). Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang berdiam dan mengembangkan kehidupan sosial di perairan laut atau dekat perairan laut dan secara khas menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di atas perairan laut. Jadi pemberdayaan ekonomi saat ini perlu dilakukan melalui proses yang sistemik. Sehingga dampak pemberdayaan ini dalam jangka panjang masyarakat akan benar-benar mandiri secara ekonomi. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat diantaranya masyarakat nelayan tangkap, nelayan pengumpul/bakul , nelayan buruh dan nelayan tambak (Departemen Kelautan dan Perikanan.2001). Menurut Kusnadi Dkk (2007), indikator masyarakat nelayan yang memiliki keberdayaan adalah tercapinya kesejahteraan social ekonomi, kelembagaan ekonomi berfungsi maksimal dan aktivitas ekonomi kontinuitas dan stabil, kelembangaan sosail budaya berfungsi dengan baik, potensi sumberdaya lingkungan sebagai basis kehidupan masyarakat pesisir terpelihara kelestraianya dan bisa di manfaatkan secara berkelanjutan, berkembangnya kemampuan akses masyarakat dalam sumberdaya ekonomi :informasi, pasar, teknologi dan jaringan kemitraan, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan di kawasan pesisir, kawasan pesisir menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah dan ekonomi nasional yang dinamis serta memiliki daya tarik inverstasi Tujuan dari penelitian ini adalah menyusun strategi pola pengembangan ekonomi masyarakat berbasis agribisnis sesuai dengan potensi masing-masing di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada kawasan pesisir Kabupaten. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) atas dasar pertimbangan bahwa masingmasing kawasan pesisir yang ada di Kabupaten Jember memiliki potensi dan karakteristik yang berbeda A. Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data penelitian terdapat 3 (tiga) tahapan yang dilakukan, yaitu tahap sebelum pengambilan data di lapangan, tahap pengumpulan data primer, tahap pengumpulan data sekunder . B. Analisis Data Analisis data terkait dengan perumusan Strategi Pola Pengembangan Agribisnis Kawasan Pesisir Kabupaten Jember menggunakan analisis strenght, weakness, opportunity and threat (SWOT). Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari faktor internal serta peluang dan ancaman dari factor eksternal. Data untuk analisis faktor internal dan factor eksternal didapat melalui wawancara dengan responden. Hasil dari analisis SWOT kemudian diolah menggunakan Matriks SWOT. Matriks SWOT digunakan untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan Strategi Pola Pengembangan Agribisnis Kawasan Pesisir Kabupaten Jember. Menurut Rangkuti (2001:31) Analisis SWOT digambarkan ke dalam Matriks SWOT dengan 4 kemungkinan alternatif strategi, yaitu stategi kekuatanpeluang (S-O strategies), strategi kelemahanpeluang (WO strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T strategies), dan strategi kelemahan-ancaman (WT strategies). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Masyarakat di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember memiliki potensi sebagai kekuatan dan peluang, disamping kendala sebagai kelemahan dan ancaman. Kekuatannya, yaitu: tenaga kerja cukup tersedia, usia potensial, tingkat pendidikan dan ketekunan/motivasi; peluangnya, yaitu: potensi SDI, kesempatan kerja di bidang perikanan terbuka. A. Perumusan Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Perumusan strategi pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir Kabupaten Jember secara berkelanjutan, tentunya tidak hanya dilihat dari segi aspek ekonomi semata tetapi perlu mempertimbangkan aspek keberlanjutan usaha perikanan lainnya, seperti sumberdaya ikan, tekonologi, sosial dan kelembagaan lokal. Dengan demikian mencari perbaikan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir diperlukan model yang mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dari berbagai aspek, baik internal maupun eksternal. Metode tersebut adalah dengan menggunakan analisis SWOT yang dapat mengkaji faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi terhadap pengembangan model pemberdayaan masyarakat. Faktor internal yang dimaksud merupakan faktor yang mempengaruhi secara langsung kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir di Kabupaten Jember yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor dari lingkungan yang turut 12 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 mempengaruhi kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir Kabupaten Jember yang terdiri dari peluang dan ancaman. B. Evaluasi Faktor Strategis Internal Berdasarkan hasil analisis terhadap keragaan potensi ekonomi masyarakat peisir Jember diperoleh faktor internal utama yang dapat menjadi kekuatan dan kelemahan pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir Kabupaten Jember, disajikan pada Tabel I : TABEL I PENILAIAN KEKUATAN DAN KELEMAHAN MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN JEMBER Parameter kunci Tenaga kerja cukup tersedia Usia Potensial Masyaraka t Pesisir (KMP) Indikator Kabupaten jember mempunyai 5 kawasan pesisir yang berada di pesisir selatan Moyoritas penduduknya yang tinggal di kawasan pesisir dengan menggantungkan sumberdaya pesisir dan laut Sebagian besar responden masyarakat pesisir berusia dibawah 50 tahun dan merupakan usia potensial dalam menjalankan usahanya masingmasing Ketekunan /motivasi Masyarakat Pesisir Mayoritas tingkat pendidikan masyarakat pesisir (responden) cukup berpotensi (SMP dan SMA) dalam mengembangkan usahanya Masyarakat Pesisir Sebagian besar nelayan gillnet, dan pedangang ikan telah berpengalaman dalam menggeluti usahanya Teknologi dan usaha perikanan masih sederhana Keterampilan nelayan diperoleh dari turun temurun. Pengetahuan operasi penangkapan masih tergolong rendah, sehingga hasil tangkapan yang didapat tidak seperti yang diharapkan dan kurang maksimal Tingkat Pendidikan Lemahnya permodala n usaha perikanan Keterbatas an Akses Pemasaran Organisasi /Kelompok Masyaraka t Sebagian besar nelayan termasuk nelayan skala kecil. Hal ini disebabkan lemahnya permodalan untuk pengembangan usaha dan teknologi. Tempat Pelelangan ikan (TPI) sampai saat ini masih belum berfungsi maksimal, kondisi ini menyebabkan nelayan tidak memiliki alteratif lain untuk menjual ikannya selain kepada pedagang pengumpul. Hal ini menyebabkan daya tampung pembelian ikan menjadi terbatas dan harga ikan menjadi rendah. Pemanfaat Program PEMP memfasilitasi masyarakat pesisir untuk terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan melalui pembentukan KMP di desa-desa pesisir. Melalui Kelompok-kelompok ini diharapkan menjadi wadah berorganisasi mereka untuk meningkatkan posisi tawar nelayan. Kondisi KMP belum berfugsi semestinya, dibentuk hanya untuk mendapat DEP S/W S1 Parameter kunci Keterbatas an fasilitas penunjang usaha perikanan Indikator Fasilitas penunjang usaha perikanan masih terbatas,seperti TPI dan Pabrik Es masih tidak berfungsi. Nelayan sering melaut tanpa es sehingga kualitas ikan cepat rusak sehingga nelayan tidak berani melaut lebih dari satu hari Keterangan : S Weakness(Kelemahan) Peluang kesempatan kerja di bidang perikanan Koperasi (kelembagan masyarakat) W1 W2 Strength(kekuatan) W = TABEL II PENILAIAN PELUANG DAN ANCAMAN USAHA MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN JEMBER S3 S4 = W5 C. Evaluasi Faktor Strategis Eksternal Berdasarkan hasil analisis keragaan potensi ekonomi masyarakat peisir Jemberdiperoleh faktor eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat baik yang secara langsung maupun tidak langsung. Faktor eksternal berpengaruh positif adalah peluang dan berpengaruh negatif adalah ancaman, disajikan pada Tabel II : Parameter Kunci S2 S/W Dukungan kebijakan pemerintah daerah Indikator O/T Kegiatan penangkapan ikan di yang berkembang pada tahun memberikan kesempatan untuk membuat lapangan pekerjaan yang baru, khususnya bagi masyarakat pesisir pantai yang bekerja sebagai petani. Selain itu, terbukanya peluang di bidang budidaya laut, wisata bahari dan usaha perikanan lainnya Koperasi merupakan kelembagaan masyarakat yang berguna mendukungan permodalan usaha perikanan. berfungsi juga sebagai LKM mengelola kegiatan simpan pinjam bagi anggotanya. Kedepannya lembaga dapat menjadi motor pengerak pemberdayaan masyarakat pesisir Kebijakan pemerintah yang kuat terhadap pembangunan masyarakat pesisir, seperti dukungan terhadap program PEMP, penyediaan dana pendamping program dan peningkatan infrastruktur penunjang usaha perikanan O2 O3 O4 T1 W3 Harga ikan rendah W4 Harga BBM tinggi Mekanisme pasar belum teratur dengan baik dan tidak ada standar harga dasar ikan. Tidak berfungsinya TPI menyebabkan nelayan menjual ikannya kepada pe ga ba’ de ga harga rendah Kenaikan harga BBM telah menyebabkan melambungnya biaya operasional usaha perikanan tangkap, sehingga banyak nelayan beralih profesi ke bidang non perikanan (agribisnis pertanian) 13 T2 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Parameter Kunci Cuaca dan musim yang buruk Kegiatan penangkapan ikan bersifat merusak dan IUU Indikator O/T Usaha perikanan skala kecil sangat dipengaruhi musim. T3 T4 Penurunan SDI karena destruktif dan illegal fishing yang dilakukan nelayan luar daerah dan asing Keterangan reting : O = Opportunities (Potensi) A = Threats (Ancaman) D. Penilaian Faktor Internal dan Eksternal Untuk mengukur pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap usaha perikanan dalam rangka perbaikan pemberdayaan masyarakat pesisir digunakan model matriks internal factors analysis summary (IFAS) dan matriks eksternal factors analysis summary (EFAS). Berdasarkan analisis IFAS, memberikan gambaran bahwa keadaan internal masyarakat sebenarnya dapat mengatasi berbagai permasalahan internal usaha agribisnis perikanan masyarakat pesisir. Hasil perhitungan IFAS menunjukkah bahwa faktor internal yang memiliki kekuatan utama dalam peningkatan pendapatan masyarakat, yaitu : (1) Tenaga kerja cukup tersedia; (2) Usia potensial masyarakat pesisir; (3) Tingkat pendidikan masyarakat pesisir; dan (4) Ketekunan/motivasi masyarakat pesisir. Sedangkan kelemahan utama dalam peningkatan pendapatan masyarakat, yaitu: (1) Lemahnya permodalan; (2) Teknologi usaha perikanan masih sederhana; (3) Keterbatasan akses pemasaran, (4) Keterbatasan sarana prasarana penunjang perikanan dan (5) Kelompok masyarakat pesisir. Hasil analisis EFAS menunjukkah bahwa faktor eksternal utama yang mempengaruhi stretegi pemberdayaan, yaitu: (1) potensi SDI belum dimanfaatkan; (2) peluang kesempatan kerja; (3) Koperasi (kelembagaan); dan (4) dukungan pemerintah. Sedangkan ancaman yang utama, yaitu: (1) harga ikan rendah; (2) Harga BBM tinggi; (3) Cuaca dan musim buruk; dan (4) kegitan penangkapan ikan yang merusak dan illegal fishing. Dari Hasil analsis SWOT telah dirumuskan tujuh alternatif perbaikan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir di Kabupaten Jember, yaitu: 1. Pengembangan teknologi dan skala usaha perikanan. 2. Pengembangan akses permodalan. 3. Pengembangan akses pemasaran. 4. Penguatan kelembagaan masyarakat pesisir 5. Pembangunan sarana prasarana penunjang usaha perikanan. 6. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. 7. Pengembangan diverisifikasi pengolahan ikan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Masyarakat di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember memiliki potensi sebagai kekuatan dan peluang, disamping kendala sebagai kelemahan dan ancaman. Kekuatannya, yaitu: tenaga kerja cukup tersedia, usia potensial, tingkat pendidikan dan ketekunan/motivasi; peluangnya, yaitu: potensi Sumber Daya Ikan (SDI), kesempatan kerja di bidang perikanan terbuka, keberadaan koperasi dan dukungan pemerintah daerah; Kelemahannya, yaitu: keterbatasan teknologi, akses permodalan, akses pemasaran, tidak berkembangnya kelompok masyarakat pesisir dan keterbatasan fasilitas penunjang usaha perikanan; dan Ancamannya, yaitu: harga ikan rendah, harga BBM tinggi, Cuaca dan musim yang buruk; dan llegal Fishing. DAFTAR PUSTAKA (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) E. Perumusan Perbaikan Masyarakat Pesisir Strategi Pemberdayaan (13) (BPS) Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Jember Dalam Angka. Bachrach P. Dan M.S. Baratz. 1970. Power and Poverty: Theory and Parctice. New York: Oxford University Press. Hermanto F. 1989. Ilmu Usaha Tani. Jakarta: PT. Penebar Swadaya Hikmat A, 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. 240 hlm. Nikijuluw PHV. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan: P3R. Jakarta: Pustaka Cidesindo. 254 hlm. Nurani TW. 2008. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Threats). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 20 hlm Nurrohmat Dan Dodik, R 2005. Strategi Pengelolaan Pesisir. Penerbit Pustaka Pelajar. Jogjakarta. Rangkuti R. 2002. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 188 hlm. Saaty, Thomas L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Peminpin. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 202 hlm. Satria A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan: Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press. 153 hlm. Sidu, D. 2007. Pemberdayaan masyarakat kawasan pesisir di mamuju. Disertasi. PPS. Institute Pertanian Bogor. Siswanto B. 2008. Kemiskinan dan Perlawanan Kaum nelayan. Malang: Laksbang Mediatama. Hlm 193-216. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Ed ke-2. Bandung: Alfabeta. 306 hlm. 14 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Struktur Bayesian Network untuk Penentuan Class Karakteristik Siswa pada Sistem Tutor Cerdas Ika Widiastuti#1, Ratih Ayuninghemi#2 # Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip Po Box 164 Jember 1 2 ikajcm10@gmail.com ratihayuninghemi@gmail.com Abstract Sistem Tutor Cerdas atau Intelligent Tutoring System (ITS) merupakan sebuah program komputer berbasis instruksional yang dapat menyesuaikan konten pembelajaran sesuai dengan respon dari siswa (student). Agar sistem dapat merespon pengguna dengan memberikan output yang sesuai, maka diperlukan suatu metode Bayesian Network untuk menentukan karakteristik pengguna (user). Paper ini akan membahas mengenai bagaimana membangun struktur Bayesian network yang tepat untuk penentuan kelas (class) karakteristik siswa pada sistem tutor cedas. Keywords— Bayesian Network, Class, Sistem Tutor Cerdas. I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengembangkan media pembelajaran yang bervariasi, pada penelitian ini akan mengimplementasikan suatu media pembelajaran online (elearning) berbasis Intelligent Tutoring System sebagai salah satu alternatif media pembelajaran non konvensional. E- Learning withIntelligent Tutoring System yang dimaksud adalah suatu perangkat lunak (software) dalam bentuk media pembelajaran yang mengaplikasikan teknik-teknik kecerdasan buatan (Artificial Intelligent) pada pengajaran (education). Perangkat lunak (software) ini bertindak sebagai tutor yang mengetahui apa yang diajarkan, siapa yang mereka ajar, bagaimana mengajarkan, dan mampu mengidentifikasi karakteristik kemampuan mahasiswa sehingga seolah-olah perangkat lunak atau program komputer ini cerdas (Intelligent). Elearning yang berbasis ITS membutuhkan penentu karakteristik dari masing-masing siswa sehingga bisa di adaptasikan kebutuhan tiap siswa sesuai dengan kemampuan siswa tersebut. Hal ini menunjukkan dibutuhkan sebuah classifier yang mampu memberikan keputusan (inference) apakah siswa tersebut termasuk kategori easy. Intermediate atau hard. Inferensi dalam sebuah Bayesian Network didapat dari hubungan setiap node yang ada pada struktur Bayesian tersebut. Untuk setiap perubahan yang terjadi dari sebuah node maka juga akan mempengaruhi nilai probabilitas dari node node yang lain, yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan node tersebut. Makalah ini difokuskan membahas bagaimana sebuah struktur Bayesian network pada penetuan karakteristik siswa yang ditentukan berdasarkan data training yang telah didapat sebelumnya. Pembahasan makalah ini merupakan bagian dari penelitian pengembangan media pembelajaran online (elearning) berbasis Intelligent Tutoring System. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Tutor Cerdas Sistem Tutor Cerdas atau Intelligent Tutoring System (ITS) merupakan sebuah program komputer yang mempunyai kecerdasan dalam melakukan pembelajaran. ITS mencoba meniru mimik manusia dalam mengajar dan memberikan tanya jawab ke pengguna[1]. ITS dapat menilai kemampuan pengguna dan memberikan materi sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki pengguna. ITS mirip pengajar (tutor) virtual yang berusaha mengadopsi pengajar yang asli[2]. Sistem Pembelajaran Cerdas (Intelligence Tutoring System, ITS) adalah suatu sistem yang memanfaatkan teknik tingkat lanjut dalam mendeskripsikan dan meningkatkanproses pengajaran. Walaupun demikian pemahaman sistem pembelajaran cerdas telah berkembang menjadi suatu sistem yang mampu “memahami” dan 15 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 berlaku selayaknya pengajar. Sistem pembelajaran cerdas memberikan fleksibilitas dalam mempresentasikan materi dan kemampuan memahami karakteristik siswa yang lebih besar. Kecerdasan sistem pembelajaran cerdas diwujudkan dalam kemampuan pedagogignya untuk menyampaikan materi sesuai karakteristik siswa yang diajarnya, memberikan tugas, dan menilai kemampuan siswa. ITS merupakan sistem pengajaran berbantuan komputer yang mengandunginformasi mengenai pelajar, dan berupaya menyesuaikan kandungan dan strategi pengajaran mengikuti kesesuaian pelajar. Tujuan utama ITS adalah untuk melaksanakan kaedah pengajaran secara satu ke satu di antara pengajar dengan pelajar. Untuk dapat melaksanakan pengajaran secara satu ke satu, sistem ITS harus mampu untuk mengenali pelajar tersebut dan membina suatu model mengenai tahap pengetahuan, kemahiran dan kehendak mereka. Sistem harus dapat memberi arahan atau bahan pengajaran secara individu kepada setiap pelajar. Ciri inilah yang membedakan antara sistem pengajaran dan pembelajaran berbantuan komputer dengan sistem tutorial cerdas. Gambar 1 menunjukkan modul-modul dalam ITS dan hubungannya dengan siswa yaitu Domain Pengetahuan, Modul Pedagogik, Modul Adaptasi, Modul Antarmuka, serta pemodelan siswa [3] Gambar 1. Modul Program ITS [3] B. Bayesian Network Pemikiran Bayesian menyediakan sebuah pendekatan probabilistic untuk mendapatkan suatu inference atau kesimpulan . Inference dalam sebuah Bayesian Network didapat dari hubungan setiap node yang ada pada struktur Bayesian tersebut. Untuk setiap perubahan yang terjadi dari sebuah node maka juga akan mempengaruhi nilai probabilitas dari nodenode yang lain, yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan node tersebut. Sebagai contoh perhatikan gambar 4 yang menggambarkan sebuah struktur Bayesian Network tentang penyakit dan penyebabnya. Gambar 4. Struktur BN Penyakit pada Paru-paru Pada gambar 4, dapat dilihat bahwa node “Kanker_paruparu” berhubungan secara langsung dengan node “Tuberculosis”, dan node “Tuberculosis” berhubungan juga dengan node “Mengunjungi_Asia”. Dengan asumsi bahwa Tuberculosis adalah salah satu penyebab kanker paru-paru dan mengunjungi Asia dapat meningkatkan peluang terkena Tuberculosis, maka saat nilai peluang true untuk node “Mengunjungi_Asia” semakin tinggi maka semakin tinggi pula nilai peluang true dari node “Kanker_paruparu”[4]. Gambar 2. Contoh Bayesian netwok[4] 1) Topologi Jaringan Bayesian Network: Dalam kaitannya dengan struktur jaringan yang terdapat pada Bayesian Network terdapat tiga jenis topologi atau tiga tipe koneksi yaitu koneksi serial, koneksi divergen dan koneksi convergen. Identifikasi topologi jaringan berguna untuk menentukan ketergantungan informsi diantara node-node yang terdapat pada Bayesian network [5].  Koneksi Serial Gambar 3 merupakan ilustrasi dari tipe koneksi serial. Nilai Node A akan mempengaruhi probabilitas node B dan nilai node B akan mempengaruhi probabilitas node C, demikian juga sebaliknya node C akan mempengaruhi probabilitas B dan nilai node B akan mempengaruhi probabilitas A. Tetapi pada saat nilai B diketahui, maka jalur antara A dan C akan terputus sehingga A dan C menjadi independent (saling tidak mempengaruhi). Kondisi ini menyebabkan A d-separated dengan C karena B diketahui nilainya. A B C Gambar 3. Koneksi Serial  Koneksi Divergen Koneksi Divergen seperti ditunjukkan pada gambar 4, informasi dapat mengalir pada semua jalur yang ada dari A ke setiap node anaknya yakni B, C, D, E dan F jika nilai dari A tidak diketahui. Namun ketika 16 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 nilai A diketahui maka jalur-jalur yang berada pada node anak A akan terputus sehingga B, C,…, F akan menjadi saling tidak tergantung. Kondisi tersebut menyebabkan B, C,…, F d-separated karena nilai A diketahui. A B F C  D E Gambar 4. Koneksi Divergen Koneksi Konvergen Pada struktur dengan tipe koneksi konvergen seperti yang diilustrasikan pada gambar 5, jika tidak ada informasi yang diketahui pada node A, maka informasi diantara node-node parent dari A yaitu B, C, ..,F akan independent, sehingga nilai yang berada pada node-node parent tersebut tidak akan mempengaruhi probabilitas node-node lain. Tetapi ketika nilai dari A diketahui maka node-node parent akan mempengaruhi node parent yang lain. C D B E F A Gambar 5. Koneksi Konvergen 2) Algoritma untuk Membangun Struktur Bayesian networks: Algoritma yang dapat digunakan dalam membangun struktur Bayesian Network dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu (1) Algoritma yang menggunakan suatu metode pencarian untuk membangun model dan mengevaluasi model tersebut berdasarkan suatu nilai skor. Algoritma ini disebut juga dengan “Scoring Based Algorithm”. (2) Algoritma yang membangun struktur Bayesian Network dengan menganalisa hubungan ketergantungan yang terdapat diantara node-node/ variabel/ atribut data. Hubungan ketergantungan yang tersebut diukur dengan melakukan pengujian bebas bersyarat. Algoritma ini membangun struktur Bayesian Network dengan mengidentifikasi hubungan bebas bersyarat yang terdapat diantara nodenode. Algoritma ini disebut jug adengan “CI Algorithm” yang merupakan bagian dari kategori “Constrain Based Algorithm”. Contoh algoritma yang termasuk kategori ini adalah TPDA (Three Phase Dependency Analysis) III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan perangkat lunak yang dapat mengidentifikasi karakteristik siswa (user) menggunakan Bayesian Network. Penelitian ini mempelajari struktur Bayesian network yang tepat untuk mengidentifikasi karakteristik siswa berdasarkan data training yang diperoleh dari observasi terhadap 30 rang mahasiswa. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah output penelitian yaitu perangkat lunak yang mengimplementasikan struktur Bayesian network dapat diterapkan pada media pembelajaran online (elearning) sehingga elearning yang dikembangkan tidak hanya mengelola konten pembelajaran saja melainkan dapat menyajikan konten pembelajaran serta evaluasi sesuai dengan karakteristik siswa (student). IV. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, Bayesian Network digunakan untuk modelling user, karena dapat menghasilkan penilaian dengan memanfaatkan informasi pada pengguna serta secara eksplisit mengungkapkan prediksi ketidakpastian perilaku pengguna. Tugas utama yang harus dilakukan ketika membangun model klasifikasi berdasarkan Bayesian Network yaitu pembelajaran dalam membangun struktur DAG (directed acyclic graph) dan pembelajaran untuk menghitung CPT (Conditional Probability Table). Ada dua pendekatan pembelajaran (learning) yang dapat dilakukan untuk membangun struktur Bayesian networks yaitu (1) Scored Based yaitu menggunakan metode pencarian untuk mendapatkan struktur yang cocok dengan data, dimana proses konstruksi dilakukan secara iteratif, dimulai dari sebuah graf tanpa edge kemudian menggunakan metode pencarian untuk menambahkan sebuah edge pada graf dan berhenti ketika tidak ada struktur baru yang lebih baik daripada struktur sebelumnya. (2) Constrain Based (Dependency Analysis) yaitu mengidentifikasi/menganalisa hubungan bebas bersyarat (conditional independence CI) antar atribut dimana CI menjadi “constrain” dalam membangun struktur Bayesian Network. Metodologi yang digunakan merupakan langkah langkah penentuan sebuah struktur dari Bayesian network seperti yang ditunjukkan pada gambar 6. 17 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pengumpulan Data (Data Training) Penentuan Variabel Atribut dan Goal Pembuatan Struktur atau Network Perhitungan Probabilitas antar Network Gambar 6. Kerangka Metodologi Penelitian 1) Pengumpulan Data (Data Training) Data diperoleh dari aktivitas akademik yang telah dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Negeri jember dan sudah menghasilkan suatu nilai. 2) Penentuan Variabel atribut dan Goal Merepresentasikan hubungan kausalitas diantara variabelvariabel yang terdapat pada struktur Bayesian network. 3) Pembuatan Struktur atau Network Mengidentifikasi/menganalisa hubungan bebas bersyarat (conditional independence CI) antar atribut dimana CI menjadi “constrain” dalam membangun struktur Bayesian Network. 4) Perhitungan Probabilitas antar Network Menghitung nilai probabilitas yang ada pada struktur Bayesian Network. Bayesian Network adalah sebuah “directed acyclic graph” (DAG) dengan sebuah tabel probabilitas untuk setiap node. Node yang terdapat pada Bayesian Network merupakan representasi variabel proporsional dalam suatu domain dan garis menunjukkan hubungan ketergantungan diantara variabel-variabel. Dalam hal kaitannya dengan basisdata, pada Bayesian Network, node merupakan representasi dari atribut-atribut tabel yang ada pada basis data V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI 1) Pengumpulan data Data yang diperoleh adalah data nilai test dan nilai tugas. Nilai test terdiri dari nilai UTS, nilai UTS, nilai Ujian Praktikum dan Nilai Quiz, sedangkan nilai tugas terdiri dari nilai tugas harian, tugas praktikum dan tugas proyek akhir matakuliah. Setiap data tersebut berupa data numerical oleh karena kebutuhan penelitian ini membutuhkan data bertipe diskrit maka perlu dilakukan normalisasi dengan merubahnya menjadi data linguistic yang sekaligus akan dilakukan pada tahapan selanjutnya 2) Penentuan Variabel Pada tahap ini diawali dengan melakukan normalisasi data dengan cara menetukan threshold pada masingmasing nilai sehingga menjadi jelas batasan yang akan dibuat sekaligus menjawab proses tahap kedua ini yaitu penentuan variable. Hasil normalisasi sebagai berikut : a. Variabel Nilai Test dengan parameter Rendah (050), sedang (51-75), Tinggi (76-100) b. Variabel Nilai Tugas dengan parameter Rajin (60-100) dan Tidak Rajin (0-59) c. Variabel Class yang menjad Goal terdiri dari parameter Easy , Intermediate dan High. Didapakan sebanyak 50 data set yang diambil dari proses penilaian. 3) Pembuatan Struktur Bayesian R S T E I H T R R Gambar 7. Struktur Bayesian ITS Layer pertama menunjukan variable Nilai Test dengan parameter Rendah (R) , Sedang (S), Tinggi (T), layer kedua menunjukan Variabel Class (goal) dengan parameter Easy(E), Intermediate (I), High (H), Variabel Nilai Tugas pada layer ketiga yang terdiri dari parameter Tidak Rajin (TR) dan rajin (R). Struktur Bayesian pada gambar 7 merupakan contoh dari sebagian data training yang telah didapat yaitu diambil sebanyak 8 kondisi yaitu : Tabel 1. Contoh 7 dari 50 dataset Nilai Test (NT) Tugas Kuliah (TK) Class (C) Rendah Tidak Rajin Easy Rendah Rajin Easy Rendah Tidak Rajin Easy Sedang Rajin High Sedang Tidak Rajin Intermediate Tinggi Rajin High Tinggi Tidak Rajin Intermediate Tinggi Tidak Rajin Intermediate 18 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Jika ingin membuat suatu uji coba dengan data yang lebih banyak dan bervariasi maka hasilnya akan berbeda Karena relasi antar node pada struktur Bayesian Network ditentukan berdasarkan kondisi atau aturan dalam dataset tersebut. Oleh karena itu struktur Bayesian sangat dipengarui oleh pola data yang diperoleh diawal. 4) Perhitungan Probabilitas Pada tahap ini akan dilakukan perhitungan bobot masing-masing probabilitas pada tiap node dan probabilitas semua variable. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Probabilitas dan Bobot Probabilitas P (R) P (S) P (T) P (TR) P (R) P (E|R) P (E| ~R) P (I|S) P (I|~S) P (I|T) P (I|~T) P (H|S) P (H~|S) P(H|T) P(H|~T) P(E|TR) P(E|~TR) P(E|R) P(E|~R) P(I|TR) P(I|~TR) Bobot 0.38 0.25 0.38 0.63 0.38 1.00 0.00 0.50 0.50 0.67 0.33 0.50 0.50 0.33 0.67 0.40 0.60 0.33 0.67 0.60 0.40 UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Politeknik Negeri Jember yang telah mendanai penelitian ini serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] Jauhari J, Ibrahim M, Intelligent Tutoring System sebagai Upaya Inovatif dalam Pembelajaran untuk Pembelajaran Berbantuan Komputer, Jurnal GENERIC Vol.5 No.2 2010. Samuelis L, The Component for Intelligent Tutoring Systems, Departement of Computer Science and Informatics, Technical University of Kosice Letne, Slovakia Sumpeno S, Safrodin M, Hariadi M, Purnomo M H, Sistem Tutor Cerdas Menggunakan Jaringan Bayesian dan Perangkat Semantik, Jurnal Ilmiah Ilmu Komputer, Vol 7 No 2:221-229 2011. Variq, Sumpeno S, Hariadi M, Purnomo M H, Sistem Tutor Cerdas Menggunakan Bayesian Network, Digital Library Institut Teknologi Sepuluh November 2010. Zhang N L, Introduction to Bayesian Network, Department of Computer Science and Engineering, Hongkong University of Science and Technology 2008. VI. KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut : a. Sebuah struktur Bayesian dihasilkan dari sebuah data training yang antar variabelnya punya keteraitan atau sebuah relasi b. Struktur Bayesian sangat dipengarui oleh banyaknya dan variasi relasi data training. c. Banyaknya node pada struktur Bayesian didapat dari variasi antar variabel terhadap class atau goal d. Nilai bobot probabilitas dipengarui oleh struktur yag terbentuk pada struktur Bayesian. Saran untuk penelitian selanjutnya variasi dan banyaknya data lebih dibuat kompleks agar dapat menunjukan performas Bayesian network dalam melakukan clssifikasi. 19 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Penggunaan Metode Fuzzy Dalam Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Daerah Rawan Banjir Di Kabupaten Jember Nugroho Setyo Wibowo#1, Dwi Putro Sarwo Setyohadi#2, Hariyono Rakhmad#3 Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember 1nugroho@polije.ac.id Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember 3dwi.putro.sarwo.setyohadi@gmail.com Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember 2hr_poltek@yahoo.com Abstract Sistem informasi geografis daerah rawan banjir kabupaten Jember merupakan sebuah sistem yang dapat memberikan informasi mengenai daerah rawan banjir pada masing-masing kecamatan yang berada di kabupaten Jember dimana daerah rawan tersebut diperoleh berdasarkan perhitungan fuzzy tsukamoto. Sistem ini mengimplimentasikan informasi ke dalam bentuk peta digital dengan tujuan lebih mempermudah penyampaian informasi. Data yang digunakan diperoleh dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) dan BPEKAP (Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten) Jember yang kemudian diolah menjadi sebuah sistem yang sesuai dan tepat guna. Informasi daerah rawan banjir, sarana kesahatan, serta data kejadian yang mendahului merupakan keluaran dari sistem ini. Keywords—Sistem Infromasi Geografis, Banjir, Fuzzy Tsukamoto I. PENDAHULUAN Memasuki musim penghujan di wilayah Indonesia khususnya mempunyai efek yang berpengaruh, baik bagi kelangsungan fauna dan flora khususnya, mengingat Indonesia memiliki iklim tropis. Namun demikian, perubahan iklim global dan banyak perusakan alam oleh manusia, musim penghujan bukan lagi menjadi hal baik, namun dapat bersifat merusak jika berakhir dengan banjir, longsor, dan lainnya. Untuk itu, mencegah adalah hal yang lebih baik daripada harus memperbaiki akibat kerusakan yang diakibatkan oleh bencana tersebut khususnya banjir. Bencana merupakan suatu kejadian yang mana dapat menimbulkan korban jiwa, kerugian material dan kerusakan lingkungan. Bencana dapat terjadi karena faktor alam maupun faktor manusia. Bencana alam yang sering melanda wilayah di Indonesia salah satunya adalah banjir. Banjir merupakan fenomena alam dimana terjadi kelebihan air yang tidak tertampung oleh jaringan drainase di suatu daerah sehingga menimbulkan genangan yang merugikan. Kerugian yang diakibatkan banjir seringkali sulit diatasi baik oleh masyarakat maupun instansi terkait. Banjir disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu kondisi daerah tangkapan hujan, durasi dan intesitas hujan, land cover, kondisi topografi, dan kapasitas jaringan drainase. Kabupaten Jember merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang rentan terhadap gerakan tanah dan mempunyai curah hujan tinggi. Pada tanggal 1 Januari 2006, hujan yang berintensitas tinggi (178 mm/ hari), menyebabkan gerakan tanah yang berkembang menjadi banjir bandang sehingga menimbulkan kerugian dan kerusakan di berbagai bidang (Sudradjat dkk, 2006). Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap karakteristik ancaman, sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya alam, dan kurangnya informasi/peringatan dini. Sehingga menyebabkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan dalam menghadapi bencana. Salah satu upaya mencegah dan mengurangi dampak dari bencana banjir yaitu dengan tersedianya informasi yang dikemas kedalam bentuk peta digital terhadap daerah 20 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 rawan banjir, yang dapat digunakan untuk perencanaan pengendalian atau penanggulangan dini. Sistem Infromasi Geografis (SIG) merupakan metode yang tepat dalam pemetaan daerah rawan banjir untuk cakupan daerah yang luas dengan waktu yang relative singkat. Oleh sebab itu, sistem ini merupakan sebuah Sistem Informasi Geografis Daerah Rawan Banjir Kabupaten Jember yang dapat memberikan data dan informasi daerah rawan banjir yang berada di kecamatan-kecamatan kabupaten Jember. Hal ini merupakan upaya menganalisa risiko dan pemetaan daerah banjir melalui diseminasi informasi banjir. Sistem Informasi Geografis Daerah Rawan Banjir merupakan sebuah aplikasi yang dikembangkan khusus untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang daerah rawan bencana banjir di Kabupaten Jember. Sehingga sistem ini akan mempercepat proses penyampain informasi kepada masyarakat dan instansi terkait serta dapat meningkatkan kesiap-siagaan dalam mengambil tindakan untuk mengurangi resiko. Pada Sistem Informasi ini pengolahan input berupa peta digitasi menggunakan Quantum GIS dan pengolahan informasi data inputannya menggunakan logika Fuzzy yang kemudian divisualisasi berbasis web dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP sedangkan untuk databasenya menggunakan MySQL. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Sistem Sistem dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan objek, ide, berikut saling keterhubunganya (inter-relasi) dibanjir mencapai tujuan atau sasaran bersama (Prahasta, 2005). Pada saat ini banyak pihak yang telah mendbanjiri masalah system untuk kebutuhannya hingga definisinyapun menjadi beragam. Definisi-definisi yang lain adalah : system adalah cara pandang terhadap dunia nyata yang teridiri dari elemenelemen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan dbanjir lingkungan yang kompleks (Simatu, 1995). Gordon (1989) mendefinisikan system sebagai salah satu kumpulan objek yang terangkai dbanjir interaksi dan saling ketergantungan yang teratur. Robert & Michael (1991) menyatakan system sebagai kumpulan elemen yang saling berinteraksi membentuk kesatuan, dbanjir interaksi yang kuat maupun lemah dengan pembatas yang jelas (Suryadi, 1998). 2.2 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografis, metode, dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang berreferensi geografis (ESRI,1996). Dengan memperhatikan pengertian Sistem Informasi, maka SIG merupakan suatu kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumber daya fisik dan logika yang berkenaan dengan objek-objek yang terdapat di permukaan bumi. Dan, SIG merupakan sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk pemasukkan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya. Berikut dapat dilihat subsistem banjir SIG pada gambar 1. Gambar 1. Ilustrasi Uraian Sub-sistem SIG 2.3 Kerawanan Kerawanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek bencana yang terdiri dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah geografis mengbanjiri kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana atau kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat bencana(Sutikno, 1994; UNDP/UNDRO, 1992). Pada elemen kerentanan terdapat elemen intangibles, pada umumnya tidak diperhitungkan karena sulit perhitungannya, dan kebanyakan elementangible. Tingkat kerentanan bencana menurut dapat dinilai secara relatif berdasarkan macam dan besaran elemen bencana yang besarnya dinyatakan dengan skala numerik. 2.4 Bencana Bencana (hazard) adalah suatu peristiwa atau di lingkungan buatan manusia yang berpotensi merugikan kehidupan manusia, harta, benda atau aktivitas bila meningkat menjadi bencana. Banyak definisi tentang bencana (Lundgreen, 1986; Carter, 1992; UNDP/UNDRO, 1992; Sutikno, 1994; Bakornas PBP, 1998). Lundgreen (1986) mendefinisikan bencana sebagai peristiwa/kejadian potensial yang merupakan ancaman terhadap kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat atau fungsi ekonomi masyarakat atau kesatuan organisasi pemerintahan yang lebih luas. Bencana banjir oleh Carrara (1984) dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh proses banjir atau proses banjir yang dipicu oleh aktivitas manusia, dan merupakan salah satu unsur dbanjir penilaian risiko bencana. Sementara 21 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 menurut UNDP/UNDRO (1992) yang dimaksud dengan bencana adalah semua fenomena atau situasi yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kehancuran pada manusia, jasa, dan lingkungan. Menanggapi banyaknya definisi tentang bencana Carter (1992) menyimpulkan bahwa sebagian besar definisi bencana (hazard) mencerminkan karakteristik: i) gangguan terhadap kehidupan normal, ii) efek terhadap manusia, seperti menjadi korban, luka/cacat, gangguan kesehatan, iii) efek terhadap struktur sosial, dan iv) kebutuhan masyarakat. 2.5 Fuzzy Logic A. Pendahuluan Fuzzy Logic diperkenalkan oleh Prof. Lotfi Zadeh pada tahun 1965. Merupakan metode yang mempunyai kemampuan untuk memproses variabel yang bersifat kabur atau yang tidak dapat dideskripsikan secara eksak/pasti seperti misalnya tinggi, lambat, bising, dll. Dalam fuzzy logic, variabel yang bersifat kabur tersebut direpresentasikan sebagai sebuah himpunan yang anggotanya adalah suatu nilai crisp dan derajat keanggotaannya (membership function) dalam himpunan tersebut. Logika fuzzy berbeda dengan logika digital biasa, dimana logika digital biasa hanya mengenal dua keadaan yaitu: Ya dan Tidak atau ON dan OFF atau High dan Low atau "1" dan "0". Sedangkan Logika Fuzzy meniru cara berpikir manusia dengan menggunakan konsep sifat kesamaran suatu nilai. Dengan teori himpunan fuzzy, suatu objek dapat menjadi anggota dari banyak himpunan dengan derajat keanggotaan yang berbeda dalam masingmasing himpunan. Hal yang perlu diketahui dalam memahami sistem fuzzy, antara lain : 1) Variabel fuzzy 2) Himpunan fuzzy. Himpunan fuzzy mempunyai 2 atribut, yaitu antara lain : a. Linguistik b. Numeris 3) Semesta pembicaraan 4) Domain B. Fungsi Keanggotaan Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya (sering juga disebut dengan derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah dengan melalui pendekatan fungsi. Ada beberapa fungsi yang dapat digunakan 1) Representasi Linear Naik. Kenaikan himpunan dimulai pada nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan 0 bergerak ke kanan menuju ke nilai domain keanggotaan lebih tinggi. yang memiliki derajat Gambar 2.Representasi Linear Naik (Kusumadewi dan Purnomo, 2004) Fungsi keanggotaan : ; x− ; μ[x] = { − ; a x x x a b b 2) Representasi Linear Turun. Merupakan kebalikan dari representasi linear naik. Garis lurus dimulai dari nilai domain dengan derajat keanggotaan tertinggi pada sisi kiri, kemudian bergerak menurun ke nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan lebih rendah. Gambar 3. Representasi Linear Turun (Kusumadewi dan Purnomo, 2004) Fungsi keanggotaan : x−a ; μ[x] = {b − a ; a x x b b 3) Representasi Kurva Segitiga. Kurva segitiga pada dasarnya gabungan antara 2 garis linear. merupakan Gambar 4 Representasi Kurva Segitiga (Kusumadewi dan Purnomo, 2004) 22 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Fungsi keanggotaan : ; x a atau x c μ[x] = {x − a⁄b − a ; a x b b − x⁄c − b ; b x c 4) Representasi Kurva Trapesium. Kurva trapesium pada dasarnya seperti bentuk segitiga, hanya saja ada beberapa titik yang memiliki nilai keanggotaan 1. a. b. c. d. e. Gambar 5. Representasi Kurva Trapesium (Kusumadewi dan Purnomo, 2004) Fungsi keanggotaan : ; x a atau x d x − a⁄b − a ; a x b μ[x] = { ; b x c d − x ⁄d − c ; x d C. Metode Tsukamoto Pada Metode Tsukamoto, setiap konsekuen pada aturan yang berbentuk IF-Then harus direpresentasikan dengan suatu himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan yang monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari tiap-tiap aturan diberikan secara tegas (crisp) berdasarkan α-predikat (fire strength). Hasil akhirnya diperoleh dengan menggunakan rata-rata terbobot. Gambar 6. Inferensi dengan menggunakan Metode Tsukamoto III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan yang dicapai dalam kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: Membangun sistem informasi geografis untuk melakukan pemetaan daerah rawan khususnya untuk wilayah Kabupaten Jember dengan menggunakan metode Fuzzy Logic dengan parameter-parameter yang didapat melalui kegiatan penelitian. Mengumpulkan data tentang parameter daerah rawan banjir ke dalam desain database. Mengolah data-data tersebut menjadi sebuah rute dan memvalidasi data ke instansi terkait. Mengimplementasikan metode Fuzzy Logic pada kasus daerah rawan banjir berdasarkan jumlah curah hujan dan ketinggian. Menghasilkan website secara online yang berisi tentang sistem informasi geografis daerah rawan banjir di Kabupaten Jember yang dapat diakses secara bebas dan oleh siapapun melalui domain yang telah dipersiapkan. IV. METODE PENELITIAN Untuk mencapai penyelesaian penelitian dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: ini, Gambar 7. Tahapan Kegiatan Penelitian a. Studi Literatur SIG Mempelajari tentang aplikasi Sistem Informasi Geografis, pembuatan rule-rule yang diperlukan. Serta mempelajari metode Fuzzy Logic. b. Penyimpanan data ke Dalam DataBase Pengumpulan data tentang gejala dan parameter daerah rawan banjir juga melakukan survei dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Kabupaten Jember disimpan dalam sebuah desain database. Mendesain kebutuhan database yang akan digunakan untuk SIG, khususnya untuk sistem kepastian dengan studi kasus identifikasi rawan banjir berdasarkan gejala. c. Implementasi metode Fuzzy Logic Implementasi dari sistem informasi geografis ini berupa aplikasi berbasis web dengan menggunakan Mapguide Open Source dan MySQL sebagai DBMSnya. Rule yang sudah didesain diterjemahkan ke dalam code program berbasis Web dengan melengkapi sebuah metode Fuzzy Logic. Mengembangkan dan mengimplementasikan SIG dengan metode fuzzy logic 23 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 untuk memperoleh teknik-teknik digitalisasi pemetaan daerah rawan banjir dalam sistem informasi geografis secara online serta kesesuaian program dengan keadaan nyata. Digitasi peta daerah rawan bencana banjir Kabupaten Jember mengunakan Quantun GIS dan database yang digunakan yaitu MySQL dengan dibantu PhpMyAdmin, dalam implementasi SIG untuk pemetaan daerah rawan banjir. d. Uji Coba dan Validasi Uji keakurasian SIG untuk pemetaan daerah rawan banjir di Kabupaten Jember menggunakan database online. Unit testing yang digunakan yaitu Functional Testing yaitu System Operation Product (SOP) berupa kesesuaian program dengan keadaan nyata baik berupa penyesuaian peta, dan penyesuaian guna dari setiap modul. Validasi dilakukan langsung ke pengguna yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Kabupaten Jember dan pada Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten (BPEKAB) Kabupaten Jember. V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Kegiatan penelitian yang dilakukan adalah pembuatan perangkat lunak berbasis website. Penelitian dilakukan percobaan untuk mendapatkan data-data yang telah didapatkan dari kegiatan, serta mempelajari metode fuzzy logic. Pengujian dilakukan dengan melakukan perhitungan-perhitungan metode tersebut. Penetapan parameter rawan banjir sebagai database dan data peta digitalisasi pada SIG untuk pemetaan daerah rawan banjir di Kabupaten Jember. Serta melakukan uji keakurasian metode Fuzzy Logic pada parameter daerah rawan banjir. Digitasi peta daerah rawan bencana banjir Kabupaten Jember mengunakan Quantun GIS dan database yang digunakan yaitu MySQL dengan dibantu PhpMyAdmin, dalam implementasi SIG untuk pemetaan daerah rawan banjir. Uji keakurasian SIG untuk pemetaan daerah rawan banjir di Kabupaten Jember menggunakan database online. Unit testing yang digunakan yaitu Functional Testing yaitu System Operation Product (SOP) berupa kesesuaian program dengan keadaan nyata baik berupa penyesuaian peta, dan penyesuaian guna dari setiap modul. Berikut merupakan hasil dari kegiatan yang dilakukan : 1. Database dan Tabel Tabel 1. Kecamatan No Field Tipe Ukuran Keterangan 1 feature id int 11 Primary Key 2 id_kec Varchar 255 3 nama_kec Varchar 255 4 X Varchar 255 5 Y Varchar 255 6 Luasan Polygon Tabel 2. Kelurahan No Field 1 feature id 2 id_desa 3 nama_desa 4 nama_kec 5 Luasan Tipe int Varchar Varchar Varchar Polygon Ukuran 11 255 255 255 Keterangan Primary Key Tabel 3. Sungai No Field 1 feature id 2 kode_unsur 3 toponim 4 penggunaan 5 kecamatan 6 Luasan Tipe int int Varchar Varchar Varchar Polygon Ukuran 11 11 255 255 255 Keterangan Primary Key Tabel 4. Daerah_rawan No Field Tipe 1 feature id int 3 nama_kec Varchar 4 X Varchar 5 Y Varchar 6 daerah Varchar 7 luasan Polygon Ukuran 11 255 255 255 255 Keterangan Primary Key Tabel 5. Jalan No Field 1 feature id 2 id_jalan 3 nama_jalan 4 tipe_jalan 5 leght Tipe int Varchar Varchar Varchar linestring Ukuran 11 255 255 255 Keterangan Primary Key Tabel 6. Jalan_kereta No Field 1 id_ka 2 feature id 3 tipe_jalan 4 leght Tipe Varchar int Varchar linestring Ukuran 255 11 255 Keterangan Primary Key Ukuran 11 255 255 Keterangan Primary Key Tabel 7. Kantor_kecamatan No Field Tipe 1 feature id int 2 id_kantor_ Varchar 3 nama_kanto Varchar 4 point Point 24 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Tabel 8. Puskesmas No Field 1 kode_puskesmas 2 nama_puskesmas 3 alamat 4 no_telp 5 no_fax 6 kecamatan 7 Kelurahan petanya menggunakan Quantum GIS dan Mapguide Maestro sebagai web server-nya. Tipe Varchar Varchar Varchar Varchar Varchar Varchar Varchar Ukuran 255 255 255 255 255 255 255 Tabel 9. Rumah sakit No Field 1 kode_rs 2 nama 3 alamat 4 no_telp 5 no_fax 6 kecamatan 7 kelurahan Tipe Varchar Varchar Varchar Varchar Varchar Varchar Varchar Ukuran 255 255 255 255 255 255 255 Tabel 10. Data SIG No Field 1 kode_data 2 nama_kec 3 luas 4 gambar 5 profil 6 jml 7 kj 8 pk 9 Rs 10 kategori Tipe Varchar Varchar Varchar Varchar Varchar Int Varchar Varchar Varchar Varchar Ukuran 255 255 255 255 255 11 255 255 255 255 Tabel 11. Nilai_fuzzy No Field 1 Kode_fuzzy 2 Nilai 3 Ch 4 Kt 5 Daerah 6 Nama_kec Tabel 12. Login No Field 1 Username 2 password Tipe Varchar Varchar Varchar Varchar Varchar Varchar Tipe Varchar Varchar Ukuran 255 255 255 255 255 255 Ukuran 50 50 Keterangan Primary Key a. Home Keterangan Primary Key Gambar 8. Halaman Utama b. Peta Lokasi Keterangan Primary Key Gambar 9. Detail Peta Lokasi Keterangan Primary Key Gambar 10. Detail Peta Lokasi Keterangan Primary Key Gambar 11. Query Feature 2. Membuat Project Langkah awal untuk membuat suatu program menggunakan Dreamweaver adalah membuat project. Project tersebut digunakan untuk mengorganisasi dan mengelola kumpulan file php. Sedangkan untuk membuat Gambar 11 diatas menerangkan bahwa ada tingkatan rawan banjir yang dikategorikan menjadi 3 kategori, rendah, sedang dan tinggi. 25 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 b. Gambar 12. Perhitungan Fuzzy Gambar 12 adalah Fuzzy form dengan tampilan tabel yang memberikan informasi berupa kode, daerah, curah hujan (CH), ketinggian (KT), nilai fuzzy, dan potensi. Pada form ini juga terdapat tombol edit yang digunakan untuk mengedit data-data di tabel fuzzy. Pada form edit fuzzy ini merupakan form inputan yang digunakan untuk mengupdate data fuzzy yang ada di setiap kecamatan yang datanya saling berhubungan dengan data kecamatan dan data sig. Edit fuzzy digunakan juga untuk mencari perekomendasian daerah rawan banjir berdasarkan inputan Curah hujan (mm/blm) dan ketinggian (mdlp) yang kemudian diolah dengan perhitungan fuzzy oleh sistem sehingga didapatkan fuzzy output. Hasil rekomendasi yang di dapatkan dapat berubah-ubah sesuai inputan yang dimasukkan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai kegiatan penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Politeknik Negeri Jember, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Jember serta Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten (BPEKAB) Kabupaten Jember yang telah banyak memberikan bantuan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] Gambar 13. Fuzzy Input Parameter Dari desain Sistem Informasi Geografis Daerah Rawan Banjir Kabupaten Jember telah dibuat aplikasi dalam bentuk web sehinga dapat memberikan data dan informasi bagi masyarakat tetang daerah rawan banjir pada masing-masing kecamatan yang berada di Kabupaten Jember, sehingga memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan. Anisa, Nova Chici. 2013. Sistem Pendukung Keputusan Untuk Kelayakan Kredit Pada Koperasi Citra Abadi Menggunakan Metode Decision Tree dan Fuzzy Logic. Jember. Firmansyah M. Nizar, Eka Kadarsetia. 2008. Penyelidikan Potensi Banjir Bandang Di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Penelitian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi – Badan Geologi.Amarta (Agribusiness Market and Support Activity) 2008, Penyakit Tanaman Kopi, available, www.amarta.net Hidayat, Aan. 2011. Sistem Penunjang Keputusan Untuk Pemilihan Karyawan Teladan Dengan Logika Fuzzy Tsukamoto. Banjarmasin. Kusumadewi, Sri. Hari Purnomo. 2010. Aplikasi Logika Fuzzy Untuk Pendukung Keputusan.Yogyakarta : Graha Ilmu. Maulida, Ana. 2011. Logika Fuzzy Metode Tsukamoto dalam Menentukan Kerentanan Potensi Banjir. Malang. Sugiarti, Yuni. 2013. Analisis Dan Perancangan UML(Unified Modeling Language). Graha Ilmu, Yogyakarta Untuk mendapatkan hasil rekomendasi potensi, langkah awalnya yaitu memasukkan nilai inputan curah hujan dan ketinggian sesuai data yang di dapat seperti pada gambar 13. VI. KESIMPULAN DAN SARAN Dari pelaksanaan penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Desain Sistem Informasi Geografis Daerah Rawan Banjir Kabupaten Jember menyajikan desain informasi ke dalam bentuk geografis sehingga data yang ditampilkan dapat menunjukkan potensi rawan banjir dan informasi lengkapnya pada masing-masing kecamatan. 26 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Sistem Multi-Agent Cerdas Penguji Perangkat Lunak Secara Otomatis Elly Antika#1, Prawidya Destarianto#2, Hendra Yufit Riskiawan#3 Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember 1ellyantika.niam@gmail.com Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember 3prawidyadestarianto@yahoo.com Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember 2hendra.yufit@gmail.com Abstract Sistem pengujian perangkat lunak otomatis menggunakan metode hybrid testing yang mengkombinasikan metode unit testing, functional testing, dan white box testing. Sistem pengujian akan dijadikan basis pengetahuan dan kecerdasan dari sistem multiagent. Performa sistem yang dihasilkan akan diuji dan dianalisis untuk dijadikan acuan merancang sistem auto-debugging untuk mempermudah dan mempercepat tahapan pengujian perangkat lunak. Sistem multi-agent cerdas yang dikembangkan akan terdiri dari 4 macam agen, yaitu main agent, agen penguji unit testing, agen penguji functional testing, agen penguji white box testing. Keempat agen akan memiliki basis pengetahuan yang berbeda-beda sesuai dengan tugas masing-masing. Namun demikian, semua agen akan memiliki kesamaan dalam hal kemampuan berkomunikasi, autonomy, dan berkolaborasi guna mencapai tujuan sistem. Luaran yang dihasilkan meliputi hasil evaluasi dan pengujian terhadap performa sistem berbasis multi-agent yang telah dikembangkan; hasil analisis terhadap pengujian dari performa sistem berbasis multi-agent; serta rancangan sistem auto-debuging untuk melakukan perbaikan secara otomatis terhadap debug yang ditemukan sistem penguji. Dengan demikian kontribusi dari penelitian ini terhadap bidang rekayasa perangkat lunak khususnya software testing dapat semakin optimal Keywords— Pengujian otomatis, Performa sistem, Sistem Multi-Agent. I. PENDAHULUAN Pengujian perangkat lunak memegang peranan penting dalam menjaga kualitas perangkat lunak. Menurut Galin (2004) pengujian perangkat lunak atau software testing diartikan sebagai proses formal dimana suatu perangkat lunak diuji dengan cara menjalankan perangkat lunak tersebut dalam komputer dan menjalankan prosedur serta kasus tertentu. Galin (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung yang erat antara pengujian perangkat lunak dengan kualitas perangkat lunak yang dihasilkan, sehingga pengujian perangkat lunak menjadi tahapan yang sangat penting dalam siklus pengembangan perangkat lunak. Perry (2006) menyatakan bahwa sekitar 24% dari keseluruhan anggaran pengembangan perangkat lunak pada sebagian besar proyek pengembangan perangkat lunak dialokasikan untuk pengujian perangkat lunak. Dalam pengembangan perangkat lunak, tekanan untuk menyelesaikan perangkat lunak dengan cepat sering ditemui. Selain itu, perangkat lunak yang dikembangkan di era modern memiliki kompleksitas yang tinggi, sehingga meningkatkan tingkat kesulitan dalam melakukan pengujian. Hal-hal tersebut seringkali menyebabkan manajer proyek memutuskan untuk mengurangi aktivitas ataupun sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pengujian perangkat lunak (Konka, 2011). Pengujian perangkat lunak yang dilaksanakan dengan tidak sempurna tentu akan membawa pengaruh yang kurang baik terhadap kualitas perangkat lunak yang dihasilkan. Pengujian perangkat lunak yang tidak efektif dan tidak lengkap dapat mengakibatkan berbagai masalah ketika perangkat lunak tersebut digunakan oleh end-user (Catelani dkk., 2010). Berawal dari kondisi tersebut, penelitian mengenai pengujian perangkat lunak saat ini mengarah pada bagaimana cara melakukan pengujian perangkat lunak yang mampu menjaga kualitas perangkat lunak dengan baik dengan sumber daya yang sedikit (Yuan, 2011). Arti penting pengujian perangkat lunak yang mampu dilaksanakan dengan sedikit sumber daya namun mampu menghasilkan perangkat lunak berkualitas baik, memunculkan ide otomatisasi pengujian perangkat lunak. 27 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Dustin dkk. (2008) mengartikan otomatisasi pengujian perangkat lunak sebagai proses pengujian perangkat lunak yang memanfaatkan perangkat lunak lain yang dirancang khusus untuk menjalankan tes pada suatu perangkat lunak dan membandingkan hasilnya dengan keluaran yang diharapkan. Penelitian Catelani (2010) menunjukkan bahwa pengujian perangkat lunak secara otomatis dapat meningkatkan efisiensi proses pengujian untuk mengidentifikasi bagian dari perangkat lunak yang rawan mengalami kegagalan. Pengujian perangkat lunak secara otomatis bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai metode pengujian perangkat lunak yang ada. Karakteristik ini memperluas area yang mampu diuji secara otomatis sehingga mampu mengurangi beban dari penguji perangkat lunak. Sistem penguji perangkat lunak otomatis harus mampu melakukan berbagai pengujian dalam skala besar dan mampu diulang berkali-kali untuk memastikan kualitas perangkat lunak yang diuji. Sistem penguji perangkat lunak tentunya harus mampu menguji berbagai aspek dalam perangkat lunak sehingga penggunaan lebih dari satu metode pengujian sangat diharapkan (Galin, 2004) Sistem berbasis agen merupakan teknologi yang sesuai untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dan dalam lingkungan yang terdistribusi (Dhavachelan, 2005). Wooldridge (2002) menyatakan bahwa salah satu karakteristik utama dari sistem berbasis agen adalah sifat otonom. Agen mampu memberikan reaksi berdasarkan berbagai masukan yang diberikan lingkungan tanpa ada intervensi dari manusia. Penggunaan teknologi agen dalam hal pengembangan perangkat lunak belum banyak dilakukan, hal ini disebabkan karena keunggulan teknologi agen belum dikenal secara luas (Dhavachelan, 2005). Sifat dari sistem berbasis agen yang otonom bisa dimanfaatkan dalam hal pengujian perangkat lunak untuk mempermudah proses pengujian yang perlu dilakukan secara berulang dan otomatis dengan berbagai skenario pengujian yang berbeda. Tahap awal penelitian dilakukan perancangan sistem pengujian perangkat lunak otomatis menggunakan metode hybrid testing dan mengimplementasikannya menjadi sistem pengujian perangkat lunak otomatis sebagai kecerdasan dari sistem multi-agent yang dikembangkan. Selanjutnya dilakukan evaluasi dan pengujian terhadap performa sistem berbasis multi-agent yang telah dikembangkan, serta menganalisis hasil pengujian untuk mengukur performa sistem berbasis multi-agent. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Pendahuluan dan Peta Jalan Penelitian Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melakukan pengujian perangkat lunak secara otomatis. Pada tahun 2009, Salas dkk. melakukan penelitian mengenai pengujian perangkat lunak secara otomatis pada sistem yang asynchronous. Dalam penelitian ini Salas membagi kejadian-kejadian yang terjadi dalam sistem ke dalam observable dan controlable event. Controlable event dijadikan dasar untuk melakukan test case generation. Catelani dkk. (2010) melakukan penelitian untuk mereduksi waktu yang diperlukan dalam melakukan pengujian perangkat lunak dengan menggunakan test case yang dianggap merepresentasikan keadaan aktual di dunia nyata. Penelitian perangkat lunak bisa dilakukan pada berbagai jenis perangkat lunak, salah satunya yaitu perangkat lunak berbasis web. Alshahman dan Harman (2011) melakukan penelitian mengenai pengujian perangkat lunak berbasis web secara otomatis dengan menggunakan metode yang disebut search based software engineering. Metode search based software engineering merupakan pendekatan yang memformulasikan permasalahan software engineering menjadi permasalahan optimasi. Dalam penelitian ini nilai akurasi yang dicapai sebesar rata-rata 60 fault dan 424 warning dari 6 aplikasi yang diuji. Penelitian mengenai pengujian perangkat lunak berbasis web lain dilakukan oleh Sampath dkk. (2004). Dalam penelitian tersebut, diajukan sebuah framework untuk melakukan pengujian perangkat lunak berbasis web. Frame work yang diajukan Sampath terdiri dari beberapa komponen yaitu test case generator, test oracle, replay tool dan regression tester. Dalam penelitian ini, pengujian yang dilakukan adalah pengujian fungsional yang didasarkan pada permintaan pengguna. Beberapa penelitian lain juga sudah meneliti cara otomatisasi pengujian perangkat lunak pada perangkat lunak berbasis web. Romano dkk. (2009) melakukan penelitian mengenai otomatisasi pengujian non-functional requirement pada perangkat lunak berbasis web. Nonfunctional requirement yang diuji terdiri dari lima kategori, yaitu tidak memiliki tautan yang tidak tersambung, semua halaman bisa diakses dari halaman muka, mampu menangani akses paralel, mampu menerima request dari user dan tidak terpengaruh oleh spesifikasi server yang digunakan. Penelitian lain yang membahas mengenai pengujian perangkat lunak berbasis web adalah penelitian yang dilakukan oleh Yuan pada tahun 2011. Yuan (2011) melakukan pengujian dengan metode code review dan interface testing. Code review merupakan metode turunan dari white-box testing, dimana code yang akan diuji dimasukkan ke dalam sebuah komponen yang disebut code base untuk diuji. Interface testing melakukan pengujian terhadap antar muka perangkat lunak. Penilaian terhadap perangkat lunak didasarkan pada kriteria-kriteria yang diperoleh dari informasi preferensi pengguna perangkat lunak. Huo (2003) mengajukan sebuah kerangka kerja untuk mengimplementasikan pendekatan agen dalam otomatisasi pengujian perangkat lunak. Dalam penelitian ini diajukan sebuah sistem yang terdiri dari broker agent 28 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 yang mengatur agen-agen lain yang berada dalam sistem dan agen yang melakukan pengujian. Huo (2003) juga mengajukan cara untuk mengatur komunikasi antar agen dalam sistem. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Zhu (2004) namun penelitian ini memfokuskan objek pengujian pada perangkat lunak berbasis web. Dalam penelitian Huo (2003) dan Zhu (2004), pengujian diawali dengan pengambilan halaman web atau bagian perangkat lunak yang akan diuji. Apabila yang diambil berupa halaman web, maka agen akan melakukan analisis untuk mengetahui struktur dari halaman web yang akan diuji. Berdasarkan hasil analisis terhadap halaman web tersebut, akan dilakukan test case generation yang akan digunakan dalam proses test execution. 2.2. Sistem Multi-Agent Sistem multi agen telah menjadi fokus dari kecerdasan buatan dalam beberapa tahun terakhir (Dan dan Song, 2010). Menurut Weiss (1999), hal ini terjadi karena platforms komputasi modern dan lingkunganlingkungan informasi bersifat terdistribusi, besar, terbuka, dan heterogen. Komputer bukan lagi sistem yang berdiri sendiri, melainkan telah terhubung secara erat satu sama lain dan dengan pengguna. Selain itu, sistem multi agen memiliki kapasitas untuk memainkan peran penting dalam mengembangkan dan menganalisis model-model dan teori-teori dari interaktivitas dalam masyarakat (manusia). Sistem multi agen adalah sistem yang terdiri dari sejumlah agen, yang berinteraksi satu sama lain, umumnya dengan bertukar pesan-pesan melalui infrastruktur jaringan komputer (Woolridge, 2002). Russell dan Norvig (2010) mendefinisikan agen sebagai segala sesuatu yang mengumpulkan informasi melalui sensor-sensor dan bertindak atas lingkungan melalui aktuator. Agen bisa diklasifikasikan sebagai agen cerdas jika memiliki atribut dan karakteristik tertentu. Atribut-atribut dan karakteristik-karakteristik tersebut perlu dimiliki agen untuk dikatakan cerdas, meskipun tidak harus terangkum dalam satu agen. Atribut dan karakteristik agen menurut Woolridge (2002) dan Wahono (2001) terdiri dari: Autonomy; Intelligence, reasoning, dan learning; Mobility dan stationary; Delegation; Reactivity;Proactivity dan goal-oriented; serta Communication dan coordination capability. Agen terletak dan bertindak dalam suatu lingkungan. Oleh karena itu, Russell dan Norvig (2010) membagi sifatsifat lingkungan menjadi: Accessible versus inaccessible; Deterministic versus non-deterministic; Statis versus dinamis; serta Diskrit versus kontinu. 2.3. JADE (Java Agent Development) Singh dkk. (2011) menyatakan bahwa aplikasi agent memerlukan kerangka kerja, metodologi dan alat-alat yang mendukung/membangun sistem agent. Secara historis kendala utama dalam pengembangan sistem agent dan multi agent yaitu infrastruktur yang mengacu pada lingkungan yang mendukung agent dapat berkomunikasi dan mencapai tujuan yang diinginkan. Selama ini tidak ada konsensus tentang alat yang terbaik untuk mengembangkan sistem agent. Jade (Java Agent Development Framework) adalah kerangka perangkat lunak sepenuhnya diimplementasikan dalam bahasa Java dikembangkan oleh Tilab untuk pengembangan multiagent aplikasi berbasis pada arsitektur komunikasi peerto-peer. Bellifemine (2007), menyebutkan dalam jade terdapat sebuah instance dari run-time environment disebut container. Setiap container di jade terdiri dari Directory Facilitator (DF) agent, Remote Monitoring Interface (RMI) agent dan agent Monitoring System (AMS) agent. Arsitektur JADE dapat dilihat dalam gambar 1. Gambar 1. Arsitektur JADE III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah: a. Merancang sistem pengujian perangkat lunak otomatis menggunakan metode hybrid testing. b. Mengimplementasikan sistem pengujian perangkat lunak otomatis sebagai kecerdasan dari sistem multi-agent yang dikembangkan, menggunakan bahasa pemrograman JADE (Java Agent Development). c. Melakukan evaluasi dan pengujian terhadap performa sistem berbasis multi-agent yang telah dikembangkan pada tahun pertama. d. Menganalisis hasil pengujian terhadap performa sistem berbasis multi-agent. IV. METODE PENELITIAN Mengingat pada tahap penelitian sebelumnya, perancangan sistem multi-agent telah menghasilkan rancangan sistem pengujian yang diharapkan, maka pada tahun kedua penelitian dilanjutkan pada kegiatan implementasi dan evaluasi sistem dengan uraian sebagai berikut : 1. Implementasi Sistem Pada tahap ini hasil perancangan yang telah dibuat dikembangkan menjadi perangkat lunak dengan menggunakan bahasa pemrograman dan tools yang 29 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 2. 3. 4. diperlukan. Bahasa pemrograman yang digunakan adalah JADE (Java Agent Development). Evaluasi dan Pengujian Kinerja Sistem Pengujian dilakukan untuk mengukur kinerja sebuah sistem. Pengujian terhadap akurasi sistem dan kinerja agen yang dikembangkan, dilakukan dengan membandingkan hasil uji yang dilakukan oleh sistem dengan hasil uji yang dilakukan secara manual oleh manusia, dalam hal ini seorang software tester profesional dari PT. Bali Orange Communications. Analisis Kinerja Sistem Tahapan ini dilakukan selain bertujuan untuk mengetahui kinerja/performa sistem apakah dapat melakukan pengujian sesuai dengan yang diharapkan, tetapi juga untuk mengetahui kesalahan (fault) dan bug apa saja yang sering ditemukan. Perancangan Sistem Auto-Debuging Setelah melakukan analisis terhadap performa sistem multi-agent yang dikembangkan, sebagai akhir dari tahapan penelitian ini adalah perancangan sistem yang dapat melakukan debuging otomatis terhadap perangkat lunak yang telah diuji. Tahapan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang peta jalan penelitian selanjutnya guna menyempurnakan sistem multi-agent yang telah dikembangkan. V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI 5.1 Pengumpulan Web Application Under Test (AUT) Sampel aplikasi yang akan dijadikan objek penelitian ini dikumpulkan dari salah satu perusahaan pengembang perangkat lunak PT. Bali Orange Communications yang banyak mengembangkan perangkat lunak aplikasi berbasis web. Selanjutnya aplikasi-aplikasi tersebut akan diuji dengan sistem berbasis multi agent yang akan dikembangkan. Disamping itu, aplikasi juga dikumpulkan dari beberapa web yang memiliki lalu lintas akses (traffic) tinggi dan web dilingkungan Politeknik Negeri Jember. Adapun website yang menjadi objek pengujian/AUT adalah sebagai berikut: 1. stream.jti.polije.ac.id 2. www.dikti.go.id 3. www.polije.ac.id 4. developers.google.com 5. alumni.mkom.ugm.ac.id 6. publikasi.polije.ac.id 7. www.priceza.co.id 8. www.zalora.co.id 9. www.hackerrank.com 10. www.lazada.co.id Untuk menguji akurasi sistem dan membuktikan apakah agen yang dikembangkan telah berfungsi sebagai agen penguji perangkat lunak yang sesuai, maka tahap selanjutnya yang dilakukan adalah membandingkan hasil uji yang dilakukan oleh sistem multi agen dengan hasil uji yang dilakukan secara manual oleh manusia, dalam hal ini seorang software tester. Pada penelitian ini, pengujian manual yang dijadikan perbandingan akan dilakukan oleh seorang software tester profesional dari PT. Bali Orange Communications. 5.2 Implementasi Sistem Multi Agent Sesuai dengan hasil perancangan yang telah dilakukan, sistem pengujian perangkat lunak diimplementasikan sekaligus dengan beberapa agent yang memiliki perilaku (behaviour) masing-masing sesuai dengan fungsinya. 5.2.1. Agen Penguji Unit Testing dan Whitebox Testing Pada implementasi pengujian unit dan whitebox, gambaran struktur keseluruhan agen dalam sistem ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2. Gambaran agen keseluruhan Sesuai perancangan, main agent berkomunikasi dengan agen penguji unit dan whitebox untuk memberikan tugas pengujian terhadap AUT yang diminta oleh pengguna. Gambaran komunikasi dari main agent ke agen penguji unit disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Ilustrasi komunikasi dari Main Agent ke Agen Penguji Unit (Agent Login) Gambar 4 Balasan pesan dari Agent Penguji Unit 30 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 yang dituju. Hasil pengujian yang dilakukan agen fungsional ditunjukkan pada Gambar 8. Gambar 5 Hasil dari Pengujian Unit Setelah mendapatkan tugas dari main agent, agen penguji unit dan agen penguji whitebox membalas pesan seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4. Kemudian menyampaikan hasil pengujian seperti pada Gambar 5. 5.2.2. Agen Penguji Functional Testing Sebagaimana pada agen pengujian unit, skema yang sama juga diimplementasikan pada pengujian fungsional. Gambaran struktur keseluruhan agen ditunjukkan pada Gambar 6. Kemudian skema komunikasi dan penyampaian tugas dari main agent ke agen penguji fungsional digambarkan pada Gambar 7. Gambar 6 Gambaran keseluruhan agent Gambar 7 Ilustrasi Main Agent mengirimkan pesan instruksi ke Agent Penguji Fungsional Setelah mendapatkan tugas dari main agent, agen penguji fungsional melakukan pengujian pada AUT untuk menguji keaktifan tautan dan kesesuaiannya pada halaman Gambar 8 Hasil Pengujian Fungsional VI. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Sistem pengujian perangkat lunak dengan metode pengujian hibrida berbasis multi agen dirancang untuk dapat menjalankan proses pengujian dengan metode unit testing, functional testing, dan white box testing secara simultan. b. Karakteristik agen yang dirancang memungkinkan agen melakukan tugasnya secara otonom dan berorientasi pada hasil yang jelas yakni melaksanakan pengujian terhadap AUT serta menghasilkan laporan hasil pengujian. c. Sistem pengujian berbasis multi agen ini hanya bekerja pada lingkungan yang bersifat inaccessible, deterministic, statis dan diskrit mengingat environment dari data yang diuji yaitu source code aplikasi web. d. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap hasil pengujian yang dilakukan, menunjukkan bahwa hasil pengujian sistem menunjukkan hasil yang sesuai dengan rancangan sistem dalam arti agent melakukan tugas pengujian yang sesuai. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberi hibah untuk terlaksananya penelitian pada tahun 2016 ini. 31 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 DAFTAR PUSTAKA Alshahwan, N. and Harman, M., 2011, Automated web application testing using search based software engineering. 2011 26th IEEE/ACM International Conference on Automated Software Engineering (ASE 2011), 3–12. Catelani, M., Ciani, L., Scarano, V. L. dan Bacioccola, A., 2010, Software Automated Testing: A Solution to Maximize The Test Plan Coverage and to Increase Software Reliability and Quality in Use, Computer Standards & Interfaces, 33, 152-158. Dan, W. dan Song, M., 2010, Multi agents based for Humanistic intelligent class scheduling system, Third International Symposium on Information Science and Engineering, Shanghai, 24-26 Desember, pp. 476-480. Dhavachelvan, P. dan Uma, G. V., 2005, Complexity Measures for Software Systems: Toward Multi-agent based Software Testing, 3rdInternational Conference on Intelligent Sensing and Information Processing (ICISIP), Chennai, India, 14-17 Desember 2005. Dustin, E., Rashka, J. dan Paul, J., 2008, Automated Software Testing: An Introduction, Management and Performance, 13, Addison-Wesley, Upper Saddle River, New Jersey. Galin, D., 2004, Software Quality Assurance, Pearson Education, Inc., New Jersey. Huo, Q., Zhu, H., Road, S.L. and Greenwood, S., 2003, A Multi Agent Software Environment for Testing Web based Applications, 27thAnnual International Computer Software and Applications Conference, Konka, B. B., 2011, A Case Study on Software Testing Methods and Tools, Tesis, Department of Computer Science and Engineering, University of Gothenburg, Göteborg, Sweden. Perry, W. E., 2006, Effective Methods for Software Testing,3rd Edition,Wiley Publishing Inc., Canada. Pressman, R., 2010, Software Engineering: A Practitioner Approach, 7, McGraw-Hill, New York. Romano, B.L., e Silva, G.B., de Campos, H.F., Vieira, R.G., da Cunha, A.M., Silveira, F.F. and Ramos, A.C.B., 2009, Software Testing for WebApplications Non-Functional Requirements. 2009 Sixth International Conference on Information Technology: New Generations, 1674–1675. Russell, S. dan Norvig, P., 2010, Artificial Intelligence A Modern Approach, 3, Pearson Education, Inc., New Jersey. Salas, P. P. dan Krishnan, P., 2009, Automated Software Testing of Asynchronous System, Electronic Notes in Theoritical Computer Science, 253, 3-19. Sampath, S., Mihaylov, V., Souter, A. and Pollock, L., 2004, Composing a Framework to Automate Testing of Operational Web-Based Software, 20th IEEE International Conference on Software Maintenance, Chicago. Wahono, R. S., 2001, Pengantar Software Agent: Teori dan Aplikasi, Proceedings of the IECI Japan Workshop, Tokyo, 3 Maret, pp. 4-21. Weiss, G., 1999, Multiagent Systems A Modern Approach to Distributed Modern Approach to Artificial Intelligence, The MIT Press, London. Woolridge, M., 2002, An Introduction to Multiagent Systems, John Wiley & Sons Ltd, Chichester. Yuan, G., 2011, Study of Implementation of Software Test Management System Based on Web, Communication Software and Networks (ICCSN), 2011 IEEE 3rd International Conference, 708-711. Zhu H., 2004, Cooperative Agent Approach to Quality Assurance and Testing Web Software, 28th Annual International Computer Software and Applications, Hongkong. 32 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Analisa Sifat Mekanis Biokomposit Laminat Serat Tebu – Polyester Yuni Hermawan 1, Robertus Sidartawan 2 Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Jember Jl. Kalimantan No 37 Jember yunikaka@yahoo.co.id ABSTRAK Serat sintetis sebagai komponen komposit terbukti mahal dan tidak ramah lingkungan, sedangkan sumber daya alam Indonesia sangat melimpah akan bahan alam dan juga ditunjang sumber daya manusia yang masih banyak membutuhkan bidang garap sebagai lapangan pekerjaan. Sehingga kembali ke alam adalah langkah yang cerdas dan bijaksana untuk kondisi tersebut. Inovasi terhadap bahan alam dilakukan untuk menghilangkan kelemahan pada sifat mekanisnya. Serat tebu dapat dijadikan sebagai komponen komposit laminat. Perbedaan arah serat dan perlakuan alkali akan dijadikan variabel untuk mengetahui sejauhmana pengaruhnya terhadap kekuatan mekanis: kekuatan tarik, bending dan impak, di sisi lain perlu pula untuk mengamati mekanisme kegagalannya dengan bantuan foto makro.. Hasil Pengujian menunjukkan bahwa untuk pengujian kekuatan tarik optimal pada fraksi volume 20% sebesar 1,719 N/mm2 dan nilai kekuatan impak optimal terjadi pada fraksi volume serat 20% sebesar 0,76 J/mm2. Dari hasil penelitian ini nilai kekuatan mekanik bahan masuk kedalam Standart Nasional Indonesia SNI, sehingga produk tersebut layak untuk dijual dan digunakan sehingga inovasi yang dihasilkan segera dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas. Kata kunci: serat tebu, komposit laminat, kekuatan mekanis dan foto makro I. PENDAHULUAN Munculnya issue permasalah limbah nonorganik serat sintetis yang semakin bertambah mampu mendorong perubahan trend teknologi komposit menuju natural composite yang ramah lingkungan. Serat alam mulai menggeser serat sintetis, seperti E-Glass, Kevlar-49, Carbon/ Graphite, Silicone carbide, Aluminium Oxide, dan Boron. Salah satu jenis serat alam yang tersedia secara melimpah adalah serat tebu. Keuntungan penggunaan komposit antara lain ringan, tahan korosi, tahan air, performance-nya menarik, dan tanpa proses pemesinan. Beban konstruksi juga menjadi lebih ringan. Harga produk komponen yang dibuat dari komposit glass fibre reinforced polyester (GFRP) dapat turun hingga 60%, dibanding produk logam (Abdullah dan Handiko, 2000). Salah satu jenis serat alam yang sangat potensial adalah serat tebu. Ampas tebu merupakan limbah dari proses pengolahan gula yang pemanfaatannya belum optimal. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) ampas tebu yang dihasilkan sebanyak 32% dari berat tebu giling. Sebanyak 60% dari ampas tebu tersebut dimanfaatkan oleh pabrik gula sebagai bahan bakar, bahan baku untuk kertas, bahan baku industri kanvas rem, industri jamur dan lain-lain. Sehingga diperkirakan sebanyak 40 % dari ampas tebu tersebut belum dimanfaatkan. Pemanfaatan serat tebu sebagai bahan penguat material komposit belum maksimal. Selama ini ampas tebu hanya digunakan sebagai bahan bakar pengganti kayu bakar. Melihat dari potensi tersedianya bahan baku, maka penelitian ini diarahkan untuk memanfaatkan serat tebu dari limbah ampas tebu sebagai serat penguat material komposit. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian tentang rekayasa komposit laminat merupakan kajian yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Pengujian mekanis struktur komposit laminat yang dilakukan mencakup uji tarik (ASTM D638), uji bending (ASTM D790) , uji impak (ASTM D3379) dan foto makro untuk melihat mekanisme patahan komposit. Sehingga permasalahan utama yang penting dikaji adalah perlunya pemanfaatan bahan alam (khususnya serat tebu) sebagai bahan penguat komposit untuk rekayasa penganti struktur logam. Penggunaan bahan alam tersebut dapat digunakan sebagai komponen body mobil listrik. Adapun permasalahan yang diambil adalah: 1. Bagaimana pengaruh fraksi volume (Vf) serat tebu terhadap kekuatan tarik, bending dan impak komposit laminat? 2. Bagaimana pengaruh orientasi arah serat tebu terhadap kekuatan tarik, bending dan impak komposit laminat? 33 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perlakuan Alkali (NaOH) Serat Perlakuan serat daun nanas dengan 0.5% NaOH selama 2 jam menyebabkan permukaan serat menjadi kasar karena lapisan seperti lilin di bagian permukaan serat hilang. Topografi permukaan serat yang kasar menghasilkan mechanical interlocking yang lebih baik dengan matrik (George dkk, 1996). Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan modulus elastisitas komposit serat nanas-LDPE pada (Vf = 30%) sebesar 127% (1400 Mpa) dibandingkan dengan yang tanpa perlakuan (1100 Mpa). Perlakuan alkali serat sisal akan mengubah morfologi serat dan meningkatkan gugus hidroksil, sehingga dapat meningkatkan kekuatan tarik permukaan, tahan kelembaban, pembengkakan, adhesi dan kompatibilitas dengan matrik polimer (Eichhorn dkk, 2001). Gambar 1. Serat sisal (a) untreated, (b) treated 8% NaOH (Eichhorn dkk, 2001) Perlakuan 5% NaOH selama 4, 6, dan 8 jam, meningkatkan modulus elastisitas serat jute sebesar 12%, 68%, dan 79%. Namun, % regangan patah serat menurun 23% setelah perlakuan 8 jam (Ray dkk, 2001). Perlakuan 5% NaOH serat jute selama 0, 2, 4, 6 dan 8 jam, mempengaruhi flexural strength komposit jute-vinylester pada Vf = 30%, yaitu 180.60, 189.40, 218.50, 195.90 dan 197.50 MPa. Harga modulusnya pun mengalami perubahan yang identik yaitu 10.030, 10.990, 12.850, 12.490 dan 11.170 MPa. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan serat selama 4 jam menghasilkan komposit yang memiliki modulus dan flexural strength tertinggi. Kondisi penampang patahan komposit dengan perlakuan serat 0, 2 dan 8 jam menunjukkan adanya fiber pull out, matric cracking dan transfer fracture, seperti pada gambar 2.2. Gambar 2. Penampang patahan komposit 2.2. Aspek Geometri Menurut Gibson (1994), penempatan serat harus mempertimbangkan geometri serat, arah, distribusi dan fraksi volume, agar dihasilkan komposit berkekuatan tinggi. Untuk suatu lamina unidirectional, dengan serat kontinyu dengan jarak antar serat yang sama, dan direkatkan secara baik oleh matrik., seperti ditunjukkan pada gambar 2.8. Fraksi volume dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Shackelford, 1992): v1  w1  W1 / 1 W1 /  1  W2 /  2  ........  1V1  1V1   2V2  ....... Kekuatan komposit dapat ditentukan dengan persamaan (Shackelford, 1992) : C = fvf + mvm Dimana : v1, v2, … = fraksi volume, W1, W2 ...= berat w1, w2, … = fraksi berat V1, V2..... = volume 1, 2,… = densitas bahan pembentuk Gambar 3. Struktur mikro komposit dengan serat teratur dan homogen 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan nilai fraksi volume dan arah orientasi serat yang optimum yang menghasilkan nilai kekuatan tarik dan kekuatan bending maksimal sebagai bahan baku body mobil listrik. 2. Mendapatkan posisi terlemah dari papan komposit laminat serat tebu berdasarkan uji tabrak pada komponen bamper dan pintu mobil listrik. 3. Membantu pengembangan industri mobil listrik di Universitas Jember khususnya dalam merekayasa serat alam sebagai bahan baku komposit body mobil listrik. 34 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Menghasilkan bahan organik alam yang relatif lebih murah dan efisien untuk pembuatan komposit body mobil listrik. 2. Peningkatan nilai ekonomis dari serat tebu sebagai bahan yang berkualitas yang memiliki nilai kekuatan mekanik yang tinggi. 3. Hasil-hasil penelitian serat tebu ini dapat digunakan sebagai salah satu komponen mobil listrik yang memeiliki sifat bahan ringan, mudah dibentuk dan tidak mudah rusak. 4. METODE PENELITIAN Variabel dalam penelitian Variabel independent dalam penelitian ini adalah: 1. Serat tebu dengan perlakuan alkali NaOH (lama perlakuan divariasikan 0 jam, 1jam dan 2 jam) 2. Fraksi volume serat tebu: (10%, 15% dan 20%). Sedangkan Panjang x Lebar dibuat tetap sebesar 10 cm x 20 cm (sesuai dengan ukuran cetakan) 3. Komposit kulit dibuat dengan susunan dua lapis, dengan orientasi arah serat tebu: 0o – 90o, 45o – 45o dan acak. Sedangkan variabel dependent yang diharapkan diperoleh melalui pengujian adalah: 1. Pola patahan akibat gaya normal yang terjadi pada masing-masing benda uji dengan melihat foto makro. 2. Kekuatan tarik: untuk mengetahu kekuatan mekanis bahan. beban maksimum dibagi luas penampang lintang awal benda uji. Kekuatan ini berguna untuk keperluan spesifikasi dan kontrol kualitas bahan. material komposit dilakukan uji tarik sesuai dengan ASTM D638 3. Kekuatan impak (pukulan) digunakan untuk menghitung besarnya energi yang terserap oleh komposit pada benda uji Bahan dan Alat Bahan dan peralatan penelitian ditunjukkan pada tabel 4.1 dan tabel 4.2 Tabel 1. Bahan penelitian yang digunakan No Bahan Vol Kegunaan Serat Tebu + 60 Penguat 1 (kontinyu dan kg komposit anyam) Matrik Unsaturated komposit/ 2 90 kg poliester pengikat serat Larutan alkali 60 Menghilangkan 3 (5% NaOH) liter lignin pada serat 100 4 Air netral (PH 7) Mencuci serat liter Tabel 2. Peralatan penelitian yang digunakan No Nama Alat Kegunaan 1 Universal bending Machine 2 Mesin Uji Impak Carpy 3 Foto Makro 4 Timbangan Menguji kekuatan bending Ket FT Unej Menguji kekuatan impak Foto makro kegagalan patahan / retak rambat FT Unej Mengukur kadar air FMIPA Unej FT Unej Pengolahan Serat Bahan yang digunakan adalah serat tebu, resin polyester SHCP 268 BQTN stirine monomer dan katalis MEKPO (metil etil keton peroksida). Serat diambil dengan cara menggiling batang tebu terlebih dahulu selama lima kali pengilingan kemudian direndam dan dicuci dari kotoran dengan air. Serat diangin-anginkan sampai kering di tempat teduh. Serat yang telah dibersihkan dari kotoran lalu direndam dalam larutan alkali NaOH 5% selama 2 jam. Perendaman dilakukan untuk menghilangkan lignin yang menempel pada serat. Setelah perendaman selesai, dilakukan netralisasi serat dengan perendaman air selama 3 hari, kemudian serat dikeringkan secara alami. Bahan matrik yang digunakan adalah unsaturated polyester SHCP 268 BQTN stirine monomer dan katalis MEKPO (metil etil keton peroksida) yang digunakan adalah 1% dari volume poliester. Manufaktur Komposit Laminat Proses pembuatan komposit laminat dilakukan dengan metoda cetak tekan seperti pada gambar 12.b. Jenis serat yang digunakan sebagai penguat komposit kulit adalah serat tanpa perlakuan dan serat perlakuan alkali selama 2 jam. Komposit kulit dibuat dengan susunan serat kontinyu-woven. Fraksi volume komposit adalah 0%, 10%, 20%, 30% dan 40% serat tebu. Komposit yang sudah jadi dibuat menjadi spesimen uji bending sesuai standar ASTM C 393 dengan ukuran lebar 30 mm dan panjang 200 mm dan spesimen uji impak sesuai standar ASTM D 5942 dengan ukuran lebar 15 mm dan panjang 150 mm. Spesimen komposit laminat tersebut dilakukan post cure di dalam oven pada suhu 62 0C selama 4 jam. Sebelum dilakukan pengujian, spesimen dioven pada temperatur 60o selama 3 jam untuk memastikan tidak ada delaminasi. 35 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 HASIL DAN PEMBAHASAN Daftar Nilai Uji Tarik Diketahui kapasitas volume cetakan uji tarik dengan ukuran (27x17x0,6) cm untuk 14 spesimen adalah 275,4 cm3. Dimana massa jenis adalah massa per satuan volume. Sedangkan untuk kapasitas volume cetakan uji impak dengan ukuran (20x6,5x1,2)cm untuk 17 spesimen adalah 156 cm3. Jadi komposisi komposit pada tiap variasinya dapat dihitung dengan rumus : Fraksi volume serat = Vs x 100% Volume polyester = V total - Vs Dimana : Vs = Volume serat , Vps = Volume polyester Vtotal = Volume total Terlihat bahwa nilai kekuatan tarik optimal terjadi pada fraksi volume 10% dan arah serat 0 – 90 dengan nilai 0,819 N/mm2. Sedangkan untuk fraksi volume serat 15% nilai kekuatan tariknya cenderung menurun dengan nilai 0,442 N/mm2. Penurunan kekuatan tarik komposit serat pendek acak ini disebabkan oleh tidak sempurnanya ikatan antara serat dan matriks seiring dengan penambahan volume serat pada komposit sehingga menimbulkan terjadinya fiber pull out. Oleh karena itu orientasi serat acak ini tidak mampu secara optimum menahan gaya yang diberikan pada arah dimana gaya bekerja. Tabel 3. Hasil Pengujian untuk Uji Tarik Gambar 5. Grafik kekuatan impak terhadap fraksi volume dan arah serat. Berdasarkan hasil pengujian tarik dan pengujian hipotesa menggunakan software spss, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh panjang serat dan fraksi volume serat tebu terhadap kekuatan tarik komposit yang dihasilkan. Uji tarik dilakukan untuk mengetahui beban tarik maksimal yang mampu ditanggung oleh spesimen atau material uji. Spesimen dicekam pada alat uji tarik dan akan dikenai beban tarik hingga spesimen patah. Adapun grafik nilai kekuatan tarik yang dihasilkan dari variasi fraksi volume dan arah serat dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 4. Grafik kekuatan tarik terhadap fraksi volume dan arah serat. Pada panjang serat 10 mm nilai ketangguhan impak mengalami peningkatan dari persentase fraksi volume serat 15% dengan HI sebesar 0,654 joule/mm2 sampai 20% sebesar 0.762 joule/mm2. Jenis patahan yang terbentuk adalah patah getas, karena permukaan patahan relatif rata dan tidak terdapat deformasi plastis pada daerah patahan. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dari penelitian manufaktur biokomposit laminat serat tebu ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari hasil analisa berupa grafik, maka dapat disimpulkan bahwa nilai kekuatan tarik optimal pada serat tebu dengan fraksi volume 20% dan arah serat acak adalah sebesar 1,719 N/mm2. Sehingga fraksi volume dan arah serat berpengaruh secara signifikan terhadap kekuatan tariknya. 2. Nilai kekuatan impak optimal terjadi pada fraksi volume serat 20% dan arah serat acak adalah sebesar 0.76 J/mm2. Jadi fraksi volume dan arah serat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga ketangguhan impak. 3. Dari hasil pengamatan struktur mikro pada patahan spesimen uji tarik maupun uji impak, distribusi serat terlihat kurang merata karena masih terdapat fiber pull out. Dan jarak antara serat dengan serat yang lainnya 36 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 didalam komposit tidak sama, mengakibatkan nilai kekuatannya berbeda. sehingga UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih pada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Kemen Ristek dan Dikti atas dukungan finansial sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Adi, G.T. (2006). Pengaruh Fraksi Volume Serat terhadap kekuatan Bending Komposit Serat Tebu Acak/polyester, Tugas Akhir Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta. ASTM, 1998. “Annual Book of ASTM Standar”, West Conshohocken Diharjo K., Legowo B., Masykuri M., Abdullah G., 2005. ” Rekayasa dan Manufaktur Bahan Komposit Laminat Berpenguat Serat Kenaf Untuk Komponen Gerbong Kereta ApI”, Jurnal Gelagar Vol 6 No 2, Surakarta. Febriyanto B dan Diharjo K., 2004. “Kekuatan Bending dan Impak Komposit Laminat Laminat Kombinasi Serat Karung Goni dan Serat Tebu-Polyester”, Bagian dari Riset Kerjasama UNS-PT. INKA, Skripsi, FT UNS, Surakarta. Hariyanto, A. (2009). Pengaruh fraksi volume Komposit Serat Tebu dan Serat Rayon Bermatrik Poliester terhadap Kekuatan Tarik dan Impak, Fakultas Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hartanto, L. (2009). Study Perlakukan Alkali dan Fraksi Volume Serat Terhadap Kekuatan Bending, Tarik, dan Impak Komposit Berpenguat Serat Rami- Polyester BQTN-157, Tugas Akhir, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Junaedi, F. (2008). Pengaruh fraksi volume terhadap kekuatan tarik dan bending komposit serat hybrid bambu dan serat E-glass/polyester, Tugas Akhir, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Kowangid M dan Diharjo K., 2003. ”Karakteristik Kekuatan Bending dan Impak Komposit Laminat GFRP Dengan Inti PVC Type H 100 dan H 200”, Skripsi, FT UNS, didukung oleh Proyek Penelitian Dosen Muda DP3M Dikti Jakarta. Morisco, 2000. “Rekayasa Bambu Sebagai Bahan Bangunan”, Thesis Master, Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Ray D., Sarkar B.K., Rana A.K., dan Bose N.R., 2001. “Effect of Alkali Treated Jute Fibres on Composites Properties”, Bulletin of Materials Science, Vol. 24, No. 2, pp. 129-135, Indian Academy of science. Roe P.J. dan Ansel M.P., 1985. “Jute-reinforced polyester Composites”, Journal of Materials Science 20, pp. 4015-4020, UK. Shultoni, A., 1988. “Studi Tentang Kajian Pengawetan Bambu Secara Tradisional Untuk Mencegah Serangan Bubuk”, Disertasi Doktor, Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Sumardi T.P., Zulfa A., Basukriadi A., Raditya D., dan Rahman F., 2003. “Rekayasa dan Manufaktur bahan Komposit berpenguat Serat Limbah Pisang Sebagai bahan Interior Otomotif dan pesawat terbang”, Media Mesin, Jakarta. Wahono, B. (2008). Pengaruh Perlakuan Alkali (NaOH) terhadap Karakteristik Komposit Serat Buah Kelapa Sawit/Poliester, Berita Teknologi Bahan dan Barang Teknik No.22/2008. Wahyanto dan Diharjo K., 2004. “Karakteristik Kekuatan Bending dan Impak Komposit Laminat GFRP dengan Inti kayu Sengon Laut”, Bagian dari Riset Kerjasama UNS-PT. INKA, Skripsi, FT UNS, Surakarta. 37 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Perancangan “Mobile Weather Station” Pengukur Intensitas Cahaya Matahari, Curah Hujan, Kecepatan Angin Dan Keasaman Tanah Wendy Triadji Nugroho #1, Naning Retnowati *2 # Jurusan Teknik,Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember 1wtnugroho@gmail.com * Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember 2naning_retnowati@polije.ac.id Abstract Cahaya matahari, curah hujan, kecepatan angin dan keasaman tanah merupakan komponen-komponen yang mempengaruhi iklim. Sedangkan petani sangat bergantung pada iklim karena mereka memilih jenis tanaman yang akan ditanam berdasarkan iklim. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknologi pengukur beberapa komponen yang mempengaruhi iklim seperti intensitas cahaya matahari, banyaknya curah hujan, besarnya kecepatan angin, keasaman tanah, suhu dan kelembaban. Sensorsensor pengukur besaran-besaran tersebut diintegrasikan dalam suatu prototipe yang disebut Mobile Weather Station. Pada tahun pertama kegiatan yang telah dilakukan adalah perancangan dan pembuatan Mobile Weather Station beserta pengujian kinerjanya. Hasil uji kinerja menunjukkan bahwa alat ini dapat berfungsi dengan baik. Selanjutnya pada tahun kedua kegiatan yang dilakukan penyempurnaan prototipe ini dengan menambahkan sel surya dan aki kering agar alat ini mampu recharge atau menghasilkan daya secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Disamping itu, ada penambahan data logger beserta modifikasi modul yang menerjemahkan input dari beberapa sensor ke LCD dan selanjutnya informasi cuaca akan disimpan ke dalam data logger. Hasil atau luaran penelitian yang diharapkan meliputi modifikasi Mobile Weather Station dan publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal lokal/nasional. Keywords—cahaya matahari, curah hujan, keasaman tanah, kecepatan angin, Mobile Weather Station I. PENDAHULUAN A. Tinjauan Pustaka Iklim memiliki dua pengertian dan terminologi yang agak berbeda berdasarkan dimensi waktu, yaitu iklim itu sendiri dalam pengertian climate, dan cuaca dalam pengertian weather. Secara sederhana, iklim adalah gambaran umum atau keadaan rata-rata dari fisika atmosfer pada suatu lokasi atau wilayah selama periode waktu tertentu (minimum harian). Sedangkan cuaca adalah keadaan fisika atmosfer pada suatu lokasi atau wilayah pada saat tertentu atau dalam periode jangka pendek (maksimum harian). Pada dasarnya, unsur cuaca dan iklim adalah sama yaitu penyinaran matahari, suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara, angin, awan dan curah hujan (Rohmatun Nurul, 2013). Informasi iklim sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi potensi dan daya dukung wilayah untuk penetapan strategi dan arah kebijakan pengembangan wilayah dalam bidang pertanian, transportasi atau perhubungan, telekomunikasi, dan pariwisata. Di bidang pertanian informasi tentang iklim dapat digunakan untuk menentukan pola tanam, cara pengairan, pemwilayahan agroekologi, dan komoditi. Pemwilayahan komoditi pertanian dapat disusun berdasarkan agroklimat, karena tiap jenis tanaman mempunyai persyaratan tumbuh tertentu untuk berproduksi optimal. Suatu tanaman yang tumbuh, berkembang dan berproduksi optimal secara terus-menerus memerlukan kesesuaian iklim. Kondisi kesesuaian tersebut memungkinkan suatu wilayah untuk dikembangkan menjadi pusat produksi suatu komoditi pertanian (Riki Hidayathi, 2012). Di bidang perikanan, iklim dan cuaca juga mempengaruhi penangkapan ikan di laut lepas (alami) maupun budidaya. Pengelolaan budidaya ikan sebagai tanggapan terhadap perubahan ikIim memerlukan penanganan yang berbeda dengan penangkapan ikan di laut lepas. Sebagai contoh, sebagian besar nelayan bergantung pada populasi alami, dimana variabilitasnya tergantung pada proses lingkungan terkait dengan 38 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 tersedianya ikan muda (young stock), pakan, dan faktor predasi selama siklus hidupnya. Berbagai dampak terhadap ekosistem perairan dapat diramalkan berkaitan dengan perubahan berskala-besar pada suhu, presipitasi, angin, dan pengasaman. alam jangka pendek (beberapa tahun), naiknya suhu mungkin belum berpengaruh terhadap fisiologi ikan alami di suatu wilayah akibat terbatasnya transport oksigen. Hal ini berbeda dengan ikan yang dibudidayakan, dimana naiknya suhu diyakini sangat mempengaruhi perilaku dan penyebaran ikanbudidaya baik di laut maupun di air tawar (Komunitas Penuluh Perikanan, 2012). Di bidang transportasi, informasi tentang cuaca, suhu, arah dan kecepatan angin, tinggi gelombang, badai, awan, dan kabut dapat dimanfaatkan untuk menentukan jalur penerbangan udara dan transportasi laut. Di bidang telekomunikasi, arus angin, kondisi hujan atau mendung dapat digunakan untuk mengatur komunikasi antar daerah. Sedangkan di bidang pariwisata, informasi mengenai cuaca cerah, banyak cahaya matahari, kecepatan angin, udara sejuk, kering, panas, dan sebagainya sangat mempengarui terhadap pelaksanaan wisata, baik wisata darat maupun laut. Informasi iklim yang dibutuhkan dalam pengembangan wilayah adalah identifikasi dan interpretasi potensi dan kendala iklim berdasaran data meteorologi, seperti curah hujan, suhu udara, radiasi surya dan unsur iklim lainnya. Oleh karena itu maka diperlukan suatu alat berupa stasiun cuaca untuk mendeteksi kondisi intensitas cahaya matahari, curah hujan, kecepatan angin, dan keasaman tanah yang dapat berpindah (mobile) dengan mudah. B. Identifikasi Masalah Masalah yang ingin diteliti adalah menguji unjuk kerja Mobile Weather Station dengan mengukur beberapa variabel cuaca seperti intenstas radiasi matahari, kecepatan angin, curah hujan, suhu, kelembaban relatif, dan keasaman tanah. Lokasi pengujian dipilih daerah Silo (dataran tinggi) dan Puger (dataran rendah). II. TINJAUAN PUSTAKA Salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia adalah keadaan alam, dimana salah satu aktivitas alam adalah cuaca. Keadaan cuaca sangat berpengaruh pada kehidupan manusia. Manusia memiliki keterbatasan dalam memonitor kondisi cuaca secara terus-menerus. Pengamatan cuaca diharapkan dapat dilakukan di tempat yang dekat dengan pemukiman dan dalam waktu yang singkat. Pada kenyataannya, stasiun pengamat cuaca biasanya berada di lokasi yang jauh dari jangkauan pengamat. Sehingga untuk melakukan pengamatan diperlukan waktu khusus/tertentu sesuai dengan kebutuhannya. Data iklim dan cuaca bermanfaat dalam perencanaan pola tanam dan irigasi. Dengan mengetahui bulan basah dan bulan kering sepanjang tahun, kita dapat merencanakan pola tanam serta tanaman yang sesuai untuk tahun itu. Dari data curah hujan, kita dapat memprediksi keperluan irigasi setiap musim. Berapa banyak kekurangan air yang dibutuhkan tanaman jika kita menanam jagung pada musim kering. Intensitas radiasi matahari dan suhu memberikan pengaruh nyata pada pertumbuhan tanaman. Petani akan dapat memperkirakan tingkat pertumbuhan yang akan dialami oleh tanaman. Kondisi iklim biasanya ikut mempengaruhi dinamika populasi hama. Di daerah tropika seperti Indonesia, peningkatan suhu pada musim kemarau akam mempercepat perkembangan hama. Sedangkan pada musim basah, tanaman akan rentan terserang oleh jamur dan patogen lain. Informasi mengenai intensitas radiasi matahari juga dibutuhkan dalam proses penamganan pasca panen khususnya penjemuran. Ini berarti bahwa keadaan cuaca membrikan andil terhadap produksi hasil pertanian (Anneahira, 2013). Keadaan cuaca juga sangat berpengaruh dalam mengatur masalah transportasi terutama transportasi udara dan laut. Selain itu dapat digunakan dalam bidang komunikasi sebagai acuan bahwa keadaan cuaca menentukan baik tidaknya sinyal komunikasi pada waktuwaktu tertentu. Oleh karena itu diperlukan sistem monitoring cuaca yang akurat dan lebih mudah dioperasikan (Prasetyo, 2010). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuat stasiun cuaca mini yang dapat dipindah dengan mudah. Hal ini dilatarbelakangi oleh keterbatasan kemampuan alat yang dimiliki Badan Meteorologi dan Geofisika. Badan tersebut biasanya hanya mampu memetakan kondisi cuaca dan iklim secara global, sehingga untuk kebutuhan khusus di tempat dan waktu tertentu diperlukan suatu alat ukur variabel-variabel penentu cuaca yang mudah digunakan dan dapat dipindah sesuai dengan kebutuhan. Penelitian mengenai stasiun cuaca sudah pernah dilakukan sebelumnya. Salah satunya adalah Stasiun Mini Sebagai Sistem Pendeteksi Suhu dengan memanfaatkan Dallas Semiconductor 1621 oleh Prasetyo. Ide awal pembuatan sistem stasiun cuaca mini yang didalamnya terdapat peralatan inti, yaitu termometer digital adalah penelitian yang dilakukan Alberto Ricci yang membuat software sebagai PC thermometer (http://www.geocities.com/ariccibitti/) dan sirkuit elektronis yang dirangkai oleh Claudio Lanconelli dengan menggunakan. Dallas semikonduktor DS1621 sebagai komponen penentu (http://www.cs.unibo.it/~lanconel). Dari situlah Prasetyo mencoba merangkai ulang sirkuit elektronis dan mengembangkan softwarenya agar menjadi suatu sistem stasiun cuaca mini sebagai pendeteksi dan pencatat suhu udara. 39 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Stasiun cuaca mini merupakan sistem hasil rancangan yang terdiri dari perangkat keras termometer digital yang berupa rangkaian elektronik, perangkat lunak aplikasi thermometer digital dan database penyimpan data-data besaran suhu. Dalam sistem stasiun cuaca mini, termometer digital adalah suatu hardware (perangkat keras) yang berupa rangkaian elektronik. Sebagai pendeteksi suhunya menggunakan sensor yaitu berupa IC jenis DS 1621 (dallas semikonduktor 1621). Sebagai sebuah sistem, stasiun cuaca mini tidak hanya berupa hardware tetapi merupakan suatu kesatuan kerja antara hardware dan software yang bekerja saling berhubungan. Software berfungsi sebagai penerima output dari hardware yang kemudian menampilkan besaran suhu secara digital dalam besaran tertentu kemudian mencatat dan menyimpan besaran suhu yang diterima kedalam database sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Bahan yang digunakan adalah sensor-sensor pengukur intensitas radiasi matahari, curah hujan, kecepatan angin dan keasaman tanah, data logger, serta panel surya . Sedangkan peralatan yang dipakai adalah mesin las, toolset, dan solder. C. Metode Pengambilan dan Penglahan Data Data-data diperoleh dari pengukuran intensitas radiasi matahari, curah hujan, kecepatan angin dan keasaman tanah. Data-data hasil pengukuran diolah dengan menggunakan program Microsoft Excell, sedangkan bahasa pemrograman yang digunakan untuk menerjemahkan hasil pengukuran dari sensor dan diolah oleh mikrokontroler menggunakan bahasa C++. Mobile Weather Station ditunjukkan oleh Gambar 1 di bawah ini. III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:  merancang dan membuat alat “Mobile Weather Station”  menguji kinerja alat  menambah panel surya sebagai power recharge system serta data logger sebagai penyimpan data selama beberapa waktu tertentu.  Prototipe Mobile Weather Station dapat dikembangkan oleh pemerintah dan didistribusikan/ditempatkan ke lokasi-lokasi yang sulit dijangkau alat transportasi. B. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: Mobile Weather Station diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat tentang keadaan cuaca dan keasaman tanah sehingga dapat bermanfaat bagi petani, nelayan, pemerintah, dan swasta yang bergerak di bidangbidang yang berkaitan dengan kondisi iklim, cuaca dan tanah. IV. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2015 sampai dengan bulan Juli 2016. Sedangkan tempat penelitiannya ada tiga, yaitu:  di Laboratorum Teknik Otomtif Politeknik Negeri Jember sebagai lokasi perakitan alat  di daerah Silo dan Puger sebagai tempat pengujian alat Gambar 1. Mobile Weather Station Gambar 2 di bawah merupakan display LCD yang menampilkan informasi-informasi hasil pengukuran beberapa variabel cuaca. B. Bahan dan Alat Gambar 2. Display Mobile Weather Station 40 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 TABEL I HASIL PENGUKURAN INTENSITAS RADIASI DAN KECEPATAN ANGIN Pukul Gambar Gambar 3. Peneliti dengan panel surya sebagai power recharge system Adapun langkah-langkah penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 4. Studi literatur Penyiapan alat dan bahan Merancang desain Mobile Weather Station Intensitas Radiasi (W/m2) Kecepatan Angin (m/s2) Silo Puger Silo Puger 8:00 97,96 156,7992 0,2 0,8 9:00 203,82 177,2997 1 1,2 10:00 338,91 204,6179 4 3 11:00 443,19 258,0772 4 5,2 12:00 540,36 280,7423 5 6 13:00 43,687 245,4925 2 4,8 14:00 309,68 219,8096 0,1 3,2 15:00 147,73 167,2272 0,3 2,7 16:00 36,34 132,2065 0,19 1,5 17:00 16,59 82,7604 0,1 0,5 Tabel 2 merupakan hasil pengukuran curah hujan dan suhu mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan 17.00 WIB untuk daerah Silo dan Puger. TABEL II HASIL PENGUKURAN CURAH HUJAN DAN SUHU Curah hujan (mm) Suhu (ᵒC) Pukul Silo Puger Silo Puger 8:00 0 0 26 27 9:00 0 0 27 28,5 Menguji kinerja Mobile Weather Station 10:00 5 0 27,5 29 11:00 50 20 28,5 30 Selesai 12:00 79 30 29 31 13:00 12 25 28 31 14:00 0 10 27 30 15:00 0 0 26 28,5 16:00 0 0 25 27 17:00 0 0 25 26 Membuat � �� �ℎ � �� �� Gambar 4. Dagram alir penelitian V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI A. Data Hasil Pengukuran Tabel 1 merupakan hasil pengukuran intensitas radiasi, dan kecepatan angin mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan 17.00 WIB untuk daerah Silo dan Puger. Tabel 3 merupakan hasil pengukuran kelembaban relatif dan keasaman tanah mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan 17.00 WIB untuk daerah Silo dan Puger. 41 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 TABEL III HASIL PENGUKURAN KELEMBABAN RELATIF DAN KEASAMAN TANAH Pukul Keasaman Tanah (pH) 8:00 Silo 88 Puger 80 Silo 6,4 Puger 6,11 9:00 85 77 6,5 6,2 10:00 80 76 6,5 6,3 11:00 78 75 6,8 6,3 12:00 77 73 7 6,5 13:00 76 70 7,1 6,6 14:00 79 73 7,2 6,4 15:00 82 78 7,1 6,4 16:00 85 76 7 6,2 17:00 85 75 6,9 6 80 Curah hujan (mm) Kelembaban Relatif (RH) % 90 50 40 Silo 30 Puger 20 0 0:00 4:48 9:36 Pukul 14:24 19:12 Gambar 7. Curah hujan untuk daerah Silo dan Puger 35 30 Suhu (C) 25 600 500 400 300 200 100 20 15 Silo 10 Puger Puger 5 Silo 0 0:00 4:48 0 0:00 4:48 9:36 14:24 19:12 Pukul Gambar 5. Intensitas radiasi matahari untuk daerah Silo dan Puger 7 6 5 4 3 Silo 2 Puger 1 0 0:00 4:48 9:36 Pukul 9:36 Pukul 14:24 19:12 Gambar 8. Suhu untuk daerah Silo dan Puger 14:24 19:12 Kelembaban Relatih (RH) Intnsitas Radiasi Matahari (W/m2) 60 10 Tabel 1, 2, dan 3 apabla dinyatakan dalam sebuah kurva akan menjadi Gambar 5 sampai dengan Gambar 10. Kecepatan Angin (m/s2) 70 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0:00 Silo Puger 4:48 9:36 Pukul 14:24 19:12 Gambar 9. Kelembaban relatif udara untuk daerah Silo dan Puger Gambar 6. Kecepatan angin untuk daerah Silo dan Puger 42 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 mempertimbangkan keadaan geografis Silo maupun Puger, maka dapat disimpulkan bahwa hasil pengukuran Mobile Weather Station sudah baik dan dapat dipercaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Mobile Weather Station dianggap cukup layak untuk digunakan dan dikembangkan lebih lanjut. 8 Keasaman Tanah (pH) 7 6 5 4 Silo 3 Puger 2 1 0 0:00 4:48 9:36 Pukul 14:24 19:12 Gambar 10. Keasaman tanah untuk daerah Silo dan Puger B. Pembahasan Gambar 5 menunjukkan bahwa intensitas radiasi matahari mencaai nilai tertinggi saat ukul12.00 wib. Daerah puger mendapat intensitas radiasi matahari lebih tinggi dibandingkan daerah silo. Gambar 6 menunjukkan bahwa pola yang hamir sama dengan gambar 5. Kecepatan angin tertinggi dicapai sekitar tengah hari. Rata-rata kecepatan angin di daerah puger lebih tinggi dibandingkan daerah silo. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kondisi di puger yang dekat pantai sehingga tidak ada yang menghambat hembusan angin. Gambar 7 menampilkan distribusi curah hujan di daerah silo dan puger. Dari grafik tersebut terlhat bahwa banyaknya curah hujan di daerah silo lebih tinggi dibandingkan di puger. Gambar 8 menyajikan informasi tentang perubahan suhu yang terjadi dari pagi hingga petang untuk daerah silo dan puger. Pada umumnya suhu di puger lebih tinggi dibandingkan di silo. Hal ini disebabkan daerah silo lebih tinggi dibandingkan di puger. Gambar 9 menunjukkan kondisi kelembaban yang ada di daerah silo dan puger dari pukul 08.00 wib hingga 16.00 wib. Dari gambar 9 tersebut dapat diketahui bahwa silo memiliki kelembaban lebih tinggi dibandingkan puger. Gambar 10 menampilkan informasi tentang keadaan keasaman tanah untuk daerah silo dan puger. Dari gambar 10 dapat diketahui bahwa tanah di daerah silo memiliki ph lebih tinggi dibandingkan dengan tanah di daerah puger. B. Saran Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang lebih akurat sebaiknya dilakukan: a. Pengecekan secara berkala terhadap sensor-sensor yang digunaan agar diperoleh hasil pengukuran yang presisi b. Melakukan verifikasi hasil pengukuran Mobile Weather Station dengan cara membandingkan hasil pengukuran alat itu dengan hasil pengukuran yang dilakkan oleh BMKG c. Melakukan verifikasi periodik terhadap data-data hasil pengukuran dengan tujuan didapat hasil yang valid d. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk mengembangkan prototipe Mobile Weather Station. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] Anneahira. (2013) Badan Meteorologi dan Geofisika Menunjang Keberhasilan Pertanian. [Online]. Tersedia: http://anneahira.com/2013/10/badan -meteorologi-dan-geofisika. Encep Suryana. (2011) Otomatisasi Stasiun Cuaca Untuk Menunjang Kegiatan Pertanian. [Online]. Tersedia:http://jostblogencepsuryana.blogspot.com/2011/10. (2014) Komunitas Penyuluh Perikanan. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kegiatan Perikanan dan Ketahanan Pangan website. [Online] Tersedia:http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com. Rohmatun Nurul. (2013) Pengaruh Cuaca dan Iklim terhadap kehidupan manusia. [Online]. Tersedia:http://rohmatunnurul.blogspot.com/2013/01/pengaruhcuaca-dan-iklim. Prasetyo, “Stasium Mini sebagai Sistem Pendeteksi Suhu dengan Dallas Semikonduktor 1621,” Jurusan Teknik Informatika Amikom, Yogyakarta. 2010 Riki Hidayathi. (2012) Manfaat Iklim di Bidang Pertanian. Website. [Online]. Tersedia: http://rikihidayathidayat.blogspot.com. Setiawan, A.C. dan S. Tirtosastro, “ Otomatisasi pengendalian suhu dan kelembaban ruang omprongan tembakau,” Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (tidak dipublikasikan). 1994. Winarso, P.A.,”Peramalan Cuaca & Iklim serta Pemanfaatannya untuk Pertanian. Makalah Pelatihan Analisa & Pemantauan Faktor Iklim untuk Pertanian, Dept. Pertanian,” 1998 Jakarta. Winarso, P.A.,“Kondisi & Masalah Penyusunan Prakiraan Cuaca & Iklim dan Prospeknya di Indonesia,”2000. BMG, Jakarta. VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil pengukuran yang ditunjukkan oleh Tabel 1 sampai dengan Tabel 3 serta Gambar 5 hingga Gambar 10 apabila dibandingkan dengan pengukuran lain, dan dengan 43 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 RANCANG BANGUN alat sterilisasi non thermal metode PULSA ULTRAVIOLET UNTUK karkas ayam Wahyu Suryaningsih#1, Supriono#2, Budi Hariono#3 #1 PS. Teknologi Industri Pangan-Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip PO. Box 164 Jember wahyu.suryaningsih@Yahoo.com * PS. Keteknikan Pertanian-Jurusan teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember Kota Abstract Penelitian ini bertujuan membuat prototipe instalasi pulsa cahaya ultra violet dengan desain ruang, lampu, sistem pengendalian suhu dan kelembaban udara sesuai dengan lethal dose Salmonella sp. dan uji fungsional serta struktural. Metode yang digunakan adalah rancangbangun instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) dan uji coba penggunaan sinar UV untuk mendapatkan pengaruh penghambatan atau membunuh bakteri Salmonella Sp dalam kultur cair dan pada karkas ayam dengan tiga kali ulangan. Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) untuk karkas ayam mempunyai spesifikasi dimensi bentuk panjang 860 mm, lebar, 750 mm dan tinggi 1280 mm, 2 buah reflektor panjang 30 cm, lebar 70 cm, dengan luasan 4200 cm2, 4 buah lampu UV C tipe TUV25 W-4P-SE, dengan intensitas 66 µW/cm2 per meter dan kapasitas daya sterilisasi sisten UV C adalah 5,744 Watt dan kapasitas ruang sterilisasi 3 ekor karkas ayam dengan berat sekitar 7,5 kg. Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) untuk karkas ayam mampu menurunkan laju pertumbuhan bakteri salmonella, sp sebesar µ = 0,086 log CFU per jam, menurunkan jumlah bakteri Salmonella, Sp dalam kultur cair 1 log cylcle dan karkas ayam sebesar 2 log cycle. Keywords— Bakteri salmonella, sp ; Karkas ayam; sterilisasi non thermal, Ultra Violet BAB I. Pendahuluan Bakteri Salmonella merupakan bakteri utama yang mengkontaminasi produk unggas. Pengurangan cemaran Salmonella karkas unggas dengan dengan larutan klorin (WHO, 1998; Keener et al., 2004; Hecer et al., 2007). Pencemaran mikroba karkas ayam dapat dikurangi dengan larutan klorin 20-50 ppm (Shane, 1992; James et al., (1992). Namum kurang efektif, karena sifat antimikroba berkurang pada suhu tinggi dan bahan organik, meninggalkan residu (Ngadi et al, 2004) dan menyebabkan perubahan warna (Siragusa, 1995). Teknologi pulsa cahaya UV merupakan metode alternatif karena memiliki keuntungan, seperti efektif menginaktivasi mikroba pathogen, waktu proses singkat, sifat penetrasi tinggi (Xenon, 2008;. Om-Oliu et al, 2008), serta mencegah replikasi DNA mikroba (Miller et al, 1999;. Rupp, 2006; Xenon, 2008). Kebanyakan aplikasi UV digunakan untuk bahan cair yang transparan, sedangkan instalasi UV untuk bahan padatan seperti karkas ayam belum dilakukan. Pembuatan instalasi UV untuk karkas ayam diharappkan mempu menurunkan cemaran bakteri salmonella, sp BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karkas Ayam Menurut BSN (1995), karkas ayam sesuai SNI 01-3924-1995 adalah bagian ayam hidup setelah dipotong, dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, kepala dan leher serta kedua kakinya telah dipotong. B. Sumber Utama Pencemaran Karkas Mikroba yang mencemari karkas ayam berupa mikroba pembusuk serta mikroba patogen. Mikroba pembusuk menurunkan mutu dan kelayakan karkas serta berpengaruh terhadap nilai ekonomis seperti Pseudomonas, sedangkan mikroba patogen dapat menyebabkan foodborne disease, diantaranya yaitu Salmonella, Echerichia coli, Campylobacter jejuni, Listeria Monocytogenes, Clostridium perfringens dan Staphylococcus aureus (ICMSF 2005) seperti terlihat pada Tabel 1. 44 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Tabel 1. Tabulasi Mikroba Patogen Pada Karkas Letak/bagian Jenis mikroba Tingkat Referensi tubuh karkas cemaran Kulit ayam broiler Salmonella 1,4x103 cfu/100 g kulit Notermans et al.,(1975), CMSF(2005) Kulit perikloaka Permukaan kulit karkas Campylobacter jejuni Clostridium perfringens 103-106 cfu/g Jumlah sedikit ICMSF (2005) ICMSF (2005) C. Ultraviolet C Cahaya ultraviolet C banyak digunakan secara komersial untuk disinfektan partikel penyaring udara dan dekontaminasi permukaan setelah pembersihan. Cahaya UV-C memiliki sifat kedalaman penetrasi yang rendah sehingga cocok digunakan pada permukaan. Penggunaan UV diijinkan di beberapa negara untuk aplikasi pada produk makanan, tetapi dapat dengan mudah menyebabkan perubahan warna dan off flavor (cita rasa yang menyimpang) jika penggunaan dosis dan lama perlakuan yang tidak tepat (Koutchma et al. 2009). D. Estimasi Dosis UV Dosis UV adalah hasil perkalian intensitas dengan waktu kontak (mJ/cm2). Dosis UV-C yang umum digunakan untuk menginaktivasi mikroba tertera pada Tabel 2 Tabel 2. Aplikasi dosis UV-C (mJ/cm2) pada Berbagai Mikroba Jenis mikroba D10 UV Dosis (mJ/cm2) Enteral bacteria 2-8 Cocci dan micrococci 1.5 – 20 Spora 4 – 30 Virus 5 – 30 Ragi 2.3 – 8 Fungi 30 – 300 Protozoa 60 -120 Alga 300 – 600 Sumber : (Koutchma et al. 2009) Sumber : Victor et al. (2011) BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Membuat prototipe instalasi Pulsa Cahaya UV dengan desain ruang dan lampu sesuai dengan lethal dose Salmonella sp B. Manfaat Penelitian Menghasilkan prototipe instalasi Teknologi Pulsa Cahaya UV yang bisa diterapkan ditingkat pemotongan ayam tradisional dan digunakan sebagai informasi dasar penggunaan model kinetika bakteri salmonella, sp dengan sterilisasi UV pada karkas ayam untuk membunuh bakteri salmonella, sp. BAB IV. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Alat Mesin Pertanian (ALSINTAN), Bengkel Pak Gatot Jember dan Laboratorium Biosain Politeknik Negeri Jember. Penelitian dilakukan 10 bulan, mulai tanggal 1 Februari 2015 sampai 30 Nopember 2015 B. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan yang digunakan membuat rancangbangun instalasi UV untuk dekontaminasi karkas ayam adalah : rel, motor penggeser karkas, speed kontroler, penggantung karkas, besi siku 50x50x5 mm, dinding reflector terbuat dari stainless steel ST 304, casing dan lampu UV tipe C. Bahan yang digunakan untuk menghitung prototipe alat adalah karkas ayam, bakteri Salmonella Sp dibeli di Universitas Erlangga, alkohol 70%, etanol 95 %, aquades dan Salmonella dan Shigella Agar (SSA). 2. Alat Pemotong besi, las, gergaji, gunting besi, bangku dan peralatan bengkeluntuk membuat alat sterilisasi UV. Peralatan untuk uji coba adalah Erlenmeyer, cawan petri, gelas ukur, pipet, mikropipet, inkubatror, autoclave, timbangan analitik, vortex, masker, sarung tangan, bunsen, botol semprot dan korek api. C. Metodologi Penelitian Metode penelitian dengan membuat rancangbangun instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) dan menguji alat tersebut untuk mendapatkan pengaruh penghambatan atau membunuh Salmonella Sp pada karkas ayam dengan tiga kali ulangan Pengujian kemampuan alat dalam membunuh bakteri salmonella, sp dilakukan dengan pembuatan kurva pertumbuhan bakteri salmonella,sp yang dipapar selama 30 menit dengan 3 kali ulangan. D. Pengamatan Penelitian 1. Perhitungan Kapasitas alat sterilisasi non thermal metode UV 2. Pembuatan kurva pertumbuhan bakteri salmonella,sp yang dipapar selama 30 menit dengan 3 kali ulangan. 45 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 KOTAK PANEL KIPAS PENDINGIN 600 80 800 1280 0 PINTU 510 300 KAIT RUANG PERLAKUAN KOTAK LAMPU RANGKA Gambar 1. Disain Profil Alat Sterilisasi Karkas Ayam Sistem UV Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) untuk karkas ayam terdiri atas bagian utama , yaitu kotak sterilisasi, kotak lampu Ultraviolet (UV), Batang penggantung kait berjumlah 1, kotak panel ( MCB dan pengatur waktu) dan rangka. 1. Kotak Sterilisasi Kotak sterilisasi dengan dimensi panjang 800 mm, lebar 500mm dan tinggi 600mm. Semua sisi kotak dibuat tertutup rapat, kecuali kedua sisi dibagian sebelah kanan dan kiri dipasang pintu untuk keluar masuk bahan. Kedua pintu berukuran tinggi 510 mm dan lebar 300 mm. Sisi kotak bagian atas dipasang 2 buah kipas penyedot (exhaust fan) kapasitas 10 watt yang diletakkan berseberangan secara diagonal untuk mendinginkan suhu ruangan. Dinding penutup dan daun pintu terbuat dari bahan plat steinless steel mengkilap SS104 setebal 3 mm yang dapat memantulkan cahaya dengan baik, sehingga cahaya dari lampu ultra violet (UV) dapat dimanfaatkan secara optimum dan tidak memapar keluar. Kotak sterilisasi bagian dalam terdapat ruang perlakuan (treatment chamber) yaitu ruang tempat produk yang berupa karkas ayam yang digantung dan dipapar sinar UV dari ke dua sisi yang terletak di bagian tengah memanjang. Ruangan bagian dalam dilengkapi batang penggantung kait dibagian atas memanjang ruangan Tabel 4. No. 1 2 3 4 5 6 Spesifikasi Lampu UV Komponen Cap/base 4 pin single –ended Tube diameter 16 mm Lamp voltage 82 V Lamp current 350 mA Lamp wattage 25 W Intensitas 66µW/cm2pada jarak 1 meter Jarak antara lampu dan produk dapat diperkecil dengan menggeser ke dua kotak lampu tersebut masingmasing dapat digeser 6 cm mendekati produk . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 2. KIPAS PENDINGIN BATANG PENGGANTUNG KAIT KOTAK LAMPU 400 LAMPU UV-C UV 120 A. Profil Alat Sterilisasi Karkas Ayam Sistem Sinar Ultra Violet Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) untuk karkas ayam berbentuk kotak, dengan dinding rapat kedap cahaya dan dibuat sistem portable untuk mobilitas. Dimensi alat berukuran panjang 860 mm, lebar 750 mm dan tinggi 1280 mm, seperti yang terlihat pada Gambar 1. seperti reel yang dapat digeser menggunakan bahan steinless steel steinless steel . Karkas ayam yang akan disterilisasi dikaitkan pada kait (hook) yang terpasang pada penggantung tersebut. Batang penggantung kait tersebut dapat digeser keluar untuk memudahkan proses pemasukan dan pengeluaran karkas ayam dari ruang sterilisasi. 2. Kotak Lampu Kotak lampu UV dipasang sebelah muka dan belakang ruang perlakuan secara horizontal sebagai sumber cahaya UV. Masing-masing kotak lampu dipasang dua buah lampu TL UV - C secara sejajar dengan jarak 12 cm. Kotak lampu dilengkapi reflektor untuk memantulkan cahaya yang mengarah ke atas dan ke bawah, sehingga cahaya hanya mengarah ke produk yang disterilisasi. Reflektor dibuat dari bahan steinless steel mengkilap, berukuran panjang 70 cm dan tinggi 30 cm dan dipasang saling berhadapan, sehingga produk berada di antara reflektor tersebut. Lampu yang digunakan berjenis lampu TL UV-C tipe TUV 25W 4P-SE, panjang gelombang sinar ultra – violet berkisar 250 – 280 nm, tepatnya 253,7 nm. Spesifikasi lampu UV dapat dilihat pada Tabel 4. 300 BAB V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI UV 320 GESER SATUAN DALAM mm RUANG PERLAKUAN Gambar 2. Penampang Melintang Kotak Sterilisasi 46 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 3. Rangka Rangka berfungsi sebagai penopang dan tempat dipasangnya kotak sterilisasi dan kotak panel. Rangka ini dibuat dari bahan steinless steel bentuk kotak 4 x 4 cm dan dipasang roda yang dipasang dikempat bagian sudutnya. 4. Kapasitas Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) Kapasitas alat instalasi UV dihitung sebagai output per satuan waktu yaitu berat karkas ayam yang disterilisasi per jam atau kemampuan alat sterilisasi dalam menginaktivasi mikroba tertentu persatuan waktu. Laju inaktivasi proses sterilisasi dinyatakan dengan log reduksi,1 log reduksi artinya membunuh 90 %. Laju sterilisasi atau inaktivasi mikroba berhubungan dengan dosis Ultra Violet (UV). Semakin tinggi laju sterilisasi yang diinginkan dibutuhkan dosis UV yang tinggi pula. Perhitungan dosis UV yang dipaparkan ke permukaan produk karkas ayam dapat dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut : Dosis UV = I x T Dimana I = Intensitas ( mW/cm2 atau µ W/cm2 per meter) T = Waktu paparan (detik) Biasanya satuan dosis menggunakan J/m2, mJ/cm2, mW·det/cm2 , µW·det/cm2 10 J/m2 = 1 mW·det/cm2 = 1 mJ/cm2 Nilai 1 mJ/cm2 adalah dosis spesifik yang akan mempengaruhi operasi dan keberhasilan sistem UV. 5. Intensitas Sinar UV-C Lampu UV-C yang digunakan adalah tipe TUV dengan emisi utama pada 253,7 nm mampu inaktivasi mikroba. Jumlah dan ukuran lampu UV dalam kotak lampu dapat dirubah dari buah empat menjadi satu buah. Sedangkan ukuran lampu dapat diganti dengan lampu dengan dimensi yang lebih kecil, misalnya lampu TUV 26W-4P-SE dapat diganti dengan TUV 16W-4P-SE, maka intensitasnya akan berubah 66 µW/cm2 menjadi 23 µW/cm2 . Intensitas lampu UV akan mengalami penyusutan dengan umur pemakaian. 6. Luas Paparan UV Luas paparan yang dapat diberikan oleh lampu UV didekati dengan luas reflektor pada kotak lampu. Ukuran luas paparan oleh lampu UV adalah 30 x 70 cm2 = 2100 cm2. Ukuran reflektor tidak dapat diubah karena permanen. 7. Jarak Paparan Ukuran ruang perlakuan adalah 70 x 30 x 40 cm3 dan produk karkas ayam diletakkan ditengah-tengah nya. Jika diasumsikan tebal karkas ayam yang terbesar adalah 20 cm maka jarak paparan antara permukaan karkas ayam dengan lampu UV adalah (40 cm – 20 cm) /2 = 10 cm. Jarak tersebut adalah jarak rata-rata karena bentuk karkas alam tidak datar tetapi berlekuk-lekuk. Jadi jarak paparan UV masing-masing adalah 10 cm. Volume ruang perlakuan tidak dapat diisi dengan karkas ayam secara penuh tetapi hanya diisi dengan 3 ekor karkas ayam yang berukuran berat diasumsikan = 3 x 2,5 kg = 7,5 kg. Hal ini dilakukan agar karkas ayam dapat dipapar sinar UV secara merata. Waktu yang diperlukan pemaparan sinar UV untuk sterilisasi ditentukan oleh jenis mikroba. Berdasarkan data – data tersebut dapat peroleh spesifikasi alat sterilisasi sistem UV seperti yang terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Spesifikasi Alat Sterilisasi Karkas Ayam Sistem UV Dimensi Alat Panjang p : 860 mm Lebar l : 750 mm Tinggi t : 1280 mm Reflektor : Tinggi : 30 cm Lebar : 70 cm Jumlah : 2 Unit Luas : 4200 cm2 Lampu UV-C Tipe : TUV25W-4P-SE Intensitas : 66 (µW/cm2 per meter) Jumlah : 4 buah Jarak Paparan UV : 10 cm Kapasitas Daya Sterilisasi UV-C : 5,744 Watt Kapasitas Ruang Perlakuan/Sterilisasi Karkas Ayam : 3 ekor Berat karkas : 7,5 kg ayam B. Penurunan Jumlah Bakteri Salmonella, Sp Hasil menginaktivasi bakteri salmonella, sp kultur cair yang dipapar sinari UV selama 30 menit menunjukkan adanya penurunan 1 log cycle yaitu dari 8,5 x 104 cfu/gram menjadi 3,7 x 103 cfu/gram. Penurunan jumlah bakteri disebabkan adanya kerusakan pada senyawa sel bakteri oleh sinar ultraviolet sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri kurang baik dan mati. Menurut Bibiana (1992) energi yang diabsorpsi oleh sinar ultraviolet ini akan menyebabkan terjadinya ikatan antara molekul-molekul timin yang bersebelahan dan menyebabkan terbentuknya dimer timin sehingga fungsi dari asam nukleatnya terganggu dan mengakibatkan kematian bakteri Kurva pertumbuhan bakteri salmonella, sp yang dipapar sinar UV 30 menit selama waktu inkubasi 36 jam menunjukkan jumlah sel lebih rendah dan laju pertumbuhan bakteri lebih lambat yaitu µ = 0,048 log 47 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Jumlah Bakteri Salmonella, sp (log CFU/gram) CFU per jam, dibanding dengan yang tanpa pemaranan sinar UV yaitu µ = 0,086 log CFU per jam. Bakteri salmonella, sp tanpa paparan sinar UV sampai umur 24 jam masih pertumbuhan yang pesat dan berada dalam fase logaritma, sedangkan yang dipapar sinar UV selama 30 menit setelah 18 jam menunjukkan pertumbuhan tetap atau pada fase stasioner dan setelah 24 jam menuju fase kematian. Adanya sterilisasi non thermal dengan sinar UV mampu memperpendek fase-fase pertumbuhan bakteri salmonella,sp ini dikarenakan karenabakteri tang terpapar sinar UV akan merusak DNA bakteri dan menyebabkan pertumbuhan terhambat dan mati. Kurva dan laju pertumbuhan bakteri salmonella, sp dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 Tidak dipapar sinar UV 0 3 6 9 121518212427303336 lama inkubasi (Jam) Jumlah Bakteri Salmonella, sp (log CFU/gram) Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Bakteri Salmonela, sp 10,00 8,00 y = 0,0862x + 5,5185 R² = 0,8452 6,00 4,00 y = 0,048x + 4,7398 R² = 0,3146 2,00 0,00 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 lama inkubasi (Jam) Tidak dipapar sinar UV Pemapara n sinar UV 30 menit Linear (Tidak dipapar sinar UV) Gambar 4. Laju Pertumbuhan Bakteri salmonella, sp BAB VI. PENUTUP Simpulan Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) untuk karkas ayam mempunyai spesifikasi dimensi panjang 860 mm, lebar, 750 mm dan tinggi 1280 mm, 2 buah reflektor panjang 30 cm, lebar 70 cm, dengan luasan 4200 cm2, 4 buah lampu UV C tipe TUV25 W-4P-SE, dengan intensitas 66 µW/cm2 per meter, kapasitas daya sterilisasi 5,744 Watt dan kapasitas ruang sterilisasi 3 ekor karkas ayam dengan berat sekitar 7,5 kg. Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) untuk karkas ayam mampu menurunkan laju pertumbuhan bakteri salmonella, sp sebesar µ = 0,086 log CFU per jam, menurunkan jumlah bakteri Salmonella, Sp dalam kultur cair 1 log cylcle dan karkas ayam sebesar 2 log cycle. Saran Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui optimasi dekontaminasi instalasi Sterilisasi sinar UV terhadap Salmonella Sp dan mengetahui efeknya terhadap kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi karkas ayam serta daya simpannya. DAFTAR PUSTAKA [AOAC]. 2000. Offical Methods of Analysis of AOAC International. 19th Edition. 5th Revison. Volume II. Published by AOAC International Suite 500. USA. Atilgan MR. 2007. Disinfection of liquid egg products by using UV light. Tesis. Turkiye: Izmir Institute of Technology. Bialka, K.L. A. Demirci. 2008. Efficacy of pulsed UVlight for the decontamination of Escherichia coli O157:H7 and Salmonella spp. on raspberries and strawberries. J. Food Sci. 73(5): M201-M207. Binstsis T, Litopoulou-Tzanetaki E dan Robinson R. 2000. Existing and potential applications of ultraviolet light in the food industry a critical review. J. Sci Food and Agric. 80:637−645. [BPS] 2010. Statistik Indonesia. Statistical Yearbook of Indonesia. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Jakarta [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-3924-1995. Karkas Ayam Pekarkas. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Chiu K, Lyn DA, Savoye P, Blatchley ER. 1999. Effect of UV system modification on disinfection performance. J Environ Eng. 125: 7–16. Collins HF, Selleck RE. 1972. Process kinetics of wastewater chlorination. SERL Report. Berkeley: Univ of California. 72–75. Dell-Portillo, F. G. 2000. Molecular and Cellular Biology of Salmonella Pathogenesis. Di dalam: Cary, J. W., Linz, J. E. dan Bhatanagar, D. 2000. Microbial Foodborne Disease: Mechanisms of Pathogenesis and Toxin Synthesis. Cancaster: Techonomic Publishing Company, Inc. Dunn JE. 1996. Pulsed light and pulsed electric field for foods and eggs. Poultry Sci. 75:1133-1136. FAO. 2008. Food Outlook - Global Market Analysis (November 2008). Meat and Meat Products: Poultry Meat. P.47. Available 48 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 at:ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/011/i474e/ai474e0 0.pdf. Accessed 09 June 2009 Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gomes, C., P.F. Da Silva, M.E. Castell-Perez,and R.G. Moreira. 2006. Quality and microbial population of Cornish game hen carcasses as affected by electron beam irradiation. J. Food Sci. 71(7): E327-E336. Gracey, J. F. 1986. Meat Hygiene. London:Billiere Tindall. Hans DE et al. 2002. Inactivation of Cryptosporidium parvum oocysts in fresh apple cider using ultraviolet irradiation. J. Appl Environ Microbiol. 68: 4168–4172 Harm W.1980. Biological Effects of Ultraviolet Radiation. Cambridge. UK: Cambridge Univ Pr. Hecer, C., F. Balci, and C.D. Udum. 2007. The effects of ozone and chlorine applications on microbiological quality of chickens during processing. J. Biol. Environ. Sci. 1(3): 131-138. Heyes, P.R. 1996. Food Microbiology and Hygiene. 2nd Edition. London. Chapman and Hall Hilton, J.A dan Ingram, K.D. 2000. Use oleic acid to reduce the population of bacteria flora of poultry skin. J Food Protect. 63:1282-1286 [ISO] 6579: 2002. Standard Method for Detection of Salmonella spp. James, W.O., Brewer, R.L., Prucha, J.C, Williams, W.O, Christensen, W.A., Thaller, A.M., Hogue, A.T. 1992. Effect of chlorination of chill water on the bacteriologic profile of raw chicken carcases and giblets. J. Am. Vet. Med. Assoc. 200, 60-63 Keener, K.M., M.P. Bashor, P.A. Curtis, B.W. Sheldon, and S. Kathariou. 2004. Comprehensive review of Campylobacter and poultry processing. IFT Comp. Rev. Food Sci. Food Safety. 3: 105-116. Keklik, N. M., A. Demirci, and V. M. Puri. 2008. Decontamination of unpackaged and vacuumpackaged boneless chicken breast with pulsed UV-light. ASABE Meeting Paper No. 083564. Providence, Rhode Island: ASABE. Koutchma TN, Larry JF, Carmen IM. 2009. Ultraviolet Light In Food Technology: Principles and Application. CRC Press. Boca Raton USA. Kowalski WJ. 2001. Design and optimization of UVGI air disinfection system. Thesis. Pennsylvania State University. Krishnamurthy, K., J.C. Tewari, J. Irudayaraj, and A. Demirci. 2007. Microscopic andspectroscopic evaluation of inactivation of Staphylococcus aureus by pulsed UV-light and infrared heating. J. Food Bioprocess Technol. (Available online). DOI 0.1007/s11947-008-0084-8. Miller, R.V., W. Jeffrey, D. Mitchell, and M. Elasri. 1999. Bacterial responses to ultraviolet light. ASM News. 65(8): 535-541. Oms-Oliu, G. and O. Martin-Belloso. 2008. Pulsed light treatments for food preservation. A review. J. Food Bioprocess Technol. DOI 10.1007/s11947008-0147-x. Severin BF, Suidan MT, Engelbrecht RS. 1983. Kinetic modeling of UV disinfection of water. J Water Res. 17: 1669–1678. Shama G. 1992. Ultraviolet irradiation apparatus for disinfecting liquids of high ultraviolet absorptivities. J. Lett Appl Microbiol. 15: 69–72. Siragusa, G.R. 1995. The Effectiveness of carcases decontamination system for controlling the presence of pathogens on the surface meat animal carcasses. J. Food Safety. 15:229-238. Smith, K.E., C. Medus, S.D. Meyer, D.J. Boxrud, F. Leano, C.W. Hedberg, K. Elfering, C. Braymen, J.B. Bender, and R.N. Danila. 2008. Outbreaks of salmonellosis in Minnesota (1998 through 2006) associated with frozen, microwaveable, breaded, stuffed chicken products. J. Food Prot. 71(10): 2153-2160. [SNI] 01-6366-2000. Batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Standarisasi Nasional Indonesia. Jakarta. Sylviana. 2008. Prevalensi Cemaran Salmonella Typhimurium pada Potongan Karkas Ayam dan Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle, Linn.) sebagai Larutan Sanitaiser Alami. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [WHO] World Health Organization Expert Commite. 1998. Salmonellosis Control: The Role of Animal and Product Hygeins. Geneva. World Health Organization. Wright HB. 2000. Comparison and validation of UV dose calculations for low and medium pressure 49 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 mercury arc lamps. J. Water Environ Res. 72: 439. Xenon 2008. Pulsed UV Treatment for Sanitation and Sterilization. Chapter 4: Pulsed UV Technology. Wilmington, MA.: Xenon corporation.Availableat:ttp://www. Xenoncorp .com/Literature/PDF/ BrochureSteri.pdf.Accessed 10 June 2009. UCAPAN TERIMA KASIH Terima Kasih Kepada Dirjen DIKTI, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan tinggi, dan Polteknik Negeri Jember yang telah memberikan dana dan kesempatan untuk melakukan pPenelitian 50 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 KARAKTERISTIK CITARASA DAN KOMPONEN FLAVOR KOPI LUWAK ROBUSTA IN VITRO BERDASARKAN DOSIS RAGI KOPI LUWAK DAN LAMA FERMENTASI Mukhammad Fauzi1), Giyarto1), Septi Wulandari2) 1) Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Jember 2) Email: septi14wulandari@gmial.com ABSTRACT Civet coffee is coffee beans that have been eaten and passed the digestive civet was expelled in the form of seeds that are separating from the outer shell mixed with civet feces. Some efforts to increase production of civet coffee or "resemle civet coffee" manner civet animal breeding, and the use of lactic acid bacteria (LAB) of civet feces into contagion civfet coffee. This study aims to determine the dose of contagion civet coffee dried and long fermentation which produces robusta coffee beans roasted in vitro with the characteristic taste and flavor components similar to the original civet coffee robusta. This research was conducted by fermenting robusta coffee beans that have been dipulping by giving contagion coffee as much as 0.5; 1.5; and 2.5% and is fermented for 8, 16, and 24 hours, the next test flavors (cuptest) and flavor components using GCMS. The results showed the addition of contagion civet coffee during fermentation gives better results than civet coffee. Treatment A1B2 (contagion 0.5%; 16 hours) is treated with the highest test score flavor that is equal to 77.25 exceeds the control (civet coffee 66; and robusta coffee 58.25). Flavor components that were identified in civet coffee and coffee fermented with contagion civet coffee component ranges between 59-72, while coffee without fermentation (control robusta) has a total of 119 components. Kata kunci: Robusta coffee, civet coffee, taste, GCMS PENDAHULUAN Kopi luwak (Civet coffee) adalah jenis kopi dari biji kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan luwak selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk biji yang masih terbungkus kulit tanduknya. Selama di dalam pencernaan luwak biji kopi mengalami fermentasi secara alami (Krishnakumar, 2002). Fermentasi alami mengakibatkan perubahan komposisi kimia pada biji kopi dan dapat meningkatkan kualitas kopi luwak. Hal ini karena adanya bantuan dari berbagai enzim dan bakteri asam laktat (BAL) dalam pencernaan luwak (Fuferti et al., 2013). Kopi luwak memiliki keistimewaan yaitu rendah kafein, rendah kadar asam, rendah lemak, dan rendah rasa pahit. Kelebihan tersebut menjadikan kopi luwak dijuluki sebagai kopi ternikmat di dunia (Ditjen Perdagangan, 2013). Usaha peningkatan produksi kopi luwak atau “kopi mirip kopi luwak” telah dilakukan dengan berbagai cara, seperti pembudidayaan hewan luwak, penggunakan bakteri asam laktat (BAL) dari feses luwak dan dibuat menjadi ragi kopi. Hasil uji citara dari penggunaan BAL selama fermentasi biji kopi pada beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang mirip dengan citarasa kopi luwak asli Aplikasi ragi kopi luwak basah ditingkat petani kopi memiliki kekurangan yaitu sulitnya dalam penyediaan media tumbuh mikroba, pemeliharaan inokulum, dan mahalnya bahan peralatan yang digunakan Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan produksi kopi luwak in vitro dengan menggunakan ragi kopi luwak kering bermedia ekstrak kulit buah kopi sehingga dihasilkan biji kopi sangrai dengan karakteristik organoleptik dan komponen flavor menyerupai kopi luwak asli. Penelitian ini bertujuan menentukan dosis ragi kopi luwak kering dan lama fermentasi yang menghasilkan biji kopi robusta sangrai secara in vitro dengan karakteristik citarasa dan komponen flavor mirip kopi luwak asli jenis robusta. 51 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses luwak segar, kulit buah kopi robusta, buah kopi robusta yang diperoleh dari Desa Sidomulyo Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, MRS broth, NA, PCA, aluminium foil, gula pasir, aquades, kantong plastik, dan tepung beras. Metode Pembuatan ekstrak kulit buah kopi Pembuatan ekstrak kulit buah kopi dilakukan dengan cara menghancurkan kulit buah kopi robusta segar (sebanyak 400 g) menggunakan blender hingga menjadi bubur (puree). Bubur kulit buah kopi robusta selanjutnya diekstrak secara bertingkat dengan aquades (kulit buah kopi:aquades) 1:4 untuk 2 kali ekstraksi, kemudian dilakukan penyaringan dan dihasilkan filtrat kulit buah kopi dan ampas sebanyak 325,8 g selanjutnya sterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit dalam autoklaf dan dihasilkan ekstrak cair kulit buah kopi yang steril sebanyak 1674,2 ml. Prosedur analisa Pembuatan starter ragi kopi luwak Pembuatan starter dari feses luwak dilakukan dengan cara mengisolasikan satu ose feses luwak segar yang telah memakan buah kopi robusta kedalam media MRS Broth sebanyak 10 ml dan diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37-39ºC. Sementara itu juga dipersiapkan media steril yaitu ekstrak kulit buah kopi sebanyak 1674,2 ml yang diperkaya dengan nutrisi gula (2% dari ekstrak kulit buah kopi), kemudian kultur awal di inokulasikan kedalam media steril dan diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37-39ºC, sehingga dihasilkan starter sebanyak 1717,7 ml untuk pembuatan ragi kopi luwak kering Pembuatan ragi kopi luwak kering Pembuatan ragi kopi luwak kering dilakukan dengan cara memasukkan bahan pengisi berupa tepung beras sebanyak 1 kg kedalam beaker glass dan ditutup dengan kapas dan alumunium foil kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. Tepung beras yang sudah disterilkan selanjutnya dimasukkan kedalam kantung plastik dan ditambahkan starter yang sudah disiapkan sebelumnya sebanyak 1,717,7 ml. Pencampuran dilakukan sampai homogen dan dibentuk bulatan kecil, kemudian dikeringkan menggunakan mesin pengering (pengering kabinat dengan bahan bakar LPG yang dilengkapi dengan pengatur suhu) selama kurang lebih 2-3 hari pada suhu 40-45ºC dan dihasilkan ragi kopi luwak kering Pembuatan kopi luwak in vitro Pembuatan kopi luwak in vitro diawali dengan mempulping buah kopi robusta yang sudah masak optimum untuk memisahkan biji dan kulit buah kopinya sehingga dihasilkan biji kopi robusta yang masih terbungkus kulit tanduk, kopi robusta difermentasi secara semi basah dengan menggunakan ragi kopi luwak yang sudah disiapkan sebelumnya sebanyak 0,5(A1); 1,5(A2); dan 2,5%(A3) (b/b) dengan lama fermentasi 8 (B1), 16(B2), dan 24(B3) jam dalam suhu 35-40ºC. Kopi robusta yang telah difermentasi diambil masing-masing sampel biji kopi. Setiap sampel yang diambil langsung dicuci dan dikeringkan dengan sinar matahari selama 3-4 hari hingga kadar air 10-12%. Biji kopi robusta yang sudah kering selanjutnya di hulling untuk memisahkan biji kopi dari kulit ari secara manual dan dihasilkan kopi beras Prosedur analisa 1) Uji Citarasa Prosedur analisis pengujian citarasa kopi robusta biji dengan metode cuptest adalah sebagai berikut: Sebanyak 100 g kopi biji disangrai dihaluskan, untuk keperluan uji citarasa, satu mangkuk membutuhkan 10 gram kopi bubuk untuk diseduh dengan air mendidih sebanyak 150 cc. Pengujian ini menggunakan 2 panelis ahli, dengan jumlah pengujian maksimal 36 gelas. Adapun keterangan skor dalam parameter uji citarasa yang terbagi menjadi 5 kategori dapat dilihat sebagai berikut: a. Averange : 5,00 – 5,75 b. Good : 6,00 – 6,75 c. Very good : 7,00 – 7,75 d. Exellent : 8,00 – 8,75 e. Outstanding : 9,00 – 9,75 2) Analisis Komponen Flavor dengan Alat GCMS: Biji kopi sangrai digiling menggunakan gilingan kopi, sampai menjadi bubuk kopi. Sampel ditimbang (5 g), kemudian dimasukkan dalam vial SPME sebanyak 22 ml. Setelah itu dipanaskan dalam watebath suhu 80oC selama 45 menit, sampai menjadi perubahan kenampakan ruang tabung vial. Kemudian komponen flavor yang ada didalam vial dihisap menggunakan fiber DVB/PDMS (Divinylbenzen/Polydimethylsiloxane). Selanjutnya diinjeksi ke GCMS. Hasil dan Pembahasan Hubungan Uji Citarasa dan Identifikasi Komponen Flavor Pelaksanaan uji citarasa pada penelitian ini dilakukan oleh panelis ahli dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, di Jember. Hasil uji citarasa (cuptest) biji kopi robusta hasil fermentasi oleh ragi kopi luwak kering bermedia ekstrak kulit buah kopi, dengan kriteria pengujian meliputi fregrance/aroma, flavor, aftertaste, acidity, sweetness, mouthfeel/body, uniform cup, balance, dan overall, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1. 52 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Berdasarkan Gambar 1 secara umum menunjukkan bahwa citarasa biji kopi hasil fermentasi dengan ragi kopi luwak pada semua dosis dan lama fermentasi memiliki skor lebih tinggi dari kontrol (kopi luwak dan kopi robusta), kecuali pada sampel tertentu yang memiliki skor lebih rendah dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan ragi kopi luwak dapat mempengaruhi citarasa pada kopi hasil fermentasi. Hal ini diduga bahwa dengan penggunaan ragi kopi luwak selama fermentasi menyebabkan adanya degradasi komponen pada kopi yang lebih baik. Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa dari setiap parameter cuptest kontrol (kopi luwak dan kopi robusta) beserta kopi hasil fermentasi menggunakan ragi kopi luwak. Nilai aroma yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B1, A1B2, dan A3B2 dengan katagori very good, sedangkan sampel yang lain berada pada kategori good. Nilai aroma yang diperoleh dipengaruhi oleh kandungan komponen flavor seperti fenol dengan rasa dan aroma bitter, furan (karamel), asam, dan pirazin (sweet bitter) meskipun jumlahnya berbeda-beda. Sampel A1B1, A1B2, dan A3B2 nilai aroma yang didapat sama tetapi kandungan komponen flavor berbeda. Akan tetapi, perbedaannya tidak ada yang mendominasi sehingga tidak berpengaruh terhadap aroma pada biji kopi tersebut. Nilai flavor pada semua sampel yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7 (very good) identifikasi komponen flavor ini tidak jauh berbeda dengan aroma karena kandungan flavor yang berperan sama yaitu fenol (bitter), furan (karamel), asam, dan pirazin (sweet bitter) meskipun jumlahnya berbeda-beda. Apabila dilihat dari hasil identifikasi komponen flavor sampel A1B2 memiliki komponen yang seimbang yaitu (fenol (28,74); furan (25,5); pirazin (12,57); dan asam (7,58)), komponen flavor yang seimbang menyebabkan sampel A1B2 memiliki nilai yang paling tinggi. aroma 10 8 overall flavor 6 4 2 balance aftertaste 0 uniform cup acidity body sweetnes s Gambar 1. Diagram jaring laba-laba nilai cuptest biji kopi luwak robusta dan biji kopi robusta sangrai hasil fermentasi menggunakkan ragi kopi luwak pada berbagai dosis ragi dan lama fermentasi Keterangan: = kontrol luwak = kontrol robusta = A1B1 = A2B1 = A3B1 = A1B2 = A2B2 = A3B2 = A1B3 = A2B3 = A3B3 Nilai aftertaste pada semua sampel yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7 (very good). Nilai aftertaste yang diperoleh ini dipengaruhi oleh komponnen flavor pada senyawa pirazin karena senyawa ini mempunyai aroma sweet bitter dan fenol mempunyai kandungan tanin yang berasa pahit . Nilai acidity pada semua sampel yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7,5 (very good). Hal tersebut sesuai dengan hasil identifikasi komponen flavor karena asam organik memiliki nilai rendah, meskipun jumlah asam organik pada sampel tersebut lebih tinggi dari sampel yang lain sehingga rasa asam lebih baik dibandingkan sampel yang lain. Nilai sweetness pada semua sampel yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7,25 (very good). Hasil identifikasi komponen flavor senyawa furan yang berperan karena memiliki rasa manis, sedangkan sampel yang lain memiliki nilai yang lebih rendah disebabkan nilai fenol yang cukup tinggi sehingga menyebabkan flavor pahit. Nilai mouthfeel atau body pada semua sampel yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B1, A1B2, dan A3B2 sebesar 7,5 (very good). Menurut Mulato dan Suharyanto (2012) sensasi body dipengaruhi oleh kandungan lemak, protein, dan hidrokarbon kompleks dalam seduhan kopi. Nilai uniform cup atau keseragaman aroma tiap mangkuk pada penyajian cuptest. Nilai yang diperoleh pada setiap sampel diberikan nilai sebesar 10. Nilai 10 pada setiap sampel menunjukkan semua dalam kondisi sama dan tidak ada perbedaannya , sehingga tidak menimbulkan hasil yang bias pada panelis. Nilai balance dari semua sampel yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B2 dan A3B2 sebesar 7 (very good). Hasil identifikasi komponen flavor yang berpengaruh pada nilai balance yaitu hidrokarbon (aroma green dan rose-like flavor), fenol (bitter), furan (karamel), pirazin (sweet biter), dan asam. Meskipun penilaian citarasa sama tetapi komponen flavor yang dimiliki berbeda. Hal ini dikarenakan selama penyangraian komponen prekursor yang dilepas itu tidak selalu sama. Nilai overall pada semua sampel yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7 (very good). Hasil ini diperoleh dari penilaian secara keseluruhan 53 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 sampel yang memenuhi standart rasa khas pada kopi yang juga dipengaruhi oleh komponen flavor. Oleh karena itu, kopi hasil fermentasi memiliki ciri khas rasa kopi yang tinggi melebihi kopi luwak asli dan kopi tanpa fermentasi, karena kopi fermentasi dengan penambahan ragi kopi luwak terdapat perubahan yang dilakukan oleh enzim-enzim atau mikroba yang dapat meningkatkan rasa maupun aroma kopi tersebut . Analisis Komponen Flavor Bubuk Kopi Robusta Sangrai Hasil Fermentasi dengan Ragi Kopi Luwak Kering Analisa kandungan flavor pada kopi robusta yang difermentasi dilakukan pada setiap golongan komponen flavor yang telah teridentifikasi sebelumnya dengan GCMS. Golongan yang dianalisa meliputi golongan piridin, alkohol, pirazin, furan, fenol, asam organik, benzene, dan hidrokarbon selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.1 Tabel 1.1 Identifikasi komponen flavor Komponen Flavor Sampel Luwak Robusta A1B1 A2B1 A3B1 A1B2 A2B2 A3B2 A1B3 A2B3 A3B3 Rata-rata Hidrokarbon furan fenol Pirazin piridin benzen 16,74 16,98 13,6 17,11 15,7 14,59 17,55 19,79 15,29 13,35 12,23 15,72 24,23 26,01 26,11 25,82 24,02 25,5 23,68 23,62 23,69 25,16 27,54 25,03 29,38 30,07 24,99 31,66 27,24 28,74 27,19 31,59 29,81 26,24 29,5 28,76 9,4 9,58 12,04 10,57 11,12 12,57 13,25 12,98 8,24 11,47 10,4 11,06 10,88 7,88 10,6 7,72 10,65 9,94 9,09 9,4 13,82 9,49 10,45 9,99 0 0,24 1,25 0 0 0 0 0 0 2,62 0 0,37 Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan komponen flavor yang tidak seragam pada setiap sampel. Hal tersebut kemungkinan disebabkan adanya komponen flavor yang terbentuk selama penyangraian pada biji kopi tidak selalu sama. Berdasarkan hasil uji citarasa nilai yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B2. Apabila dilihat berdasarkan Tabel 1.1 sampel A1B2 memiliki komponen flavor yang seimbang dan tidak jauh dari rata-rata sehingga menyebabkan citarasa yang paling baik. Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan golongan hidrokarbon pada sampel A3B2 memiliki komponen hidrokarbon yang paling tinggi yaitu sebesar 19,79% lebih tinggi dari kontrol (kopi luwak (16,74%); kopi robusta (16,98%)), sedangkan sampel A3B3 memiliki komponen hidrokarbon yang paling rendah terdapat yaitu sebesar 12,23%. Apabila dilihat dari hasil uji citarasa sampel A3B2 memiliki nilai cukup tinggi pada semua parameter. Menurut Maarse (1991) komponen hidrokarbon tidak jenuh merupakan komponen aroma yang penting dan berperan besar dalam pembentukan aroma bahan pangan, komponen tersebut memberikan kontribusi aroma green dan rose-like flavor. asam orgaik 6,36 6,2 6,86 6,05 7,17 7,58 4,85 0,38 4,52 5,79 7,47 5,75 alkohol 3,01 4,49 4,49 1,05 4,15 1,07 2,75 3,7 0,79 5,25 2,41 3,01 Komponen flavor golongan furan merupakan komponen aroma yang sangat penting secara kuantitas dan kualitas pada komoditi kopi. Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan komponen flavor golongan furan pada sampel A3B3 memiliki kandungan furan yang paling tinggi yaitu sebesar 27,54% diatas kontrol kopi luwak (24,23%) dan kontrol kopi robusta (26,01%), sedangkan pada sampel A3B3 memiliki kandungan furan yang paling rendah yaitu sebesar 23,62%. Apabila dilihat dari hasil uji citarasa sampel A3B3 juga memiliki nilai yang cukup tinggi pada semua parameter uji citarasa. Menurut Mulato (2002) senyawa volatil furan dapat menyebabkan beraroma karamel, oxazole, beraroma sweet hazelnut. Komponen flavor golongan fenol merupakan komponen yang penting pada produk kopi. Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan komponen flavor golongan fenol pada sampel A2B1 memiliki komponen fenol paling tingggi yaitu sebesar 31,66% diatas kontrol kopi luwak (29,38%) dan kontrol kopi robusta (30,07%), sedangkan pada sampel A1B1 memiliki golongan fenol paling rendah sebesar 24,99%, tetapi apabila dilihat dari hasil uji citarasa sampel A2B1 memiliki nilai lebih rendah dari sampel 54 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 yang lain pada semua parameter uji citarasa Hal ini dikarenakan komponen fenol memberikan karakteristik aroma seperti carnation (bunga anyelir) sedangkan Menurut Mulato (2002) fenol memiliki aroma bitter (pahit). Nilai kandungan fenol yang tidak seragam yang cenderung naik turun diduga disebabkan adanya aktivitas enzim Polyphenol oxidase pada saat fermentasi berlangsung (Hansen et al.,1998). Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa golongan pirazin yang paling tinggi terdapat pada sampel A2B2 sebesar 13,25 diatas kontrol (kopi luwak (9,4%); kopi robusta (9,58%)), dan yang paling rendah terdapat pada sampel A1B3 sebesar 8,24% tetapi apabila dilihat dari hasil cuptest sampel A2B2 memiliki nilai lebih rendah pada semua parameter jika dibandingkan dengan sampel lain yang sama-sama berada pada waktu fermentasi yang sama. Hal ini dikarenakan ada pengaruh dari komponen flavor yang lain seperti komponen fenol yang menyebabkan rasa pahit, dapat diketahui sampel A2B2 memiliki kandungan fenol yang lebih tinggi dari komponen pirazinnya, selain itu nilai kandungan pirazin yang tidak seragam cenderung naik turun diduga disebabkan oleh komponen prekursor yang ada pada biji kopi. Komponen pirazin merupakan komponen yang berbeda dengan komponen aroma lain seperti asam karboksilat, ester, aldehid, alkohol, dan komponen lain yang merupakan produk enzimatis. Menurut Doyle (dalam Sari, 2014) komponen pirazin merupakan komponen aroma yang terbentuk akibat roasting pada bahan, sedangkan menurut Puziah et al. (1998) jumlah komponen pirazin yang dihasilkan ditentukan oleh komposisi komponen prekursor seperti asam amino bebas, peptida, dan gula pereduksi dimana komponen tersebut terbentuk secara enzimatis pada proses fermentasi. Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa golongan piridin yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B3 sebesar 13,82% diatas kontrol (kopi luwak (10,88%); kopi robusta (7,88%)), sedangkan komponen piridin yang paling rendah terdapat pada sampel A2B1 sebesar 7,72%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sari (2014) dimana komponen piridin meningkat pada fermentasi 24 jam, walaupun pada hasil penelitian kali ini terdapat sampel lain yang nilainya lebih rendah dari kontrol meskipun berada pada waktu fermentasi yang sama. Hal ini diduga dipengaruhi oleh aktifivas mikroba dari ragi kopi luwak yang digunakan dan pengaruh selama proses penyangraian yang berlangsung. Komponen piridin terbentuk dari senyawa kimia trigonelin selama penyangraian berlangsung. Proses penyangraian pada tahap akhir hampir 70% trigonelin akan terurai menjadi piridin yang mempunyai andil besar dalam pembentukan citarasa manis dan karamel pada seduhan kopi (Mulato dan Suharyanto, 2012). Trigonelin terbentuk secara alami dalam biji kopi dengan adanya lama fermentasi maka enzim yang bekerja selama fermentasi akan bereaksi dan akan meningkatkan jumlah piridin pada biji kopi Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa Komponen flavor benzen yang teridentifikasi hanya terdapat pada sampel A1B1, dan A2B3 sedangkan sampel yang lain tidak teridentifikasi. golongan benzen yang paling tinggi terdapat pada sampel A2B3 sebesar 2,62% diatas kontrol kopi luwak (0%) dan kontrol kopi robusta (0,24%). Hal ini diduga karena pengaruh dari penyangraian biji kopi, karena benzen sendiri berhubungan dengan aromatik yang terdapat pada biji kopi. Benzen merupakan senyawa golongan aromatik karena berbau sedap. Senyawa benzen memberikan kontribusi seperti aroma almond. Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa golongan asam organik yang paling tinggi terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7,58% diatas kontrol (kopi luwak (6,36%); kopi robusta (6,2%)), sedangkan yang paling rendah terdapat pada sampel A3B2 sebesar 0,38%. Hasil ini sesuai dengan hasil uji citarasa yang nilainya paling tinggi melebihi kontrol. Nilai keasaman yang tinggi pada sampel A1B2 menunjukkan bahwa rasa asam pada sampel tersebut semakin rendah yang menggambarkan kopi yang enak, manis, dan seperti rasa buah yang segar ketika langsung dirasakan saat kopi diseruput, sedangkan nilai keasaman yang rendah maka rasa asam pada kopi semakin kuat. Hasil ini sesuai dengan penelitian Arafat (2011) dan Sari (2014), pada kopi fermentasi terjadi penurunan pH pada fermentasi berlangsung sehingga kopi yang dihasilkan akan terasa asam. Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa golongan alkohol yang paling tinggi terdapat pada sampel A2B3 5,25% diatas kontrol (kopi luwak (3,01%); kopi robusta (4,49%)), sedangkan kandungan alkohol yang paling rendah terdapat pada sampel A1B2 sebesar 1,07%, tetapi apabila dilihat dari hasil uji citarasa sampel A2B3 memiliki nilai cukup tinggi pada semua parameter. Menurut Curioni dan Bosset (2002) komponen alkohol umumnya menghasilkan aroma sweet fruity, alkoholic, balsamic, dan green tergantung susunan molekulnya. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan ragi kopi luwak bermedia ekstrak kulit buah kopi pada berbagai dosis ragi dan lama fermentasi berpengaruh terhadap citarasa dan komponen flavor biji kopi robusta sangrai hasil fermentasi. Perlakuan yang terbaik terdapat pada sampel A1B2 (ragi 0,5%; 16 jam) dengan nilai secara keseluruhan sebesar 7 melebihi nilai kontrol (kopi luwak 6; kopi robusta 5,58). Komponen flavor pada kopi luwak dan kopi fermentasi berkisar antara 59-72 komponen, komponen flavor pada biji tanpa fermentasi sebesar 119 komponen karena pengaruh dari penyangraian. 55 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 DAFTAR PUSTAKA Arafat, M. 2011. “Fermentasi Kering dengan Modifikasi Ragi Kopi Luwak dan Ragi Roti pada Pengolahan Kopi Robusta (Coffee canephora)” Tidak Dipublikasikan. Skripsi. Jember: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Curioni, P. M. G., Bosset, J. O. 2002. Key Odorant in Various Cheese Types as Determined by Gas Chromatography-Oflactometry. Internasional Dairy Journal. Vol 12: (959-984). Elsevier Journal of the Science of Food and Agriculture. 78: 535-542 Sari, L. M. (2014). “Karakteristik Organoleptik Dan Komponen Flavor Biji Kopi Robusta (Coffee Canephora) Hasil Fermentasi Mengunakan Miklofora Feses Luwak” Tidak Dipublikasikan. Skripsi. Jember” Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Direktorat Jenderal Perdagangan. 2013. Kopi Luwak. Edisi Warta Ekspor Fuferti, Megah, A, Z., Syakbaniah. Ratnwulan. 2013. Perbandingan Karakteristik Fisis Kopi Luwak (Civet coffee) dan Kopi Biasa Jenis Arabika. Jurnal. Vol. 2. Hal 68-75 Hansen, C. E., Del Olmo, M., Burri, C. 1998. Enzyme Activities in Cocoa Beans during Fermentation. Journal of the Science of Food and Agriculture. Vol 77 : 273 – 281 Krishnakumar, H. N. K., Balasubramanian, M., Balakrishnan. (2002). Sequential Pattern of Behavior in the Common Palm Civet Paradoxurus Hermaphrodites (Pallas). International Journal of Comparative Psychology, vol 15: 303—311. Maarse, H. 1991. Volatile Compounds In Foods And Baverages. Marcel Dekker Inc. New York-BaselHongkong. Mulato, S. 2002. Simposium Kopi 2002 dengan Tema Mewujudkan perkopian Nasional Yang Tangguh melalui Diversifikasi Usaha Berwawasan Lingkungan dalam Pengembangan Industri Kopi Bubuk Skala Kecil Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Usaha Tani Kopi Rakyat. Denpasar : 16 – 17 Oktober 2002. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Mulato, S., Suharyanto, E. 2012. Kopi, Seduhan, Dan Kesehatan. Jember: Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Puziah, H., Slamet, J., Muhammad S. K. S., Ali, A. 1998. Changes in Free Amino Acid, Peptide-N, Sugar and Pyrazine Concentration during Cocoa Fermentation. 56 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Prevalensi dan Diversitas Lactobacillus sp. pada Susu Kambing Etawa Segar Bambang Poerwanto#1, Titik Budiati #2 # Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember 1totokpolije@gmail.com 2titik.budiati@gmail.com Abstract Susu kambing etawa segar adalah produk minuman Indonesia yang potensial untuk dikembangkan. Kandungan gizi dan bakteri probiotik yang terdapat di dalam susu kambing etawa segar menjadi faktor penting dalam produk tersebut sebagai minuman kesehatan. Salah satu bakteri probiotik dalam susu kambing etawa segar adalah Lactobacillus sp. Sebanyak 48 sampel susu kambing etawa segar beku diperoleh dari pasar lokal. Prevalensi Lactobacillus sp. yang diisolasi dari susu kambing etawa yang diperoleh dari peternakan Senduro Lumajang dan Tempurejo Jember adalah sebesar 14/24 (58.3%) dan 15/24 (62.5%). Diversitas Lactobacillus sp. pada susu kambing etawa adalah L. plantarum (26/29; 89.7%) dan L. brevis (3/29; 10.3%). Probiotik pada susu kambing etawa segar dapat membantu sistem pencernaan dan dapat menekan populasi bakteri jahat yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Keywords— Etawa, Lactobacillus sp., Susu kambing segar. I. PENDAHULUAN Susu kambing etawa adalah produk makanan kesehatan yang semakin banyak diminati oleh masyarakat di Indonesia. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa dalam susu kambing etawa tersebut terkandung zat gizi tinggi dan probiotik yang dibutuhkan oleh kesehatan manusia. Salah satu bakteri probiotik yang dapat ditemui di dalam susu kambing etawa adalah Lactobacillus sp. Bakteri Lactobacillus memiliki habitat asli yaitu pada membran mukosa dari manusia atau hewan, tanaman, limbah, makanan terfermentasi seperti susu asam, adonan yang asam, dan lain-lain. Jenis-jenis Lactobacillus antara lain Lactobacillus casei, Lactobacillus salivarius, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus bulgaricus , Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus sporogenous dan lain-lain. Bifidobacteria pertama kali diisolasi dari kotoran bayi atau feses yang hanya meminum air susu ibu (ASI) [1]. Akan tetapi belum banyak penelitian yang membahas tentang prevalensi Lactobacillus sp. di susu kambing etawa segar. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendeterminasi prevalensi dan diversitas Lactobacillus sp. di susu kambing etawa segar. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi prevalensi dan diversitas Lactobacillus sp. di susu kambing etawa segar. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Susu Kambing Etawa Kambing etawa adalah salah satu hewan ternak yang tergolong tipe dwiguna karena menghasilkan daging dan susu [2]. Kambing Etawa merupakan persilangan dari kambing Jamnapari dan kambing Kacang [3]. Susu yang dihasilkan oleh kambing etawa bergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi, misalnya kesehatan ternaknya, waktu pemerahan, musim, pakan, dan umur ternak [2]. Warna susu yang diperoleh dari kambing yang sehat adalah putih bersih, kekuning-kuningan dan tidak tembus cahaya. Sedangkan warna susu yang diperoleh dari kambing yang tidak sehat adalah semu merah, semu biru, terlalu kuning, atau seperti air. B. Lactobacillus sp. Lactobacillus sp. adalah bakteri gram positif dari filum Actinobacteria yang bersifat tidak bergerak, tidak membentuk spora, tidak menghasilkan gas, bakteri anaerobik. Pada umumnya Lactobacillus species diisolasi dari gastrointestinal mamalia, serangga atau burung [4]. Beberapa Lactobacillus species (misalnya Lactobacillus bifidum, Lactobacillus breve, and Lactobacillus longum subsp. longum) merupakan isolat yang diperoleh dari manusia, sedangkan Lactobacillus gallinarum, Lactobacillus angulatum dan Lactobacillus cuniculi berhubungan dengan kotoran hewan [5]. 57 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Menurut Ortakci dan Sert [6] Lactobacillus sp. telah ditemukan berasal dari saluran pencernaan manusia, vagina dan saluran kandung kemih. Tugas utama dari bakteri ini adalah menjaga keseimbangan flora mikro dalam usus, mengontrol peningkatan bakteri merugikan, memperkuat sistem kekebalan tubuh, dan membantu proses pencernaan [6]. Suhu optimal pertumbuhan sekitar 37 – 41oC dan pH optimal antara 6,5 – 7 [6]. Beberapa spesies dari genus Lactobacillus telah digunakan selama beberapa dekade sebagai makanan fungsional untuk kesehatan atau efek probiotik [7]. Berbagai cara telah dilakukan untuk memanfaatkan Lactobacillus sebagai probiotik. Probiotik dapat mereduksi terjadinya infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau virus penyebab diare, menyembuhkan penyakit inflamasi kronis (misalnya pouchitis and ulcerative colitis), meningkatkan kondisi fisiologi (misalnya menurunkan tingkat kolesterol atau tidak toleran terhadap laktosa) dan mengurangi resiko yang berdampak pada kesehatan (misalnya karies gigi, alergi, dan bahkan kanker [8]. Lactobacillus merupakan bakteri penghasil asam laktat. asam asetat, vitamin, bakteriosin. Asam laktat dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri penyebab penyakit (bakteri patogen) dan bakteri pembusuk makanan. Selain itu, bakteri asam laktat juga dapat menghasilkan senyawa antimikroba lainnya seperti bakteriosin, hidrogen peroksida dan diasetil. Bakteriosin adalah polipeptida yang memiliki aktivitas antimikroba. Hal ini mengindikasikan bahwa manfaat Lactobacillus sp. menunjukkan peran yang nyata melalui ekosistem yang kompleks dalam pencernaan manusia. III. TUJUAN DAN MANFAAT A. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeterminasi prevalensi dan diversitas Lactobacillus sp. di susu kambing etawa segar. B. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi prevalensi dan diversitas Lactobacillus sp. di susu kambing etawa segar. IV. METODE PENELITIAN A. Sampel Susu kambing etawa segar beku diperoleh dari dari pasar lokal Jember yang didominasi dari dua peternakan kambing etawa (Senduro, Lumajang dan Tempurejo, Jember). Susu kambing etawa segar beku ini merupakan susu segar yang belum mengalami proses pasteurisasi dan dipasarkan dalam bentuk beku. Pengambilan sampel dilakukan sejak bulan April hingga Juni 2016). Selama proses pengambilan sampel, sebanyak kurang lebih 500 ml sampel susu kambing etawa segar beku diambil dari pasar lokal dan diangkut menggunakan polystyrene box yang berisi es batu dan bersuhu 4 hingga 8 oC ke laboratorium. Sampel dikirim dan dianalisa di laboratorium dalam waktu 3 jam. B. Isolasi Lactobacillus sp. pada susu kambing etawa Sampel susu kambing etawa segar beku dibiarkan selama kurang lebih 20 menit dalam suhu kamar untuk proses thawing. Setelah mencair susu kambing etawa segar dihomogenisasi selama 3 menit. Sebanyak 25 ml sampel susu kambing etawa ditempatkan dalam stomacher bag dan diencerkan dengan menggunakan 225 ml Pepton Water 0.1% (berat/volume) (PW, Oxoid, Baringstoke, Hampshire, UK). Campuran ini dihomogenisasi selama 10 menit dan diencerkan lebih lanjut hingga mencapai 10-5. Sebanyak 0.1 ml dari masingmsing pengenceran disebar diatas MRS Agar (MRSA, HiMedia, India) dalam cawan petri menggunakan metode spread method. Selanjutnya bakteri diinkubasi secara anaerobik selama 24-48 jam pada suhu 37oC. Bakteri yang diperoleh dilakukan isolasi diatas MRSA dan selanjutnya dilakukan streaking diatas Triptic Soy Agar (TSA, Merck KGaA, Darmstadt, Jerman). Koloni yang tumbuh baik diuji lebih lanjut dengan uji pewarnaan menggunakan Gram Staining, pemeriksaan morfologi, pengujian katalase dan cytochrome oxidase. Semua bahan uji biokimia diperoleh dari Hi-Media (India). Proses identifikasi spesies bakteri dilakukan dengan menggunakan API 50 CHL (Biomerieux, Perancis). C. Analisa statistika Prevalensi Lactobacillus sp. pada susu kambing etawa yang diperoleh dari dua peternakan yang berbeda diuji secara statistik dengan menggunakan Mann-Whitney U test dalam program SPSS versi 13.0 pada tingkat kepercayaan 5% (P = 0.05). Apabila nilai P < 0.05 maka terdapat perbedaan yang nyata antara kedua peternakan. V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Susu kambing etawa segar dari peternakan Senduro dan Tempurejo didistribusikan dalam keadaan beku. Bakteri Lactobacillus sp. pada sampel susu kambing etawa segar diisolasi menggunakan media selektif deMann Rogosa Sharpe Agar (MRSA). Koloni yang tumbuh berwarna putih, dan putih mengkilat yang diamati pada inkubasi selama 24 jam serta pada inkubasi selama 72 jam. Hal ini sesuai dengan pendapat Holdeman dan Gato [9]. Menurut Holdeman dan Gato [9] isolat bakteri asam laktat yang telah diinkubasi pada suhu 30oC tampak koloni bakteri yang tumbuh dalam media selektif. Koloni bakteri asam 58 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 laktat Lactobacillus sp. berciri-ciri putih mengkilat, ukuran koloni 0,5-2 mm. Bentuk koloni bulat rata dan tidak berserat. Setelah isolat didapatkan, kemudian dilakukan pengujian biokimia menggunakan uji katalase, uji oksidase dan gram staining. Berdasarkan pengamatan diperoleh data bahwa semua isolat Lactobacillus sp. menunjukkan katalase negatif, okidase negatif, gram positif dan berbentuk batang. TABEL IV PREVALENSI LACTOBACILLUS SP. PADA SUSU KAMBING ETAWA SEGAR Prevalensi Lactobacillus sp. pada susu kambing etawa segar A B 14/24 15/24 Uji statistika P > 0.05 (Tidak berbeda nyata) Keterangan : A. Susu kambing etawa dari peternakan Senduro B. Susu kambing etawa dari peternakan Tempurejo Berdasarkan analisa statistik, prevalensi bakteri Lactobacillus sp. tidak terdapat perbedaan yang nyata. Kedua peternakan mungkin mempunyai sistem pemeliharaan kambing etawa yang hampir sama. Faktor yang mempengaruhi keberadaan Lactobacillus sp. adalah pakan dan faktor lainnya [10]. Berdasarkan hasil uji identifikasi sampai tingkat spesies menggunakan API 50 CHL didapatkan bahwa diversitas Lactobacillus sp. pada susu kambing etawa adalah L. plantarum (26/29; 89.7%) dan L. brevis (3/29; 10.3%). Identifikasi menggunakan API 50 CHL melibatkan 49 jenis gula dan 1 kontrol. Isolat Lactobacillus plantarum mendominasi pada susu kambing etawa dibandingkan dengan jenis Lactobacillus brevis. Pada umumnya bakteri menggunakan sumber karbon yaitu gula yang paling sederhana untuk difermentasi. Tidak tersedianya sumber gula sederhana membuat bakteri memanfaatkan sumber gula yang lebih kompleks untuk difermentasi [11]. Hal tersebut dapat terlihat dari kemampuan isolat yang mampu memfermentasi beberapa komponen gula kompleks. Komponen gula yang mampu difermentasi oleh 36 isolat tersebut adalah fruktosa, glukosa dan maltosa. Berdasarkan hasil dari uji fermentasi karbohidrat dengan menggunakan API 50 CHL, maka kemampuan fermentasi karbohidrat Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus brevis dapat dilihat pada tabel II. Dari hasil uji identifikasi sebanyak 50 uji fermentasi karbohidrat dalam API 50 CHL. Dari tabel 2 didapatkan bahwa terdapat 9 uji yang berbeda antara L. plantarum dan L. brevis yaitu L-arabinosa, D-xilosa, D-mannitol, Metylo-αD-glukopiranosid, Salicina, D-celobiosa, Dtrehalosa, D-tagatosa dan Glukonian potasu. Hasil identifikasi menunjukkan hasil positif Lactobacillus plantarum yaitu 26 isolat dari 29 isolat yang diidentifikasi. Hasil fermentasi mampu menurunkan pH media menjadi lebih asam yang ditandai dengan perubahan warna kuning pada jenis gula seperti ribosa, galaktosa, glukosa, fruktosa, mannosa, mannitol, sorbitol, glukosamina, amigdalina, arbutina, salisina, maltosa, laktosa, malibiosa, sacharosa, dan genobiosa. Menurut hasil penelitian Ramos [12], bahwa Lactobacillus plantarum termasuk bakteri asam laktat dengan bentuk sel batang, warna koloni putih kekuningan, gram positif, katalase negatif, tidak motil dan kemampuan memfermentasi gula-gula seperti arabinosa, galaktosa, glukosa, laktosa, maltose, manitol, raffinosa, salisin, sorbitol dan sukrosa sebesar 99%, sedangkan kemampuan memfermentasi rhamnosa dan xilosa sebesar 50%. TABEL VI HASIL UJI IDENTIFIKASI LACTOBACILLUS SP. PADA SUSU KAMBING ETAWA SEGAR MENGGUNAKAN API 50 CHL Uji karbohidrat L. plantarum L. brevis - + D-xilosa - + D-mannitol + - Metylo-αDglukopiranosid - + Salicina + - D-celobiosa - + D-trehalosa - + D-tagatosa - + Glukonian potasu - + L-arabinosa Hasil identifikasi API 50 CHL dari 29 isolat menunjukkan 7 isolat diantaranya merupakan Lactobacillus brevis. Hasil fermentasi mampu menurunkan pH media menjadi lebih asam yang ditandai dengan perubahan warna kuning pada jenis gula arabinose, ribosa, xilosa, galaktosa, glukosa, fruktosa, mannosa, glukopiranosid, glukosama, amigdalina, arbutina, celobiosa, maltosa, laktosa, malibiosa, sacharosa, trehalosa, rafinosa, gencjobiosa, dan glukonian potasu. Menurut hasil penelitian Ramos [12], bahwa Lactobacillus brevis termasuk bakteri asam laktat dengan bentuk sel batang, warna koloni putih kekuningan, gram positif, katalase negatif, tidak motil dan kemampuan memfermentasi gula-gula seperti arabinosa, galaktosa, glukosa, maltosa, raffinosa, dan sukrosa sebesar 99%, 59 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 sedangkan kemampuan memfermentasi laktosa, salisin dan xilosa sebesar 50% serta tidak mampu memfermentasi manitol, rhamnosa, sorbitol. [11] [12] VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Prevalensi Lactobacillus sp. yang diisolasi dari susu kambing etawa yang diperoleh dari peternakan Senduro Lumajang dan Tempurejo Jember adalah sebesar 14/24 (58.3%) dan 15/24 (62.5%). Diversitas Lactobacillus sp. pada susu kambing etawa adalah L. plantarum (26/29; 89.7%) dan L. brevis (3/29; 10.3%). approaches." Systematic and applied microbiology 2007. 30, no. 7: 547-560 W.H.N. Holzapfel, J.B. Wood. The genera of lactic acid bacteria. Vol. 2. Springer Science & Business Media, 2012. C.L. Ramos, L. Thorsen, R. F. Schwan, L. Jespersen. Strainspecific probiotics properties of Lactobacillus fermentum, Lactobacillus plantarum and Lactobacillus brevis isolates from Brazilian food products. Food microbiology 2013. 36, no. 1: 2229. B. Saran Perlu penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi Lactobacillus sp. menggunakan 16SRNA UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi melalui Penelitian Hibah Bersaing Usulan Tahun 2015. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] Martín, Virginia, A. Maldonado-Barragán, L. Moles, M. Rodriguez-Baños, R. del Campo, L. Fernández, J. M. Rodríguez, and E. Jiménez. Sharing of bacterial strains between breast milk and infant feces. Journal of Human Lactation . 2012. 28: 1 : 3644. S. Yunika, A.T Sudewo, S. Utami. Hubungan Antara Lingkar Dada, Panjang Badan, Tinggi Badan dan Lokasi dengan Produksi Susu Kambing Sapera . Jurnal Ilmiah Peternakan. 2014. 1 (3) E. Heriyanta, M. Nur Ihsan, N. Isnaini. Pengaruh umur kambing peranakan etawah (PE) terhadap kualitas semen segar. Jurnal Ternak Tropika .2014. 14, no. 2: 1-5. M. Ventura, C. Canchaya, A. Tauch, G. Chandra, K. Chater, G.F. Fitzgerald dan D. Van Sinderen. D. Genomics of Actinobacteria: tracing the evolutionary history of an ancient phylum. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 2007. 71:495-548. R. Lamendella, J.W. Santo Domingo, C. Kelty, D.B. Oerther, Lactobacillus in feces and environmental waters. Appl. Environ. Microbiol. 2008. 74:575-584 Ortakci, F., and S. Sert. Stability of free and encapsulated Lactobacillus acidophilus ATCC 4356 in yogurt and in an artificial human gastric digestion system. Journal of dairy science 2012. 95, no. 12: 6918-6925. B.L. Maidak, J.R Cole, T. G. Lilburn, C. T. Parker, P. R. Saxman, R. J. Farris, G. M. Garrity, G. J. Olsen, T. M., Schmidt, J. M. Tiedje.. The RDP-II (Ribosomal Database Project). Nucleic Acids Res. .2001. 29:173-174. M.L. Marco, S. Pavan, M. Kleerebezem. Towards understanding molecular modes of probiotic action. Curr. Opin. Biotechnol. 2006. 17:204-210 L.V. Holdeman, W. E. C. Moore, E. P. Cato, Anaerobe laboratory manual. Virginia Polytechnic Institute and State University.1997. C. Cécile, F. Duthoit, C. Delbès, M. Ferrand, Y.L Frileux, R. D. Crémoux, and M-C Montel. "Stability of microbial communities in goat milk during a lactation year: molecular 60 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Analisa Kinerja Metode PID pada Suhu Alat Pengering Biji Kedelai Guido Dias Kalandro1, Ali Rizal Chaidir2, Alfredo Bayu Satriya3 Jurusan Teknik Elektro Universitas Jember Jalan Kalimantan 37 Kampus Tegalboto, Jember 1guidokalandro89@gmail.com 2 alirizalchaidir@gmail.com 3alfredobayu.teknik@unej.ac.id Abstract Mutu kedelai sangat dipengaruhi oleh proses pasca panen salah satunya adalah proses pengeringan. Proses pengeringan umumnya dilakukan dengan menjemur atau menggunakan mesin pengering kedelai konvensional. Proses tidak menghasilkan pengeringan yang optimal karena tidak menghasilkan suhu dan laju pengeringan yang stabil dan terkendali. Agar suhu dan laju pengeringan stabil dan terkendali sehingga proses pengeringan menjadi optimal, diperlukan rancangan alat pengering kedelai menggunakan sistem closed loop, salah satunya menggunakan metode PID. Sebelum merancang alat, maka analisa kinerja metode PID dan penalaan parameter-parameter PID yakni Kp, Ki, dan Kd perlu dilakukan. Artikel ini membahas metode penalaan PID dan mengusulkan metode penalaan terbaik untuk merancang alat pengering. Hasil simulasi menunjukkan Metode BB yang paling cocok untuk digunakan pada rancanagan alat pengering biji kedelai dengan overshoot mencapai 0%, rise time 13 detik dan settling time 23,4 detik. Keywords— alat pengering, kedelai, penalaan, PID, suhu pengeringan. I. PENDAHULUAN Setiap tahun sekitar 4.500 - 5.000 ton kedelai berhasil diekspor dengan menghasilkan devisa USD 10 juta [1]. Jawa Timur menyumbang sekitar 42% produksi kedelai nasional oleh karena itu kedelai menjadi salah satu tema riset unggulan di Universitas Jember. Penelitian yang dikembangkan meliputi berbagai aspek dari kedelai antara lain pembibitan, perawatan, proses pasca panen, proses pengolahan dan produksi dengan tujuan untuk menghasilkan kuantitas dan kualitas kedelai yang diinginkan. Mutu dan produksi kedelai sangat dipengaruhi oleh proses panen dan pasca panen. Proses pasca panen kedelai terdiri dari berbagai tahap, antara lain pengeringan brangkasan, proses perontokan biji, proses pembersihan dan sortasi, serta proses pengeringan biji. [2] Proses pengeringan biji kedelai menjadi suatu bagian dari proses pasca panen yang sangat penting. Proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terkandung dalam biji kedelai yang semula berkisar 1720% menjadi 13-14% (turun sebesar 3-7 %) . Biji kedelai nantinya akan diolah menjadi makanan maupun sebagai benih tanaman kedelai. Biji kedelai dengan kadar air diatas 17% atau tanpa proses pengeringan akan menyebabkan biji kedelai yang cepat busuk atau memiliki umur simpan pendek, sedangkan biji yang akan dijadikan benih akan memiliki daya kecambah yang buruk tanpa pengeringan [3]. Proses pengeringan biji kedelai dapat dilakukan secara alami maupun buatan. Secara alami, biji kedelai dapat dikeringkan dengan cara dijemur sedangkan dengan buatan yakni dengan menggunakan mesin pengering. Pengeringan biji kedelai dengan mesin pengering lebih dianjurkan dibandingkan dengan menjemur kedelai karena mampu meningkatkan mutu pengeringan [2]. Pengeringan dengan penjemuran sangat mengandalkan cahaya matahari dan kondisi cuaca. Penggunaan mesin kedelai konvensional juga masih memiliki kelemahan yaitu sistem pengeringannya yang bersifat open loop sehingga suhu pengeringan tidak terkendali dengan baik. Di sisi lain, untuk mendapatkan biji kedelai yang berkualitas diperlukan pengeringan dengan suhu yang stabil agar laju pengeringan terkendali dengan baik. Oleh karena itu, dibutuhkan alat pengering biji kedelai menggunakan sistem closed loop dengan sensor suhu sebagai umpan balik untuk mengurangi error suhu pada proses pengeringan. Beberapa penelitian tentang penerapan sistem kendali suhu pada alat pengering produk hasil pertanian menunjukkan beberapa kelebihan dibandingkan menggunakan alat pengering tanpa sistem kendali suhu. Pada penelitian sebelumnya [4], alat pengering dengan sistem kendali suhu menunjukkan 61 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 penghematan penggunaan energi listrik. Penelitian lain [5] menunjukkan bahwa alat pengering otomatis yang dibuat menghasilkan kualitas lebih terjamin dan prosentase kegagalan dalam proses pengeringan sangat kecil jika dibandingkan dengan mesin pengering konvensional. Artikel ini membahas simulasi kinerja sistem kendali menggunakan metode PID Ziegler–Nichols (ZN), Chien– Hrones–Reswick (CHR), Cohen–Coon (CC), dan BangBang (BB) pada alat pengering biji kedelai menggunakan software Matlab. Hasil dari simulasi ini akan dijadikan acuan untuk mendesain alat pengering biji kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA Simulasi ditujukan untuk merancang alat pengering kedelai dengan menggunakan metode PID dan Fuzzy. A. Kedelai Kedelai banyak mengandung protein, lemak dan vitamin, sehingga tidak mengherankan bila kedelai mendapat julukan : gold from the soil. Berdasarkan warna kulitnya, kedelai dapat dibedakan atas kedelai putih, kedelai hitam, kedelai coklat, dan kedelai hijau. Perbedaan warna tersebut akan berpengaruh dalam penggunaan kedelai sebagai bahan pangan. Menurut SNI 01-39221995, klasifikasi mutu kedelai dibagi dalam 4 tingkatan, dengan jenis uji kadar air, butir belah, butir rusak, butir warna lain, butir keriput dan kotoran. Salah satu tahapan dari proses pengolahan biji kedelai adalah proses pengeringan biji, jika tidak melakukan proses pengeringan maka akan mengakibatkan biji atau benih yang dihasilkan memiliki mutu yang rendah seperti misalnya berjamur, berkecambah, dan busuk. Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan antara lain:  Suhu maksimum pengeringan  Kadar air awal rendah  Mempertahankan laju pengeringan 4 – 5 %/ jam Pengeringan biji kedelai dengan mesin pengering menggunakan suhu maksimal sekitar 50 drajat C dan dilakukan sampai presentase kadar air dalam biji kedelai berubah dari sekitar 15 – 18% menjadi sekitar 12 – 13 %. 4) S-S error: selisih antara set point (nilai yang diinginkan) dengan nilai yang dicapai sistem setelah steady state C. Kontrol PID Kontrol Proporsional, Integral dan Derivatif (PID) adalah sebuah kontrol dengan loop tertutup. Kontrol PID merupakan salah satu metode yang digunakan untuk pengaturan suhu [7]. Tujuan dari kontrol PID secara umum adalah untuk memperkecil selisih antara nilai yang terukur oleh sebuah sensor dengan set point yang telah ditentukan. Ada tiga parameter dalam kontrol PID, yaitu nilai Proporsional, Integral dan Derivative. Setiap parameter kontrol PID memiliki karakter dan fungsi masing-masing seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1. Dengan melakukan penalaan (tuning) konstanta disetiap parameter dapat memberikan respon yang diinginkan. Penalaan parameter PID disebut juga dengan Tuning PID. Kesalahan dalam memilih parameter kontroler PID menyebabkan sistem menjadi tidak stabil (output menyimpang atau terjadi osilasi). Metode penalaan PID antara lain adalah metode Ziegler-Nichols (Z-N) , metode Chien–Hrones–Reswick dan metode Cohen–Coon (CC). B. Respon Sistem Gambar 1. Respon sistem dan parameter-parameter respon sistem Sebuah sistem open loop diberikan input step maka akan menghasilkan repon sistem yang membentuk grafik seperti pada Gambar 1 [6]. Respon sistem ini yang menunjukkan kinerja sebuah sistem. Parameter respon sistem antara lain: TABEL VI KARAKTERISTIK MASING-MASING KONTROL PID 1) Overshoot: presentase selisih antara set point (nilai yang diinginkan) dengan capaian sistem 2) Settling time: waktu yang ditempuh untuk mencapai steady state 3) Rise time: waktu yang diperlukan untuk mencapai set point pertama Rise Time Parameter Sistem Kendali Settling Overshoot Time P Mengurangi Menambah Perubahan Kecil I Mengurangi Menambah Menambah D Perubahan Kecil Mengurangi Mengurangi S-S Error Mengurangi Mengeliminasi Tidak ada Perubahan 62 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan kinerja berbagai metode sistem kendali close loop agar dapat dipakai sebagai acuan dalam merancang alat pengering biji kedelai dengan suhu yang stabil. IV. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini meliputi metode mendapatkan fungsi transfer sistem open loop, penalaan metode PID pada closed loop dan analisa sistem. A. Fungsi Transfer Sistem Open Loop Sebelum menganalisa sistem closed loop dengan metode PID, diperlukan analisa respon sistem open loop untuk mendapatkan parameter-parameter yang diperlukan sebagai input sistem closed loop antara lain L = rise time sistem open loop dan T = selisih antara settling time dan rise time sistem open loop. Respon sistem open loop didapatkan menggunakan fungsi transfer Gs melalui persamaan (1-4) berikut. Kplant = ��� ��� T1 = Xa0 + [(Xat - Xa0) × 0,632] Tv = T1  X a0 K plant  X i Gs = K plant  1  Tv S 1  T1S Berbeda dengan ketiga metode diatas, metode BangBang melakukan penalaan tidak berdasarkan pada persamaan namun pada percobaan trial and error hingga mendapatkan respon sistem yang diinginkan. Gambar 2. Rancangan Sistem Closed Loop Alat Pengering Biji Kedelai TABEL VIII PERSAMAAN PENALAAN PID Metode Kp Ki Kd Z-N 1.2/a 2L L/2 CHR 0.6/a 2.5  2 L 1  0.39 L 1.35  0.18  1   a  1   CC (1) dimana: (2) = � �= � T 0.37  0.37 L 1  0.81 � �+� C. Analisa Sistem (3) (4) B. Penalaan PID pada Sistem Closed Loop Rancangan sistem closed loop ditunjukkan pada Gambar 2. Heater dirancang untuk melakukan pemanasan pada alat pengering. Sensor suhu digunakan untuk memonitor suhu setiap saat sebagai umpan balik sistem sehingga didapat error sistem. Error sistem akan diminimalisir dengan penambahan Metode PID. Analis kinerja metode PID adalah dengan menganalisa parameter Kp,Ki, dan Kd yang terbaik dalam menghasilkan respon sistem yang bagus, yakni rise time, settling time, overshoot, dan S-S error yang sangat kecil atau bahkan tidak ada. Terdapat beberapa metode penalaan PID, antara lain Ziegler–Nichols (Z-N), Chien–Hrones–Reswick (CHR), Cohen–Coon (CC) dan Bang-bang (BB). Penalaan metode Z-N, CHR, dan CC dilakukan dengan memasukkan parameter respon sistem open loop pada persamaan-persamaan untuk mendapatkan parameter Kp,Ki, dan Kd seperti ditunjukkan pada Tabel III. Hasil respon sistem PID dengan metode Z-N, CC dan CHR akan dibandingkan satu dengan yang lain serta dibandingkan pula dengan respon sistem open loop. Parameter yang dibandingkan antara lain rise time, settling time, overshoot, dan S-S error. Kemudian hasil perbandingan ketiga metode tersebut akan dijadikan tolak ukur untuk menghasilkan metode BB, sehingga didapatkan metode BB terbaik yang cocok diaplikasikan sebagai sistem kendali suhu alat pengering kedelai V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Berikut hasil yang diperoleh dari simulasi yang telah dilakukan. D. Respon Sistem Open Loop Respon sistem open loop ditunjukkan oleh Gambar 3. Sistem open loop menunjukkan respon sistem yang lambat, dimana sistem ini memilki rise time mencapai 57,1 detik dan settling time mencapai 102 detik. Namun sistem open loop tidak menghasilkan overshoot. Respon sistem open loop menghasilkan nilai L = 57,1 detik dan T = 44,9 detik. 63 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 E. Perbandingan Metode Z-N, CC dan CHR Hasil simulasi perbandingan tiga metode penalaan PID ditunjukkan oleh Gambar 4. Ketiga metode relatif memiliki overshoot yang tinggi yaitu berkisar 15-16%. Jika dibandingkan dengan metode open loop maka open loop lebih baik dari sisi overshoot. Namun jika dibandingkan pada rise time dan settling time maka metode ZN, CC dan CHR jauh lebih cepat dibanding sistem open loop. CHR memiliki kelebihan yakni mencapai steady state paling cepat dibanding metode lain dengan settling time hanya 16,2 detik. Metode CC memiliki kelebihan yakni memiliki rise time tercepat dibanding metode lain yakni hanya 0,04 detik. Overshoot tertinggi dimiliki oleh metode CHR. Hal ini menunjukkan ada trade off antara parameter-parameter respon sistem dan tidak ada metode yang mutlak lebih baik dibanding metode yang lain. Gambar 4. Perbandingan Respon Sistem Closed Loop Alat Pengering Kedelai Menggunakan PID dengan Metode Penalaan Z-N, CHR dan CC F. Metode Bang-Bang Setelah mendapatkan hasil kinerja metode penalaan ZN, CHR dan CC maka selanjutnya adalah melakukan trial and error/ Metode Bang-Bang. Tiga kali percobaan dilakukan untuk mencari metode paling cocok diaplikasikan pada alat pengering biji kedelai. Target utama adalah menghilangkan overshoot sehingga suhu pengeringan tidak melebihi 50˚C serta tetap menjaga settling time dan rise time sekecil mungkin. Didapatkan pada Bang-Bang yang ketiga dimana overshoot 0% dan settling time hanya 23,4 detik. Metode Bang-Bang ketiga menggunakan parameter Kp, Ki, dan Kd sebesar 20, 40 dan 5. TABEL VIIIII PARAMETER PID DAN KINERJA METODE PENALAAN Z-N, CHR, CC DAN BB Parameter PID Metode Z-N CHR CC BB1 BB2 BB3 Gambar 3. Respon Sistem Open Loop Alat Pengering Biji Kedelai dengan Rise Time dan Settling Time Kp Ki Kd L 0,94 0,47 1,30 12 20 20 114,2 44,9 100,83 115 150 40 28,55 28,55 17,01 7 5 5 0.08 3.43 0.04 0.03 0.02 13 Parameter Respon Sistem OverST T Peak shoot (%) 30.8 30.72 57.7 15 16.2 12.77 58.2 16,5 30.2 30.16 57.6 15,2 26.5 26.47 52.4 4,75 21.9 21.88 50.7 1,4 23.4 10.4 0 0 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Sistem dengan kendali suhu PID menunjukan hasil yang relatif lebih baik dibandingkan sistem yang konvensional (open loop). Rise time sistem open loop mencapai 57,1 detik sedangkan pada sistem PID menghasilkan rise time terbesar hanya 3,43 detik yakni pada metode CHR. Settling time metode open loop mencapai 102 detik sedangkan PID menghasilkan settling time terbesar 30,8 detik yakni pada metode Z-N. Kelebihan open loop hanya pada overshoot yang bernilai 0% menyamai overshoot PID dengan metode BB. Metode ZN, CC, dan CHR memiliki kelebihan masingmasing. Metode CHR memiliki nilai settling time paling cepat dibanding metode CC dan ZN yaitu 16,2 detik. Metode CC memiliki rise time paling cepat dibanding metode CHR dan ZN yaitu 0,04 detik. Ketiga metode tersebut memiliki overshoot relatif sama (berkisar 1516 %). Dengan melakukan analisa terhadap hasil simulasi ketiga metode tersebut dilakukan metode BB. Metode BB dilakukan dengan target mengurangi overshoot agar suhu pengeringan tidak melebihi suhu maksimum namun juga tidak menambah terlalu besar rise time dan settling time. Setelah tiga kali trial and error maka didapatkan hasil 64 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 metode BB ketiga. Hasil metode BB ketiga memiliki overshoot 0% dengan rise time 13 detik dan settling time 23,4 detik. Saran penulis untuk penelitian selanjutnya adalah pengembangan metode penalaan dengan algoritma yang lebih baik untuk mendapatkan overshoot 0% dan rise time serta settling time sekecil mungkin, UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terimakasih kepada Lembaga Penelitian Universitas Jember serta Fakultas teknik Universitas Jember atas dukungan dalam penulisan artikel ini. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] http://setkab.go.id/kedelai-jember-tembus-pasar-internasional/. http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluhan/detail/9904/penan ganpe-pengeringan-tanaman-kedelai Suprapto. 1992. Bertanam Kedelai. Jakarta: Penebar Swadaya Putra, G.M.D., dan Sumarjan, “Desain sistem kendali suhu dan RH berbasis logika fuzzy pada pengeringan biji pala (Myristica sp.) ERK hybrid,” Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol. 2, No. 1 Maret 2014. Supriyono, H., Ariwibowo, S., dan Al Irsyadi, F. (2015), “Rancang bangun ppengering panili otomatis berbasis mkrokontroler,” Simposium Nasional RAPI XIV FT UMS , ISSN 1412-9612. Tao, Y., and Hu, Z. (2010), “Algorithm of baking tobacco control decision system based on fuzzy control and lagrange interpolation,” Industrial Mechatrinics and Automation (ICIMA), 2010 IEEE, Vol. 1, pp. 529-532, 30-31 May 2010. Schoeman, R. M. (2011), “Embedded PI-bang-bang curing oven controller,” AFRICON, 2011 IEEE, hal. 1-5. 65 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Potensi Bakteri Pseudomas fluorescence dan Bacillus subtillis untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri pada Kedelai (Pseudomonas syringae pv. glycine) Abdul Majid ABSTRAK Penyakit hawar bakteri kedelai disebabkan oleh bakteri Pseudomonas syringae pv. glycine dan merupakan penyakit yang berbahaya dengan tingkat kerugian mencapai 70 %. Pengendalian dengan pestisida kimia disamping kurang efektif, ternyata banyak menimbulkan pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan, resistensi patogen maupun timbulnya strain baru patogen yang lebih ganas. Alternatif pengendalian yang ramah lingkungan adalah dengan agens hayati bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtillis. Bakteri ini merupakan kelompok (PGPR/Plant Growth Promoting Rhizobacteria) yang berperan sebagai bioprotektan, biofertilizer dan biostimulan. Hasil penelitian secara invitro menunjukkan bahwa semua isolat bakteri antagonis yang telah terpilih memiliki kemampuan dalam menghambat jamur Pseudomonas syringae dengan besar daya penghambatan adalah 66 % sampai 77.6 %. Dan daya hambat terbesar adalah pada isolat BS 05, dan sekaligus memiliki konsistensi yang baik, baik pada isolat RS.1 sebesar ( 77,3 %) maupun pada isolat RS.2 yaitu sebesar ( 77,6 %) . Hasil penelitian juga dapat dilihat bahwa bakteri BS 80, PF 06, dan BS 58 memiliki konsistensi. Sangat memungkinkan dalam aplikasi pengujian di rumah kaca maupun aplikasi dilapangan untuk dilakukan kombinasi antar isolat Pseudomonas dan Bacillus yaitu khususnya pada strain BS-58, BS-91, PF-12, Pf-38 dan PF-88. Kombinasi isolat ini diharapkan mampu meningkatkan adaptibilitasnya dan dapat meningkatkan efektifitasnya. PENDAHULUAN Kebutuhan kedelai nasional setiap tahun terus meningkat yaitu rata rata mencapai 2,24 juta ton per tahun, sementara produksi nasional hanya mencapai rata rata 1,19 juta ton per tahun. Ini berarti ketergantungan akan suplai kedelai impor mencapai 1,16 juta ton setiap tahunnya. Rata rata produksi pertanaman kedelai juga masih rendah, yaitu hanya 1,1 ton/ha. Salah satu penyebab utama rendahnya produksi kedelai adalah gangguan organisme pengganggu tanaman, dan diantaranya adalah penyakit hawar bakteri ( Deptan, 2011 ). Penyakit hawar bakteri pada kedelai disebabkan oleh bakteri Pseudomonas syringe pv. glycine (Semangun, 1991). Beberapa karakter patogen ini adalah dapat bertahan dalam tanah, terbawa oleh benih serta dapat bertahan dalam waktu yang lama di dalam tanah. Bakteri dapat menyerang tanaman mulai dari bibit, daun serta polong dan dapat menyebabkan kerugian 5070%. Hingga saat ini upaya pengendalian penyakit masih mengandalkan pestisida kimia. Namun kenyataannya belum memberikan hasil yang memuaskan. Bahkan sebaliknya menurut Margino dan Mangoendiharjo (2002) pemakain fungisida yang tidak bijaksana telah memberikan dampak negatif terhadap pencemaran lingkungan, kesehatan manusia, resistensi patogen serta dapat menimbulkan adanya strain baru bagi patogen yang lebih ganas serta terjadinya erosi agens hayati hingga mencapai 72 %. Keunggulan bakteri P. fluorescens mempunyai kemampuan yang lebih baik sebagai pengkoloni akar dibandingkan dengan Bacillus sp., dan punya kemampuan tumbuh pada suhu tanah yang lebih rendah, namun masalahnya adalah isolat Pseudomonas agak spesifik terhadap inang dan atau patogen sasaran. Masalah lainnya adalah sensitif terhadap stres lingkungan, karena Pseudomonas tidak membentuk endospora (struktur tahan dari stres) seperti Bacillus. Keunggulan Bacillus dibandingkan dengan bakteri lain adalah kemampuannya menghasilkan endospora yang tahan terhadap panas dan dingin, juga terhadap pH ekstrim, pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan Janisiewicz dan Roitman (2008; Tjahjono, 2000). Hingga saat ini walaupun agens hayati memiliki beberapa keunggulan, namun pemanfaatanya masih menggunakan suspensi sel bakteri dan terbatas pada skala percobaan dan belum dilakukan pada skala lapangan. Salah satu kendalanya adalah terbatasnya produk formulasi agens hayati isolat lokal yang dapat diaplikasikan dalam skala luas. Produksi bioformulasi agens hayati P. fluorescens dan B.subtilis sangat diperlukan untuk membantu memecahkan masalah aplikasi secara luas dilapangan 66 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pengamatan juga dilakukan untuk mengetahui sifat penghambatan yaitu dengan mengambil zona penghambatan menggunakan jarum ent dan memasukkan dalam air pepton 0,5% kemudian menggojok selama 1-3 hari. jika air pepton keruh maka bakteri bersifat bakteriostatik. Sebaliknya bila tetap bening maka bkteri bersifat bakterisida. Hasil pengujian antibiosis terhadap patogen adalah sebagai mana tabel 1. Tabel 1 . Daya hambat bakteri antagonis potensial (terpilih) terhadap pertumbuhan jamur P. syringae ( isolat FO.1 dan isolat FO.2) pada pengamatan 10 hari setelah inkubasi ( %). METODE PENELITIAN SELEKSI ISOLAT AGENS HAYATI YANG UNGGUL MELALUI UJI IN VITRO DAN IN VIVO. 1. Seleksi Secara In Vitro di Laboratorium a. Uji Penghambatan In vitro Pengujian dilakukan dengan cara menumbuhkan isolat bakteri antagonis pada medium NA dalam cawan Petri, masing - masing 3 titik biakan, kemudian di inkubasikan pada suhu kamar selama 24 jam. Setelah inkubasi cawan Petri dibalik dan pada tutupnya ditetesi dengan 1 ml kloroform dan dibiarkan selama 2 jam hingga semua kloroform menguap kemudian cawan Petri dibalik seperti keadaan semula. Sebanyak 0,2 ml suspensi bakteri patogen P. syringe (bakteri yang berumur 24 jam yang dicampur dengan 4 ml agar air 0,6 % suhu 50o C) dan dituang dalam biakan bakteri antagonis , diinkubasikan selama 24 jam pada suhu ruang, kemudian diukur zona hambatan yang terbentuk. 2. Pengujian Secara In Vivo di Rumah Kaca Pengujian penghambatan perkembangan penyakit hawar pada kedelai oleh agens hayati isolat unggul dari hasil pengujian di laboratorium dilakukan untuk mendapatkan isolat unggul di rumah kaca. Uji Penekanan Penyakit Hawar Bakteri Kedelai di Rumah Kaca Pengujian ini untuk mengetahui seberapa besar kemampuan isolat unggul dari hasil seleksi laboratorium dalam menekan penyakit hawar kedelai di rumah kaca. Pengamatan dilakukan berdasarkan keparahan penyakit yang diukur dengan menggunakan indeks keparahan penyakit sebagai berikut : k k . nk IP   i1 Z . N 0 = tidak ada gejala; 1 = < 25 % permukaan daun bercak; 2 = 25 < x < 75 % permukaan daun bercak; 3 = semua daun bercak, dimana : nk = jumlah tanaman yang terserang; penyakit dengan skala n (n= 0,1,2,3); N = jumlah tanaman yang diinokulasi; Z = skala penyakit tertinggi (= 3) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji antagonisme yang mengacu dari Arwiyanto et al. (1996) diperoleh bahwa semua isolat Bacillus spp. dan P. Fluorscens yang diuji mempunyai kemampuan menekan perkembangan P. syringae. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya zona penghambatan dimana terjadi variasi diameter penghambatan pada masing-masing isolat B. subtillis dan P. Fluorescens yang diuji mulai dari 0 % hingga 77.5%, dengan rata rata daya hambat mencapai 25% hingga 35 %. No Isolat bakteri antagonis 1 PF 06 2. PF 11 3. PF 12 4. PF 38 5. PF 86 6 PF 88 6. BS 05 7. BS 19 8. BS 57 9. BS 58 10. BS 80 12 BS 91 11 Kontrol/tan pa bakteri Rerata diameter dan daya penghambatan pada P syringe RS. RS.1 RS.2 RS.2 1(m (%) (mm) (%) Sifat m) penghamb atan 17.3 76.1 17.4 75.3 Bakteriost atik 25.0 65,4 17.5 74.5 Bakteriost atik 24.8 65.7 19.5 72.3 Bakteriost atik 26.5 63.4 22.4 68.2 bakteriost atik 19.3 73.4 22.8 67.7 bakteriost atik 23.6 67.4 25.3 64.1 bakteriost atik 16.4 77.3 15.8 77.6 bakteriost atik 19.4 73.2 17.5 75.1 bakteriost atik 23.5 67.5 17.8 74.8 bakteriost atik 17.8 75.4 18.5 73.8 Bakteriost atik 16.6 77.1 16.8 76.2 bakteriost atik 70.2 19.5 72.3 bakteriost 21.6 atik 72.4 0 70.5 0 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa semua isolat bakteri antagonis yang telah terpilih memiliki kemampuan dalam menghambat jamur P.syringae dengan besar daya penghambatan adalah 66 % sampai 77.6%. Dan daya hambat terbesar adalah pada isolat BS 05, dan sekaligus memiliki konsistensi yang baik, baik pada isolat RS.1 sebesar (77,3%) maupun pada isolat RS.2 yaitu sebesar (77,6%). Dari tabel diatas juga dapat dilihat bahwa bakteri 67 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 BS 80, PF 06, dan BS 58 memiliki konsistensi yang baik dalam menghambat jamur P.syringae baik pada strain RS.1 maupun Strain RS.2. hanya saja besar daya hambatannya lebih kecil. B. Seleksi pengujian bakteri antagonis secara In vivo di rumah kaca. Hasil pengamatan pada pengujian secara invivo terhadap gejala penyakit layu pada kedelai yang disebabakan oleh PSG menunjukkan bahwa mula mula gejala ditandai dengan menguningnya tepi daun bawah yang kemudian berkembang menjadi warna coklat dan mengering. Selanjutnya tangkai daun akan patah di sekeliling batang palsu , kemudian tanaman layu dan mati ( Gambar 1). Gambar 1. Gejala tanaman kedelai yang terserang oleh bakteri PSG Hasil pengamatan reisolasi terhadap gejala penyakit layu tersebut menunjukkan bahwa tanaman kedelai telah terinfeksi oleh patogen PSG. Pada kontrol gejala muncul pada hari ke 10, sedangkan pada perlakuan dengan aplikasi antagonis bakteri P. fluorescens dan B. subtillis gejala penyakit ,mengalami penundaan hingga pada hari ke 17 – 20 hari setelah inokulasi ( his ). Pada tanaman yang tidak terserang patogen (Aplikasi bakteri Antagonis ) menunjukkan rata rata pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak di beri antagonis. Hal ini terjadi mungkin disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah karena kemampuan antagonis untuk menghasilkan beberapa senyawa yang berfungsi baik sebagai bioprotektan juga senyawa biostimulan dan biofertilizer yang berfungsi sebagai pemacu dan menyuburkan tanaman . Hasil pengujian antagonisme P. Fluorescens, B.subtillis dan kombinasi P fluorescens dan B. subtillis terhadap insiden penyakit layu PSG pada kedelai di Rumah kaca dapat dilihat pada tabel 2 . Tabel 2. Insiden Penyakit layu PSG pada kedelai pada berbagai kombinasi perlakuan pada pengamatan 15 ; 30; dan 45 hari setelah inokulasi (hsi) ( % ) secara invivo pada tanah steril. Perlakuan Isolat Pengamatan pada ....hari Bakteri setelah inokulasi ( hsi) Antagonis 15 30 40 Bs-05 1.43 10.34 b 12.34 a Bs-19 1.34 12.45 b 19.13 ab Bs-57 2.48 10.56 b 23.52 b Bs-58 0.00 20.43 c 24.32 b Bs-80 0.00 23.44 c 24.43 b Bs-91 2.11 23.54 c 23.65 b PF-06 1.44 20.53 c 27.85 bc PF-11 0.00 20.32 c 26.54 bc PF-12 PF-38 PF-86 PF-88 BS-58 dan PF-12 BS-58 dan PF-38 1.44 1.23 1.44 1.54 1.55 1.44 19.56 c 23.54 c 14.56 b 20.43 c 12.54 b 12.54 b 21.76 b 45.76 d 32.57 c 23.65 b 14.53 a 19.43 ab BS-58 dan PF-88 0.00 8.23 b 11.35 a BS-91 dan PF-12 0.00 12.57 b 16.43 a BS-91 dan PF-38 2.54 10.76 b 21.54 b BS-91 dan PF-88 1.44 15.43 b 23.45 cb Kontrol/ tanpa 3.54 27.67 d 80.64 e antagonis Dithane M-45 0.00 3.34 a 13.23 a Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan,s 5 % Tabel 2 menunjukkan bahwa insiden penyakit layu PSG pada kedelai pada pengamatan 15 hari setelah inokulasi belum menunjukkan tingkat serangan yang berarti pada semua perlakuan aplikasi macam bakteri antagonis maupun pada kontrol. Insiden penyakit rata rata masih sekitar 1 %. Bahkan pada perlakuan dengan Fungisida Dithane M 45 semua tanaman belum ada yang terserang oleh penyebab penyakit layu pada kedelai. Pada pengamatan 30 hari setelah inokulasi tanda–tanda peningkatan insiden penyakit mulai terjadi. Pada perlakuan aplikasi bakteri antagonis insiden penyakit rata rata lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pada Kontrol (tanpa perlakuan bakteri antagonis) insiden penyakit mencapai 27.67 % sedangkan pada perlakuan dengan pemberian antagonis insiden penyakit dapat ditekan, yaitu berkisar antara 8.23 % - 23.54 %. 68 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pada pengamatan 45 hari setelah inokulasi semakin menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara semua perlakuan dengan kontrol maupun dengan pembanding dithane M- 45. Pada Pengamatan ini terjadi peningkatan insiden penyakit pada semua kombinasi perlakuan, dan menunjukkan perbedaan yang nyata. Insiden penyakit tertinggi terjadi pada kontrol yaitu mencapai 80,64%, sedangkan insiden penyakit terendah terdapat pada beberapa perlakuan yaitu pada kombinasi perlakuan aplikasi Pf 88 dan BS 58 yaitu sebesar 11.35 %. Dan tidak berbeda nyata dengan aplikasi bakteri BS 05 dengan insiden penyakit sebesar 12.34 %, sementara pada perlakuan dengan P. fluorescens yang paling efektif adalah pada bakteri isolat PF. 12 dengan insiden penyakit mencapai 21,76%, pada aplikasi dengan dithane M-45 sebesar 13.23%. Hal ini berarti bahwa aplikasi macam bakteri antagonis dapat berpengaruh secara nyata menurunkan insiden penyakit layu PSG pada kedelai. Aplikasi dengan penggunaan fungisida Dithane M 45 untuk menekan penyakit memberikan hasil yang sangat berbeda nyata pada khususnya pada awal pengamatan 15 hari setelah inokulasi hingga 30 hari setelah inokulasi, dimana insiden penyakit jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan aplikasi kombinasi bakteri antagonis yaitu sebesar 1.4%, sedangkan pada waktu yang sama perlakuan kombinasi bakteri insiden penyakit mencapai 10.3 %. Pada pengamatan pada 45 hari setelah inokulasi, insiden penyakit pada aplikasi fungisida ini ternyata mencapai 13.23 % dan tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan aplikasi kombinasi bakteri antagonis. Kenyataan ini di duga pada awalnya fungisida memang dapat bekerja secara efektif menekan patogen, namun setelah berjalan hingga 45 his, fungisida telah mengalami degradasi sehingga tidak lagi efektif menurunkan penyakit. Sementara pada agens hayati bakteri antagonis justru akan terus berkembang dan hidup sehingga lebih dapat berperan dalam waktu yang lama bila dibandingkan dengan penggunaan fungisida. Dari data tabel 2 hasil pengamatan insiden penyakit PSG diketahui bahwa rata rata aplikasi dari macam bakteri antagonis yang digunakan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Tabel 3. Rata- rata Insiden penyakit layu PSG akibat pengaruh macam antagonis pada berbagai strain yang berbeda ( % ). Insiden Penyakit pada hari setelah inokulasi (%) 45 80.64 d 29.68 c 21.23 b Macam antagonis Tanpa antagonis P.fluorescens B.subtillis P.fluorescens B.subtilis dan 17.79 a Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan 5 %. Hasil yang paling baik adalah terdapat pada perlakuan kombinasi bakteri P.fluorescens dan B. subtilis pada frekwensi aplikasi 3. Hal ini berarti aplikasi kombinasi kedua bakteri tersebut dapat saling bekerja sama meningkatkan efektifitasnya dan bersifat sinergis bila dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal. Kenyataan ini juga dilaporkan oleh Kurniawan (1996) bahwa perlakuan kombinasi antagonis Gliocladium, Trichoderma, dan Pseudomonas menunjukkan persentase penghambatan serangan antraknose lebih besar dibandingkan dengan penggunaa nya secara tunggal. Hal ini dimungkinkan oleh adanya efek sinergisme antara agens antagonis tersebut. Pengujian ini ditujukan pada bakteri antagonis terpilih yang menunjukkan hasil potensial pada pengujian secara in vivo pada tanah steril, yaitu pada isolat BS. 05, BS. 19, PF. 12, dan interksi kombinasi BS. 58 dan PF 12 ; BS 58 dan PF.88. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Insiden Penyakit layu PSG pada kedelai pada berbagai kombinasi perlakuan secara invivo pada tanah non steril. pada pengamatan 15 ; 30; dan 45 hari setelah inokulasi (hsi) ( % ) Perlakuan Isolat Pengamatan pada ....hari Bakteri setelah inokulasi ( hsi) Antagonis 15 30 40 Bs-05 1.45 15.34 19.34 ab Bs-19 1.55 16.45 27.13 c PF 12 1.55 16.56 30.52 c Bs-58 dan PF 12 1.45 16.56 20.30 b Bs-58 dan PF 88 1.25 15.45 17.43 a Kontrol 2.45 43.55 70.87 d Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan 5 % Pada tabel 4 diaats menunjukkan bahwa walaupun hampir semua perlakuan aplikasi bakteri antagonis yang terpilih dari pengujian in vitro pada tanah steril ternyata mengalami penurunan tingkat efektifitasnya, namun isolat BS. 05 dan interksi antara BS 58 dan PF 88 ternyata masih konsisten dalam menekan penyakit layu PSG. Penurunan efektifitas pada tanah non steril dibandingkan dengan tanah steril di duga bahwa pada tanah non steril terdapat populasi mikrobia yang lebih komplek, sehingga terjadi kompetisi nutrisi, ruang, dan pengaruh antibiosis dari mikrobia tanah lainnya , sedangkan pada tanah steril hal tersebut tidak terjadi . Pengamatan mekanisme antagonis juga dilakukan dengan melihat kandungan senyawa biokimia fenol yang berperan dalam meningkatkan ketahanana tanaman terhadap penyakit. Menurut soesanto (2008), 69 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 mikribia tertentu dapat meningkatkan ketahanan tanaman secara terimbas dan sistemik. Ketahanan terimbas merupakan bentuk mekanisme agensia hayati yang mampu menurunkan jumlah infeksi dan membatasi pertumbuhan patogen selama tahap parasitnya di dalam tanman. Tabel 5. Kandunagan senyawa fenol tanaman kedelai yang telah diperlakukan dengan bakteri antagonis. Perlakuan Isolat Bakteri Antagonis Kandungan senyawa fenol total ( mgGAE/g) 7 hari setelah inokulasi 10.45 8.93 9.65 12.43 13.43 7.83 Bs-05 Bs-19 PF 12 Bs-58 dan PF 12 Bs-58 dan PF 88 Kontrol tanpa antagonis Tanaman sehat 5.61 GAE ( Galic Acid Equivalent) Pada tabel 5 dapat diketahui bahwa telah terjadi peningkatan senyawa fenol pada tanman yang telah dinokulasi dibandingkan dengan tanaman yang sehat (tanpa inokulsi), dan peningkatan senyawa fenol tersebut lebih tinggi pada inokulasi dengan bakteri antagonis yang dikombinasikan antara isolat BS dan PF. Peningkatan senyawa fenol terkait dengan peningkatan respirasi tanaman yang meningkat selama terjadi infeksi mkrobia. Menurut Abadi (2003). KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian pada tahun pertama (sementara hingga bulan agustus) dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Telah didapat dan diidentifikasi secara biokomia Bakteri antagonis P. fluorescens dan B. subtilis sejumlah ( 155 PF ) dan ( 145 BS ), dan semua tidak bersifat patogenik pada pengujian hipersensitif. 2. Hasil potensial pada pengujian secara in vivo l, yaitu pada isolat BS. 05, BS. 19, PF. 12, dan interksi kombinasi BS. 58 dan PF 12 ; BS 58 dan PF.88. 3. Memungkinkan dalam aplikasi pengujian di rumah kaca maupun aplikasi dilapangan untuk dilakukan kombinasi antar isolat Pseudomonas dan Bacillus yaitu khususnya pada strain BS-58, BS-91, PF-12, Pf38 dan PF-88. Kombinasi isolat ini diharapkan mampu meningkatkan adaptibilitasnya dan dapat meningkatkan efektifitasnya. DAFTAR PUSTAKA Arwiyanto, T; Sudarmadi dan I. Hartana. 1996. Deteksi Strain Pseudomonas solanacearum Penghasil Bakteriosin. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 2 (2): 60 - 65. Asrul, T. Arwiyanto and Maryudani. 2004. Penekanan penyakit layu bakteri dengan Pseudomonas putida pf-20 yang diselimutkan pada benih Tomat. J. Agroland 11 : 60 – 64. Calvo, J., Calvente, V., De Orellano, M. E., Benuzzi, D., and De Tosetti, M. I. S. 2003. Improvement in the biocontrol of postharvest diseases of apples with the use of yeast mixtures. Biocontrol 48:579-593. Compant, S., B. Duffy, J. Nowak, C. Cle´ment, and E. A.Barka. 2005. Use of plant growth-promoting bacteria for biocontrol of plant diseases: principles, mechanisms of action, and future prospects. Appl. Environ. Microbiol. 71: 4951– 4959 Copper A L, and Higgins K P. Application of Pseudomonas fluorescens isolates to wheat as potential biological control agents against takeall. Plant Pathol. 1993;42:560–567. Duffy, B. K., and G. Défago. 1999. Environmental factors modulating antibiotic and siderophore biosynthesis by Pseudomonas fluorescens biocontrol strains. Appl. Environ. Microbiol. 65:2429-2438. Goto, M. 1992. Fundamental of Bacterial Plant Pathology. Academic Press, Inc. United State of America. Janisiewicz, W.J. and J. Roitman, 2008. Biological Control of Blu with Pseudomonas capacia. Phytopathology 78 : (12). 16 Jo Handelsman dan E.V. Stabb, 2003. Biocontrol of soilborne pla Jo Handelsman dan E.V. Stabb, 1996. Biocontrol of soilborne plant pathogens. The Plant Cell 8:1855-1869. Jones, K. A., and H.D. Burges. 1998. Technology of formulation and application. Pages 7-30 in: Formulation of Microbial Biopesticides: Beneficial Microorganisms, Nematodes and Seed Treatments. H. D. Burges, ed. Kluwer 70 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Academic Publishers, Netherlands Dordrecht, the Kloepper, J. W. 1993. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria as Biological Control Agents. Auburn University. Alabama. Liu, L., J.W. Kloepper and S. Tuzun. 1995. Induction of systemic resistance in cucumber against bacterial angular leaf spot by plant growhtpromoting rhizobacteria. Phytopathology 85:843-850. Margino, S dan S. Mangoendiharjo. 2002. Pemanfaatan Keanekaragaman Hayai Untuk Biopestisida di Indonesia. Lokakarya Keanekaragaman Hayati Untuk Perlindungan Tanaman. Yogyakarta. Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Schisler, D. A., Slininger, P. J., Behle, R. W., and Jackson, M. A. 2004. Formulation of Bacillus spp. for biological control of plant diseases. Phytopathology 94:1267-1271. Tjahjono, B. 2000. Bakteri untuk pengendalian hayati penyakit tanaman. Dalam Makalah Seminar Sehari Perhimpunan Fitophatologi Indonesia. Malang. 03p. Whitelaw MA. 2009. Growth promotion of plants inoculated with phosphatesolubilizing fungi. Advances in Agronomy 69:99–151. Vidyasekaran, P. dan M. Muthamilan, 1995. Development of formulations of Pseudomonas fluorescens for control chickpea wilt. Plant Diseases. 79:782-788. Whippes, J.M. 2008. Microbial interactions and biocontrol in the rhizosphere. Journal of Experimental Botany 52:487-511. Yang, D.T 1997. "Education in Production: Measuring Labor Quality and Management," American Journal of Agricultural Economics, Agricultural and Applied Economics Association, vol. 79(3), pages 764-772 Addy, H.S. 2005. Mekanisme Antagonistik Bakteri Pseudomonas Pendar Fluor terhadap Ralstonia solanacearum san Erwinia carotovora. Tesis S2. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 71 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Penggunaan Ekstrak Bawang Putih dalam Pakan terhadap Performans Ayam Broiler Tropis Fase Starter Merry Muspita Dyah Utami1, Dadik Pantaya1 # Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip PO Box 164 Jember 1merry.muspita@yahoo.com Abstract Ayam yang hidup di daerah tropis selalu terekspos suhu dan kelembaban tinggi menyebabkan stres yang merupakan respon untuk beradaptasi pada lingkungan yang ekstrim tersebut. Proses adaptasi ini membutuhkan penggantian energi dan protein yang mengakibatkan penurunan pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan ekstrak bawang putih dalam pakan terhadap performans ayam broiler tropis, adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan rekomendasi penentuan dosis fitobiotik ekstrak bawang putih sebagai pakan aditif terhadap performans ayam broiler. Sebanyak 180 ekor ayam digunakan dalam penelitian ini. Ayam dikelompokkan berdasarkan perlakuan sebanyak enam kelompok perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan dan masing-masing ulangan terdiri atas 10 ekor ayam. Perlakuan adalah P0= kontrol, P1= ekstrak bawang putih 2%, P2= ekstrak bawang putih 4%, P3= ekstrak bawang putih 6%, P4= ekstrak bawang putih 8%, dan P5 = ekstrak bawang putih 10%. Ayam dipelihara sampai umur 35 hari, pada hari ke-1 sampai ke-14 diberikan pakan tanpa perlakuan. Perlakuan dimulai hari ke-15 sampai ke-35. Pakan diberikan terbatas sesuai standar kebutuhan dan air minum secara ad- libitum. Ekstrak bawang putih diberikan secara oral setiap hari. Parameter yang diamati adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan. Hasil yang diperoleh pada semua perlakuan menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan untuk semua perlakuan. Keywords— ayam broiler, bawang putih, performans. I. PENDAHULUAN Ayam yang terekspos suhu tinggi daerah tropis menjadi stres yang merupakan respon untuk beradaptasi pada lingkungan luar ayam pada situasi yang abnormal. Proses adaptasi ini meyebabkan pelepasan hormon dan memerlukan penggantian energi dan protein yang mengakibatkan penurunan pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan. Stres menurunkan respon imun humoral dan seluler serta resistensi terhadap penyakit infeksi, intensitas dan lama stres yang diinduksi suhu akan merusak sistem imun unggas. Selama periode pertumbuhan, unggas yang mengalami stres tidak mengalami pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan mengalami penurunan [1]. Berbagai upaya dilakukan untuk mencari bahan tambahan yang diberikan pada pakan sebagai pengganti antibiotik yang berbahaya, yaitu mengganti antibiotik dengan bahan atau substansi lain yang tidak menimbulkan efek negatif, terutama tidak menghasilkan residu pada produk peternakan Untuk akselerasi penggantian energi dan protein akibat stres diperlukan stimulasi metabolisme sehingga ayam tidak mengalami penurunan pertumbuhan reproduksi dan kesehatan ayam. Fitobiotik adalah zat aditif yang berasal dari tanaman. Bahan aktif fitobiotik, merupakan metabolit sekunder tanaman. Satu tanaman dapat menghasilkan lebih dari satu jenis metabolit sekunder, sehingga memungkinkan dalam satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Pakan aditif dapat memperbaiki daya cerna, tingkat konsumsi pakan dan nilai gizi. Pemberian tepung bawang putih sebanyak 2,5% didalam pakan mampu meningkatkan efisiensi pakan. Adanya eksplorasi keunggulan ekstrak bawang putih mendorong masyarakat untuk membudidayakan tanaman obat, sekaligus menjaga kelestarian plasma nutfah Indonesia. Berbasis pada senyawa kimia yang ramah lingkungan, maka fitobiotik dapat digunakan sebagai aditif pakan untuk meningkatkan performans produksi yang sangat menguntungkan bagi peternakan ayam di daerah tropis II. TINJAUAN PUSTAKA Di Indonesia bawang putih memiliki nama lokal, yaitu dason putih (Minangkabau), bawang bodas 72 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 (Sunda), bawang (Jawa Tengah), bhabang poote (Madura), kasuna (Bali), lasuna mawura (Minahasa), bawa badudo (Ternate) dan bawa fiufer (Irian Barat) [2] Konsumsi dan penggunaan suplemen bawang putih digunakan secara luas di dunia [3]. Pengujian, penelitian dan pengembangan secara empiris dan sistematis terus dilakukan untuk memanfaatkan khasiat bawang putih sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah [4]. Komposisi kimia setiap 100 g umbi bawang putih adalah sebagai berikut: protein (4,5 g); lemak (0,2 g); karbohidrat (23,10 g); vitamin B1 0,22 mg, vitamin C (15 mg); fosfor (134 mg); kalsium (42 mg); besi (1 mg); kadar air (71 g) dan energi sebanyak 95 kalori [5], jika dikonversi dalam bentuk persentase, kandungan nutriennya adalah sebagai berikut: karbohidrat 28%, protein 2%, serat kasar 1,5%, senyawa organosulfur 2,3% dan kadar air 65% [6]. Bawang putih mempunyai karakteristik utama, yaitu kandungan metabolit sekunder yang berupa senyawa organosulfur yang tinggi. Metabolit sekunder tersebut mempengaruhi rasa, aroma dan sifat-sifat farmakologi bawang putih [7]. Bawang putih mengandung 33 senyawa organosulfur, beberapa enzim, asam amino dan mineral [8]. Senyawa organosulfur tersebut diantaranya: alliin; allicin; ajoene; diallyl disulfide; diallyl trisulfide; s-allylcystein; vinyldithiines; dan sallylmercaptocystein. Senyawa organosulfur utama pada umbi bawang putih adalah asam amino non volatil γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein dan minyak atsiri S-alk(en)il sistein sulfoxyde atau alliin. Senyawa tersebut merupakan prekursor sebagian besar senyawa organosulfur lain, kadarnya mencapai 82% dari keseluruhan senyawa organosulfur [9]. Aktivitas biologis bawang putih dalam bentuk segar sangat rendah (Challem, 1995), karena itu di samping penggunaan bawang putih segar, saat ini dikenal beberapa macam preparasi bawang putih, yaitu bubuk bawang putih, minyak bawang putih dan ekstrak bawang putih [10]. Selanjutnya berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, efek samping dan toksisitas bawang putih tidak ditemukan sehingga aman untuk dikonsumsi [11]. Ekstrak bawang putih dapat digunakan tanpa mengakibatkan efek yang tidak diinginkan [12] dan sampai saat ini belum dilaporkan toksisitas akibat konsumsi ekstrak bawang putih. Bawang putih mengandung kadar sulfur yang tinggi, diantaranya allicin, diallyl disulfide, dan diallyl trisulfide yang merupakan minyak yang mudah menguap (volatil), serta S-allyl cysteine (SAC), asam amino yang larut dalam air [13]. Senyawa yang mengandung sulfur bertanggungjawab terhadap rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang putih [14]. Mayoritas senyawa yang mengandung sulfur dalam bawang putih adalah γ- glutamyl-S-allyl-L-cysteines dan S-allyl-L-cysteine sulfoxides (aliin) yang merupakan senyawa utama asam amino yang mengandung sulfur. Semua sulfoxides, terkecuali cycloalliin, dikonversi menjadi thiosulfinates sehingga tidak ada thiosulfinates yang ditemukan pada bawang putih yang masih utuh. γ-Glutamyl-S-allyl-L-cysteines selanjutnya dikonversi menjadi S-allyl-Lcysteines (SAC) melalui transformasi enzimatik dengan γ-Glutamyltranspeptidase pada saat bawang putih diesktrak dengan pelarut cairan. SAC yang merupakan hasil produk utama dari γGlutamyl-S-allyl-L-cysteines merupakan sulfur asam amino yang terdeteksi dalam darah, terbukti sebagai zat yang aktif secara biologis dan bioavailabel [13]. Senyawa γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein merupakan senyawa intermediet biosintesis pembentukan senyawa organosulfur lainnya, termasuk alliin. Senyawa ini dibentuk dari jalur biosintesis asam amino. Dari γglutamil-Salk(en)il-L-sistein reaksi enzimatis yang terjadi akan menghasilkan banyak senyawa turunan, melalui dua cabang reaksi, yaitu jalur pembentukan thiosulfinat dan Sallil sistein (SAC). Proses reaksi pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il- Lsistein berlangsung dengan bantuan enzim γ- glutamil – transpeptidase dan γ-glutamil-peptidase oksidase, serta akan menghasilkan alliin . Pada saat umbi bawang putih diiris-iris dan dihaluskan dalam proses pembuatan ekstrak atau bumbu masakan, enzim allinase menjadi aktif dan menghidrolisis alliin menghasilkan senyawa intermediet asam allil sulfenat. Kondensasi asam tersebut menghasilkan allicin, asam piruvat, dan ion NH4+. Satu miligram alliin ekuivalen dengan 0,45 mg allicin [9]. Pemanasan dapat menghambat aktivitas enzim allinase. Pada suhu di atas 60°C, enzim ini akan mengubah alliin menjadi allicin [10], sehingga mudah mengalami reaksi lanjut, tergantung kondisi pengolahan atau faktor eksternal lain seperti penyimpanan, suhu, dan lain-lain. III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan penelitian in-vivo ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan ekstrak bawang putih dalam pakan terhadap performans ayam broiler. Manfaat penelitian ini adalah memberikan rekomendasi penentuan dosis fitobiotik ekstrak bawang putih sebagai pakan aditif terhadap performans ayam broiler. IV. METODE PENELITIAN Penelitian pada tahun I dibagi menjadi dua tahap: tahap pertama ekstraksi bawang putih dan tahap kedua pengujian uji in-vivo dengan penambahan ekstrak bawang putih dalam pakan. 73 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 A. Ekstraksi Bawang Putih Peralatan yang digunakan antara lain: shaker, autoclave, blender dan vacumrotary evaporator, erlenmeyer, dan beaker glass. Tahapan ekstraksi sebagai berikut: Bawang putih 250 gram dicampur dengan ethanol 96% sebanyak 500 ml, kemudian digiling hingga halus. Larutan bawang putih yang didapatkan disaring dengan kain kasa 2 lapis, kemudian disaring lagi dengan kertas whotman no.2 didapatkan filtrat (crude extract). Didapatkan ekstrak ethanol bawang putih dan diambil sebanyak 100 ml. Konsentrasi ekstrak bawang putih yang didapatkan melalui proses di atas adalah 280 mg/1 ml. B. Uji Performans Ekstrak bawang putih yang diperoleh selanjutnya dilakukan uji respon imun. Sebanyak 180 ekor ayam digunakan dalam penelitian ini. Ayam dikelompokkan berdasarkan perlakuan sebanyak enam kelompok perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan dan masing-masing ulangan terdiri atas 10 ekor ayam. Perlakuan adalah P0= kontrol, P1= ekstrak bawang putih 2%, P2= ekstrak bawang putih 4%, P3= ekstrak bawang putih 6%, P4= ekstrak bawang putih 8%, dan P5 = ekstrak bawang putih 10%, Ayam dipelihara sampai umur 35 hari, pada hari ke-1 sampai ke-14 diberikan pakan tanpa perlakuan. Perlakuan dimulai hari ke-15 sampai ke-35. Pakan diberikan terbatas sesuai standar kebutuhan dan air minum secara ad- libitum. Ekstrak bawang putih diberikan secara oral setiap hari, satu kali pada pagi hari menggunakan pipet mikro merk Gilson sebanyak 0,2 ml/ekor, C. Parameter yang Diamati Pada penelitian ini parameter yang diamati meliputi: konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan. 1. Konsumsi Pakan: konsumsi pakan dihitung dari selisih bobot pakan yang diberikan dengan sisa pakan setiap hari dari masing-masing kelompok perlakuan, selanjutnya dilakukan penghitungan konsumsi pakan setiap minggu dan pada akhir penelitian dilakukan penghitungan konsumsi pakan kumulatif pada masingmasing kelompok perlakuan. 2. Pertambahan Bobot Badan: penimbangan bobot badan ayam broiler dimulai pada hari kesatu pada setiap kelompok perlakuan, selanjutnya setiap minggu dilaksanakan penimbangan pada waktu yang telah ditentukan sampai akhir penelitian. Data pertambahan bobot badan selama penelitian diperoleh dari selisih antara bobot badan akhir dengan bobot badan awal. Pada akhir penelitian dilakukan perhitungan pertambahan bobot badan kumulatif pada masing-masing kelompok perlakuan dan. 3. Konversi pakan: perhitungan konversi pakan diperoleh dari pembagian antara jumlah pakan yanungg dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan dalam satuan bobot dan waktu yang sama D. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selama penelitian dianalisis menggunakan software dari Statistical Product and Service Solution (SPSS 16.0). Hasil analisis yang menunjukkan perbedaan rata-rata yang signifikan (P<0,05) akibat efek faktor A (AFB1), faktor B (EBP) dan interaksi faktor A dan B, dilanjutkan dengan uji beda rata-rata menggunakan Duncan’s New Multiple Range Test (Pramesti, 2007). V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Data performans fase starter diperoleh dari perhitungan kumulatf dari minggu pertama sampai minggu ketiga, yang meliputi: konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan. Performans ayam broiler selama fase starter dicantumkan pada Tabel 1. TABEL 1 PERFORMANS AYAM BROILER FASE STARTER Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 Konsumsi Pakan 636,0ns 638,7ns 678,7ns 606,0ns 665,7ns 700,0ns Pertambahan Bobot Badan 722,3ns 763,3 ns 745,6 ns 727,6 ns 726,3 ns 756,6 ns Konversi Pakan 0,88 ns 0,84 ns 0,91 ns 0,83 ns 0,91 ns 0,92 ns Keterangan: ns = nonsignifikan Hasil analisis statistik terhadap konsumsi pakan fase starter menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan (P>0,05) untuk semua perlakuan. Konsumsi pakan meningkat apabila ayam diberi pakan dengan energi rendah dan akan menurun jika diberi pakan dengan energi tinggi, karena ayam mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Pada penelitian ini diberikan pakan dengan jumlah sesuai standar kebutuhan dan semua perlakuan mempunyai kandungan energi yang hampir sama, yaitu 3200 Kcal/kg. Adapun hasil analisis statistik terhadap pertambahan bobot badan selama fase starter tidak menunjukkan pengaruh signifikan (P>0,05), hal ini disebabkan komsumsi pakan untuk semua perlakuan juga tidak berbeda signifikan, semua kelompok perlakuan mengkonsumsi pakan dengan jumlah sama, sehingga konsumsi energi dan protein juga tidak berbeda. Konversi pakan untuk semua perlakuan pada fase starter tidak menunjukkan perbedaan signifikan (P>0,05), hal ini disebabkan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan tidak berbeda signifikan. Pertambahan bobot badan berada pada kisaran 722,3 sampai dengan 756,6 g/ekor, hasil ini lebih tinggi dari 74 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 hasil penelitian [14] yaitu penggunaan ekstrak bawang putih pada level 2 sampai 8% yang menghasilkan pertambahan bobot badan ayam umur 21 hari berkisar antara 555,35 sampai 707,72 g/ekor dan mendekati [15].hasil penelitian antara 660 sampai 800 g/ekor. Tidak terlihatnya perbedaan yang signifikan pada performans diduga karena ayam broiler baru memperoleh perlakuan selama tujuh hari, yaitu hari ke lima belas sampai hari ke dua puluh satu, sehingga belum terlihat pengaruh pada konsumsi pakan, pertambahan bobot badan serta konsumsi pakan. VI. [12] [13] [14] [15] J. A. Milner.. A Historical Perspective on Garlic and Cancer. Journal of Nutrition. 2001, vol. 131:1027S-1031S R. K. Murray, D. K. Granner, P. A. Mayes & V. W. Rodwell.. Harpers’s Biochemistry. Apleton and Lange. 1999 M. M. D. Utami. Efektivitas Ekstrak Bawang Putih dalam Pakan terhadap Detoksifikasi Aflatoksin B1 pada Ayam Broiler. Disertasi, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. 2010 G. Hayes. Hepatotoxicity in Broilers. Last updated 26 Juni 2006 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pengunaan ekstrak bawang putih pada pakan periode starter tidak menunjukkan pengaruh yang siginifikans terhadap performans ayam broiler tropis. Diperlukan data penelitian terhadap performans pada fase finisher untuk mengetahui efek signifikan penggunaan ekstrak bawang putih dalam pakan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat yang telah memberikan dana Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2016. DAFTAR PUSTAKA [1] W. B. Gross & H. S. Siegel. Evaluation of the Heterophyl/Lymphocyte Ratio as a measure of Stress in Chicken. Avian Disease, 1983, vol 27(4) [2] D. Santosa. Ekologi Tumbuhan Obat. Majalah obat Tradisional. 2000, 7(22):19-24. 2000 [3] H. L. B. Gensler, B. N. Timmermann, S. Valcic, G. A. Wachter, R. Dorr, K. Dvorakova & D. S. Albert. Prevention of Photocarcinogenesis by Topical Administration of Pure Apigallocathecin Gallate Isolated from Green Tea. Nutr. Cancer. 1997, vol. 26:326-335 (Abstract) [4] M. Budhi. Tahap-tahap Pengembangan Obat Tradisional. Majalah Kedokteran Udayana. 1994, vol 5:107-113 (Abstract) [5] Anonimus. Komposisi dan Kandungan Kimia Bawang Putih. La stUpdated 2006 [6] R. K. Pal, A. Vaiphei, A. Sikander, K. Singh & S. V. Rana. Effect of Garlic on Isoniazid and Rifampicin Induced Hepatic Injury in Rats. World J.. Gastroenterol. 2006, vol. 12(4):636-639 [7] M. Cantwell. Alliin in Garlic. Perishable Handling Quarterly Issue No. 102. 2000. 5-6 [8] C. A. Newall, L. A. Anderson & J. D. Phillipson. Herbal Medicines : A Guide for Health-care Professionals. Pharmaceutical Press, London. 1996. p:296 [9] X. Zhang. WHO Monograph on Selected Medicinal Plants: Bulbus Allii Sativii. World Health organization, Geneva 1999. [10] H. Amagase, B. L. Petesch, H. Matsuura, S. Kasuga & Y. Itakura. Intake of Garlic and Its Bioactive Components. J. Nutr. 2001. 131:955S-962S (Abstract) [11] U. E. Hernawan & A. D. Setyawan. Review: Senyawa Organosulfur Bawang Putih (Allium sativum L.) dan Aktivitas Biologinya. Biofarmasi. 2003. 1(2):65-76 75 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 RESISTENSI ANTIBIOTIKA Bifidobacterium PADA KEFIR dan YOGURT Titik Budiati #1, Wahyu Suryaningsih #2 # Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember Jalan Mastrip Kotak Pos 164 Jember 1titik.budiati@gmail.com 2wahyu.suryaningsih@yahoo.com Abstract Sebanyak 12 isolat Bifidobacterium diisolasi dari sampel kefir dan yogurt yang diperoleh dari pasar lokal. Resistensi Bifidobacterium yang diisolasi dari kefir dan yogurt mempunyai sifat resistensi terhadap terhadap Ceftazidime (Caz, 100 %), Ceftriaxone (Cro, 100%), Lincomycin (Li, 100%), Rifampicin (Rd, 100%), Sulphamethoxazole-Trimethoprim (Sxt, 50%), Tobramycin (Tob, 100%). Antibiogram yang paling banyak dijumpai pada Bifidobacterium adalah CazCroLiRdSxtTob (n=5) dengan. MAR index yang bervariasi dari 0.83 sampai 1. Tingginya MAR index menunjukkan semakin banyak paparan kontaminasi antibiotika pada bahan pembuatan yogurt dan kefir. Keywords— Bifidobacteria, resistensi antibiotika, MAR I. PENDAHULUAN Bifidobacterium adalah bakteri probiotik yang aman untuk dikonsumsi manusia dalam bentuk suplemen kesehatan atau dalam bentuk makanan serta minuman manusia. Akan tetapi Bifidobacterium dapat bersifat resisten terhadap antibiotika karena penggunaan antibiotika yang berlebihan pada manusia dan hewan. Bahkan Bifidobacteria dapat bertindak sebagai reservoir gen yang resisten terhadap antibiotika dan dapat dipindahkan ke bakteri patogen di usus manusia [1]. Hal ini dapat menghambat proses penyembuhan suatu penyakit pada manusia yang disebabkan oleh bakteri patogen yang menyerang usus manusia. EUPROSAFE, sebuah lembaga independen pemantau keamanan makanan di Eropa, telah menyarankan bahwa probiotik di masa depan sebaiknya tidak mempunyai sifat resistan terhadap antibiotika [2]. Bifidobacterium dapat diisolasi dari berbagai makanan fermentasi misalnya kefir dan yogurt. Akan tetapi penelitian yang mempelajari tentang resistensi antibiotika pada Bifidobacterium yang diisolasi pada produk yogurt dan kefir masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang resistensi antibiotika pada Bifidobacterium yang diisolasi pada yogurt dan kefir. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeterminasi resistensi antibiotika pada Bifidobacterium yang diisolasi pada yogurt dan kefir. Pada akhirnya penelitian ini dapat memberikan informasi tentang adanya resistensi antibiotika pada Bifidobacterium pada yogurt dan kefir dengan bahan dasar susu sebagai salah satu media terjadinya paparan antibiotika pada saat pemeliharaan hewan ternak. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bifidobacterium Bifidobacterium adalah bakteri gram positif dari filum Actinobacteria yang bersifat tidak bergerak, tidak membentuk spora, tidak menghasilkan gas, bakteri anaerobik. Pada umumnya bifidobacteria species diisolasi dari gastrointestinal mamalia, serangga atau burung [3]. Beberapa bifidobacteria species (misalnya Bifidobacterium bifidum, Bifidobacterium breve, and Bifidobacterium longum subsp. longum) merupakan isolat yang diperoleh dari manusia, sedangkan Bifidobacterium gallinarum, Bifidobacterium angulatum dan Bifidobacterium cuniculi berhubungan dengan kotoran hewan [4]. Menurut Makino et al. [5] Bifidobacterium telah ditemukan berasal dari saluran pencernaan manusia, vagina dan saluran kandung kemih. Tugas utama dari bakteri ini adalah menjaga keseimbangan flora mikro dalam usus, mengontrol peningkatan bakteri merugikan, memperkuat sistem kekebalan tubuh, dan membantu proses pencernaan [5]. Suhu optimal pertumbuhan sekitar 76 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 37 – 41oC dan pH optimal antara 6,5 – 7 [5]. Beberapa spesies dari genus Bifidobacterium telah digunakan selama beberapa dekade sebagai makanan fungsional untuk kesehatan atau efek probiotik [6]. Berbagai cara telah dilakukan untuk memanfaatkan Bifidobacterium sebagai probiotik. Probiotik dapat mereduksi terjadinya infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau virus penyebab diare, menyembuhkan penyakit inflamasi kronis (misalnya pouchitis and ulcerative colitis), meningkatkan kondisi fisiologi (misalnya menurunkan tingkat kolesterol atau tidak toleran terhadap laktosa) dan mengurangi resiko yang berdampak pada kesehatan (misalnya karies gigi, alergi, dan bahkan kanker [7]. Bifidobacterium merupakan bakteri penghasil asam laktat. asam asetat, vitamin, bakteriosin. Asam laktat dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri penyebab penyakit (bakteri patogen) dan bakteri pembusuk makanan. Selain itu, bakteri asam laktat juga dapat menghasilkan senyawa antimikroba lainnya seperti bakteriosin, reuterin, hidrogen peroksida dan diasetil. Bakteriosin adalah polipeptida yang memiliki aktivitas antimikroba. Hal ini mengindikasikan bahwa manfaat Bifidobacteria menunjukkan peran yang nyata melalui ekosistem yang kompleks dalam pencernaan manusia. B. Antibiotika Antibiotika adalah komponen sistetis atau alami yang dapat menghambat atau membunuh bakteri [8]. Antibiotik pada umumnya digunakan oleh manusia dan binatang sebagai obat penyembuhan. Penggunaan antibiotika secara berlebihan dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten dan dapat berpindah ke populasi yang lebih besar. Telah banyak penelitian tentang resistensi bakteri terhadap antibiotika yang didapatkan melalui berbagai mekanisme yaitu mutasi DNA bakteri atau melalui perpindahan gen secara horizontal. Perpindahan tersebut meliputi konjugasi, transduksi dengan bakteriofage, dan pengambilan DNA bebas melalui transformasi [8]. Serrano [9] menyatakan bahwa bakteri yang resisten terhadap dapat memindahkan sifat resistensi tersebut kepada bakteri yang hidup di usus dan bakteri patogen yang masuk ke pencernaan manusia. Hal ini menyebabkan penyembuhan penyakit pada manusia menjadi sulit dilakukan. C. Resistensi pada antibiotika Resistensi pada antibiotika pada mikroorganisma pada antibiotika tertentu yang sebelumnya sensitif dapat menjadi tahan terhadap antibiotika. Oleh karena itu penyembuhan biasa menjadi gagal sehingga infeksi suatu penyakit dapat bertahan dan menyebar. Resistensi terhadap antibiotika diantara bakteri disebabkan karena frekuensi penggunaan antibiotika yang menyebabkan mutasi atau memperoleh resistensi terhadap antibiotika di dalam gen bakteri [10; 11] Beberapa penelitian telah menunjukkan beberapa resistensi pada satu atau lebih antibiotika yang dapat menyebabkan peningkatan morbidity dan mortality [12, 13] Bakteri mempunyai kemampuan untuk beradaptasi lingkungan di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena karakter gen dan kemampuannya untuk mengakses kumpulan genetikanya. Resistensi kepada antibiotika dapat dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri yang lain, melalui elemen mobil genetika , misalnya plasmid dan transposon. Hal ini biasanya didasari oleh sifat resistensi yang diperoleh. Perpindahan elemen genetika dapat melalui perpindahan gen secara horizontal yang dilakukan melalui konjugasi, transformasi dan transduksi [14]. Pada perpindahan transfer gen secara horizontal dapat melibatkan integron sebagai fragmen DNA kompleks. Integron dapat menggabungkan berbagai gen yang membawa sifat resistensi pada antibiotika. Integron dapat ditemukan pada Gram-positif dan Gram-negatif yang dapat memimpin sifat resistensi antibiotika pada tingkat tinggi [12]. Beberapa mikroorganisme mempunyai resistensi intrinsik karena komponen aktif pada antibiotika yang masuk ke dalam sel tidak mencapai bagian tertentu dalam sel bakteri tersebut dan dapat menyebabkan resistensi pada antibiotika. Menurut Alanis [14] hal ini disebabkan oleh efflux aktif antibiotika, transformasi antibiotika, destruksi antibiotika dan modifikasi receptor. Destruksi atau transformasi antibiotik dapat terjadi ketika bakteri memproduksi enzim yang dapat memodifikasi atau merusak komponen aktif antimikroba [15]. Melalui mekanisme aktif efflux, mikroba dapat membentuk mekanisme transpor aktif yang dapat memompa molekul antibiotika dari interior dalam sel (misalnya efflux tetracyclin, makrolida dan fluoroquionolone) [13]. Modifikasi receptor terjadi ketika bakteri merubah receptor spesifik antibiotika untuk mengikat intraseluler antibiotika (misalnya modifikasi protein pengikat penicillin, dan alterasi ribosom yang dapat mencegah pengikatan aminoglikosida, makrolida atau tetracyclin [12; 13]. III. TUJUAN DAN MANFAAT A. Tujuan Untuk mendeterminasi resistensi antibiotika pada Bifidobacterium yang diisolasi pada yogurt dan kefir. B. Manfaat Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang adanya resistensi antibiotika pada Bifidobacterium pada yogurt dan kefir dengan bahan dasar susu sebagai salah satu media terjadinya paparan antibiotika pada saat pemeliharaan hewan ternak. 77 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 IV. METODE PENELITIAN Sebanyak 12 isolat Bifidobacterium yang diisolasi dari kefir dan yogurt dilakukan uji resistensi antibiotika menggunakan metode disc diffusion dengan berbagai antibiotika (Ceftriaxone 5μg, Ceftazidime 10μg, Lincomycin 30μg, Rifampicin 30μg, Sulphamethoxazole 25μg, Tobramycin 10μg). Cakram antibiotika diperoleh dari Oxoid (Baringstoke, Hampshire, UK). Kultur bakteri ditumbuhkan dalam MRS broth (MRSB, Hi-media,, India) dan diinkubasi 37 °C. Kultur yang sudah diinkubasi semalam diencerkan hingga mencapai kekeruhan yang sama dengan skala 0.5 larutan standar McFarland (HiMedia, India). Kultur bakteri disebar diatas Mueller Hinton Agar (Oxoid, Baringstoke, Hampshire, UK) dalam cawan petri menggunakan cotton swab. Sesudah 30 menit , 3–4 buah cakram antibiotika ditempatkan diatas sebaran bakteri dan diinkubasi pada 37 °C selana 18–24 h. Setelah masa inkubasi, diameter area bening (inhibition zones) diukur dan dibandingkan dengan interpretive chart yang diperoleh dari ‘Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Tests’ dan diklasifikasikan sebagai resisten [16]. Penelitian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan untuk tiap bakteri Lactobacillus sp. Multiple Antibiotic Resistances (MAR) index ditentukan berdasarkan metode yang dikemukakan oleh Krumperman [17]. Menurut Krumperman [17], MAR dihitung menggunakan rumus a/(b×c) dimana “a” adalah skor resistensi antibiotik aggregat pada semua isolate dengan antibiogram yang sama, “b” adalah jumlah antibiotik dan “c” adalah jumlah isolat. Nilai MAR index yang kurang dari atau sama dengan 0.2 mengindikasikan bahwa penggunaan antibiotika yang jarang atau tidak pernah. Nilai MAR index yang lebih dari 0.2 mengindikasikan bahwa isolat berasal dari sampel dengan bahan dasar susu yang sering terpapar antibiotika (highrisk). V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Uji resistensi bakteri Bifidobacterium yang diisolasi dari kefir dan yogurt terhadap beberapa antibiotik dapat dilihat pada tabel I. Semua isolat Bifidobacterium resisten terhadap Ceftazidime (Caz), Ceftriaxone (Cro), Lincomycin (Li), Rifampicin (Rd) dan Tobramycin (Tob). D’Aimmo et al. [18] menyatakan bahwa hampir semua isolat Bifidobacterium yang diisolasi dari produk susu dan produk kesehatan resisten terhadap Lincomycin dan Rifampicin. Demikian juga hasil penelitian Charteris et al. [19] menemukan bahwa Bifidobacterium yang diisolasi dari alat pencernaan manusia bersifat resisten terhadap Ceftazidime. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Yazid et al. [20]. Yazid et al. [20] menemukan bahwa Bifidobacterium mempunyai sifat yang sensitif terhadap Tobramycin. TABEL IX RESISTENSI ANTIBIOTIKA PADA BIFIDOBACTERIUM YANG DIISOLASI DARI KEFIR DAN YOGURT Antibiotik Jumlah isolat yang resisten (%) Ceftazidime (Caz) 12/12 (100%) Ceftriaxone (Cro) 12/12 (100%) Lincomycin (Li) 12/12 (100%) Rifampicin (Rd) 12/12 (100%) Sulphamethoxazole-Trimethoprim (Sxt) 6/12 (50%) Tobramycin (Tob) 12/12 (100%) Beberapa isolat dalam penelitian ditemukan bersifat sensitif terhadap Sulphamethoxazole-Trimethoprim (Sxt). Akan tetapi Bifidobacterium tampak cenderung bersifat resisten terhadap antibiotik tersebut. Menurut beberapa penelitian menunjukkan bahwa Bifidobacetium bersifat resisten terhadap Sulphamethoxazole-Trimethoprim [21]. TABEL XI ANTIBIOGRAM DAN MAR INDEX PADA BIFIDOBACTERIUM YANG DIISOLASI DARI KEFIR DAN YOGURT No 1 2 Isolat YK2, YK3, YS1, KK1, KK3 YK4, YS2, KK2 YK1 3 YK5, PL1, PL2 Asal Jumlah isolat Antibiogram MAR F dan R 5 CazCroLiRd SxtTob 1 F dan R 3 CazCroLi RdTob 0.83 CazCroLiRd SxtTob 0.83 CazCroLiRd Tob 0.83 F 1 3 R Ket : Sulphamethoxazole-Trimethoprim (Sxt), Ceftriaxone (Cro), Ceftazidime (Caz), Tobramycin (Tob), Lincomycin (Li), Rifampicin (Rd), F (kefir), R (yogurt) Sifat resistensi terhadap antibiotik melibatkan perubahan genetik yang bersifat stabil dan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya, dan setiap proses yang menghasilkan komposisi genetik bakteri seperti mutasi DNA yang menyebabkan timbulnya sifat resisten tersebut [22]. Penyebaran sifat resisten secara cepat dan luas dapat terjadi di antara spesies bakteri yang sama maupun yang berbeda, bahkan juga di antara genus yang berbeda melalui perantaraan plasmid (faktor R). Pada resistensi 78 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 dengan perantaraan plasmid, mikroorganisme mendapatkan kemampuan tambahan dalam bentuk produksi enzim dan pada mutasi terjadi perubahan struktur di dalam sel bakteri [23]. Pada Tabel II dapat dilihat bahwa jika hasil (MAR ≥ 0,2) maka sampel semakin tinggi terpapar antibiotik, sebaliknya jika hasil (MAR ≤ 0,2) maka resiko terpaparnya resistensi antibiotik semakin rendah. Resistensi MAR pada bakteri paling sering dikaitkan dengan keberadaan plasmid yang mengandung satu atau lebih gen resistensi. Beberapa resistensi antibiotik (MAR) telah terbukti menjadi metode yang efektif dan valid dari pencarian sumber bakteri. Indeks MAR dihitung sebagai rasio jumlah antibiotik resisten dari organisme yang terpapar oleh antibiotik [24]. [7] [8] [9] [10] [11] [12] VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Antibiogram yang paling banyak dijumpai pada Bifidobacterium adalah CazCroLiRdSxtTob (n=5) dengan. MAR index yang bervariasi dari 0.83 sampai 1. B. SARAN Perlu upaya pencegahan terjadinya transfer resistensi antibiotika secara horizontal antara Bifidobacterium dan bakteri lain [13] [14] [15] [16] [17] [18] UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Kemenritekdikti atas pendanaan yang diberikan pada penelitian ini melalui skema Penelitian Fundamental. [19] DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] A. Rosander, E. Connolly, dan S. Roos, Removal of antibiotic resistance gene-carrying plasmids from Lactobacillus reuteri ATCC 55730 and characterization of the resulting daughter strain, L. reuteri DSM 17938. Applied and environmental microbiology, 2008. 74(19), 6032-6040. V. Vankerckhoven, G. Huys, M. Vancanneyt, C. Vael, I. Klare, M.-B Romond, J.M. Entenza, P. Moreillon, R.D. Wind, J. Knol, E. Wiertz, B. Pot, E.E. Vaughan, G. Kahlmeter, H. Goossens, Biosafety assessment of probiotics used for human consumption: recommendations from the EUPROSAFE project. Trends Food Sci. Technol. 2008. 19:102–114. M. Ventura, C. Canchaya, A. Tauch, G. Chandra, K. Chater, G.F. Fitzgerald, dan D. Van Sinderen. Genomics of Actinobacteria: tracing the evolutionary history of an ancient phylum. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 2007.71:495-548. R. Lamendella, J.W. Santo Domingo, C. Kelty, dan D.B. Oerther, Bifidobacteria in feces and environmental waters. Appl. Environ. Microbiol. 2008.74:575-584 Makino, Hiroshi, Akira Kushiro, Eiji Ishikawa, Hiroyuki Kubota, Agata Gawad, Takafumi Sakai, Kenji Oishi et al. "Mother-toinfant transmission of intestinal bifidobacterial strains has an impact on the early development of vaginally delivered infant's microbiota." PloS one 8, 2013. no. 11: e78331. B.L. Maidak, J.R. Cole, T.G. Lilburn, C.T. Parker, P.R. Saxman, R.J. Farris, G.M. Garrity, G.J. Olsen, T.M. [20] [21] [22] [23] [24] Schmidt, dan J.M. Tiedje, The RDP-II (Ribosomal Database Project). Nucleic Acids Res. 2001. 29:173-174. M.L. Marco, S. Pavan, dan M. Kleerebezem, Towards understanding molecular modes of probiotic action. Curr. Opin. Biotechnol. 2006. 17:204-210 A. Sapkota, A.R. Sapkota, M. Kucharski, J. Burke, S. McKenzie, P. Walker, dan R. Lawrence, Aquaculture practices and potential human health risks: current knowledge and future priorities. Environment International 2008. 34, 1215-1226. P.H. Serrano. Responsible use of antibiotics in aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper. No. 469, Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome, Italy, pp. 1-10. 2005 K. Kümmerer, K., dan A. Henninger. Promoting resistance by the emission of antibiotics from hospitals and households into effluents. Clinical Microbiology and Infections, 2003. 1203– 1214. J.L. Martinez. Environmental pollution by antibiotics and by antibiotic resistance determinants. Environmental pollution, 2009. 157: 2893-2902. S.B. Levy, dan B. Marshall. Antibacterial resistance worldwide: causes, challenges and responses. Nature Medicine, 2004. 10 (Suppl): S122–S129 A.M. Sefton. Mechanisms of antimicrobial resistance. Drugs, 2002. 62: 557–566. A.J. Alanis. Resistance to antibiotics: are we in the post-antibiotic era? Archives of medical research, 2005, 36: 697–705. G.A. Jacoby dan L.S. Munoz-Price. The new β-lactamases. The New England Journal of Medicine, 2005. 352: 380–391. CLSI. 2010. “Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Tests, Informal Supplement”. Clinical and Laboratory Standards Institute, Wayne, Pennsylvania, 2010. P.H. Krumperman. Multiple antibiotic resistance indexing of Escherichia coli to identify high-risk sources of fecal contamination of foods.Applied and Environmental Microbiology, 1983. 46(1), 165-170. M.R. D'Aimmo, M. Modesto, B. Biavati, Antibiotic resistance of lactic acid bacteria and Bifidobacterium spp. isolated from dairy and pharmaceutical products. International journal of food microbiology, 2007, 115(1), 35-42 W.P. Charteris, P.M. Kelly, L. Morelli, L., dan J.K. Collins. Development and application of an in vitro methodology to determine the transit tolerance of potentially probiotic Lactobacillus and Bifidobacterium species in the upper human gastrointestinal tract. Journal of applied microbiology, 1998, 84(5), 759-768. A.M. Yazid, A.M. Ali, M. Shuhaimi, V. Kalaivaani, M.Y. Rokiah, A. Reezal. Antimicrobial susceptibility of bifidobacteria. Letters in applied microbiology, 2002. 31(1), 57-62. L. Masco, K. Van Hoorde, E. De Brandt, J. Swings, dan G. Huys, Antimicrobial susceptibility of Bifidobacterium strains from humans, animals and probiotic products. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 2006. 58(1), 85-94. M.A. Webber, V. Ricci, R. Whitehead, M. Patel, M. Fookes, A. Ivens, dan L.J.V. Piddock. "Clinically relevant mutant DNA gyrase alters supercoiling, changes the transcriptome, and confers multidrug resistance." MBio 4, 2013. no. 4: e00273-13. C. Pál, B. Papp, M.J. Lercher.. Adaptive evolution of bacterial metabolic networks by horizontal gene transfer. Nature genetics, 2005. 37(12), 1372-1375. O.O. Osundiya, R.O. Oladele, O. O.Oduyebo. (2013). Multiple antibiotic resistance (MAR) indices of Pseudomonas and Klebsiella species isolates in Lagos University Teaching Hospital. African Journal of Clinical and Experimental Microbiology, 2013. 14(3), 164-168. 79 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Perubahan Karakteristik Kimia Kopi Luwak Robusta In Vitro dengan Variasi Lama Fermentasi dan Dosis Ragi Muhammad Fauzi1 dan Nur Wahyu Hidayati2 Dosen Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember Mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto jember 68121 1 2 1email: 2email: muhfauzi_60@yahoo.com nurwahyuhidayati20@yahoo.com Abstract Civet coffee production currently should not depend on civet animals only because its only be able to produce civet coffee about 1,5 kg per night, so this amount can’t fill demand of local and international market. Therefore, it needed production alternative is to use civet coffee yeast with robusta coffee rind extract media which is then added the micro flora agent of civet feces. However, changes in the chemical characteristics of civet coffee in vitro is not yet known so the purpose of this research was to assess changes in the chemical characteristics of civet coffee in vitro by fermentation and yeast dosage. The research result shows that variations of fermentation time and additional yeast dosage be capable of affecting the chemical characteristics on robusta civet coffee in vitro. In addition, the treatment can also increase the water content and total acid titration up to 9.19% and 0.0267%, while the glucose, pH and caffeine levels drop to 9.02%; 5.65; and 8.39%. Keywords: Civet coffee, civet coffee yeast, micro flora I. PENDAHULUAN Kopi luwak merupakan salah satu produk olahan kopi khas Indonesia yang dihasilkan dari buah kopi matang optimum yang dipilih oleh luwak berdasarkan rasa dan aroma, biji kopi beserta lendirnya akan dimakan dan melewati saluran pencernaan luwak [4], [12]. Selama proses pencernaan, biji kopi akan mengalami fermentasi secara alami dengan bantuan mikroba spesies BAL (Lactobacillus plantarum dan L. Brevis, Leuconostoc paramesenteroides dan L. mesenteroides serta Streptococcus faecium) dan enzim protease yang ada pada pencernaan luwak [9], [16], [18]. Fermentasi tersebut dapat menghasilkan cita rasa dan aroma khas yang mampu memberikan daya tarik tersendiri terhadap penikmat kopi, sehingga pasar lokal maupun internasional menunjukkan permintaan kopi luwak yang semakin meningkat dari tahun ke tahun [24]. Permintaan kopi luwak datang dari negara-negara ASEAN, Timur Tengah, hingga Eropa sebesar 600 kg per bulan [17], sedangkan ketersediaan kopi luwak hanya sekitar 250-300 kg per bulan [20]. Permintaan yang meningkat dan terbatasnya pasokan kopi luwak membuat produksi kopi luwak tidak dapat hanya mengandalkan hasil dari feses luwak saja. Salah satu alternatif untuk memproduksi kopi luwak adalah dengan proses fermentasi in vitro (diluar pencernaan hewan luwak) menggunakan ragi/kultur kering. Dari hasil implementasi ragi kering multi kultur dengan media tepung beras [3], tepung maizena [1], dan tapioka [26] dihasilkan kopi beras yang mempunyai skor citarasa preference 7,0-7,5 yang mendekati citarasa kopi luwak (7,75; good, chocolaty) pada fermentasi semi basah 24 jam. Selain itu penggunaan ragi cair dari mikroflora feses luwak yang ditumbuhkan pada media MRS broth dan difermentasi selama 16 atau 24 jam menghasilkan kopi dengan kadar kafein 660011000 mg/kg sesuai dengan penelitian Chan dan Garcia [5] sebesar 10000 mg/kg [22], [27]. Usaha peningkatan produksi kopi luwak menggunakan ragi yang dihasilkan dari beberapa penelitian diatas masih sulit untuk diterapkan petani kopi. Hal ini disebabkan oleh ragi kopi harus dibuat dalam media MRS broth, kesulitan memelihara biakan BAL secara individual, pembuatan media pengganti dan penumbuhan mikroflora. Upaya yang mungkin dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan membuat ragi kopi luwak kering bermedia ekstrak kulit buah kopi robusta yang ditambahkan agen mikroflora hasil isolasi feses luwak, sehingga ragi lebih 80 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 mudah disediakan dan digunakan. Namun, perubahan karakteristik kimia kopi luwak in vitro belum diketahui terutama berdasarkan lama fermentasi dan dosis ragi yang ditambahkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian kopi luwak in vitro menggunakan ragi kopi luwak sehingga diketahui perubahan kimianya. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses luwak segar, MRS broth, kulit buah kopi, gula pasir, aquades, tepung beras dan biji kopi robusta yang diperoleh dari Desa Sidomulyo kecamatan Silo, Kabupaten Jember. Untuk analisa digunakan MgO, kloroform, KOH 1%, NaOH 0,01N, kertas saring dan phenolphtalein. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar Air Hasil uji kadar air biji kopi luwak in vitro menunjukkan semakin lama fermentasi dan semakin banyak konsentrasi ragi yang ditambahkan maka semakin tinggi pula kadar air yang terdapat dalam biji kopi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Pengujian kadar air menunjukkan rata-rata sampel memiliki kadar air 8,5-9,5%. Pengujian kadar air sangat erat hubungannya dengan potensi tumbuhnya jamur seperti Aspergillus ochraeceus dan Aspergillus niger, penyebab okratoksin (OTA). OTA merupakan senyawa toksin atau racun yang menjadi standar kualitas mutu kopi dunia [13]. 3) Pembuatan ekstrak: Pembuatan ekstrak kulit buah kopi menggunakan ekstraksi bertingkat. Perbandingan antara kulit buah dan aquades yaitu 1:4. 4) Pembuatan Inokulum: Feses luwak diinokulasi sebanyak satu ose pada media 10 ml MRS Broth dan diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37-39oC. Sementara itu juga disiapkan media steril berupa ekstrak kulit buah kopi yang telah diperkaya dengan nutrisi gula (2,3% dari ekstrak kulit buah kopi). Kultur awal yang dihasilkan diinokulasi pada media steril dan kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37o-39o C. 5) Pembuatan Ragi Kopi Luwak: Pembuatan ragi kopi menggunakan bahan pengisi berupa tepung beras dan ekstrak kulit buah kopi (2:1), kemudian dicampurkan dengan starter mikroflora secara homogen dan aseptik. Hasil campuran dibentuk bulatan kecil, lalu diinkubasi selama 24-48 jam dengan suhu 37o-39oC dan dikeringkan. 6) Fermentasi Kopi Luwak In Vitro [22]: Sebanyak 3 kilogram buah kopi robusta pulping difermentasi selama 24 jam dengan suhu 37-39oC secara semi basah menggunakan ragi kopi luwak dengan dosis 0,5% (A1); 1,5% (A2); dan 2,5% (A3). Pengambilan sampel dilakukan setiap 8 jam sekali yaitu pada saat fermentasi kopi mencapai 8 jam (B1), 16 jam (B2), dan 24 jam (B3). Setelah itu masing-masing sampel dicuci dan dikeringkan dibawah sinar matahari selama 3-4 hari hingga kadar air mencapai 10-12%. Biji kopi kering kemudian dihulling untuk mendapatkan kopi beras. 7) Uji Kimia Kopi Luwak In Vitro: Uji kimia biji kopi luwak in vitro yang dilakukan meliputi kadar air (Metode Pemanasan; AOAC, 2005), kadar glukosa (Metode Elektrokimia; GlucoDr Strip, 2013), pH (AOAC, 1984), total asam tertitrasi (Metode Acidi-alkalimetri; Fardiaz, 1992), dan kadar kafein (Cara Bailey-Andrew). Kadar air (%) B. Metode 10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Lama Fermentasi 8 jam 16 jam 24 jam Jumlah Ragi Gambar 1. Kadar air kopi luwak in vitro Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa perlakuan lama fermentasi 8 jam, 16 jam, dan 24 jam serta penambahan ragi kopi luwak 0,5%; 1,5%; dan 2,5% secara keseluruhan mengalami peningkatan kadar air bila dibandingkan dengan kontrol biji kopi robusta tanpa fermentasi (8,51%). Hal ini dikarenakan semakin lama waktu fermentasi dan semakin banyak ragi yang ditambahkan maka aktivitas mikroorganisme yang ada pada ragi kopi luwak semakin meningkat, sehingga proses degradasi senyawa biji kopi dan pengikatan molekul air juga meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fardiaz [8] bahwa pada fermentasi terjadi perombakan glukosa menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O) sehingga akan meningkatkan kadar air pada bahan kering. Fermentasi akan mempengaruhi kandungan air yang terdapat dalam biji kopi hasil fermentasi. Hasil analisa kadar air biji kopi luwak in vitro tertinggi didapatkan pada perlakuan lama fermentasi 16 jam dengan ragi kopi luwak sebanyak 2,5% yaitu 9,19%. Hal ini dikarenakan dalam pertumbuhannya, mikroorganisme yang terdapat pada ragi kopi luwak berada dalam fase eksponensial sehingga air (H2O) yang dihasilkan lebih banyak daripada fermentasi 8 81 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 B. Kadar Glukosa Glukosa merupakan bahan fermentasi yang apabila keberadaannya semakin sedikit menunjukkan keefektifan fermentasi yang terjadi. Perubahan kadar glukosa pada biji kopi robusta yang difermentasi menggunakan ragi kopi luwak dapat dilihat pada Gambar 2. meningkatnya kandungan total asam tertitrasi pada biji kopi. Penurunan kadar glukosa diikuti oleh penambahan keasaman substrat atau nilai pH semakin menurun seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi dan konsentrasi ragi yang ditambahkan. C. pH Menurut Day dan Underwood [7], pH didefinisikan sebagai logaritma aktivitas ion hidrogen (H +) yang terlarut. Hasil pengujian nilai pH pada biji kopi luwak in vitro dapat dilihat pada Gambar 3. 6,00 5,00 Lama Fermentasi 8 jam 4,00 pH jam. Hal ini didukung dengan kadar glukosa yang rendah pada fermentasi 16 jam. Analisa kadar air dari fermentasi 8 jam, 16 jam, dan 24 jam memiliki hasil yang fluktuatif. Fluktuatifnya hasil kadar air ini menurut Sudarmadji, et al [23] dikarenakan kadar air merupakan komponen yang tidak tetap karena mudah terpengaruh oleh faktor-faktor dari luar. Secara keseluruhan sampel biji kopi hasil fermentasi ini dapat dikatakan bermutu baik, karena menurut SNI kadar air biji kopi tidak boleh lebih dari 12%. 3,00 2,00 Kadar Glukosa (%) 12,00 16 jam 1,00 10,00 24 jam 0,00 8,00 Lama Fermentasi 6,00 8 jam 4,00 Jumlah Ragi 16 jam 2,00 24 jam 0,00 Jumlah ragi Gambar 2. Kadar glukosa kopi luwak in vitro Dari Gambar 2. diketahui bahwa rata-rata kopi luwak in vitro memiliki kadar glukosa 9-9,6%. Kadar glukosa pada sampel semakin menurun seiring dengan penambahan ragi dan lama fermentasi. Pada sampel dengan penambahan ragi kopi luwak 0,5%; 1,5%; dan 2,5% perlakuan 8 jam, 16 jam, dan 24 jam memiliki kadar glukosa yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol biji kopi robusta tanpa fermentasi yaitu 9,72%. Penurunan kadar glukosa ini disebabkan adanya aktivitas mikroorganisme yang mengubah glukosa menjadi asam. Hasil analisa kadar glukosa terendah didapatkan pada perlakuan lama fermentasi 16 jam dan 1,5% ragi kopi luwak yaitu 9,02%. Glukosa merupakan substrat bagi mikroorganisme, sehingga keberadaannya semakin berkurang seiring dengan lama fermentasi dan dosis ragi yang ditambahkan. Bakteri pemecah gula ini bekerja 5 sampai 24 jam dalam proses fermentasi. Sebagai hasil proses pemecahan gula adalah asam laktat dan asam asetat dengan kadar asam laktat yang lebih besar [19]. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa penurunan kadar glukosa diikuti dengan penurunan nilai pH serta Gambar 3. pH kopi luwak in vitro Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa fermentasi dengan penambahan ragi kopi luwak 0,5%; 1,5%; dan 2,5% selama 8 jam, 16 jam, dan 24 jam memiliki pH sekitar 5,6-5,9. Keseluruhan sampel memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol biji kopi robusta tanpa fermentasi yaitu 5,8. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan asam-asam organik yang terbentuk selama proses fermentasi. Pembentukan asam-asam organik terjadi akibat adanya aktivitas metabolisme yang ada pada ragi terutama bakteri asam laktat. Berdasarkan penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa isolasi biji kopi luwak segar menghasilkan lima spesies BAL yang teridentifikasi sebagai Lactobacillus plantarum, Lactobacillus brevis dan Streptococcus faecium yang menghasilkan asam laktat sekitar 90%, Leuconostoc paramesenteroides, Leuconostoc mesenteroides dan Leuconostoc dextranicum yang akan memecah glukosa menghasilkan ± 50% asam laktat dan sisanya dapat berupa etanol, asam asetat, asetaldehid, diasetil, dan CO2 [9], [21]. Asam laktat yang terbentuk menyebabkan pH semakin menurun. Menurut Afifah [2], pada umumnya semakin meningkatnya kandungan asam suatu bahan, maka nilai pH akan semakin menurun. Hasil pengukuran pH biji kopi luwak in vitro terendah didapatkan pada sampel dengan perlakuan lama fermentasi 16 jam dan penambahan ragi kopi luwak sebanyak 2,5% yaitu 5,65. Penurunan pH selama fermentasi menunjukkan penambahan jumlah ragi kopi luwak mampu meningkatkan aktivitas metabolisme dalam 82 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 mendegradasi gula seiring dengan perlakuan lama fermentasi, sehingga asam yang terbentuk meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa mikroorganisme yang terdapat dalam ragi kopi luwak mengandung kelompok mikroba yang mampu menghasilkan asam-asam organik. Hal ini diperkuat dengan pendapat Fauzi [10] yang menyatakan bahwa penurunan nilai pH disebabkan produksi asam laktat oleh inokulum ragi yang ditambahkan, dan juga dari mikroba kontaminasi dari lingkungan sekitar. D. Total Asam Tertitrasi Total asam tertitrasi (TAT) merupakan salah satu indikator terjadinya fermentasi yang dinyatakan dalam persen asam laktat. Perubahan total asam tertitrasi pada biji kopi luwak in vitro dapat dilihat pada Gambar 4. konsentrasi 2,5% menyebabkan asam laktat yang terbentuk semakin meningkat dan pH cenderung turun, yang kemudian mengakibatkan nilai total asam tertitrasi meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Charalampopoulus et al., [6] yang menyatakan bahwa aktivitas mikroba selama fermentasi akan menyebabkan penurunan pH seiring dengan meningkatnya keasaman produk sebagai asam laktat, dan asam-asam organik lainnya akan terakumulasi. E. Kadar Kafein Hasil analisa kadar kafein biji kopi luwak in vitro memiliki nilai yang fluktuatif, namun secara keseluruhan kadar kafein mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5. 1,60 Lama Fermentasi 0,02 8 jam 0,01 16 jam 24 jam 0,00 Jumlah Ragi Kadar Kafein(%) Total Asam Tertitrasi (%) 1,40 0,03 1,20 Lama Fermentasi (jam) 8 jam 1,00 0,80 0,60 0,40 16 jam 0,20 24 jam 0,00 Jumlah Ragi (%) Gambar 4. Total asam tertitrasi kopi luwak in vitro Gambar 5. Kadar kafein tertitrasi kopi luwak in vitro Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa jumlah total asam tertitrasi cenderung semakin meningkat seiring dengan penambahan ragi dan lama fermentasi. Pada sampel dengan penambahan ragi kopi luwak 0,5%; 1,5%; dan 2,5% pada perlakuan 8 jam, 16 jam, dan 24 jam memiliki total asam tertitrasi sekitar 0,025-0,027%. Keseluruhan sampel memiliki total asam tertitrasi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol biji kopi robusta tanpa fermentasi yaitu 0,0254%. Hal ini disebabkan karena kopi luwak in vitro telah mengalami proses fermentasi. Asam tertitrasi mengalami peningkatan seiring dengan lama fermentasi dan jumlah ragi kopi luwak yang ditambahkan, karena mikroorganisme yang melakukan metabolisme juga semakin meningkat. Hal ini diperkuat oleh Legowo et al., [15] yang menyatakan bahwa peningkatan kadar asam laktat disebabkan adanya aktivitas BAL yang memecah laktosa dan gula-gula lain menjadi asam laktat. Hasil pengukuran total asam tertitrasi biji kopi luwak in vitro tertinggi didapatkan pada sampel dengan perlakuan lama fermentasi 16 jam dan penambahan ragi kopi luwak sebanyak 2,5% yaitu 0,0267%. Pemberian ragi hingga Hasil analisis kadar kafein pada Gambar 5 menunjukkan bahwa biji kopi robusta yang telah difermentasi menggunakan ragi kopi luwak memiliki kadar kafein sekitar 0,8-1,5% lebih rendah dibandingkan dengan kontrol biji kopi robusta tanpa fermentasi yaitu 1,44%. Secara keseluruhan hasil analisa kadar kafein kopi luwak in vitro menggunakan ragi kopi luwak 0,5%; 1,5%; dan 2,5% masing-masing mengalami penurunan seiring dengan lama fermentasi. Hal ini sesuai dengan Hanifah dan Kurniawati [14] yang menyatakan bahwa proses fermentasi dapat menurunkan kandungan kafein secara signifikan baik fermentasi hewan luwak, fermentasi basah secara penuh, maupun fermentasi dengan ragi. Kafein akan diuraikan oleh bakteri-bakteri fermentasi dan enzim pengurai kafein. Hasil fermentasi maksimum terjadi pada perlakuan penambahan ragi kopi luwak sebanyak 2,5% dengan lama fermentasi selama 24 jam yaitu 0,839%. Menurut Todar [25], semakin lama waktu fermentasi maka semakin sedikit konsentrasi kafein dalam kopi. Hal ini dikarenakan pada proses fermentasi terjadi degradasi kafein menjadi uric acid, 7-methilxanthine, dan xanthine. Lebih lanjut, 83 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 penelitian Yano dan Mazzafera [28] mengemukakan bahwa pada proses degradasi kafein menjadi uric acid mulai terbentuk pada waktu 12 jam fermentasi. Demikian juga menurut Gokulakrishnan et al. [11] proses degradasi kafein menjadi uric acid mulai terbentuk pada waktu fermentasi 12 - 36 jam. Reaksi yang terjadi yaitu: Mikroba Kafein uric acid+biomassa [11] [13] IV. KESIMPULAN Hasil penelitian diketahui bahwa variasi lama fermentasi dan dosis ragi kopi luwak yang ditambahkan mampu mempengaruhi karakteristik kimia kopi luwak robusta in vitro. Selain itu, perlakuan juga dapat meningkatkan kadar air dan total asam tertitrasi hingga 9,19% dan 0,0267%, sedangkan kadar glukosa, pH dan kadar kafein turun hingga 9,02%; 5,65; dan 8,39%. [16] [14] [15] [17] [18] [19] DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] Afandi, I. L., “Studi Optimasi Dosis Ragi Kopi Luwak Multikultur Bermedia Tepung Maizena Pada Pengolahan Kopi Robusta Secara Semi Basah”, Skripsi, Jember: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UJ, 2011. Afifah, N. (2010) Analisis Kondisi dan Potensi Waktu Fermentasi Medium Kombucha (Teh, Kopi, Rosella) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Pathogen (Vibrio cholera dan Bacilluscereus). http://pustaka . Uin.ac.id/ wpcontent /uploads/2010/11/Analisis Kondisi Dan Potensi Waktu Fermentasi Medium Kombucha.pdf. [30 April 2016]. Agustin, R., “Optimasi Dosis Ragi Kopi Luwak Multikultur Bermedia Tepung Beras Pada Pengolahan Kopi Robusta Secara Semi Basah”, Skripsi. Jember: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UJ, 2011. Bannon, G.A., Goodman, R.E., Leach, J.N., Rice, E., Fuchs R.L., dan Astwood, J.D. Digestive Stability In The Context Of Assessing The Potential Allergenicity Of Food Proteins, Nutrition And Toxicology Journal, 8: 271-285, 2002. Chan, S dan Garcia, E., Comparative Physicochemical Analyses of Regular and Civet Coffee, The Manila Journal of Science, 7(1): 19-23, 2011. Charalampopoulos, D., Wang, R., Pandiella, S.S., dan Webb, C. “Isolation and Characterization of Lactic Acid Bacteria from “Ting” in the Northern Province of South Africa”, Thesis, Pretoria: University of Pretoria, 2002. Day, R. A. dan Underwood, A. L. Analisa Kimia Kuantitatif, Edisi Keenam, Alih Bahasa oleh Dr. Ir. Iis Sopyan, M. Eng, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002. Fardiaz, S. Mikrobiologi Pangan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992. Fauzi, M., Isolasi Dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Biji Kopi Luwak (Civet Coffe), Jember: Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember, 2008. Fauzi, M. Penentuan Dosis Ragi Kopi Luwak Bermedta Tapioka Pada Pengolahan Kopi Robusta. Prosiding Seminar Nasional PATPI 2013: Peran Teknologi dan Industri Pangan Untuk Percepatan Tercapainya Kedaulatan Pangan Indonesia. Jember: Universitas Jember, 2013. Gokulakrishman, S., Chandrajad, K., Gummadi, dan Sathyanarayana, N., Microbial and Enzymatic Methods for The Removal of Caffeine, Journal Enzyme and Microbial Technology, Elsevier. 37: 225-232, 2005. Hadipernata, Mulyana dan Nugraha, Sigit., Identifikasi Fisik, Kimia dan Mikrobiologi Biji Kopi Luwak sebagai Acuan Teknologi Proses Kopi Luwak Artifical. Prosiding Seminar Nasional Intensif Riset Sinas: 117-121, 2012. [20] [21] [22] [23] [24] [25] [26] [27] [28] Handayani, Alfina., Penerapan Sistem Nilai Cacat pada Komoditas Kopi Robusta (Studi Kasus di Wonokerso, Pringsurat, Temanggung). Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, 11(2), 2013. Hanifah, Nurul dan Kurniawati, Desy., Pengeruh Larutan Alkali dan Yeast terhadap Kadar Asam, Kefein, dan Lemak pada Proses Pembuatan Kopi Fermentasi, Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, 2(2): 162-168, 2013. Legowo, A. M., Kusrahayu dan Mulyani, S., Teknologi Pengolahan Susu, Semarang: Universitas Diponegoro, 2009. Marcone, N. F.. Composition and Properties of Indonesia Palm Civet Coffee (Kopi Luwak) and Ethopian Civet Coffee. Food Research International 37 (9): 901-912, 2004. Mustakim, R. (2015) Kopi Luwak Makin Populer Di Dunia, Sudah Dipayungi Permentan. Portal Berita Info Publik [serial online]. http://infopublik.id/read/122137/kopi-luwak-makinpopuler-di-dunia-sudah-dipayungi-permentan.html. [15 September 2015]. Nuga. “Pelatihan Kopi Malabar”. Tidak Diterbitkan. Makalah. Pangalengan, Kabupaten Bandung, 2012. Oktadina, F. D., Argo, B. D., dan Hermanto, M. B., Pemanfaatan Nanas (Ananas Comosus L. Merr) untuk Penurunan Kadar Kafein dan Perbaikan Citarasa Kopi (Coffea Sp) dalam Pembuatan Kopi Bubuk, Malang: Jurusan Keteknikan Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 1(3): 265-273, 2013. Putra, Herry (2015) Kopi Lanang dari Luwak Lanang. [serial online] https://kopiluwaklanang.wordpress.com/artikelarticle/kopi-lanang-dari-luwak-lanang/. [15 September 2015]. Salminen, S and A.V. Wright., Lactic Acid Bacteria: Microbiology and Fungsional Aspect, Edisi Kedua. New York: Marcel Dekker Inc, 1998. Sari, M. L., “Karakteristik Organoleptik dan Komponen Flavor Biji Kopi Robusta (Coffee Robusta) Hasil Fermentasi Menggunakan Starter Feses Luwak”, Skripsi, Jember: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UJ, 2014. Sudarmadji, S., Haryono, B, dan Suhardi, Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian, Yogyakarta: Liberty, 1997. Surya, Yohanes, Gasing Science 4A, Tangerang: PT. Kandol, 2013. Todar, K (2010) Nutrition and Growth of Bacteria. Department of Bacteriology, University of Wisconsin. http://textbookofbacterriology.net/nutgro_2.html (11 November 2015). Wijanarko, B., “Optimasi Dosis Ragi Kopi Luwak Multikultur Bermedia Tepung Tapioka Pada Pengolahan Kopi Robusta Secara Semi Basah”, Skripsi, Jember: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UJ, 2011. Wijayani, Reza Adi, “Karakteristik Kimia Kopi Biji Robusta Hasil Fermentasi Menggunakan Mikroflora Asal Feses Luwak”, Skripsi, Jember: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UJ, 2015. Yano, D. M. dan Mazzafera, P., Catabolism of Caffeine and Purification of a Xanthine Oxidase Responsible for Methyluric Acids Productions in Pseudomonas Putida L.. Revista de Microbiologia. Vol. 30(1): 62-70, 1999. 84 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Optimasi Produksi Pepton dari Bungkil Kedelai Untuk Media Produksi Yeast Dadik Pantaya#1, Dicky Pamungkas*2, Merry Muspita DU#3, Suci Wulandari#4, Anang Febri#5 # Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember 1email: dadieek@yahoo.com 3email:merry.mdu@gmail.com 4email:suci_ndariwulan@yahoo.com 5email:anang_fp@yahoo.com * Loka Penelitian Sapi Potong, Departemen Pertanian, Grati, Jawa Timur 2dpamungkas2000@yahoo.com Abstrak Bahan pepton merupakan komponen penting dalam media pertumbuhan mikroba yang berperan sebagai sumber nitrogen. Rata-rata kebutuhan produk pepton yang dicukupi dari produk impor mencapai US $17.84 juta per tahun dalam lima tahun terakhir merupakan peluang tersendiri untuk pengembangan pepton dengan menggunakan produk sumber protein yang tersedia di Indonesia, seperti bungkil kedelai. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan pepton bungkil kedelai dengan hidrolisis enzimatis menggunakan enzim papain kasar, menentukan kondisi hidrolisis terbaik (waktu hidrolisis, konsentrasi enzim, dan lama inkubasi), dan ujicoba bahan pepton bungkil kedelai sebagai media pertumbuhan yeast. Kadar protein bungkil kedelai yang digunakan adalah 39% dan aktivitas enzim papain kasar yang digunakan sebesar 125 U/mg. Proses hidrolisis berlangsung dengan menggunakan substrat bungkil kedelai dan lautan buffer phosphat dengan perbandingan 1:5. Kondisi hidrolisis terbaik untuk menghasilkan pepton bungkil kedelai dicapai dengan menggunakan enzim papain sebesar 2000 unit/gram dengan hidrolisis selama 1 jam pada suhu 60-70 oC. Pepton yang dihasilkan merupakan produk cair berwarna kuning kecoklatan, supernatan dari proses sentrifugasi. Rendemen proses hidrolisis ini adalah 10.23 mg/g bungkil kedelai. Hasil pengujian pertumbuhan pada yeast Saccharomyces cerevisiae menunjukkan bahwa pepton bungkil kedelai dapat digunakan sebagai komponen dalam media untuk pertumbuhan yeast. Kata kunci : hidrolisis enzimatis, papain, pepton bungkil kedelai, yeast BAB 1. PENDAHULUAN Pertumbuhan protein sel tunggal seperti yeast membutuhkan protein sederhana dalam bentuk pepton yang merupakan sumber protein terlarut. Selama ini kebutuhan pepton di Indonesia masih dipenuhi melalui impor dengan jumlah dan harga yang tinggi. Impor produk ini dilakukan karena industri pepton Indonesia belum dikembangkan. Pada tahun 2014, impor pepton di Indonesia mencapai nilai sebesar US $21 juta dengan jumlah sebesar 5.500 ton. Nilai tersebut meningkat dibanding tahun 2012 yaitu US $13.2 juta dengan kuantitas sebesar 3 300 ton [1]. Sementara itu pada waktu yang sama kebutuhan protein untuk produk dari mikrobia terutama yeast di sektor nutrisi pakan ternak semakin meningkat sehingga kebutuhan pepton juga meningkat. Penggunaan probiotik yeast semakin meningkat digunakan untuk meningkatkan performans produksi ternak ruminansia [2] [3]. Tingginya nilai impor tersebut dapat menjadi peluang untuk melakukan pengembangan pepton dengan memanfaatkan bahan sumber protein yang tersedia di Indonesia, seperti protein bungkil kedelai. Pepton merupakan hidrolisat protein yang banyak digunakan sebagai salah satu komponen nutrisi dalam media pertumbuhan mikroorganisme. Pepton dalam media pertumbuhan mikroba berfungsi sebagai sumber nitrogen bagi mikroorganisme. Penggunaan pepton sangat luas mencakup penggunaan pada laboratorium mikrobiologi hingga pada industri berbasis bioteknologi [4] [5]. Produksi pepton dapat dilakukan dengan cara hidrolisis enzimatis menggunakan enzim proteolitik [6]. Kelebihan proses enzimatis adalah tidak memerlukan suhu tinggi, proses hidrolisis berlangsung secara spesifik, dan dapat mengkonservasi semua asam amino yang ada. Proses hidrolisis dengan cara asam dapat merusak sebagian atau semua asam-asam amino tertentu karena 85 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 kondisi proses yang berlangsung pada suhu tinggi. Selain itu, produk pepton yang diperoleh dari proses hidrolisis asam memiliki kandungan garam yang tinggi karena adanya pembentukan garam pada proses netralisasi [7]. Faktor yang mempengaruhi kecepatan hidrolisis enzimatis adalah waktu inkubasi, pH, suhu, konsentrasi enzim dengan protein [8]. Tabel 1. Spesifikasi enzim papain kasar Parameter Specifikasi Aktivitas proteolitik 125.2 TU/mg Arsenic Nd*) Coliform negatif Nd : non detected C. Gambar 1. Hidrolisis enzimatis protein [9] Setiap bahan organik memiliki jenis protein yang berbeda-beda. Perbedaan jenis protein tersebut dapat mempengaruhi kelarutannya, sehingga perlu dilakukan optimasi pH untuk isolasi protein. Oleh karena itu dalam memproduksi pepton bungkil kedelai secara enzimatis diperlukan penggunaan kondisi hidrolisis terbaik sehingga produk dapat dihasilkan secara optimal. Pada penelitian ini dilakukan penentuan kondisi hidrolisis terbaik dalam memproduksi pepton bungkil kedelai. Kondisi yang dikaji meliputi waktu hidrolisis, konsentrasi enzim, dan suhu hidrolisis selama masa inkubasi. BAB 2. MATERI DAN METODE Tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pakan Ternak, Laboratorium Bioscience Politeknik Negeri Jember dan Laboratorium Fateta IPB Bogor. A. B. Alat dan Bahan Alat Beaker glass, tabung reaksi, ball pipet, blender, buret, corong, erlenmeyer, gelas ukur, hot plate, kantong plastik, labu Kjeldahl, mortir dan stamper, pH meter, pipet tetes, sentrifuse (Hermle, Gemany), dan spektrofotometer UV-Vis. Bahan Utama yang digunakan adalah bungkil kedelai yang diperoleh dari produk komersial. Enzim papain kasar komersial dengan karakteristik bahan seperti yang tercantum di Tabel 1. (PT Cortiko Mulya Sejahtera). Bahan kimia yang digunakan aquades, aquades beku, aqua bides, BSA (Bovine Serum Albumin), buffer phosphat reagen Bradford. Metode percobaan Bungkil kedelai digiling dengan ukuran mesh 1 mm menggunakan sample mill (IKA-Werke M20, Germany) agar diperoleh bungkil kedelai yang berukuran kecil dan seragam, selanjutnya dianalisis komposisi kimia metode AOAC [10]. Uji optimasi hidrolisis enzim dilakukan dengan mereaksikan enzim pada substrat bungkil kedelai untuk penentuan konsentrasi enzim, suhu inkubasi dan lama inkubasi terbaik. Bungkil kedelai ditambahkan dengan larutan enzim dalam larutan buffer phospat pH 5 dengan perbandingan 1:5 (b/v) dan enzim pada berbagai konsentrasi (0; 250; 1000; 2000; 3000; 4000 Unit). Campuran tersebut dicampurkan dalam tabung Falcon Polypropilene (PP) 15 mL kemudian diaduk dengan magnetic stirrer sampai tercampur rata. Hidrolisis ini dilakukan pada suhu 60 oC dengan menggunakan inkubator selama 60 menit. Hidrolisis dihentikan dengan inaktivasi enzim pada suhu 90 oC selama 10 menit dalam water bath dan selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm, 10 menit, kemudian supernatan diuji dengan larutan standart Braford. Untuk uji lama inkubasi dan suhu inkubasi terbaik dengan menggunakan dosis optimum pada uji sebelumnya. Selanjutnya dilakukan uji produksi dengan menggunakan bahan baku sumber protein dari bungkil kedelai pada perkembangan yeast Saccharomyces cerevisiae dengan perlakuan kontrol menggunakan bungkil kedelai tanpa hidrolisis dibandingkan dengan hidrolisis. Pengujian pepton sebagai media cair pertumbuhan yeast Medium yang digunakan untuk uji ini memiliki komposisi yang sama seperti komposisi medium cair dengan bahan pepton sebanyak 1.5%. Inokulasi dilakukan pada media cair 10 ml diinkubasikan selama 24 jam dengan shaking 100 rpm, selanjutnya ditransfer ke media sebanyak 50 ml di dalam tabung Erlemeyer 500 ml kemudian ditransfer ke dalam media 20 L dan selanjutnya ke 200 L masing masing diinkubasikan selama 48 jam. Pemanenan produk yeast diperoloeh dengan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm dan dikeringkan dengan alat pengering (dryer) dengan oven pada suhu 40 oC. Jumlah bakteri dihitung dengan metode total plate count (TPC) pada kondisi suhu 30 oC dengan beberapa kali pengenceran. Jumlah yeast yang tumbuh dihitung dengan digital colony counter (Intech, Germany) sebagai nilai pertumbuhan kuantitatif. Komposisi media untuk produksi 86 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 terdiri dari molasses, PDB (potatoes dextrose broth), bungkil kedelai, ammonium sulfat (NH3SO4) dan mineral. 14 12 Karakterisasi produk hidrolisis enzimatis bungkil kedelai Dari hasil penelitian diperoleh hasil protein terlarut hasil hidrolisis seperti pada Gambar 2. Konsentrasi optimal untuk degradasi protein pada konsentrasi enzim sebesar 2.000 Unit/g (0.01%). Dengan bertambahnya konsentrasi enzim terjadi penurunan protein yang terlarut hal tersebut kemungkinan kemampuan enzim menurun dibandingkan dengan substrat yang tersedia. Pada pengamatan terhadap pengaruh lama inkubasi dengan suhu dilakukan sama dengan pengamatan terhadap konsentrasi enzim. Pengaruh perubahan suhu terhadap produk protein yang terlarut dengan suhu optimal 60-70 oC, dengan semakin tinggi suhu (80 oC) semakin rendah produk yang dihasilkan. Penurunan produk kemungkinan disebabkan oleh perubahan konformasi protein, semakin tinggi suhu akan menyebabkan denaturasi protein. Menurut Luisi and Laane [11] pengaruh suhu secara umum ditunjukkan melalui mekanisme komplek dimana melibatkan fenomena stimulasi dan aktivasi. Degradasi ikatan peptida akan semakin meningkat dengan makin tingginya suhu pada titik tertentu akan terjadi inaktifasi enzim yang ditandai dengan penurunan produk hidrolisis. Tabel 2. Komposisi kimia bungkil kedelai Zat nutrisi Kandungan (%) Protein kasar *) 39.13 Lemak kasar 0.41 Serat kasar 0.51 Ca 0.51 P 0.67 mg/g *) Analisis Lab Pangan, Politeknik Negeri Jember Ca : Calsium P : Phospor 9.2 9 8.8 8.6 8.4 8.2 8 7.8 7.6 7.4 Protein terlarut 8 Protein terlarut 6 4 2 0 0 1 2 3 Inkubasi (jam) 4 5 6 Gambar 3. Konsentrasi protein terlarut dengan waktu inkubasi yang berbeda 14 12 10 mg/g BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN mg/g 10 8 6 Protein terlarut 4 2 0 30 40 50 60 70 80 90 Suhu (oC) Gambar 4. Konsentrasi protein terlarut dengan suhu inkubasi yang berbeda Hasil pengukuran protein terlarut pada berbagai waktu inkubasi pada substrat bungkil kedelai diperoleh waktu optimal 1 jam pada suhu 60-70 oC, disamping itu mungkin terbatasnya bagian dari protein yang dapat dihidrolis oleh enzim. Tingginya produksi pepton akan meningkatkan pemanfaatan pepton dari protein bungkil kedelai. Ikatan peptida protein dihidrolisa dengan pemecahan ikatan peptida menjadi molekul yang lebih sederhana antara lain pepton dan asam amino seperti pada Gambar 1. Pemecahan oleh enzim proreolitik memecah protein pada gugus amida [12]. Uji produksi pada yeast Pada Tabel 3 menunjukkan karakteristik dari produksi yeast dengan media yang mengandung pepton bungkil kedelai. Jumlah koloni yang dihasilkan pada media dengan perlakuan menggunakan bungkil kedelai yang dihidrolisis secara enzimatis menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini mengindikasikan kuantitas pepton yang lebih tinggi, seperti pada perlakuan sebelumnya tanpa penambahan enzim dibandingkan dengan penambahan enzim, ketersediaan pepton untuk perkembangan yeast menyebabkan efek yang positif. Tabel 3. Uji pada produksi yeast 0 1000 2000 3000 4000 5000 Unit Gambar 2. Konsentrasi protein terlarut dengan penambahan dosis enzim yang berbeda Berat kering yeast, g/L Protein yeast (%) Jumlah koloni CFU/g Media 1 7.76 49.3 2.3 x 107 Media 2 8.24 50.7 7.1 x 108 Media 1 : Bungkil kedelai tanpa enzim Media 2 : Bungkil kedelai dengan enzim CFU : Colony forming unit 87 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Ketersediaan pepton pada media dapat meningkatkan jumlah massa produksi yeast. Pada uji coba ini mengindikasikan penggunaan bungkil kedelai yang terhidrolisis proses fermentasi berlangsung dengan lebih sempurna, hal ini ditandai dengan meningkatnya berat kering yeast. Hasil ini sesuai dengan pendapat Fachraniah, Fardiaz [13] yang menyatakan pepton merupakan unsur nutrient yang sangat penting untuk perkembangan mikroba. BAB 4. KESIMPULAN Penambahan enzim papain dengan dosis 2000 unit/gram dengan suhu inkubasi 60-70 oC selama 1 jam inkubasi menghasilkan produk hidrolisis yang optimal untuk menghasilkan protein terlarut bahan bungkil kedelai sebagai sumber pepton. 7. Mymrin, V., et al., Red ceramics from composites of hazardous sludge with foundry sand, glass waste and acid neutralization salts. Journal of Environmental Chemical Engineering, 2016. 4(1): p. 753761. 8. Mielech, A.M., et al., Nidovirus papain-like proteases: Multifunctional enzymes with protease, deubiquitinating and deISGylating activities. Virus Research, 2014. 194: p. 184-190. 9. Bridson, E., The Oxoid Manual. United Kingdom, 1995. 7 ed edition. 10. AOAC., Official Method of Analysis (18th Ed). Association of Official Analytical ChemistsInternational, Maryland, USA.7. H, 2005. 11. Luisi, P.L. and C. Laane, Solubilization of enzymes in apolar solvents via reverse micelles. Trends in Biotechnology, 1986. 4(6): p. 153161. 12. Mobashar, M., et al., Ochratoxin A in ruminants-A review on its degradation by gut microbes and effects on animals, in Toxins. 2010. p. 809-39. 13. Fachraniah, D. Fardiaz, and T. Idiyanti;, Pembuatan pepton dari bungkil kedelai dan khamir dengan enzim papain untuk media pertumbuhan bakteri. Teknol. Industry Pangan, 2002. VIII No 3: p. 260-266. STUDI LEBIH LANJUT Studi selanjutnya akan dilakukan uji coba produksi yeast dengan beberapa konsentrasi media dengan menggunakan pepton hasil hidrolisis dan hasil diperoleh dilakukan karakterisasi komposisi asam amino dari produk pepton. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih pada Program Riset INSINAS Kemristek Dikti yang telah memberikan dana penelitian ini dan Eco Animale Corp, yang telah membantu fasilitas untuk pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. BPS, Nilai Ekspor Impor Produk Bahan Pengisi. Available from : http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3, 2012. 2. Pantaya, D., et al., Low Ruminal pH Increases Bioavailability of Aflatoxin B1 and Ochratoxin A but not Fumonisin B1 and Deoxynivalenol in Non-Lactating Dairy Cows. Journal of Dairy Scence, 2016. (In Press, corrected proof). 3. Vyas, D., et al., Importance of yeast viability for reducing the effects of ruminal acidosis in beef heifers during and following an imposed acidosis challenge. Animal Feed Science and Technology, 2014. 197: p. 103-113. 4. Uzeh, R.E., S.O. Akinola, and S.O.A. Olatope, Production of peptone from soya beans (Glycine max L merr) and African locust beans (Parkia biglobosa). African Journal of Biotechnology Vol. 5 (18), pp. 1684-1686, 2006. 5. Fachraniah, D. Fardiaz, and T. ldiyanti, Pembuatan Pepton darl Bungkil Kedelai dan Khamir Dengan Enzim Papain untuk Media Pertumbuhan Bakteri. Jurnal.Teknol. dan Industrt Pangan, Vol. Xm, No. 3, 2002. 6. AL-Bahri, M.B.A.G., S.A. AL-Naimi, and S.H. Ahammed, The Optimum Conditions for Production of Soya Peptone by Acidic Hydrolysis of Soya Proteins. Al-Khwarizmi Engineering Journal, , 2009. Vol. 5, No. 1, PP 1-19 88 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 SENTRA HORTIKULTURA LAHAN SAWAH DI KABUPATEN JEMBER Muhammad Firdaus#1, Suherman#2 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala Jl. Sumatera 118-120 Jember 1 muhammadfirdaus2011@gmail.com 2 herman@stie-mandala.ac.id 1,2 Abstract This study aims to determine the superior horticultural commodities in Jember. The data used is secondary data, ie horticultural production data in 31 sub-districts in Jember, 2010-2014. Data were analyzed using Location Quotient (LQ) with the excel program. The results showed: 1) each district has at least two types of the superior horticultural commodities. 2) the superior horticultural commodities with the highest prevalence rates are great chili and eggplant. 3) The superior horticultural commodities indicates that the type of horticulture in accordance with the agro-climate and feasible to be developed. Keywords: centers, horticulture, and paddy field. BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Berlakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya dipengaruhi oleh keunggulan komperatif suatu daerah, spesialisasi wilayah, serta potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Sehingga, pemanfaatan dan pengembangan seluruh potensi ekonomi menjadi prioritas utama yang harus digali dan dikembangkan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi daerah secara berkelanjutan (Syahab, 2013). Penentuan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan (Hendayana, 2003). Persaingan yang ketat menuntut peningkatan efisiensi dan efektivitas di segala bidang, termasuk pertanian. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Jember bermata pencarian di bidang Pertanian, sehingga seluruh stakeholders di Kabupaten Jember harus berkomitmen untuk memajukan bidang pertanian demi meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Selain tanaman pangan dan tembakau, tanaman hortikultura turut berperan dalam kemajuan pembangunan pertanian di Kabupaten Jember ini. Menurut Firdaus (2009), tanaman hortikultura yang umum dikembangkan di lahan sawah antara lain; Melon, Semangka, Cabai (besar/kecil), Kubis, Kacang Panjang, Ketimun, Terung, dan Tomat. Ditinjau dari ketersediaan sumber daya alam dan sumberdaya manusia (petani), Kabupaten Jember sangat potensial untuk kegiatan pengembangan hortikultura tersebut. Analisis penentuan prioritas komoditas unggulan hortikultura perlu dilakukan agar kecamatan-kecamatan di Kabupaten Jember bisa menentukan komoditas hortikultura unggulan di masing-masing wilayah. Komoditaskomoditas unggulan tersebut harus berdaya saing tinggi, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan petani yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan Provinsi Jawa Timur dan pembangunan nasional BAB 2. TINJAUA N PUSTAKA Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, berdasarkan baik pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumber daya manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat), untuk dikembangkan di suatu wilayah. Komoditi unggulan merupakan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan daya saing yang tinggi terhadap komoditas sejenis pada suatu wilayah dibanding wilayah lain. Pada era globalisasi, setiap komoditas dituntut untuk memiliki daya saing di pasar, baik pasar domestik maupun internasional. Ini berarti setiap komoditas harus mampu bersaing dengan komoditas lain di daerah yang sama atau komoditas yang sama di daerah lain. Kemampuan daya saing setiap komoditas ditandai dengan penerimaan yang diperoleh pelaku ekonomi. Penerimaan akan lebih besar diperoleh dari komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing daripada komoditas biasa (Darmawansyah, 2003). Komoditas unggulan dalam perekonomian wilayah menentukan pertumbuhan ekonomi wilayah secara keseluruhan, disamping yang berasal dari komoditas 89 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 yang bersangkutan juga sektor lain yang terkait. Semakin besar kegiatan-kegiatan sektor ini dalam wilayah akan semakin besar arus pendapatan ke dalam wilayah sehingga meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa dari hasil sektor ini dan sektor lainnya yang pada gilirannya permintaan tersebut akan meningkatkan volume kegiatan sektor lain yang selanjutnya secara simultan akan meningkatkan pendapatan wilayah. Pemilihan komoditas yang akan diusahakan memegang peranan penting dalam keberhasilan usaha produksi pertanian. Komoditas yang bernilai tinggi akan menjadi prioritas utama, tetapi perlu dipertimbangkan halhal yang berhubungan dengan pemasarannya. Komoditas yang telah dipilih selanjutnya jenis/varietasnya sesuai dengan kondisi topografi dan iklim lokasi yang direncanakan (Said, E. Gumbira dan Intan, A. Harizt, 2004). Penetapan suatu komoditas sebagai komoditas unggulan daerah harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki oleh daerah. Komoditas yang dipilih sebagai komoditas unggulan daerah adalah komoditas yang memiliki produktivitas yang tinggi dan dapat memberikan nilai tambah sehingga berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu, penetapan komoditas unggulan daerah juga harus mempertimbangkan kontribusi suatu komoditas terhadap pertumbuhan ekonomi dan aspek pemerataan pembangunan pada suatu daerah (Syahroni, 2005). Metode yang digunakan untuk menentukan komoditas unggulan adalah metode Location Quotient (LQ) yang merupakan suatu pendekatan tidak langsung untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau non basis. Kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang memiliki keunggulan/kelemahan di wilayahnya menjadi semakin penting. Sektor yang mempunyai keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang (Tarigan, 2014). BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prioritas komoditas-komoditas hortikultura unggulan di masingmasing kecamatan yang berpotensi dikembangkan di Kabupaten Jember. Sekaligus, mengidentifikasi hambatan-hambatan pemasarannya. 3.2 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai: 1. Bahan masukan bagi stakeholders (khususnya petani dan pemasar) yang bergerak di bidang hortikultura di Kabupaten Jember. 2. Bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Jember, khususnya Dinas Pertanian Tanaman Pangan dalam upaya mengembangkan komoditas unggulan sesuai dengan potensi masing-masing kecamatan. 3. Referensi bagi penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan pengembangan agribisnis hortikultura. BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Data Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Jember. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan Kabupaten Jember memiliki potensi yang tinggi di sektor tanaman hortikultura, di samping tanaman pangan dan tembakau (BPS Jember, 2010-2015). 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari data-data statistik BPS, yakni Jember dalam Angka, 2010-2014. Data yang diambil adalah data produksi hortikultur di 31 kecamatan di Kabupaten Jember. 4.3 Analisis Data Analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan, sebagai berikut: 1. Input data menurut jenis hortikultura selama lima tahun terakhir (periode 2010-2014) ke dalam spreadsheet dengan format kolom dan baris. Kolom diisi dengan jenis hortikultura dan tahun, sedangkan baris diisi dengan nama-nama kecamatan di Kabupaten Jember. 2. Menghitung jumlah produksi serta rata-rata produksi dari jenis hortikultura ke-i dan total hortikultura di kecamatan-kecamatan di Kabupaten Jember. 3. Menghitung jumlah produksi serta rata-rata produksi dari jenis hortikultura ke-i dan total hortikultura di Kabupaten Jember. 4. Menghitung nilai Location Quotient (LQ). Teknik LQ relevan digunakan sebagai metode dalam menentukan komoditas unggulan khususnya dari sisi penawaran (produksi atau populasi) (Hood, 1998). Dalam hal ini secara operasional, LQ dirumuskan: LQ  p i /p t Pi /Pt Keterangan: LQ = Location Quotient pi = Produksi jenis hortikultura ke-i pada tingkat kecamatan. pt = Produksi total hortikultura pada tingkat kecamatan. Pi = Produksi jenis hortikultura ke-i pada tingkat kabupaten. Pt = Produksi hortikultura pada tingkat kabupaten. 90 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 5. Interpretasi nilai LQ Untuk dapat menginterpretasikan hasil analisis LQ, maka: a. Jika nilai LQ > 1, menunjukkan terdapat konsentrasi relatif di suatu kecamatan dibandingkan dengan keseluruhan wilayah. Hal ini berarti jenis sayuran ke-i di suatu wilayah merupakan sektor basis (memiliki keunggulan komparatif). b. Jika nilai LQ = 1, merupakan sektor non basis, artinya jenis sayuran ke-i di suatu kecematan tidak memiliki keunggulan komparatif. c. Jika nilai LQ < 1, merupakan sektor non basis, artinya jenis sayuran ke-i di suatu kecematan tidak memiliki keunggulan komparatif. Tabel 5.1: (Lanjutan) No. 7. 8. 9. BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Setelah data produksi sayuran periode 2010-2014 dikumpulkan dari Badan Busat Statistik Kabupaten Jember, ditabulasi, dan dianalisis, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 5.1 berikut ini. Tabel 5.1: Penyebaran Jenis Hortikultura di Kab. Jember 3. Jenis Jml Kecamatan (kec.) Hortikultura Kec. Bawang Wuluhan, Bangsalsari. 2 Merah Kubis Wuluhan, Ambulu, 4 Jenggawah, Panti. Kol Ambulu, Panti, Sumberjambe. 3 4. Sawi 5. Kacang Panjang No. 1. 2. 6. Cabe Besar Mayang, Balung, Tanggul, Panti, Sukorambi, Kaliwates, Patrang. Kencong, Ambulu, Tempurejo, Mayang, Mumbulsari, Ajung, Rambipuji, Balung, Umbulsari, Semboro, Jombang, Sumberbaru, Tanggul, Sukorambi, Ledokombo, dan Patrang. Kencong, Wuluhan, Ambulu, Tempurejo, Silo, Mayang, Jenggawah, Ajung, Umbulsari, Semboro, Jombang, Sumberbaru, Sukorambi, Ledokombo, Sumberjambe, Sukowono, Kaliwates, Sumbersari, dan Patrang. 7 16 10 . 11 . 12 . 13 . 14 . 15 . 19 16 . Jenis Jml Kecamatan (kec.) Hortikultura Kec. Cabe Kecil Gumukmas, Tempurejo, Silo, 14 Rambipuji, Balung, Sumberbaru, Arjasa, Pakusari, Kalisat, Ledokombo, Sumberjambe, Sukowono, Jelbuk, dan Patrang Tomat Silo, Mayang, Jenggawah, 13 Ajung, Balung, Umbulsari, Panti, Pakusari, Ledokombo, Sumberjambe, Jelbuk, Sumbersari, dan Patrang. Terung Kencong, Ambulu, Tempurejo, 19 Mayang, Mumbulsari, Jenggawah, Ajung, Umbulsari, Semboro, Jombang, Tanggul, Panti, Arjasa, Pakusari, Ledokombo, Sumberjambe, Sukowono, Sumbersari, dan Patrang. Buncis Kencong, Wuluhan, Ambulu, 10 Silo, Jenggawah, Balung, Umbulsari, Jombang, Sumberjambe, dan Sumbersari. Ketimun Tempurejo, Mayang, 12 Mumbulsari, Jenggawah, Ajung, Umbulsari, Panti, Pakusari, Ledokombo, Kaliwates, Sumbersari, dan Patrang. Labu Siam Mayang, Panti, dan 3 Ledokombo. Kangkung Mayang, Jenggawah, Panti, 7 Sukorambi, Ledokombo, Kaliwates, dan Patrang. Bayam Mayang, Panti, Sukorambi, 6 Ledokombo, Kaliwates, dan Patrang. Melon Kencong, Puger, Ambulu, 7 Jenggawah, Rambipuji, Balung, dan Bangsalsari. Semangka Gumukmas, Puger, Jenggawah, 4 dan Bangsalsari. Dari Tabel 5.1 tampak bahwa setiap kecamatan memiliki minimal dua komoditas hortkultura unggulan. Komoditas hortikultura yang memiliki tingkat penyebaran tertinggi adalah Cabai Besar dan Terung. Kedua komoditas hortikultura tersebut tersebar di 19 kecamatan dari 31 kecamatan yang ada. Kacang panjang, cabai kecil, tomat, ketimun, dan buncis masing-masing tersebar di 16, 14, 13, , 12, dan 10 kecamatan di Kabupaten Jember. 91 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Adanya beberapa komoditas hortikultura unggulan tersebut di setiap kecamatan di Kabupaten Jember menunjukkan bahwa komoditas hortikultura tersebut sesuai untuk dikembangkan di daerah tersebut. Tidak semua daerah cocok untuk semua jenis tanaman sehingga hanya jenis tanaman tertentu saja yang diusahakan pada daerah-daerah yang memiliki keadaan iklim dan lingkungan yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman. Keadaan ini menyebabkan munculnya sentra-sentra produksi tanaman tersebut. Selain iklim dan lingkungan yang sesuai, adanya sentra-sentra produksi tanaman tersebut juga mengindikasikan produksi yang tinggi. Produksi yang tinggi menunjukkan bahwa banyak petani yang menanam. Banyaknya petani yang menanam menunjukkan tanaman tersebut disukai petani. Tanaman tersebut disukai petani karena (umumnya) memberikan hasil yang memadai bagi petani. Penerimaan yang diperoleh dari usahatani hortikultura tersebut mampu menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menanam tanaman tersebut. BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Tiap kecamatan minimal memiliki dua jenis komoditas sayuran unggulan. 2. Komoditas hortikultura yang memiliki tingkat penyebaran tertinggi adalah Cabai Besar dan Terung. 3. Adanya sentra hortikultura mengindikasikan bahwa jenis hortikultura tersebut sesuai dengan agroklimatnya dan layak untuk diusahakan. 6.2 Saran 1. Hendaknya pemerintah daerah, khususnya Dinas Pertanian Tanaman Pangan, tidak hanya memberikan perhatian terhadap komoditas pangan dan tembakau, tetapi juga hortikultura. 2. Pemerintah daerah, khususnya Dinas Pertanian Tanaman Pangan, member perhatian lebih pada jenis hortikultura yang menjadi sentra di tiap kecamatan agar produktivitas dan pemasarannya dapat ditingkatkan demi peningkatan kesejahteraan petani. Darmawansyah. 2003. Pengembangan Komoditi Unggulan Sebagai Basis Ekonomi Daerah. Tesis S-2 Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Firdaus, Muhammad. 2009. Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan di Kabupaten Jember. J-SEP Vol 3 No. 1 Maret 2009. Hood, Ron. 1998. Economic Analysis: A Location Quotient. Primer. Principal Sun Region Associates, Inc. Hendayana, Rachmat. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian Volume 12. Jakarta. http://www.litbang.pertanian. go.id/informatikapertanian/RachmadH211103.pdf. Diakses 07 April 2016. Sa’id, Gumbira dan Intan, A. Harizt. 2004. Manajemen Agribisnis. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Syahab, Alwi, Setiawan, Budi, dan Syafrial. 2013. Analisis Pengembangan Komoditi Unggulan Tanaman Pangan di Kabupaten Sumbawa. Agrise Volume XIII No. 2. Bulan Mei 2013. Syahroni, Muhammad. 2005. Analisis Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Agribisnis di Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis S-2 Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tarigan, Robinson. 2014. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. PT Bumi Aksara. Jakarta. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemenristek Dikti yang telah memberi hibah penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA BPS.. Kabupaten Jember dalam Angka Tahun 2010-2015. http://jember kab.bps.go.id/ webbeta/frontend/index.php/pencarian?keywordf orsearching=kabupaten+jember&yt12=Cari. Diakses 07 April 2016. 92 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Reliabilitas Microsoft Kinect Untuk Pengukuran Sudut Joint Sendi Bahu Pada Posisi Frontal Dan Sagittal Plane Beni Widiawan1, Yogiswara2, I Putu Dody Lesmana3 1,2,3 Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember Jalan Mastrip 164 Jember 68101 1beniw2014@gmail.com,2yogipoltek@gmail.com,3dody_lesmana@polije.ac.id Abstract Rehabilitasi mandiri dengan konsep virtual memiliki beberapa kelebihan sebagai pelengkap rehabilitasi yang dilakukan di fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit. Dengan rehabilitasi mandiri dengan konsep virtual memungkinkan terapi latihan yang adaptif sesuai dengan kondisi perkembangan penderita, dapat dilakukan monitoring secara terus-menerus, meningkatkan kepatuhan penderita terhadap latihan yang dijalankan melalui konsep rehabilitasi yang menyenangkan, dan menyediakan umpan balik secara real-time terhadap perkembangan rehabilitasi. Microsoft Kinect merupakan salah satu media motion capture 3D berbiaya murah yang dapat digunakan untuk mengembangkan rehabilitasi mandiri virtual untuk penderita frozen shoulder yang mengalami masalah kekakuan otot pada sendi bahu. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian reliabilitas Microsoft Kinect untuk pengukuran sudut sendi bahu bagian atas (upper extremity) pada rehabilitasi frozen shoulder. Dari hasil penelitian terhadap pengukuran sudut joint dari delapan pose sendi bahu pada arah frontal dan sagittal plane didapatkan bahwa reliabilitas Microsoft Kinect bernilai baik jika dilihat dari perbedaan mean yang cukup kecil dari hasil pengukuran goniometer, kecuali posisi fleksi 90º frontal dan fleksi maksimum sagittal. Keywords— Microsoft Kinect, rehabilitasi virtual, reliabilitas, frontal, sagittal, joint I. PENDAHULUAN Pengembangan rehabilitasi mandiri secara virtual khususnya bagi penderita frozen shoulder mendatangkan beberapa keuntungan sebagai pelengkap rehabilitasi yang dilakukan di fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit. Pengukuran sendi bahu pada penderita frozen shoulder merupakan hal utama untuk memberikan bentuk rehabilitasi lanjutan dan mengevaluasi hasil pengobatan yang telag diberikan. Rehabilitasi mandiri bagi penderita frozen shoulder pada umumnya mengalami beberapa kendala sehingga tidak dapat berjalan secara efektif bila dibandingkan dengan rehabilitasi penderita frozen shoulder di Rumah Sakit. Penderita frozen shoulder cenderung untuk patuh terhadap perlakuan rehabilitasi ketika di bawah pengawasan petugas medis, tetapi sering tidak melakukan gerakan rehabilitasi yang benar ketika dilakukan secara mandiri. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan kontrol bagi penderita frozen shoulder relative mahal karena membutuhkan hasil foto rontgen untuk mengukur dan mengevaluasi sendi bahu. Dengan menerapkan rehabilitasi mandiri secara virtual dapat meningkatkan motivasi dan kepatuhan untuk melakukan latihan rehabilitasi secara mandiri khususnya bagi penderita frozen shoulder, dapat mengetahui dan mengukur perkembangan rehabilitasi sendi bahu, dapat memilih bentuk rehabilitasi sesuai dengan tingkatan penyembuhan sendi bahu, dan dapat mengetahui kondisi sendi bahu dari umpan balik pengukuran dan evaluasi sudut sendi bahu. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan Microsoft Kinect untuk pengembangan rehabilitasi mandiri virtual dengan biaya murah telah menarik perhatian beberapa peneliti [1-3]. Sejak diluncurkan tahun 2010, Microsoft Kinect telah menjadi salah satu sensor permainan yang banyak dikembangkan untuk rehabilitasi virtual. Karena pada awalnya Microsoft Kinect hanya dikembangkan sebagai media motion capture 3D bagi pendukung permainan XBOX, maka penggunaan Microsoft Kinect untuk kepentingan medis kedokteran perlu dilakukan pengkajian lanjut untuk mengetahui kemampuan dan kekurangan yang dimiliki oleh Microsoft Kinect [4]. Dalam penelian yang dilakukan ini dilakukan pengukuran reliabilitas Microsoft Kinect terhadap sudut sendi bahu hasil dari proses skeleton tracking. Hasil pengukuran sendi bahu menggunakan Microsoft Kinect akan dibandingkan dengan hasil pengukuran manual menggunakan goniometer pada 93 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Gambar 1 Delapan posisi pengukuran sendi bahu dalam bentuk skeleton menggunakan Microsoft Kinect pada posisi frontal dan sagittal plane dari beberapa gerakan sendi bahu seperti abduksi, rotasi eksternal, dan fleksi yang kemudian dihitung perbedaan mean rataratanya dari hasil percobaan yang telah dilakukan. kedalaman (depth image) dari suatu obyek menggunakan Microsoft Kinect, digunakan kombinasi antara IR projector sebagai transmitter sinar infrared dan IR depth sensor sebagai penangkap marker titik dari IR projector seperti ditunjukan Gambar 2. II. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini melibatkan sepuluh subyek penelitian yang terdiri dari empat pria dan enam wanita sehat tanpa kelainan frozen shoulder. Setiap subyek penelitian mengikuti delapan gerakan latihan dengan posisi diam berdiri yang diarahkan oleh fisioterapis RSD dr. Soebandi Jember seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Separuh subyek penelitian melakukan gerakan sendi bahu bagian kanan tangan dan sisanya melakukan gerakan sendi bahu untuk posisi bagian kiri tangan. Masing-masing gerakan diulang sebanyak dua kali sehingga didapatkan 16 pose sendi bahu. Data skeleton untuk setiap pose didapatkan bersama-sama melalui pengukuran joint menggunakan Microsoft Kinect dan secara manual menggunakan goniometer. Untuk mendapatkan data skeleton membutuhkan dua tahapan, yaitu pengambilan citra kedalaman dan skeleton tracking dari citra kedalaman. Untuk mendapatkan citra Gambar 2 Illustrasi perhitungan kedalaman citra menggunakan Microsoft Kinect 94 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pada umumnya citra kedalaman akan menghasilkan perubahan intensitas warna dimana perubahannya sesuai dengan jarak antara Microsoft Kinect dengan obyek. Semakin dekat obyek dengan Microsoft Kinect maka akan berwarna putih atau lebih terang, sedangkan semakin jauh akan semakin lebih gelap seperti ditunjukkan Gambar 3a. Untuk menghasilkan tingkat kedalaman citra yang lebih baik dari Gambar 3a sehingga nantinya akan mempermudah pengukuran obyek (lebar dan tinggi obyek) maka dilakukan manipulasi tingkat keabuan piksel yang merubah dari 16 bit level keabuan menjadi 32 bit level keabuan seperti ditunjukkan Gambar 3b. Tingkat kedalaman citra dapat juga ditunjukkan menggunakan color depth seperti ditunjukkan Gambar 3c. Gambar 3 Perbaikan tingkat kedalaman citra: (a) kedalaman citra asli, (b) perbaikan tingkat keabuan, (c) pemberian color depth pada aras keabuan diketahui dengan menggunakan hubungan interseksi antara joint pada bidang plane yang sama (X dan Y). Dari data skeleton tracking, kita dapat menggambar segitiga menggunakan dua koordinat joint, dimana dari hal ini bisa didapatkan panjang dari masing-masing sendi yang membentuk interseksi. Untuk mendapatkan sudut antar interseksi joint dapat diterapkan hukum cosinus yang menyatakan c2 = a2 + b2 – 2 a.b.cos C, dimana C merupakan sudut yang terletak pada interseksi antara a dan b. Sudut C dapat diperoleh dengan menggunakan rumus C = cos-1((a2 + b2 – c2) / 2a.b) seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5 Hukum cosinus untuk mendapatkan sudut antar sambungan dua sendi Pada Gambar 6 menunjukkan contoh perhitungan sudut dari skeleton data pada pose tangan bicep yang terbentuk dari tiga joint: pergelangan tangan (wrist), siku (elbow), dan bahu (shoulder). Terdapat dua cara untuk menghitung joint triangulation. Pertama, menggunakan tiga joint untuk menyusun tiga poin dari segitiga seperti ditunjukkan Gambar 6. Sedangkan cara yang kedua hanya menggunakan dua joint perhitungan untuk mendapatkan poin yang ketiga. Pemilihan kedua metode tersebut tergantung dari tingkat kompleksitas pose yang didapat. Hasil pengukuran Kinect menggunakan teknik interseksi antar joint ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar 4 Hasil skeleton tracking dari pengolahan data citra kedalaman Dari data citra kedalaman yang telah diperoleh kemudian dilakukan konversi menjadi data skeleton melalui proses skeleton tracking sepeti ditunjukkan Gambar 4. Tujuan dari tahap ini adalah mendapatkan dan menggambar skeleton obyek yang diperoleh dari citra kedalaman ke dalam bidang display Microsoft Kinect. Setiap obyek skeleton berisi informasi lokasi/posisi dan joint (sambungan antar sendi) sendi bahu dari skeleton. Microsoft Kinect dapat mendeteksi 20 joint dimana setiap joint memiliki koordinat (X, Y, Z). Sudut antar joint dapat Gambar 6 Perhitungan sudut antara dua joint 95 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 reliabilitas yang baik pada posisi frontal tetapi reliabilitasnya menurun jika digunakan pengukuran sudut joint sendi bahu pada posisi sagittal. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas pendanaan penelitian hibah bersaing dengan nomor kontrak 394/PL17.4/PL/2016 DAFTAR PUSTAKA [1] Gambar 7 Contoh perhitungan sudut pada pose gerakan fleksi III. HASIL PENELITIAN Hasil pengukuran sudut joint sendi bahu pada posisi frontal dan sagittal plane dengan menggunakan Microsoft Kinect ditunjukkan pada Tabel I dimana untuk mengukur reliabilitas pengukuran dari Microsoft Kinect dihitung intraclass correlation coefficient (ICC) pada setiap pose pada Gambar 1 dan hasilnya dibandingkan dengan hasil pengukuran dengan menggunakan goniometri. [2] [3] [4] TABEL XI RELIABILITAS MICROSOFT KINECT UNTUK PENGUKURAN SUDUT JOINT SENDI BAHU Pose Gerakan ICC Abduksi 90º (frontal) Rotasi eksternal 0º (frontal) Fleksi 90º (frontal) Fleksi maks (frontal) Rotasi eksternal 90º (sagittal) Rotasi internal 90º (sagittal) Fleksi 90º (sagittal) Fleksi maks (sagittal) 0.76 0.98 Perbedaan Mean dari Pengukuran Goniometer 1.4 -2.5 0.85 0.95 0.24 17.8 10.4 5.3 0.79 -2.1 0.84 0.37 6.7 16 Golomb, M. R., McDonald, B. C., Warden, S. J., Yonkman, J., Saykin, A. J., Shirley, B., Huber, M., Rabin, B., AbdelBaky, M., Nwosu, M. E., Barkat-Masih, M., & Burdea, G. C.(2010). Inhome virtual reality videogame telerehabilitation in adolescents with hemiplegic cerebral palsy. Archives of physical medicine and rehabilitation, 91(1), 1-8. Pompeu, J. E., Arduini, L. A., Botelho, A. R., Fonseca, M. B. F., Pompeu, S. A. A., Torriani-Pasin, C., & Deutsch, J. E. (2014). Feasibility, safety and outcomes of playing Kinect Adventures!™ for people with Parkinson's disease: a pilot study. Physiotherapy, 100(2), 162-168. Shotton, J., Sharp, T., Kipman, A., Fitzgibbon, A., Finocchio, M., Blake, A., & Moore, R. (2013). Real-time human pose recognition in parts from single depth images. Communications of the ACM, 56(1), 116-124. Mobini, A., Behzadipour, S., & Saadat Foumani, M. (2014). Accuracy of Kinect’s skeleton tracking for upper body rehabilitation applications. Disability and Rehabilitation: Assistive Technology, 9(4), 344-352. Dari Tabel I dapat diketahui bahwa reliabilitas pengukuran sudut bahu pada posisi frontal plane menggunakan Microsoft Kinect bernilai baik dimana hal ini ditunjukkan dari nilai ICC yang tinggi. Tetapi reliabilitas Microsoft Kinect menurun ketika dilakukan pengukuran fleksi 90º pada posisi frontal dimana perbedaan mean dengan goniometer begitu tinggi. Sedangkan pada pengukuran sudut sendi bahu dengan Micosoft Kinect pada posisi sagittal plane memberikan hasil yang kurang baik kecuali pada pengukuran fleksi 90º. IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan, pengukuran sudut joint sendi bahu menggunakan Microsoft Kinect memiliki 96 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan Penyakit Infeksi Virus Dengue (Studi Kasus Dinas Kesehatan Kabupaten Jember) I Putu Dody Lesmana1, Rinda Nurul Karimah2 1 Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember Jalan Mastrip 164 Jember 68101 dody_lesmana@polije.ac.id 2 Jurusan Kesehatan, Politeknik Negeri Jember Jalan Mastrip 164 Jember 68101 rindank6@gmail.com Abstract Penyakit Infeksi Virus Dengue (IVD) yang meliputi Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD) berkembang pesat dikabupaten jember.Laporan dari seksi P2 (Pemberantasan Penyakit) DKK Jember, kasus DBD cenderung berfluktuatif. Angka kesakitan DBD di 49 Puskesmas pada tahun 2015 mencapai36,89 per 100.000 penduduk, dengan jumlah kematian akibat DBD selama enam tahun terakhir tercatat sebanyak 52 kasus.Kegiatan surveilans IVD DKK Jember terdapat beberapa kendala, yaitu pelaporan tersangka penderita IVD oleh Masyarakat, FKTP dan FKTL tidak lengkap dan terlambatkarena kendala faktor aksesibilitas dan pencatatan data masih manual.Hal ini berdampak pada penyelidikan epidemiologi (PE) terlambat, sehingga penanggulangan terlambat dan memperbesar risiko meluasnya penyebaran IVD. Jenis penelitian ini adalah mix methoddengan metode perancangan menggunakan FAST (Framework for the Application of Systems Technique). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah suatu sistem informasi surveilans penanggulangan IVDDKK Jember yang lengkap, akuratdan realtime. Keywords— Penyakit Infeksi Virus Dengue (IVD), Demam Berdarah Dengue (DBD), sistem informasi surveilans IVD. I. PENDAHULUAN Penyakit Infeksi Virus Dengue (IVD) yang meliputi Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong ArthropodBorne Virus, genus Flavivirus, dan famili Flaviviridae. Virus Dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, terutama Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Penyakit dengue dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat. Salah satu jenis IVD yang berkembang pesat dikabupaten jember adalah DBD, dimana menurut laporan dari seksi P2 (Pemberantasan Penyakit) Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Jember, kasus DBD cenderung berfluktuatif dari tahun ke tahun yang dapat diamati pada Gambar 1. Selama enam tahun terakhir, kasus DBD cenderung fluktuatif dengan jumlah kasus tertinggi terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 1.494 kasus. Pada tahun 2011, jumlah kasus DBD mengalamai penurunan yang tajam hanya 77 kasus dan mengalamai naik turun yang sangat berfluktuatif pada tahun-tahun berikutnya. Wilayah dengan jumlah kasus tertinggi DBD di Kabupaten Jember adalah wilayah kerja Puskesmas Sumbersari, Patrang, dan Lojejer. Angka kesakitan/IR DBD di 49 Puskesmas pada tahun 2015 sebesar 36,89 per 100.000 penduduk, angka ini mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun sebelumnya, dengan jumlah kematian akibat DBD selama enam tahun tercatat sebanyak 52 kasus kematian. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di DKK Jember, kegiatan pelaporan, pengolahan dan penyajian data surveilans epidemologi IVD yang selama ini dilakukan masih terdapat kendala, yaitu:Format pelaporan tersangka IVD dari setiap puskesmas, pustu, polindes, rumah sakit atau klinik tidak seragam (belum memiliki format baku pelaporan tersangka IVD), dan data yang didapatkan 97 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 dalam formulir PE kurang lengkap karena hanya meliputi pemeriksaan jentik dan pencarian penderita baru yang terbatas hanya di sekitar kasus sehingga informasi yang dihasilkan tidak lengkap. Pelaporan ditemukannya tersangka Demam Berdarah oleh Masyarakat, FKTP (Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Polindes, dan klinik swasta) maupun FKTL (Rumah Sakit)sering terlambat. Laporan seharusnya dikirim maksimal dalam 1x24 jam dari ditemukannya penderita IVD. Hal tersebutdisebabkan faktor aksesibilitas dan sistempencatatan datamasih manual. Belum adanya pemisahan penyakit IVD berdasarkan kriteria klinis diagnosis IVD dimana semua tanda-tanda IVD yang seharusnya dibagi dalam 3 kategori yaitu DD, DBD, maupun SSD, sehingga hal ini menyebabkan data-data menjadi bias.Permasalahan diatas menyebabkan penyelidikan epidemiologi (PE) IVD mengalami keterlambatan sehingga penanggulangan IVD juga jadi terlambat dan hal tersebut memperbesar risiko meluasnya penyebaran IVD. menggunakan pendekatan FAST (Framework for the Application of Systems Technique). Metode kualitatif digunakan untuk membantu proses identifikasi tiap tahapan dalam FAST, sedangkan metodekuantitatif digunakan untuk mengukur kualitas sistem informasi yang dihasilkan. B. Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian di laksanakan di Dinas Kesehatan Kabupatan (DKK) Jember selama 8 bulan yaitu dari bulan Maret 2016 sampai dengan Bulan November 2016 di Politeknik Negeri Jember dan pelaksanaan survei di Dinas Kesehatan Kabupatan (DKK) Jember. C. Unit Analisis Unit analisis pada penelitian ini terdiri dari 4 orang responden, yang terdiri dari Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P2KL) Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, dan seksi P2(Pemberantasan Penyakit) Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, Pelaksana program P2 (Pemberantasan Penyakit) DBD Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, Kepala Seksi Infolitbangkes Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. D. Alat dan Bahan Gambar 1 Statistik perkembangan DBD di Kabupaten Jember Tahun 2010 s.d. 2015 yang meliputi (a) jumlah kasus DBD, (b) IR DBD, (c) CFR(%) DBD Berdasarkan permasalah yang ada, peneliti mengusulkan solusi permasalahan dengan membuat Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan Infeksi Virus Dengue di DKK Jember, denganjenis penelitian mix method (kuantitatif dan kualitatif). Adapun metode perancangan sistem yang digunakan adalah metode FAST (Framework for the Application of Systems Technique). Luaran (Output) pada penelitian ini adalah dihasilkan sebuat rancangan sistem informasiSurveilans Penanggulangan IVD online berbasis web yang lengkap, akurat dan realtimesesuai kebutuhan DKK Jember. II. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari lembar observasi, lembar pedoman wawancara, pedoman FGD dan alat perekam (recorder). Sedangkan bahan yang diperlukan ada ada dua jenis, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak. Adapun kedua perangkat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perangkat Keras Perangkat Keras yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir ini adalah sebagai berikut: a. Processor Intel Core i5 2.3GHz b. Memori (RAM) 4GB (2x2GB) c. SSD (Solid State Drive) 120GB 2. Perangkat Lunak Perangkat lunak yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir ini adalah sebagai berikut: a. Sistem Operasi OS X El Capitan 10.11.4 64 bit) b. Microsoft Office Word 2016 sebagai pengolah data c. Sybase Power Designer sebagai desain system d. Sublime Text sebagai tool pengembang aplikasi e. Xampp yang didalamnya terdapat MySQL, digunakan untuk membuat dan mengolah database beserta isinya E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi wawancara, checklist observasi, Focuss Group Discuss (FGD), dan dokumentasi. Jenis penelitian ini adalah mix method (kuantitatif dan kualitatif) dengan metode perancangan sistem 98 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Scope Definition (Definisi Ruang Lingkup) Scope definition atau definisi ruang lingkup merupakan tahap awal yang ada pada FAST. Tahap ini juga merupakan landasan untuk tahapan selanjutnya. Definisi ruang lingkup meliputi: ruang lingkup proyek, struktur organisasi, sumber daya yang terlibat, kerangka permasalahan dengan PIECES. Berikut ini merupakan hasil analisa permasalahan yang ada pada sistem yang lama dengan menggunakan kerangka PIECES. a. Performance (kinerja) Masalah kinerja pada sistem lama diukur dengan waktu pelaporan tentang adanya tersangka IVD masih terbilang cukup lama. Sebagai contoh, pada salah satu Rumah Sakit (RS) masih dilakukan pengumpulan data per-ruangan jika ada penderita yang dirawat pada RS tersebut, hal tersebut mengakibatkan waktu pelaporan yang seharusnya dilakukan 1x24 jam bisa melebihi batas idealnya. Bahkan pelaporan IVD ada yang memakan sampai waktu 7 hari lamanya. b. Information (informasi) Informasi yang diberikan oleh sistem yang telah berjalan saat ini masih kurang begitu relevan mengingat masalah waktu pelaporan yang terbilang cukup lama, proses pengolahan data menjadi informasi masih dilakukan manual dengan menggunakan sebuah aplikasi pengolah data (spreadsheet), hal tersebut riskan terjadi kesalahan dikarenakan human error. Sehingga data-data tersebut belum bisa terorganisir dengan baik. Selain itu ketidaklengkapan pelaporan yang diberikan oleh pihak fasilitas kesehatan dan redudansi data yang terjadi yang diakibatkan oleh laporan yang yang bersifat by name by address, data tersebut belum memiliki identitas unik yang menjadi acuan untuk membedakan data laporan antara satu dengan lainnya, serta belum adanya pengkategorian diagnosa terhadap penyakit virus dengue yang diderita oleh pasien, dimana semua gelaja saat ini masih dianggap sama, sedangkan virus dengue terbagi menjadi 3 kategori yang masing-masing memiliki ciriciri tersendiri, hal tersebut bisa membuat data menjadi bias. c. Economic (ekonomi) Dilihat dari sisi ekonomi, sistem yang lama masih memerlukan kertas untuk melakukan setiap laporan, belum lagi jika ada berkas yang terselip/hilang akibat kesalahan human error, hal tersebut tidak baik karena memiliki sifat pemborosan. d. Control (control) Sistem yang lama masih belum memiliki kontrol yang baik, mengingat adanya pelaporan yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan kepada pihak DKK Jember yang melibihi batas ideal pelaporan, hal tersebut terjadi karena sistem belum memiliki punishment yang harus diberikan kepada fasilitas kesehatan yang belum bisa mematuhi peraturan yang ada. e. Efficiency (efisiensi) Sistem yang berjalan saat ini masih belum bisa memberikan efisiensi yang efektif dikarenakan sistem yang berjalan masih bersifat manual maka akan makan waktu dan biaya yang lebih banyak. Belum lagi keterbatasan jarak yang harus ditempuh oleh fasilitas kesehatan untuk menyerahkan laporan kepada Dinas Kesehatan. Hal tersebut masih merepotkan dan tentunya waktu pelaporan yang akan menjadi lama. Pelaporan belum bisa dilakukan kapan saja mengingat hal tersebut belum bisa diaplikasikan kepada sistem yang masih bersifat manual. f. Service (layanan) Penanggulangan IVD saat ini masih terbilang cukup lambat dikarenakan sistem yang berjalan saat ini masih bersifat manual, mulai dari melakukan pelaporan oleh pihak praktisi dilapangan sampai proses pengolahan data di DKK Jember yang masih bersifat manual menggunakan pengolah kata (spreadsheet), sehingga sistem saat ini belum bisa memberikan layanan yang memuaskan. B. Problem Analysis (Analisa Permasalahan) Pada tahap ini dilakukan observasi dan wawancara untuk mengetahui masalah, peluang dan arahan luang lingkup serta kelayakan sistem/proyek.Yang dimaksud sistem/proyek dalam penelitian ini adalah Sistem Informasi Surveilans Epidemiologi Penanggulangan Penyakit Infeksi Virus Dengue studi kasus Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Untuk menggali masalah yang terjadi dilakukan wawancara kepada responden yang bersangkutan. Berikut pernyataannya: “Kami memang membutuhkan waktu lebih lama untuk membuat laporan karena beberapa pekerjaan kami lakukan secara manual, disamping data dari rujukan sering tidak lengkap“ ......................................................................... (R4) “Keterlambatan pelaporan itu yang masih, dikarenakan keterbatasan waktu dan informasi yang masih dilakukan secara manual” ................................................ (R1, R2, R4) “Data pelaporan yang belum realtime, seharusnya realtime karena terkait pelaporan secara harian” .......................................................................... (R3) Arahan dapat dilihat dari wawancara dengan dengan responden 1, responden 2, responden 3, dan responden 4 yang menyambut baik untuk mengembangkan sistem 99 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 informasi surveilans epidemiologi penanggulangan penyakit IVD. Adapun pernyataan bisa dilihat sebagai berikut: “Kami sangat mendukung sekali adanya program tersebut, harapan kami nantinya bisa membantu kerja kami, dan yang jelas program ini bisa lebih tajam dan efisien”……………………........................ (R1, R2, R3, R4) Adapun terkait permasalah lambatnya pelaporan diperoleh dari hasil wawancara berikut: “Masalah keakuratannya yakin, cuman masalahnya diketerlambatannya itu yang belum bisa, karena idealnya kan 1x24 jam, harapannya bisa kurang dari 1x24 jam laporan sudah ada”................................................................... (R1, R2, R4) Setelah penyebab masalah dapat diidentifikasi, selanjutnya harus diidentifikasi titik keputusan penyebab masalah yang ditunjukkan Tabel I. TABEL XII IDENTIFIKASI TITIK KEPUTUSAN PENYEBAB MASALAH No 1 Penyebab Masalah Keakuratan 2 Kecepatan 3 Kelengkapan 4 Aksesibilitas Titik Keputusan Penyebab Terjadinya Masalah Proses pengolahan data penyakit IVD Proses pengolahan data penyakit IVD Proses pengolahan data penyakit IVD, Proses pengolahan kelengkapan identitas pasien Proses penyimpanan data dan informasi Dari Tabel I dapat disimpulkan bahwa titik keputusan yang menjadi penyebab permasalahan adalah pada proses kelengkapan identitas pasien, proses pengolahan data penyakit serta proses penyimpanan data dan informasi. c. Sistem informasi yang dihasilkan harus dapat menghasilkan laporan: mingguan (W2), bulanan (KDBD), dan tahunan. d. Sistem informasi yang dihasilkan harus dapat membantu serta meringankan beban kerja pada pihakpihak terkait. e. Sistem informasi yang dihasilkan harus dapat memudahkan pengguna untuk mengakses kembali data dan informasi f. Sistem informasi yang dihasilkan harus mudah dioperasikan dan mudah digunakan D. Logical Design (Desain Logis) Pada tahapan ini akan dibahas tentang desain logis untuk sistem informasi yang baru. Desain logis yang dimaksud adalah Entity Relationship Diagram (ERD), dimana ERD dibagi menjadi dua macam, yaitu Conceptual Data Model (CDM) dan Physical Data Model (PDM). Namun karena PDM merupakah desain model secara fisik, maka PDM akan dibahas pada bagian desain fisik (Physical Design). Pada Gambar 2 terdapat 9 entitas yang saling berelasi, setiap detail dari petugas maupun pasien seperti nama, tanggal lahir, jenis kelamin dan sebagainya yang menyangkut attribut pribadi akan disimpan pada tabel user, sedangkan perbedaan antara tabel pasien dan tabel petugas adalah ID nya, dan petugas juga memiliki username dan password untuk dapat mengakses aplikasi Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan IVD. Untuk membatasi wilayah kerja untuk DKK Jember, sudah dipersiapkan tabel kecamatan, jadi kecamatan mana saja yang terkover wilayah kerja dari DKK Jember. Tabel UPK menyimpan setiap nama dari Unit Pelayanan Kesehatan baik dari Puskesmas sampai Rumah Sakit. Untuk detail perawatan si pasien akan disimpan ditabel rawat, mulai dari kapan dia sakit, tanggal pelaporan, nilai trombosit dan hematokritnya sampai bagaimana keadaan pulang dari si pasien. C. Requirement Analysis (Analisa Kebutuhan) Pada tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenisjenis informasi yang dibutuhkan oleh user dalam hal ini adalah Kabid.P2KL, seksi P2, seksi Infolitbangkes dan Pelaksana Program P2.Untuk dapat mengetahui dan menyediakan informasi yang benar-benar dibutuhkan dalam Sistem Informasi Surveilans IVD melalui observasi, wawancara dan diskusi dengan para responden yang terkait. Adapun kebutuhan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: a. Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan Penyakit IVD dapat memperbaiki manajemen data dalam hal data yang cepat dan akurat. b. Dapat memberikan aksesibilitas yang mudah dan terjangkau untuk mempermudah dalam hal pelaporan. Gambar 2 ERD sistem informasi surveilans IVD 100 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 E. Decision Analysis (Analisis Keputusan) Terdapat beberapa solusi alternatif yang akan dipilih untuk memenuhi kebutuhan sistem baru, dimana tujuan dari tahapan ini adalah mengidentifikasi kandidat solusi sesuai kelayakannya dari sisi teknis, operasional dan ekonomis unutk direkomendasikan sebagai kandidat sistem yang akan digunakan. Adapun alternatif pemilihan solusi yang ada pada sistem informasi Surveilans Penanggulangan IVD, yaitu dengan mengembangkan sendiri aplikasi program untuk sistem yang baru. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan peneliti bahwa aplikasi yang tersedia di pasaran belum tentu sesuai dan harus dievaluasi terlebih dahulu apakah aplikasi tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan pengguna (user) di DKK Jember. Sistem operasi yang dipilih pada penelitian ini adalah Windows dengan pertimbangan program aplikasi yang akan dibuat adalah lebih banyak ditampilkan secara grafis yang sangat sesuai dengan tampilan di Windows dengan dukungan database yang menggunakan MySql dengan bahasa pemrograman (script) menggunakan PHP karena berbasis website online sesuai dengan perminataan dari responden 3 dalam pernyataannya. Disamping itu pada saat penelitian dilakukan, DKK Jember sudah menggunakan sistem operasi Windows, sehingga SDM sudah terbiasa menggunakan sistem operasi tersebut. Sesuai dengan hasil wawancara sebagai berikut: “support kita di MySql lalu berbasis web pakai php” …………………………....................................... (R3) Pengembangan sistem informasi ini telah dirancang untuk multi user dengan menggunakan jaringan, disamping itu merupakan percontohan sehingga di DKK lain belum tentu terdapat sistem ini. Meskipun demikian dalam sistem ini sudah dipersiapkan fasilitas pengolahan data IVD yang bisa import data dari file excel dengan format yang telah disesuaikan dengan data base sehingga dapat digabungkan kedalam sistem yang baru. Untuk memudahkan pelaporan dan analisis, sistem juga akan dilengkapi dengan fasilitas kirim dan merger laporan dalam bentuk file berekstensi xls dan csv. Beberapa tools yang dapat digunakan untuk membangun Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan IVD, antara lain: Adobe Dreamweaver, Sublime Text, Atom dan EditPlus. Pada penelitian ini, tools yang digunakan adalah Sublime Text, dan tools untuk database terdapat beberapa alternatif, antara lain: MySql, PostgreSQL dan OpenOffice Base/LibreOffice Base. Pada penelitian ini dipilih tools MySql sesuai dari responden 3 dengan skrip PHP. F. Physical Design (Desain Fisik) Pada tahapan ini dilakukan perubahan dari proses logical desain yang merepresentasikan kebutuhan bisnis kedalam desain fisik yang dibutuhkan untuk membangun sistem. Data Flow Diagram (DFD) digunakan untuk mengetahui aliran data yang terjadi didalam sistem. Pada Gambar 3 menunjukkan DFD lv 0 dari sistem. Pada DFD tersebut terdapat 8 entity, yaitu DKK Jember, Dinkes Pemprov, Dinkes Pusat, Petugas PE, Puskesmas, RS Umum, RS Swasta, Masyarakat/Poli Pembantu. Tapi pada DFD lv 0 ini belum bisa menunjukkan aliran data sepenuhnya dari sistem, sehingga akan dijelaskan pada Gambar 4. DFD level 1 Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan Penyakit Infeksi Virus Dengue yang terbagi dalam beberapa bagian. Gambar 3 Context Diagram Gambar 4 DFD level 1 sistem informasi surveilans IVD 101 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Gambar 4 menunjukkan DFD level 1, dimana dalam DFD tersebut proses terbagi 3, yaitu Proses Pengolahan Data, Proses Pembuatan Laporan, dan Proses Pembuatan Tabel dan Grafik, serta sudah tercantum tabel-tabel yang akan digunakan dalam sistem informasi. Untuk aliran data inputan seperti pemasukan data pasien, data diagnosa, serta data pelaporan IVD yang dilakukan oleh masyarakat akan di proses pada proses pengolahan data, serta inputan data kecamatan, data petugas, data UPK, data penyakit, data detail penyakit, data jabatan dan data agama, serta umpan balik dari Dinkes Pemprov dan Dinkes Pusat akan masuk pada proses pengolahan data, sedangkan proses pembuatan laporan berfungsi untuk mengolah data inputan untuk dijadikan laporan yang nantinya akan disampaikan kepada DKK Jember, Dinkes Pemprov, dan Dinkes Pusat,sebelum data tersebut dijadikan sebuah laporan, data tersebut diolah menjadi tabel dan grafik oleh proses pembuatan tabel dan grafik. dan antarmuka akan mulai dibangun pada tahap ini. Setelah dilakukan uji coba terhadap keseluruhan sistem, maka sistem siap untuk diimplementasikan. Pada Gambar 6 menunjukkan tampilan antarmuka halaman depan dari aplikasi surveilance penanggulangan IVD DKK Jember dengan logo Pemerintah Kabupaten Jember. Tampilan selanjutnya adalah menu daftar petugas, yang terdiri dari inputan data admin. Nampak pada gambar 7. Tampilan antarmuka halaman user pada gambar 8 menunjukkan pengguna (user) dalam hal ini adalah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang terdiri dari petugas surveilance IVD di puskesmas dan klinik swasta di wilayah kerja DKK Jember. Sedangkan user di Fasilitas Pelayanan Tingkat Lanjut (FKTL) terdiri dari petugas surveilance IVD di rumah sakit baik negeri maupun swasta yang berada di wilayah kerja DKK Jember. Gambar 6 Tampilan antarmuka halaman depan (home) Gambar 5 DFD level 2 sistem informasi surveilans IVD Gambar 5 lebih memperjelas lagi aliran data yang terjadi pada proses pengolaha data, dimana aliran data tersebut lebih diperjelas akan masuk pada tabel mana saja, seperti data kecamatan akan masuk pada tabel kecamatan, dan data dari tabel kecamatan akan dipanggil untuk digunakan dalam penginputan data pasien yang termasuk dalam alamat pasien. Gambar 7 Tampilan antarmuka halaman admin G. Construction (Pembuatan Perangkat Lunak) Setelah membuat physical design, maka akan dimulai untuk mengkonstruksi dan melakukan tahap uji coba terhadap sistem yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan bisnis dan spesifikasi desain. Basis data, program aplikasi, 102 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 [5] [6] [7] [8] [9] Gambar 8 Tampilan antarmuka halaman pengguna (FKTP dan FKTL) H. Installation and Delivery (Pemasangan Perangkat [10] [11] Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. 2015.Profil Kesehatan Kabupaten Jember Tahun 2015. Jember, Indonesia: Dinas Kesehatan Kabupaten Jember Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Bardadi, A., dkk. (2010). Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Perkuliahan Pada Fakultas Ilmu Komputer Universitas Sriwijawa. Di akses dari http://ejournal.unsri.ac.id/ index.php/jsi/article/download/719/261 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2012. Jakarta Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung. Sutedjo, B. 2006. Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi. Yogyakarta. Lunak dan Proses Serah Terima) Pada tahap ini akan dioperasikan sistem yang telah dibangun. Tahapan ini akan dimulai dengan men-deploy perangkat lunak hingga memberikan pelatihan kepada user mengenai penggunaan sistem yang telah dibangun. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diperoleh kesimpulan yaitu hasil perancangan sistem informasi pelaporan surveillance penyakit IVD DKK Jember secara keseluruhan dapat dikatakan berhasil karena telah sesuai dengan kebutuhan sistem pelaporan yang dibutuhkan oleh P2M DKK Jember terkait permasalahan pada kegiatan pelaporan dan pengolahan informasi untuk pengendaliah DBD terutama dari segi kualitas sitem informasi meliputi kelengkapan, kecepatan, keakuratan dan aksesibilitas. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas pendanaan penelitian hibah bersaing dengan nomor kontrak 374/PL17.4/PL/2016. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] Sitepu, F. Y., dkk. 2012. Evaluasi Dan Implementasi Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Diakses dari http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/blb/article/view/32 59/3255. Andy, R. N., dkk. 2010. Perancangan Sistem Informasi Demam Berdarah Dengue di Dinas Kesehatan Kota Surakarta. Diakses dari https://core.ac.uk/download/pdf/12349082.pdf Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. 2013.Data Kasus Demam Berdarah Dengue Tahun 2009-2012. Jember, Indonesia: Dinas Kesehatan Jember Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. 2014.Profil Kesehatan Kabupaten Jember Tahun 2014. Jember, Indonesia: Dinas Kesehatan Kabupaten Jember 103 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF GULA TEBU BESUKI RAYA: SEBUAH PENGEMBANGAN ANALISIS KEBIJAKAN Dr. Ir. Bagus Putu Yudhia Kurniawan, MP Politeknik Negeri Jember Jurusan Manajemen Agribisnis Abstrak Gula merupakan salah satu komoditas pangan strategis dalam perekonomian Indonesia. Permintaan gula nasional dan masuknya gula impor yang semakin meningkat, hal ini menandakan terjadinya tingkat persaingan yang ketat dalam merebut pangsa pasar di dalam negeri. Untuk dapat berkembang dari tingkat persaingan di dalam industri ini, maka diperlukan sebuah penelitian empirik yang dapat memberikan gambaran tentang daya saing gula tebu. Penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi di seluruh pabrik gula di Besuki Raya. Teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui daya saing gula tebu Besuki Raya adalah Policy Analysis Matrix (PAM) dan ditentukan prioritas strateginya dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa gula tebu Besuki Raya memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Prioritas strategi pertama peningkatan daya saing gula tebu Besuki Raya adalah strategi SO, yaitu memanfaatkan gula tebu sebagai komoditas strategis, kesesuaian lahan, sumberdaya manusia dan pengalaman untuk memaksimalkan pasar domestik dengan dukungan pemerintah. Kata kunci : Keunggulan Komparatif, Keunggulan Kompetitif, Gula Tebu Besuki Raya BAB 1. PENDAHULUAN Industri gula nasional hingga saat ini masih menarik untuk dikaji, mengingat gula merupakan salah satu komoditas pangan strategis dalam perekonomian Indonesia (UU No. 7 Tahun 1996 dan Keputusan Presiden RI No. 57 Tahun 2004). Populasi penduduk yang mencapai 250 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,25% per tahun, menjadikan total konsumsi gula dalam negeri terus meningkat dari 5,35 juta ton pada tahun 2012 menjadi 6,00 juta ton pada triwulan kedua tahun 2014, dan terus meningkat mencapai hampir 7,00 juta ton pada awal tahun 2015. Sementara itu, produksi gula dalam negeri hingga pertengahan tahun 2014 hanya mampu memenuhi sekitar 2,9 juta ton atau 48,3%, sedangkan lebihnya (51,2%) dipenuhi dari gula impor. Impor gula tahun 2012 mencapai 2,53 juta ton, meningkat menjadi 2,7 juta ton pada tahun 2013, dan diperkirakan mencapai 3,7 juta ton pada tahun 2020. Pemerintah, dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap gula impor, mencanangkan program Swasembada Gula 2009-2014 dengan menetapkan target sebesar 5,7 juta ton pada tahun 2014 akan tetapi karena alasan teknis, pada September 2012 Kementerian Pertanian terpaksa merevisi target Swasembada Gula menjadi hanya 3,1 juta ton. Hal ini menunjukkan bahwa pabrik gula yang ada sekarang tidak mungkin lagi dapat memenuhi kebutuhan gula nasional yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Sujianto, R., 2012 dalam Nur, M., 2013, Pembangunan Gula Nasional Berbasis Pendekatan Local Culture di Indonesia, artikel dimuat dalam http://rakaraki.blogspot.com/2013/01/karya-tulis-gulanasional.html) Pemerintah melalui PMPSLP PPSUB juga menunjuk Jawa Timur untuk dapat menutup pasokan gula nasional serta diharapkan mampu mengurangi kesenjangan antara kebutuhan dan produksi gula domestik karena memiliki kontribusi terbesar (49,6%) dalam produksi gula nasional - di Jawa Timur berdiri 31 pabrik gula dengan total kapasitas 90.430 TCD dengan produksi 104 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 gula mencapai 1 juta ton per tahun atau masih surplus sekitar 550 ribu ton per tahun. Besuki Raya, yang mencakup Banyuwangi, Jember, Bondowoso, dan Situbondo mampu menyumbang sekitar 9,2% dari total produksi tebu Jawa Timur dengan luasan area 22,09 ribu hektar (Biro Pusat Statistik, 2015). Kesenjangan antara kemampuan produksi (produktivitas) yang rendah dan inefisiensi pabrik gula masih menjadi persoalan utama yang dihadapi industri gula nasional (Zaini, 2008:pp.1-9; Hakim, 2010:pp.5-12; Saptana et al., 2004; Asmarantaka, 2011; Marta, 2011: pp.71-88). Permintaan gula yang dipastikan terus meningkat dan masuknya gula impor yang juga semakin meningkat, hal ini menandakan terjadinya tingkat persaingan yang ketat dalam merebut pangsa pasar di dalam negeri. Untuk dapat berkembang dari tingkat persaingan di dalam industri ini, maka diperlukan sebuah penelitian empirik yang dapat memberikan gambaran tentang daya saing dan strategi peningkatan daya saing gula tebu yang dihasilkan pabrik gula di Besuki Raya (selanjutnya disebut gula tebu Besuki Raya). BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh David Ricardo sekitar abad ke-18 (tahun 1823), yang selanjutnya dikenal dengan model Ricardian Ricardo atau The Law of Comparative Advantages. Keunggulan komparatif yang dikembangkan oleh Ricardo menjelaskan efisiensi alokasi sumberdaya di suatu negara dalam sistem ekonomi yang terbuka (Warr dalam Saptana et al, 2006). Teori keunggulan komparatif Ricardo ini kemudian disempurnakan oleh Haberler (1936), yang mengemukakan konsep keunggulan komparatif yang berdasarkan pada opportunity cost theory. Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori Heckscher Ohlin tentang pola perdagangan, yang menekankan pada perbedaan bawaan faktor produksi antar negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting - secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor (Ohlin,1933: 92 dalam Lindert dan Kindleberger, 1993 dalam Saptana et al., 2006). Daya saing ditentukan oleh keunggulan bersaing suatu perusahaan (Simatupang, 1991; Sudaryanto dan Simatupang, 1993) dan sangat bergantung pada tingkat sumber daya relatif yang dimilikinya. Porter (2001:12-14), menjelaskan pentingnya daya saing, yaitu: (1) mendorong produktivitas dan meningkatkan kemampuan mandiri; (2) meningkatkan kapasitas ekonomi, baik dalam konteks regional ekonomi maupun kuantitas pelaku ekonomi; dan (3) kepercayaan bahwa mekanisme pasar lebih menciptakan efisiensi Daya saing menjadi penting untuk dikaji di berbagai tingkat dengan mengembangkan model yang komprehensif serta mampu mengukur daya saing tersebut (Ambastha and Momaya, 2004; Cetindamar and Kilitcioglu, 2013 ). Banyak penelitian dilakukan untuk menganalisis daya saing di tingkat negara, namun ada beberapa penelitian yang fokus di tingkat industri dan perusahaan dengan membangun strategi agar mampu berdaya saing secara global (Oral, 1993; Offstein et al., 2007). Salah satu model yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi analisis keuntungan (privat dan sosial), analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif), dan analisis dampak kebijakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) (Monke dan Pearson, 1989:1019), yang diperkenalkan pertama kali oleh Monke dan Pearson pada tahun 1989. Tujuan dari analisis PAM, yaitu menghitung tingkat keuntungan privat sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual, menghitung tingkat keuntungan sosial usahatani yang dihasilkan dengan menilai social opportunity cost, dan menghitung transfer effect, sebagai dampak dari sebuah kebijakan (Monke dan Pearson, 1989:10-19). Beberapa kajian analisis daya saing produk agribisnis/agroindustri dengan menggunakan PAM pernah dilakukan oleh Haryono et al., (2011), Neptune (2006), Gerungan et al., (2013), Ratna et al., (2013), Emelda dan Mappigau (2014). Prioritas strategi didasarkan pada hasil analisis Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan strategi terbaik dalam meningkatkan daya saing suatu produk. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang sistematis dan tertata dalam suatu hirarki. BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) dan strategi peningkatan daya saing gula tebu Besuki Raya. Manfaat Penelitian 1. Memberikan gambaran tentang daya saing dan strategi peningkatan daya saing gula tebu Besuki Raya yang dapat digunakan untuk menghasilkan program prioritas dan rencana aksi untuk pengembangan industrinya. 2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi manajemen agroindustri gula tebu dalam upaya meningkatkan produktivitas dan daya saingnya. 3. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pengembangan agroindustri gula tebu. 4. Menyediakan tambahan informasi yang bermanfaat, khususnya bagi yang berminat untuk melakukan riset lebih lanjut berkenaan dengan industri pergulaan nasional. 105 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 BAB 4. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian survei dan merupakan gabungan antara penelitian eksploratif, eksplanatori, dan deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi di seluruh pabrik gula (PG) di Besuki Raya yang berjumlah 11 perusahaan. Penelitian dilakukan selama 2 (dua) tahun. Penelitian tahun ke-1 dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan Desember 2016. Penelitian tahun ke-2 dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan Desember 2017. Penelitian ini menggunakan metode sensus atau complete enumeration, yaitu dilakukan terhadap seluruh anggota atau elemen populasi pabrik gula di Besuki Raya yang berjumlah 11 perusahaan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan manajemen pabrik gula di Besuki Raya dengan menggunakan kuesioner yang telah valid dan reliabel. Data sekunder bersumber dari data dan/atau informasi yang dimiliki instansi terkait serta buku literatur, jurnal atau berbagai macam bentuk terbitan sebagaimana tertera dalam Daftar Pustaka. Teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui daya saing gula tebu Besuki Raya adalah Policy Analysis Matrix (PAM) (Monke dan Pearson, 1989:10-19) dan ditentukan prioritas strateginya dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Analisis Daya Saing Gula Tebu Besuki Raya Daya saing gula tebu Besuki Raya dapat dilihat dari dua indikator, yaitu keunggulan komparatif dan kompetitif produk tersebut. Hasil analisis PAM gula tebu Besuki Raya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Policy Analysis Matrix (PAM) Gula Tebu Besuki Raya (Rp/Ha) Costs Revenue Domesti Profits Tradabl s c e Inputs Factors Private 57.190.5 6.581.3 44.600.4 6.008.7 Prices 23 54 51 18 Social 49.635.4 6.650.3 38.100.7 4.884.2 Prices 30 81 56 93 Divergenc 7.555.09 6.499.69 1.124.4 -69.027 es 3 5 25 DRC 0,886 PCR 0,881 Tabel 1 menunjukkan bahwa tradable inputs gula tebu Besuki Raya adalah sebesar Rp. 6.581.354,- per hektar. Besarnya tradable inputs ini tertutupi dengan tingginya profits yang mencapai Rp. 6.008.718,- per hektar, sementara revenues mencapai Rp. 57.190.523,- per hektar. Divergences positif sebesar Rp.7.555.093,- per hektar terjadi karena social prices gula tebu lebih rendah dari private prices - harga yang diterima petani. Hal ini terjadi karena social prices gula tebu dihitung berdasarkan harga gula impor yang lebih rendah dibandingkan harga gula lokal. Divergences negatif sebesar Rp.-69.027,- per hektar terjadi karena social prices gula tebu, seperti pupuk lebih tinggi dibandingkan private prices - harga yang diterima petani. Meskipun tradable inputs berupa pestisida memiliki social prices lebih rendah dari private prices-nya, namun secara keseluruhan social prices tradable inputs lebih besar dari private prices-nya. Hal ini mengindikasikan adanya kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang mengakibatkan social prices - tradable inputs lebih tinggi dibandingkan private price-nya, seperti adanya subsidi pupuk, tarif impor, dan pajak pertambahan nilai. Divergences positif sebesar Rp. 6.499.695,- per hektar terjadi karena social prices - domestic factors lebih rendah dibandingkan private prices-nya. Hal ini menandakan, bahwa petani tebu harus mengeluarkan biaya lebih atas domestic factors dibandingkan dengan biaya sosial domestic factors yang bersangkutan. Hal tersebut diduga terjadi karena adanya kebijakan pemerintah atau kegagalan pasar pada penggunaan domestic factors untuk pupuk yang digunakan petani tebu. Selain itu penyebab divergences positif pada costs domestic factors juga diakibatkan oleh pembayaran upah yang lebih tinggi dari social prices-nya. Hal ini karena tenaga kerja, baik tenaga kerja penanaman, pemeliharaan, dan panen yang digunakan dalam usahatani tebu merupakan tenaga kerja tidak tetap dan berpendidikan formal rendah sehingga private prices-nya lebih tinggi dibandingkan social prices. Divergences positif sebesar Rp.1.124.425,- per hektar terjadi karena profits - private prices (keuntungan finansial yang diterima petani) lebih besar dibandingkan sosial prices - keuntungan sosialnya. Hal ini merupakan akumulasi dari divergences effect harga outputs dan biaya inputs, baik tradable inputs maupun non-tradable inputs (domestic factors). Gula tebu Besuki Raya memiliki keunggulan komparatif. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien Domestic Resource Cost (DRC) sebesar 0,886 (lebih kecil dari 1,00). Berdasarkan hasil analisis ini diketahui faktor pendukung lokal berupa sumberdaya seperti tenaga kerja, lahan, dan sarana produksi mampu memberi penghematan biaya sebesar 11,4% dibandingkan jika diusahakan di luar negeri. Koefisien DRC sebesar 0,886 atau 88,6% akan memberikan keuntungan ekonomi sebesar 11,4% dari total biaya. Gula tebu Besuki Raya juga memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien Private Cost Ratio (PCR) sebesar 0,881 (lebih kecil dari 1,00). 106 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Koefisien PCR sebesar 0.881 atau 88,1%, menunjukkan bahwa gula tebu Besuki Raya memiliki kemampuan bersaing sebesar 11,9%, atau dengan kata lain biaya produksi gula tebu dalam negeri per kilogram lebih murah 11,9% dibanding jika di produksi di luar negeri. Prioritas Strategi Peningkatan Daya Saing Gula Tebu Besuki Raya Prioritas strategi didasarkan pada hasil analisis dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan strategi terbaik dalam meningkatkan daya saing suatu produk. Berdasarkan analisis matrik TOWS, diperoleh lima alternatif strategi, yaitu: (1) strategi SO: memanfaatkan gula tebu sebagai komoditas strategis, kesesuaian lahan, sumberdaya manusia dan pengalaman untuk memaksimalkan pasar domestik dengan dukungan pemerintah; (2) strategi WO1: memanfaatkan pasar untuk menghasilkan produk sampingan dengan memaksimalkan sarana dan keberadaan pabrik gula; (3) strategi WO2: meningkatkan harga jual dengan memperbaiki kualitas lahan, kualitas produk (SNI), biaya produksi dan produk sampingan; (4) strategi ST: melakukan pengembangan riset dan teknologi dan memanfaatkan pengalaman untuk memproduksi jenis gula alternatif; dan (5) strategi WT: melakukan kerjasama antar pabrik gula untuk memproduksi jenis gula alternatif sehingga bisa menghambat laju gula rafinasi impor. Hasil analisis AHP menghasilkan prioritas strategi seperti ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini. Gambar 1. Prioritas Strategi Peningkatan Daya Saing Gula Tebu Besuki Raya Gambar 1 menunjukkan prioritas strategi peningkatan daya saing gula tebu Besuki Raya. Prioritas strategi pertama dengan bobot 0,326 adalah strategi SO, prioritas strategi kedua dengan bobot 0,320 adalah strategi WT, prioritas strategi ketiga dengan bobot 0,166 adalah strategi ST, prioritas strategi keempat dengan bobot 0,100 adalah strategi WO1, dan prioritas strategi kelima dengan bobot 0.089 adalah WO2 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Gula tebu Besuki Raya memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien DRC (0,886) dan PCR (0,881 ) lebih kecil dari 1,00. Prioritas strategi pertama peningkatan daya saing gula tebu Besuki Raya adalah strategi SO, dilanjutkan dengan strategi WT sebagai prioritas strategi kedua, strategi ST sebagai prioritas strategi ketiga, strategi WO1 sebagai prioritas strategi keempat, dan strategi WO2 sebagai prioritas strategi kelima. Saran 1. Perlu dilakukan kajian dengan ruang lingkup penelitian yang lebih luas sehingga hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar generalisasi. 2. Perlu penelitian lebih lanjut pada setiap alternatif strategi yang ditemukan untuk memberikan strategi terbaik dalam peningkatan daya saing gula tebu Besuki Raya. DAFTAR PUSTAKA [BPS Jatim] Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2015. Luas Area Perkebunan Tebu berdasarkan Kabupaten di Jawa Timut. Surabaya: BPS. Afuah, Allan. 2009. Strategic Innovation: New game strategies for competitiveadvantage. New York (NY): Routledge. Ambastha, Ajitabh and Momaya. 2004. Competitiveness of Firms: Review of Theory, Frameworks, and Models. Singapore Management Review, Vol. 26 No. 1. pp: 45-61 Anggrianto, Indri Parwati, dan Sidharta. 2013. Penerapan Metode SWOT dan BCG Guna Menentukan Strategi Penjualan. Jurnal REKAVASI. Vol.1 No.1. pp: 52-61 ISSN: 2338-7750. Asmarantaka, Ratna Winandi. 2011. Usahatani Tebu dan Daya Saing Industri Gula Indonesia. Prosiding Seminar Penelitian Unggulan. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. pp: 159-178 Cetindamar, Dilek and Hakan Kilitcioglu. 2013. Measuring the Competitiveness of a Firm for an Award System. Competitiveness Review: An International Business Journal. Vol. 23 No. 1., 2013. pp. 7-22 © Emerald Group Publishing Limited. Dewan Gula Indonesia. 2011. Konsumsi Produksi, dan Pemenuhan Gula Dalam Negeri Indonesia Tahun1990-2009. Jakarta: DGI Emelda, Andi, Laode Asrul and Palmarudi Mappigau. 2014. An Analysis of Competitiveness and Government Policies Impact on Development of Cocoa Farming in Indonesia. Asian Journal of Agriculture and Rural Development, 4(1). pp: 30-35. Gerungan, Caroline B.D Pakasi, Joachim N.K Dumais, Lorraine W.Th. Sondak. 2013. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Biji Pala di Minahasa Utara. ejournal.unsrat.ac.id. pp: 1-15. Hakim, Memet. 2010. Potensi Sumber Daya Lahan Untuk Tanaman Tebu di Indonesia. Jurnal Agrikultura 2010. pp: 5-12. Haryono, Dede., Soetriono, Rudi Hartadi, dan Joni Murti Mulyo Aji. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak 107 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Kebijakan Pemerintah terhadap Produksi Kakao di Jawa Timur. J-SEP Vol. 5. No.2 Juli 2011. pp: 7282. Hill, Charles W. L. and Gareth R. Jones. 2009. Essentials of Strategic Management. Second Edition. Canada: South-Western, Cengage Learning. Lukito, Rieke Kurniasari dan Ronny H.Mustamu. 2013. Analisis Strategi Bersaing pada Distributor Gula di Indonesia. AGORA. Vol. 1. No. 1. Marta, Silvi. 2011. Analisis Efisiensi Industri Gula di Indonesia dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA) Tahun 2001-2010. Media Ekonomi. Vol. 19 No. 1. pp: 71-88. Monke, Eric A dan Scott R Pearson. 1989. The Policy Analisys Matrix for Agricultural Development. Cornel University Press. Nayantakaningtyas, Jauhar Samudera dan Heny K. Daryanto. 2012. Daya Saing dan Strategi Pengembangan Minyak Sawit di Indonesia. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 9 No. 3. pp: 194-201. Neptune, Lueandra and Jacque, Andrew. 2006. Competitiveness of Cocoa Production Systems in Trinidad and Tobago. CAES 26th West Indies Agricultural Economic Conference, Puerto Rico. July 2006. pp. 50-58. Nur, M., 2013, Pembangunan Gula Nasional Berbasis Pendekatan Local Culture di Indonesia, artikel dimuat dalam http://rakaraki.blogspot.com/2013/01/karya-tulisgula-nasional.html Offstein, E., Harrell-Cook, G. and Tootoonchi, A. 2007. Executive Discretion as a Driver of Firm Competitiveness. Advances in Competitiveness Research. Vol. 15 No.1/2. pp. 1-14. Oral, M. 1993. A Methodology for Competitiveness Analysis and Sstrategy Formulation in Glass Industry. European Journal of Operational Research, Vol. 66 No. 14. pp. 9-22. Porter, ME. 2001. Competitive Advantage. Edisi Bahasa Indonesia. (Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia, 2001), Edisi 4. pp: 12-14 Santosa, Agus. 2011. Membangun Daya Saing Gula di Jawa Timur Memasuki Perdagangan Bebas Melalui Peningkatan Rendemen (Analisis Daya Saing dengan Pendekatan Policy Analysis Matrix). Prosiding Seminar Nasional dan Call of Paper Fakultas Ekonomi UPN Yogyakarta, 16-18 November 2011. pp: 18-39. Saptana, Supena, dan Tri Bastuti Purwantini. 2004. Efisiensi dan Daya Saing Usahatani Tebu dan Tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. pp: 83-119. Saptana, Henny Mayrowani, Adang Agustian, dan Sunarsih. 2006. Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura. Makalah Seminar Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. pp: 1-40 Simatupang, P. 1991. The Conception of Domestic Resource Cost and Net Economic Benefit for Comparative Advantage Analysis, Agribusiness Division. Working Paper No. 2/91, Centre for AgroSocioeconomic Research. Bogor: IPB. Sudana, W., 2002. Efektivitas Kebijakan Perlindungan terhadap Produsen melalui Provenue Gula. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor: IPB. Sudaryanto, T dan P. Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis: Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor: IPB. Sudiyarto. 2006. Daya Saing Produk Agribisnis Berprespektif Pasar Global dengan Orientasi Perilaku Konsumen. Makalah Seminar Nasional “Agribisnis Dalam Perspektif Ketahanan Nasional Guna Memenangkan Persaingan Global “ 5 Juli 2006. Pascasarjana UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya. pp: 1-10. Sujianto, R.. 2012. Swasembada Gula 2014 Terancam Gagal. Artikel Dimuat dalam http://www.bisnisjateng.com/index.php/2013/01/swasembada-gulaterancam-gagal/html. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Komoditas Pangan Strategis. Jakarta Zaini, Achmad. 2008. Pengaruh Harga Gula Impor, Harga Gula Domestik dan Produksi Gula Domestik terhadap Permintaan Gula Impor di Indonesia. EPP.Vol. 5 No. 2. 2008. pp: 1-9. 108 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Implementasi Memperpanjang Masa Produk Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) Segar Menjadi Produk Bahan Kering. Kasutjianingati1), Edi Siswadi2), Tririni Kusparwanti3), Niniek Wihartiningseh4), Agung Wahyono5) 1 Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Mastrip PoBox 164. Jember email: kasutjianingati@yahoo.com 2 Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Mastrip PoBox 164. Jember email: edi_sis_83@yahoo.co.id Mastrip PoBox 164. Jember 3 Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Mastrip PoBox 164. Jember email: tririni.polije@yahoo.com 4 Jurusan Produksi Pertanian. Politeknik Negeri Jember. Mastrip PoBox 164. Jember 5Departemen email: niniekwihartiningseh@gmail.com Teknologi Pertanian. Politeknik Negeri Jember. Mastrip PoBox 164. Jember email: wahyono_agung@yahoo.com Abtraks Penelitian merupakan sebagian penelitian lanjutan dari MP3EI tahun ke 3. Topic penelitian kali ini adalah pengeringan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) pada perlakuan berbagai suhu dan lama waktu pengeringan menggunakan dehydrator. Tujuan penelitian untuk mendapatkan teknik pengeringan jamur tiram yang lebih efektif menggunakan mesin pengering, mendapatkan waktu pengeringan dan suhu pengeringan yang tepat, sehingga diperoleh jamur tiram kering dengan kualitas dan heiginitas terjamin. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap factorial, terdiri dari 3 macam suhu pengeringan (T= 60 0C, 650C dan 700C) dan 3 macam lama waktu pengeringan (W=4 jam, 5 jam, 6 jam dan 7 jam). Jumlah ulangan 3 kali. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis ragam. Luaran yang dihasilkan dari penelitian Mp3EI sampai tahun ke 3 (2016) bahwa limbah-limbah pertanian sesuai yang ada dilokasi mampu dimanfaatkan sebagai bahan substitusi media jamur tiram. Teknik yang dihasilkan adalah teknik penanganan lepas panen dengan pengeringan. Pengaturan suhu dan lama waktu pengeringan mampu dihasilkan produk jamur tiram kering yang berkualitas sebagai bahan olahan makanan siap saji. Teknologi pengeringan yang dihasilkan mampu memberikan kualitas jamur kerbing terbaik yaitu perlakuan pengeringan pada suhu rendah 600C dengan lama waktu tercepat 4 jam menurunkan kadar air menjadi 9,24; Rendemen 11,84 dan Protein 9,03. Key words: jamur tiram, pengeringan, dehydrator, suhu, waktu. I. PENDAHULUAN Indonesia sudah saatnya beralih dari budidaya kimiawi menuju budidaya organik mendukung suksesnya program pemerintah menuju pertanian bioindustri dengan ketahanan pangan yang mantab, menjamin keberlanjutan fungsi sumber daya tanah, aman bagi lingkungan, memberi peluang peningkatan kedudukan social ekonomi petani. Langkah yang perlu ditempuh adalah (1) menghidupkan teknis bertani turun temurun yang merupakan komponen organik, (2) penyediaan pangan yang cukup aman, (3) penganekaragaman bahan pangan, (4) limbah pusat agroindustri dimanfaatkan sebagai sumber organik, (5) dukungan kebijakan untuk pembaharuan pandangan dan sikap dari budidaya kimiawi menuju organik. Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan makin tinggi, terutama dalam memilih jenis bahan konsumsi yang harus disediakan setiap harinya. Sayuran sebagai bahan pangan merupakan salah satu komoditi hortikultura yang paling banyak digemari untuk bahan pendamping konsumsi pangan pokok dalam kondisi segar sebagai lalapan mentah maupun dalam bentuk berbagai menu masakan. Salah satu sayuran yang berpotensi untuk dikembangkan adalah jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Berdasarkan data Direktorat Jendral Hortikultura (2012) menunjukkan bahwa tingkat konsumsi jamur pada tahun 2008 sebesar 45.151 ton mengalami peningkatan hingga tahun 2010 sebesar 62.281 ton dengan laju pertumbuhan pertahunnya sebesar 10%. Produksi jamur pada tahun 2008 sebesar 61.349 ton mengalami peningkatan menjadi 61.370 pada tahun 2010. Produksi jamur tiram tersebut, hanya bisa memenuhi 50% dari permintaan pasar dalam negeri dan belum bisa memenuhi permintaan pasar diluar negeri seperti Singapura, Jepang, China dan lainnya (Chazali dan Putri, 2012). Hal tersebut yang membuat 109 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 jamur tiram menjadi komoditas yang cukup potensial untuk dikembangkan. Permasalahan yang timbul dengan meningkatnya produksi jamur segar berkendala pada sifat produk jamur tiram yang mudah rusak, ketahanan masa simpan tanpa perlakuan hanya berkisar 2 – 3 hari. Kerusakan produk jamur segar dapat disebabkan kontaminasi mikroba, pengaruh suhu dan udara, serta tingginya kadar air. Menurut Koswara (2009), jamur tiram mudah rusak jika terlalu lama disimpan di udara terbuka, walaupun di lemari pendingin. Jamur akan lebih tahan lama apabila disimpan dalam keadaan kerbing, bisa tahan sampai 1 tahun. Menurut Muchtadi dan Fitriyono (2010), hal ini disebabkan jamur tiram memiliki kandungan kadar air yang cukup tinggi yaitu 86,6%. Kadar air yang tinggi dapat mempengaruhi daya tahan pangan terhadap serangan mikroorganisme. Dimana semakin tinggi kadar air bebas yang terkandung dalam bahan pangan, maka semakin cepat rusak bahan pangan tersebut karena aktivitas mikroorganisme. Saat produk jamur tiram berlimpah sangat perlu tindakan pengawetan atau pengolahan untuk menghindarkan kerugian. Pengembangan teknologi memperpanjang masa jamur tiram sangat perlu untuk menunjang diversifikasi produk olahan jamur tiram, meningkatkan nilai tambah produk, memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Teknologi penanganan lepas panen dengan pengeringan berarti menghilangkan kandungan air dari bagian jamur lewat permukaan menggunakan energi panas. Turunnya kadar air bahan akibat pengeringan akan menurunkan aw (aktivitas air), menekan pertumbuhan mikroba, sehingga jamur dapat disimpan lama. Permasalahannya belum diketahui suhu dan waktu pengeringan untuk mencapai kadar air tertentu yang dapat menghasilkan jamur kering dengan kualitas yang baik. Teknik pengeringan yang umum digunakan masyarakat dengan cara konvensional yaitu penjemuran di bawah terik sinar matahari. Keuntunganya, selain tidak membutuhkan biaya yang mahal dan keahlian khusus, juga kapasitas pengeringanya tidak terbatas. Namun, cara tersebut kurang efektif karena sangat bergantung pada kondisi cuaca yang memerlukan waktu yang cukup lama yakni 2 hari (Husain 2006) dan menghasilkan produk yang kurang higienis (Muchtadi dan Fitriyono 2010). II. TINJAUAN PUSTAKA Jamur merupakan tumbuhan yang tidak berklorofil yang banyak dijumpai di alam. Jamur dapat hidup di tanah maupun di kayu yang telah lapuk dan biasanya banyak ditemukan pada musim penghujan. Ciri khusus dari jamur tiram adalah warnanya putih bersih, bentuk daun buahnya bulat pada media antara 3 cm-10 cm dan bertangkai. Jamur tiram putih tidak beracun, selain mengandung nilai giziyang tinggi, pembudidayaannya relatif mudah dan bernilai ekonomi tinggi (Arif dkk., 2014). Jamur tiram memiliki nilai gizi yang tinggi untuk tubuh manusia, dapat digunakan sebagai obat anti tumor, meningkatkan sistem kekebalan, juga dapat menurunkan kolesterol dan efek antioksidan. Selain itu jamur tiram berguna mencegah dan mengobati anemia karena mengandung asam folat serta kandungan asam glutamat dapat meningkatkan aroma dan cita rasa masakan menjadi gurih. Mengkonsumsi jamur tiram sangat bermanfaat karena berserat tinggi, sehingga jamur tiram sangat baik dalam membantu proses pencernaan di dalam usus, antiviral dan antikanker sehingga banyak dijadikan sebagai ramuan obat, menurunkan kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes, membantu, menurunkan berat badan, dan mengontrol kolesterol dalam darah (Hendritomo. 2010). Banyak jenis buah – buahan dan sayuran untuk tetap dapat dipertahankan gizinya, dapat di proses dengan pengeringan menggunakan oven seperti lobak, wortel, bawang merah, bawang putih, dkk. Keuntungan pengeringan menggunakan oven dapat memperpanjang daya simpan jamur tiram setelah di panen. Menurut Winarno (1993) pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang dikandung melalui penggunaaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi didalamnya. Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang diambil berasal dari semua permukaaan bahan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap diudara, dan waktu pengeringan. Menurut Puspitasari dkk (2015) melalui penelitianya, jamur tiram dapat diolah menjadi bahan kering yang bertujuan agar dapat memperpanjang daya simpan jamur tiram. Berkurangnya kadar air menjaga agar mikroba pembusuk tidak dapat hidup di dalamnya dan usia jamur bisa lebih lama. Pengeringan menggunakan dehidrator adalah salah satu teknologi pengeringan yang dapat diterapkan pada sayurmayur dan buah buahan. Dehidrator termasuk kedalam system pengering konveksi menggunakan aliran udara panas untuk mengeringkan produk. Proses pengeringan terjadi saat aliran udara panas ini bersinggungan langsung dengan permukaan produk yang akan dikeringkan. Produk ditempatkan pada setiap rak yang tersusun sedemikan rupa agar dapat dikeringkan degan sempurna. Udara panas sebagai fluida kerja bagi model ini diperoleh dari pembakaran bahan bakar, panas matahari atau listrik. 110 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Kelembaban relative udara yang mana sebagi faktor pembatas kemampuan udara menguapkan air dari produk sangat diperhatikan dengan mengatur pemasukan dan pengeluaran udara ked an dari alat pengering ini melalui sebuah alat pengalir. Penggunaan dehidrator cocok untuk bahan yang berbentuk padat dan butiran, dan sering digunakan untuk produk yang jumlahnya tidak terlalu besar. Waktu pengeringan yang dibutuhkan (1-6 jam) tergantung dari dimensi alat yang digunakan dan banyaknya bahan yang dikeringkan, sumber panas dapat berasal dari steam boiler. pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan melalui penerapan energi panas. Pengeringan dapat dilakukan dengan memanfaatkan energi surya (pengeringan alami) dan dapat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan khusus yang digerakkan dengan tenaga listrik. Proses pengeringan bahan pangan dipengaruhi oleh luas permukaan bahan pangan, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap air dan sumber energi yang digunakan serta jenis bahan yang akan dikeringkan (Dicki, 2012). III. TUJUAN DAN MANFAAT Penelitian ini bertujuan mendapatkan teknik pengeringan jamur tiram yang lebih efektif menggunakan mesin pengering, mendapatkan waktu pengeringan yang tepat dan suhu pengeringan yang tepat, sehingga diperoleh jamur tiram kering dengan kualitas dan heiginitas terjamin. Manfaat sebagai bahan informasi penelitian selanjutnya, sebagai informasi aplikatif yang mudah diterapkan petani jamur dalam memperpanjang umur produk jamur sehingga berdampak positif terhadap kesehatan masyarakat dan terhadap lingkungan. Termasuk harapan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani sesuai rencana MP3EI 2011-2025 dan mendukung kemandirian pertanian bioindustri 2045 1). Kadar Air Berdasar hasil analisa ragam kombinasi perlakuan suhu (T) dan dan Waktu (W) pengeringan menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air (KA). Hasil rata-rata kadar air jamur tiram kering berdasar uji BNJ dapat dilihat pada Table 5.1. IV. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan sebagian dari capaian penelitian multy years Mp3EI, dilaksanakan dilingkungan Politeknik Negeri Jember (Kumbung jamur dan Lab. Pengolahan dan Lab. Analisis) dengan melibatkan mitra tani dan mahasiswa. Sebagai sumber bahan pada penelitian ini jamur tiram segar yang baru dipanen dari kumbung. Alat yang digunakan oven/dehydrator serta peralatan uji laboratorium sesuai dengan variabel pengamatan. Sebelum percobaan dilakukan sudah dilakukan pra penelitian kombinasi suhu dan lama pengeringan sehingga diperoleh metode percobaan. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah: pengukuran kadar air, rendemen, kadar protein,. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktorial. Percobaan terdiri dari 3 macam suhu pengeringan (T= 60 0C, 650C dan 700C) dan 3 macam waktu pengeringan (W=4 jam, 5 jam, 6 jam dan 7 jam). Jumlah ulangan 3 kali. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis ragam. V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI A. Hasil Penanganan pasca panen perlu dilakukan untuk mengurangi kerusakan pada bahan pangan segar seperti produk jamur tiram (Pleurotus Ostreatus) Denman pengeringan. Menurut Juliana dan Somnaikubun (2008), Tabel 5.1. Rata-rata Nilai Kadar Air Jamur Tiram Kering Pengaruh Kombinasi Suhu (T) dan Waktu (W) Pengeringan. Perlakuan KA jamur kering T1W1= 600C+4 jam 9.24 a T1W2= 600C+5 jam 8.52 b T1W3= 600C+6 jam 6.51 d T1W4= 600C+7 jam 5.98 d T2W1= 650C+4 jam 8.29 b T2W2= 650C+5 jam 7.59 c T2W3= 650C+6 jam 7.52 c T2W4= 650C+7 jam 7.44 c T3W1= 700C+4 jam 7.23 c T3W2= 700C+5 jam 6.54 d T3W3= 700C+6 jam 6.07 d T3W4= 700C+7 jam 5.31 e Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan berbeda sangat nyata pada taraf BNJ1% Hasil jamur tiram kering yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi suhu dan lama waktu yang diberikan maka kadar airnya semakin rendah. Berarti perbedaan keterikatan air pada jamur tiram yang dikeringkan sesuai dengan yang diungkapkan oleh Taib. (1988), bahwa kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaannya akan semakin besar dengan meningkatnya suhu udara pengering yang digunakan dan makin lamanya proses pengeringan sehingga KA yang dihasilkan akan semakin rendah 2). Rendemen Berdasar hasil analisa ragam kombinasi perlakuan suhu (T) dan dan waktu (W) pengeringan menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen jamur tiram kering. Hasil rata-rata rendemen jamur tiram kering berdasar uji BNJ dapat dilihat pada Table 5.2. Secara umum bisa dijelaskan bahwa pengeringan dengan suhu rendah dan waktu yang lebih cepat memiliki rerata rendemen yang lebih tinggi. Ternyata dengan 111 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 pengeringan suhu lebih tinggi dan waktu yang lebih lama memiliki kandungan rendemen yang semakin rendah. Jadi jelas terbukti bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan dan lama waktu yang diberikan akan menghasilkan kadar air lebih rendah karena proses penguapan yang terjadi dari permukaan irisan jamur tiram. Menurut Winarno (1993), bahwa proses pengeringan akan menyebabkan kandungan air dalam bahan pangan selama proses pengolahan akan berkurang. Tabel 5.2. Rata-rata Nilai Rendemen Jamur Tiram Kering Pengaruh Kombinasi Suhu (T) dan Waktu (W) Pengeringan. Perlakuan Rendemen T1W1= 600C+4 jam 11.84 a T1W2= 600C+5 jam 11.02 ab T1W3= 600C+6 jam 10.21 abc T1W4= 600C+7 jam 9.48 bc T2W1= 650C+4 jam 9.77 bc T2W2= 650C+5 jam 9.47 bc T2W3= 650C+6 jam 7.95 d T2W4= 650C+7 jam 7.98 d T3W1= 700C+4 jam 9.80 bc T3W2= 700C+5 jam 8.38 cd T3W3= 700C+6 jam 7.20 de T3W4= 700C+7 jam 6.03 e Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan berbeda sangat nyata pada taraf BNJ1% 3). Kadar Protein Protein merupakan salah satu kandungan bahan pangan penting pada jamur tiram yang perlu dipertahankan pada proses pengawetan. Berdasar analisa sidik ragam nilai kadar protein jamur tiram kering hasil interaksi pengaruh perlakuan kombinasi suhu (T) dan waktu (W) pengeringan menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata. Hasil protein tersebut setelah di uji dengan BNJ 1%, bisa dibaca pada Table 5.3 Tabel 5.3. Rata-rata Nilai Rendemen Jamur Tiram Kering Pengaruh Kombinasi Suhu (T) dan Waktu (W) Pengeringan. Perlakuan Protein jamur kering T1W1= 600C+4 jam 9,03 a T1W2= 600C+5 jam 8,73 ab T1W3= 600C+6 jam 8,50 ab T1W4= 600C+7 jam 7,27 cd T2W1= 650C+4 jam 7,52 c T2W2= 650C+5 jam 7,04 cd T2W3= 650C+6 jam 6,53 d T2W4= 650C+7 jam 6,77 cd T3W1= 700C+4 jam 7,54 c T3W2= 700C+5 jam 6,97 cd T3W3= 700C+6 jam 6,23 d T3W4= 700C+7 jam 4,34 e Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan berbeda sangat nyata pada taraf BNJ1% waktu pengeringan lebih cepat, data rerata jamur tiram kering yang dihasilkan menunjukkan nilai kadar protein lebih tinggi (lihat Tabel 5.3). Semakin tinggi suhu pengeringan dan lama waktu yang diberikan selama proses menunjukkan nilai kadar protein rendah. Diduga kandungan protein mulai terdenaturasi sejalan dengan perlakuan suhu dan lama waktu pengeringan makin meningkat seperti penjelasan Yuniarti dkk. (2013), menyatakan bahwa pemanasan yang terlalu lama dengan suhu yang tinggi akan menyebabkan denaturasi protein, Winarno (1993) juga menyebutkan salah satu penyebab kelarutan protein adalah proses pemanasan. B. Luaran Luaran yang dihasilkan dari penelitian Mp3EI sampai tahun ke 3 (2016) adalah 1). bahwa dari limbah-limbah pertanian sesuai yang ada dilokasi bisa dimanfaatkan sebagai substitusi media jamur tiram. 2) Teknik penanganan pasca panen (pengeringan dengan alat oven/dehydrator) dari jamur tram basah melalui pengaturan suhu dan lama waktu pengeringan mampu menghasilkan produk jamur kering yang berkualitas, sebagai bahan olahan makanan siap saji. 3) Luaran yang lain bantuan kepada mahasiswa menyelesaikan tugas akhirmya (TA) dan artikel ilmiah. VI. KESIMPULAN Hasil penelitian menghasilkan suatu pengembangan teknik penanganan lepas panen dengan pengaturan suhu dan lama waktu pengeringan bisa memperpanjang umur produk jamur tiram dari produk segar/basah menjadi produk jamur kering. Perlakuan pengeringan pada suhu rendah 600C dengan lama waktu tercepat 4 jam menurunkan kadar air menjadi 9,24; Rendemen 11,84 dan Protein 9,03 UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih bahwa penelitian ini merupakan sebagian dari penelitian PENPRINAS MP3EI 2011-2025. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] Hasil jamur kering yang dicapai menunjukkan bahwa dengan penggunaan suhu lebih rendah, dengan lama Direktorat Jendral Horticultural. 2012. Konsumsi dan Produksi Jamur di Indonesia Pada Tahun 2008 – 2010. Jakarta : Ditjen Horticultural Chazali S dan SP Putri. 2009. Usaha Jamur Tiram Skala Rumah Tangga. Yogyakarta: Penebar Swadaya. Koswara.S 2009. Teknologi Pengolahan Sayuran Dan BuahBuahan. [Serial Online]. bkp.madiunkab.go.id. [4 Juli 2015]. Muhtadi,T R, Fitriyono,A. 2010. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Alfabeta, Bogor Husain, H. 2006. Pengaruh Metode Pembekuan dan Pengeringan Terhadap Karakteristik Grits Jagung Instan. [Serial Online]. journal.ipb.ac.id. [20 Agustus 2015]. Arif EA, Isnawati, dan Winarsih. 2014. Pertumbuhan dan Produktivitas Jamur Tiram Putih Pleurotus ostreatus pada Media Campuran Serbuk Tongkol Jagung dan Ampas Tebu. LenteraBio Vol. 3 No. 3, September 2014: 255–260 112 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 [7] [8] [9] [10] [11] Hendritomo H. 2010. Jamur Konsumsi Berkhasiat Obat.Yogyakarta: Lily Publisher Winarno, F.G.,1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Kinsmen. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Puspitasari G. G, Wignyanto dan B. S. Diyah Dewanti. 2015. Pemanfaatan Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Sebagai Tepung, Kajian Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan. [Serial Online]. skripsitipftp.staff.ub.ac.id. [17 Agustus 2015]. Taif G. 1988. Operas Pengeringan pads Pengolahan Hasil Pertain. Peerbit Melton Putra. Jakarta. Yuniarti, D.W., T.D. Sulistiyati, E. Suprayitno. 2913. Pengaruh Suhu Pengeringan Vacumterhadap Kualitas Serbuk Ikan Gabus. (Ophiocephalus stratus). JurnalTHPI Student 1. (1):1-11. 113 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pemetaan Kognitif Penyebab dan Dampak Eksplotasi Pasir Sepanjang Sempadan Pantai di Kabupaten Merauke R. Abdoel Djamali 1), Philipus Betaubun2), Didiek Hermanuadi3), Rahmat Ali Syaban4) 1) Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Po. Box 164 Jember; Email: jatifar@yahoo.com Fakultas Teknik, Universitas Musamus, Jl. Kamizaun Mopah Lama Merauke; Email: philbet@unimmer.ac.id 3) Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Po. Box 164 Jember; Email: didiekhermanuadi@yahoo.com 4) Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Po. Box 164 Jember; Email: rahmat_tpb@yahoo.co.id 2) Abstrak Selama ini, eksploitasi pasir di sepanjang sempadan pantai Distrik Merauke dilakukan untuk memasok lebih 90% guna memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur, perumahan, gedung, perkantoran di Kabupaten Merauke. Hal itu mengakibatkan telah rusaknya ekosistem pesisir khususnya habitat mangrove rusaknya yang berfungsi salah satunya sebagai tameng alam dari gempuran ombak laut.. Padahal konsentrasi penduduk di Distrik Merauke mencapai 95.410 jiwa (44,78%) dari jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Merauke berada di wilayah pesisir tersebut. Kondisi tersebut sangat membahayakan kesehatan, keamanan dan keselamatan penduduk wilayah tersebut dari ancaman bahaya yang ditimbulkan kerusakan lingkungan akibat penggalian pasir illegal. Tujuan utama penelitian ini adalah menentukan penyebab dan dampak multidimensi penambangan pasir terhadap lingkungan pantai dan ekosistem mangrove. Metodologi yang digunakan antara lain: (a) pemilihan lokasi di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjerai dengan pendekatan purposive sampling, (b) teknik pengumpulan data dengan in depth interview, (c) teknik analisis dengan analisis deskriptif dan, multicriteria analysis dan pendekatan bayes method. Kesimpulan penelitian ini sebagai berikut: (a) telah terjadi tingkat kerusakan ekosistem mangrove yang sangat tinggi yakni lebih dari 1200 hektar (b) akibat terjadinya instrusi air laut telah lebih dari 1000 meter dari bIbir pantai yang telah mengancam ketersediaan air tawar untuk kebutuhan masyarakat Merauke karena kualitasnya yang menurun dengan tingkat salinitas semakin tinggi, (c) terjadinya kerusakan lingkungan berupa kubangan-kubangan akibat pengambilan pasir yang menjadi salah satu sumber penyakit, rusaknya ekosisitem pantai, (d) empat faktor pendorong utama kerusakan sempadan pantai yakni: kepentingan ekonomi (profit oriented), lemahnya pengawasan, lemahnya control sosial, meningkatnya pembangunan insfrastruktur, Kata Kunci: Eksploitasi Pasir, Pemetaan Kognitif, Sempadan Pantai BAB 1. PENDAHULUAN Kabupaten Merauke merupakan satu kawasan terluar, terdepan dari Indonesia Bagian Timur yang memiliki ekosistem unik dengan luasan total sekitar 4.677.938,47 hektar. Kebutuhan pasir di wilayah ini, lebih 90% diambil dari pasir sempadan pantai di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjerai. Hal ini bertentangan dengan Rencana tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke 2010-2030 dimana pemanfaatan lahan dipolakan sebagai berikut: Lahan non-budidaya sebesar 2.015.279 Ha dan Lahan budidaya sebesar 2.491.821 Ha. Lahan budidaya tersebut terbagi atas 1,9 juta Ha (76%) lahan basah dan 0,6 juta Ha (24%) lahan kering. Kawasan budidaya yang diperuntukkan sebagai kawasan penambangan galian pasir seluas 2.161,12 (0,05%) di Distrik Malind dan Okaba [5]. Posisi penambangan pasir tersebut di atas mengakibatkan rusaknya tameng alam dari gempuran ombak laut. Dalam dekade terakhir, dapat dilihat telah rusaknya ekosistem pesisir khususnya habitat mangrove yang mengakibatkan terjadinya instrusi laut yang semakin besar, sering terjadi banjir rob, menurunnya kualitas sumberdaya air tawar yang untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Merauke. Sementara konsentrasi penduduk di Distrik Merauke mencapai 95.410 jiwa (44,78%) dan Distrik Naukenjerei sebanyak 1.992 jiwa (0.93%) dari jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Merauke berada di wilayah pesisir tersebut. Hal ini Kondisi tersebut sangat membahayakan kesehatan, keamanan dan keselamatan penduduk wilayah tersebut dari ancaman bahaya yang ditimbulkan kerusakan lingkungan akibat penggalian pasir illegal. Dampak akibat kerusakan mangrove bersifat multi dimensional yang meliputi dimensi ekokologi, ekonomi, teknik, sosial bidaya, dan etik. Aspek multi dimensional tersebut secara serentak berpengaruh terhadap nyata terhadap sustainabilitas ekosistem pesisir. Berdasarkan kondisi eksisting tersebut, penelitian ini difokuskan untuk mencari titik temu antara sisi pemenuhan kebutuhan pasir dalam pemenuhan kebutuhan 114 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 pembangunan infrastruktur yang menekankan sisi lainnya pelestarian ekosistem pesisir khususnya hutan mangrove. Bab 2. Tinjauan Pustaka 1. Penambangan Pasir dan Dampaknya Hasil studi ahli ekonomi sumberdaya Universitas Harvard dalam [2] menyatakan bahwa semakin sebuah negara bergantung pada sumberdaya alamnya, maka semakin kecil pula laju pertumbuhan ekonominya. Gejala umum ini dalam ilmu ekonomi sumberdaya disebut sebagai Penyakit Belanda (Dutch Disease). Maanema (2004), dalam [2] menyatakan hal tersebut sebagai suatu paradoks (sesuatu yang diharapkan sebagai pemicu kemakmuran justru gagal memberi manfaat bagi masyarakat miskin). Kegiatan penambangan pasir umumnya menggunakan peralatan sederhana dengan modal terbatas serta sering dilakukan oleh masyarakat banyak [7] Kegiatan penambangan yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk dalam kegiatan penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di dataran. Dataran yang dimaksud adalah suatu wilayah dengan lereng yang relatif homogen dan datar dengan kemiringan lereng maksimum 8% yang dapat berupa dataran aluvial, dataran banjir, dasar lembah yang luas, dataran di antara perbukitan, ataupun dataran tinggi. Adapun yang dimaksud dengan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas adalah bahan galian golongan C yang berupa tanah urug, pasir, sirtu, tras dan batu apung.2 Untuk menambang bahan galian golongan C digunakan metode dan teknik pertambangan yang berbeda dari bahan galian golongan lainnya. 2. Masalah Lingkungan dari Penambangan Pasir Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa kegiatan pertambangan merupakan salah satu kegiatan yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Demikian pula dengan kegiatan penambangan bahan galian golongan C. Lokasi quarry yang baik selalu berada di tempat lain yang jauh dari pengguna [7]. Ada beberapa permasalahan lingkungan yang muncul akibat dari quarry, dengan asumsi bahwa lokasi quarry sudah dipilih berdasarkan kondisi site yang baik [7], yaitu: a. Visual impact bentang alam dari quarry dan fasilitas pendukungnya. Misalnya hilangnya pohon-pohonan, adanya bench, dan sebagainya. b. Debu dari lalu-lintas. Masalah ini makin meningkat pada waktu musim kering dan berangin serta tidak adanya usaha penyiraman jalan. c. Gangguan suara truk. d. Pencemaran air tanah terjadi karena adanya buangan oli ataupun bahan kimia lainnya ke pit atau pun open joint yang dekat muka air tanah. e. Volume lalu lintas naik di sepanjang jalan desa, kota dan umumnya dilalui oleh truk dengan muatan yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jalan, keamanan, kebisingan, lumpur di jalan, dan sebagainya. f. Penentuan dan pemakaian dari ruang kosong setelah operasi penambangan selesai. Masalah lingkungan dari kegiatan penambangan pasir memerlukan penanganan yang tepat supaya kerusakan lingkungan yang sudah terjadi tidak bertambah parah. Hal ini juga penting bagi keberlanjutan kegiatan penambangan pasir itu sendiri. Kenyataannya, perubahan roman muka bumi yang disebabkan oleh pertambangan terbuka dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan [7] Pengerukan material yang berlebihan pada dasar ataupun meander sungai dapat menyebabkan pola arus alamiah sungai berubah. Akibatnya, erosi horizontalnya bertambah luas. Dapat disimpulkan bahwa penanganan masalah lingkungan dari kegiatan penambangan pasir merupakan hal yang penting dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini penting dalam mencegah dampak eksternalitas yang semakin besar dan menimbulkan biayabiaya sosial yang luas. menyebabkan pola arus alamiah sungai berubah. Akibatnya, erosi horizontalnya bertambah luas. Dapat disimpulkan bahwa penanganan masalah lingkungan dari kegiatan penambangan pasir merupakan hal yang penting dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini penting dalam mencegah dampak eksternalitas yang semakin besar dan menimbulkan biaya-biaya sosial yang luas. Bab 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini difokuskan untuk menentukan penyebab dan dampak multidimensi penambangan pasir terhadap lingkungan pantai dan ekosistem mangrove 3. 2. Manfaat Penelitian Sebagai bahan pertimbangan bagi seluruh stakeholder di Kabupaten Merauke yang meliputi birokrat, penegak hukum dan pemangku adat dalam upaya mengawasi dan mengendalikan eksploitasi pasir di sepanjang sempadan pantai. Bab 4. Metode Penelitian 1. Pemilihan lokasi dengan dilakukan dengan secara sengaja yaitu dengan pendekatan purposive sampling di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjerai 2. Teknik pengumpulan data dengan in depth interview 3. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini yakni: 115 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 a. analisis deskriptif yakni tenik analisis dengan cara mengumpulkan data dan menyajikan data sehingga mudah dipahami yang bisa disajikan dalam bentuk tabel, grafik, nilai pemusatan dan nilai penyebaran [1], [8]. b. multicriteria analysis dengan pendekatan cognitive mapping dan Metode Bayes. Cognitive Mapping Cognitive mapping dikategorikan sebagai soft methodology dan berbeda dengan metodologi formal tradisional yang terdiri dari beberapa tipe analisis dan hasilnya masih bersifat general. Cognitive mapping menggunakan basis teknik peta yang mampu merepresentasikan elemen-elemen dari permasalahan yang komplek, yang diorganisir dan disusun menggunakan diagram panah. Arah panah menunjukkan connection dan relationship antar indikator. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel utama dalam cognitive mapping yakni domain dan centrality. Domain adalah faktor penting dalam peta kognitif sebab menggambarkan kepadatan atau jumlah indikator yang berkaitan langsung dengan indikator tertentu dengan mengabaikan arahnya. Makin tinggi nilai domain suatu indikator menunjukkan besarnya jumlah indikator yang mempengaruhi/dipengaruhi indikator tersebut. Ini menunjukkan efek indikator downstream yang bukan hanya yang berhubungan langsung dengan indikator lainnya tetapi juga yang tidak berhubungan langsung. Makna dari centrality menunjukkan arti strategik sebab menggambarkan dampak komulatif sejumlah indikator diluar pengaruh langsung. Makin tinggi skor centrality, makin signifikan seluruh indikator sustainability sebuah sistem Domain dan centrality adalah gagasan pemikiran dari Eden dan Akerman (1998) dalam [4], dimana keduanya perangkat utama dalam menyusun cognitive mapping. Untuk menghitung skor sentral menggunakan formula: Cj  dimana : Cj Sj Sm S      n , j= 1, 2, 3 ...n m n : skor sentral indikator ke-j level ke-m : jumlah indikator level ke-m Skor central dapat menunjukkan nilai strategik dari sebuah indikator/atribut sebab merefleksikan bukan hanya jumlah indikator yang berdampak langsung tetapi juga seluruh pengaruh hubungan tak langsung dengan indikator lainnya. Metode Bayes Merupakan teknik yang digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif [3]. a. Persamaan Bayes yang digunakan untuk menghitung nilai setiap alternatif disederhanakan menjadi : m dimana: Total Nilai Nilai ij Krit j i j Total Nilai i =  Nilai ij total nilai akhir dari alternatif ke-i (Krit j) alternatif ke-i pada kriteria ke-j = nilai dari i= j=1 = tingkat kepentingan (bobot) kriteria ke-j = 1,2,3,…n; n = jumlah alternatif = 1,2,3,…m; m = jumlah kriteria Informasi awal tentang nilai peluang ini disebut distribusi prior, sedangkan nilai peluang yang sedang diperbaiki dengan informasi tambahan disebut peluang posterior. b. Keriteria Bayes • Pengambilan keputusan merupakan suatu pemilihan aksi a dari sekelompok aksi yang mungkin (A). • Nilai kinerja dari setiap aksi a dan status situasi  digambarkan dengan menggunakan pay off matrix Tabel 1. Play off Matrix Dimana:  = status situasi yang dapat berupa kondisi, kriteria seleksi atau persyaratan pemilihan a = dapat berupa aksi, strategi atau pilihan x = nilai penampakan dari setiap aksi dan status situasi BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN (a) Selama ini, penambangan pasir yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Merauke sudah berlangsung lebih dari 25 tahun yang terpusat di wilayah Distrik Merauke dan Distrik Naukenjerai Pasir tersebut dieksploitasi guna memenuhi kebutuhan permintaan masyarakat dan pembangunan infrastruktur di wilayah Kabupaten Merauke. Kondisi wilayah Merauke secara umum merupakan wilayah pasir berlumpur yang dijumpai hampir seluruh penjuru kota. Menurut kajian terdahulu oleh Subarnas [6] bahwa pantai selatan Kabupaten Merauke merupakan endapan pantai yang berupa endapan klastika lepas, halus - kasar terdiri dari lumpur dan pasir halus – kasar. Bentuk dan ukuran pasir yang halus tersebut sangat cocok sebagai bahan baku material campuran bahan bangunan berbagai infrastruktur antara lain: gedung, jembatan, jalan, rumah, pabrik dan sebaginya. Para pengguna biasanya tidak langsung menggunakan pasir tersebut namun biasanya dibiarkan diguyur hujan dalam beberapa waktu supaya kadar garam dalam pasir turun Peningkatan permintaan pasir. Pasir yang ditambag 116 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 adalah pasir yang ada disepanjang pantai yang merupakan sempadan pantai yang berupa gundukan dengan ketingginggian 2-3 meter. Akibat penambangan tersebut terjadi kerusakan ekosistem pantai yang sangat parah berupa kubangan-kubangan, tumbangnya pohon kelapa –kelapa tua, dan hilangnya ekosistem mangrove. Kondisi tersebut banyak dijumpai sepanjang pantai di Distrik Merauke terjadi di Pantai Lampu Satu Kelurahan Karang Indah, Kelurahan Samkai, dan Kelurahan Samkai., sedangkan di Distrik Naukenjerai terjadi di Kampung Kuler dengan tingkat kerusakan sebagai berikut: Tabel 2. Tingkat Kerusakan Ekosistem Pantai Akibat Penambangan Pasir No Distrik/Kampung Tingkat Kerusakan Ekosistem Pantai 1 Distrik Merauke a. Kampung Karang Indah ++ b. Kampung Samkai ++ (Masih Belangsung) c. Kampung Nasem ++ (Masih Berlangsung) 2 Distrik Naukenjerai a. Kampung Kuler ++++ (Masih Berlangsung) +) jumlah tanda (+) menunjukkan tingkat kerusakan Berdasarkan observasi di lapangan menunjukkan bahwa sampai saat ini penambangan pasir di sempadan pantai masih berlangsung utamanya di dari 3 Kampung yakni Kampung Samkai, Kampung Nasem, dan Kampung Kuler. Yang paling tinggi intensitasnya di wilayah Kampung Kuler dimana jarak dengan pusat kota relative jauh > 60 kilometer sehingga sangat lemah dalam pengawasan dan penegakan hukum. Disamping itu, wilayah kampung Kuler dengan tingkat kepadatan penduduk ±1-2 orang per kilometer persegi sangat mudah untuk melakukan penambangan pasir liar. b. Dampak negatif penambangan pasir di sepanjang pantai di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjerai yakni: 1. Kubangan dengan diameter bisa mencapai lebar 100 meter dan kedalaman 3-4 meter. Hampir sepanjang tahun kubangan tersebut tergenang air dan sangat berpotensi sebagai sarang penyakit yang menggangu kesehatan masyarakat. 2. Rusaknya ekosistem pantai sebagai akibat hilangnya sempada pantai. Hal ini ditunjukkan dengan tumbangnya pepohonan kelapa, waru, ketapang dan lain-lain. Padadal posisi sempadan secara ekologi merupakan tameng alam yang sangat berguna untuk menahan laju gempuran ombak, intrusi air laut yang masuk ke daratan, dan aktivitas abrasi laut. 3. Rusaknya ekosistem mangrove, berdasarkan hasil observasi di lapangan menunjukkan di sekitar Pantai sebagai rujukan sisanya luasan dan vegetasi mangrove yang tumbuh di kawasan Pelabuhan Perikanan Kelurahan Karang Indah Kabupaten Merauke yaitu Avicennia alba, Acanthus ebracteatus, Acanthus ilicifolius, Bruguiera cylindrica, Aegialitis annulata dan RhizThora stylosa. Kerapatan mangrove kriteria pohon berkisar dari 5,6667 ind/100m – 23,6667 ind/100m2, kerapatan mangrove kriteria anakan berkisar dari 23,0000 ind/25m2 – 42,6667 ind/25m2. Namun bergerak ke arah timur di kawasan Pantai Lampu Satu Kampung Karang Indah, Kampung Samkai dan Nasem sampai Kampung Kuler tidak dijumpai lagi vegetasi mangrove. Padahal menurut pengakuan masyarakat setempat bahwa pada tahun 1990-an bahwa lebar vegetasi mangrove mencapai 50-75 meter dari bibir pantai. 4. Akibat hilangnya sempadan pantai yang berfungsi sebagai tameng laut atas gempuran abrasi dan intrusi air laut. Dampak nyata yang dihadapi masyarakat penduduk di sepanjang pesisir khusunya yang berada di kawasan Distrik Merauke yang penduduknya bermukim mencapai 45% penduduk Kabupaten Merauke saat ini sudah merasakan terjadinya penurunan kualitas air sumur penduduk yang semakin asin. Kondisi ini, dalam jangka panjang akan mengancam ketersediaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan tentunya dapat menurunkan tingkat kesehatan masyarakat. Dari 20 titik pengamatan yang dilakukan terhadap air sumur yang dikonsumsi masyarakat jauh menuurun kualitasnya dalam 10 tahun terakhir yang ditunjukkan air yang semakin keruh dan tingkat kegaraman yang semakain tinggi. c. Dilihat dari sisi ekonomi, tetantunya aktivitas penambangan pasir akan membawa dampak positif antara lain: 1. Terserapnya tenaga kerja, yaitu masyarakat memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Lapangan kerja terbuka mulai dari proses penggalian, transportasi, dan akomudasi yang terlibat dalam aktivitas pemnggalian 2. Menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan kewajiban pengusaha membayar pajak dan retribusi bahan galian golongan C. 3. Memperlancar transportasi, wilayah merauke dengan infrastruktur jalan yang masih sangat terbatas, dengan adanya aktivitas penambangan sebagian jalan memang dibuka dan relatif wilayah tersebut lebih cepat pembangunannya dibandingkan dengan daerah laiinya. d. Penyusunan rencana pemetaan penambangan pasir di Kabupaten Merauke. Berdasarkan hasil indepth interview dengan beberapa ekspert yang terdiri dari 117 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerhati lingkungan, dan peneliti di Kabupaten Merauke yang se, disepakati ada tiga skenario pemetaan penambangan pasir dan dampaknya yakni: 1. Perbaikan atas ekosistem pantai di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjerai (Skenario 1) 2. Relokasi Penambangan ke wilayah Distrik Malind dan Okaba sesuai dengan Perda Kabupaten Merauke No 14 Tahun 2011 (Skenario 2) 3. Penambangan Terkontrol; artinya penambangan masih bisa dilakukan di wilayah Kampung Kuler Distrik Naukenjerai (Skenario 3) Dari tiga alternatif skenario tersebut ditawarkan kepada ekspert dengan menggunakan 6 parameter pengukuran yakni profit oriented, pemenuhan pembangunan, penyelematan lingkungan, control sosial, penegakan hukum dan peningkatan pengetahuan ekonogi. Hasil analisis dengan pendekatan Bayes sebagai berikut: pusat kota, relatif lebih kecil dampak ekologi yang dihasilkan, serta kualitas pasir yang lebih baik. e Untuk menilai faktor-faktor pendorong penambangan pasir di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjarai dengan menggunakan pendekatan Multi Criteria Analysis. dimana ada 12 variabel yang ditawarkan yang terdiri dari: (1) profit oriented, (2) lemahnya pengawasan, (3) kurangnya pengetahuan tentang ekonolgi, (4) lemahnya control sosial, (5) lemahnya penegakan hukum, (6) meningkatnya pembangunan, (7) pendidikan, (8) meningkatnya jumlah penduduk, (9) kurangnya perangkat hukum, (10) masih melimpahnya sumbver daya alam, (11) meingkatnya APBD/Otsus, (12) luasnya bentang alam, dan (13) kerusakan pantai. Masingmasing variabel menunjukan hubungan secara langsung dan tak langsung baik satu arah maupun dua arah Adapun peta hubungan antara variabel yang mempengaruhi aktivitas penambangan pasir Distrik Merauke dan Distrik Naukenjerai dapat dipetakan keterhubungan dan keterpengaruhannya yang disajikan dalam bentuk Cognitive Mapping, sebagai berikut: Tabel 3. Analisis Bayes tentang Pemetaan Penambangan Pasir di Kabupaten Merauke Skenario Parameter Bobot 1 2 3 1 Profit Oriented 0.250 4 8 8 2 Pemenuhan Pembangunan 0.120 4 8 7 3 Penyelamatan Lingkungan 0.180 9 8 7 4 Kontrol Sosial 0.200 9 7 5 5 Penegakan Hukum 0.120 9 6 6 Peningkatan Pengetahuan 6 Ekologi 0.130 8 6 6 1.000 7.02 7.3 6.6 Beradasarkan tingkat kepntingan tersebut menunjukkan bahwa prioritas utama yang perlu dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam pemetaan penambangan pasir secara berturut-turut yakni: 1. Relokasi Penambangan ke wilayah Distrik Malind dan Okaba sesuai dengan Perda Kabupaten Merauke No 14 Tahun 2011 (Skenario 2) sebagai prioritas Pertama 2. Perbaikan atas ekosistem pantai di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjerai (Skenario 1) sebagai Prioritas Kedua 3. Penambangan Terkontrol; artinya penambangan masih bisa dilakukan di wilayah Kampung Kuler Distrik Naukenjerai (Skenario 3) sebagai Prioritas Ketiga Nampaknya berdasarkan prioritas pemetaan penambangan pasir di Kabupaten Merauke ini, bukan menghapus tetapi lebih diprioritasnya untuk direlokasi ke wilayah Malind dan Okaba dengan pertimbangan bahwa kedua wilayah tersebut penduduknya masih sangat terbatas, jauh dari Gambar 1. Cognitive Mapping yang Mempengaruhi aktivitas penambangan pasir Dari analisis ini dapat dibuat rekapitulasi sebagai berikut: Tabel 4. Centrality Score dan Domain Variabel Penentu Penambangan Pasir No Variabel Penentu 1 2 3 Profit oriented Lemahnya pengawasan Kurangnya pengetahuan tentang ekonolgi Lemahnya kontrol sosial Lemahnya penegakan hukum Meningkatnya pembangunan Pendidikan Meningkatnya jumlah penduduk Kurangnya perangkat hukum Masih melimpahnya sumbver daya alam Meingkatnya APBD/Otsus Luasnya bentang alam Kerusakan pantai 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Centrality Score 9 9 6 Domain (Link around) 8 8 3 8 6 7 6 5 6 6 2 3 1 6 6 4 2 6 6 6 3 4 4 118 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Berdasarkan data analisis centrality score dan domain menunjukkan bahwa 4 variabel penentu terjadinya penambangan pasir di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjeray mengkibatkan kerusakan sempadan pantai yakni: 1. Profit oriented; kecenderungan bahwa pelaku penambang pasir sebagai motif utama yakni hanya lebih memfokuskan pada orientasi mencari keuntungan (profit oriented) semata tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang diakibatkannya. Hal ini menunjukkan bahwa penambangan pasir merupakan alternatif usaha yang menggiurkan karena harga yang ditawarkan cukup mahal berkisar Rp 500.000-800.000 per kubik, sementara pasir impor dari luar propinsi bisa dua kali lipat dibandingkan pasir lokal. 2. Lemahnya Pengawasan; selama ini pemerintah kurang memainkan perannya untuk melakukan pengawasan (survailance) terhadap penambangan pasir di sepanjang sempadan pantai yang dilakukan secara liar dan tidak terkendali selama ini. 3. Lemahnya kontrol sosial; sebagai bentuk kontrol sosial juga masih sangat terbatas karena sebagain besar menganggap bahwa pengawasan hanyalah bisa dilakukan oleh pemerintah dan penegak hukum saja. Padahahal sebenarnya kontrol sosial secara langsung dilakukan oleh lembaga adat atau kelompok pemerhati lingkungan akan jauh lebih efektif dan efisien guna memantau dan mencegah terjadinya aktivitas penambangan pasir illegal 4. Meningkatnya pembangunan, sebagai konseksekuensi logis aktivitas pembangunan yang meningkat tentunya juga membutuhkan penyediaan material bahan bangunan yang meningkat pula. Pemerintah Kabupaten Merauke telah secara tegas melarang kepada setiap Satua Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang dalam pembangunan bangunan fisik diwajibkan untuk menggunakan pasir impor yang didatangkan dari Palu-Sulawesi guna menekan terjadinya penambangan pasir illegal. BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 4. Empat faktor pendorong utama kerusakan sempadan pantai yakni: kepentingan ekonomi (profit oriented), lemahnya pengawasan, lemahnya control sosial, meningkatnya pembangunan insfrastruktur, 6.2 Saran 1. Perlu dirancang peraturan kampung yang mengatur tentang pelarangan eksploitasi pasir di sempadan pantai 2. Perlu dibangun sistem komunikasi tripartiet antara birokrat, penegak hukum, dan pemangku adat guna malakukan koordinasi dalam penegakan peraturan perundangan tentang larangan eksplotasi pasir di sempadan pantai UCAPAN TERIMA KASIH Mengingat makalah ini merupakan bagian dari Penelitian Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun ke II , maka saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Direktur Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai program penelitian tersebut pada anggaran tahun 2016. DAFTAR PUSTAKA [1] Hasan, I.. 2001. Pokok-Pokok Materi Statistik 2. Bumi Aksara. Jakarta. [2] Maanema, Max dan Berhimpon, Siegfried, 2007. Dampak Aktivitas Penambangan terhadap Ekonomi Ekonomi Kelautan. Seminar Nasional Pertambangan, Lingkungan Hidup dan Kesejahteraan Masyarakat. Universitas Manad. Manado. [3] Marimin, 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Penerbit Grasindo. Jakarta. [4] Mendoza GA, Prabhu R. 2002. Qualitative multi-criteria approaches to assesing indicators of sustainable forest resources management. . Forest Ecology and Management. 5913: 1-5. [5] Peraturan Daerah Kebupaten Merauke Nomor 14 tahun 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke 2010-2030. Merauke [6] Subarnas, A (2009). Inventariasasi Endapan Gambut Daerah Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. [7] Sudrajat, Adjat. 1999. Teknologi dan Manajemen Sumberdaya Meniral. Penerbit ITB. Bandung. [8] Sugiyono. 2010. Statiustika untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta. Bandung. 6.1 Kesimpulan 1. Telah terjadi tingkat kerusakan ekosistem mangrove yang sangat tinggi yakni lebih dari 1200 hektar 2. Akibat terjadinya instrusi air laut telah lebih dari 1000 meter dari bibir pantai yang telah mengancam ketersediaan air tawar untuk kebutuhan masyarakat merauke karena kualitasnya yang menurun dengan tingkat salinitas semakin tinggi, 3. Terjadinya kerusakan lingkungan berupa kubangankubangan akibat pengambilan pasir yang menjadi salah satu sumber penyakit, rusaknya ekosisitem pantai, 119 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 SISTEM IDENTIFIKASI JENIS KELAMIN MANUSIA BERDASARKAN FOTO PANORAMIK Nur Nafi’iyah#1, Retno Wardhani*2 # Teknik Informatika, Fakultas Teknik Universitas Islam Lamongan Lamongan 1nafik_unisla26@yahoo.co.id * Teknik Informatika, Fakultas Teknik Universitas Islam Lamongan Lamongan 2retzno@yahoo.com Abstract Sistem identifikasi jenis kelamin manusia berdasarkan foto panoramik gigi, di mana merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk: dapat membantu pihak tim forensik dalam mengenali korban bencana alam atau mengidentifikasi korban kejahatan. Target penelitian yaitu: membangun sistem identifikasi jenis kelamin manusia berdasarkan foto panoramik gigi, membantu menemukan suatu cara baru dalam melakukan identifikasi jenis kelamin manusia dengan algoritma backpropagation, dan menghasilkan pembuktian keakurasian atau ketelitian dari algoritma backpropagation dalam melakukan identifikasi jenis kelamin manusia. Algoritma backpropagation merupakan salah metode dalam jaringan syaraf tiruan, yang cara kerjanya menyerupai sistem kerja otak (neuron). Dalam penelitian ini langkah-langkah yang ditempuh agar penelitian dapat berjalan lancar, dilakukan pengambilan citra atau foto panoramik gigi manusia ke Rumah Sakit Ibnu Sina Gresik. Selanjutnya data foto diolah mulai dari preposessing dan ekstraksi fitur. Hasil ekstraksi fitur citra, data dimasukkan ke tahap training dan dianalisa. Untuk mengetahui hasil keakurasian sistem maka dilakukan testing. Nilai akurasi dalam ujcoba sistem 80%. Keywords— Identfication System, Backpropagation, Jenis Kelamin. I. PENDAHULUAN Forensik odontologi adalah salah satu metode penentuan identitas individu yang telah dikenal sejak era sebelum masehi. Kehandalan teknik identifikasi ini bukan saja disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi karena kenyataan bahwa gigi dan tulang adalah material biologis yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan dan terlindung. Gigi merupakan sarana identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan benar. Beberapa alasan dapat dikemukakan mengapa gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi adalah sebagai berikut, pertama karena gigi bagian terkeras dari tubuh manusia yang komposisi bahan organik dan airnya sedikit sekali dan sebagian besar terdiri atas bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak dalam rongga mulut yang terlindungi. Kedua, manusia memiliki 32 gigi dengan bentuk yang jelas dan masing-masing mempunyai lima permukaan. Identifikasi korban pada kasus-kasus ini diperlukan karena status kematian korban memiliki dampak yang cukup besar pada berbagai aspek yang ditinggalkan. Identifikasi tersebut merupakan perwujudan HAM dan merupakan penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis terletak pada wilayah yang rawan terhadap bencana alam baik yang berupa tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan lain-lain, yang dapat memakan banyak korban, dan salah satu cara mengidentifikasi korban adalah dengan metode forensik odontologi. Oleh karena itu forensik odontologi sangat penting dipahami peranannya dalam menangani korban bencana massal. Penelitian ini akan membuat aplikasi dalam membantu mengidentifikasi korban jiwa tidak dikenal berdasarkan foto panoramik gigi. Identifikasi dapat membantu mengenali korban jiwa dari segi jenis kelamin. Algoritma yang digunakan yaitu backpropagation. Algoritma backpropagation merupakan salah satu algoritma jaringan syaraf tiruan, yang menerapkan cara kerja neuron dalam saraf otak manusia. II. TINJAUAN PUSTAKA Yang dimaksud dengan identifikasi ilmu kedokteran gigi forensik adalah semua aplikasi dari disiplin ilmu kedokteran gigi yang terkait dalam suatu penyidikan dalam memperoleh data-data postmortem, berguna untuk menentukan otentitas dan identitas korban maupun pelaku 120 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 demi kepentingan hukum dalam suatu proses peradilan dan menegakkan kebenaran. Ada beberapa jenis identifikasi melalui gigi-geligi dan rongga mulut yang dapat dilakukan dalam terapan semua disiplin ilmu kedokteran gigi yang terkait pada penyidikan demi kepentingan umum dan peradilan serta dalam membuat surat keterangan ahli. Identifikasi ilmu kedokteran gigi forensik terdapat beberapa macam antara lain: 1. Identifikasi ras korban maupun pelaku dari gigi-geligi dan antropologi ragawi. 2. Identifikasi sex atau jenis kelamin korban melalui gigigeligi dan tulang rahang serta antropologi ragawi. 3. Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi. 4. Identifikasi umur korban melalui gigi sementara (decidul) 5. Identifikasi umur korban melalui gigi campuran. 6. Identifikasi umur korban melalui gigi tetap. 7. Identifikasi korban melalui kebiasaan menggunakan gigi. 8. Identifikasi korban dari pekerjaan menggunakan gigi. 9. Identifikasi golongan darah korban melalui air liur. 10. Identifikasi golongan darah korban melalui pulpa gigi. 11. Identifikasi DNA korban dari analisa air liur dan jaringan dari sel dalam rongga mulut. 12. Identifikasi korban melalui gigi palsu yang dipakainya. 13. Identifikasi wajah korban dari rekonstruksi tulang rahang dan tulang facial. 14. Identifikasi wajah korban. 15. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku. 16. Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban massal. 17. Radiologi Ilmu Kedokteran Gigi Forensik. 18. Fotografi Ilmu Kedokteran Gigi Forensik. 19. Victim Identification Form. Semua data-data yang diperoleh dalam identifikasi di atas dituangkan dalam formulir baku mutu nasional yaitu ke dalam formulir korban tindak pidana yang berwarna merah yang disebut dengan data postmortem, pada korban hidup tetap pula ditulis ke dalam formulir yang sama sedangkan data-data semasa hidup ditulis ke dalam formulir antemortem yang berwarna kuning. Selain dengan pemeriksaan internal dan eksternal, perbedaan pria dan wanita dapat dilihat dari tulang-tulang yang ada. Salah satu tulang yang dapat diidentifikasi untuk membedakan jenis kelamin tersebut adalah tulang rahang. 1. Identifikasi jenis kelamin melalui Lengkung rahang atas Pada pria, lengkung rahang lebih besar daripada wanita karena relatif gigi-geligi pria jarak mesio distal lebih panjang dibandingkan dengan wanita. Sedangkan palatum pada wanita lebih kecil dan berbentuk parabola. Dan pada pria, palatum lebih luas serta berbentuk huruf U. 2. Identifikasi jenis kelamin melalui lengkung rahang bawah Lengkung rahang pria lebih besar dari wanita karena gigi-geligi wanita jarak mesio distalnya lebih keci daripada pria. 3. Identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang Terdapat berbagai sudut pandang pada setiap regio dan bentuk serta besar dari rahang pria maupun wanita yang sangat berbeda. Hal ini dapat digunakan sebagai sarana atau data identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang. a. Identifikasi jenis kelamin melalui sudut gonion Sudut gonion pria lebih kecil dibandingkan sudut gonion wanita. b. Identifikasi jenis kelamin melalui tinggi Ramus Ascendens Ramus Ascendens pria lebih tinggi dan lebih besar daripada wanita. c. Identifikasi jenis kelamin melalui Inter Processus Jarak processus condyloidues dengan processus coronoideus pada pria lebih jauh dibandingkan dengan wanita. Dengan kata lain pada pria mempunyai jarak lebih panjang dibandingkan dengan wanita. d. Identifikasi jenis kelamin melalui lebar Ramus Ascendens Identifikasi jenis kelamin melalui Ramus Ascendens pada pria mempunyai jarak yang lebih besar dibandingkan dengan wanita. e. Identifikasi jenis kelamin melalui Tulang Menton (dagu) Identifikasi jenis kelamin melalui tulang menton pria atau tulang dagu pria yang dimaksud lebih anterior dan lebih besar. f. Identifikasi jenis kelamin melalui Pars Basalis Mandibula Pada pria, pars Basalis Mandibula lebih panjang dibandingkan dengan wanita dalam bidang horisontal. g. Identifikasi jenis kelamin melalui Processus Coronoideus Tinggi Processus Coronoideus pada pria lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dalam bidang vertikal. h. Identifikasi jenis kelamin melalui Tebal tulang Menton Tulang menton pria dalam ukuran pabio lebih tebal dibandingkan dengan wanita, hal ini kemungkinan masa pertumbuhan dan perkembangan rahang pria lebih lama dibandingkan dengan wanita. Ukuran ini sangatlah relatif tergantung dari ras, sub ras dan hanya dibandingkan sesama etnik-etnik saja. i. Identifikasi jenis kelamin melalui lebar dan tebal Processus Condyloideus 121 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Bentuk processus condyloideus bermacam-macam baik pria maupun wanita, tetapi mempunyai tebal dan lebar yang berbeda. Pada pria ukuran diameter processusnya lebih besar dibandingkan dengan wanita, hal ini karena ukuran anterior posterior dan latero medio lebih besar dibandingkan dengan wanita. Radiografi panoramik adalah teknik radiografi ekstra oral yang dapat memperlihatkan rahang atas dan rahang bawah sekaligus, serta struktur anatomis yang berdekatan dalam satu film. Teknik radiografi ini digunakan untuk pemeriksaan, diagnosis, dan memilih jenis perawatan yang terbaik serta sebagai alat screening/seleksi dan penilaian menyeluruh (radiografi studi). Gambar 1 merupakan foto panoramik,cara pengambilan gambarnya melalui ekstra oral. Gambar 1. Foto Panoramik Forensic odontolgy adalah ilmu yang mempelajari tentang keunikan gigi. Forensic odontology dimanfaatkan oleh badan penegak hukum untuk mengeksploitasi pengenal biometrik sebagai alat kunci dalam pengenalan forensik. Dengan adanya evolusi dalam teknologi informasi dan besarnya jumlah kasus yang membutuhkan investigasi oleh ahli forensik, sehingga automatisasi pengidentifikasi forensik tidak dapat dihindari lagi. Pengidentifikasian forensik yang dilakukan sebelum kematian seseorang dinamakan pengidentifikasian antemortem (AM). Sedangkan pengidentifikasian forensik yang dilakukan setelah kematian seseorang dinamakan pengidentifikasian postmortem (PM). Ketika pengidentifikasian dilakukan lebih dari dua minggu setelah kejadian, sebuah pengenal biometrik PM harus dapat bertahan dalam kondisi itu dan melawan pembusukan yang mempengaruhi seluruh bagian tubuh. Fitur-fitur gigi dapat dipertimbangkan sebagai kandiddat terbaik untuk pengidentifikasian PM. Hal ini dikarenakan ketahanan dan keanekaragaman fitur-fitur gigi. Forensic odontology mempelajari pengaplikasian gigi dalam penindaklanjutan hukum, termasuk penanganan yang tepat, pemeriksaan, dan evaluasi terhadap bukti gigi yang kemudian akan dipresentasikan di depan pengadilan. Ilmu ini melingkupi sebuah variasi yang luas dari topiktopik pengidentifikasian individu, pengidentifikasian massal, dan analisis tanda gigitan. Pembelajaran ilmu gigi dalam sebuah kasus hukum dapat berupa sepotong bukti yang terlibat atau sebuah aspek dengan kontroversi yang luas. Salah satu bukti yang diambil dari gigi dapat digunakan untuk pengidentifikasian seseorang yang memiliki gigi tersebut. Hal ini dilakukan dengan menggunakan data rekaman gigi atau foto gigi. III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini, yaitu: Tujuan penelitian ini yaitu dapat membantu pihak tim forensik dalam mengenali korban bencana alam atau mengidentifikasi korban kejahatan. Target penelitian ini, adalah: 1. Membangun sistem identifikasi jenis kelamin manusia berdasarkan foto panoramik gigi. 2. Membantu menemukan suatu cara baru dalam melakukan identifikasi jenis kelamin manusia dengan algoritma backpropagation. 3. Menghasilkan pembuktian keakurasian atau ketelitian dari algoritma backpropagation dalam melakukan identifikasi jenis kelamin manusia. Manfaat dari penelitian ini, adalah: 1. Dapat membantu dalam melakukan identifikasi forensik manusia 2. Dapat membantu mengenali korban atau jenazah yang belum dikenali dengan menggunakan foto panoramik gigi 3. Dapat memberikan kemudahan dalam proses identifikasi jenis kelamin manusia berdasarkan foto panoramic IV. METODE PENELITIAN Penelitian ini akan mengembangkan dan membangun suatu sistem untuk identifikasi jenis kelamin manusia berdasarkan foto panoramik gigi. Penelitian ini termasuk dalam penelitian percobaan, di mana membutuhkan analisa dari tingkat keakurasian sistem dan ketepatan sistem. Penelitian ini menggunakan foto panoramik sebanyak 20 dari foto panoramik gigi manusia. Data akan didigitalisasi agar dapat digunakan sebagai inputan. Selanjutnya citra tersebut akan dilakukan preposessing. Untuk memperjelas alur dan langkah penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 2. Pengambilan Citra Panoramik Gigi Manusia dan Digitalisasi Tahap Preposessing Citra Tahap Ekstraksi Fitur Citra Tahap Training/Pembelajaran Algoritma Backpropagation Tahap Testing Sistem Gambar 2. Alur Penelitian 122 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Dalam tiap tahapan akan dilakukan penulisan hasil dalam bentuk laporan. Untuk pengambilan data, penelitian akan mengambil sampel foto panoramik gigi ke RS. Ibnu Sina Gresik, karena hanya beberapa rumah sakit yang menyediakan alat foto panoramik. Adapun rumah sakit yang menyediakan alat foto panoramik yaitu Rumah Sakit Ibnu Sina Gresik dan Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Data yang digunakan training dan testing sebanyak 20 foto panoramik gigi. Data yang sudah diperoleh selanjutnya didigitalisasi agar dapat digunakan dalam tahap preposessing. Tahap preposessing adalah tahap perbaikan citra agar citra digunakan dapat memberikan hasil yang maksimal. Tahap ekstraksi fitur yaitu mengambil fitur-fitur yang terpenting dalam citra, misalnya panjang mandibula foto panoramik gigi, panjang lengkungan, dan lainnya. Hasil dari ekstraksi fitur citra selanjutnya proses pembelajaran menggunakan algoritma backpropagation dan testing. Tujuan tahap testing yaitu untuk mengetahui akurasi dari hasil penelitian. 4. Dalam perulangan melakukan pengecekan jika posisi yang dituju bernilai 1 maka luas ditambah 1, titik x ditambah 1 dan titik y ditambah 1 5. Jika pengecekan tidak sesuai proses perulangan dilanjutkan sampai semua posisi sudah sampai akhir 6. Nilai centroid titik x adalah nilai titik x dibagi luas, dan nilai tengah titik y adalah nilai titik y dibagi luas Nilai centroid selanjutnya disimpan di dalam database dan tabel. Database yang digunakan peneliti, yaitu MySql. Terdapat empat tabel untuk digunakan pelatihan. Keempat tabel adalah nilai centroid dari gigi kaninus panoramic. Tabel pertama nilai centroid dari gigi kaninus maksila kiri. Tabel kedua nilai centroid dari gigi kaninus maksila kanan. Tabel ketiga nilai centroid dari gigi kaninus mandibla kiri. Tabel keempat nilai centroid dari gigi kaninus mandibla kanan. Hasil dari proses di atas, dalam Tabel 1. TABEL 1. NILAI CENTROID GIGI KANINUS MAKSILA KIRI V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Proses pelatihan membutuhkan nilai untuk dilatih dan ditraining agar dihasilkan bobot. Bobot tersebut digunakan untuk ujicoba dan testing data selanjutnya. Nilai yang digunakan untuk pelatihan adalah nilai centroid dari gigi kaninus panoramic. Dalam struktur jaringan Backpropaation peneliti menggunakan dua inputan, x1 dan x2. Dan hidden layer sebanyak empat node, z1 z2, z3, dan z4. Dan 1 node dalam layar output, seperti Gambar 3. z1 x1 titik_x titik_y y 114 162 0 135 167 0 119 117 0 111 157 0 114 204 1 108 177 1 75 168 0 106 176 1 101 126 0 137 206 1 z2 x2 z3 y z4 1 1 Gambar 3. Struktur Jaringan Backpropagation Sistem Ekstraksi fitur merupakan proses pengambilan nilai terpenting dari suatu citra. Nilai yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu nilai centroid gigi kaninus panoramic. Nilai centroid adalah nilai titik tengah dari citra. Untuk mendaptkan nilai tersebut dibutuhkan citra biner, selajutnya mencari luas dari citra, dan panjang ataupun lebar citra. Nilai centroid tersebut akan dijadikan inputan dalam proses pembelajaran atau pelatihan algoritma backpropagation. Algoritma mencari nilai centroid, yaitu: 1. Citra dalam kondisi biner (hitam putih), putih merupakan gigi, dan hitam adalah gusi. 2. Menghitung ukuran citra 3. Melakukan perulangan dari baris ke kolom Titik_x dan titik_y secara berturut-turut merupakan nilai inputan dalam pelatihan algoritma backpropagation, di mana titik_x merupakan x1 dan titik_y merupakan x2. Dan y merupakan output dari sistem, di mana nilai 1 mewakili jenis kelamin laki-laki, dan nilai 0 mewakili jenis kelamin perempuan. Dalam pelatihan backpropagation proses perbaikan nilai bobot menggunakan sigmoid biner. Artinya nilai hanya berkisar antara 0 sampai 1. Sehingga nilai inputan yang awalnya dalam skala ratusan harus dijadikan range 0 sampai 1, dengan dinormalisasi. Persamaan normalisasi, yaitu: new  (data  min) * (new _ max  new _ min)  new _ min (max  min) Hasil normalisasi seperti dalam Tabel 2. 123 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 TABEL 2. NILAI NORMALISASI CENTROID GIGI KANINUS KIRI ATAS x_1 x_2 y 0,629 0,506 0 0,968 0,562 0 0,710 0,000 0 0,581 0,449 0 0,629 0,978 1 0,532 0,674 1 0,000 0,573 0 0,500 0,663 1 0,419 0,101 0 1,000 1,000 1 Serangkaian proses normalisasi di atas dilakukan menggunakan Excel, hasil dari nilai tersebut selanjutnya di simpan ke dalam tabel database. Selanjutnya dilakukan pelatihan, tujuan dari pelatihan adalah mendapatkan nilai bobot yang baik sehingga didapatkan nilai ujicoba yang maksimal. Gambar 4. merupakan hasil pelatihan backpropagation, yaitu bobot. Proses training data nilai centroid gigi kaninus maksila kiri terdapat 4008 epoch, setiap epoch terdapat iterasi 10 kali karena data dalam tabel sebanyak 10 baris. Di mana v01, v02, v03, v04 merupakan bobot dari node bias atau 1 ke layar hidden node z1, node z2, node z3, dan node z4. Dan v11, v12, v13, v14 merupakan bobot dari node inputan 1 atau x1 ke layar hidden node z1, node z2, node z3, dan node z4. Dan v21, v22, v23, v24 merupakan bobot dari node inputan 2 atau x2 ke layar hidden node z1, node z2, node z3, dan node z4. Dan w01, w11, w21, w31, w41 merupakan nilai bobot dari hidden layer node 1, z 1, z2, z3, dan z4 ke layer output node y. Nilai bobot ini selanjutnya digunakan untuk ujicoba atau testing. PERBANDINGAN BINERISASI GIGI KANINUS MAKSILA KIRI No 1 Foto Edit Foto Murni 2 3 Dari hasil perbandingan hasil binerisasi citra murni lebih jelas giginya, akan tetapi peneliti menggunakan citra binerisasi yang sudah diedit terlebih dahulu dalam proses selanjutnya. Citra yang digunakan dalam sistem ini sebanyak 10 foto panoramic. Setiap satu foto panoramic dipotong sebanyak empat, yaitu gigi kaninus maksila kiri dan kanan, gigi kanunis mandibla kiri dan kanan. Dari 10 citra panoramic, maka akan dihasilkan 40 foto gigi kaninus, yaitu maksila kiri kanan, dan mandibla kiri kanan. Jika dibuat tabel ada 4 tabel nilai centroid dari gigi kaninus. Dan yang digunakan training atau pembelajaran yaitu tabel centroid gigi kaninus maksila kiri. Dari hasil training didapatkan bobot, dan bobot tersebut sebanyak 17 seperti dalam Gambar 4, dan disimpan dalam tabel bobot secara Gambar 5. Gambar 5. Tabel Bobot di Database Hasil dari training, yaitu bobot digunakan utuk ujicoba. Peneliti melakukan ujicoba sebanyak 4 kali, pada tabel kiri_atas, kanan_atas, kiri_bawah, kanan_bawah. Masing-masing nilai dari keempat tabel, yaitu: Gambar 6. Tabel Kiri_Atas Gambar 4. Nilai Bobot Hasil Pelatihan Backpropagation Hasil ujicoba data foto panoramic gigi kaninus yang sudah dijadikan binerisasi ada dua perbandingan. Yaitu hasil binerisasi citra data yang terlebih dahulu diolah dengan photoshop dan hasil binerisasi data murni citra berwarna potongan foto panoramic. Tabel 3. Perbandingan Binerisasi Gigi Kaninus Maksila kiri. Hasil testing sebanyak empat kali, secara berturut-turut ujicoba nilai centroid gigi kaninus maksila kiri, ujicoba nilai centroid gigi kaninus maksila kanan, ujicoba nilai centroid gigi kaninus mandibla kiri, ujicoba nilai centroid gigi kaninus mandibla kanan seperti Gambar berikut: TABEL 3. 124 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Gambar 7. Hasil Ujicoba Tabel Kiri_Atas Dari ujicoba yang pertama terdapat 10 baris data centroid gigi kaninus, dan ke-10 data tersebut benar semua, sehingga nilai akurasi 100%. Dari ujicoba yang kedua terdapat 10 baris data centroid gigi kaninus, dan ke10 data tersebut benar sebanyak 8, sehingga nilai akurasi 80%. Dari ujicoba yang ketiga terdapat 10 baris data centroid gigi kaninus, dan ke-10 data tersebut benar sebanyak 5, sehingga nilai akurasi 50%. Dari ujicoba yang keempat terdapat 10 baris data centroid gigi kaninus, dan ke-10 data tersebut benar sebanyak 9, sehingga nilai akurasi 90%. Nilai akurasi rata-rata dari sistem adalah (100+80+50+90)/4=80%. VI. KESIMPULAN Dari beberapa ujicoba dan persiapan pengolahan data, peneliti menyimpulkan: 1. Citra yang diolah terlebih dahulu di photoshop hasilnya lebih baik, karena citra binerisasinya lebih tepat. 2. Citra harus dilakukan perbaikan terlebih dahulu menggunakan filter median, agar nilai intensitas citra merata. 3. Dalam melakukan binerisasi, metode iterative dan adaptive thresholding lebih baik hasilnya. 4. Proses pencarian nilai centroid menggunakan citra biner hasil olahan photoshop. 5. Proses training dan ujicoba berhasil semua. Di mana nilai akurasi dari proses ujicoba 80% dalam menentukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. DAFTAR PUSTAKA [1] Chen, Hong. Automatic Forensic Identification Based on Dental Radiographs. Departement of Computers Science and Engineering. 2007. [2] Fahmy Gamal, Diaa Nassar. Towards an Automated Dental Identification (ADIS). ICBA, 789-796. 2004. [3] Itjingningsih W.H., Drg. Anatomi Gigi. Jakarta. 1991. [4] Ito, Koichi. A Dental Radiograph Recognition System Using Phase-Only Correlation for Human Identification. IEICE TRANS. Vol. E91-A, 298-305. 2008. [5] Jain, Anil K. Dental Biometrics: Human Identification Using Dental Radiographs. AVBPA, UK, 429-437. 2003. [6] Jain, Anil K., Hong Chen. Matching of Dental X-Ray Images for Human Identification. PERGAMON. Vol.37, 1519-1532. 2004. [7] Kasni. Evaluasi Foramen Mental Berdasarkan Jenis Kelamin Ditinjau sara adiografi Panoramik. Fakultas Kedokteran Ggi Universitas Hasanuddin Makassar, 2014. [8] Lukman, Djohansyah. Buku Ajar Jilid 2 Ilmu Kedokteran Gigi Forensik. Sagung Seto, Jakarta. 2006. [9] Nassar, Diaa Eldin M. A Neural Network System for Matching dental Radiographs. Elsevier, Vol.40, 6579. 2007. [10] Nassar, Diaa Eldin M. A Prototype Automatic Dental Identification System (ADIS). Morgantown, West Virginia. Departement of Computers Science and Electrical Engineering. 2001. [11] Nehenia, Benindra. Perkiraan Usia Berdasarkan Metode TCI dan Studi Analisis Histologis Ruang Pulpa pada Usia 9-21 Tahun. Progam Megister Ilmu Kedokteran Gigi Dasar Jakarta, 2012. [12] Paramaputri, Made Ayu Dani. Pengaruh Gigi Impaksi Molar Ketiga Rahag Bawah terhadap Ketebalan Angulus Mandibula Berdasarkan Jenis Kelamin. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, 2014. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih peneliti sampaikan kepada: Universitas Islam Lamongan, Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat Unisla, serta Rumah Sakit Umum Ibnu Sina Gresik. 125 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 APLIKASI SISTEM KONTROL PI PADA MESIN PENDINGIN TIPE AIR BLAST SEBAGAI KONTROL EKSPANSI OTOMATIS (APPLICATION PICONTROL SYSTEM ON REFRIGERATOR PLATE TOUCH TYPE FOR AUTOMATIC EXPANSION VALVE CONTROL) Bayu Rudiyanto#1, Budi Hariono#2, Abi Bakri#3 Jurusan Teknik , Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip PO Box 164 Jember #2,3 Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jalan Mastrip PO Box 164 Jember #1 Abstract Salah satu cara untuk melakukan penghematan energi dalam proses pembekuan, adalah dengan cara melakukan proses pembekuan secara bertahap menggunakan mesin pendingin tipe lempeng sentuh dengan melakukan pengontrolan temperatur secara otomatis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan proses perancangan dan pembuatan kontrol katup ekspansi otomatis dengan menggunakan sistem kontrol PI, yang selanjutnya akan diaplikasikan pada mesin pendingin lempeng sentuh untuk melakukan proses pengontrolan temperatur pembekuan. Sensor temperatur LM35 digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan pembacaan temperatur pada ruang evaporator, yang mana dari hasil pembacaan sensor tersebut digunakan sebagai sinyal masukan untuk sistem kontrol PI. Berdasarkan hasil pengujian sensor LM35 mempunya sensitivitas pembacaan yang hampir sesuai dengan data sheet yaitu sebesar 0,009335 V/ oC. Unjuk kerja sistem kontrol PI pada penelitian ini didapatkan respon yang baik pada nilai Kp = 20 dan Ki = 10, dimana dengan nilai berikut untuk mencapai temperatur set point waktu yang dibutuhkan selama 251 detik dengan nilai maximum overshoot lebih rendah yaitu -2,4oC. Hasil pendingan yang didapatkan pada penelitian ini dengan menggunakan sistem kontrol katup ekspansi otomatis didapat proses pendinginan yang lebih cepat dan energi yang dibutuhkan jauh lebih hemat yaitu sebesar 0,265 kWh. Keyword- Kontrol PI, Sensor LM35, Katup Ekspansi Otomatis, Mesin Pendingin I. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi mesin pendingin demikian pesat sejalan dengan tuntutan peningkatan kualitas kehidupan manusia, yang salah satunya ditandai dengan kebutuhan mesin pendingin untuk keperluan pembekuan yang digunakan untuk proses pengawetan berbagai bahan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Hidayat (2014) menyatakan, iklim tropis yang terjadi seperti di Indonesia berpengaruh secara signifikan terhadap keawetan paska panen dari hasil pertanian seperti buahbuahan, dan sayur-mayur dan juga dalam perikanan. Demikian besarnya ketergantungan pada mesin pendingin tersebut kebutuhan akan energi listrik untuk penggerak mesin pendingin cukup tinggi. Upaya untuk melakukan penghematan pada energi listrik di berbagai sektor perlu dilakukan guna mendukung kepedulian lingkungan seperti global warming, penghematan biaya energi dan upaya program pemerintah untuk melakukan pemerataan penggunaan energi listrik di berbagai daerah yang terdapat di Indonesia. Telah banyak peneliti yang melakukan penelitian tentang penghematan energi pada mesin pendingin kompresi uap, seperti yang dilakukan Kurniawan (2009) mengkaji tentang energi dan eksergi pembekuan daging sapi menggunakan mesin pendingin kompresi uap tipe lempeng sentuh dengan suhu pembekuan bertingkat. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan hasil efisiensi energi pendinginan sebesar 0.17% dengan total energi input 2.45 kWh, serta efisiensi eksergi sebesar 56.93%. Hasil 126 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 tersebut menurut Kurniawan (2009) masih kurang optimal, sehingga dari penelitian tersebut disarankan untuk dikembangkan sistem kontrol temperatur yang dapat mengontrol proses pendinginan sehingga akan didapatkan pendinginan yang optimal. Selain itu juga Kamal (2008) dalam penelitiannya tentang pemodelan sistem pembekuan dengan suhu media bertahap menggunakan mesin pendingin sistem kompresi uap didapatkan hasil pembekuan yang kurang optimal, salah satu penyebabnya adalah proses pengontrolan temperatur ruang evaporator dilakukan secara manual, sehingga hal tersebut menyebabkan temperatur pendinginan pada evaporator kurang terkontrol secara optimal. Oleh karena itu dalam penelitiannya tersebut disarankan untuk dikembangkan sistem pengendali temperatur otomatis untuk mengatur temperatur evaporator dengan menggunakan solenoid valve agar didapatkan efisiensi pembekuan lebih optimal. Melihat dari berbagai saran tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan pembuatan kontrol yang dapat mengatur temperatur pendinginan, salah satunya yaitu dengan membuat pengontrolan pada komponen katup ekspansi agar dapat bekerja secara otomatis.Katup ekspansi merupakan komponen mesin pendingin yang berfungsi untuk menurunkan tekanan dan mengontrolaliran refrigerant yang masuk ke evaporator. Pengaturan penurunan tekanan yang dilakukan oleh katup ekspansi dapat membantu kinerja kompresor lebih ringan, sehingga dengan demikian konsumsi energi listrik yang dibutuhkan oleh kompresor juga akan menurun. Untuk itu apabila ingin melakukan penghematan energi listrik yang dikonsumsi oleh mesin pendingin, perlu adanya katup ekspansi yang dapat bekerja secara otomatis agar proses penurunan tekanan dapat lebih akurat dengan tetap memperhatikan hasil pendinginan yang terjadi di ruang evaporator. Proses pengontrolan katup ekspansi otomatis dapat dilakukan dengan menambahkan solenoid valve pada komponen mesin pendingin, yang selanjutnya akan dikontrol secara elektrik, yaitu dengan memanfaatkan pengontrolan temperatur LM35 yang dikontrol dengan sistem kontrol PI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang dan membuat sistem kontrol katup ekspansi otomatis yang akan diaplikasikan pada mesin pendingin tipe lempeng sentuh untuk mendapatkan proses pendinginan yang lebih hemat energi dan hasil pendinginannya lebih cepat dan kualitas pendinginannya lebih baik dari pada penelitian terdahulu. penelitian ini meliputi: aplikasi Express PCB, aplikasi Proteus 7, dan peralatan kerja. Sedangkan alat yang digunakan untuk proses pengujian meliputi: satu unit mesin pendingin lempeng sentuh, Avometer digital tipe SANWA CD800a, dan Thermocouple, kWh meter, dan Laptop. Sistem yang akan dibuat adalah suatu sistem pengendali katup ekspansi otomatis yang digunakan untuk mengatur temperatur pada mesin pendingin lempeng sentuh agar tetap stabil sesuai dengan suhu pendinginan yang telah ditentukan. Proses pengendalian katup ekspansi otomatis dilakukan dengan menabahkan solenoid valve pada pipa masukan refrigeran sebelum katup ekspansi. Kegunaan dari solenoid valve tersebut adalah untuk mengendalikan aliran refrigeran yang masuk pada ruang evaporator. Proses pengendalian aliran tersebut memerlukan sebuah kontrol untuk menghidupkan dan mematikan solenoid valve, dimana kontrol yang digunakan yaitu kontrol PI analog dengan menggunakan op-amp. Output dari kontrol PI akan dihubungkan dengan kaki basis pada transistor yang akan menghidupkan relay. Relay ini berfungsi sebagai driver untuk memberikan suplai tegangan pada katup solenoid. Sensor LM35 digunakan sebagai sensor temperatur yang akan memberikan suatu besaran tegangan dari besarnya temperatur pada ruang pendingin mesin pendingin lempeng sentuh. Sensor LM35 ini digunakan untuk umpan balik masukan bagi rangkaian error detector pada kontrol PI. Berikut adalah diagram blok dari pengendali katup solenoid dengan kontrol PI. Gambar 1.Blok Diagram Pengendali Katup Solenoid Perancangan Kontrol PI Bagian terpenting dalam penelitian ini adalah proses pembuatan kontrolPI. Kontrol PI ini akan memberikan aksi kontrol terhadap plant yaitu katup solenoid AC 7 watt 220 volt. Kontrol yang digunakan adalah kontrol PI analog dengan menggunakan IC Op-amp . Dimana IC Opamp yang digunakan adalah LM741 yang akan didesain membentuk kontrol proporsional, dan integral. Berikut desain dari kontrol PI analog akan dibuat: II. METODOLOGI Penelitian diawali dengan melakukan proses studi kepustakaan dan melakukan perancangan sistem kontrol ekspansi otomatis yang meliputi proses percangan kontrol PI (Proporsional Integral), dan perancangan kontrol driver katup solenoid. Peralatan yang digunakan dalam 127 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Gambar 4. Rangkaian Kontroler PI Gambar 2. Desain Rangkaian PI Analog Bagian pertama dari kontrol PI adalah rangkaian error detector yang merupakan rangkaian difference amplifier. Rangkaian error detector tersebut berfungsi untuk menghitung sinyal error antara pembacaan sensor LM35 dengan nilai set point tegangan yang ditentukan. Gambar 3. Rangkaian Error Detector Pada rangkaian error detector diatas, op-amp akan mendapatkan dua input yaitu set point (SP) dan nilai aktual atau process variable (PV) sensor temperatur LM35. Nilai set point (SP) didapatkan dari rangkaian pembagi tegangan yang menggunakan potensiometer 100 kΩ dengan suplai tegangan -5 volt. Sedangkan nilai aktual atau process variable (PV) didapatkan dari output tegangan dari sensor LM35. Untuk menghitung output pada rangkaian diatas, maka rangkaian tersebut dapat dianggap sebagai rangkaian inverting dan rangkaian non inverting amplifier. Dengan menjumlahkan tegangan output dari rangkaian invertingdan rangkaiannon inverting amplifier akan didapatkan output dari rangkaian. =− � �� + � �� + � � +R Rangkaian di atas akan mendapatkan tegangan input dari sinyal error yang berasal dari rangkaian error detector. Op-amp U4 adalah rangkaian inverting summer yang berfungsi untuk menjumlahkan nilai output dari masing-masing kontrol proporsional, integral dan membalikkan tegangan output dari masing-masing kontrol, sehingga mendapatkan output secara keseluruhan yaitu: = �� + �� ∫ �+ (3.2) Dimana: � �� = ,proposional band (gain) � �� = ,integration constant � .�� =offset integrator initial charge Driver Katup Solenoid Rangkaian driver berfungsi untuk mengaktifkan katup solenoid dengan memberikan catu daya Ac 220V berdasarkan keluaran dari rangkaian kontrol. Pada rangkaian driver katup solenoid digunakan relay 12 volt yang berfungsi sebagai saklar magnetik. Relay ini akan bekerja jika dihubungkan pada sumber catu daya sebesar 12 volt DC. (2. ) Dengan memberikan nilai yang sama pada masing-masing resistor yaitu Rf = Ri = R1 = R2 = 330 Ω, maka nilai tegangan output akan menjadi Vout = Vsp- Vpv. Bagian selanjutnya dari kontrol ini adalah rangkaian proporsional integral (PI). Rangkaian ini berfungsi untuk mengolah sinyal error yang dihasilkan dari perbedaan nilai set point dengan nilai process variable (PV) sampai error bernilai nol. Berikut gambar desain dari rangkaian PI yang akan dibuat: Gambar 5. Perencanaan Rangkaian Driver Katup Solenoid VII. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Unjuk Kerja Kontrol PI Kontrol PI merupakan sistem kontrol gabungan dari kontrol proporsional dan sistem kontrol integral, dimana kedua sistem kontrol tersebut disatukan untuk mengontrol sebuah plant (katup solenoid). Kinerja yang baik dari sebuah kontrol PI dapat ditunjukkan dengan cara bagaimana sistem kontrol tersebut dapat mengatur plant sesuai nilai set point dengan respons time yang lebih cepat 128 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 dan mampu mempertahankan posisi planttetap stabil pada nilai set point yang telah ditentukan. Sehingga dengan begitu proses pendinginan pada suatu bahan pangan akan lebih cepat dan hasil pendinginnya mempunyai kualitas yang baik. Kinerja kontrol PI akan didapatkan hasil yang maksimal apabila didapatkan konstanta yang tepat pada masing-masing sistem kontrol yaitu konstanta proporsional (Kp) dan konstanta integral (Ki). Nilai konstanta tersebut pada sistem kontrol PI perlu diatur, karena dengan mengatur nilai konstanta pada masingmasing sistem kontrol yaitu sistem kontrol proporsional dan sistem kontrol integral akan didapatkan hasil pengontrolan yang baik, yaitu responst time semakin cepat, temperatur pendinginan lebih stabil, dan nilai error overshoot dapat dihilangkan (Bashori, 2013). Proses penentuan nilai konstanta pada sistem kontrol PI pada penelitian ini diperoleh berdasarkan proses perhitungan sesuai persamaan 3.3 dan 3.4 dengan menggunakan metode Trial and Error. Metode Trial and Error tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai konstanta yang tepat, karena melihat banyaknya nilai konstanta yang dapat diatur pada sistem kontrol yang telah dibuat, sertaadanya ciri-ciri dari masing-masing sistem kontrol dalam hal ini adalah sistem kontrol proporsional dan sistem kontrol integral yang perlu dilakukan pertimbangan. Proses penentuan konstanta proporsional dan integral pada sistem kontrol PI terdiri dari dua langkah percobaan, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mencoba kontrol proporsional terlebih dahulu, kemudian proses kedua baru dilakukan pengujian dengan menggunakan kontrolproporsional dan integral. Tujuan proses pengujian unjuk kerja kontrol PI dengan melalui dua tahapan tersebut untuk mengetahui bagaimana respons pengontrolan yang dilakukan oleh kontrol proporsional sendiri dibandingkan respons pengontrolan yang dilakukan oleh kontrol proporsional integral. Tabel 2 dan tabel3 berikut menunjukkan bagaimana karakteristik respons sistem yang dihasilkan dari kedua proses pengujian. Tabel 3. Karakteristik Respons Sistem Hasil Pengujian Pada Kontrol Proporsional Integral Berdasarkan tabel 2 dan tabel 3 dapat diketahui bagaimana karakteristik hasil pengujian kinerja sistem kontrol. Berdasarkan hasil tersebut dengan menggunakan sistem kontrol proporsional integral (PI) waktu yang dibutuhkan untuk mencapai temperatur set point(Rise Time) lebih cepat dibandingkan hanya menggunakan sistem kontrol proporsional. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana pada kontrol proporsional waktu tercepat sistem untuk mencapai temperatur set point adalah selama 370 detik pada nilai Kp = 10, dan 20. Tetapi setelah nilai Kp tersebut dipadukan dengan memasukan nilai Ki ternyata waktu untuk mencapai set point relatif lebih cepat, yaitu pada Kp= 10 dan Ki = 25 waktu yang dibutuhkan untuk mencapai set point adalah selama 312 detik, sedangkan pada nilai Kp = 20 dan Ki = 10 waktu yang dibutuhkan selama 251 detik. Gambar grafik 9 berikut menunjukkan bagaimana respons sistem yang terjadi ketika menggunakan sistem kontrol PI. Tabel2.Karakteristik Respons Sistem Hasil Pengujian Pada Kontrol Proporsional Gambar 9. Grafik Perbandingan Respons Sistem Antara Kontrol Proporsional dan Kontrol Proporsional Integral 129 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pada gambar 9 diatas memperlihatkan respons sistem dimana dengan menggunakan sistem kontrol PI dapat mempercepat waktu respons untuk mencapai temperatur set point. Respons sistem berdasarkan gambar grafik tersebut merupakan hasil pengujian sistem kontrol dengan nilai Kp = 20 dan nilai Ki = 10. Nilai Kp tersebut digunakan karena berdasarkan hasil pengujian pada sistem kontrol proporsional sesuai tabel 2rise time yang digunakan lebih cepat dengan nilai maximum overshoot lebih rendah. Sedangkan pada kontrol proporsional integral diatur nilai Ki = 10, karena setelah dilakukan percobaan dengan nilai Kp = 20 dan dilakukan penambahan Ki = 10 rise time berdasarkan tabel 3 dapat lebih dipercepat dan maximum overshoot dapat diperkecil sampai -2,4oC. Respons sistem sesuai gambar grafik diatas terlihat bagaimana proses penurunan temperatur ruang pendingin yang terjadi. Temperatur pendinginan pada ruang pendingin tidak dapat dipertahankan sesuai dengan temperatur set point meskipun telah menggunakan sistem kontrol PI. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana setelah temperatur pendinginan telah tercapai sesuai batas temperatur yang diinginkan, temperatur pada mesin pendingin masih mengalami penurunan kemudian akan berangsur-angsur naik sampai detik tertentu dan bahkan akan melebihi batas temperatur set point. Fenomena proses penurunan temperatur pendinginan sampai dibawah temperatur set point yang terjadi pada mesin lempeng sentuh tersebutdisebabkan karena proses pengontrolan yang dilakukan oleh plant hanya mengatur laju aliran refrigeran yang masuk keruang evaporator, sedangkan mesin pendingin masih dalam keadaan beroperasi ( kompresor dalam keadaan menyala). Sehingga hal tersebut akan menyebabkan temperatur pendinginan tetap mengalami penurunan karena masih adanya aliran refrigeran pada ruang evaporator sebagai akibat tetap beroperasinya mesin pendingin meskipun plant sudah bekerja, dan ketika refrigeran pada ruang evaporator telah habis diserap oleh kompresor maka ruang evaporator akan mengalami kenaikan yang disebabkan karena temperatur lingkungan lebih tinggi dari temperatur evaporator sedang bahan isolasi dari ruang pendingin tidak mampu mempertahankan temperatur ruangan evaporator tersebut. Unjuk Kerja Kontrol Katup Ekspansi Otomatis Pada Mesin Pendingin Lempeng Sentuh Kualitas penggunaan kontrol katup ekspansi otomatis pada mesin pendingin lempeng sentuh, perlu dilakukan pengujian guna menunjukkan kinerja yang dapat dicapai. Dimana proses pengujian unjuk kerja katup dilakukan dengan cara membandingkan penggunaan energi dan hasil pendinginan tanpa menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis dengan menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis. Menurut KBBI, energi merupakan suatu besaran yang menyatakan kemampuan kerja dari sebuah sistem untuk melakukan berbagai macam proses. Pada mesin pendingin sistem lempeng sentuh besarnya energi ditunjukkan berdasar besarnya daya listrik yang digunakan untuk melakukan proses pendingin selama batas waktu tertentu . Pada tabel 4 berikut ditunjukkan bagaimana pengaruh penggunaan kontrol katup ekspansi otomatis terhadap energi yang digunakan: Tabel 4 Pengaruh Penggunaan Kontrol Katup Ekspansi Otomatis Terhadap Penggunaan Energi. Dari tabel 4 hasil pengujian diatas dapat diketahui kebutuhan energi dalam proses pendinginan tanpa menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis lebih hemat dibandingkan dengan menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis. Hal tersebut terjadi karena ketika tanpa menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis mesin dimatikan langsung sehingga kompresor tidak bekerja, sedangkan ketika menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis yang dikontrol hanya aliran refrigeran yang masuk pada evaporator agar tidak mengalir ketika temperatur pendingin sudah tercapai sesuai temperatur set point, dan kompresor masih tetap beroperasi. Pada saat kompresor pada mesin pendingin masih beroperasi dan katup ekspansi sudah dalam keadaan menutup maka refrigeran pada ruang evaporator akan diisap oleh kompresor. Proses penghisapan refrigeran oleh kompresor akan diikuti dengan penurunan tekanan, maka hal tersebut berakibat terhadap kinerja kompresor akan bertambah besar apabila katup ekspansi sudah dalam keadaan terbuka. Disebabkan karena tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan refrigeran yang menuju ke evaporator akan lebih besar. Proses pendinginan merupakan proses penurunan temperatur bahan atau material sesuai batasan tertentu (Rohananah, 2002). Tujuan dari proses pendinginan tersebut untuk mempertahankan kualitas kandungan gizi yang terdapat di dalam sebuah bahan pangan. Gambar 10 berikut menunjukkan bagaimana grafik proses pendinginan ketika menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis. 130 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 pendingin lempeng sentuh mengakibatkan proses pendinginan bahan pangan lebih cepat karena temperatur pendinginan lebih stabil serta energi yang digunakan jauh lebih hemat dibandingkan tanpa menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis. Gambar10.Grafik Hasil Pendinginan Dengan menggunakan Kontrol Ekspansi Katup Otomatis Dan Tanpa Kontrol Ekspansi Katup Otomatis UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi melalui Penelitian Hibah Bersaing Usulan Tahun 2015. DAFTAR PUSTAKA Gambar 10 diatas menunjukkan proses pendinginan air sebanyak 570 ml pada mesin pendingin lempeng sentuh. Proses pendinginan air pada mesin pendingin tersebut dilakukan untuk mengetahui bagaimana hasil pendinginan yang dapat dilakukan oleh mesin pendingin lempeng sentuh ketika dioperasikan dengan menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis dan tanpa menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis. Dari hasil tersebut dapat diperlihatkan bahwa dengan menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis hasil pendinginan air lebih cepat dibandingkan tanpa menggunakan kontrol ekspansi otomatis. Besarnya nilai error atau nilai selisih hasil pendinginan tanpa menggunakan kontrol dan dengan menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis tersebut rata-rata adalah sebesar 66,55%, hasil berikut dapat dilihat sesuai data lampiran 24. Hasil tersebut menunjukkan bagaimana kualitas pendinginan yang dapat dilakukan oleh mesin pendingin lempeng sentuh ketika menggunakan sistem kontrol ekspansi otomatis yaitu hasil pendinginan dapat lebih cepat terjadi dibandingkan tanpa menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis. Perbandingan hasil pendinginan yang sangat jauh tersebut terjadi karena ketika menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis temperatur evaporator dapat lebih lama dipertahankan pada posisi set point sehingga pendinginan lebih stabil dibandingkan dengan tanpa menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis. IV. KESIMPULAN Dari hasil pengujian yang telah dilakukan dalam penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan: 1. Hasil perancangan dan pembuatan kontrol katup ekspansi otomatis dengan menggunakan metode kontrol PI dengan nilai Kp = 20 dan Ki = 10 didapatkan nilai maximum overshoot yang lebih rendah yaitu -2,4oC, dan rise time selama 251 detik. 2. Penggunaan kontrol katup ekspansi otomatis dengan mengguna metode kontrol PI pada mesin Bashori, Z.,Sumardi, dan I. Setiawan. 2013.”Pengendali Temperatur Pada Plant Electric Furnace Berbasis Sensor Thermocouple Dengan Metode Kontrol PID”. JurnalTransient, Vol 2, No. 2. ISSN: 23029927,2. Budi, W., Wahyudi, dan I. Setiawan. 2011. Teknik Kendali Hibrid Pi Fuzzy Untuk Pengendalian Suhu Zat Cair. Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. Hamzah, M., S. Budi, dan Sumardi. 2014. “Perancangan Plant Alat Pembuat Sirup Buah Otomatis dengan Kontrol PI Sebagai Pengendali Suhu Cairan Berbasis Atmega16”. Jurnal Transient, Vol 3, No.4. ISSN : 2302-9927, 665. Hidayta, T. 2014. Analisis Karakteristik Refrigeran Terhadap Konsumsi Energi Listrik Pada Prototipe Sistem Pembeku Air Menggunakan R-134a dan R-290/R-600a. Sekolah Tinggi Teknologi Bina Tunggal (STTBT) BekasiJawa Barat. Kamal, D.M. 2008. Pemodelan Sistem Pembekuana dengan Suhu Media Pembeku Bertahap pada Proses Pembekuan Daging Sapi Segar Menggunakan Metode Eksergi. Thesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kurniawa,.D. 2008. Regresi Linier. R: A language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. ISBN 3900051-07-0, URL http://www.R-project.org Swain, T.K. 2014. Analog Febrication Of PID Controller. Thesis. Department Of Electrical Engineering, National Institute Of Technology, Rourkela. 131 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 KAJIAN ENERGI MESIN PEMBEKU LEMPENG SENTUH DENGAN PENURUNAN SUHU MEDIA BERTAHAP Budi Hariono#1, Abi Bakri#2, Bayu Rudiyanto##3 # Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember # Jurusan Teknik, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember 1budi_hariono@yahoo.com @bayu.poltek02@gmail.com Abstract Pembekuan yang dilakukan pada saat ini merupakan pembekuan yang menggunakan suhu tetap mulai dari awal proses pembekuan bahan pangan sampai dalam kondisi beku. Penggunaan energi pada pembekuan konvensional yang menggunakan suhu tetap, memiliki konsumsi energi yang kurang efisien karena pada setiap fase penurunan suhu bahan memerlukan energi yang berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan mesin pembeku lempeng sentuh dengan sistem penurunan suhu media secara bertahap namun hanya menggunakan satu buah evaporator tanpa conveyor untuk menciptakan penurunan suhu media secara bertahap. Berdasarkan pengujian, nilai COP mesin pembeku evaporator tunggal menghasilkan nilai sebesar 4,13 sampai 4,39. Sedangkan kinerja mesin pembeku menurut nilai laju pembekuannya tergolong dalam pembekuan cepat yaitu sebesar 0,98 sampai 1,43 cm/jam. Perlakuan dengan suhu media bertahap berada pada kondisi paling efisien dalam penggunaan energinya daripada tanpa penurunan suhu bertahap. Pembekuan dengan metode bertahap mampu memberikan nilai penghematan energi listrik sebesar 19,22 sampai 24,41 % dibandingkan pembekuan konvensional biasa. Perlakuan suhu media bertahap terbaik terjadi pada perlakuan pertama yaitu pada suhu media -5 °C, -15 °C dan -20 °C dengan nilai COP sebesar 4,35, laju pembekuan 1,43 cm/jam dan konsumsi energi listrik sebesar 0,6233 kWh. Secara ratarata, kinerja dan penggunaan energi listriknya mampu lebih baik dan lebih hemat energi daripada mesin pembeku multi evaporator Chusni. Rata-rata COP sebesar 4,30 dan laju pembekuannya sebesar 1,10 cm/jam dan mampu lebih menghemat penggunaan energi listrik sebesar 68,05 % daripada mesin pembeku multi evaporator Chusni. Keyword-Mesin Pembeku, Lempeng Sentuh, Pembekuan Bertahap, Efisien I. PENDAHULUAN Pembekuan merupakan metode yang sangat baikuntuk pengawetan sebuah produk bahan pangan. Proses pembekuan tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap rasa, warna dan kadar jus buah setelah pemasakan, tetapi penyimpanan beku dapatmengakibatkan penurunan daya terima bau dan rasa. Nilai nutrisi daging secara relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuandan penyimpanan bekudalam jangka waktu terbatas (Soeparno,1994). Pembekuan yang dilakukan pada saat ini merupakan pembekuan yang menggunakan suhu tetap mulai dari awal proses pembekuan bahan pangan sampai berada dalam kondisi beku. Penggunaan energi pada pembekuan konvensional yang menggunakan suhu tetap, memiliki konsumsi energi yang kurang efisien karena pada setiap fase penurunan suhu bahan memerlukan energi yang berbedabedamenurutBruttiniet al(2001)danTambunanetal(2003).Tambunanet al(2003)menyatakanbahwakehilangan eksergi rata-rata tahappre-cooling sebesar 22,9 kJ/kg, tahapfreezing 24,8 kJ/kg, dantahapsub-cooling 5,43 kJ/kg atau secara presentase kehilangan eksergi tahapprecoolingsebesar43,1%dari total kehilangan eksergi, dan tahapfreezing 46,7 %, serta 10,2 % pada tahapsubcooling. Sehingga perlu adanya sebuah metode pembekuan yang lebih efisien dalam penggunaan energi pada setiap fase penurunan suhu bahannya. Penggunaanconveyor pada mesin pembeku lempeng sentuh Kamal (2008) dan Chusni (2009) mengakibatkan 132 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 peningkatan suhu media pembeku saat bahan pangan digerakkan untuk menghasilkan pembekuan dengan suhu media bertahap. Penggunaan conveyor juga menambah daya konsumsi energi listrik karena penggunaan conveyor menggunakan tambahan motor listrik untuk menggerakkan bahan pangan. Disain ruang pembeku dan juga pintu masukan bahan produk yang tidak terisolasi secara baik juga mengakibatkan masuknya panas dari luar menuju ruang pembeku. Berdasarkan hal tersebut, peneliti mencoba untuk mengembangkan mesin pembeku lempeng sentuh dengan metode yang sama, namun hanya menggunakan satu buah evaporator dan tidak menggunakan conveyor untuk menciptakan penurunan suhu media secara bertahap, melainkan menggunaan pengaturan suhu media melalui kontrol PI yang dihubungkan dengan jalur masuk 3 katup ekspansi melalui selenoid valve sebelum menuju evaporator. Tujuan pembuatan dan penelitian mesin pembeku lempeng sentuh evaporator tunggal, bertujuan untuk menciptakan dan mengembangkan mesin pembeku lempeng sentuh dengan penurunan suhu media secara bertahap yang lebih hemat energi daripada penelitian terdahulu. Sehingga, penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai rancangan mesin pembeku lempeng sentuh evaporator tunggal dengan penurunan suhu media bertahap dalam menghemat penggunaan energi listrik untuk mengawetkan suatu bahan pangan. II. METODOLOGI Penelitian diawali dengan melakukan studi kepustakaan dan menghitung besar beban pendinginan yang terdiri dari beban akibat konveksi dan konduksi pada box pembeku dan beban produk. Selanjutnya hasil perhitungan akan dijadikan tolak ukur kelayakan penggunaan kompresor dan komponen lainnya, sebelum dilakukan perakitan dan manufaktur mesin pembeku.Mesin pembeku yang digunakan merupakan mesin pendingin kompresi uap konvensional yang dimodifikasi menjadi mesin pembeku lempeng sentuh dengan suhu media bertahap. Peralatan yang digunakan untuk memodifikasi mesin pendingin kompresi uap konvensional menjadi mesin pembeku lempeng sentuh meliputi: Las Asitelin+Pakan las perak, Kunci pas ukuran 10 dan 12, Kunci inggris, Pemotong pipa tembaga, Bending pipa tembaga, Fluring Tools, Tang cucut, Penggaris dan Bolpoin. Sedangkan alat yang dibutuhkan untuk melakukan pengujian meliputi: Injektor rerigeran, Pompa vakum, 2 buah Thermokopel tipe K, kWh meter, Timbangan digital, Stopwatch dan Laptop. Komponenkomponen yang digunakan untuk bahan manufaktur terdiri dari komponen-komponen yang dipilih berdasarkan perhitungan beban pendinginan serta penyesuaian dengan ketersediaan komponen yang sebagian besar merupakan komponen dari mesin pendingin kompresi uap konvensional dan bahan yang digunakan sebagai bahan uji yaitu refrigeran R-134a dan daging sapi seberat 40 gram dengan ketebalan 1cm. Seluruh parameter kondisi bahan pangan dan kombinasi penurunan suhu media pembeku didekatkan pada penelitian Chusni tahun 2009, sehingga akan didapatkan hasil perbandingan data kinerja mesin pembeku lempeng sentuh berupa nilai COP dan laju pembekuan serta nilai penggunaan energi listrik yang dihasilkan oleh mesin pembeku hasil modifikasi dari mesin pendingin kompresi uap konvensional dengan mesin pembeku lempeng sentuh yang telah diuji oleh Chusni tahun 2009 yang berupa mesin pembeku lempeng sentuh multi evaporator. Berikut tabel perlakuan yang digunakan pada penelitian dengan mengacu pada skenario yang digunakan Chusni tahun 2009. Penurunan suhu media pembekuan secara bertahap dilakukan dengan menempatkan tiga katup ekspansi termostatik yang digunakan secara bergantian sesuai dengan kebutuhan pengkondisian suhu pada media pembeku yang berupa plat tembaga. Penggunaan bergantian katup ekspansi dilakukan dengan bantuan kontrol PI yang sudah diatur sesuai dengan set point yang diinginkan. Langkah awal, mesin pembeku dijalankan sampai dengan suhu media pembeku pada tahap I sudah mulai konstan, lalu bahan pangan yang akan dibekukan diletakkan dan disentuhkan secara langsung pada plat tembaga yang telah tertempel dengan evaporator. Pergantian penggunaan katup ekspansi dilakukan berdasarkan pada ketercapaian suhu bahan pangan. Penggunaan katup ekspansi A digunakan sampai suhu bahan pangan tengah berada pada suhu <0 C. Selanjutnya katup ekspansi B bekerja sampai suhu bahan pangan atas <-5 C dan selanjutnya katup ekspansi C bekerja selama 60 menit sampai suhu bahan pangan membeku dibawah 5 C. Pencatatan seluruh pengukuran dilakukan selama 5 menit sekali sampai bahan mengalami pembekuan. Berikut gambar 1. merupakan gambar model rancangan dari mesin pembeku lempeng sentuh dengan penurunan suhu media secara bertahap menggunakan evaporator tunggal yang dikontrol oleh kontrol PI. Gambar 1. Model rancangan mesin pembeku lempeng sentuh evaporatortunggal 133 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 III. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Profil Suhu Bahan dan Media Pembeku Terhadap Waktu Berdasarkan hasil pengujian pada 7 perlakuan dengan 3 pengulangan yang dilakukan pada mesin pembeku lempeng sentuh penurunan suhu bertahap dengan menggunakan evaporator tunggal, didapatkan hasil profil penurunan suhu bahan yang dibekukan dari kondisi awal suhu bahan sampai berada pada kondisi dibawah proses pembekuan bahan. Penentuan penganalisaan data profil suhu bahan dari 3 kali pengulangan pada setiap perlakuannya ditentukan dari hasil data paling baik dari ketiga pengulangan tersebut. Berikut profil penurunan suhu bahan pada hasil pengulangan data terbaik pada perlakuan pembekuan bertahap yang terjadi pada perlakuan 1 dengan suhu media -5, -15 dan -20 °C dan profil suhu bahan pada perlakuan tidak bertahap pada perlakuan 7. Gambar 2. Grafik profil penurunan suhu bahan perlakuan 1 (-5 °C, -15 °C, -20 °C) yang dilakukan dengan metode pembekuan bertahap Gambar 3. Grafik profil penurunan suhu bahan perlakuan 7 (-20 °C, -20 °C, -20 °C) yang dilakukan dengan metode tanpa pembekuan bertahap Terlihat pada gambar 2dengan metode pembekuan bertahap memperlihatkan adanya penurunan suhu bahan yang bertahap dan membentuk fase anak tangga, sedangkan pada gambar 3dengan metode pembekuan tanpa bertahap, menghasilkan profil suhu bahan yang cenderung terus turun suhunya dari kondisi suhu awal sampai berada dibawah proses pembekuan.Penurunan suhu bahan yang bertingkat ini diakibatkan adanya perbedaan suhu media pada setiap tahapan penurunan suhu bahan sampai mencapai suhu dibawah pembekuan bahan. Penurunan bertingkat yang membentuk fase anak tangga menunjukkan adanya pelepasan nilai kalor bahan secara bertahap pada setiap fasenya, mulai dari pelepasan kalor menuju lempeng secara sensibel pada tahap pertama yaitu tahap pendinginan, lalu pelepasan kalor secara laten pada tahap kedua yang dibuktikan dengan kestabilan suhu bahan produk saat berada pada titik 0 sampai -5 °C dan pelepasan kalor dibawah titik beku pada tahap selanjutnya. Berdasarkan gambar 2 dan 3 grafik profil penurunan suhu bahan juga sangat tampak jelas terdapat adanya persebaran suhu bahan yang tidak merata pada titik bawah, tengah sampai titik atas bahan. Persebaran suhu yang tidak merata yang terjadi disebabkan karena perpindahan panas yang terjadi pada mesin pembeku lempeng sentuh hanya terjadi pada proses konduksi saja sehingga titik bawah bahan (Tbb) selalu berada pada posisi paling dingin dan semakin meningkat pada sisi atas bahan (T ba). Persebaran perbedaan suhu bawah bahan dengan posisi teratas bahan, paling besar terjadi pada proses penurunan suhu bahan awal (+30 °C) sampai titik awal proses pembekuan (0 °C) dan semakin kecil perbedaan suhunya pada saat proses pembekuan berlangsung (0 °C sampai -5 °C) sampai proses pendinginan dibawah proses pembekuan (<-5 °C). Hal ini dapat dianalisa bahwa nilai konduktivitas bahan daging sapi berbeda-beda pada setiap fase perubahan suhu bahannya.Secara teori analisa ini diperkuat dengan karakteristik sifat fisik daging sapi yang memiliki nilai konduktivitas termal sebesar 0,45 W/m.°K pada kisaran suhu 0 sampai 30 °C, sedangkan pada suhu -5 °C konduktivitasnya adalah 1,10 W/m.°K (Pham dan Willix, 1989). Secara keseluruhan dari seluruh perlakuan menunjukkan adanya durasi waktu yang lebih lama pada saat proses penurunan suhu bahan 0 sampai -5 °C. Waktu penurunan suhu dari 0 menuju -5 °C memiliki waktu yang lebih lama daripada penurunan suhu bahan dari kondisi awal bahan 30 sampai 0 °C dan penurunan suhu bahan setelah -5 °C. Lamanya waktu menurunkan suhu bahan pada saat konduktivitas bahan lebih cepat daripada konduktivitas bahan pada suhu lainya, dapat dianalogikan bahwa pada saat penurunan suhu 0 sampai -5 °C merupakan proses yang memerlukan nilai kalor yang paling besar daripada fase penurunan suhu lainnya. IV. KESIMPULAN Berdasarkan dari ke tujuh perlakuan yang diuji pada mesin pembeku lempeng sentuh dapat disimpulkan bahwa: a. Nilai COP sebesar 4,13 sampai 4,49. COP dari mesin pembeku lempeng sentuh tidak berpengaruh terlalu besar terhadap metode pengaturan suhu media yang 134 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 digunakan, melainkan lebih cenderung dipengaruhi oleh nilai kelembapan lingkungan sekitar. Semakin besar kelembapan lingkungan sekitar semakin tinggi pula nilai COP dari mesin pembeku lempeng sentuh. b. Laju pembekuan dari mesin pembeku lempeng sentuh evaporator tunggal menghasilkan nilai laju pembekuan yang tergolong dalam pembekuan cepat sebesar 0,98 sampai 1,43 cm/jam. c. Pembekuan dengan metode bertahap mampu menghematan energi listrik sebesar 19,22 sampai 24,41 % daripada mesin pembeku lempeng sentuh tanpa bertahap. Tressler, D.K., Arsdel W.B. dan Copley M.J. 1981. “The Freezing Preservation of Food”. AVI Pub. Co. Vol II. Westport. Conncticut. USA. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi melalui Penelitian Hibah Bersaing Usulan Tahun 2015. DAFTAR PUSTAKA Bruttini R, Crosser OK, dan Liapis AI. 2001. “Exergy analysis for the freezing stageofthefreezedryingprocess”.JournalofDryingTe chnology.19(9): 2303. Chusni, A.R. 2009.Kajian Energi dan Eksergi Pembekuan Daging Sapi Menggunakan Mesin Pembeku Tipe Lempeng Sentuh dengan Suhu Pembekuan Bertingkat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Holman, J.P. 2010. Heat Transfer. Tenth Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Kamal, D.M. 2008. Pemodelan Sistem Pembekuan dengan Suhu Media Pembeku Bertingkat pada Proses Pembekuan Daging Sapi Segar Menggunakan Metode Eksergi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pham dan Willix. 1989. “Thermal Conductivity of Fresh Lamb Meat, Offal and Fat in the range of -40 to 30 °C: Measurment and Correlation”. Journal of Food Science. Vol. 54. No. 3. Ruliyana, R. 2001. Desain Mesin Pembeku Tipe Hembusan Udara (Air Blast Freezing) dan Tipe Kontak Plat (Contact Plate Freezing) untuk Proses Pembekuan Fillet Ikan Patin (Pangasius sp.). Skripsi. Departemen Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor. Soeparno. 1994. “Ilmu dan Teknologi Daging”. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Tambunan, A.H., Priyanto S. dan Angraheni A.D. 2003. “Karakteristik dan Analisis Eksergi Pembekuan Ikan patin dan Ayam broiler”. Buletin Keteknikan Pertanian. Vol (17)3 : 32-42. 135 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Penentuan Prioritas Komoditi Unggulan Hasil Budidaya Laut Yang Sustainable dengan Pendekatan Multi Criteria Decision Making di Kabupaten Situbondo Didiek Hermanuadi 1) , R. Abd. Djamali 2) , Tri Rini Kusparwanti 3) 1) Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jember didiekhermanuadi@yahoo.com 3) Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jember tririni62@gmail.com 2) Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember, Jember jatifar@yahoo.com ABSTAK Wilayah pesisir Kabupaten Situbondo yang memiliki panjang pantai 150 km membentang ke arah Perairan Selat Madura. Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang telah dikembangkan adalah (a) usaha pembenihan (hatchery) udang, kerapu, kakap putih, dan bandeng (nener), (b) pembibitan dan budidaya rumput laut, (c) sistem keramba jaring apung (KJA) budidaya ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu sunu (Plectropomus leopardus; P.maculatus), kerapu macan (Epinphelus fuscoguttatus), kerapu lumpur (Epinephelus coloides), kerapu sumay, dan udang lobster. Tujuan penelitian: (a) menentukan kelayakan sosial ekonomi, teknologi, geografi, dan finansiial untuk pengembangan komoditi budidaya laut, (b) menentukan prioritas komoditi budidaya laut unggulan dan hasil tangkapan laut, Metodologi yang digunakan dengan pendekatan deskriptif dan expert system. Pengumpulan data dengan observasi dan In depth Interview. Teknik análisis yang diigunakan yakni: (a) multi-crteria decision making (MCDM), (b) data envelopment analysis (DEA). Dari hasil analisis penelitian tahun I dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Prioritas usaha unggulan berdasarkan skor komposit dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etik masing masing adalah : Pembenihan ikan kerapu, budidaya rumput laut, dan pembenihan udang vennamei (2) Analisis efisiensi usaha dari setiap komoditas terpilih diperoleh pembenihan ikan kerapu paling efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi : Rp 23.307.200 ; selama 6 siklus produksi memperoleh keuntungan bersih (NPV) sebesar Rp. 150.782.413; (3) Analisis efisiensi usaha dari setiap komoditas terpilih diperoleh budidaya rumput laut paling efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi : Rp 58.273.000 (UKE 8) dan Rp. 74.221.400 (UKE 4) ; selama 6 siklus produksi memperoleh keuntungan bersih (NPV) sebesar Rp. 284.827.148 (UKE 8) dan Rp. 532.252.766 (UKE 4); (4) Analisis efisiensi usaha dari setiap komoditas terpilih diperoleh udang vennamei paling efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi : Rp 40,220,638 (UKE 5) dan Rp. 21,910,648 (UKE 7) ; selama 6 siklus produksi memperoleh keuntungan bersih (NPV) sebesar Rp. 225,477,672 (UKE 8) dan Rp. 95,782,413 (UKE 7) Keywords: Budidaya Laut, Situbondo, multi-crteria decision making, data envelopment analysis (DEA) I. PENDAHULUAN Kabupaten Situbondo merupakan wilayah pesisir yang memiliki potensi budidaya laut yang cukup tinggi. Hal ini mengingat berdasarkan beberapa riset terdahulu menunjukkan bahwa Selat Madura yang merupakan fishing ground nelayan Kabupaten Situbondo sudah mengalami titik jenuh sebagai akibat over exploitation yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya hasil tangkapan per upaya tangkap (cath per unit effort/CPUE). Pengembangan budidaya laut sesuai dengan anjuran FAO untuk mengakselerasi pertumbuhan perikanan di Indonesia. Menurut DKP Kabupaten Situbondo (2005) bahwa potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang telah dikembangkan adalah: (a) Usaha pembenihan (hatchery) udang windu, kerapu, kakap putih, dan bandeng (nener). bahwa tercatat 38 unit perusahaan hatchery udang dan 50 unit hatchery skala rumah tangga. Selain pembenihan udang, telah berhasil pula dikembangkan benih kerapu, kakap putih, dan benih bandeng (nener). Produksi benur udang tahun 2004 sebanyak 1.57 milyar ekor 136 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 dengan nilai produksi Rp 23,5628 milyar. dan benih ikan sebanyak 629.000.000 ekor per tahun (b) Usaha budidaya tambak udang dan bandeng yang tersebar seluruh kecamatan berpantai dengan luasan: tambak tradisional 428,87 ha, tambak semi intensif 12,04 ha, dan tambak intensif seluas 1.052,84 ha. Tahun 2004, produksi udang vannamae, udang windu, udang putih, dan bandeng sebanyak 930,6 ton per tahun dengan nilai produksi Rp 25,2352 milyar (c) Usaha budidaya laut yang meliputi pembibitan dan budidaya rumput laut Euchheuma cottoni dengan produksi pada tahun 2004 sebanyak 2.534,8 ton (nilai Rp 1,7244 milyar) yang melibatkan 385 orang pembudidaya, sistem keramba jaring apung (KJA) budidaya ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu sunu (Plectropomus leopardus; P.maculatus), kerapu macan (Epinphelus fuscoguttatus), kerapu lumpur (Epinephelus coloides), kerapu sumay, dan udang lobster. KJA yang telah berkembang saat ini sebanyak 37 unit (200 petak jaring/1988 m2) dengan produksi tahun 2004 3.8 ton (nilai Rp 570 juta). Dalam rangka mengoptimalkan sumberdaya wilayah pesisir di Kabupaten Situbondo tersebut di atas, maka perlu dilakukan kajian kabijakan secara menyeluruh berdasarkan multi-criteria dalam pengelolaan potensi perikanan budidaya laut (sea farming) yang memliki prospek bisnis ekspor dan pasar lokal yang masih terbuka lebar. II. TINJAUAN PUSTAKA Analisis kapasitas perikanan budidaya laut dilakkan untuk mengetahui apakah kegiatan perikanan budidaya laut ini telah efisien atau belum. Kapasitas perikanan dipandang dari sudut ekonomi dan teknologi didefinisikan sebagai jumlah maksimum yang dapat diproduksi per unit waktu dengan lahan dan peralatan yang ada, sementara berbagai variabel produksi tidak dibatasi (Korhonen , 1998). Sementara itu secara umum Kirkley dan Squires (1998) mendefinisikan kapasitas perikanan sebagai stok kapital maksimum yang ada dalam perikanan yang dapat dipergunakan secara penuh pada kondisi efisien maksimum secara teknis pada waku dan kondisi pasar tertentu. Stok kapital terdiri dari kapital dan sumberdaya manusia. Kapital dapat berupa teknologi yang digunakan sedangkan sumberdaya manusia dapat berupa jumlah tenaga kerja dan kemampuan teknisnya. Dalam perikanan tangkap, kapital dan sumberdaya manusia ini merupakan manifestasi dari upaya (effort). Hal ini sama juga dapat diterapkan pada perikanan budidaya laut dengan menggunakan unit pengukuran upaya yang sesuai. Analisis kapasitas pada prinsipnya adalah analisis efisiensi (Fauzi dan Anna, 2002a). Berbagai metode telah tersedia untuk mengukur efisiensi ini. Salah satu metode untuk menilai kebijakan yang menyangkut efisiensi adalah apa yang disebut dengan Data Envelopment Analysis (DEA), atau juga disebut sebagai Frontier Analysis (Charners, Cooper dan Rhodes, 1978). Metode ini juga dikenal dengan metode CCR (inisila nama penemunya) dan digunakan untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari unit pengambil keputusan (Decision Making Unit, DMU) di dalam suatu kegiatan ekonomi. DEA merupakan metode pengukura efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena tidak mempertimbangkan penilai (judgement) dari pengambil keputusan (Korhonen et al., 1998). DEA bertujuan untuk mengukur kondisi relatif (relative performance0 dari unit analisis pada kondisi multiple inputs dan muptiple outputs (Dyson, Thanassoulis, dan Boussofiane, 1990). DEA memiliki kelebihan dalam hal kemampuannya untuk mengestimasi kapasitas di bawah kendala kebijakan tertentu. Selain itu, DEA dapat mengakomudasikan multiple inputs dan multiple outputs serta tingkat input dan output yang riil dan non diskret. DEA juga dapt menentukan tingkat potensiial maksimum dari upaya (effort) atau variabel input secara umum dan laju utilitas optimalnya (Fauzi dan Anna 2002a) III. TUJUAN DAN MANFAAT 3.1 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : (a) menentukan kelayakan sosial ekonomi, teknologi, geografi, dan finansiial untuk pengembangan komoditi budidaya laut, dan (b) menentukan prioritas komoditi budidaya laut unggulan. 3.2 Manfaat Penelitian Melihat kenyataan tersebut di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis prioritas komoditas budidaya laut unggulan yang memiliki prospek pasar ekspor dan pasar lokal yang masih terbuka lebar. Adanya penelitian ini sangat besar arti dan manfaatnya, yakni sebagai : acuan dalam menetapkan jenis komoditi dan peluang investasi budidaya laut di Kabupaten Situbondo IV. METODE PENELITIAN A. Multi Criteria Decision Making (MCDM) Dalam perencanaan lingkungan dan masalah keuangan, MCA (multi criteria analysis) dianggap sebagai alat yang bermanfaat selama hal tersebut didasarkan pada analisis mengenai dampak. Nybakken et al (1999) menyatakan bahwa “pendugaan dampak merupakan komponen utama dari riset evaluasi, memberikan semua informasi yang diperlukan sebagai kerangka acuan untuk perencanaan daerah, perkotaan, dan transportasi”. Oleh karena itu, analisis dampak spasial merupakan saran untuk menggunakan metode evaluasi multi kriteria dalam konteks spasial/keuangan. 137 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Multi Criteria Decision Making (MCDM) merupakan alat analisis kebijakan yang menyangkut sumberdaya alam. Pendekatan MCDM mengakomudasi berbagai kriteria yang dihadapi namun relevan dalam mengambil keputusan tanpa harus mengkonversi ke pengukuran moneter dan proses normalisasi (Roy B. 1993). B. Data Envelopment Analysis (DEA) Dalam rangka analisis efisiensi menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) atau Frontier analysis. Kegunaan metode ini untuk mengukur relative performance dan juga relative efficiency (Fauzi, 2002). DEA dapat mengukur efisiensi dengan berbagai kendala yang ada. Dalam DEA, efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi maksimum dengan kendala relatif efisien dari seluruh unit yang tidak boleh melampuhi 100%. Secara matematis efisiensi di dalam DEA merupakan solusi dari persamaan: w y max E  v y i ijm k kj m Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat produktifitas pembudidaya tambak menempati posisi paling tinggi dengan rata-rata Rp. 5.411 Juta/pengusaha, diikuti dengan usaha Hatchery Skala Perusahaan dengan rata-rata produktifitas sebesar Rp. 1.954 Juta/Pengusaha, Usaha keramba jaring apung sebesar Rp. 120.9 Juta/Pengusaha, dan berturut turut usaha Hatchery Skala RT, usaha perikanan tangkap, dan budidaya rumput laut masing masing memiliki produktifitas sebesar Rp. 113.31/Pengusaha, Rp. 7.55 /Pengusaha, dan Rp 0.50/Pengusaha. Secara keseluruhan keseluruhan cabang usaha bidang perikanan laut memiliki produktifitas sebesar Rp. 31.36 Juta/pengusaha. 4. 1. Analisis Multi Kriteria Secara komposit bobot dari masing masing dimensi dapat dilihat pada diagram berikut. i 7.50 m k w y v y (e) Dimensi Etik Dengan kendala: i ijm k kj m i 1 8.10 (d) Dimensi Teknologi untuk setiap unit ke-j; k Wi dan Vk masing-masing adalah bobot output ke-i dan bobot input ke k 7.57 (c) Dimensi Sosial V. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo Tahun 2014, terdapat dua cabang usaha utama bidang perikanan, yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sebaran cabang usaha, jumlah pengusaha dan volumen serta nilai produksi dapat dilihat pada tabel berikut. 8.33 (b) Dimensi Ekonomi 7.52 (a) Dimensi Ekologi 7.00 7.20 7.40 7.60 7.80 8.00 8.20 8.40 Tabel 1. Sebaran cabang usaha, jumlah pengusaha dan volumen serta nilai produksi perikanan di Kabupaten Situbondo No. Cabang Usaha Pembudidaya Nilai Produksi (x 1000 Rp) 8.354 87.289 Vol. Produksi 1 Perikakan Tangkap 11.566 2 44 4.784 238.094 19 21 2.298 4 Budidaya Tambak Keramba Jaring Apung Rumput Laut 868 366 435 5 Hatchery Skala RT 74 94.681.700 ekor 8.385 6 Hatchery Skala Perusahaan 30 2.160.881.800 ekor 58.623 3 Total Nilai 12,601 Gambar 1. Skor bobot komposit dari masing masing dimensi Skor bobot komposit tersebut selanjutnya digunakan sebagai skor atas pilihan alternatif usaha sesuai dengan pendapat stake holder, yang meliputi pengusaha, masyarakat, akedemisi, LSM kelautan, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan investor. Nilai skor yang diberikan atas pertimbangan dari setiap dimensi dapat dilihat pada tabel berikut ini. 395,124 138 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Tabel 2. Prioritas usaha unggulan berdasarkan skor komposit dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etik No. Alternatif Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Teknologi Dimensi Etik 19.7% 21.3% 19.3% 20.4% 19.3% Nilai Komposit 1 Pembenihan Udang 8.0 9.0 8.0 7.0 7.0 7.82 2 Pembenihan Kerapu 8.0 9.0 7.0 9.0 9.0 8.42 3 Pembenihan Kakap 8.0 8.0 7.0 7.0 7.0 7.41 4 Pembenihan Bandeng 8.0 8.0 7.0 8.0 7.0 7.61 5 Budidaya Udang 8.0 7.0 8.0 7.0 6.0 7.20 6 Budidaya Bandeng 8.0 8.0 7.0 8.0 8.0 7.81 7 Budidaya Rumput Laut 9.0 7.0 8.0 8.0 8.0 7.98 Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha pembenihan kerapu, budidaya rumput laut, dan budidaya udang merupakan tiga usaha dengan skor tertinggi. Berdasarkan analisis ini maka 3 jenis usaha ini yang selanjutnya dijadikan basis analisis pengembangan: analisis DEA, untuk melihat unit usaha pada setiap jenis usaha yang paling efisien. 4. 2. Analisis Kinerja Usaha Analisis kinerja usaha dilakukan untuk melihat tingkat kelayakan usaha tiga unit bisnis/usaha terpilih, yaitu pembenihan kerapu, budidaya rumput laut, dan budidaya udang. Analisis dilakukan dengan criteria kelayakan usaha, yang meliputi ukuran : Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Pay Back Periode (PBP), pada tingkat suku bunga yang berlaku. 4.2.1 Kinerja Unit Pembenihan Udang Kegiatan Usaha (UKE) UKE Pembenihan udang yang menjadi obyek analisis pada berbagai skala usaha, yang diukur dengan tingkat investasinya. Analisis kelayakan dilakukan pada tingkat suku bunga rata rata 12 per tahun, secara umum usaha ini mempunyai siklus 6 kali produksi per tahun. Tingkat investasi bervariasi mulai dari Rp.23.309.200 sampai Rp. 70.541.000 per siklus produksi. Secara lengkap hasil analisis financial dari setiap UKE pembenihan udang dapat dilihat pada table berikut. Dari hasil analisis diperoleh fakta bahwa kinerja UKE pembenihan udang layak dan menguntungnkan secara financial. Hal ini ditunjukkan oleh indicator nilai NPV > 1, IRR > 12% (bunga bank per tahun), dan B/C > 1. Tingkat pengembalian internal, yang diukur oleh nilai IRR, yang diperoleh oleh masing masing menunjukkan variabilitas yang signifikan, yaitu antara 15% (UKE 6) sampai 134% (UKE 7). Selanjutnya untuk mengukur efisiensi kinerja masing masing UKE dilakukan analisis dengan metoda DEA dengan menggunakan bantuan perangkat lunak xIDEA . Analisis DEA menunjukkan bahwa dari 12 UKE pembenihan udang yang diobservasi terdapat empat (4) UKE dengan skor efisiensi 100%, yaitu UKE 3, UKE 4, UKE 5, dan UKE 7 (kolom Efficienciy Scors). Akan tetapi hanya UKE 7 yang telah mencapai skala efisiensi usaha yang sempurna, sedangkan UKE lainnya, belum mencapai skala efiensi yang optimal. Dasar efisiensi adalah rasio/perbandingan output terhadap input, sedangkan cara untuk meningkatkan efisiensi antara lain dengan : meningkatkan output, mengurangi input, c. atau jika kedua output dan input ditingkatkan, maka tingkat kenaikan untuk output harus lebih besar daripada tingkat kenaikan untuk input atau, d. jika kedua output dan input diturunkan, laju penurunan untuk output harus lebih rendah daripada tingkat penurunan untuk input. 4.2.2 Kinerja Unit Kegiatan Usaha (UKE) Pembenihan Kerapu UKE Pembenihan kerapu yang menjadi obyek analisis pada berbagai skala usaha, yang diukur dengan tingkat investasinya. Analisis kelayakan dilakukan pada tingkat suku bunga rata rata 12 per tahun, secara umum usaha ini mempunyai siklus 6 kali produksi per tahun. Tingkat investasi bervariasi mulai dari Rp.43.645.000 sampai Rp. 138.015.000 per siklus produksi. Secara lengkap hasil analisis financial dari setiap UKE pembenihan kerapu dapat dilihat pada table berikut. Dari hasil analisis diperoleh fakta bahwa kinerja UKE pembenihan kerapu layak dan menguntungnkan secara financial. Hal ini ditunjukkan oleh indicator nilai NPV > 1, IRR > 12% (bunga bank per tahun), dan B/C > 1. Tingkat pengembalian internal, yang diukur oleh nilai IRR, yang diperoleh oleh masing masing menunjukkan variabilitas yang kurang signifikan, yaitu antara 130% (UKE 7) sampai 185% (UKE 4). Selanjutnya untuk mengukur efisiensi kinerja masing masing UKE dilakukan analisis dengan metoda DEA dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Xidea Analisis terhadap tingkat efisiensi usaha dilakukan dengan metoda DEA menggunakan software xIDEA hasil analisis dapat dilihat pada table berikut. Analisis DEA menunjukkan bahwa dari 12 UKE pembenihan kerapu yang diobservasi terdapat empat (4) UKE dengan skor efisiensi 100%, yaitu UKE 4, UKE 8, dan UKE 12 (kolom Efficienciy Scors). Akan tetapi hanya UKE 4 dan UKE 8 saja yang telah mencapai skala efisiensi usaha yang 139 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 optimal, sedangkan UKE lainnya, belum mencapai skala efiensi yang optimal. Dasar efisiensi adalah rasio/perbandingan output terhadap input, sedangkan cara untuk meningkatkan efisiensi antara lain dengan : meningkatkan output, mengurangi input, c. atau jika kedua output dan input ditingkatkan, maka tingkat kenaikan untuk output harus lebih besar daripada tingkat kenaikan untuk input atau, d. jika kedua output dan input diturunkan, laju penurunan untuk output harus lebih rendah daripada tingkat penurunan untuk input. (b) (c) 4.2.3 Kinerja Unit Kegiatan Usaha (UKE) Budidaya Rumput Laut (d) UKE Budidaya Rumput Laut yang menjadi obyek analisis pada berbagai skala usaha, yang diukur dengan tingkat investasinya. Analisis kelayakan dilakukan pada tingkat suku bunga rata rata 12 per tahun, secara umum usaha ini mempunyai siklus 6 kali produksi per tahun. Tingkat investasi bervariasi mulai dari Rp.18.855.916 sampai Rp. 63.118.860 per siklus produksi. Secara lengkap hasil analisis financial dari setiap UKE pembenihan kerapu dapat dilihat pada table berikut. Dari hasil analisis diperoleh fakta bahwa kinerja UKE budidaya rumput laut dan menguntungnkan secara financial. Hal ini ditunjukkan oleh indicator nilai NPV > 1, IRR > 12% (bunga bank per tahun), dan B/C > 1. Tingkat pengembalian internal, yang diukur oleh nilai IRR, yang diperoleh oleh masing masing menunjukkan variabilitas yang kurang signifikan, yaitu antara 130% (UKE 7) sampai 185% (UKE 4). Analisis terhadap tingkat efisiensi usaha dilakukan dengan metoda DEA menggunakan software xIDEA hasil analisis dapat dilihat pada table di atas. Analisis DEA menunjukkan bahwa dari 12 UKE budidaya rumput laut yang diobservasi terdapat tiga UKE dengan skor efisiensi 100%, yaitu UKE 5, UKE 7, dan UKE 8 (kolom Efficienciy Scors). Akan tetapi hanya UKE 7 yang telah mencapai skala efisiensi usaha yang optimal, sedangkan UKE lainnya, belum mencapai skala efiensi yang optimal. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1 Kesimpulan Dari hasil analisis penelitian tahun I dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (a) Prioritas usaha unggulan berdasarkan skor komposit dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etik masing masing adalah : Pembenihan ikan kerapu, budidaya rumput laut, dan pembenihan udang vennamei. Analisis efisiensi usaha dari setiap komoditas terpilih diperoleh pembenihan ikan kerapu paling efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi : Rp 23.307.200 ; selama 6 siklus produksi memperoleh keuntungan bersih (NPV) sebesar Rp. 150.782.413 Analisis efisiensi usaha dari setiap komoditas terpilih diperoleh budidaya rumput laut paling efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi : Rp 58.273.000 (UKE 8) dan Rp. 74.221.400 (UKE 4) ; selama 6 siklus produksi memperoleh keuntungan bersih (NPV) sebesar Rp. 284.827.148 (UKE 8) dan Rp. 532.252.766 (UKE 4) Analisis efisiensi usaha dari setiap komoditas terpilih diperoleh udang vennamei paling efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi : Rp 40,220,638 (UKE 5) dan Rp. 21,910,648 (UKE 7) ; selama 6 siklus produksi memperoleh keuntungan bersih (NPV) sebesar Rp. 225,477,672 (UKE 8) dan Rp. 95,782,413 (UKE 7) 6.2 Saran Diperlukan update data pada penelitian lanjutan pada tahun ke II (2016), berkenaan dengan indicator kinerja financial setiapusaha terpilih dari setiapunit kegiatan usaha (UKE). DAFTAR PUSTAKA Beatley, T., D.J. Browser, dan A.K. Schawab. 1994. An introduction to coastal zone management. Washington, DC: Island Press. Bengen, D.G. 2002. Pengembangan konsep daya dukung dalam pengelolaan lingkungan pulau-pulau kecil. Kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dengan Fakultas Perikanan dan kelautan IPB. Bogor. Charnes A. W.W. Cooper, dan E. Rhodes. 1978. Measuring the efficiency of decision making units. European Journal of Operation Research, 2:429-444. DKP. Kabupaten Situbondo. 2005. Profil potensi dan peluang investasi sektor kelautan dan perikanan Kabupaten Situbondo. Dyson R.G.E. Thanassoulis. Dan A. Boussofiane. 1990. Data Envelopment Analysis. dalam Hendry L.C. dan R.W. Eglese (editor). Tutorial paper in operational Reseacrh Society. UK. Fauzi A dan S. Anna. 2001. Analisis kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil melalui pendekatan Multi Criteria Decisin Making 140 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 (MCDM). Working Paper. Perikanan FPIK. IPB. Bogor. Jurusan Sosek -------------------------. 2001a. Data Envelopment Análisis (DEA) kapasitas sumberdaya perikanan pesisir. Jornal Pesisir dan Lautan. Korhonen P.A. Silijamaki, dan Soismaa. 1998. Practical aspect of value efficiency analysis. Interim report IR-98-042 IIASA. Nybakken P. Rietveld P. dan Voodg H. 1999. Multicriteria evaluation on physical planning. Elsevier Science. Amsterdam. Roy B. 1993. Decision science or decision aid science. European Journal of Operation Research. No. 66:184-203. 141 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Strategi Formulasi Pakan yang Tepat bagi Performan Ayam Kampung (Gallus domesticus) Menggunakan Near Infra-Red Spectroscopy (NIRS): Studi Regulasi Konsumsi Pakan Suluh Nusantoro1#, Erfan Kustiawaan1, Nurkholis1, F Pinataanwar2, A D Fitaloka2, N D Wulandari2, 1 2 Jurusan Peternakan Politeknkik Negeri Jember Mahasiswa Jurusan Peternakan Politeknkik Negeri Jember #suluh_nusantoro@polije.ac.id Abstract Tujuan eksperimen ini adalah untuk mempelajari regulasi konsumsi pakan pada ayam kampung fase starter yang diberi pakan dengan protein berbeda, Eksperimen dilakukan dalan rancangan acak lengkap (RAL) menggunakan DOC ayam kampung yang diberi perlakauan P1=14%, P2=18%, P3=22%, dan P4=26% protein pakan. Formulasi pakan didasarkan atas hasil analisis bahan pakan menggunakan NIRS. Hipotesis penelitian yang diuji adalah bahwa konsumsi pakan ayam kampung diatur oleh dietary protein dimana konsumsi akan menurun pada saat terjadi defisiensi dan kelebihan protein pakan. Parameter yang diamati meliputi konsumsi pakan (KP), pertambahan bobot badan (PBB), dan rasio konversi pakan (RKP). Hasil analisis varian menunjukkan bahwa protein pakan tidak berpengaruh terhadap KP dan RKP akan tetapi berngaruh nyata terhadap PBB Pertumbuhan ayam adalah kontribusi dari protein pakan dimana P3 (protein pakan 22%) menghasilkan PBB tertinggi. Kebutuhan protein pakan untuk ayam kampung untuk adalah 22.83% pada level energi metabolis 2800 kkal/kg. Keywords— ayam kampung, regulasi konsumnsi pakan, NIRS. I. PENDAHULUAN Ayam kampung (ayam buras) sudah sejak lama berperan sebagai sumber gizi dan pendapatan sampingan bagi masyarakat pedesaan di Indonesia dan saat ini peternakannya semakin digalakkan. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian turut mendukung peningkatan produksi ternak lokal misalnya melalui program Village Poultry Farming untuk membangun infrastruktur, memberi bantuan modal serta penguatan kelembagaan peternak unggas lokal. Aturan terbaru dari pemerintah adalah Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka yang diundangkan untuk melindungi ternak lokal. Sejalan dengan kebijakan pemerintah, pemeliharaan ayam kampung telah dilakukan secara intensif dan semi intensif, dimana pakan merupakan input utama untuk menghasilkan produksi (pertambahan bobot badan). Sayangnya, pakan yang diberikan untuk ayam kampung masih didasarkan atas kebutuhan nutrisi ayam broiler, dengan karakteristik protein pakan tinggi (22 -23%) dan energi metabolis 2800 – 3000 kkal/kg. Sampai dengan saat ini, fakta menunjukkan bahwa pakan yang diformulasikan khusus untuk ayam kampung belum tersedia secara komersial dan dalam praktek tata laksana pemeliharaan, peternak menggunakan pakan jenis BR1 yang seharusnya dipergunakan untuk ayam broiler fase starter. Permasalahan yang timbul dari penggunaan BR1 antara lain secara metabolism, protein tidak mampu dikonversi secara optimal, dan secara ekonomis akan terjadi pemborosan biaya pakan. Penelitian untuk mencari kebutuhan protein pakan ayam pakan telah banyak dilakukan, disarikan oleh Setioko dan Iskandar[1,2] dan menghasilkan nilai protein pada kisaran 14 – 30% dan energi 2600 – 3000 kkal/kg. Hasil tersebut menunjukkan variasi yang tinggi (cv. = 17,8 – 27,3%) yang bisa disebabkan oleh alat dan metode penelitian[3]. 142 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pakan yang berkualitas tidak saja dilihat dari aspek protein namun juga sejauh mana pakan bisa dikonsumsi oleh ternak. Aspek regulasi konsumsi pakan bersifat fundamental akan tetapi belum banyak dikaji dalam penelitian ayam kampung. Tujuan eksperimen ini adalah untuk mempelajari regulasi konsumsi pakan dan menentukan kebutuhan protein pakan ayam kampung kampung fase starter. Hipotesis penelitian yang diuji adalah bahwa konsumsi pakan ayam kampung diatur oleh dietary protein dimana konsumsi akan menurun pada saat terjadi defisiensi dan kelebihan protein pakan. Hasil penelitian ini secara fundamental dapat dimanfaatkan dalam studi nutrisi serta metabolisme protein pada ayam kampung, dan secara aplikatif dapat dimanfaatkan sebagai formulasi pakan standar protein dan energi untuk ayam kampung fase starter. II. MATERI & METODE A. Desain Penelitian Eksperimen dilakukan dalam rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan yang diberikan adalah 4 (empat) level protein pakan (P1=14%, P2=18%, P3=22%, dan P4=26%) dan dilakukan pengulangan sebanyak 3 (tiga) kali. Pakan diformulasikan secara iso-energetic 2800 kkal/kg. Bahanbahan pakan yang digunakan adalah bahan pakan lokal kecuali bungkil kedelai (BKK). Formulasikan disusun menggunakan software FeedWin, atas dasar data komposisi bahan pakan yang dianalisis menggunakan NIRS. Formulasi pakan penelitian disajikan dalam Tabel 1. TABEL XIII FORMULASI PAKAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN* Perlakuan (%) Formulasi P1 P2 P3 P4 2 5 13 15 12,5 19 20 28 Jagung Giling 60 51 49 39 Bekatul (A) 22 21,5 15 15 Minyak Kedelai 1 1 1 1 Vitmain Mineral Mix 0,5 0,5 0,5 0,5 Methionine** 0,5 0,5 0,2 0.2 1 1 0.8 0,8 TiO2 0,5 0,5 0,5 0,5 Total 100 100 100 100 Protein 14 18 22 26 T Ikan (Lokal) BKK Lysine** * AS-IS BASIS; **MENGACU KEPADA YUSRIZAL [4] B. Hewan Uji & Pemeliharaan Day old chicken (DOC) ayam kampung didatangkan dari Blitar sebanyak 200 ekor, rata-rata bobot awal 28,15 + 5.25 g, uniformity 85,17 %. DOC dipelihara selama 8 (delapan) minggu, mulai bulan Agustus s/d Septempber 2016, namun perlakuan diaplikasikan setelah fase brooding 10 hari. Vaksinasi ND dilakukan via ocular pada umur 5 hari. DOC yang telah divaksinasi pelihara di kandang unggas Jurusan Peternakan Penelitian, Politeknik Negeri Jember. Kandang semi tertutup diberi sekat-sekat dengan ukuran 1,25 m x 1 m, diisi 10 ekor ayam per sekat. Temperatur kandang dipertahan dalam kondisi realtif konstan 28,1 oC (malam) dan 32oC (siang). Pemberian pakan serta minum diberikan secara ad libitium. Selama masa pemeliharan dilakukan pemantauan temperataur ayam dan litter. C. Parameter Penelitian & Analisis Data Parameter penelitian yang diseminarkan ini merupakan hasil sampling awal (5 hari pemeliharaan) dari total 8 minggu durasi pemeliharaan. Parameter performa mengacu kepada Feddes[5] yakni: (1) konsumsi pakan (KP) diukur dengan diketahui dengan cara mengurangi pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan , (2) pertambahan bobot badan (PBB) diukur dengan mengurangi rata-rata bobot akhir dengan rata-rata bobt awal ayam, dan rasio konversi pakan (RKP) dihitung dengan membandingkan KP dengan PBB. Parameter biomolekuler mengacu kepada Payne[6] yakni indeks RNA:DNA dan asam amino plasma. Secara singkat Sebanyak 100 mg jaringan otot (representasi otot dada, paha, dan punggung) deiberi nitrogen cair dan dihaluskan menggunakan mortar. Setelah otot menjadi halus dan homogen, biarkan sampai nitrogen cair menguap dan di dalam mortal tersisa otot yang telah berubah bentuk menjadi powder. Sampel siap digunakan untuk ekstraksi RNA dan DNA dengan proses suspensi, sentrifugasi menggunakan kit yang tersedia dan dikuantifikasi menggunakan spektrofotometer. Asam amino plasma diambil dari darah ayam. Teknik koleksi darah mengacu kepada Grimes[7]. Darah yang diambil dari vena jugularis disentrifugasi, dan kemudian dianalisis menggunakan LCMS. Data yang diperoleh kemudian dipastikan homogenitas varian dan normalitasnya kemudian di-anova-kan menggunakan software SPSS 16.00. Regresi, korelasi dan second order polynomiasl dilakukan dengan bantuan software GraphPad Prism 5. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Apakah Konsumsi Pakan Ayam Kampung Diregulasi oleh Protein Pakan? 143 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Data konsumsi pakan, pertumbuhan dan konversi pakan disajikan dalam Tabel 2. KP ayam kampong yang diberi paka P1 sebesar 57,88 dan terlihat kenaikan sejalan peningkatan protein pakan. Akan tetapi kenaikan tersebut tidak signifikan (P>0.05). Kemampuan ayam kampung dalam mengkonversi pakan menjadi bobot badan dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh perlakuan (P>0,05). Namun demikian hasil yang signifikan terlihat pada data PBB (P<0,05) dimana ayam kampung yang diberi pakan P3 menunjukkan PBB tertinggi. TABEL XIV PERFORMA AYAM KAMPUNG YANG DIBERI PROTEIN PAKAN BERBEDA Parameter KP(g/ekor) PBB (g/ekor) RKP Ket: - Perlakuan P1 P2 P3 P4 Pvalue 57,88 60,13 62,56 68,48 0,181 24,89a 39,53ab 51,37b 45,33b 0,022 2,55 1,56 1,24 1,52 0,072 Data pemeliharaan selama 5 hari. Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata. block [9, 10], meskipun data lengkap belum tersedia (in progress). Penentuan kebutuhan nutrisi unggas dilakukan dengan metode regresi non linier yakni second order polynomials [10]. Apabila data protein pakan diplotkan dengan PBB maka akan diperoleh persamaan second order polynomials yakni y = 0.32x2 + 14.76x  119.09 (Gambar 2). Lebih lanjut dapat ditentukan level protein pakan yang optimal untuk ayam kampung fase starter masa pemeliharaan 5 hari adalah 22,83%. B. Apakah Pertambahan Bobot Badan Berkorelasi dengan Konsumsi Pakan? Publikasi hasil riset nutrisi yang dilakukan pada ternak ayam[4,5] serta hasil review penelitian pada sapi dan babi[12] menunjukkan bahwa konsumsi pakan menjamin tercukupinya kebutuhan nutrien. Regresi linier dan korelasi antara KP dan PBB disajikan dalam Gambar 1, yakni y = 2,32x – 103,55 dengan nilai R=0,8. Korelasi positif ini sesuai dengan ekspektasi penelitian dimana kenaikan PBB diperoleh dari peningkatan KP. KP pada unggas diregulasi oleh komposisi nutrien pakan, dimana penurunan konsumsi terjadi pada saat ternak kekurangan dan kelebihan protein[8]. Potein pakan terlihat belum berperan dalam mengatur KP dalam penelitian ini karena fase starter ayam kampung lebih lama dibandingkan broiler. Pengukuran parameter peneltian yang pendek menjadi factor penyebabnya. Gambar 1. Regresi dan Korelasi antara KP dan PBB ayam kampung yang diberi pakan perlakuan selama 5 hari (N=10) Gambar 2. Second order polynomials antara protein pakan dan PBB ayam kampung selama 5 hari. Protein pakan dalam penelitian ini lebih berperan dalam menghaslkan bobot badan. Kami berspekulasi hal ini karena ayam kampung mampu memanfaatkan protein dalam pakan dan melakukan sintesis protein menghasilkan jaringan otot mengingat fungsi protein sebagai building IV. KESIMPULAN Konsumsi ayam kampung yang dipelihara dalam durasi singkat tidak dipengaruhi oleh protein pakan dan automatis hipotesis penelitian tidak terbukti. Pertumbuhan ayam adalah kontribusi dari protein pakan dimana P3 (protein pakan 22%) menghasilkan PBB tertinggi. Kebutuhan protein pakan untuk ayam kampung untuk adalah 22.83% pada level energi metabolis 2800 kkal/kg. UCAPAN TERIMA KASIH Periset menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 144 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Direktorat Jenderal Riset dan Pengabdian Masyarakat atas didanainya proposal Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2016. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] Setioko, A. G. & S.Iskandar. 2010. Review Hasil-Hasil Penelitian Dan Dukungan Teknologi Dalam Pengembangan Ayam Lokal Prosiding Lokakarya Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal Resnawati, H dan I A.K. Bintang. Tanpa Tahun. Kebutuhan Pakan Ayam Kampung Pada Reriode Pertumbuhan. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Mueller-Harvey, I. 2004. Assessing Quality and Safety of Animal Feed in Modern Techniques for Feed Analysis. FAO. Animal Production and Health Division. Rome, Italy. Yusrizal, Y. R. Angel, A. Adrizal B. E. Wanto, S. Fakhri, and Y. Yatno. 2013. Feeding native laying hens diets containing palm kernel meal with or without enzyme supplementations. 2. Excreta nitrogen, ammonia, and microbial counts. J. Appl. Poult. Res. 22 :269–278 J. J. R. Feddes, E. J. Emmanuel, and M. J. Zuidhof†J. 2002. Broiler Performance, Bodyweight Variance, Feed and Water Intake, and Carcass Quality at Different Stocking Densities. Poultry Science. Vol 81:774-779. A. Payne, X. Wang, M. T. Ivy, A. Stewart, K. Nelson, C. Darris, and S. N. Nahashon. 2016. Lysine mediation of neuroendocrine food regulation in guinea fowl. Poultry Science. 00:1–11. Grimes, S.E. 2002. A Basic Laboratory Manual for the SmallScale Production and Testing of I-2 Newcastle Disease Vaccine. FAO Regional Office for Asia and the Pacific (RAP). Thailand. Forbes, J. M. 1995. Voluntary Food Intake and Diet Selection of Farm Animals.CAB International. Oxon, United Kingdom. Bartlett, F. K. McKeith, M. J. VandeHaar, G. E. Dahl and J. K. Drackley. 2006. Growth and body composition of dairy calves fed milk replacers containing different amounts of protein at two feeding rates. Journal of Animal Science. Vol. 84: 6: 1454-1467. Tous, R. Lizardo, B. Vilà, M. Gispert, M. Font-i-Furnols and E. Esteve-Garcia. 2014. Effect of reducing dietary protein and lysine on growth performance, carcass characteristics, intramuscular fat, and fatty acid profile of finishing barrows. Journal of Animal Science. Vol. 92: 1: 129-140. Pesti, g.m. D. Vedenov , j.a. Cason and . Billard. 2009. A comparison of methods to estimate nutritional requirements from experimental data. British Poultry Science. Vol. 50, Number 1: 16 - 32 Hoque,M.A. and Suzuki, K., 2009. Genetics of Residual Feed Intake in Cattle and Pigs: A Review. Asian-Australian Journal of Animal Science. Vol 22, No. 5: 747 – 755. 145 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Penanganan Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk Dalam Desain Sistem Pakar Diagnosis Penyakit Menggunakan Metode Euclidean Distance Ir. M. Zayin Sukri, MP1) dan Hariyono Rakhmad, S.Pd, M.Kom2) 1) Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember 1mzayinsukri@yahoo.com 2) Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember 2hr_poltek@yahoo.com Abstract Tanaman jeruk di kabupaten Jember pada tahun 90-an merupakan salah satu komoditas andalan di Jawa Timur. Pada tahun 2012 mampu menghasilkan jeruk siam sebanyak 1.194.783 kuintal. Namun, hampir tiap tahun ribuan pohon jeruk milik sekitar 500 petani di kawasan selatan dan barat Kabupaten Jember harus dimusnahkan akibat serangan virus CVPD (Citrus Vein Phloem Degenerapions). Hama dan penyakit menyerang tanaman jeruk pada setiap siklus pertumbuhannya. Dengan serangan hama dan penyakit yang terjadi petani jeruk harus menvariasikan pengobatan dalam membasmi hama dan penyakit. Salah satu dengan mengatahui jenis hama dan penyakit dan dilakukan langkah pemilihan pestisida yang cocok untuk proses pembasmian. Dengan permasalahan-permasalahan tersebut harus dicarikan solusi penyelesaiannya, yaitu dengan membangun sebuah aplikasi Diagnosis Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk (Citrus sp) Berbasis Mobile. Diharapkan dengan aplikasi ini petani dapat terbantu dalam mendiagnosis hama dan penyakit apa yang sedang menyerang tanaman jeruknya, sehingga dengan mengetahui penanganannya dapat mencegah serangan yang lebih luas. Metode yang digunakan dalam pembuatan aplikasi sistem pakar diagnosis penyakit jeruk ini adalah: 1) Analisis situasi; 2) koleksi pengetahuan; 3) perancangan; 4) Testing dan evaluasi; 5) Dokumentasi dan pemeliharaan.. Keywords— Hama dan Penyakit Jeruk, Sistem Pakar, Euclidean Distance. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jember merupakan salah satu penghasil jeruk di Indonesia. Sebagian besar wilayah Kabupaten Jember merupakan dataran rendah, dengan ketinggian tanah ratarata 83 meter di atas permukaan laut dan merupakan daerah yang cukup subur dan sangat cocok untuk pengembangan komoditi pertanian dan perkebunan, sehingga dikenal sebagai daerah/lumbung pangan dan penghasil devisa negara sektor perkebunan di Propinsi Jawa Timur. Dari data dinas pertanian dan tanaman pangan propinsi Jawa Timur, Kabupaten Jember pada tahun 2012 mampu menghasilkan jeruk siam sebanyak 1.194.783 kuintal. Tanaman jeruk di kabupaten Jember pada tahun 90-an merupakan salah satu komoditas andalan. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, karena petani tebu dan tembakau banyak yang rugi, areal tanaman jeruk yang semula sekitar 200 hektare bertambah mencapai 5.000 hektare. (Hari Widjajadi, 2010) Bukan tidak berarti budidaya jeruk di Kabupaten Jember aman dari serangan penyakit. Ribuan pohon jeruk milik sekitar 500 petani di kawasan selatan dan barat Kabupaten Jember, Jawa Timur, harus dimusnahkan akibat serangan virus CVPD (Citrus Vein Phloem Degenerapions). Sedangkan di kawasan lain tanaman jeruk terancam jamur batang yang juga bisa mematikan tanaman yang terpaksa ditebang karena tidak bisa dipanen. Berdasarkan pengalaman pada masa tanaman jeruk periode itu, gejala-gejala seperti itu diyakini akibat terserang virus. Para petani lalu memutuskan untuk mencabut seluruh tanaman yang terserang. Serangan CVPD terjadi hampir tiap tahun. Luas areal tanaman jeruk yang diserang juga semakin bertambah sehingga mempengaruhi produksi jeruk di Jember. Hama dan penyakit tersebut juga menyerang tanaman jeruk pada setiap siklus pertumbuhannya. Dengan serangan hama dan penyakit yang terjadi petani 146 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 jeruk harus menvariasikan pengobatan dalam membasmi hama dan penyakit. Salah satu dengan mengetahui jenis hama dan penyakit dan dilakukan langkah pemilihan pestisida yang cocok untuk proses pembasmian (Bambang, 1996). Dengan permasalahan-permasalahan tersebut harus dicarikan solusi penyelesaiannya, yaitu dengan membangun sebuah aplikasi Diagnosis Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk (Citrus sp) Berbasis Mobile dengan menggunakan algoritma Euclidean Distance. B. Keutamaan Penelitian Membantu melakukan pengendalian hama dan penyakit tanaman jeruk lebih jelas dan detail, agar petani tidak ragu dan salah dalam mendiagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk yang dialami. Meningkatkan efektivitas dan waktu serta biaya bagi petani tanaman jeruk dalam mengantisipasi dan mengendalikan hama dan penyakit jeruk yang menyerangnya. Membantu memberikan informasi bagaimana menanggulangi dan mencegah hama dan penyakit tanaman jeruk yang timbul ke dalam sebuah informasi sistem aplikasi berbasis android yang didapat dijalankan dalam perangkat mobile, yaitu HP atau Tablet. Membantu memberikan informasi kepada masyarakat yang mendapati gejala-gejala hama dan penyakit tanaman jeruk agar selalu waspada dan mengambil langkah yang perlu. Pendekatan yang dilakukan dalam Sistem Pakar ini adalah dengan menghimpun pengetahuan dari seorang atau beberapa orang pakar hama dan penyakit tanaman yang diformulasikan dalam aturan-aturan tertentu sehingga mampu memberikan keputusan dalam penyelesaian masalah. Dengan pendekatan tersebut Sistem Pakar memiliki kemampuan yang cukup efektif dalam pencarian solusi penyelesaian masalah. Penelitian ini memiliki target menghasilkan sebuah aplikasi yang memberikan informasi kepada masyarakat tentang hasil diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk, dengan cara memberikan justifikasi gejala yang terjadi pada aplikasi berbasis komputer dan Android, tanpa harus bertemu dengan pakarnya secara langsung. Penelitian yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data gejala dan hama dan penyakit tanaman jeruk serta solusinya. Kemudian dilanjutkan dengan membangun sebuah aplikasi pakar pendiagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk. II. TINJAUAN PUSTAKA Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan dalam membuat aplikasi sistem pakar adalah dapat menentukan jenis penyakit tanaman beserta solusi penanganannya berdasarkan gejala yang ada. Serta dapat menghasilkan beberapa aturan yang tepat sehingga kebenaran pada kombinasi premis dalam menentukan gejala untuk dapat menghasilkan kesimpulan tentang hama dan jenis penyakitnya. Penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) yang disebabkan oleh bakteri Liberobacter asiaticus hingga saat belum ditemukan obatnya jika tanaman terserang sehingga penyakit tersebut masih menghantui setiap usaha pengembangan jeruk di Indonesia. Guna mendukung pengembangan jeruk di Indonesia khususnya untuk menanggulangi CVPD, Lolit jeruk telah memformulasikan strategi pengendaliannya yang disebut dengan PTKJS (Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat). PTKS terdiri atas 5 komponen teknologi, yaitu: 1) Penggunaan bibit jeruk berlabel bebas penyakit, 2) Pengendalian vektor CVPD secara cermat, 3) Sanitasi kebun yang baik, 4) Pemeliharaan secara optimal, dan 5) Konsolidasi pengelolaan kebun secara menyeluruh di target wilayah pengembangan. Dari sistem yang telah diimplementasikan bahwa secara umum sistem ini dapat berjalan dengan baik, namun demikian masih ada beberapa kekurangan karena keberhasilan diagnosis awal gangguan kesehatan sangat bergantung dengan keahlian pengguna sistem dalam membangun knowledge base (basis pengetahuan). A. Sistematika Tanaman Jeruk Tanaman jeruk mempunyai akar tunggang panjang dan akar serabut (bercabang pendek kecil) serta akar-akar rambut. Bila akar tunggang mencapai tanah yang keras atau tanah yang terendam air, maka pertumbuhannya akan berhenti. Tetapi bila tanahnya gembur, panjang akar tunggang bisa mencapai 5 meter. Akar cabang yang mendatar bisa mencapai 6 - 7 meter. Perakaran jeruk tergantung pada banyaknya unsur hara di dalam tanah dan umumnya di kedalaman 0,15 – 0,50 meter (Soelarso, 1996). Pohon jeruk yang sekarang ditanam di Indonesia berbentuk bulat dan tinggi dapat mencapai 5 – 15 meter. Daun jeruk berwarna hijau-tua tidak merangas. Posisi daun berhadapan atau berseling, tangkai daun bersayap atau tidak bersayap dan permukaan daun berkelenjar minyak yang transparan. Bunga jeruk berbentuk majemuk seperti payung, tandan atau malai kebanyakan berkelamin 2, kelopak bunga berjUMLah 4 – 5, ada yang menyatu ada yang tidak. Mahkota bunga kebanyakan berjUMLah 4 – 5 dan berdaun lepas. Tonjolan dasar bunga beringgit atau berlekuk di dalam benangsari (Soelarso, 1996). Bakal buah menumpang, bentuknya bulat, dan bulatpendek atau elips. Buah jeruk tergolong buah sejati, tunggal dan berdaging. Oleh karena itu buah yang masak tidak pecah. Satu bunga menjadi satu bakal buah saja. Dinding buah tebal dengan lapisan kulit luar yang kaku, bau menyengat dan banyak mengandung minyak atsiri. Lapisan ini disebut flavedo di mana mulanya berwarna 147 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 hijau dan bila masak berwarna kuning atau jingga. Lapisan tengah buah seperti lapisan spon yang terdiri atas jaringan bunga karang berwarna putih disebut albedo, sedangkan lapisan dalam bersekat membentuk ruang. Rasa buah jeruk cukup manis sampai manis, misalnya jeruk keprok, jeruk siem, dan jeruk manis (Soelarso, 1996).Tanaman Jeruk (Citrus sp) mempunyai sistematika sebagai berikut: Tabel I. Sistematika Tanaman Jeruk Nama Kelas Golongan Kerajaan Plantae Divisi Magnoliophyta Kelas Magnoliopsida Upakelas Rosidae Ordo Sapindales Famili Rutaceae Upafamili Aurantioideae Bangsa Citreae Genus Citrus L B. Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk Definisi hama secara total berorientasi pada manusia oleh beberapa ahli menurut (Mary dan Robert, 1990) hama adalah yang bersaing dengan manusia untuk mendapatkan makanan, serat dan tempat perlindungan. Secara luas definisi untuk pengertian hama menurut (Mary dan Robert, 1990) hama adalah makhluk hidup yang mengurangi ketersediaan, kualitas atau jUMLah beberapa sumber daya manusia. Sumber daya manusia itu sendiri bisa disebut berupa tumbuhan atau binatang yang dipelihara oleh manusia, untuk kehidupan manusia. Sedangkan kesenangan manusia yang dimiliki misal minatang peliharaan, tanaman hias, tanaman kebun atau di tempat – tempat lainnya. Sumber daya yang mungkin juga digunakan untuk kesehatan, kenyaman dan ketenangan yang dari waktu ke waktu dapat terancam oleh tanaman penyebab elergi, makhluk hidup pembawa penyakit, gigitan serangga atau binatang pengganggu lainnya (Soelarso, 1996). Makhluk hidup yang menjadi hama tidak terbatas pada kelas atau phylum tertentu. Serangga adalah kelas binatang yang sering menjadi hama adalah tungau, kutu, nematoda, moluska, dan spesies invertebrata lainnya yang yang diketahui sebagai hama (Soelarso, 1996). Definisi dan konsep dari penyakit tumbuhan bermacam-macam salah satunya manurut Whetzel (dalam Meity,2006:9) penyakit tumbuhan adalah suatu proses fisiologi tumbuhan yang abnormal dan merugikan, yang disebabkan oleh faktor primer (biotik atau abiotik) dan gangguannya bersifat terus menerus serta akibatnya dinyatakan oleh aktifitas sel/jaringan yang abnormal. Sebelum melakukan pengendalian hama dan penyakit, perlu adanya mendiagnosis suatu penyakit tanaman dengan tepat agar memberi hasil atau pengendalian yang efektif dan efisien. Dengan demikian, diagnosis penyakit tumbuhan menjadi sangat penting dalam memutuskan startegi/ cara pengendalian yang direkomendasikan (Soelarso 1996). Klasifikasi berdasarkan organ tanaman yang diserang penyakit, seperti :  Penyakit akar,  Penyakit daun,  Penyakit buah,  Penyakit batang. C. Sistem Pakar 1) Pengertian Sistem Pakar: Sistem Pakar (Expert System) adalah sistem yang berusaha mengadopsi pengetahuan manusia ke komputer, agar komputer dapat menyelesaikan masalah seperti biasa yang dilakukan para ahli (Kusumadewi, 2003). Menurut Durkin dalam Sasmito (2010) Sistem pakar adalah suatu program komputer yang dirancang untuk memodelkan kemampuan penyelesaian masalah yang dilakukan seorang pakar. Menurut Giarratano dan Riley dalam Sasmito (2010) Sistem pakar adalah suatu sistem komputer yang bisa menyamai atau meniru kemampuan seorang pakar. Dalam penyusunannya, sistem pakar mengkombinasikan kaidah-kaidah penarikan kesimpulan (inference rules) dengan basis pengetahuan tertentu yang diberikan oleh satu atau lebih pakar dalam bidang tertentu. Kombinasi dari kedua hal tersebut disimpan dalam komputer, yang selanjutnya digunakan dalam proses pengambilan keputusan untuk penyelesaian masalah tertentu. Sistem pakar terdiri 2 bagian pokok, yaitu: lingkungan pengembangan (defelopment environment) dan lingkungan konsultasi (consultation enveronment). Lingkungan pengembangan digunakan sebagai pembangun sistem pakar dari segi pembangun komponen maupun basis pengetahuan. Lingkungan konsultasi digunakan oleh seseorang yang bukan ahli untuk konsultasi (Kusumadewi, 2003:109). Gambar 1. Struktur Sistem Pakar (sumber: Muhammad Arhami (2005)). 148 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Komponen-komponen yang terdapat dalam sistem pakar adalah seperti yang terdapat pada gambar, yaitu User Interface (Antarmuka Pengguna), basis pengetahuan, akuisisi pengetahuan, mesin inferensi, workplace, fasilitas penjelas, perbaikan pengetahuan. 2) Konsep Dasar Sistem Pakar: Menurut Turban dalam Kusumadewi (2003) Konsep dasar dari suatu sistem pakar mengandung beberapa unsur atau elemen, yaitu:  Keahlian Keahlian merupakan suatu penguasaan pengetahuan di bidang tertentu yang didapatkan dari pelatihan, membaca atau pengalaman.  Ahli Seorang ahli adalah seorang yang mampu menjelaskan suatu tanggapan, mempelajari hal-hal baru seputar topik permasalahan (domain), menyusun kembali pengetahuan, memecah aturan-aturan jika diperlukan dan menentukan relevan tidaknya keahlian mereka.  Pengalihan keahlian Tujuan dari sistem pakar adalah mengalihkan keahlian dari seorang pakar ke komputer dan kemudian ke manusia lain yang bukan ahli. Pengetahuan yang disimpan dalam komputer disebut basis pengetahuan (knowledge base). Pengetahuan ini dibedakan menjadi dua, yaitu fakta dan aturan.  Inferensi atau menarik kesimpulan Keahlian-keahlian yang sudah tersimpan dalam komputer sebagai basis pengetahuan, maka sistem pakar harus diprogram agar dapat menarik kesimpulan  Aturan (rule) Aturan merupakan informasi tentang cara bagaimana memperoleh fakta baru dari fakta yang telah diketahui.  Kemampuan menjelaskan (Explanation Capability) Kemampuan komputer untuk memberikan penjelasan kepada pengguna tentang sesuatu informasi tertentu dari pengguna dan dasar yang dapat digunakan oleh komputer untuk dapat menyimpulkan suatu kondisi. D. Metode Euclidean Distance Euclidean distance adalah perhitungan jarak dari 2 buah titik dalam Euclidean space. Euclidean space diperkenalkan oleh seorang matematikawan dari Yunani sekitar tahun 300 B.C.E. untuk mempelajari hubungan antara sudut dan jarak. Euclidean ini biasanya diterapkan pada 2 dimensi dan 3 dimensi. Tapi juga sederhana jika diterapkan pada dimensi yang lebih tinggi. Teknik cross validasi digunakan untuk mencari nilai k yang optimal dalam mencari parameter terbaik dalam sebuah model. Jarak Euclidean menurut McAndrew (2004) digunakan untuk menghitung jarak antara dua vektor yang berfungsi menguji ukuran yang bisa digunakan sebagai interpretasi kedekatan jarak antara dua obyek yang direpresentasikan dalam persamaan. Tingkat kemiripan didasarkan atas nilai terdekat dengan menggunakan rumus Euclidean berikut. (2.13) Keterangan: = jarak antara vektor i dan j Di samping itu dalam menentukan jarak antara dua vektor metode yang digunakan adalah city blok distance atau disebut juga Manhattan distance atau absolute value distance dengan menghitung perbedaan absolut dari 2 vektor, menggunakan rumus berikut. (2.14) III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:  Merancang dan mengembangkan aplikasi sistem pakar untuk mendiagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk perangkat lunak berbasis desktop (tahun pertama) dan mobile (tahun kedua).  Mengimplementasikan data dari pakar dalam mendiagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk.  Mengumpulkan data tentang penyakit, penyebab, dan pencegahan terhadap hama dan penyakit tanaman jeruk, serta solusinya.  Membangun sebuah perangkat lunak yang dapat dijalankan melalui program komputer tentang pencarian nama penyakit tanaman jeruk dan solusinya bagi petani maupun bagi penyuluh pertanian di Kabupaten Jember. B. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dicapai setelah kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:  Berkurangnya serangan hama dan penyakit tanaman jeruk di bidang pertanian karena dengan tepat dan sesuai penyakit pada tanaman jeruk dapat dibasmi.  Tidak lagi terjadi coba-coba obat/pestisida dalam menangani beberapa gejala penyakit pada tanaman jeruk 149 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0   Menyediakan informasi kepada masyarakat tentang diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk dengan gejala-gejalanya dalam sebuah aplikasi sistem pakar. Pembuatan sistem pakar berbasis android (tahun kedua) nantinya didasari atas sudah maraknya penggunaan perangkat mobile di masyarakat, sehingga aplikasi ini akan mudah digunakan oleh siapa, kapan dan di mana saja. IV. METODE PENELITIAN A. Tahapan Penelitian Dalam melakukan penelitian pembuatan perangkat lunak diagnosis hama dan penyakit pada tanaman jeruk ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut. Tahap 1 Penilaian Keadaan Reformulasi Tahap 2 Koleksi Pengetahuan Explorasi Tahap 3 Perancangan Perbaikan Kebutuhan Pengetahuan Struktur Tahap 4 Test Evaluasi Tahap Dokumentasi Produk Tahap 6 Pemeliharaan Gambar 2 Metode Kegiatan 1) Tahap Penilaian Keadaan: Tahap penilaian keadaan merupakan tahap awal dalam pengembangan sistem, karena pada tahap ini permasalahan yang akan dianalisis adalah diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk. Tahap ini dilakukan untuk menentukan dan membatasi masalah yang diimplementasikan pada sistem. Masalah yang didiagnosis dari gejala, jenis, ciri dari hama dan penyakit tanaman jeruk. Untuk umasalah pada sistem perlu di dijabarkan pada bahasa pemrograman yang digunakan adalah C#. Tujuannya tercapai komponenkomponen yang mendukung dalam proses penilaian keadaan. 2) Tahap Koleksi Pengetahuan: Tahap koleksi pengetahuan merupakan tahap yang paling penting karena pada tahap ini pengetahuan digunakan untuk dapat digunakan pada sistem pakar. Koleksi pengetahuan bertujuan agar pengetahuan yang digunakan pada sistem dapat sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh ahli pakar diagnosis hama dan penyakit. Pada tahap ini koleksi pengetahuan dilakukan dengan mendapatkan referensi bersumber dari buku-buku tentang hama dan penyakit tanaman jeruk beserta pengendaliannya. Paling penting adalah akuisisi pengetahuan dari seorang pakar yang ahli dalam tanaman hama dan penyakit tanaman jeruk. Database tersebut digunakan untuk digunakan dalam perangkat lunak yang akan di buat. 3) Tahap Perancangan: Tahap desain sistem merupakan tahap dalam perencanaan sistem dan desain antarmuka. Pemodelan sistem digunakan untuk membangun basis aturan, antar muka pemakai, basis pengetahuan, penjelasan fasilitas sistem. Pada tahap ini metode euclidean distance merupakan langkah penerapan basis pengetahuan pakar tanaman jeruk. Ditentukan aturan yang ada dengan metode euclidean distance, dengan cara menggambarkan sistem yang dibutuhkan untuk aturan pakar dengan penerapan metode euclidean distance sesuai dengan batasan penelitian yang telah ditentukan. Bahasa pemrograman yang digunakan pada penelitian tahun pertama ini untuk pembuatan perangkat lunak diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk adalah C# menggunakan aplikasi SharpDevelopt. 4) Tahap Tes: Tahap pengujian merupakan tahap yang bertujuan untuk menemukan kesalahan sistem yang dirancang untuk pembuatan perangkat lunak diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk. Karena sistem yang dibuat mungkin masih memiliki kekurangan sehingga tahap tes ini diperlukan untuk memperbaiki atau menambahkan kekurangan program. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode BLACKBOX. Suatu sistem di mana input dan outputnya dapat didefinisikan tetapi prosesnya tidak diketahui atau tidak terdefinisi. Metode ini hanya dapat dimengerti oleh pihak dalam (yang menangani) sedangkan pihak luar hanya mengetahui masukan dan hasilnya. Pihak luar adalah pengguna sistem yang melakukan antar muka sistem dilakukan untuk memastikan bahwa sistem yang digunakan dapat berjalan dengan mudah dan fitur-fitur dapat digunakan dengan baik. 150 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pada pengujian perangkat lunak dilakukan untuk mengetahui apakah desain yang dibuat telah sesuai dengan program, apakah penelusuran telah sesuai dengan basis aturan, apakah source code dalam program dapat berjalan sesuai dengan penentuan hama dan penyakit tanaman jeruk, apakah fitur-fitur dapat dioperasikan oleh user, apakah hasil yang dihasilkan oleh sistem sesuai dengan hasil yang dihasilkan oleh Ahli Pakar. 5) Tahap Dokumentasi: Tahapan dokumentasi merupakan tahap mendokumentasikan hal-hal yang sudah dilakukan dalam proses pembuatan Perangkat Lunak Diagnosis Hama Dan Penyakit Pada Tanaman Jeruk (Citrus sp), yang sudah dibuat berdasarkan pada tahapantahapan sebelumnya. 6) Tahap Pemeliharaan: Pada tahap pemeliharaan dilakukan hal yang bertujuan untuk memperbaharui database pengetahuan, mengganti pengetahuan yang lebih baik, menambah pengetahuan sesuai dengan waktu, ataupun menghapus agar Perangkat Lunak Diagnosis Hama Dan Penyakit Pada Tanaman Jeruk dapat lebih baik di setiap waktunya B. Strategi Penelitian Dalam mengembangkan dan mengimplementasikan sistem pakar ke dalam aplikasi diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk beberapa strategi penelitian yang akan diterapkan pada tiap tahun adalah sebagai berikut. Strategi Pertama, adalah pembuatan perangkat lunak dengan dilakukan percobaan untuk mendapatkan metode yang tepat dalam pendiagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk, dengan aplikasi berbasis desktop dengan bahasa C# sebagai pemrogramannya. Percobaan 1: Analisis lapangan dan mengumpulkan data atau informasi tentang gejala dan penyakit tanaman jeruk. Membuat rulerule yang diperlukan. Serta mempelajari metode euclidean distance. Pengujian dilakukan dengan melakukan perhitungan-perhitungan metode tersebut. Percobaan 2: Penetapan parameter hama dan penyakit tanaman jeruk sebagai data template pada aplikasi pendiagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk dengan mengkonsultasikan kepada pakar penyakit tanaman. Percobaan 3: Uji keakurasian metode euclidean distance aplikasi diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk berbasis desktop ke petani dan pakar hama dan penyakit tanaman. V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Kegiatan penelitian yang dilakukan di tahun pertama ini adalah menghasilkan aplikasi diagnosis penyakit pada tanaman jeruk berbasis desktop, artinya program ini dapat dijalankan pada pangkat komputer. A. Analisis Lapangan Pada sistem manual, petani memantau keadaan lahan tanaman jeruknya apakah ada lalat buah yang menyerang atau tidak. Jika ada lalat buah yang menyerang maka petani akan membuat surat laporan kepada Dinas Pertanian. Dinas Pertanian menanggapi laporan dengan memberikan surat penugasan kepada Staf Penyuluh Pertanian untuk mengadakan survei lapangan di lokasi tempat terserangnya hama lalat buah dan membuat laporan hasil survei tersebut, lalu laporan hasil survei tersebut diberikan kepada Dinas Pertanian untuk memberikan tindakan. Staff Penyuluhan Pertanian menentukan klasifikasi serangan. Jika intensitas serangan masih di bawah 10% dari keadaan normal maka belum memerlukan tindakan pemberantasan. Namun jika serangan sudah masuk ke dalam kategori serangan lebih besar yaitu serangan hama lebih dari 10% dari keadaan normal, maka dinas pertanian akan membuat surat penugasan pemberantasan hama. Staff Penyuluh Pertanian kemudian berunding dan menyusun jadwal serta menentukan bagaimana cara pemberantasan hama agar lebih maksimal. Jadwal dan cara pemberantasan yang telah disusun dibuat rangkap dua yang nantinya satu rangkap diberikan kepada petani dan satu rangkap kepada Staff Penyuluh Pertanian. Jika jadwal yang ditentukan sudah sampai, maka Petani dan Staff Penyuluh Pertanian bersama-sama melakukan pemberantasan hama. Semua proses pemberantasan akan dilaporkan oleh para petani kepada Dinas Pertanian dan diarsipkan oleh Dinas pertanian. Dari gambar 4 tentang sistem manual dapat dijelaskan dalam bentuk Ude Chase diagram bahwa proses penentuan jenis hama dan penyakit yang dilakukan petani dilakukan secara manual. Selanjutnya petani membutuhkan seorang pakar penyakit tanaman jeruk yang dalam prosesnya diperlukan waktu untuk tanya jawab seputar gejala yang terjadi. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama dalam penentuan jenis hama dan penyakit yang dilakukan oleh pakar untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh petani. Sehingga dalam proses penentuan yang dilakukan oleh pakar tidak sedikit untuk melakukan salah diagnosis dikarenakan petani kurang dalam melakukan survey secara detail tentang gejala yang terjadi pada tanaman jeruknya. Sehingga kegiatan yang dilakukan petani bergantung pada keputusan yang diberikan dan ditentukan oleh pakar atau dinas pertanian terkait 151 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 g. Menemukan Gejala Tunjukkan gejala <<extend>> <<extend>> Pakar Pertanyaan terkait gejala h. Petani Jawab Pertanyaan gejala i. Tentukan Jenis hama dan penyakit Penerapan Gambar 3. Use Case Diagram Manual j. B. Tahap Pengumpulan Data Penyakit Tanaman Jeruk Dalam budi daya tanaman jeruk tidak lepas dari yang namanya hama dan penyakit. Berikut adalah hama dan penyakit tanaman Jeruk. 1) Hama Tanaman Jeruk: a. Kutu loncat (Diaphorina citri.) Bagian yang diserang adalah tangkai, kuncup daun, tunas, daun muda. Gejala: tunas keriting, tanaman mati. b. Kutu daun (Toxoptera citridus aurantii, Aphis gossypii.) Bagian yang diserang adalah tunas muda dan bunga. Gejala: daun menggulung dan membekas sampai daun dewasa. c. Ulat peliang daun (Phyllocnistis citrella.) Bagian yang diserang adalah daun muda. Gejala: alur melingkar transparan atau keperakan, tunas/daun muda mengkerut, menggulung, rontok. d. Tungau (Tenuipalsus sp. , Eriophyes sheldoni Tetranychus sp) Bagian yang diserang adalah tangkai, daun dan buah. Gejala: bercak keperak-perakan atau coklat pada buah dan bercak kuning atau coklat pada daun. e. Penggerek buah (Citripestis sagittiferella.) Bagian yang diserang adalah buah. Gejala: lubang yang mengeluarkan getah. f. Kutu penghisap daun (Helopeltis antonii.) Bagian yang diserang Helopeltis antonii. Gejala: bercak coklat kehitaman dengan pusat berwarna lebih terang pada tunas dan buah muda, k. l. bercak disertai keluarnya cairan buah yang menjadi nekrosis. Ulat penggerek bunga dan puru buah (Prays sp.) Bagian yang diserang adalah kuncup bunga jeruk manis atau jeruk bes. Gejala: bekas lubang-lubang bergaris tengah 0,3-0,5 cm, bunga mudah rontok, buah muda gugur sebelum tua. Thrips (Scirtotfrips citri.) Bagian yang diserang adalah tangkai dan daun muda. Gejala: helai daun menebal, tepi daun menggulung ke atas, daun di ujung tunas menjadi hitam, kering dan gugur, bekas luka berwarna cokelat keabu-abuan kadang-kadang disertai nekrotis. Kutu dompolon (Planococcus citri.) Bagian yang diserang adalah tangkai buah. Gejala: berkas berwarna kuning, mengering dan buah gugur. Pengendalian: gunakan insektisda Methomyl (Lannate 25 WP), Triazophos (Fostathion 40 EC), Carbaryl (Sevin 85 S), Methidathion (Supracide 40 EC). Kemudian cegah datangnya semut yang dapat memindahkan kutu. Lalat buah (Dacus sp.) Bagian yang diserang adalah buah yang hampir masak. Gejala: lubang kecil di bagian tengah, buah gugur, belatung kecil di bagian dalam buah. Kutu sisik (Lepidosaphes beckii Unaspis citri.) Bagian yang diserang daun, buah dan tangkai. Gejala: daun berwarna kuning, bercak khlorotis dan gugur daun. Pada gejala serangan berat terlihat ranting dan cabang kering dan kulit retak buah gugur. Kumbang belalai (Maeuterpes dentipes.) Bagian yang diserang adalah daun tua pada ranting atau dahan bagian bawah. Gejala: daun gugur, ranting muda kadang-kadang mati. 2) Penyakit Tanaman Jeruk: a. CVPD Penyebab: Bacterium like organism dengan vektor kutu loncat Diaphorina citri. Bagian yang diserang: silinder pusat (phloem) batang. Gejala: daun sempit, kecil, lancip, buah kecil, asam, biji rusak dan pangkal buah oranye. b. Tristeza Penyebab: virus Citrus tristeza dengan vektor Toxoptera. Bagian yang diserang jeruk manis, nipis, besar dan batang bawah jeruk Japanese citroen. Gejala: lekuk batang , daun kaku pemucatan, vena daun, pertumbuhan terhambat. c. Woody gall (Vein Enation) Penyebab: virus Citrus Vein Enation dengan vektor Toxoptera citridus, Aphis gossypii. Bagian yang 152 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 d. e. f. g. h. i. j. k. l. diserang: Jeruk nipis, manis, siem, Rough lemon dan Sour Orange. Gejala: Tonjolan tidak teratur yang tersebar pada tulang daun di permukaan daun. Blendok Penyebab: jamur Diplodia natalensis. Bagian yang diserang adalah batang atau cabang. Gejala: kulit ketiak cabang menghasilkan gom yang menarik perhatian kumbang, warna kayu jadi keabuabuan, kulit kering dan mengelupas. Embun tepung Penyebab: jamur Odidium tingitanium. Bagian yang diserang adalah daun dan tangkai muda. Gejala: tepung berwarna putih di daun dan tangkai muda. Kudis Penyebab: jamur Sphaceloma fawcetti. Bagian yang diserang adalah daun, tangkai atau buah. Gejala: bercak kecil jernih yang berubah menjadi gabus berwarna kuning atau oranye. Busuk buah Penyebab: Penicillium spp. Phytophtora citriphora, Botryodiplodia theobromae. Bagian yang diserang adalah buah. Gejala: terdapat tepung-tepung padat berwarna hijau kebiruan pada permukaan kulit. Busuk akar dan pangkal batang Penyebab: jamur Phyrophthoranicotianae. Bagian yang diserang adalah akar dan pangkal batang serta daun di bagian ujung dahan berwarna kuning. Gejala: tunas tidak segar, tanaman kering. Buah gugur prematur Penyebab: jamur Fusarium sp. Colletotrichum sp. Alternaria sp. Bagian yang diserang: buah dan bunga Gejala: dua-empat minggu sebelum panen buah gugur. Jamur upas Penyebab: Upasia salmonicolor. Bagian yang diserang adalah batang. Gejala: retakan melintang pada batang dan keluarnya gom, batang kering dan sulit dikelupas. Kanker Penyebab: bakteri Xanthomonas campestris Cv. Citri. Bagian yang diserang adalah daun, tangkai, buah. Gejala: bercak kecil berwarna hijau-gelap atau kuning di sepanjang tepi, luka membesar dan tampak seperti gabus pecah dengan diameter 3-5 mm. C. Tahap Perancangan Tahap desain sistem merupakan tahap dalam perencanaan sistem dan desain antarmuka. Pemodelan sistem digunakan untuk membangun basis aturan, antar muka pemakai, basis pengetahuan, penjelasan fasilitas sistem. Pada tahap ini metode euclidean distance merupakan langkah penerapan basis pengetahuan pakar tanaman jeruk. Ditentukan aturan yang ada dengan metode euclidean distance, dengan cara menggambarkan sistem yang dibutuhkan untuk aturan pakar dengan penerapan metode euclidean distance sesuai dengan batasan penelitian yang telah ditentukan. Menambah Data Mendiagnosa <<extend>> Mengubah Data Data Diagnosa <<extend>> Login User Menghapus Data <<extend>> <<extend>> Lihat Input Testimony Ubah Testimony <<extend>> Setujui Testoimony Input Pesan Admin <<extend>> Terima Pesan Memeriksa Pesan Gambar 4. Use Diagram Komputerisasi Use case diagram pada menerangkan proses ketika User ingin menjalankan proses diagnosa, User pertama kali melakukan Login yang hanya menginput Username pengguna. Untuk menu awal User akan dihadapkan pada menu diagnosa jika ingin mendiagnosa hama dan penyakit tanaman jeruk. User memiliki hak akses antara lain diagnosa, pesan, isi testimony. Pesan digunakan ketika terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Admin sehingga dapat menggunakan menu ini. Untuk testimony digunakan untuk hak akses User dalam berbagi ilmu antar sesame User Activity diagram pada lampiran menggambarkan berbagai aktivitas di dalam sistem yang sedang dirancang. Dari mana sistem tersebut berawal, kemungkinan apa yang terjadi dan bagaimana sistem berakhir. Dapat dilihat bahwa aktivitas yang pertama yaitu melakukan Login sistem, jika Login sebagai User maka akan tampil menu sebagau User. Dan jika Login sebagai Admin, maka akan tampil menu Admin. Yang asing-masinh memiliki hak akses dan menu yang berbeda setiap aksesnya. Untuk Admin sebagai admin hak akses dapat melakukan tambah data gejala, hal tersebut tidak dapat dilakukan jika Login sebagai User. Selain itu admin memiliki hak akses untuk membalas pesan, menghapus data, menghapus tertimony yang ada. Apabila Login sebagai User kelebihan yang ada dapat melakukan diagnosa, kirim pesan. 153 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 User Mesin Inferens Admin Menjalankan Aplikasi  Menjalankan aplikasi Pin Salah Input nama Input username  Input password Pin Benar Menu Utema User Menu Utama Admin Lihat Data Diagnosa Testimony Pesan Pesan Testimony Tampil data Pilih bagian tanaman Diagnosa  data pesan Lihat Data Hapus Tambah data testimony Pilih gejala Tambah kirim pesan data testimony Input nama Edit Pilih data Input nama Input ID Tampil testimony Judul Pilih data Input Solusi  Edit data Isi Pesan Isi Input Rule1 Hapus data Isi Kesan Kirim Input Rule2 Database Input Mulai Kirim Database  Input Selesai inbox namun belum tahapan selanjutnya adalah pembuatan tree dan pemberian bobot agar dapat mengimplementasikan metode euclidean distance. Pembuatan diagram use case komputerisasi adalah desain sistem terkomputerisasi penyempurnaan dari sistem manual yang sebelum adanya sistem pakar ini. Selanjutnya perlu pengujian dan melakukan validitas agar sistem pakar yang akan dibangun telah sesuai dengan rule-rule yang telah disusun ke lebih dari satu orang pakar yang ahli dalam bidang penyakit jeruk ini. Penggunaan metoda untuk menentukan prioritas gejala mana yang seharusnya dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari metode perhitungan pengukuran jarak gejala dengan penyakit. Perlu didesain hubungan antara sejumlah gejala sehingga desain aplikasi tidak perlu menanyakan seluruh gejala yang ada jika beberapa gejala sudah dapat mengarah kepada suatu penyakit tertentu. Desain interface aplikasi sistem pakar diupayakan yang mudah dipahami oleh para petani. Inbox Simpan Updtae database VII. Tampil jenis hama dan penyakit, cara pengendalian [1] Proses Selesai? Proses Selesai? Tidak Tidak Ya Ya [2] [3] [4] Gambar 5. Diagram Aktivitas Sistem [5] VI. KESIMPULAN DAN SARAN [6] Hasil yang dapat ditulis adalah bahwa dari pelaksanaan penelitian yang berjudul Penanganan Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk dalam Sistem Pakar Diagnosis Penyakit Menggunakan Metode Euclidean Distance bahwa:  Hasil analisis sistem dari mengadakan pertemuan dengan para petani didapatkan sebuah mekanisme alur dalam melakukan pemantauan gejala-gejala penyakit yang memerlukan waktu yang lama, sesuai yang digambarkan dalam diagram Ude Chase manual di bab sebelumnya.  Telah dilakukan pembuatan data informasi penyakit, gejala, hama dan solusinya dalam bentuk tabel-tabel [7] [8] [9] [10] [11] [12] DAFTAR PUSTAKA Anisyah, Konsep Dasar Aplikasi Dan Pemograman Java. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2000 Davey, P. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series. 2003 Jogiyanto, H. Analisis dan Desain Sistem Informasi Edisi III. Yogyakarta: Andi. 2005 Durkin, John. “Expert Systems Design and Development”, Prentice-Hall. 1994. Hendrik, Antonius dan Riskadewi. Penerapan Sistem Pakar Euclidean distance Berbasis Aturan pada Pengawasan Status Penerbangan. Dalam jurnal INTEGRAL, Vol. 10 No. 3, November 2005. Kusumadewi, Sri. Artificial Intelligence (Teknik dan Aplikasinya). Yogyakarta: Graha Ilmu. 2003. Supardi,Y. 2014. Semua Bisa Menjadi Programmer Android Case Study. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Dinas Pertanian Propinsi Jatim. Kabupaten Jember Sentra Hortikultura. http://pertanian.jatimprov.go.id/index.php/sentrahortikultura/2005. Supriyanto, D. dan Agustina, R. Pemrograman Aplikasi Android. Jakarta: PT. Buku Seru2012. Taryana. Perancangan Aplikasi Gejala Dan Diagnosis Penyakit Umum Berbasis Android. Bandung: Universitas Komputer Indonesia. 2013. Wei, J.. Android Database Programming. Brimingham : Packt Publishing. 2012 Widjajadi , Hari. Tanaman Jeruk di Jember Diserang Penyakit CPVD http://www.tempo.co/read/news/2010/03/18/058233477/ 2010. 154 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 PENCIPTAAN KINERJA PROGRAM STUDI: SEBUAH PENGEMBANGAN MODEL TEORITIK (Studi Empiris pada Program Studi Politeknik di Jawa Timur) Sri Sundari#1 Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember Sumbersari, Jember 1sundari_polije@yahoo.co.id Abstract Mutu program studi merupakan cerminan kinerja perguruan tinggi secara keseluruhan. Akreditasi sebagai salah satu alat ukur penilaian kinerja program studi dalam dunia pendidikan tinggi merupakan pengakuan atas suatu lembaga pendidikan yang menjamin standar minimal sehingga lulusannya memenuhi kualifikasi untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi maupun masuk ke dunia kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kondisi kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen pengetahuan dan kinerja program studi, serta menganalisis pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan, juga pengaruh antara kepemimpinan, budaya organisasi secara langsung atau tidak langsung melalui manajemen pengetahuan terhadap kinerja program studi. Penelitian ini dilakukan secara sensus pada 82 Program Studi politeknik di Jawa Timur yang terakreditasi. Jenis penelitian ini adalah deskriptif verifikatif. Hipotesis penelitia diuji dengan teknik Partial Least Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kepemimpinan kaprodi belum mencapai kategori baik, budaya organisasi belum tertanam dengan kuat, manajemen pengetahuan belum terlaksana dengan baik, serta kinerja program studi masih rendah; (2) Kepemimpinan dan Budaya Organisasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Pengetahuan, secara parsial hanya budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap manajemen pengetahuan, sedangkan kepemimpinan berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap manajemen pengetahuan; (3) Kepemimpinan dan Budaya Organisasi baik secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Program Studi; (4) Pengaruh tidak langsung melalui manajemen pengetahuan, kepemimpinan berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap kinerja program studi, sedangkan budaya organisasi berpengaruh signifikan. Implikasi penelitian menghasilkan temuan berupa model konseptual Peningkatan Kinerja Progrm Studi Politeknik dan luaran berupa diterbitkannya dalam jurnal terakreditasi atau jurnal ilmiah internasional. Kata Kunci: Kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen pengetahuan, kinerja organisasi I. PENDAHULUAN Mutu program studi merupakan cerminan kinerja perguruan tinggi secara keseluruhan (BAN-PT, 2010). Berdasarkan hasil penilaian dari 82 program studi yang terakreditasi, baru 22% yang terakreditasi “A”, sedangkan sisanya sebesar 44% terakreditasi “B”, 33% terakreditasi “C”, dan 1% akreditasi daluwarsa (BAN-PT, 2015). Hasil sementara dapat dijelaskan bahwa kinerja program studi pada Politeknik di Jawa Timur belum tinggi. Kurangnya kesadaran dari pihak Politeknik dalam mengelola pengetahuan sebagai intangible asset yang sangat penting dan memiliki nilai strategis sebagaimana hasil penelitian pendahuluan, dapat menghambat pengembangan pengetahuan dan pembentukan pengetahuan baru sehingga berdampak pada ketidakmampuan pengetahuan memberikan nilai optimal bagi organisasi khususnya dalam hal tercapainya kinerja yang tinggi. Budaya organisasi yang merupakan nilai-nilai yang dianut dalam organisasi disinyalir belum kuat sehingga perlu adanya dorongan dari pihak manajemen dalam hal ini kaprodi kepada civitas akademika, khususnya dalam melakukan inovasi dan berani mengambil risiko. Selain itu Kaprodi juga disinyalir belum mampu menjadi penggerak partisipasi dan kesadaran seluruh anggota untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi, khususnya sebagai pemberi inspirasi dan motivator pada pengikutnya. Beberapa permasalahan yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini (1) Bagaimana kondisi kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen pengetahuan, dan kinerja program studi Politeknik di Jawa Timur, (2) Bagaimana pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan pada program studi Politeknik di Jawa Timur, baik secara 155 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 parsial maupun simultan, (3) Bagaimana pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja program studi Politeknik di Jawa Timur, dan (4) Bagaimana pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui manajemenpengetahuan terhadap kinerja program studi Politeknik di Jawa Timur. Secara umum penelitian ditujukan untuk (1) Menghasilkan suatu kajian tentang kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen pengetahuan, dan kinerja program studi Politeknik di Jawa Timur; (2) Menganalisis dan memperoleh kajian tentang pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan pada program studi Politeknik di Jawa Timur, baik secara parsial maupun simultan; (3) Menganalisis dan memperoleh kajian tentang pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja program studi Politeknik di Jawa Timur; dan (4) Menganalisis dan memperoleh kajian tentang pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui manajemen pengetahuan terhadap kinerja program studi Politeknik di Jawa Timur. Penelitian dapat dijadikan masukan atau sumbangan pemikiran (1) bagi pimpinan perguruan tinggi dalam menentukan kebijakan institusi guna merealisasikan capaian visi, misi dan tujuan Politeknik Negeri di Jawa Timur; (2) Bagi Quality Assurance (QA) Internal merupakan pedoman yang dapat bermanfaat guna memudahkan pengawasan atas jalannya operasional Politeknik; (3) Bagi civitas akademika program studi khususnya Ketua Program Studi, penelitian ini diharapkan dapat menemukan dimensi-dimensi kinerja program studi yang memerlukan perbaikan atau pembinaan dalam rangka pengembangan program studi II. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan serta implikasinya terhadap kinerja program studi. Objek penelitian adalah kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen pengetahuan dan kinerja program studi Politeknik di Jawa Timur. A. Metode yag digunakan Metode yang digunakan adalah sensus, di mana seluruh unit analisis digunakan sebagai data dalam penelitian. Pemilihan metode sensus bertujuan agar gambaran dan ciri-ciri populasi secara akurat dan komprehensif dapat diperoleh. Jenis penelitian adalah deskriptif-verifikatif karena dalam penelitian ini akan disajikan gambaran secara terstruktur, faktual dan akurat serta hipotesis akan diuji secara empirik. Unit analisis dalam penelitian ini adalah program studi terakreditasi pada politeknik di Jawa Timur, sedangkan unit observasinya adalah ketua program studi, dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan yang meliputi staf administrasi dan teknisi. B. Rancangan Analisis dan Uji Hipotesis Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis Deskriptif, digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing variabel penelitian sehingga diperoleh informasi mengenai gambaran kondisi kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen pengetahuan, dan kinerja organisasi pada Program Studi Politeknik di Jawa Timur. 2. Analisis Verifikatif, digunakan untuk pengujian hipotesis dengan menggunakan uji statistik, di mana Hipotesis 2, 3, 4 dan 5 dalam penelitian ini diuji dengan metode PLS dengan menggunakan SmartPLS versi 2.0. PLS (Partial Least Square) adalah salah satu metode statistika SEM berbasis varian yang didesain untuk menyelesaikan regresi berganda ketika terjadi masalah spesifik pada data, seperti ukuran sampel penelitian, adanya data yang hilang (missing value) dan multikolinearitas. PLS sebagai model prediksi tidak mengasumsikan distribusi tertentu untuk mengestimasi parameter dan memprediksi hubungan kausalitas (Hair et a.l 2013:26). Evaluasi model PLS dilakukan dengan cara: 1. Uji Model Pengukuran (outer model) Uji model pengukuran digunakan untuk menguji validitas konstruk dan reliabilitas. Dalam penelitian hanya dilakukan validitas konvergen. Validitas konvergen berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi. Validitas konvergen terjadi jika skor diperoleh dari dua instrumen berbeda mengukur konstruk yang sama mempunyai korelasi tinggi. Uji validitas konvergen dalam PLS dengan indikator reflektif dinilai berdasarkan loading factor (korelasi antar skor item/skor komponen dengan skor konstruk). Hair et al dalam Jogiyanto (2009) mengemukakan bahwa rule of thumb yang biasanya digunakan untuk pemeriksaan awal dari matriks faktor adalah ± 0,3 dipertimbangkan telah memenuhi batas minimal, untuk ± 0,4 dianggap lebih baik, dan untuk loading > 0,5 dianggap signifikan secara praktikal. Selain uji validitas, PLS juga melakukan uji reliabilitas untuk mengukur konsistensi internal alat ukur. Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah composite reliability yang harus lebih besar dari 0,7 meskipun nilai 0,6 juga masih dapat diterima (Hair et al dalam Jogiyanto, 2009). 2. Mengevaluasi inner model Merupakan model struktur untuk memprediksi hubungan kausalitas antar variabel laten. Hipotesis 2 dan 156 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 3 yang telah dirumukan pada penelitian ini akan diuji dengan metode PLS dengan menggunakan SmartPLS 2,0. 3. Penyusuna model pengukuran Persamaan model pengukuran untuk ξ1, ξ2, η1 dan η2 memiliki persamaan struktural sebagai berikut : 1   111   12 2   1 2  121   211   22 2   2 Metode pendugaan parameter dalam PLS adalah metode kuadrat terkecil. Proses perhitungan dilakukan dengan cara iterasi, di mana iterasi akan terhenti jika kondisi konvergen telah tercapai. Pendugaan parameter dalam PLS meliputi: • Weight estimate yang digunakan untuk menghitung data variabel laten • Path estimate yang menghubungkan antar variabel laten dan estimasi loading antar variabel laten dan induknya • Means dan parameter lokasi (nilai konstanta regresi, intersep) untuk indikator dan variabel laten. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Kepemimpinan, Budaya Organisasi, Manajemen Pengetahuan, dan Kinerja Program Studi Berdasarkan analisis deskriptif, maka diperoleh hasil dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut TABEL 1 TANGGAPAN RESPONDEN VARIABEL KEPEMIMPINAN BERDASARKAN PADA MASING-MASING DIMENSI Dimensi TABEL 2 TANGGAPAN RESPONDEN VARIABEL BUDAYA ORGANISASI BERDASARKAN PADA MASING-MASING DIMENSI Dimensi Inovasi dan pengambilan risiko Perhatian pada kecermatan Rata - rata Kategori 2.62 Cukup kuat 2.64 Cukup kuat Orientasi hasil 2.49 Kurang kuat Orientasi pada manusia 2.49 Kurang kuat Orientasi tim 2.64 Cukup kuat Agresif 2.56 Kurang kuat Stabil 2.66 Cukup kuat Kurang kuat Budaya Organisasi TABEL 3 TANGGAPAN RESPONDEN VARIABEL MANAJEMEN PENGETAHUAN BERDASARKAN PADA MASING-MASING DIMENSI Dimensi Rata - rata Kategori Sosialisasi 2.84 Cukup Eksternalisasi 3.39 Cukup Kombinasi 2.91 Cukup Internalisasi 2.88 Cukup 3.01 Cukup Baik Manajemen Pengetahuan TABEL 4 TANGGAPAN RESPONDEN VARIABEL KINERJA PROGRAM STUDI BERDASARKAN PADA MASING-MASING DIMENSI Rata - rata Kategori 3.13 Cukup 2.76 Cukup 2.58 Kurang Baik Sumberdaya manusia 2.97 Cukup Cukup Kurikulum, pembelajaran dan suasana akademik 2.70 Cukup Cukup Pembiayaan, sarana dan prasarana serta sistem informasi Penelitian, pelayanan, pengabdian masyarakat dan kerjasama 2.95 Cukup 2.80 Cukup 2.84 Cukup Tinggi Rata - rata Kategori Pengaruh ideal 2.85 Cukup Pertimbangan individu 2.85 Cukup Motivasi secara inspirasional 2.76 Cukup Stimulasi intelektual 2.67 Pengarahan dan hukuman 2.70 Penghargaan 2.64 Cukup Penyelesaian masalah 2.58 Kurang Baik Dimensi Visi, misi, tujuan dan sasaran serta strategi pencapaian Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan dan penjaminan mutu Mahasiswa dan lulusan Kinerja Program Studi Kepemimpinan 2.72 2.59 Cukup Baik 157 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 B. Pengukuran Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Manajemen Pengetahuan serta Implikasinya pada Kinerja Program Studi Dalam analisis Partial Least Square Tahap pertama menilai kriteria convergent validity. Suatu indikator dikatakan mempunyai validitas yang baik jika memiliki nilai loading factor lebih besar dari 0,70. Sedangkan loading factor 0,50 sampai 0,60 masih dapat dipertahankan untuk model yang masih dalam tahap pengembangan (Ghozali, 2008:111). Evaluasi terhadap nilai reliabilitas konstrak diukur oleh composite reliability. Masing-masing konstruk dikatakan reliabel jika memiliki composite reliability lebih besar dari 0,70 dan AVE lebih besar dari 0,50 (Yamin, 2011:203). Berdasarkan hasil penilaian model pengukuran pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan serta implikasinya pada kinerja program studi, maka diperoleh hasil sebagai berikut. Kep 0,255 0,968 0,675 BO Gambar 1. Diagram Jalur Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Manajemen Pengetahuan  Secara Simultan Hasil uji signifikansi pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan secara simultan, dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. TABEL 6 HASIL UJI PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP MANAJEMEN PENGETAHUAN TABEL 5 HASIL PENILAIAN MODEL PENGUKURAN Kriteria Penilaian Validitas Konvergen Reliabilitas komposit Model Pengukuran Aturan Nilai Keterangan Evaluasi Stan dar > Validitas&Rel Seluruh indikator ,5 iabilitas dari semua variabel indikator dan mempunyai > dimensi atau koefisien validitas 1,96 signifikan & nilai t t hitung> t tabel hitung lebih besar daripada nilai t tabel Composite ≥ 0,7 Seluruh hasil Reliability perhitungan adalah (CR) reliabel C. Struktural Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Manajemen Pengetahuan serta Implikasinya pada Kinerja Program Studi Analisis terkait dengan pengujian hipotesis dibahas dalam analisis model struktural berikut: pertama, pengaruh variabel kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan dan kedua, pengaruh variabel kepemimpinan, budaya organisasi, dan manajemen pengetahuan terhadap kinerja program studi. 1. Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Manajemen Pengetahuan Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan, maka dilakukan pengujian secara simultan dan parsial. Secara visual dapat dilihat pada gambar diagram jalur sebagai berikut: MP • Koef. Determinasi Fhitung Ftabel 0,852 151.595 3,112 Kesimpulan H0 ditolak Signifikan Secara Parsial TABEL 7 HASIL UJI PENGARUH LANGSUNG KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP MANAJEMEN PENGETAHUAN Variabel Kepemimpinan Budaya Organisasi Pengaruh langsung thitung tkritis 6,5% 1,486 1,96 45,6% 3,966 1,96 Kesimpulan H0 diterima H0 ditolak Tidak Signifikan Signifikan 2. Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Program Studi Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja program studi, maka dilakukan pengujian secara simultan dan parsial. Secara visual dapat dilihat pada gambar diagram jalur sebagai berikut: Kep 0,375 0,968 Kinerja 0,607 BO Gambar 2. Diagram Jalur Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Program Studi 158 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0  Secara Simultan Hasil uji signifikansi pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja program studi secara simultan, dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. TABEL 8 HASIL UJI PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA PROGRAM STUDI Koef. Determinasi Fhitung Ftabel 0,958 600,651 3,112 Kesimpulan H0 ditolak Signifikan  Secara Parsial TABEL 9 HASIL UJI PENGARUH LANGSUNG KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA PROGRAM STUDI Variabel Koefisien jalur thitung tkritis Kepemimpinan 14,1% 3.704 1,96 Budaya Organisasi 36,8% 5.897 1,96 Kesimpulan Ho ditolak Ho ditolak Signifikan Signifikan 3. Pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Kinerja Program Studi MP Kinerja 0,245 Gambar 3. Diagram Jalur Pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Kinerja Program Studi Hasil uji signifikansi pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja program studi dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. TABEL 10 HASIL UJI PENGARUH MANAJEMEN PENGETAHUAN TERHADAP KINERJA PROGRAM STUDI Pengaruh langsung t hitung t kritis 6,0% 4,572 1,96 Kesimpulan H0 ditolak Signifikan 4. Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Manajemen Pengetahuan serta Implikasinya pada Kinerja Program Studi a. Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Program Studi Melalui Manajemen Pengetahuan Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja program studi melalui manajemen pengetahuan, maka secara visual dapat dilihat pada gambar diagram jalur sebagai berikut: Kep 0,225 MP Kinerja 0,245 Gambar 4. Diagram Jalur Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Program Studi melalui Manajemen Pengetahuan Selanjutnya hasil uji signifikansi dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. TABEL 11 HASIL UJI PENGARUH TIDAK LANGSUNG KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PROGRAM MELALUI MANAJEMEN PENGETAHUAN Pengaruh tidak langsung t hitung t kritis 5,5% 1,409 1,96 Kesimpulan H0 diterima Tidak Signifikan b. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Program Studi Melalui Manajemen Pengetahuan Guna mengetahui pengaruh antara budaya organisasi terhadap kinerja program studi melalui manajemen pengetahuan, maka secara visual dapat dilihat pada gambar diagram jalur sebagai berikut: BO 0,675 MP 0,245 Kinerja Gambar 5. Diagram Jalur Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Program Studi melalui Manajemen Pengetahuan Hasil uji signifikansi, dapat dilihat pada Tabel 12 berikut. TABEL 12 HASIL UJI PENGARUH TIDAK LANGSUNG BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA PROGRAM MELALUI MANAJEMEN PENGETAHUAN Pengaruh tidak langsung thitung t kritis 16,5% 2,988 1,96 Kesimpulan H0 ditolak Signifikan c. Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Manajemen Pengetahuan serta Implikasinya pada Kinerja Program Studi Setelah melalui proses pengujian diperoleh rekapitulasi persentase pengaruh dari masing-masing variabel baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga dapat dibuat struktur pemodelan sekalius memperlihatkan besaran pengaruh antar variabel yang dapat digambarkan sebagai berikut. Kep 0,375 0,255 0,968 MP 0,245 Kinerja 0,675 0,607 BO Gambar 6. Diagram Jalur Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Manajemen Pengetahuan serta Implikasinya pada Kinerja Program Studi 159 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Setelah dilakukan uji pengaruh maka diperoleh hasil sebagai berikut. Kep 0,140 0,065 0,968 MP 0,060 Kinerja 0,455 0,369 BO Keterangan: : Signifikan : Tidak signifikan Gambar 7. Rekapitulasi Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisas terhadap Manajemen Pengetahuan serta Implikasinya pada Kinerja Program Studi IV. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain: (1) Pada program studi politeknik di Jawa Timur, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Manajemen Pengetahuan. Secara parsial budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap manajemen pengetahuan, sedangkan kepemimpinan berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap manajemen pengetahuan. (2) Pengaruh langsung Kepemimpinan dan Budaya organisasi terhadap Kinerja Program Studi signifikan baik secara parsial maupun simultan,. (3) Pelaksanaan Manajemen Pengetahuan walaupun kecil tetapi berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Program Studi. (4). Pengaruh tidak langsung Kepemimpinan terhadap Kinerja Program Studi melalui Manajemen Pengetahuan tidak signifikan. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka beberapa saran dapat dikemukakan, yaitu: (1) Agar hasil penelitian ini lebih teruji lagi maka penelitian serupa di wilayah lain di Indonesia perlu dilakukan. (2) Karena karakteristik dunia pendidikan sangat berbeda dengan industri yang lain maka penelitian dengan variabel yang sama tapi di luar dari dunia pendidikan sangat menarik untuk dilakukan misalnya saja pada industri manufaktur atau yang lain. (3) Variabel manajemen pengetahuan berpengaruh terhadap kinerja program studi, namun pengaruhnya kecil. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk mempertimbangkan variabel-variabel lain yang memperkuat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja program studi. Daftar Pustaka (1) A.I. Choudhary et.al. 2012. Impact of Transformational and Servant Leadership on Organizational Performance: A Comparative Analysis. Springer Science + Business Media B.V. (2) Albretch.Kar1.2011. Organizational Performance : Meeting The Challenges of The New Business Environment. Karl Albretch Publiseher (3) Analoui, Bejan David; Doloriert, Clair Hannah dan Sambrook, Sally. 2013. Leadership and Knowledge Management in UK ICT Organisations. Journal of Management Development Vol. 32 No. 1, 2013 pp. 4-17 r Emerald Group Publishing Limited (4) Avolio J. Bruce and Bernard, M.Bass.2002. Developing Potential Across a Full Range of leadership: Cases on Transactional and Transformational Leadership. Lawrence Erlbaum. Associates Publisher. London (5) BAN-PT.2010.Pedoman Akreditasi Perguruan Tinggi. Dirjen Dikti (6) Bass, B. M., & Avolio, B. J. (1997). Full range leadership development: Manual for The Multifactor Leadership Questionnaire. Redwood City, CA: Mind Garden, Inc. (7) Bergeron, Bryan P. 2003. Essentials of Knowledge Management. John Wiley and Sons. New Jersey (8) Certo. C Samuel and S Trevis Certo. 2009. Modern Management: Concept and Skills. Elevent Edition. Perason. Prentice Hall. New Jersey (9) Davenport, T and Prusak. 1998. Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know. Boston. Masschusetta (10) Dvir Taly, Dov Eden, Bruce, Shamir, 2002, Impact of Transformational Leadership on Follower Development and Performance a Field Experiment, Academy of manajemen Juornal. (11) Dessler, Gary. 2004. Human Resources Management 9th Edition. Prentice Hall International, Inc., New Jersey (12) Dirjen Dikti, 2011. Kebijakan Ditjen Pendidikan Tinggi tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dan Arah Kurikulum LPTK (13) Freeze, Ronald D; Kulkarni, Uday. 2007. Knowledge management capability: defining knowledge assets . Journal of Knowledge Management Vol.11. No.6. pp. 94-109. (14) Hislop, Donald. 2009. Knowledge Management In Organizations. Second Edition. Oxford University Press (15) James MacGregor Burns (1978). Leadership (1st ed.) New York: Harper & Row Management. (16) Jennex Murray. 2005. Case Study and Knowledge. Sandiego State University USA. Idea Group Publishing. Hersey, London, Melbourne, Singapore (17) Lee and Sukoco, 2007 Mills, Annette M. and Smith, Trevor A.. Knowledge Management and Organizational Performance: A Decomposed View. Journal of Knowledge Management. Vol.15. no.1. pp.156-171 (18) Lee, H and Byounggu Choi. 2000. Kowledge Management Enablers, Process and Organizational Performance: An Integration and Empirical Examinition. APDSI (19) Liebowitz, Jay. 2001. Knowledge Management: Learning Form Knowledge Engineering. CRC Press LLC (20) McShane, SL. Von Glinow, MA. 2008. Organizational Behavior: Emerging Realistic for The Work Place Revolution. Mc Graw Hill Irwin. Fifth edition (21) _______. 2010. Organizational Behavior: Emerging Knowledge and Practice for The Real World. Mc Graw Hill Irwin. Fifth edition (22) Michita Champathe s Rodsutti, Fredric W. Swierszek, 2002, Leadership and Organizational Effectiveness in Multinational Enterprise in South East Asia (23) Nguyen, Hai Nam dan Mohamed, Sherif. 2009. Leadership behaviors, organizational culture and knowledge management 160 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 practices. An empirical. Journal of Management Development Vol. 30 No. 2, 2011 pp. 206-221 q Emerald Group Publishing Limited (24) Nonaka I. Hirotaka Takeuchi. 2004. Hitotsubashi on Knowledge Management: Hitotsubashi University Graduate School of International Corporate Strategy. John Wiley (25) Pierce L. John and Donald G. Gardner. 2002. Management and Organizational Behavior : An Integrated Perspective. Thomson Learning. South Western (26) Rai, Kumar Rajnish. 2011. Knowledge management and organizational culture: a theoretical integrative framework. Journal of Knowledge Management VOL. 15 NO. 5. Pp.779-801 (27) Rajendar K. and Jun Ma (2005), “Benchmarking Culture and Performance in Chinese Organizations,” Benchmarking: An International Journal, 12 (3), 260-274. (28) Robbins, Stephen P, 2011. Perilaku Organisasi. Alih bahasa Benyamin Molan. Gramedia. Jakarta (29) Robbins, Stephen and Mary Coulter, 2009. Management, Tenth Edition. Pearson Education, Prentice Hall. (30) Schein, E.H. 2010. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco. CA. Jossey Bass (31) Schermerhorn, John R. Jr., Hunt, James G. Osborn, Richard N. 2010. Organizational Behavior. 11 Edition. John Wiley & Sons Inc. (32) Shafei, Reza et.al. 2011. Survey of Relationship Between Knowledge Management and Organizational Culture Dimensions in Public Organizations: A Case of Ilranian Public Organizations. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research In Business. Vol.2. No.11 (33) Suri G, Babu et.al. 2008. Relationship Between Leadership Capability and Knowledge Management: A Measurement Approach. Journal of Information and Knowledge Management. Vol.7. No.2. pp.83-92 (34) Wang, Chih-Chien, 2004, “The influence of ethical and self-Interest concerns on knowledge sharing intention among managers: an empirical study”, International Journal of Management, 21 (3), 370381 (35) Wood J. Wallace, J. Zeffane, R.M. Schermerhorn. 2001. Organizational Behavior: A Global Perspective. Second Edition (36) Yen, Poh Ng, 2011. Learning Organization Dimensions on Knowledge Sharing: A study of Faculty Members in the Private Universities in Malaysia. 161 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pengembangan Usaha IKM Jamu Tradisional di Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates Kabupaten Jember Naning Retnowati1), Dewi Kurniawati2) 1) Manajemen Agribisnis, 2) Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip PO.BOX 164 Jember 1) nanink_wati@yahoo.com, 2) kurnia.dewi1979@gmail.com Abstrak Kegiatan Pengabdian (IbM) ini ditujukan bagi mitra usaha jamu tradisional di Kecamatan Sumbersari (Pak Soetrisno) dan Kecamatan Sumbersari (Bu Suwarni) Kabupaten Jember. Permasalahan mitra meliputi : 1) kurang efektif dan efisiennya proses produksi jamu dikarenakan mesin produksi yang telah aus (Pak Soetrisno) dan penggunaan peralatan produksi yang masih sangat sederhana/tradisional (Bu Suwarni); 2) pemahaman mitra tentang manajemen usaha, manajemen pemasaran serta sanitasi pengolahan jamu juga masih sangat terbatas. Kegiatan IbM ini ditujukan : 1) agar dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses produksi jamu kedua mitra, 2) dapat meningkatkan kemampuan manajerial-pemasaran mitra, 3) serta dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mitra mengenai sanitasi produksi jamu (SSOP). Kegiatan IbM memberikan dampak positif bagi kedua mitra diantaranya: 1) pemberian alat dan mesin produksi jamu yang baru dapat meningkatkan kapasitas produksi, efektifitas dan efisiensi produksi jamu mitra, 2) pelatihan manajemen usaha dan pemasaran dapat meningkatkan kemampuan manajerial dan pemasaran mitra, 3) pelatihan sanitasi produksi jamu dapat meningkatkan kesadaran mitra tentang pentingnya penerapan SSOP dalam menjamin keamanan pangan produk jamu bagi konsumen. Kata Kunci: Alat Produksi, Jamu Tradisional, Pelatihan BAB 1. PENDAHULUAN Setiap manusia pada umumnya mengharapkan hidup yang sehat. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping kebutuhan akan sandang, pangan, papan dan pendidikan, karena hanya dengan kondisi kesehatan yang baik, manusia dapat melaksanakan segala aktivitas hidupnya secara lebih maksimal. Semakin majunya teknologi kesehatan dan pengobatan telah mendorong banyak orang untuk cenderung menggunakan obat-obatan kimia. Padahal, zat-zat kimia di dalam obat yang dikonsumsi tersebut dapat mengendap dalam tubuh dan sangat membahayakan sehingga berdampak pada munculnya jenis-jenis gangguan kesehatan lainnya di dalam tubuh manusia. Kini masyarakat Indonesia telah banyak menyadari tentang manfaat dan khasiat mengkonsumsi tanaman herbal seperti jamu sebagai sumber pengobatan yang alami, aman, dan tidak berdampak buruk di dalam tubuh manusia. Kesadaran masyarakat Indonesia untuk back to nature atau kembali ke alam, merupakan suatu peluang yang cukup besar dalam hal obat bahan alam untuk menggantikan obat modern/obat kimia walaupun belum dapat menggantikannya secara penuh. Kebiasaan minum jamu bukanlah hal asing bagi masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Madura. Jamu dapat dikategorikan sebagai minuman tradisional karena menggunakan bahan-bahan alami seperti tumbuhtumbuhan berkhasiat yang sudah biasa digunakan oleh masyarakat setempat secara turun temurun. Jamu adalah sebutan untuk ramuan bahan alam dari Indonesia yang terbuat dari bahan-bahan alami berupa bagian tumbuhan, seperti rimpang (akar-akaran), daundaunan, kulit batang, dan buah yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Jamu tradisional ini masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan menengah kebawah. Jamu (herbal medicine) sebagai salah satu bentuk pengobatan tradisional, memegang peranan penting dalam pengobatan penduduk di negara berkembang. Diperkirakan sekitar 70-80% populasi di negara berkembang memiliki ketergantungan pada obat tradisional ([3], [4]). Dibandingkan obat-obat modern, memang jamu tradisional memiliki beberapa kelebihan, antara lain : harga yang relatif murah, efek sampingnya relatif rendah, dalam suatu ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Secara umum jamu dianggap tidak beracun dan tidak menimbulkan efek samping. Khasiat jamu telah teruji oleh 162 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 waktu, zaman dan sejarah, serta bukti empiris langsung pada manusia selama ratusan tahun [4]. Bahan baku pembuatan jamu tradisional disebut sebagai simplisia. Simplisia yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat jamu tradisional sangat banyak dan beragam. Komposisinya sangat ditentukan oleh jenis jamu tradisional yang akan dihasilkan. Kualitas bahan baku/simplisia akan sangat menentukan kualitas jamu yang dihasilkan. Oleh karena itu, pemilihan bahan baku yang berkualitas baik sangat penting untuk diperhatikan. Secara umum, kualitas simplisia yang baik dapat dilihat dari parameter/kriteria sebagai berikut : tingkat kebersihan, tingkat kekeringan, warna, tingkat ketebalan, dan keseragaman ukurannya. Penjualan, jenis dan jumlah jamu sangat bervariasi untuk setiap produsen jamu. Hal tersebut tergantung pada kebiasaan yang mereka pelajari dari pengalaman tentang jamu apa yang diminati serta pesanan yang diminta oleh pelanggan. Setiap hari jumlah dan jenis jamu yang dijajakan tidak selalu sama, tergantung kebiasaan dan kebutuhan konsumen. Jenis jamu yang biasa dijual ada delapan, yaitu beras kencur, cabe puyang, kudu laos, kunci suruh, uyup-uyup/gepyokan, kunir asam, pahitan, dan sinom. Jika jamu yang dibuat menggunakan pemanis, pembuat jamu akan menggunakan gula jawa, gula pasir, atau gula batu (bentuk kristal besar menyerupai bongkahan batu). Penggunaan gula asli ini merupakan keharusan bagi penjual jamu dengan alasan kesehatan. Jamu tradisional atau bisa disebut dengan jamu gendong adalah jamu hasil produksi rumahan (home industry). Cara pemasarannya adalah dengan memasukkan hasil olahan jamu yang telah dibuat ke dalam botol-botol yang kemudian disusun di dalam bakul. Untuk selanjutnya bakul tersebut akan digendong oleh si penjual. Hingga disebutlah namanya menjadi jamu gendong. Jamu ini dijual dengan cara berkeliling setiap hari. Namun kini banyak penjual jamu yang menggunakan alat transportasi seperti sepeda motor dan sepeda untuk memudahkan proses pemasaran produknya. Lokasi usaha jamu tradisional berada di dalam wilayah Kabupaten Jember yang merupakan kota kabupaten dan terletak di Provinsi Jawa Timur, berjarak sekitar 200 km dari kota Surabaya ke arah timur. Kabupaten ini terdiri dari 31 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 248 Desa. Luas wilayah secara keseluruhan Kabupaten Jember adalah 3.293,34 km2 atau 329.334 Ha yang terletak posisi koordinat sekitar 6°27'6” sampai dengan 7°14'33” Bujur Timur dan antara 7º59'6” sampai 8º33'56” Lintang Selatan. Kepadatan penduduk di Kabupaten Jember berdasarkan Hasil Registrasi Penduduk pada akhir tahun 2011 adalah 661,89 jiwa per km2. Diantara kecamatankecamatan yang ada, Kecamatan Kaliwates merupakan kecamatan terpadat dan disusul Kecamatan Sumbersari, masing-masing dengan kepadatan penduduk sebesar 3797,03 jiwa per km2 dan 2,854,81 jiwa per km2. [1] Beberapa sentra usaha dan jenis usaha terdapat di Kabupaten Jember khususnya di Kecamatan Sumbersari, Kaliwates dan Patrang. Salah satunya adalah usaha Jamu Tradisional milik Bapak Soetrisno dan Bu Suwarni yang berlokasi di Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates. Bapak Soetrisno memulai usaha dari tahun 1970 dengan produksi awal sebanyak 4 liter jamu perhari dan kini jumlah pelanggannya meningkat sehingga dalam sehari mampu memproduksi jamu kurang lebih 200 sampai 220 liter dan jumlah pendapatan perhari berkisar Rp 500.000 sampai dengan Rp 1.000.000. Bapak Soetrisno memilih untuk berwirausaha di bidang produksi jamu karena beliau berkeinginan untuk dapat menjual produk yang dapat meningkatkan kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Beliau merasa sangat senang jika pelanggannya menjadi semakin sehat setelah mengkonsumsi jamu buatannya. Dalam upaya meningkatkan kepuasan pelanggannya, Bapak Soetrisno senantiasa melakukan upaya perbaikan kualitas pada produk jamunya dengan cara mengubah macam bahan dan jumlah komposisi bahan simplisia dengan kualitas dan kuantitas bahan yang jauh lebih baik dari sebelumnya agar pelanggannya semakin merasakan dampak positif pada kesehatannya. Usaha jamu milik Bapak Soetrisno dikelola dengan manajemen keluarga dan memakai peralatan sederhana. Proses pengupasan simplisia dilakukan secara manual, penggilingan simplisia dilakukan dengan mesin penggiling 5,5 PK berkapasitas rendah sekitar 8 kg/jam, mesin penggiling ini sudah tidak layak pakai karena sering macet saat digunakan sehingga menghambat proses produksi. Selanjutnya proses pemerasan dilakukan secara manual dengan menggunakan kain putih, proses pemasakan dilakukan dengan kompor gas berukuran kecil, dan terakhir proses pengemasan juga dilakukan secara manual tanpa menggunakan alat bantu pengemas botol. Usaha jamu milik Bu Suwarni dimulai sejak tahun.1980 dilakukan dengan manajemen keluarga dan dalam satu hari mampu berproduksi sebanyak 20 liter jamu dengan jumlah pendapatan perharinya berkisar Rp 40.000 sampai dengan Rp 50.000. Saat melakukan produksinya Bu Suwarni menggunakan peralatan yang sangat sederhana diantaranya : lesung untuk proses penghancuran simplisia, saringan yang terbuat dari plastik, serta kompor gas dalam ukuran kecil. Proses pembuatan jamu yang dilakukan Pak Soetrisno dan Bu Suwarni adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan bahan baku utama berupa lempuyang, kunir, jahe, temulawak, kencur, beberapa jenis daundaunan beserta bahan tambahan lainnya yakni gula aren atau gula kelapa dan gula pasir. 2. Pencucian simplisia dengan menggunakan air bersih 3. Pengupasan kulit simplisia secara manual dengan pisau dapur 4. Penggilingan simplisia sampai menjadi bahan jamu dengan ukuran yang lebih halus 163 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 5. Penyaringan (pemisahan ampas dan cairan) dengan menggunakan kain saringan berwarna putih. 6. Pemasakan. Pada proses ini bahan jamu ditambahkan air agar tidak terlalu kental, untuk satu kilo gram bahan ditambahkan dengan 10 sampai dengan 12 liter air. Untuk memberikan rasa asin dan manis juga untuk penyegar maka pada bahan ditambahkan dengan garam, gula aren atau gula kelapa, gula pasir dan asam secukupnya. 7. Pendinginan 8. Pengemasan jamu ke dalam botol yang telah dipersiapkan. Permasalahan produksi yang dihadapi Pak Soetrisno adalah kurang maksimalnya cara kerja dari mesin penggiling simplisia dikarenakan mesin telah aus sehingga tidak layak pakai lagi begitu pula dengan kompor yang dimiliki oleh mitra. Pak Soterisno juga belum memiliki alat pengemas botol (sealing botol) yang penting dalam menjaga kehigienisan jamu yang diproduksi. Permasalahan produksi yang dihadapi Bu Suwarni adalah tidak tersedianya mesin penggiling, kompor yang ergonomis serta alat pengemas botol (sealing botol). Permasalahan produksi yang dihadapi mitra ditunjukkan pada gambar 1. botol (sealing botol) agar dapat meningkatkan kapasitas produksi jamu sehingga tercapai efektifitas dan efisiensi produksi, 2) pelatihan manajemen usaha, pemasaran serta sanitasi dalam produksi jamu agar daerah pemasarannya menjadi lebih luas, pendapatan mitra meningkat serta terjamin keamanan pangan para konsumennya (pelanggan). BAB 2. TARGET DAN LUARAN 2.1 Target Target yang ditetapkan adalah: a) Memperpendek waktu/mempercepat proses produksi b) Meningkatkan kapasitas produksi c) Meningkatkan pengetahuan mengenai sanitasi dalam pengolahan jamu d) Memperbaiki manajemen, dan e) Memperluas daerah pemasaran 2.2 Luaran Adapun luaran yang diharapkan akan dihasilkan oleh kegiatan IbM ini adalah: a) Alat dan mesin produksi berupa mesin untuk menggiling simplisia, kompor untuk memasak jamu, serta alat pengemas botol (sealing botol). b) Model Pelatihan yang sesuai dengan kondisi usaha mitra yaitu meliputi : pelatihan di bidang manajemen usaha, pelatihan yang dapat meningkatkan pengetahuan mitra mengenai pentingnya sanitasi dalam proses pengolahan jamu serta pelatihan di bidang pemasaran agar dapat memperluas daerah distribusi produk jamu. BAB 3. METODE PELAKSANAAN Gambar 1. Permasalahan Produksi Kedua Mitra Usaha Jamu Permasalahan bidang manajemen kedua mitra : dalam urusan administrasi belum menerapkan sistem pencatatan yang baik. Hal ini menyebabkan perhitungan biaya yang telah dikeluarkan dan keuntungan usaha tidak dapat ditentukan secara tepat. Selain itu pemasaran produk jamu hanya meliputi daerah sekitar lokasi tempat tinggal Pak Soetrisno dan Bu Suwarni saja yakni Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates. Kedua mitra membutuhkan sentuhan pembinaan berupa : 1) bantuan alat dan mesin produksi berupa mesin penggiling, kompor yang ergonomis serta alat pengemas 3.1. Solusi yang Ditawarkan Solusi yang ditawarkan adalah : a) Pembuatan alat-alat produksi meliputi mesin penggiling simplisia, kompor untuk memasak jamu yang ergonomis, alat pengemas botol (sealing botol). b) Pelatihan manajerial meliputi manajemen usaha dan strategi pemasaran dan pelatihan tentang sanitasi dalam pengolahan/produksi jamu. 3.2. Metode Pendekatan yang Ditawarkan Adapun metode pendekatan yang diusulkan adalah sebagai berikut a. Studi pustaka dan observasi lapang Untuk membuat alat-alat produksi, maka studi pustaka yang dibutuhkan adalah: i. Pengetahuan tentang proses pembuatan jamu ii. Pengetahuan tentang material alat produksi jamu agar jamu yang dihasilkan aman dikonsumsi masyarakat 164 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 b. Observasi lapang yang dilakukan adalah: i. Mengamati proses produksi jamu yang dilakukan oleh mitra ii. Mengamati kualitas jamu yang dihasilkan iii. Mengamati peralatan produksi yang digunakan iv. Mengamati manajemen usaha yang dijalankan v. Mengamati kondisi pemasaran produk 3.3. Prosedur Kerja Prosedur kerja yang diterapkan pada kegiatan ini adalah sebagai berikut: a) Persiapan b) Studi Pustaka c) Survei lapang d) Pengumpulan dan pengolahan data awal e) Penyusunan kebutuhan alat produksi dan pelatihan f) Pembuatan alat g) Pelatihan proses produksi dan manajemen pemasaran h) Monitoring dan evaluasi i) Pembuatan laporan BAB 4. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI 4.1 Kinerja P3M Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (P3M) Politeknik Negeri Jember memiliki programprogram pengabdian untuk membantu masyarakat, terutama bagi UKM. Beberapa kegiatan pembinaan usaha kecil menengah yang telah dijalankan oleh P3M adalah Pendampingan IKM di Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, Banyuwangi, Probolinggo, dan Pasuruan yang bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur serta dinas-dinas terkait. Beberapa program pengabdian dari DIKTI dan LIPI, meliputi IbM, IbK, IbPE, IbKK, IbW, serta IPTEKDA sebelumnya juga telah berhasil dilaksanakan dengan baik oleh staf pengajar dan P3M Politeknik Negeri Jember. Kinerja P3M Politeknik Negeri Jember berkaitan dengan program Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) dalam 1 tahun terakhir mampu mendapatkan program IbM sebanyak 16 judul dan IbPE sebanyak 1 judul. Oleh karena itu kami memandang bahwa P3M Politeknik Negeri Jember layak untuk memperoleh kepercayaan menjalankan kegiatan IbM ini berdasarkan prestasi yang telah dicapai oleh lembaga selama ini. 4.2 Kepakaran yang Dibutuhkan Adapun kepakaran yang dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan masalah mitra di bidang usaha jamu di Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates, Kabupaten Jember adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Kepakaran Anggota Tim No Nama Pendidikan 1. Naning S2 Retnowati, S.TP., M.P. 2. Dewi S2 Kurniawati , S.Sos., M.Si. Bidang Keahlian Manajemen dan Teknologi Agroindustri Kewirausahaan dan Manajemen Agroindustri BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Hasil yang telah dicapai dalam kegiatan ini adalah: 1. Kegiatan survei lokasi usaha Kegiatan ini berupa kunjungan ke tempat usaha Bapak Soetrisno dan Bu Suwarni untuk menentukan jenis alat yang dibutuhkan dalam meningkatkan produktivitas usaha jamu tradisional. 2. Survei alat dan bahan Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari survei lokasi usaha. Dalam hal ini kami mencari bengkelbengkel logam atau toko yang menjual alat-alat dan bahan yang dibutuhkan. 3. Pengerjaan alat dan mesin Mesin penggiling simplisia yang dipesan diproduksi oleh Bengkel SAS yang berlokasi di Kecamatan Rambipuji Jember. 4. Pelatihan dan penyerahan alat dan mesin produksi jamu Pelatihan manajemen usaha, pelatihan sanitasi pengolahan jamu serta pelatihan pemasaran telah terselenggara pada tanggal 24 Juli 2016. Serah terima alat dan mesin produksi jamu juga telah dilakukan pada tanggal 24 Juli 2016. Beberapa dokumentasi dari kegiatan yang telah kami laksanakan adalah sebagai berikut: Gambar 2. Pelaksana Ibm Bersama Peserta Pelatihan 165 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Gambar 3. Pelatihan Manajemen Usaha, Pemasaran, Sanitasi Produksi Jamu sebelumnya hanya berkisar 3-5 kg/jam, kini dengan mesin penggiling jamu menjadi 40 kg/jam. Omset penjualan mitra kini juga meningkat sekitar 65-80%. Kegiatan pelatihan manajemen usaha pihak mitra memahami bagaimana cara melakukan analisis usaha sehingga dapat diketahui secara tepat besar profit/keuntungan yang didapat mitra setiap kali melakukan proses produksi. Mitra kini juga mulai membiasakan melakukan proses pencatatan administrasi dan keuangannya secara lebih rutin. Pelatihan pemasaran memberikan informasi yang penting bagi mitra tentang pentingnya mempertahankan kualitas produk agar konsumen menjadi pelanggan yang loyal dan dapat memilih strategi pemasaran yang tepat agar produk mereka tetap eksis di tengah persaingan usaha yang semakin ketat. Daerah pemasaran mitra juga semakin luas, Pak Soetrisno kini menjual jamu di tiga daerah yang berbeda, sebelumnya daerah pemasaran hanya meliputi dua daerah saja (sekitar kampus). Pelatihan bidang sanitasi dalam produksi jamu memberikan informasi penting bagi mitra tentang pentingnya menerapkan SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) sebagai upaya untuk menjamin keamanan pangan bagi konsumen jamu mitra. BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN Gambar 4. Serah Terima Alat dan Mesin Produksi Jamu Gambar 5. Proses Produksi Jamu Mitra dengan Mesin Penggiling Jamu yang Baru Mesin penggiling jamu yang telah diberikan membantu mitra dalam meningkatkan kapasitas produksi jamu, serta efektifitas dan efisiensi dalam proses produksi jamu mitra. Mesin penggiling jamu yang sebelumnya dimiliki Pak Soetrisno memiliki kendala mesin sering mati dikarenakan kapasitas mesin yang rendah, kini dengan mesin penggiling yang baru waktu produksi dapat lebih singkat. Kapasitas produksi jamu mitra (Bu Suwarni) yang 6.1 Kesimpulan a) Kegiatan pengabdian pada kedua mitra jamu tradisional yakni Pak Soetrisno dan Bu Suwarni yang meliputi : pemberian materi pelatihan dan pemberian bantuan berupa alat dan mesin produksi jamu berlangsung dengan lancar dan sukses. Hal ini tampak dari antusiasme mitra dan peserta saat diberikan materi pelatihan dan diberikan bantuan alat dan mesin produksi jamu. b) Pemberian bantuan alat dan mesin produksi kepada mitra dapat meningkatkan kapasitas produksi, efektifitas dan efisiensi proses produksi jamu mitra. c) Kegiatan pelatihan berupa pemberian materi bidang manajemen usaha, pemasaran serta sanitasi pangan : 1) dapat memperbaiki kemampuan manajerial usaha mitra dalam melakukan proses pencatatan administrasi secara lebih rutin, mitra juga dapat menghitung keuntungan usaha dalam setiap kali mereka melakukan proses produksi, 2) dapat memperluas daerah pemasaran serta menemukan strategi tepat dalam memasarkan produk jamunya kepada konsumen, 3) mitra senantiasa menerapkan prinsip sanitasi pangan (SSOP) sebagai upaya dalam menjamin keamanan pangan produk jamu bagi konsumen. 166 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 6.2 Saran Program Pengabdian Kepada Masyarakat (IbM) diharapkan akan dapat berlangsung secara berkelanjutan dalam bidang- bidang pengolahan produk pangan agroindustri lainnya agar dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pada wilayah tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Kegiatan IbM di dibiayai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Program Pengabdian Masyarakat Nomor: 085/SP2H/PPM/DIT.LITABMAS/II/2016, Tanggal 17 Februari 2016. DAFTAR PUSTAKA [1] Kabupaten Jember. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Jember. [2] Mahady GB, 2001. Global Harmonization of Herbal Health Claim. Journal of Nutrition. 131:1120 S – 1123 S. [3] Wijisekera ROB. 1991. Plant-Derived Medicines and Their Role in Global Health. The Medicinal Plant Industry. CRC Press. Florida, USA. [4] Winarno, F.G. 1997. Naskah Akademis Keamanan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor 167 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 IbM Kelompok Pengusaha Bakpao di Tegal Besar Siti Djamila #1, Titiek Budiati*2, Iswahyono#3, Amal Bahariawan*4 # Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember Jalan Mastrip, Jember 1umi_djamila@yahoo.co.id 3is_tep@yahoo.co.id * Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember Jalan Mastrip, Jember 2titik.budiati@gmail.com 4amalbahariawan68@gmail.com Abstract Tujuan dari kegiatan pengabdian ini adalah untuk membantu kelompok pengusaha bakpao terutama dalam peralatan proses produksi bakpao. Selama ini pembuatan bakpao dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sangat sederahna seperti untuk pembagian adonan menjadi bagian yang kecil –kecil dilakukan dengan menimbang satu persatu adanoan, selain itu proses pengembangan adonan dilakukan dengan cara menutup adonan yang ada dalam loyang-loyang yang sudah disusun dengan menggunakan penutup plastik. Dengan pelaratan yang ada tersebut kualitas dan kuantitias produksi bakpao belum maksimal Target yang ingin dicapai adalah pembagian adonan dilakukan dengan mesin pembagi (divider), dan pengembangan adonan dilakukan dengan lemari pengembang (proofer). Metode yang digunakan adalah untuk pembagian adonan dilakukan dengan mesin pembagi adonan sistim multi blade dengan tenaga pemotong pneumatic, sedangkan untuk pengembang menggunakan lemari pengembang dengan suhu dan kelembaban dikontrol secara otomatis menggunakan termo kontrol digital . Keywords— adonan, bakpao, divider, proofer I. PENDAHULUAN Bakpao adalah salah satu kue tradisional berasal dari Tionghoa yang disukai oleh masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Jember karena disamping rasanya yang enak namun juga mampu mengganjal perut untuk menunda rasa lapar. Kue seperti ini berbentuk bundar dan mencembung pada bagian permukaanya sehingga terlihat ranum yang akan membuat kita semua dengan melihatnya saja pasti terasa ingin memakannya. Secara umum kue bakpao dibuat dari bahan baku tepung terigu, gula pasir, ragi, susu, garam dan pengempuk namun dalam perkembangannya bahan baku tepung terigu dapat disubstitusi dengan menggunakan tepung ubi jalar, tepung waluh atau tepung mocaf dengan komposisi 25 - 40 % tepung substitusi dan 75 - 60 % tepung terigu. Ibu Hj. Supiyati dan Bapak Sodiq merupakan salah satu produsen bakpao sejak tahun 1996, keahlian membuat bakpao diperoleh dari ayahnya yang dulunya juga membuka usaha bakpao karena ayahnya pernah bekerja pada produsen bakpao dari seseorang yang keturunan Tiongha. Produksi bakpao pada awalnya hanya 6 kg bahan baku tepung terigu namun saat ini telah mampu memproduksi bakpao dengan bahan baku utama tepung terigu sebanyak 20 kg. Dalam pembuatan bakpao terdapat proses pembagian adonan bakpao menjadi ukuran kecil. Selama ini mitra melakukan dengan cara menimbang satu persatu dengan ukuran berat yang sudah ditentukan. Adonan bakpao sebanyak 4,6 kg dibagi menjadi 6 bulatan besar, kemudian 1 bulatan besar ini dibagi menjadi 36 bulatan kecil dengan ukuran masing-masing bulatan 60 gram yang siap untuk dikukus. Pembagian adonan bakpao menjadi ukuran kecil dilakukan dengan menimbang satu persatu adonan tersebut menggunakan timbangan kue. Pembagian adonan bakpao secara manual mempunyai banyak kelemahan yaitu: penimbangan 1 bulatan besar menjadi 36 bulatan kecil memerlukan waktu 30 menit, ukuran relatif tidak seragam, banyak bercampur tangan akan mengakibatkan panas pendahuluan. Hal ini akan mengakibatkan over fermentasi atau mengembang duluan, hal ini akan mengurangi mutu bakpao seperti aroma berkurang, tekstur kasar, rasa asam. Pembagian adoanan secara manual seperti tertera pada Gambar 1. 168 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 paling lama 2 jam. Proses fermentasi yang lama ini menjadi keluhan pengusaha karena mengganggu proses produksi seperti: produksi menjadi lambat, sehari hanya mampu membuat 8 adonan yang dimulai pada jam 7.00 WIB pagi sampai jam 18.00 WIB, tenaga kerja pada waktu-waktu tertentu banyak yang nganggur. Dan kelemahan lain yang terjadi seperti: daya kembang kurang maksimal dan adonan bakpao terkadang lengket pada penutup plastik. Gambar 1. Pembagian Adonan secara Manual Selain itu pada proses pembuatan bakpao terdapat proses peragian atau fermentasi yang bertujuan agar adonan dapat mengembang. Pada tahap ini adonan mengembang karena adanya desakan gas CO2 yang dihasilkan khamir Sacharomyces cereviseae dengan substrat glukosa dari terigu ataupun gula, selain itu diikuti juga dengan terjadinya reaksi-reaksi biokimiawi menghasilkan asam-asam organik ataupun senyawa aromatis yang memberikan andil terhadap cita rasa bakpao. Selama proses fermentasi kondisi kelembaban dan suhu udara berpengaruh besar terhadap daya kembang bakpao, yaitu menghendaki RH 65 – 70 % dan suhu ruang 30oC. Pada umumnya industri kecil dalam melakukan proses fermentasi ini dilakukan dengan cara meletakkan adonan yang sudah dibentuk pada rak-rak dan ditutupi plastik, seperti tertlihat pada Gambar 2. Gambar 2. Fermentasi Menggunakan Penutup Plastik Kenyataan di lapang yang terjadi yaitu pada cuaca mendung fermentasi berlansung selama 6 jam, sedangkan pada cuaca normal berlangsung selama 4 jam. Sebenarnya apabila kondisi suhu dan kelembaban fermentasi ini terkontrol maka proses fermentasi hanya berlangsung II. TARGET DAN LUARAN Target luaran dari kegiatan ini adalah: 1. Terbuatnya satu unit Mesin Pembagi adonan bakpao dengan spesifikasi: Dimensi (p,l,t): (50, 50,75) cm Tenaga pembagi: sistim pneumatic Rangka: Besi Siku 5x5, Besi U6 dan U5 Tenaga pneumatic: Kompresor 1 HP Prinsip Kerja: Penekanan Multi Blade Kapasitas : sekali tekan menjadi 64 buah bakpao 2.Terbuatnya satu unit lemari pengenmbang (proofer) dengan spesifikasi: Dimensi (p,l,t) : (60,100,200) cm Rangka: Pipa Kotak Stainles 3x3 Dinding: Plat Aluminium 1 mm Sumber panas: Heater listrik 100 watt Pengukuran dan Kontrol Suhu: Termo Kontrol Digital Kapasitas: 20 loyang sekali proses Tujuan dari penerapan teknologi pembagi adonan bakpao adalah sebagai berikut : a) Meningkatkan kapasitas pembagian adonan bakpao menjadi 64 bulatan kecil sekali tekan. b) Meningkatkan keseragaman ukuran dan bentuk adonan c) Menghindari terjadinya over fermentasi sehingga mutu bakpao lebih terjamin. d) Memperbaiki sanitasi dan estetika produk. e) Memperpanjang masa kadaluwarsa produk f) Menciptakan kenyamanan kerja. Tujuan pembuatan lemari pengembang (proofer) bakpao di industri rumah tangga adalah : a) Mempercepat waktu fermentasi menjadi 2 jam dan tidak terpengaruh oleh kondisi cuaca lingkungan b) Meningkatkan kapasitas produksi menjadi 2 kali lipat dengan waktu produksi mulai jam 7.00 WIB sampai jam 16.00 WIB. c) Suhu dan kelembaban udara fermentasi dapat dikontrol sesuai yang dibutuhkan yaitu, RH 65 – 70 % dan suhu ruang 30oC. d) Meningkatkan kualitas bakpao terutama bentuk dan rasa e) Mengurangi resiko kegagalan dalam proses pembuatan bakpao, 169 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 f) Meningkatkan dihasilkan.. higienitas produk bakpao yang III. METODE PELAKSANAAN Studi Pustaka dan Observasi Lapang Dalam pembuatan alat pembagi adonan dan lemari pengembang bakpao diperlukan studi pustaka mengenai: a) Sifat fisikokimia adonan bakpao b) Teknologi perancangan alat mesin pencetakan bahan pangan. c) Perhitungan daya, transformasi tenaga dan sistim transmisi d) Teknologi pengolahan bakpao terutama pada proses fermentasi, e) Teknologi perancangan alat pengembang (proofer) bakpao terkendali f) Teknologi pengontrolan suhu dan kelembaban udara secara elektronik Studi lapang yang dilakukan adalah: a) Mengamati proses pencetakan bakpao di tingkat industri kecil b) Mengamati kualitas dan kuantitas adonan bakpao yang dihasilkan c) Mengamati kondisi ergonomis dan efisiensi pembgian adonan bakpao secara manual di industri kecil d) Mengamati kondisi pemasaran produk bakpao e) Mengamati teknologi pencetakan/pembagian bahan pangan yang ada dipasaran. f) Mengamati proses pembuatan bakpao yang dilakukan di tingkat industri kecil g) Mengamati kualitas dan kuantitas produk bakpao yang dihasilkan h) Mengamati kondisi ergonomis dan efisiensi alat proses pembuatan bakpao yang ada di industri kecil terutama alat pengembang bakpao. i) Mengamati teknologi pengembangan bakpao Mesin Pembagi Adonan Bakpao Multi Blade (Divider) Alat pembagi adonan bakpao yang akan diterapkan mempunyai keunggulan ukuran bakpao bervariasi sehingga besar bakpao yang dikehendaki dapat ditentukan. Prinsip kerja alat ini adalah untuk pembagian adonan menggunakan prinsip pembagian menggunakan pisau sekat yang ditekan kedalam adonan yang sudah diratakan pada sebuah tempat berbentuk lingkaran. Penekanan menggunakan sistem tuas pengungkit yang digerakkan oleh tangan. Dengan sistem ini tenaga penekanan tidak terlalu berat. Untuk lebih jelas teknologi yang akan dterapkan seperti pada Gambar 3a. Lemari Pengembang Bakpao (Proofer) Alat pengembang bakpao ini didesain mempunyai kapasitas 20 loyang selama 2 jam. Alat ini bekerja dengan prinsip pengkondisian udara ruang pengembang dengan parameter suhu dan kelembaban sesuai dengan kebutuhan proses pemgembangan bakpao. Pengukuran suhu dan kelembaban ini dilakuan secara elektronik. Dengan demikian secara garis besar alat ini terdiri dari beberapa bagian utama yaitu: a. Unit Ruang Pengembang Ruang pengembang berfungsi sebagai tempat terjadi proses fermentasi adonan bakpao. Pada ruang ini dibutuhkan suhu dan kelembaban tertentu. Ruang pengembang ini dibatasi oleh dinding yang terbuat dari aluminium. Dengan dinding model ini diharapkan suhu dan kelembaban akan lebih stabil. Selain itu dalam ruang ini dilengkapi rak-rak tempat loyang bakpao, lampu penerangan dan kaca pengintai b. Unit Pembangkit Kelembaban Unit ini berfungsi untuk membangkitkan kelembaban untuk disalurkan keruang pengembang. Unit ini posisinya dalam alat pengembang berada dibawah ruang pengembang yang sekaligus berfungsi sebagai alas. Unit ini terdiri dari beberapa bagian yaitu: pemanas, bak air dilengkapi kipas pemercik dan blower untuk dihembuskan ke ruang pengembang. Pengendalian suhu dan kelembaban udara ruang pengembang dilakukan secara elektronik. Gambaran lengkap alat pengembang bakpao terkendali ini dapat dilihat pada Gambar 3b. (a) (b) Gambar 3. Rancangan Divider dan Proofer IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI Kinerja Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam Kegiatan PPM satu tahun Terakhir Kinerja P3M Politeknik Negeri Jember berkaitan dengan program Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) dalam 1 tahun terakhir mampu mendapatkan program IbM dengan judul sebagai berikut: a. IbM Kelompok Pengusaha Petis Ikan di Puger b. IbM Kelompok Petani Sumberwaru Sukowono Jember c. IbM Aplikasi Pakan Komplit Bentuk Wafer Untuk Meningkatkan Produktivitas Sapi Potong Di 170 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. Kelompok Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO) Kabupaten Bondowoso IbM Kelompok Tani Kopi Rakyat Desa Andongsari Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo IbM Kelompok Usaha Pengerajin Ikan Panggang dan Produsen Minyak Hati Ikan Hiu IbM Usaha Tempe Di Desa Jurangsapi Dan Pejaten Kecamatan Tapen-Bondowoso IbM Kelompok Usaha Ikan Asap Di Desa Paseban Kecamatan Gumuk Mas Kabupaten Jember IbM Kelompok Petani Jamur Merang Rambipuji Jember IbM Kelompok Usaha Pemindangan Tradisional IbM Pengrajin Tempe Koro Metode Baru Ibm Sistem Intensifikasi Padi (System Of Rice Intensification = Sri) Di Kelompok Tani IbM Kelompok Tani Program Intensifikasi Sistem Mina Padi (Insismindi) Sistem Penjualan Berbasis Web Dalam Upaya Memperluas Jaringan Pemasaran Dan Meningkatkan Pendapatan Industri Batik Tulis Sumbersari Di Bondowoso IbM Kelompok Pengusaha Kapuk Desa ManggisSukorambi IbM Kelompok Peternak Kambing Rakyat Di Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember IbM Kelompok Ternak Kambing Etawa Di Situbondo IbM Peningkatan Jiwa Wirausaha Agribisnis Domba Di Lingkungan Pondok Pesantren V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Dalam kegiatan pengabdian ini ada beberapa tahapan pekerjaan yang harus dilakukan meliputi: koordinasi dengan mitra, perancangan dan pembuatan mesin yang akan diterapkan, uji coba mesin, penyerahan, dan evaluasi. Dari tahapan kegiatan tersebut yang telah dicapai meliputi: 1. Koordinasi dengan mitra Dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian ini, tim selalu melakukan diskusi, meminta masukan dan juga saran. Hal ini dilakukan agar teknologi yang akan kita terapkan betulbetul digunakan oleh mitra dan mampu meningkatkan proses produksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari hasil koordinasi ini mitra setuju dengan teknologi yang tim tawarkan. 2. Perancangan dan pembuaan alat Dalam kegiatan pengabdian ini ada 1 unit mesin pembagi adonan (divider) dan 1 unit proofer yang akan diterapkan untuk dua mitra pengusaha bakpao di Tegal Besar. Dalam proses pembuatan mesin tersebut di atas ada beberapa tahapan yang dilakukan meliputi: perancangan, pemilihan bahan, pembelian bahan, pembuatan, perakitan dan uji coba. 3. Uji Coba Alat/Mesin Uji coba dilakukan terhadap alat/mesin yang akan diterapkan agar beroperasi optimal pada proses pembagian dan pengembangan adoanan (mesin divider dan proofer). 3. Penyerahan Mesin Setelah mesin divider dan proofer dapat beroperasi optimal diserahterimakan kepada mitra dengan menandatangani berita acara serah terima (Gambar 4). VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil kegiatan pengabdian yang telah dilasanakakan, disimpulkan bahwa: 1. Perancangan dan pembuatan alat pengembang adonan (proofer) dan mesin divider telah dilakukan ujicoba untuk menghasilkan alat/mesin sesuai dengan rancangan. Gambar 4. Alat Pengembang Adonan (proofer) yang telah dimanfaatkan oleh Mitra 2. Satu unit proofer dan satu unit mesin divider sudah diserahterimakan kepada mitra Kelompok Pengusaha Bakpao di Tegal Besar 3. Alat pengembang adonan (proofer) dan mesin divider telah diimplementasikan oleh mitra sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi dan terjadi penghematan biaya operasional B. Saran Perlu adanya introduksi teknologi pemanfaatan steam pada mesin boiler untuk pengukusan bakpao, sehingga hemat energi. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada: 1. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan 171 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 2. 3. Kebudayaan sebagai penyandang dana pengabdian Ipteks bagi Masyarakat (IbM). Direktur Politeknik Negeri Jember Kepa P3M Politeknik Negeri Jember beserta Staf DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] Dennis R. Hildman and R. Paul Singh. 1980. Food Process Engineering. Second Edition. Avi Publishing Co. Inc., Westport. Connecticut. Henderson. S.M and R.L Perry. 1979. Agriculrure Process Engineering. John Willey and Sons. New York. Soewedo Hadiwiyoto. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty. Yogyakarta. Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. Rineka Cipta. Jakarta. 172 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 STIMULASI, PROMOSI, PRODUKSI DAN PEMASARAN TEMPE KORO PEDANG Muhammad Juhan#1, Mohammad Zaedan Fitri#2 # Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Islam Jember Jl. Kyai Mojo 101 Jember 1muhammadjuhan@yahoo.co.id 2mohamad_zaidan@ymail.com Abstract Tempe, makanan khas Indonesia digemari semua kalangan mulai dari desa sampai kota, masyarakat kelas bawah, sampai atas, bahkan telah mendunia namun sayang bahan baku kedelai masih impor sehingga rentan terhadap guncangan ekonomi dunia, melemahnya nilai rupiah, dan dapat menimbulkan instabilitas ketahanan pangan serta kerawanan sosial. Solusinya adalah mencari substitusi bahan baku kedelai yaitu “Koro Pedang”. Tujuan kegiatan ini adalah: 1. sebagai mediator dan fasilitator agar perajin tempe bersedia mempromosikan, memproduksi dan memasarkan tempe koro pedang (temkodang); 2. mendidik masyarakat supaya dapat menerima dan bangga pada tempe termasuk tempe koro pedang. Target kegiatan adalah temkodang mampu menyaingi (minimal 15- 20 %) dari penjualan perajin tempe dan secara perlahan akan dapat mengimbangi. Kegiatan dilaksanakan mulai awal Mei dan masih berjalan sampai saat ini (Agustus 2016). Metode yang digunakan yaitu: 1. Stimulasi dengan pemberian mesin penggiling biji koro pedang kepada perwakilan perajin untuk mendorong dan memudahkan proses produksi temkodang; 2. Penyuluhan kepada perajin tentang keunggulan dan kelemahan koro pedang, teknik pengolahan koro pedang, pembuatan tempe koro pedang dan bagaimana memasarkannya; 3. Demo pembuatan temkodang kemudian diikuti perajin dengan pendampingan. Hasil kegiatan ini menunjukkan bahwa stimulasi pemberian mesin penggiling dapat memotivasi perajin untuk promosi, produksi, dan memasarkan temkodan; produk temkodang secara higinis dan visual sudah memenuhi syarat: bersih, sehat dengan penampilan kompak dan warna putih menarik; kegiatan promosi dilakukan oleh perajin dan tim pelaksana dengan pemberian gratis kepada konsumen dengan meminta respon balik, disamping itu juga direncanakan akan dipromosikan melalui Kuliah Kerja Nyata mahasiswa. Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa perajin telah menguasahi proses pembuatan temkodang; masih sangat dibutuhkan promosi dan sosialisasi; salah satu kendala yang dihadapi adalah waktu proses pembuatan lebih lama. Keywords— Koro pedang, Perajin, Tempe. I. PENDAHULUAN A. Analisis Situasi Tempe sebagai makanan khas masyarakat Indonesia mulai dari desa sampai perkotaan, dari masyarakat kelas bawah, menengah sampai atas hampir semuanya menyukai makanan ini, bahkan saat ini telah meluas ke berbagai penjuru dunia termasuk negara-negara maju sekalipun. Tempe dapat diterima masyarakat dunia karena telah diakui oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai makanan bernutrisi tinggi yang berkhasiat men-cegah dan mengatasi berbagai macam penyakit [3] Produsen tempe tersebar hampir di seluruh penjuru kota dan desa di Indonesia baik yang berskala besar maupun kecil, demikian juga di Jember. Produsen tempe yang dijadikan sasaran kegiatan adalah kelompok pengusaha kecil (perajin) tempe yang berada di kawasan perkotaan, rata-rata produksi tempe setiap hari berkisar antara 15 – 100 kg kedelai, dipasarkan sendiri langsung ke konsumen maupun melalui pengecer (wlijo), pengemasan produk sederhana, tanpa label/merk dagang, promosi belum dilakukan secara optimal, masih belum ada deversifikasi bahan baku, sebagian perajin mempunyai deversifikasi produk “tempe gembos atau tempe menjos” yaitu tempe yang terbuat dari ampas tahu, manajemen usaha belum tertata terutama menyangkut keuangan dan penanganan limbah. Kelompok perajin tempe sangat rentan terhadap pasokan bahan baku kedelai yang sampai kini sebagian besar (hampir lebih dari 80%) kebutuhan kedelai masih impor. Kondisi demikian sering kali menimbulkan ancaman serius bagi stabilitas ketahanan pangan dan kerawanan sosial karena telah mencakup kebutuhan masyarakat luas, tidak heran jika ada guncangan ekonomi dunia maupun melemahnya nilai tukar rupiah akan sangat berpengaruh terhadap aktifitas usaha perajin tahu dan tempe. Hal ini perlu dicarikan solusinya agar tidak menimbulkan gejolak ekonomi, keresahan masyarakat dan dampak-dampok sosial ekonomi lainnya serta dampak terhadap neraca pembayaran luar negeri. Salah satu 173 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 alternatif solusinya adalah harus mencari substitusi bahan baku kedelai yaitu “Koro Pedang”. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tempe koro pedang sangat prospektif sebagai pengganti tempe kedelai karena mempunyai banyak kesamaan baik dari sisi cita-rasa, jenis dan kandungan gizi serta manfaatnya tidak berbeda jauh [6], namun juga ada kelemahan pada biji koro pedang yaitu adanya kandungan zat toksik: kholin, asam hidrozianine dan trogonelin. Koro pedang juga mengandung senyawa yang merugikan yaitu glukosianida yang bersifat toksik dan asam fitat yang merupakan senyawa anti gizi. Untuk menetralisir zat-zat berbahaya tersebut dapat dilakukan dengan perendaman, perebusan, dan pengupasan biji [4]. Perlakuan tersebut merupakan rangkaian proses dalam pembuatan tempe sehingga secara tidak langsung telah menghilangkan efek yang membahayakan hanya saja perendaman dan perebusannya yang agak lebih lama dibandingkan dengan kedelai. Selain citra rasa dan kandungan gizi yang mendekati tempe kedelai, koro-koroan juga merupakan tanaman yang tidak membutuhkan tanah subur, dapat ditumpangsarikan dengan aneka tanaman baik tanaman semusim (jagung) maupun tahunan (kakao), mempunyai potensi hasil tinggi dan daya adaptasi luas [5]. Koro pedang merupakan salah satu jenis koro yang paling potensial sebagai pengganti kedelai karena lebih banyak kesamaannya dengan tempe kedelai jika diproses menjadi tempe koro pedang [1]. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka tanaman koro sangat prospektif dapat memenuhi sebagai bahan substitusi kedelai dan berpeluang untuk dikembangkan di daerah-daerah seluruh Indonesia sehingga impor kedelai dapat ditekan dan kebutuhan perajin tahu tempe sebagian besar dapat dipenuhi dari dalam negeri. Untuk mendukung realisasi tersebut dibutuhkan sosialisasi dan pemasyarakatan tempe koro pedang dan aneka produk olahannya. Jika untuk produksi kedelai, pemerintah memberi kan bantuan kepada petani berupa sarana produksi seperti benih maupun pupuk, maka bantuan mestinya juga layak diperoleh bagi petani yang memproduksi koro pedang dan perajin yang memproduksi tempe. Bantuan yang dibutuhkan di antaranya adalah mesin pengupas dan pencacah biji koro pedang. Dari sisi konsumsi, masyarakat juga harus dibiasakan untuk menerima tempe koro pedang sebagai produk baru, bukan untuk dibandingkan dengan tempe kedelai. Untuk kepentingan tersebut, tempe koro pedang diintroduksikan dengan sebutan yang menarik. Masyarakat perlu diedukasi untuk mendapatkan pemahaman pentingnya memberdayakan dan bangga dengan tempe koro pedang sebagai wujud kepedulian terhadap ketahanan pangan (Tim Peneliti Koro Pedang, 2015). B. Permasalahan Mitra Masalah utama yang dihadapi oleh perajin tempe di antaranya adalah: 1. Ketergantungan bahan baku kedelai yang lebih dari 80 % merupakan komoditas impor, sehingga rawan terhadap fluktuasi harga. 2. Perajin tempe belum terbiasa memproduksi tempe berbahan baku non kedelai. 3. Belum tersedia mediator dan fasilitator yang mendorong untuk melakukan deversifikasi atau substitusi kedelai sebagai bahan baku tempe. 4. Perlu adanya sosialisasi dan pelatihan pembuatan tempe koro pedang kepada perajin tempe agar bisa menerima, bersedia mempromosikan dan memasarkan kepada masyarakat luas terutama konsumen tempe kedelai! 5. Perlu adanya insentif bantuan mesin pengupas dan pencacah biji koro pedang agar perajin lebih bersemangat memproduksi temkodang ! II. TARGET DAN LUARAN Target yang ingin dicapai adalah terwujudnya koro pedang sebagai bahan substitusi kedelai untuk bahan baku tempe yang dapat diterima baik oleh perajin tempe maupun masyarakat konsumen tempe kedelai terutama yang berada di kawasan perkotaan, sedangkan luarannya adalah produk “ TEMKODANG” tempe koro pedang, makanan sehat kaya manfaat dengan penampilan visual, cita-rasa, dan kandungan gizi yang mendekati tempe kedelai. Perlu banyak upaya agar temkodang dapat diterima seperti halnya tempe kedelai. Konsumen bersedia mengkonsumsi apabila ada keunggulan yang dimiliki oleh temkodang, di antaranya adalah adanya kandungan peptide yang bersifat ACE (Angiotensin Converting Enzyme) yaitu enzyme yang berperan dalam pengaturan tekanan darah seseorang ( [6]; [8] ). Agar produk tempe koro pedang ini bisa cepat dikenal dan diterima masyarakat konsumen tempe maka perlu upaya pengenalan produk, promosi dan pengemasan yang menarik. 1. Pengenalan Produk; pada tahap awal dilakukan dengan cara memberikan produk tempe koro pedang secara gratis kepada pelanggang sebanyak 2-3 kali, selanjutnya secara perlahan akan ditingkatkan nilai jualnya melalui pemberian diskon bertahap. 2. Promosi, dilakukan kepada ibu-ibu pkk, posyandu, kader gizi, dan lembaga pendidikan di beberapa kelurahan wilayah kota. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat semakin yakin dan bangga terhadap tempe sebagai makanan asli Indonesia yang telah terbukti sehat dan kaya berbagai manfaat yang sangat berguna untuk kesehatan tubuh. Oleh karena itu sekarang tempe telah menjelajah dunia dan digemari masyarakat di negaranegara maju. 174 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 3. Pengemasan yang menarik, dilakukan dengan cara memberi label pada produk Temkodang yang antara lain memuat Merk Dagang, Kandungan Gizi, dan Manfaat. Melalui cara ini diharapkan masyarakat lebih cepat mengenal, terbiasa, dan akhirnya tidak lagi harus mengkonsumsi tempe kedelai sehingga meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan. III. METODE PELAKSANAAN Langkah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang telah diungkapkan adalah : A. Koro Pedang sebagai substitusi kedelai untuk bahan baku tempe. Koro pedang mempunyai potensi yang besar sebagai bahan substitusi kedelai karena mempunyai kandungan gizi yang mendekati kedelai, berikut disajikan perbandingan kandungan gizi biji koro pedang dengan biji legume lainnya: Tabel 1. Kandungan nutrisi pada biji koro pedang dan biji legume lainnya Kacang ta nah Analisis No. (Arachis Nutrisi hypogeal) 1. Kalori 587 2. Protein 24,8 3. Lemak 27,8 4. Karbohidrat 24,6 Sumber : Duke, 1992 Koro pe dang(Cana valia ensi formis) 389 27,4 2,9 56,1 B. Produk “TEMKODANG” Tempe Koro Pedang: Ma kanan Sehat Kaya Manfaat. Kelompok Perajin Tempe diberi pengetahuan dan pelatihan mengolah koro pedang secara baik dan benar sehingga efek-efek negatif dapat dihilangkan dan dapat dihasilkan tempe koro pedang sebagai makanan sehat kaya manfaat. Untuk mengurangi/menghilangkan efek negatif biji koro pedang terutama kandungan HCN dapat dilakukan dengan perlakuan blanching selama 30 menit, perendaman 24 jam, pengukusan 2 jam dan fermentasi selama 24-30 jam, melalui perlakuan seperti itu dapat dihasilkan kualitas tempe koro pedang dengan spesifikasi kadar air sebesar 53,28 %, protein 29,08 %, karbohidrat 13,74 %, lemak 0,77 %, dan abu 3,13 % [7]. Teknik produksi temkodang hampir sama dengan fermentasi tempe kedelai namun karena ukuran biji koro pedang lebih besar maka perlu pemecahan menjadi biji koro pedang cacah. Alur proses produksi temkodang sebagai berikut: BIJI KORO PEDANG Kedelai (Glycin e max) PERENDAMAN ( 48 JAM) Setiap 4-6 jam air diganti 444 35,5 19,6 39,0 Disamping itu produktivitas koro pedang lebih tinggi yaitu dapat mencapai 7 ton per ha dan hijauan 40-50 ton per ha, sistem perakarannya dapat mengikat nitrogen bebas dari udara sehingga dapat digunakan sebagai upaya konservasi lahan dalam menjaga tingkat kesuburan tanah; mempunyai daya adaptasi luas : mulai dari dataran rendah 40 m dpl sampai dataran tinggi 1800 m dpl, mulai dari daerah tropis yang lembab sampai daerah kering (curah hujan 700-4000 mm per tahun), dapat tumbuh dengan sinar matahari penuh dan toleran keteduhan sedang (Perum. Perhutani KPH Purwodadi, 2009); dapat tumbuh pada lahan-lahan marjinal; teknik budidayanya mudah, dan telah lama dibudidayakan masyarakat sebagai tanaman sela tetapi saat ini beberapa daerah antara lain Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Jawa Tengah telah mengembangkan koro pedang sebagai komoditas pertanian seperti halnya komoditas padi, jagung dan palawija. Koro pedang mempunyai beberapa nama di antaranya Kacang Parang, Koro Wedung (Jawa Timur), Koro Bendo, Koro Bedog, Kacang Mekah, Krandang (Jawa Tengah), dan Koang (Jawa Barat). PEREBUSAN (0,5 – 1,0 JAM) PENGGILINGAN + CUCI PERENDAMAN ( 24 JAM ) PEREBUSAN ( 2-3 JAM ) PENDINGINAN DAN PERAGIAN PERAGIANPERAGIAN PEMERAMAN 24 JAM TEMKODANG Sumber : Balitbangtan, 2014; Perajin Tempe Gebang, 2016 175 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 C. Modul Pembuatan Tempe Koro Pedang Modul pembuatan tempe koro pedang secara garis besar berisi informasi perihal: 1. Jenis-jenis koro yang dapat diolah menjadi tempe 2. Teknik penanganan biji koro agar kandungan racun HCN tidak membahayakan kesehatan 3. Faktor penunjang yang mempengaruhi produksi tempe 4. Mengapa Tempe Koro Pedang perlu dikembangkan dan dimasyarakatkan ? 5. Bagaimana cara memasarkan Tempe Koro Pedang ? D. Pelaksanaan Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini meliputi: 1. Penyampaian materi kepada kelompok perajin tempe terkait dengan keunggulan dan kelemahan koro pedang, teknik pengolahan koro pedang dan pembuatan tempe koro pedang, bagaimana memasarkannya dsb. 2. Demo pembuatan temkodang, selanjutnya setiap perajin diberi bahan untuk mempraktekkan sendiri di rumah masing-masing dan dipantau tim pelaksana. 3. Pemasaran, pada tahap awal konsumen tempe kedelai diberi secara gratis sampai tiga kali, selanjutnya dijual dengan harga promo sampai saatnya dijual dengan harga yang menguntungkan perajin. pengalaman dalam program pengabdian kepada masyarakat sebagai ketua pelaksana Program Ipteks bagi Masyarakat (2012) dan program-program pengabdian kepada masyarakat sebelumnya (Ipteks dan Kewira usahaan). Berdasarkan pengalamannya diharapkan dapat membantu ketua pelaksana mengatasi permasalahanpermasalahan di lapangan, menggerakkan dan memberdayakan perajin tempe menjadi lebih kreatif, dinamis, dan produktif. Kualifikasi Tim Pelaksana dengan latar belakang ilmu budidaya pertanian akan mendukung dalam memasyarakatkan koro pedang baik dari sisi potensi pemanfaatannya maupun pengembangan budidayanya sehingga mengurangi kekhawatiran akan pasokan bahan baku koro pedang karena sangat mungkin dikembangkan di Jember. Kepakaran yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi mitra adalah: 1. Pakar bidang Pengolahan Pangan, khususnya pengolahan kacang koro. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut Tim Pelaksana bekerjasama dengan Pakar dari Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. 2. Pakar bidang Pemasaran, Untuk memenuhi kebutuhan tersebut Tim Pelaksana bekerjasama dengan Praktisi Pemasaran. V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat (LPPM) Universitas Islam Jember sangat berperan dalam pelaksanaan dan kesuksesan program ini. LPPM selama ini telah berhasil meraih Program Hibah Penelitian maupun Pengabdian kepada Masyarakat yang dikompetisikan dengan hasil memuaskan. Selain perolehan dana kompetisi dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M), LPPM juga berhasil memperoleh dana hibah dari Pemerintah Daerah Tingkat II Jember. Tim pelaksana terdiri dari satu orang ketua pelaksana dan satu orang anggota pelaksana. Ketua tim pelaksana memiliki keahlian di bidang pertanian dengan spesifikasi pada ekofisiologi/ekologi tanaman dan mempunyai cukup pengalaman dalam program pengabdian kepada masyarakat sebagai ketua pelaksana program kewirausahaan, program ipteks, program voucher, dan program Iptek bagi Masyarakat (2012). Berdasarkan bidang keahlian dan pengalaman ketua pelaksana diharapkan dapat memecahkan permasalahanpermasalahan yang dihadapi perajin tempe. Anggota tim pelaksana memiliki spesifikasi keahlian di bidang budidaya tanaman semusim, mempunyai cukup A. STIMULASI PERAJIN TEMPE Sebagian besar perajin masih menggunakan peralatan-peralatan produksi secara manual dan sederhana. Stimulasi dengan pemberian mesin penggiling biji koro dan kedelai dapat memotivasi dan mendorong perajin untuk melakukan promosi, produksi dan memasarkan temkodang. Sisi lain dari pemakaian mesin penggiling adalah dapat mengurangi setengah waktu dan tenaga yang dicurahkan perajin untuk menggiling biji koro maupun kedelai. B. PRODUK TEMKODANG Tempe koro pedang yang dihasilkan perajin tempe secara higinis dan visual sudah memenuhi syarat: bersih, sehat dengan penampilan kompak dan warna putih menarik sebagaimana tempe kedelai meskipun ada sebagian kecil perajin yang belum dapat menghasilkan produk temkodang seperti yang diharapkan. Salah satu kelemahan yang dikeluhkan adalah waktu proses pembuatannya butuh waktu lebih lama yaitu empat hari sedangkan untuk tempe kedelai bisa 2 – 3 hari. Kelemahan ini berdampak pada menurunnya kapasitas ruang produksi. C. PROMOSI DAN EVALUASI Sejauh ini langkah promosi yang telah dilakukan di antaranya adalah pengenalan temkodang pada pelanggan 176 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 dengan cara membagikan temkodang secara gratis seharga Rp. 2000 sambil meminta komentar dan respon konsumen. Selain kepada pelanggan dari perajin, tim pelaksana juga melakukan promosi di lingkungan kampus dengan cara yang sama. Respon konsumen di kampus dikirim melalui sms. Jumlah konsumen/responden di kampus 130, sms yang masuk sebanyak 87 responden. Komentar responden yang masuk menyatakan: 1). Secara visual hampir sama dengan tempe kedelai sebanyak 84 %; berbeda jauh/tidak sama dengan tempe kedelai 16 %; 2). Cita rasa hampir sama dengan tempe kedelai sebanyak 58 %; berbeda jauh/tidak sama dengan tempe kedelai 42 %. Respon konsumen dari pelanggan berupa pernyataan pribadi sebagian besar menyatakan secara visual hampir sama dengan tempe kedelai namun cita rasanya masih belum bisa menyamai tempe kedelai. Berdasarkan hasil kuisener tersebut, tim pelaksana memandang perlu upaya sosialisasi yang lebih efektif, lebih luas dengan target bahwa konsumen dapat menerima tempe koro sebagai produk dengan karakteristik sendiri sebagai mana konsumen tempe koro di daerah Jawa Tengah dan tidak harus dibandingkan dengan tempe kedelai. Upaya yang digagas tim pelaksana untuk promosi tempe koro ke depan adalah sosialisasi melalui mahasiswa yang melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN), antara lain dikemas dalam bentuk “Lomba Kreasi Masakan Tempe Koro”, sosialisasi kepada kelompok IbuIbu PKK, Posyandu, dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada. [5] [6] [7] [8] Tanaman Koro Pedang untuk Substitusi Kedelai di Jawa Tengah. [On line]. Tersedia: http://www.fp.undip .ac.id Perum Perhutani KPH Purwodadi, 2009. Petunjuk Teknis Penanaman Koro Pedang (Canavalia ensiformis). PurwodadiGrobogan Jawa Tengah. Purwani, E. Y., 2013. Ketika Koro Pedang Dijadikan Tempe. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca-panen Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Suciati, A., 2012. Pengaruh Lama Perendaman dan Fermentasi Terha dap Kandungan HCN Pada Tempe Kacang Koro (Canavalia ensiformis L.). Skripsi, Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin, Makasar. Tim Peneliti Koro Pedang, 2014. Pemanfaatan Koro Pedang (Canavalia ensiformis) Sebagai Bahan Baku Potensial “Tempe”. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca-panen Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. VI. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan kegiatan yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa: 1). Perajin tempe telah mengu asahi dengan baik dan benar proses pembuatan tempe koro pedang (Temkodang); 2). Perlu upaya promosi/sosialisasi yang lebih efektif agar tempe koro pedang dapat diterima konsumen sebagai produk tersendiri; 3). Kendala sementara adalah waktu proses pembuatan tempe koro pedang lebih lama. UCAPAN TERIMA KASIH Tim pelaksana menyampaikan banyak terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian pada Masyarakat, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] Balitbangtan, 2014. Teknologi Fermentasi Koro Pedang. Kemente rian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Duke J. A. 1992. Handbook of Biological Active Phytochemicals and Their Activity. CRC Press America. Dunia Fitnes.com, 2012. Tempe, Makanan Rakyat Sarat Manfaat. [On line]. Tersedia: http: //www.duniafitness.com; catagory nutrition Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, 2012. Hasil Rumusan Seminar Sehari “Potensi dan Pemberdayaan 177 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Ibm Kelompok Tani Kentang Berbasis Kearifan Lokal Di Desa Sukorejo Kecamatan Sumberwringin Kabupaten Bondowoso Kasutjianingati1), Liliek Dwi Soelaksini2), Sri Rahayu3), Prayitno4) 1 Departemen Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Mastrip PoBox 164. Jember 2 Departemen Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember. Mastrip PoBox 164. Jember email: kasutjianingati@yahoo.com email: liliek_dwi@yahoo.co.id 3 Departemen Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Mastrip PoBox 164. Jember email: sri_rahayu@polije.ac.id 4 Departemen Produksi Pertanian. Politeknik Negeri Jember. Mastrip PoBox 164. Jember email: prayitno.mbipb.polije@gmail.com Abstract Kegiatan pengabdian masyarakat IbM pada petani kentang di lereng gunung Ijen, kabupaten Bondowoso, berlangsung selama 8 bulan. Tujuan pengabdian adalah menciptakan kemandirian masyarakat petani dalam hal: (a) meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani untuk memproduksi umbi bibit kentang bermutu (b) meningkatkan ketrampilan petani dalam pengaplikasikan SOP produksi bibit kentang bermutu dan SOP produksi umbi konsumsi sesuai GAP kentang berkualitas. (d) Meningkatkan kesejahteraan petani dengan memperbaiki pola perilaku bertani kentang sesuai dengan kearifan local. Target dari pelaksanaan IbM adalah dapat membantu Kelompok Tani Mitra1 (“Usaha Tani 11”Sukorejo/Sumberwringin/Bondowoso) bisa mandiri sebagai penangkar benih kentang bermutu untuk memenuhi kebutuhan bibit petani sayuran disekitarnya (diwakili Kelompok Tani Mitra 2 “Makmur Tani”di desa Jampit, kecamatan Sempol). Metode dalam mencapai tujuan adalah penyuluhan, pelatihan dan demostrasi plot di lahan kelompok tani untuk mendapatkan umbi bibit kentang bermutu. Bahan tanam/bibit kentang bersertifikat yang digunakan diperoleh dari BPPT Karangploso, Malang, diuji coba di POLIJE, selanjutnya teknik perbanyakan diinovasikan ke kelompok tani dilokasi pengabdian IbM. Kabupaten Bondowoso merupakan salah satu daerah penghasil pertanian utamanya sayuran yang berpotensi untuk dikembangkan di Jawa Timur. Pada kesempatan ini, dengan kegiatan IbM yang dilakukan oleh staf pengajar POLIJE berhasil membantu kemandirian masyarakat setempat meningkatkan produksi kentang melalui pembelajaran bagaimana memproduksi dan menghasilkan bibit kentang bermutu berbasis kearifan local. Keyword: bibit G3, bersertifikat, demplot, IbM, kentang. I. PENDAHULUAN Hortikultura merupakan salah satu sub sektor andalan yang diharapkan mampu memberikan sumbangan positip bagi pembangunan sektor pertanian di Jawa Timur. Salah satu komoditas hortikultura, kentang (Solanum tuberosum L) memiliki nilai ekonomi tinggi dan sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai komoditas unggulan mengingat serapan pasar yang terus meningkat. . Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Januari 2012 Pemerintah Indonesia telah mengimpor kentang dari China, Kanada, Amerika Serikat, Singapura, dan Inggris sebanyak 4.300 ton dengan nilai sekitar Rp 24,3 miliar. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran (Apkrindo) Jawa Timur, selama tahun 2011 perusahaan olahan berbahan baku kentang beku mengimpor kentang beku dari Amerika Serikat sebanyak 200 ton. Luas panen kentang (Ha) selama dua tahun terakhir 2013 - 2014 meningkat (70.187 -76.090), produksi juga meningkat (1.124,282–1.316.015 ton) dengan produktivitas 16.02 17.30 ton/Ha. Kentang di samping bermanfaat sebagai sayuran, pemanfaatan utama lain adalah sebagai pemenuhan bahan pangan karbohidrat non beras. Meningkatnya permintaan komoditas kentang tersebut di Jawa Timur dari tahun ke tahun secara kuantitatif maupun kualitatif bukan saja disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah penduduk domestik yang disertai dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya mutu gizi yang dikonsumsi setiap harinya. Peningkatan permintaan tersebut antara lain disebabkan karena komoditas kentang juga digemari oleh konsumen luar negeri, sehingga peluang pasar internasional juga masih terbuka lebar, namun biasanya konsumen luar negeri menghendaki komoditas kentang tersebut dengan persyaratan kualitas tertentu. Peningkatan produksi kentang sebagai bahan pangan yang layak dan aman untuk dikonsumsi baik untuk kebutuhan pasar luar dan dalam negeri, perlu adanya penanganan secara 178 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 professional mulai dari persediaan bahan tanam sampai produksi berkualitas yang memenuhi standar ISO 22000. Peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan petani harus disinergikan antara kinerja program pemerintah dengan potensi (sumber daya alam, sumber daya manusia dan ketersediaan teknologi produksi). Pencapaian perlu keselarasan antara pengelolaan keseimbangan agroekosistem pertanian yang mampu mendukung keberlanjutan peningkatan produksi dan produktivitas kentang serta pengelolaan manajemen usaha (agribisnis) menuju kemandirian pangan dan hortikultura yang berkelanjutan, efisien serta berwawasan lingkungan. Kabupaten Bondowoso dengan luas 1.560,10 km2 merupakan potensi dalam penyediaan ruang dan pemanfaatan lahan untuk kesejahteraan penduduk. Sebagian besar penggunaan lahan adalah untuk pertanian, perkebunan, kehutanan dan kawasan lindung. Kegiatan budidaya dan usaha berbasis pertanian sangat sesuai dikembangkan di Kabupaten Bondowoso. Selain kesuburan tanahnya, juga secara agroklimat sangat sesuai untuk berbagai komoditas pertanian. Sektor ekonomi basis Kabupaten Bondowoso adalah sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani, serta luasnya lahan pertanian di Kabupaten Bondowoso. Sektor pertanian telah memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Bondowoso, bahkan cenderung bertambah meskipun tingkat pertumbuhannya relatif kecil dan cenderung stagnan. Penerapan teknologi pertanian modern di Kabupaten Bondowoso menjadi salah satu alternatif stategi pembangunan pertanian, misalnya teknologi pengolahan. tanah, pengembangan varietas, GAP yang sesuai, termasuk konsep agribisnis. Dengan demikian, meskipun terdapat ancaman kecenderungan menurunnya jumlah petani, minat investasi di sektor pertanian dapat terus berkembang. Hal ini sejalan dengan predikat Kabupaten Bondowoso sebagai salah satu kawasan strategis pengembangan pertanian dan daerah penyangga pangan regional. Tanaman kentang tumbuh dengan baik di dataran tinggi, paling ideal kentang ditanam dalam ketinggian antara 1000-3000 meter di atas permukaan laut. Tinggi-rendahnya suatu tempat biasanya berhubungan dengan suhu udara dan kelembapan udara. Perbedaan kelembapan dan suhu udara sangat penting untuk pertumbuhan tanaman kentang. Adanya 2 gunung berapi yang relatif masih aktif (Raung dan Ijen), menjadikan Kecamatan Sempol, Tlogosari, Sukosari dan Sumberwringin cukup strategis untuk produksi sayuran. Desa Sukorejo, Sumberwringin dan Desa Jampit, Kecamatan Sempol Kabupeten Bondowoso berada di lereng gunung Ijen dengan ketinggian tempat 1640 m dpl sehingga sesuai untuk budidaya tanaman kentang. Mayoritas penduduk adalah petani dengan membudidayakan tanaman sayuran seperti kentang, wortel, kubis, bunga kol, dan lainnya, juga budidaya tanaman perkebuanan tahunan terutama tanaman kopi. Selama ini budidaya tanaman kentang masih dilakukan secara konvensional dengan produksi sangat rendah. Salah satu faktornya adalah penggunaan bahan tanam yang asalan atau dari bahan tanam yang diproduksi sendiri secara turun temurun tidak diketahui asal usulnya, sehingga produksinya kurang memenuhi standar kualitas umbi konsumsi. Salah satu peluang usaha dan sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas tanaman kentang dan kualitas hasil adalah menjadi penangkar benih/bahan tanam yang unggul dan bermutu; disisi lain perbaikan teknik bertanam kenang sesuai GAP kentang juga perlu ditingkatkan II. TARGET DAN LUARAN Adapun target dan luaran dari kegiatan IbM ini adalah memberikan manfaat kepada petani Kabupaten Bondowoso, berupa: 1) Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan untuk memproduksi umbi bibit kentang unggul bernutu secara mandiri berbasis kearifan lokal 2) Peningkatan pendapatan petani dari hasil penjualan bibit kentang unggul bermutu dan peningkatan hasil umbi konsumsi berkualitas yang dikelola. 3) Bibit kentang yang dihasilkan diharapkan unggul bermutu sehingga mampu menghasilkan umbi konsumsi sesuai dengan kebutuhan pasar domestic dan pasar luar, karena umbi bibit diproduksi secara lokal diharapkan sudah beradaptasi baik dengan kondisi lingkungannya. 4) Terwujudnya fungsi dan peran antara kelompok penangkar bibit dalam memproduksi umbi bibit unggul bermutu secara mandiri dengan kelompok tani pengguna bibit kentang tersebut untuk meperbaiki kuantitas dan kualitas produksi umbi konsumsi, sehingga kedua belah pihak akan saling mendapat keuntungan. 5) Terwujudnya stabilitas Agribisnis ketang berkualitas yang berkelanjutan di Kabupaten Bondowoso. 6) Publikasi ilmiah dari hasil kegiatan IbM dapat dijadikan hasil penelitian untuk dapat di terbitkan pada jurnal nasional terakreditasi. 7) Kontribusi pengembangan IPTEK dalam bentuk laporan hasil penelitian. 8) Kontribusi bagi dua mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan IbM untuk menghasilkan Karya Tulis Tugas Akhir sebagai penyelesaian studi tenaga akhli vokasi sesuai Program studi yang ditempuhnya (D3 dari PS. Produksi Tanaman Hortikultura dan Master dari 179 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pascasarjana Program Manajemen POLIJEfile ini dengan nama lainnya. Agribisnis III. METODE DAN PELAKSANAAN I. Waktu dan Tempat Kegiatan pengabdian kepada masyarakat IbM kentang dilasanakan di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Pada dua kelompok tani, Mitra 1 (kelompok tani “Usaha Tani 11”, Sukorejo/Sumbewringin) dan Mitra 2 (kelompok tani “Makmur Tani”, Kalisat Jampit/Sempol). Jangka waktu pelaksanaan kegiatan adalah selama 8 bulan J. Bahan dan Alat Lahan untuk Demplot seluar 3000 m2, berbagai bahan organik sisa limbah pertanian dilokasi sebagai bahan pupuk organik, bahan pengompos bahan organic orgadek, pupuk majemuk NPK Mutiara, pupuk cair organik, pestisida organik, lahan pertanian sebagai demplot di lokasi ke dua Mitra, bahan tanam kentang Granula unggul bermutu bersertifikat dari BPPT Karangploso Malang, sedangkan alat yang akan digunakan adalah alat-alat pertanian karung, timbangan, parang, ember, cangkul, sekop, koret dan ayakan, hand traktor, keranjang, selang air, gembor, alat angkut. K. Metode Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan pelaksanaan IbM dilakukan dengan 2 metode yaitu dengan cara ceramah dan demontrasi sebagai berikut: 1) Penyuluhan dengan Metode Ceramah. Penyuluhan dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada petani dititik beratkan pada: (a). peranan bibit kentang unggul bermutu untuk perbaikan kuantitas dan kualitas produksi tanaman, (b). teknologi produksi bibit unggul bermutu (SOP bibit unggul bermutu), (c). teknik budidaya kentang konsumsi berkualitas (SOP sesuai GAP Kentang). 2) Praktek atau Demonstrasi Plot. Praktek melalui demontrasi plot dilakukan untuk meningkatkan ketrampilan petani dalam melakukan kegiatan: pembuatan bibit kentang unggul bermutu dan teknik budidaya kentang untuk menghasilkan umbi konsumsi berkualitas sesuai kebutuhan pasar, dilakukan di dua Mitra (Mitra-1: Kelompok Tani “Usaha Tani 11” desa Sukorejo, Kec. Semppl, Kab. Bondowoso dan Mitra2: Kelompok Tani “Makmur Tani “ desa Kalisat Jampit, Kec. Sempol, Kab. Bondowoso) IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI Kelayakan perguruan Tinggi berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan IbM, POLIJE mempunyai sarana dan prasarana yang menunjang hasil dan luaran yang dicapai, antara lain: A. Sarana dan Prasarana. Jurusan Produksi Pertanian dengan Program Studi Hortikultura yang dilengkapi dengan beberapa fasilitas laboratorium pengembangan teknologi budidaya, diantaranya Lab. Produksi Tanaman Hortikultura, Lab. Tanah dan Kesuburan Tanah, Lab. Kultur Jaringan, Lab. Teknologi Benih dan Kebun Percobaan sebagai fasilitas pengembangan teknologi, sehingga dengan fasilitas tersebut Tim IbM Politekni Negeri Jember menguasai pengembangan teknologi produksi bibit kentang bermutu menggunakan teknik sesuai tahapan dimulai dari tahapan kultur jaringan sampai teknologi produksi bibit kentang sebar untuk menghasilkan umbi konsumsi berkualitas (GAP Kentang konsumsi) sesuai ekosistemnya. Kegiatan IbM kelompok tani kentang ditujukan untuk mengatasi permasalahan kesulitan dalam menyediakan bibit unggul bermutu dapat berjalan dengan baik dan perlu didukung dengan kelayakan PT sebagai tim pelaksana. B. Relevansi Skill Tim Pelaksana; Kelayakan PT dalam menangani masalah kegiatan IbM ini mengenai berbagai kendala bagi mitra dapat diatasi bersama dengan berbagai disiplin ilmu pelaksana Tim, adapun jenis kepakaran/disiplin ilmu dan perannya dalam kegiatan IbM ini adalah sebagai berikut: 1) Bidang Produksi Tanaman Hortikultura dapat mengkaji proses budidaya tanaman hortikultuta, mempridiksi faktor-faktor penghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman untuk memecahkan permasalahan factor penghambat tersebut dalam paket teknologi sesuai dengan perkembangan bioteknologi produksi tanaman hortikultura sesuai kearifan lokal, sehingga mampu mempertahankan produksi berkualitas sesuai permintaan pasar memenuhi standar keamanan pangan secara berkesinambungan. 2) Bidang Kultur Jaringan, mampu mengkaji proses budidaya jaringan untuk menghasilkan bibit sesuai perkembangan bioteknologi produksi bibit dalam jumlah banyak .(kloning) waktu singkat dengan dengan kualitas terjamin seragam sesuai induk unggul. 3) Bidang Teknologi Produksi Benih mengkaji tentang peranan pentingnya benih unggul bermutu sebagai bahan tanam untuk meningkatkan produktivitas produk hortikultura yang berkualitas. V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Target dan luaran dari kegiatan IbM ini memberikan manfaat kepada petani Kabupaten Bondowoso, berupa: 1) Petani sangat antusias dan bersemangat menerima transfer teknologi sehingga terjadi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani (mitra-1) dalam 180 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) memproduksi umbi bibit kentang unggul bermutu secara mandiri berbasis kearifan lokal Bibit kentang yang dihasilkan berupa bibit kentang unggul bermutu sehingga mampu menghasilkan umbi konsumsi berkualitas sesuai dengan kebutuhan pasar domestik dan pasar luar, karena umbi bibit diproduksi secara lokal maka sudah beradaptasi baik dengan kondisi lingkungannya. Peningkatan pendapatan petani Mitra-1 dari hasil penjualan bibit kentang unggul bermutu dan peningkatan hasil umbi konsumsi berkualitas dari Mitra-2. Terwujudnya fungsi dan peran antara kelompok penangkar bibit dalam memproduksi umbi bibit unggul bermutu secara mandiri (Mitra-1) dengan kelompok tani pengguna bibit kentang (Mitra-2) tersebut, sehingga mampu memperbaiki kuantitas dan kualitas produksi umbi konsumsi, sehingga kedua belah pihak dapat saling mendapat keuntungan. Terwujudnya stabilitas Agribisnis kentang berkualitas yang berkelanjutan di Kabupaten Bondowoso. Publikasi ilmiah dari hasil kegiatan IbM dapat dijadikan hasil penelitian yang diseminarkan dan diterbitkan pada jurnal nasional terakreditasi. Kontribusi pengembangan IPTEK dalam bentuk laporan hasil penelitian. Kontribusi bagi mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan IbM menghasilkan Karya Tulis Tugas Akhir sebagai penyelesaian studi Sarjana Terapan (D4) Program Studi Teknik Produksi Benih VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan. Hasil kegiatan Pengabdian Iptek bagi Masyarakat (IbM) di kabupaten Bondowoso berhasil meningkatkan pengetahuan dan keterampikan petani mitra dalam menghasilkan bibit kentang granola unggul bermutu secara mandiri berbasis kearifan local dan mampu meningkatkan pendapatan petani dikedua desa mitra. B. Saran. Adanya perhatian dari pemerintah daerah untuk bisa mempertahankan kondisi yang telah tercapai dalam bentuk bantuan sarana dan prasarana, misal perbaikan jalan yang rusak parah menuju ke desa tersebut sehingga dapat mempermudah transportasi sarana produksi dan saran pemasaran hasil. [2] [3] [4] [5] [6] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2004. Teknologi Budidaya Kentang industry di Lahan Sawah Dataran Medium Kabupaten Sleman D.I. di Yogyakarta Direktorat Jenderal Hortikultura. 2006. Prosedur Operasional Standar Budidaya Kentang Varietas Granola (Solanum tuberosum L ). Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat Erfandi, M.D., Nur dan Budhyastaro, T., 1997. Perbaikan Sifat Fisik Tanah dengan Strip Veriver dan Pupuk Kandang Perubahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua. Bogor. Gustianty LR. 2008. Kajian Tentang Pertumbuhan dan Produksi Kentang (Solanum tuberosum L.) Varietas granola Asal Biji Botani Melalui Uji Perkecambahan dan Pengaturan penanaman di Lapangan. Thesis. Universitas Sumatera Utara. Medan. Sahat S dan hidayat IM. 1996. Teknik Perbanyakan Umbi Bibit Kentang Secara Cepat. Balai Penelitian tanaman Sayuran. Lembeng FOTO-FOTO KEGIATAN IbM Gambar 1. Tim IbM (no 1, no2 dan no 4 dari kiri ke kanan) berada dilahan Demplot kentang berumur 30 hari setelah tanam, Jampit Sempol Kab. Bondowoso Gambar 2. Tim IbM foto bersama anggota kelompok tani mitra UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih bahwa karya ini merupakan hasil laporan kegiatan Program Iptek bagi Masyarakah (IbM) pendanaan tahun 2016. DAFTAR PUSTAKA [1] Adiningsih, S.J., 2000. Peranan Bahan Organik Tanah Dalam Sistem Usaha Tani Konservasi. Materi Pelatihan Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dan Sistem Usaha Tani. Bogor. Gambar 3. Tim IbM berada ditengah lahan Demplot kentang, berumur 45 hari setelah tanam 181 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Gambar 4. Tim IbM tengah berdiskusi tentang pertumbuhan dan perkembangan tanaman, proses transfer teknologi dengan petani Mitra Gambar 6. Proses pemanenan dilakukan pada tanaman kentang yang sudah mencapai umur panen, umbi setelah dipanen dibiarkan di atas tanah (tanda panah), diangin-anginkan sebentar baru diangkut dan dikumpulkan disatu tempat untuk dilakukan pengemasan Gambar 7. Proses pengemasan hasil panen kentang kedalam karung plastic dan diikat dengan tali raffia, berat per kemasan 8-9 kg/karung Gambar 5. Tim IbM sedang mengamati pertumbuhan dan perkembangan umbi kentang 182 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Peningkatan Produktivitas Keripik Buah melalui Aplikasi Vakum Very High (VH) Budi Hariono1*, Abi Bakri2*, Mokh Fathoni K3* 1budihariono1966@gmail.com 2 3 * abibakri@gmail.com ftnpolije@gmail.com Jurusan Teknologi Pertanian , Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip PO BOX 164. Jember Abstract IbPE Komoditas Ekspor Berbasis Vacuum Frying di Kabupaten Jember dan Kabupaten Lumajang merupakan tindak lanjut dari pengembangan riset yang dilakukan pengusul dan penerapan wirausaha yang telah dan sedang dilakukan pengusul sebagai pengelola UPT Aneka Pangan dan Produk Beku, melalui produk berbasis vacuum frying seperti produk keripik edamame, keripik nangka, keripik salak dan lain-lain. Tujuan program IbPE Tahun I ini adalah : (a) meningkatkan kapasitas produksi dari rata-rata produksi 1-1,2 kg keripik/proses menjadi 5-6 kg keripik/proses; (b)meningkatkan pangsa pasar produk keripik baik lokal maupun ekspor. Luaran dari program IbPE adalah sebagai berikut: (a) teknologi VH pada mesin vacuum frying; (b) adanya peningkatan serapan tenaga kerja UKM sebagai akibat adanya peningkatan produksi dan perluasan pemasaran. Kata kunci: Keripik Buah; Mesin Vacuum Very High Bab I. Pendahuluan A. Analisis Situasi Suplai bahan baku UD Dua Dewi diperoleh dari 8 supplier bahan baku nangka segar baik dari Kabupaten Jember, Lumajang, Banyuwangi dan Bondowoso. Suplai bahan baku UD Ananda diperoleh dari supplier bahan baku nangka segar baik dari Kabupaten Jember, Lumajang, Probolinggo, Bondowoso dan Yogyakarta (khusus salak pondok). Bahan baku yang didatangkan berupa Nangka, Salak Pondoh, Pisang dan Pepaya.Kualitas bahan baku yang ditetapkan adalah Kualitas I dan II dengan kriteria rasa manis; warna kuning/kuning keputihan; ukuran sedangbesar dengan ketebalan daging buah 1-1,5 cm. Jika bahan baku dari empat kabupaten tersebut bermasalah dalam jumlah maupun mutu maka didatangkan dari Kabupaten Semarang dan Batang Jawa Tengah. UD. Dua Dewi dan UD Ananda berturut-turut memproduksi kripik nangka ± 1 ton dan ± 3 ton per bulan dengan bahan baku nangka segar 11 dan 33 ton ton. Bahan baku sebelum diproses didinginkan dalam freezer selama ± 8 jam. Peralatan yang dimiliki selain 4 mesin vacuum adalah freezer sebanyak 8 unit; spinner 4 buah; hand sealer dan timbangan dengan nilai total investasi ± Rp. 300.000.000,Produk yang dihasilkan dari kedua mitra meliputi: keripik nangka; keripik pisang kerana mas; keripik edamame; dan keripik singkong yang dikemas dalam kemasan alumunium foil dengan berat 5 kg; 250 g dan 100 g. Mutu yang dihasilkan terdiri atas mutu ekspor dan mutu local. Pola hubungan kemitraan antara UD Ananda dengan UD Dua Dewi tercermin dari pola hubungan pemasaran dan pengadaan bahan baku. Dalam hal pemenuhan permintaan pasar akan kebutuhan produk aneka keripik dua mitra mengadakan kerjasama. UD Dua Dewi memproduksi keripik nangka; keripik pisang mas; keripik edamame; dan keripik singkong sedangkan UD Ananda memproduksi keripik Nangka, Salak Pondoh, Pisang dan Pepaya. Untuk kebutuhan pasar ke dua UKM ini saling mengisi produk-produk untuk memenuhi pemasaran dengan konsentrasi pemasaran untuk UD Dua Dewi berorientasi ekspor sedangkan UD Ananda berorientasi pasar lokal. B. Permasalahan Mitra Proses produksi dengan mesin vacuum konvensional kapasitas kecil (10 kg bahan baku) untuk produksi 183 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 kapasitas besar dibutuhkan mesin yang cukup banyak dengan proses penggorengan sekitar 2 jam. Aplikasi mesin vakum VH cocok digunakan pada mesin kapasitas besar (40-60 kg bahan baku) dengan hasil keripik nangka berkisar 4-6 kg atau 4-6 kali lipat bila menggunakan mesin kapasitas kecil. Kondisi ini akan membantu mitra dalam memenuhi permintaan pasar yang cenderung meningkat. Bab II. Target dan Luaran A. Target Target yang ingin dicapai melalui kegiatan IbPE Tahun I adalah sebagai berikut: 1. Aplikasi mesin VH pada alat vacuum frying kapasitas 40-60 kg bahan baku di mitra IbPE. 2. Produktivitas dapat ditingkatkan karena 1 alat mesin VH sebanding dengan 4-6 mesin vacuum konvensional. 3. Mampu menghemat tenaga penggorengan sehingga dapat dimanfaatkan untuk proses produksi lainnya. b) Instal pompa vakum VH ke alat Vacuum Frying Pemasangan pompa vakum VH ke unit penggoreng vakum pada prinsipnya menggantikan peran water jet pada unit penggoreng vacuum konvensional. Gambar unit penggoreng vakum dan bagan skema sistem water jet tertera pada Gambar 2 dan Gambar 3. Gambar 2. Unit penggoreng vakum sistem water jet B. Luaran Luaran yang didapat melalui kegiatan IbPE ini adalah: (1) jurnal nasional, (2) peningkatan nilai aset dan omset UKM mitra IbPE; (3) peningkatan produktivitas serta (4) efisiensi tenaga kerja penggorengan. Bab III. Metode Pelaksanaan a) Pengadaan Vakum VH Mesin pompa vakum VH yang diadakan seperti tertera pada Gambar 1 dengan spesifikasi sebagai berikut : a) Tipe VE 2100; b) Frekuensi 50 Hz; c) Flow rate 10 Cfm 283 L/menit; d) Puncak vakum 3x10-1 Pa; e) Saringan 25 mikron; f) 3 Phase; g) Daya 1 HP; h) Dimensi : 400x145x270; i) Berat 16,7 kg. Gambar 1. Pompa Vakum VH Aplikasi mesin VH mampu bekerja pada ruang penggorengan lebih besar sehingga kapasitas produksi juga semakin besar. Pelaksanaan program IbPE Tahun I adalah aplikasi mesin Vakum VH seperti tertera pada Gambar 1 pada mesin vakum kapasitas 50 kg bahan baku dengan volume minyak 350-360 liter. Gambar 3. Skema unit penggoreng vakum sistem water jet Keterangan gambar: 1. Sumber pemanas 2. Tabung penggoreng 3. Tuas pengaduk 4. Pengendali suhu 5. Penampung kondensat 6. Pengukur vakum 7. Keranjang penampung bahan 8. Kondensor 9. Saluran hisap uap air 10. Water jet 11. Pompa sirkulasi 12. Saluran air pendingin 13. Bak air sirkulasi 14. Kerangka Deskripsi Mesin Penggoreng Vakum Sistem Water Jet 184 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 1. Pompa vakum sistem water jet, berfungsi menghisap udara yang berada di dalam ruang penggoreng sehingga tekanan menjadi lebih rendah, serta untuk menghisap uap air bahan. 2. Tabung Penggoreng, berfungsi mengkondisikan bahan sesuai tekanan yang diinginkan yang dilengkapi keranjang buah setengah lingkaran. 3. Kondensor (Gambar 4), berfungsi mengembunkan uap air untuk dikeluarkan selama proses penggorengan. Kondensor menggunakan air sebagai pendingin. 4. Unit Pemanas, menggunakan kompor gas LPG. 5. Unit Pengendali Operasi, berfungsi mengaktifkan alat vakum dan unit pemanas. 6. Pengaduk Penggorengan, berfungsi mengaduk buah yang berada dalam tabung penggorengan. Bagian ini perlu seal karet yang kuat untuk menjaga kevakuman tabung. 7. Mesin pengering (spinner), berfungsi meniriskan kripik. Gambar 6. Tabung penggorengan kapasitas 50 kg bahan baku Bab IV. Kelayakan Perguruan Tinggi Pelaksanaan program IbPE dilaksanakan selama tiga tahun dengan kriteria pelaksanaan dan penanggung jawab pelaksanaan untuk Tahun I seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Program pelaksanaan IbPE dan Penanggung Jawab Pelaksanaan Tahun I No Gambar 4. Kondensor Penerapan pompa vakum di unit penggoreng vakum menggantikan sistem vakum yang dihasilkan sistem water jet. Gambar 5 menunjukkan instalasi pompa vakum VH pada alat penggoreng vakum di mitra IbPE. Jenis Program Tahun I 1 Bidang Teknologi (pengadaan alat vakum frying sistem super vakum/high vacuum) 2 Bidang Manajemen dan produksi 3 Bidang SDM (Pelatihan operasional alat) Penanggung Jawab Dr. Ir. Budi Hariono, M.Si Ir. Abi Bakri, MSi Mokh. Fathoni Kurnianto, STP Fasilitas Pendukung yang tersedia di Perguruan Tinggi UPT Aneka Pangan dan Produk Beku adalah salah satu UPT di Politeknik Negeri Jember memproduksi produk aneka roti, aneka keripik berbasis vakum serta jasa pembekuan berbagai produk perikanan dan pertanian. Fasilitas pendukung yang dimiliki UPT Aneka Pangan dan Produk Beku khusus untuk produk aneka keripik adalah 3 unit mesin vakum sistem super vakum (high vacuum), 3 unit alat sentrifus (pengatus), 2 unit sealer sistem kontinyu serta Laboratorium Uji Produk Pangan yaitu Laboratorium Analisis Pangan dan Laboratorium Bioscience. Bab V. Hasil dan Luaran yang Dicapai Gambar 5. Aplikasi pompa vakum VH a) Hasil yang Dicapai Prinsip Penggorengan Hampa Mesin penggorengan vakum hingga saat ini digunakan mengolah buah dan sayur dengan kadar tinggi menjadi keripik dengan tetap mempertahankan warna, aroma, dan 185 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 citarasa. Buah yang umum diolah seperti cempedak, nangka, apel, pepaya, nanas, salak, waluh, pisang, rambutan, mangga, labu kuning, sedangkan jenis sayuran yang umum diolah adalah jamur tiram, brokoli, buncis, kacang tanah, jagung, wortel, kacang panjang dan terong. Shing (2003) menyebutkan bahwa penggorengan vakum umum digunakan buah-buahan, sayuran, daging, produk mengandung air. Prosesnya adalah memberikan pengaruh oksidasi minimum, sehingga umur simpan produk lebih panjang. Haryadi et al (2000), menyebutkan prinsip kerja mesin penggorengan vakum sistem water jet yaitu kompor LPG untuk mensuplai panas ke minyak ditanki penggorengan. Kerja pompa dan water jet menurunkan tekanan ketel penggorengan. Dengan penurunan tekanan maka suhu penggorengan lebih rendah dibandingkan suhu penggorengan dengan tekanan atmosfer. Penggorengan keripik pada tekanan vakum dilakukan pada suhu 120-130 o C dengan tekanan vakum 50-100 mmHg, dan proses ekspansi akan berjalan optimal pada tekanan 0-160 mmHg. Hasil yang dicapai dari kegiatan IbPE Tahun I adalah 1 unit alat penggoreng vakum sistem pompa vakum VH. Keunggulan dari sistem ini adalah sistem vakum dapat bekerja pada tabung penggorengan besar (kapasitas 50 kg) bahan baku keripik. Hasil yang diperoleh adalah keripik dengan berat 5-6 kg. bila dibandingkan dengan unit vakum sistem water jet dengan kapasitas 10 kg bahan baku akan menghasilkan produk keripik sekitar 1-1,2 kg. Operator yang bekerja pada ke dua sistem di atas masing-masing 1 orang operator. Bila dibandingkan kedua sistem tersebut maka penggunaan mesin penggoreng vakum sistem VH dapat meningkatkan produktifitas hingga 4-5 kali lebih tinggi. Dari sisi waktu proses kedua sistem membutuhkan waktu yang sama sekitar 2 jam operasional. Dari kondisi di atas maka keunggulan sistem pompa vakum VH dibandingkan sistem water jet tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingkan sistem pompa vakum VH dan water jet Sistem pompa Sistem water jet vakum VH Kapasitas 50-60 L 300-350 L minyak Kapasitas bahan 50 kg 10 kg baku Produksi keripik 5-6 kg 1-1,2 kg Jam operasi 2 jam 2 jam Jumlah operator 1 orang 1 orang Volume pendingin air 2-3 m3 250 L Sistem kelistrikan Daya listrik 1 phase 3 phase 1 PK ¾-1 PK b) Luaran yang Dicapai Luaran yang dicapai dari program IbPE Tahun I adalah : a) jurnal nasional; b) peningkatan kapasitas produksi ; c) penerapan pompa VH menghemat minyak goreng serta serta konsumsi LPG. Berdasarkan pengamatan di lapang setiap kali proses pada mesin vakum sistem water jet terdapat 0,5-0,6 L minyak yang menguap dari 50 L minyak yang terdapat di tangki penggorengan. Sedangkan pada mesin vakum sistem pompa VH terdapat sekitar 1,5 – 2 L minyak yang menguap dari kapasitas minyak 300 L. Kondisi ini mampu menghemat 1,5 – 1,6 L per proses. Hal ini secara tidak langsung akan mengurangi biaya produksi. Bab VI. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan - Kegiatan IbPE mampu meningkatkan poduktivitas dan mendapat respon positip dari mitra IbPE. - Kualitas produk yang dihasilkan tidak berbeda dengan sistem water jet baik dari sisi warna dan kerenyahan. - Penerapan pompa VH pada mesin penggoreng vakum mampu menekan biaya produksi tenaga kerja dan minyak. Saran - Penerapan pompa vakum VH menghendaki air yang bersih tanpa kotoran (kerikil, pasir), karena alat ini mempunyai tingkat saringan 25 mikron. Apabila terdapat kotoran yang terikut ke pompa dapat menyebabkan saringan mudah mengalami kerusakan. Oleh karenanya dalam penerapannya diperlukan unit tambahan berupa unit saringan air sebelum air dialirkan ke pompa vakum VH. DAFTAR PUSTAKA Hariyadi P, Eko H, Rizki T, D Tresnakusumah, dan Nana S. 2000. Penuntun Praktikum Satuan Operasi Industri Pangan. Teknologi Pangan dan Gizi. Institute Pertanian Bogor, Bogor. [2] Shing k, Y. 2003. Vaccum Frying. http//www.google. com. [12 Desember 2015]. [1] . 186 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 IbM Sistem Usahatani Terpadu Hulu-Hilir pada Kelompok Tani LADEWI Bondowoso Produksi Baby Fish Organik Sistem Mina Padi Inovatif Tanti Kustiari1, Ariesia Gema A.P2, Rizal3 1 Pascasarjana Agribisnis, 2Manajemen Agribisnis, 3 Pascasarjana Agribisnis Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip PO BOX 164 Jember 1tanti_ipb@yahoo.com 2rizalsp2001@yahoo.com 3ariesia_putrilatief@yahoo.com Abstract Desa Lombok Kulon dikenal sebagai Desa Wisata Organik telah berkembang di bawah Keorganisasian Lembaga Desa Wisata Orrganik (LADEWI) membina kelompok tani Mina Usaha dan Tani Makmur. Dua kelompok tani bidang pertanian padi dan kuliner memiliki memiliki permasalahan dan kebutuhan yang berbeda, namun keduanya memiliki potensi menjadi mitra bisnis yang saling menguntungkan. Program IbM bertujuan (1) meningkatkan produktivitas padi organic dan menambah sumber pendapatan baru kelompok Tani Makmur melalui sisimdi baby fish, (2) meningkatkan pengetahuan, ketrampilam petani untuk menerapkan Ipteks Sistim Mina Padi ikan baby fish (sismindi) inovatif yaitu waktu pemeliharaan ikan 30-40 hari yang aman dari resiko kehilangan ikan akibat kebocoran, rendahnya curahan tenaga kerja untuk suplai kontinyuitasan air, (3) menjamin ketersediaan bahan baku baby fish kelompok Mina Usaha (wisata kuliner organic). Kegiatan sismindi baby fish inovatif dilaksanakan bulan April – Juli 2016 dengan pendekatan pendidikan, pelatihan, bimbingan/konseling, kunjungan lapang, demonstrasi. Hasil kegiatan IbM menunjukkan (1) kelompok Tani Makmur mampu menerapkan teknologi tepat guna sismindi ikan baby fish di lahan pertanian padi organic. Tingginya antusiasme dan intensitas penjagaan ikan di sawah, namun adanya kendala penyusutan pengairan, rendahnya keamanan lingkungan maka panen ikan dilakukan lebih awal secara bertahap. (2) penyuluhan, pelatihan dan praktik penerapan Ipteks sismindi ikan baby fish dapat menambah wawasan petani, minat dan mampu mengadaptasikan aplikasi teknologi sismindi baby fish dengan pertanan padi organik. Keywords : Baby Fish, Padi Organic, Sistim Mina Padi, Ikan I. PENDAHULUAN Sawah minapadi (rice cum fish culture) adalah sistem budidaya terpadu tradisional antara ikan dan tanaman padi di sawah. Di Indonesia, praktek mina padi mulai dikenal sebelum tahun 1860 di Ciamis Jawa Barat, hingga kini masih banyak dicanangkan dan dibudidayaan di berbagai tempat di Indonesia. Di Propinsi Jawa Tengah telah dicanangkan program Gerakan Nasional Sejuta Hektare Mina Padi (Gentanadi), dengan target dan sasaran areal sawah sejuta hektar, dan produksi sejuta ton hingga akhir 2013. Gerakan Gentanadi adalah upaya diversifikasi usaha pertanian melalui mina padi yang sangat penting. Sebab, saat ini anomali iklim dapat mengakibatkan kegagalan panen padi. Jadi, upaya mina padi ini sangat diperlukan karena mempunyai dampak yang baik untuk para petani dan masyarakat. Sistem pemeliharaan mina menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1995) akan mendukung peningkatan produksivitas lahan, meningkatan pendapatan petani, Benih ikan untuk minapadi biasanya berukuran 1.000 sampai 3.000 ekor per kilogram. Setelah 40 hari penanaman, ikan sudah dapat dipanen dengan berat mencapai ukuran fingerling atau 3-4 gram. Ikan dengan ukuran tersebut selanjutnya dijual sebagai bibit ikan untuk kolam/karamba dan sisanya yang lebih kecil (sortiran ) dijadikan olahan babyfish. Baby fish harganya lebih murah. Ikan-ikan tersebut diolah untuk dikonsumsi sebagai camilan dan oleh-oleh yang cukup digemari. Olahan baby fish banyak dijumpai di toko oleh-oleh, rumah makan dan super market. Berbeda dengan ikan wader goreng yang memang aslinya berukuran kecil, baby fish adalah anakan ikan yang biasa menjadi ikan konsumsi seperti ikan mas, ikan nila, ikan nilem dan lain-lain. Pada ukuran kecil ikan-ikan tersebut dipanen untuk dijadikan olahan baby fish. Penerapan minapadi dapat menekan pertumbuhan gulma, mengurangi serangan hama dan penyakit dan meningkatkan jumlah musuh alami bagi hama tanaman. Benih ikan memakan plankton dan organisme kecil lain yang jatuh atau terdapat di air termasuk telur dan larva 187 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 hama padi. Hal ini menguntungkan karena ikan yang dipelihara memperoleh makanan tambahan. Selain itu, berkurangnya aplikasi pestisida dalam budidaya minapadi mendatangkan keuntungan lain karena mendorong berkembangnya musuh alami bagi hama padi. Dengan berkurangnya aplikasi pestisida selain memberi keuntungan bagi petani dengan berkurangnya biaya produksi, juga memberi keuntungan bagi kesehatan manusia dan pelestarian lingkungan. Permasalahan Mitra I yaitu produksi padi Kelompok “Tani Makmur” seringkali tidak maksimal. Menurut Ketua kelompok Tani Makmur, produksi padi organik rendah. Kelompok “Tani Makmur” sebagai produsen padi organic sering terjadi penurunan hingga 6 ton/ha (optimum 8-10 ton/ha) sehingga mengurangi penghasilan. Meskipun harga jual gabah lebih tinggi Rp. 2.000,00. dibandingkan produk non organik, namun nilai penurunannya tidak seimbang dengan potensi kenaikan harganya. Kelompok tani belum memiliki cara mengatasi penrunan hasil panen padi. Permasalahan Mitra II yaitu Kelompok tani yang membutuhkan produk ikan adalah kelompok “mina usaha” yang bergerak pada bidang kuliner yang menjual produk-produk ikan organic. Jumlah pengunjung pondok kuliner semakin meningkat dibandingkan tahun lalu (pengamatan April 2015). Permasalahannya adalah stok ikan terbatas (habis). Pelanggan terpaksa hanya memilih satu jenis ikan (gurame besar) yang tersedia. Tidak ada ikan nila. Hal ini tidak sesuai dengan janji dan penawaran sesuai daftar menu. Tidak tersedia ikan kecil crispy padahal banyak diminati anak-anak. Dengan demikian pengembangan usaha Mitra II perlu didukung penyediaan bahan baku dari mitra I kelompok Tani Makmur. Permasalahan lingkungan masyarakat yaitu Bondowoso telah mengenal pertanian dengan system mina padi (Sismindi) yang diperkenalkan melalui program pemberdayaan. Hingga saat ini Sismindi tidak diadopsi dan kurang diminati masyarakat. Alasan utamanya adalah hasil sismindi tidak berpengaruh pada peningkatan pendapatan petani. selain itu adanya kendala teknis, non teknis menyebabkan Program Mina padi tidak berkelanjutan. Beberapa kendala dilapangan menyebabkan mina padi tidak berhasil. Beberapa sebab diantaranya: sumber air yang tidak continue, kesulitan pengawasan pada pematang yang bocor. Kebocoran pematang berpeluang hilangnya ikan. Kendala lainnya yaitu rawan terjadi pencurian dll. Berdasarkan beberapa kendala Sistem mina padi tersebut, maka muncul pemikiran bagaimana pelihara ikan yang waktunya tidak terlalu lama yaitu mina padi baby fish. Program IbM dirancang untuk memberi solusi dengan menawarkan Ipteks system mina padi (sismindi) inovatif yaitu waktu pemeliharaan ikan 30-40 hari yang aman dari resiko kehilangan ikan akibat kebocoran, rendahnya curahan tenaga kerja untuk suplai kontinyuitasan air. Aplikasi sismindi baby fish inovatif dalam jangka panjang bertujuan untuk memecahkan persoalan kedua mitra dan lingkungannya melalui program penumbuhan hubungan kemitraan usaha atau System usaha tani terpadu hulu – hilir. Menciptakan keterjalinan bisnis antara mitra produsen (suplay baby fish) dengan mitra konsumen (demand). Keterbatasan penyediaan produk olahan Mitra II dapat teratasi. Program pengabdian membantu mewujudkan cluster bisnis organic di Desa Disata Organik dimana produksi dan penjualannya dilakukan kelompokkelompok usaha di bawah kelembagaan Desa Wisata Organik Lombok Kulon. Mitra I berpotensi menjual ikan baby fish sebagai bibit pada kelompok-kelompok petani LADEWI. Kelompokkelompok petani tersebut membutuhkan bibit ikan nila untuk memperbesar produksi. Selain itu mitra I juga berpotensi menjual ikan baby fish sortiran 9 ukuran kurang dari 3-4 kg) padamitra II “tani makmur”. Ikan sortiran harganya murah dan tepat sebagai bahan baku olahan. Program IbM sismindi baby fish inovatif bertujuan (1) meningkatkan produktivitas padi organic dan menambah sumber pendapatan baru kelompok Tani Makmur melalui produksi baby fish, (2) meningkatkan pengetahuan, ketrampilam petani dalam penerapan Ipteks Sistim Mina Padi ikan baby fish (sismindi) yaitu waktu pemeliharaan ikan 30-40 hari yang aman dari resiko kehilangan ikan akibat kebocoran, rendahnya curahan tenaga kerja untuk suplai kontinyuitasan air, (3) menjamin ketersediaan bahan baku baby fish kelompok Mina Usaha (wisata kuliner organic). Aplikasi penerapan Ipteks mina padi baby fish diharapkan : (1) menambah produksi padi organik, (2) menambah penghasilan baru yaitu produksi baby fish, (3) meningkatkan kesuburan dan iklim mikro yang dapat membantu kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas padi, (4) meningkatkan kesuburan tanah, (4) menciptakan hubungan kemitraan bisnis yang saling menguntungkan, (5) pengadaan bahan baku ikan bagi wisata kuliner organic kelompok Mina Usaha dapat berjalan secara kontinyu. II. RANCANGAN DAN METODE PELAKSANAAN KEGIATAN Ipteks sismindi ikan baby fish inovatif dirancang berdasarkan atas hasil kajian teoritik dan hasil uji coba di lapang. Sistim mina padi menurut Tupan et al (2013) bahwa sistim budidaya Mina padi merupakan cara pemeliharaan ikan di sela-sela tanaman padi di sawah; sebagai penyelang diantara dua musim tanaman padi dan atau pemeliharaan ikan sebagai pengganti palawija di persawahan. Simanjuntak (2013) mengatakan bahwa sistem budidaya mina padi dapat memperkaya media tanam dengan pupuk organik dan meningkatkan produksi 188 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 plankton yang menjadi sumber makan ikan, dan itulah sumbangsih ikan pada usaha tani terpadu ini. Selanjutnya Montazeri (2012) menyebutkan bahwa mina padi adalah salah satu teknologi lahan pertanian untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup sebagai antisipasi anomali iklim, karena minapadi ini adalah budidaya terpadu yang dapat meningkatkan produktivitas lahan sawah, yaitu: peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan produksi padi 10%; peningkatan keragaman hasil pertanian karena menghasilkan ikan; meningkatkan kesuburan tanah dan air (mengurangi pupuk 30%); juga dapat mengurangi hama penyakit Wereng Coklat pada tanaman padi. Beberapa hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa system mina padi akan memberi tambahan keuntungan petani selama 30 – 40 hari memelihara ikan di sawah bersama padi sebesar Rp.15.400.000,-/5 ha atau Rp.3.080.000/ha (Hadi dan Umi Pudji Astuti, 2014). Selanjutnya hasil penelitian Tiku dan Gilda Vanessa (2008) membuktikan bahwa dengan produktifitas padi yang lebih rendah pun, keuntungan mina padi masih lebih tinggi dari pada non mina padi. L. Aplikasi Mina Padi baby fish Saluran pemasukan dan pengeluaran air dibuat, dengan tujuan untuk mengatur permukaan air di sawah agar tidak kekurangan atau berlebihan.Saluran pengeluaran air yang dibuat sebanyak dua buah, yang berguna untuk menguras air dalam kemalir (legowo) sehingga akan mempermudah penangkapan ikan pada saat panen dilakukan. Sedangkan saluran pengeluaran air yang lain berfungsi untuk mengatur tinggi air yang diinginkan. Kedua saluran ini dipasang saringan kawat. N. Pengolahan Tanah Sawah Pengolahan tanah dimaksudkan untuk menyediakan media yang baik bagi pertumbuhan tanaman padi sekaligus untuk pertumbuhan organisme makanan ikan. Secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Tanah mula-mula dicangkul atau dibajak sampai kedalaman 20 Cm, kemudian dialirkan air, agar tanah menjadi sedikit becek. Kemudian di pupuk dengan pupuk organik, secara merata keseluruh permukaan tanah dengan dosis 7 ton untuk setiap hektarnya. 2. Setelah padi ditanam, air dialirkan kembali sampai ketinggian air mencapai lebih kurang 20 Cm, dan dibiarkan selama 4-7 hari Hal ini untuk memberikan kesempatan organisme makanan ikan untuk tumbuh. Setelah 7 hari, benih ikan ditebarkan. 3. Persyaratan, yakni benih ikan sehat, berjenis ikan yang unggul. O. Pelaksanaan Program  Gambar 1. Kemalir (Parit Sawah) Tampak dari Samping M. Persiapan Lahan Persiapan lahan sistim mina padi baby fish meliputi kegiatan sebagai berikut : 1. Persiapan Pematang (Galengan) Sawah Pematang sawah dibuat agak tinggi. Tinggi pematang berkisar 40 cm, dengan lebar pematang bagian dasar lebih kurang 50 cm, dan lebar bagian atas 25 cm. Pembuatan pematang sawah, tidak menggunakan bahan-bahan yang berasal dari tanaman, karena dikawatirkan membusuk sehingga dapat menimbulkan kebocoran. Pematang dibuat dari tanah yang dipadatkan dengan cara menginjakinjaknya, bahkan sebagian ada yang disemen. 2. Pembuatan Selokan atau Kemalir Pembuatan selokan atau kemalir, dimaksudkan untuk melindungi ikan dari serangan hama (burung, ular atau musang air/berang-berang); serta bahaya kekeringan yang disebabkan oleh penguapan yang tinggi (untuk ngadem, bhs Jawa).Selokan atau kemalir ini dibuat melintang/horizontal dan sejajar pematang dengan lebar 1 meter serta kedalaman 50-70 cm. 3. Pembuatan Saluran Masuk dan Pengeluaran Air Tahap pelaksanaan program poduksi baby fish organic sismindi meliputi (a) tahap identifikasi masalah melibatkan ketua kelompok tani organic. Bersama kelompok menentukan lokasi lahan yang kurang produktif namun terdapat ketersediaan air yang cukup, (b) persiapan meliputi pengadaan bahan perlengkapan dan alat, pembuatan sarana pemeliharaan minapadi organik seperti kemalir dan pelebaran pematang, pemasangan instalasi pembuangan air, (c) pelaksanaan program yaitu penyediaan bibit ikan nila pemeliharaan ikan di sawah padi organik dengan system mina padi (d) tahap pengamatan perkembangan ikan dan padi pada sistem mina padi organik (e) pemanenan dan pemasaran produk baby fish (f) tahap monitoring dan evaluasi serta (f) tahap pelaporan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan pengabdian pada masyarakat penerapan teknologi system mina padi baby fish dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2016 di lahan sawah padi organic Pak Muhlis dan Pak Supandi dengan total luas kurang dari satu hektar. Aplikasi teknologi system mina padi organic diterapkan secara tumpang sari padi organic dengan ikan nila hitam dan nila merah. 189 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Kegiatan pengabdian yang dijalankan tidak seluruhnya diterapkan sesuai ketentuan rencana kegiatan yang telah diusulkan. Adanya kendala human error, keterbatasan pihak mitra, keterbatasan dukungan sarana prasarana, keterbatasan dukungan lingkungan fisik maupun non fisik maka secara detail akan dilaporkan kegiatan yang telah dilaksanakan, kendala-kendala yang dihadapi beserta solusi yang ditempuh. 1. Pada tahap awal tim pelaksana bersama mitra bersepakat melaksanakan program sesuai kesediaan yang telah disepakati satu tahun sebelumnya. Pada waktu satu tahun yang lalu kelompok petani organic Tani Makmur pada umumnya hanya mendengar informasi sismindi dari lingkungan sekitarnya namun belum memiliki pengetahuan, pemahaman tentang gambaran teknis aplikasi teknologi secara baik. Tim pelaksana melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, diskusi informal, kunjungan lapangan, bimbingan konsultasi mengenalkan program sismindi baby fish sebagai program alternative solusi dari sismindi pada umumnya. Beberapa alat peraga dipergunakan untuk membantu memudahkan pemahaman petani mengenai apa, bagaimana, manfaat, kendala yang mungkin timbul. Kegiatan awal adalah tahap edukasi yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, pemahaman, ketertarikan, dan berinisiatif mengadopsi. 2. Tahap selanjutnya adalah koordinasi dengan kelompok petani padi Tani Makmur untuk menentukan waktu yang tepat memulai tanam padi dengan system mina padi. Pada bulan akhir bulan Maret 2016 dilakukan tahap edukasi dan persiapan pada saat tanaman padi di lahan sawah mitra I Pak Muhlis (ketua kelompok Tani Makmur) masih belum dipanen. Kemudian mitra I menentukan tanam padi selanjutnya pada waktu tanggal 24 April 2016. Berdasarkan kesepakatan dan kesediaan waktu mitra I maka dilakukan persiapan dan pengadaan sarana dan prasarana seperti penentuan waktu pembelian bibit ikan nila, instalasi paralon, pengolahan lahan, perbaikan pematang yang rusak, pelebaran pematang, pembuatan kemalir. Setelah persiapan sarana prasarana dapat dilakukan maka mitra I menebar ikan nila sebanyak 15 ribu di lahan sawah seluas 500 m2. Keberadaan lahan sawah pak Muhlis berundag-undag dan kurang baik karena posisinya bersebelahan dengan sumber mata air (sungai) dengan debit air yang cukup deras apabila hujan turun. Pematang penahan air sering rusak oleh derasnya aliran air sungai. Kendala tersebut maka tim pelaksana memutuskan menebar ikan di petak sebelahnya yang relative aman. Namun pada beberapa minggu berikutnya pematang yang sebelumnya rawan longsor ternyata kembali rusak. Kebocorannya makin lama makin parah sehingga tim pelaksana memutuskan untuk kembali diperbaiki. Adanya kesibukan mitra I pada urusan di luar pertanian maka menurunkan inisiatif perbaikan-perbaikan. Dengan kondisi demikian maka tim pelaksana melakukan penambahan personal mitra petani padi organic. 3. Kegagalan mitra I pak Muhlis, maka tim pelaksana berkoordinasi dengan ketua kelompok petani padi mitra I dan mitra II untuk diadakan pertemuan kelompok. Akhir bulan Mei 2016 dilakukan pertemuan anggota kelompok tani ‘Tani Makmur’. Kegiatan pertemuan dihasilkan keputusan penambahan mitra petani padi organic yaitu Bapak Supandi. Bapak Pandi bersedia lahan sawahnya diterapkan sismindi baby fish. Pada saat itu lahan sawah Bapak pandi pada tahap persiapan tanam padi. Waktu itu segera dilakukan persiapan pengadaan instalasi paralon untuk pemasukan dan pembuangan air, kolam kecil untuk penempatan awal bibit, pelebaran pematang, pendalaman kemalir 50 cm, pembuatan kalen 1 m2. Setelah itu seminggu kemudian baru akan dilakukan penebaran ikan, setelah tanah dapat mengendap dan air lebih jernih. Pada Tanggal 3 Juni 2016 penanaman padi di lahan seluas 350 m2 terdiri dari dua petak sawah. Satu minggu selanjutnya ditebar bibit ikan nila. Kembali kendala dihadapi yaitu mitra dalam mendistribusikan ikan (plastic beroksigen) ke pematang tergelincir karena pematang berundag-undag dan licin. Sebagian bibit ikan jatuh di pematang sehingga tim pelaksana segera melakukan penyelamatan ikan-ikan, namun ada sedikit bibit ikan yang terlebih dahulu mati sebelum diselamatkan. Jumlah ikan yang ditebar sebanyak 15.000. 5000 ekor jenis nila merah dan 10. 000 jenis nila hitam. satu minggu berikutnya setelah penebaran bibit ikan, mengalami sedikit masalah. Sumber air sungai yang mengairi sawahsawah dicemari oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka merusak air sungai dengan maksud menangkap ikan sungai. Pak Supandi cepat tanggap langsung menutup pintu masuknya air sungai yang akan masuk ke sawahnya, namun demikian dengan kejadian tersebut dapat mengganggu ekosistem ikan yang sedang dipelihara. Pada saat itu ikan di sawah pak Fandi tidak terkena dampak pencemaran air sungai. Memasuki bulan Juli 2016, padi sudah mulai tumbuh dengan ikan yang masih tetap terpelihara. Hasil Evaluasi Kegiatan Sismindi : Kelompok tani ‘Tani Makmur’ mengutarakan bahwa program system mina padi baby fish inovatif dengan masa pemeliharaan ikan relative singkat merupakan hal baru. Pada umumnya sistim mina padi yang dikenal adalah sismindi konvensional. Ada sebagian kecil petani padi pernah mendengar sistim mina padi konvensional namun belum memiliki pengalaman atau melihat secara langsung menanam padi bersama ikan di sawah. Setelah dilakukan penyuluhan dan edukasi sismindi dengan teknis masa pemeliharaan ikan lebih singkat maka mitra I bersedia dan berminat untuk mencoba. Anggota kelompok lainnya ingin melihat dulu hasil dan perkembangan program tersebut sebelum melakukan percobaan. 190 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Percobaan lapang membudidayakan padi beserta ikan nila merah dan nila hitam diikuti secara antusias mitra baik Pak Muhlis maupun Pak Pandi. Mitra I berharap pemeliharaan ikan baby fish dapat mengatasi permasalahan penurunan produksi hasil panen padi. Hasil menunjukkan percobaan mina padi ikan baby fish dihadapkan pada kendala kebocoran yang parah disertai permasalahan permasalahan hama wereng yang dihadapi Pak Muhlis semakin parah pada musim tanam saat ini (April 2016 – akhir bulan Juli 2016). Hasil panen padi yang diperoleh lebih menurun yaitu 1.3 ton dibandingkan panen padi sebelumnya yaitu 3.5 ton dari luas lahan 500 m2. Hasil percobaan pemeliharaan ikan bersama padi pada Pak Supandi dimulai bulan Juni 2016 hingga kini menghadapi perubahan musim. Air mulai berkurang. Ukuran ikan di lahan sawah mulai bertambah dengan air mulai surut tentunya sangat menarik sangat menarik perhatian orang. Hal ini mengundang pencurian. Pada beberapa hari selanjutnya beliau mendapatkan ikan-ikan peliharaannya mengambang atau pingsan akibat setruman listrik. Lingkungan sekitarnya tidak memberi dukungan yang baik bagi kelangsungan dan keamanan ikan di sawah. Penjagaan yang rutin tidak menjamin keamanan ikan meski Pak Pandi telah berusaha selalu mengawasi ikan di sawahnya. Kondisi tersebut maka Pak Pandi berinisiatif memanen sedikit pada waktu ikan masih berumur lebih dari 20 hari. Kemudian diambil sedikit demi sedikit hingga beberapa kali panen ikan baby fish habis. Ikan baby fish dimanfaatkan mitra untuk dijual dan sebagian untuk dikonsumsi keluarga. Mitra I kelompok tani makmur mampu menerapkan Ipteks sismindi ikan baby fish. Mitra memperoleh manfaat adanya tambahan pendapatan dari penjualan ikan, meningkatkan konsumsi ikan keluarga. Selain itu adanya jalinan hubungan kerjasama usaha antara mitra I Pak Muhlis dengan mitra II kelompok tani mina usaha Pak Baedowi dalam hal pengadaan bibit ikan nila. Kendala yang Dihadapi Selama Kegiatan 1. Lahan yang rusak sangat potensial dapat menurunkan tingkat keberhasilan pemeliharaan ikan di sawah (padi). Kebocoran pematang sawah tidak diikuti dengan inisiatif perbaikan. Ikan hilang karena pematang rusak akibat aliran arus air sungai tinggi. 2. Perilaku masyarakat yang tidak bertanggung jawab seperti merusak air sungai sebagai sumber air lahan sawah sangat potensial merusak lingkungan pertanian. Tindakan perusakan air sungai berpotensi menurunkan keberhasilan pemeliharaan ikan baby fish secara tumpang sari dengan padi organic. 3. Struktur tanah sawah mitra I berundag-undag (tidak datar) dengan selisih lebih dari 0,5 m sehingga peluang terjadi kerusakan pematang dan lahan sangat besar. 4. Bibit ikan nila ukurannya lebih besar dari rencana semula. Rencana semula bibit berukuran 8 mm, berubah menjadi 2 cm. Hal ini dilatarbelakangi pihak balai pembibitan ikan Kalisat Jember menjual bibit yang ukurannya lebih besar. 5. Proses distribusi ikan terjadi kendala. Pada saat membeli ikan di balai benih ikan menggunakan plastic yang tidak standar, mudah sobek. Hal ini berdampak ketika membawa plastic terjadi pecah dan ikan banyak yang jauh di pematang. Tim pelaksana langsung dan cepat melakukan penyelamatan ikan-ikan dan segera di tebar di lahan. Sebagian kecil ikan mati karena tidak cukup waktu untuk penyelamatan. 6. Tingkat pencurian sangat berpotensi menyebabkan tingginya kehilangan ikan yang dipelihara. 7. Masalah utama di kalangan petani padi organic adalah penurunan jumlah produksi gabah. Mitra I Bapak Muhlis sebelum dilakukan program sismindi baby fish mengalami penurunan jumlah hasil padi yaitu 3.5 ton dengan luas tanah 500 m2. Sebelumnya hasil panen padi yang paling optimum mencapai 4.5 ton. Mitra I Bapak Fandi sebelum ada kegiatan progam Ipteks sismindi baby fish juga mengalami penurunan hasil panen padi yaitu sekitar 9 kwintal dari luasan lahan 250 m2. Sebelumnya hasil panen padi optimum pak Fandi mampu mencapai sekitar 1.3 ton. Kini pak Fandi mencoba menambah garapan sawah menjadi 400 m2. Penurunan hasil panen mendorong mitra I termotivasi mencoba tawaran Ipteks sismindi baby fish. Adanya program Ipteks sismindi ikan baby fish diharapkan meningkatkan produktivitas tanah sawah dan meningkatkan jumlah produksi, namun penerapan Ipteks sismindi mina padi baby fish belum memberikan dampak yang signifikan. 8. Hama tanaman padi yang menyerang tanaman padi mitra I cukup memprihatinkan. Jenis hama yang telah diamati tim pelaksana IbM sismindi baby fish yaitu jenis wereng, telur keong. Penyakit tanaman padi yaitu daun padi menguning. Diantara hama dan penyakit yang menyerang padi mitra I menunjukkan hama wereng lebih dominan. 9. Memasuki perubahan musim dari penghujan ke kemarau menyebabkan air sungai mulai berkurang diikuti dengan makin sedikitnya air yang dapat digunakan untuk memelihara ikan di sawah. Keterbatasan lingkungan, sarana dan prasarana harus dilakukan pembatasan masa pemeliharaan ikan di sawah. Keberhasilan panen Ikan baby fish dicapai dengan masa pemeliharaan lebih singkat. IV. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Kegiatan Ipteks system mina padi ikan baby fish telah dilaksanakan melibatkan mitra I sebanyak dua orang dari kelompok Tani Makmur. Tahap pertama adopsi sismindi ikan baby fish mengalami kendala kebocoran kemudian dilanjutkan tahap berikutnya menambah mitra dari kelompok tani makmur untuk menerapkan Ipteks sismindi ikan baby fish. Tingginya antusiasme dan intensitas 191 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 penjagaan ikan di sawah, namun adanya kendala menyusutnya pengairan, rendahnya keamanan ikan di sawah menyebabkan panen dilakukan lebih awal secara bertahap. 2. Penyuluhan, pelatihan dan praktik penerapan Ipteks sismindi ikan baby fish dapat menambah wawasan petani, minat dan mampu menerapkan. SARAN 1. Perbaikan prasarana sungai agar tidak meluap dan tidak mengikis pematang sawah petani. 2. Masyarakat sekitar Desa Lombok Kulon perlu diberikan penyuluhan (edukasi) perilaku hidup yang bertanggung jawab dan kewajiban menjaga lingkungan yang aman dan sehat. 3. Tidak mentoleransi pembelian bibit ikan dengan plastic yang tidak standar. 4. Pendistribusian ikan dilakukan pada saat tidak hujan sehingga person berpeluang mudah tergelincir. Hal ini berdampak pada keselamatan pendistribusian bibit ikan. 5. Penanganan yang serius dari dinas pertanian untuk membantu menangani hama dan penyakit tanaman padi. Hal ini dapat membantu peningkatan produksi padi serta dapat memperkuat dukungan keberhasilan adopsi sismindi baby fish di masyarakat di masa mendatang. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terimakasi kepada Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai Program Ipteks bagi Masyarakat usulan tahun 2016. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Pemeliharaan Ikan dengan Sistem Mina Padi, Departemen Pertania, Balai Budidaya Air Tawar, SukabumiIndonesia,Brosur. http://www.warintek.ristek.go.id/perikanan/Lain%20lain/pelihara _ikan_mina_padi.pdf Simanjuntak, Linus. 2013. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Usaha Tani Terpadu PATI (Padi, Azolla, Itik dan Ikan). Pola Pertanian Organik Terpadu Dengan Modal, Buku. AGROMEDIA, 2013. Montazeri, Mustafa. 2012. Inovasi Teknologi Minapadi Dalam Mengurangi Pemanasan Global, Makalah. Mustafa Montazeri, 2012. Inovasi Teknologi Minapadi Dalam Mengurangi Pemanasan Global, Makalah. Hadi, Poerwoko dan Umi Pudji Astuti (2014). Pemeliharaan Ikan Bersama Padi Di Sawah (Mina Padi), Sebuah Potensi Keuntungan Ganda Untuk Petani. Litbang pertanian Bengkulu. Proceding: http://bengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/dokumen/201 4/prosiding13/ikan.pdf Tiku dan Gilda Vanessia. 2008. Analisa Pendapatan Usaha Tani Padi Sawah Nenurut System Mina Padi dan System Non Mina Padi. IPB:Bogor.M. Shell. (2002) IEEEtran homepage on CTAN. http://www.ctan.org/texarchive/macros/latex/contrib/supported/IEEEtran/ 192 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Scale Up Produksi Ripe Banana Chip di UD. Burno Sari Nurhayati Nurhayati1*, Eka Ruriani1, Maryanto1 1) Jurusan Teknologi Hasil Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember Jalan Kalimantan 37 FTP Unej, Jember 68121 Alamat Korespondensi: nurhayati.ftp@unej.ac.id Abstract Banana chips production was prepared from ripe bananas by using vacuum frying technology. Through dedication to science and technology for the Community Program (IbM) was done scale up production of ripe banana chips (RBC) using vacumm fryer capacity of 5kg at UD. Burno Sari Lumajang Regency. The RBC production used ripe banana var Mas. RBC is one kind of natural and healthy food because without the addition of synthetic food additives such as dyes and sweeteners sugar or artificial sweeteners. The RBC was prospective to be developed. The results of the economic analysis showed that the production of RBC using vacumm fryer capacity of 5kg required higher production costs. The benefit cost ratio (B/C) value of RBC produced by vacuum fryer capacity of 5kg production capacity was 0.98, while the B/C value of RBC produced by vacuum fryer capacity of 10 kg was 1.16. Based on the estimated 12 times frying, obtained the profit for production using vacum fryer capacity of 5 kg was Rp 783.400,00 and the profit for production using vacum fryer capacity of 5 kg was Rp1.743.500,00. The RBC relatively is expensive product so that consumers are fairly limited in the affluent middle to the upper classes. Keywords: ripe banana chip/RBC, vacumm frying, banana var Mas, B/C I. PENDAHULUAN Pisang dapat ditingkatkan nilai fungsionalnya dengan mengolahnya menjadi produk olahan pisang matang berupa kripik buah pisang masak (ripe banana chip). Produk yang dihasilkan merupakan produk alami tanpa pemanis dan bahan pengawet yang mudah aplikasinya di industri kecil dan masyarakat. Masyarakat tentu sudah tahu dan mengkonsumsi produk olahan keripik buah yang digoreng vakum seperti keripik apel, nanas, semangka, melon, nangka dan lain sebagainya. Akan tetapi keripik pisang dari buah pisang masak yang digoreng vakum masih merupakan produk baru. Pembuatan ripe banana chip ini diawali dengan mengupas kulit buah pisang mas varietas mas kirana pada kematangan level enam. Level kematangan enam memiliki karakteristik yang baik untuk diolah dengan tingkat kemanisan yang optimal tetapi tekstur tidak terlalu lembek. Varietas tersebut merupkan varietas unggulan Kabupaten Lumajang untuk pisang jenis banana (buah pisang meja/dikonsumsi segar). Selanjutnya diambil bagian daging buahnya dan dibelah menjadi dua bagian. Kemudian potongan pisang tersebut diberi perlakuan praproses pembekuan selama minimal enam jam [1]. Selanjutnya digoreng vakum pada suhu 85°C, dengan tekanan -70 cmHg selama 90 menit [2]. UD. Burno Sari berdiri pada tahun 1996 di desa Burno Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. UD. Burno Sari merupakan suatu industri rumah tangga yang memproduksi keripik dan sale pisang yang selanjutnya pada tahun 2000 berkembang menjadi usaha dagang dengan nama UD. Burno Sari [3]. Demi kemajuan usahanya, UD. Burno Sari akan mengembangkan produk olahan pisang masak. Akan tetapi upaya tersebut terkendala oleh terbatasnya pengetahuan dan penguasaan teknologi penggorengan vakum (vacum frying). Melalui program Ipteks bagi Masyarakat (IbM) dilakukan scale up produksi RBC dengan menggunakan alat penggoreng vakum kapasitas 5 kg. 2. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam pembuatan ripe banana chip (RBC) diantaranya adalah seperangkat alat penggoreng vakum kapasitas produksi 5kg, spinner, timbangan, container. Bahan utama RBC adalah pisang mas pada kematangan level 5-6, minyak sawit merck SANIA. Sumber energi yang digunakan adalah gas elpiji untuk kompor dan listrik untuk alat vakum. 193 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 2.2 Proses Operasi Penggorengan Vakum Deskripsi alat terdiri atas tiga bagian utama yaitu: badan penggorengan yang terdapat tempat minyak dengan wadah buah pisang di dalamnya, pompa vakum yang lengkap dengan bak air, serta kompor sebagai sumber energy panas. Alat pelengkap lainnya adalah kontrol panas otomatis jika ada. Akan tetapi alat yang dimiliki mitra adalah vacumm frying konvensional tanpa pengontrol panas kompor. Oleh karena itu diharapkan ada inovasi untuk membeli alat pengontrol panas kompor. Pengkondisian alat penggoreng vakum dilakukan dengan menghidupkan alat vakum hingga menunjukkan tekanan di atas 60 cmHg dan penyetelan(setting) kompor untuk beroperasi pada suhu 80-90oC. 2.3 Analisis nilai ekonomi Analisis nilai ekonomi meliputi analisis biaya produksi, analisis keuntungan dan analisis B/C. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Hayami [4,5]. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Persiapan Bahan Baku Pelaksanaan kegiatan IbM dilakukan dengan persiapan alat dan bahan baku yang meliputi: perbaikan dan pengkondisian alat vacuum frying, pembelian bahan baku berupa pisang mas kirana dengan tingkat kematangan level (pisang masak dengan kulit kuning merata) dan minyak goreng. Perbaikan dan pengkondisian alat vacuum frying dilakukan dengan memperbaiki bagian seal dari alat sehingga mendukung proses pemvakuman. Pengkondisian alat dilakukan dengan menghidupkan alat vakum hingga menunjukkan tekanan di atas 60 cmHg dan penyetelan(setting) kompor untuk beroperasi pada suhu 80-90oC. Gambar 3.1 menunjukkan tahap pengoperasian alat. lebih kuning daripada hijau hingga kuning dnegan ujung hijau. Tingkat kematangan mempengaruhi komposisi kimia daging pisang seperti kadar pati, kadar gula reduksi, kadar sukrosa dan suhu gelatinisasi pati. Tingkat kematangan ditandai dengan perubahan warna kulit pisang seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Komposisi pati, gula dan suhu gelatinisasi berdasarkan tingkat kematangan warna kulit pisang [6] Warna Kulit Tahap 1 2 3 4 Hijau Hijau Hijau ada kuning Lebih hijau daripada kuning 61,7 58,6 42,4 39,8 0,2 1,3 10,8 11,5 1,2 6,0 18,4 21,4 5 Lebih kuning daripada 37,6 12,4 27,9 6 7 Kuning dengan ujung hijau Kuning sempurna 9,7 6,3 15,0 31,2 53,1 51,9 8 9 Kuning sedikit noda coklat Kuning banyak noda coklat 3,3 2,6 33,8 33,6 52,0 53,2 Minyak goreng yang digunakan adalah minyak dengan merk Sania yang diproduksi oleh PT. Wilmar Nabati Indonesia-Gresik. Komposisi kimia minyak Sania sudah diketahui seperti yang disajikan pada Tabel 3.2. Minyak tersebut dibeli dari Indomart Jember sebanyak 42 kemasan 2 liter dengan harga Rp. 23.900,00/kemasan. Tabel 3.2 Komposisi kimia minyak Sania [7] Komposisi Energi Lemak total Kadar 130 kkal 14 g Lemak jenuh 7g Lemak tak jenuh 7g Omega 9 Gambar 3.1 Pemanasan alat vacumm frying hingga tercapai suhu 80-90 oC pada tekanan 70-78 cmHg Deskripsi alat terdiri atas tiga bagian utama yaitu: badan penggorengan yang terdapat tempat minyak dengan wadah buah pisang di dalamnya, pompa vakum yang lengkap dengan bak air, serta kompor sebagai sumber energy panas. Alat pelengkap lainnya adalah kontrol panas otomatis jika ada. Akan tetapi alat yang dimiliki mitra adalah vacumm frying konvensional tanpa pengontrol panas kompor. Oleh karena itu diharapkan ada inovasi untuk membeli alat pengontrol panas kompor. Pemilihan bahan baku yaitu pisang mas kirana dilakukan pada tingkat kematangan buah level 5-6 yaitu Komposisi total karbohidrat (%) Pati Gula reduksi Sukrosa Omega 6 5496 1484 3.2 Produksi Ripe Banana Chip (RBC) Produksi ripe banana chip dilakukan dengan lima tahap yaitu pengupasan dan pembelahan, pembekuan, penggorengan, pengurangan kadar air, dan pengemasan. Pertama mengupas pisang mas masak dan dibelah menjadi dua bagian. UD. Burno Sari tidak melakukan pembelahan tetapi sebelum pisang dikupas pada kedua ujungnya dipotong selanjutnya bagian tengah dilubangi dengan menggunakan pipa plong. Hal ini bertujuan mempertahankan bentuk pisang agar tetap utuh 194 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 dan adanya lubang membujur di bagian tengah mampu mengoptimalkan transfer panas dariminyak ke bahan (buah pisang). Namun proses ini menghasilkan bagian afkir buah sehingga teknologi yang diintroduksikan tim pelaksana IbM adalah dengan pembelahan (Gambar 3.2). a b Gambar 3.2 Teknik Pengeplongan oleh UD. Burno Sari (a), Teknik Pengupasan dan Pembelahan yang Diintroduksikan Tim Pelaksana IbM Universitas Jember (b) Tahap selanjutnya adalah pembekuan buah pisang dengan menggunakan suhu -10 oC selama 30-120 menit. Tahap penggorengan vakum yang dilakukan pada suhu 80-90 oC dengan tekanan 70-78 cmHg selama 23jam. Sebelum kompor dinyalakan, penggoreng vakum diisi dengan minyak goreng nabati sebanyak 60 kg untuk kapasitas alat 5 kg bahan baku. Setelah penggorengan, produk RBC diangkat dan dikurangi kadar minyaknya dengan menggunakan teknik sentrifugasi/pemusingan selama 5-10 menit. Selanjutnya produk siap dikemas dan dilabel. Tahap produksi RBC seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3. Buah pisang mas pada level kematangan 5-6 rangka efisiensi penggunaan minyak. Akan tetapi dapat meningkatkan mutu produk yang dihasilkan berdasarkan parameter tingkat kerenyahannya. Selama penggorengan dilakukan pengadukan dengan menggoyangkan wadah dalam penggorengan dengan menggunakan tuas (Gambar 3.4 c). Penggoyangan cukup dilakukan dua kali frekuensi tiap 20-30 menit. Jika terlalu sering digoyang maka dapat merusak penampilan produk (produk ada yang tidak utuh irisannya/patah). Tahap selanjutnya adalah pengurangan kadar minyak produk RBC dengan teknik sentrifugasi menggunakan alat spiner (Gambar 3.4 d dan e). Produk RBC yang dihasilkan adalah sekitar 26-36% dari berat awal bahan baku buah pisang yang digunakan (sekitar 1,31,8kg dari 5kg daging buah pisang). Tahap terakhir adalah penimbangan, pengemasan dan labeling (Gambar 3.4 f). a b c d Pengupasan kulit pisang mas masak Pembelahan menjadi dua bagian Pembekuan pada suhu -10 oC selama 30-120 menit Penggorengan pada suhu 80-90 oC dengan tekanan 70-78 cmHg selama 2-3jam Pengurangan kadar minyak dengan sentrifugasi Pengemasan dan pelabelan Gambar 3.3 Tahap produksi ripe banana chip Gambar 3.4. adalah hasil dokumentasi selama produksi ripe banana chip. Perbandingan bahan baku daging buah pisang masak dengan minyak nabati yang digunakan adalah 1:12 (Gambar 3.4 a dan b). Perbandingan ini dapat diperkecil hingga 1:7 dalam e f Gambar 3.4 Dokumentasi produksi ripe banana chip di UD. Burno Sari oleh Tim Pelaksana IbM 3.3 Analisis Biaya Produksi Ripe Banana Chip (RBC) Biaya produksi secara rinci meliputi biaya untuk pembelian minyak goreng, bahan baku pisang dan bahan bakar gas dan listrik. Harga minyak goreng yang diperoleh adalah harga Rp. 23.300,00/kemasan 2 liter. Keperluan minyak untuk kapasitas produksi 5kg adalah 32 bungkus. Jadi biaya untuk pembelian minyak goreng adalah Rp 745.600,00 (32 kemasan x Rp 23.300,00/kemasan). Bahan baku yang berupa buah pisang mas masak dengan level kematangan 5-6 adalah Rp 2.500,00/kg. Jadi biaya untuk pembelian bahan baku adalah Rp 12.500,00 (5 kg x Rp 2.500,00/kg). Minyak dapat digunakan hingga 195 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 12 kali penggorengan. Kebutuhan bahan bakar minyak adalah Rp 15.000,00 untuk empat kali penggorengan kapasitas produksi 5 kg dan tiga kali penggorengan untuk kapasitas produksi 5 kg. Jika kapasitas produksi adalah 10 kg maka keperluan minyak adalah 1,5 kali lipat yaitu sekitar 48 kemasan 2 liter atau seharga Rp 1.118.400,00 (48 kemasan x Rp 23.300,00/kemasan). Kebutuhan bahan baku sebesar Rp 25.000,00 (10 kg x Rp 2.500,00/kg). Diduga kapasitas produksi alat yang efisien biaya adalah jika kapasitasnya 10 kg. Untuk kapasitas 5 kg sangat rendah tingkat keuntungannya karena perbandingan biaya produksi yang cukup tinggi. Perlu dilakukan analisis keuntungan. Rincian dan entimasi biaya peroduksi ripe banana chip disajikan pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Rincian dan entimasi biaya produksi ripe banana chip Jumlah biaya (Rp) Keperluan biaya Jumlah biaya (Rp) Kapasitas 5 kg Estimasi 12 kali penggorengan Kapasitas 10 kg Estimasi 12 kali penggorengan 745.600 745.600 1.118.400 1.118.400 Buah pisang mas masak 12.500 30.000 25.000 300.000 Bahan bakar minyak 15.000/4 45.000 1.500 18.000 774.600 836.600 Minyak goreng Listrik untuk satu kali penggorengan Jumlah 15.000/3 1.500 1.159.900 60.000 18.000 1.496.400 3.4 Analisis Keuntungan Produksi Ripe Banana Chip (RBC) Jumlah produk ripe banana chip yang dihasilkan untuk kapasistas produksi 5 kg adalah sekitar 1,3 kg – 1,8 kg. Rata-rata jumlah produk ripe banana chip yang dihasilkan untuk kapasistas produksi 5 kg adalah 1,5 kg atau 1500 g. Penggorengan vakum RBC untuk kapasitas 10 kg menghasilkan produk RBC sekitar dua kali lipatnya yaitu rata-rata 3 kg atau 3000 g. Harga penjualan produk RBC adalah Rp 9.000,00/100 g. Jadi nilai bersih penjualan produk RBC untuk kapasitas 5 kg adalah Rp 135.000,00 [(1500 g/100 g) x Rp 9.000,00] dan untuk kapasitas 10 kg adalah Rp 270.000,00 [(3000 g/100 g) x Rp 9.000,00]. Perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya produksi dihitung secara sederhana dari jumlah keuntungan dibagi dengan biaya produksi. Rincian dan entimasi keuntungan peroduksi ripe banana chip disajikan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Rincian dan entimasi keuntungan produksi ripe banana chip Estimasi 12 kali penggorengan Biaya Kapasitas 5 kg Produksi 774.600 836.600 1.159.900 1.496.400 Penjualan 135.000 1.620.000 270.000 3.240.000 Keuntungan B/C Kapasitas Estimasi 12 kali 10 kg penggorengan 783.400 1.743.600 0,936 1,165 Kapasitas produksi 5 kg menghasilkan nilai B/C sebesar 0,936 untuk 12 kali penggorengan. Kapasitas produksi 10 kg menghasilkan nilai B/C sebesar 1,165 untuk 12 kali penggorengan. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas produksi 5 kg kurang layak digunakan sebagai skala produksi, sedangkan kapasitas produksi 10 kg layak digunakan sebagai skala produksi karena nilai B/C lebih dari 1. Oleh karena itu kapasitas produksi alat penggoreng vakum perlu ditingkatkan menjadi alat yang memiliki kapasitas produksi 10 kg. Jika tidak ingin mengganti alat dengan kapasitas produksi 10 kg maka perlu dicari strategi lain. Contohnya adalah dengan menggunakan minyak goreng dari satu kali curah untuk 24 kali penggorengan atau dua kali lipatnya dari 12 kali penggorengan. Hal ini tentu tidak baik untuk menjaga kualitas produk RBC dari ketengikan. KESIMPULAN Produksi RBC dengan alat penggoreng vakum kapasitas produksi 5 kg memerlukan biaya produksi lebih besar. Nilai B/C RBC yang diproduksi oleh alat penggoreng vakum kapasitas 5 kg sebesar 0.98, sedangkan Nilai B/C RBC yang diproduksi oleh alat penggoreng vakum kapasitas 10 kg sebesar 1.16. Dengan estimasi 12 kali penggorengan, diperoleh kuntungan produksi alat penggoreng vakum kapasitas 5 kg sebesar Rp 783.400,00 dan alat penggoreng vakum kapasitas 10 kg sebesar Rp1. 743.500,00. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP2M DIKTI atas biaya kegiatan melalui Program Pengabdian Ipteks bagi Masyarakat Tahun 2014 serta terima kasih kepada DRPM KEMRISTEKDIKTI atas dana pengembangan selanjutnya melalui Program CPPBT (Calon Perusahaan Pemula Berbasis perguruan Tinggi) Tahun Anggaran 2016. 196 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 DAFTAR PUSTAKA [1] Nurhayati,Tamtarini, LN Hidayati. 2014. Evaluasi Sifat-sifat Prebiotik Ripe Banana Chip. [Prosiding] Seminar Nasional Halal, Nutrition and Food Safety. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta 26 April 2014 [2] Mahanani HA. 2013. Aplikasi Praproses dalam Pembuatan Ripe Banana Chip. [Skripsi] Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember [3] Handayani, N. 2012. Teknologi Produksi Keripik dan Sale Pisang di UD. Burno Sari Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. [Laporan Kuliah Kerja] Fakultas Teknolog Pertanian Universitas Jember [4] Hayami, Y. , Kagawoe, T., Morooka, Y., dan Siregar, M. 1987. Agriculture Marketing and Processing in Untad Java Perspective from Sunda Village. Bogor: CGPRT Centre. [5] Ibrahim, Y. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT. Rineka Cipta. [6] Zhang, P. Whistler, R.L, BeMiller, J.N., Hamake, B.R. 2005. Banana Starch: production, physicochemical properties, and digestibility-a review. J Carbohy Polymers. 59: 443-458 [7] PT. Wilmar Nabati Indonesia-Gresik. Produsen Minyak Sawit Indonesia 197 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 IbM Kelompok Usaha Bersama Aneka Cemilan “Dua Putera” Hesti Herminingsih#1, Nita Kuswardhani2*2, Khodijah Hayati3#3 # Jurusan Agribisnis dan Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini ,Universitas Terbuka-UPBJJ-UT Jember Jalan Kaliurang No. 2A Jember 1hestih@ecampus.ut.ac.id 3hayati@ecampus.ut.ac.id * Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Jember Jalan Kalimantan III Jember 2nita8994@yahoo.com Abstract Kelompok usaha bersama KUB Dua Putera adalah kelompok usaha industri rumah tangga yang bergerak dibidang usaha aneka cemilan. Produk utama yang dihasilkan dari KUB “Dua Putera” adalah prol tape disamping aneka kue kering (nastar keju, nastar selai nanas, kering kacang, kestengel keju, putri salju, coklat kacang mente, sus keju), dan brownis tape. .Permasalahan terkait dengan proses produksi yang dihadapi adalah proses produksi masih menggunakan oven skala rumah tangga dengan kapasitas produksi 15 kg bahan baku/jam tanpa pengatur suhu dan peredam panas. Dampaknya adalah selain kapasitas produksi yang dihasilkan kecil, hasil oven tidak homogen karena perapian sulit dikontrol. Kesulitan lainny adalah kurangnya kemampuan SDM mitra dalam pengelolaan manajemen pengendalian stok bahan baku/bahan jadi. Alternatif solusi dari permasalahan tersebut antara lain 1) untuk kendala produksi diberikan teknologi tepat guna yaitu 1 (satu) unit oven gas skala industri kecil dengan kapasitas produksi 30 kg bahan baku/jam yang dilengkapi dengan peredam panas dan pengatur suhu; 2) Penyuluhan dan pendampingan mengenai manajemen pengendalian stok bahan baku/bahan jadi. Kegiatan ini memberikan hasil 1) KUB Dua Putera dapat meningkatkan kapasitas produksi sebesar 100% dari 15 kg bahan baku/jam menjadi 30 kg bahan baku/jam. 2) Produk memiliki tingkat kematangan yang merata menandakan proses pemanggangan berjalan sempurna sehingga ualitas bahan pangan menjadi lebih terjaga dan tahan lama. 3) Secara bertahap mitra sudah menerapkan manajemen persediaan bahan baku dan bahan jadi sehingga dapat selalu memenuhi permintaan pasar tanpa kesulitan memenuhi kebutuhan akan bahan baku utama yakni tape. Kata Kunci; aneka cemilan, industri rumah tangga, KUB Dua Putera, oven gas I. PENDAHULUAN A. Analisis Situasi KUB “Dua Putra” memulai usaha sejak tahun 2001 dan memiliki anggota 16 orang dengan Nomor P-IRT 3153509490195-19 . Produk utama yang dihasilkan dari KUB “Dua Putera” adalah prol tape disamping aneka kue kering (nastar keju, nastar selai nanas, kering kacang, kestengel keju, putri salju, coklat kacang mente, sus keju), dan brownis tape. Sesuai dengan jenis produk yang dihasilkan maka sebagian besar proses produksi KUB “Dua Putera” adalah baking. Keterbatasan modal yang dimiliki membuat KUB “Dua Putra” hingga saat ini masih menggunakan oven tradisional skala rumah tangga dengan kapasitas produksi + 5 kg bahan baku/jam. Jumlah oven yang dioperasikan berjumlah 3 buah. Baking merupakan teknik memasak makanan dengan panas kering oleh konveksi (penghantar) uap udara panas di dalam oven. Beberapa oven domestik menggunakan dua elemen pemanas, satu terletak di bawah untuk baking dan satunya lagi terletak di atas untuk broiling. Energi panas di dalam oven tidak menyentuh bahan makanan secara langsung tetapi melalui udara panas yang dialirkan dari celahcelah/lubang oven. Oven dapat dipanaskan dengan api, aliran listrik dan gelombang elektromagnetik (microwave oven). Makanan yang dipanggang dalam oven mendapat panas secara tidak langsung dari udara panas yang dialirkan di dalam oven. Dinding oven tradisional terbuat dari aluminiun yang dibuat berlapis sehingga terdapat rongga ditengahnya. Oven tradisional menampung panas dari perapian, kemudian dialirkan ke atas melalui rongga yang berada pada dinding oven. Variasi oven yang digunakan dapat menghasilkan makanan yang sangat bervariasi (Mulyatiningsih, 2007). Suhu oven yang terlalu tinggi dapat menyebabkan bagian permukaan makanan gosong dan mengeras tetapi bagian dalam makanan masih mentah. Sebaliknya, apabila suhu oven terlalu rendah dapat menyebabkan kue yang 198 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 seharusnya mengembang tidak dapat mengembang secara sempurna. Kelembaban tidak selamanya diperlukan dalam makanan. Beberapa jenis bahan makanan ada yang sengaja dikeringkan melalui proses pemanggangan (Mulyatiningsih, 2007). Menurut Sawitri (2009), persediaan merupakan salah satu faktor yang menentukan kelancaran produksi dan penjualan, maka persediaan harus dikelola secara tepat. Dalam hal ini perusahaan harus dapat menentukan jumlah persediaan optimal, sehingga di satu sisi kontinuitas produksi dapat terjaga dan pada sisi lain perusahaan dapat memperoleh keuntungan, karena perusahaan dapat memenuhi setiap permintaan yang datang. Karena persediaan yang kurang akan sama tidak baiknya dengan persediaan yang berlebihan, sebab kondisi keduanya memiliki beban dan akibat masing-masing. Bila persediaan kurang, maka perusahaan tidak akan dapat memenuhi semua permintaan sehingga akibatnya pelanggan akan kecewa dan beralih ke perusahaan lainnya. Sebaliknya, bila persediaan berlebih, ada beberapa beban yang harus ditanggung, yaitu : 1. Biaya penyimpanan di gudang, semakin banyak barang yang disimpan maka akan semakin besar biaya penyimpanannya. 2. Risiko kerusakan barang, semakin lama barang tersimpan di gudang maka risiko kerusakan barang semakin tinggi. 3. Risiko kerusakan barang, barang-barang yang tersimpan lama akan “out of date” atau kadaluarsa B. Permasalahan Mitra Berdasarkan analisis situasi dapat diuraikan beberapa masalah yang dihadapi oleh KUB Dua Putera dalam meningkatkan usahanya memproduksi aneka cemilan yang terjamin ketersediaanya dan berkualitas baik yaitu; 1. KUB Dua Putra masih menggunakan oven skala rumah tangga yang tidak dilengkapi dengan pengatur suhu dan peredam panas sehingga selain kapasitas produksi yang kecil, bahan pangan yang dihasilkan memiliki tingkat kematangan tidak merata, hasil baking sering gosong, waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses baking tidak efisien. 2. Manajemen pengendalian persediaan bahan baku dan produk jadi masih dilakukan berdasarkan pengalaman pribadi belum merujuk pada standar teori yang ada sehingga kelompok mitra tidak optimal dalam menangkap peluang pasar, terutama pada saat permintaan sedang tinggi. C. Solusi yang ditawarkan Berdasarkan permasalahan diatas dan kesepakatan bersama dengan mitra dirancang beberapa solusi kegiatan yang mampu meningkatkan KUB Dua Putera menjadi industry kecil yang semakin profesional. Adapaun kegiatan yang akan dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut; 1. Perbaikan Terknologi Peralatan Produksi Teknologi peralatan produksi yang masih tradisional perlu diperbaiki. Perbaikan teknologi dilakukan dengan membuat paket teknologi tepat guna berupa; Peralatan Oven berdimensi 120x70x85 cm dengan kapasitas 40 kg bahan baku/jam yang dilengkapi dengan pengatur suhu dan peredam panas untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi KUB Dua Putra. 2. Pelatihan Manajemen Persediaan dan Administrasi Pelatihan manajemen persediaan sangat perlu untuk dilakukan kepada seluruh anggota untuk mendukung keberlanjutan usaha secara umum. Pelatihan ini bertujuan untuk memperbaiki aspek pengendalian persediaan barang jadi dan bahan baku utama. Dengan demikian diharapkan kelompok usaha bersama yang tergabung dalam KUB Dua Putra dapat menjadi usaha home industri yang profesional. II. TARGET DAN LUARAN Luaran yang ditargetkan dari kegiatan ini adalah sebagai berikut: (a) Pertama teknologi tepat guna berupa alat oven untuk meningkatkan skala produksi (dari + 15 kg bahan baku/jam menjadi 40 kg bahan baku/jam) dengan dimensi mesin 120x70x85 cm. (b) Kedua adalah paket modul panduan yang berisi petunjuk dan materi manajemen persediaan barang jadi dan bahan baku (c) Ketiga adalah publikasi ilmiah jurnal atau seminar hasil kegiatan untuk sosialisasi keberhasilan dan best practice. III. METODE PELAKSANAAN Metode pelaksanaan kegiatan ini secara garis besar ada dua tujuan; (1) perbaikan kuantitas dan kualitas produksi usaha mitra dan (2) peningkatan kemampuan manajemen pengelolaan usaha yang lebih professional. Metode pelaksanaan dan proses untuk mencapai target luaran dari kegiatan ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama adalah melakukan koordinasi dan sosialisasi serta sinkronisasi mengenai rencana kegiatan dengan kelompok usaha mitra. Pada tahap ini semua potensi dan peluang sumberdaya kelompok ditemukenali dan dipadukan dalam rangka persiapan pelaksanaan kegiatan ini. Tahap Kedua adalah melakukan 199 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 identifikasi dan validasi permasalahan terkait dengan manajemen produksi dan usaha kelompok mitra kebutuhan teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi. Hasil identifikasi tersebut kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan prototipe alat dan mesin yang akan diintroduksikan dan materi pelatihan agar teknologi dan penyuluhan yang dihasilkan nantinya betul-betul dapat membawa manfaat bagi keberlanjutan usaha kelompok mitra serta dapat diinternalisasikan dalam proses adopsi. Beberapa faktor yang dijadikan pertimbangan antara lain kapasitas produksi yang diinginkan, kapasitas alat dan mesin yang dibutuhkan, ketersediaan daya listrik, dan tingkatan teknologi yang dibutuhkan. Tahap ketiga adalah perancangan dan perakitan alat dan mesin yang sesuai dengan kebutuhan teknologi di tingkat kelompok mitra dan pembuatan modul berisi materi penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan kelompok mitra. Setelah perakitan selesai kemudian dilakukan pengujian lapang bersamaan dengan demo dan sosialisasi penggunaan alat dan mesin di tingkat kelompok mitra. Tahap keempat adalah kegiatan dengan penyuluhan dan pendampingan mengenai manajemen usaha agar penguatan kelompok dapat berjalan sesuai dengan target dan kesepakatan bersama mitra. Metode yang dipilih disesuaikan dengan kondisi sosial dan kemampuan serta waktu yang dimiliki anggota seperti diskusi bersama, presentasi maupun metode learning by doing santai tanya jawab yang penting semua dapat berjalan lancar. Secara rinci jadwal kegiatan IbM dapat dilihat pada Tabel I berikut ini. Tabel I. Jadwal Kegiatan IbM No Jenis Kegiatan 1 Koordinasi antara anggota Tim pelaksana dengan pihak mitra Pembuatan oven gas skala industri kecil Persiapan kegiatan pelatihan dan demo oven gas Pelaksanaan pelatihan 1. manajemen persediaan bahan baku dan bahan jadi 2. Pedoman penggunan dan perawatan oven 2 3 4 Waktu Pelaksanaan 01 April 2016 - 31 Mei 2016 Hasil Kesepakatan rencana kegiatan dan bentuk partisipasi mitra 06 Juni 2016 – 27 Juni 2016 Tersedia oven gas skala industri kecil 12 Juli 2016 18 Juli 2016 Tersedianya kit pelatihan dan bahan pendukung pelatihan lainnya Mitra memahami dan menerapkan hasil pelatihan serta memiliki kemampuan mengoperasikan dan merawat alat 21 Juli 2016 5 6 7 8 9 Serah terima oven gas Pendampingan manajemen dengan mitra Evaluasi kegiatan dengan mitra Penulisan artikel Pembuatan laporan akhir 22 Juli 2016 31 Juli 2016 25 Sept 2016 Berita acara serah terima alat Mitra dan alat dapat bekerja dengan baik 28 Agt 2016 23 Okt 2016 Laporan evaluasi kegiatan 21-25 November 2016 28 Nov 2016 09 Des 2016 Artikel penelitian Laporan akhir kegiatan IbM IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI A. Kinerja Abdimas Universitas Terbuka Sejalan dengan visi dan misi UT dan Renstra bidang abdimas UT diarahkan kepada program pemberdayaan masyarakat baik yang bersifat lokal maupun nasional. Program abdimas UT meliputi kegaiatan antara lain peningkatan indeks pembangunan manusia (Human Development Index), penghijauan, kewira-usahaan, kegiatan yang mendukung program pemerintah yang dilaksanakan dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat di Jabodetabek dan UPBJJ-UT. Selain itu, dalam upaya meningkatkan daya jangkau layanan abdimas, UT juga menyelenggarakan program SUAKA-UT dan Massive Open Online Course (MOOCs), serta membantu pemerintah dalam penyelenggaraan Ujian Nasional sekolah menengah. 1. Program Pemberdayaan Masyarakat (skala lokal) Program Pemberdayaan Masyarakat sampai tahun 2014 telah melibatkan 77 komunitas masyarakat di wilayah Jabodetabek dan 87 komunitas di wilayah UPBJJ-UT. 2. Program Penghijauan (skala nasional) Program Penghijauan sampai tahun 2014 telah dilaksanakan di 17 wilayah UPBJJ-UT dengan jumlah pohon yang ditanam sebanyak kurang lebih 320.000 pohon baik mangrove maupun tanaman keras lokal. Program penghijauan ini akan terus dilakukan sejalan dengan gerakan UT Go Green yang dicanangkan sejak tahun 2010 dan sebagai wujKUB dukungan UT dalam mensukseskan gerakan menanam satu milyar pohon oleh pemerintah. 3. Sumber Pembelajaran Terbuka - Universitas Terbuka (SUAKA-UT) SUAKA-UT berupa materi pembelajaran dari adopsi creative commons dengan berbagai topik yang dapat diakses secara gratis oleh masyarakat luas. Sejak tahun 2010 layanan ini telah diakses oleh lebih dari 500.000 pengunjung. 4. Massive Open Online Course (MOOCs) MOOCs berupa materi pembelajaran berbagai topik yang ditawarkan kepada seluruh masyarakat yang ingin memperoleh pengetahuan secara gratis dan terbimbing. 200 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pembimbingan MOOCs dilakukan dalam bentuk tutorial online. Sejak ditawarkan pada Maret 2014 telah diikuti kurang lebih 3.900 orang untuk 14 courses. 5. Pemantauan Ujian Nasional Sekolah Menengah UT terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan abdimas pemantauan Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/ SMK/ MA/Paket C di bawah koodinasi Dinas Pendidikan Provinsi Banten. UT terlibat di dalam kegiatan tersebut setiap tahun dan sampai saat ini kurang lebih 210 sekolah di wilayah Banten. B. Kepakaran Tim Jenis kepakaran yang diperlukan dalam kegiatan ini meliputi beberapa jenis kepakaran atau keahlian. Jenis keahlian yang dibutuhkan yaitu: (1) bidang rekayasa teknologi dan (2) bidang manajemen. Dengan demikian untuk menjamin keberhasilan program, maka keanggotaan tim pengabdi ini terdiri dari beberapa dosen dengan bidang keahlian yang dibutuhkan serta dibantu oleh beberapa mahasiswa dan teknisi. Tim pelaksana kegiatan terdiri dari 3 dosen dengan kualifikasi multi disiplin ilmu. Ketua tim dijabat oleh Hesti Herminingsih, SP.MP dosen jurusan Agribisnis dengan bidang keahlian Agribisnis. Beliau memiliki keahlian dalam manajemen agribisnis, penyuluhan pertanian dan memiliki kemampuan dalam membuat produk pangan yang sesuai dengan keinginan pasar. Pelaksana Anggota I adalah Dr. Nita Kuswardhani, STP. MSc Dosen Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian Universitas Jember dengan keahlian teknik pertanian. Tanggungjawab Ketua dan Anggota I dalam kegiatan ini adalah Teknologi Tepat guna Oven Gas Skala Industri. Pelaksana Anggota II adalah Dr. Khodijah Hayati, M.Pd, dosen jurusan Pendidikan Anak Usia Dini. Beliau memiliki keahlian dalam teknologi pembelajaran, selain itu juga memiliki skill dalam bidang manajemen sehingga sangat kompeten dalam bertanggungjawab kegiatan pelatihan manajemen pengendalian stok bahan baku dan bahan jadi/siap jual. Dengan demikian skill yang dimiliki oleh tim pelaksana kegiatan Ipteks ini sangat relevan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. Sehingga dengan keahlian tersebut dapat menunjang terlaksananya kegiatan dengan baik. IV. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini adalah berupa modul pelatihan manajemen persediaan bahan baku/bahan jadi dan alat oven gas sebagaimana yang tersaji pada Gambar 3 berikut ini; Gambar 1. Alat Oven Gas Setelah mitra mengoperasikan alat oven gas dan kemudian dilakukan evaluasi terhadap proses produksi diperoleh hasil peningkatan kapasitas produksi sebesar 100%. Dari sebelumnya kapasitas produksi 15 kg bahan baku/jam menjadi 30 kg bahan baku/jam. Peningkatan kapasitas produksi ini tentunya juga meningkatkan pendapatan dari mitra. Selain itu, kualitas produksi juga meningkat dikarenakan suhu yang dapat dikontrol dan perapian yang merata. Secara perbedaan hasil antara sebelum dan sesudah IbM secara rinci dapat dilihat pada Tabel II berikut ini; Tabel II Kondisi KUB Dua Putera Sebelum dan Sesudah IbM No Sebelum IbM Sesudah IbM 1. Oven Gas Skala Industri 1 Hasil pangan memiliki tingkat kematangan tidak merata (permukaan sudah matang bagian tengah masih mentah) karena perapian yang tidak merata dan tidak dilengkapi dengan pengatur suhu Hasil pangan memiliki tingkat kematangan merata karena perapian merata dan dilengkapi dengan pengatur suhu 2 Kapasitas produksi 14.3 kg bahan baku/jam (3 oven skala rumah tangga @ 5 kg bahan baku/jam) Kapasitas produksi 30 kg bahan baku/jam. (1 oven skala industri) 3 4 2. Pelatihan Manajemen Pengendalian Persediaan Bahan Baku dan Bahan Jadi Mitra tidak dapat Mitra dapat melaksanakan manajemen melaksanakan pengendalian bahan baku manajemen pengendalian bahan baku Mitra tidak dapat Mitra dapat melakukan melakukan manajemen manajemen pengendalian bahan jadi pengendalian bahan jadi 5 Sering kesulitan mencari bahan baku terutama saat permintaan produk sedang tinggi 6 Sering terjadi kelebihan/kekurangan stok Tidak kesulitan dalam mencari bahan baku terutama saat permintaan sedang tinggi Stok cukup 201 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 No Sebelum IbM Sesudah IbM 7 Ditemukan produk yang belum laku yang sudah lewat tanggal kadaluarsa Tidak ditemukan produk yang belum laku yang sudah lewat tanggal kadaluarsa V. KESIMPULAN Dari kegiatan IbM yang sudah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa KUB Dua Putera dapat meningkatkan kapasitas produksi sebesar 100% dari 15 kg bahan baku/jam menjadi 30 kg bahan baku/jam. Dengan demikian, peningkatkan kapasitas produksi ini KUB Dua Putra dapat meningkatkan pendapatan usaha mitra. Produk memiliki tingkat kematangan yang merata menandakan proses pemanggangan berjalan sempurna. Tekstur bahan pangan yang dihasilkan juga terlihat lebih lembut dan kenyal. Kualitas bahan pangan menjadi lebih terjaga dan tahan lama. Secara bertahap mitra sudah menerapakan manajemen persediaan bahan baku dan bahan jadi sehingga dapat selalu memenuhi permintaan pasar tanpa kesulitan memenuhi kebutuhan akan bahan baku utama yakni tape. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakt Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai kegiatna ini melalui Program Pengabdian kepada Masyarakat Mono Tahun Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) Tahun Anggaran 2016 Nomor 23700/UN31.2/PM/2016 Tanggal 11 Juli 2016. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] Sawitri, D. (2009). Perancangnan Sistem Informasi Manajemen Persediaan Barang “Electrolux Authorized Service CV Momentum Teknik. Artikel [Online]. Tersedia: http://www.gunadarma.ac.id.. Mulyatiningsih, E. (2007). Diktat: Teknik-Teknik Dasar Memasak. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. [Online]. Tersedia : staff.uny.ac.id. 202 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Peningkatan Produktivitas Ternak Domba: Peternakan Domba di Daerah Perkebunan Tebu Kabupaten Bondowoso dengan Pembuatan Pakan Komplit Bermutu Sistem Drum Berbasis Limbah Pucuk Tebu Suci Wulandari1*, Merry Muspita DU2*, Nurkholis3* 1suci_ndariwulan@yahoo.com 2 merry.mdu@gmail.com 3 nur78.nk@gmail.com * Jurusan Peternakan , Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip PO BOX 164. Jember Abstract Kelompok tani “Kalitapen Jaya” (Mitra I) dan “Sekar Taruna” (Mitra II) merupakan dua kelompok tani di Kecamatan Tapen, Kabupaten Bondowoso yang mempunyai kegiatan usaha berternak domba. Kesulitan dalam mendapatkan rumput pada musim kemarau, dan ketidak tahuan para anggota kelompok terhadap manfaat pucuk tebu sebagai bahan pakan yang kesediaannya cukup melimpah di Kabupaten Bondowoso menunjukkan bahwa daerah tersebut sangat memerlukan transfer teknologi dengan mengadopsi teknologi pakan melalui program IbM. Tujuannya adalah memberikan transfer teknologi ’Pembuatan pakan komplit bermutu sistem drum berbasis pucuk tebu untuk meningkatkan produktivitas ternak domba yang merupakan mata pencaharian anggota kelompok mitra. Target yang ingin dicapai melalui kegiatan IbM ini antara lain sebagai berikut: 1)Adanya peningkatan wawasan, pengetahuan dan ketrampilan mengenai teknologi pengolahan pakan ternak bermutu dari para peternak domba mitra dengan memanfaatkan bahan pakan lokal yang cukup melimpah pada musim panen, yaitu pucuk tebu; 2)Tersedia 1 unit mesin pencacah tebu (chopper) kapasitas 100 kg/jam dan 2 buah drum plastik kapasitas 60 liter sebagai stimulir dalam pengembangan usaha ternak domba; 3)Produk pakan komplit bermutu dan awet berbasis limbah pucuk tebu dalam kemasan drum, yang ketersediannya sepanjang tahun; 4)Adanya peluang untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan, dengan usaha pakan komplit dalam kemasan drum dengan sistem isi ulang, guna memenuhi kebutuhan pakan ruminansia di daerah lain, terutama pada musim kemarau. Untuk dapat mewujudkan program IbM tersebut akan dilakukan tahapan pelaksanaan kegiatan sebagai berikut: a)Persiapan yaitu sosialisasi kegiatan pada anggota mitra; b)Penyuluhan dengan materi ‘Pembuatan Pakan Komplit Bermutu Sistem Drum Berbasis Limbah Pucuk Tebu’; c) Pelatihan Pembutan ‘Pakan komplit bermutu sistem drum berbasis limbah pucuk tebu’dan Demo Alat Chopper Pucuk Tebu; e)Evaluasi kegiatan dilaksanakan setelah selesai kegiatan pelatihan. Evaluasi ini dimaksudkan untuk perbaikan kegiatan kami selanjutnya (masih 30% lagi). Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan ini adalah: 1)Kegiatan pengabdian ini mendapat respon positip dari kelompok peternak, 2)Produk yang dihasilkan dalam program pengabdian ini adalah teknologi pembuatan pakan komplit dengan sistem drum, dan didukung alat chopper pucuk tebu, dan 3) Terjalin hubungan yang baik antara tim IbM dengan mitra, dengan selalu menjalin komunikasi dan koordinasi. Kata kunci: Pakan komplit, pucuk tebu, sistem drum, domba, daerah perkebunan Bab I. Pendahuluan A. Analisis Situasi Tebu merupakan salah satu komoditas strategis unggulan nasional untuk tanaman perkebunan. Hal ini dalam mendukung program pemerintah dalam rangka menuju swa sembada gula nasional. Jawa Timur merupakan propinsi yang memberikan kontribusi tertinggi dalam menghasilkan produk gula tebu secara nasional yaitu sekitar 51,38%. Produksi tebu Jawa Timur tahun 2012 sebesar 1.252.788 ton (Dinas Perkebunan 203 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Pemerintah Propinsi Jawa Timur, 2014). Salah satu daerah penghasil tebu tersebut adalah Kabupaten Bondowoso. Sebetulnya limbah tebu yaitu pucuk tebu dapat digunakan sebagai bahan pakan sebagai pengganti hijauan, terutama untuk ternak ruminansia seperti domba. Pucuk tebu mengandung protein kasar (PK) 5,6% dan energi TDN sebesar 54,1% (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur, 2012). Pemanfaat limbah pucuk tebu secara langsung sebagai pakan ternak mempunyai faktor pembatas karena mengandung selulosa dan lignin yang tinggi sehingga menyebabkan kecernaan yang rendah, juga kandungan protein kasar yang rendah. Untuk itu perlu suplementasi dengan bahan pakan lain agar kandungan nutrisi meningkat. Peningkatan kecernaan dilakukan proses fermentasi anaerob menggunakan fermentor yang mengandung mikrobia pendegradasi serat. Teknologi yang sesuai untuk menurunkan faktor pembatas tersebut adalah fermentasi pakan komplit. Keunggulan perlakuan dengan fermentasi adalah selain dapat digunakan untuk peningkatan nilai nutrien produk juga dapat digunakan sebagai produk awetan yang dapat mengatasi masalah kontinyuitas pakan dimusim kemarau. Hasil penelitian Wulandari (2014) menunjukkan bahwa perlakuan fermentasi limbah pod kakao secara anaerob dengan penambahan fermentor dan diperam selama enam hari dapat meningkatkan kecernaan pod kakao, hal ini nampak dari hasil photo scanning electron microscope (SEM) terjadinya pembengkakan dinding sel dari pod kakao bagian terluar. Pembengkakan jaringan ini dikarenakan masuknya cairan ke dalam sel. Menurut Church dan Pond (1988) bahwa bahwa pengolahan terlebih dahulu dalam ransum ternak ruminansia dapat merenggangkan ikatan lignoselulosa sehingga menjadi lebih mudah dicerna. Fermentasi menggunakan silo berupa drum mempunyai keunggulan dalam hal penyimpanan dan pendistribusian ke desa lain atau propinsi lain yang kekurangan bahan pakan pada musim kemarau, dan jika pakan komplit telah habis dapat dilakukan isi ulang. Hal ini selain meningkatkan produktivitas ternak domba milik mitra, juga dapat menambah usaha baru dalam bidang penyediaan pakan ternak ruminansia. B. Permasalahan Mitra Kelompok tani “Kalitapen Jaya” (Mitra I) dan “Sekar Taruna” (Mitra II) merupakan dua kelompok tani di Kecamatan Tapen, Kabupaten Bondowoso yang mempunyai kegiatan usaha berternak domba. Mitra I mempunyai 40 ekor domba dari 2 orang anggota. Mitra II mempunyai 30 ekor domba dari 10 orang anggota. Sistem pemeliharaan adalah sistem gaduh, satu induk nyetor dua anak lepas sapih. Kesulitan dalam mendapatkan rumput pada musim kemarau, telah mendorong anggota kelompok menggunakan bahan pakan alternatif seperti batang pisang sebagai pengganti hijauan dan bahan pakan tambahan dari limbah pertanian dan perkebunan seperti kulit kacang dan kulit kopi, namun pengolahannya pun masih belum mengadopsi teknologi pakan yang baik. Ketidak tahuan para anggota kelompok terhadap manfaat pucuk tebu sebagai bahan pakan yang kesediaannya cukup melimpah di Kabupaten Bondowoso, menunjukkan bahwa daerah tersebut sangat memerlukan transfer teknologi dengan mengadopsi teknologi pakan melalui program IbM dengan pembuatan pakan komplit berbasis pucuk tebu yang cukup baik kualitasnya agar pertambahan berat badan domba dapat mencapai 1 – 2 kg/minggu/ekor. Politeknik Negeri Jember merupakan lembaga pendidikan tinggi yang memiliki staf dosen yang membidangi nutrisi dan makanan ternak, serta dosen bidang managemen dan kewirausahaan memiliki tanggung jawab untuk ikut serta membantu dalam peningkatan produktivitas domba yang dipelihara oleh anggota kelompok tani “Kalitapen Jaya” dan “Sekar Taruna” dalam upaya pengembangan usahanya melalui penyediaan pakan domba bermutu dengan memanfaatkan bahan pakan lokal yang murah. Adopsi teknologi pakan yang akan diberikan meliputi pengetahuan mengenai pucuk tebu dan bahan pakan lokal lain, pengendalian mutu pakan dan managemen usaha peternakan domba yang menguntungkan. Menurut Wahju (1997) bahwa pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimum, tetapi pertumbuhan yang baik dan diikuti dengan efisiensi pakan yang baik pula, serta biaya pakan yang minimal akan mendapatkan keuntungan yang maksimal. Bab II. Target dan Luaran A. Target Target yang ingin dicapai melalui kegiatan IbM ini adalah sebagai berikut: 1. Adanya peningkatan wawasan, pengetahuan dan ketrampilan mengenai teknologi pengolahan pakan ternak bermutu dari para peternak domba mitra dengan memanfaatkan bahan pakan lokal yang cukup melimpah pada musim panen, yaitu pucuk tebu. 2. Tersedia 1 unit mesin pencacah tebu (chopper) kapasitas 100 kg/jam dan 2 buah drum plastik kapasitas 60 liter sebagai stimulir dalam pengembangan usaha ternak domba. 3. Produk pakan komplit bermutu dan awet berbasis limbah pucuk tebu dalam kemasan drum, yang ketersediannya sepanjang tahun. 4. Adanya peluang untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan, dengan usaha pakan komplit dalam kemasan drum dengan sistem isi ulang, guna memenuhi kebutuhan pakan ruminansia di daerah lain, terutama pada musim kemarau. B. Luaran Luaran yang didapat melalui kegiatan IbM ini adalah: produk pakan komplit bermutu berbasis limbah pucuk 204 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 tebu yang awet dan aplikatif. Kelebihan produk ini selain sebagai pemanfaatan produk limbah lokal, juga mudah di distribusikan ke daerah lain karena dikemas dalam drum plastik kapasitas dengan kandungan protein kasar 11 – 12% dan TDN 60 – 70%. Pakan dapat disimpan dalam waktu lama sampai digunakan untuk musim kemarau tahun berikutnya, dan mudah dalam penyimpanannya. Hal ini dikarenakan dikemas dalam drum plastik yang kuat. Produk ini sangat efeisien dikarenakan berbahan baku lokal dan dapat dibuat dengan sistem isi ulang selama drum masih tidak mengalami kebocoran. Penerapan teknologi pakan komplit berbasis pucuk tebu ketika diberikan kepada domba akan meningkatkan produksi ternak, efisien pakan, praktis dalam pemberian dan penyimpanan, serta ramah lingkungan. Bab III. Metode Pelaksanaan Produktivitas domba yang rendah sangat dirasakan oleh anggota kelompok tani Mitra, seperti pertumbuhan berat badan domba yang rendah sehingga nampak lebih kecil dan kurus. Produktivitas domba yang rendah disebabkan oleh karena penyediaan pakan yang berkualitas, dan kandungan nutrisi seimbang belum teraplikasikan. Usaha pembuatan pakan dengan memanfaatkan sumber bahan lokal berbasis limbah pertanian sudah dilakukan, namun karena pengetahuan yang kurang tentang teknologi pakan maka hasil pakan yang berkualiatas masih belum didapatkan. Anggota kelompok menyadari bahwa untuk kegiatan usaha dan pengembangan usahanya perlu adopsi pengetahuan dan ketrampilan mengenai teknologi pakan. Melalui program IbM ini Politeknik Negeri Jember memberikan solusi dengan memberikan program pakan komplit sistem drum. Pakan komplit merupakan pakan yang cukup mengandung nutrien untuk ternak dalam tingkat fisiologis tertentu yang dibentuk dan diberikan sebagai satu-satunya pakan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi tanpa tambahan substansi lain kecuali air (Hartadi et al., 2005). Pucuk tebu yang banyak tersedia saat panen tebu yang bertepatan dengan musim kemarau (antara bulan juni – september) dimanfaatkan sebagai pengganti hijauan yang pemanfaatannya sampai sekitar 40 – 50% dari total pakan. Kekurangan nutrisinya ditambahkan dengan daun lamtoro dan konsentrat yang terbuat dari bahan lokal antara lain terdiri dari kulit kacang, dan dedak halus. Premik diperlukan sabagai sumber mineral. Pakan kumplit dibuat dengan kandungan protein kasar (PK) sekitar 11-12% dan energi TDN sekitar 60% (Ranjhan, 1981). Pakan komplit yang dibuat dalam silo berupa drum mempunyai beberapa keunggulan yaitu: Dapat disimpan dalam waktu lama dengan kualitas yang dapat dipertahankan; Dapat diisi ulang, sehingga selain dapat digunakan sendiri juga dapat didistribusikan ke daerah lain, dan menjadikan usaha tambahan baru bagi anggota mitra; Kebersihan lingkungan terjaga. Untuk dapat mewujudkan program tersebut telah dilakukan tahapan pelaksanaan kegiatan IbM sebagai berikut: 1)Persiapan : Sebelum dilakukan kegiatan, tim IbM melakukan sosialisasi pada anggota mitra sekaligus menginventarisasi bahan pakan lokal selain pucuk tebu untuk kelengkapan nutrisinya. 2)Penyuluhan dan pelatihan : Materi penyuluhan dan pelatihan adalah mengenai pucuk tebu dan bahan pakan lokal lain, menyusun ransum dan managemen pemeliharaan domba, serta kewirausahaan. Setelah mengikuti penyuluhan dan pembekalan ini diharapkan peternak dapat memanfaatkan potensi bahan pakan lokal yang belum termanfaatkan dan kesediannya cukup melimpah seperti pucuk tebu untuk digunakan sebagai pakan secara benar dengan memperhatikan kualitas nutrisi dan cara pemberian yang benar. Peternak juga mempunyai jiwa kewirausahan dengan mengembangkan usaha lain seperti produksi pakan komplit sistem drum yang dapat diisi ulang, untuk mencukupi kekurangan pakan di daerah lain. 3)Pemberian bantuan peralatan pendukung : Pemberian bantuan berupa satu unit alat pencacah pucuk tebu (chopper) dan drum sebagai silo dalam pembuatan pakan komplit. Pemberian bantuan alat ini dimaksudkan untuk menstlimulir para anggota mitra untuk mengembangkan usaha peternakannya yang dimiliki, setelah mengetahui dan mampu mempraktekkan sendiri dan mendapatkan keuntungan usahanya. Pembuatan pakan komplit berbasis limbah pucuk tebu sistem drum. 4)Pembutan ‘Pakan komplit bermutu sistem drum berbasis limbah pucuk tebu’: Pucuk tebu dicacah menggunakan chopper dengan ukuran sekitar 5 cm kemudian dicampur dengan daun lamtoro, konsentrat yang dibuat dari bahan lokal antara lain seperti kulit kacang, dan dedak halus. Fermentor EM4 yang telah diaktifkan dalam larutan tetes 2% selama 2 jam, dicampurkan sambil diaduk. Ditambahkan air sampai kondisi pakan nampak lembab (kadar air sekitar 40%). Setelah tercampur merata, dimasukkan dalam drum plastik sampai dipadatkan agar tercapai kondisi anaerob. Ditutup rapat dan diperam minimal selama enam hari. Pakan yang dihasilkan akan tetap awet dan kualitas terjaga selama tidak mengalami kebocoran drum silo. 5)Evaluasi : Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan terhadap kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka untuk menetapkan rekomendasi terhadap kelangsungan dan pengembangan kegiatan berikutnya. Bab IV. Kelayakan Perguruan Tinggi Politeknik Negeri Jember sebagai lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk melakukan Tridarma Perguruan 205 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Tinggi, salah satunya adalah pengabdian kepada masyarakat. Politeknik Negeri Jember untuk mewadahi kegiatan staf dosennya dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat telah memiliki Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M). Kinerja P3M dalam program pengabdian kepada masyarakat tahun 2015 yang diterima yaitu Program IbM 20 judul dengan jumlah dana sekitar Rp. 1 miliar rupiah dari sumber dana DP2M, sedangkan pengabdian dana perguruan tinggi mandiri mencapai 50 judul dengan jumlah dana sekitar Rp. 500.000.000 (P3M). Bab V. Hasil dan Luaran yang Dicapai A. Persiapan Dalam pelaksanaan kegiatan ini, tim IbM melakukan diskusi, meminta masukan dan saran kepada ketua kelompok dan beberapa perwakilan anggota sebelum dimulai kegiatan pengabdian. Hal ini dilakukan agar teknologi yang akan kita terapkan betul-betul diaplikasikan oleh mitra. Dari hasil koordinasi ini disepakati, penekanan materi dan praktek yang akan diberikan, disesuaikan dengan kebutuhan mitra, juga kesepakatan mengenai waktu/jadwal antara mitra dan pihak kami sebagai tim yang akan melaksanakan kegiatan pengabdian. Penyediaan bahan baku pakan, seperti pucuk tebu, bahan pakan lokal sebagai pendukung dalam pembuatan pakan komplit seperti konsentrat dan daun lamtoro, tong dan plastik gulung sebagai silo (tempat fermentasi pakan komplit) disediakan dan dibelanjakan oleh Mitra. Hal ini agar dapat menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab dari anggota mitra terhadap kelancaran acara penyuluhan tersebut. B. Penyuluhan Materi penyuluhan tentang ‘Pembuatan Pakan Komplit Bermutu Sistem Drum Berbasis Limbah Pucuk Tebu’ pada tanggal 11 Agustus 2015. Pada saat pelaksanaan kegiatan penyuluhan, nampak bahwa kelompok peternak Kalitapen Jaya dan Sekar Taruna sangat antusias dalam mengikuti penyuluhan. Hal ini dikarenakan program yang kami berikan disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Selama penyuluhan berlangsung, dapt diketahui bahwa para peserta belum mengetahui bahwa pucuk tebu dapat digunakan sebagai pengganti rumput, sedangkan daerah mitra banyak perkebunan tebu, dan setiap panen menghasilkan limbah pucuk tebu. Dalam penyuluhan ini, juga dijelaskan bagaimana cara mengatasi kekurangan pucuk tebu yang mengandung protein rendah dan serat kasar tinggi. Sebagai pembanding bahwa Rumput Gajah kandungan protein kasar (PK) 8,4- 11,4% dan serat kasar 29,5-33% (Badan Litbang Pertanian RI, 2013), sedangkan pucuk tebu mengandung PK 4,94%, serat kasar 33,54% (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur, 2012). Untuk mengatasi rendahnya protein dengan menambahkan bahan berprotein tinggi yaitu daun legum, seperti daun lamtoro, juga konsentrat. Penggunaan pucuk tebu tersebut 40-50% dari ransum. Kandungan serat tinggi menyebabkan rendahnya kecernaan, hal ini diatasi dengan cara pucuk tersebut dicacah dengan alat chopper serta dilakukan fermentasi pada pakan komplit tersebut. Penyampaian teknologi tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti peserta, dan didukung dengan gambargambar, sehingga mudah materi yang disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh para petani peternak. Hasil dari kegiatan penyuluhan ini, ada keinginan dari peserta untuk memproduksi dan menjual pakan komplit berbasis limbah pucuk tebu tersebut saat ada pemanenan tebu. Hal ini dikarenakan pakan komplit sistem drum dapat diisi ulang, sehingga dapat untuk mencukupi kekurangan pakan di daerah lain. Hal ini merupakan wirausaha baru bagi para anggota Mitra. C. Pelatihan Pembutan ‘Pakan komplit bermutu sistem drum berbasis limbah pucuk tebu’dan Demo Alat Chopper Pucuk Tebu Pelatihan dilaksanakan pada tanggal 12 Agustus 2015 dengan materi mengenai ‘Pembuatan pakan komplit bermutu sistem drum berbasis limbah pucuk tebu dan Demo Alat Chopper Pucuk Tebu ’. Pada saat pembuatan pakan komplit dengan menggunakan drum sebagai silo, peserta juga diajari membuat pakan komplit menggunakan plastik sebagai silo. Hal ini dimaksudkan, agar peserta dapat mengetahui sendiri kelebihan penggunaan drum plastik sebagai silo, antara lain: mempermudah pemadatan saat pembuatan, kemasan tidak mudah rusak saat penyimpanan lama, misal berlubang karena serangan hama tikus, maupun kerusakan karena cuaca. Hal utama, silo dari drum plastik dapat diisi ulang. 206 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Gambar 1. Suasana kegiatan pelatihan Sebelum dilakukan pembuatan pakan komplit, terlebih dahulu dilakukan demo cara penggunaan dan perawatan alat chopper, setelah itu peserta melakukan sendiri dalam mencacah pucuk tebu (menggunakan chopper) sebagai bahan baku utama dalam pembuatan pakan komplit. Adapun cara pembuatan pakan komplit berbasis pucuk tersebut seperti tertera pada Gambar 2. Tidak semua pakan komplit difermentasi, sebagian diberikan pada ternak domba beberapa anggota mitra. Hasil yang didapat, domba sangat menyukai pakan komplit berbasis pucuk tersebut baik yang difermentasi maupun yang sudah difermentasi. Selain mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan pakan komplit sistem drum, diakhir kegiatan nanti, mitra juga akan mendapatkan alat chopper pucuk tebu, yang nantinya secara simbolis akan diberikan oleh Piliteknik, dalam hal ini diwakili oleh P3M kepada Mitra. Dengan pemberian alat tersebut, diharapkan usaha mitra akan semakin berkembang, disamping ternak dombanya yang berkembang baik, adanya peluang baru wirausaha pakan komplit berbasis pucuk tebu. D. Evaluasi Evaluasi kegiatan dilaksanakan setelah selesai kegiatan pelatihan. Evaluasi ini dimaksudkan untuk perbaikan kegiatan kami selanjutnya (masih 30% lagi) juga untuk kegiatan pengabdian di masa akan datang pada kegiatan yang sama maupun kegiatan pengabdian di tempat lain. Kami tetap membuka kesempatan untuk menerima pertanyaan-pertanyan dari anggota kelompok serta membantu menyelesaikan jika ada permasalahan mengenai pemanfaatan pucuk tebu yang banyak terdapat didaerah Bondowoso sebagai pakan ternak. Bab VI. Kesimpulan - - Kegiatan pengabdian mendapat respon positip dari kelompok peternak Produk yang dihasilkan dalam program pengabdian ini adalah teknologi pembuatan pakan komplit berbasis pucuk tebu, dan didukung alat chopper pucuk tebu Koordinasi selalu dilakukan dengan mitra sehingga terjalin hubungan yang baik Gambar 2. Gambaran Ipteks yang ditransfer kepada mitra DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] Church, D. C. and W. G Pond. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd Eds. John Willey and Sons, Inc. New York. 1988. Dinas Perkebunan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Perkembangan Perkebunan. http://www.disbun.jatimprov.go.id/programkerja.php. 2014. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur. Pemanfaatan pucuk tebu sebagai bahan pakan suplementasi pada ternak ruminansia. http://disnak.jatimprov.go.id/web/layananpublik/readteknologi/8 13/pemanfaatan-pucuk-tebu-bahan-pakan-suplementasi-padaternak-ruminansia#.VqmcAY6UcsA. 2012 Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A.D. Tillman. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 2005. Ranjhan, S. K. Animal Nutrition in The Tropics. Vicas Publishing House PVT Ltd. New Delhi. 1981. Supriyadi. Macam bahan pakan sapi dan kandungannya. Badan Litbang Pertanian RI. http://yogya.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_c ontent&view=article&id=523:macam-bahan-pakan-sapi-dankandungan-gizinya&catid=14:alsin. 2013. Wahju, J. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Cetakan keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1997. Wulandari, S., A. Agus, M. Soedjono, dan M. N. Cahyanto. Nilai cerna dan Biodegradasi Theobromin pod kakao dengan perlakuan fermentasi menggunakan inokulum multimikrobia. Agritech. 34(2):160-169. 2014. 207 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 IbM Untuk Kelompok Pengrajin Manik-Manik di Desa Tutul Kabupaten Jember Yogiswara1*, Ratih Ayuninghemi2* 1yogipoltek@gmail.com 2 * ratihayuninghemi@gmail.com Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip PO BOX 164. Jember Abstract Penerapan teknologi informasi di industri kecil berdampak pada daya saing yaitu akan meningkatan produktivitas dan posisi pasar serta merespon permintaan konsumen lebih cepat. Begitu pula produktivitas kerajinan manik-manik yang saat ini sudah merambah pasar ekspor juga domestic. Menurut data dari pemerintah desa Tutul tahun 2012 terdapat 2.045 jiwa bekerja dibidang pertanian dan sebanyak 989 jiwa bekerja dibidang sektor industri rumah tangga kerajinan manik-manik (Mochamad Sodiq, 2012). Tingginya pemesanan produk kerajinan manik-manik hingga pasar internasional ini mendorong masyarakat desa tutul khususnya para pengerajin untuk lebih berfikir secara professional terutama terkait dengan transaksi – transaksi pencatatan produksi. Dengan melihat kondisi tersebut Abdurahman berinisiatif membuat kelompok atau semacam paguyuban pengrajin (Mitra 1) manik-manik yang mampu memperkuat permodalan dan pemerataan produksi sehingga produktivitas para pengrajin menjadi meningkat. Kelompok pengerajin ini diberi nama CV. Agar Wood yang didalamnya terdiri dari 15 pengerajin.Semua produk yang dijual oleh Budi Dolaris (Mitra 2) adalah hasil karya pengrajin di desa tutul. Salah satu pemasok hasil kerajinan tersebut adalah kelompok pengrajin pengrajin yang dipimpin oleh Abdurahman. Proses pemesanan dari Mitra 2 kepada Mitra 1 selama ini hanya dengan media komunikasi langsung tanpa ada prosedur pencatatan yang jelas dan terecord dengan baik. Selain itu Mitra 1 juga masih belum memiliki system yang berkaitan dengan proses perencanaan dan pengendalian produksi, sehingga komunikasi dengan kelompok pengrajin yang telah dibina dalam proses produksi tersebut masih belum terarah dengan baik. Hal yang paling sensitive dari Mitra 1 dan sangat mendesak harus segera diberikan solusi adalah semua proses Transaksi Keuangan dan Kepegawaian. Dengan kondisi-kondisi tersebut maka dibutuhkan suatu sistim informasi yang mampu merencanakan, mengendalikan proses produksi. Sistem yang dimaksud merupakan sistem yang mampu melakukan banyak proses yang memang sangat dibutuhkan oleh Mitra 1 antara lain Proses Perencanaan Produksi, Pengendalian Aktivitas Produksi, Transaksi Keuangan, dan Transaksi Kepegawaian (Data Pegawai, penggajian, bonus dan insentif). Kata kunci: Kelompok Pengrajin, Kerajinan Manik-manik, Proses Produksi, Sistem informasi. PENDAHULUAN A. Analisis Situasi Kerajinan manik-manik di desa Tutul diawali pada tahun 1970-an, saat itu banyak tumpukan kayu hasil penebangan yang hanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Tidak tahu siapa yang memulai untuk mengambil inisiatif untuk berkreasi dengan kayu-kayu tersebut sehingga bisa menghasilkan gelang dan tasbih.). Selain bahan baku kayu, biji-bijian juga bisa dimanfaatkan dan bernilai tinggi untuk dijadikan kerajinan manik-manik. Dan hingga saat ini keahlian itu turun ke generasi kedua dan ketiga mewarisi keahlian sebagai pengrajin manik-manik. Tentunya, generasi kedua dan ketiga ini mempunyai kreatifitas, inovasi dan kualitas barang yang dihasilkan juga tinggi dari generasi yang sebelumnya. Menurut data dari pemerintah desa Tutul tahun 2012 terdapat 2.045 jiwa bekerja dibidang pertanian dan sebanyak 989 jiwa bekerja dibidang sektor home industrikerajinan manik-manik (Mochamad Sodiq, 2012 Tingginya pemesanan produk kerajinan manik-manik hingga pasar internasional ini mendorong masyarakat desa tutul khususnya para pengerajin untuk lebih berfikir secara professional terutama terkait dengan transaksi – transaksi pencatatan produksi. Tidak sedikit pengerajin yang memiliki kesulitan dalam pencatatan proses dan pemasaran hasil produksi. Masalah lain yang dihadapi oleh pengerajin adalah banyaknya permintaan pemesanan dari pemilik outlet yang akan mengirim barang keluar negeri dan dalam negeri. Hal ini menuntut masing-masing pengrajin harus mengejar jumlah produksi yang lebih besar. Melihat kondisi tersebut Abdurahman berinisiatif membuat kelompok atau semacam paguyuban pengerajin manik-manik yang mampu memperkuat permodalan, pemerataan produksi sehingga produktivitas para pengrajin menjadi meningkat. Kelompok pengerajin ini diberi nama CV. Agar Wood yang didalamnya terdiri dari 208 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 15 pengerajin. Kelompok pengrajin ini telah memiliki tempat yang layak untuk memproduksi manik manik seperti yang terlihat pada gambar 1 dibawah ini. Gambar 1. Aktifitas Kelompok Pengrajin CV. Agar Wood Kondisi saat ini perkembangan industri manik-manik di desa tutul telah menghasilkan beberapa pengusaha kecil menengah yang tangguh dan produknya juga menjadi komoditas ekspor ke China, Vietnam dan beberapa negara Timur Tengah serta Eropa. Budi Dolaris (Mitra 2) adalah salah satu pengusaha manik manik lokal dari desa tutul yang telah memperluas pemasarannya hingga manca negara. Semua produk yang dijual oleh Budi Dolaris adalah hasil karya pengrajin di desa tutul gambar 2. Salah satu pemasok hasil kerajinan tersebut adalah kelompok pengrajin pengrajin yang dipimpin oleh Abdurahman. Gambar 2. Aktifitas Lokasi Usaha Budi Dolaris Proses pemesanan dari Mitra 2 kepada Mitra 1 selama ini hanya dengan media komunikasi langsung tanpa ada prosedur pencatatan yang jelas dan terecord dengan baik. Pada kenyataannya transaksi pemesanan tersebut sudah berkembang pesat, bahkan pemesanan produk tersebut sudah mencapai pasar internasional. Selain itu Mitra 1 juga masih belum memiliki system yang berkaitan dengan proses perencanaan dan pengendalian produksi, sehingga komunikasi dengan kelompok pengerajin yang telah dibina dalam proses produksi tersebut masih belum terarah dengan baik. Hal yang paling sensitive dari Mitra 1 dan sangat mendesak harus segera diberikan solusi adalah semua proses Transaksi Keuangan dan Kepegawaian. Dengan kondisi-kondisi tersebut maka dibutuhkan suatu sistim informasi yang mampu merencanakan, mengendalikan proses produksi. Sistem yang dimaksud merupakan sistem yang mampu melakukan banyak proses yang memang sangat dibutuhkan oleh Mitra 1 antara lain Proses Perencanaan Produksi, Pengendalian Aktivitas Produksi, Transaksi Keuangan, dan Transaksi Kepegawaian (Data Pegawai, penggajian, bonus dan insentif). B. Permasalahan Mitra Mencermati analisis situasi yang telah diuraikan, maka permasalahan yang ada dapat dirumuskan mencakup: 1) Pencatatan laporan yang dilakukan secara manual oleh kelompok pengrajin sering pula mengalami kesalahan karena kurangnya ketelitian pembuat laporan; 2) Sering terjadi keterlambatan bahan baku karena tidak ada perencanaan produksi yang baik. Hal ini kadang disebabkan karena kesalahan pencatatan pesanan dan kebutuhan bahan baku untuk proses produksi tersebut; 3) Dengan pencatatan proses produksi dan pengelolaan material yang masih manual maka masih terjadi salah kirim dari produk yang dipesan; 4) Mitra belum mengetahui pentingnya proses produksi dan sistim informasi manajemen produksi dan operasi bagi kegiatan para pengrajin manik manik; 5) Mitra belum mengetahui informasi apa saja yang dibutuhkan untuk membuat sistim informasi manajemen dan operasi yang sesuai dengan kegiatan usaha mereka; 6) Mitra belum mengetahui tentang pembuatan perangkat sistim informasi manajemen produksi dan operasi yang dibutuhkan guna menghasilkan infomasi yang mereka butuhkan untuk mencatat pesanan,sebagai dasar perencanaan produksi dan pengendalian proses produksi termasuk penyediaan bahan baku, dan penghitungan pendapatan dan bonus pengrajin dan karyawan. TARGET DAN LUARAN Target luaran dari pelaksanaan pengabdian masyarakat ini diuraikan sebagai berikut: 1) Terhadap mitra pengabdian. Dari pelaksanaan pengabdian yang dilaksanakan pada mitra berdampak pada efisiensi komunikasi yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan hubungan kerjasama antara ke dua mitra. Dengan dibuatkannya sebuah perangkat lunak sistim informasi manajemen produksi dan operasi sesuai dengan kebutuhan mitra diharapkan dapat menjembatani berbagai kendala informasi mitra dengan mengetahui dan mengawasi proses bisnis dan 209 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 keuangan pada industri tersebut. Adapun modul yang menjadi target keluaran dari pembuatan sistim informasi sesuai dengan kebutuhan mitra adalah sebagai berikut: a) Modul pemesanan produk: Input data pemesanan produk; Informasi data penyelesaian pesanan; Informasi ketersediaan bahan. b) Modul Perencanaan Produksi yang meliputi: Informasi Data Permintaan Produk; Input Data Kebutuhan Material; Input Perencanaan produksi. c) Modul Pengendalian Aktivitas Produksi: Transaksi order pembelian bahan; Transaksi penerimaan bahan baku; Transaksi penggunaan bahan baku per pengrajin; Transaksi hasil produk pengrajin. d) Modul Keuangan: Transaksi Pembelian (Transaksi surat order pembelian, Transaksi faktur pemasok , Transaksi pembayaran hutang, Transaksi Pengadaan bahan Tunai, Laporan hutang belum dibayar, Laporan hutang, Laporan pembelian bahan); Transaksi penjualan (Transaksi Pengiriman hasil produk, Transaksi faktur, Transaksi penerimaan piutang, Laporan piutang belum dibayar, Buku piutang,Laporan piutang jatuh tempo, Laporan piutang telah dibayar, Laporan hasil produk per produk); Akuntansi (Jurnal Umum,Transaksi kas masuk, Transaksi kas keluar, Aktiva tetap, Laporan buku besar, Laporan jurnal, Laporan penyusutan aktiva tetap, Neraca saldo, Laporan keuangan, Laporan anggaran). e) Modul Kepegawaian: Data-data kepegawaian, penggajian, bonus dan insentif. 2) Terhadap pelaksana pengabdian. Pelaksanaan pengabdian terhadap masyarakat ini dapat menjadi upaya transfer teknologi dan transfer informasi terhadap masyarakat. Teknologi dan informasi yang diberikan masyarakat diupayakan merupakan teknologi dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Seperti halnya pelaksanaan pengabdian masyarakat yang digunakan pada kelompok pengrajin ini, pelaksanaa akan dapat memberikan informasi tentang pengetahuan secara umum tentang manajemen produksi dan operasi serta keuntungan penggunaan sistim informasi yang sesuai dengan kebutuhan mitra. 3) Terhadap masyarakat. Target luaran pelaksanaan pengabdian masyarakat terhadap masyarakat luas adalah akan meningkatkan taraf perekonomian masyarakat sekitar. Hal ini terjadi karena industri kecil yang ada di masyarakat dapat berkembang sehingga akan menyerap banyak tenaga kerja. Meningkatnya pendapatan masyarakat ini diharapkan akan memperbaiki kualitas hidup masyarakat, baik terhadap pemenuhan gizi, kesehatan, dan pendidikan terhadap anak-anak mereka. Dengan penurunan jumlah pengangguran diharapkan akan berdampak pada perbaikan perekonomian nasional. METODE PELAKSANAAN Metode kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan guna memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada pada mitra sebagai berikut: 1. Identifikasi kondisi lapangan dan pelatihan serta diskusi tentang pengumpulan informasi-informasi yang digunakan untuk membuat rancangan sistim informasi manajemen dan operasi. 2. Pendampingan pada penggalian dan analisis informasi yang dibutuhkan, desain basisdata dan pembuatan aplikasi untuk modul perencanaan produksi. 3. Pendampingan pada penggalian dan analisis informasi yang dibutuhkan, desain basisdata dan pembuatan aplikasi untuk modul Pengendalian aktivitas produksi; Modul keuangan; dan Modul Kepegawaian. 4. Penggabungan modul-modul sistim informasi manajemen produksi dan operasi. 5. Pengujian aplikasi sistim informasi manajemen produksi dan operasi. Pengujian ini meliputi: a) Pengujian terhadap masing-masing modul yang telah dibuat; b) Pengujian terhadap basisdata yang telah dibangun; c) Pengujian terhadap keakuratan laporan yang dihasilkan berdasarkan informasi yang dimasukkan; d) Pengujian terhadap jalannya keseluruhan sistem informasi. 6. Pelatihan dan pendampingan dalam menjalankan perangkat lunak manajemen produksi dan operasi. 7. Evaluasi dampak penggunaan perangkat lunak sistim informasi manajemen produksi dan operasi terhadap pendapatan mitra. 8. Menseminarkan hasil evaluasi dari pembuatan perangkat lunak sistim informasi manajemen produksi dan operasi guna menjawab permasalahan mitra. 9. Pembuatan laporan dari hasil kegiatan pengabdian masyarakat. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI Politeknik Negeri Jember sebagai lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk melakukan Tridarma Perguruan Tinggi, salah satunya adalah pengabdian kepada masyarakat. Politeknik Negeri Jember untuk mewadahi kegiatan staf dosennya dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat telah memiliki Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M). Kinerja P3M dalam program pengabdian kepada masyarakat tahun 2015 yang diterima yaitu Program IbM 210 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 pemilik outlet penjualan produk dan secara aplikasi rekanan dapat ditambah. Sedangkan jenis pengguna ketiga adalah pengrajin yaitu para anggota kelompok pengrajin yang tergabung dengan CV Agarwood. 20 judul dengan jumlah dana sekitar Rp. 1 miliar rupiah dari sumber dana DP2M, sedangkan pengabdian dana perguruan tinggi mandiri mencapai 51 judul dengan jumlah dana sekitar 510 juta rupiah (P3M). HASIL LUARAN YANG DICAPAI Pelaksanaan penerapan iptek bagi masyarakat ini telah dilaksanakan dalam beberapa tahap, diantaranya: 1. Analisis kebutuhan dan permasalahan mitra Pada tahap analisis kebutuhan dan permasalahan mitra, pelaksana penerapan iptek bagi masyarakat melakukan kunjungan untuk berdiskusi langsung mengenai kebutuhan mitra dan untuk mengetahui permasalahan tentang pengelolaan proses produksi serta pengelolaan operasional yang berhubungan dengan masalah administrasi dan pencatatan datanya. Dari kunjungan yang telah dilakukan didapatkan mitra telah melakukan proses administrasi dalam proses produksi tetapi masih jauh dari sebuah standar pencatatan, seperti pada umumnya pencatatan yang dilakukan adalah jumlah produksi untuk tiap jenis produk yang dihasilkan masing masing pengrajin. Untuk pencatatan pesanan tidak ada pencatatan khusus. Dari hasil diskusi disepakati kami selaku peneliti dalam proses pengabdian ini akan membuat sebuah prototipe standar pengelolaan proses produksi yang paling sederhana yang memiliki berbagai fasilitas diantaranya adalah proses akses pencatatan yang mudah dan memiliki prosedur yang menyesuaikan cara berpikir mitra. Sekaligus aplikasi tersebut memenuhi standar minimal sebuah aplikasi sistim informasi manajemen operasional dan produksi. Sehingga hasil survey yang kami lakukan selama beberapa kali bertemu dengan mitra tersebut, kami melakukan analisis kebutuhan pengguna dan memetakan kebutuhan tersebut menjadi sebuah model yang digambarkan dalam gambar 3. 2. Pemodelan Sistem manajemen operasional dan produksi kelompok pengrajin manik-manik Gambar 3 merupakan gambar interaksi sistem terhadap pengguna. Dalam gambar tersebut terlihat hubungan asosiasi aktor atau pengguna terhadap sistem yang dibuat. Berikut penjelasan proses yang didesain dalam sistem manajemen operasional dan produksi: a. Master Produk: merupakan proses pengelolaan data produk. Dalam sistem ini data produk dapat berupa produk hasil kerajinan maupun bahan baku. Informasi yang dikelola dari produk ini adalah data spesifikasi produk, harga dan catatan keterangan detail tentang produk tersebut. b. Master Pengguna: merupakan data personal seluruh aktor yang terlibat dalam sistem ini. Terdapat 3 jenis pengguna yaitu administrator adalah mitra 1 dalam hal ini adalah bapak abdurahman selaku koordinator pengrajin, pengguna kedua adalah rekanan dalam sistem ini adalah mitra 2 yaitu bapak budi selaku Gambar 3. Diagram Use Case Manajemen Operasi dan produksi sederhana bagi kelompok pengrajin manik manik c. d. Manajemen Pesanan (penjualan) dalam sistem ini merupakan sebuah proses pengelolaan data transaksi awal permintaan pengadaan produk sehingga dalam diskusi kami proses ini merupakan sebuah pengelolaan data transaksi penjualan yang dilakukan oleh CV Agarwood SPK (Perintah Kerja) dan penyelesaian adalah proses yang terjadi setelah adanya pemesanan. Proses ini merupakan presentasi dari perencanaan produksi yang dilakukan admin dimana transaksi ini berisi data perintah untuk memproduksi kerajinan kepada para pengrajin, pada proses ini setelah perintah kerja dikeluarkan makan para pengrajin akan melakukan kegiatan produksi dan hasil produknya diserahkan ke CV. Agarwood dan dicatat melalui transaksi penyelesaian produk. 211 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 e. f. g. h. Manajemen Bahan Baku (Pembelian): proses manajemen bahan baku berdasarkan survey dan diskusi dengan mitra merupakan bagian yang paling penting dalam kerajinan manik manik sehingga pengelolaan data bahan baku sangat diperlukan sebagai bahan perencanaan produksi dan pertimbangan penerimaan pesanan. Proses ini difokuskan untuk mengelola data pembelian bahan baku yang telah dilakukan. Transaksi pembelian dalam sistem ini belum menambah jumlah inventaris persediaan bahan dan penambahan tersebut baru bisa dilakukan saat proses pengendalian. Pengendalian: Proses pengendalian dalam sistim manajemen operasional merupakan bagian terpenting pada aplikasi ini. Proses ini mencatat penerimaan dan pengeluaran produk yang mempengaruhi jumlah persediaan produk. Transaksi penerimaan pada proses ini dilakukan berdasarkan penyelesaian produk dari pengrajin, selain itu transaksi penerimaan barang pada proses pengendalian ini juga berdasarkan data pembelian. Sedangkan pengeluaran baranag dalam transaksi pengendalian ini merupakan representasi dari realisasi hasil pemesanan atau proses penjualan. Pembayaran: proses pembayaran atau representasi transaksi keuangan dalam sistim manajemne operasional ini adalah catatan penerimaan dan pengeluaran riil dan setiap transaksinya terdapat referensi transaksi baik penjualan pembelian maupun penyelesaian produk Laporan: proses laporan adalah proses pengolahan data data yang diinputkan melalui transaksi menjadi informasi yang diperlukan oleh pengguna. Dalam Gambar 3 tersebut juga terdapat 3 aktor yang terlibat dengan sistem ini berikut penjelasan masing masing aktor dalam sistim manajemen operasional dan produksi kerajinan manik manik a. Aktor Admin dimana dalam sistem ini adalah pengguna mitra 1 yaitu bapak abdurahman selaku koordinator pengrajin di CV Agarwood. Berasosiasi terhadap proses di dalam sistem manajemen operasional dan produksi . b. Aktor Rekanan dalam kegiatan pengabdian ini adalah bapak budi dolaris dan nantinya bisa para pemilik outlet lainnya didalam sistem ini berasosiasi terhadap beberapa proses dalam sistem. Selain pemilik outlet aktor rekanan dapat juga termasuk rekanan penyuplai bahan baku produk kerajinan. Seperti tali, kayu , plastik dan lain lain. c. Aktor Pengrajin: merupakan anggota pengrajin yang bekerjasama dengan CV Agarwood sebagai organisasi kelompok pengrajin 3. Desain aplikasi Berdasarkan pemodelan tersebut dilakukan pengembangan aplikasi. Adapun langkah awal aplikasi dimulai dengan membuat menu menu serta aturan dasar transaksi. Berikut hasil desain yang dibuat berdasarkan kebutuhan mitra. a. Tampilan Utama Tampilan awal dari aplikasi didesain pada menu drawer seperti ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4. Tampilan menu utama sistem b. c. d. e. f. g. Input dan View Pengguna Input dan View Produk Input dan View Pemesanan Input dan View Perencanaan Produksi (SPK) Input dan View Pengendalian Produksi Input dan View Pembayaran Dari data masukan tersebut pengguna mendapatkan update infomasi berupa: a. Informasi produk berserta persediaan terakhir b. Informasi pemesanan barang beserta status penyelesaian pekerjaan dari tiap pesanan c. Informasi histori keluar masuknya barang pada jangka waktu tertentu berdasarkan tiap produk d. Informasi transaksi pembayaran pengrajin berdasar penyelesaian barang e. Informasi transaksi keuangan 212 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Dengan catatan data yang ditampilkan hanya data transaksi yang berkaitan dengan pengguna dan rekanannya atau pengrajin. 4. Implementasi kegiatan Pengabdian Sebelum serah terima dengan pengguna yaitu mitra pertama dan mitra kedua aplikasi diuji dengan melakukan simulasi data skunder dan dipastikan aplikasi berjalan dengan baik. Aplikasi diserahterimakan kepada mitra 1 dan mitra ke 2 secara terpisah. Pada mitra 1 diberikan penjelasan penggunaan aplikasi dan demo proses input data sebagai pengguna dalam aplikasi ini sebagai pemilik aplikasi. Khusus kepada mitra 1 juga dijelaskan proses penambahan pengguna yaitu rekanan atau pengrajin. Serta semua fasilitas aplikasi. Selain itu kepada mitra 1 juga dijelaskan proses untuk penggunaan aplikasi bagi pengrajin. Saat serah terima aplikasi kepada mitra 2 diberikan penjelasan terlebih dahulu posisi mitra sebagai rekanan dan didemokan hasil simulasi yang telah dilakukan. Proses implementasi aplikasi hingga bulan Agustus sedang dilakukan dan didampingi hingga bulan September. [2] OECD. (2003). The Sources of Economic Growth in OECD Countries. Organisation for Economic CoOperation and Development, Paris. [3] Van Ark, B., Mahony, and Timmer, M. (2008). The Productivity Gap betwwen Europe and The United States. Journal of Economic Perspectives, vol. 22, No. 1, pp. 25-44. [4] Van Ark, B., Inklaar, R., and McGuckin, R. H. (2002). Changing Gear, ICT ans Service: Europe and the United States. Mimeo, University of Groningen and The Conference Board. KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dari kegiatan pengabdian ini sebagai berikut: - Kegiatan pengabdian masyarakat mendapat respon positif dari kelompok pengrajin manik-manik karena memberikan wawasan baru tentang pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan pengelolaan usahanya. - Produk yang dihasilkan dalam program pengabdian ini adalah sistem informasi manajemen operasional dan produksi usaha manik-manik. - Komunikasi dan pendampingan selalu dilakukan dengan mitra termasuk pelatihan penggunaan aplikasi agar pemanfaatan sistem informasi yang dihasilkan dapat lebih optimal. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih sebesar-besarnya kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM), Direktorat Jenderal Penguatan Riset Dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi atas pendanaan dan kepercayaannya yang diberikan agar bisa terlaksananya kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Kienan, B. (2000). Small Business Solutions, ECommerce untuk Perusahaan Kecil. Elex Media Komputindo, Jakarta. 213 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 IbM Pemanfaatan Pekarangan dengan Usahatani Jahe secara Vertikultur Muhammad Firdaus#1, Dwi Indarti#2 #1 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala Jl. Sumatera 118-120 Jember 1muhammadfirdaus2011@gmail.com #2 Jurusan Kima, Universitas Jember Jl. Kalimantan Jember 2indartidwi@gmail.com Abstract This IbM is done in Sumberejo, Ambulu, Jember. The Goals are a group of Family Empowerment (POSDAYA). The purpose of this activity are that the farmers are able to: 1) manage their finances. 2) have the spirit of entrepreneurship. 3) utilize the yard through the cultivation of ginger . 4) utilizing the waste into compost. The method of implementation consists of empowerment, strengthening of capital, monitoring, and evaluation. Implementation of the activities carried out include training and workshops (Accounting, Entrepreneurship, Ginger Cultivation in Verticulture and Analysis of farming and Bokashi Composting,). In addition, the practice of planting ginger verticulture. Outcome of this activity is the farmer is able to optimize the utilization of the yard, especially for verticulture cultivation and able to make compost. Keyword: ginger, verticulture cultivation, yard. BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi Menurut arti katanya, pekarangan berasal arti kata “karang” yang berarti halaman rumah (Poerwodarminto, 2003). Sehingga pekarangan adalah taman rumah tradisional yang bersifat pribadi, yang merupakan sistem yang terintegrasi, di mana ada hubungan yang erat antara manusia, tanaman, dengan hewan (Arifin, 1998). Lebih lanjut Arifin et. al. (2009) menjelaskan bahwa pekarangan merupakan tipe taman Indonesia yang berlokasi di sekitar rumah, memiliki status pemilikan dan batas-batas tapak yang jelas, ditanami berbagai jenis tanaman, dipelihara berbagai hewan ternak, terdapat satwa ar, struktur bangunan termasuk kegiatan manusia dan elemen manusianya. Pekarangan juga merupakan ruang terbuka yang sering dimanfaatkan untuk acara kekerabatan dan kegiatan sosial. Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu terletak di sebelah Selatan Kabupaten Jember. Desa Sumberejo berjarak ± 40 km dari kota Jember. Luas wilayah Desa Sumberejo 18.709.530 km2 dan berpenduduk sekitar 23.496 orang. Penduduk yang berpendidikan SD sebanyak 47%, SMP sebanyak 20%, SMU sebanyak 24%, Perguruan Tinggi sebanyak 2%, dan sisanya tidak tamat SD. Sebagian besar masyarakat Desa Sumberejo bermata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan buruh (Kependudukan Sumberejo, 2014). Hasil survei ke lokasi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Sumberejo memiliki tanah pekarangan yang cukup luas. Desa Sumberejo berpotensi untuk dikembangkan. Sebagian besar masyarakat Desa Sumberejo, tanah pekarangan hanya dibiarkan saja atau belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, tanah pekarangan dapat difungsikan dan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan (pertanian, peternakan, perikanan) sehingga dapat membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Kondisi ini sesuai dengan hasil kajian Badan Litbang Pertanian (2011), di mana perhatian petani terhadap lahan pertanian masih terbatas. Akibatnya, pengembangan berbagai inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan belum mencapai sasaran yang diharapkan. Melihat potensi dan manfaat yang sangat besar dari pekarangan, utamanya untuk meningkatkan pendapatan petani dan keluarganya, maka sangat disayangkan apabila tanah pekarangan yang cukup luas di Desa Sumberejo hanya dibiarkan begitu saja, ditumbuhi rumput, dan berjenis-jenis tanaman yang tidak/kurang mempunyai nilai ekonomis. Program IbM ini bertujuan pokok untuk membantu petani dan keluarganya sehingga mampu mengoptimalkan pekarangannya dengan baik melalui budidaya vertikultur, khususnya untuk usahatani jahe dalam rangka meningkatkan pendapatannya. Tanaman jahe dipilih karena tanaman ini mudah dibudidayakan, memiliki banyak manfaat, dan yang terpenting bernilai ekonomi tinggi. Dengan budidaya 214 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 secara vertikultur, pada luas lahan yang sama lebih banyak tanaman yang diusahakan dan mudah diusahakan, sehingga produktivitasnya tinggi. Karena menggunakan pupuk dan pestisida organik dengan memanfaatkan limbah di sekitarnya, maka biaya produksi dapat ditekan. Akhirnya, pendapatan petani dan keluarganya meningkat. Di samping itu, petani dan keluarga dilatih juga cara mengelola keuangan yang baik sehingga tata kelola keuangan bisa lebih baik. 1.2 Justifikasi Pengusul Bersama Mitra Beberapa persoalan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan selama pelaksanaan program IbM, yakni: 1. Bagaimana mereka mampu mengelola keuangan dengan baik agar dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. 2. Bagaimana mereka mampu membaca dan memanfaatkan peluang yang ada di sekitar mereka. 3. Bagaimana memanfaatkan limbah (sampah, ternak) menjadi pupuk kompos Bokashi. Sebagai percontohan, dilakukan LOKAKARYA dan DEMPLOT pembuatan pupuk kompos Bokashi. DEMPLOT dilakukan di beberapa tempat di kelompok sasaran sebagai pembanding. 4. Bagaimana mereka dapat memanfaatkan pekarangan yang mereka miliki secara optimal melalui teknik budidaya secara vertikultur. 5. Bagaimana usahatani jahe secara vertikultur dilakukan. Untuk percontohan, dibuat DEMPLOT budidaya jahe secara vertikultur di beberapa tempat di kelompok sasaran sebagai pembanding. BAB 2. TARGET DAN LUARAN Jenis luaran yang akan dihasilkan dalam kegiatan IbM ini adalah: Tabel 2.1 Sasaran dan Target Luaran No. 1. Target luaran 75% anggota kelompok POSDAYA memahami dan mampu melakukan pembukuan sederhana dengan baik sehingga dapat mengelola keuangan secara baik dan benar. 2. 75% anggota dari tiap kelompok POSDAYA mampu membuat pupuk kompos dari limbah (sampah, ternak) di sekitarnya. 3. DEMPLOT pembuatan pupuk kompos BOKASHI. DEMPLOT di tiap kelompok POSDAYA. 4. 75% anggota kelompok POSDAYA memahami prinsip dan teknik budidaya secara vertikultur. 5. 75% anggota kelompok POSDAYA memanfaatkan pekarangannya dengan usahatani jahe secara vertikultur. 6. DEMPLOT budidaya jahe secara vertikultur di tiap kelompok POSDAYA. BAB 3. METODE PELAKSANAAN Tim pelaksana IbM telah melakukan survei dan beberapa kali melakukan kunjungan ke mitra IbM. Nantinya (jika program ini didanai), tim IbM akan melakukan pertemuan kembali dengan mitra IbM untuk mendiskusikan jadwal kerja (yang lebih operasional) yang akan dilakukan. Hal ini penting agar kegiatan ini tidak mengganggu kegiatan petani dan keluarganya di sawah. Juga untuk menyelaraskan dengan kegiatan-kegiatan yang lain dari tim IbM. Tim IbM juga akan melakukan pemesanan terlebih dahulu alat dan bahan untuk budidaya vertikultur dan alat untuk pembuatan pupuk kompos Bokashi. Hal ini penting, agar alat dan bahan yang diperlukan bisa datang tepat waktu, sehingga tidak mengecewakan mitra IbM. Selanjutnya, metode pelaksanaan terdiri dari pemberdayaan, pendampingan, penguatan modal, serta pemantauan, pembinaan dan evaluasi. a. Pemberdayaan. Upaya ini untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kelompok mitra yang dilaksanakan melalui pelatihan dan workshop. b. Pendampingan. Kegiatan ini berupa kunjungan dan pembinaan tim IbM kepada kelompok mitra. c. Penguatan modal. Diberikan bantuan alat kepada kelompok mitra sesuai dengan kebutuhan kelompoknya. d. Pemantauan, Pembinaan dan Evaluasi. Pelaksanaan pemberdayaan kelompok mitra ini diharapkan akan dilakukan secara berkesinambungan, agar petani beserta keluarganya mampu mencukupi kebutuhan konsumsi pangan minimal dari segi gizi mikronya dan dapat sebagai tambahan pendapatan keluarga. Pemantauan dan pembinaan selama kegiatan akan dilakukan oleh tim IbM dan setelah kegiatan berakhir, dikoordinasikan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) STIE “Mandala” Jember. Kegiatan evaluasi (dalam rangka kegiatan IbM) dilakukan pada pertengahan dan akhir tahun pelaksanaan kegiatan. BAB 4. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI 4.1 Kinerja P3M STIE Mandala Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mandala melalui Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat 215 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 (P3M) turut berupaya dalam mengurangi angka kemiskinan di Kabupaten Jember, yaitu melalui kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kegiatankegiatan tersebut bertujuan untuk menggerakkan unit-unit usaha yang ada di masyarakat khususnya yang berskala kecil/mikro, menciptakan wirausaha baru, dan membentuk/ memberdayakan Lembaga Keuangan Mikro Masyarakat (LKMM). Upaya tersebut diyakini mampu mempertahankan dan meningkatkan kesempatan kerja, sekaligus memberdayakan keluarga agar lebih sejahtera. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) STIE Mandala berdiri sejak tahun 1987 dan sejak tahun 2004 namanya berubah menjadi Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M). Alamat kantor di Jl. Sumatera 118-120 Jember Telepon 0331-334324 Fax. 0331-330941. Bidang kegiatan meliputi kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Keahlian yang dimiliki dosen meliputi bidang manajemen, akuntansi, ekonomi pembangunan, ekonomi pertanian, dan kependudukan. Kegiatan pengabdian masyarakat meliputi kegiatan pelatihan, pendampingan, jasa konsultasi kepada Usaha Mikro dan Kecil, dan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan seluruh stakeholders, khususnya dosen dan atau mahasiswa. Kegiatan tersebut menempatkan dosen dan atau mahasiswa di luar kampus agar bersama-sama dengan masyarakat memanfaatkan potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang ada untuk mengatasi permasalahan masyarakat khususnya dalam pengembangan usaha mikro/kecil dan pembentukan/pemberdayaan LKMM. Statistik pengalaman P3M STIE Mandala dalam melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat: Tabel 4.1 Statistik Kinerja P3M STIE Mandala di Bidang Pengabdian Masyarakat, 2012-2015 No Uraian Sponsor 2012 2013 2014 2015 . 1. IbK DRPM 1 1 1 0 2. IbM DRPM 1 3 3 5 3. KKN PPM DRPM 0 1 0 0 4. KKN Posdaya Yayasan Damandi ri 1 1 1 1 5. Co-op DRPM 0 1 1 0 3 6 5 6 Total 4.2 Jenis kepakaran yang Dibutuhkan Kegiatan IbM ini membutuhkan beberapa jenis kepakaran agar mampu memecahkan masalah yang telah disepakati dengan mitra. Jenis kepakaran yang dimaksud disajikan pada Tabel berikut ini. Tabel 4.4 Jenis Kepakaran yang Dibutuhkan No. Nama Tugas 1. Dr. Muhammad Firdaus, Ketua Pelaksana SP, MM, MP Pendamping 2. Dwi Indarti, S.Si, M.Si Anggota Pelaksana Pendamping 3. Moh. Jimmy Kurnianta, Analis Kimia S.Si 4. Hamzah Fansuri Jusuf, SE, Narasumber MM Pembukuan Sederhana 5. Drs. Karim Budiono, MP Narasumber Manajemen Keuangan 6. Ir. Cholyubi Jusuf, MM Narasumber Budidaya Jahe 7. Drs. Sugiantono, AR, MM Narasumber Kewirausahaan BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Setelah melakukan beberapa pendekatan, tim IbM telah melakukan pendekatan lanjutan kepada para tokoh masyarakat yang memiliki kedekatan dengan kelompokkelompok Posdaya sasaran di Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Kegiatan IbM ini diikuti oleh Kelompok Posdaya Arrohman, Kelompok Posdaya Hidayatul Atfal serta Kelompok Posdaya Mandiri. Hasil kesepakatan (setelah pendekatan) adalah perlu diadakannya pelatihan dan workshop tentang pembukuan, kewirausahaan, budidaya Jahe secara Vertikultur, dan pembuatan pupuk bokashi. Hasilnya adalah telah diadakannya beberapa pelatihan dan workshop tentang: 1. Pembukuan sederhana, 2. Kewirausahaan, 3. Teknik Budidaya Jahe secara Vertikultur dan Analisis Usahatani Jahe, termasuk Penanganan pasca panen jahe. 4. Pembuatan kompos bokashi, Selain pelatihan dan workshop, fokus utama pengabdian IbM ini adalah kegiatan budidaya jahe secara vertikultur. Kegiatan yang dilakukan meliputi: A. Bahan Tanaman Benih Jahe yang digunakan adalah Jahe Gajah. Jahe gajah mempunyai rimpang besar berbuku, berwarna putih kekuningan dengan diameter 8–8,5 cm, aroma kurang tajam, tinggi dan panjang rimpang 6–11,3 cm dan 15–32 cm. Warna daun hijau muda dan batang hijau muda dengan kadar minyak atsiri 0,8–2,8%. 216 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 B. Pembibitan Pembibitan dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Memilih bibit jahe yang baik, 2. Bibit jahe diangin-anginkan, 3. Bibit jahe dimasukan ke dalam sak selama sekitar satu minggu, 4. Bibit jahe dimasukkan ke dalam larutan pestisida sekitar setengah jam, 5. Bibit jahe direndam ke dalam lauran zat penumbuh tanaman (ZPT) selama semalam, 6. Selanjutnya bibit jahe diangin-anginkan kembali, 7. Bibit jahe dimasukkan ke dalam sak sekitar satu minggu (sampai tunas tumbuh), 8. Bibit jahe siap dipindahkan ke dalam polibag kecil. 9. Bibit jahe ditanam ke dalam polibag kecil sampai umur tertentu (akar menembus polibag), 10. Bibit jahe siap dipindahkan ke polibag besar. C. Persiapan Tanam Sistem media yang dikembangkan adalah menggunakan polibag. Polybag yang dimaksud yaitu polybag ukuran 60x60cm. Polybag ini berlubang pada sisi samping untuk mengindari genangan di dalam polybag yang dapat mengakibatkan busuknya perakaran yang berujung pada matinya tanaman. Polybag ini diisi campuran tanah, pupuk kandang yang sudah jadi dan bokasi. Campuran yang homogen dari 3 bahan tersebut disebut sebagai media tanam jadi. Selanjutnya karung/polybag ini diisi media ± 15 cm disusun berbaris. D. Tanam Bibit jahe yang sudah dipersiapkan dalam persemaian dengan panjang tunas 2–3 cm dan sudah tumbuh akar, kemudian ditanam ke dalam polybag dengan posisi/arah tunas saling membelakangi atau posisi tunas ke luar. Bibit ini ditaruh di bagian tengah polybag kemudian dilubang ± 5 cm, urugan ini komposisinya sama dengan komposisi media awal. Setelah diurug disiram air secukupnya. Penyiraman satu hari satu kali sampai jahe tumbuh di atas permukaan tanah. Kebutuhan air menyesuaikan kondisi musim. E. Pemeliharaan Umur tanaman jahe sejak tanam sampai panen ± 10 bulan, dalam waktu 10 bulan tersebut perlu perhatian juga perlakuan sesuai dengan keadaan tanaman adapun perlakuan selama pertumbuhan tersebut yaitu: 1. Pemberian air (penyiraman): disiram setiap hari sampai 1 bulan sesudah itu cukup 2 hari satu kali. 2. Pemberian naungan: tanaman jahe mempunyai sifat spesifik respon terhadap sinar matahari. Tanaman jahe hanya membutuhkan sinar matahari ±70% untuk itu perlu pemasangan paranet di atas polybag, sedangkan untuk lokasi yang sudah ternaungi di bawah pohon akan lebih bagus dan lebih hemat biaya. 3. Pemupukan: setelah tanaman berumur satu bulan, diberi urugan setebal 5-7 cm. Bahan urug ini sama dengan media awal, jadi urugan ini sama halnya dengan pemupukan. 4. Hama dan penyakit tanaman: kalau ditanam di dekat lokasi pemukiman hama yang mungkin ada adalah ayam. Cara mengatasinya dengan menggunakan rajeg bambu/pemasangan jaring keliling. Sedangkan penyakit tanaman jahe yang sering dijumpai adalah penyakit layu bakteri. Cara mengatasi: secara preventif yaitu tanaman/polybag diangkat dan dipisahkan dari tanaman lainnya. Untuk menghindari penularan. Secara kuratif: tanaman yang sudah dipisahkan tadi disemprot dengan Fungsida. Sampai pada tahap kegiatan ini, tim IbM telah memberikan bantuan berupa pelatihan dan workshop serta alat dan bahan yang diperlukan dalam budidaya jahe secara vertikultur. Sedang alat untuk pupuk bokashi masih diorder. BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Sebagian besar mitra IbM memahami hasil pelatihan dan workshop yang dimotori oleh Tim IbM. 2. Mitra IbM tertarik untuk memanfaatkan pekarangannya. 3. Mitra IbM memiliki motivasi tinggi untuk melaksanakan kegiatan budidaya jahe secara vertikultur. 6.2 Saran 1. Kebersamaan kelompok perlu terus dibina agar ke depan ada usaha-usaha lain yang dirintis bersama. 2. Perlu merintis pasar jahe di Kabupaten Jember. 3. Perlu pelatihan dan praktek untuk kegiatan pengolahan hasil budidaya jahe. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemenristek Dikti yang telah memberi hibah terhadap pengabdian ini. DAFTAR PUSTAKA Arifin, H S. 1998. Studi on the Vegetation Structure of Pekarangan and its Changes in West Java, Indonesia. Disertation The Graduate School of Nature Science and Technology, Okayama University. Japan. 123 p. (Unpublished). Arifin, HS, A Munandar, NHS Arifin dan Kaswanto. 217 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 2009. Pemanfaatan Pekarangan di Pedesaan. Seri II. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Danoesastro, Haryono. 1978. Tanaman Pekarangan dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Rakat Pedesaan. Agro–Ekonomi. De Foresta, H, A Kusworo, G Michon dan WA Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan-Agroforest Khas Indonesia-Sumbangan Masyarakat bagi Pembangunan Berkelanjutan. Internasional Research in Agroforestry, Bogor, Indonesia; Institute de Recherche pour le Development, France; dan Ford Foundation, Jakarta, Indonesia. Kristyono. 1983. Mengatur Pekarangan Keluarga. Jakarta: Penebar Swadaya. Poerwodarminto, W.J.S. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka Jakarta. Situs resmi Desa Sumberejo. https://sumberejo.wordpress. com. Akses 05 Januari 2015. 218 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Penerapan Teknologi Dan Manajemen Usaha Untuk Meningkatkan Efektifitas Dan Efisiensi Produksi Serta Keuntungan Pada Ikm Keripik Talas Wendy Triadji Nugroho #1, Dessy Putri Andini *2, Oktanita Jaya Angraeni#3 # Jurusan Teknik dan Manajmen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember 1wtnugroho@gmail.com 3oktanita.jaya.a@gmail.com * Jurusan Manajemen Agribsnis, Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember 2bmwsydewi@gmail.com Abstract Usaha mitra program Ipteks bagi Masyarakat (IbM) berlokasi di Desa Curah Malang, Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember. Mitra kegiatan ini adalah Ibu Siti Faridah dan Bapak Mulyanto yang dalam kegiatan usahanya memproduksi keripik talas. Tujuan dari kegiatan IbM ini adalah: 1) untuk meningkatkan efektivitas dan efisienssi proses produksi melalui pemberian bantuan peralatan produksi serta 2) meningkatkan pengetahuan tentang manajemen usaha dan strategi pemasaran melalui pelatihan. Dari hasil evaluasi dan monitoring dapat diketahui bahwa kegiatan ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan kapasitas produksi dan perluasan daerah pemasaran sehingga dapat meningkatkan keuntungan usaha keripik talas. Keywords— keripik taalas, peralatan produksi, manajemen usaha, strategi pemasaran, kapasitas produksi I. PENDAHULUAN A. Identifikasi Masalah Talas adalah salah satu makanan pokok di beberapa kepulauan di Oseania. Di Indonesia, talas populer ditanam hampir di semua daerah. Talas terutama ditanam untuk umbinya. Hal ini dikarenakan bahwa umbi talas merupakan sumber karbohidrat yang cukup penting. Namun umbi ini mengandung getah yang gatal dan berbeda-beda ketajamannya menurut jenisnya. Oleh karena itu umbi talas harus dimasak terlebih dulu sebelum dapat dikonsumsi. Memakannya saja tak boleh berlebihan, karena ia mengandung getah yang membuat gatal. Terlalu banyak memakan talas, menimbulkan rasa begah dan gangguan pencernaan. Umbi talas dapat diolah dengan cara dikukus, direbus, dipanggang, digoreng, atau diolah menjadi tepung, bubur, dan kue-kue. Jember merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki 31 kecamatan. Jember adalah kota kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Bondowoso di utara, Kabupaten Banyuwangi di timur, Samudra Hindia di selatan, dan Kabupaten Lumajang di barat. Kota ini berpenduduk 2.529.967 jiwa (JDA, BPS 2013) dengan kepadatan rata-rata 787,47 jiwa/km2. Beberapa sentra usaha dan jenis usaha terdapat di Kabupaten Jember, salah satunya adalah usaha keripik talas milik Ibu Siti Mufaridah dan Bapak Mulyanto yang terletak di Desa Curah Malang Kecamatan RambipujiJember. Ibu Mufaridah memulai usaha keripik talas pada tahun 2004 dengan modal awal sekitar Rp.150.000,00. Usaha ini dikelola dengan manajemen keluarga dan memakai peralatan sederhana. Harga bahan baku usaha ini berupa umbi talas saat ini sekitar Rp. 4.000,-/kg, bawang putih Rp. 18.000,00/kg, garam Rp. 1.000,00/bungkus, dan minyak kelapa sawit Rp. 12.000,00/kg. Sedangkan harga jualnya adalah Rp. 4.000,00/bungkus, dimana 1 bungkus kemasan berat bersihnya adalah 100 gram. . Dalam 1 hari, rata-rata produksi usaha ini adalah dari 50 kg bahan baku talas dapat diolah menjadi 125 bungkus keripik talas dengan kemasan 100 gram. Keuntungan rata-rata usaha ini adalah Rp. 1.000,00/bungus atau Rp. 125.000,00 per hari. Adapun proses pembuatan keripik talas yang dijalankan oleh Ibu Mufaridah adalah sebagai berikut: 219 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 1. Bahan baku Bahan baku talas disediakan oleh Bapak Mulyanto sesuai dengan keperluan produksi. Rata-rata produksi setiap harinya adalah sebanyak 10 kg keripik talas, sehingga kurang lebih harus tersedia 15 kg umbi talas setiap harinya. 2. Pengupasan kulit Setelah bahan baku talas tersedia, maka kulit talas tersebut dikupas dengan menggunakan pisau potong biasa. 3. Pencucian Setelah dikupas, talas-talas tersebut kemudian dicuci hingga bersih. 4. Perajangan tipis Perajangan talas dilakukan dengan hati-hati sesuai dengan ketebalan tertentu agar diperoleh keripik talas yang renyah. 5. Penggorengan Setelah dirajang tipis-tipis, lembaran-lembaran talas tersebut kemudian digoreng dan selanjutnya ditiriskan secara manual. 6. Pengemasan Setelah dingin, keripik talas yang sudah matang dimasukkan ke dalam kemasan plastik dan direkatkan memakai lilin. Di dalam menjalankan usahanya, Ibu Mufaridah dibantu oleh Bapak Moh. Aliman (suami) dan Siti Faiqotul Hikmah (anak). Tidak ada pekerja yang lain karena usaha ini masih tergolong mikro (skala rumah tangga). Biasanya dari 10 kg tales basah dapat diproduksi menjadi 7 – 8 kg keripik talas. Pemasaran yang dilakukan oleh Moh. Aliman masih sekitar Balung dan Dukuh-Wuluhan. Sedangkan pemasaran untuk area kecamatan rambipuji dijalankan oleh Bapak Mulyanto. Oleh karena itu dibutuhkan sentuhan pembinaan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan manajemen usaha agar daerah pemasarannya menjadi lebih luas. Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga ini adalah mencakup aspek produksi maupun manajemen. Dari aspek produksi, mereka membutuhkan alat-alat produksi yang lebih tepat seperti alat perajang dan alat peniris. Sedangkan dari aspek manajemen, mereka membutuhkan pelatihan tentang mengelola bahan baku, alat dan mesin produksi serta strategi pemasaran. B. Tinjauan Pustaka 1: Pemasaran Konsep pemasaran saat ini merupakan suatu orientasi manajemen yang mengasumsikan bahwa konsumen adalah raja. konsep pemasaran ini dilaksanakan sebagai upaya perusahaan untuk memberikan kepuasan kepada konsumen secara lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan pesaing. menurut go (1996) dalam tandjung (2004), pemasaran adalah proses yang terusmenerus dan menguntungkan bagi perusahaan dengan cara memuaskan kebutuhan dan keinginan serta harapan konsumen dengan lebih baik dari pesaing. sedangkan definisi pemasaran menurut kotler (2003) adalah proses perencanaan dan pelaksanaan konsep, harga (price), promosi (promotion) dan distribusi (distribution) terhadap barang dan jasa agar dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen. 2: Kepuasan Pelanggan (Konsumen) Beberapa pendapat para pakar mengenai definisi dari kepuasan pelanggan. Kotler (2003) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil suatu produk yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Sedangkan kepuasan pelanggan menurut Rangkuti (2004) adalah mengukur sejauh mana harapan pelanggan terhadap produk atau jasa yang diberikan dan telah sesuai dengan aktual produk atau jasa yang ia rasakan. Menurut Irawan (2004), seorang pelanggan yang puas adalah pelanggan yang merasa mendapatkan value dari pemasok, produsen atau penyedia jasa. Value ini bisa berasal dari produk, pelayanan, system atau sesuatu yang bersifat emosi. Kalau pelanggan ingin suatu produk yang berkualitas maka kepuasan terjadi jika pelanggan mendapatkan produk yang berkualitas. Kalau value dari pelanggan adalah kenyamanan maka kepuasan terjadi jika pelanggan merasa benar-banar nyaman. Kalau value dari pelanggan adalah harga yang murah, maka pelanggan akan puas kalau mereka mendapatkan harga yang kompetitif dari produsen. Perusahaan menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan dan memastikan agar kualitas produknya memenuhi harapan dan keinginan konsumen. Pemenuhan harapan akan menciptakan kepuasan bagi konsumen. Menurut Kotler (2003), konsumen yang merasa puas akan menjadi pelanggan, dan mereka akan melakukan pembelian ulang, mengatakan hal yang baik tentang perusahaan kepada orang lain, menjadi kurang memperhatikan merek atau iklan produk pesaing dan selanjutnya akan membeli produk yang lain dari perusahaan yang sama. 3: Kualitas Produk Saat ini konsumen lebih selektif dalam memilih produk, karena jumlah produk sejenis yang ditawarkan perusahaan semakin banyak. Kriteria pilihan konsumen dalam membeli suatu produk juga semakin tinggi. Produk yang berkualitas tinggi dan memiliki nilai kompetitif tinggi misal dari sisi harga akan dipilih oleh konsumen. Menurut Juran (2000), kualitas produk adalah kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kepuasan pelanggan. Deming (1999), menyebutkan bahwa ” Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar”. Sedangkan Feigenbaum (2000) 220 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 menyatakan, ”Kualitas adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction)”. Suatu produk berkualitas apabila dapat memberi kepuasan sepenuhnya kepada konsumen, yaitu sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen atas suatu produk. C. Tujuan Kegiatan Tujuan kegiatan IbM adalah: 1. Membantu meningkatkan kapasitas produksi mitra melalui bantuan alat produksi perajang dan penris 2. Meningkatkan wawasan/pengetahuan mitra melalui pelatihan manajemen usaha dan strategi pemasaran D. Manfaat Kegiatan Tujuan kegiatan IbM adalah: 1. Kapasitas produksi mitra meningkat 2. Pengetahuan/wawasan mitra meningkat II. TARGET DAN LUARAN A. Target Target yang ditetapkan dalan proposal ini adalah: 1. Memperpendek waktu/mempercepat proses produksi 2. Meningkatkan kapasitas produksi 3. Memperbaiki manajemen, dan 4. Memperluas daerah pemasaran B. Luaran Adapun luaran yang diharapkan akan dihasilkan oleh kegiatan IbM ini adalah: 1. Alat-alat produksi dan alat bantu produksi berupa timbangan digital, kompor gas beserta tabung LPG nya, alat penggorengan, alat perajang, alat peniris, pedal/continous sealer, coding, dan bojongan. 2. Model Pelatihan yang sesuai dengan kondisi usaha mitra untuk meningkatkan manajemen usaha dan strategi pemasaran untuk memperluas daerah distribusi produk keripik talas. III. METODE PELAKSANAAN Adapun metode pelaksanaan kegiatan IbM adalah sebagai berikut: c. Studi pustaka dan observasi lapang Untuk membuat alat-alat produksi, maka studi pustaka yang dibutuhkan adalah: iii. Pengetahuan tentang proses pembuatan keripik talas iv. Pengetahuan tentang material alat produksi keripik talas agar produk ini yang dihasilkan aman dikonsumsi masyarakat d. Observasi lapang yang dilakukan adalah: vi. Mengamati proses produksi keripik talas yang dilakukan oleh mitra vii. Mengamati kualitas keripik talas yang dihasilkan viii. Mengamati peralatan produksi yang digunakan ix. Mengamati manajemen usaha yang dijalankan x. Mengamati kondisi pemasaran produk Prosedur kerja yang diterapkan pada kegiatan ini adalah sebagai berikut: a. Persiapan b. Studi Pustaka c. Survei lapang d. Pengumpulan dan pengolahan data awal e. Penyusunan kebutuhan alat produksi dan pelatihan f. Pembuatan alat g. Pelatihan proses produksi dan manajemen pemasaran h. Monitoring dan evaluasi i. Pembuatan laporan IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI A. Kinerja P3M Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (P3M) Politeknik Negeri Jember memiliki programprogram pengabdian untuk membantu masyarakat, terutama bagi UKM. Beberapa kegiatan pembinaan usaha kecil menengah yang telah dijalankan oleh P3M adalah Pendampingan IKM di Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, Banyuwangi, Probolinggo, dan Pasuruan yang bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur serta dinas-dinas terkait. Ditambah lagi dengan program-program pengabdian dari DIKTI dan LIPI, yaitu IbM, IbK, IbPE, IbKK, IbW, serta IPTEKDA yang telah berhasil dilaksanakan oleh staf pengajar dan P3M Politeknik Negeri Jember dengan baik. Oleh karena itu kami memandang bahwa P3M Politeknik Negeri Jember layak untuk memperoleh kepercayaan menjalankan kegiatan IbM ini berdasarkan prestasi yang telah dicapai oleh lembaga selama ini. B. Kepakaran yang Dibutuhkan Adapun kepakaran yang dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan masalah mitra di bidang usaha keripik talas di Dusun Gumawang RT/RW 014/003 Desa Curah Malang Kecamatan Rambipuji adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 1 di bawah ini. TABEL XV KEPAKARAN ANGGOTA TIM No 1 2 3 4 Nama Wendy Triadji Nugroho, ST, MT Dessy Putri Andini, SE, MM Oktanita Jaya Angraeni, SE, MP Muhammad Oka Legiono Pendidikan S2 S2 S2 SLTA Bidang Keahlian Mekanisasi, Proses Produksi Kewirausahaan, Perancangan Produk Manajemen Produksi Kewirausahaan 221 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI A. Hasil yang Dicapai Hasil yang dicapai darai kegiatan IbM ini adalah: 1. Pelatihan Manajemen Usaha dan Strategi Pemasaran Dari kegiatan pelatihan manajemen usaha pihak mitra memahami bagaimana cara melakukan analisis usaha sehingga dapat diketahui secara tepat besar profit/keuntungan yang didapat mitra setiap kali melakukan proses produksi. Mitra kini juga mulai membiasakan melakukan proses pencatatan administrasi dan keua ngannya secara lebih rutin. Pelatihan pemasaran memberikan informasi yang penting bagi mitra tentang pentingnya mempertahankan kualitas produk agar konsumen menjadi pelanggan yang loyal dan dapat memilih strategi pemasaran yang tepat agar produk mereka tetap eksis di tengah persaingan usaha yang semakin ketat. Perajangan dan penirisan secara manual memiliki sisi kelemahan. Yang pertama adalah butuh waktu lama, dan yang kedua adalah ketebalan irisan talas bervariasi. Oleh karenanya maka jumlah produk yang dihasilkan masih sedikit dan kualitasnya juga kurang baik. Gambar 3. Alat perajang Dengan adanya alat perajang, maka proses perajangan talas menjadi dua hingga empat kali lebih cepat dan waktu penirisan minyakpun menjadi lebih singkat. Selain itu, ketebalan irisan talas menjadi lebih seragam. Sebagai konsekuensinya, maka dengan adanya bantuan alat-alat produksi ini, kapasitas produksi, efektifitas dan efisiensi usaha mitra mengalami peningkatan. Gambar 2. Pelatihan Manajemen Usaha dan Strategi Pemasaran 2. Pemberian bantuan alat-alat produksi berupa perajang dan peniris Gambar 4. Alat peniris B. Luaran Luaran dari kegiatan IbM ini adalah: Gambar 2. Serah terima alat-alat produksi keripik talas 222 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 1. 2. Alat produksi keripik talas (Teknologi Tepat Guna) Artikel jurnal pengabdian VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dengan berakhirnya kegiatan pengabdian pada masyarakat ini maka dapat diambil beberapa kesimpulan : a. Pelatihan manajemen usaha membantu mitra usaha dalam melakukan proses pencatatan administrasi secara lebih rutin, disamping itu mitra juga dapat menghitung keuntungan usaha dalam setiap kali mereka melakukan proses produksi. b. Pelatihan strategi pemasaran memberikan pemahaman bagi mitra tentang pentingnya senantiasa menjaga kualitas produk dan strategi bagaimana cara memperluas daerah pemasaran serta memilih strategi pemasaran yang tepat. c. Penggunaan alat perajang dan peniris dapat membantu mitra dalam meningkatkan kapasitas produksi, efektifitas dan efisiensi produksi. B. Saran 1. Untuk Kemenristekdikti: hendaknya programprogram pengabdian kepada masyarakat seperti IbM tetap dipertahankan keberadaannya dan sedapat mungkin diperbanyak, baik jenis maupun jumlahnya. 2. Untuk mitra: seyogyanya mitra memanfaatkan alat-alat produksi hasil bantuan program IbM dengan sebaik-baknya, disamping itu juga merawat alat-alat tersebut, sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. DAFTAR PUSTAKA [1] Deming, W. Edwards, Out of Crisis. Cambridge: Massachussetts Institute of Technology, 1999. [2] Feigenbaum, Armand V. Total Quality Control, 3rd ed. New York: Mc. Graw Hill Book Inc., 2000. [3] Irawan, Handi. Kepuasan Pelanggan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2004. [4] Juran, Joseph M. Quality Planning and Analysis, 3rd ed. New York: Mc. Graw Hill Book Inc., 2000. [5] Kotler, Philip. Marketing Management, Eleventh Edition. USA : Prentice Hall, 2003. [6] Rangkuti, Freddy. Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan Pelanggan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2004. [7] Tandjung, Jenu Widjaja. Marketing Management: Pendekatan Pada Nilai-nilai Pelanggan. Malang: Bayu Media, 2004. 223 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 IbM KELURAHAN SOBO BANYUWANGI DALAM PEMBERDAYAAN IBU RUMAH TANGGA NON PRODUKTIF Zulis Erwanto1, Dadang Dwi Pranowo2, Yuni Ulfiyati3 Program Studi Teknik Sipil, Politeknik Negeri Banyuwangi Jl. Raya Jember Km. 13, Labanasem, Kabat, Banyuwangi 1zulis.poliwangi@gmail.com 2dadangdp@yahoo.com 3yuni_ulfia@yahoo.co.id Abstract Di Kelurahan Sobo masih banyak Ibu-ibu rumah tangga yang masih aktif tapi tidak memiliki pekerjaan dan banyak dijumpai keluarga yang kurang mampu dan tidak memiliki penghasilan tetap. Selain itu, banyak dijumpai ibu-ibu yang kreatif tapi hanya sebagai buruh tani. Oleh karena itu perlu adanya pemberdayaan bagi ibu-ibu rumah tangga dengan memanfaatkan potensi hasil bumi dari swadaya masyarakat sekitar di Kelurahan Sobo dengan membentuk wadah perkoperasian rumah tangga sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup keluarga khususnya bagi ibu-ibu rumah tangga. Ibu-ibu rumah tangga diberdayakan melalui kegiatan penyuluhan kewirausahaan dan perkoperasian dalam meningkatkan kreativitas dan keterampilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan bahan baku hasil bumi serta sistem simpan pinjam koperasi. Beberapa rencana strategi pemasaran diantaranya ialah menentukan logo, menciptakan merek, dan menciptakan kemasan yang berkualitas. Rencana strategi promosi dengan promosi lewat iklan, promosi penjualan, publisitas, dan penjualan sendiri. Pemberdayaan ibu rumah tangga non produktif di kelurahan Sobo kabupaten Banyuwangi dapat dilakukan melalui koperasi rumah tangga yang bergerak di bidang Koperasi Serba Usaha yaitu simpan pinjam dan jual beli produk olahan hasil bumi yang selama ini masih belum maksimal pemanfaatannya. Berdasarkan hasil analisa kelayakan SWOT dari segi lokasi dan sosial budaya, pemberdayaan ibu-ibu rumah tangga non produktif melalui koperasi rumah tangga di kelurahan Sobo layak direalisasikan. Target luaran yang dicapai adalah peningkatan pemahaman ibu-ibu rumah tangga tentang perkoperasian dan kewirausahaan, peningkatan keterampilan ibu rumah tangga dalam pengolahan hasil bumi untuk meningkatkan produk olahan di Koperasi, submitted merek dagang ke Dinas Kesehatan Kab. Banyuwangi, dan submitted badan usaha Koperasi Serba Usaha di Dinas Koperasi Kab. Banyuwangi. Dengan adanya wadah perkoperasian ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan menciptakan lapangan kerja khususnya di Kelurahan Sobo Kabupaten Banyuwangi. Keywords— Ibu Rumah Tangga, Kewirausahaan, Koperasi, Pemberdayaan I. PENDAHULUAN Hasil bumi yang melimpah di Kabupaten Banyuwangi ini tidak seutuhnya dapat dipergunakan secara maksimal dan terkadang hanya terbuang sia-sia atau dibiarkan membusuk karena tidak habis terjual. Terlebih untuk hasil kebun dari masyarakat Banyuwangi yang antara lain adalah pisang, singkong, ubi jalar, labu, dan lainnya. Di Kelurahan Sobo masih banyak ibu-ibu rumah tangga yang masih aktif tapi tidak memiliki penghasilan dan banyak dijumpai keluarga yang kurang mampu dan tidak memiliki penghasilan tetap. Selain itu, banyak dijumpai ibu-ibu yang aktif tetapi sebagai buruh tani yang tidak tetap penghasilannya. Di Kelurahan Sobo ada beberapa home industri yang masih perlu adanya pembinaan dan penyuluhan, selain itu produksinya sangat kecil hanya untuk kalangan sendiri dan sekitar kelurahan saja. Home industri di sekitar Kelurahan Sobo antara lain pembuatan tahu, kerupuk cumi, keripik, pembuatan donat, mie pangsit, dan produksi jamur tiram. Hasil pemanfaatan hasil bumi yang dapat diolah manjadi bahan makanan yang lebih bernilai secara ekonomi dapat dimanfaatkan oleh pengurus koperasi rumah tangga yang telah dibentuk oleh ibu-ibu untuk koperasi simpan pinjam bagi kelancaran usaha mereka. Selama ini pengoptimalan hasil bumi di kabupaten Banyuwangi hanya sebatas pendirian home industry yang pemasarannya hanya di tingkat lokal saja. Melalui koperasi ibu rumah tangga ini diharapkan dapat memperluas wilayah pemasaran hasil bumi serta koperasi 224 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 dapat menjadi wadah bagi ibu rumah tangga untuk menyalurkan kreatifitasnya. Untuk mengimplementasikan pemberdayaan ibu-ibu rumah tangga non produktif dan pemberdayaan home industry di Kelurahan Sobo ini, maka diperlukan suatu “Program Pemberdayaan Ibu-Ibu Rumah Tangga Non Produktif Melalui Koperasi Rumah Tangga di Kelurahan Sobo Kabupaten Banyuwangi”. Diharapkan dengan adanya wadah perkoperasian rumah tangga mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup keluarga khususnya bagi ibu-ibu rumah tangga. II. TARGET DAN LUARAN Pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan untuk memacu masyarakat RT. 01 dan RT. 02 Kelurahan Sobo Kabupaten Banyuwangi untuk lebih produktif dalam memanfaatkan hasil bumi yang berlimpah. Ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja diberi wadah berupa koperasi rumah tangga yang dapat membantu mengolah hasil kebun yang tidak awet menjadi suatu produk yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi sehingga dapat memacu perekonomian desa menjadi lebih baik. Selain wadah untuk mengolah hasil kebun, diharapkan koperasi rumah tangga yang dapat terbentuk nantinya digunakan untuk membantu kemakmuran bersama bagi masyarakat desa di Kelurahan Sobo. Salah satu bentuknya adalah dengan membentuk Koperasi Serba Usaha (KSU) dalam hal jual beli dan simpan pinjam untuk masyarakat desa di Kelurahan Sobo dengan anggota koperasi adalah ibu-ibu rumah tangga. Target lainnya selain terbentuknya wadah koperasi rumah tangga, juga melakukan pemberdayaan ibu rumah tangga dengan meningkatkan keterampilan dan kreativitas ibu rumah tangga pada RT. 01 dan RT. 02 untuk dapat memproduksi bahan makanan dari hasil bumi. Sasaran program ini adalah memfasilitasi ibu-ibu rumah tangga pada RT. 01 dan RT. 02 Kelurahan Sobo Kabupaten Banyuwangi dalam kegiatan perkoperasian serta melaksanakan kerjasama dengan Stakeholder. Program ini dibuktikan dengan adanya penyuluhan perkoperasian, manajemen pemasaran dan kewirausahaan sebagai pembekalan ibu-ibu rumah tangga dalam mengelola koperasi rumah tangga. Tabel I. Rencana Target Capaian Luaran No Jenis Luaran 1 2 Publikasi ilmiah di jurnal/prosiding Publikasi pada media massa (cetak/elektronik) Peningkatan omzet pada mitra yang bergerak dalam bidang ekonomi Peningkatan kuantitas dan kualitas produk Peningkatan pemahaman dan keterampilan masyarakat Peningkatan ketentraman/kesehatan masyarakat (mitra masyarakat umum) 3 4 5 6 Indikator Capaian Submitted Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada No 7 Jenis Luaran Jasa, model, rekayasa sosial, sistem, produk/barang 8 Hak kekayaan intelektual (paten, paten sederhana, hak cipta, merek dagang, rahasia dagang, desain produk industri, perlindungan varietas tanaman, perlindungan topografi. 9 Buku Ajar Sumber : Hasil Analisis, 2016 Indikator Capaian Produk/ Barang Merek dagang Tidak ada III. METODE PELAKSANAAN Dalam pelaksanaan program ini, metode pelaksanaan yang digunakan didasari dari kesesuaian kehidupan masyarakat di RT. 01 dan RT. 02, Kelurahan Sobo, Kabupaten Banyuwangi antara lain : 1. Identifikasi Masalah Beberapa persoalan prioritas antara lain : 1. Aspek Sosial dan Budaya a. Bahan baku dan peralatan penunjang yang masih terbatas. b. Teknologi pengemasan produk masih kurang. c. Penentuan lokasi koperasi yang strategis untuk pemasaran. d. Perlunya lahan yang luas untuk proses produksi. e. Perlu pengadaan alat produksi dan penyimpanan bahan baku. 2. Kehidupan Bermasyarakat a. Timbul keresahan masyarakat terhadap pembangunan koperasi karena dikhawatirkan terdapat persaingan dagang. b. Dikhawatirkan terjadinya kesenjangan sosial antar warga. c. Tingkat pendidikan dan pengalaman tentang perkoperasian masyarakat masih kurang. 2. Analisa Kelayakan Penilaian terhadap layak tidaknya pembentukan koperasi rumah tangga di kelurahan Sobo Banyuwangi, maka dilakukan dengan pemberian nilai (scoring) pendekatan profesional judgement menggunakan metode penilaian SWOT dengan memberikan penilaian terhadap tingkat : a. Kekuatan (Strength) b. Kelemahan (Weakness) c. Peluang (Opportunity) d. Ancaman (Threat) Tiap-tiap keadaan akan dikalikan dengan dasar penilaian sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut : Kelayakan Pengembangan Bisnis = (S – W) + (O – T) Dimana untuk nilai positif (+) akan dinilai layak sedang sebaliknya untuk nilai negatif (-) akan dinilai tidak layak. 3. Analisa Produk Tidak ada 225 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Analisa produk yang dapat dilakukan dalam pemasaran produk koperasi dalam hal : a. Menentukan logo dan motto yang harus memiliki arti positif dan dapat menarik perhatian. b. Menciptakan merek dan pendaftaran merek dagang. c. Menciptakan kemasan yang kualitas kemasan tidak mudah rusak, bentuk, warna, dan ukuran menarik. 4. Analisa Pemasaran Ada beberapa sarana promosi yang dapat digunakan dalam mempromosikan produk diantaranya : a. Periklanan (advertising). b. Promosi penjualan (sales promotion), bertujuan untuk meningkatkan penjualan atau peningkatan jumlah pelanggan. c. Publisitas (publicity), kegiatan untuk memancing pelanggan melalui kegiatan seperti pameran. d. Penjualan pribadi (personal selling), yang dilakukan secara langsung oleh salesman dari pintu ke pintu. 5. Analisa Kebutuhan a. Kebutuhan Lahan b. Kebutuhan Keterampilan Penunjang c. Kebutuhan Alat d. Kebutuhan Bahan Penunjang IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI Unit P3M (Pusat Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat) Politeknik Negeri Banyuwangi khususnya telah beberapa kali ikut berperan aktif dalam program pengabdian kepada masyarakat seperti terlihat pada Tabel II. berikut. Tabel II. Inventarisasi Program Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Negeri Banyuwangi Tahun 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2013 2013 2015 2016 2016 2016 2016 Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Pelatihan Kerja Batu untuk Mandor Pelatihan Program Software Teknik Sipil untuk SMA/SMK Pelatihan Software Teknik Sipil untuk Pemuda Karang Taruna Rogojampi Pelatihan Microsoft Office Bagi Tenaga Pengajar Di SDN 01 Pakel Kecamatan Licin Banyuwangi Sertifikasi Tenaga Konstruksi Di Banyuwangi Penyuluhan Infrastruktur Yang Baik Di Daerah Pesisir Kontrol Frekuensi dan Tegangan Untuk Pembangkit Listrik Pembinaan Penggunaan Sistem Informasi Perpustakaan SMA/SMK Di banyuwangi Peningkatan Kemampuan Perangkat desa Dalam Pengoperasian Aplikasi Perkantoran di Kecamatan Kabat Pembinaan Penggunaan Sistem Informasi Perencanaan Keuangan Tingkat Kecamatan Pelatihan Microsoft Office Bagi Perangkat Desa Se-Kecamatan Wongsorejo Guna Meningkatkan Kualitas Pelayanan Terhadap Masyarakat Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar di Kecamatan Wongsorejo dalam Mengoperasikan Komputer Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) Bilingual Pokok Bahasan Statistika dan Peluang Pada Kelas XI SMA/MA Pelatihan Pengelasan Bagi Karang Taruna Masyarakat Banyuwangi Rancang Bangun Mesin Pengering Bulir Jagung Untuk Bahan Baku Marning Instalasi Biogas Menggunakan Substrat Limbah IbM UKM Pembuat Tahu di Desa Sumberberas dalam Peningkatan Produktifitas Melalui Penggunaan Mesin Penyaring dan Pemeras Bubur Kedelai Program Hibah Bina Desa Pengembangan Infrastruktur Pariwisata Air Terjun Selendang Arum Desa Sumber Arum Kecamatan Songgon IbM Kelurahan Sobo dalam Pemberdayaan Ibu-ibu rumah Tangga Non Produktif IbM Desa Purwodadi Kecamatan Gambiran Melalui Rancang Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Matahari (PLTM) Sebagai Upaya Peningkatan Frekuensi Produksi Hasil Panen Tanaman Buah Naga Merah Pelatihan Teknologi Konstruksi Paving dalam Mengembangkan Kawasan Desa Labanasem Pembuatan Media Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus Tunaganda dan Autis di Kabupaten Banyuwangi Pendanaan Sumber Jml (Juta Rp) APBN Rp 10.00 APBN Rp 10.00 APBN Rp 10.00 APBN Rp 10.00 APBN APBN APBN APBN Rp Rp Rp Rp 10.00 15.00 15.00 15.00 APBN Rp 15.00 APBN APBN Rp Rp 15.00 15.00 APBN Rp 15.00 APBD Rp 10.00 APBN APBN DIKTI DIKTI Rp Rp Rp Rp 15.00 15.00 49.00 45.00 RISTEKDIKTI Rp 40.00 RISTEKDIKTI Rp RISTEKDIKTI Rp 38.00 32.50 PNBP PNBP Rp Rp 10.00 10.00 Sumber : Data Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Negeri Banyuwangi, 2016 V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI Untuk pemberdayaan ibu rumah tangga di Kelurahan Sobo Kabupaten Banyuwangi khususnya pada RT.01 dan RT.02 perlu adanya sosialisasi terlebih dahulu ke dalam kegiatan ibu PKK untuk mengetahui respon dan kelayakan dari segi sosial budaya di lingkungan kelurahan Sobo tentang pemahaman pemberdayaan ibu rumah tangga non produktif dalam bentuk wadah koperasi rumah tangga. Gambar I. Sosialisasi Kegiatan IbM Dalam Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga Non Produktif pada PKK Kelurahan Sobo (Dokumentasi, 2016) Hasil sosialisasi tersebut direspon sangat baik dan ibuibu sangat tertarik dalam hal simpan pinjam dan penjualan hasil produksinya melalui koperasi. Penilaian kelayakan lokasi dan dari segi sosial budaya di lingkungan kelurahan Sobo dapat dilihat pada Tabel III dan IV. Tabel III. Penilaian Kelayakan Lokasi Dengan Metode SWOT No 1. Uraian Kekuatan (Strenght) Poin Nilai S 4 Kelemahan (Weakness) Poin Nilai 2. Dekat dengan pemukiman Ada lahan 84 m2 3. Bahan baku terbatas W 3 4. Teknologi pengemasan terbatas W 3 5. Tersedia lapangan kerja baru Jumlah anggota dan cabang bertambah banyak Terdapat banyak saingan 6. 7. Total Nilai SWOT S S Peluang (Opportunity) Poin Nilai Ancaman (Threat) Poin Nilai 3 7 W 6 O 4 O 3 O 7 T 4 T 4 Sumber : Hasil Analisis, 2016 Kelayakan Lokasi = (S–W) + (O–T) = ( 7 – 6 ) + ( 7 – 4 ) = 1 + 3 = (+) 4 Dari hasil analisis SWOT kelayakan lokasi, menunjukkan bahwa lokasi pendirian koperasi rumah tangga di Kelurahan Sobo Kabupaten Banyuwangi memiliki score total sama dengan +4 ≥ 0, sehingga layak untuk direalisasikan. Dari perkembangan banyaknya peminat maka langkah berikutnya adalah melakukan pendekatan ibu-ibu rumah tangga yang mau berkomitmen untuk menjadi pengurus dan menjalankan program pemberdayaan ibu-ibu rumah tangga dengan menjaring anggota koperasi dalam bentuk 226 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 perkumpulan ibu-ibu rumah tangga sehingga akan memudahkan untuk komunikasi dan koordinasi. Tabel IV. Penilaian Kelayakan Sosial Budaya Dengan Metode SWOT Kelebihan Lokasi strategis dekat dengan permukiman Score 4 Berada di jalan poros utama Mampu membuat lapangan kerja baru Masyarakat setuju dengan pembangunan koperasi 4 Total Score 16 Kekurangan Timbul keresahan masyarakat terhadap pembentukan koperasi karena adanya banyak saingan Terjadinya kesenjangan sosial Score 4 3 4 4 Total Score 7 Sumber : Hasil Analisis, 2016 Kelayakan Sosial Budaya = Kelebihan – Kekurangan = 16 – 7 = 9 ≥ 0 Dari hasil analisis Kelayakan Sosial Budaya, menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya di Kelurahan Sobo Banyuwangi memiliki score total 9 ≥ 0, sehingga dapat dikatakan bahwa pembentukan koperasi rumah tangga sangat layak. Tindak lanjut berikutnya melakukan penyuluhan tentang perkoperasian dari Dinas Koperasi Banyuwangi dan penyuluhan tentang kewirausahaan dan pemasaran dari Narasumber Toko Online Shop. (seperti asas koperasi yatu: gotong royong dan kekeluargaan) atau kumpulan tersebut membentuk “bunga” atau “kembang” yang selalu mekar dan berkembang, terbuka. ZAHWANGI singkatan dari Zahwan Group Innovation. Zahwangi merupakan gabungan istilah yaitu Zahwan dan Wangi. Zahwan diambilkan dari bahasa Arab yang artinya “Sedap Dipandang” dan Wangi artinya “Harum Semerbak”. Dengan harapan semoga Koperasi Serba Usaha Zahwangi selalu sedap dipandang oleh masyarakat dan harum semerbak dalam meningkatkan kesejahteraan anggotaanggotanya. Warna:  Abu-abu : Formal dan tegas  Biru : Stabilitas, keteguhan, harmonisasi, kemandirian  Orange : Sosial, mengayomi  Ungu : Aktif, produktif Visi :  Mewujudkan anggota koperasi yang sejahtera dan mandiri Misi :  Meningkatkan peran masyarakat dalam ekonomi kerakyatan  Menciptakan lapangan kerja bagi anggota dan masyarakat sekitar  Meningkatkan pemerataan pendapatan dan hasil usaha Tujuan :  Meningkatkan pendapatan anggota koperasi yang memiliki kegiatan produktif melalui usaha simpan pinjam dan unit usaha masyarakat kecil Berdasarkan rapat anggota dibuatlah struktur organisasi dan pemaparan tentang sistem simpan pinjam dan produksi jual beli di KSU Zahwangi. Gambar II. Penyuluhan Perkoperasian dan Kewirausahaan (Dok, 2016) Dari hasil penyuluhan maka dibentuklah pengurus koperasi yang disepakati bersama untuk membentuk wadah koperasi yang bergerak dibidang Koperasi Serba Usaha yaitu dalam hal simpan pinjam dan jual beli dengan profil sebagai berikut: Gambar IV. Rapat Anggota Koperasi Serba Usaha Zahwangi (Dok, 2016) Gambar III. Logo KSU Zahwangi (Dok, 2016) Visualisasi dan makna logo adalah tampak sekumpulan orang yang berkumpul saling menguatkan satu sama lain yang dalam artian melakukan aktifitas bersama, mencerminkan gotong royong dan rasa kekeluargaan Struktur organisasi Koperasi Serba Usaha terdiri dari:  Unsur Perangkat Organisasi Koperasi :  Rapat Anggota  Pengurus  Pengawas  Unsur Pelaksana yaitu manajer dan karyawan 227 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 RAPAT ANGGOTA DEWAN PENGAWAS KETUA PENGURUS KOPERASI BAGIAN UMUM DAN TATA USAHA BAGIAN SIMPAN PINJAM BAGIAN JUAL BELI DAN PEMASARAN Gambar V. Bagan Struktur Organisasi Koperasi Serba Usaha Zahwangi” (Hasil Analisis, 2016) Berdasarkan rapat anggota untuk sistem perkreditan KSU memiliki ketentuan sebagai berikut: a. Pinjaman / Kredit tersebut akan diangsur dalam jangka waktu 3 bulan. b. Atas pinjaman / kredit tersebut Saya bersedia dikenakan bunga ( tetap / menurun ) 10%. c. Untuk pelunasan fasilitas kredit tersebut, Saya memberikan kuasa penuh yang tidak dapat dibatalkan / dicabut, yang selanjutnya dibayarkan sebagai angsuran dengan denda keterlambatan 2% perbulan kali saldo terhitung pada bulan termaksud/jatuh tempo. d. Saya bersedia melunasi sisa kredit pinjaman di atas baik secara tunai atau dengan harta milik pribadi maupun keluarga. e. Bersedia dikenakan biaya Administrasi sebesar 1% dari total pinjaman pada saat sebelum transaksi kredit dilaksanakan. f. Jika pinjaman di atas Rp. 1 juta, maka Saya bersedia untuk menandatangani surat perjanjian pinjaman diatas materai Rp. 6000,- dengan ketentuan yang mengikat didalamnya dan bersedia patuh secara hukum. Dari hasil rapat anggota terkumpulah modal usaha dari simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela dan ditindaklanjuti dengan berjalannya masa percobaan perkreditan bagi ibu rumah tangga dan dilanjutkan belanja alat dan bahan untuk kegiatan produksi pengolahan hasil bumi untuk dikemas dan didaftarkan merek dagang di Dinas Kesehatan Kab. Banyuwangi. Kegiatan produksi pengolahan hasil bumi yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga kelurahan Sobo saat ini masih dalam tahap percobaan dikarenakan masih kondisi merintis dan melihat kondisi pasar dan ketersediaan bahan baku. Pengolahan bahan baku seperti ubi, singkong, pisang, sayur wortel, bayam, dan selada air bisa untuk dijadikan produk olahan. Berikut hasil produk olahan yang bisa diproduksi sementara oleh ibu-ibu rumah tangga non produktif di kelurahan Sobo. Tabel V. Prakiraan Biaya Produksi dan Harga Jual Produk Olahan Biaya Harga Keuntungan Produksi Jual Produk (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) Kerupuk Sayur Selada Air dan Bayam 24.500 30.000 5.500 28.000 32.000 4.000 43.000 50.000 7.000 30.800 32.000 1.200 60.000 72.000 12.000 Kerupuk Sayur Wortel Sale Pisang Lilit Kerupuk Samiler Kue Kering Dari Tepung Ubi Ungu Sumber : Hasil Analisis dan Dokumentasi, 2016 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Pemberdayaan ibu rumah tangga non produktif di kelurahan Sobo kabupaten Banyuwangi dapat dilakukan melalui koperasi rumah tangga yang bergerak di bidang Koperasi Serba Usaha yaitu simpan pinjam dan jual beli produk olahan hasil bumi yang selama ini masih belum maksimal pemanfaatannya. 2. Berdasarkan hasil analisa kelayakan SWOT dari segi lokasi dan sosial budaya, pemberdayaan ibu-ibu rumah tangga non produktif melalui koperasi rumah tangga di Gambar VI. Konsultasi Pendaftaran Merek Dagang Di Dinas Kesehatan Banyuwangi (Dok, 2016) 228 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 3. 1. 2. 3. kelurahan Sobo kabupaten Banyuwangi layak direalisasikan. Target luaran yang dicapai adalah peningkatan pemahaman ibu-ibu rumah tangga tentang perkoperasian dan kewirausahaan, peningkatan keterampilan ibu rumah tangga dalam pengolahan hasil bumi untuk meningkatkan produk olahan di Koperasi, submitted merek dagang ke Dinas Kesehatan Kab. Banyuwangi, dan submitted badan usaha Koperasi Serba Usaha di Dinas Koperasi Kab. Banyuwangi. Beberapa saran dalam pemberdayaan ibu rumah tangga melalui koperasi rumah tangga antara lain : Untuk mengoptimalkan kerja dari Koperasi Serba Usaha ini perlu adanya kerjasama dengan pemerintah, badan usaha, UKM (Unit Kegiatan Masyarakat) terkait mengingat persaingan yang ketat di bidang perkoperasian. Perlu adanya peningkatan pelatihan-pelatihan tentang kewirausahaan dan manajemen strategi pemasaran bagi ibu rumah tangga. Perlu adanya bantuan dana dari pemerintah daerah dalam peningkatan teknologi pengemasan produk. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih sebesar-besarnya kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset Dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi atas pendanaan dan kepercayaannya yang diberikan agar bisa terlaksananya kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini, kedua kalinya kepada Direktur dan Wakil Direktur 1, 2, dan 3 Politeknik Negeri Banyuwangi atas dukungan dan fasilitasnya yang telah diberikan, serta anggota pengabdi khususnya dan civitas akademika Politeknik Negeri Banyuwangi pada umumnya atas kerjasamanya selama ini. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] Maharani, Anita. 2012. Artikel Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. http://dkijakarta.bkkbn.go.id/2012/artikelpemberdayaan-masyarakat.html Wikipedia. 2014. Pengertian Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga. Jakarta.http://wikipedia.org/wiki/pemberdayaan_ibu_rumah_tang ga.html Sari, Candra N.. 2013. Pengertian, Tujuan, dan Prinsip-Prinsip Koperasi.Jakarta.http://candranopitasari.blogspot.com/2013/01/p engertian-tujuan-dan-prinsip-prinsip_12.html Sunarya, dkk. 2011. Kewirausahaan.Yogyakarta. Penerbit Andi. 229 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 KELOMPOK PETANI JAMUR TIRAM ”MUTIARA JAMUR” TEGAL GEDE - JEMBER Suharjono1), Dwi Rahmawati 2) Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember Email: har2006_jon@yahoo.co.id 2) Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember Email : yoeyoen354@gmail.com 1) Abstrak Tujuan dari kegiatan pengabdian ini adalah untuk membantu petani jamur tiram dalam proses pencampuran bahan baku media jamur yang selama ini dilakukan secara manual yang memberikan hasil pertumbuhan jamur kurang maksimal. Dan selain itu proses pengontrolan suhu dan kelembaban kumbung masih dilakukan secara manual, sehingga hasil pengontrolan tidak optimal dan sering terjadi kesalahan hal ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan jamur. Target yang ingin dicapai adalah proses pencampuran menggunakan mesin pencampur sehingga pertumbuhan jamur lebih sempurna, selain itu kontrol suhu dilakukan secara mekanis. Metode yang digunakan adalah untuk proses pencampuran menggunakan prinsip pengaduk horisontal sehingga kapasitas dan pengoperasian lebih maksimal. Sedangkan untuk pengontrol suhu dan kelembaban dipergunakan alat kontrol secara elektronik dengan menggunakan termokontrol digital. Dengan teknologi ini pengontrol suhu dan kelembaban akan lebih tepat. Hasil dari kegiatan ini adalah terbuatnya Mesin pencampur media jamur tiram dengan spesifikasi: Dimensi (p,l,t) : (150,100, 140) cm, Rangka: besi siku 5x5, Penggerak: Motor Bensin 5,5 hp, Kapasitas : 1,5 Kw sekali proses/5menit dan terbuatnya alat kontrol suhu menggunakan termo kontrol digital, dengan beban kontrol pompa air 200 watt yang dilengkapi nozel pengkabut air. Kata kunci: jamur, kelembaban, kontrol, pencampuran, suhu, tiram 1. PENDAHULUAN Seiring dengan popularitas dan memasyarakatnya jamur tiram sebagai bahan makanan yang lezat dan bergizi, maka permintaan konsumen dan pasar jamur tiram di berbagai daerah terus meningkat. Peningkatan permintaan konsumen terhadap jamur tiram berimplikasi terhadap penyediaan jamur tiram yang memadai secara kontinyu dan berkualitas. Dengan adanya peluang usaha penyediaan jamur tiram yang sangat besar ini maka di Kabupaten Jember banyak bermunculan pelaku-pelaku usaha budidaya jamur tiram beberapa diantaranya seperti kelompok pengusaha jamur tiram yang berada di Desa Antirogo Kecamatan Sumbersaari Kabupaten Jember yang beranggotakan sekitar 20 petani budidaya jamur tiram. Petani budidaya jamur tiram tersebut dalam budidayanya melakukan kegiatan rutin seperti: pembuatan baglog, sterilisasi baglog, pengontrolan suhu dan kelembaban kumbung, pemeliharaan, dan pemanenan. Pembuatan baglog jamur tiram dilakukan melalui beberapa tahapan diantaranya adalah pencampuran beberapa bahan media baglog seperti serbuk gergaji kayu, dedak, serbuk jagung dan bahan tambahan lainnya. Pencampuran selama ini dilakukan secara manual menggunakan sekop dengan kapasitas pencampuran hanya ½ kw sekali proses. Pencampuran secara manual ini mempunyai beberapa kelemahan seperti hasil campuran kurang merata, hal ini ditunjukkan pertumbuhan miselium yang tidak merata, umur produktif relatif pendek. Kondisi ini akan sangat merugikan petani pembudidaya jamur. Selain itu anggota juga dihadapkan pada aktifitas rutin yaitu pengontrolan suhu dan kelembaban kumbung yang harus dilakukan setiap saat, hal ini disebabkan karena ketepatan suhu dan kelembaan kumbung sangat menentukan sekali untuk keberhasilan secara maksimal produksi jamur tiram. Selama ini pengontrolan suhu dan kelembaban dilakukan secara manual artinya apabila suhu dan kelembaban kurang dari yang di inginkan maka dilakukan tindakan seperti penyemprotan air kedalam kumbung atau pemberian hawa panas. Pelaksanaan pengontrolan secara manual ini sangat dirasakan berat karena pengontrolan harus dilakukan setiap saat. 230 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Dari uraian analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan prioritas yang dihadapi mitra adalah: 1. Pencampuran bahan baku media tanam jamur tiram secara manual mempunyai kelemahan hasil campuran kurang merata, hal ini berdampak pada pertumbuhan miselium kurang sempurna dan masa produkstif jamur menurun, sehingga sangat merugikan petani pembudidaya jamur tiram. 1. 2. 3. 4. 5. 2. pengontrolan suhu dan kelembaban kumbung masih dilakukan secara manual sehingga sering terjadi ketidaktepatan pengontrolan, hal ini akan berdampak pada pertumbuhan jamur kurang optimal 2. METODE Untuk mengatasi permasalahan mitra solusi yang ditawarkan adalah: 1. Untuk proses pencampuran bahan baku media jamur menggunakan prinsip kerja pengaduk putar horizontal. Bahan baku media berada dalam satu tabung, kemudian batang pengaduk berputar secara pelahan ditengah tabung. Batang pengaduk didesain agar bahan teraduk rata baik arah vertikal mauan arah horinsontal. Tenaga penggerak menggunakan motor listrik 1 HP dengan transfer tenaga menggunakan gearbox type 70. Kapasitas sekali proses didesain sebanyak 1,5 kw/sekali proses selama 5 menit. Dengan kapasitas ini diharapkan sehari mampu memproduksi ½ ton bahan baku media. 2. Untuk pengontrolan suhu dan kelembaban kumbung akan diterapkan sistem kontrol secara elektronik sederhana. Alat kontrol ini mempunyai kelebihan yaitu: ketepatan kontrol akan lebih terjamin, pengoperasian lebih mudah, dan juga biaya pemeliharaan lebih murah. Alat kontrol suhu dan kelembaban ini bekerja menggunakan sensor suhu Termokoppel yang mempunyai presisi tinggi, Sistem kontrol yang digunakan adalah termo kontrol digital sistem loop- tertutup dan on-off kontrol untuk mengendalikan beban seperti kipas angin dan heater. Dengan teknologi seperti ini suhu dan kelembaban kumbung akan selalu terjaga sesuai dengan yang diharapkan. Adapun teknis pelaksanaan kegiatannya adalah: Menentukan tempat yang akan ditempatkan mesin pencampur dan alat kontrol yang dapat mewakili anggota lain atau yang dapat dipakai bersama atau dalam jangka waktu yang akan datang mesin dan alat ini dapat dijadikan rujukan untuk diproduksi lebih lanjut oleh anggota Merancang dan membuat pencampur dan alat kontrol suhu dan kelembaban Pembinaan Manajemen Pemakaian bersama mesin dan alat Uji coba Alat Evaluasi keberhasilan program Gambar 1. Gambaran Iptek yang akan diterapkan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam kegiatan pengabdian ini ada beberapa tahapan pekerjaan yang harus dilakukan meliputi: koordinasi dengan mitra, perancangan dan pembuatan alat yang akan diterapkan, uji coba alat, uji coba produksi, dan evaluasi. Hasil kegiatan tersebut meliputi: Koordinasi dengan mitra Dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian ini kami tim selalu melakukan diskusi, meminta masukan dan juga saran. Hal ini dilakukan agar teknologi yang akan kita terapkan betul-betul digunakan oleh mitra dan mampu meningkatkan proses produksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari hasil koordinasi ini mitra setuju dengan teknologi yang kami tawarkan. 1. 2. Perancangan dan pembuatan alat Dalam kegiatan pengabdian ini ada dua peralatan yang akan diterapkan yaitu: mesin pencampur media jamur dan alat kontrol suhu kumbung jamur. Dalam proses pembuatan alat tersebut diatas ada beberapa tahapan yang dilakukan meliputi: perancangan, pemilihan bahan, pembuatan, dan uji coba. a. Mesin Pencampur media jamur Untuk pencampuran media jamur menggunakan prinsip pencampuran horizontal dengan bial pengaduk tipe helix. yang digerakkan dengan tenaga motor bensin 5,5 HP. Tenaga dari motor bensin direduksi menggunakan reduser type 50 dengan perbandingan 1: 20, dengan sistem 231 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 ini maka proses pencampuran akan lebih seragam dan tenaga pengadukan tidak terlalu berat. Kapasitas pencampuran kurang lebih 1,5 kwintal bahan media jamur sekali proses selama 5 menit. Gambar 2. Mesin Pencampur media jamur b. Alat Kontrol Sedangkan untuk mengendalikan suhu ruang kumbung digunakan alat termo kontrol digital dengan menggunakan sensor termo Koppel. Dengan menggunakan alat ini suhu yang akan dikontrol dapat disetting dengan menggunakan fasilitas yang ada pada alat ini, dan secara otomatis pengontrolan akan berjalan. Tampilan digital dari alat ini ada dua yaitu tampilan suhu settingan dan tampilan suhu ruang kumbung yang sebenarnya. Beban kontrol yang dkendalikan oleh alat ini adalah pompa air yang dilengkapi dengan peralatan nozel. Apabila suhu ruang kumbung melebihi suhu settingan maka alat kontrol memerintahkan pompa untuk mengkabutkan air kedalam ruang kumbung, sehingga suhu ruang kumbung akan turun lagi sesuai suhu setingan. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: a. Koordinasi selalu dilakukan dengan mitra sehingga terjalin hubungan yang lebih baik. b. Perancangan dan pembuatan mesin pencampur dan alat kontrol suhu sesuai dengan yang direncanakan. c. Mesin Pencampur mempunyai sepesifikasi:  Dimensi (p,l,t) : ( 150, 100, 140) cm  Rangka : besi siku 5x5  Penggerak : Motor Bensin 5,5 hp  Kapaisitas : 1,5 Kw sekali proses/5 menit d. Alat Kontrol mempunyai spesifikasi:  Dimensi (p,l,t) : (30, 35, 75) cm  Bahan rangka : pipa kotak SS  Komponen Kontrol: Termo kontrol Digital  Range Suhu : (0 – 200)o C  Pompa Air Tekan : 200 watt UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Kemenristek Dikti yang telah memberi hibah terhadap pengabdian Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) ini. DAFTAR PUSTAKA Arixs, 2005, Budidaya jamur tiram, Penerbit Swadaya, Jakarta Andrew, P dan Ferdinand L.S, 1985. Kekuatan Bahan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Gunterus, F. 1994. Falsafah Dasar: Sistem Pengendalian Proses. Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Hogenboom, P. 1988. Data Sheet Book 3. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Jasjfi, E., 1993, Operasi Teknik Kimia (terjemahan), Erlangga, Jakarta. Kiyokatsu Suga dan Sularso.1979. Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Gambar 3. Box control 232 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Aplikasi Cutter Disc Rotary untuk Pengolahan Kerupuk Rambak R. Abdoel Djamali 1)*, Didiek Hermanuadi2)**, Cholyubi Yusuf3)*** 1) Manajemen 2) Teknologi Agribisnis, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Po. Box 164 Jember Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Po. Box 164 Jember *)Email: jatifar@yahoo.com **)Email: didiekhermanuadi@yahoo.com ***)Email: yusufcholyubi@ymail.com Abstrak Desa Mangli Kabupaten Jember merupakan suatu kawasan sentra aneka produksi kerupuk yang telah berkembang sejak tahun 1980-an. Jenis kerupuk yang dihasilkan berdasarkan bahan baku utama dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) berbahan baku kulit sapi: kerupuk rambak, (b) berbahan baku tepung terigu: kerupuk tahu, (c) berbahan baku tapioka: kerupuk barabir, kerupuk genjot, kerupuk THR, kerupuk Iris, kerupuk impala. Khusus untuk Kerupuk Rambak, dalam tahapan pemotongan bahan baku rambak dengan cara menggunting secara manual menggunakan tenaga manusia. Beberapa kelemahan cara tersebut adalah: (1) produktivitasnya sangat rendah dan membutuhkan waktu lama 8-10 jam setiap 150 kg kulit rambak, (b) ukuran dan bentuk hasil potongan yang beragam sehingga mengurangi nilai estetika, (c) membutuhkan tenaga gunting yang banyak, sehingga alokasi biaya tenaga kerja potong relatif besar (minimal 5 orang per hari untuk 150 kg kulit rambak). Target dan Luaran: (a) mampu mengintroduksikan alat pemotong multiblade (Cutter Disc Rotary ), (b) mampu menekan biaya tenaga potong cukup 1 orang operator dengan produktitasnya 30 kg per jam, dan (c) Mampu mensuplai bahan baku kulit rambak berkualitas dan kontinu. Metodologi yang digunakan: melalui pembuatan Mesin Cutter Disc Rotary (CDR), penyuluhan, dan pendampingan di UKM oleh Tim Pelaksana. Kesimpulan: (1) Mesin Pemotong kulit rambak berfungsi dengan baik berkapasitas 30 kg/jam hanya dengan 1 operator, (2) Menekan biaya tenaga kerja hingga 80%, (3) Menghemat waktu hingga Hemat waktu 30%, (4) Membutuhkan biaya listrik sebesar Rp 5.256 per hari, dan (5) Pengoperasian Mesin CDR relatif aman dan nyaman bagi pekerja. Kata Kunci: Cutter Disc Rotary, Kerupuk Rambak BAB 1. PENDAHULUAN Kerupuk rambak adalah kerupuk yang menggunakan kulit sapi sebagai bahan bakunya. Satu-satunya UKM di Desa Mangli yang memperoduksi kerupuk rambak yakni “ UD. ADUHAI” yang telah berdiri lebih dari 20 tahun. Usaha ini ternyata mampu menyerap tenaga kerja total sebanyak 57 orang yang terdiri dari 47 orang perempuan dan 10 orang laki-laki. Seluruh pekerja itu berasal dari satu kampung dengan sistem kerja harian dan borongan. Sampai sekarang Agroindustri ini sudah mampu memproduksi kerupuk rambak minimal 1,5 kuintal/hari. Pangsa pasar produk kerupuk rambak “ADUHAI” meliputi wilayah: Kabupaten Jember (tokotoko, Mini-market, Matahari Departemen Store, Koperasi), Bondowoso, Malang, Lumajang hingga Kabupaten Blitar. Proses pembuatan Kerupuk Kulit yang dilakukan meliputi tahapan-tahapan proses sebagai berikut: Rambak kulit direbus selama 1 jam, dipotong-potong dengan menggunakan gunting baja dengan ukuran lebar 0,5-1 cm dan panjang 2 cm, pemberian bumbu dengan bawang putih dan garam, penjemuran atau pengeringan di bawah terik matahari, penggorengan, pengatusan serta pengemasan [1]. Kulit yang sudah direbus berbentuk lembaran berlekuk tidak beraturan, tahapan berikutnya pemotongan dengan menggunakan alat gunting. Tentunya pemotongan dengan menggunakan tenaga manusia, maka ukuran yang dihasilkan tidak sama sehingga menghasilkan kerupuk rambak yang beragam dan mengurangi nilai esttetika. Tenaga potong yang dibutuhkan untuk memotong 150 kg diibutuhkan 5 orang atau produktivitas kerjanya 30 kg per hari. Melihat Kenyataan tersebut, perlu diupayakan sentuhan teknologi guna meningkatkan efisien dan 233 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 produktivitas kerja khususnya dalam dalam proses pemotongan bahan baku kerupuk rambak. Bab 2. Target dan Luaran Target dan Luaran kegiatan IbM ini sebagai berikut: N o 1. 2. Mitra IbM Mitra UKM-I Bapak Erwin UD“ADUHAI” Mitra UKM- II Bapak Haji Yusuf Target Luaran a. Mampu mengintroduksikan alat pemotong multiblade (Cutter Disc Rotary ) 1. Mesin Pemotong multiblade (Cutter Disc Rotary ) 2. Dihasilkan potongan kerupuk rambak yang ukuran dan bentuknya sama b. Mampu menekan 3. Menurunkan biaya tenaga potong biaya tenaga cukup 1 orang potong 80% (dari operator dengan 5 orang menjadi 1 produktitasnya 30 orang operator) kg per jam a. Mampu mensuplai 1. Kulit Sapi bahan baku kulit rambak berkualitas dan kontinu Bab 3. Metode Pelaksanaan 1. 2. 3. Observasi Lapang: yakni langkah awal yang harus dilakukan sebagai bahan masukan dalam proses penyusunan proposal kegiatan ini dan mengumpulkan data-data teknis kebutuhan dari Bapak Erwin UD “ADUHAI” dan Bapak H. Yusuf sebagai supplier bahan baku Studi Pustaka: yakni langkah yang bertujuan untuk mengumpulkan referensi hasil kajian akademik berupa jurnal dan artikel ilmiah tentang sarang semut Rancang Bangun dan Rancang Fungsional Mesin Pemotong Multiblade (Cutter Disc Rotary /CDR). Secara umum mesin pemotong CDR berfungsi memotong bahan kulit yang sudah direbus menjadi potongan sesuai yang diinginkan. Mesin ini terdiri dari tiga bagian uutama yakni: 1. sistem transmisi daya, 2. sistem pemotong/pengiris, dan 3. konstruksi mesin. Lembaga ini bertugas melaksanakan, mengkoordinasikan, memantau, dan menilai pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya, P3M menyelenggarakan fungsi: a. penyusunan rencana, program, dan anggaran Lembaga; b. pelaksanaan penelitian ilmiah murni dan terapan; c. pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat; d. pelaksanaan publikasi hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; e. peningkatan relevansi program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat; dan pelaksanaan urusan administrasi Lembaga Pengelola Pengabdian kepada Masyarakat 1. Pengelolaan dan koordinasi program pengabdian kepada masyarakat di tingkat Universitas dilakukan oleh P3M. 2. P3M adalah unsur pelaksana akademik yang mempunyai tugas antara lain: a. Mengkoordinasikan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pengabdian yang diselenggarakan oleh unit pelaksana yang terdiri dari Pusat Pengabdian kepada masyarakat, Jurusan, Program Studi, Laboratorium, Dosen dan atau Mahasiswa secara perorangan maupun kelompok; b. Mengusahakan serta mengendalikan administrasi sumber daya yang diperlukan; c. Menyelenggarakan pelatihan-pelatihan dibidang pengabdian, dalam rangka pengembangan sumber daya manusia internal dan atau eksternal kampus. 3. Bidang Pengabdian kepada Masyarakat adalah unsur pelaksana Pengabdian kepada Masyarakat di bawah P3M yang bertugas menyelenggarakan pelaksanaan kegiatan pengabdian sesuai dengan bidangnya masingmasing. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat menggunakan sumberdana dari DP2M-Dikti, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinasi dan Dana Mandiri. Beberapa Program Pengabdian kepada Masyarakat yang telah dilaksanakan oleh P2M Polije dengan sumberdana DP2MDIKTI periode tahun 2011-2014 sebagai berikut [4]: Tabel 1 Jumlah Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Politeknik Negeri Jember Sumberdana DP2M-DIKTI 2011-2014 No Bab 4. Kelayakan Perguruan Tinggi Kinerja Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P2M) Politeknik Negeri Jember. Salah satu organ dari Direktur Politeknik Negeri Jember yakni Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M). 1 2 3 4 Kegiatan IbM IbK IbBE IbW Jumlah Jumlah Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat 2011 1 2012 6 2013 9 1 2014 17 1 1 6 10 18 234 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 Khusus untuk kegiatan IPTEKDA–LIPI yang dikelola oleh P2M Politeknik Negeri Jember bersama Kelompok Intermediasi Alih Teknologi (KIAT) Polije sejak tahun 2008-2014 menunjukkan kinerja yang sangat baik, sebagai berikut [2]: rendah dan membutuhkan waktu lama (8-10 jam setiap 150 kg kulit rambak, (b) ukuran dan bentuk hasil potongan yang beragam sehingga mengurangi nilai estetika, (c) membutuhkan tenaga gunting yang banyak, sehingga alokasi biaya tenaga kerja potong relatif besar yakni minimal 5 orang per hari untuk 150 kg kulit rambak. S Gambar 2. Distribusi Program IPTEKDA LIPI 2008-2013 di Politeknik Negeri Jember BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan program pengembangan usaha produksi kerupuk rambak yang di oleh UKM Mitra melalui program Ipteks bagi Masyarakat (IbM), maka Tim Pelaksana melakukan koordinasi dan komunikasi intensif dengan UKM guna pelaksaaan atas rencana kegiatan yang akan dilaksanakan. Adapun tahapan kegiatan yang dilaksanakan antara lain: 1. Pengamatan karakteristik bahan rambak Bahan baku kulit rambak kering yang diperoleh dari UKM Mitra II Bapak H. Yusuf, kemudian direbus oleh UKM Mitra I Bapak Erwin (selaku pengolah kerupuk rambak) dalam sebuah tong yang berisi air dengan dimensi diameter 60 cm tinggi 100 cm. Kapsitas tong perebusan mampu merebus mencapai 35 kg setiap kali proses perebusan yang menggunakan tungku berbahan bakar batubara. Bentuk dan ukuran bahan rambak kering tersebut memang tidak beraturan yang langsung direbus tanpa melalui proses pemotongan karena bahan tersebut sangat keras dan kaku. Perebusan dilakukan selama ±1 jam yang bertujuan agar supaya bahan rambak menjadi empuk sehingga akan mempermudah dalam proses pemotongan. Bahan yang telah direbus tersebut menjadi menebal dengan ketebalan rata-rata ±1 cm dengan ukuran dan bentuk yang tidak beraturan serta berupa lembaran yang menggulung. Selanjutnya bahan tersebut ditiriskan dan didinginkan kurang lebih 1 jam, maka bahan rambak tersebut sudah siap dipotong-potong sesuai yang diinginkan. UKM mitra I selama ini memotongnya dengan menggunakan gunting kain dengan tangan. Tahapan pemotongan rambak dengan cara menggunting secara manual menggunakan tenaga manusia memiliki kelemahan sebagai berikut: (1) produktivitasnya sangat Gambar 2. Prosesing Pengolahan Kerupuk Rambak 2. Pembuatan Alat Pemotong Kerupuk Rambak a. Pembuatan Konstruksi Mesin Pengiris/pemotong Rambak Konstruksi mesin adalah bagian utama mesin yang berfungsi untuk mendukung sebagai penyangga utama seluruh bagian dari mesin pemotong rambak. Adapun spesifikasinya sebagai berikut:  Dudukan transmisi dirancang dengan tebal mur 6 mm, jumlah 2 buah/bantalan, dan ukuran baut M6x1 dengan spesifikasi d=6 mm, d=4,917 mm, d2=5,35 mm,h= 0,541 mm dan p=1 mm.  Dudukan motor dirancang menggunakan baut dengan tebal mur 6 mm, jumlah 4 buah, dan ukuran baut M8x1,25 dengfan spesifikasi d=8 mm, d16,647 mm, d2=7,188 mm, h= 0,677 mm dan p=1,25 mm. 235 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0  Konstruksi mesin dirancang dengan menggunakan besi siku 200x50x120 cm berbahan besi siku 5 x 5 cm, UNP 50 x 38 x 5 mm, proses pengelasan menggunakan las busur listrik. Hasil kerja konstruksi mesin sebagai berikut: Gambar 3. Konstruksi Mesin Pemotong Rambak Spesifikasi Alat Sebagai Berikut:  P= 110 cm  L=80 cm  T =74 cm  Berat 8 kg  Penggerak motor listrik 1 pk  Sistem pemotongan rotary Blade with Oscilating (reel outo feed) feeding  Kapasitas: 30 kg per jam b. Pembuatan Pisau Pemotong Dalam proses perancangan peralatan ini mengalami perubahan yang awalnya menggunakan sistem pisau multi blade menjadi single blade rotary mengalami perubahan sesuai dengan karakteristik bahan baku rambak yang akan dipotong. Dimana sistem kerja pisau yang berputar dan dan bergeser sepanjang 50 cm sehingga pisau potong ini memotong bahan rambak dalam posisi statis, sedangkan pisaunya yang berputar dan berpindah maju mundur pada lintasan depan meja. Sehingga pisau bahan rambak bisa memotong pada posisi maju dan mundur. Spesifikasi Sistem Pemotong/Pengiris  Pisau pemotong dirancang dari stainless steel jenis HSS (high speed steel) berbentuk piringan bulat diameter 30 cm sebanyak 1 buah, tebal pisau 1 mm, sudut pisau dan sudut buang 900.    Poros utama dirancang yang ama daari pengaruh lenturan atau defleksi dengan ST 308 Food Grade diameter 18 mm. Pasak yang digunakan dalam poros utama mengunakan bahan S45D dengan ukuran minimal 6x6 lebar 30 mm. Dilengkapi sistem hopper oscilating/reel auto feed yakni bahan yang akan dipotong akan bergerak maju secara otomatis mengarah ke pisau pemotong c. Pembuatan Sistem Transmisi  Motor listrik dengsn spesifikasi daya 1 PK, kecepatan 1400 rpm dan 1 phasa.  Proros penggerak dirancang dengan menggunakan bahan S45C dengan diameter 14 mm.  Poros yang digerakkan dirancang dengan menggunakan bahan S45C dengan dimater 18 mm.  Puli penggerak dirancang dengan menggunakan ukuran Dp=66 mm, diemater kepala puli Dk = 75 mm, dan diameter naf puli Db=42 mm.  Sabuk yang digunakan adalah sabuk V dengan kode A38 artinya penampang sabuk tipe A dengan panjang 38 inchi atau 965 mm.  Baut pengikat puli penggerak menggunakan baut 2 buah M6 x 1.  Pasak pada puli yang penggerak dirancang menggunakan bahan S45C-D dengan ukuran 5x5 mm lebar 23 mm.  Pasak pada puli yang digerakkan dirancang menggunakan bahan S45C-D dengan ukuran 6x6 mm lebar 32 mm. Adapun hasil uji coba alat mesin pemotong rambak CDR, sebagai berikut: 1. Mesin pemotong rambak bekerja dengan baik yang dioperasikan oleh seorang operator. Dimana setelah power on, operator mempersiapkan bahan baku rambak yang sudah direbus digulung untuk dimasukkan dalam hopper berupa reel outo feed yang bekerja bergerak maju mendorong bahan menuju CDR. 236 Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0 2. 3. 4. Kapasitas potong mesin CDR yakni mengukur berapakah kemampuan mesin memotong bahan baku kerupuk rambak per satuan waktu.. hal itu menunjukkan tingkat kemampuan produktivitas alat tersebut. Kemampuan kerja alat potong rambak ini mencapai 30 kg per jam. Hal iniseiring dengan Penyelesaian pekerjaan pembuatan mesin pemotong bahan baku kerupuk rambak. Kalau secara manual dengan hanya mampu meemotong 4,3 kg per orang per jam. Sehingga untuk menyelesaikan 150 kg bahan rambak dibutuhkan tenaga kerja 5 orang dalam waktu kerja minimal 7 jam. Sehingga penggunaan alat ini menghemat tenaga kerja hingga 80% Tingkat efisiensi waktu penyelesaian pekerjaan tahap pemotongan rambak ini mencapai 30%, karena untuk menyelesaikan pekerjaan 150 kg dengan menggunakan mesin hanya butuh waktu 5 jam, sementara kalau manual membutuhkan waktu 7 jam. Kebutuhan energi listrik.; yakni mengukur berapakah kebutuhan energi listrik per satuan waktu, hal ini kaitannya dengan efisiensi biaya yang dicurahkan dalam mengoperasikan alat tersebut per satuan waktu. Makin rendah kebutuhan biaya energy listrik maka akan meningkatkan keuntungan UKM mitra.Kebutuhan energi listrik untuk mengoperasikan mesin pemotong kerupuk rambak CDR dihitung berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 9/2015 tentang Perubahan tarif mulai pada Januari 2016. Tarif dasar listrik (TDL) Rumah Tangga daya 1.300 Volt Ampere (VA) ke atas, turun dari Rp1.509,38 per kilo Watt hour (kWh), menjadi Rp1.409,16 [3]. Sehingga untuk kebutuhan listrik dari motor 1 PK dikonversi sebesar 0,746 KWh, maka besarnya biaya listrik Rp 1.051 per jam. Berarti biaya operasional per hari untuk memotong 150 kg per hari dibutuhkan biaya sebesar Rp 5.256. 5. Hasil uji performance lainnya dari mesin CDR, yakni: keamanan dan kenyamanan kerja; yakni mengukur apakah penggunaan mesin tersebut dapat dikategorikan aman dan nyaman bagi operator. Pengoperasian Mesin CDR cukup mudah dioperasikan yang hanya cukup satu orang operator ternyata relatif aman untuk keselamatan pekerja. Hal ini karena didukung pada seluruh komponen yang bergerak/berputar sudah dilengkapi penutup guna memperkecil resiko kecelakaan kerja dan tingkat kompleksitas prosedur operasiol kerja mesin CDR relatif sederhana. [2.] [3.] [4.] [5.] Menekan biaya tenaga kerja hingga 80% Menghemat waktu hingga Hemat waktu 30% Membutuhkan biaya listrik sebesar Rp 5.256 per hari Pengoperasian Mesin CDR relatif aman dan nyaman bagi pekerja. 6.2 Saran Mesin CDR ini perlu diterapkembangkan untuk peotongan/pengiringan produk kerupuk/kerupik lainnya guna meningkatkan kualitas dan efisien kerja. UCAPAN TERIMA KASIH Mengingat artikel ini merupakan bagian dari program Ipteks bagi Masyarakat (IbM) sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan P2M Program IbM Gelombang I Staf Pengajar Politeknik Negeri Jember Tahun 2016 Nomor 165/PL17.2/PM/2016, maka kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Direktur Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai kegiatan ini pada anggaran tahun 2016. DAFTAR PUSTAKA [1] Djamali, R. A. 2002. Panduan Wirausahan Kerupuk Rambak. Dinas Perindustrin dan Perdagangan Propinsi Jawa Timur. [2] Kelompok Intermediasi Alih Teknologi (KIAT) Polije. 2015. Risalah Perkembangan Penerapan Program Iptekda LIPI di Politeknik Negeri Jember. Jember [3] Peraturan Menteri ESDM No. 9/2015 tentang prosedur pemeblian tenaga listrik dan harga patokan pembelian tenaga listrik dari PLTU Mulut Tambang, PLTU Batubara. PLTG/PLTNG, dan PLTA oleh Perusahaan Listrik Negara (Persero) melalui pemilihan langsung dan penunjukan langsung. Tanggal 12 Januari 2015. [4] Pusat Penelitian dan Pengabdian keppada Masyarakat (P2M) Polije. 2015. Rekapitulasi Program Kegiatan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Periode 2011-2014. Jember. BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan [1.] Mesin Pemotong kulit rambak berfungsi dengan baik berkapasitas 30 kg/jam hanya dengan 1 operator, 237