Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0
PROSIDING
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Artikel ditulis dan dipaparkan dalam sesi paralel seminar nasional oleh:
Tim Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
PENERBIT
Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
REDAKSI
Gedung P3M Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip 164, Jember 68101
Telp. (0331) 333532-34, Fax. (0331) 333531
Email : p3m@polije.ac.id
Laman : publikasi.polije.ac.id
i
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0
PROSIDING
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
ISBN : 978-602-14917-2-0
Penanggung Jawab
Ir. Nanang Dwi Wahyono, MM.
Pengarah
Ir. Abi Bakri, M.Si.
Saiful Anwar, S.TP., MP.
Moh. Munih Dian Widianta, S.Kom., MT.
Pemimpin Redaksi
Dr. Ir. Budi Hariono, M.Si.
Sekretaris Redaksi
Dr. Ir. Rr. Merry Muspita Dyah Utami, MP.
Dewan Redaksi
Prof. Yuli Hariati (Universitas Jember)
Dr. Drs. Ir. R. Edy Purwanto, M.Sc. (Politeknik Negeri Malang)
Dr. Ir. Hari Rujito, MT. (Politeknik Negeri Jember)
Editor
Hendra Yufit Riskiawan, S.Kom., M.Cs.
Kesekretariatan
Dra. Yogyarsi Budiwiyanti
Ike Agustin Yuvianti, SE.
Desain Sampul dan Tata Letak
Ahmad Vikri Bahtiar, A.Md.
Cetak dan Distribusi
Suryadi
PENERBIT
Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
REDAKSI DAN DISTRIBUTOR
Gedung P3M Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip 164, Jember 68101
Telp. (0331) 333532-34, Fax. (0331) 333531
Email : p3m@polije.ac.id
Laman : publikasi.polije.ac.id
Cetakan Pertama, September 2016
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis dalam bentuk dan
cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
ii
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0
KATA PENGANTAR
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat pendanaan tahun 2016
ini merupakan gagasan untuk melakukan diseminasi dan pemaparan hasil kegiatan penelitian
dan pengabdian masyarakat yang telah dilaksanakan. Sebagai luaran dari kegiatan seminar
yang dilaksanakan, panitia menerbitkan prosiding sebagai upaya untuk memfasilitasi publikasi
hasil kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang telah dilaksanakan melalui
pembiayaan dari Direktorat Riset dan Pendidikan Tinggi (DRPM) Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi khususnya pendanaan tahun 2016. Redaksi juga menerima
artikel ilmiah hasil kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat tahun sebelumnya dengan
catatan belum pernah dipublikasikan melalui jurnal, prosiding, maupun wahana publikasi
lainnya.
Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian masyarakat ini diikuti dengan pemaparan
30 pelaksana penelitian dan 15 pelaksana kegiatan pengabdian masyarakat. Diantara pelaksana
penelitian dan pengabdian masyarakat yang telah memaparkan hasil penelitiannya, 34
merupakan peneliti dan pengabdi dari Politeknik Negeri Jember, 6 Universitas Negeri Jember,
1 Politeknik Negeri Banyuwangi, 1 Universitas Islam Jember, 1 Universitas Terbuka, 1
Universitas Islam Lamongan dan 1 STIE Mandala. Pemaparan akan dibahas oleh Prof. Yuli
Hariati dari Universitas Jember dan Dr. Drs. Ir. R. Edy Purwanto, M.Sc. dari Politeknik Negeri
Malang.
Redaksi sangat mengharap kritik, saran dan partisipasi aktif dari peneliti, pengabdi, dan
staf kependidikan Politeknik Negeri Jember serta dari institusi Perguruan Tinggi,
Pusat/Lembaga Pengabdian Masyarakat, dan Instansi lainnya.
Akhirnya, redaksi mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada penulis,
mitra bestari, dan seluruh pihak khususnya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat serta
Politeknik Negeri Jember yang telah mendukung terlaksananya kegiatan ini. Semoga prosiding
yang dihasilkan ini membawa manfaat bagi semua pihak dan masyarakat.
Jember, September 2016
REDAKSI
iii
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0
SUSUNAN DEWAN REDAKSI
Penanggung Jawab
: Ir. Nanang Dwi Wahyono, MM.
Pengarah
: Ir. Abi Bakri, M.Si.
Saiful Anwar, S.TP., MP.
Moh. Munih Dian Widianta, S.Kom., MT.
Pemimpin Redaksi
: Dr. Ir. Budi Hariono, M.Si.
Sekretaris Redaksi
: Dr. Ir. Rr. Merry Muspita Dyah Utami, MP.
Dewan Redaksi
: Prof. Yuli Hariati (Universitas Jember)
Dr. Drs. Ir. R. Edy Purwanto, M.Sc. (Politeknik Negeri Malang)
Dr. Ir. Hari Rujito, MT. (Politeknik Negeri Jember)
Editor
: Hendra Yufit Riskiawan, S.Kom., M.Cs.
Kesekretariatan
: Dra. Yogyarsi Budiwiyanti
Ike Agustin Yuvianti, SE.
Ahmad Vikri Bahtiar, A.Md.
Cetak dan Distribusi : Suryadi
PENERBIT:
Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Gedung P3M Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip 164, Jember 68101
Telp. (0331) 333532-34, Fax. (0331) 333531
Email : p3m@polije.ac.id
Laman : publikasi.polije.ac.id
iv
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................................
iii
SUSUNAN DEWAN REDAKSI .......................................................................................
iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................................
v
Teknologi Pengendali Hayati Metarhizium anisopliae Dan Beauveria bassiana Terhadap
Hama Kumbang Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros)
Dyah Nuning Erawati dan Irma Wardati.......................................................................... 1
Model Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Jember
Endro Sugiartono dan Wenny Dhamayanthi ....................................................................
6
Kajian Potensi dan Strategi Pengembangan Agribisnis di Kawasan Pesisir Kabupaten
Jember
Taufik Hidayat, Retno Sari Mahanani dan Dewi Kurniawati ......................................... 11
Struktur Bayesian Network untuk Penentuan Class Karakteristik Siswa pada Sistem Tutor
Cerdas
Ika Widiastuti dan Ratih Ayuninghemi ............................................................................. 15
Penggunaan Metode Fuzzy Dalam Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Daerah
Rawan Banjir Di Kabupaten Jember
Nugroho Setyo Wibowo, Dwi Putro Sarwo Setyohadi dan Hariyono Rakhmad............
20
Sistem Multi-Agent Cerdas Penguji Perangkat Lunak Secara Otomatis
Elly Antika, Prawidya Destarianto dan Hendra Yufit Riskiawan ..................................
27
Analisa Sifat Mekanis Biokomposit Laminat Serat Tebu – Polyester
Yuni Hermawan dan Robertus Sidartawan ......................................................................
33
Perancangan “Mobile Weather Station” Pengukur Intensitas Cahaya Matahari, Curah
Hujan, Kecepatan Angin Dan Keasaman Tanah
Wendy Triadji Nugroho dan Naning Retnowati ............................................................... 38
Rancang Bangun Alat Sterilisasi Non Thermal Metode Pulsa Ultraviolet Untuk Karkas
Ayam
Wahyu Suryaningsih, Supriono dan Budi Hariono .......................................................... 44
Karakteristik Citarasa Dan Komponen Flavor Kopi Luwak Robusta IN VITRO Berdasarkan
Dosis Ragi Kopi Luwak Dan Lama Fermentasi
Mukhammad Fauzi, Giyarto dan Septi Wulandari .......................................................... 51
Prevalensi dan Diversitas Lactobacillus sp. pada Susu Kambing Etawa Segar
Bambang Poerwanto dan Titik Budiati..............................................................................
57
Analisa Kinerja Metode PID pada Suhu Alat Pengering Biji Kedelai
Guido Dias Kalandro, Ali Rizal Chaidir dan Alfredo Bayu Satriya ...............................
61
v
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0
Potensi Bakteri Pseudomas fluorescence dan Bacillus subtillis untuk Mengendalikan Hawar
Daun Bakteri pada Kedelai (Pseudomonas syringae pv. glycine)
Abdul Majid ......................................................................................................................... 66
Penggunaan Ekstrak Bawang Putih dalam Pakan terhadap Performans Ayam Broiler Tropis
Fase Starter
Merry Muspita Dyah Utami dan Dadik Pantaya .............................................................. 72
Resistensi Antibiotika Bifidobacterium Pada Kefir dan Yogurt
Titik Budiati dan Wahyu Suryaningsih .............................................................................
76
Perubahan Karakteristik Kimia Kopi Luwak Robusta In Vitro dengan Variasi Lama
Fermentasi dan Dosis Ragi
Muhammad Fauzi dan Nur Wahyu Hidayati ................................................................... 80
Optimasi Produksi Pepton dari Bungkil Kedelai Untuk Media Produksi Yeast
Dadik Pantaya, Dicky Pamungkas, Merry Muspita DU, Suci Wulandari dan Anang
Febri ...................................................................................................................................... 85
Sentra Hortikultura Lahan Sawah Di Kabupaten Jember
Muhammad Firdaus dan Suherman ..................................................................................
89
Reliabilitas Microsoft Kinect Untuk Pengukuran Sudut Joint Sendi Bahu Pada Posisi
Frontal Dan Sagittal Plane
Beni Widiawan, Yogiswara dan I Putu Dody Lesmana ...................................................
93
Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan Penyakit Infeksi Virus Dengue (Studi Kasus
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember)
I Putu Dody Lesmana dan Rinda Nurul Karimah............................................................ 97
Keunggulan Komparatif Dan Kompetitif Gula Tebu Besuki Raya: Sebuah Pengembangan
Analisis Kebijakan
Bagus Putu Yudhia Kurniawan ..........................................................................................
104
Implementasi Memperpanjang Masa Produk Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) Segar
Menjadi Produk Bahan Kering.
Kasutjianingati, Edi Siswadi, Tririni Kusparwanti, Niniek Wihartiningseh dan Agung
Wahyono ............................................................................................................................... 109
Pemetaan Kognitif Penyebab dan Dampak Eksplotasi Pasir Sepanjang Sempadan Pantai di
Kabupaten Merauke
R. Abdoel Djamali, Philipus Betaubun, Didiek Hermanuadi dan Rahmat Ali Syaban 114
Sistem Identifikasi Jenis Kelamin Manusia Berdasarkan Foto Panoramik
Nur Nafi’iyah dan Retno Wardhani...................................................................................
120
Aplikasi Sistem Kontrol PI Pada Mesin Pendingin Tipe Air Blast Sebagai Kontrol Ekspansi
Otomatis (Application PICONTROL System On Refrigerator Plate Touch Type For
Automatic Expansion Valve Control)
Bayu Rudiyanto, Budi Hariono dan Abi Bakri ................................................................. 126
Kajian Energi Mesin Pembeku Lempeng Sentuh Dengan Penurunan Suhu Media Bertahap
Budi Hariono, Abi Bakri dan Bayu Rudiyanto .................................................................
vi
132
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0
Penentuan Prioritas Komoditi Unggulan Hasil Budidaya Laut Yang Sustainable dengan
Pendekatan Multi Criteria Decision Making di Kabupaten Situbondo
Didiek Hermanuadi, R. Abd. Djamali dan Tri Rini Kusparwanti ..................................
136
Strategi Formulasi Pakan yang Tepat bagi Performan Ayam Kampung (Gallus domesticus)
Menggunakan Near Infra-Red Spectroscopy (NIRS): Studi Regulasi Konsumsi Pakan
Suluh Nusantoro, Erfan Kustiawaan, Nurkholis, F Pinataanwar, A D Fitaloka dan N
D Wulandari ......................................................................................................................... 142
Penanganan Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk Dalam Desain Sistem Pakar Diagnosis
Penyakit Menggunakan Metode Euclidean Distance
Ir. M. Zayin Sukri, MP dan Hariyono Rakhmad, S.Pd, M.Kom .................................... 146
Penciptaan Kinerja Program Studi : Sebuah Pengembangan Model Teoritik (Studi Empiris
pada Program Studi Politeknik di Jawa Timur)
Sri Sundari............................................................................................................................ 155
Pengembangan Usaha IKM Jamu Tradisional di Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates
Kabupaten Jember
Naning Retnowati dan Dewi Kurniawati ...........................................................................
162
IbM Kelompok Pengusaha Bakpao di Tegal Besar
Siti Djamila, Titiek Budiati, Iswahyono dan Amal Bahariawan .....................................
168
Stimulasi, Promosi, Produksi Dan Pemasaran Tempe Koro Pedang
Muhammad Juhan dan Mohammad Zaedan Fitri ...........................................................
173
Ibm Kelompok Tani Kentang Berbasis Kearifan Lokal Di Desa Sukorejo Kecamatan
Sumberwringin Kabupaten Bondowoso
Kasutjianingati, Liliek Dwi Soelaksini, Sri Rahayu dan Prayitno................................... 178
Peningkatan Produktivitas Keripik Buah melalui Aplikasi Vakum Very High (VH)
Budi Hariono, Abi Bakri dan Mokh Fathoni K ................................................................
183
IbM Sistem Usahatani Terpadu Hulu-Hilir pada Kelompok Tani LADEWI Bondowoso
Produksi Baby Fish Organik Sistem Mina Padi Inovatif
Tanti Kustiari1, Ariesia Gema A.P dan Rizal ................................................................... 187
Scale Up Produksi Ripe Banana Chip di UD. Burno Sari
Nurhayati Nurhayati, Eka Ruriani dan Maryanto ...........................................................
193
IbM Kelompok Usaha Bersama Aneka Cemilan “Dua Putera”
Hesti Herminingsih, Nita Kuswardhani dan Khodijah Hayati .......................................
198
Peningkatan Produktivitas Ternak Domba: Peternakan Domba di Daerah Perkebunan Tebu
Kabupaten Bondowoso dengan Pembuatan Pakan Komplit Bermutu Sistem Drum Berbasis
Limbah Pucuk Tebu
Suci Wulandari, Merry Muspita DU dan Nurkholis ........................................................ 203
IbM Untuk Kelompok Pengrajin Manik-Manik di Desa Tutul Kabupaten Jember
Yogiswara dan Ratih Ayuninghemi
208
IbM Pemanfaatan Pekarangan dengan Usahatani Jahe secara Vertikultur
Muhammad Firdaus dan Dwi Indarti ................................................................................
214
vii
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN : 978-606-14917-2-0
Penerapan Teknologi Dan Manajemen Usaha Untuk Meningkatkan Efektifitas Dan
Efisiensi Produksi Serta Keuntungan Pada Ikm Keripik Talas
Wendy Triadji Nugroho, Dessy Putri Andini dan Oktanita Jaya Angraeni .................. 219
IbM Kelurahan Sobo Banyuwangi Dalam Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga NON
Produktif
Zulis Erwanto, Dadang Dwi Pranowo dan Yuni Ulfiyati ................................................. 224
Kelompok Petani Jamur Tiram ”MUTIARA JAMUR” Tegal Gede - Jember
Suharjono dan Dwi Rahmawati..........................................................................................
230
Aplikasi Cutter Disc Rotary untuk Pengolahan Kerupuk Rambak
R. Abdoel Djamali, Didiek Hermanuadi dan Cholyubi Yusuf ........................................
233
viii
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
TEKNOLOGI PENGENDALI HAYATI
Metarhizium anisopliae DAN Beauveria bassiana
TERHADAP HAMA KUMBANG
KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros)
Dyah Nuning Erawati1 dan Irma Wardati2
Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip PO BOX 164 Jember
1erawati_dn@yahoo.com
2irmawardati@gmail.com
Abstract
Oryctes rhinoceros has now been readily developed to a notorious pest of young oil palm plantations. Biological agents as controlling
oil palm beetle have specific properties such as host specific, located spesific and narrow spectrum that have potential synergies
with environment. Therefore, the necessary exploration of oil palm beetle control technology with biological control to increase
productivity while maintaining a safe environment quality. The purpose of this study was to exploration of biological control for oil
palm beetle with Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana from many localities. This research is compiled in a Randomized
Block Design non factorial with some kinds of biological control technology : 1. M. anisopliae Kedu; 2. M. anisopliae Jombang; 3.
M. anisopliae Jember; 4. B. bassiana Kedu; 5. B. bassiana Jombang; 6. B. bassiana Jember with spore density applications
equally 109/ml. and 7. Chemical insecticide. The result showed that : 1) Biological agents Metarhizium anisopliae and Beauveria
bassiana from Kedu, Jombang, Jember had potential as a biological control of O. rhinoceros; 2)
Keywords— biological control, oil palm beetle, technology
Bab I. Pendahuluan
Kelapa sawit (Elaesis guineensis) termasuk familia
Arecaceae dan merupakan tanaman perkebunan/industri
berupa pohon batang lurus dari subfamili Cocoideae.
Sektor minyak kelapa sawit Indonesia mengalami
perkembangan yang berarti, hal ini terlihat dari total luas
areal perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah yaitu
menjadi 7,3 juta hektar pada 2009 dari 7,0 juta hektar pada
2008. Sedangkan produksi minyak sawit (crude palm
oil/CPO) terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
dari 19,2 juta ton pada 2008 meningkat menjadi 19,4 juta
ton pada 2009. Sementara total ekspornya juga meningkat,
pada 2008 tercatat sebesar 18,1 juta ton kemudian menjadi
14,9 juta ton pada tahun 2009. Kelapa sawit masih
memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah.
Komoditas kelapa sawit, baik berupa bahan mentah
maupun hasil olahannya, menduduki peringkat ketiga
penyumbang devisa nonmigas terbesar bagi Indonesia
setelah karet dan kopi (Pahan, 2010).
Permasalahan yang sering dihadapi para petani
kelapa sawit dalam pengembangannya di Indonesia
adalah hambatan pada teknologi budidaya, seperti
pemilihan bibit, penanaman, pemupukan, pengendalian
hama dan penyakit, serta penanganan pasca panen. Hasil
panen kelapa sawit yang berkualitas, selain ditentukan
oleh pemeliharaan dan pemupukan juga tergantung dari
cara mengatasi hama dan penyakitnya. Salah satu hama
utama tanaman kelapa sawit adalah kumbang penggerek
pucuk (Oryctes rhinoceros). Pengendalian kimiawi
merupakan salah satu cara yang sering dilakukan oleh
petani kelapa sawit karena insektisida kimia mempunyai
daya bunuh cepat, berspektrum luas sehingga segera
dapat dilihat hasilnya. Pengendalian hama dengan
insektisida kimiawi akan memberikan dampak positif
dengan matinya hama tetapi menimbulkan dampak
negatif seperti resistensi, resurgensi, dan letusan hama
kedua. Selain itu juga mengganggu kesehatan manusia
dan keseimbangan lingkungan, yang disebabkan oleh
residu yang tinggi pada komponen produksi dan
ekosistem (Erawati, 2009).
Pengendalian kumbang penggerek pucuk di lapang
dilakukan apabila populasi kumbang dan atau kerusakan
baru > 5 per ha dengan pengendalian kimiawi
menggunakan insektisida. Apabila populasi kumbang dan
kerusakan baru tersebut < 5 per ha maka insektisida yang
digunakan adalah
insektisida dengan bahan aktif
Karbosulfan dosis 5 g produk per pohon per 2 minggu
1
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
ditaburkan diketiak daun atau sipermetrin konsentrasi 2%
sebanyak 100 cc larutan per pohon disemprotkan dengan
knapsack sprayer mulai dari pucuk sampai 2 pelepah di
bawahnya (IMC Plantation, 2011). Penggunaan insektisida
kimia akan meningkatkan bahaya akumulasi residu kimia
sintetik pada lahan dan hasil produksi tanaman sehingga
bisa meningkatkan resiko kerusakan lingkungan.
Salah satu alternatif pengendalian hama yang aman
bagi lingkungan dan dapat menekan residu kimia pada
produk pertanian adalah dengan pengendalian hayati.
Erawati (2012) melaporkan bahwa pengendalian hama
dan penyakit tanaman tembakau dengan menggunakan
pengendali hayati tidak berpengaruh terhadap
produktivitas tanaman secara kuantitatif. Pengembangan
agensia hayati seperti B. bassiana untuk pengendali hama
serta Trichoderma sp. untuk pengendali penyakit
mempunyai potensi dan prospek baik karena bersifat
spesifik inang sehingga tidak berbahaya bagi manusia,
musuh alami maupun lingkungan. Biaya pengendalian
dapat ditekan karena pengendali hayati dapat diperbanyak
sendiri. Kelebihan yang lain adalah residu dan akumulasi
senyawa toksik yang berpotensi untuk mencemari
lingkungan sangat rendah karena agensia hayati bersifat
lebih mudah terurai.
Pengendali hayati yang mempunyai potensi besar
sebagai pengendali alami hama penggerek pucuk kelapa
sawit adalah cendawan entomopatogen Metarhizium
anisopliae dan Beauveria bassiana. Erawati (2006)
melaporkan bahwa hasil uji patogenesitas
jamur
entomopatogen Beauveria bassiana menunjukkan bahwa
prosentase kematian larva S. litura yang terinfeksi B.
bassiana strain 725 dengan kerapatan spora 107/ml
mencapai 32 % pada 48 jam setelah aplikasi dan mencapai
60 % pada 72 jam setelah aplikasi. Lebih lanjut Marheni,
dkk (2011) melaporkan bahwa aplikasi M. anisopliae
sebanyak 20 gram media jagung menunjukkan mortalitas
tertinggi larva O. rhinoceros sampai 100%. Kemampuan
cendawan entomopatogen dalam mematikan serangga
hama bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh karakter
fisiologi dan genetik cendawan (Trizelia, 2005 dalam
Hamdani, dkk., 2011).
Pengendali hayati M. anisopliae dan B. bassiana
dikenal sebagai cendawan entomopatogen yang
mempunyai kisaran inang yang luas, namun tetap
memiliki sifat spesifik inang dan spesifik lokasi sebagai
karakteristik khas pengendali hayati (Gabarty, et.all,
2011). Pengembangan teknologi pengendali hayati M.
anisopliae dan B. bassiana yang efektif dan efisien
sebagai pengendali hama O. rhinoceros sangat penting
untuk dapat meningkatkan produktivitas tanaman kelapa
sawit dengan tetap memperhatikan kualitas lingkungan
hidup. Hasil penelitian tahun 1 pada uji screening
menunjukkan bahwa Metarhizium anisopliae isolat
Jombang memiliki tingkat virulensi tertinggi dengan
mortalitas O. rhinoceros 80% pada 144 jam setelah
infeksi sedangkan B. bassiana mempunyai kecenderungan
lebih lambat mematikan O. rhinoceros karena sifat
spesifik inang dan spesifik lokasi (Erawati dan Wardati,
2015).
Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan
teknologi pengendalian hama kumbang kelapa sawit
(Oryctes rhinoceros) dengan eksplorasi dan aplikasi
pengendali hayati
Metarhizium anisopliae dan
Beauveria bassiana melalui uji laboratorium dan lapang.
Bab II. Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan Laboratorium Perlindungan
Tanaman, Laboratorium Biosain dan lahan penelitian
Politeknik Negeri Jember, mulai bulan Maret sampai
Oktober 2016. Penelitian disusun berdasar Rancangan
Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal dengan 6 (enam)
ulangan dengan faktor tunggal berupa paket pengendali
hayati, yaitu: 1). M. anisopliae Jember; 2). M. anisopliae
Jombang; 3). M. anisopliae Kedu; 4). B. bassiana Jember;
5). B. bassiana Jombang; 6). B. bassiana Kedu dengan
masing-masing konsentrasi kerapatan spora 109spora/ml
dan 7). insektisida kimia sintetik konsentrasi 2 mg/liter.
A. Persiapan Pengendali Hayati dan Serangga Uji
Persiapan bahan pengendali hayati M. anisopliae
dan B. Bassiana diperbanyak dengan media Pottato
Dextrose Agar (PDA). Pengendali hayati yang akan diuji
merupakan hasil pemurnian yang diambil dari kadaver
serangga uji yang positif terinfeksi pengendali hayati hasil
screening test.
Serangga uji yang akan diinfestasikan di lapang adalah
larva O. rhinoceros instar 3.
B. Aplikasi Perlakuan di Lapang
1. Larva uji berupa larva instar tiga O. rhinoceros
yang sebelumnya telah dilaparkan selama 24 jam.
2. Penetapan konsentrasi pengendali hayati M.
anisopliae dan B. bassiana dengan haemocytometer
untuk aplikasi di lapang sebesar 109 spora / ml untuk
setiap perlakuan pengendali hayati
3. Aplikasi perlakuan dengan menyiramkan 250
ml/tanaman TBM kelapa sawit dan 75 ml/tanaman
nursery dengan aplikasi tiap 2 minggu. Sedangkan
untuk perlakuan insektisida kimia dengan aplikasi
insektisida granular sesuai dosis anjuran tiap 2
minggu
Bab III. Hasil dan Pembahasan
A. Gejala Kematian Serangga Uji
Gejala kematian serangga uji dapat diidentifikasi
melalui aktivitas dan perubahan warna kutikula selama
proses mumifikasi pada serangga uji sebagai salah satu
2
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
tanda kematian yang disebabkan oleh infeksi pengendali
hayati M. anisopliae dan B. Bassiana. Larva instar 3 O.
rhinoceros yang sehat dan normal mempunyai ukuran
tubuh 10 -12 cm, memiliki 3 pasang kaki thorakal dan
rahang yang kuat. Larva mempunyai kutikula tubuh
berwarna putih dengan bagian kepala berwarna coklat
kehitaman.
Serangga uji yang terinfeksi M. anisopliae awalnya
masih aktif (gambar 1A). Ketika laju infeksi mulai
meningkat, kutikula berwarna pucat merata pada seluruh
tubuh dan larva uji akan mati dengan bagian posterior
mengecil (gambar 1B). Tubuh larva menjadi kaku dan
akan muncul hifa berwarna putih pada hari ke 2 setelah
mati, terutama pada bagian anterior dan posterior. Pada
hari ke 3 setelah mati, cendawan akan bersporulasi warna
hijau (gambar 1C). Tubuh kadaver tertutup cendawan
berwarna hijau pada hari ke 5 – 10 setelah mati (gambar
1D)
mampu membunuh serangga uji rata-rata sebesar 80% 100% pada hari ke 7 sampai hari ke 9 setelah infeksi.
Pengendali hayati M. anisopliae Jombang mempunyai
tingkat mortalitas tertinggi yaitu 60 % pada hari ke 5
setelah infeksi, 80% pada hari ke 6 setelah infeksi dan
100% pada hari ke 7 setelah infeksi. Perlakuan B. bassiana
menunjukkan mortalitas rata-rata 80% pada hari ke 9
setelah infeksi.
Mortalitas Serangga Uji (%)
150
100
50
0
A1
A2
5 hsi
6 hsi
A3
7 hsi
A4
8 hsi
A5
A6
9 hsi
Gambar 3. Histogram mortalitas serangga uji
A
B
C
D
Gambar 1. Tahapan gejala kematian larva uji akibat infeksi M.
anisopliae
Serangga uji yang terinfeksi B. bassiana akan
menurun aktivitasnya. Kutikula masih cerah mengkilat
dan ukuran tubuh masih normal (gambar 2A). Setelah
larva uji mati maka tubuh mengeluarkan cairan sehingga
tampak basah dan berbau seperti etanol. Sesaat setelah
larva uji mati, tubuh masih lemas dan belum kaku. Warna
kutikula pucat agak kecoklatan dan bagian posterior
berlekuk serta mengecil. Selanjutnya tubuh kadaver akan
tampak kusam, kering dan kaku serta mulai tumbuh hifa
terutama pada bagian thorak dan abdomen (gambar 2B
dan 2C).
Miselum berwarna putih akan tumbuh
menyelimuti tubuh kadaver setelah hari ke 7 – 12 (gambar
2D).
A
B
C
D
Gambar 2. Tahapan gejala kematian larva uji akibat infeksi B. bassiana
B. Mortalitas Serangga Uji
Daya infeksi merupakan kemampuan pengendali
hayati dalam mematikan serangga uji. Setiap perlakuan
memberikan pengaruh berbeda terhadap tingkat kematian
serangga uji yang tertera pada gambar 3
Gambar 3 memperlihatkan bahwa semua perlakuan
menyebabkan kematian pada serangga uji. M. anisopliae
M. anisopliae Jombang memberikan penekanan yang
paling tinggi terhadap mortalitas larva uji O. rhinoceros.
M. anisopliae Jombang efektif menyebabkan kematian
serangga uji diduga karena bersifat spesifik inang dan
spesifik lokasi. M. anisopliae Jombang diisolasi dari
larva Oryctes rhinoceros pada ketinggian tempat 0 – 70 m
dpl. Sedangkan M. anisopliae Kedu diisolasi dari larva
Lepidiota stigma dan M. anisopliae Jember diisolasi dari
larva Stephanoderes hampei. Hasil penelitian Sambiran
dan Hosang (2003 dalam Marheni, 2011) memperlihatkan
bahwa inang yang terbaik untuk berkembang M.
anisopliae adalah larva O. rhinoceros. Menurut Gabarty,
et.all., (2011), pengendali hayati M. anisopliae dikenal
sebagai cendawan entomopatogen yang memiliki kisaran
inang yang luas, tetapi masih memiliki sejumlah
karakteristik inang dan lokasi tertentu sebagai
karakteristik khas dari pengendali hayati.
Mekanisme infeksi M. anisopliae digolongkan
menjadi empat tahapan etiologi penyakit serangga. Tahap
pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara inokulum
jamur dengan tubuh serangga. Tahap kedua adalah proses
penempelan dan perkecambahan spora jamur pada
integumen serangga. Tahap ketiga adalah penetrasi dan
invasi, yaitu terbentuk tabung kecambah dan masuk
emnembus integumen serangga. Tahap keempat adalah
destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora
yang kemudian menyebar kedalam hemolimfa dan
membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan
lainnya. Setelah serangga mati, jamur tetap melanjutkan
siklus hidup dalam fase saprofitik dengan mengkoloni
tubuh inang dan produksi spora infektif (Freimoser, et. all,
2003 dalam Marheni, 2011).
3
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Infeksi B. bassiana berjalan
lambat karena
mekanisme infeksi dimulai dengan melekatnya konidia
pada kutikula larva uji kemudian berkecambah dan
tumbuh didalam tubuh inang. Serangga yang terinfeksi
menunjukkan gejala awal seperti serangga menjadi lemah,
kepekaan dan aktivitas makan menjadi berkurang yang
lambat laun serangga akan mati. Kematian serangga
menandai berakhirnya fase parasit dari perkembangan
jamur. Selanjutnya miselia akan tumbuh secara saprofit
memenuhi seluruh jaringan tubuh serangga (Ferron, 1981
dalam Erawati, 2009).
produksi dan meningkatkan kualitas produksi. Hal ini
sesuai dengan program Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) yang mempunyai sasaran meningkatkan kuantitas
dan kualitas produksi, mempertahankan kestabilan
produksi sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani
dengan tetap mempertahankan keberadaan hama pada
tingkat yang tidak merugikan sekaligus memperhatikan
kualitas lingkungan hidup
Bab IV. Kesimpulan
1. Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana dari
Kedu,
Jombang, Jember berpotensi sebagai
pengendali hayati O. rhinoceros
2. Metarhizium anisopliae Jombang memiliki tingkat
virulensi tertinggi dengan mortalitas O. rhinoceros
80% pada 144 jam setelah infeksi
C. Intensitas Serangan
Ucapan Terimakasih
D. Pertumbuhan Tanaman
Aplikasi pengendali hayati dan insektisida tidak
mempengaruhi rerata jumlah daun TBM kelapa sawit
seperti yang diperlihatkan pada gambar 4. Hasil ini
menunjukkan bahwa aplikasi pengendali hayati masih
mampu mempertahankan pertumbuhan tanaman.
Pengendali hayati akan meningkatkan kestabilan alami
ekosistem dan mendukung keberadaan musuh alami yang
lain pada lahan dan petak penelitian. Beberapa jenis
musuh alami selain pengendali hayati yang diaplikasikan
banyak ditemukan di petak penelitian. Keberadaan musuh
alami pada ekosistem akan mendukung pengendalian
alami berjalan dengan seimbang dan populasi hama bisa
dipertahankan pada batas yang tidak merugikan.
Jumlah Daun
10
5
0
A1
A2
A3
Blok I
A4
A5
A6
Blok II
Blok III
Blok IV Blok V
Blok VI
A7
Gambar 4. Diagram batang jumlah daun TBM kelapa sawit
Pola pengendalian hama kumbang kelapa sawit O.
rhinoceros dengan paket pengendalian hayati dan
insektisida yang diaplikasikan setiap 2 minggu dapat
diterapkan oleh petani karena dapat mempertahankan
Penelitian dilaksanakan dengan dana dari Direktorat
Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kementerian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk kegiatan
Penelitian Hibah Bersaing dengan nomor kontrak
0004.3/023-01.0/-/2016.
Daftar Pustaka
Erawati, D.N. 2006. Patogenisitas Nematoda dan Jamur Entomopatogen
Terhadap Spodoptera litura F. Jurnal Ilmiah Inovasi. 6 (3) :
228-235.
Erawati, D.N. dan Siti Humaida. 2009. Prospek Agens Hayati Bacillus
thuringiensis dan Beauveria bassiana dalam Usahatani
Tembakau VO. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Tepat
Guna Agroindustri. Politeknik Negeri Lampung : 183-187
Erawati, D.N. 2009. Infeksi Agens Hayati Entomopatogen terhadap
Gejala kematian dan Perilaku Spodoptera litura F. Prosiding
Seminar Nasional Peran Agroteknologi Untuk Meningkatkan
Produksi Tanaman Perkebunan. Fakultas Pertanian Universitas
Jember : 322-328.
Erawati, D.N, Irma W, Cherry T and Siti H . 2012. Improvement of
Biological Control Technology Package by Environment Vision
on Kasturi Tobacco Farm Management. Prosiding Seminar
Internasional The Impacts of Regulations on Tobacco Control.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember : 316-321.
Erawati, D.N dan Irma Wardati. 2015
Gabarty, A, H.M. Salem, A.A. Ibrahim. 2014. Pathogenicity Induced by
The Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana and
Metarhizium anisopliae in Agrotis ipsilon (Hufn). Journal of
Radiation Research and
Gomes, K.A. dan A.A. Gomes. 1995. Prosedur Statistik untuk
Penelitian Pertanian (terjemahan oleh E. Sjamsudin dan J.S.
Baharsjah). UI-Press. Jakarta.
Hamdani, Yaherwandi dan Trizelia. 2011. Potensi Cendawan
Entomopatogen Indigenus Sebagai Pengendali Hayati Hama
Penggerek Buah Kakao Conomorpha cramerella SNELL.
Jurnal Manggaro Vol. 12 (2) 75 – 80
Harjaka, T., E. Martono, Witjaksono dan B.H. Sunarminto. 2011. Potensi
Jamur Metarhizium anisopliae untuk Pengendalian Uret
Perusak Akar Tebu. Seminar Nasional Pesnab IV. Jakarta
4
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Rev. by
van der Laan. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta.
Marheni, Hasanuddin, Pinde dan W. Suziani. 2011. Uji
Patogenesis Jmaur Metarhizium anisopliae dan Cordyceps
militaris terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa
(Oryctes rhinoceros) di Laboratorium.
Jurnal Ilmu
Pertanian KULTIVAR Vol. 5 ( 1 ) : 32 – 40
Pahan, I. 2010. Kelapa Sawit : Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Robert, D.W. 1981. Toxins of Entomopathogenic Fungi dalam H.D
Burges (Ed.) Microbial Control of Pest and Plant Diseases.
Academic Press Inc.New York
5
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Model Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar
Kawasan Hutan Kabupaten Jember
Endro Sugiartono#1, Wenny Dhamayanthi*2,
Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember# dan Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember
Sumbersari, Jember
1endro0870@gmail.com
2wennydhamayanthi@gmail.com
Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember
Sumbersari, Jember
Abstract
Berdasarkan hasil penelitian tahun pertama yang telah merumuskan 3 hasil, yaitu : kondisi modal sosial (social capital),
modal manusia (human capital) masyarakat dan modal fisik (physical capital) di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember, tingkat
keterlibatan masyarakat dalam proses pemberdayaan di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember dan faktor-faktor yang mempengaruhinya,
serta sarana yang harus diperbaiki untuk meningkatkan efektivitas program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten
Jember, maka permasalahan penelitian pada tahun kedua ini, mengangkat Model dan strategi pemberdayaan masyarakat seperti apa yang
efektif atau sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember yang berpotensi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan? Penelitian ini bertujuan untuk Menentukan implementasi model dan strategi
pemberdayaan masyarakat yang efektif bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember sesuai dengan kondisi dan potensi
lokal. Penelitian dilakukan pada masyarakat sekitar kawasan hutan di Kabupaten Jember selama 8 bulan. Hal ini dilakukan karena
mengingat ruang lingkup kajian penelitian yang cukup luas. Metode analisis yang digunakan yaitu Perumusan model dan strategi
pemberdayaan masyarakat yang efektif bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember sesuai dengan kondisi dan potensi
lokal. Data yang digunakan merupakan data primer yang didapatkan dari wawancara dengan responden dan nara sumber yang
kompeten. Selain itu data juga diperoleh dengan pengamatan dan dokumentasi. Data sekunder berupa studi literatur dan data dari
instasi terkait. Output yang diharapkan dalam penelitian ini nantinya akan menjadi masukan untuk pemberdayaan masyarakat
sekitar hutan di Kabupaten Jember.
Keyword: Pemberdayaan masyarakat
I. PENDAHULUAN
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang
berperan dalam menjaga, mempertahankan dan
meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan tanah.
Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat
nadi kehidupan manusia. Agar tata lingkungan hidup
terjamin kelestariannya, maka pengurusan hutan yang
berkelanjutan harus menampung dinamika aspirasi dan
peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai
masyarakat berdasarkan pada norma hukum lokal dan
nasional agar pendayagunaannya dilakukan seoptimal
mungkin bagi kesejahteraan umat manusia. Paradigma
baru pembangunan kehutanan saat ini menekankan
bahwa hutan harus dipandang sebagai sumber daya secara
komprehensif
dengan
menitik
beratkan
pada
pembangunan
kehutanan
bersama
masyarakat
(community development). Dengan demikian salah satu
pendekatan pembangunan kehutanan adalah melibatkan
partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat
merupakan konsep pembangunan ekonomi yang
merangkum nilai-nilai social yang meruapakan cermin
dari pradigma baru pembangunan kehutanan yang
bersifat “people centered, participatory, empowering,
and sustainable”.
Tujuan akhir dari proses pemberdayaan masyarakat
adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar
dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan
mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya. Daya,
kekuatan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat
secara memadai akan mendorong masyarakat untuk
dapat mengakses sumber-sumber daya produktif,
mandiri dalam pengambilan keputusan dan percaya diri
dalam bertindak.
Strategi pengembangan pemberdayaan masyarakat di
sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember, yang dapat
dikembangkan adalah : menyempurnakan proses
pemberdayaan dengan meningkatkan keterlibatan
masyarakat
dalam tahapan proses pemberdayaan,
meningkatkan kemampuan pelaku pemberdayaan,
6
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
terutama terkait dengan ketrampilan dan sikap
keberpihakan pada masyarakat dan penguatan modal
sosial masyarakat, untuk meningkatkan kemampuan
pelaku pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan
melalui kegiatan pelatihan, kursus, seminar dan lain
sebagainya, sedangkan untuk menguatkan modal sosial
masyarakat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan,
pendampingan dan pelibatan masyarakat dalam proses
pemberdayaan secara optimal dengan tujuan untuk
menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kerjasama,
saling percaya, mentaati norma, kepedulian terhadap
sesama dan keikutsertaan dalam aktivitas organisasi
sosial masyarakat; Materi pemberdayaan masyarakat
sekitar kawasan hutan yang dapat dikembangkan
diantaranya adalah : Peningkatan produktivitas pertanian
rakyat, Peningkatan produktivitas dan daya saing
perkebunan rakyat, Peningkatan kemampuan masyarakat
terhadap usaha peternakan rakyat, Peningkatan peran
serta masyarakat dalam pengelolaan hutan, Peningkatan
kemampuan kerajinan rakyat, Hutan rakyat kemitraan.
Oleh karena itu, upaya pemberdayaan masyarakat
merupakan salah satu alternatif untuk mengangkat harkat
dan martabat masyarakat di sekitar kawasan hutan
Kabupaten Jember secara berkelanjutan. Berdasarkan
uraian hasil kegiatan penelitian tahap pertama setelah
mengetahui alternatif strategi dan model pemberdayaan
masyarakat di kawasan hutan Kabupaten Jember, maka
permasalahan yang dirumuskan adalah bagaimanakah
implementasi strategi dan model pemberdayaan
masyarakat yang efektif untuk dikembangkan di kawasan
hutan Kabupaten Jember? Tujuan penelitian di tahun
kedua ini adalah Menentukan implementasi model dan
strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif bagi
masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember
sesuai dengan kondisi dan potensi lokal.
II.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode
penelitian survai (survey research) dengan pendekatan
metode kuantitatif dan kualitatif, sedangkan subyek
penelitian ini adalah masyarakat di sekitar kawasan hutan
Kabupaten Jember. Penggunaan metode kuantitatif
bertujuan agar penelitian menjadi lebih luas dan terukur
sedangkan penggunaan pendekatan kualitatif bertujuan
agar dapat melihat permasalahan lebih utuh, mendalam
dan komperehensif. Kajian empiris ini adalah menilai
sejauh mana efektivitas kegiatan pemberdayaan
masyarakat di sekitar kawasan hutan. Kajian efektivitas
ditunjukkan untuk mempelajari efektivitas pencapaian
pemberdayaan masyarakat yang selama ini sudah
dilakukan khususnya pengaruh dan efektivitas progamprogram intervensi sosial ekonomi terhadap kelampok
masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember.
Partisipasi masyarakat dalam mendukung keamanan dan
kelestarian kawasan juga menjadi salah satu parameter
yang diukur.
Sebagaimana telah diuraikan pada tujuan penelitian, maka
penelitian yang diusulkan ini dilaksanaan dalam periode
waktu selama 8 (delapan) bulan. Perumusan model dan
strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif bagi
masyarakat di sekitar kawasan hutan Kabupaten Jember
sesuai dengan kondisi dan potensi lokal. Untuk perumusan
strategi yang lebih tepat digunakan analisis Strenght,
Weakness, Opportunity and Threat (SWOT). Analisis
dilakukan untuk membandingkan faktor eksternal peluang
dan tantangan dengan faktor internal kekuatan dan
kelemahan (Rangkuti 2002). Unsur-unsur SWOT diberi
bobot (nilai) kemudian dihubungkan untuk memperoleh
beberapa alternatif strategi dengan rangking tertinggi
merupakan alternatif strategi kebijakan peningkatan
pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan di
Kabupaten Jember. Setelah dilakukan analisa SWOT
kemudian dilanjutkan dengan Analisa Hirarki Proses
(AHP) untuk menentukan strategi kebijakan dalam rangka
pemberdayaan masyarakat, dimana variabel-variabel
dimasukkan kedalam suatu susunan hierarki, yang
memberi pertimbangan numerik pada pertimbangan
subyektif tentang relatif pentingnya variabel dan
mensintesis berbagai pertimbangan untuk menetapkan
variabel yang memiliki prioritas relatif yang tertinggi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Model dan Bentuk Pemberdayaan Masyarakat
Model Efektif Pemberdayaan Masyarakat
Perumusan model pemberdayaan masyarakat sekitar
kawasan hutan bertujuan untuk menyederhanakan faktorfaktor yang secara konseptual didukung oleh beberapa
kajian teori yang relevan dan mampu menjelaskan
keadaan suatu sistem. Faktor-faktor yang menjadi
komponen model pemberdayaan warga masyarakat terdiri
dari faktor input, process, output dan outcame. Faktor
input terdiri dari modal fisik, modal manusia, dan modal
sosial, faktor yang berfungsi sebagai process adalah
kemampuan pelaku pemberdayaan dan proses
pemberdayaan, sedangkan faktor output adalah tingkat
keberdayaan masyarakat dan faktor outcame adalah
masyarakat sejahtera dan hutan lestari.
Faktor-faktor yang ada dalam model pemberdayaan
warga masyarakat yang dibangun berdasarkan teori dan
logika, dianalisis berdasarkan data empirik yang
dikumpulkan dari hasil survei, pengamatan, wawancara,
indepth interview dan Focus Grup Discussion (FGD).
Tingkat keberdayaan masyarakat dapat ditingkatkan
melalui perbaikan proses pemberdayaan warga
masyarakat terutama pelibatan masyarakat dalam proses
perencanaan dan pelaksanaan program dan meningkatkan
kemampuan pelaku pemberdayaan, terutama terkait
peningkatan ketrampilan dan sikap keberpihakan pada
7
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
masyarakat. Secara empirikal model hubungan dan
besarnya pengaruh faktor-faktor modal fisik, modal
manusia, modal sosial, kemampuan pelaku pemberdayaan
dan proses pemberdayaan terhadap keberdayaan warga
masyarakat.
Agar model efektif pemberdayaan dapat meningkatkan
keberdayaan warga masyarakat, maka dikembangkan
strategi sebagai berikut; pertama, menyempurnakan
proses pemberdayaan dengan meningkatkan keterlibatan
masyarakat dalam tahapan proses pemberdayaan
meningkatkan kemampuan pelaku pemberdayaan,
terutama terkait dengan ketrampilan dan sikap
keberpihakan pada masyarakat dan penguatan modal
sosial masyarakat; kedua, untuk meningkatkan
kemampuan pelaku pemberdayaan masyarakat dapat
dilakukan melalui kegiatan pelatihan, kursus, seminar dan
lain sebagainya; dan ketiga, untuk menguatkan modal
sosial masyarakat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan,
pendampingan dan pelibatan masyarakat dalam proses
pemberdayaan secara optimal dengan tujuan untuk
menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kerjasama,
saling percaya, mentaati norma, kepedulian terhadap
sesama dan keikutsertaan dalam aktivitas organisasi sosial
masyarakat dan keempat, perlu disadari bahwa selain
variabel yang diungkapkan dalam modal ini masih ada
variabel di luar model dan diduga mempengaruhi
keberdayaan masyarakat, seperti tingkat pendapatan,
dinamika kelompok, penegakan hukum dan sebagainya.
Bentuk Pemberdayaan Masyarakat
Model efektif pemberdayaan yang telah dirumuskan
dari perpaduan faktor modal fisik, modal manusia, modal
sosial, kemampuan pelaku pemberdayaan, dan proses
pemberdayaan diharapkan dapat dilaksanakan, sehingga
tercipta masyarakat yang berdaya, berkekuatan atau
berkemampuan dalam menolong dirinya sendiri. Dari
hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut
belum memadai/cenderung menurun. Oleh karena itu,
perlu upaya-upaya tertentu untuk merumuskan materi dan
bentuk pemberdayaan warga masyarakat yang berpotensi
menguatkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas
faktor-faktor tersebut, sehingga tujuan terciptanya
masyarakat berdaya dan hutan lestari dapat tercapai.
Materi
pemberdayaan
masyarakat
tentunya
disesuaikan dengan kondisi, potensi dan sumber daya
yang dimiliki masyarakat sekitar kawasan hutan. Materi
pemberdayaan warga masyarakat ke depan perlu
diarahkan pada:
a. Peningkatan Produktivitas Pertanian Rakyat
Sistem pertanian yang dilakukan masyarakat sekitar
kawasan hutan pada umum sistem pertanian lahan kering
(berladang/tegalan). Masyarakat terbiasa menanam
tanaman pangan berupa jagung, umbi-umbian dan kacangkacangan. Sistem pertanian yang ada masih tradisional
sehingga perlu adanya campur tangan pihak lain terutama
pemerintah dan pihak swasta agar usaha pertanian
masyarakat dapat maju.
Ke depan sasaran pertanian ladang harus diarahkan
pada terciptanya sektor pertanian ladang yang maju,
efisien, dan tangguh. Untuk mencapai sasaran tersebut
diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas, sarana
dan prasarana yang mendukung serta tersedianya
teknologi perladangan yang tepat guna agar masyarakat
dapat melakukan kegiatan perladangan dengan efisien,
produktif, dan tidak merusak hutan. Dengan demikian,
masyarakat sekitar kawasan hutan yang bermata
pencaharian sebagai petani (peladang) akan memiliki
kekuatan ekonomi dari hasil ladangnya dan menjadikan
ladangnya sebagai investasi ekonomi masa depan yang
menjanjikan.
b. Peningkatan produktivias dan daya saing perkebunan
rakyat
Masyarakat sekitar kawasan hutan di samping
memiliki ladang/tegalan juga hampir setiap kepala rumah
tangga memiliki lahan perkebunan.
c. Peningkatan kemampuan masyarakat terhadap usaha
peternakan rakyat.
Masyarakat sekitar kawasan hutan memiliki kebiasan
memelihara ternak dari turun temurun. Ternak yang
mereka pelihara umumnya adalah unggas, kambing dan
sapi. Kendala yang dihadapi masyarakat sekitar kawasan
hutan dalam mengembangkan ternaknya adalah
ketersediaan pakan dan lahan penggembalaan yang kurang
memadai. Sasaran pembangunan peternakan rakyat
sebaiknya diarahkan agar usaha -usaha rakyat dapat maju,
efisien, dan tangguh. Pencapaian sasaran tersebut perlu
dilakukan langkahlangkah sebagai berikut: (1)
meningkatkan kemampuan dan penguasaan masyarakat
terhadap teknologi peternakan, terutama tentang bibit
unggul, pembuatan kandang, pemberian pakan,
pencegahan penyakit ternak, penyediaan pakan ternak
yang berkelanjutan, pemasaran telur dan daging, dan cara
pengusahaan ternak untuk meningkatkan pendapatan
peternak; (2) menyediakan sarana dan prasarana
transportasi dan pemasaran melalui kerjasama antar
peternak dalam koperasi ternak serta pengusaha; (3) untuk
ternak-ternak besar yang memerlukan lapangan
pengembalaan perlu disediakan lahan pengembalaan
tertentu. Dengan demikian diharapkan para peternak akan
semakin berdaya dan berdampak pada peningkatan
kesejahteraan keluarganya.
d. Peningkatan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan hutan.
Perencanaan pemanfaatan sumberdaya hutan harus
mengikutsertakan masyarakat di lingkungan dalam arti
yang seluas-luasnya. Bentuk pengelolaan hutan di
kawasan hutan dilakukan bersama masyarakat dengan
menerapkan sistem kemitraan. Kemitraan yang dimaksud
adalah pemerintah, swasta, pemerhati lingkungan, LSM
dan masyarakat merupakan tim kerja yang memiliki
8
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
fungsi, peran, hak dan tanggungjawab yang jelas.
Pemerintah memberi kesempatan kepada masyarakat yang
ada sekitar kawasan hutan sebagai pelaku utama program
pengelolaan hutan seperti program penghijauan dan
rehabilitasi di kawasan hutan serta penanaman komoditas
kayu jati di lahan milik masyarakat. Pemerintah
menyiapkan sarana dan prasarana, biaya, tenaga ahli dan
perangkat hukum yang berpihak pada rakyat dan
kelestarian lingkungan. Salah satu program pemberdayaan
masyarakat di sekitar kawasan hutan yang digagas dan
dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Jember adalah program rehabilitasi lahan di
luar kawasan hutan yang tidak produktif, hutan rakyat
untuk tanaman pangan dan program pemanfaatan
sumberdaya lahan di bawah tegakan seperti jahe, tales,
porang (iles-iles dll). Sedangkan pihak swasta bermitra
dengan masyarakat dalam hal pemasaran serta penyediaan
modal, tenaga ahli dan pembukaan lapangan kerja baru.
Mekanisme pelaksanaan kemitraan pembangunan
hutan antara pembangunan kawasan hutan ex pembalakan
liar atau perambahan (dalam kawasan hutan lindung) dan
lahan miliki masyarakat harus berbeda. Untuk
pembangunan hutan di dalam kawasan hutan lindung
sebaiknya bertujuan memaksimumkan peranan hutan
dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup,
bentuk hutan yang dibangun hendaknya tidak mengarah ke
monokultur melainkan ke arah hutan campuran berbagai
jenis dan bukan hutan seumur. Jenis-jenis kayu utama
dalam hutan campuran adalah jenis kayu yang tidak
memiliki produksi kayu ekonomi tinggi tetapi tanaman
kayu penghasil komoditas perdagangan seperti, pisang,
kelapa, nangka, durian dan sebagainya atau tanaman kayu
yang memiliki fungsi lindung terhadap ketersediaan air
dan kesuburan tanah.
Masyarakat berpartisipasi dalam penanaman,
pemeliharaan dan pemanfaatan hasilnya (non kayu),
pemerintah menyediakan sarana dan prasarana, dana,
tenaga ahli dan prangkat hukum yang terkait dengan
pengelolaan kawasan hutan lindung yang berpihak pada
kelesetarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Pada
lahan masyarakat ditanami hutan campuran berbagai jenis
dan bukan hutan seumur. Jenis-jenis kayu utama dalam
hutan campuran tersebut adalah jati, mahoni dan tanaman
kayu jenis lokal seperti jabon, (tanaman yang memiliki
nilai ekonomi tinggi) serta tanaman penghasil komoditas
perdagangan seperti pisang, kelapa, nangka, durian dan
sebagainya. Pada pengelolaan hutan di lahan masyarakat
pemerintah sebaiknya memainkan peran seperti pada
pengolahan hutan di kawasan hutan lindung, sedangkan
pihak swasta berperan dalam pengolahan pasca panen dan
pemasaran serta penguatan kelembagaan lokal. Jika pola
pengelolaan hutan di sekitar dan di dalam kawasan hutan
dilakukan secara baik oleh semua pihak, maka dan jangka
panjang tujuan untuk memberdayakan masyarakat dan
melestarikan kawasan hutan akan terealisasi.
e. Peningkatan kemampuan kerajinan rakyat.
Masyarakat, terutama ibu-ibu rumah tangga dan anak
gadis yang memiliki keterampilan kerajinan dapat
memanfaatkan keterampilannya. Masyarakat, terutama
ibu rumah tangga dengan keterbatasan yang ada tidak
menurunkan niat untuk terus menekuni pekerjaan tersebut
yang mereka yakini. Tujuan utama pemberdayaan
masyarakat melalui keterampilan kerajinan adalah
menjadikan pengrajin yang memiliki pengetahuan dan
ketrampilan yang memadai agar mereka menjadi
pengrajin yang tangguh dan memiliki daya saing yang
tinggi, menjadikan kerajinan sebagai salah satu komoditi
unggulan masyarakat dan kerajinan tenun merupakan
sumber pendapatan keluarga alternatif.
Agar sasaran tercapai, maka pemerintah perlu
melakukan langkah- langkah sebagai berikut; (1)
melakukan promosi tentang hasil kerajinan masyarakat
kepada pihak-pihak lain; (2) mengalokasikan dana melalui
APBD untuk penyediaan peralatan dan peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan para pengrajin agar hasil
mereka dapat bersaing di pasaran; (3) menciptakan kondisi
investasi yang kondusif dan kemudahan birokrasi bagi
para investor yang ingin menanamkan modalnya di sektor
kerajinan; (4) mendorong instansi dan pihak-pihak terkait
untuk melakukan pembinaan secara intensif kepada
masyarakat pengrajin; dan (5) menjadikan hasil kerjinana
masyarakat sebagai produk unggulan. Tercapainya
sasaran tersebut diharapkan mempunyai dampak positif
terhadap
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat,
khususnya masyarakat di kawasan sekitar hutan.
Berdasarkan uraian di atas, maka bentuk
pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan,
khususnya hutan rakyat adalah pendampingan,
pembinaan, pelayanan, pelatihan, kursus, bantuan modal
usaha, penyediaan infrastrukur dan penyediaan sarana
produksi yang berhubungan dengan profesi dan kondisi
sosial budaya serta potensi yang dimiliki masyarakat.
Beberapa potensi yang dapat dikembangkan adalah tinggi
jumlah penduduk usia produktif, adanya kemauan
masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan terhadap profesinya, lahan pertanian belum
diolah secara optimal, dan masyarakat masih memiliki
modal sosial yang relatif kuat. Pendampingan dan
pembinaan yang dimaksud terkait dengan teknologi
produksi dan inovasi teknologi pengolahan hasil, selain itu
juga pelatihan teknis pengelolaan dan pengembangan
usaha yang juga termasuk di dalamnya terkait dengan
pemasaran hasil. Hal ini khususnya terkait dengan potensi
wilayah dua kecamatan lokasi penelitian yaitu kecamatan
Arjasa dan Ledokombo. Mengingat hutan rakyat di
kecamatan ini sangat potensial untuk dikembangkan
budidaya dan pengolahan tanaman porang (iles-iles). Oleh
karena itu, agar potensi ini dapat dikembangkan maka
diperlukan dukungan semua pihak, terutama pemerintah
dalam hal penyedian sarana dan prasarana pendukung
9
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
yang memadai dan pembiayaan serta bersama-sama pihak
swasta, LSM, pemerhati lingkungan dan masyarakat untuk
melakukan
kegiatan
pendampingan,
pembinaan,
pelayanan, pelatihan dan kursus yang berpotensi
meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotorik masyarakat agar mereka kreatif, inovatif,
optimis, percaya diri, dan bertanggungjawab dalam setiap
tutur dan tindakannya.
(8)
(9)
(10)
IV. KESIMPULAN
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor modal fisik,
modal manusia, modal sosial, kemampuan pelaku
pemberdayaan dan proses pemberdayaan belum
memadai/cenderung menurun. Oleh karena itu, perlu
upaya-upaya tertentu untuk merumuskan materi dan
bentuk pemberdayaan warga masyarakat yang berpotensi
menguatkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas
faktor-faktor tersebut, sehingga tujuan terciptanya
masyarakat berdaya dan hutan lestari dapat tercapai.
Model pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan
hutan, khususnya hutan rakyat adalah pendampingan dan
pembinaan.
Pendampingan dan pembinaan yang
dimaksud terkait dengan teknologi produksi dan inovasi
teknologi pengolahan hasil, selain itu juga pelatihan teknis
pengelolaan dan pengembangan usaha yang juga termasuk
di dalamnya terkait dengan pemasaran hasil. Hal ini
khususnya terkait dengan potensi wilayah dua kecamatan
lokasi penelitian yaitu kecamatan Arjasa dan Ledokombo.
Mengingat hutan rakyat di kecamatan ini sangat potensial
untuk dikembangkan budidaya dan pengolahan tanaman
porang (iles-iles).
(11)
http://poverty.worldbank.org/library/subtopic/5038
Error! Hyperlink reference not valid.
Creswell, J.W. 2008. Educational Research :
Planning, Conducting, And Evaluating Quantitative
And Qualitative Research. New Jersey Pearsonn.
Nurrohmat Dan Dodik, R 2005. Strategi Pengelolaan
Hutan : Upaya Menyelamatkan Rimba Yang
Tersisa. Penerbit Pustaka Pelajar. Jogjakarta.
Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Fakultas
Kehutanan UGM. 2007. Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM). Kolaborasi Antara Masyarakat
Desa Hutan Dengan Perum Perhutani. Perhutani
dalam pengelolaan sumbedaya hutan di jawa.
Sidu, D. 2007. Pemberdayaan masyarakat sekitar
hutan di mamuju. Disertasi. PPS. Institute Pertanian
Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
(1) Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan
Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta:
Lembaga Penerbit FEUI.
(2) Alder, P.S. & W.K. Seok. 20002. ”Social Capital:
Prospect for a New Concept”. Academy of
management Journal. Vol. 27. No. 1: 17
(3) Azwar, S. 2001. Reliabilitas dan Validitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bahtiar, C. 2005.
Investasi Sosial. Jakarta: LaTofi Enterprise.
(4) (BPS) Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten
Jember Dalam Angka.
(5) Bachrach P. Dan M.S. Baratz. 1970. Power and
Poverty: Theory and Parctice. New York: Oxford
University Press.
(6) Budi, R. 2005. “Membincangkan Modal Sosial”.
(Article on-line). Didapat dari http://www.pikiranrakyat.Com/cetak/2005/0205
(7) Coleman, J. 1998. ”Social Capital in the Creation of
Human
Cpaital”.
(Articleon-line).
10
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Kajian Potensi dan Strategi Pengembangan
Agribisnis di Kawasan Pesisir Kabupaten
Jember
Taufik Hidayat#1, Retno Sari Mahanani*2, Dewi Kurniawati3
Jurusan Manajemen Agrbisnis, Politeknik Negeri Jember#1 dan Jurusan Manajemen Agrbisnis, Politeknik Negeri Jember3
Sumbersari, Jember
1mastaufik05@gmail.com
3dewidewikurniawati@gmail.com
*
Jurusan Manajemen Agrbisnis, Politeknik Negeri Jember2
Kebonsari, Jember
2retno7089@gmail.com
Abstract
Kajian terhadap pengembangan ekonomi masyarakat kawasan pesisir Kabupaten Jember memiliki potensi sebagai kekuatan dan peluang,
disamping kendala sebagai kelemahan dan ancaman. Kekuatannya, yaitu: tenaga kerja cukup tersedia, usia potensial, tingkat pendidikan
dan ketekunan/motivasi; peluangnya, yaitu: potensi Sumber Daya Ikan (SDI), kesempatan kerja di bidang perikanan terbuka, keberadaan
koperasi dan dukungan pemerintah daerah; Kelemahannya, yaitu: keterbatasan teknologi, akses permodalan, akses pemasaran, tidak
berkembangnya kelompok masyarakat pesisir dan keterbatasan fasilitas penunjang usaha perikanan; dan Ancamannya, yaitu: harga ikan
rendah, harga BBM tinggi, Cuaca dan musim yang buruk; dan llegal Fishing.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan tujuan menyusun strategi pola pengembangan ekonomi masyarakat berbasis agribisnis
sesuai potensi masing-masing di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember dengan menggunakan metode analisis SWOT. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masyarakat di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember memiliki potensi sebagai kekuatan dan peluang, kekuatannya yaitu:
tenaga kerja (SDM) cukup tersedia, usia potensial, tingkat pendidikan dan ketekunan/motivasi tinggi; peluangnya, yaitu: potensi SDI,
kesempatan kerja di bidang perikanan terbuka.
Hasil analsis SWOT telah dirumuskan tujuh alternatif perbaikan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir di Kabupaten Jember, yaitu:
pengembangan teknologi dan skala usaha perikanan, pengembangan akses permodalan, pengembangan akses pemasaran, penguatan
kelembagaan masyarakat pesisir, pembangunan sarana prasarana penunjang usaha perikanan, pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis
masyarakat, pengembangan diverisifikasi pengolahan ikan.
Keywords : Agribisnis, Kawasan Pesisir, Pemberdayaan,
I. PENDAHULUAN
Pembangunan daerah telah membuktikan bahwa
kebutuhan sumberdaya alam semakin banyak dan
senantiasa menghadapi berbagai kendala yang semakin
serius, terutama di kawasan pesisir. Kabuapten Jember
memiliki beberapa kawasan pesisir yang terletak di
sepanjang pesisir pantai selatan dan memiliki potensi
cukup besar pada hasil perikanan, dimana dalam
perkembangannya menjadi bagian dari pendorong
pertumbuhan ekonomi daerah, hal ini ditandai dengan
ramainya aktifitas di sepanjang kawasan pesisir tersebut,
dari permukiman yang padat, wisata pantai, hingga sektor
industri.
Kabupaten Jember mencakup wilayah seluas 3.293,34
km2 dengan kondisi alam pegunungan yang berbatasan
dengan lautan, sehingga menjadi kelebihan, khususnya
berkaitan dengan sektor pariwisata serta potensi sektor
kelautan dan perikanan.
Kawasan pesisir Kabupaten Jember memiliki prospek
pengembangan ekonomi ditinjau dari potensi yang
dimilikinya, seperti lokasi yang strategis dan dukungan
wilayah sekitarnya Namun sejauh ini, masih merupakan
suatu pertanyaan apakah peningkatan aktivitas di kawasan
pesisir Kabupaten Jember tersebut akan mengganggu
fungsi ekologis kawasan dan apakah akan berdampak
lebih buruk dimasa mendatang.
Fenomena yang terjadi di kawasan pesisir Kabupaten
Jember dengan potensi sumberdaya alam yang besar dan
melimpah saat ini belum mampu berkontribusi terhadap
pengembangan perekonomian sebagaian masyarakat.
Untuk itu, maka membutuhkan suatu strategi peningkatan
aktivitas perikanan untuk memberdayakan masyarakat
dalam meningkatkan pendapatan agar lebih berperan
dalam lingkup lokal, regional, maupun nasional.
Salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan
11
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
masyarakat pesisir dengan melakukan diversifikasi
usaha diluar usaha pokok yang ada dengan cara
menerapkan teknologi yang tepat guna. Dalam konteks
diversifikasi tersebut, kegiatan kenelayanan tetap
dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan yang
bisa di manfaatkan pada saat yang tepat. Usaha tersebut
tetap
dalam kerangka agribisnis yang berorientasi
mendapatkan tambahan pendapatan bagi masyarakat
dengan melakukan kegiatan program pemberdayaan
masyarakat.
Pemberdayaan adalah sebagai proses memampukan dan
memandirikan masyarakat yang didasarkan pada unsurunsur budaya yang ada dalam masyarakat (Hikayat, 2001).
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang berdiam dan
mengembangkan kehidupan sosial di perairan laut atau
dekat perairan laut dan secara khas menghabiskan
sebagian besar masa hidupnya di atas perairan laut. Jadi
pemberdayaan ekonomi saat ini perlu dilakukan melalui
proses yang sistemik. Sehingga dampak pemberdayaan ini
dalam jangka panjang masyarakat akan benar-benar
mandiri secara ekonomi.
Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti
memberdayakan
kelompok-kelompok
masyarakat
lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak
kelompok kehidupan masayarakat diantaranya masyarakat
nelayan tangkap, nelayan pengumpul/bakul , nelayan
buruh dan nelayan tambak (Departemen Kelautan dan
Perikanan.2001).
Menurut Kusnadi Dkk (2007), indikator masyarakat
nelayan yang memiliki keberdayaan adalah tercapinya
kesejahteraan social ekonomi, kelembagaan ekonomi
berfungsi maksimal dan aktivitas ekonomi kontinuitas dan
stabil, kelembangaan sosail budaya berfungsi dengan baik,
potensi sumberdaya lingkungan sebagai basis kehidupan
masyarakat pesisir terpelihara kelestraianya dan bisa di
manfaatkan secara berkelanjutan, berkembangnya
kemampuan akses masyarakat dalam sumberdaya
ekonomi :informasi, pasar, teknologi dan jaringan
kemitraan, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan pembangunan di kawasan pesisir,
kawasan pesisir menjadi pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi wilayah dan ekonomi nasional yang dinamis
serta memiliki daya tarik inverstasi
Tujuan dari penelitian ini adalah menyusun strategi pola
pengembangan ekonomi masyarakat berbasis agribisnis
sesuai dengan potensi masing-masing di Kawasan Pesisir
Kabupaten Jember.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada kawasan pesisir Kabupaten.
Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja
(purposive) atas dasar pertimbangan bahwa masingmasing kawasan pesisir yang ada di Kabupaten Jember
memiliki potensi dan karakteristik yang berbeda
A. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian terdapat 3 (tiga)
tahapan yang dilakukan, yaitu tahap sebelum pengambilan
data di lapangan, tahap pengumpulan data primer, tahap
pengumpulan data sekunder .
B. Analisis Data
Analisis data terkait dengan perumusan Strategi Pola
Pengembangan Agribisnis Kawasan Pesisir Kabupaten
Jember menggunakan analisis
strenght, weakness,
opportunity and threat (SWOT). Analisis SWOT
digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan dari faktor internal serta peluang dan ancaman
dari factor eksternal. Data untuk analisis faktor internal
dan factor eksternal didapat melalui wawancara dengan
responden.
Hasil dari analisis SWOT kemudian diolah
menggunakan Matriks SWOT. Matriks SWOT digunakan
untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan
Strategi Pola Pengembangan Agribisnis Kawasan Pesisir
Kabupaten Jember. Menurut Rangkuti (2001:31) Analisis
SWOT digambarkan ke dalam Matriks SWOT dengan 4
kemungkinan alternatif strategi, yaitu stategi kekuatanpeluang (S-O strategies), strategi kelemahanpeluang (WO strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T strategies),
dan strategi kelemahan-ancaman (WT strategies).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Masyarakat di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember
memiliki potensi sebagai kekuatan dan peluang,
disamping kendala sebagai kelemahan dan ancaman.
Kekuatannya, yaitu: tenaga kerja cukup tersedia, usia
potensial, tingkat pendidikan dan ketekunan/motivasi;
peluangnya, yaitu: potensi SDI, kesempatan kerja di
bidang perikanan terbuka.
A. Perumusan Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir
Perumusan strategi pemberdayaan masyarakat di
kawasan pesisir Kabupaten Jember secara berkelanjutan,
tentunya tidak hanya dilihat dari segi aspek ekonomi
semata tetapi perlu mempertimbangkan aspek
keberlanjutan usaha perikanan lainnya, seperti
sumberdaya ikan, tekonologi, sosial dan kelembagaan
lokal. Dengan demikian mencari perbaikan strategi
pemberdayaan masyarakat pesisir diperlukan model yang
mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dari
berbagai aspek, baik internal maupun eksternal. Metode
tersebut adalah dengan menggunakan analisis SWOT
yang dapat mengkaji faktor-faktor internal dan eksternal
yang mempengaruhi terhadap pengembangan model
pemberdayaan masyarakat.
Faktor internal yang dimaksud merupakan faktor yang
mempengaruhi secara langsung kegiatan pemberdayaan
masyarakat di kawasan pesisir di Kabupaten Jember yang
terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Sedangkan faktor
eksternal merupakan faktor dari lingkungan yang turut
12
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
mempengaruhi kegiatan pemberdayaan masyarakat di
kawasan pesisir Kabupaten Jember yang terdiri dari
peluang dan ancaman.
B. Evaluasi Faktor Strategis Internal
Berdasarkan hasil analisis terhadap keragaan
potensi ekonomi masyarakat peisir Jember diperoleh
faktor internal utama yang dapat menjadi kekuatan dan
kelemahan pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir
Kabupaten Jember, disajikan pada Tabel I :
TABEL I
PENILAIAN KEKUATAN DAN KELEMAHAN MASYARAKAT
PESISIR DI KABUPATEN JEMBER
Parameter
kunci
Tenaga
kerja
cukup
tersedia
Usia
Potensial
Masyaraka
t Pesisir
(KMP)
Indikator
Kabupaten jember mempunyai 5 kawasan pesisir
yang berada di pesisir selatan Moyoritas
penduduknya yang tinggal di kawasan pesisir
dengan menggantungkan sumberdaya pesisir
dan laut
Sebagian besar responden masyarakat pesisir
berusia dibawah 50 tahun dan merupakan usia
potensial dalam menjalankan usahanya masingmasing
Ketekunan
/motivasi
Masyarakat Pesisir Mayoritas tingkat pendidikan
masyarakat pesisir (responden) cukup berpotensi
(SMP dan SMA) dalam mengembangkan
usahanya
Masyarakat Pesisir Sebagian besar nelayan
gillnet, dan pedangang ikan telah berpengalaman
dalam menggeluti usahanya
Teknologi
dan usaha
perikanan
masih
sederhana
Keterampilan nelayan diperoleh dari turun
temurun. Pengetahuan operasi penangkapan
masih tergolong rendah, sehingga hasil
tangkapan yang didapat tidak seperti yang
diharapkan dan kurang maksimal
Tingkat
Pendidikan
Lemahnya
permodala
n usaha
perikanan
Keterbatas
an Akses
Pemasaran
Organisasi
/Kelompok
Masyaraka
t
Sebagian besar nelayan termasuk nelayan skala
kecil. Hal ini disebabkan lemahnya permodalan
untuk pengembangan usaha dan teknologi.
Tempat Pelelangan ikan (TPI) sampai saat ini
masih belum berfungsi maksimal, kondisi ini
menyebabkan nelayan tidak memiliki alteratif
lain untuk menjual ikannya selain kepada
pedagang pengumpul. Hal ini menyebabkan daya
tampung pembelian ikan menjadi terbatas dan
harga ikan menjadi rendah.
Pemanfaat Program PEMP memfasilitasi
masyarakat pesisir untuk terlibat dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan melalui
pembentukan KMP di desa-desa pesisir. Melalui
Kelompok-kelompok ini diharapkan menjadi
wadah
berorganisasi
mereka
untuk
meningkatkan posisi tawar nelayan. Kondisi KMP
belum berfugsi semestinya, dibentuk hanya
untuk mendapat DEP
S/W
S1
Parameter
kunci
Keterbatas
an fasilitas
penunjang
usaha
perikanan
Indikator
Fasilitas penunjang usaha perikanan masih
terbatas,seperti TPI dan Pabrik Es masih tidak
berfungsi. Nelayan sering melaut tanpa es
sehingga kualitas ikan cepat rusak sehingga
nelayan tidak berani melaut lebih dari satu hari
Keterangan :
S
Weakness(Kelemahan)
Peluang
kesempatan
kerja di bidang
perikanan
Koperasi
(kelembagan
masyarakat)
W1
W2
Strength(kekuatan)
W
=
TABEL II
PENILAIAN PELUANG DAN ANCAMAN USAHA MASYARAKAT PESISIR DI
KABUPATEN JEMBER
S3
S4
=
W5
C. Evaluasi Faktor Strategis Eksternal
Berdasarkan hasil analisis keragaan potensi ekonomi
masyarakat peisir Jemberdiperoleh faktor eksternal yang
mempengaruhi pemberdayaan masyarakat baik yang
secara langsung maupun tidak langsung. Faktor eksternal
berpengaruh positif adalah peluang dan berpengaruh
negatif adalah ancaman, disajikan pada Tabel II :
Parameter Kunci
S2
S/W
Dukungan
kebijakan
pemerintah
daerah
Indikator
O/T
Kegiatan penangkapan ikan di yang
berkembang pada tahun memberikan
kesempatan untuk membuat lapangan
pekerjaan yang baru, khususnya bagi
masyarakat pesisir pantai yang bekerja
sebagai petani. Selain itu, terbukanya
peluang di bidang budidaya laut, wisata
bahari dan usaha perikanan lainnya
Koperasi merupakan kelembagaan
masyarakat yang berguna mendukungan
permodalan usaha perikanan. berfungsi
juga sebagai LKM mengelola kegiatan
simpan pinjam bagi anggotanya.
Kedepannya lembaga dapat menjadi
motor
pengerak
pemberdayaan
masyarakat pesisir
Kebijakan pemerintah yang kuat
terhadap pembangunan masyarakat
pesisir, seperti dukungan terhadap
program PEMP, penyediaan dana
pendamping program dan peningkatan
infrastruktur
penunjang
usaha
perikanan
O2
O3
O4
T1
W3
Harga ikan rendah
W4
Harga BBM tinggi
Mekanisme pasar belum teratur dengan
baik dan tidak ada standar harga dasar
ikan.
Tidak
berfungsinya
TPI
menyebabkan nelayan menjual ikannya
kepada pe ga ba’ de ga
harga
rendah
Kenaikan
harga
BBM
telah
menyebabkan melambungnya biaya
operasional usaha perikanan tangkap,
sehingga banyak nelayan beralih profesi
ke bidang non perikanan (agribisnis
pertanian)
13
T2
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Parameter Kunci
Cuaca dan musim
yang buruk
Kegiatan
penangkapan
ikan
bersifat
merusak
dan IUU
Indikator
O/T
Usaha perikanan skala kecil sangat
dipengaruhi musim.
T3
T4
Penurunan SDI karena destruktif dan
illegal fishing yang dilakukan nelayan
luar daerah dan asing
Keterangan reting : O = Opportunities (Potensi) A = Threats
(Ancaman)
D. Penilaian Faktor Internal dan Eksternal
Untuk mengukur pengaruh faktor internal dan
eksternal
terhadap usaha perikanan dalam rangka
perbaikan pemberdayaan masyarakat pesisir digunakan
model matriks internal factors analysis summary (IFAS)
dan matriks eksternal factors analysis summary (EFAS).
Berdasarkan analisis IFAS, memberikan gambaran bahwa
keadaan internal masyarakat sebenarnya dapat mengatasi
berbagai permasalahan internal usaha agribisnis perikanan
masyarakat pesisir.
Hasil perhitungan IFAS menunjukkah bahwa faktor
internal yang memiliki kekuatan utama dalam
peningkatan pendapatan masyarakat, yaitu :
(1) Tenaga kerja cukup tersedia;
(2) Usia potensial masyarakat pesisir;
(3) Tingkat pendidikan masyarakat pesisir; dan
(4) Ketekunan/motivasi masyarakat pesisir.
Sedangkan kelemahan utama dalam peningkatan
pendapatan masyarakat, yaitu:
(1) Lemahnya permodalan;
(2) Teknologi usaha perikanan masih sederhana;
(3) Keterbatasan akses pemasaran,
(4) Keterbatasan sarana prasarana penunjang
perikanan dan
(5) Kelompok masyarakat pesisir.
Hasil analisis EFAS menunjukkah bahwa faktor
eksternal
utama
yang
mempengaruhi
stretegi
pemberdayaan, yaitu:
(1) potensi SDI belum dimanfaatkan;
(2) peluang kesempatan kerja;
(3) Koperasi (kelembagaan); dan
(4) dukungan pemerintah.
Sedangkan ancaman yang utama, yaitu:
(1) harga ikan rendah;
(2) Harga BBM tinggi;
(3) Cuaca dan musim buruk; dan
(4) kegitan penangkapan ikan yang merusak dan
illegal fishing.
Dari Hasil analsis SWOT telah dirumuskan tujuh
alternatif perbaikan strategi pemberdayaan masyarakat
pesisir di Kabupaten Jember, yaitu:
1. Pengembangan teknologi dan skala usaha
perikanan.
2. Pengembangan akses permodalan.
3. Pengembangan akses pemasaran.
4. Penguatan kelembagaan masyarakat pesisir
5. Pembangunan sarana prasarana penunjang usaha
perikanan.
6. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis
masyarakat.
7. Pengembangan diverisifikasi pengolahan ikan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Masyarakat di Kawasan Pesisir Kabupaten Jember
memiliki potensi sebagai kekuatan dan peluang,
disamping kendala sebagai kelemahan dan ancaman.
Kekuatannya, yaitu: tenaga kerja cukup tersedia, usia
potensial, tingkat pendidikan dan ketekunan/motivasi;
peluangnya, yaitu: potensi Sumber Daya Ikan (SDI),
kesempatan kerja di bidang perikanan terbuka, keberadaan
koperasi
dan
dukungan
pemerintah
daerah;
Kelemahannya, yaitu: keterbatasan teknologi, akses
permodalan, akses pemasaran, tidak berkembangnya
kelompok masyarakat pesisir dan keterbatasan fasilitas
penunjang usaha perikanan; dan Ancamannya, yaitu:
harga ikan rendah, harga BBM tinggi, Cuaca dan musim
yang buruk; dan llegal Fishing.
DAFTAR PUSTAKA
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
E. Perumusan Perbaikan
Masyarakat Pesisir
Strategi
Pemberdayaan
(13)
(BPS) Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Jember Dalam
Angka.
Bachrach P. Dan M.S. Baratz. 1970. Power and Poverty: Theory
and Parctice. New York: Oxford University Press.
Hermanto F. 1989. Ilmu Usaha Tani. Jakarta: PT. Penebar Swadaya
Hikmat A, 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung:
Humaniora Utama Press. 240 hlm.
Nikijuluw PHV. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan:
P3R. Jakarta: Pustaka Cidesindo. 254 hlm.
Nurani TW. 2008. Analisis SWOT (Strength, Weakness,
Opportunities, and Threats). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 20 hlm
Nurrohmat Dan Dodik, R 2005. Strategi Pengelolaan Pesisir.
Penerbit Pustaka Pelajar. Jogjakarta.
Rangkuti R. 2002. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 188 hlm.
Saaty, Thomas L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para
Peminpin. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 202 hlm.
Satria A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan: Formasi Sosial
dan Mobilitas Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press. 153
hlm.
Sidu, D. 2007. Pemberdayaan masyarakat kawasan pesisir di
mamuju. Disertasi. PPS. Institute Pertanian Bogor.
Siswanto B. 2008. Kemiskinan dan Perlawanan Kaum nelayan.
Malang: Laksbang Mediatama. Hlm 193-216.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R &
D. Ed ke-2. Bandung: Alfabeta. 306 hlm.
14
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Struktur Bayesian Network untuk Penentuan
Class Karakteristik Siswa pada Sistem Tutor
Cerdas
Ika Widiastuti#1, Ratih Ayuninghemi#2
#
Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip Po Box 164 Jember
1
2
ikajcm10@gmail.com
ratihayuninghemi@gmail.com
Abstract
Sistem Tutor Cerdas atau Intelligent Tutoring System (ITS) merupakan sebuah program komputer berbasis instruksional yang
dapat menyesuaikan konten pembelajaran sesuai dengan respon dari siswa (student). Agar sistem dapat merespon pengguna
dengan memberikan output yang sesuai, maka diperlukan suatu metode Bayesian Network untuk menentukan karakteristik
pengguna (user). Paper ini akan membahas mengenai bagaimana membangun struktur Bayesian network yang tepat untuk
penentuan kelas (class) karakteristik siswa pada sistem tutor cedas.
Keywords— Bayesian Network, Class, Sistem Tutor Cerdas.
I. PENDAHULUAN
Dalam rangka mengembangkan media pembelajaran
yang
bervariasi,
pada
penelitian
ini
akan
mengimplementasikan suatu media pembelajaran online
(elearning) berbasis Intelligent Tutoring System sebagai
salah satu alternatif media pembelajaran non
konvensional. E- Learning withIntelligent Tutoring
System yang dimaksud adalah suatu perangkat lunak
(software) dalam bentuk media pembelajaran yang
mengaplikasikan teknik-teknik kecerdasan buatan
(Artificial Intelligent) pada pengajaran (education).
Perangkat lunak (software) ini bertindak sebagai tutor
yang mengetahui apa yang diajarkan, siapa yang mereka
ajar,
bagaimana
mengajarkan,
dan
mampu
mengidentifikasi karakteristik kemampuan mahasiswa
sehingga seolah-olah perangkat lunak atau program
komputer ini cerdas (Intelligent).
Elearning yang berbasis ITS membutuhkan penentu
karakteristik dari masing-masing siswa sehingga bisa di
adaptasikan kebutuhan tiap siswa sesuai dengan
kemampuan siswa tersebut. Hal ini menunjukkan
dibutuhkan sebuah classifier yang mampu memberikan
keputusan (inference) apakah siswa tersebut termasuk
kategori easy. Intermediate atau hard.
Inferensi dalam sebuah Bayesian Network didapat dari
hubungan setiap node yang ada pada struktur Bayesian
tersebut. Untuk setiap perubahan yang terjadi dari sebuah
node maka juga akan mempengaruhi nilai probabilitas dari
node node yang lain, yang secara langsung maupun tidak
langsung berhubungan dengan node tersebut.
Makalah ini difokuskan membahas bagaimana sebuah
struktur Bayesian network pada penetuan karakteristik
siswa yang ditentukan berdasarkan data training yang
telah didapat sebelumnya. Pembahasan makalah ini
merupakan bagian dari penelitian pengembangan media
pembelajaran online (elearning) berbasis Intelligent
Tutoring System.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Tutor Cerdas
Sistem Tutor Cerdas atau Intelligent Tutoring System
(ITS) merupakan sebuah program komputer yang
mempunyai kecerdasan dalam melakukan pembelajaran.
ITS mencoba meniru mimik manusia dalam mengajar dan
memberikan tanya jawab ke pengguna[1]. ITS dapat
menilai kemampuan pengguna dan memberikan materi
sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki pengguna. ITS
mirip pengajar (tutor) virtual yang berusaha mengadopsi
pengajar yang asli[2].
Sistem Pembelajaran Cerdas (Intelligence Tutoring
System, ITS) adalah suatu sistem yang memanfaatkan
teknik tingkat lanjut dalam mendeskripsikan dan
meningkatkanproses pengajaran. Walaupun demikian
pemahaman sistem pembelajaran cerdas telah berkembang
menjadi suatu sistem yang mampu “memahami” dan
15
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
berlaku selayaknya pengajar. Sistem pembelajaran cerdas
memberikan fleksibilitas dalam mempresentasikan materi
dan kemampuan memahami karakteristik siswa yang lebih
besar. Kecerdasan sistem pembelajaran cerdas
diwujudkan dalam kemampuan pedagogignya untuk
menyampaikan materi sesuai karakteristik siswa yang
diajarnya, memberikan tugas, dan menilai kemampuan
siswa.
ITS merupakan sistem pengajaran berbantuan
komputer yang mengandunginformasi mengenai pelajar,
dan berupaya menyesuaikan kandungan dan strategi
pengajaran mengikuti kesesuaian pelajar. Tujuan utama
ITS adalah untuk melaksanakan kaedah pengajaran secara
satu ke satu di antara pengajar dengan pelajar. Untuk dapat
melaksanakan pengajaran secara satu ke satu, sistem ITS
harus mampu untuk mengenali pelajar tersebut dan
membina suatu model mengenai tahap pengetahuan,
kemahiran dan kehendak mereka. Sistem harus dapat
memberi arahan atau bahan pengajaran secara individu
kepada setiap pelajar. Ciri inilah yang membedakan antara
sistem pengajaran dan pembelajaran berbantuan komputer
dengan sistem tutorial cerdas. Gambar 1 menunjukkan
modul-modul dalam ITS dan hubungannya dengan siswa
yaitu Domain Pengetahuan, Modul Pedagogik, Modul
Adaptasi, Modul Antarmuka, serta pemodelan siswa [3]
Gambar 1. Modul Program ITS [3]
B. Bayesian Network
Pemikiran Bayesian menyediakan sebuah pendekatan
probabilistic untuk mendapatkan suatu inference atau
kesimpulan . Inference dalam sebuah Bayesian Network
didapat dari hubungan setiap node yang ada pada struktur
Bayesian tersebut. Untuk setiap perubahan yang terjadi
dari sebuah node maka juga akan mempengaruhi nilai
probabilitas dari nodenode yang lain, yang secara
langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan
node tersebut. Sebagai contoh perhatikan gambar 4 yang
menggambarkan sebuah struktur Bayesian Network
tentang penyakit dan penyebabnya. Gambar 4. Struktur
BN Penyakit pada Paru-paru Pada gambar 4, dapat dilihat
bahwa node “Kanker_paruparu” berhubungan secara
langsung dengan node “Tuberculosis”, dan node
“Tuberculosis” berhubungan juga dengan node
“Mengunjungi_Asia”.
Dengan
asumsi
bahwa
Tuberculosis adalah salah satu penyebab kanker paru-paru
dan mengunjungi Asia dapat meningkatkan peluang
terkena Tuberculosis, maka saat nilai peluang true untuk
node “Mengunjungi_Asia” semakin tinggi maka semakin
tinggi pula nilai peluang true dari node “Kanker_paruparu”[4].
Gambar 2. Contoh Bayesian netwok[4]
1)
Topologi Jaringan Bayesian Network: Dalam
kaitannya dengan struktur jaringan yang terdapat pada
Bayesian Network terdapat tiga jenis topologi atau tiga
tipe koneksi yaitu koneksi serial, koneksi divergen dan
koneksi convergen. Identifikasi topologi jaringan berguna
untuk menentukan ketergantungan informsi diantara
node-node yang terdapat pada Bayesian network [5].
Koneksi Serial
Gambar 3 merupakan ilustrasi dari tipe koneksi
serial. Nilai Node A akan mempengaruhi
probabilitas node B dan nilai node B akan
mempengaruhi probabilitas node C, demikian juga
sebaliknya node C akan mempengaruhi probabilitas
B dan nilai node B akan mempengaruhi probabilitas
A. Tetapi pada saat nilai B diketahui, maka jalur
antara A dan C akan terputus sehingga A dan C
menjadi independent (saling tidak mempengaruhi).
Kondisi ini menyebabkan A d-separated dengan C
karena B diketahui nilainya.
A
B
C
Gambar 3. Koneksi Serial
Koneksi Divergen
Koneksi Divergen seperti ditunjukkan pada gambar
4, informasi dapat mengalir pada semua jalur yang
ada dari A ke setiap node anaknya yakni B, C, D, E
dan F jika nilai dari A tidak diketahui. Namun ketika
16
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
nilai A diketahui maka jalur-jalur yang berada pada
node anak A akan terputus sehingga B, C,…, F akan
menjadi saling tidak tergantung. Kondisi tersebut
menyebabkan B, C,…, F d-separated karena nilai A
diketahui.
A
B
F
C
D
E
Gambar 4. Koneksi Divergen
Koneksi Konvergen
Pada struktur dengan tipe koneksi konvergen seperti
yang diilustrasikan pada gambar 5, jika tidak ada
informasi yang diketahui pada node A, maka
informasi diantara node-node parent dari A yaitu B,
C, ..,F akan independent, sehingga nilai yang berada
pada node-node parent tersebut tidak akan
mempengaruhi probabilitas node-node lain. Tetapi
ketika nilai dari A diketahui maka node-node parent
akan mempengaruhi node parent yang lain.
C
D
B
E
F
A
Gambar 5. Koneksi Konvergen
2)
Algoritma untuk Membangun Struktur Bayesian
networks: Algoritma yang dapat digunakan dalam
membangun struktur Bayesian Network dapat dibagi
menjadi dua kategori yaitu (1) Algoritma yang
menggunakan suatu metode pencarian untuk membangun
model dan mengevaluasi model tersebut berdasarkan
suatu nilai skor. Algoritma ini disebut juga dengan
“Scoring Based Algorithm”. (2) Algoritma yang
membangun struktur Bayesian Network dengan
menganalisa hubungan ketergantungan yang terdapat
diantara node-node/ variabel/ atribut data. Hubungan
ketergantungan yang tersebut diukur dengan melakukan
pengujian bebas bersyarat. Algoritma ini membangun
struktur Bayesian Network dengan mengidentifikasi
hubungan bebas bersyarat yang terdapat diantara nodenode. Algoritma ini disebut jug adengan “CI Algorithm”
yang merupakan bagian dari kategori “Constrain Based
Algorithm”. Contoh algoritma yang termasuk kategori ini
adalah TPDA (Three Phase Dependency Analysis)
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan
perangkat lunak yang dapat mengidentifikasi karakteristik
siswa (user) menggunakan Bayesian Network. Penelitian
ini mempelajari struktur Bayesian network yang tepat
untuk mengidentifikasi karakteristik siswa berdasarkan
data training yang diperoleh dari observasi terhadap 30
rang mahasiswa.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah output
penelitian
yaitu
perangkat
lunak
yang
mengimplementasikan struktur Bayesian network dapat
diterapkan pada media pembelajaran online (elearning)
sehingga elearning yang dikembangkan tidak hanya
mengelola konten pembelajaran saja melainkan dapat
menyajikan konten pembelajaran serta evaluasi sesuai
dengan karakteristik siswa (student).
IV. METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini, Bayesian Network digunakan
untuk modelling user, karena dapat menghasilkan
penilaian dengan memanfaatkan informasi pada pengguna
serta secara eksplisit mengungkapkan prediksi
ketidakpastian perilaku pengguna. Tugas utama yang
harus dilakukan ketika membangun model klasifikasi
berdasarkan Bayesian Network yaitu pembelajaran dalam
membangun struktur DAG (directed acyclic graph) dan
pembelajaran untuk menghitung CPT (Conditional
Probability Table).
Ada dua pendekatan pembelajaran (learning) yang
dapat dilakukan untuk membangun struktur Bayesian
networks yaitu (1) Scored Based yaitu menggunakan
metode pencarian untuk mendapatkan struktur yang cocok
dengan data, dimana proses konstruksi dilakukan secara
iteratif, dimulai dari sebuah graf tanpa edge kemudian
menggunakan metode pencarian untuk menambahkan
sebuah edge pada graf dan berhenti ketika tidak ada
struktur baru yang lebih baik daripada struktur
sebelumnya. (2) Constrain Based (Dependency Analysis)
yaitu mengidentifikasi/menganalisa hubungan bebas
bersyarat (conditional independence CI) antar atribut
dimana CI menjadi “constrain” dalam membangun
struktur Bayesian Network.
Metodologi yang digunakan merupakan langkah
langkah penentuan sebuah struktur dari Bayesian network
seperti yang ditunjukkan pada gambar 6.
17
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pengumpulan Data
(Data Training)
Penentuan Variabel
Atribut dan Goal
Pembuatan Struktur
atau Network
Perhitungan
Probabilitas antar
Network
Gambar 6. Kerangka Metodologi Penelitian
1) Pengumpulan Data (Data Training)
Data diperoleh dari aktivitas akademik yang telah
dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Teknologi Informasi
Politeknik Negeri jember dan sudah menghasilkan suatu
nilai.
2) Penentuan Variabel atribut dan Goal
Merepresentasikan hubungan kausalitas diantara variabelvariabel yang terdapat pada struktur Bayesian network.
3) Pembuatan Struktur atau Network
Mengidentifikasi/menganalisa hubungan bebas bersyarat
(conditional independence CI) antar atribut dimana CI
menjadi “constrain” dalam membangun struktur Bayesian
Network.
4) Perhitungan Probabilitas antar Network
Menghitung nilai probabilitas yang ada pada struktur
Bayesian Network.
Bayesian Network adalah sebuah “directed acyclic
graph” (DAG) dengan sebuah tabel probabilitas untuk
setiap node. Node yang terdapat pada Bayesian Network
merupakan representasi variabel proporsional dalam suatu
domain dan garis menunjukkan hubungan ketergantungan
diantara variabel-variabel. Dalam hal kaitannya dengan
basisdata, pada Bayesian Network, node merupakan
representasi dari atribut-atribut tabel yang ada pada basis
data
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
1) Pengumpulan data
Data yang diperoleh adalah data nilai test dan nilai
tugas. Nilai test terdiri dari nilai UTS, nilai UTS, nilai
Ujian Praktikum dan Nilai Quiz, sedangkan nilai tugas
terdiri dari nilai tugas harian, tugas praktikum dan tugas
proyek akhir matakuliah. Setiap data tersebut berupa data
numerical oleh karena kebutuhan penelitian ini
membutuhkan data bertipe diskrit maka perlu dilakukan
normalisasi dengan merubahnya menjadi data linguistic
yang sekaligus akan dilakukan pada tahapan selanjutnya
2) Penentuan Variabel
Pada tahap ini diawali dengan melakukan normalisasi
data dengan cara menetukan threshold pada masingmasing nilai sehingga menjadi jelas batasan yang akan
dibuat sekaligus menjawab proses tahap kedua ini yaitu
penentuan variable. Hasil normalisasi sebagai berikut :
a. Variabel Nilai Test dengan parameter Rendah (050), sedang (51-75), Tinggi (76-100)
b. Variabel Nilai Tugas dengan parameter Rajin
(60-100) dan Tidak Rajin (0-59)
c. Variabel Class yang menjad Goal terdiri dari
parameter Easy , Intermediate dan High.
Didapakan sebanyak 50 data set yang diambil dari proses
penilaian.
3) Pembuatan Struktur Bayesian
R
S
T
E
I
H
T
R
R
Gambar 7. Struktur Bayesian ITS
Layer pertama menunjukan variable Nilai Test
dengan parameter Rendah (R) , Sedang (S), Tinggi (T),
layer kedua menunjukan Variabel Class (goal) dengan
parameter Easy(E), Intermediate (I), High (H), Variabel
Nilai Tugas pada layer ketiga yang terdiri dari parameter
Tidak Rajin (TR) dan rajin (R).
Struktur Bayesian pada gambar 7 merupakan contoh
dari sebagian data training yang telah didapat yaitu
diambil sebanyak 8 kondisi yaitu :
Tabel 1. Contoh 7 dari 50 dataset
Nilai Test (NT) Tugas Kuliah (TK)
Class (C)
Rendah
Tidak Rajin
Easy
Rendah
Rajin
Easy
Rendah
Tidak Rajin
Easy
Sedang
Rajin
High
Sedang
Tidak Rajin
Intermediate
Tinggi
Rajin
High
Tinggi
Tidak Rajin
Intermediate
Tinggi
Tidak Rajin
Intermediate
18
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Jika ingin membuat suatu uji coba dengan data
yang lebih banyak dan bervariasi maka hasilnya
akan berbeda Karena relasi antar node pada
struktur Bayesian Network ditentukan berdasarkan
kondisi atau aturan dalam dataset tersebut.
Oleh karena itu struktur Bayesian sangat
dipengarui oleh pola data yang diperoleh diawal.
4) Perhitungan Probabilitas
Pada tahap ini akan dilakukan perhitungan bobot
masing-masing probabilitas pada tiap node dan
probabilitas semua variable. Hasil perhitungan
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Probabilitas dan Bobot
Probabilitas
P (R)
P (S)
P (T)
P (TR)
P (R)
P (E|R)
P (E| ~R)
P (I|S)
P (I|~S)
P (I|T)
P (I|~T)
P (H|S)
P (H~|S)
P(H|T)
P(H|~T)
P(E|TR)
P(E|~TR)
P(E|R)
P(E|~R)
P(I|TR)
P(I|~TR)
Bobot
0.38
0.25
0.38
0.63
0.38
1.00
0.00
0.50
0.50
0.67
0.33
0.50
0.50
0.33
0.67
0.40
0.60
0.33
0.67
0.60
0.40
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Politeknik Negeri
Jember yang telah mendanai penelitian ini serta
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Jauhari J, Ibrahim M, Intelligent Tutoring System sebagai Upaya
Inovatif dalam Pembelajaran untuk Pembelajaran Berbantuan
Komputer, Jurnal GENERIC Vol.5 No.2 2010.
Samuelis L, The Component for Intelligent Tutoring Systems,
Departement of Computer Science and Informatics, Technical
University of Kosice Letne, Slovakia
Sumpeno S, Safrodin M, Hariadi M, Purnomo M H, Sistem Tutor
Cerdas Menggunakan Jaringan Bayesian dan Perangkat
Semantik, Jurnal Ilmiah Ilmu Komputer, Vol 7 No 2:221-229
2011.
Variq, Sumpeno S, Hariadi M, Purnomo M H, Sistem Tutor
Cerdas Menggunakan Bayesian Network, Digital Library Institut
Teknologi Sepuluh November 2010.
Zhang N L, Introduction to Bayesian Network, Department of
Computer Science and Engineering, Hongkong University of
Science and Technology 2008.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Adapun kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut :
a. Sebuah struktur Bayesian dihasilkan dari sebuah
data training yang antar variabelnya punya
keteraitan atau sebuah relasi
b. Struktur Bayesian sangat dipengarui oleh
banyaknya dan variasi relasi data training.
c. Banyaknya node pada struktur Bayesian didapat
dari variasi antar variabel terhadap class atau goal
d. Nilai bobot probabilitas dipengarui oleh struktur
yag terbentuk pada struktur Bayesian.
Saran untuk penelitian selanjutnya variasi dan
banyaknya data lebih dibuat kompleks agar dapat
menunjukan performas Bayesian network dalam
melakukan clssifikasi.
19
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Penggunaan Metode Fuzzy Dalam Sistem
Informasi Geografis Untuk Pemetaan Daerah
Rawan Banjir
Di Kabupaten Jember
Nugroho Setyo Wibowo#1, Dwi Putro Sarwo Setyohadi#2, Hariyono Rakhmad#3
Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember
1nugroho@polije.ac.id
Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember
3dwi.putro.sarwo.setyohadi@gmail.com
Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember
2hr_poltek@yahoo.com
Abstract
Sistem informasi geografis daerah rawan banjir kabupaten Jember merupakan sebuah sistem yang dapat memberikan informasi
mengenai daerah rawan banjir pada masing-masing kecamatan yang berada di kabupaten Jember dimana daerah rawan tersebut
diperoleh berdasarkan perhitungan fuzzy tsukamoto. Sistem ini mengimplimentasikan informasi ke dalam bentuk peta digital
dengan tujuan lebih mempermudah penyampaian informasi. Data yang digunakan diperoleh dari BPBD (Badan Penanggulangan
Bencana Daerah) dan BPEKAP (Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten) Jember yang kemudian diolah menjadi sebuah
sistem yang sesuai dan tepat guna. Informasi daerah rawan banjir, sarana kesahatan, serta data kejadian yang mendahului
merupakan keluaran dari sistem ini.
Keywords—Sistem Infromasi Geografis, Banjir, Fuzzy Tsukamoto
I. PENDAHULUAN
Memasuki musim penghujan di wilayah Indonesia
khususnya mempunyai efek yang berpengaruh, baik bagi
kelangsungan fauna dan flora khususnya, mengingat
Indonesia memiliki iklim tropis. Namun demikian,
perubahan iklim global dan banyak perusakan alam oleh
manusia, musim penghujan bukan lagi menjadi hal baik,
namun dapat bersifat merusak jika berakhir dengan banjir,
longsor, dan lainnya. Untuk itu, mencegah adalah hal yang
lebih baik daripada harus memperbaiki akibat kerusakan
yang diakibatkan oleh bencana tersebut khususnya banjir.
Bencana merupakan suatu kejadian yang mana dapat
menimbulkan korban jiwa, kerugian material dan
kerusakan lingkungan. Bencana dapat terjadi karena faktor
alam maupun faktor manusia. Bencana alam yang sering
melanda wilayah di Indonesia salah satunya adalah banjir.
Banjir merupakan fenomena alam dimana terjadi
kelebihan air yang tidak tertampung oleh jaringan drainase
di suatu daerah sehingga menimbulkan genangan yang
merugikan. Kerugian yang diakibatkan banjir seringkali
sulit diatasi baik oleh masyarakat maupun instansi terkait.
Banjir disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu
kondisi daerah tangkapan hujan, durasi dan intesitas hujan,
land cover, kondisi topografi, dan kapasitas jaringan
drainase.
Kabupaten Jember merupakan salah satu kabupaten di
Jawa Timur yang rentan terhadap gerakan tanah dan
mempunyai curah hujan tinggi. Pada tanggal 1 Januari
2006, hujan yang berintensitas tinggi (178 mm/ hari),
menyebabkan gerakan tanah yang berkembang menjadi
banjir bandang sehingga menimbulkan kerugian dan
kerusakan di berbagai bidang (Sudradjat dkk, 2006). Hal
ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap
karakteristik ancaman, sikap atau perilaku yang
mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya alam, dan
kurangnya
informasi/peringatan
dini.
Sehingga
menyebabkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan dalam
menghadapi bencana.
Salah satu upaya mencegah dan mengurangi dampak
dari bencana banjir yaitu dengan tersedianya informasi
yang dikemas kedalam bentuk peta digital terhadap daerah
20
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
rawan banjir, yang dapat digunakan untuk perencanaan
pengendalian atau penanggulangan dini. Sistem Infromasi
Geografis (SIG) merupakan metode yang tepat dalam
pemetaan daerah rawan banjir untuk cakupan daerah yang
luas dengan waktu yang relative singkat.
Oleh sebab itu, sistem ini merupakan sebuah Sistem
Informasi Geografis Daerah Rawan Banjir Kabupaten
Jember yang dapat memberikan data dan informasi daerah
rawan banjir yang berada di kecamatan-kecamatan
kabupaten Jember. Hal ini merupakan upaya menganalisa
risiko dan pemetaan daerah banjir melalui diseminasi
informasi banjir. Sistem Informasi Geografis Daerah
Rawan Banjir
merupakan sebuah aplikasi yang
dikembangkan khusus untuk memberikan informasi
kepada masyarakat tentang daerah rawan bencana banjir
di Kabupaten Jember. Sehingga sistem ini akan
mempercepat proses penyampain informasi kepada
masyarakat dan instansi terkait serta dapat meningkatkan
kesiap-siagaan dalam mengambil tindakan untuk
mengurangi resiko.
Pada Sistem Informasi ini pengolahan input berupa peta
digitasi menggunakan Quantum GIS dan pengolahan
informasi data inputannya menggunakan logika Fuzzy
yang kemudian divisualisasi berbasis web dengan
menggunakan bahasa pemrograman PHP sedangkan
untuk databasenya menggunakan MySQL.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Sistem
Sistem dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan
objek, ide, berikut saling keterhubunganya (inter-relasi)
dibanjir mencapai tujuan atau sasaran bersama (Prahasta,
2005). Pada saat ini banyak pihak yang telah mendbanjiri
masalah
system
untuk
kebutuhannya
hingga
definisinyapun menjadi beragam.
Definisi-definisi yang lain adalah : system adalah cara
pandang terhadap dunia nyata yang teridiri dari elemenelemen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan
dbanjir lingkungan yang kompleks (Simatu, 1995).
Gordon (1989) mendefinisikan system sebagai salah satu
kumpulan objek yang terangkai dbanjir interaksi dan
saling ketergantungan yang teratur. Robert & Michael
(1991) menyatakan system sebagai kumpulan elemen
yang saling berinteraksi membentuk kesatuan, dbanjir
interaksi yang kuat maupun lemah dengan pembatas yang
jelas (Suryadi, 1998).
2.2 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis adalah kumpulan
yang terorganisir dari perangkat keras komputer,
perangkat lunak, data geografis, metode, dan personil
yang dirancang secara efisien untuk memperoleh,
menyimpan,
memperbaharui,
memanipulasi,
menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi
yang berreferensi geografis (ESRI,1996).
Dengan memperhatikan pengertian Sistem Informasi,
maka SIG merupakan suatu kesatuan formal yang terdiri
dari berbagai sumber daya fisik dan logika yang berkenaan
dengan objek-objek yang terdapat di permukaan bumi.
Dan, SIG merupakan sejenis perangkat lunak yang dapat
digunakan untuk pemasukkan, penyimpanan, manipulasi,
menampilkan, dan keluaran informasi geografis berikut
atribut-atributnya. Berikut dapat dilihat subsistem banjir
SIG pada gambar 1.
Gambar 1. Ilustrasi Uraian Sub-sistem SIG
2.3 Kerawanan
Kerawanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan
suatu objek bencana yang terdiri dari masyarakat, struktur,
pelayanan atau daerah geografis mengbanjiri kerusakan
atau gangguan akibat dampak bencana atau
kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat
bencana(Sutikno, 1994; UNDP/UNDRO, 1992). Pada
elemen kerentanan terdapat elemen intangibles, pada
umumnya
tidak
diperhitungkan
karena
sulit
perhitungannya, dan kebanyakan elementangible. Tingkat
kerentanan bencana menurut dapat dinilai secara relatif
berdasarkan macam dan besaran elemen bencana yang
besarnya dinyatakan dengan skala numerik.
2.4 Bencana
Bencana (hazard) adalah suatu peristiwa atau di
lingkungan buatan manusia yang berpotensi merugikan
kehidupan manusia, harta, benda atau aktivitas
bila meningkat menjadi bencana. Banyak definisi
tentang bencana (Lundgreen, 1986; Carter, 1992;
UNDP/UNDRO, 1992; Sutikno, 1994; Bakornas PBP,
1998). Lundgreen (1986) mendefinisikan bencana sebagai
peristiwa/kejadian potensial yang merupakan ancaman
terhadap kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan
masyarakat atau fungsi ekonomi masyarakat atau kesatuan
organisasi pemerintahan yang lebih luas. Bencana banjir
oleh Carrara (1984) dikatakan sebagai bencana yang
disebabkan oleh proses banjir atau proses banjir yang
dipicu oleh aktivitas manusia, dan merupakan salah satu
unsur dbanjir penilaian risiko bencana. Sementara
21
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
menurut UNDP/UNDRO (1992) yang dimaksud dengan
bencana adalah semua fenomena atau situasi yang
berpotensi menimbulkan kerusakan atau kehancuran pada
manusia, jasa, dan lingkungan. Menanggapi banyaknya
definisi tentang bencana Carter (1992) menyimpulkan
bahwa sebagian besar definisi bencana (hazard)
mencerminkan karakteristik: i) gangguan terhadap
kehidupan normal, ii) efek terhadap manusia, seperti
menjadi korban, luka/cacat, gangguan kesehatan, iii) efek
terhadap struktur sosial, dan iv) kebutuhan masyarakat.
2.5 Fuzzy Logic
A. Pendahuluan
Fuzzy Logic diperkenalkan oleh Prof. Lotfi Zadeh
pada tahun 1965. Merupakan metode yang mempunyai
kemampuan untuk memproses variabel yang bersifat
kabur atau yang tidak dapat dideskripsikan secara
eksak/pasti seperti misalnya tinggi, lambat, bising, dll.
Dalam fuzzy logic, variabel yang bersifat kabur tersebut
direpresentasikan sebagai sebuah himpunan yang
anggotanya adalah suatu nilai crisp dan derajat
keanggotaannya (membership function) dalam himpunan
tersebut.
Logika fuzzy berbeda dengan logika digital biasa,
dimana logika digital biasa hanya mengenal dua keadaan
yaitu: Ya dan Tidak atau ON dan OFF atau High dan Low
atau "1" dan "0". Sedangkan Logika Fuzzy meniru cara
berpikir manusia dengan menggunakan konsep sifat
kesamaran suatu nilai. Dengan teori himpunan fuzzy,
suatu objek dapat menjadi anggota dari banyak himpunan
dengan derajat keanggotaan yang berbeda dalam masingmasing himpunan.
Hal yang perlu diketahui dalam memahami sistem
fuzzy, antara lain :
1) Variabel fuzzy
2) Himpunan fuzzy.
Himpunan fuzzy mempunyai 2 atribut, yaitu antara
lain :
a. Linguistik
b. Numeris
3) Semesta pembicaraan
4) Domain
B. Fungsi Keanggotaan
Fungsi keanggotaan (membership function) adalah
suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input
data ke dalam nilai keanggotaannya (sering juga disebut
dengan derajat keanggotaan) yang memiliki interval
antara 0 sampai 1. Salah satu cara yang dapat digunakan
untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah dengan
melalui pendekatan fungsi. Ada beberapa fungsi yang
dapat digunakan
1) Representasi Linear Naik.
Kenaikan himpunan dimulai pada nilai domain
yang memiliki derajat keanggotaan 0 bergerak ke kanan
menuju ke nilai domain
keanggotaan lebih tinggi.
yang
memiliki
derajat
Gambar 2.Representasi Linear Naik (Kusumadewi dan
Purnomo, 2004)
Fungsi keanggotaan :
;
x−
;
μ[x] = { −
;
a
x
x
x
a
b
b
2) Representasi Linear Turun.
Merupakan kebalikan dari representasi linear naik.
Garis lurus dimulai dari nilai domain dengan derajat
keanggotaan tertinggi pada sisi kiri, kemudian bergerak
menurun ke nilai domain yang memiliki derajat
keanggotaan lebih rendah.
Gambar 3. Representasi Linear Turun (Kusumadewi
dan Purnomo, 2004)
Fungsi keanggotaan :
x−a
;
μ[x] = {b − a
;
a
x
x
b
b
3) Representasi Kurva Segitiga.
Kurva segitiga pada dasarnya
gabungan antara 2 garis linear.
merupakan
Gambar 4 Representasi Kurva Segitiga (Kusumadewi
dan Purnomo, 2004)
22
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Fungsi keanggotaan :
; x a atau x c
μ[x] = {x − a⁄b − a ; a x b
b − x⁄c − b ; b x c
4) Representasi Kurva Trapesium.
Kurva trapesium pada dasarnya seperti bentuk
segitiga, hanya saja ada beberapa titik yang memiliki nilai
keanggotaan 1.
a.
b.
c.
d.
e.
Gambar 5. Representasi Kurva Trapesium
(Kusumadewi dan Purnomo, 2004)
Fungsi keanggotaan :
; x a atau x d
x − a⁄b − a ; a x b
μ[x] = {
; b x c
d − x ⁄d − c ; x d
C. Metode Tsukamoto
Pada Metode Tsukamoto, setiap konsekuen pada aturan
yang berbentuk IF-Then harus direpresentasikan dengan
suatu himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan yang
monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari
tiap-tiap aturan diberikan secara tegas (crisp) berdasarkan
α-predikat (fire strength). Hasil akhirnya diperoleh dengan
menggunakan rata-rata terbobot.
Gambar 6. Inferensi dengan menggunakan Metode
Tsukamoto
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan yang dicapai dalam kegiatan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Membangun sistem informasi geografis untuk
melakukan pemetaan daerah rawan khususnya untuk
wilayah Kabupaten Jember dengan menggunakan
metode Fuzzy Logic dengan parameter-parameter
yang didapat melalui kegiatan penelitian.
Mengumpulkan data tentang parameter daerah rawan
banjir ke dalam desain database.
Mengolah data-data tersebut menjadi sebuah rute dan
memvalidasi data ke instansi terkait.
Mengimplementasikan metode Fuzzy Logic pada
kasus daerah rawan banjir berdasarkan jumlah curah
hujan dan ketinggian.
Menghasilkan website secara online yang berisi
tentang sistem informasi geografis daerah rawan
banjir di Kabupaten Jember yang dapat diakses secara
bebas dan oleh siapapun melalui domain yang telah
dipersiapkan.
IV. METODE PENELITIAN
Untuk mencapai penyelesaian penelitian
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
ini,
Gambar 7. Tahapan Kegiatan Penelitian
a. Studi Literatur SIG
Mempelajari tentang aplikasi Sistem Informasi
Geografis, pembuatan rule-rule yang diperlukan. Serta
mempelajari metode Fuzzy Logic.
b. Penyimpanan data ke Dalam DataBase
Pengumpulan data tentang gejala dan parameter
daerah rawan banjir juga melakukan survei dengan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD),
Kabupaten Jember disimpan dalam sebuah desain
database. Mendesain kebutuhan database yang akan
digunakan untuk SIG, khususnya untuk sistem kepastian
dengan studi kasus identifikasi rawan banjir berdasarkan
gejala.
c. Implementasi metode Fuzzy Logic
Implementasi dari sistem informasi geografis ini
berupa aplikasi berbasis web dengan menggunakan
Mapguide Open Source dan MySQL sebagai DBMSnya.
Rule yang sudah didesain diterjemahkan ke dalam code
program berbasis Web dengan melengkapi sebuah metode
Fuzzy
Logic.
Mengembangkan
dan
mengimplementasikan SIG dengan metode fuzzy logic
23
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
untuk memperoleh teknik-teknik digitalisasi pemetaan
daerah rawan banjir dalam sistem informasi geografis
secara online serta kesesuaian program dengan keadaan
nyata. Digitasi peta daerah rawan bencana banjir
Kabupaten Jember mengunakan Quantun GIS dan
database yang digunakan yaitu MySQL dengan dibantu
PhpMyAdmin, dalam implementasi SIG untuk pemetaan
daerah rawan banjir.
d. Uji Coba dan Validasi
Uji keakurasian SIG untuk pemetaan daerah rawan
banjir di Kabupaten Jember menggunakan database
online. Unit testing yang digunakan yaitu Functional
Testing yaitu System Operation Product (SOP) berupa
kesesuaian program dengan keadaan nyata baik berupa
penyesuaian peta, dan penyesuaian guna dari setiap
modul. Validasi dilakukan langsung ke pengguna yaitu
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD),
Kabupaten Jember dan pada Badan Perencanaan
Pembangunan Kabupaten (BPEKAB) Kabupaten Jember.
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Kegiatan penelitian yang dilakukan adalah pembuatan
perangkat lunak berbasis website. Penelitian dilakukan
percobaan untuk mendapatkan data-data yang telah
didapatkan dari kegiatan, serta mempelajari metode fuzzy
logic. Pengujian dilakukan dengan melakukan
perhitungan-perhitungan metode tersebut. Penetapan
parameter rawan banjir sebagai database dan data peta
digitalisasi pada SIG untuk pemetaan daerah rawan banjir
di Kabupaten Jember. Serta melakukan uji keakurasian
metode Fuzzy Logic pada parameter daerah rawan banjir.
Digitasi peta daerah rawan bencana banjir Kabupaten
Jember mengunakan Quantun GIS dan database yang
digunakan yaitu MySQL dengan dibantu PhpMyAdmin,
dalam implementasi SIG untuk pemetaan daerah rawan
banjir.
Uji keakurasian SIG untuk pemetaan daerah rawan
banjir di Kabupaten Jember menggunakan database
online. Unit testing yang digunakan yaitu Functional
Testing yaitu System Operation Product (SOP) berupa
kesesuaian program dengan keadaan nyata baik berupa
penyesuaian peta, dan penyesuaian guna dari setiap
modul.
Berikut merupakan hasil dari kegiatan yang dilakukan :
1. Database dan Tabel
Tabel 1. Kecamatan
No Field
Tipe
Ukuran Keterangan
1 feature id int
11
Primary Key
2 id_kec
Varchar 255
3 nama_kec Varchar 255
4 X
Varchar 255
5 Y
Varchar 255
6 Luasan
Polygon
Tabel 2. Kelurahan
No
Field
1 feature id
2 id_desa
3 nama_desa
4 nama_kec
5 Luasan
Tipe
int
Varchar
Varchar
Varchar
Polygon
Ukuran
11
255
255
255
Keterangan
Primary Key
Tabel 3. Sungai
No Field
1
feature id
2
kode_unsur
3
toponim
4
penggunaan
5
kecamatan
6
Luasan
Tipe
int
int
Varchar
Varchar
Varchar
Polygon
Ukuran
11
11
255
255
255
Keterangan
Primary Key
Tabel 4. Daerah_rawan
No Field
Tipe
1
feature id int
3
nama_kec Varchar
4
X
Varchar
5
Y
Varchar
6
daerah
Varchar
7
luasan
Polygon
Ukuran
11
255
255
255
255
Keterangan
Primary Key
Tabel 5. Jalan
No Field
1 feature id
2 id_jalan
3 nama_jalan
4 tipe_jalan
5 leght
Tipe
int
Varchar
Varchar
Varchar
linestring
Ukuran
11
255
255
255
Keterangan
Primary Key
Tabel 6. Jalan_kereta
No
Field
1
id_ka
2
feature id
3
tipe_jalan
4
leght
Tipe
Varchar
int
Varchar
linestring
Ukuran
255
11
255
Keterangan
Primary Key
Ukuran
11
255
255
Keterangan
Primary Key
Tabel 7. Kantor_kecamatan
No Field
Tipe
1
feature id
int
2
id_kantor_
Varchar
3
nama_kanto Varchar
4
point
Point
24
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Tabel 8. Puskesmas
No Field
1
kode_puskesmas
2
nama_puskesmas
3
alamat
4
no_telp
5
no_fax
6
kecamatan
7
Kelurahan
petanya menggunakan Quantum GIS dan Mapguide
Maestro sebagai web server-nya.
Tipe
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Ukuran
255
255
255
255
255
255
255
Tabel 9. Rumah sakit
No Field
1
kode_rs
2
nama
3
alamat
4
no_telp
5
no_fax
6
kecamatan
7
kelurahan
Tipe
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Ukuran
255
255
255
255
255
255
255
Tabel 10. Data SIG
No Field
1
kode_data
2
nama_kec
3
luas
4
gambar
5
profil
6
jml
7
kj
8
pk
9
Rs
10 kategori
Tipe
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Int
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Ukuran
255
255
255
255
255
11
255
255
255
255
Tabel 11. Nilai_fuzzy
No Field
1
Kode_fuzzy
2
Nilai
3
Ch
4
Kt
5
Daerah
6
Nama_kec
Tabel 12. Login
No Field
1
Username
2
password
Tipe
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Varchar
Tipe
Varchar
Varchar
Ukuran
255
255
255
255
255
255
Ukuran
50
50
Keterangan
Primary Key
a.
Home
Keterangan
Primary Key
Gambar 8. Halaman Utama
b.
Peta Lokasi
Keterangan
Primary Key
Gambar 9. Detail Peta Lokasi
Keterangan
Primary Key
Gambar 10. Detail Peta Lokasi
Keterangan
Primary Key
Gambar 11. Query Feature
2. Membuat Project
Langkah awal untuk membuat suatu program
menggunakan Dreamweaver adalah membuat project.
Project tersebut digunakan untuk mengorganisasi dan
mengelola kumpulan file php. Sedangkan untuk membuat
Gambar 11 diatas menerangkan bahwa ada tingkatan rawan
banjir yang dikategorikan menjadi 3 kategori, rendah, sedang
dan tinggi.
25
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
b.
Gambar 12. Perhitungan Fuzzy
Gambar 12 adalah Fuzzy form dengan tampilan
tabel yang memberikan informasi berupa kode, daerah,
curah hujan (CH), ketinggian (KT), nilai fuzzy, dan
potensi. Pada form ini juga terdapat tombol edit yang
digunakan untuk mengedit data-data di tabel fuzzy. Pada
form edit fuzzy ini merupakan form inputan yang
digunakan untuk mengupdate data fuzzy yang ada di
setiap kecamatan yang datanya saling berhubungan
dengan data kecamatan dan data sig. Edit fuzzy digunakan
juga untuk mencari perekomendasian daerah rawan banjir
berdasarkan inputan Curah hujan (mm/blm) dan
ketinggian (mdlp) yang kemudian diolah dengan
perhitungan fuzzy oleh sistem sehingga didapatkan fuzzy
output. Hasil rekomendasi yang di dapatkan dapat
berubah-ubah sesuai inputan yang dimasukkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan
kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi yang telah mendanai kegiatan penelitian ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada Politeknik Negeri
Jember, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kabupaten
Jember
serta
Badan
Perencanaan
Pembangunan Kabupaten (BPEKAB) Kabupaten Jember
yang telah banyak memberikan bantuan dalam
pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
Gambar 13. Fuzzy Input Parameter
Dari desain Sistem Informasi Geografis Daerah
Rawan Banjir Kabupaten Jember telah dibuat aplikasi
dalam bentuk web sehinga dapat memberikan data
dan informasi bagi masyarakat tetang daerah rawan
banjir pada masing-masing kecamatan yang berada di
Kabupaten Jember, sehingga memberikan informasi
yang bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Anisa, Nova Chici. 2013. Sistem Pendukung Keputusan
Untuk Kelayakan Kredit Pada Koperasi Citra Abadi
Menggunakan Metode Decision Tree dan Fuzzy Logic.
Jember.
Firmansyah M. Nizar, Eka Kadarsetia. 2008. Penyelidikan
Potensi Banjir Bandang Di Kabupaten Jember, Jawa
Timur. Penelitian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi – Badan Geologi.Amarta (Agribusiness Market
and Support Activity) 2008, Penyakit Tanaman Kopi,
available, www.amarta.net
Hidayat, Aan. 2011. Sistem Penunjang Keputusan Untuk
Pemilihan Karyawan Teladan Dengan Logika Fuzzy
Tsukamoto. Banjarmasin.
Kusumadewi, Sri. Hari Purnomo. 2010. Aplikasi Logika
Fuzzy Untuk Pendukung Keputusan.Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Maulida, Ana. 2011. Logika Fuzzy Metode Tsukamoto
dalam Menentukan Kerentanan Potensi Banjir. Malang.
Sugiarti, Yuni. 2013. Analisis Dan Perancangan
UML(Unified Modeling Language). Graha Ilmu,
Yogyakarta
Untuk mendapatkan hasil rekomendasi potensi,
langkah awalnya yaitu memasukkan nilai inputan curah
hujan dan ketinggian sesuai data yang di dapat seperti pada
gambar 13.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pelaksanaan penelitian ini dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
a. Desain Sistem Informasi Geografis Daerah Rawan
Banjir Kabupaten Jember menyajikan desain
informasi ke dalam bentuk geografis sehingga data
yang ditampilkan dapat menunjukkan potensi rawan
banjir dan informasi lengkapnya pada masing-masing
kecamatan.
26
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Sistem Multi-Agent Cerdas Penguji Perangkat
Lunak Secara Otomatis
Elly Antika#1, Prawidya Destarianto#2, Hendra Yufit Riskiawan#3
Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember
1ellyantika.niam@gmail.com
Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember
3prawidyadestarianto@yahoo.com
Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip 164 Jember
2hendra.yufit@gmail.com
Abstract
Sistem pengujian perangkat lunak otomatis menggunakan metode hybrid testing yang mengkombinasikan metode unit testing,
functional testing, dan white box testing. Sistem pengujian akan dijadikan basis pengetahuan dan kecerdasan dari sistem multiagent. Performa sistem yang dihasilkan akan diuji dan dianalisis untuk dijadikan acuan merancang sistem auto-debugging untuk
mempermudah dan mempercepat tahapan pengujian perangkat lunak. Sistem multi-agent cerdas yang dikembangkan akan terdiri
dari 4 macam agen, yaitu main agent, agen penguji unit testing, agen penguji functional testing, agen penguji white box testing.
Keempat agen akan memiliki basis pengetahuan yang berbeda-beda sesuai dengan tugas masing-masing. Namun demikian, semua
agen akan memiliki kesamaan dalam hal kemampuan berkomunikasi, autonomy, dan berkolaborasi guna mencapai tujuan sistem.
Luaran yang dihasilkan meliputi hasil evaluasi dan pengujian terhadap performa sistem berbasis multi-agent yang telah
dikembangkan; hasil analisis terhadap pengujian dari performa sistem berbasis multi-agent; serta rancangan sistem auto-debuging
untuk melakukan perbaikan secara otomatis terhadap debug yang ditemukan sistem penguji. Dengan demikian kontribusi dari
penelitian ini terhadap bidang rekayasa perangkat lunak khususnya software testing dapat semakin optimal
Keywords— Pengujian otomatis, Performa sistem, Sistem Multi-Agent.
I. PENDAHULUAN
Pengujian perangkat lunak memegang peranan
penting dalam menjaga kualitas perangkat lunak. Menurut
Galin (2004) pengujian perangkat lunak atau software
testing diartikan sebagai proses formal dimana suatu
perangkat lunak diuji dengan cara menjalankan perangkat
lunak tersebut dalam komputer dan menjalankan prosedur
serta kasus tertentu. Galin (2004) menyatakan bahwa
terdapat hubungan langsung yang erat antara pengujian
perangkat lunak dengan kualitas perangkat lunak yang
dihasilkan, sehingga pengujian perangkat lunak menjadi
tahapan yang sangat penting dalam siklus pengembangan
perangkat lunak. Perry (2006) menyatakan bahwa sekitar
24% dari keseluruhan anggaran pengembangan perangkat
lunak pada sebagian besar proyek pengembangan
perangkat lunak dialokasikan untuk pengujian perangkat
lunak.
Dalam pengembangan perangkat lunak, tekanan
untuk menyelesaikan perangkat lunak dengan cepat sering
ditemui. Selain itu, perangkat lunak yang dikembangkan
di era modern memiliki kompleksitas yang tinggi,
sehingga meningkatkan tingkat kesulitan dalam
melakukan pengujian. Hal-hal tersebut seringkali
menyebabkan manajer proyek memutuskan untuk
mengurangi aktivitas ataupun sumber daya yang
diperlukan untuk melakukan pengujian perangkat lunak
(Konka, 2011).
Pengujian perangkat lunak yang dilaksanakan dengan
tidak sempurna tentu akan membawa pengaruh yang
kurang baik terhadap kualitas perangkat lunak yang
dihasilkan. Pengujian perangkat lunak yang tidak efektif
dan tidak lengkap dapat mengakibatkan berbagai masalah
ketika perangkat lunak tersebut digunakan oleh end-user
(Catelani dkk., 2010). Berawal dari kondisi tersebut,
penelitian mengenai pengujian perangkat lunak saat ini
mengarah pada bagaimana cara melakukan pengujian
perangkat lunak yang mampu menjaga kualitas perangkat
lunak dengan baik dengan sumber daya yang sedikit
(Yuan, 2011).
Arti penting pengujian perangkat lunak yang mampu
dilaksanakan dengan sedikit sumber daya namun mampu
menghasilkan perangkat lunak berkualitas baik,
memunculkan ide otomatisasi pengujian perangkat lunak.
27
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Dustin dkk. (2008) mengartikan otomatisasi pengujian
perangkat lunak sebagai proses pengujian perangkat lunak
yang memanfaatkan perangkat lunak lain yang dirancang
khusus untuk menjalankan tes pada suatu perangkat lunak
dan membandingkan hasilnya dengan keluaran yang
diharapkan.
Penelitian Catelani (2010) menunjukkan bahwa
pengujian perangkat lunak secara otomatis dapat
meningkatkan efisiensi proses pengujian untuk
mengidentifikasi bagian dari perangkat lunak yang rawan
mengalami kegagalan. Pengujian perangkat lunak secara
otomatis bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai
metode pengujian perangkat lunak yang ada. Karakteristik
ini memperluas area yang mampu diuji secara otomatis
sehingga mampu mengurangi beban dari penguji
perangkat lunak. Sistem penguji perangkat lunak otomatis
harus mampu melakukan berbagai pengujian dalam skala
besar dan mampu diulang berkali-kali untuk memastikan
kualitas perangkat lunak yang diuji. Sistem penguji
perangkat lunak tentunya harus mampu menguji berbagai
aspek dalam perangkat lunak sehingga penggunaan lebih
dari satu metode pengujian sangat diharapkan (Galin,
2004)
Sistem berbasis agen merupakan teknologi yang
sesuai untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks
dan dalam lingkungan yang terdistribusi (Dhavachelan,
2005). Wooldridge (2002) menyatakan bahwa salah satu
karakteristik utama dari sistem berbasis agen adalah sifat
otonom. Agen mampu memberikan reaksi berdasarkan
berbagai masukan yang diberikan lingkungan tanpa ada
intervensi dari manusia. Penggunaan teknologi agen
dalam hal pengembangan perangkat lunak belum banyak
dilakukan, hal ini disebabkan karena keunggulan
teknologi agen belum dikenal secara luas (Dhavachelan,
2005). Sifat dari sistem berbasis agen yang otonom bisa
dimanfaatkan dalam hal pengujian perangkat lunak untuk
mempermudah proses pengujian yang perlu dilakukan
secara berulang dan otomatis dengan berbagai skenario
pengujian yang berbeda.
Tahap awal penelitian dilakukan perancangan sistem
pengujian perangkat lunak otomatis menggunakan metode
hybrid testing dan mengimplementasikannya menjadi
sistem pengujian perangkat lunak otomatis sebagai
kecerdasan dari sistem multi-agent yang dikembangkan.
Selanjutnya dilakukan evaluasi dan pengujian terhadap
performa sistem berbasis multi-agent yang telah
dikembangkan, serta menganalisis hasil pengujian untuk
mengukur performa sistem berbasis multi-agent.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Studi Pendahuluan dan Peta Jalan Penelitian
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melakukan
pengujian perangkat lunak secara otomatis. Pada tahun
2009, Salas dkk. melakukan penelitian mengenai
pengujian perangkat lunak secara otomatis pada sistem
yang asynchronous. Dalam penelitian ini Salas membagi
kejadian-kejadian yang terjadi dalam sistem ke dalam
observable dan controlable event. Controlable event
dijadikan dasar untuk melakukan test case generation.
Catelani dkk. (2010) melakukan penelitian untuk
mereduksi waktu yang diperlukan dalam melakukan
pengujian perangkat lunak dengan menggunakan test case
yang dianggap merepresentasikan keadaan aktual di dunia
nyata.
Penelitian perangkat lunak bisa dilakukan pada
berbagai jenis perangkat lunak, salah satunya yaitu
perangkat lunak berbasis web. Alshahman dan Harman
(2011) melakukan penelitian mengenai pengujian
perangkat lunak berbasis web secara otomatis dengan
menggunakan metode yang disebut search based software
engineering. Metode search based software engineering
merupakan
pendekatan
yang
memformulasikan
permasalahan software engineering menjadi permasalahan
optimasi. Dalam penelitian ini nilai akurasi yang dicapai
sebesar rata-rata 60 fault dan 424 warning dari 6 aplikasi
yang diuji. Penelitian mengenai pengujian perangkat lunak
berbasis web lain dilakukan oleh Sampath dkk. (2004).
Dalam penelitian tersebut, diajukan sebuah framework
untuk melakukan pengujian perangkat lunak berbasis web.
Frame work yang diajukan Sampath terdiri dari beberapa
komponen yaitu test case generator, test oracle, replay
tool dan regression tester. Dalam penelitian ini, pengujian
yang dilakukan adalah pengujian fungsional yang
didasarkan pada permintaan pengguna.
Beberapa penelitian lain juga sudah meneliti cara
otomatisasi pengujian perangkat lunak pada perangkat
lunak berbasis web. Romano dkk. (2009) melakukan
penelitian mengenai otomatisasi pengujian non-functional
requirement pada perangkat lunak berbasis web. Nonfunctional requirement yang diuji terdiri dari lima
kategori, yaitu tidak memiliki tautan yang tidak
tersambung, semua halaman bisa diakses dari halaman
muka, mampu menangani akses paralel, mampu menerima
request dari user dan tidak terpengaruh oleh spesifikasi
server yang digunakan. Penelitian lain yang membahas
mengenai pengujian perangkat lunak berbasis web adalah
penelitian yang dilakukan oleh Yuan pada tahun 2011.
Yuan (2011) melakukan pengujian dengan metode code
review dan interface testing. Code review merupakan
metode turunan dari white-box testing, dimana code yang
akan diuji dimasukkan ke dalam sebuah komponen yang
disebut code base untuk diuji. Interface testing melakukan
pengujian terhadap antar muka perangkat lunak. Penilaian
terhadap perangkat lunak didasarkan pada kriteria-kriteria
yang diperoleh dari informasi preferensi pengguna
perangkat lunak.
Huo (2003) mengajukan sebuah kerangka kerja untuk
mengimplementasikan
pendekatan
agen
dalam
otomatisasi pengujian perangkat lunak. Dalam penelitian
ini diajukan sebuah sistem yang terdiri dari broker agent
28
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
yang mengatur agen-agen lain yang berada dalam sistem
dan agen yang melakukan pengujian. Huo (2003) juga
mengajukan cara untuk mengatur komunikasi antar agen
dalam sistem. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Zhu
(2004) namun penelitian ini memfokuskan objek
pengujian pada perangkat lunak berbasis web. Dalam
penelitian Huo (2003) dan Zhu (2004), pengujian diawali
dengan pengambilan halaman web atau bagian perangkat
lunak yang akan diuji. Apabila yang diambil berupa
halaman web, maka agen akan melakukan analisis untuk
mengetahui struktur dari halaman web yang akan diuji.
Berdasarkan hasil analisis terhadap halaman web tersebut,
akan dilakukan test case generation yang akan digunakan
dalam proses test execution.
2.2. Sistem Multi-Agent
Sistem multi agen telah menjadi fokus dari
kecerdasan buatan dalam beberapa tahun terakhir (Dan
dan Song, 2010). Menurut Weiss (1999), hal ini terjadi
karena platforms komputasi modern dan lingkunganlingkungan informasi bersifat terdistribusi, besar, terbuka,
dan heterogen. Komputer bukan lagi sistem yang berdiri
sendiri, melainkan telah terhubung secara erat satu sama
lain dan dengan pengguna. Selain itu, sistem multi agen
memiliki kapasitas untuk memainkan peran penting dalam
mengembangkan dan menganalisis model-model dan
teori-teori dari interaktivitas dalam masyarakat (manusia).
Sistem multi agen adalah sistem yang terdiri dari sejumlah
agen, yang berinteraksi satu sama lain, umumnya dengan
bertukar pesan-pesan melalui infrastruktur jaringan
komputer (Woolridge, 2002).
Russell dan Norvig (2010) mendefinisikan agen
sebagai segala sesuatu yang mengumpulkan informasi
melalui sensor-sensor dan bertindak atas lingkungan
melalui aktuator. Agen bisa diklasifikasikan sebagai agen
cerdas jika memiliki atribut dan karakteristik tertentu.
Atribut-atribut dan karakteristik-karakteristik tersebut
perlu dimiliki agen untuk dikatakan cerdas, meskipun
tidak harus terangkum dalam satu agen. Atribut dan
karakteristik agen menurut Woolridge (2002) dan Wahono
(2001) terdiri dari: Autonomy; Intelligence, reasoning, dan
learning; Mobility dan stationary; Delegation;
Reactivity;Proactivity
dan
goal-oriented;
serta
Communication dan coordination capability.
Agen terletak dan bertindak dalam suatu lingkungan.
Oleh karena itu, Russell dan Norvig (2010) membagi sifatsifat lingkungan menjadi: Accessible versus inaccessible;
Deterministic versus non-deterministic; Statis versus
dinamis; serta Diskrit versus kontinu.
2.3. JADE (Java Agent Development)
Singh dkk. (2011) menyatakan bahwa aplikasi agent
memerlukan kerangka kerja, metodologi dan alat-alat
yang mendukung/membangun sistem agent. Secara
historis kendala utama dalam pengembangan sistem agent
dan multi agent yaitu infrastruktur yang mengacu pada
lingkungan yang mendukung agent dapat berkomunikasi
dan mencapai tujuan yang diinginkan. Selama ini tidak ada
konsensus
tentang
alat
yang
terbaik
untuk
mengembangkan sistem agent. Jade (Java Agent
Development Framework) adalah kerangka perangkat
lunak sepenuhnya diimplementasikan dalam bahasa Java
dikembangkan oleh Tilab untuk pengembangan multiagent aplikasi berbasis pada arsitektur komunikasi peerto-peer. Bellifemine (2007), menyebutkan dalam jade
terdapat sebuah instance dari run-time environment
disebut container. Setiap container di jade terdiri dari
Directory Facilitator (DF) agent, Remote Monitoring
Interface (RMI) agent dan agent Monitoring System
(AMS) agent. Arsitektur JADE dapat dilihat dalam gambar
1.
Gambar 1. Arsitektur JADE
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Merancang sistem pengujian perangkat lunak
otomatis menggunakan metode hybrid testing.
b. Mengimplementasikan
sistem
pengujian
perangkat lunak otomatis sebagai kecerdasan dari
sistem multi-agent yang dikembangkan,
menggunakan bahasa pemrograman JADE (Java
Agent Development).
c. Melakukan evaluasi dan pengujian terhadap
performa sistem berbasis multi-agent yang telah
dikembangkan pada tahun pertama.
d. Menganalisis hasil pengujian terhadap performa
sistem berbasis multi-agent.
IV. METODE PENELITIAN
Mengingat pada tahap penelitian sebelumnya,
perancangan sistem multi-agent telah menghasilkan
rancangan sistem pengujian yang diharapkan, maka pada
tahun kedua penelitian dilanjutkan pada kegiatan
implementasi dan evaluasi sistem dengan uraian sebagai
berikut :
1. Implementasi Sistem
Pada tahap ini hasil perancangan yang telah dibuat
dikembangkan menjadi perangkat lunak dengan
menggunakan bahasa pemrograman dan tools yang
29
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
2.
3.
4.
diperlukan. Bahasa pemrograman yang digunakan
adalah JADE (Java Agent Development).
Evaluasi dan Pengujian Kinerja Sistem
Pengujian dilakukan untuk mengukur kinerja sebuah
sistem. Pengujian terhadap akurasi sistem dan
kinerja agen yang dikembangkan, dilakukan dengan
membandingkan hasil uji yang dilakukan oleh sistem
dengan hasil uji yang dilakukan secara manual oleh
manusia, dalam hal ini seorang software tester
profesional dari PT. Bali Orange Communications.
Analisis Kinerja Sistem
Tahapan ini dilakukan selain bertujuan untuk
mengetahui kinerja/performa sistem apakah dapat
melakukan pengujian sesuai dengan yang
diharapkan, tetapi juga untuk mengetahui kesalahan
(fault) dan bug apa saja yang sering ditemukan.
Perancangan Sistem Auto-Debuging
Setelah melakukan analisis terhadap performa sistem
multi-agent yang dikembangkan, sebagai akhir dari
tahapan penelitian ini adalah perancangan sistem
yang dapat melakukan debuging otomatis terhadap
perangkat lunak yang telah diuji. Tahapan ini
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang peta
jalan penelitian selanjutnya guna menyempurnakan
sistem multi-agent yang telah dikembangkan.
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1 Pengumpulan Web Application Under Test (AUT)
Sampel aplikasi yang akan dijadikan objek penelitian
ini dikumpulkan dari salah satu perusahaan pengembang
perangkat lunak PT. Bali Orange Communications yang
banyak mengembangkan perangkat lunak aplikasi
berbasis web. Selanjutnya aplikasi-aplikasi tersebut akan
diuji dengan sistem berbasis multi agent yang akan
dikembangkan. Disamping itu, aplikasi juga dikumpulkan
dari beberapa web yang memiliki lalu lintas akses (traffic)
tinggi dan web dilingkungan Politeknik Negeri Jember.
Adapun website yang menjadi objek pengujian/AUT
adalah sebagai berikut:
1. stream.jti.polije.ac.id
2. www.dikti.go.id
3. www.polije.ac.id
4. developers.google.com
5. alumni.mkom.ugm.ac.id
6. publikasi.polije.ac.id
7. www.priceza.co.id
8. www.zalora.co.id
9. www.hackerrank.com
10. www.lazada.co.id
Untuk menguji akurasi sistem dan membuktikan
apakah agen yang dikembangkan telah berfungsi sebagai
agen penguji perangkat lunak yang sesuai, maka tahap
selanjutnya yang dilakukan adalah membandingkan hasil
uji yang dilakukan oleh sistem multi agen dengan hasil uji
yang dilakukan secara manual oleh manusia, dalam hal ini
seorang software tester. Pada penelitian ini, pengujian
manual yang dijadikan perbandingan akan dilakukan oleh
seorang software tester profesional dari PT. Bali Orange
Communications.
5.2 Implementasi Sistem Multi Agent
Sesuai dengan hasil perancangan yang telah
dilakukan,
sistem
pengujian
perangkat
lunak
diimplementasikan sekaligus dengan beberapa agent yang
memiliki perilaku (behaviour) masing-masing sesuai
dengan fungsinya.
5.2.1. Agen Penguji Unit Testing dan Whitebox Testing
Pada implementasi pengujian unit dan whitebox,
gambaran struktur keseluruhan agen dalam sistem
ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Gambaran agen keseluruhan
Sesuai perancangan, main agent berkomunikasi
dengan agen penguji unit dan whitebox untuk memberikan
tugas pengujian terhadap AUT yang diminta oleh
pengguna. Gambaran komunikasi dari main agent ke agen
penguji unit disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Ilustrasi komunikasi dari Main Agent ke Agen
Penguji Unit (Agent Login)
Gambar 4 Balasan pesan dari Agent Penguji Unit
30
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
yang dituju. Hasil pengujian yang dilakukan agen
fungsional ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 5 Hasil dari Pengujian Unit
Setelah mendapatkan tugas dari main agent, agen
penguji unit dan agen penguji whitebox membalas pesan
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4. Kemudian
menyampaikan hasil pengujian seperti pada Gambar 5.
5.2.2. Agen Penguji Functional Testing
Sebagaimana pada agen pengujian unit, skema
yang sama juga diimplementasikan pada pengujian
fungsional. Gambaran struktur keseluruhan agen
ditunjukkan pada Gambar 6. Kemudian skema komunikasi
dan penyampaian tugas dari main agent ke agen penguji
fungsional digambarkan pada Gambar 7.
Gambar 6 Gambaran keseluruhan agent
Gambar 7 Ilustrasi Main Agent mengirimkan pesan
instruksi ke Agent Penguji Fungsional
Setelah mendapatkan tugas dari main agent, agen
penguji fungsional melakukan pengujian pada AUT untuk
menguji keaktifan tautan dan kesesuaiannya pada halaman
Gambar 8 Hasil Pengujian Fungsional
VI. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Sistem pengujian perangkat lunak dengan metode
pengujian hibrida berbasis multi agen dirancang
untuk dapat menjalankan proses pengujian dengan
metode unit testing, functional testing, dan white box
testing secara simultan.
b. Karakteristik agen yang dirancang memungkinkan
agen melakukan tugasnya secara otonom dan
berorientasi pada hasil yang jelas yakni melaksanakan
pengujian terhadap AUT serta menghasilkan laporan
hasil pengujian.
c. Sistem pengujian berbasis multi agen ini hanya
bekerja pada lingkungan yang bersifat inaccessible,
deterministic, statis dan diskrit mengingat
environment dari data yang diuji yaitu source code
aplikasi web.
d. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap hasil pengujian
yang dilakukan, menunjukkan bahwa hasil pengujian
sistem menunjukkan hasil yang sesuai dengan
rancangan sistem dalam arti agent melakukan tugas
pengujian yang sesuai.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat
Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberi
hibah untuk terlaksananya penelitian pada tahun 2016 ini.
31
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
DAFTAR PUSTAKA
Alshahwan, N. and Harman, M., 2011, Automated web
application testing using search based software
engineering. 2011 26th IEEE/ACM International
Conference on Automated Software Engineering
(ASE 2011), 3–12.
Catelani, M., Ciani, L., Scarano, V. L. dan Bacioccola, A.,
2010, Software Automated Testing: A Solution to
Maximize The Test Plan Coverage and to Increase
Software Reliability and Quality in Use, Computer
Standards & Interfaces, 33, 152-158.
Dan, W. dan Song, M., 2010, Multi agents based for
Humanistic intelligent class scheduling system,
Third International Symposium on Information
Science and Engineering, Shanghai, 24-26
Desember, pp. 476-480.
Dhavachelvan, P. dan Uma, G. V., 2005, Complexity
Measures for Software Systems: Toward Multi-agent
based Software Testing, 3rdInternational Conference
on Intelligent Sensing and Information Processing
(ICISIP), Chennai, India, 14-17 Desember 2005.
Dustin, E., Rashka, J. dan Paul, J., 2008, Automated
Software Testing: An Introduction, Management and
Performance, 13, Addison-Wesley, Upper Saddle
River, New Jersey.
Galin, D., 2004, Software Quality Assurance, Pearson
Education, Inc., New Jersey.
Huo, Q., Zhu, H., Road, S.L. and Greenwood, S., 2003, A
Multi Agent Software Environment for Testing Web
based Applications, 27thAnnual International
Computer Software and Applications Conference,
Konka, B. B., 2011, A Case Study on Software Testing
Methods and Tools, Tesis, Department of Computer
Science and Engineering, University of Gothenburg,
Göteborg, Sweden.
Perry, W. E., 2006, Effective Methods for Software
Testing,3rd Edition,Wiley Publishing Inc., Canada.
Pressman, R., 2010, Software Engineering: A Practitioner
Approach, 7, McGraw-Hill, New York.
Romano, B.L., e Silva, G.B., de Campos, H.F., Vieira,
R.G., da Cunha, A.M., Silveira, F.F. and Ramos,
A.C.B., 2009, Software Testing for WebApplications Non-Functional Requirements. 2009
Sixth International Conference on Information
Technology: New Generations, 1674–1675.
Russell, S. dan Norvig, P., 2010, Artificial Intelligence A
Modern Approach, 3, Pearson Education, Inc., New
Jersey.
Salas, P. P. dan Krishnan, P., 2009, Automated Software
Testing of Asynchronous System, Electronic Notes
in Theoritical Computer Science, 253, 3-19.
Sampath, S., Mihaylov, V., Souter, A. and Pollock, L.,
2004, Composing a Framework to Automate Testing
of Operational Web-Based Software, 20th IEEE
International Conference on Software Maintenance,
Chicago.
Wahono, R. S., 2001, Pengantar Software Agent: Teori
dan Aplikasi, Proceedings of the IECI Japan
Workshop, Tokyo, 3 Maret, pp. 4-21.
Weiss, G., 1999, Multiagent Systems A Modern Approach
to Distributed Modern Approach to Artificial
Intelligence, The MIT Press, London.
Woolridge, M., 2002, An Introduction to Multiagent
Systems, John Wiley & Sons Ltd, Chichester.
Yuan, G., 2011, Study of Implementation of Software Test
Management
System
Based
on
Web,
Communication Software and Networks (ICCSN),
2011 IEEE 3rd International Conference, 708-711.
Zhu H., 2004, Cooperative Agent Approach to Quality
Assurance and Testing Web Software, 28th Annual
International Computer Software and Applications,
Hongkong.
32
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Analisa Sifat Mekanis Biokomposit Laminat
Serat Tebu – Polyester
Yuni Hermawan 1, Robertus Sidartawan 2
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Jember
Jl. Kalimantan No 37 Jember
yunikaka@yahoo.co.id
ABSTRAK
Serat sintetis sebagai komponen komposit terbukti mahal dan tidak ramah lingkungan, sedangkan sumber daya alam Indonesia
sangat melimpah akan bahan alam dan juga ditunjang sumber daya manusia yang masih banyak membutuhkan bidang garap sebagai
lapangan pekerjaan. Sehingga kembali ke alam adalah langkah yang cerdas dan bijaksana untuk kondisi tersebut. Inovasi terhadap bahan
alam dilakukan untuk menghilangkan kelemahan pada sifat mekanisnya. Serat tebu dapat dijadikan sebagai komponen komposit laminat.
Perbedaan arah serat dan perlakuan alkali akan dijadikan variabel untuk mengetahui sejauhmana pengaruhnya terhadap kekuatan
mekanis: kekuatan tarik, bending dan impak, di sisi lain perlu pula untuk mengamati mekanisme kegagalannya dengan bantuan foto
makro..
Hasil Pengujian menunjukkan bahwa untuk pengujian kekuatan tarik optimal pada fraksi volume 20% sebesar 1,719 N/mm2 dan nilai
kekuatan impak optimal terjadi pada fraksi volume serat 20% sebesar 0,76 J/mm2. Dari hasil penelitian ini nilai kekuatan mekanik bahan
masuk kedalam Standart Nasional Indonesia SNI, sehingga produk tersebut layak untuk dijual dan digunakan sehingga inovasi yang
dihasilkan segera dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.
Kata kunci: serat tebu, komposit laminat, kekuatan mekanis dan foto makro
I. PENDAHULUAN
Munculnya issue permasalah limbah nonorganik serat
sintetis yang semakin bertambah mampu mendorong
perubahan trend teknologi komposit menuju natural
composite yang ramah lingkungan. Serat alam mulai
menggeser serat sintetis, seperti E-Glass, Kevlar-49,
Carbon/ Graphite, Silicone carbide, Aluminium Oxide,
dan Boron. Salah satu jenis serat alam yang tersedia secara
melimpah adalah serat tebu. Keuntungan penggunaan
komposit antara lain ringan, tahan korosi, tahan air,
performance-nya menarik, dan tanpa proses pemesinan.
Beban konstruksi juga menjadi lebih ringan. Harga produk
komponen yang dibuat dari komposit glass fibre
reinforced polyester (GFRP) dapat turun hingga 60%,
dibanding produk logam (Abdullah dan Handiko, 2000).
Salah satu jenis serat alam yang sangat potensial
adalah serat tebu. Ampas tebu merupakan limbah dari
proses pengolahan gula yang pemanfaatannya belum
optimal. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian
Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) ampas tebu yang
dihasilkan sebanyak 32% dari berat tebu giling. Sebanyak
60% dari ampas tebu tersebut dimanfaatkan oleh pabrik
gula sebagai bahan bakar, bahan baku untuk kertas, bahan
baku industri kanvas rem, industri jamur dan lain-lain.
Sehingga diperkirakan sebanyak 40 % dari ampas tebu
tersebut belum dimanfaatkan.
Pemanfaatan serat tebu sebagai bahan penguat material
komposit belum maksimal. Selama ini ampas tebu hanya
digunakan sebagai bahan bakar pengganti kayu bakar.
Melihat dari potensi tersedianya bahan baku, maka
penelitian ini diarahkan untuk memanfaatkan serat tebu
dari limbah ampas tebu sebagai serat penguat material
komposit.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian
tentang rekayasa komposit laminat merupakan kajian yang
sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Pengujian
mekanis struktur komposit laminat yang dilakukan
mencakup uji tarik (ASTM D638), uji bending (ASTM
D790) , uji impak (ASTM D3379) dan foto makro untuk
melihat mekanisme patahan komposit. Sehingga
permasalahan utama yang penting dikaji adalah perlunya
pemanfaatan bahan alam (khususnya serat tebu) sebagai
bahan penguat komposit untuk rekayasa penganti struktur
logam. Penggunaan bahan alam tersebut dapat digunakan
sebagai komponen body mobil listrik. Adapun
permasalahan yang diambil adalah:
1. Bagaimana pengaruh fraksi volume (Vf) serat tebu
terhadap kekuatan tarik, bending dan impak komposit
laminat?
2. Bagaimana pengaruh orientasi arah serat tebu terhadap
kekuatan tarik, bending dan impak komposit laminat?
33
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perlakuan Alkali (NaOH) Serat
Perlakuan serat daun nanas dengan 0.5% NaOH
selama 2 jam menyebabkan permukaan serat menjadi
kasar karena lapisan seperti lilin di bagian permukaan
serat hilang. Topografi permukaan serat yang kasar
menghasilkan mechanical interlocking yang lebih baik
dengan matrik (George dkk, 1996). Hal ini ditunjukkan
oleh peningkatan modulus elastisitas komposit serat
nanas-LDPE pada (Vf = 30%) sebesar 127% (1400 Mpa)
dibandingkan dengan yang tanpa perlakuan (1100 Mpa).
Perlakuan alkali serat sisal akan mengubah morfologi serat
dan meningkatkan gugus hidroksil, sehingga dapat
meningkatkan kekuatan tarik permukaan, tahan
kelembaban, pembengkakan, adhesi dan kompatibilitas
dengan matrik polimer (Eichhorn dkk, 2001).
Gambar 1. Serat sisal (a) untreated, (b) treated 8%
NaOH (Eichhorn dkk, 2001)
Perlakuan 5% NaOH selama 4, 6, dan 8 jam,
meningkatkan modulus elastisitas serat jute sebesar 12%,
68%, dan 79%. Namun, % regangan patah serat menurun
23% setelah perlakuan 8 jam (Ray dkk, 2001). Perlakuan
5% NaOH serat jute selama 0, 2, 4, 6 dan 8 jam,
mempengaruhi flexural strength komposit jute-vinylester
pada Vf = 30%, yaitu 180.60, 189.40, 218.50, 195.90 dan
197.50 MPa. Harga modulusnya pun mengalami
perubahan yang identik yaitu 10.030, 10.990, 12.850,
12.490 dan 11.170 MPa. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa perlakuan serat selama 4 jam menghasilkan
komposit yang memiliki modulus dan flexural strength
tertinggi. Kondisi penampang patahan komposit dengan
perlakuan serat 0, 2 dan 8 jam menunjukkan adanya fiber
pull out, matric cracking dan transfer fracture, seperti
pada gambar 2.2.
Gambar 2. Penampang patahan komposit
2.2. Aspek Geometri
Menurut Gibson (1994), penempatan serat harus
mempertimbangkan geometri serat, arah, distribusi dan
fraksi volume, agar dihasilkan komposit berkekuatan
tinggi. Untuk suatu lamina unidirectional, dengan serat
kontinyu dengan jarak antar serat yang sama, dan
direkatkan secara baik oleh matrik., seperti ditunjukkan
pada gambar 2.8. Fraksi volume dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut (Shackelford,
1992):
v1
w1
W1 / 1
W1 / 1 W2 / 2 ........
1V1
1V1 2V2 .......
Kekuatan komposit dapat ditentukan dengan persamaan
(Shackelford, 1992) :
C = fvf + mvm
Dimana :
v1, v2, … = fraksi volume,
W1,
W2 ...= berat
w1, w2, … = fraksi berat
V1,
V2..... = volume
1, 2,… = densitas bahan pembentuk
Gambar 3. Struktur mikro komposit dengan serat teratur
dan homogen
3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan nilai fraksi volume dan arah orientasi
serat yang optimum yang menghasilkan nilai kekuatan
tarik dan kekuatan bending maksimal sebagai bahan
baku body mobil listrik.
2. Mendapatkan posisi terlemah dari papan komposit
laminat serat tebu berdasarkan uji tabrak pada
komponen bamper dan pintu mobil listrik.
3. Membantu pengembangan industri mobil listrik di
Universitas Jember khususnya dalam merekayasa serat
alam sebagai bahan baku komposit body mobil listrik.
34
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Menghasilkan bahan organik alam yang relatif lebih
murah dan efisien untuk pembuatan komposit body
mobil listrik.
2. Peningkatan nilai ekonomis dari serat tebu sebagai
bahan yang berkualitas yang memiliki nilai kekuatan
mekanik yang tinggi.
3. Hasil-hasil penelitian serat tebu ini dapat digunakan
sebagai salah satu komponen mobil listrik yang
memeiliki sifat bahan ringan, mudah dibentuk dan
tidak mudah rusak.
4. METODE PENELITIAN
Variabel dalam penelitian
Variabel independent dalam penelitian ini adalah:
1. Serat tebu dengan perlakuan alkali NaOH (lama
perlakuan divariasikan 0 jam, 1jam dan 2 jam)
2. Fraksi volume serat tebu: (10%, 15% dan 20%).
Sedangkan Panjang x Lebar dibuat tetap sebesar 10 cm
x 20 cm (sesuai dengan ukuran cetakan)
3. Komposit kulit dibuat dengan susunan dua lapis,
dengan orientasi arah serat tebu: 0o – 90o, 45o – 45o dan
acak.
Sedangkan variabel dependent yang diharapkan diperoleh
melalui pengujian adalah:
1. Pola patahan akibat gaya normal yang terjadi pada
masing-masing benda uji dengan melihat foto makro.
2. Kekuatan tarik: untuk mengetahu kekuatan mekanis
bahan. beban maksimum dibagi luas penampang
lintang awal benda uji. Kekuatan ini berguna untuk
keperluan spesifikasi dan kontrol kualitas bahan.
material komposit dilakukan uji tarik sesuai dengan
ASTM D638
3. Kekuatan impak (pukulan) digunakan untuk
menghitung besarnya energi yang terserap oleh
komposit pada benda uji
Bahan dan Alat
Bahan dan peralatan penelitian ditunjukkan pada tabel 4.1
dan tabel 4.2
Tabel 1. Bahan penelitian yang digunakan
No
Bahan
Vol
Kegunaan
Serat Tebu
+ 60
Penguat
1
(kontinyu dan
kg
komposit
anyam)
Matrik
Unsaturated
komposit/
2
90 kg
poliester
pengikat serat
Larutan alkali
60
Menghilangkan
3
(5% NaOH)
liter
lignin pada serat
100
4
Air netral (PH 7)
Mencuci serat
liter
Tabel 2. Peralatan penelitian yang digunakan
No
Nama Alat
Kegunaan
1
Universal
bending
Machine
2
Mesin Uji Impak
Carpy
3
Foto Makro
4
Timbangan
Menguji
kekuatan
bending
Ket
FT
Unej
Menguji
kekuatan impak
Foto makro
kegagalan
patahan / retak
rambat
FT
Unej
Mengukur kadar
air
FMIPA
Unej
FT
Unej
Pengolahan Serat
Bahan yang digunakan adalah serat tebu, resin
polyester SHCP 268 BQTN stirine monomer dan katalis
MEKPO (metil etil keton peroksida). Serat diambil dengan
cara menggiling batang tebu terlebih dahulu selama lima
kali pengilingan kemudian direndam dan dicuci dari
kotoran dengan air. Serat diangin-anginkan sampai kering
di tempat teduh. Serat yang telah dibersihkan dari kotoran
lalu direndam dalam larutan alkali NaOH 5% selama 2
jam. Perendaman dilakukan untuk menghilangkan lignin
yang menempel pada serat. Setelah perendaman selesai,
dilakukan netralisasi serat dengan perendaman air selama
3 hari, kemudian serat dikeringkan secara alami. Bahan
matrik yang digunakan adalah unsaturated polyester
SHCP 268 BQTN stirine monomer dan katalis MEKPO
(metil etil keton peroksida) yang digunakan adalah 1%
dari volume poliester.
Manufaktur Komposit Laminat
Proses pembuatan komposit laminat dilakukan dengan
metoda cetak tekan seperti pada gambar 12.b. Jenis serat
yang digunakan sebagai penguat komposit kulit adalah
serat tanpa perlakuan dan serat perlakuan alkali selama 2
jam. Komposit kulit dibuat dengan susunan serat
kontinyu-woven.
Fraksi volume komposit adalah 0%, 10%, 20%, 30%
dan 40% serat tebu. Komposit yang sudah jadi dibuat
menjadi spesimen uji bending sesuai standar ASTM C 393
dengan ukuran lebar 30 mm dan panjang 200 mm dan
spesimen uji impak sesuai standar ASTM D 5942 dengan
ukuran lebar 15 mm dan panjang 150 mm. Spesimen
komposit laminat tersebut dilakukan post cure di dalam
oven pada suhu 62 0C selama 4 jam. Sebelum dilakukan
pengujian, spesimen dioven pada temperatur 60o selama 3
jam untuk memastikan tidak ada delaminasi.
35
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daftar Nilai Uji Tarik
Diketahui kapasitas volume cetakan uji tarik dengan
ukuran (27x17x0,6) cm untuk 14 spesimen adalah 275,4
cm3. Dimana massa jenis adalah massa per satuan volume.
Sedangkan untuk kapasitas volume cetakan uji impak
dengan ukuran (20x6,5x1,2)cm untuk 17 spesimen adalah
156 cm3. Jadi komposisi komposit pada tiap variasinya
dapat dihitung dengan rumus :
Fraksi volume serat = Vs x 100%
Volume polyester = V total - Vs
Dimana : Vs
= Volume serat ,
Vps = Volume polyester
Vtotal = Volume total
Terlihat bahwa nilai kekuatan tarik optimal terjadi
pada fraksi volume 10% dan arah serat 0 – 90 dengan nilai
0,819 N/mm2. Sedangkan untuk fraksi volume serat 15%
nilai kekuatan tariknya cenderung menurun dengan nilai
0,442 N/mm2. Penurunan kekuatan tarik komposit serat
pendek acak ini disebabkan oleh tidak sempurnanya ikatan
antara serat dan matriks seiring dengan penambahan
volume serat pada komposit sehingga menimbulkan
terjadinya fiber pull out. Oleh karena itu orientasi serat
acak ini tidak mampu secara optimum menahan gaya yang
diberikan pada arah dimana gaya bekerja.
Tabel 3. Hasil Pengujian untuk Uji Tarik
Gambar 5. Grafik kekuatan impak terhadap fraksi
volume dan arah serat.
Berdasarkan hasil pengujian tarik dan pengujian
hipotesa menggunakan software spss, dapat disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh panjang serat dan fraksi volume
serat tebu terhadap kekuatan tarik komposit yang
dihasilkan. Uji tarik dilakukan untuk mengetahui beban
tarik maksimal yang mampu ditanggung oleh spesimen
atau material uji. Spesimen dicekam pada alat uji tarik dan
akan dikenai beban tarik hingga spesimen patah. Adapun
grafik nilai kekuatan tarik yang dihasilkan dari variasi
fraksi volume dan arah serat dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Grafik kekuatan tarik terhadap fraksi volume
dan arah serat.
Pada panjang serat 10 mm nilai ketangguhan
impak mengalami peningkatan dari persentase fraksi
volume serat 15% dengan HI sebesar 0,654 joule/mm2
sampai 20% sebesar 0.762 joule/mm2. Jenis patahan yang
terbentuk adalah patah getas, karena permukaan patahan
relatif rata dan tidak terdapat deformasi plastis pada
daerah patahan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil dari penelitian manufaktur
biokomposit laminat serat tebu ini, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari hasil analisa berupa grafik, maka dapat
disimpulkan bahwa nilai kekuatan tarik optimal pada
serat tebu dengan fraksi volume 20% dan arah serat
acak adalah sebesar 1,719 N/mm2. Sehingga fraksi
volume dan arah serat berpengaruh secara signifikan
terhadap kekuatan tariknya.
2. Nilai kekuatan impak optimal terjadi pada fraksi
volume serat 20% dan arah serat acak adalah sebesar
0.76 J/mm2. Jadi fraksi volume dan arah serat
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga
ketangguhan impak.
3. Dari hasil pengamatan struktur mikro pada patahan
spesimen uji tarik maupun uji impak, distribusi serat
terlihat kurang merata karena masih terdapat fiber pull
out. Dan jarak antara serat dengan serat yang lainnya
36
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
didalam
komposit
tidak
sama,
mengakibatkan nilai kekuatannya berbeda.
sehingga
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak
terima kasih pada Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat, Kemen Ristek dan Dikti atas dukungan
finansial sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, G.T. (2006). Pengaruh Fraksi Volume Serat terhadap
kekuatan
Bending
Komposit
Serat
Tebu
Acak/polyester, Tugas Akhir Teknik Mesin
Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta.
ASTM, 1998. “Annual Book of ASTM Standar”, West
Conshohocken
Diharjo K., Legowo B., Masykuri M., Abdullah G., 2005.
” Rekayasa dan Manufaktur Bahan Komposit Laminat
Berpenguat Serat Kenaf Untuk Komponen Gerbong
Kereta ApI”, Jurnal Gelagar Vol 6 No 2, Surakarta.
Febriyanto B dan Diharjo K., 2004. “Kekuatan Bending
dan Impak Komposit Laminat Laminat Kombinasi
Serat Karung Goni dan Serat Tebu-Polyester”, Bagian
dari Riset Kerjasama UNS-PT. INKA, Skripsi, FT
UNS, Surakarta.
Hariyanto, A. (2009). Pengaruh fraksi volume Komposit
Serat Tebu dan Serat Rayon Bermatrik Poliester
terhadap Kekuatan Tarik dan Impak, Fakultas Teknik
Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hartanto, L. (2009). Study Perlakukan Alkali dan Fraksi
Volume Serat Terhadap Kekuatan Bending, Tarik, dan
Impak Komposit Berpenguat Serat Rami- Polyester
BQTN-157, Tugas Akhir, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta.
Junaedi, F. (2008). Pengaruh fraksi volume terhadap
kekuatan tarik dan bending komposit serat hybrid
bambu dan serat E-glass/polyester, Tugas Akhir,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Kowangid M dan Diharjo K., 2003. ”Karakteristik
Kekuatan Bending dan Impak Komposit Laminat
GFRP Dengan Inti PVC Type H 100 dan H 200”,
Skripsi, FT UNS, didukung oleh Proyek Penelitian
Dosen Muda DP3M Dikti Jakarta.
Morisco, 2000. “Rekayasa Bambu Sebagai Bahan
Bangunan”, Thesis Master, Pascasarjana UGM,
Yogyakarta.
Ray D., Sarkar B.K., Rana A.K., dan Bose N.R., 2001.
“Effect of Alkali Treated Jute Fibres on Composites
Properties”, Bulletin of Materials Science, Vol. 24,
No. 2, pp. 129-135, Indian Academy of science.
Roe P.J. dan Ansel M.P., 1985. “Jute-reinforced polyester
Composites”, Journal of Materials Science 20, pp.
4015-4020, UK.
Shultoni, A., 1988. “Studi Tentang Kajian Pengawetan
Bambu Secara Tradisional Untuk Mencegah Serangan
Bubuk”, Disertasi Doktor, Pascasarjana UGM,
Yogyakarta.
Sumardi T.P., Zulfa A., Basukriadi A., Raditya D., dan
Rahman F., 2003. “Rekayasa dan Manufaktur bahan
Komposit berpenguat Serat Limbah Pisang Sebagai
bahan Interior Otomotif dan pesawat terbang”, Media
Mesin, Jakarta.
Wahono, B. (2008). Pengaruh Perlakuan Alkali (NaOH)
terhadap Karakteristik Komposit Serat Buah Kelapa
Sawit/Poliester, Berita Teknologi Bahan dan Barang
Teknik No.22/2008.
Wahyanto dan Diharjo K., 2004. “Karakteristik Kekuatan
Bending dan Impak Komposit Laminat GFRP dengan
Inti kayu Sengon Laut”, Bagian dari Riset Kerjasama
UNS-PT. INKA, Skripsi, FT UNS, Surakarta.
37
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Perancangan “Mobile Weather Station”
Pengukur Intensitas Cahaya Matahari, Curah
Hujan, Kecepatan Angin Dan Keasaman Tanah
Wendy Triadji Nugroho #1, Naning Retnowati *2
#
Jurusan Teknik,Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember
1wtnugroho@gmail.com
*
Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember
2naning_retnowati@polije.ac.id
Abstract
Cahaya matahari, curah hujan, kecepatan angin dan keasaman tanah merupakan komponen-komponen yang mempengaruhi
iklim. Sedangkan petani sangat bergantung pada iklim karena mereka memilih jenis tanaman yang akan ditanam berdasarkan
iklim. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknologi pengukur beberapa komponen yang mempengaruhi iklim seperti
intensitas cahaya matahari, banyaknya curah hujan, besarnya kecepatan angin, keasaman tanah, suhu dan kelembaban. Sensorsensor pengukur besaran-besaran tersebut diintegrasikan dalam suatu prototipe yang disebut Mobile Weather Station. Pada tahun
pertama kegiatan yang telah dilakukan adalah perancangan dan pembuatan Mobile Weather Station beserta pengujian kinerjanya.
Hasil uji kinerja menunjukkan bahwa alat ini dapat berfungsi dengan baik. Selanjutnya pada tahun kedua kegiatan yang dilakukan
penyempurnaan prototipe ini dengan menambahkan sel surya dan aki kering agar alat ini mampu recharge atau menghasilkan
daya secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Disamping itu, ada penambahan data logger beserta modifikasi
modul yang menerjemahkan input dari beberapa sensor ke LCD dan selanjutnya informasi cuaca akan disimpan ke dalam data
logger. Hasil atau luaran penelitian yang diharapkan meliputi modifikasi Mobile Weather Station dan publikasi ilmiah dalam
bentuk jurnal lokal/nasional.
Keywords—cahaya matahari, curah hujan, keasaman tanah, kecepatan angin, Mobile Weather Station
I. PENDAHULUAN
A. Tinjauan Pustaka
Iklim memiliki dua pengertian dan terminologi yang
agak berbeda berdasarkan dimensi waktu, yaitu iklim itu
sendiri dalam pengertian climate, dan cuaca dalam
pengertian weather. Secara sederhana, iklim adalah
gambaran umum atau keadaan rata-rata dari fisika
atmosfer pada suatu lokasi atau wilayah selama periode
waktu tertentu (minimum harian). Sedangkan cuaca
adalah keadaan fisika atmosfer pada suatu lokasi atau
wilayah pada saat tertentu atau dalam periode jangka
pendek (maksimum harian). Pada dasarnya, unsur cuaca
dan iklim adalah sama yaitu penyinaran matahari, suhu
udara, kelembaban udara, tekanan udara, angin, awan dan
curah hujan (Rohmatun Nurul, 2013).
Informasi
iklim
sangat
dibutuhkan
untuk
mengidentifikasi potensi dan daya dukung wilayah untuk
penetapan strategi dan arah kebijakan pengembangan
wilayah dalam bidang pertanian, transportasi atau
perhubungan, telekomunikasi, dan pariwisata. Di bidang
pertanian informasi tentang iklim dapat digunakan untuk
menentukan pola tanam, cara pengairan, pemwilayahan
agroekologi, dan komoditi. Pemwilayahan komoditi
pertanian dapat disusun berdasarkan agroklimat, karena
tiap jenis tanaman mempunyai persyaratan tumbuh
tertentu untuk berproduksi optimal. Suatu tanaman yang
tumbuh, berkembang dan berproduksi optimal secara
terus-menerus memerlukan kesesuaian iklim. Kondisi
kesesuaian tersebut memungkinkan suatu wilayah untuk
dikembangkan menjadi pusat produksi suatu komoditi
pertanian (Riki Hidayathi, 2012).
Di bidang perikanan, iklim dan cuaca juga
mempengaruhi penangkapan ikan di laut lepas (alami)
maupun budidaya. Pengelolaan budidaya ikan sebagai
tanggapan terhadap perubahan ikIim memerlukan
penanganan yang berbeda dengan penangkapan ikan di
laut lepas. Sebagai contoh, sebagian besar nelayan
bergantung pada populasi alami, dimana variabilitasnya
tergantung pada proses lingkungan terkait dengan
38
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
tersedianya ikan muda (young stock), pakan, dan faktor
predasi selama siklus hidupnya. Berbagai dampak
terhadap ekosistem perairan dapat diramalkan berkaitan
dengan perubahan berskala-besar pada suhu, presipitasi,
angin, dan pengasaman. alam jangka pendek (beberapa
tahun), naiknya suhu mungkin belum berpengaruh
terhadap fisiologi ikan alami di suatu wilayah akibat
terbatasnya transport oksigen. Hal ini berbeda dengan
ikan yang dibudidayakan, dimana naiknya suhu diyakini
sangat mempengaruhi perilaku dan penyebaran ikanbudidaya baik di laut maupun di air tawar (Komunitas
Penuluh Perikanan, 2012).
Di bidang transportasi, informasi tentang cuaca, suhu,
arah dan kecepatan angin, tinggi gelombang, badai, awan,
dan kabut dapat dimanfaatkan untuk menentukan jalur
penerbangan udara dan transportasi laut. Di bidang
telekomunikasi, arus angin, kondisi hujan atau mendung
dapat digunakan untuk mengatur komunikasi antar daerah.
Sedangkan di bidang pariwisata, informasi mengenai
cuaca cerah, banyak cahaya matahari, kecepatan angin,
udara sejuk, kering, panas, dan sebagainya sangat
mempengarui terhadap pelaksanaan wisata, baik wisata
darat maupun laut.
Informasi
iklim
yang
dibutuhkan
dalam
pengembangan wilayah adalah identifikasi dan
interpretasi potensi dan kendala iklim berdasaran data
meteorologi, seperti curah hujan, suhu udara, radiasi surya
dan unsur iklim lainnya. Oleh karena itu maka diperlukan
suatu alat berupa stasiun cuaca untuk mendeteksi kondisi
intensitas cahaya matahari, curah hujan, kecepatan angin,
dan keasaman tanah yang dapat berpindah (mobile)
dengan mudah.
B. Identifikasi Masalah
Masalah yang ingin diteliti adalah menguji unjuk kerja
Mobile Weather Station dengan mengukur beberapa
variabel cuaca seperti intenstas radiasi matahari,
kecepatan angin, curah hujan, suhu, kelembaban relatif,
dan keasaman tanah. Lokasi pengujian dipilih daerah Silo
(dataran tinggi) dan Puger (dataran rendah).
II. TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia
adalah keadaan alam, dimana salah satu aktivitas alam
adalah cuaca. Keadaan cuaca sangat berpengaruh pada
kehidupan manusia. Manusia memiliki keterbatasan
dalam memonitor kondisi cuaca secara terus-menerus.
Pengamatan cuaca diharapkan dapat dilakukan di tempat
yang dekat dengan pemukiman dan dalam waktu yang
singkat. Pada kenyataannya, stasiun pengamat cuaca
biasanya berada di lokasi yang jauh dari jangkauan
pengamat. Sehingga untuk melakukan pengamatan
diperlukan waktu khusus/tertentu sesuai dengan
kebutuhannya.
Data iklim dan cuaca bermanfaat dalam perencanaan
pola tanam dan irigasi. Dengan mengetahui bulan basah
dan bulan kering sepanjang tahun, kita dapat
merencanakan pola tanam serta tanaman yang sesuai
untuk tahun itu. Dari data curah hujan, kita dapat
memprediksi keperluan irigasi setiap musim. Berapa
banyak kekurangan air yang dibutuhkan tanaman jika kita
menanam jagung pada musim kering. Intensitas radiasi
matahari dan suhu memberikan pengaruh nyata pada
pertumbuhan tanaman. Petani akan dapat memperkirakan
tingkat pertumbuhan yang akan dialami oleh tanaman.
Kondisi iklim biasanya ikut mempengaruhi dinamika
populasi hama. Di daerah tropika seperti Indonesia,
peningkatan suhu pada musim kemarau akam
mempercepat perkembangan hama. Sedangkan pada
musim basah, tanaman akan rentan terserang oleh jamur
dan patogen lain. Informasi mengenai intensitas radiasi
matahari juga dibutuhkan dalam proses penamganan pasca
panen khususnya penjemuran. Ini berarti bahwa keadaan
cuaca membrikan andil terhadap produksi hasil pertanian
(Anneahira, 2013).
Keadaan cuaca juga sangat berpengaruh dalam
mengatur masalah transportasi terutama transportasi udara
dan laut. Selain itu dapat digunakan dalam bidang
komunikasi sebagai acuan bahwa keadaan cuaca
menentukan baik tidaknya sinyal komunikasi pada waktuwaktu tertentu. Oleh karena itu diperlukan sistem
monitoring cuaca yang akurat dan lebih mudah
dioperasikan (Prasetyo, 2010).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuat
stasiun cuaca mini yang dapat dipindah dengan mudah.
Hal ini dilatarbelakangi oleh keterbatasan kemampuan alat
yang dimiliki Badan Meteorologi dan Geofisika. Badan
tersebut biasanya hanya mampu memetakan kondisi cuaca
dan iklim secara global, sehingga untuk kebutuhan khusus
di tempat dan waktu tertentu diperlukan suatu alat ukur
variabel-variabel penentu cuaca yang mudah digunakan
dan dapat dipindah sesuai dengan kebutuhan.
Penelitian mengenai stasiun cuaca sudah pernah
dilakukan sebelumnya. Salah satunya adalah Stasiun Mini
Sebagai Sistem Pendeteksi Suhu dengan memanfaatkan
Dallas Semiconductor 1621 oleh Prasetyo. Ide awal
pembuatan sistem stasiun cuaca mini yang didalamnya
terdapat peralatan inti, yaitu termometer digital adalah
penelitian yang dilakukan Alberto Ricci yang membuat
software
sebagai
PC
thermometer
(http://www.geocities.com/ariccibitti/)
dan
sirkuit
elektronis yang dirangkai oleh Claudio Lanconelli dengan
menggunakan. Dallas semikonduktor DS1621 sebagai
komponen penentu (http://www.cs.unibo.it/~lanconel).
Dari situlah Prasetyo mencoba merangkai ulang sirkuit
elektronis dan mengembangkan softwarenya agar
menjadi suatu sistem stasiun cuaca mini sebagai
pendeteksi dan pencatat suhu udara.
39
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Stasiun cuaca mini merupakan sistem hasil rancangan
yang terdiri dari perangkat keras termometer digital yang
berupa rangkaian elektronik, perangkat lunak aplikasi
thermometer digital dan database penyimpan data-data
besaran suhu. Dalam sistem stasiun cuaca mini,
termometer digital adalah suatu hardware (perangkat
keras) yang berupa rangkaian elektronik. Sebagai
pendeteksi suhunya menggunakan sensor yaitu berupa IC
jenis DS 1621 (dallas semikonduktor 1621). Sebagai
sebuah sistem, stasiun cuaca mini tidak hanya berupa
hardware tetapi merupakan suatu kesatuan kerja antara
hardware dan software yang bekerja saling berhubungan.
Software berfungsi sebagai penerima output dari hardware
yang kemudian menampilkan besaran suhu secara digital
dalam besaran tertentu kemudian mencatat dan
menyimpan besaran suhu yang diterima kedalam database
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Bahan yang digunakan adalah sensor-sensor pengukur
intensitas radiasi matahari, curah hujan, kecepatan angin
dan keasaman tanah, data logger, serta panel surya .
Sedangkan peralatan yang dipakai adalah mesin las,
toolset, dan solder.
C. Metode Pengambilan dan Penglahan Data
Data-data diperoleh dari pengukuran intensitas radiasi
matahari, curah hujan, kecepatan angin dan keasaman
tanah.
Data-data hasil pengukuran diolah dengan
menggunakan program Microsoft Excell, sedangkan
bahasa
pemrograman
yang
digunakan
untuk
menerjemahkan hasil pengukuran dari sensor dan diolah
oleh mikrokontroler menggunakan bahasa C++.
Mobile Weather Station ditunjukkan oleh Gambar 1 di
bawah ini.
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
merancang dan membuat alat “Mobile Weather
Station”
menguji kinerja alat
menambah panel surya sebagai power recharge
system serta data logger sebagai penyimpan data
selama beberapa waktu tertentu.
Prototipe
Mobile Weather Station dapat
dikembangkan
oleh
pemerintah
dan
didistribusikan/ditempatkan ke lokasi-lokasi yang
sulit dijangkau alat transportasi.
B. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mobile Weather Station diharapkan dapat memberikan
informasi yang akurat tentang keadaan cuaca dan
keasaman tanah sehingga dapat bermanfaat bagi petani,
nelayan, pemerintah, dan swasta yang bergerak di bidangbidang yang berkaitan dengan kondisi iklim, cuaca dan
tanah.
IV. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2015 sampai
dengan bulan Juli 2016. Sedangkan tempat penelitiannya
ada tiga, yaitu:
di Laboratorum Teknik Otomtif Politeknik Negeri
Jember sebagai lokasi perakitan alat
di daerah Silo dan Puger sebagai tempat pengujian
alat
Gambar 1. Mobile Weather Station
Gambar 2 di bawah merupakan display LCD yang
menampilkan informasi-informasi hasil pengukuran
beberapa variabel cuaca.
B. Bahan dan Alat
Gambar 2. Display Mobile Weather Station
40
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
TABEL I
HASIL PENGUKURAN INTENSITAS RADIASI DAN
KECEPATAN ANGIN
Pukul
Gambar Gambar 3. Peneliti dengan panel surya sebagai
power recharge system
Adapun langkah-langkah penelitian ini ditunjukkan oleh
Gambar 4.
Studi literatur
Penyiapan alat dan bahan
Merancang desain Mobile Weather Station
Intensitas Radiasi
(W/m2)
Kecepatan Angin
(m/s2)
Silo
Puger
Silo
Puger
8:00
97,96
156,7992
0,2
0,8
9:00
203,82
177,2997
1
1,2
10:00
338,91
204,6179
4
3
11:00
443,19
258,0772
4
5,2
12:00
540,36
280,7423
5
6
13:00
43,687
245,4925
2
4,8
14:00
309,68
219,8096
0,1
3,2
15:00
147,73
167,2272
0,3
2,7
16:00
36,34
132,2065
0,19
1,5
17:00
16,59
82,7604
0,1
0,5
Tabel 2 merupakan hasil pengukuran curah hujan dan
suhu mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan 17.00 WIB
untuk daerah Silo dan Puger.
TABEL II
HASIL PENGUKURAN CURAH HUJAN DAN SUHU
Curah hujan (mm)
Suhu (ᵒC)
Pukul
Silo
Puger
Silo
Puger
8:00
0
0
26
27
9:00
0
0
27
28,5
Menguji kinerja Mobile Weather Station
10:00
5
0
27,5
29
11:00
50
20
28,5
30
Selesai
12:00
79
30
29
31
13:00
12
25
28
31
14:00
0
10
27
30
15:00
0
0
26
28,5
16:00
0
0
25
27
17:00
0
0
25
26
Membuat �
��
�ℎ � �� ��
Gambar 4. Dagram alir penelitian
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
A. Data Hasil Pengukuran
Tabel 1 merupakan hasil pengukuran intensitas radiasi,
dan kecepatan angin mulai pukul 08.00 WIB sampai
dengan 17.00 WIB untuk daerah Silo dan Puger.
Tabel 3 merupakan hasil pengukuran kelembaban
relatif dan keasaman tanah mulai pukul 08.00 WIB sampai
dengan 17.00 WIB untuk daerah Silo dan Puger.
41
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
TABEL III
HASIL PENGUKURAN KELEMBABAN RELATIF DAN
KEASAMAN TANAH
Pukul
Keasaman
Tanah (pH)
8:00
Silo
88
Puger
80
Silo
6,4
Puger
6,11
9:00
85
77
6,5
6,2
10:00
80
76
6,5
6,3
11:00
78
75
6,8
6,3
12:00
77
73
7
6,5
13:00
76
70
7,1
6,6
14:00
79
73
7,2
6,4
15:00
82
78
7,1
6,4
16:00
85
76
7
6,2
17:00
85
75
6,9
6
80
Curah hujan (mm)
Kelembaban
Relatif (RH) %
90
50
40
Silo
30
Puger
20
0
0:00
4:48
9:36
Pukul
14:24
19:12
Gambar 7. Curah hujan untuk daerah Silo dan Puger
35
30
Suhu (C)
25
600
500
400
300
200
100
20
15
Silo
10
Puger
Puger
5
Silo
0
0:00
4:48
0
0:00
4:48
9:36 14:24 19:12
Pukul
Gambar 5. Intensitas radiasi matahari untuk daerah Silo
dan Puger
7
6
5
4
3
Silo
2
Puger
1
0
0:00
4:48
9:36
Pukul
9:36
Pukul
14:24
19:12
Gambar 8. Suhu untuk daerah Silo dan Puger
14:24
19:12
Kelembaban Relatih (RH)
Intnsitas Radiasi Matahari
(W/m2)
60
10
Tabel 1, 2, dan 3 apabla dinyatakan dalam sebuah
kurva akan menjadi Gambar 5 sampai dengan Gambar 10.
Kecepatan Angin (m/s2)
70
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0:00
Silo
Puger
4:48
9:36
Pukul
14:24
19:12
Gambar 9. Kelembaban relatif udara untuk daerah Silo
dan Puger
Gambar 6. Kecepatan angin untuk daerah Silo dan Puger
42
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
mempertimbangkan keadaan geografis Silo maupun
Puger, maka dapat disimpulkan bahwa hasil pengukuran
Mobile Weather Station sudah baik dan dapat dipercaya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Mobile Weather
Station dianggap cukup layak untuk digunakan dan
dikembangkan lebih lanjut.
8
Keasaman Tanah (pH)
7
6
5
4
Silo
3
Puger
2
1
0
0:00
4:48
9:36
Pukul
14:24
19:12
Gambar 10. Keasaman tanah untuk daerah Silo dan Puger
B. Pembahasan
Gambar 5 menunjukkan bahwa intensitas radiasi
matahari mencaai nilai tertinggi saat ukul12.00 wib.
Daerah puger mendapat intensitas radiasi matahari lebih
tinggi dibandingkan daerah silo.
Gambar 6 menunjukkan bahwa pola yang hamir sama
dengan gambar 5. Kecepatan angin tertinggi dicapai
sekitar tengah hari. Rata-rata kecepatan angin di daerah
puger lebih tinggi dibandingkan daerah silo.
Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kondisi di puger
yang dekat pantai sehingga tidak ada yang menghambat
hembusan angin.
Gambar 7 menampilkan distribusi curah hujan di
daerah silo dan puger. Dari grafik tersebut terlhat bahwa
banyaknya curah hujan di daerah silo lebih tinggi
dibandingkan di puger.
Gambar 8 menyajikan informasi tentang perubahan
suhu yang terjadi dari pagi hingga petang untuk daerah silo
dan puger. Pada umumnya suhu di puger lebih tinggi
dibandingkan di silo. Hal ini disebabkan daerah silo lebih
tinggi dibandingkan di puger.
Gambar 9 menunjukkan kondisi kelembaban yang ada
di daerah silo dan puger dari pukul 08.00 wib hingga 16.00
wib. Dari gambar 9 tersebut dapat diketahui bahwa silo
memiliki kelembaban lebih tinggi dibandingkan puger.
Gambar 10 menampilkan informasi tentang keadaan
keasaman tanah untuk daerah silo dan puger. Dari gambar
10 dapat diketahui bahwa tanah di daerah silo memiliki ph
lebih tinggi dibandingkan dengan tanah di daerah puger.
B. Saran
Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang lebih
akurat sebaiknya dilakukan:
a. Pengecekan secara berkala terhadap sensor-sensor
yang digunaan agar diperoleh hasil pengukuran yang
presisi
b. Melakukan verifikasi hasil pengukuran
Mobile
Weather Station dengan cara membandingkan hasil
pengukuran alat itu dengan hasil pengukuran yang
dilakkan oleh BMKG
c. Melakukan verifikasi periodik terhadap data-data hasil
pengukuran dengan tujuan didapat hasil yang valid
d. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan untuk
mengembangkan prototipe
Mobile Weather Station.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
Anneahira. (2013) Badan Meteorologi dan Geofisika Menunjang
Keberhasilan
Pertanian.
[Online].
Tersedia:
http://anneahira.com/2013/10/badan -meteorologi-dan-geofisika.
Encep Suryana. (2011) Otomatisasi Stasiun Cuaca Untuk
Menunjang Kegiatan Pertanian. [Online]. Tersedia:http://jostblogencepsuryana.blogspot.com/2011/10.
(2014) Komunitas Penyuluh Perikanan. Dampak Perubahan Iklim
Terhadap Kegiatan Perikanan dan Ketahanan Pangan website.
[Online]
Tersedia:http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com.
Rohmatun Nurul. (2013) Pengaruh Cuaca dan Iklim terhadap
kehidupan
manusia.
[Online].
Tersedia:http://rohmatunnurul.blogspot.com/2013/01/pengaruhcuaca-dan-iklim.
Prasetyo, “Stasium Mini sebagai Sistem Pendeteksi Suhu dengan
Dallas Semikonduktor 1621,” Jurusan Teknik Informatika
Amikom, Yogyakarta. 2010
Riki Hidayathi. (2012) Manfaat Iklim di Bidang Pertanian.
Website.
[Online].
Tersedia:
http://rikihidayathidayat.blogspot.com.
Setiawan, A.C. dan S. Tirtosastro, “ Otomatisasi pengendalian
suhu dan kelembaban ruang omprongan tembakau,” Balai
Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (tidak dipublikasikan).
1994.
Winarso, P.A.,”Peramalan Cuaca & Iklim serta Pemanfaatannya
untuk Pertanian. Makalah Pelatihan Analisa & Pemantauan Faktor
Iklim untuk Pertanian, Dept. Pertanian,” 1998 Jakarta.
Winarso, P.A.,“Kondisi & Masalah Penyusunan Prakiraan Cuaca
& Iklim dan Prospeknya di Indonesia,”2000. BMG, Jakarta.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil pengukuran yang ditunjukkan oleh Tabel 1
sampai dengan Tabel 3 serta Gambar 5 hingga Gambar 10
apabila dibandingkan dengan pengukuran lain, dan dengan
43
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
RANCANG BANGUN alat sterilisasi non
thermal metode PULSA ULTRAVIOLET
UNTUK karkas ayam
Wahyu Suryaningsih#1, Supriono#2, Budi Hariono#3
#1
PS. Teknologi Industri Pangan-Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip PO. Box 164 Jember
wahyu.suryaningsih@Yahoo.com
*
PS. Keteknikan Pertanian-Jurusan teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember Kota
Abstract
Penelitian ini bertujuan membuat prototipe instalasi pulsa cahaya ultra violet dengan desain ruang, lampu, sistem
pengendalian suhu dan kelembaban udara sesuai dengan lethal dose Salmonella sp. dan uji fungsional serta struktural.
Metode yang digunakan adalah rancangbangun instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) dan uji coba penggunaan
sinar UV untuk mendapatkan pengaruh penghambatan atau membunuh bakteri Salmonella Sp dalam kultur cair dan pada
karkas ayam dengan tiga kali ulangan. Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) untuk karkas ayam mempunyai
spesifikasi dimensi bentuk panjang 860 mm, lebar, 750 mm dan tinggi 1280 mm, 2 buah reflektor panjang 30 cm, lebar 70
cm, dengan luasan 4200 cm2, 4 buah lampu UV C tipe TUV25 W-4P-SE, dengan intensitas 66 µW/cm2 per meter dan kapasitas
daya sterilisasi sisten UV C adalah 5,744 Watt dan kapasitas ruang sterilisasi 3 ekor karkas ayam dengan berat sekitar 7,5 kg.
Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet (UV) untuk karkas ayam mampu menurunkan laju pertumbuhan bakteri
salmonella, sp sebesar µ = 0,086 log CFU per jam, menurunkan jumlah bakteri Salmonella, Sp dalam kultur cair 1 log cylcle
dan karkas ayam sebesar 2 log cycle.
Keywords— Bakteri salmonella, sp ; Karkas ayam; sterilisasi non thermal, Ultra Violet
BAB I. Pendahuluan
Bakteri Salmonella merupakan bakteri utama
yang mengkontaminasi produk unggas. Pengurangan
cemaran Salmonella karkas unggas dengan dengan larutan
klorin (WHO, 1998; Keener et al., 2004; Hecer et al.,
2007). Pencemaran mikroba karkas ayam dapat dikurangi
dengan larutan klorin 20-50 ppm (Shane, 1992; James et
al., (1992).
Namum kurang efektif, karena sifat
antimikroba berkurang pada suhu tinggi dan bahan
organik, meninggalkan residu (Ngadi et al, 2004) dan
menyebabkan perubahan warna (Siragusa, 1995).
Teknologi pulsa cahaya UV merupakan metode
alternatif karena memiliki keuntungan, seperti efektif
menginaktivasi mikroba pathogen, waktu proses singkat,
sifat penetrasi tinggi (Xenon, 2008;. Om-Oliu et al, 2008),
serta mencegah replikasi DNA mikroba (Miller et al,
1999;. Rupp, 2006; Xenon, 2008). Kebanyakan aplikasi
UV digunakan untuk bahan cair yang transparan,
sedangkan instalasi UV untuk bahan padatan seperti
karkas ayam belum dilakukan. Pembuatan instalasi UV
untuk karkas ayam diharappkan mempu menurunkan
cemaran bakteri salmonella, sp
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Karkas Ayam
Menurut BSN (1995), karkas ayam sesuai SNI
01-3924-1995 adalah bagian ayam hidup setelah dipotong,
dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya,
kepala dan leher serta kedua kakinya telah dipotong.
B. Sumber Utama Pencemaran Karkas
Mikroba yang mencemari karkas ayam berupa
mikroba pembusuk serta mikroba patogen. Mikroba
pembusuk menurunkan mutu dan kelayakan karkas serta
berpengaruh
terhadap
nilai
ekonomis
seperti
Pseudomonas, sedangkan mikroba patogen dapat
menyebabkan foodborne disease, diantaranya yaitu
Salmonella, Echerichia coli, Campylobacter jejuni,
Listeria Monocytogenes, Clostridium perfringens dan
Staphylococcus aureus (ICMSF 2005) seperti terlihat pada
Tabel 1.
44
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Tabel 1. Tabulasi Mikroba Patogen Pada Karkas
Letak/bagian Jenis mikroba
Tingkat
Referensi
tubuh karkas
cemaran
Kulit ayam
broiler
Salmonella
1,4x103
cfu/100
g kulit
Notermans et
al.,(1975),
CMSF(2005)
Kulit
perikloaka
Permukaan
kulit karkas
Campylobacter
jejuni
Clostridium
perfringens
103-106
cfu/g
Jumlah
sedikit
ICMSF
(2005)
ICMSF
(2005)
C. Ultraviolet C
Cahaya ultraviolet C banyak digunakan secara
komersial untuk disinfektan partikel penyaring udara dan
dekontaminasi permukaan setelah pembersihan. Cahaya
UV-C memiliki sifat kedalaman penetrasi yang rendah
sehingga cocok digunakan pada permukaan. Penggunaan
UV diijinkan di beberapa negara untuk aplikasi pada
produk makanan, tetapi dapat dengan mudah
menyebabkan perubahan warna dan off flavor (cita rasa
yang menyimpang) jika penggunaan dosis dan lama
perlakuan yang tidak tepat (Koutchma et al. 2009).
D. Estimasi Dosis UV
Dosis UV adalah hasil perkalian intensitas
dengan waktu kontak (mJ/cm2). Dosis UV-C yang umum
digunakan untuk menginaktivasi mikroba tertera pada
Tabel 2
Tabel 2. Aplikasi dosis UV-C (mJ/cm2) pada Berbagai
Mikroba
Jenis mikroba
D10 UV Dosis (mJ/cm2)
Enteral bacteria
2-8
Cocci dan micrococci
1.5 – 20
Spora
4 – 30
Virus
5 – 30
Ragi
2.3 – 8
Fungi
30 – 300
Protozoa
60 -120
Alga
300 – 600
Sumber : (Koutchma et al. 2009)
Sumber : Victor et al. (2011)
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT
PENELITIAN
A.
Tujuan Penelitian
Membuat prototipe instalasi Pulsa Cahaya UV
dengan desain ruang dan lampu sesuai dengan lethal dose
Salmonella sp
B.
Manfaat Penelitian
Menghasilkan prototipe instalasi Teknologi Pulsa
Cahaya UV yang bisa diterapkan ditingkat pemotongan
ayam tradisional dan digunakan sebagai informasi dasar
penggunaan model kinetika bakteri salmonella, sp dengan
sterilisasi UV pada karkas ayam untuk membunuh bakteri
salmonella, sp.
BAB IV. METODE PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Alat Mesin
Pertanian (ALSINTAN), Bengkel Pak Gatot Jember dan
Laboratorium Biosain Politeknik Negeri Jember.
Penelitian dilakukan 10 bulan, mulai tanggal 1 Februari
2015 sampai 30 Nopember 2015
B.
Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan yang digunakan membuat rancangbangun
instalasi UV untuk dekontaminasi karkas ayam adalah :
rel, motor penggeser karkas, speed kontroler, penggantung
karkas, besi siku 50x50x5 mm, dinding reflector terbuat
dari stainless steel ST 304, casing dan lampu UV tipe C.
Bahan yang digunakan untuk menghitung prototipe alat
adalah karkas ayam, bakteri Salmonella Sp dibeli di
Universitas Erlangga, alkohol 70%, etanol 95 %, aquades
dan Salmonella dan Shigella Agar (SSA).
2.
Alat
Pemotong besi, las, gergaji, gunting besi, bangku
dan peralatan bengkeluntuk membuat alat sterilisasi UV.
Peralatan untuk uji coba adalah Erlenmeyer, cawan petri,
gelas ukur, pipet, mikropipet, inkubatror, autoclave,
timbangan analitik, vortex, masker, sarung tangan,
bunsen, botol semprot dan korek api.
C.
Metodologi Penelitian
Metode
penelitian
dengan
membuat
rancangbangun instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet
(UV) dan menguji alat tersebut untuk mendapatkan
pengaruh penghambatan atau membunuh Salmonella Sp
pada karkas ayam dengan tiga kali ulangan
Pengujian kemampuan alat dalam membunuh
bakteri salmonella, sp dilakukan dengan pembuatan kurva
pertumbuhan bakteri salmonella,sp yang dipapar selama
30 menit dengan 3 kali ulangan.
D.
Pengamatan Penelitian
1. Perhitungan Kapasitas alat sterilisasi non
thermal metode UV
2.
Pembuatan
kurva
pertumbuhan
bakteri
salmonella,sp yang dipapar selama 30 menit
dengan 3 kali ulangan.
45
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
KOTAK PANEL
KIPAS
PENDINGIN
600
80
800
1280
0
PINTU
510
300
KAIT
RUANG
PERLAKUAN
KOTAK LAMPU
RANGKA
Gambar 1.
Disain Profil Alat Sterilisasi Karkas Ayam
Sistem UV
Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet
(UV) untuk karkas ayam terdiri atas bagian utama , yaitu
kotak sterilisasi, kotak lampu Ultraviolet (UV), Batang
penggantung kait berjumlah 1, kotak panel ( MCB dan
pengatur waktu) dan rangka.
1. Kotak Sterilisasi
Kotak sterilisasi dengan dimensi panjang 800
mm, lebar 500mm dan tinggi 600mm. Semua sisi kotak
dibuat tertutup rapat, kecuali kedua sisi dibagian sebelah
kanan dan kiri dipasang pintu untuk keluar masuk bahan.
Kedua pintu berukuran tinggi 510 mm dan lebar 300 mm.
Sisi kotak bagian atas dipasang 2 buah kipas penyedot
(exhaust fan) kapasitas 10 watt yang diletakkan
berseberangan secara diagonal untuk mendinginkan suhu
ruangan. Dinding penutup dan daun pintu terbuat dari
bahan plat steinless steel mengkilap SS104 setebal 3 mm
yang dapat memantulkan cahaya dengan baik, sehingga
cahaya dari lampu ultra violet (UV) dapat dimanfaatkan
secara optimum dan tidak memapar keluar.
Kotak sterilisasi bagian dalam terdapat ruang
perlakuan (treatment chamber) yaitu ruang tempat produk
yang berupa karkas ayam yang digantung dan dipapar
sinar UV dari ke dua sisi yang terletak di bagian tengah
memanjang. Ruangan bagian dalam dilengkapi batang
penggantung kait dibagian atas memanjang ruangan
Tabel 4.
No.
1
2
3
4
5
6
Spesifikasi Lampu UV
Komponen
Cap/base
4 pin single –ended
Tube diameter 16 mm
Lamp voltage
82 V
Lamp current
350 mA
Lamp wattage
25 W
Intensitas
66µW/cm2pada jarak 1 meter
Jarak antara lampu dan produk dapat diperkecil
dengan menggeser ke dua kotak lampu tersebut masingmasing dapat digeser 6 cm mendekati produk . Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat Gambar 2.
KIPAS PENDINGIN
BATANG
PENGGANTUNG
KAIT
KOTAK
LAMPU
400
LAMPU
UV-C
UV
120
A. Profil Alat Sterilisasi Karkas Ayam Sistem Sinar
Ultra Violet
Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet
(UV) untuk karkas ayam berbentuk kotak, dengan dinding
rapat kedap cahaya dan dibuat sistem portable untuk
mobilitas. Dimensi alat berukuran panjang 860 mm, lebar
750 mm dan tinggi 1280 mm, seperti yang terlihat pada
Gambar 1.
seperti reel yang dapat digeser menggunakan bahan
steinless steel steinless steel . Karkas ayam yang akan
disterilisasi dikaitkan pada kait (hook) yang terpasang
pada penggantung tersebut. Batang penggantung kait
tersebut dapat digeser keluar untuk memudahkan proses
pemasukan dan pengeluaran karkas ayam dari ruang
sterilisasi.
2. Kotak Lampu
Kotak lampu UV dipasang sebelah muka dan
belakang ruang perlakuan secara horizontal sebagai
sumber cahaya UV. Masing-masing kotak lampu
dipasang dua buah lampu TL UV - C secara sejajar dengan
jarak 12 cm. Kotak lampu dilengkapi reflektor untuk
memantulkan cahaya yang mengarah ke atas dan ke
bawah, sehingga cahaya hanya mengarah ke produk yang
disterilisasi. Reflektor dibuat dari bahan steinless steel
mengkilap, berukuran panjang 70 cm dan tinggi 30 cm dan
dipasang saling berhadapan, sehingga produk berada di
antara reflektor tersebut.
Lampu yang digunakan berjenis lampu TL UV-C
tipe TUV 25W 4P-SE, panjang gelombang sinar ultra –
violet berkisar 250 – 280 nm, tepatnya 253,7 nm.
Spesifikasi lampu UV dapat dilihat pada Tabel 4.
300
BAB V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
UV
320
GESER
SATUAN DALAM mm
RUANG
PERLAKUAN
Gambar 2. Penampang Melintang Kotak Sterilisasi
46
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
3.
Rangka
Rangka berfungsi sebagai penopang dan tempat
dipasangnya kotak sterilisasi dan kotak panel. Rangka ini
dibuat dari bahan steinless steel bentuk kotak 4 x 4 cm
dan dipasang roda yang dipasang dikempat bagian
sudutnya.
4.
Kapasitas Alat instalasi teknologi pulsa cahaya
ultraviolet (UV)
Kapasitas alat instalasi UV dihitung sebagai
output per satuan waktu yaitu berat karkas ayam yang
disterilisasi per jam atau kemampuan alat sterilisasi dalam
menginaktivasi mikroba tertentu persatuan waktu. Laju
inaktivasi proses sterilisasi dinyatakan dengan log
reduksi,1 log reduksi artinya membunuh 90 %. Laju
sterilisasi atau inaktivasi mikroba berhubungan dengan
dosis Ultra Violet (UV). Semakin tinggi laju sterilisasi
yang diinginkan dibutuhkan dosis UV yang tinggi pula.
Perhitungan dosis UV yang dipaparkan ke
permukaan produk karkas ayam dapat dilakukan
menggunakan rumus sebagai berikut :
Dosis UV = I x T
Dimana I = Intensitas ( mW/cm2 atau µ W/cm2 per meter)
T = Waktu paparan (detik)
Biasanya satuan dosis menggunakan J/m2, mJ/cm2,
mW·det/cm2 , µW·det/cm2
10 J/m2 = 1 mW·det/cm2 = 1 mJ/cm2
Nilai 1 mJ/cm2 adalah dosis spesifik yang akan
mempengaruhi operasi dan keberhasilan sistem UV.
5.
Intensitas Sinar UV-C
Lampu UV-C yang digunakan adalah tipe TUV
dengan emisi utama pada 253,7 nm mampu inaktivasi
mikroba. Jumlah dan ukuran lampu UV dalam kotak
lampu dapat dirubah dari buah empat menjadi satu buah.
Sedangkan ukuran lampu dapat diganti dengan lampu
dengan dimensi yang lebih kecil, misalnya lampu TUV
26W-4P-SE dapat diganti dengan TUV 16W-4P-SE, maka
intensitasnya akan berubah 66 µW/cm2 menjadi 23
µW/cm2 . Intensitas lampu UV akan mengalami
penyusutan dengan umur pemakaian.
6. Luas Paparan UV
Luas paparan yang dapat diberikan oleh lampu
UV didekati dengan luas reflektor pada kotak lampu.
Ukuran luas paparan oleh lampu UV adalah 30 x 70 cm2 =
2100 cm2. Ukuran reflektor tidak dapat diubah karena
permanen.
7. Jarak Paparan
Ukuran ruang perlakuan adalah 70 x 30 x 40 cm3
dan produk karkas ayam diletakkan ditengah-tengah nya.
Jika diasumsikan tebal karkas ayam yang terbesar adalah
20 cm maka jarak paparan antara permukaan karkas ayam
dengan lampu UV adalah (40 cm – 20 cm) /2 = 10 cm.
Jarak tersebut adalah jarak rata-rata karena bentuk karkas
alam tidak datar tetapi berlekuk-lekuk. Jadi jarak paparan
UV masing-masing adalah 10 cm. Volume ruang
perlakuan tidak dapat diisi dengan karkas ayam secara
penuh tetapi hanya diisi dengan 3 ekor karkas ayam yang
berukuran berat diasumsikan = 3 x 2,5 kg = 7,5 kg. Hal ini
dilakukan agar karkas ayam dapat dipapar sinar UV secara
merata.
Waktu yang diperlukan pemaparan sinar UV
untuk sterilisasi ditentukan oleh jenis mikroba.
Berdasarkan data – data tersebut dapat peroleh spesifikasi
alat sterilisasi sistem UV seperti yang terlihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Spesifikasi Alat Sterilisasi Karkas Ayam Sistem
UV
Dimensi Alat
Panjang p
: 860 mm
Lebar l
: 750 mm
Tinggi t
: 1280 mm
Reflektor
:
Tinggi
: 30 cm
Lebar
: 70 cm
Jumlah
: 2 Unit
Luas
: 4200 cm2
Lampu UV-C
Tipe
: TUV25W-4P-SE
Intensitas
: 66 (µW/cm2 per meter)
Jumlah
: 4 buah
Jarak Paparan UV
: 10 cm
Kapasitas
Daya
Sterilisasi UV-C
: 5,744 Watt
Kapasitas Ruang Perlakuan/Sterilisasi
Karkas Ayam
: 3 ekor
Berat
karkas : 7,5 kg
ayam
B.
Penurunan Jumlah Bakteri Salmonella, Sp
Hasil menginaktivasi bakteri salmonella, sp kultur
cair yang dipapar sinari UV selama 30 menit menunjukkan
adanya penurunan 1 log cycle yaitu dari 8,5 x 104 cfu/gram
menjadi 3,7 x 103 cfu/gram. Penurunan jumlah bakteri
disebabkan adanya kerusakan pada senyawa sel bakteri
oleh sinar ultraviolet sehingga dapat menyebabkan
pertumbuhan bakteri kurang baik dan mati. Menurut
Bibiana (1992) energi yang diabsorpsi oleh sinar
ultraviolet ini akan menyebabkan terjadinya ikatan antara
molekul-molekul timin yang bersebelahan dan
menyebabkan terbentuknya dimer timin sehingga fungsi
dari asam nukleatnya terganggu dan mengakibatkan
kematian bakteri
Kurva pertumbuhan bakteri salmonella, sp yang
dipapar sinar UV 30 menit selama waktu inkubasi 36 jam
menunjukkan jumlah sel lebih rendah
dan laju
pertumbuhan bakteri lebih lambat yaitu µ = 0,048 log
47
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Jumlah Bakteri
Salmonella, sp
(log CFU/gram)
CFU per jam, dibanding dengan yang tanpa pemaranan
sinar UV yaitu µ = 0,086 log CFU per jam. Bakteri
salmonella, sp tanpa paparan sinar UV sampai umur 24
jam masih pertumbuhan yang pesat dan berada dalam fase
logaritma, sedangkan yang dipapar sinar UV selama 30
menit setelah 18 jam menunjukkan pertumbuhan tetap
atau pada fase stasioner dan setelah 24 jam menuju fase
kematian. Adanya sterilisasi non thermal dengan sinar UV
mampu memperpendek fase-fase pertumbuhan bakteri
salmonella,sp ini dikarenakan karenabakteri tang terpapar
sinar UV akan merusak DNA bakteri dan menyebabkan
pertumbuhan terhambat dan mati. Kurva dan laju
pertumbuhan bakteri salmonella, sp dapat dilihat pada
Gambar 3 dan Gambar 4.
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
Tidak
dipapar
sinar UV
0 3 6 9 121518212427303336
lama inkubasi (Jam)
Jumlah Bakteri Salmonella,
sp
(log CFU/gram)
Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Bakteri Salmonela, sp
10,00
8,00
y = 0,0862x + 5,5185
R² = 0,8452
6,00
4,00
y = 0,048x + 4,7398
R² = 0,3146
2,00
0,00
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36
lama inkubasi (Jam)
Tidak
dipapar
sinar UV
Pemapara
n sinar
UV 30
menit
Linear
(Tidak
dipapar
sinar
UV)
Gambar 4. Laju Pertumbuhan Bakteri salmonella, sp
BAB VI. PENUTUP
Simpulan
Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet
(UV) untuk karkas ayam mempunyai spesifikasi dimensi
panjang 860 mm, lebar, 750 mm dan tinggi 1280 mm, 2
buah reflektor panjang 30 cm, lebar 70 cm, dengan luasan
4200 cm2, 4 buah lampu UV C tipe TUV25 W-4P-SE,
dengan intensitas 66 µW/cm2 per meter, kapasitas daya
sterilisasi 5,744 Watt dan kapasitas ruang sterilisasi 3 ekor
karkas ayam dengan berat sekitar 7,5 kg.
Alat instalasi teknologi pulsa cahaya ultraviolet
(UV) untuk karkas ayam mampu menurunkan laju
pertumbuhan bakteri salmonella, sp sebesar µ = 0,086 log
CFU per jam, menurunkan jumlah bakteri Salmonella, Sp
dalam kultur cair 1 log cylcle dan karkas ayam sebesar 2
log cycle.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
optimasi dekontaminasi instalasi Sterilisasi sinar UV
terhadap Salmonella Sp dan mengetahui efeknya terhadap
kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi karkas ayam serta
daya simpannya.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC]. 2000. Offical Methods of Analysis of AOAC
International. 19th Edition. 5th Revison. Volume
II. Published by AOAC International Suite 500.
USA.
Atilgan MR. 2007. Disinfection of liquid egg products by
using UV light. Tesis. Turkiye: Izmir Institute of
Technology.
Bialka, K.L. A. Demirci. 2008. Efficacy of pulsed UVlight for the decontamination of Escherichia coli
O157:H7 and Salmonella spp. on raspberries and
strawberries. J. Food Sci. 73(5): M201-M207.
Binstsis T, Litopoulou-Tzanetaki E dan Robinson R. 2000.
Existing and potential applications of ultraviolet
light in the food industry a critical review. J. Sci
Food and Agric. 80:637−645.
[BPS] 2010. Statistik Indonesia. Statistical Yearbook of
Indonesia. Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia. Jakarta
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar
Nasional Indonesia Nomor 01-3924-1995.
Karkas Ayam Pekarkas. Badan Standardisasi
Nasional. Jakarta.
Chiu K, Lyn DA, Savoye P, Blatchley ER. 1999. Effect of
UV system modification on disinfection
performance. J Environ Eng. 125: 7–16.
Collins HF, Selleck RE. 1972. Process kinetics of
wastewater
chlorination.
SERL
Report.
Berkeley: Univ of California. 72–75.
Dell-Portillo, F. G. 2000. Molecular and Cellular Biology
of Salmonella Pathogenesis. Di dalam: Cary, J.
W., Linz, J. E. dan Bhatanagar, D. 2000.
Microbial Foodborne Disease: Mechanisms of
Pathogenesis and Toxin Synthesis. Cancaster:
Techonomic Publishing Company, Inc.
Dunn JE. 1996. Pulsed light and pulsed electric field for
foods and eggs. Poultry Sci. 75:1133-1136.
FAO. 2008. Food Outlook - Global Market Analysis
(November 2008). Meat and Meat Products:
Poultry
Meat.
P.47.
Available
48
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
at:ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/011/i474e/ai474e0
0.pdf. Accessed 09 June 2009
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Gomes, C., P.F. Da Silva, M.E. Castell-Perez,and R.G.
Moreira. 2006. Quality and microbial population
of Cornish game hen carcasses as affected by
electron beam irradiation. J. Food Sci. 71(7):
E327-E336.
Gracey, J. F. 1986. Meat Hygiene. London:Billiere
Tindall.
Hans DE et al. 2002. Inactivation of Cryptosporidium
parvum oocysts in fresh apple cider using
ultraviolet irradiation. J. Appl Environ Microbiol.
68: 4168–4172
Harm W.1980. Biological Effects of Ultraviolet Radiation.
Cambridge. UK: Cambridge Univ Pr.
Hecer, C., F. Balci, and C.D. Udum. 2007. The effects of
ozone
and
chlorine
applications
on
microbiological quality of chickens during
processing. J. Biol. Environ. Sci. 1(3): 131-138.
Heyes, P.R. 1996. Food Microbiology and Hygiene. 2nd
Edition. London. Chapman and Hall
Hilton, J.A dan Ingram, K.D. 2000. Use oleic acid to
reduce the population of bacteria flora of poultry
skin. J Food Protect. 63:1282-1286
[ISO] 6579: 2002. Standard Method for Detection of
Salmonella spp.
James, W.O., Brewer, R.L., Prucha, J.C, Williams, W.O,
Christensen, W.A., Thaller, A.M., Hogue, A.T.
1992. Effect of chlorination of chill water on the
bacteriologic profile of raw chicken carcases and
giblets. J. Am. Vet. Med. Assoc. 200, 60-63
Keener, K.M., M.P. Bashor, P.A. Curtis, B.W. Sheldon,
and S. Kathariou. 2004. Comprehensive review
of Campylobacter and poultry processing. IFT
Comp. Rev. Food Sci. Food Safety. 3: 105-116.
Keklik, N. M., A. Demirci, and V. M. Puri. 2008.
Decontamination
of
unpackaged
and
vacuumpackaged boneless chicken breast with
pulsed UV-light. ASABE Meeting Paper No.
083564. Providence, Rhode Island: ASABE.
Koutchma TN, Larry JF, Carmen IM. 2009. Ultraviolet
Light In Food Technology: Principles and
Application. CRC Press. Boca Raton USA.
Kowalski WJ. 2001. Design and optimization of UVGI air
disinfection system. Thesis. Pennsylvania State
University.
Krishnamurthy, K., J.C. Tewari, J. Irudayaraj, and A.
Demirci. 2007. Microscopic andspectroscopic
evaluation of inactivation of Staphylococcus
aureus by pulsed UV-light and infrared heating.
J. Food Bioprocess Technol. (Available online).
DOI 0.1007/s11947-008-0084-8.
Miller, R.V., W. Jeffrey, D. Mitchell, and M. Elasri. 1999.
Bacterial responses to ultraviolet light. ASM
News. 65(8): 535-541.
Oms-Oliu, G. and O. Martin-Belloso. 2008. Pulsed light
treatments for food preservation. A review. J.
Food Bioprocess Technol. DOI 10.1007/s11947008-0147-x.
Severin BF, Suidan MT, Engelbrecht RS. 1983. Kinetic
modeling of UV disinfection of water. J Water
Res. 17: 1669–1678.
Shama G. 1992. Ultraviolet irradiation apparatus for
disinfecting liquids of high ultraviolet
absorptivities. J. Lett Appl Microbiol. 15: 69–72.
Siragusa, G.R. 1995. The Effectiveness of carcases
decontamination system for controlling the
presence of pathogens on the surface meat animal
carcasses. J. Food Safety. 15:229-238.
Smith, K.E., C. Medus, S.D. Meyer, D.J. Boxrud, F.
Leano, C.W. Hedberg, K. Elfering, C. Braymen,
J.B. Bender, and R.N. Danila. 2008. Outbreaks of
salmonellosis in Minnesota (1998 through 2006)
associated with frozen, microwaveable, breaded,
stuffed chicken products. J. Food Prot. 71(10):
2153-2160.
[SNI] 01-6366-2000. Batas maksimum cemaran mikroba
dan batas maksimum residu dalam bahan
makanan asal hewan. Standarisasi Nasional
Indonesia. Jakarta.
Sylviana. 2008.
Prevalensi Cemaran Salmonella
Typhimurium pada Potongan Karkas Ayam dan
Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle,
Linn.) sebagai Larutan Sanitaiser Alami. Tesis.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[WHO] World Health Organization Expert Commite.
1998. Salmonellosis Control: The Role of
Animal and Product Hygeins. Geneva. World
Health Organization.
Wright HB. 2000. Comparison and validation of UV dose
calculations for low and medium pressure
49
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
mercury arc lamps. J. Water Environ Res. 72:
439.
Xenon 2008. Pulsed UV Treatment for Sanitation and
Sterilization. Chapter 4: Pulsed UV Technology.
Wilmington,
MA.:
Xenon
corporation.Availableat:ttp://www. Xenoncorp
.com/Literature/PDF/
BrochureSteri.pdf.Accessed 10 June 2009.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima Kasih Kepada Dirjen DIKTI, Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan tinggi, dan Polteknik Negeri
Jember yang telah memberikan dana dan kesempatan
untuk melakukan pPenelitian
50
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
KARAKTERISTIK CITARASA DAN
KOMPONEN FLAVOR KOPI LUWAK
ROBUSTA IN VITRO BERDASARKAN
DOSIS RAGI KOPI LUWAK DAN LAMA
FERMENTASI
Mukhammad Fauzi1), Giyarto1), Septi Wulandari2)
1)
Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Jember
2)
Email: septi14wulandari@gmial.com
ABSTRACT
Civet coffee is coffee beans that have been eaten and passed the digestive civet was expelled in the form of seeds that are separating
from the outer shell mixed with civet feces. Some efforts to increase production of civet coffee or "resemle civet coffee" manner civet
animal breeding, and the use of lactic acid bacteria (LAB) of civet feces into contagion civfet coffee. This study aims to determine the dose
of contagion civet coffee dried and long fermentation which produces robusta coffee beans roasted in vitro with the characteristic taste and
flavor components similar to the original civet coffee robusta. This research was conducted by fermenting robusta coffee beans that have
been dipulping by giving contagion coffee as much as 0.5; 1.5; and 2.5% and is fermented for 8, 16, and 24 hours, the next test flavors
(cuptest) and flavor components using GCMS. The results showed the addition of contagion civet coffee during fermentation gives better
results than civet coffee. Treatment A1B2 (contagion 0.5%; 16 hours) is treated with the highest test score flavor that is equal to 77.25
exceeds the control (civet coffee 66; and robusta coffee 58.25). Flavor components that were identified in civet coffee and coffee fermented
with contagion civet coffee component ranges between 59-72, while coffee without fermentation (control robusta) has a total of 119
components.
Kata kunci: Robusta coffee, civet coffee, taste, GCMS
PENDAHULUAN
Kopi luwak (Civet coffee) adalah jenis kopi dari biji
kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan
luwak selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk biji yang
masih terbungkus kulit tanduknya. Selama di dalam
pencernaan luwak biji kopi mengalami fermentasi secara
alami (Krishnakumar,
2002). Fermentasi alami
mengakibatkan perubahan komposisi kimia pada biji kopi
dan dapat meningkatkan kualitas kopi luwak. Hal ini
karena adanya bantuan dari berbagai enzim dan bakteri
asam laktat (BAL) dalam pencernaan luwak (Fuferti et al.,
2013). Kopi luwak memiliki keistimewaan yaitu rendah
kafein, rendah kadar asam, rendah lemak, dan rendah rasa
pahit. Kelebihan tersebut menjadikan kopi luwak dijuluki
sebagai kopi ternikmat di dunia (Ditjen Perdagangan,
2013).
Usaha peningkatan produksi kopi luwak atau “kopi
mirip kopi luwak” telah dilakukan dengan berbagai cara,
seperti pembudidayaan hewan luwak, penggunakan
bakteri asam laktat (BAL) dari feses luwak dan dibuat
menjadi ragi kopi. Hasil uji citara dari penggunaan BAL
selama fermentasi biji kopi pada beberapa penelitian
sebelumnya menunjukkan hasil yang mirip dengan
citarasa kopi luwak asli
Aplikasi ragi kopi luwak basah ditingkat petani
kopi memiliki kekurangan yaitu sulitnya dalam
penyediaan media tumbuh mikroba, pemeliharaan
inokulum, dan mahalnya bahan peralatan yang digunakan
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan
produksi kopi luwak in vitro dengan menggunakan ragi
kopi luwak kering bermedia ekstrak kulit buah kopi
sehingga dihasilkan biji kopi sangrai dengan karakteristik
organoleptik dan komponen flavor menyerupai kopi
luwak asli.
Penelitian ini bertujuan menentukan dosis ragi kopi
luwak kering dan lama fermentasi yang menghasilkan biji
kopi robusta sangrai secara in vitro dengan karakteristik
citarasa dan komponen flavor mirip kopi luwak asli jenis
robusta.
51
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
feses luwak segar, kulit buah kopi robusta, buah kopi
robusta yang diperoleh dari Desa Sidomulyo Kecamatan
Silo, Kabupaten Jember, MRS broth, NA, PCA,
aluminium foil, gula pasir, aquades, kantong plastik, dan
tepung beras.
Metode
Pembuatan ekstrak kulit buah kopi
Pembuatan ekstrak kulit buah kopi dilakukan
dengan cara menghancurkan kulit buah kopi robusta segar
(sebanyak 400 g) menggunakan blender hingga menjadi
bubur (puree). Bubur kulit buah kopi robusta selanjutnya
diekstrak secara bertingkat dengan aquades (kulit buah
kopi:aquades) 1:4 untuk 2 kali ekstraksi, kemudian
dilakukan penyaringan dan dihasilkan filtrat kulit buah
kopi dan ampas sebanyak 325,8 g selanjutnya sterilisasi
pada suhu 121oC selama 15 menit dalam autoklaf dan
dihasilkan ekstrak cair kulit buah kopi yang steril
sebanyak 1674,2 ml.
Prosedur analisa
Pembuatan starter ragi kopi luwak
Pembuatan starter dari feses luwak dilakukan
dengan cara mengisolasikan satu ose feses luwak segar
yang telah memakan buah kopi robusta kedalam media
MRS Broth sebanyak 10 ml dan diinkubasi selama 24-48
jam pada suhu 37-39ºC. Sementara itu juga dipersiapkan
media steril yaitu ekstrak kulit buah kopi sebanyak 1674,2
ml yang diperkaya dengan nutrisi gula (2% dari ekstrak
kulit buah kopi), kemudian kultur awal di inokulasikan
kedalam media steril dan diinkubasi selama 24-48 jam
pada suhu 37-39ºC, sehingga dihasilkan starter sebanyak
1717,7 ml untuk pembuatan ragi kopi luwak kering
Pembuatan ragi kopi luwak kering
Pembuatan ragi kopi luwak kering dilakukan
dengan cara memasukkan bahan pengisi berupa tepung
beras sebanyak 1 kg kedalam beaker glass dan ditutup
dengan kapas dan alumunium foil kemudian disterilkan
menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit.
Tepung beras yang sudah disterilkan selanjutnya
dimasukkan kedalam kantung plastik dan ditambahkan
starter yang sudah disiapkan sebelumnya sebanyak
1,717,7 ml. Pencampuran dilakukan sampai homogen dan
dibentuk bulatan kecil, kemudian dikeringkan
menggunakan mesin pengering (pengering kabinat dengan
bahan bakar LPG yang dilengkapi dengan pengatur suhu)
selama kurang lebih 2-3 hari pada suhu 40-45ºC dan
dihasilkan ragi kopi luwak kering
Pembuatan kopi luwak in vitro
Pembuatan kopi luwak in vitro diawali dengan
mempulping buah kopi robusta yang sudah masak
optimum untuk memisahkan biji dan kulit buah kopinya
sehingga dihasilkan biji kopi robusta yang masih
terbungkus kulit tanduk, kopi robusta difermentasi secara
semi basah dengan menggunakan ragi kopi luwak yang
sudah disiapkan sebelumnya sebanyak 0,5(A1); 1,5(A2);
dan 2,5%(A3) (b/b) dengan lama fermentasi 8 (B1),
16(B2), dan 24(B3) jam dalam suhu 35-40ºC. Kopi
robusta yang telah difermentasi diambil masing-masing
sampel biji kopi. Setiap sampel yang diambil langsung
dicuci dan dikeringkan dengan sinar matahari selama 3-4
hari hingga kadar air 10-12%. Biji kopi robusta yang
sudah kering selanjutnya di hulling untuk memisahkan biji
kopi dari kulit ari secara manual dan dihasilkan kopi beras
Prosedur analisa
1) Uji Citarasa
Prosedur analisis pengujian citarasa kopi robusta biji
dengan metode cuptest adalah sebagai berikut:
Sebanyak 100 g kopi biji disangrai dihaluskan,
untuk keperluan uji citarasa, satu mangkuk membutuhkan
10 gram kopi bubuk untuk diseduh dengan air mendidih
sebanyak 150 cc. Pengujian ini menggunakan 2 panelis
ahli, dengan jumlah pengujian maksimal 36 gelas. Adapun
keterangan skor dalam parameter uji citarasa yang terbagi
menjadi 5 kategori dapat dilihat sebagai berikut:
a. Averange
: 5,00 – 5,75
b. Good
: 6,00 – 6,75
c. Very good
: 7,00 – 7,75
d. Exellent : 8,00 – 8,75
e. Outstanding
: 9,00 – 9,75
2) Analisis Komponen Flavor dengan Alat GCMS:
Biji kopi sangrai digiling menggunakan gilingan
kopi, sampai menjadi bubuk kopi. Sampel ditimbang (5 g),
kemudian dimasukkan dalam vial SPME sebanyak 22 ml.
Setelah itu dipanaskan dalam watebath suhu 80oC selama
45 menit, sampai menjadi perubahan kenampakan ruang
tabung vial. Kemudian komponen flavor yang ada didalam
vial
dihisap
menggunakan
fiber
DVB/PDMS
(Divinylbenzen/Polydimethylsiloxane).
Selanjutnya
diinjeksi ke GCMS.
Hasil dan Pembahasan
Hubungan Uji Citarasa dan Identifikasi Komponen
Flavor
Pelaksanaan uji citarasa pada penelitian ini
dilakukan oleh panelis ahli dari Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia, di Jember. Hasil uji citarasa (cuptest)
biji kopi robusta hasil fermentasi oleh ragi kopi luwak
kering bermedia ekstrak kulit buah kopi, dengan kriteria
pengujian meliputi fregrance/aroma, flavor, aftertaste,
acidity, sweetness, mouthfeel/body, uniform cup, balance,
dan overall, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
52
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Berdasarkan
Gambar
1
secara
umum
menunjukkan bahwa citarasa biji kopi hasil fermentasi
dengan ragi kopi luwak pada semua dosis dan lama
fermentasi memiliki skor lebih tinggi dari kontrol (kopi
luwak dan kopi robusta), kecuali pada sampel tertentu
yang memiliki skor lebih rendah dari kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan penambahan ragi kopi luwak
dapat mempengaruhi citarasa pada kopi hasil fermentasi.
Hal ini diduga bahwa dengan penggunaan ragi kopi luwak
selama fermentasi menyebabkan adanya
degradasi
komponen pada kopi yang lebih baik.
Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa dari
setiap parameter cuptest kontrol (kopi luwak dan kopi
robusta) beserta kopi hasil fermentasi menggunakan ragi
kopi luwak. Nilai aroma yang paling tinggi terdapat pada
sampel A1B1, A1B2, dan A3B2 dengan katagori very
good, sedangkan sampel yang lain berada pada kategori
good. Nilai aroma yang diperoleh dipengaruhi oleh
kandungan komponen flavor seperti fenol dengan rasa dan
aroma bitter, furan (karamel), asam, dan pirazin (sweet
bitter) meskipun jumlahnya berbeda-beda. Sampel A1B1,
A1B2, dan A3B2 nilai aroma yang didapat sama tetapi
kandungan komponen flavor berbeda. Akan tetapi,
perbedaannya tidak ada yang mendominasi sehingga tidak
berpengaruh terhadap aroma pada biji kopi tersebut.
Nilai flavor pada semua sampel yang paling tinggi
terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7 (very good)
identifikasi komponen flavor ini tidak jauh berbeda
dengan aroma karena kandungan flavor yang berperan
sama yaitu fenol (bitter), furan (karamel), asam, dan
pirazin (sweet bitter) meskipun jumlahnya berbeda-beda.
Apabila dilihat dari hasil identifikasi komponen flavor
sampel A1B2 memiliki komponen yang seimbang yaitu
(fenol (28,74); furan (25,5); pirazin (12,57); dan asam
(7,58)), komponen flavor yang seimbang menyebabkan
sampel A1B2 memiliki nilai yang paling tinggi.
aroma
10
8
overall
flavor
6
4
2
balance
aftertaste
0
uniform
cup
acidity
body
sweetnes
s
Gambar 1. Diagram jaring laba-laba nilai cuptest biji kopi
luwak robusta dan biji kopi robusta sangrai
hasil fermentasi menggunakkan ragi kopi
luwak pada berbagai dosis ragi dan lama
fermentasi
Keterangan:
= kontrol luwak
= kontrol robusta
= A1B1
= A2B1
= A3B1
= A1B2
= A2B2
= A3B2
= A1B3
= A2B3
= A3B3
Nilai aftertaste pada semua sampel yang paling
tinggi terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7 (very good).
Nilai aftertaste yang diperoleh ini dipengaruhi oleh
komponnen flavor pada senyawa pirazin karena senyawa
ini mempunyai aroma sweet bitter dan fenol mempunyai
kandungan tanin yang berasa pahit .
Nilai acidity pada semua sampel yang paling tinggi
terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7,5 (very good). Hal
tersebut sesuai dengan hasil identifikasi komponen flavor
karena asam organik memiliki nilai rendah, meskipun
jumlah asam organik pada sampel tersebut lebih tinggi
dari sampel yang lain sehingga rasa asam lebih baik
dibandingkan sampel yang lain.
Nilai sweetness pada semua sampel yang paling
tinggi terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7,25 (very
good). Hasil identifikasi komponen flavor senyawa furan
yang berperan karena memiliki rasa manis, sedangkan
sampel yang lain memiliki nilai yang lebih rendah
disebabkan nilai fenol yang cukup tinggi sehingga
menyebabkan flavor pahit.
Nilai mouthfeel atau body pada semua sampel yang
paling tinggi terdapat pada sampel A1B1, A1B2, dan
A3B2 sebesar 7,5 (very good). Menurut Mulato dan
Suharyanto (2012) sensasi body dipengaruhi oleh
kandungan lemak, protein, dan hidrokarbon kompleks
dalam seduhan kopi.
Nilai uniform cup atau keseragaman aroma tiap
mangkuk pada penyajian cuptest. Nilai yang diperoleh
pada setiap sampel diberikan nilai sebesar 10. Nilai 10
pada setiap sampel menunjukkan semua dalam kondisi
sama dan tidak ada perbedaannya , sehingga tidak
menimbulkan hasil yang bias pada panelis.
Nilai balance dari semua sampel yang paling tinggi
terdapat pada sampel A1B2 dan A3B2 sebesar 7 (very
good). Hasil identifikasi komponen flavor yang
berpengaruh pada nilai balance yaitu hidrokarbon (aroma
green dan rose-like flavor), fenol (bitter), furan (karamel),
pirazin (sweet biter), dan asam. Meskipun penilaian
citarasa sama tetapi komponen flavor yang dimiliki
berbeda. Hal ini dikarenakan selama penyangraian
komponen prekursor yang dilepas itu tidak selalu sama.
Nilai overall pada semua sampel yang paling tinggi
terdapat pada sampel A1B2 sebesar 7 (very good).
Hasil ini diperoleh dari penilaian secara keseluruhan
53
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
sampel yang memenuhi standart rasa khas pada kopi
yang juga dipengaruhi oleh komponen flavor. Oleh
karena itu, kopi hasil fermentasi memiliki ciri khas
rasa kopi yang tinggi melebihi kopi luwak asli dan
kopi tanpa fermentasi, karena kopi fermentasi
dengan penambahan ragi kopi luwak terdapat
perubahan yang dilakukan oleh enzim-enzim atau
mikroba yang dapat meningkatkan rasa maupun
aroma kopi tersebut .
Analisis Komponen Flavor Bubuk Kopi Robusta
Sangrai Hasil Fermentasi dengan Ragi Kopi Luwak
Kering
Analisa kandungan flavor pada kopi robusta yang
difermentasi dilakukan pada setiap golongan komponen
flavor yang telah teridentifikasi sebelumnya dengan
GCMS. Golongan yang dianalisa meliputi golongan
piridin, alkohol, pirazin, furan, fenol, asam organik,
benzene, dan hidrokarbon selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 1.1
Tabel 1.1 Identifikasi komponen flavor
Komponen Flavor
Sampel
Luwak
Robusta
A1B1
A2B1
A3B1
A1B2
A2B2
A3B2
A1B3
A2B3
A3B3
Rata-rata
Hidrokarbon
furan
fenol
Pirazin
piridin
benzen
16,74
16,98
13,6
17,11
15,7
14,59
17,55
19,79
15,29
13,35
12,23
15,72
24,23
26,01
26,11
25,82
24,02
25,5
23,68
23,62
23,69
25,16
27,54
25,03
29,38
30,07
24,99
31,66
27,24
28,74
27,19
31,59
29,81
26,24
29,5
28,76
9,4
9,58
12,04
10,57
11,12
12,57
13,25
12,98
8,24
11,47
10,4
11,06
10,88
7,88
10,6
7,72
10,65
9,94
9,09
9,4
13,82
9,49
10,45
9,99
0
0,24
1,25
0
0
0
0
0
0
2,62
0
0,37
Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan komponen
flavor yang tidak seragam pada setiap sampel. Hal tersebut
kemungkinan disebabkan adanya komponen flavor yang
terbentuk selama penyangraian pada biji kopi tidak selalu
sama. Berdasarkan hasil uji citarasa nilai yang paling
tinggi terdapat pada sampel A1B2. Apabila dilihat
berdasarkan Tabel 1.1 sampel A1B2 memiliki komponen
flavor yang seimbang dan tidak jauh dari rata-rata
sehingga menyebabkan citarasa yang paling baik.
Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan golongan
hidrokarbon pada sampel A3B2 memiliki komponen
hidrokarbon yang paling tinggi yaitu sebesar 19,79%
lebih tinggi dari kontrol (kopi luwak (16,74%); kopi
robusta (16,98%)), sedangkan sampel A3B3 memiliki
komponen hidrokarbon yang paling rendah terdapat yaitu
sebesar 12,23%. Apabila dilihat dari hasil uji citarasa
sampel A3B2 memiliki nilai cukup tinggi pada semua
parameter. Menurut Maarse (1991) komponen
hidrokarbon tidak jenuh merupakan komponen aroma
yang penting dan berperan besar dalam pembentukan
aroma bahan pangan, komponen tersebut memberikan
kontribusi aroma green dan rose-like flavor.
asam
orgaik
6,36
6,2
6,86
6,05
7,17
7,58
4,85
0,38
4,52
5,79
7,47
5,75
alkohol
3,01
4,49
4,49
1,05
4,15
1,07
2,75
3,7
0,79
5,25
2,41
3,01
Komponen flavor golongan furan merupakan
komponen aroma yang sangat penting secara kuantitas dan
kualitas pada komoditi kopi. Berdasarkan Tabel 1.1
menunjukkan komponen flavor golongan furan pada
sampel A3B3 memiliki kandungan furan yang paling
tinggi yaitu sebesar 27,54% diatas kontrol kopi luwak
(24,23%) dan kontrol kopi robusta (26,01%), sedangkan
pada sampel A3B3 memiliki kandungan furan yang paling
rendah yaitu sebesar 23,62%. Apabila dilihat dari hasil uji
citarasa sampel A3B3 juga memiliki nilai yang cukup
tinggi pada semua parameter uji citarasa. Menurut Mulato
(2002) senyawa volatil furan dapat menyebabkan
beraroma karamel, oxazole, beraroma sweet hazelnut.
Komponen flavor golongan fenol merupakan
komponen yang penting pada produk kopi. Berdasarkan
Tabel 1.1 menunjukkan komponen flavor golongan fenol
pada sampel A2B1 memiliki komponen fenol paling
tingggi yaitu sebesar 31,66% diatas kontrol kopi luwak
(29,38%) dan kontrol kopi robusta (30,07%), sedangkan
pada sampel A1B1 memiliki golongan fenol paling rendah
sebesar 24,99%, tetapi apabila dilihat dari hasil uji citarasa
sampel A2B1 memiliki nilai lebih rendah dari sampel
54
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
yang lain pada semua parameter uji citarasa Hal ini
dikarenakan komponen fenol memberikan karakteristik
aroma seperti carnation (bunga anyelir) sedangkan
Menurut Mulato (2002) fenol memiliki aroma bitter
(pahit). Nilai kandungan fenol yang tidak seragam yang
cenderung naik turun diduga disebabkan adanya aktivitas
enzim Polyphenol oxidase pada saat fermentasi
berlangsung (Hansen et al.,1998).
Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa
golongan pirazin yang paling tinggi terdapat pada sampel
A2B2 sebesar 13,25 diatas kontrol (kopi luwak (9,4%);
kopi robusta (9,58%)), dan yang paling rendah terdapat
pada sampel A1B3 sebesar 8,24% tetapi apabila dilihat
dari hasil cuptest sampel A2B2 memiliki nilai lebih rendah
pada semua parameter jika dibandingkan dengan sampel
lain yang sama-sama berada pada waktu fermentasi yang
sama. Hal ini dikarenakan ada pengaruh dari komponen
flavor yang lain seperti komponen fenol yang
menyebabkan rasa pahit, dapat diketahui sampel A2B2
memiliki kandungan fenol yang lebih tinggi dari
komponen pirazinnya, selain itu nilai kandungan pirazin
yang tidak seragam cenderung naik turun diduga
disebabkan oleh komponen prekursor yang ada pada biji
kopi.
Komponen pirazin merupakan komponen yang
berbeda dengan komponen aroma lain seperti asam
karboksilat, ester, aldehid, alkohol, dan komponen lain
yang merupakan produk enzimatis. Menurut Doyle (dalam
Sari, 2014) komponen pirazin merupakan komponen
aroma yang terbentuk akibat roasting pada bahan,
sedangkan menurut Puziah et al. (1998) jumlah komponen
pirazin yang dihasilkan ditentukan oleh komposisi
komponen prekursor seperti asam amino bebas, peptida,
dan gula pereduksi dimana komponen tersebut terbentuk
secara enzimatis pada proses fermentasi.
Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa
golongan piridin yang paling tinggi terdapat pada sampel
A1B3 sebesar 13,82% diatas kontrol (kopi luwak
(10,88%); kopi robusta (7,88%)), sedangkan komponen
piridin yang paling rendah terdapat pada sampel A2B1
sebesar 7,72%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sari
(2014) dimana komponen piridin meningkat pada
fermentasi 24 jam, walaupun pada hasil penelitian kali ini
terdapat sampel lain yang nilainya lebih rendah dari
kontrol meskipun berada pada waktu fermentasi yang
sama. Hal ini diduga dipengaruhi oleh aktifivas mikroba
dari ragi kopi luwak yang digunakan dan pengaruh selama
proses penyangraian yang berlangsung.
Komponen piridin terbentuk dari senyawa kimia
trigonelin selama penyangraian berlangsung. Proses
penyangraian pada tahap akhir hampir 70% trigonelin
akan terurai menjadi piridin yang mempunyai andil besar
dalam pembentukan citarasa manis dan karamel pada
seduhan kopi (Mulato dan Suharyanto, 2012). Trigonelin
terbentuk secara alami dalam biji kopi dengan adanya
lama fermentasi maka enzim yang bekerja selama
fermentasi akan bereaksi dan akan meningkatkan jumlah
piridin pada biji kopi
Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa
Komponen flavor benzen yang teridentifikasi hanya
terdapat pada sampel A1B1, dan A2B3 sedangkan sampel
yang lain tidak teridentifikasi. golongan benzen yang
paling tinggi terdapat pada sampel A2B3 sebesar 2,62%
diatas kontrol kopi luwak (0%) dan kontrol kopi robusta
(0,24%). Hal ini diduga karena pengaruh dari
penyangraian biji kopi, karena benzen sendiri
berhubungan dengan aromatik yang terdapat pada biji
kopi. Benzen merupakan senyawa golongan aromatik
karena berbau sedap. Senyawa benzen memberikan
kontribusi seperti aroma almond.
Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa
golongan asam organik yang paling tinggi terdapat pada
sampel A1B2 sebesar 7,58% diatas kontrol (kopi luwak
(6,36%); kopi robusta (6,2%)), sedangkan yang paling
rendah terdapat pada sampel A3B2 sebesar 0,38%. Hasil
ini sesuai dengan hasil uji citarasa yang nilainya paling
tinggi melebihi kontrol. Nilai keasaman yang tinggi pada
sampel A1B2 menunjukkan bahwa rasa asam pada sampel
tersebut semakin rendah yang menggambarkan kopi yang
enak, manis, dan seperti rasa buah yang segar ketika
langsung dirasakan saat kopi diseruput, sedangkan nilai
keasaman yang rendah maka rasa asam pada kopi semakin
kuat. Hasil ini sesuai dengan penelitian Arafat (2011) dan
Sari (2014), pada kopi fermentasi terjadi penurunan pH
pada fermentasi berlangsung sehingga kopi yang
dihasilkan akan terasa asam.
Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa
golongan alkohol yang paling tinggi terdapat pada sampel
A2B3 5,25% diatas kontrol (kopi luwak (3,01%); kopi
robusta (4,49%)), sedangkan kandungan alkohol yang
paling rendah terdapat pada sampel A1B2 sebesar 1,07%,
tetapi apabila dilihat dari hasil uji citarasa sampel A2B3
memiliki nilai cukup tinggi pada semua parameter.
Menurut Curioni dan Bosset (2002) komponen alkohol
umumnya menghasilkan aroma sweet fruity, alkoholic,
balsamic, dan green tergantung susunan molekulnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa penggunaan ragi kopi luwak bermedia
ekstrak kulit buah kopi pada berbagai dosis ragi dan lama
fermentasi berpengaruh terhadap citarasa dan komponen
flavor biji kopi robusta sangrai hasil fermentasi. Perlakuan
yang terbaik terdapat pada sampel A1B2 (ragi 0,5%; 16
jam) dengan nilai secara keseluruhan sebesar 7 melebihi
nilai kontrol (kopi luwak 6; kopi robusta 5,58). Komponen
flavor pada kopi luwak dan kopi fermentasi berkisar antara
59-72 komponen, komponen flavor pada biji tanpa
fermentasi sebesar 119 komponen karena pengaruh dari
penyangraian.
55
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
DAFTAR PUSTAKA
Arafat, M. 2011. “Fermentasi Kering dengan Modifikasi
Ragi Kopi Luwak dan Ragi Roti pada Pengolahan
Kopi Robusta (Coffee canephora)” Tidak
Dipublikasikan. Skripsi. Jember: Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Jember
Curioni, P. M. G., Bosset, J. O. 2002. Key Odorant in
Various Cheese Types as Determined by Gas
Chromatography-Oflactometry. Internasional Dairy
Journal. Vol 12: (959-984). Elsevier
Journal of the Science of Food and Agriculture. 78:
535-542
Sari, L. M. (2014). “Karakteristik Organoleptik Dan
Komponen Flavor Biji Kopi Robusta (Coffee
Canephora)
Hasil
Fermentasi
Mengunakan
Miklofora Feses Luwak” Tidak Dipublikasikan.
Skripsi. Jember” Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember
Direktorat Jenderal Perdagangan. 2013. Kopi Luwak. Edisi
Warta Ekspor
Fuferti, Megah, A, Z., Syakbaniah. Ratnwulan. 2013.
Perbandingan Karakteristik Fisis Kopi Luwak (Civet
coffee) dan Kopi Biasa Jenis Arabika. Jurnal. Vol. 2.
Hal 68-75
Hansen, C. E., Del Olmo, M., Burri, C. 1998. Enzyme
Activities in Cocoa Beans during Fermentation.
Journal of the Science of Food and Agriculture. Vol
77 : 273 – 281
Krishnakumar, H. N. K., Balasubramanian, M.,
Balakrishnan. (2002). Sequential Pattern of
Behavior in the Common Palm Civet Paradoxurus
Hermaphrodites (Pallas). International Journal of
Comparative Psychology, vol 15: 303—311.
Maarse, H. 1991. Volatile Compounds In Foods And
Baverages. Marcel Dekker Inc. New York-BaselHongkong.
Mulato, S. 2002. Simposium Kopi 2002 dengan Tema
Mewujudkan perkopian Nasional Yang Tangguh
melalui
Diversifikasi
Usaha
Berwawasan
Lingkungan dalam Pengembangan Industri Kopi
Bubuk Skala Kecil Untuk Meningkatkan Nilai
Tambah Usaha Tani Kopi Rakyat. Denpasar : 16 –
17 Oktober 2002. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia.
Mulato, S., Suharyanto, E. 2012. Kopi, Seduhan, Dan
Kesehatan. Jember: Pusat Penelitian Kopi Dan
Kakao
Puziah, H., Slamet, J., Muhammad S. K. S., Ali, A. 1998.
Changes in Free Amino Acid, Peptide-N, Sugar and
Pyrazine Concentration during Cocoa Fermentation.
56
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Prevalensi dan Diversitas Lactobacillus sp. pada
Susu Kambing Etawa Segar
Bambang Poerwanto#1, Titik Budiati #2
#
Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember
1totokpolije@gmail.com
2titik.budiati@gmail.com
Abstract
Susu kambing etawa segar adalah produk minuman Indonesia yang potensial untuk dikembangkan. Kandungan gizi dan bakteri
probiotik yang terdapat di dalam susu kambing etawa segar menjadi faktor penting dalam produk tersebut sebagai minuman
kesehatan. Salah satu bakteri probiotik dalam susu kambing etawa segar adalah Lactobacillus sp. Sebanyak 48 sampel susu
kambing etawa segar beku diperoleh dari pasar lokal. Prevalensi Lactobacillus sp. yang diisolasi dari susu kambing etawa yang
diperoleh dari peternakan Senduro Lumajang dan Tempurejo Jember adalah sebesar 14/24 (58.3%) dan 15/24 (62.5%). Diversitas
Lactobacillus sp. pada susu kambing etawa adalah L. plantarum (26/29; 89.7%) dan L. brevis (3/29; 10.3%). Probiotik pada susu
kambing etawa segar dapat membantu sistem pencernaan dan dapat menekan populasi bakteri jahat yang dapat menimbulkan
penyakit pada manusia.
Keywords— Etawa, Lactobacillus sp., Susu kambing segar.
I. PENDAHULUAN
Susu kambing etawa adalah produk makanan kesehatan
yang semakin banyak diminati oleh masyarakat di
Indonesia. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa
dalam susu kambing etawa tersebut terkandung zat gizi
tinggi dan probiotik yang dibutuhkan oleh kesehatan
manusia. Salah satu bakteri probiotik yang dapat ditemui
di dalam susu kambing etawa adalah Lactobacillus sp.
Bakteri Lactobacillus memiliki habitat asli yaitu pada
membran mukosa dari manusia atau hewan, tanaman,
limbah, makanan terfermentasi seperti susu asam, adonan
yang asam, dan lain-lain. Jenis-jenis Lactobacillus antara
lain Lactobacillus casei, Lactobacillus salivarius,
Lactobacillus plantarum, Lactobacillus bulgaricus ,
Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus rhamnosus,
Lactobacillus sporogenous dan lain-lain. Bifidobacteria
pertama kali diisolasi dari kotoran bayi atau feses yang
hanya meminum air susu ibu (ASI) [1]. Akan tetapi belum
banyak penelitian yang membahas tentang prevalensi
Lactobacillus sp. di susu kambing etawa segar. Oleh
karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendeterminasi
prevalensi dan diversitas Lactobacillus sp. di susu
kambing etawa segar. Manfaat dari penelitian ini adalah
untuk memberikan informasi prevalensi dan diversitas
Lactobacillus sp. di susu kambing etawa segar.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Susu Kambing Etawa
Kambing etawa adalah salah satu hewan ternak yang
tergolong tipe dwiguna karena menghasilkan daging dan
susu [2]. Kambing Etawa merupakan persilangan dari
kambing Jamnapari dan kambing Kacang [3]. Susu yang
dihasilkan oleh kambing etawa bergantung pada berbagai
faktor yang mempengaruhi, misalnya kesehatan
ternaknya, waktu pemerahan, musim, pakan, dan umur
ternak [2]. Warna susu yang diperoleh dari kambing yang
sehat adalah putih bersih, kekuning-kuningan dan tidak
tembus cahaya. Sedangkan warna susu yang diperoleh dari
kambing yang tidak sehat adalah semu merah, semu biru,
terlalu kuning, atau seperti air.
B. Lactobacillus sp.
Lactobacillus sp. adalah bakteri gram positif dari filum
Actinobacteria yang bersifat tidak bergerak, tidak
membentuk spora, tidak menghasilkan gas, bakteri
anaerobik. Pada umumnya Lactobacillus species diisolasi
dari gastrointestinal mamalia, serangga atau burung [4].
Beberapa Lactobacillus species (misalnya Lactobacillus
bifidum, Lactobacillus breve, and Lactobacillus longum
subsp. longum) merupakan isolat yang diperoleh dari
manusia, sedangkan Lactobacillus
gallinarum,
Lactobacillus angulatum dan Lactobacillus cuniculi
berhubungan dengan kotoran hewan [5].
57
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Menurut Ortakci dan Sert [6] Lactobacillus sp. telah
ditemukan berasal dari saluran pencernaan manusia,
vagina dan saluran kandung kemih. Tugas utama dari
bakteri ini adalah menjaga keseimbangan flora mikro
dalam usus, mengontrol peningkatan bakteri merugikan,
memperkuat sistem kekebalan tubuh, dan membantu
proses pencernaan [6]. Suhu optimal pertumbuhan sekitar
37 – 41oC dan pH optimal antara 6,5 – 7 [6]. Beberapa
spesies dari genus Lactobacillus telah digunakan selama
beberapa dekade sebagai makanan fungsional untuk
kesehatan atau efek probiotik [7]. Berbagai cara telah
dilakukan untuk memanfaatkan Lactobacillus sebagai
probiotik. Probiotik dapat mereduksi terjadinya infeksi
yang disebabkan oleh bakteri atau virus penyebab diare,
menyembuhkan penyakit inflamasi kronis (misalnya
pouchitis and ulcerative colitis), meningkatkan kondisi
fisiologi (misalnya menurunkan tingkat kolesterol atau
tidak toleran terhadap laktosa) dan mengurangi resiko
yang berdampak pada kesehatan (misalnya karies gigi,
alergi, dan bahkan kanker [8]. Lactobacillus merupakan
bakteri penghasil asam laktat. asam asetat, vitamin,
bakteriosin. Asam laktat dapat menghambat pertumbuhan
bakteri-bakteri penyebab penyakit (bakteri patogen) dan
bakteri pembusuk makanan. Selain itu, bakteri asam laktat
juga dapat menghasilkan senyawa antimikroba lainnya
seperti
bakteriosin,
hidrogen
peroksida
dan
diasetil. Bakteriosin adalah polipeptida yang memiliki
aktivitas antimikroba. Hal ini mengindikasikan bahwa
manfaat Lactobacillus sp. menunjukkan peran yang nyata
melalui ekosistem yang kompleks dalam pencernaan
manusia.
III. TUJUAN DAN MANFAAT
A. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeterminasi
prevalensi dan diversitas Lactobacillus sp. di susu
kambing etawa segar.
B. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan
informasi prevalensi dan diversitas Lactobacillus sp. di
susu kambing etawa segar.
IV. METODE PENELITIAN
A. Sampel
Susu kambing etawa segar beku diperoleh dari dari
pasar lokal Jember yang didominasi dari dua peternakan
kambing etawa (Senduro, Lumajang dan Tempurejo,
Jember). Susu kambing etawa segar beku ini merupakan
susu segar yang belum mengalami proses pasteurisasi dan
dipasarkan dalam bentuk beku. Pengambilan sampel
dilakukan sejak bulan April hingga Juni 2016). Selama
proses pengambilan sampel, sebanyak kurang lebih 500
ml sampel susu kambing etawa segar beku diambil dari
pasar lokal dan diangkut menggunakan polystyrene box
yang berisi es batu dan bersuhu 4 hingga 8 oC ke
laboratorium. Sampel dikirim dan dianalisa di
laboratorium dalam waktu 3 jam.
B. Isolasi Lactobacillus sp. pada susu kambing etawa
Sampel susu kambing etawa segar beku dibiarkan
selama kurang lebih 20 menit dalam suhu kamar untuk
proses thawing. Setelah mencair susu kambing etawa
segar dihomogenisasi selama 3 menit.
Sebanyak 25 ml sampel susu kambing etawa
ditempatkan dalam stomacher bag dan diencerkan dengan
menggunakan 225 ml Pepton Water 0.1% (berat/volume)
(PW, Oxoid, Baringstoke, Hampshire, UK). Campuran ini
dihomogenisasi selama 10 menit dan diencerkan lebih
lanjut hingga mencapai 10-5. Sebanyak 0.1 ml dari masingmsing pengenceran disebar diatas MRS Agar (MRSA, HiMedia, India) dalam cawan petri menggunakan metode
spread method. Selanjutnya bakteri diinkubasi secara
anaerobik selama 24-48 jam pada suhu 37oC. Bakteri yang
diperoleh dilakukan isolasi diatas MRSA dan selanjutnya
dilakukan streaking diatas Triptic Soy Agar (TSA, Merck
KGaA, Darmstadt, Jerman). Koloni yang tumbuh baik
diuji lebih lanjut dengan uji pewarnaan menggunakan
Gram Staining, pemeriksaan morfologi, pengujian
katalase dan cytochrome oxidase. Semua bahan uji
biokimia diperoleh dari Hi-Media (India). Proses
identifikasi
spesies
bakteri
dilakukan
dengan
menggunakan API 50 CHL (Biomerieux, Perancis).
C. Analisa statistika
Prevalensi Lactobacillus sp. pada susu kambing etawa
yang diperoleh dari dua peternakan yang berbeda diuji
secara statistik dengan menggunakan Mann-Whitney U
test dalam program SPSS versi 13.0 pada
tingkat
kepercayaan
5% (P = 0.05). Apabila nilai P < 0.05 maka terdapat
perbedaan yang nyata antara kedua peternakan.
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Susu kambing etawa segar dari peternakan Senduro dan
Tempurejo didistribusikan dalam keadaan beku. Bakteri
Lactobacillus sp. pada sampel susu kambing etawa segar
diisolasi menggunakan media selektif deMann Rogosa
Sharpe Agar (MRSA). Koloni yang tumbuh berwarna
putih, dan putih mengkilat yang diamati pada inkubasi
selama 24 jam serta pada inkubasi selama 72 jam. Hal ini
sesuai dengan pendapat Holdeman dan Gato [9]. Menurut
Holdeman dan Gato [9] isolat bakteri asam laktat yang
telah diinkubasi pada suhu 30oC tampak koloni bakteri
yang tumbuh dalam media selektif. Koloni bakteri asam
58
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
laktat Lactobacillus sp. berciri-ciri putih mengkilat,
ukuran koloni 0,5-2 mm. Bentuk koloni bulat rata dan
tidak berserat.
Setelah isolat didapatkan, kemudian dilakukan
pengujian biokimia menggunakan uji katalase, uji
oksidase dan gram staining. Berdasarkan pengamatan
diperoleh data bahwa semua isolat Lactobacillus sp.
menunjukkan katalase negatif, okidase negatif, gram
positif dan berbentuk batang.
TABEL IV
PREVALENSI LACTOBACILLUS SP.
PADA SUSU KAMBING ETAWA SEGAR
Prevalensi Lactobacillus sp. pada
susu kambing etawa segar
A
B
14/24
15/24
Uji statistika
P > 0.05
(Tidak berbeda
nyata)
Keterangan :
A. Susu kambing etawa dari peternakan Senduro
B. Susu kambing etawa dari peternakan Tempurejo
Berdasarkan analisa statistik, prevalensi bakteri
Lactobacillus sp. tidak terdapat perbedaan yang nyata.
Kedua peternakan mungkin mempunyai sistem
pemeliharaan kambing etawa yang hampir sama. Faktor
yang mempengaruhi keberadaan Lactobacillus sp. adalah
pakan dan faktor lainnya [10].
Berdasarkan hasil uji identifikasi sampai tingkat spesies
menggunakan API 50 CHL didapatkan bahwa diversitas
Lactobacillus sp. pada susu kambing etawa adalah L.
plantarum (26/29; 89.7%) dan L. brevis (3/29; 10.3%).
Identifikasi menggunakan API 50 CHL melibatkan 49
jenis gula dan 1 kontrol. Isolat Lactobacillus plantarum
mendominasi pada susu kambing etawa dibandingkan
dengan jenis Lactobacillus brevis.
Pada umumnya bakteri menggunakan sumber karbon
yaitu gula yang paling sederhana untuk difermentasi.
Tidak tersedianya sumber gula sederhana membuat
bakteri memanfaatkan sumber gula yang lebih kompleks
untuk difermentasi [11]. Hal tersebut dapat terlihat dari
kemampuan isolat yang mampu memfermentasi beberapa
komponen gula kompleks. Komponen gula yang mampu
difermentasi oleh 36 isolat tersebut adalah fruktosa,
glukosa dan maltosa. Berdasarkan hasil dari uji fermentasi
karbohidrat dengan menggunakan API 50 CHL, maka
kemampuan fermentasi karbohidrat Lactobacillus
plantarum dan Lactobacillus brevis dapat dilihat pada
tabel II.
Dari hasil uji identifikasi sebanyak 50 uji fermentasi
karbohidrat dalam API 50 CHL. Dari tabel 2 didapatkan
bahwa terdapat 9 uji yang berbeda antara L. plantarum dan
L. brevis yaitu L-arabinosa, D-xilosa, D-mannitol,
Metylo-αD-glukopiranosid, Salicina, D-celobiosa, Dtrehalosa, D-tagatosa dan Glukonian potasu.
Hasil identifikasi menunjukkan hasil positif
Lactobacillus plantarum yaitu 26 isolat dari 29 isolat yang
diidentifikasi. Hasil fermentasi mampu menurunkan pH
media menjadi lebih asam yang ditandai dengan
perubahan warna kuning pada jenis gula seperti ribosa,
galaktosa, glukosa, fruktosa, mannosa, mannitol, sorbitol,
glukosamina, amigdalina, arbutina, salisina, maltosa,
laktosa, malibiosa, sacharosa, dan genobiosa. Menurut
hasil penelitian Ramos [12], bahwa Lactobacillus
plantarum termasuk bakteri asam laktat dengan bentuk sel
batang, warna koloni putih kekuningan, gram positif,
katalase negatif, tidak motil dan kemampuan
memfermentasi gula-gula seperti arabinosa, galaktosa,
glukosa, laktosa, maltose, manitol, raffinosa, salisin,
sorbitol dan sukrosa sebesar 99%, sedangkan kemampuan
memfermentasi rhamnosa dan xilosa sebesar 50%.
TABEL VI
HASIL UJI IDENTIFIKASI LACTOBACILLUS SP.
PADA SUSU KAMBING ETAWA SEGAR
MENGGUNAKAN API 50 CHL
Uji karbohidrat
L. plantarum
L. brevis
-
+
D-xilosa
-
+
D-mannitol
+
-
Metylo-αDglukopiranosid
-
+
Salicina
+
-
D-celobiosa
-
+
D-trehalosa
-
+
D-tagatosa
-
+
Glukonian potasu
-
+
L-arabinosa
Hasil identifikasi API 50 CHL dari 29 isolat
menunjukkan 7 isolat diantaranya
merupakan
Lactobacillus brevis. Hasil fermentasi mampu
menurunkan pH media menjadi lebih asam yang ditandai
dengan perubahan warna kuning pada jenis gula
arabinose, ribosa, xilosa, galaktosa, glukosa, fruktosa,
mannosa, glukopiranosid, glukosama, amigdalina,
arbutina, celobiosa, maltosa, laktosa, malibiosa,
sacharosa, trehalosa, rafinosa, gencjobiosa, dan glukonian
potasu.
Menurut hasil penelitian Ramos [12], bahwa
Lactobacillus brevis termasuk bakteri asam laktat dengan
bentuk sel batang, warna koloni putih kekuningan, gram
positif, katalase negatif, tidak motil dan kemampuan
memfermentasi gula-gula seperti arabinosa, galaktosa,
glukosa, maltosa, raffinosa, dan sukrosa sebesar 99%,
59
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
sedangkan kemampuan memfermentasi laktosa, salisin
dan xilosa sebesar 50% serta tidak mampu memfermentasi
manitol, rhamnosa, sorbitol.
[11]
[12]
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Prevalensi Lactobacillus sp. yang diisolasi dari susu
kambing etawa yang diperoleh dari peternakan Senduro
Lumajang dan Tempurejo Jember adalah sebesar 14/24
(58.3%) dan 15/24 (62.5%). Diversitas Lactobacillus sp.
pada susu kambing etawa adalah L. plantarum (26/29;
89.7%) dan L. brevis (3/29; 10.3%).
approaches." Systematic and applied microbiology 2007. 30, no.
7: 547-560
W.H.N. Holzapfel, J.B. Wood. The genera of lactic acid bacteria.
Vol. 2. Springer Science & Business Media, 2012.
C.L. Ramos, L. Thorsen, R. F. Schwan, L. Jespersen. Strainspecific probiotics properties of Lactobacillus fermentum,
Lactobacillus plantarum and Lactobacillus brevis isolates from
Brazilian food products. Food microbiology 2013. 36, no. 1: 2229.
B. Saran
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi
Lactobacillus sp. menggunakan 16SRNA
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada Kementerian
Ristek dan Pendidikan Tinggi melalui Penelitian Hibah
Bersaing Usulan Tahun 2015.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
Martín, Virginia, A. Maldonado-Barragán, L. Moles, M.
Rodriguez-Baños, R. del Campo, L. Fernández, J. M. Rodríguez,
and E. Jiménez. Sharing of bacterial strains between breast milk
and infant feces. Journal of Human Lactation . 2012. 28: 1 : 3644.
S. Yunika, A.T Sudewo, S. Utami. Hubungan Antara Lingkar
Dada, Panjang Badan, Tinggi Badan dan Lokasi dengan Produksi
Susu Kambing Sapera . Jurnal Ilmiah Peternakan. 2014. 1 (3)
E. Heriyanta, M. Nur Ihsan, N. Isnaini. Pengaruh umur kambing
peranakan etawah (PE) terhadap kualitas semen segar. Jurnal
Ternak Tropika .2014. 14, no. 2: 1-5.
M. Ventura, C. Canchaya, A. Tauch, G. Chandra, K. Chater, G.F.
Fitzgerald dan D. Van Sinderen. D. Genomics of Actinobacteria:
tracing the evolutionary history of an ancient phylum. Microbiol.
Mol. Biol. Rev. 2007. 71:495-548.
R. Lamendella, J.W. Santo Domingo, C. Kelty, D.B. Oerther,
Lactobacillus in feces and environmental waters. Appl. Environ.
Microbiol. 2008. 74:575-584
Ortakci, F., and S. Sert. Stability of free and encapsulated
Lactobacillus acidophilus ATCC 4356 in yogurt and in an
artificial human gastric digestion system. Journal of dairy
science 2012. 95, no. 12: 6918-6925.
B.L. Maidak, J.R Cole, T. G. Lilburn, C. T. Parker, P. R. Saxman,
R. J. Farris, G. M. Garrity, G. J. Olsen, T. M., Schmidt, J. M.
Tiedje.. The RDP-II (Ribosomal Database Project). Nucleic Acids
Res. .2001. 29:173-174.
M.L. Marco, S. Pavan, M. Kleerebezem. Towards understanding
molecular modes of probiotic action. Curr. Opin. Biotechnol.
2006. 17:204-210
L.V. Holdeman, W. E. C. Moore, E. P. Cato, Anaerobe laboratory
manual. Virginia Polytechnic Institute and State University.1997.
C. Cécile, F. Duthoit, C. Delbès, M. Ferrand, Y.L Frileux, R. D.
Crémoux, and M-C Montel. "Stability of microbial communities
in goat milk during a lactation year: molecular
60
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Analisa Kinerja Metode PID pada Suhu
Alat Pengering Biji Kedelai
Guido Dias Kalandro1, Ali Rizal Chaidir2, Alfredo Bayu Satriya3
Jurusan Teknik Elektro Universitas Jember
Jalan Kalimantan 37 Kampus Tegalboto, Jember
1guidokalandro89@gmail.com
2
alirizalchaidir@gmail.com
3alfredobayu.teknik@unej.ac.id
Abstract
Mutu kedelai sangat dipengaruhi oleh proses pasca panen salah satunya adalah proses pengeringan. Proses pengeringan umumnya
dilakukan dengan menjemur atau menggunakan mesin pengering kedelai konvensional. Proses tidak menghasilkan pengeringan
yang optimal karena tidak menghasilkan suhu dan laju pengeringan yang stabil dan terkendali. Agar suhu dan laju pengeringan
stabil dan terkendali sehingga proses pengeringan menjadi optimal, diperlukan rancangan alat pengering kedelai menggunakan
sistem closed loop, salah satunya menggunakan metode PID. Sebelum merancang alat, maka analisa kinerja metode PID dan
penalaan parameter-parameter PID yakni Kp, Ki, dan Kd perlu dilakukan. Artikel ini membahas metode penalaan PID dan
mengusulkan metode penalaan terbaik untuk merancang alat pengering. Hasil simulasi menunjukkan Metode BB yang paling
cocok untuk digunakan pada rancanagan alat pengering biji kedelai dengan overshoot mencapai 0%, rise time 13 detik dan settling
time 23,4 detik.
Keywords— alat pengering, kedelai, penalaan, PID, suhu pengeringan.
I. PENDAHULUAN
Setiap tahun sekitar 4.500 - 5.000 ton kedelai berhasil
diekspor dengan menghasilkan devisa USD 10 juta [1].
Jawa Timur menyumbang sekitar 42% produksi kedelai
nasional oleh karena itu kedelai menjadi salah satu tema
riset unggulan di Universitas Jember. Penelitian yang
dikembangkan meliputi berbagai aspek dari kedelai antara
lain pembibitan, perawatan, proses pasca panen, proses
pengolahan dan produksi dengan tujuan untuk
menghasilkan kuantitas dan kualitas kedelai yang
diinginkan. Mutu dan produksi kedelai sangat dipengaruhi
oleh proses panen dan pasca panen. Proses pasca panen
kedelai terdiri dari berbagai tahap, antara lain pengeringan
brangkasan, proses perontokan biji, proses pembersihan
dan sortasi, serta proses pengeringan biji. [2]
Proses pengeringan biji kedelai menjadi suatu bagian
dari proses pasca panen yang sangat penting. Proses
pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang
terkandung dalam biji kedelai yang semula berkisar 1720% menjadi 13-14% (turun sebesar 3-7 %) . Biji kedelai
nantinya akan diolah menjadi makanan maupun sebagai
benih tanaman kedelai. Biji kedelai dengan kadar air diatas
17% atau tanpa proses pengeringan akan menyebabkan
biji kedelai yang cepat busuk atau memiliki umur simpan
pendek, sedangkan biji yang akan dijadikan benih akan
memiliki daya kecambah yang buruk tanpa pengeringan
[3].
Proses pengeringan biji kedelai dapat dilakukan secara
alami maupun buatan. Secara alami, biji kedelai dapat
dikeringkan dengan cara dijemur sedangkan dengan
buatan yakni dengan menggunakan mesin pengering.
Pengeringan biji kedelai dengan mesin pengering lebih
dianjurkan dibandingkan dengan menjemur kedelai
karena mampu meningkatkan mutu pengeringan [2].
Pengeringan dengan penjemuran sangat mengandalkan
cahaya matahari dan kondisi cuaca.
Penggunaan mesin kedelai konvensional juga masih
memiliki kelemahan yaitu sistem pengeringannya yang
bersifat open loop sehingga suhu pengeringan tidak
terkendali dengan baik. Di sisi lain, untuk mendapatkan
biji kedelai yang berkualitas diperlukan pengeringan
dengan suhu yang stabil agar laju pengeringan terkendali
dengan baik. Oleh karena itu, dibutuhkan alat pengering
biji kedelai menggunakan sistem closed loop dengan
sensor suhu sebagai umpan balik untuk mengurangi error
suhu pada proses pengeringan. Beberapa penelitian
tentang penerapan sistem kendali suhu pada alat pengering
produk hasil pertanian menunjukkan beberapa kelebihan
dibandingkan menggunakan alat pengering tanpa sistem
kendali suhu. Pada penelitian sebelumnya [4], alat
pengering dengan sistem kendali suhu menunjukkan
61
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
penghematan penggunaan energi listrik. Penelitian lain [5]
menunjukkan bahwa alat pengering otomatis yang dibuat
menghasilkan kualitas lebih terjamin dan prosentase
kegagalan dalam proses pengeringan sangat kecil jika
dibandingkan dengan mesin pengering konvensional.
Artikel ini membahas simulasi kinerja sistem kendali
menggunakan metode PID Ziegler–Nichols (ZN), Chien–
Hrones–Reswick (CHR), Cohen–Coon (CC), dan BangBang (BB) pada alat pengering biji kedelai menggunakan
software Matlab. Hasil dari simulasi ini akan dijadikan
acuan untuk mendesain alat pengering biji kedelai
II. TINJAUAN PUSTAKA
Simulasi ditujukan untuk merancang alat pengering
kedelai dengan menggunakan metode PID dan Fuzzy.
A. Kedelai
Kedelai banyak mengandung protein, lemak dan
vitamin, sehingga tidak mengherankan bila kedelai
mendapat julukan : gold from the soil. Berdasarkan warna
kulitnya, kedelai dapat dibedakan atas kedelai putih,
kedelai hitam, kedelai coklat, dan kedelai hijau. Perbedaan
warna tersebut akan berpengaruh dalam penggunaan
kedelai sebagai bahan pangan. Menurut SNI 01-39221995, klasifikasi mutu kedelai dibagi dalam 4 tingkatan,
dengan jenis uji kadar air, butir belah, butir rusak, butir
warna lain, butir keriput dan kotoran.
Salah satu tahapan dari proses pengolahan biji kedelai
adalah proses pengeringan biji, jika tidak melakukan
proses pengeringan maka akan mengakibatkan biji atau
benih yang dihasilkan memiliki mutu yang rendah seperti
misalnya berjamur, berkecambah, dan busuk. Faktor yang
perlu diperhatikan dalam proses pengeringan antara lain:
Suhu maksimum pengeringan
Kadar air awal rendah
Mempertahankan laju pengeringan 4 – 5 %/ jam
Pengeringan biji kedelai dengan mesin pengering
menggunakan suhu maksimal sekitar 50 drajat C dan
dilakukan sampai presentase kadar air dalam biji kedelai
berubah dari sekitar 15 – 18% menjadi sekitar 12 – 13 %.
4) S-S error: selisih antara set point (nilai yang
diinginkan) dengan nilai yang dicapai sistem setelah
steady state
C. Kontrol PID
Kontrol Proporsional, Integral dan Derivatif (PID)
adalah sebuah kontrol dengan loop tertutup. Kontrol PID
merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
pengaturan suhu [7]. Tujuan dari kontrol PID secara
umum adalah untuk memperkecil selisih antara nilai yang
terukur oleh sebuah sensor dengan set point yang telah
ditentukan.
Ada tiga parameter dalam kontrol PID, yaitu nilai
Proporsional, Integral dan Derivative. Setiap parameter
kontrol PID memiliki karakter dan fungsi masing-masing
seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1.
Dengan melakukan penalaan (tuning) konstanta
disetiap parameter dapat memberikan respon yang
diinginkan. Penalaan parameter PID disebut juga dengan
Tuning PID. Kesalahan dalam memilih parameter
kontroler PID menyebabkan sistem menjadi tidak stabil
(output menyimpang atau terjadi osilasi). Metode
penalaan PID antara lain adalah metode Ziegler-Nichols
(Z-N) , metode Chien–Hrones–Reswick dan metode
Cohen–Coon (CC).
B. Respon Sistem
Gambar 1. Respon sistem dan parameter-parameter respon sistem
Sebuah sistem open loop diberikan input step maka
akan menghasilkan repon sistem yang membentuk grafik
seperti pada Gambar 1 [6]. Respon sistem ini yang
menunjukkan kinerja sebuah sistem. Parameter respon
sistem antara lain:
TABEL VI
KARAKTERISTIK MASING-MASING KONTROL PID
1) Overshoot: presentase selisih antara set point (nilai
yang diinginkan) dengan capaian sistem
2) Settling time: waktu yang ditempuh untuk mencapai
steady state
3) Rise time: waktu yang diperlukan untuk mencapai set
point pertama
Rise Time
Parameter Sistem Kendali
Settling
Overshoot
Time
P
Mengurangi
Menambah
Perubahan
Kecil
I
Mengurangi
Menambah
Menambah
D
Perubahan
Kecil
Mengurangi
Mengurangi
S-S Error
Mengurangi
Mengeliminasi
Tidak ada
Perubahan
62
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah
mendapatkan kinerja berbagai metode sistem kendali
close loop agar dapat dipakai sebagai acuan dalam
merancang alat pengering biji kedelai dengan suhu yang
stabil.
IV. METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini meliputi metode mendapatkan
fungsi transfer sistem open loop, penalaan metode PID
pada closed loop dan analisa sistem.
A. Fungsi Transfer Sistem Open Loop
Sebelum menganalisa sistem closed loop dengan
metode PID, diperlukan analisa respon sistem open loop
untuk mendapatkan parameter-parameter yang diperlukan
sebagai input sistem closed loop antara lain L = rise time
sistem open loop dan T = selisih antara settling time dan
rise time sistem open loop. Respon sistem open loop
didapatkan menggunakan fungsi transfer Gs melalui
persamaan (1-4) berikut.
Kplant =
���
���
T1 = Xa0 + [(Xat - Xa0) × 0,632]
Tv =
T1 X a0
K plant X i
Gs = K plant
1 Tv S
1 T1S
Berbeda dengan ketiga metode diatas, metode BangBang melakukan penalaan tidak berdasarkan pada
persamaan namun pada percobaan trial and error hingga
mendapatkan respon sistem yang diinginkan.
Gambar 2. Rancangan Sistem Closed Loop Alat Pengering
Biji Kedelai
TABEL VIII
PERSAMAAN PENALAAN PID
Metode
Kp
Ki
Kd
Z-N
1.2/a
2L
L/2
CHR
0.6/a
2.5 2
L
1 0.39
L
1.35 0.18
1
a
1
CC
(1)
dimana:
(2)
=
�
�=
�
T
0.37 0.37
L
1 0.81
�
�+�
C. Analisa Sistem
(3)
(4)
B. Penalaan PID pada Sistem Closed Loop
Rancangan sistem closed loop ditunjukkan pada
Gambar 2. Heater dirancang untuk melakukan pemanasan
pada alat pengering. Sensor suhu digunakan untuk
memonitor suhu setiap saat sebagai umpan balik sistem
sehingga didapat error sistem. Error sistem akan
diminimalisir dengan penambahan Metode PID.
Analis kinerja metode PID adalah dengan menganalisa
parameter Kp,Ki, dan Kd yang terbaik dalam menghasilkan
respon sistem yang bagus, yakni rise time, settling time,
overshoot, dan S-S error yang sangat kecil atau bahkan
tidak ada. Terdapat beberapa metode penalaan PID, antara
lain Ziegler–Nichols (Z-N), Chien–Hrones–Reswick
(CHR), Cohen–Coon (CC) dan Bang-bang (BB). Penalaan
metode Z-N, CHR, dan CC
dilakukan dengan
memasukkan parameter respon sistem open loop pada
persamaan-persamaan untuk mendapatkan parameter
Kp,Ki, dan Kd seperti ditunjukkan pada Tabel III.
Hasil respon sistem PID dengan metode Z-N, CC dan
CHR akan dibandingkan satu dengan yang lain serta
dibandingkan pula dengan respon sistem open loop.
Parameter yang dibandingkan antara lain rise time, settling
time, overshoot, dan S-S error. Kemudian hasil
perbandingan ketiga metode tersebut akan dijadikan tolak
ukur untuk menghasilkan metode BB, sehingga
didapatkan metode BB terbaik yang cocok diaplikasikan
sebagai sistem kendali suhu alat pengering kedelai
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Berikut hasil yang diperoleh dari simulasi yang telah
dilakukan.
D. Respon Sistem Open Loop
Respon sistem open loop ditunjukkan oleh Gambar 3.
Sistem open loop menunjukkan respon sistem yang
lambat, dimana sistem ini memilki rise time mencapai
57,1 detik dan settling time mencapai 102 detik. Namun
sistem open loop tidak menghasilkan overshoot. Respon
sistem open loop menghasilkan nilai L = 57,1 detik dan T
= 44,9 detik.
63
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
E. Perbandingan Metode Z-N, CC dan CHR
Hasil simulasi perbandingan tiga metode penalaan PID
ditunjukkan oleh Gambar 4. Ketiga metode relatif
memiliki overshoot yang tinggi yaitu berkisar 15-16%.
Jika dibandingkan dengan metode open loop maka open
loop lebih baik dari sisi overshoot. Namun jika
dibandingkan pada rise time dan settling time maka
metode ZN, CC dan CHR jauh lebih cepat dibanding
sistem open loop. CHR memiliki kelebihan yakni
mencapai steady state paling cepat dibanding metode lain
dengan settling time hanya 16,2 detik. Metode CC
memiliki kelebihan yakni memiliki rise time tercepat
dibanding metode lain yakni hanya 0,04 detik. Overshoot
tertinggi dimiliki oleh metode CHR. Hal ini menunjukkan
ada trade off antara parameter-parameter respon sistem
dan tidak ada metode yang mutlak lebih baik dibanding
metode yang lain.
Gambar 4. Perbandingan Respon Sistem Closed Loop Alat Pengering
Kedelai Menggunakan PID dengan Metode Penalaan Z-N, CHR dan CC
F. Metode Bang-Bang
Setelah mendapatkan hasil kinerja metode penalaan ZN, CHR dan CC maka selanjutnya adalah melakukan trial
and error/ Metode Bang-Bang. Tiga kali percobaan
dilakukan untuk mencari metode paling cocok
diaplikasikan pada alat pengering biji kedelai. Target
utama adalah menghilangkan overshoot sehingga suhu
pengeringan tidak melebihi 50˚C serta tetap menjaga
settling time dan rise time sekecil mungkin. Didapatkan
pada Bang-Bang yang ketiga dimana overshoot 0% dan
settling time hanya 23,4 detik. Metode Bang-Bang ketiga
menggunakan parameter Kp, Ki, dan Kd sebesar 20, 40 dan 5.
TABEL VIIIII
PARAMETER PID DAN KINERJA METODE PENALAAN
Z-N, CHR, CC DAN BB
Parameter PID
Metode
Z-N
CHR
CC
BB1
BB2
BB3
Gambar 3. Respon Sistem Open Loop Alat Pengering Biji Kedelai
dengan Rise Time dan Settling Time
Kp
Ki
Kd
L
0,94
0,47
1,30
12
20
20
114,2
44,9
100,83
115
150
40
28,55
28,55
17,01
7
5
5
0.08
3.43
0.04
0.03
0.02
13
Parameter Respon Sistem
OverST
T
Peak shoot
(%)
30.8 30.72 57.7
15
16.2 12.77 58.2
16,5
30.2 30.16 57.6
15,2
26.5 26.47 52.4
4,75
21.9 21.88 50.7
1,4
23.4
10.4
0
0
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Sistem dengan kendali suhu PID menunjukan hasil
yang relatif lebih baik dibandingkan sistem yang
konvensional (open loop). Rise time sistem open loop
mencapai 57,1 detik sedangkan pada sistem PID
menghasilkan rise time terbesar hanya 3,43 detik yakni
pada metode CHR. Settling time metode open loop
mencapai 102 detik sedangkan PID menghasilkan settling
time terbesar 30,8 detik yakni pada metode Z-N.
Kelebihan open loop hanya pada overshoot yang bernilai
0% menyamai overshoot PID dengan metode BB.
Metode ZN, CC, dan CHR memiliki kelebihan masingmasing. Metode CHR memiliki nilai settling time paling
cepat dibanding metode CC dan ZN yaitu 16,2 detik.
Metode CC memiliki rise time paling cepat dibanding
metode CHR dan ZN yaitu 0,04 detik. Ketiga metode
tersebut memiliki overshoot relatif sama (berkisar 1516 %).
Dengan melakukan analisa terhadap hasil simulasi
ketiga metode tersebut dilakukan metode BB. Metode BB
dilakukan dengan target mengurangi overshoot agar suhu
pengeringan tidak melebihi suhu maksimum namun juga
tidak menambah terlalu besar rise time dan settling time.
Setelah tiga kali trial and error maka didapatkan hasil
64
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
metode BB ketiga. Hasil metode BB ketiga memiliki
overshoot 0% dengan rise time 13 detik dan settling time
23,4 detik.
Saran penulis untuk penelitian selanjutnya adalah
pengembangan metode penalaan dengan algoritma yang
lebih baik untuk mendapatkan overshoot 0% dan rise time
serta settling time sekecil mungkin,
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terimakasih kepada Lembaga
Penelitian Universitas Jember serta Fakultas teknik
Universitas Jember atas dukungan dalam penulisan artikel
ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
http://setkab.go.id/kedelai-jember-tembus-pasar-internasional/.
http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluhan/detail/9904/penan
ganpe-pengeringan-tanaman-kedelai
Suprapto. 1992. Bertanam Kedelai. Jakarta: Penebar Swadaya
Putra, G.M.D., dan Sumarjan, “Desain sistem kendali suhu dan
RH berbasis logika fuzzy pada pengeringan biji pala (Myristica
sp.) ERK hybrid,” Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan
Biosistem, Vol. 2, No. 1 Maret 2014.
Supriyono, H., Ariwibowo, S., dan Al Irsyadi, F. (2015),
“Rancang bangun ppengering panili otomatis berbasis
mkrokontroler,” Simposium Nasional RAPI XIV FT UMS , ISSN
1412-9612.
Tao, Y., and Hu, Z. (2010), “Algorithm of baking tobacco control
decision system based on fuzzy control and lagrange
interpolation,” Industrial Mechatrinics and Automation (ICIMA),
2010 IEEE, Vol. 1, pp. 529-532, 30-31 May 2010.
Schoeman, R. M. (2011), “Embedded PI-bang-bang curing oven
controller,” AFRICON, 2011 IEEE, hal. 1-5.
65
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Potensi Bakteri Pseudomas fluorescence dan
Bacillus subtillis untuk Mengendalikan Hawar
Daun Bakteri pada Kedelai (Pseudomonas
syringae pv. glycine)
Abdul Majid
ABSTRAK
Penyakit hawar bakteri kedelai disebabkan oleh bakteri Pseudomonas syringae pv. glycine dan merupakan penyakit yang berbahaya
dengan tingkat kerugian mencapai 70 %. Pengendalian dengan pestisida kimia disamping kurang efektif, ternyata banyak menimbulkan
pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan, resistensi patogen maupun timbulnya strain baru patogen yang lebih ganas. Alternatif
pengendalian yang ramah lingkungan adalah dengan agens hayati bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtillis. Bakteri ini
merupakan kelompok (PGPR/Plant Growth Promoting Rhizobacteria) yang berperan sebagai bioprotektan, biofertilizer dan biostimulan.
Hasil penelitian secara invitro menunjukkan bahwa semua isolat bakteri antagonis yang telah terpilih memiliki kemampuan dalam
menghambat jamur Pseudomonas syringae dengan besar daya penghambatan adalah 66 % sampai 77.6 %. Dan daya hambat terbesar adalah
pada isolat BS 05, dan sekaligus memiliki konsistensi yang baik, baik pada isolat RS.1 sebesar ( 77,3 %) maupun pada isolat RS.2 yaitu
sebesar ( 77,6 %) . Hasil penelitian juga dapat dilihat bahwa bakteri BS 80, PF 06, dan BS 58 memiliki konsistensi. Sangat memungkinkan
dalam aplikasi pengujian di rumah kaca maupun aplikasi dilapangan untuk dilakukan kombinasi antar isolat Pseudomonas dan Bacillus
yaitu khususnya pada strain BS-58, BS-91, PF-12, Pf-38 dan PF-88. Kombinasi isolat ini diharapkan mampu meningkatkan adaptibilitasnya
dan dapat meningkatkan efektifitasnya.
PENDAHULUAN
Kebutuhan kedelai nasional setiap tahun terus
meningkat yaitu rata rata mencapai 2,24 juta ton per tahun,
sementara produksi nasional hanya mencapai rata rata
1,19 juta ton per tahun. Ini berarti ketergantungan akan
suplai kedelai impor mencapai 1,16 juta ton setiap
tahunnya. Rata rata produksi pertanaman kedelai juga
masih rendah, yaitu hanya 1,1 ton/ha. Salah satu penyebab
utama rendahnya produksi kedelai adalah gangguan
organisme pengganggu tanaman, dan diantaranya adalah
penyakit hawar bakteri ( Deptan, 2011 ).
Penyakit hawar bakteri pada kedelai disebabkan
oleh bakteri Pseudomonas syringe pv. glycine
(Semangun, 1991). Beberapa karakter patogen ini
adalah dapat bertahan dalam tanah, terbawa oleh benih
serta dapat bertahan dalam waktu yang lama di dalam
tanah. Bakteri dapat menyerang tanaman mulai dari bibit,
daun serta polong dan dapat menyebabkan kerugian 5070%. Hingga saat ini upaya pengendalian penyakit masih
mengandalkan pestisida kimia. Namun kenyataannya
belum memberikan hasil yang memuaskan. Bahkan
sebaliknya menurut Margino dan Mangoendiharjo (2002)
pemakain fungisida yang tidak bijaksana telah
memberikan dampak negatif terhadap pencemaran
lingkungan, kesehatan manusia, resistensi patogen serta
dapat menimbulkan adanya strain baru bagi patogen yang
lebih ganas serta terjadinya erosi agens hayati hingga
mencapai 72 %.
Keunggulan bakteri P. fluorescens mempunyai
kemampuan yang lebih baik sebagai pengkoloni akar
dibandingkan dengan Bacillus sp., dan punya kemampuan
tumbuh pada suhu tanah yang lebih rendah, namun
masalahnya adalah isolat Pseudomonas agak spesifik
terhadap inang dan atau patogen sasaran. Masalah lainnya
adalah sensitif terhadap stres lingkungan, karena
Pseudomonas tidak membentuk endospora (struktur tahan
dari stres) seperti Bacillus. Keunggulan Bacillus
dibandingkan dengan bakteri lain adalah kemampuannya
menghasilkan endospora yang tahan terhadap panas dan
dingin, juga terhadap pH ekstrim, pestisida, pupuk dan
waktu penyimpanan Janisiewicz dan Roitman (2008;
Tjahjono, 2000). Hingga saat ini walaupun agens hayati
memiliki beberapa keunggulan, namun pemanfaatanya
masih menggunakan suspensi sel bakteri dan terbatas
pada skala percobaan dan belum dilakukan pada skala
lapangan. Salah satu kendalanya adalah terbatasnya
produk formulasi agens hayati isolat lokal yang dapat
diaplikasikan dalam skala luas. Produksi bioformulasi
agens hayati P. fluorescens dan B.subtilis sangat
diperlukan untuk membantu
memecahkan masalah
aplikasi secara luas dilapangan
66
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pengamatan juga dilakukan untuk mengetahui
sifat penghambatan yaitu dengan mengambil zona
penghambatan menggunakan jarum ent dan memasukkan
dalam air pepton 0,5% kemudian menggojok selama 1-3
hari. jika air pepton keruh maka bakteri bersifat
bakteriostatik. Sebaliknya bila tetap bening maka bkteri
bersifat bakterisida. Hasil pengujian antibiosis terhadap
patogen adalah sebagai mana tabel 1.
Tabel 1 . Daya hambat bakteri antagonis potensial
(terpilih) terhadap pertumbuhan jamur P.
syringae ( isolat FO.1 dan isolat FO.2) pada
pengamatan 10 hari setelah inkubasi ( %).
METODE PENELITIAN
SELEKSI ISOLAT AGENS HAYATI YANG
UNGGUL MELALUI UJI IN VITRO DAN IN VIVO.
1. Seleksi Secara In Vitro di Laboratorium
a. Uji Penghambatan In vitro
Pengujian dilakukan dengan cara menumbuhkan
isolat bakteri antagonis pada medium NA dalam cawan
Petri, masing - masing 3 titik biakan, kemudian di
inkubasikan pada suhu kamar selama 24 jam. Setelah
inkubasi cawan Petri dibalik dan pada tutupnya ditetesi
dengan 1 ml kloroform dan dibiarkan selama 2 jam hingga
semua kloroform menguap kemudian cawan Petri dibalik
seperti keadaan semula. Sebanyak 0,2 ml suspensi bakteri
patogen P. syringe (bakteri yang berumur 24 jam yang
dicampur dengan 4 ml agar air 0,6 % suhu 50o C) dan
dituang dalam biakan bakteri antagonis , diinkubasikan
selama 24 jam pada suhu ruang, kemudian diukur zona
hambatan yang terbentuk.
2. Pengujian Secara In Vivo di Rumah Kaca
Pengujian penghambatan perkembangan penyakit
hawar pada kedelai oleh agens hayati isolat unggul dari
hasil pengujian di laboratorium dilakukan untuk
mendapatkan isolat unggul di rumah kaca.
Uji Penekanan Penyakit Hawar Bakteri Kedelai di
Rumah Kaca
Pengujian ini untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan isolat unggul dari hasil seleksi laboratorium
dalam menekan penyakit hawar kedelai di rumah kaca.
Pengamatan dilakukan berdasarkan keparahan penyakit
yang diukur dengan menggunakan indeks keparahan
penyakit sebagai berikut :
k k . nk
IP
i1 Z . N
0 = tidak ada gejala; 1 = < 25 % permukaan daun bercak;
2 = 25 < x < 75 % permukaan daun bercak; 3 = semua daun
bercak, dimana : nk = jumlah tanaman yang terserang;
penyakit dengan skala n (n= 0,1,2,3); N = jumlah tanaman
yang diinokulasi; Z = skala penyakit tertinggi (= 3)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji antagonisme yang mengacu dari
Arwiyanto et al. (1996) diperoleh bahwa semua isolat
Bacillus spp. dan P. Fluorscens yang diuji mempunyai
kemampuan menekan perkembangan P. syringae. Hal ini
ditunjukkan dengan terbentuknya zona penghambatan
dimana terjadi variasi diameter penghambatan pada
masing-masing isolat B. subtillis dan P. Fluorescens yang
diuji mulai dari 0 % hingga 77.5%, dengan rata rata daya
hambat mencapai 25% hingga 35 %.
No
Isolat
bakteri
antagonis
1
PF 06
2.
PF 11
3.
PF 12
4.
PF 38
5.
PF 86
6
PF 88
6.
BS 05
7.
BS 19
8.
BS 57
9.
BS 58
10.
BS 80
12
BS 91
11
Kontrol/tan
pa bakteri
Rerata diameter dan daya penghambatan
pada P syringe
RS. RS.1 RS.2 RS.2
1(m
(%) (mm) (%)
Sifat
m)
penghamb
atan
17.3 76.1
17.4
75.3 Bakteriost
atik
25.0 65,4
17.5
74.5 Bakteriost
atik
24.8 65.7
19.5
72.3 Bakteriost
atik
26.5 63.4
22.4
68.2 bakteriost
atik
19.3 73.4
22.8
67.7 bakteriost
atik
23.6 67.4
25.3
64.1 bakteriost
atik
16.4 77.3
15.8
77.6 bakteriost
atik
19.4 73.2
17.5
75.1 bakteriost
atik
23.5 67.5
17.8
74.8 bakteriost
atik
17.8 75.4
18.5
73.8 Bakteriost
atik
16.6 77.1
16.8
76.2 bakteriost
atik
70.2
19.5
72.3 bakteriost
21.6
atik
72.4
0
70.5
0
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa semua isolat
bakteri antagonis yang telah terpilih memiliki kemampuan
dalam menghambat jamur P.syringae dengan besar daya
penghambatan adalah 66 % sampai 77.6%. Dan daya
hambat terbesar adalah pada isolat BS 05, dan sekaligus
memiliki konsistensi yang baik, baik pada isolat RS.1
sebesar (77,3%) maupun pada isolat RS.2 yaitu sebesar
(77,6%). Dari tabel diatas juga dapat dilihat bahwa bakteri
67
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
BS 80, PF 06, dan BS 58 memiliki konsistensi yang baik
dalam menghambat jamur P.syringae baik pada strain
RS.1 maupun Strain RS.2. hanya saja besar daya
hambatannya lebih kecil.
B. Seleksi pengujian bakteri antagonis secara In vivo
di rumah kaca.
Hasil pengamatan pada pengujian secara invivo
terhadap gejala penyakit layu pada kedelai yang
disebabakan oleh PSG menunjukkan bahwa mula mula
gejala ditandai dengan menguningnya tepi daun bawah
yang kemudian berkembang menjadi warna coklat dan
mengering. Selanjutnya tangkai daun akan patah di
sekeliling batang palsu , kemudian tanaman layu dan mati
( Gambar 1).
Gambar 1.
Gejala tanaman kedelai yang
terserang oleh bakteri PSG
Hasil pengamatan reisolasi terhadap gejala
penyakit layu tersebut menunjukkan bahwa tanaman
kedelai telah terinfeksi oleh patogen PSG. Pada kontrol
gejala muncul pada hari ke 10, sedangkan pada perlakuan
dengan aplikasi antagonis bakteri P. fluorescens dan B.
subtillis gejala penyakit ,mengalami penundaan hingga
pada hari ke 17 – 20 hari setelah inokulasi ( his ). Pada
tanaman yang tidak terserang patogen (Aplikasi bakteri
Antagonis ) menunjukkan rata rata pertumbuhan yang
lebih baik dibandingkan dengan yang tidak di beri
antagonis. Hal ini terjadi mungkin disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah karena kemampuan
antagonis untuk menghasilkan beberapa senyawa yang
berfungsi baik sebagai bioprotektan juga senyawa
biostimulan dan biofertilizer yang berfungsi sebagai
pemacu dan menyuburkan tanaman .
Hasil pengujian antagonisme P. Fluorescens,
B.subtillis dan kombinasi P fluorescens dan B. subtillis
terhadap insiden penyakit layu PSG pada kedelai di
Rumah kaca dapat dilihat pada tabel 2 .
Tabel 2. Insiden Penyakit layu PSG pada kedelai pada
berbagai kombinasi perlakuan
pada
pengamatan 15 ; 30; dan 45 hari setelah
inokulasi (hsi) ( % ) secara invivo pada tanah
steril.
Perlakuan Isolat
Pengamatan pada ....hari
Bakteri
setelah inokulasi ( hsi)
Antagonis
15
30
40
Bs-05
1.43
10.34 b
12.34 a
Bs-19
1.34
12.45 b
19.13 ab
Bs-57
2.48
10.56 b
23.52 b
Bs-58
0.00
20.43 c
24.32 b
Bs-80
0.00
23.44 c
24.43 b
Bs-91
2.11
23.54 c
23.65 b
PF-06
1.44
20.53 c
27.85 bc
PF-11
0.00
20.32 c
26.54 bc
PF-12
PF-38
PF-86
PF-88
BS-58 dan PF-12
BS-58 dan PF-38
1.44
1.23
1.44
1.54
1.55
1.44
19.56 c
23.54 c
14.56 b
20.43 c
12.54 b
12.54 b
21.76 b
45.76 d
32.57 c
23.65 b
14.53 a
19.43 ab
BS-58 dan PF-88
0.00
8.23 b
11.35 a
BS-91 dan PF-12
0.00
12.57 b
16.43 a
BS-91 dan PF-38
2.54
10.76 b
21.54 b
BS-91 dan PF-88
1.44
15.43 b
23.45 cb
Kontrol/ tanpa
3.54
27.67 d
80.64 e
antagonis
Dithane M-45
0.00
3.34 a
13.23 a
Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan,s 5
%
Tabel 2 menunjukkan bahwa insiden penyakit
layu PSG pada kedelai pada pengamatan 15 hari setelah
inokulasi belum menunjukkan tingkat serangan yang
berarti pada semua perlakuan aplikasi macam bakteri
antagonis maupun pada kontrol. Insiden penyakit rata rata
masih sekitar 1 %. Bahkan pada perlakuan dengan
Fungisida Dithane M 45 semua tanaman belum ada yang
terserang oleh penyebab penyakit layu pada kedelai.
Pada pengamatan 30 hari setelah inokulasi
tanda–tanda peningkatan insiden penyakit mulai terjadi.
Pada perlakuan aplikasi bakteri
antagonis insiden
penyakit rata rata lebih rendah dibandingkan dengan
kontrol. Pada Kontrol (tanpa perlakuan bakteri antagonis)
insiden penyakit mencapai 27.67 % sedangkan pada
perlakuan dengan pemberian antagonis insiden penyakit
dapat ditekan, yaitu berkisar antara 8.23 % - 23.54 %.
68
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pada pengamatan 45 hari setelah inokulasi
semakin menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara
semua perlakuan dengan kontrol maupun dengan
pembanding dithane M- 45. Pada Pengamatan ini terjadi
peningkatan insiden penyakit pada semua kombinasi
perlakuan, dan menunjukkan perbedaan yang nyata.
Insiden penyakit tertinggi terjadi pada kontrol yaitu
mencapai 80,64%, sedangkan insiden penyakit terendah
terdapat pada beberapa perlakuan yaitu pada kombinasi
perlakuan aplikasi Pf 88 dan BS 58 yaitu sebesar 11.35 %.
Dan tidak berbeda nyata dengan aplikasi bakteri BS 05
dengan insiden penyakit sebesar 12.34 %, sementara pada
perlakuan dengan P. fluorescens yang paling efektif
adalah pada bakteri isolat PF. 12 dengan insiden penyakit
mencapai 21,76%, pada aplikasi dengan dithane M-45
sebesar 13.23%. Hal ini berarti bahwa aplikasi macam
bakteri antagonis dapat berpengaruh secara nyata
menurunkan insiden penyakit layu PSG pada kedelai.
Aplikasi dengan penggunaan fungisida Dithane
M 45 untuk menekan penyakit memberikan hasil yang
sangat berbeda nyata pada khususnya pada awal
pengamatan 15 hari setelah inokulasi hingga 30 hari
setelah inokulasi, dimana insiden penyakit jauh lebih
rendah bila dibandingkan dengan aplikasi kombinasi
bakteri antagonis yaitu sebesar 1.4%, sedangkan pada
waktu yang sama perlakuan kombinasi bakteri insiden
penyakit mencapai 10.3 %. Pada pengamatan pada 45 hari
setelah inokulasi, insiden penyakit pada aplikasi fungisida
ini ternyata mencapai 13.23 % dan tidak berbeda nyata
bila dibandingkan dengan aplikasi kombinasi bakteri
antagonis. Kenyataan ini di duga pada awalnya fungisida
memang dapat bekerja secara efektif menekan patogen,
namun setelah berjalan hingga 45 his, fungisida telah
mengalami degradasi sehingga tidak lagi efektif
menurunkan penyakit. Sementara pada agens hayati
bakteri antagonis justru akan terus berkembang dan hidup
sehingga lebih dapat berperan dalam waktu yang lama bila
dibandingkan dengan penggunaan fungisida.
Dari data tabel 2 hasil pengamatan insiden
penyakit PSG diketahui bahwa rata rata aplikasi dari
macam bakteri antagonis yang digunakan menunjukkan
pengaruh yang berbeda nyata.
Tabel 3. Rata- rata Insiden penyakit layu PSG akibat
pengaruh macam antagonis pada berbagai
strain yang berbeda ( % ).
Insiden Penyakit pada
hari setelah inokulasi (%)
45
80.64 d
29.68 c
21.23 b
Macam antagonis
Tanpa antagonis
P.fluorescens
B.subtillis
P.fluorescens
B.subtilis
dan
17.79 a
Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan 5 %.
Hasil yang paling baik adalah terdapat pada
perlakuan kombinasi bakteri P.fluorescens dan B. subtilis
pada frekwensi aplikasi 3. Hal ini berarti aplikasi
kombinasi kedua bakteri tersebut dapat saling bekerja
sama meningkatkan efektifitasnya dan bersifat sinergis
bila dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal.
Kenyataan ini juga dilaporkan oleh Kurniawan (1996)
bahwa perlakuan kombinasi antagonis Gliocladium,
Trichoderma, dan Pseudomonas menunjukkan persentase
penghambatan serangan antraknose lebih besar
dibandingkan dengan penggunaa nya secara tunggal. Hal
ini dimungkinkan oleh adanya efek sinergisme antara
agens antagonis tersebut. Pengujian ini ditujukan pada
bakteri antagonis terpilih yang menunjukkan hasil
potensial pada pengujian secara in vivo pada tanah steril,
yaitu pada isolat BS. 05, BS. 19, PF. 12, dan interksi
kombinasi BS. 58 dan PF 12 ; BS 58 dan PF.88. Hasil
pengujian dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Insiden Penyakit layu PSG pada kedelai pada
berbagai kombinasi perlakuan secara invivo
pada tanah non steril. pada pengamatan 15 ;
30; dan 45 hari setelah inokulasi (hsi) ( % )
Perlakuan Isolat
Pengamatan pada ....hari
Bakteri
setelah inokulasi ( hsi)
Antagonis
15
30
40
Bs-05
1.45
15.34
19.34 ab
Bs-19
1.55
16.45
27.13 c
PF 12
1.55
16.56
30.52 c
Bs-58 dan PF 12
1.45
16.56
20.30 b
Bs-58 dan PF 88
1.25
15.45
17.43 a
Kontrol
2.45
43.55
70.87 d
Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan 5 %
Pada tabel 4 diaats menunjukkan bahwa
walaupun hampir semua perlakuan aplikasi bakteri
antagonis yang terpilih dari pengujian in vitro pada tanah
steril
ternyata
mengalami
penurunan
tingkat
efektifitasnya, namun isolat BS. 05 dan interksi antara BS
58 dan PF 88 ternyata masih konsisten dalam menekan
penyakit layu PSG. Penurunan efektifitas pada tanah non
steril dibandingkan dengan tanah steril di duga bahwa
pada tanah non steril terdapat populasi mikrobia yang
lebih komplek, sehingga terjadi kompetisi nutrisi, ruang,
dan pengaruh antibiosis dari mikrobia tanah lainnya ,
sedangkan pada tanah steril hal tersebut tidak terjadi .
Pengamatan
mekanisme
antagonis
juga
dilakukan dengan melihat kandungan senyawa biokimia
fenol yang berperan dalam meningkatkan ketahanana
tanaman terhadap penyakit. Menurut soesanto (2008),
69
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
mikribia tertentu dapat meningkatkan ketahanan tanaman
secara terimbas dan sistemik. Ketahanan terimbas
merupakan bentuk mekanisme agensia hayati yang
mampu menurunkan jumlah infeksi dan membatasi
pertumbuhan patogen selama tahap parasitnya di dalam
tanman.
Tabel 5. Kandunagan senyawa fenol tanaman kedelai
yang telah diperlakukan dengan bakteri
antagonis.
Perlakuan Isolat
Bakteri Antagonis
Kandungan senyawa
fenol total ( mgGAE/g)
7 hari setelah inokulasi
10.45
8.93
9.65
12.43
13.43
7.83
Bs-05
Bs-19
PF 12
Bs-58 dan PF 12
Bs-58 dan PF 88
Kontrol tanpa
antagonis
Tanaman sehat
5.61
GAE ( Galic Acid Equivalent)
Pada tabel 5 dapat diketahui bahwa telah terjadi
peningkatan senyawa fenol pada tanman yang telah
dinokulasi dibandingkan dengan tanaman yang sehat
(tanpa inokulsi), dan peningkatan senyawa fenol tersebut
lebih tinggi pada inokulasi dengan bakteri antagonis yang
dikombinasikan antara isolat BS dan PF. Peningkatan
senyawa fenol terkait dengan peningkatan respirasi
tanaman yang meningkat selama terjadi infeksi mkrobia.
Menurut Abadi (2003).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian pada tahun pertama
(sementara hingga bulan agustus) dapat diambil beberapa
kesimpulan:
1. Telah didapat dan diidentifikasi secara biokomia
Bakteri antagonis P. fluorescens dan B. subtilis
sejumlah ( 155 PF ) dan ( 145 BS ), dan semua tidak
bersifat patogenik pada pengujian hipersensitif.
2. Hasil potensial pada pengujian secara in vivo l, yaitu
pada isolat BS. 05, BS. 19, PF. 12, dan interksi
kombinasi BS. 58 dan PF 12 ; BS 58 dan PF.88.
3. Memungkinkan dalam aplikasi pengujian di rumah
kaca maupun aplikasi dilapangan untuk dilakukan
kombinasi antar isolat Pseudomonas dan Bacillus
yaitu khususnya pada strain BS-58, BS-91, PF-12, Pf38 dan PF-88. Kombinasi isolat ini diharapkan
mampu meningkatkan adaptibilitasnya dan dapat
meningkatkan efektifitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arwiyanto, T; Sudarmadi dan I. Hartana. 1996. Deteksi
Strain Pseudomonas solanacearum Penghasil
Bakteriosin. Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia. 2 (2): 60 - 65.
Asrul, T. Arwiyanto and Maryudani. 2004. Penekanan
penyakit layu bakteri dengan Pseudomonas
putida pf-20 yang diselimutkan pada benih
Tomat. J. Agroland 11 : 60 – 64.
Calvo, J., Calvente, V., De Orellano, M. E., Benuzzi, D.,
and De Tosetti, M. I. S. 2003. Improvement in
the biocontrol of postharvest diseases of apples
with the use of yeast mixtures. Biocontrol
48:579-593.
Compant, S., B. Duffy, J. Nowak, C. Cle´ment, and E.
A.Barka. 2005. Use of plant growth-promoting
bacteria for biocontrol of plant diseases:
principles, mechanisms of action, and future
prospects. Appl. Environ. Microbiol. 71: 4951–
4959
Copper A L, and Higgins K P. Application of
Pseudomonas fluorescens isolates to wheat as
potential biological control agents against takeall. Plant Pathol. 1993;42:560–567.
Duffy, B. K., and G. Défago. 1999. Environmental
factors modulating antibiotic and siderophore
biosynthesis by Pseudomonas fluorescens
biocontrol strains. Appl. Environ. Microbiol.
65:2429-2438.
Goto, M. 1992. Fundamental of Bacterial Plant
Pathology. Academic Press, Inc. United State of
America.
Janisiewicz, W.J. and J. Roitman, 2008. Biological Control of Blu
with Pseudomonas capacia. Phytopathology 78 : (12). 16
Jo Handelsman dan E.V. Stabb, 2003. Biocontrol of soilborne pla
Jo Handelsman dan E.V. Stabb, 1996. Biocontrol of
soilborne plant pathogens. The Plant Cell
8:1855-1869.
Jones, K. A., and H.D. Burges. 1998. Technology of
formulation and application. Pages 7-30 in:
Formulation of Microbial
Biopesticides:
Beneficial Microorganisms, Nematodes and
Seed Treatments. H. D. Burges, ed. Kluwer
70
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Academic
Publishers,
Netherlands
Dordrecht,
the
Kloepper, J. W. 1993. Plant Growth-Promoting
Rhizobacteria as Biological Control Agents.
Auburn University. Alabama.
Liu, L., J.W. Kloepper and S. Tuzun. 1995. Induction of
systemic resistance in cucumber against
bacterial angular leaf spot by plant growhtpromoting
rhizobacteria.
Phytopathology
85:843-850.
Margino, S dan S. Mangoendiharjo. 2002. Pemanfaatan
Keanekaragaman Hayai Untuk Biopestisida di
Indonesia. Lokakarya Keanekaragaman Hayati
Untuk Perlindungan Tanaman. Yogyakarta.
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman
Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Schisler, D. A., Slininger, P. J., Behle, R. W., and
Jackson, M. A. 2004. Formulation of Bacillus
spp. for biological control of plant diseases.
Phytopathology 94:1267-1271.
Tjahjono, B. 2000. Bakteri untuk pengendalian hayati
penyakit tanaman. Dalam Makalah Seminar
Sehari Perhimpunan Fitophatologi Indonesia.
Malang. 03p. Whitelaw MA. 2009. Growth
promotion of plants inoculated with phosphatesolubilizing fungi. Advances in Agronomy
69:99–151.
Vidyasekaran, P. dan M. Muthamilan, 1995.
Development of formulations of Pseudomonas
fluorescens for control chickpea wilt. Plant
Diseases. 79:782-788.
Whippes, J.M. 2008. Microbial interactions and biocontrol in the rhizosphere. Journal of Experimental Botany
52:487-511.
Yang, D.T 1997. "Education in Production: Measuring
Labor Quality and Management," American
Journal of Agricultural Economics, Agricultural
and Applied Economics Association, vol. 79(3),
pages 764-772 Addy, H.S. 2005. Mekanisme
Antagonistik Bakteri Pseudomonas Pendar
Fluor terhadap Ralstonia solanacearum san
Erwinia carotovora. Tesis S2. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
71
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Penggunaan Ekstrak Bawang Putih dalam
Pakan terhadap Performans Ayam Broiler
Tropis Fase Starter
Merry Muspita Dyah Utami1, Dadik Pantaya1
#
Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip PO Box 164 Jember
1merry.muspita@yahoo.com
Abstract
Ayam yang hidup di daerah tropis selalu terekspos suhu dan kelembaban tinggi menyebabkan stres yang merupakan respon untuk
beradaptasi pada lingkungan yang ekstrim tersebut. Proses adaptasi ini membutuhkan penggantian energi dan protein yang mengakibatkan
penurunan pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan ekstrak bawang
putih dalam pakan terhadap performans ayam broiler tropis, adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan rekomendasi penentuan
dosis fitobiotik ekstrak bawang putih sebagai pakan aditif terhadap performans ayam broiler. Sebanyak 180 ekor ayam digunakan
dalam penelitian ini. Ayam dikelompokkan berdasarkan perlakuan sebanyak enam kelompok perlakuan. Setiap perlakuan
terdiri dari tiga ulangan dan masing-masing ulangan terdiri atas 10 ekor ayam. Perlakuan adalah P0= kontrol, P1= ekstrak bawang putih
2%, P2= ekstrak bawang putih 4%, P3= ekstrak bawang putih 6%, P4= ekstrak bawang putih 8%, dan P5 = ekstrak bawang putih
10%. Ayam dipelihara sampai umur 35 hari, pada hari ke-1 sampai ke-14 diberikan pakan tanpa perlakuan. Perlakuan dimulai hari ke-15
sampai ke-35. Pakan diberikan terbatas sesuai standar kebutuhan dan air minum secara ad- libitum. Ekstrak bawang putih diberikan secara
oral setiap hari. Parameter yang diamati adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan. Hasil yang diperoleh
pada semua perlakuan menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan untuk semua perlakuan.
Keywords— ayam broiler, bawang putih, performans.
I. PENDAHULUAN
Ayam yang terekspos suhu tinggi daerah tropis menjadi
stres yang merupakan respon untuk beradaptasi pada
lingkungan luar ayam pada situasi yang abnormal. Proses
adaptasi ini meyebabkan pelepasan hormon dan
memerlukan penggantian energi dan protein yang
mengakibatkan penurunan pertumbuhan, reproduksi
dan kesehatan.
Stres menurunkan respon imun humoral dan seluler
serta resistensi terhadap penyakit infeksi, intensitas
dan lama stres yang diinduksi suhu akan merusak
sistem imun unggas. Selama periode pertumbuhan,
unggas yang mengalami stres tidak mengalami
pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan mengalami
penurunan [1].
Berbagai upaya dilakukan untuk mencari bahan
tambahan yang diberikan pada pakan sebagai pengganti
antibiotik yang berbahaya, yaitu mengganti antibiotik
dengan bahan atau substansi lain yang tidak menimbulkan
efek negatif, terutama tidak menghasilkan residu pada
produk peternakan
Untuk akselerasi penggantian energi dan protein akibat
stres diperlukan stimulasi metabolisme sehingga ayam
tidak mengalami penurunan pertumbuhan reproduksi dan
kesehatan ayam.
Fitobiotik adalah zat aditif yang berasal dari tanaman.
Bahan aktif fitobiotik, merupakan metabolit sekunder
tanaman. Satu tanaman dapat menghasilkan lebih dari satu
jenis metabolit sekunder, sehingga memungkinkan dalam
satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi.
Pakan aditif dapat memperbaiki daya cerna, tingkat
konsumsi pakan dan nilai gizi. Pemberian tepung bawang
putih sebanyak 2,5% didalam pakan mampu
meningkatkan efisiensi pakan.
Adanya eksplorasi keunggulan ekstrak bawang putih
mendorong masyarakat untuk membudidayakan tanaman
obat, sekaligus menjaga kelestarian plasma nutfah
Indonesia. Berbasis pada senyawa kimia yang ramah
lingkungan, maka fitobiotik dapat digunakan sebagai
aditif pakan untuk meningkatkan performans produksi
yang sangat menguntungkan bagi peternakan ayam di
daerah tropis
II. TINJAUAN PUSTAKA
Di Indonesia bawang putih memiliki nama lokal,
yaitu dason putih (Minangkabau), bawang bodas
72
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
(Sunda), bawang (Jawa Tengah), bhabang poote
(Madura), kasuna (Bali), lasuna mawura (Minahasa),
bawa badudo (Ternate) dan bawa fiufer (Irian Barat) [2]
Konsumsi dan penggunaan suplemen bawang putih
digunakan secara luas di dunia [3]. Pengujian, penelitian
dan pengembangan secara empiris dan sistematis terus
dilakukan untuk memanfaatkan khasiat bawang putih
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
[4].
Komposisi kimia setiap 100 g umbi bawang putih
adalah sebagai berikut: protein (4,5 g); lemak (0,2 g);
karbohidrat (23,10 g); vitamin B1 0,22 mg, vitamin C (15
mg); fosfor (134 mg); kalsium (42 mg); besi (1 mg); kadar
air (71 g) dan energi sebanyak 95 kalori [5], jika
dikonversi dalam bentuk persentase,
kandungan
nutriennya adalah sebagai berikut: karbohidrat 28%,
protein 2%, serat kasar 1,5%, senyawa organosulfur 2,3%
dan kadar air 65% [6].
Bawang putih mempunyai karakteristik utama, yaitu
kandungan metabolit sekunder yang berupa senyawa
organosulfur yang tinggi. Metabolit sekunder tersebut
mempengaruhi rasa, aroma dan sifat-sifat farmakologi
bawang putih [7]. Bawang putih mengandung 33
senyawa organosulfur, beberapa enzim, asam amino
dan mineral [8].
Senyawa organosulfur tersebut diantaranya: alliin;
allicin; ajoene; diallyl disulfide;
diallyl
trisulfide;
s-allylcystein;
vinyldithiines;
dan
sallylmercaptocystein. Senyawa organosulfur utama
pada umbi bawang putih adalah asam amino non
volatil γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein dan minyak atsiri
S-alk(en)il sistein sulfoxyde atau alliin. Senyawa tersebut
merupakan prekursor sebagian besar senyawa
organosulfur lain, kadarnya mencapai 82% dari
keseluruhan senyawa organosulfur [9].
Aktivitas biologis bawang putih dalam bentuk segar
sangat rendah (Challem, 1995), karena itu di samping
penggunaan bawang putih segar, saat ini dikenal
beberapa macam preparasi bawang putih, yaitu bubuk
bawang putih, minyak bawang putih dan ekstrak
bawang putih [10]. Selanjutnya berdasarkan beberapa
penelitian yang telah dilakukan, efek samping dan
toksisitas bawang putih tidak ditemukan sehingga aman
untuk dikonsumsi [11]. Ekstrak bawang putih dapat
digunakan tanpa mengakibatkan efek yang tidak
diinginkan [12] dan sampai saat ini belum dilaporkan
toksisitas akibat konsumsi ekstrak bawang putih.
Bawang putih mengandung kadar sulfur yang tinggi,
diantaranya allicin, diallyl disulfide, dan diallyl trisulfide
yang merupakan minyak yang mudah menguap (volatil),
serta S-allyl cysteine (SAC), asam amino yang larut dalam
air [13]. Senyawa yang mengandung sulfur
bertanggungjawab terhadap rasa, aroma, dan sifat-sifat
farmakologi bawang putih [14].
Mayoritas senyawa yang mengandung sulfur dalam
bawang putih adalah γ- glutamyl-S-allyl-L-cysteines dan
S-allyl-L-cysteine sulfoxides (aliin) yang merupakan
senyawa utama asam amino yang mengandung sulfur.
Semua sulfoxides, terkecuali cycloalliin, dikonversi
menjadi
thiosulfinates
sehingga
tidak
ada
thiosulfinates yang ditemukan pada bawang putih yang
masih utuh. γ-Glutamyl-S-allyl-L-cysteines selanjutnya
dikonversi menjadi S-allyl-Lcysteines (SAC) melalui
transformasi enzimatik dengan γ-Glutamyltranspeptidase
pada saat bawang putih diesktrak dengan pelarut cairan.
SAC yang merupakan hasil produk utama dari γGlutamyl-S-allyl-L-cysteines merupakan sulfur asam
amino yang terdeteksi dalam darah, terbukti sebagai zat
yang aktif secara biologis dan bioavailabel [13].
Senyawa γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein merupakan
senyawa intermediet biosintesis pembentukan senyawa
organosulfur lainnya, termasuk alliin. Senyawa ini
dibentuk dari jalur biosintesis asam amino. Dari γglutamil-Salk(en)il-L-sistein reaksi enzimatis yang terjadi
akan menghasilkan banyak senyawa turunan, melalui dua
cabang reaksi, yaitu jalur pembentukan thiosulfinat dan Sallil sistein (SAC).
Proses reaksi pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il- Lsistein berlangsung dengan bantuan enzim γ- glutamil
– transpeptidase dan γ-glutamil-peptidase oksidase,
serta akan menghasilkan alliin . Pada saat umbi bawang
putih diiris-iris dan dihaluskan dalam proses pembuatan
ekstrak atau bumbu masakan, enzim allinase menjadi aktif
dan menghidrolisis alliin menghasilkan senyawa
intermediet asam allil sulfenat. Kondensasi asam
tersebut menghasilkan allicin, asam piruvat, dan ion
NH4+. Satu miligram alliin ekuivalen dengan 0,45 mg
allicin [9].
Pemanasan dapat menghambat aktivitas enzim
allinase. Pada suhu di atas 60°C, enzim ini akan
mengubah alliin menjadi allicin [10], sehingga mudah
mengalami
reaksi
lanjut,
tergantung
kondisi
pengolahan atau faktor eksternal lain seperti
penyimpanan, suhu, dan lain-lain.
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan penelitian in-vivo ini adalah untuk mengetahui
efektivitas penggunaan ekstrak bawang putih dalam pakan
terhadap performans ayam broiler.
Manfaat penelitian ini adalah memberikan rekomendasi
penentuan dosis fitobiotik ekstrak bawang putih sebagai
pakan aditif terhadap performans ayam broiler.
IV. METODE PENELITIAN
Penelitian pada tahun I dibagi menjadi dua tahap:
tahap pertama ekstraksi bawang putih dan tahap kedua
pengujian uji in-vivo dengan penambahan ekstrak
bawang putih dalam pakan.
73
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
A. Ekstraksi Bawang Putih
Peralatan yang digunakan antara lain: shaker,
autoclave, blender dan vacumrotary evaporator,
erlenmeyer, dan beaker glass. Tahapan ekstraksi sebagai
berikut: Bawang putih 250 gram dicampur dengan
ethanol 96% sebanyak 500 ml, kemudian digiling hingga
halus. Larutan bawang putih yang didapatkan disaring
dengan kain kasa 2 lapis, kemudian disaring lagi
dengan kertas whotman no.2 didapatkan filtrat (crude
extract). Didapatkan ekstrak ethanol bawang putih dan
diambil sebanyak 100 ml. Konsentrasi ekstrak bawang
putih yang didapatkan melalui proses di atas adalah 280
mg/1 ml.
B. Uji Performans
Ekstrak bawang putih yang diperoleh selanjutnya
dilakukan uji respon imun. Sebanyak 180 ekor ayam
digunakan dalam penelitian ini. Ayam dikelompokkan
berdasarkan perlakuan sebanyak enam kelompok
perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan
dan masing-masing ulangan terdiri atas 10 ekor ayam.
Perlakuan adalah P0= kontrol, P1= ekstrak bawang putih
2%, P2= ekstrak bawang putih 4%, P3= ekstrak bawang
putih 6%, P4= ekstrak bawang putih 8%, dan P5
=
ekstrak bawang putih 10%,
Ayam dipelihara sampai umur 35 hari, pada hari ke-1
sampai ke-14 diberikan pakan tanpa perlakuan. Perlakuan
dimulai hari ke-15 sampai ke-35. Pakan diberikan
terbatas sesuai standar kebutuhan dan air minum secara
ad- libitum. Ekstrak bawang putih diberikan secara oral
setiap hari, satu kali pada pagi hari menggunakan pipet
mikro merk Gilson sebanyak 0,2 ml/ekor,
C. Parameter yang Diamati
Pada penelitian ini parameter yang diamati meliputi:
konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi
pakan.
1. Konsumsi Pakan: konsumsi pakan dihitung dari
selisih bobot pakan yang diberikan dengan sisa pakan
setiap hari dari masing-masing kelompok perlakuan,
selanjutnya dilakukan penghitungan konsumsi pakan
setiap minggu dan pada akhir penelitian dilakukan
penghitungan konsumsi pakan kumulatif pada masingmasing kelompok perlakuan.
2. Pertambahan Bobot Badan: penimbangan bobot
badan ayam broiler dimulai pada hari kesatu pada setiap
kelompok perlakuan, selanjutnya setiap minggu
dilaksanakan penimbangan pada waktu yang telah
ditentukan sampai akhir penelitian. Data pertambahan
bobot badan selama penelitian diperoleh dari selisih antara
bobot badan akhir dengan bobot badan awal. Pada akhir
penelitian dilakukan perhitungan pertambahan bobot
badan kumulatif pada masing-masing kelompok perlakuan
dan.
3. Konversi pakan: perhitungan konversi pakan
diperoleh dari pembagian antara jumlah pakan yanungg
dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan dalam
satuan bobot dan waktu yang sama
D. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selama
penelitian dianalisis menggunakan software dari
Statistical Product and Service Solution (SPSS 16.0).
Hasil analisis yang menunjukkan perbedaan rata-rata
yang signifikan (P<0,05) akibat efek faktor A (AFB1),
faktor B (EBP) dan interaksi faktor A dan B, dilanjutkan
dengan uji beda rata-rata menggunakan Duncan’s New
Multiple Range Test (Pramesti, 2007).
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Data performans fase starter diperoleh dari perhitungan
kumulatf dari minggu pertama sampai minggu ketiga,
yang meliputi: konsumsi pakan, pertambahan bobot badan
dan konversi pakan.
Performans ayam broiler selama fase starter
dicantumkan pada Tabel 1.
TABEL 1
PERFORMANS AYAM BROILER FASE STARTER
Perlakuan
P0
P1
P2
P3
P4
P5
Konsumsi
Pakan
636,0ns
638,7ns
678,7ns
606,0ns
665,7ns
700,0ns
Pertambahan
Bobot Badan
722,3ns
763,3 ns
745,6 ns
727,6 ns
726,3 ns
756,6 ns
Konversi
Pakan
0,88 ns
0,84 ns
0,91 ns
0,83 ns
0,91 ns
0,92 ns
Keterangan: ns = nonsignifikan
Hasil analisis statistik terhadap konsumsi pakan fase
starter menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan
(P>0,05) untuk semua perlakuan. Konsumsi pakan
meningkat apabila ayam diberi pakan dengan energi
rendah dan akan menurun jika diberi pakan dengan energi
tinggi, karena ayam mengkonsumsi pakan untuk
memenuhi kebutuhan energi.
Pada penelitian ini diberikan pakan dengan jumlah
sesuai standar kebutuhan dan semua perlakuan
mempunyai kandungan energi yang hampir sama, yaitu
3200 Kcal/kg.
Adapun hasil analisis statistik terhadap pertambahan
bobot badan selama fase starter tidak menunjukkan
pengaruh signifikan (P>0,05), hal ini disebabkan
komsumsi pakan untuk semua perlakuan juga tidak
berbeda signifikan, semua
kelompok
perlakuan
mengkonsumsi pakan dengan jumlah sama, sehingga
konsumsi energi dan protein juga tidak berbeda. Konversi
pakan untuk semua perlakuan pada fase starter tidak
menunjukkan perbedaan signifikan (P>0,05), hal ini
disebabkan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan
tidak berbeda signifikan.
Pertambahan bobot badan berada pada kisaran 722,3
sampai dengan 756,6 g/ekor, hasil ini lebih tinggi dari
74
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
hasil penelitian [14] yaitu penggunaan ekstrak bawang
putih pada level 2 sampai 8% yang menghasilkan
pertambahan bobot badan ayam umur 21 hari berkisar
antara 555,35 sampai 707,72 g/ekor dan mendekati
[15].hasil penelitian antara 660 sampai 800 g/ekor.
Tidak terlihatnya perbedaan yang signifikan pada
performans diduga karena ayam broiler baru memperoleh
perlakuan selama tujuh hari, yaitu hari ke lima belas
sampai hari ke dua puluh satu, sehingga belum terlihat
pengaruh pada konsumsi pakan, pertambahan bobot badan
serta konsumsi pakan.
VI.
[12]
[13]
[14]
[15]
J. A. Milner.. A Historical Perspective on Garlic and Cancer.
Journal of Nutrition. 2001, vol. 131:1027S-1031S
R. K. Murray, D. K. Granner, P. A. Mayes & V. W. Rodwell..
Harpers’s Biochemistry. Apleton and Lange. 1999
M. M. D. Utami. Efektivitas Ekstrak Bawang Putih dalam Pakan
terhadap Detoksifikasi Aflatoksin B1 pada Ayam Broiler.
Disertasi, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. 2010
G. Hayes. Hepatotoxicity in Broilers. Last updated 26 Juni 2006
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian diperoleh kesimpulan bahwa
pengunaan ekstrak bawang putih pada pakan periode
starter tidak menunjukkan pengaruh yang siginifikans
terhadap performans ayam broiler tropis.
Diperlukan data penelitian terhadap performans pada
fase finisher untuk mengetahui efek signifikan
penggunaan ekstrak bawang putih dalam pakan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat
Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat yang telah
memberikan dana Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2016.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
W. B. Gross & H. S. Siegel. Evaluation of the
Heterophyl/Lymphocyte Ratio as a measure of Stress in Chicken.
Avian Disease, 1983, vol 27(4)
[2] D. Santosa. Ekologi Tumbuhan Obat. Majalah obat Tradisional.
2000, 7(22):19-24. 2000
[3]
H. L. B. Gensler, B. N. Timmermann, S. Valcic, G. A.
Wachter, R. Dorr, K. Dvorakova & D. S. Albert. Prevention of
Photocarcinogenesis by Topical Administration of Pure
Apigallocathecin Gallate Isolated from Green Tea. Nutr. Cancer.
1997, vol. 26:326-335 (Abstract)
[4]
M. Budhi. Tahap-tahap Pengembangan Obat Tradisional.
Majalah Kedokteran Udayana. 1994, vol 5:107-113 (Abstract)
[5]
Anonimus. Komposisi dan Kandungan Kimia Bawang Putih. La
stUpdated 2006
[6]
R. K. Pal, A. Vaiphei, A. Sikander, K. Singh & S. V. Rana. Effect
of Garlic on Isoniazid and Rifampicin Induced Hepatic Injury in
Rats. World J.. Gastroenterol. 2006, vol. 12(4):636-639
[7]
M. Cantwell. Alliin in Garlic. Perishable Handling Quarterly
Issue No. 102. 2000. 5-6
[8]
C. A. Newall, L. A. Anderson & J. D. Phillipson. Herbal
Medicines : A Guide for Health-care Professionals.
Pharmaceutical Press, London. 1996. p:296
[9]
X. Zhang. WHO Monograph on Selected Medicinal Plants:
Bulbus Allii Sativii. World Health organization, Geneva 1999.
[10] H. Amagase, B. L. Petesch, H. Matsuura, S. Kasuga & Y. Itakura.
Intake of Garlic and Its Bioactive Components. J. Nutr.
2001. 131:955S-962S (Abstract)
[11] U. E. Hernawan & A. D. Setyawan. Review: Senyawa
Organosulfur Bawang Putih (Allium sativum L.) dan Aktivitas
Biologinya. Biofarmasi. 2003. 1(2):65-76
75
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
RESISTENSI ANTIBIOTIKA Bifidobacterium
PADA KEFIR dan YOGURT
Titik Budiati #1, Wahyu Suryaningsih #2
#
Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember
Jalan Mastrip Kotak Pos 164 Jember
1titik.budiati@gmail.com
2wahyu.suryaningsih@yahoo.com
Abstract
Sebanyak 12 isolat Bifidobacterium diisolasi dari sampel kefir dan yogurt yang diperoleh dari pasar lokal. Resistensi
Bifidobacterium yang diisolasi dari kefir dan yogurt mempunyai sifat resistensi terhadap terhadap Ceftazidime (Caz, 100 %),
Ceftriaxone (Cro, 100%), Lincomycin (Li, 100%), Rifampicin (Rd, 100%), Sulphamethoxazole-Trimethoprim (Sxt, 50%),
Tobramycin (Tob, 100%). Antibiogram yang paling banyak dijumpai pada Bifidobacterium adalah CazCroLiRdSxtTob (n=5)
dengan. MAR index yang bervariasi dari 0.83 sampai 1. Tingginya MAR index menunjukkan semakin banyak paparan
kontaminasi antibiotika pada bahan pembuatan yogurt dan kefir.
Keywords— Bifidobacteria, resistensi antibiotika, MAR
I. PENDAHULUAN
Bifidobacterium adalah bakteri probiotik yang aman
untuk dikonsumsi manusia dalam bentuk suplemen
kesehatan atau dalam bentuk makanan serta minuman
manusia. Akan tetapi Bifidobacterium dapat bersifat
resisten terhadap antibiotika karena penggunaan
antibiotika yang berlebihan pada manusia dan hewan.
Bahkan Bifidobacteria dapat bertindak sebagai reservoir
gen yang resisten terhadap antibiotika dan dapat
dipindahkan ke bakteri patogen di usus manusia [1]. Hal
ini dapat menghambat proses penyembuhan suatu
penyakit pada manusia yang disebabkan oleh bakteri
patogen yang menyerang usus manusia. EUPROSAFE,
sebuah lembaga independen pemantau keamanan
makanan di Eropa, telah menyarankan bahwa probiotik di
masa depan sebaiknya tidak mempunyai sifat resistan
terhadap antibiotika [2].
Bifidobacterium dapat diisolasi dari berbagai makanan
fermentasi misalnya kefir dan yogurt. Akan tetapi
penelitian yang mempelajari tentang resistensi antibiotika
pada Bifidobacterium yang diisolasi pada produk yogurt
dan kefir masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian tentang resistensi antibiotika pada
Bifidobacterium yang diisolasi pada yogurt dan kefir.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeterminasi
resistensi antibiotika pada Bifidobacterium yang diisolasi
pada yogurt dan kefir. Pada akhirnya penelitian ini dapat
memberikan informasi tentang adanya resistensi
antibiotika pada Bifidobacterium pada yogurt dan kefir
dengan bahan dasar susu sebagai salah satu media
terjadinya paparan antibiotika pada saat pemeliharaan
hewan ternak.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bifidobacterium
Bifidobacterium adalah bakteri gram positif dari filum
Actinobacteria yang bersifat tidak bergerak, tidak
membentuk spora, tidak menghasilkan gas, bakteri
anaerobik. Pada umumnya bifidobacteria species diisolasi
dari gastrointestinal mamalia, serangga atau burung [3].
Beberapa
bifidobacteria
species
(misalnya
Bifidobacterium bifidum, Bifidobacterium breve, and
Bifidobacterium longum subsp. longum) merupakan isolat
yang diperoleh dari manusia, sedangkan Bifidobacterium
gallinarum,
Bifidobacterium
angulatum
dan
Bifidobacterium cuniculi berhubungan dengan kotoran
hewan [4].
Menurut Makino et al. [5] Bifidobacterium telah
ditemukan berasal dari saluran pencernaan manusia,
vagina dan saluran kandung kemih. Tugas utama dari
bakteri ini adalah menjaga keseimbangan flora mikro
dalam usus, mengontrol peningkatan bakteri merugikan,
memperkuat sistem kekebalan tubuh, dan membantu
proses pencernaan [5]. Suhu optimal pertumbuhan sekitar
76
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
37 – 41oC dan pH optimal antara 6,5 – 7 [5]. Beberapa
spesies dari genus Bifidobacterium telah digunakan
selama beberapa dekade sebagai makanan fungsional
untuk kesehatan atau efek probiotik [6]. Berbagai cara
telah dilakukan untuk memanfaatkan Bifidobacterium
sebagai probiotik. Probiotik dapat mereduksi terjadinya
infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau virus penyebab
diare, menyembuhkan penyakit inflamasi kronis
(misalnya pouchitis and ulcerative colitis), meningkatkan
kondisi fisiologi (misalnya menurunkan tingkat kolesterol
atau tidak toleran terhadap laktosa) dan mengurangi resiko
yang berdampak pada kesehatan (misalnya karies gigi,
alergi, dan bahkan kanker [7]. Bifidobacterium merupakan
bakteri penghasil asam laktat. asam asetat, vitamin,
bakteriosin. Asam laktat dapat menghambat pertumbuhan
bakteri-bakteri penyebab penyakit (bakteri patogen) dan
bakteri pembusuk makanan. Selain itu, bakteri asam laktat
juga dapat menghasilkan senyawa antimikroba lainnya
seperti bakteriosin, reuterin, hidrogen peroksida dan
diasetil. Bakteriosin adalah polipeptida yang memiliki
aktivitas antimikroba. Hal ini mengindikasikan bahwa
manfaat Bifidobacteria menunjukkan peran yang nyata
melalui ekosistem yang kompleks dalam pencernaan
manusia.
B. Antibiotika
Antibiotika adalah komponen sistetis atau alami yang
dapat menghambat atau membunuh bakteri [8]. Antibiotik
pada umumnya digunakan oleh manusia dan binatang
sebagai obat penyembuhan. Penggunaan antibiotika
secara berlebihan dapat menyebabkan bakteri menjadi
resisten dan dapat berpindah ke populasi yang lebih besar.
Telah banyak penelitian tentang resistensi bakteri terhadap
antibiotika yang didapatkan melalui berbagai mekanisme
yaitu mutasi DNA bakteri atau melalui perpindahan gen
secara horizontal. Perpindahan tersebut meliputi
konjugasi, transduksi dengan bakteriofage, dan
pengambilan DNA bebas melalui transformasi [8].
Serrano [9] menyatakan bahwa bakteri yang resisten
terhadap dapat memindahkan sifat resistensi tersebut
kepada bakteri yang hidup di usus dan bakteri patogen
yang masuk ke pencernaan manusia. Hal ini menyebabkan
penyembuhan penyakit pada manusia menjadi sulit
dilakukan.
C. Resistensi pada antibiotika
Resistensi pada antibiotika pada mikroorganisma pada
antibiotika tertentu yang sebelumnya sensitif dapat
menjadi tahan terhadap antibiotika. Oleh karena itu
penyembuhan biasa menjadi gagal sehingga infeksi suatu
penyakit dapat bertahan dan menyebar. Resistensi
terhadap antibiotika diantara bakteri disebabkan karena
frekuensi penggunaan antibiotika yang menyebabkan
mutasi atau memperoleh resistensi terhadap antibiotika di
dalam gen bakteri [10; 11]
Beberapa penelitian
telah menunjukkan beberapa resistensi pada satu atau
lebih antibiotika yang dapat menyebabkan peningkatan
morbidity dan mortality [12, 13]
Bakteri mempunyai kemampuan untuk beradaptasi
lingkungan di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena
karakter gen dan kemampuannya untuk mengakses
kumpulan genetikanya. Resistensi kepada antibiotika
dapat dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri yang lain,
melalui elemen mobil genetika , misalnya plasmid dan
transposon. Hal ini biasanya didasari oleh sifat resistensi
yang diperoleh. Perpindahan elemen genetika dapat
melalui perpindahan gen secara horizontal yang dilakukan
melalui konjugasi, transformasi dan transduksi [14]. Pada
perpindahan transfer gen secara horizontal dapat
melibatkan integron sebagai fragmen DNA kompleks.
Integron dapat menggabungkan berbagai gen yang
membawa sifat resistensi pada antibiotika. Integron dapat
ditemukan pada Gram-positif dan Gram-negatif yang
dapat memimpin sifat resistensi antibiotika pada tingkat
tinggi [12].
Beberapa mikroorganisme mempunyai resistensi
intrinsik karena komponen aktif pada antibiotika yang
masuk ke dalam sel tidak mencapai bagian tertentu dalam
sel bakteri tersebut dan dapat menyebabkan resistensi pada
antibiotika. Menurut Alanis [14] hal ini disebabkan oleh
efflux aktif antibiotika, transformasi antibiotika, destruksi
antibiotika dan modifikasi receptor.
Destruksi atau transformasi antibiotik dapat terjadi
ketika bakteri memproduksi enzim yang dapat
memodifikasi atau merusak komponen aktif antimikroba
[15]. Melalui mekanisme aktif efflux, mikroba dapat
membentuk mekanisme transpor aktif yang dapat
memompa molekul antibiotika dari interior dalam sel
(misalnya
efflux
tetracyclin,
makrolida
dan
fluoroquionolone) [13]. Modifikasi receptor terjadi ketika
bakteri merubah receptor spesifik antibiotika untuk
mengikat intraseluler antibiotika (misalnya modifikasi
protein pengikat penicillin, dan alterasi ribosom yang
dapat mencegah pengikatan aminoglikosida, makrolida
atau tetracyclin [12; 13].
III. TUJUAN DAN MANFAAT
A. Tujuan
Untuk mendeterminasi resistensi antibiotika pada
Bifidobacterium yang diisolasi pada yogurt dan kefir.
B. Manfaat
Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang
adanya resistensi antibiotika pada Bifidobacterium pada
yogurt dan kefir dengan bahan dasar susu sebagai salah
satu media terjadinya paparan antibiotika pada saat
pemeliharaan hewan ternak.
77
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
IV. METODE PENELITIAN
Sebanyak 12 isolat Bifidobacterium yang diisolasi dari
kefir dan yogurt dilakukan uji resistensi antibiotika
menggunakan metode disc diffusion dengan berbagai
antibiotika (Ceftriaxone 5μg, Ceftazidime 10μg,
Lincomycin 30μg, Rifampicin 30μg, Sulphamethoxazole
25μg, Tobramycin 10μg). Cakram antibiotika diperoleh
dari Oxoid (Baringstoke, Hampshire, UK). Kultur bakteri
ditumbuhkan dalam MRS broth (MRSB, Hi-media,, India)
dan diinkubasi 37 °C. Kultur yang sudah diinkubasi
semalam diencerkan hingga mencapai kekeruhan yang
sama dengan skala 0.5 larutan standar McFarland (HiMedia, India). Kultur bakteri disebar diatas Mueller
Hinton Agar (Oxoid, Baringstoke, Hampshire, UK) dalam
cawan petri menggunakan cotton swab. Sesudah 30
menit , 3–4 buah cakram antibiotika ditempatkan diatas
sebaran bakteri dan diinkubasi pada 37 °C selana 18–24 h.
Setelah masa inkubasi, diameter area bening (inhibition
zones) diukur dan dibandingkan dengan interpretive chart
yang diperoleh dari ‘Performance Standards for
Antimicrobial
Disk
Susceptibility
Tests’
dan
diklasifikasikan sebagai resisten [16]. Penelitian
dilakukan sebanyak tiga kali ulangan untuk tiap bakteri
Lactobacillus sp. Multiple Antibiotic Resistances (MAR)
index ditentukan berdasarkan metode yang dikemukakan
oleh Krumperman [17]. Menurut Krumperman [17], MAR
dihitung menggunakan rumus a/(b×c) dimana “a” adalah
skor resistensi antibiotik aggregat pada semua isolate
dengan antibiogram yang sama, “b” adalah jumlah
antibiotik dan “c” adalah jumlah isolat. Nilai MAR index
yang kurang dari atau sama dengan 0.2 mengindikasikan
bahwa penggunaan antibiotika yang jarang atau tidak
pernah. Nilai MAR index yang lebih dari 0.2
mengindikasikan bahwa isolat berasal dari sampel dengan
bahan dasar susu yang sering terpapar antibiotika (highrisk).
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Uji resistensi bakteri Bifidobacterium yang diisolasi
dari kefir dan yogurt terhadap beberapa antibiotik dapat
dilihat pada tabel I. Semua isolat Bifidobacterium resisten
terhadap Ceftazidime (Caz), Ceftriaxone (Cro),
Lincomycin (Li), Rifampicin (Rd) dan Tobramycin (Tob).
D’Aimmo et al. [18] menyatakan bahwa hampir semua
isolat Bifidobacterium yang diisolasi dari produk susu dan
produk kesehatan resisten terhadap Lincomycin dan
Rifampicin. Demikian juga hasil penelitian Charteris et al.
[19] menemukan bahwa Bifidobacterium yang diisolasi
dari alat pencernaan manusia bersifat resisten terhadap
Ceftazidime. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang
bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yazid et al. [20]. Yazid et al. [20] menemukan bahwa
Bifidobacterium mempunyai sifat yang sensitif terhadap
Tobramycin.
TABEL IX
RESISTENSI ANTIBIOTIKA PADA BIFIDOBACTERIUM
YANG DIISOLASI DARI KEFIR DAN YOGURT
Antibiotik
Jumlah isolat yang resisten (%)
Ceftazidime (Caz)
12/12 (100%)
Ceftriaxone (Cro)
12/12 (100%)
Lincomycin (Li)
12/12 (100%)
Rifampicin (Rd)
12/12 (100%)
Sulphamethoxazole-Trimethoprim
(Sxt)
6/12 (50%)
Tobramycin (Tob)
12/12 (100%)
Beberapa isolat dalam penelitian ditemukan bersifat
sensitif terhadap Sulphamethoxazole-Trimethoprim (Sxt).
Akan tetapi Bifidobacterium tampak cenderung bersifat
resisten terhadap antibiotik tersebut. Menurut beberapa
penelitian menunjukkan bahwa Bifidobacetium bersifat
resisten terhadap Sulphamethoxazole-Trimethoprim [21].
TABEL XI
ANTIBIOGRAM DAN MAR INDEX PADA BIFIDOBACTERIUM
YANG DIISOLASI DARI KEFIR DAN YOGURT
No
1
2
Isolat
YK2,
YK3,
YS1,
KK1,
KK3
YK4,
YS2,
KK2
YK1
3
YK5,
PL1,
PL2
Asal
Jumlah
isolat
Antibiogram
MAR
F dan
R
5
CazCroLiRd
SxtTob
1
F dan
R
3
CazCroLi
RdTob
0.83
CazCroLiRd
SxtTob
0.83
CazCroLiRd
Tob
0.83
F
1
3
R
Ket : Sulphamethoxazole-Trimethoprim (Sxt), Ceftriaxone
(Cro), Ceftazidime (Caz), Tobramycin (Tob),
Lincomycin (Li), Rifampicin (Rd), F (kefir), R
(yogurt)
Sifat resistensi terhadap antibiotik melibatkan
perubahan genetik yang bersifat stabil dan diturunkan dari
satu generasi ke generasi lainnya, dan setiap proses yang
menghasilkan komposisi genetik bakteri seperti mutasi
DNA yang menyebabkan timbulnya sifat resisten tersebut
[22]. Penyebaran sifat resisten secara cepat dan luas dapat
terjadi di antara spesies bakteri yang sama maupun yang
berbeda, bahkan juga di antara genus yang berbeda
melalui perantaraan plasmid (faktor R). Pada resistensi
78
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
dengan
perantaraan
plasmid,
mikroorganisme
mendapatkan kemampuan tambahan dalam bentuk
produksi enzim dan pada mutasi terjadi perubahan struktur
di dalam sel bakteri [23].
Pada Tabel II dapat dilihat bahwa jika hasil (MAR ≥
0,2) maka sampel semakin tinggi terpapar antibiotik,
sebaliknya jika hasil (MAR ≤ 0,2) maka resiko
terpaparnya resistensi antibiotik semakin rendah.
Resistensi MAR pada bakteri paling sering dikaitkan
dengan keberadaan plasmid yang mengandung satu atau
lebih gen resistensi. Beberapa resistensi antibiotik (MAR)
telah terbukti menjadi metode yang efektif dan valid dari
pencarian sumber bakteri. Indeks MAR dihitung sebagai
rasio jumlah antibiotik resisten dari organisme yang
terpapar oleh antibiotik [24].
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Antibiogram yang paling banyak dijumpai pada
Bifidobacterium adalah CazCroLiRdSxtTob (n=5)
dengan. MAR index yang bervariasi dari 0.83 sampai 1.
B. SARAN
Perlu upaya pencegahan terjadinya transfer resistensi
antibiotika secara horizontal antara Bifidobacterium dan
bakteri lain
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami
mengucapkan
terima
kasih
kepada
Kemenritekdikti atas pendanaan yang diberikan pada
penelitian ini melalui skema Penelitian Fundamental.
[19]
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
A. Rosander, E. Connolly, dan S. Roos, Removal of antibiotic
resistance gene-carrying plasmids from Lactobacillus reuteri
ATCC 55730 and characterization of the resulting daughter strain,
L. reuteri DSM 17938. Applied and environmental
microbiology, 2008. 74(19), 6032-6040.
V. Vankerckhoven, G. Huys, M. Vancanneyt, C. Vael, I. Klare,
M.-B Romond, J.M. Entenza, P. Moreillon, R.D. Wind, J. Knol,
E. Wiertz, B. Pot, E.E. Vaughan, G. Kahlmeter, H. Goossens,
Biosafety assessment of probiotics used for human consumption:
recommendations from the EUPROSAFE project. Trends Food
Sci. Technol. 2008. 19:102–114.
M. Ventura, C. Canchaya, A. Tauch, G. Chandra, K. Chater, G.F.
Fitzgerald, dan D. Van Sinderen. Genomics of Actinobacteria:
tracing the evolutionary history of an ancient phylum. Microbiol.
Mol. Biol. Rev. 2007.71:495-548.
R. Lamendella, J.W. Santo Domingo, C. Kelty, dan D.B.
Oerther, Bifidobacteria in feces and environmental waters. Appl.
Environ. Microbiol. 2008.74:575-584
Makino, Hiroshi, Akira Kushiro, Eiji Ishikawa, Hiroyuki Kubota,
Agata Gawad, Takafumi Sakai, Kenji Oishi et al. "Mother-toinfant transmission of intestinal bifidobacterial strains has an
impact on the early development of vaginally delivered infant's
microbiota." PloS one 8, 2013. no. 11: e78331.
B.L. Maidak, J.R. Cole, T.G. Lilburn, C.T. Parker, P.R.
Saxman, R.J. Farris, G.M. Garrity, G.J. Olsen, T.M.
[20]
[21]
[22]
[23]
[24]
Schmidt, dan J.M. Tiedje, The RDP-II (Ribosomal Database
Project). Nucleic Acids Res. 2001. 29:173-174.
M.L. Marco, S. Pavan, dan M. Kleerebezem, Towards
understanding molecular modes of probiotic action. Curr. Opin.
Biotechnol. 2006. 17:204-210
A. Sapkota, A.R. Sapkota, M. Kucharski, J. Burke, S. McKenzie,
P. Walker, dan R. Lawrence, Aquaculture practices and potential
human health risks: current knowledge and future
priorities. Environment International 2008. 34, 1215-1226.
P.H. Serrano. Responsible use of antibiotics in aquaculture. FAO
Fisheries Technical Paper. No. 469, Food and Agriculture
Organization of The United Nation, Rome, Italy, pp. 1-10. 2005
K. Kümmerer, K., dan A. Henninger. Promoting resistance by the
emission of antibiotics from hospitals and households into
effluents. Clinical Microbiology and Infections, 2003. 1203–
1214.
J.L. Martinez. Environmental pollution by antibiotics and by
antibiotic
resistance
determinants.
Environmental
pollution, 2009. 157: 2893-2902.
S.B. Levy, dan B. Marshall. Antibacterial resistance worldwide:
causes, challenges and responses. Nature Medicine, 2004. 10
(Suppl): S122–S129
A.M. Sefton. Mechanisms of antimicrobial resistance. Drugs,
2002. 62: 557–566.
A.J. Alanis. Resistance to antibiotics: are we in the post-antibiotic
era? Archives of medical research, 2005, 36: 697–705.
G.A. Jacoby dan L.S. Munoz-Price. The new β-lactamases. The
New England Journal of Medicine, 2005. 352: 380–391.
CLSI. 2010. “Performance Standards for Antimicrobial Disk
Susceptibility Tests, Informal Supplement”. Clinical and
Laboratory Standards Institute, Wayne, Pennsylvania, 2010.
P.H. Krumperman. Multiple antibiotic resistance indexing of
Escherichia coli to identify high-risk sources of fecal
contamination
of
foods.Applied
and
Environmental
Microbiology, 1983. 46(1), 165-170.
M.R. D'Aimmo, M. Modesto, B. Biavati, Antibiotic resistance of
lactic acid bacteria and Bifidobacterium spp. isolated from dairy
and pharmaceutical products. International journal of food
microbiology, 2007, 115(1), 35-42
W.P. Charteris, P.M. Kelly, L. Morelli, L., dan J.K. Collins.
Development and application of an in vitro methodology to
determine the transit tolerance of potentially probiotic
Lactobacillus and Bifidobacterium species in the upper human
gastrointestinal tract. Journal of applied microbiology, 1998,
84(5), 759-768.
A.M. Yazid, A.M. Ali, M. Shuhaimi, V. Kalaivaani, M.Y. Rokiah,
A. Reezal. Antimicrobial susceptibility of bifidobacteria. Letters
in applied microbiology, 2002. 31(1), 57-62.
L. Masco, K. Van Hoorde, E. De Brandt, J. Swings, dan G. Huys,
Antimicrobial susceptibility of Bifidobacterium strains from
humans, animals and probiotic products. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy, 2006. 58(1), 85-94.
M.A. Webber, V. Ricci, R. Whitehead, M. Patel, M. Fookes, A.
Ivens, dan L.J.V. Piddock. "Clinically relevant mutant DNA
gyrase alters supercoiling, changes the transcriptome, and confers
multidrug resistance." MBio 4, 2013. no. 4: e00273-13.
C. Pál, B. Papp, M.J. Lercher.. Adaptive evolution of bacterial
metabolic networks by horizontal gene transfer. Nature
genetics, 2005. 37(12), 1372-1375.
O.O. Osundiya, R.O. Oladele, O. O.Oduyebo. (2013). Multiple
antibiotic resistance (MAR) indices of Pseudomonas and
Klebsiella species isolates in Lagos University Teaching
Hospital. African Journal of Clinical and Experimental
Microbiology, 2013. 14(3), 164-168.
79
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Perubahan Karakteristik Kimia Kopi Luwak
Robusta In Vitro dengan Variasi Lama
Fermentasi dan Dosis Ragi
Muhammad Fauzi1 dan Nur Wahyu Hidayati2
Dosen Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto jember 68121
1
2
1email:
2email:
muhfauzi_60@yahoo.com
nurwahyuhidayati20@yahoo.com
Abstract
Civet coffee production currently should not depend on civet animals only because its only be able to produce civet coffee about 1,5 kg
per night, so this amount can’t fill demand of local and international market. Therefore, it needed production alternative is to use civet
coffee yeast with robusta coffee rind extract media which is then added the micro flora agent of civet feces. However, changes in the
chemical characteristics of civet coffee in vitro is not yet known so the purpose of this research was to assess changes in the chemical
characteristics of civet coffee in vitro by fermentation and yeast dosage. The research result shows that variations of fermentation time
and additional yeast dosage be capable of affecting the chemical characteristics on robusta civet coffee in vitro. In addition, the treatment
can also increase the water content and total acid titration up to 9.19% and 0.0267%, while the glucose, pH and caffeine levels drop to
9.02%; 5.65; and 8.39%.
Keywords: Civet coffee, civet coffee yeast, micro flora
I. PENDAHULUAN
Kopi luwak merupakan salah satu produk olahan kopi
khas Indonesia yang dihasilkan dari buah kopi matang
optimum yang dipilih oleh luwak berdasarkan rasa dan
aroma, biji kopi beserta lendirnya akan dimakan dan
melewati saluran pencernaan luwak [4], [12]. Selama
proses pencernaan, biji kopi akan mengalami fermentasi
secara alami dengan bantuan mikroba spesies BAL
(Lactobacillus plantarum dan L. Brevis, Leuconostoc
paramesenteroides dan L. mesenteroides serta
Streptococcus faecium) dan enzim protease yang ada pada
pencernaan luwak [9], [16], [18]. Fermentasi tersebut
dapat menghasilkan cita rasa dan aroma khas yang mampu
memberikan daya tarik tersendiri terhadap penikmat kopi,
sehingga pasar lokal maupun internasional menunjukkan
permintaan kopi luwak yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun [24].
Permintaan kopi luwak datang dari negara-negara
ASEAN, Timur Tengah, hingga Eropa sebesar 600 kg per
bulan [17], sedangkan ketersediaan kopi luwak hanya
sekitar 250-300 kg per bulan [20]. Permintaan yang
meningkat dan terbatasnya pasokan kopi luwak membuat
produksi kopi luwak tidak dapat hanya mengandalkan
hasil dari feses luwak saja. Salah satu alternatif untuk
memproduksi kopi luwak adalah dengan proses fermentasi
in vitro (diluar pencernaan hewan luwak) menggunakan
ragi/kultur kering. Dari hasil implementasi ragi kering
multi kultur dengan media tepung beras [3], tepung
maizena [1], dan tapioka [26] dihasilkan kopi beras yang
mempunyai skor citarasa preference 7,0-7,5 yang
mendekati citarasa kopi luwak (7,75; good, chocolaty)
pada fermentasi semi basah 24 jam. Selain itu penggunaan
ragi cair dari mikroflora feses luwak yang ditumbuhkan
pada media MRS broth dan difermentasi selama 16 atau
24 jam menghasilkan kopi dengan kadar kafein 660011000 mg/kg sesuai dengan penelitian Chan dan Garcia
[5] sebesar 10000 mg/kg [22], [27].
Usaha peningkatan produksi kopi luwak menggunakan
ragi yang dihasilkan dari beberapa penelitian diatas masih
sulit untuk diterapkan petani kopi. Hal ini disebabkan oleh
ragi kopi harus dibuat dalam media MRS broth, kesulitan
memelihara biakan BAL secara individual, pembuatan
media pengganti dan penumbuhan mikroflora. Upaya
yang mungkin dapat mengatasi permasalahan tersebut
adalah dengan membuat ragi kopi luwak kering bermedia
ekstrak kulit buah kopi robusta yang ditambahkan agen
mikroflora hasil isolasi feses luwak, sehingga ragi lebih
80
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
mudah disediakan dan digunakan. Namun, perubahan
karakteristik kimia kopi luwak in vitro belum diketahui
terutama berdasarkan lama fermentasi dan dosis ragi yang
ditambahkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
kopi luwak in vitro menggunakan ragi kopi luwak
sehingga diketahui perubahan kimianya.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses
luwak segar, MRS broth, kulit buah kopi, gula pasir,
aquades, tepung beras dan biji kopi robusta yang diperoleh
dari Desa Sidomulyo kecamatan Silo, Kabupaten Jember.
Untuk analisa digunakan MgO, kloroform, KOH 1%,
NaOH 0,01N, kertas saring dan phenolphtalein.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kadar Air
Hasil uji kadar air biji kopi luwak in vitro menunjukkan
semakin lama fermentasi dan semakin banyak konsentrasi
ragi yang ditambahkan maka semakin tinggi pula kadar air
yang terdapat dalam biji kopi. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Pengujian kadar air menunjukkan rata-rata sampel
memiliki kadar air 8,5-9,5%. Pengujian kadar air sangat
erat hubungannya dengan potensi tumbuhnya jamur
seperti Aspergillus ochraeceus dan Aspergillus niger,
penyebab okratoksin (OTA). OTA merupakan senyawa
toksin atau racun yang menjadi standar kualitas mutu kopi
dunia [13].
3) Pembuatan ekstrak: Pembuatan ekstrak kulit buah
kopi menggunakan ekstraksi bertingkat. Perbandingan
antara kulit buah dan aquades yaitu 1:4.
4) Pembuatan Inokulum: Feses luwak diinokulasi
sebanyak satu ose pada media 10 ml MRS Broth dan
diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37-39oC.
Sementara itu juga disiapkan media steril berupa ekstrak
kulit buah kopi yang telah diperkaya dengan nutrisi gula
(2,3% dari ekstrak kulit buah kopi). Kultur awal yang
dihasilkan diinokulasi pada media steril dan kemudian
diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37o-39o C.
5) Pembuatan Ragi Kopi Luwak: Pembuatan ragi kopi
menggunakan bahan pengisi berupa tepung beras dan
ekstrak kulit buah kopi (2:1), kemudian dicampurkan
dengan starter mikroflora secara homogen dan aseptik.
Hasil campuran dibentuk bulatan kecil, lalu diinkubasi
selama 24-48 jam dengan suhu 37o-39oC dan dikeringkan.
6) Fermentasi Kopi Luwak In Vitro [22]: Sebanyak 3
kilogram buah kopi robusta pulping difermentasi selama
24 jam dengan suhu 37-39oC secara semi basah
menggunakan ragi kopi luwak dengan dosis 0,5% (A1);
1,5% (A2); dan 2,5% (A3). Pengambilan sampel
dilakukan setiap 8 jam sekali yaitu pada saat fermentasi
kopi mencapai 8 jam (B1), 16 jam (B2), dan 24 jam (B3).
Setelah itu masing-masing sampel dicuci dan dikeringkan
dibawah sinar matahari selama 3-4 hari hingga kadar air
mencapai 10-12%. Biji kopi kering kemudian dihulling
untuk mendapatkan kopi beras.
7) Uji Kimia Kopi Luwak In Vitro: Uji kimia biji kopi
luwak in vitro yang dilakukan meliputi kadar air (Metode
Pemanasan; AOAC, 2005), kadar glukosa (Metode
Elektrokimia; GlucoDr Strip, 2013), pH (AOAC, 1984),
total asam tertitrasi (Metode Acidi-alkalimetri; Fardiaz,
1992), dan kadar kafein (Cara Bailey-Andrew).
Kadar air (%)
B. Metode
10,00
9,00
8,00
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
Lama
Fermentasi
8 jam
16 jam
24 jam
Jumlah Ragi
Gambar 1. Kadar air kopi luwak in vitro
Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa perlakuan
lama fermentasi 8 jam, 16 jam, dan 24 jam serta
penambahan ragi kopi luwak 0,5%; 1,5%; dan 2,5%
secara keseluruhan mengalami peningkatan kadar air bila
dibandingkan dengan kontrol biji kopi robusta tanpa
fermentasi (8,51%). Hal ini dikarenakan semakin lama
waktu fermentasi dan semakin banyak ragi yang
ditambahkan maka aktivitas mikroorganisme yang ada
pada ragi kopi luwak semakin meningkat, sehingga proses
degradasi senyawa biji kopi dan pengikatan molekul air
juga meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fardiaz
[8] bahwa pada fermentasi terjadi perombakan glukosa
menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O) sehingga
akan meningkatkan kadar air pada bahan kering.
Fermentasi akan mempengaruhi kandungan air yang
terdapat dalam biji kopi hasil fermentasi. Hasil analisa
kadar air biji kopi luwak in vitro tertinggi didapatkan pada
perlakuan lama fermentasi 16 jam dengan ragi kopi luwak
sebanyak 2,5% yaitu 9,19%. Hal ini dikarenakan dalam
pertumbuhannya, mikroorganisme yang terdapat pada ragi
kopi luwak berada dalam fase eksponensial sehingga air
(H2O) yang dihasilkan lebih banyak daripada fermentasi 8
81
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
B. Kadar Glukosa
Glukosa merupakan bahan fermentasi yang apabila
keberadaannya semakin sedikit menunjukkan keefektifan
fermentasi yang terjadi. Perubahan kadar glukosa pada biji
kopi robusta yang difermentasi menggunakan ragi kopi
luwak dapat dilihat pada Gambar 2.
meningkatnya kandungan total asam tertitrasi pada biji
kopi. Penurunan kadar glukosa diikuti oleh penambahan
keasaman substrat atau nilai pH semakin menurun seiring
dengan bertambahnya waktu fermentasi dan konsentrasi
ragi yang ditambahkan.
C. pH
Menurut Day dan Underwood [7], pH didefinisikan
sebagai logaritma aktivitas ion hidrogen (H +) yang
terlarut. Hasil pengujian nilai pH pada biji kopi luwak in
vitro dapat dilihat pada Gambar 3.
6,00
5,00
Lama
Fermentasi
8 jam
4,00
pH
jam. Hal ini didukung dengan kadar glukosa yang rendah
pada fermentasi 16 jam.
Analisa kadar air dari fermentasi 8 jam, 16 jam, dan 24
jam memiliki hasil yang fluktuatif. Fluktuatifnya hasil
kadar air ini menurut Sudarmadji, et al [23] dikarenakan
kadar air merupakan komponen yang tidak tetap karena
mudah terpengaruh oleh faktor-faktor dari luar. Secara
keseluruhan sampel biji kopi hasil fermentasi ini dapat
dikatakan bermutu baik, karena menurut SNI kadar air biji
kopi tidak boleh lebih dari 12%.
3,00
2,00
Kadar Glukosa (%)
12,00
16 jam
1,00
10,00
24 jam
0,00
8,00
Lama
Fermentasi
6,00
8 jam
4,00
Jumlah Ragi
16 jam
2,00
24 jam
0,00
Jumlah ragi
Gambar 2. Kadar glukosa kopi luwak in vitro
Dari Gambar 2. diketahui bahwa rata-rata kopi luwak
in vitro memiliki kadar glukosa 9-9,6%. Kadar glukosa
pada sampel semakin menurun seiring dengan
penambahan ragi dan lama fermentasi. Pada sampel
dengan penambahan ragi kopi luwak 0,5%; 1,5%; dan
2,5% perlakuan 8 jam, 16 jam, dan 24 jam memiliki kadar
glukosa yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol
biji kopi robusta tanpa fermentasi yaitu 9,72%. Penurunan
kadar glukosa ini disebabkan adanya aktivitas
mikroorganisme yang mengubah glukosa menjadi asam.
Hasil analisa kadar glukosa terendah didapatkan pada
perlakuan lama fermentasi 16 jam dan 1,5% ragi kopi
luwak yaitu 9,02%. Glukosa merupakan substrat bagi
mikroorganisme, sehingga keberadaannya semakin
berkurang seiring dengan lama fermentasi dan dosis ragi
yang ditambahkan. Bakteri pemecah gula ini bekerja 5
sampai 24 jam dalam proses fermentasi. Sebagai hasil
proses pemecahan gula adalah asam laktat dan asam asetat
dengan kadar asam laktat yang lebih besar [19]. Pada
penelitian ini dapat dilihat bahwa penurunan kadar
glukosa diikuti dengan penurunan nilai pH serta
Gambar 3. pH kopi luwak in vitro
Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa fermentasi
dengan penambahan ragi kopi luwak 0,5%; 1,5%; dan
2,5% selama 8 jam, 16 jam, dan 24 jam memiliki pH
sekitar 5,6-5,9. Keseluruhan sampel memiliki pH yang
lebih rendah dibandingkan dengan kontrol biji kopi
robusta tanpa fermentasi yaitu 5,8. Hal ini dikarenakan
adanya peningkatan asam-asam organik yang terbentuk
selama proses fermentasi. Pembentukan asam-asam
organik terjadi akibat adanya aktivitas metabolisme yang
ada pada ragi terutama bakteri asam laktat.
Berdasarkan penelitian sebelumnya telah diketahui
bahwa isolasi biji kopi luwak segar menghasilkan lima
spesies BAL yang teridentifikasi sebagai Lactobacillus
plantarum, Lactobacillus brevis dan Streptococcus
faecium yang menghasilkan asam laktat sekitar 90%,
Leuconostoc
paramesenteroides,
Leuconostoc
mesenteroides dan Leuconostoc dextranicum yang akan
memecah glukosa menghasilkan ± 50% asam laktat dan
sisanya dapat berupa etanol, asam asetat, asetaldehid,
diasetil, dan CO2 [9], [21]. Asam laktat yang terbentuk
menyebabkan pH semakin menurun. Menurut Afifah [2],
pada umumnya semakin meningkatnya kandungan asam
suatu bahan, maka nilai pH akan semakin menurun.
Hasil pengukuran pH biji kopi luwak in vitro terendah
didapatkan pada sampel dengan perlakuan lama
fermentasi 16 jam dan penambahan ragi kopi luwak
sebanyak 2,5% yaitu 5,65. Penurunan pH selama
fermentasi menunjukkan penambahan jumlah ragi kopi
luwak mampu meningkatkan aktivitas metabolisme dalam
82
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
mendegradasi gula seiring dengan perlakuan lama
fermentasi, sehingga asam yang terbentuk meningkat. Hal
ini mengindikasikan bahwa mikroorganisme yang
terdapat dalam ragi kopi luwak mengandung kelompok
mikroba yang mampu menghasilkan asam-asam organik.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Fauzi [10] yang
menyatakan bahwa penurunan nilai pH disebabkan
produksi asam laktat oleh inokulum ragi yang
ditambahkan, dan juga dari mikroba kontaminasi dari
lingkungan sekitar.
D. Total Asam Tertitrasi
Total asam tertitrasi (TAT) merupakan salah satu
indikator terjadinya fermentasi yang dinyatakan dalam
persen asam laktat. Perubahan total asam tertitrasi pada
biji kopi luwak in vitro dapat dilihat pada Gambar 4.
konsentrasi 2,5% menyebabkan asam laktat yang
terbentuk semakin meningkat dan pH cenderung turun,
yang kemudian mengakibatkan nilai total asam tertitrasi
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Charalampopoulus et al., [6] yang menyatakan bahwa
aktivitas mikroba selama fermentasi akan menyebabkan
penurunan pH seiring dengan meningkatnya keasaman
produk sebagai asam laktat, dan asam-asam organik
lainnya akan terakumulasi.
E. Kadar Kafein
Hasil analisa kadar kafein biji kopi luwak in vitro
memiliki nilai yang fluktuatif, namun secara keseluruhan
kadar kafein mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 5.
1,60
Lama
Fermentasi
0,02
8 jam
0,01
16 jam
24 jam
0,00
Jumlah Ragi
Kadar Kafein(%)
Total Asam Tertitrasi (%)
1,40
0,03
1,20
Lama
Fermentasi
(jam)
8 jam
1,00
0,80
0,60
0,40
16 jam
0,20
24 jam
0,00
Jumlah Ragi (%)
Gambar 4. Total asam tertitrasi kopi luwak in vitro
Gambar 5. Kadar kafein tertitrasi kopi luwak in vitro
Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa jumlah total
asam tertitrasi cenderung semakin meningkat seiring
dengan penambahan ragi dan lama fermentasi. Pada
sampel dengan penambahan ragi kopi luwak 0,5%; 1,5%;
dan 2,5% pada perlakuan 8 jam, 16 jam, dan 24 jam
memiliki total asam tertitrasi sekitar 0,025-0,027%.
Keseluruhan sampel memiliki total asam tertitrasi lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol biji kopi robusta tanpa
fermentasi yaitu 0,0254%. Hal ini disebabkan karena kopi
luwak in vitro telah mengalami proses fermentasi.
Asam tertitrasi mengalami peningkatan seiring dengan
lama fermentasi dan jumlah ragi kopi luwak yang
ditambahkan, karena mikroorganisme yang melakukan
metabolisme juga semakin meningkat. Hal ini diperkuat
oleh Legowo et al., [15] yang menyatakan bahwa
peningkatan kadar asam laktat disebabkan adanya
aktivitas BAL yang memecah laktosa dan gula-gula lain
menjadi asam laktat.
Hasil pengukuran total asam tertitrasi biji kopi luwak in
vitro tertinggi didapatkan pada sampel dengan perlakuan
lama fermentasi 16 jam dan penambahan ragi kopi luwak
sebanyak 2,5% yaitu 0,0267%. Pemberian ragi hingga
Hasil analisis kadar kafein pada Gambar 5
menunjukkan bahwa biji kopi robusta yang telah
difermentasi menggunakan ragi kopi luwak memiliki
kadar kafein sekitar 0,8-1,5% lebih rendah dibandingkan
dengan kontrol biji kopi robusta tanpa fermentasi yaitu
1,44%. Secara keseluruhan hasil analisa kadar kafein kopi
luwak in vitro menggunakan ragi kopi luwak 0,5%; 1,5%;
dan 2,5% masing-masing mengalami penurunan seiring
dengan lama fermentasi. Hal ini sesuai dengan Hanifah
dan Kurniawati [14] yang menyatakan bahwa proses
fermentasi dapat menurunkan kandungan kafein secara
signifikan baik fermentasi hewan luwak, fermentasi basah
secara penuh, maupun fermentasi dengan ragi. Kafein
akan diuraikan oleh bakteri-bakteri fermentasi dan enzim
pengurai kafein.
Hasil fermentasi maksimum terjadi pada perlakuan
penambahan ragi kopi luwak sebanyak 2,5% dengan lama
fermentasi selama 24 jam yaitu 0,839%. Menurut Todar
[25], semakin lama waktu fermentasi maka semakin
sedikit konsentrasi kafein dalam kopi. Hal ini dikarenakan
pada proses fermentasi terjadi degradasi kafein menjadi
uric acid, 7-methilxanthine, dan xanthine. Lebih lanjut,
83
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
penelitian Yano dan Mazzafera [28] mengemukakan
bahwa pada proses degradasi kafein menjadi uric acid
mulai terbentuk pada waktu 12 jam fermentasi. Demikian
juga menurut Gokulakrishnan et al. [11] proses degradasi
kafein menjadi uric acid mulai terbentuk pada waktu
fermentasi 12 - 36 jam. Reaksi yang terjadi yaitu:
Mikroba
Kafein
uric acid+biomassa [11]
[13]
IV. KESIMPULAN
Hasil penelitian diketahui bahwa variasi lama
fermentasi dan dosis ragi kopi luwak yang ditambahkan
mampu mempengaruhi karakteristik kimia kopi luwak
robusta in vitro. Selain itu, perlakuan juga dapat
meningkatkan kadar air dan total asam tertitrasi hingga
9,19% dan 0,0267%, sedangkan kadar glukosa, pH dan
kadar kafein turun hingga 9,02%; 5,65; dan 8,39%.
[16]
[14]
[15]
[17]
[18]
[19]
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
Afandi, I. L., “Studi Optimasi Dosis Ragi Kopi Luwak Multikultur
Bermedia Tepung Maizena Pada Pengolahan Kopi Robusta
Secara Semi Basah”, Skripsi, Jember: Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, FTP, UJ, 2011.
Afifah, N. (2010) Analisis Kondisi dan Potensi Waktu Fermentasi
Medium Kombucha (Teh, Kopi, Rosella) dalam Menghambat
Pertumbuhan Bakteri Pathogen (Vibrio cholera dan
Bacilluscereus). http://pustaka . Uin.ac.id/ wpcontent
/uploads/2010/11/Analisis Kondisi Dan Potensi Waktu
Fermentasi Medium Kombucha.pdf. [30 April 2016].
Agustin, R., “Optimasi Dosis Ragi Kopi Luwak Multikultur
Bermedia Tepung Beras Pada Pengolahan Kopi Robusta Secara
Semi Basah”, Skripsi. Jember: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
FTP, UJ, 2011.
Bannon, G.A., Goodman, R.E., Leach, J.N., Rice, E., Fuchs R.L.,
dan Astwood, J.D. Digestive Stability In The Context Of
Assessing The Potential Allergenicity Of Food Proteins, Nutrition
And Toxicology Journal, 8: 271-285, 2002.
Chan, S dan Garcia, E., Comparative Physicochemical Analyses
of Regular and Civet Coffee, The Manila Journal of Science, 7(1):
19-23, 2011.
Charalampopoulos, D., Wang, R., Pandiella, S.S., dan Webb, C.
“Isolation and Characterization of Lactic Acid Bacteria from
“Ting” in the Northern Province of South Africa”, Thesis,
Pretoria: University of Pretoria, 2002.
Day, R. A. dan Underwood, A. L. Analisa Kimia Kuantitatif, Edisi
Keenam, Alih Bahasa oleh Dr. Ir. Iis Sopyan, M. Eng, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2002.
Fardiaz, S. Mikrobiologi Pangan, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1992.
Fauzi, M., Isolasi Dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Biji
Kopi Luwak (Civet Coffe), Jember: Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Jember, 2008.
Fauzi, M. Penentuan Dosis Ragi Kopi Luwak Bermedta Tapioka
Pada Pengolahan Kopi Robusta. Prosiding Seminar Nasional
PATPI 2013: Peran Teknologi dan Industri Pangan Untuk
Percepatan Tercapainya Kedaulatan Pangan Indonesia. Jember:
Universitas Jember, 2013.
Gokulakrishman, S., Chandrajad, K., Gummadi, dan
Sathyanarayana, N., Microbial and Enzymatic Methods for The
Removal of Caffeine, Journal Enzyme and Microbial Technology,
Elsevier. 37: 225-232, 2005.
Hadipernata, Mulyana dan Nugraha, Sigit., Identifikasi Fisik,
Kimia dan Mikrobiologi Biji Kopi Luwak sebagai Acuan
Teknologi Proses Kopi Luwak Artifical. Prosiding Seminar
Nasional Intensif Riset Sinas: 117-121, 2012.
[20]
[21]
[22]
[23]
[24]
[25]
[26]
[27]
[28]
Handayani, Alfina., Penerapan Sistem Nilai Cacat pada
Komoditas Kopi Robusta (Studi Kasus di Wonokerso, Pringsurat,
Temanggung). Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, 11(2),
2013.
Hanifah, Nurul dan Kurniawati, Desy., Pengeruh Larutan Alkali
dan Yeast terhadap Kadar Asam, Kefein, dan Lemak pada Proses
Pembuatan Kopi Fermentasi, Jurnal Teknologi Kimia dan
Industri, 2(2): 162-168, 2013.
Legowo, A. M., Kusrahayu dan Mulyani, S., Teknologi
Pengolahan Susu, Semarang: Universitas Diponegoro, 2009.
Marcone, N. F.. Composition and Properties of Indonesia Palm
Civet Coffee (Kopi Luwak) and Ethopian Civet Coffee. Food
Research International 37 (9): 901-912, 2004.
Mustakim, R. (2015) Kopi Luwak Makin Populer Di Dunia,
Sudah Dipayungi Permentan. Portal Berita Info Publik [serial
online].
http://infopublik.id/read/122137/kopi-luwak-makinpopuler-di-dunia-sudah-dipayungi-permentan.html.
[15
September 2015].
Nuga. “Pelatihan Kopi Malabar”. Tidak Diterbitkan. Makalah.
Pangalengan, Kabupaten Bandung, 2012.
Oktadina, F. D., Argo, B. D., dan Hermanto, M. B., Pemanfaatan
Nanas (Ananas Comosus L. Merr) untuk Penurunan Kadar Kafein
dan Perbaikan Citarasa Kopi (Coffea Sp) dalam Pembuatan Kopi
Bubuk, Malang: Jurusan Keteknikan Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya. Jurnal Keteknikan
Pertanian Tropis dan Biosistem. 1(3): 265-273, 2013.
Putra, Herry (2015) Kopi Lanang dari Luwak Lanang. [serial
online]
https://kopiluwaklanang.wordpress.com/artikelarticle/kopi-lanang-dari-luwak-lanang/. [15 September 2015].
Salminen, S and A.V. Wright., Lactic Acid Bacteria:
Microbiology and Fungsional Aspect, Edisi Kedua. New York:
Marcel Dekker Inc, 1998.
Sari, M. L., “Karakteristik Organoleptik dan Komponen Flavor
Biji Kopi Robusta (Coffee Robusta) Hasil Fermentasi
Menggunakan Starter Feses Luwak”, Skripsi, Jember: Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UJ, 2014.
Sudarmadji, S., Haryono, B, dan Suhardi, Prosedur Analisa untuk
Bahan Makanan dan Pertanian, Yogyakarta: Liberty, 1997.
Surya, Yohanes, Gasing Science 4A, Tangerang: PT. Kandol,
2013.
Todar, K (2010) Nutrition and Growth of Bacteria. Department of
Bacteriology,
University
of
Wisconsin.
http://textbookofbacterriology.net/nutgro_2.html (11 November
2015).
Wijanarko, B., “Optimasi Dosis Ragi Kopi Luwak Multikultur
Bermedia Tepung Tapioka Pada Pengolahan Kopi Robusta Secara
Semi Basah”, Skripsi, Jember: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
FTP, UJ, 2011.
Wijayani, Reza Adi, “Karakteristik Kimia Kopi Biji Robusta Hasil
Fermentasi Menggunakan Mikroflora Asal Feses Luwak”,
Skripsi, Jember: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UJ,
2015.
Yano, D. M. dan Mazzafera, P., Catabolism of Caffeine and
Purification of a Xanthine Oxidase Responsible for Methyluric
Acids Productions in Pseudomonas Putida L.. Revista de
Microbiologia. Vol. 30(1): 62-70, 1999.
84
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Optimasi Produksi Pepton dari Bungkil Kedelai
Untuk Media Produksi Yeast
Dadik Pantaya#1, Dicky Pamungkas*2, Merry Muspita DU#3, Suci Wulandari#4, Anang Febri#5
#
Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember
1email:
dadieek@yahoo.com
3email:merry.mdu@gmail.com
4email:suci_ndariwulan@yahoo.com
5email:anang_fp@yahoo.com
*
Loka Penelitian Sapi Potong, Departemen Pertanian, Grati, Jawa Timur
2dpamungkas2000@yahoo.com
Abstrak
Bahan pepton merupakan komponen penting dalam media pertumbuhan mikroba yang berperan sebagai sumber nitrogen. Rata-rata
kebutuhan produk pepton yang dicukupi dari produk impor mencapai US $17.84 juta per tahun dalam lima tahun terakhir merupakan
peluang tersendiri untuk pengembangan pepton dengan menggunakan produk sumber protein yang tersedia di Indonesia, seperti bungkil
kedelai. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan pepton bungkil kedelai dengan hidrolisis enzimatis menggunakan enzim papain
kasar, menentukan kondisi hidrolisis terbaik (waktu hidrolisis, konsentrasi enzim, dan lama inkubasi), dan ujicoba bahan pepton bungkil
kedelai sebagai media pertumbuhan yeast. Kadar protein bungkil kedelai yang digunakan adalah 39% dan aktivitas enzim papain kasar yang
digunakan sebesar 125 U/mg. Proses hidrolisis berlangsung dengan menggunakan substrat bungkil kedelai dan lautan buffer phosphat
dengan perbandingan 1:5. Kondisi hidrolisis terbaik untuk menghasilkan pepton bungkil kedelai dicapai dengan menggunakan enzim papain
sebesar 2000 unit/gram dengan hidrolisis selama 1 jam pada suhu 60-70 oC. Pepton yang dihasilkan merupakan produk cair berwarna kuning
kecoklatan, supernatan dari proses sentrifugasi. Rendemen proses hidrolisis ini adalah 10.23 mg/g bungkil kedelai. Hasil pengujian
pertumbuhan pada yeast Saccharomyces cerevisiae menunjukkan bahwa pepton bungkil kedelai dapat digunakan sebagai komponen dalam
media untuk pertumbuhan yeast.
Kata kunci : hidrolisis enzimatis, papain, pepton bungkil kedelai, yeast
BAB 1. PENDAHULUAN
Pertumbuhan protein sel tunggal seperti yeast
membutuhkan protein sederhana dalam bentuk pepton
yang merupakan sumber protein terlarut. Selama ini
kebutuhan pepton di Indonesia masih dipenuhi melalui
impor dengan jumlah dan harga yang tinggi. Impor
produk ini dilakukan karena industri pepton Indonesia
belum dikembangkan. Pada tahun 2014, impor pepton di
Indonesia mencapai nilai sebesar US $21 juta dengan
jumlah sebesar 5.500 ton. Nilai tersebut meningkat
dibanding tahun 2012 yaitu US $13.2 juta dengan
kuantitas sebesar 3 300 ton [1]. Sementara itu pada waktu
yang sama kebutuhan protein untuk produk dari mikrobia
terutama yeast di sektor nutrisi pakan ternak semakin
meningkat sehingga kebutuhan pepton juga meningkat.
Penggunaan probiotik yeast semakin meningkat
digunakan untuk meningkatkan performans produksi
ternak ruminansia [2] [3]. Tingginya nilai impor tersebut
dapat menjadi peluang untuk melakukan pengembangan
pepton
dengan memanfaatkan bahan sumber protein yang tersedia
di Indonesia, seperti protein bungkil kedelai.
Pepton merupakan hidrolisat protein yang banyak
digunakan sebagai salah satu komponen nutrisi dalam
media pertumbuhan mikroorganisme. Pepton dalam media
pertumbuhan mikroba berfungsi sebagai sumber nitrogen
bagi mikroorganisme. Penggunaan pepton sangat luas
mencakup penggunaan pada laboratorium mikrobiologi
hingga pada industri berbasis bioteknologi [4] [5].
Produksi pepton dapat dilakukan dengan cara
hidrolisis enzimatis menggunakan enzim proteolitik [6].
Kelebihan proses enzimatis adalah tidak memerlukan suhu
tinggi, proses hidrolisis berlangsung secara spesifik, dan
dapat mengkonservasi semua asam amino yang ada.
Proses hidrolisis dengan cara asam dapat merusak
sebagian atau semua asam-asam amino tertentu karena
85
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
kondisi proses yang berlangsung pada suhu tinggi. Selain
itu, produk pepton yang diperoleh dari proses hidrolisis
asam memiliki kandungan garam yang tinggi karena
adanya pembentukan garam pada proses netralisasi [7].
Faktor yang mempengaruhi kecepatan hidrolisis enzimatis
adalah waktu inkubasi, pH, suhu, konsentrasi enzim
dengan protein [8].
Tabel 1. Spesifikasi enzim papain kasar
Parameter
Specifikasi
Aktivitas proteolitik
125.2 TU/mg
Arsenic
Nd*)
Coliform
negatif
Nd : non detected
C.
Gambar 1. Hidrolisis enzimatis protein [9]
Setiap bahan organik memiliki jenis protein yang
berbeda-beda. Perbedaan jenis protein tersebut dapat
mempengaruhi kelarutannya, sehingga perlu dilakukan
optimasi pH untuk isolasi protein. Oleh karena itu dalam
memproduksi pepton bungkil kedelai secara enzimatis
diperlukan penggunaan kondisi hidrolisis terbaik sehingga
produk dapat dihasilkan secara optimal. Pada penelitian
ini dilakukan penentuan kondisi hidrolisis terbaik dalam
memproduksi pepton bungkil kedelai. Kondisi yang dikaji
meliputi waktu hidrolisis, konsentrasi enzim, dan suhu
hidrolisis selama masa inkubasi.
BAB 2. MATERI DAN METODE
Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi
Pakan Ternak, Laboratorium Bioscience Politeknik
Negeri Jember dan Laboratorium Fateta IPB Bogor.
A.
B.
Alat dan Bahan
Alat Beaker glass, tabung reaksi, ball pipet, blender,
buret, corong, erlenmeyer, gelas ukur, hot plate, kantong
plastik, labu Kjeldahl, mortir dan stamper, pH meter, pipet
tetes, sentrifuse (Hermle, Gemany), dan spektrofotometer
UV-Vis.
Bahan Utama yang digunakan adalah bungkil kedelai
yang diperoleh dari produk komersial. Enzim papain kasar
komersial dengan karakteristik bahan seperti yang
tercantum di Tabel 1. (PT Cortiko Mulya Sejahtera).
Bahan kimia yang digunakan aquades, aquades beku, aqua
bides, BSA (Bovine Serum Albumin), buffer phosphat
reagen Bradford.
Metode percobaan
Bungkil kedelai digiling dengan ukuran mesh 1 mm
menggunakan sample mill (IKA-Werke M20, Germany)
agar diperoleh bungkil kedelai yang berukuran kecil dan
seragam, selanjutnya dianalisis komposisi kimia metode
AOAC [10]. Uji optimasi hidrolisis enzim dilakukan
dengan mereaksikan enzim pada substrat bungkil kedelai
untuk penentuan konsentrasi enzim, suhu inkubasi dan
lama inkubasi terbaik. Bungkil kedelai ditambahkan
dengan larutan enzim dalam larutan buffer phospat pH 5
dengan perbandingan 1:5 (b/v) dan enzim pada berbagai
konsentrasi (0; 250; 1000; 2000; 3000; 4000 Unit).
Campuran tersebut dicampurkan dalam tabung Falcon
Polypropilene (PP) 15 mL kemudian diaduk dengan
magnetic stirrer sampai tercampur rata. Hidrolisis ini
dilakukan pada suhu 60 oC dengan menggunakan
inkubator selama 60 menit. Hidrolisis dihentikan dengan
inaktivasi enzim pada suhu 90 oC selama 10 menit dalam
water bath dan selanjutnya disentrifugasi dengan
kecepatan 10.000 rpm, 10 menit, kemudian supernatan
diuji dengan larutan standart Braford. Untuk uji lama
inkubasi dan suhu inkubasi terbaik dengan menggunakan
dosis optimum pada uji sebelumnya.
Selanjutnya
dilakukan uji produksi dengan menggunakan bahan baku
sumber protein dari bungkil kedelai pada perkembangan
yeast Saccharomyces cerevisiae dengan perlakuan kontrol
menggunakan bungkil kedelai tanpa hidrolisis
dibandingkan dengan hidrolisis.
Pengujian pepton sebagai media cair pertumbuhan yeast
Medium yang digunakan untuk uji ini memiliki
komposisi yang sama seperti komposisi medium cair
dengan bahan pepton sebanyak 1.5%. Inokulasi dilakukan
pada media cair 10 ml diinkubasikan selama 24 jam
dengan shaking 100 rpm, selanjutnya ditransfer ke media
sebanyak 50 ml di dalam tabung Erlemeyer 500 ml
kemudian ditransfer ke dalam media 20 L dan selanjutnya
ke 200 L masing masing diinkubasikan selama 48 jam.
Pemanenan produk yeast diperoloeh dengan sentrifugasi
dengan kecepatan 1000 rpm dan dikeringkan dengan alat
pengering (dryer) dengan oven pada suhu 40 oC. Jumlah
bakteri dihitung dengan metode total plate count (TPC)
pada kondisi suhu 30 oC dengan beberapa kali
pengenceran. Jumlah yeast yang tumbuh dihitung dengan
digital colony counter (Intech, Germany) sebagai nilai
pertumbuhan kuantitatif. Komposisi media untuk produksi
86
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
terdiri dari molasses, PDB (potatoes dextrose broth),
bungkil kedelai, ammonium sulfat (NH3SO4) dan mineral.
14
12
Karakterisasi produk hidrolisis enzimatis bungkil
kedelai
Dari hasil penelitian diperoleh hasil protein terlarut
hasil hidrolisis seperti pada Gambar 2. Konsentrasi
optimal untuk degradasi protein pada konsentrasi enzim
sebesar 2.000 Unit/g (0.01%). Dengan bertambahnya
konsentrasi enzim terjadi penurunan protein yang terlarut
hal tersebut kemungkinan kemampuan enzim menurun
dibandingkan dengan substrat yang tersedia. Pada
pengamatan terhadap pengaruh lama inkubasi dengan
suhu dilakukan sama dengan pengamatan terhadap
konsentrasi enzim.
Pengaruh perubahan suhu terhadap produk protein
yang terlarut dengan suhu optimal 60-70 oC, dengan
semakin tinggi suhu (80 oC) semakin rendah produk yang
dihasilkan. Penurunan produk kemungkinan disebabkan
oleh perubahan konformasi protein, semakin tinggi suhu
akan menyebabkan denaturasi protein. Menurut Luisi and
Laane [11] pengaruh suhu secara umum ditunjukkan
melalui mekanisme komplek dimana melibatkan
fenomena stimulasi dan aktivasi. Degradasi ikatan peptida
akan semakin meningkat dengan makin tingginya suhu
pada titik tertentu akan terjadi inaktifasi enzim yang
ditandai dengan penurunan produk hidrolisis.
Tabel 2. Komposisi kimia bungkil kedelai
Zat nutrisi
Kandungan (%)
Protein kasar *)
39.13
Lemak kasar
0.41
Serat kasar
0.51
Ca
0.51
P
0.67
mg/g
*) Analisis Lab Pangan, Politeknik Negeri Jember
Ca : Calsium
P : Phospor
9.2
9
8.8
8.6
8.4
8.2
8
7.8
7.6
7.4
Protein
terlarut
8
Protein
terlarut
6
4
2
0
0
1
2
3
Inkubasi (jam)
4
5
6
Gambar 3. Konsentrasi protein terlarut dengan waktu
inkubasi yang berbeda
14
12
10
mg/g
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
mg/g
10
8
6
Protein
terlarut
4
2
0
30
40
50
60
70
80
90
Suhu (oC)
Gambar 4. Konsentrasi protein terlarut dengan suhu
inkubasi yang berbeda
Hasil pengukuran protein terlarut pada berbagai
waktu inkubasi pada substrat bungkil kedelai diperoleh
waktu optimal 1 jam pada suhu 60-70 oC, disamping itu
mungkin terbatasnya bagian dari protein yang dapat
dihidrolis oleh enzim. Tingginya produksi pepton akan
meningkatkan pemanfaatan pepton dari protein bungkil
kedelai.
Ikatan peptida protein dihidrolisa dengan
pemecahan ikatan peptida menjadi molekul yang lebih
sederhana antara lain pepton dan asam amino seperti pada
Gambar 1. Pemecahan oleh enzim proreolitik memecah
protein pada gugus amida [12].
Uji produksi pada yeast
Pada Tabel 3 menunjukkan karakteristik dari
produksi yeast dengan media yang mengandung pepton
bungkil kedelai. Jumlah koloni yang dihasilkan pada
media dengan perlakuan menggunakan bungkil kedelai
yang dihidrolisis secara enzimatis menunjukkan hasil
yang lebih baik. Hal ini mengindikasikan kuantitas pepton
yang lebih tinggi, seperti pada perlakuan sebelumnya
tanpa penambahan enzim dibandingkan dengan
penambahan enzim, ketersediaan pepton untuk
perkembangan yeast menyebabkan efek yang positif.
Tabel 3. Uji pada produksi yeast
0
1000
2000
3000
4000
5000
Unit
Gambar 2. Konsentrasi protein terlarut dengan
penambahan dosis enzim yang berbeda
Berat kering yeast, g/L
Protein yeast (%)
Jumlah koloni CFU/g
Media 1
7.76
49.3
2.3 x 107
Media 2
8.24
50.7
7.1 x 108
Media 1 : Bungkil kedelai tanpa enzim
Media 2 : Bungkil kedelai dengan enzim
CFU : Colony forming unit
87
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Ketersediaan
pepton
pada
media
dapat
meningkatkan jumlah massa produksi yeast. Pada uji coba
ini mengindikasikan penggunaan bungkil kedelai yang
terhidrolisis proses fermentasi berlangsung dengan lebih
sempurna, hal ini ditandai dengan meningkatnya berat
kering yeast. Hasil ini sesuai dengan pendapat Fachraniah,
Fardiaz [13] yang menyatakan pepton merupakan unsur
nutrient yang sangat penting untuk perkembangan
mikroba.
BAB 4. KESIMPULAN
Penambahan enzim papain dengan dosis 2000
unit/gram dengan suhu inkubasi 60-70 oC selama 1 jam
inkubasi menghasilkan produk hidrolisis yang optimal
untuk menghasilkan protein terlarut bahan bungkil kedelai
sebagai sumber pepton.
7. Mymrin, V., et al., Red ceramics from composites of hazardous
sludge with foundry sand, glass waste and acid neutralization salts.
Journal of Environmental Chemical Engineering, 2016. 4(1): p. 753761.
8. Mielech, A.M., et al., Nidovirus papain-like proteases:
Multifunctional enzymes with protease, deubiquitinating and
deISGylating activities. Virus Research, 2014. 194: p. 184-190.
9. Bridson, E., The Oxoid Manual. United Kingdom, 1995. 7 ed edition.
10. AOAC., Official Method of Analysis (18th Ed). Association of
Official Analytical ChemistsInternational, Maryland, USA.7. H,
2005.
11. Luisi, P.L. and C. Laane, Solubilization of enzymes in apolar solvents
via reverse micelles. Trends in Biotechnology, 1986. 4(6): p. 153161.
12. Mobashar, M., et al., Ochratoxin A in ruminants-A review on its
degradation by gut microbes and effects on animals, in Toxins. 2010.
p. 809-39.
13. Fachraniah, D. Fardiaz, and T. Idiyanti;, Pembuatan pepton dari
bungkil kedelai dan khamir dengan enzim papain untuk media
pertumbuhan bakteri. Teknol. Industry Pangan, 2002. VIII No 3: p.
260-266.
STUDI LEBIH LANJUT
Studi selanjutnya akan dilakukan uji coba produksi
yeast dengan beberapa konsentrasi media dengan
menggunakan pepton hasil hidrolisis dan hasil diperoleh
dilakukan karakterisasi komposisi asam amino dari
produk pepton.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima
kasih pada Program Riset INSINAS Kemristek Dikti yang
telah memberikan dana penelitian ini dan Eco Animale
Corp, yang telah membantu fasilitas untuk pelaksanaan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. BPS, Nilai Ekspor Impor Produk Bahan Pengisi. Available from :
http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3, 2012.
2. Pantaya, D., et al., Low Ruminal pH Increases Bioavailability of
Aflatoxin B1 and Ochratoxin A but not Fumonisin B1 and
Deoxynivalenol in Non-Lactating Dairy Cows. Journal of Dairy
Scence, 2016. (In Press, corrected proof).
3. Vyas, D., et al., Importance of yeast viability for reducing the effects
of ruminal acidosis in beef heifers during and following an imposed
acidosis challenge. Animal Feed Science and Technology, 2014. 197:
p. 103-113.
4. Uzeh, R.E., S.O. Akinola, and S.O.A. Olatope, Production of peptone
from soya beans (Glycine max L merr) and African locust beans
(Parkia biglobosa). African Journal of Biotechnology Vol. 5 (18), pp.
1684-1686, 2006.
5. Fachraniah, D. Fardiaz, and T. ldiyanti, Pembuatan Pepton darl
Bungkil Kedelai dan Khamir Dengan Enzim Papain untuk Media
Pertumbuhan Bakteri. Jurnal.Teknol. dan Industrt Pangan, Vol. Xm,
No. 3, 2002.
6. AL-Bahri, M.B.A.G., S.A. AL-Naimi, and S.H. Ahammed, The
Optimum Conditions for Production of Soya Peptone by Acidic
Hydrolysis of Soya Proteins. Al-Khwarizmi Engineering Journal, ,
2009. Vol. 5, No. 1, PP 1-19
88
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
SENTRA HORTIKULTURA LAHAN
SAWAH DI KABUPATEN JEMBER
Muhammad Firdaus#1, Suherman#2
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala
Jl. Sumatera 118-120 Jember
1
muhammadfirdaus2011@gmail.com
2
herman@stie-mandala.ac.id
1,2
Abstract
This study aims to determine the superior horticultural commodities in Jember. The data used is secondary data, ie
horticultural production data in 31 sub-districts in Jember, 2010-2014. Data were analyzed using Location Quotient (LQ) with the
excel program. The results showed: 1) each district has at least two types of the superior horticultural commodities. 2) the superior
horticultural commodities with the highest prevalence rates are great chili and eggplant. 3) The superior horticultural commodities
indicates that the type of horticulture in accordance with the agro-climate and feasible to be developed.
Keywords: centers, horticulture, and paddy field.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Berlakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya
dipengaruhi oleh keunggulan komperatif suatu daerah,
spesialisasi wilayah, serta potensi ekonomi yang dimiliki
oleh daerah tersebut. Sehingga, pemanfaatan dan
pengembangan seluruh potensi ekonomi menjadi
prioritas utama yang harus digali dan dikembangkan
dalam melaksanakan pembangunan ekonomi daerah
secara berkelanjutan (Syahab, 2013).
Penentuan komoditas unggulan nasional dan
daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan
pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk
meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam
menghadapi globalisasi perdagangan (Hendayana, 2003).
Persaingan yang ketat menuntut peningkatan efisiensi
dan efektivitas di segala bidang, termasuk pertanian.
Sebagian besar penduduk di Kabupaten Jember
bermata pencarian di bidang Pertanian, sehingga seluruh
stakeholders di Kabupaten Jember harus berkomitmen
untuk memajukan bidang pertanian demi meningkatkan
taraf hidup masyarakatnya. Selain tanaman pangan dan
tembakau, tanaman hortikultura turut berperan dalam
kemajuan pembangunan pertanian di Kabupaten Jember
ini. Menurut Firdaus (2009), tanaman hortikultura yang
umum dikembangkan di lahan sawah antara lain; Melon,
Semangka, Cabai (besar/kecil), Kubis, Kacang Panjang,
Ketimun, Terung, dan Tomat. Ditinjau dari ketersediaan
sumber daya alam dan sumberdaya manusia (petani),
Kabupaten Jember sangat potensial untuk kegiatan
pengembangan hortikultura tersebut.
Analisis penentuan prioritas komoditas unggulan
hortikultura perlu dilakukan agar kecamatan-kecamatan di
Kabupaten Jember bisa menentukan komoditas hortikultura
unggulan di masing-masing wilayah. Komoditaskomoditas unggulan tersebut harus berdaya saing tinggi,
sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan petani yang
pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi
pembangunan Provinsi Jawa Timur dan pembangunan
nasional
BAB 2. TINJAUA N PUSTAKA
Komoditas unggulan adalah komoditas andalan
yang memiliki posisi strategis, berdasarkan baik
pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun
sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi,
kemampuan sumber daya manusia, infrastruktur, dan
kondisi sosial budaya setempat), untuk dikembangkan di
suatu wilayah.
Komoditi unggulan merupakan komoditas yang
memiliki keunggulan komparatif dan daya saing yang
tinggi terhadap komoditas sejenis pada suatu wilayah
dibanding wilayah lain. Pada era globalisasi, setiap
komoditas dituntut untuk memiliki daya saing di pasar,
baik pasar domestik maupun internasional. Ini berarti
setiap komoditas harus mampu bersaing dengan komoditas
lain di daerah yang sama atau komoditas yang sama di
daerah lain. Kemampuan daya saing setiap komoditas
ditandai dengan penerimaan yang diperoleh pelaku
ekonomi. Penerimaan akan lebih besar diperoleh dari
komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan
berdaya saing daripada komoditas biasa (Darmawansyah,
2003).
Komoditas unggulan dalam perekonomian wilayah
menentukan pertumbuhan ekonomi wilayah secara
keseluruhan, disamping yang berasal dari komoditas
89
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
yang bersangkutan juga sektor lain yang terkait. Semakin
besar kegiatan-kegiatan sektor ini dalam wilayah akan
semakin besar arus pendapatan ke dalam wilayah sehingga
meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa dari
hasil sektor ini dan sektor lainnya yang pada gilirannya
permintaan tersebut akan meningkatkan volume kegiatan
sektor lain yang selanjutnya secara simultan akan
meningkatkan pendapatan wilayah.
Pemilihan komoditas yang akan diusahakan
memegang peranan penting dalam keberhasilan usaha
produksi pertanian. Komoditas yang bernilai tinggi akan
menjadi prioritas utama, tetapi perlu dipertimbangkan halhal yang berhubungan dengan pemasarannya. Komoditas
yang telah dipilih selanjutnya jenis/varietasnya sesuai
dengan kondisi topografi dan iklim lokasi yang
direncanakan (Said, E. Gumbira dan Intan, A. Harizt,
2004).
Penetapan suatu komoditas sebagai komoditas
unggulan daerah harus disesuaikan dengan potensi
sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki
oleh daerah. Komoditas yang dipilih sebagai komoditas
unggulan daerah adalah komoditas yang memiliki
produktivitas yang tinggi dan dapat memberikan nilai
tambah sehingga berdampak positif bagi kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, penetapan komoditas unggulan
daerah juga harus mempertimbangkan kontribusi suatu
komoditas terhadap pertumbuhan ekonomi dan aspek
pemerataan pembangunan pada suatu daerah (Syahroni,
2005).
Metode yang digunakan untuk menentukan
komoditas unggulan adalah metode Location Quotient
(LQ) yang merupakan suatu pendekatan tidak langsung
untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan
sektor basis atau non basis. Kemampuan pemerintah
daerah untuk melihat
sektor
yang memiliki
keunggulan/kelemahan di wilayahnya menjadi semakin
penting. Sektor yang mempunyai keunggulan memiliki
prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan
diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk
berkembang (Tarigan, 2014).
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prioritas
komoditas-komoditas hortikultura unggulan di masingmasing kecamatan yang berpotensi dikembangkan di
Kabupaten Jember.
Sekaligus, mengidentifikasi
hambatan-hambatan pemasarannya.
3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai:
1. Bahan masukan bagi stakeholders (khususnya petani
dan pemasar) yang bergerak di bidang hortikultura di
Kabupaten Jember.
2. Bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Jember,
khususnya Dinas Pertanian Tanaman Pangan dalam
upaya mengembangkan komoditas unggulan sesuai
dengan potensi masing-masing kecamatan.
3. Referensi bagi penelitian selanjutnya terutama yang
berkaitan
dengan
pengembangan
agribisnis
hortikultura.
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Data Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Jember. Lokasi
penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive),
dengan pertimbangan Kabupaten Jember memiliki potensi
yang tinggi di sektor tanaman hortikultura, di samping
tanaman pangan dan tembakau (BPS Jember, 2010-2015).
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder. Data sekunder diperoleh dari data-data
statistik BPS, yakni Jember dalam Angka, 2010-2014.
Data yang diambil adalah data produksi hortikultur di 31
kecamatan di Kabupaten Jember.
4.3 Analisis Data
Analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan,
sebagai berikut:
1. Input data menurut jenis hortikultura selama lima tahun
terakhir (periode 2010-2014) ke dalam spreadsheet
dengan format kolom dan baris. Kolom diisi dengan
jenis hortikultura dan tahun, sedangkan baris diisi
dengan nama-nama kecamatan di Kabupaten Jember.
2. Menghitung jumlah produksi serta rata-rata produksi
dari jenis hortikultura ke-i dan total hortikultura di
kecamatan-kecamatan di Kabupaten Jember.
3. Menghitung jumlah produksi
serta rata-rata
produksi dari jenis hortikultura ke-i dan total
hortikultura di Kabupaten Jember.
4. Menghitung nilai Location Quotient (LQ). Teknik
LQ relevan digunakan sebagai metode dalam
menentukan komoditas unggulan khususnya dari sisi
penawaran (produksi atau populasi) (Hood, 1998).
Dalam hal ini secara operasional, LQ dirumuskan:
LQ
p i /p t
Pi /Pt
Keterangan:
LQ = Location Quotient
pi = Produksi jenis hortikultura ke-i pada tingkat
kecamatan.
pt = Produksi total hortikultura pada tingkat kecamatan.
Pi = Produksi jenis hortikultura ke-i pada tingkat
kabupaten.
Pt = Produksi hortikultura pada tingkat kabupaten.
90
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
5. Interpretasi nilai LQ
Untuk dapat menginterpretasikan hasil analisis LQ,
maka:
a. Jika nilai LQ > 1, menunjukkan terdapat
konsentrasi
relatif
di suatu kecamatan
dibandingkan dengan keseluruhan wilayah. Hal
ini berarti jenis sayuran ke-i di suatu wilayah
merupakan sektor basis (memiliki keunggulan
komparatif).
b. Jika nilai LQ = 1, merupakan sektor non basis,
artinya jenis sayuran ke-i di suatu kecematan
tidak memiliki keunggulan komparatif.
c. Jika nilai LQ < 1, merupakan sektor non basis,
artinya jenis sayuran ke-i di suatu kecematan
tidak memiliki keunggulan komparatif.
Tabel 5.1: (Lanjutan)
No.
7.
8.
9.
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Setelah data produksi sayuran periode 2010-2014
dikumpulkan dari Badan Busat Statistik Kabupaten
Jember, ditabulasi, dan dianalisis, maka diperoleh hasil
seperti pada Tabel 5.1 berikut ini.
Tabel 5.1: Penyebaran Jenis Hortikultura di Kab. Jember
3.
Jenis
Jml
Kecamatan (kec.)
Hortikultura
Kec.
Bawang
Wuluhan, Bangsalsari.
2
Merah
Kubis
Wuluhan, Ambulu,
4
Jenggawah, Panti.
Kol
Ambulu, Panti, Sumberjambe.
3
4.
Sawi
5.
Kacang
Panjang
No.
1.
2.
6.
Cabe Besar
Mayang, Balung, Tanggul,
Panti, Sukorambi, Kaliwates,
Patrang.
Kencong, Ambulu,
Tempurejo, Mayang,
Mumbulsari, Ajung,
Rambipuji, Balung,
Umbulsari, Semboro,
Jombang, Sumberbaru,
Tanggul, Sukorambi,
Ledokombo, dan Patrang.
Kencong, Wuluhan, Ambulu,
Tempurejo, Silo, Mayang,
Jenggawah, Ajung,
Umbulsari, Semboro,
Jombang, Sumberbaru,
Sukorambi, Ledokombo,
Sumberjambe, Sukowono,
Kaliwates, Sumbersari, dan
Patrang.
7
16
10
.
11
.
12
.
13
.
14
.
15
.
19
16
.
Jenis
Jml
Kecamatan (kec.)
Hortikultura
Kec.
Cabe Kecil
Gumukmas, Tempurejo, Silo,
14
Rambipuji, Balung,
Sumberbaru, Arjasa, Pakusari,
Kalisat, Ledokombo,
Sumberjambe, Sukowono,
Jelbuk, dan Patrang
Tomat
Silo, Mayang, Jenggawah,
13
Ajung, Balung, Umbulsari,
Panti, Pakusari, Ledokombo,
Sumberjambe, Jelbuk,
Sumbersari, dan Patrang.
Terung
Kencong, Ambulu, Tempurejo,
19
Mayang, Mumbulsari,
Jenggawah, Ajung, Umbulsari,
Semboro, Jombang, Tanggul,
Panti, Arjasa, Pakusari,
Ledokombo, Sumberjambe,
Sukowono, Sumbersari, dan
Patrang.
Buncis
Kencong, Wuluhan, Ambulu,
10
Silo, Jenggawah, Balung,
Umbulsari, Jombang,
Sumberjambe, dan Sumbersari.
Ketimun
Tempurejo, Mayang,
12
Mumbulsari, Jenggawah, Ajung,
Umbulsari, Panti, Pakusari,
Ledokombo, Kaliwates,
Sumbersari, dan Patrang.
Labu Siam Mayang, Panti, dan
3
Ledokombo.
Kangkung
Mayang, Jenggawah, Panti,
7
Sukorambi, Ledokombo,
Kaliwates, dan Patrang.
Bayam
Mayang, Panti, Sukorambi,
6
Ledokombo, Kaliwates, dan
Patrang.
Melon
Kencong, Puger, Ambulu,
7
Jenggawah, Rambipuji, Balung,
dan Bangsalsari.
Semangka
Gumukmas, Puger, Jenggawah,
4
dan Bangsalsari.
Dari Tabel 5.1 tampak bahwa setiap kecamatan
memiliki minimal dua komoditas hortkultura unggulan.
Komoditas hortikultura yang memiliki tingkat penyebaran
tertinggi adalah Cabai Besar dan Terung. Kedua komoditas
hortikultura tersebut tersebar di 19 kecamatan dari 31
kecamatan yang ada. Kacang panjang, cabai kecil, tomat,
ketimun, dan buncis masing-masing tersebar di 16, 14, 13,
, 12, dan 10 kecamatan di Kabupaten Jember.
91
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Adanya beberapa komoditas hortikultura unggulan
tersebut di setiap kecamatan di Kabupaten Jember
menunjukkan bahwa komoditas hortikultura tersebut
sesuai untuk dikembangkan di daerah tersebut. Tidak
semua daerah cocok untuk semua jenis tanaman sehingga
hanya jenis tanaman tertentu saja yang diusahakan pada
daerah-daerah yang memiliki keadaan iklim dan
lingkungan yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman.
Keadaan ini menyebabkan munculnya sentra-sentra
produksi tanaman tersebut.
Selain iklim dan lingkungan yang sesuai, adanya
sentra-sentra
produksi
tanaman
tersebut
juga
mengindikasikan produksi yang tinggi. Produksi yang
tinggi menunjukkan bahwa banyak petani yang menanam.
Banyaknya petani yang menanam menunjukkan tanaman
tersebut disukai petani. Tanaman tersebut disukai petani
karena (umumnya) memberikan hasil yang memadai bagi
petani. Penerimaan yang diperoleh dari usahatani
hortikultura tersebut mampu menutupi seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk menanam tanaman tersebut.
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Tiap kecamatan minimal memiliki dua jenis
komoditas sayuran unggulan.
2. Komoditas hortikultura yang memiliki tingkat
penyebaran tertinggi adalah Cabai Besar dan Terung.
3. Adanya sentra hortikultura mengindikasikan bahwa
jenis
hortikultura
tersebut
sesuai
dengan
agroklimatnya dan layak untuk diusahakan.
6.2 Saran
1. Hendaknya pemerintah daerah, khususnya Dinas
Pertanian Tanaman Pangan, tidak hanya memberikan
perhatian terhadap komoditas pangan dan tembakau,
tetapi juga hortikultura.
2. Pemerintah daerah, khususnya Dinas Pertanian
Tanaman Pangan, member perhatian lebih pada jenis
hortikultura yang menjadi sentra di tiap kecamatan
agar produktivitas dan pemasarannya dapat
ditingkatkan demi peningkatan kesejahteraan petani.
Darmawansyah.
2003.
Pengembangan
Komoditi
Unggulan Sebagai Basis Ekonomi Daerah.
Tesis S-2 Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Firdaus,
Muhammad. 2009. Penentuan Komoditas
Pertanian Unggulan di Kabupaten Jember. J-SEP
Vol 3 No. 1 Maret 2009.
Hood, Ron. 1998. Economic Analysis: A Location
Quotient. Primer. Principal Sun Region
Associates, Inc.
Hendayana, Rachmat. 2003. Aplikasi Metode Location
Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas
Unggulan Nasional.
Informatika Pertanian
Volume
12.
Jakarta.
http://www.litbang.pertanian.
go.id/informatikapertanian/RachmadH211103.pdf. Diakses 07 April 2016.
Sa’id, Gumbira dan Intan, A. Harizt. 2004. Manajemen
Agribisnis. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Syahab, Alwi, Setiawan, Budi, dan Syafrial. 2013. Analisis
Pengembangan Komoditi Unggulan Tanaman
Pangan di Kabupaten Sumbawa. Agrise Volume
XIII No. 2. Bulan Mei 2013.
Syahroni, Muhammad. 2005. Analisis Strategi
Pengembangan Komoditas Unggulan Agribisnis
di Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Tesis S-2 Program Pasca Sarjana IPB.
Bogor.
Tarigan, Robinson. 2014. Ekonomi Regional Teori dan
Aplikasi. PT Bumi Aksara. Jakarta.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat
Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemenristek Dikti yang
telah memberi hibah penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
BPS.. Kabupaten Jember dalam Angka Tahun 2010-2015.
http://jember
kab.bps.go.id/
webbeta/frontend/index.php/pencarian?keywordf
orsearching=kabupaten+jember&yt12=Cari.
Diakses 07 April 2016.
92
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Reliabilitas Microsoft Kinect Untuk
Pengukuran Sudut Joint Sendi Bahu Pada
Posisi Frontal Dan Sagittal Plane
Beni Widiawan1, Yogiswara2, I Putu Dody Lesmana3
1,2,3
Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember
Jalan Mastrip 164 Jember 68101
1beniw2014@gmail.com,2yogipoltek@gmail.com,3dody_lesmana@polije.ac.id
Abstract
Rehabilitasi mandiri dengan konsep virtual memiliki beberapa kelebihan sebagai pelengkap rehabilitasi yang dilakukan di fasilitas
kesehatan seperti Rumah Sakit. Dengan rehabilitasi mandiri dengan konsep virtual memungkinkan terapi latihan yang adaptif
sesuai dengan kondisi perkembangan penderita, dapat dilakukan monitoring secara terus-menerus, meningkatkan kepatuhan
penderita terhadap latihan yang dijalankan melalui konsep rehabilitasi yang menyenangkan, dan menyediakan umpan balik secara
real-time terhadap perkembangan rehabilitasi. Microsoft Kinect merupakan salah satu media motion capture 3D berbiaya murah
yang dapat digunakan untuk mengembangkan rehabilitasi mandiri virtual untuk penderita frozen shoulder yang mengalami
masalah kekakuan otot pada sendi bahu. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian reliabilitas Microsoft Kinect untuk pengukuran
sudut sendi bahu bagian atas (upper extremity) pada rehabilitasi frozen shoulder. Dari hasil penelitian terhadap pengukuran sudut
joint dari delapan pose sendi bahu pada arah frontal dan sagittal plane didapatkan bahwa reliabilitas Microsoft Kinect bernilai
baik jika dilihat dari perbedaan mean yang cukup kecil dari hasil pengukuran goniometer, kecuali posisi fleksi 90º frontal dan
fleksi maksimum sagittal.
Keywords— Microsoft Kinect, rehabilitasi virtual, reliabilitas, frontal, sagittal, joint
I. PENDAHULUAN
Pengembangan rehabilitasi mandiri secara virtual
khususnya bagi penderita frozen shoulder mendatangkan
beberapa keuntungan sebagai pelengkap rehabilitasi yang
dilakukan di fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit.
Pengukuran sendi bahu pada penderita frozen shoulder
merupakan hal utama untuk memberikan bentuk rehabilitasi
lanjutan dan mengevaluasi hasil pengobatan yang telag
diberikan. Rehabilitasi mandiri bagi penderita frozen
shoulder pada umumnya mengalami beberapa kendala
sehingga tidak dapat berjalan secara efektif bila dibandingkan
dengan rehabilitasi penderita frozen shoulder di Rumah
Sakit. Penderita frozen shoulder cenderung untuk patuh
terhadap perlakuan rehabilitasi ketika di bawah pengawasan
petugas medis, tetapi sering tidak melakukan gerakan
rehabilitasi yang benar ketika dilakukan secara mandiri.
Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan
kontrol bagi penderita frozen shoulder relative mahal karena
membutuhkan hasil foto rontgen untuk mengukur dan
mengevaluasi sendi bahu. Dengan menerapkan rehabilitasi
mandiri secara virtual dapat meningkatkan motivasi dan
kepatuhan untuk melakukan latihan rehabilitasi secara
mandiri khususnya bagi penderita frozen shoulder, dapat
mengetahui dan mengukur perkembangan rehabilitasi sendi
bahu, dapat memilih bentuk rehabilitasi sesuai dengan
tingkatan penyembuhan sendi bahu, dan dapat mengetahui
kondisi sendi bahu dari umpan balik pengukuran dan evaluasi
sudut sendi bahu.
Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan Microsoft
Kinect untuk pengembangan rehabilitasi mandiri virtual
dengan biaya murah telah menarik perhatian beberapa
peneliti [1-3]. Sejak diluncurkan tahun 2010, Microsoft
Kinect telah menjadi salah satu sensor permainan yang
banyak dikembangkan untuk rehabilitasi virtual.
Karena pada awalnya Microsoft Kinect hanya
dikembangkan sebagai media motion capture 3D bagi
pendukung permainan XBOX, maka penggunaan Microsoft
Kinect untuk kepentingan medis kedokteran perlu dilakukan
pengkajian lanjut untuk mengetahui kemampuan dan
kekurangan yang dimiliki oleh Microsoft Kinect [4]. Dalam
penelian yang dilakukan ini dilakukan pengukuran
reliabilitas Microsoft Kinect terhadap sudut sendi bahu hasil
dari proses skeleton tracking. Hasil pengukuran sendi bahu
menggunakan Microsoft Kinect akan dibandingkan dengan
hasil pengukuran manual menggunakan goniometer pada
93
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Gambar 1 Delapan posisi pengukuran sendi bahu dalam bentuk skeleton menggunakan Microsoft Kinect
pada posisi frontal dan sagittal plane dari beberapa
gerakan sendi bahu seperti abduksi, rotasi eksternal, dan
fleksi yang kemudian dihitung perbedaan mean rataratanya dari hasil percobaan yang telah dilakukan.
kedalaman (depth image) dari suatu obyek menggunakan
Microsoft Kinect, digunakan kombinasi antara IR
projector sebagai transmitter sinar infrared dan IR depth
sensor sebagai penangkap marker titik dari IR projector
seperti ditunjukan Gambar 2.
II. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini melibatkan sepuluh subyek
penelitian yang terdiri dari empat pria dan enam wanita
sehat tanpa kelainan frozen shoulder. Setiap subyek
penelitian mengikuti delapan gerakan latihan dengan
posisi diam berdiri yang diarahkan oleh fisioterapis RSD
dr. Soebandi Jember seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Separuh subyek penelitian melakukan gerakan sendi bahu
bagian kanan tangan dan sisanya melakukan gerakan sendi
bahu untuk posisi bagian kiri tangan. Masing-masing
gerakan diulang sebanyak dua kali sehingga didapatkan 16
pose sendi bahu. Data skeleton untuk setiap pose
didapatkan bersama-sama melalui pengukuran joint
menggunakan Microsoft Kinect dan secara manual
menggunakan goniometer.
Untuk mendapatkan data skeleton membutuhkan dua
tahapan, yaitu pengambilan citra kedalaman dan skeleton
tracking dari citra kedalaman. Untuk mendapatkan citra
Gambar 2 Illustrasi perhitungan kedalaman citra
menggunakan Microsoft Kinect
94
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pada umumnya citra kedalaman akan menghasilkan
perubahan intensitas warna dimana perubahannya sesuai
dengan jarak antara Microsoft Kinect dengan obyek.
Semakin dekat obyek dengan Microsoft Kinect maka akan
berwarna putih atau lebih terang, sedangkan semakin jauh
akan semakin lebih gelap seperti ditunjukkan Gambar 3a.
Untuk menghasilkan tingkat kedalaman citra yang lebih
baik dari Gambar 3a sehingga nantinya akan
mempermudah pengukuran obyek (lebar dan tinggi
obyek) maka dilakukan manipulasi tingkat keabuan piksel
yang merubah dari 16 bit level keabuan menjadi 32 bit
level keabuan seperti ditunjukkan Gambar 3b. Tingkat
kedalaman citra dapat juga ditunjukkan menggunakan
color depth seperti ditunjukkan Gambar 3c.
Gambar 3 Perbaikan tingkat kedalaman citra: (a)
kedalaman citra asli, (b) perbaikan tingkat keabuan, (c)
pemberian color depth pada aras keabuan
diketahui dengan menggunakan hubungan interseksi
antara joint pada bidang plane yang sama (X dan Y). Dari
data skeleton tracking, kita dapat menggambar segitiga
menggunakan dua koordinat joint, dimana dari hal ini bisa
didapatkan panjang dari masing-masing sendi yang
membentuk interseksi. Untuk mendapatkan sudut antar
interseksi joint dapat diterapkan hukum cosinus yang
menyatakan c2 = a2 + b2 – 2 a.b.cos C, dimana C
merupakan sudut yang terletak pada interseksi antara a dan
b. Sudut C dapat diperoleh dengan menggunakan rumus C
= cos-1((a2 + b2 – c2) / 2a.b) seperti ditunjukkan pada
Gambar 5.
Gambar 5 Hukum cosinus untuk mendapatkan sudut
antar sambungan dua sendi
Pada Gambar 6 menunjukkan contoh perhitungan sudut
dari skeleton data pada pose tangan bicep yang terbentuk
dari tiga joint: pergelangan tangan (wrist), siku (elbow),
dan bahu (shoulder). Terdapat dua cara untuk menghitung
joint triangulation. Pertama, menggunakan tiga joint untuk
menyusun tiga poin dari segitiga seperti ditunjukkan
Gambar 6. Sedangkan cara yang kedua hanya
menggunakan dua joint perhitungan untuk mendapatkan
poin yang ketiga. Pemilihan kedua metode tersebut
tergantung dari tingkat kompleksitas pose yang didapat.
Hasil pengukuran Kinect menggunakan teknik interseksi
antar joint ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 4 Hasil skeleton tracking dari pengolahan data
citra kedalaman
Dari data citra kedalaman yang telah diperoleh
kemudian dilakukan konversi menjadi data skeleton
melalui proses skeleton tracking sepeti ditunjukkan
Gambar 4. Tujuan dari tahap ini adalah mendapatkan dan
menggambar skeleton obyek yang diperoleh dari citra
kedalaman ke dalam bidang display Microsoft Kinect.
Setiap obyek skeleton berisi informasi lokasi/posisi dan
joint (sambungan antar sendi) sendi bahu dari skeleton.
Microsoft Kinect dapat mendeteksi 20 joint dimana setiap
joint memiliki koordinat (X, Y, Z). Sudut antar joint dapat
Gambar 6 Perhitungan sudut antara dua joint
95
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
reliabilitas yang baik pada posisi frontal tetapi
reliabilitasnya menurun jika digunakan pengukuran sudut
joint sendi bahu pada posisi sagittal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis
mengucapkan
terima
kasih
kepada
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia atas pendanaan penelitian hibah
bersaing dengan nomor kontrak 394/PL17.4/PL/2016
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Gambar 7 Contoh perhitungan sudut pada pose gerakan
fleksi
III. HASIL PENELITIAN
Hasil pengukuran sudut joint sendi bahu pada posisi
frontal dan sagittal plane dengan menggunakan Microsoft
Kinect ditunjukkan pada Tabel I dimana untuk mengukur
reliabilitas pengukuran dari Microsoft Kinect dihitung
intraclass correlation coefficient (ICC) pada setiap pose
pada Gambar 1 dan hasilnya dibandingkan dengan hasil
pengukuran dengan menggunakan goniometri.
[2]
[3]
[4]
TABEL XI
RELIABILITAS MICROSOFT KINECT UNTUK PENGUKURAN SUDUT JOINT
SENDI BAHU
Pose Gerakan
ICC
Abduksi 90º (frontal)
Rotasi eksternal 0º
(frontal)
Fleksi 90º (frontal)
Fleksi maks (frontal)
Rotasi eksternal 90º
(sagittal)
Rotasi internal 90º
(sagittal)
Fleksi 90º (sagittal)
Fleksi maks (sagittal)
0.76
0.98
Perbedaan Mean
dari Pengukuran
Goniometer
1.4
-2.5
0.85
0.95
0.24
17.8
10.4
5.3
0.79
-2.1
0.84
0.37
6.7
16
Golomb, M. R., McDonald, B. C., Warden, S. J., Yonkman, J.,
Saykin, A. J., Shirley, B., Huber, M., Rabin, B., AbdelBaky, M.,
Nwosu, M. E., Barkat-Masih, M., & Burdea, G. C.(2010). Inhome virtual reality videogame telerehabilitation in adolescents
with hemiplegic cerebral palsy. Archives of physical medicine and
rehabilitation, 91(1), 1-8.
Pompeu, J. E., Arduini, L. A., Botelho, A. R., Fonseca, M. B. F.,
Pompeu, S. A. A., Torriani-Pasin, C., & Deutsch, J. E. (2014).
Feasibility, safety and outcomes of playing Kinect Adventures!™
for people with Parkinson's disease: a pilot study. Physiotherapy,
100(2), 162-168.
Shotton, J., Sharp, T., Kipman, A., Fitzgibbon, A., Finocchio, M.,
Blake, A., & Moore, R. (2013). Real-time human pose recognition
in parts from single depth images. Communications of the ACM,
56(1), 116-124.
Mobini, A., Behzadipour, S., & Saadat Foumani, M. (2014).
Accuracy of Kinect’s skeleton tracking for upper body
rehabilitation applications. Disability and Rehabilitation:
Assistive Technology, 9(4), 344-352.
Dari Tabel I dapat diketahui bahwa reliabilitas
pengukuran sudut bahu pada posisi frontal plane
menggunakan Microsoft Kinect bernilai baik dimana hal
ini ditunjukkan dari nilai ICC yang tinggi. Tetapi
reliabilitas Microsoft Kinect menurun ketika dilakukan
pengukuran fleksi 90º pada posisi frontal dimana
perbedaan mean dengan goniometer begitu tinggi.
Sedangkan pada pengukuran sudut sendi bahu dengan
Micosoft Kinect pada posisi sagittal plane memberikan
hasil yang kurang baik kecuali pada pengukuran fleksi 90º.
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan, pengukuran sudut
joint sendi bahu menggunakan Microsoft Kinect memiliki
96
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan
Penyakit Infeksi Virus Dengue
(Studi Kasus Dinas Kesehatan Kabupaten
Jember)
I Putu Dody Lesmana1, Rinda Nurul Karimah2
1
Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember
Jalan Mastrip 164 Jember 68101
dody_lesmana@polije.ac.id
2
Jurusan Kesehatan, Politeknik Negeri Jember
Jalan Mastrip 164 Jember 68101
rindank6@gmail.com
Abstract
Penyakit Infeksi Virus Dengue (IVD) yang meliputi Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok
Dengue (SSD) berkembang pesat dikabupaten jember.Laporan dari seksi P2 (Pemberantasan Penyakit) DKK Jember, kasus DBD
cenderung berfluktuatif. Angka kesakitan DBD di 49 Puskesmas pada tahun 2015 mencapai36,89 per 100.000 penduduk, dengan
jumlah kematian akibat DBD selama enam tahun terakhir tercatat sebanyak 52 kasus.Kegiatan surveilans IVD DKK Jember
terdapat beberapa kendala, yaitu pelaporan tersangka penderita IVD oleh Masyarakat, FKTP dan FKTL tidak lengkap dan
terlambatkarena kendala faktor aksesibilitas dan pencatatan data masih manual.Hal ini berdampak pada penyelidikan
epidemiologi (PE) terlambat, sehingga penanggulangan terlambat dan memperbesar risiko meluasnya penyebaran IVD. Jenis
penelitian ini adalah mix methoddengan metode perancangan menggunakan FAST (Framework for the Application of Systems
Technique). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah suatu sistem informasi surveilans penanggulangan IVDDKK Jember
yang lengkap, akuratdan realtime.
Keywords— Penyakit Infeksi Virus Dengue (IVD), Demam Berdarah Dengue (DBD), sistem informasi surveilans IVD.
I. PENDAHULUAN
Penyakit Infeksi Virus Dengue (IVD) yang meliputi
Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD)
dan Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang tergolong ArthropodBorne Virus, genus Flavivirus, dan famili Flaviviridae.
Virus Dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk dari
genus Aedes, terutama Aedes Aegypti atau Aedes
Albopictus. Penyakit dengue dapat muncul sepanjang
tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur.
Penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan
perilaku masyarakat.
Salah satu jenis IVD yang berkembang pesat
dikabupaten jember adalah DBD, dimana menurut laporan
dari seksi P2 (Pemberantasan Penyakit) Dinas Kesehatan
Kabupaten (DKK) Jember, kasus DBD cenderung
berfluktuatif dari tahun ke tahun yang dapat diamati pada
Gambar 1. Selama enam tahun terakhir, kasus DBD
cenderung fluktuatif dengan jumlah kasus tertinggi terjadi
pada tahun 2010 yang mencapai 1.494 kasus. Pada tahun
2011, jumlah kasus DBD mengalamai penurunan yang
tajam hanya 77 kasus dan mengalamai naik turun yang
sangat berfluktuatif pada tahun-tahun berikutnya. Wilayah
dengan jumlah kasus tertinggi DBD di Kabupaten Jember
adalah wilayah kerja Puskesmas Sumbersari, Patrang, dan
Lojejer. Angka kesakitan/IR DBD di 49 Puskesmas pada
tahun 2015 sebesar 36,89 per 100.000 penduduk, angka ini
mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun
sebelumnya, dengan jumlah kematian akibat DBD selama
enam tahun tercatat sebanyak 52 kasus kematian.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan di DKK Jember,
kegiatan pelaporan, pengolahan dan penyajian data
surveilans epidemologi IVD yang selama ini dilakukan
masih terdapat kendala, yaitu:Format pelaporan tersangka
IVD dari setiap puskesmas, pustu, polindes, rumah sakit
atau klinik tidak seragam (belum memiliki format baku
pelaporan tersangka IVD), dan data yang didapatkan
97
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
dalam formulir PE kurang lengkap karena hanya meliputi
pemeriksaan jentik dan pencarian penderita baru yang
terbatas hanya di sekitar kasus sehingga informasi yang
dihasilkan tidak lengkap. Pelaporan ditemukannya
tersangka Demam Berdarah oleh Masyarakat, FKTP
(Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Polindes, dan klinik
swasta) maupun FKTL (Rumah Sakit)sering terlambat.
Laporan seharusnya dikirim maksimal dalam 1x24 jam
dari ditemukannya penderita IVD. Hal tersebutdisebabkan
faktor aksesibilitas dan sistempencatatan datamasih
manual. Belum adanya pemisahan penyakit IVD
berdasarkan kriteria klinis diagnosis IVD dimana semua
tanda-tanda IVD yang seharusnya dibagi dalam 3 kategori
yaitu DD, DBD, maupun SSD, sehingga hal ini
menyebabkan data-data menjadi bias.Permasalahan diatas
menyebabkan penyelidikan epidemiologi (PE) IVD
mengalami keterlambatan sehingga penanggulangan IVD
juga jadi terlambat dan hal tersebut memperbesar risiko
meluasnya penyebaran IVD.
menggunakan pendekatan FAST (Framework for the
Application of Systems Technique). Metode kualitatif
digunakan untuk membantu proses identifikasi tiap
tahapan dalam FAST, sedangkan metodekuantitatif
digunakan untuk mengukur kualitas sistem informasi yang
dihasilkan.
B. Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian di laksanakan di Dinas Kesehatan Kabupatan
(DKK) Jember selama 8 bulan yaitu dari bulan Maret 2016
sampai dengan Bulan November 2016 di Politeknik
Negeri Jember dan pelaksanaan survei di Dinas Kesehatan
Kabupatan (DKK) Jember.
C. Unit Analisis
Unit analisis pada penelitian ini terdiri dari 4 orang
responden, yang terdiri dari Kepala Bidang Pengendalian
Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P2KL) Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Jember,
dan
seksi
P2(Pemberantasan Penyakit) Dinas Kesehatan Kabupaten
Jember, Pelaksana program P2 (Pemberantasan Penyakit)
DBD Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, Kepala Seksi
Infolitbangkes Dinas Kesehatan Kabupaten Jember.
D. Alat dan Bahan
Gambar 1 Statistik perkembangan DBD di Kabupaten
Jember Tahun 2010 s.d. 2015 yang meliputi (a) jumlah
kasus DBD, (b) IR DBD, (c) CFR(%) DBD
Berdasarkan
permasalah
yang ada,
peneliti
mengusulkan solusi permasalahan dengan membuat
Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan Infeksi
Virus Dengue di DKK Jember, denganjenis penelitian mix
method (kuantitatif dan kualitatif). Adapun metode
perancangan sistem yang digunakan adalah metode FAST
(Framework for the Application of Systems Technique).
Luaran (Output) pada penelitian ini adalah dihasilkan
sebuat
rancangan
sistem
informasiSurveilans
Penanggulangan IVD online berbasis web yang lengkap,
akurat dan realtimesesuai kebutuhan DKK Jember.
II. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari
lembar observasi, lembar pedoman wawancara, pedoman
FGD dan alat perekam (recorder). Sedangkan bahan yang
diperlukan ada ada dua jenis, yaitu perangkat keras dan
perangkat lunak. Adapun kedua perangkat tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Perangkat Keras
Perangkat Keras yang digunakan dalam penyusunan
tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
a. Processor Intel Core i5 2.3GHz
b. Memori (RAM) 4GB (2x2GB)
c. SSD (Solid State Drive) 120GB
2. Perangkat Lunak
Perangkat lunak yang digunakan dalam penyusunan
tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
a. Sistem Operasi OS X El Capitan 10.11.4 64 bit)
b. Microsoft Office Word 2016 sebagai pengolah data
c. Sybase Power Designer sebagai desain system
d. Sublime Text sebagai tool pengembang aplikasi
e. Xampp yang didalamnya terdapat MySQL,
digunakan untuk membuat dan mengolah database
beserta isinya
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi wawancara, checklist observasi,
Focuss Group Discuss (FGD), dan dokumentasi.
Jenis penelitian ini adalah mix method (kuantitatif dan
kualitatif) dengan metode perancangan sistem
98
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Scope Definition (Definisi Ruang Lingkup)
Scope definition atau definisi ruang lingkup merupakan
tahap awal yang ada pada FAST. Tahap ini juga
merupakan landasan untuk tahapan selanjutnya. Definisi
ruang lingkup meliputi: ruang lingkup proyek, struktur
organisasi, sumber daya yang terlibat, kerangka
permasalahan dengan PIECES. Berikut ini merupakan
hasil analisa permasalahan yang ada pada sistem yang
lama dengan menggunakan kerangka PIECES.
a. Performance (kinerja)
Masalah kinerja pada sistem lama diukur dengan
waktu pelaporan tentang adanya tersangka IVD masih
terbilang cukup lama. Sebagai contoh, pada salah satu
Rumah Sakit (RS) masih dilakukan pengumpulan data
per-ruangan jika ada penderita yang dirawat pada RS
tersebut, hal tersebut mengakibatkan waktu pelaporan
yang seharusnya dilakukan 1x24 jam bisa melebihi
batas idealnya. Bahkan pelaporan IVD ada yang
memakan sampai waktu 7 hari lamanya.
b. Information (informasi)
Informasi yang diberikan oleh sistem yang telah
berjalan saat ini masih kurang begitu relevan
mengingat masalah waktu pelaporan yang terbilang
cukup lama, proses pengolahan data menjadi informasi
masih dilakukan manual dengan menggunakan sebuah
aplikasi pengolah data (spreadsheet), hal tersebut
riskan terjadi kesalahan dikarenakan human error.
Sehingga data-data tersebut belum bisa terorganisir
dengan baik. Selain itu ketidaklengkapan pelaporan
yang diberikan oleh pihak fasilitas kesehatan dan
redudansi data yang terjadi yang diakibatkan oleh
laporan yang yang bersifat by name by address, data
tersebut belum memiliki identitas unik yang menjadi
acuan untuk membedakan data laporan antara satu
dengan lainnya, serta belum adanya pengkategorian
diagnosa terhadap penyakit virus dengue yang diderita
oleh pasien, dimana semua gelaja saat ini masih
dianggap sama, sedangkan virus dengue terbagi
menjadi 3 kategori yang masing-masing memiliki ciriciri tersendiri, hal tersebut bisa membuat data menjadi
bias.
c. Economic (ekonomi)
Dilihat dari sisi ekonomi, sistem yang lama masih
memerlukan kertas untuk melakukan setiap laporan,
belum lagi jika ada berkas yang terselip/hilang akibat
kesalahan human error, hal tersebut tidak baik karena
memiliki sifat pemborosan.
d. Control (control)
Sistem yang lama masih belum memiliki kontrol yang
baik, mengingat adanya pelaporan yang dilakukan oleh
fasilitas kesehatan kepada pihak DKK Jember yang
melibihi batas ideal pelaporan, hal tersebut terjadi
karena sistem belum memiliki punishment yang harus
diberikan kepada fasilitas kesehatan yang belum bisa
mematuhi peraturan yang ada.
e. Efficiency (efisiensi)
Sistem yang berjalan saat ini masih belum bisa
memberikan efisiensi yang efektif dikarenakan sistem
yang berjalan masih bersifat manual maka akan makan
waktu dan biaya yang lebih banyak. Belum lagi
keterbatasan jarak yang harus ditempuh oleh fasilitas
kesehatan untuk menyerahkan laporan kepada Dinas
Kesehatan. Hal tersebut masih merepotkan dan
tentunya waktu pelaporan yang akan menjadi lama.
Pelaporan belum bisa dilakukan kapan saja mengingat
hal tersebut belum bisa diaplikasikan kepada sistem
yang masih bersifat manual.
f. Service (layanan)
Penanggulangan IVD saat ini masih terbilang cukup
lambat dikarenakan sistem yang berjalan saat ini masih
bersifat manual, mulai dari melakukan pelaporan oleh
pihak praktisi dilapangan sampai proses pengolahan
data di DKK Jember yang masih bersifat manual
menggunakan pengolah kata (spreadsheet), sehingga
sistem saat ini belum bisa memberikan layanan yang
memuaskan.
B. Problem Analysis (Analisa Permasalahan)
Pada tahap ini dilakukan observasi dan wawancara
untuk mengetahui masalah, peluang dan arahan luang
lingkup serta kelayakan sistem/proyek.Yang dimaksud
sistem/proyek dalam penelitian ini adalah Sistem
Informasi Surveilans Epidemiologi Penanggulangan
Penyakit Infeksi Virus Dengue studi kasus Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember.
Untuk menggali masalah yang terjadi dilakukan
wawancara kepada responden yang bersangkutan. Berikut
pernyataannya:
“Kami memang membutuhkan waktu lebih lama untuk
membuat laporan karena beberapa pekerjaan kami
lakukan secara manual, disamping data dari rujukan
sering
tidak
lengkap“ .........................................................................
(R4)
“Keterlambatan pelaporan itu yang masih, dikarenakan
keterbatasan waktu dan informasi yang masih dilakukan
secara manual” ................................................ (R1, R2,
R4)
“Data pelaporan yang belum realtime, seharusnya
realtime
karena
terkait
pelaporan
secara
harian” ..........................................................................
(R3)
Arahan dapat dilihat dari wawancara dengan dengan
responden 1, responden 2, responden 3, dan responden 4
yang menyambut baik untuk mengembangkan sistem
99
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
informasi surveilans epidemiologi penanggulangan
penyakit IVD. Adapun pernyataan bisa dilihat sebagai
berikut:
“Kami sangat mendukung sekali adanya program
tersebut, harapan kami nantinya bisa membantu kerja
kami, dan yang jelas program ini bisa lebih tajam dan
efisien”……………………........................ (R1, R2, R3,
R4)
Adapun terkait permasalah lambatnya pelaporan
diperoleh dari hasil wawancara berikut:
“Masalah keakuratannya yakin, cuman masalahnya
diketerlambatannya itu yang belum bisa, karena idealnya
kan 1x24 jam, harapannya bisa kurang dari 1x24 jam
laporan
sudah
ada”................................................................... (R1, R2,
R4)
Setelah penyebab masalah dapat diidentifikasi,
selanjutnya harus diidentifikasi titik keputusan penyebab
masalah yang ditunjukkan Tabel I.
TABEL XII
IDENTIFIKASI TITIK KEPUTUSAN PENYEBAB MASALAH
No
1
Penyebab
Masalah
Keakuratan
2
Kecepatan
3
Kelengkapan
4
Aksesibilitas
Titik Keputusan Penyebab
Terjadinya Masalah
Proses pengolahan data penyakit
IVD
Proses pengolahan data penyakit
IVD
Proses pengolahan data penyakit
IVD,
Proses
pengolahan
kelengkapan identitas pasien
Proses penyimpanan data dan
informasi
Dari Tabel I dapat disimpulkan bahwa titik keputusan
yang menjadi penyebab permasalahan adalah pada proses
kelengkapan identitas pasien, proses pengolahan data
penyakit serta proses penyimpanan data dan informasi.
c. Sistem informasi yang dihasilkan harus dapat
menghasilkan laporan: mingguan (W2), bulanan (KDBD), dan tahunan.
d. Sistem informasi yang dihasilkan harus dapat
membantu serta meringankan beban kerja pada pihakpihak terkait.
e. Sistem informasi yang dihasilkan harus dapat
memudahkan pengguna untuk mengakses kembali
data dan informasi
f. Sistem informasi yang dihasilkan harus mudah
dioperasikan dan mudah digunakan
D. Logical Design (Desain Logis)
Pada tahapan ini akan dibahas tentang desain logis
untuk sistem informasi yang baru. Desain logis yang
dimaksud adalah Entity Relationship Diagram (ERD),
dimana ERD dibagi menjadi dua macam, yaitu
Conceptual Data Model (CDM) dan Physical Data Model
(PDM). Namun karena PDM merupakah desain model
secara fisik, maka PDM akan dibahas pada bagian desain
fisik (Physical Design).
Pada Gambar 2 terdapat 9 entitas yang saling berelasi,
setiap detail dari petugas maupun pasien seperti nama,
tanggal lahir, jenis kelamin dan sebagainya yang
menyangkut attribut pribadi akan disimpan pada tabel
user, sedangkan perbedaan antara tabel pasien dan tabel
petugas adalah ID nya, dan petugas juga memiliki
username dan password untuk dapat mengakses aplikasi
Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan IVD. Untuk
membatasi wilayah kerja untuk DKK Jember, sudah
dipersiapkan tabel kecamatan, jadi kecamatan mana saja
yang terkover wilayah kerja dari DKK Jember. Tabel UPK
menyimpan setiap nama dari Unit Pelayanan Kesehatan
baik dari Puskesmas sampai Rumah Sakit.
Untuk detail perawatan si pasien akan disimpan ditabel
rawat, mulai dari kapan dia sakit, tanggal pelaporan, nilai
trombosit dan hematokritnya sampai bagaimana keadaan
pulang dari si pasien.
C. Requirement Analysis (Analisa Kebutuhan)
Pada tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenisjenis informasi yang dibutuhkan oleh user dalam hal ini
adalah Kabid.P2KL, seksi P2, seksi Infolitbangkes dan
Pelaksana Program P2.Untuk dapat mengetahui dan
menyediakan informasi yang benar-benar dibutuhkan
dalam Sistem Informasi Surveilans IVD melalui
observasi, wawancara dan diskusi dengan para responden
yang terkait. Adapun kebutuhan yang dapat diidentifikasi
adalah sebagai berikut:
a. Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan Penyakit
IVD dapat memperbaiki manajemen data dalam hal
data yang cepat dan akurat.
b. Dapat memberikan aksesibilitas yang mudah dan
terjangkau untuk mempermudah dalam hal pelaporan.
Gambar 2 ERD sistem informasi surveilans IVD
100
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
E. Decision Analysis (Analisis Keputusan)
Terdapat beberapa solusi alternatif yang akan dipilih
untuk memenuhi kebutuhan sistem baru, dimana tujuan
dari tahapan ini adalah mengidentifikasi kandidat solusi
sesuai kelayakannya dari sisi teknis, operasional dan
ekonomis unutk direkomendasikan sebagai kandidat
sistem yang akan digunakan.
Adapun alternatif pemilihan solusi yang ada pada
sistem informasi Surveilans Penanggulangan IVD, yaitu
dengan mengembangkan sendiri aplikasi program untuk
sistem yang baru. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan
peneliti bahwa aplikasi yang tersedia di pasaran belum
tentu sesuai dan harus dievaluasi terlebih dahulu apakah
aplikasi tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan pengguna
(user) di DKK Jember.
Sistem operasi yang dipilih pada penelitian ini adalah
Windows dengan pertimbangan program aplikasi yang
akan dibuat adalah lebih banyak ditampilkan secara grafis
yang sangat sesuai dengan tampilan di Windows dengan
dukungan database yang menggunakan MySql dengan
bahasa pemrograman (script) menggunakan PHP karena
berbasis website online sesuai dengan perminataan dari
responden 3 dalam pernyataannya. Disamping itu pada
saat
penelitian dilakukan, DKK Jember sudah
menggunakan sistem operasi Windows, sehingga SDM
sudah terbiasa menggunakan sistem operasi tersebut.
Sesuai dengan hasil wawancara sebagai berikut:
“support kita di MySql lalu berbasis web pakai
php” ………………………….......................................
(R3)
Pengembangan sistem informasi ini telah dirancang
untuk multi user dengan menggunakan jaringan,
disamping itu merupakan percontohan sehingga di DKK
lain belum tentu terdapat sistem ini. Meskipun demikian
dalam sistem ini sudah dipersiapkan fasilitas pengolahan
data IVD yang bisa import data dari file excel dengan
format yang telah disesuaikan dengan data base sehingga
dapat digabungkan kedalam sistem yang baru. Untuk
memudahkan pelaporan dan analisis, sistem juga akan
dilengkapi dengan fasilitas kirim dan merger laporan
dalam bentuk file berekstensi xls dan csv.
Beberapa tools yang dapat digunakan untuk
membangun Sistem Informasi Surveilans Penanggulangan
IVD, antara lain: Adobe Dreamweaver, Sublime Text,
Atom dan EditPlus. Pada penelitian ini, tools yang
digunakan adalah Sublime Text, dan tools untuk database
terdapat beberapa alternatif, antara lain: MySql,
PostgreSQL dan OpenOffice Base/LibreOffice Base. Pada
penelitian ini dipilih tools MySql sesuai dari responden 3
dengan skrip PHP.
F. Physical Design (Desain Fisik)
Pada tahapan ini dilakukan perubahan dari proses
logical desain yang merepresentasikan kebutuhan bisnis
kedalam desain fisik yang dibutuhkan untuk membangun
sistem.
Data Flow Diagram (DFD) digunakan untuk
mengetahui aliran data yang terjadi didalam sistem. Pada
Gambar 3 menunjukkan DFD lv 0 dari sistem. Pada DFD
tersebut terdapat 8 entity, yaitu DKK Jember, Dinkes
Pemprov, Dinkes Pusat, Petugas PE, Puskesmas, RS
Umum, RS Swasta, Masyarakat/Poli Pembantu. Tapi pada
DFD lv 0 ini belum bisa menunjukkan aliran data
sepenuhnya dari sistem, sehingga akan dijelaskan pada
Gambar 4. DFD level 1 Sistem Informasi Surveilans
Penanggulangan Penyakit Infeksi Virus Dengue yang
terbagi dalam beberapa bagian.
Gambar 3 Context Diagram
Gambar 4 DFD level 1 sistem informasi surveilans IVD
101
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Gambar 4 menunjukkan DFD level 1, dimana dalam
DFD tersebut proses terbagi 3, yaitu Proses Pengolahan
Data, Proses Pembuatan Laporan, dan Proses Pembuatan
Tabel dan Grafik, serta sudah tercantum tabel-tabel yang
akan digunakan dalam sistem informasi. Untuk aliran data
inputan seperti pemasukan data pasien, data diagnosa,
serta data pelaporan IVD yang dilakukan oleh masyarakat
akan di proses pada proses pengolahan data, serta inputan
data kecamatan, data petugas, data UPK, data penyakit,
data detail penyakit, data jabatan dan data agama, serta
umpan balik dari Dinkes Pemprov dan Dinkes Pusat akan
masuk pada proses pengolahan data, sedangkan proses
pembuatan laporan berfungsi untuk mengolah data
inputan untuk dijadikan laporan yang nantinya akan
disampaikan kepada DKK Jember, Dinkes Pemprov, dan
Dinkes Pusat,sebelum data tersebut dijadikan sebuah
laporan, data tersebut diolah menjadi tabel dan grafik oleh
proses pembuatan tabel dan grafik.
dan antarmuka akan mulai dibangun pada tahap ini.
Setelah dilakukan uji coba terhadap keseluruhan sistem,
maka sistem siap untuk diimplementasikan.
Pada Gambar 6 menunjukkan tampilan antarmuka
halaman depan dari aplikasi surveilance penanggulangan
IVD DKK Jember dengan logo Pemerintah Kabupaten
Jember. Tampilan selanjutnya adalah menu daftar petugas,
yang terdiri dari inputan data admin. Nampak pada gambar
7.
Tampilan antarmuka halaman user pada gambar 8
menunjukkan pengguna (user) dalam hal ini adalah
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang terdiri
dari petugas surveilance IVD di puskesmas dan klinik
swasta di wilayah kerja DKK Jember. Sedangkan user di
Fasilitas Pelayanan Tingkat Lanjut (FKTL) terdiri dari
petugas surveilance IVD di rumah sakit baik negeri
maupun swasta yang berada di wilayah kerja DKK
Jember.
Gambar 6 Tampilan antarmuka halaman depan (home)
Gambar 5 DFD level 2 sistem informasi surveilans IVD
Gambar 5 lebih memperjelas lagi aliran data yang
terjadi pada proses pengolaha data, dimana aliran data
tersebut lebih diperjelas akan masuk pada tabel mana saja,
seperti data kecamatan akan masuk pada tabel kecamatan,
dan data dari tabel kecamatan akan dipanggil untuk
digunakan dalam penginputan data pasien yang termasuk
dalam alamat pasien.
Gambar 7 Tampilan antarmuka halaman admin
G. Construction (Pembuatan Perangkat Lunak)
Setelah membuat physical design, maka akan dimulai
untuk mengkonstruksi dan melakukan tahap uji coba
terhadap sistem yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan
bisnis dan spesifikasi desain. Basis data, program aplikasi,
102
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
Gambar 8 Tampilan antarmuka halaman pengguna
(FKTP dan FKTL)
H. Installation and Delivery (Pemasangan Perangkat
[10]
[11]
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. 2015.Profil Kesehatan
Kabupaten Jember Tahun 2015. Jember, Indonesia: Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Buletin Jendela
Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia: Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi.
Bardadi, A., dkk. (2010). Pengembangan Sistem Informasi
Manajemen Perkuliahan Pada Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Sriwijawa. Di akses dari http://ejournal.unsri.ac.id/
index.php/jsi/article/download/719/261
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil
Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2012. Jakarta
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan
R&D. Bandung.
Sutedjo, B. 2006. Perencanaan dan Pembangunan Sistem
Informasi. Yogyakarta.
Lunak dan Proses Serah Terima)
Pada tahap ini akan dioperasikan sistem yang telah
dibangun. Tahapan ini akan dimulai dengan men-deploy
perangkat lunak hingga memberikan pelatihan kepada
user mengenai penggunaan sistem yang telah dibangun.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat
diperoleh kesimpulan yaitu hasil perancangan sistem
informasi pelaporan surveillance penyakit IVD DKK
Jember secara keseluruhan dapat dikatakan berhasil
karena telah sesuai dengan kebutuhan sistem pelaporan
yang dibutuhkan oleh P2M DKK Jember terkait
permasalahan pada kegiatan pelaporan dan pengolahan
informasi untuk pengendaliah DBD terutama dari segi
kualitas sitem informasi meliputi kelengkapan, kecepatan,
keakuratan dan aksesibilitas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis
mengucapkan
terima
kasih
kepada
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia atas pendanaan penelitian hibah
bersaing dengan nomor kontrak 374/PL17.4/PL/2016.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
Sitepu, F. Y., dkk. 2012. Evaluasi Dan Implementasi Sistem
Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota
Singkawang,
Kalimantan
Barat.
Diakses
dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/blb/article/view/32
59/3255.
Andy, R. N., dkk. 2010. Perancangan Sistem Informasi Demam
Berdarah Dengue di Dinas Kesehatan Kota Surakarta. Diakses
dari https://core.ac.uk/download/pdf/12349082.pdf
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. 2013.Data Kasus Demam
Berdarah Dengue Tahun 2009-2012. Jember, Indonesia: Dinas
Kesehatan Jember
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. 2014.Profil Kesehatan
Kabupaten Jember Tahun 2014. Jember, Indonesia: Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember
103
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN
KOMPETITIF
GULA TEBU BESUKI RAYA:
SEBUAH PENGEMBANGAN ANALISIS
KEBIJAKAN
Dr. Ir. Bagus Putu Yudhia Kurniawan, MP
Politeknik Negeri Jember
Jurusan Manajemen Agribisnis
Abstrak
Gula merupakan salah satu komoditas pangan strategis dalam perekonomian Indonesia. Permintaan gula nasional
dan masuknya gula impor yang semakin meningkat, hal ini menandakan terjadinya tingkat persaingan yang ketat dalam
merebut pangsa pasar di dalam negeri. Untuk dapat berkembang dari tingkat persaingan di dalam industri ini, maka diperlukan
sebuah penelitian empirik yang dapat memberikan gambaran tentang daya saing gula tebu. Penelitian dilakukan dengan
mengambil lokasi di seluruh pabrik gula di Besuki Raya. Teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui daya saing gula
tebu Besuki Raya adalah Policy Analysis Matrix (PAM) dan ditentukan prioritas strateginya dengan menggunakan Analytical
Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa gula tebu Besuki Raya memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif. Prioritas strategi pertama peningkatan daya saing gula tebu Besuki Raya adalah strategi SO, yaitu memanfaatkan
gula tebu sebagai komoditas strategis, kesesuaian lahan, sumberdaya manusia dan pengalaman untuk memaksimalkan pasar
domestik dengan dukungan pemerintah.
Kata kunci : Keunggulan Komparatif, Keunggulan Kompetitif, Gula Tebu Besuki Raya
BAB 1. PENDAHULUAN
Industri gula nasional hingga saat ini masih
menarik untuk dikaji, mengingat gula merupakan salah
satu komoditas pangan strategis dalam perekonomian
Indonesia (UU No. 7 Tahun 1996 dan Keputusan Presiden
RI No. 57 Tahun 2004). Populasi penduduk yang
mencapai 250 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,25% per
tahun, menjadikan total konsumsi gula dalam negeri terus
meningkat dari 5,35 juta ton pada tahun 2012 menjadi
6,00 juta ton pada triwulan kedua tahun 2014, dan terus
meningkat mencapai hampir 7,00 juta ton pada awal tahun
2015. Sementara itu, produksi gula dalam negeri hingga
pertengahan tahun 2014 hanya mampu memenuhi sekitar
2,9 juta ton atau 48,3%, sedangkan lebihnya (51,2%)
dipenuhi dari gula impor. Impor gula tahun 2012 mencapai
2,53 juta ton, meningkat menjadi 2,7 juta ton pada tahun
2013, dan diperkirakan mencapai 3,7 juta ton pada tahun
2020.
Pemerintah,
dalam
upaya
mengurangi
ketergantungan terhadap gula impor, mencanangkan
program Swasembada Gula 2009-2014 dengan
menetapkan target sebesar 5,7 juta ton pada tahun 2014 akan tetapi karena alasan teknis, pada September 2012
Kementerian Pertanian terpaksa merevisi target
Swasembada Gula menjadi hanya 3,1 juta ton. Hal ini
menunjukkan bahwa pabrik gula yang ada sekarang tidak
mungkin lagi dapat memenuhi kebutuhan gula nasional
yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Sujianto, R.,
2012 dalam Nur, M., 2013, Pembangunan Gula Nasional
Berbasis Pendekatan Local Culture di Indonesia, artikel
dimuat
dalam
http://rakaraki.blogspot.com/2013/01/karya-tulis-gulanasional.html)
Pemerintah melalui PMPSLP PPSUB juga
menunjuk Jawa Timur untuk dapat menutup pasokan gula
nasional serta diharapkan mampu mengurangi
kesenjangan antara kebutuhan dan produksi gula domestik
karena memiliki kontribusi terbesar (49,6%) dalam
produksi gula nasional - di Jawa Timur berdiri 31 pabrik
gula dengan total kapasitas 90.430 TCD dengan produksi
104
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
gula mencapai 1 juta ton per tahun atau masih surplus
sekitar 550 ribu ton per tahun. Besuki Raya, yang
mencakup Banyuwangi, Jember, Bondowoso, dan
Situbondo mampu menyumbang sekitar 9,2% dari total
produksi tebu Jawa Timur dengan luasan area 22,09 ribu
hektar (Biro Pusat Statistik, 2015). Kesenjangan antara
kemampuan produksi (produktivitas) yang rendah dan inefisiensi pabrik gula masih menjadi persoalan utama yang
dihadapi industri gula nasional (Zaini, 2008:pp.1-9;
Hakim, 2010:pp.5-12; Saptana et al., 2004; Asmarantaka,
2011; Marta, 2011: pp.71-88).
Permintaan gula yang dipastikan terus meningkat
dan masuknya gula impor yang juga semakin meningkat,
hal ini menandakan terjadinya tingkat persaingan yang
ketat dalam merebut pangsa pasar di dalam negeri. Untuk
dapat berkembang dari tingkat persaingan di dalam
industri ini, maka diperlukan sebuah penelitian empirik
yang dapat memberikan gambaran tentang daya saing dan
strategi peningkatan daya saing gula tebu yang dihasilkan
pabrik gula di Besuki Raya (selanjutnya disebut gula tebu
Besuki Raya).
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Konsep daya saing berpijak dari konsep
keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh David
Ricardo sekitar abad ke-18 (tahun 1823), yang selanjutnya
dikenal dengan model Ricardian Ricardo atau The Law of
Comparative Advantages. Keunggulan komparatif yang
dikembangkan oleh Ricardo menjelaskan efisiensi alokasi
sumberdaya di suatu negara dalam sistem ekonomi yang
terbuka (Warr dalam Saptana et al, 2006). Teori
keunggulan komparatif Ricardo ini kemudian
disempurnakan
oleh
Haberler
(1936),
yang
mengemukakan konsep keunggulan komparatif yang
berdasarkan pada opportunity cost theory. Teori
keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori
Heckscher Ohlin tentang pola perdagangan, yang
menekankan pada perbedaan bawaan faktor produksi antar
negara sebagai determinasi perdagangan yang paling
penting - secara tidak langsung faktor produksi yang
melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka
diimpor (Ohlin,1933: 92 dalam Lindert dan Kindleberger,
1993 dalam Saptana et al., 2006).
Daya saing ditentukan oleh keunggulan bersaing
suatu perusahaan (Simatupang, 1991; Sudaryanto dan
Simatupang, 1993) dan sangat bergantung pada tingkat
sumber daya relatif yang dimilikinya. Porter (2001:12-14),
menjelaskan pentingnya daya saing, yaitu: (1) mendorong
produktivitas dan meningkatkan kemampuan mandiri; (2)
meningkatkan kapasitas ekonomi, baik dalam konteks
regional ekonomi maupun kuantitas pelaku ekonomi; dan
(3) kepercayaan bahwa mekanisme pasar lebih
menciptakan efisiensi
Daya saing menjadi penting untuk dikaji di
berbagai tingkat dengan mengembangkan model yang
komprehensif serta mampu mengukur daya saing tersebut
(Ambastha and Momaya, 2004; Cetindamar and
Kilitcioglu, 2013 ). Banyak penelitian dilakukan untuk
menganalisis daya saing di tingkat negara, namun ada
beberapa penelitian yang fokus di tingkat industri dan
perusahaan dengan membangun strategi agar mampu
berdaya saing secara global (Oral, 1993; Offstein et al.,
2007).
Salah satu model yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi analisis keuntungan (privat dan sosial),
analisis daya saing (keunggulan komparatif dan
kompetitif), dan analisis dampak kebijakan adalah Policy
Analysis Matrix (PAM) (Monke dan Pearson, 1989:1019), yang diperkenalkan pertama kali oleh Monke dan
Pearson pada tahun 1989. Tujuan dari analisis PAM, yaitu
menghitung tingkat keuntungan privat sebuah ukuran daya
saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual,
menghitung tingkat keuntungan sosial usahatani yang
dihasilkan dengan menilai social opportunity cost, dan
menghitung transfer effect, sebagai dampak dari sebuah
kebijakan (Monke dan Pearson, 1989:10-19). Beberapa
kajian analisis daya saing produk agribisnis/agroindustri
dengan menggunakan PAM pernah dilakukan oleh
Haryono et al., (2011), Neptune (2006), Gerungan et al.,
(2013), Ratna et al., (2013), Emelda dan Mappigau (2014).
Prioritas strategi didasarkan pada hasil analisis
Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan
strategi terbaik dalam meningkatkan daya saing suatu
produk. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu
persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan
dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang sistematis
dan tertata dalam suatu hirarki.
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya
saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) dan strategi
peningkatan daya saing gula tebu Besuki Raya.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan gambaran tentang daya saing dan strategi
peningkatan daya saing gula tebu Besuki Raya yang
dapat digunakan untuk menghasilkan program
prioritas dan rencana aksi untuk pengembangan
industrinya.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi manajemen
agroindustri gula tebu dalam upaya meningkatkan
produktivitas dan daya saingnya.
3. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah
dalam merumuskan kebijakan pengembangan
agroindustri gula tebu.
4. Menyediakan tambahan informasi yang bermanfaat,
khususnya bagi yang berminat untuk melakukan riset
lebih lanjut berkenaan dengan industri pergulaan
nasional.
105
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
BAB 4. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian
survei dan merupakan gabungan antara penelitian
eksploratif, eksplanatori, dan deskriptif.
Penelitian
dilakukan dengan mengambil lokasi di seluruh pabrik gula
(PG) di Besuki Raya yang berjumlah 11 perusahaan.
Penelitian dilakukan selama 2 (dua) tahun. Penelitian
tahun ke-1 dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan
Desember 2016. Penelitian tahun ke-2 dilaksanakan mulai
bulan Maret sampai dengan Desember 2017.
Penelitian ini menggunakan metode sensus atau
complete enumeration, yaitu dilakukan terhadap seluruh
anggota atau elemen populasi pabrik gula di Besuki Raya
yang berjumlah 11 perusahaan. Pengumpulan data primer
dilakukan melalui wawancara dengan manajemen pabrik
gula di Besuki Raya dengan menggunakan kuesioner yang
telah valid dan reliabel. Data sekunder bersumber dari data
dan/atau informasi yang dimiliki instansi terkait serta buku
literatur, jurnal atau berbagai macam bentuk terbitan
sebagaimana tertera dalam Daftar Pustaka.
Teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui
daya saing gula tebu Besuki Raya adalah Policy Analysis
Matrix (PAM) (Monke dan Pearson, 1989:10-19) dan
ditentukan prioritas strateginya dengan menggunakan
Analytical Hierarchy Process (AHP).
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Analisis Daya Saing Gula Tebu Besuki Raya
Daya saing gula tebu Besuki Raya dapat dilihat dari
dua indikator, yaitu keunggulan komparatif dan kompetitif
produk tersebut. Hasil analisis PAM gula tebu Besuki
Raya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1.
Policy Analysis Matrix (PAM) Gula Tebu Besuki Raya
(Rp/Ha)
Costs
Revenue
Domesti
Profits
Tradabl
s
c
e Inputs
Factors
Private
57.190.5 6.581.3 44.600.4 6.008.7
Prices
23
54
51
18
Social
49.635.4 6.650.3 38.100.7 4.884.2
Prices
30
81
56
93
Divergenc 7.555.09
6.499.69 1.124.4
-69.027
es
3
5
25
DRC
0,886
PCR
0,881
Tabel 1 menunjukkan bahwa tradable inputs gula
tebu Besuki Raya adalah sebesar Rp. 6.581.354,- per
hektar. Besarnya tradable inputs ini tertutupi dengan
tingginya profits yang mencapai Rp. 6.008.718,- per
hektar, sementara revenues mencapai Rp. 57.190.523,- per
hektar.
Divergences positif sebesar Rp.7.555.093,- per
hektar terjadi karena social prices gula tebu lebih rendah
dari private prices - harga yang diterima petani. Hal ini
terjadi karena social prices gula tebu dihitung berdasarkan
harga gula impor yang lebih rendah dibandingkan harga
gula lokal. Divergences negatif sebesar Rp.-69.027,- per
hektar terjadi karena social prices gula tebu, seperti pupuk
lebih tinggi dibandingkan private prices - harga yang
diterima petani. Meskipun tradable inputs berupa
pestisida memiliki social prices lebih rendah dari private
prices-nya, namun secara keseluruhan social prices tradable inputs lebih besar dari private prices-nya. Hal ini
mengindikasikan adanya kebijakan pemerintah atau
distorsi pasar yang mengakibatkan social prices - tradable
inputs lebih tinggi dibandingkan private price-nya, seperti
adanya subsidi pupuk, tarif impor, dan pajak pertambahan
nilai.
Divergences positif sebesar Rp. 6.499.695,- per
hektar terjadi karena social prices - domestic factors lebih
rendah dibandingkan private prices-nya. Hal ini
menandakan, bahwa petani tebu harus mengeluarkan
biaya lebih atas domestic factors dibandingkan dengan
biaya sosial domestic factors yang bersangkutan. Hal
tersebut diduga terjadi karena adanya kebijakan
pemerintah atau kegagalan pasar pada penggunaan
domestic factors untuk pupuk yang digunakan petani tebu.
Selain itu penyebab divergences positif pada costs domestic factors juga diakibatkan oleh pembayaran upah
yang lebih tinggi dari social prices-nya. Hal ini karena
tenaga kerja, baik tenaga kerja penanaman, pemeliharaan,
dan panen yang digunakan dalam usahatani tebu
merupakan tenaga kerja tidak tetap dan berpendidikan
formal rendah sehingga private prices-nya lebih tinggi
dibandingkan social prices. Divergences positif sebesar
Rp.1.124.425,- per hektar terjadi karena profits - private
prices (keuntungan finansial yang diterima petani) lebih
besar dibandingkan sosial prices - keuntungan sosialnya.
Hal ini merupakan akumulasi dari divergences effect harga
outputs dan biaya inputs, baik tradable inputs maupun
non-tradable inputs (domestic factors).
Gula tebu Besuki Raya memiliki keunggulan
komparatif. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien Domestic
Resource Cost (DRC) sebesar 0,886 (lebih kecil dari 1,00).
Berdasarkan hasil analisis ini diketahui faktor pendukung
lokal berupa sumberdaya seperti tenaga kerja, lahan, dan
sarana produksi mampu memberi penghematan biaya
sebesar 11,4% dibandingkan jika diusahakan di luar
negeri. Koefisien DRC sebesar 0,886 atau 88,6% akan
memberikan keuntungan ekonomi sebesar 11,4% dari total
biaya.
Gula tebu Besuki Raya juga memiliki keunggulan
kompetitif. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien Private
Cost Ratio (PCR) sebesar 0,881 (lebih kecil dari 1,00).
106
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Koefisien PCR sebesar 0.881 atau 88,1%, menunjukkan
bahwa gula tebu Besuki Raya memiliki kemampuan
bersaing sebesar 11,9%, atau dengan kata lain biaya
produksi gula tebu dalam negeri per kilogram lebih murah
11,9% dibanding jika di produksi di luar negeri.
Prioritas Strategi Peningkatan Daya Saing Gula Tebu
Besuki Raya
Prioritas strategi didasarkan pada hasil analisis
dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process
(AHP) untuk menentukan strategi terbaik dalam
meningkatkan daya saing suatu produk. Berdasarkan
analisis matrik TOWS, diperoleh lima alternatif strategi,
yaitu: (1) strategi SO: memanfaatkan gula tebu sebagai
komoditas strategis, kesesuaian lahan, sumberdaya
manusia dan pengalaman untuk memaksimalkan pasar
domestik dengan dukungan pemerintah; (2) strategi WO1:
memanfaatkan pasar untuk menghasilkan produk
sampingan dengan memaksimalkan sarana dan
keberadaan pabrik gula; (3) strategi WO2: meningkatkan
harga jual dengan memperbaiki kualitas lahan, kualitas
produk (SNI), biaya produksi dan produk sampingan; (4)
strategi ST: melakukan pengembangan riset dan teknologi
dan memanfaatkan pengalaman untuk memproduksi jenis
gula alternatif; dan (5) strategi WT: melakukan kerjasama
antar pabrik gula untuk memproduksi jenis gula alternatif
sehingga bisa menghambat laju gula rafinasi impor.
Hasil analisis AHP menghasilkan prioritas strategi
seperti ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1.
Prioritas Strategi Peningkatan Daya Saing Gula Tebu
Besuki Raya
Gambar 1 menunjukkan prioritas strategi
peningkatan daya saing gula tebu Besuki Raya. Prioritas
strategi pertama dengan bobot 0,326 adalah strategi SO,
prioritas strategi kedua dengan bobot 0,320 adalah strategi
WT, prioritas strategi ketiga dengan bobot 0,166 adalah
strategi ST, prioritas strategi keempat dengan bobot 0,100
adalah strategi WO1, dan prioritas strategi kelima dengan
bobot 0.089 adalah WO2
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Gula tebu Besuki Raya memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif. Hal ini ditunjukkan oleh
koefisien DRC (0,886) dan PCR (0,881
) lebih kecil
dari 1,00. Prioritas strategi pertama peningkatan daya
saing gula tebu Besuki Raya adalah strategi SO,
dilanjutkan dengan strategi WT sebagai prioritas strategi
kedua, strategi ST sebagai prioritas strategi ketiga, strategi
WO1 sebagai prioritas strategi keempat, dan strategi WO2
sebagai prioritas strategi kelima.
Saran
1. Perlu dilakukan kajian dengan ruang lingkup
penelitian yang lebih luas sehingga hasil penelitian
dapat digunakan sebagai dasar generalisasi.
2. Perlu penelitian lebih lanjut pada setiap alternatif
strategi yang ditemukan untuk memberikan strategi
terbaik dalam peningkatan daya saing gula tebu Besuki
Raya.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS Jatim] Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2015. Luas
Area Perkebunan Tebu berdasarkan Kabupaten di
Jawa Timut. Surabaya: BPS.
Afuah, Allan. 2009. Strategic Innovation: New game
strategies for competitiveadvantage. New York
(NY): Routledge.
Ambastha, Ajitabh and Momaya. 2004. Competitiveness
of Firms: Review of Theory, Frameworks, and
Models. Singapore Management Review, Vol. 26
No. 1. pp: 45-61
Anggrianto, Indri Parwati, dan Sidharta. 2013. Penerapan
Metode SWOT dan BCG Guna Menentukan Strategi
Penjualan. Jurnal REKAVASI. Vol.1 No.1. pp: 52-61
ISSN: 2338-7750.
Asmarantaka, Ratna Winandi. 2011. Usahatani Tebu dan
Daya Saing Industri Gula Indonesia. Prosiding
Seminar Penelitian Unggulan.
Departemen
Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor. pp: 159-178
Cetindamar, Dilek and Hakan Kilitcioglu. 2013.
Measuring the Competitiveness of a Firm for an
Award System. Competitiveness Review: An
International Business Journal. Vol. 23 No. 1., 2013.
pp. 7-22 © Emerald Group Publishing Limited.
Dewan Gula Indonesia. 2011. Konsumsi Produksi, dan
Pemenuhan Gula Dalam Negeri Indonesia
Tahun1990-2009. Jakarta: DGI
Emelda, Andi, Laode Asrul and Palmarudi Mappigau.
2014. An Analysis of Competitiveness and
Government Policies Impact on Development of
Cocoa Farming in Indonesia. Asian Journal of
Agriculture and Rural Development, 4(1). pp: 30-35.
Gerungan, Caroline B.D Pakasi, Joachim N.K Dumais,
Lorraine W.Th. Sondak. 2013. Analisis Keunggulan
Komparatif dan Kompetitif Komoditas Biji Pala di
Minahasa Utara. ejournal.unsrat.ac.id. pp: 1-15.
Hakim, Memet. 2010. Potensi Sumber Daya Lahan Untuk
Tanaman Tebu di Indonesia. Jurnal Agrikultura
2010. pp: 5-12.
Haryono, Dede., Soetriono, Rudi Hartadi, dan Joni Murti
Mulyo Aji. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak
107
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Kebijakan Pemerintah terhadap Produksi Kakao di
Jawa Timur. J-SEP Vol. 5. No.2 Juli 2011. pp: 7282.
Hill, Charles W. L. and Gareth R. Jones. 2009. Essentials
of Strategic Management. Second Edition. Canada:
South-Western, Cengage Learning.
Lukito, Rieke Kurniasari dan Ronny H.Mustamu. 2013.
Analisis Strategi Bersaing pada Distributor Gula di
Indonesia. AGORA. Vol. 1. No. 1.
Marta, Silvi. 2011. Analisis Efisiensi Industri Gula di
Indonesia dengan Metode Data Envelopment
Analysis (DEA) Tahun 2001-2010. Media Ekonomi.
Vol. 19 No. 1. pp: 71-88.
Monke, Eric A dan Scott R Pearson. 1989. The Policy
Analisys Matrix for Agricultural Development.
Cornel University Press.
Nayantakaningtyas, Jauhar Samudera dan Heny K.
Daryanto. 2012. Daya Saing dan Strategi
Pengembangan Minyak Sawit di Indonesia. Jurnal
Manajemen & Agribisnis, Vol. 9 No. 3. pp: 194-201.
Neptune, Lueandra and Jacque, Andrew. 2006.
Competitiveness of Cocoa Production Systems in
Trinidad and Tobago. CAES 26th West Indies
Agricultural Economic Conference, Puerto Rico.
July 2006. pp. 50-58.
Nur, M., 2013, Pembangunan Gula Nasional Berbasis
Pendekatan Local Culture di Indonesia, artikel
dimuat
dalam
http://rakaraki.blogspot.com/2013/01/karya-tulisgula-nasional.html
Offstein, E., Harrell-Cook, G. and Tootoonchi, A. 2007.
Executive Discretion as a Driver of Firm
Competitiveness. Advances in Competitiveness
Research. Vol. 15 No.1/2. pp. 1-14.
Oral, M. 1993. A Methodology for Competitiveness
Analysis and Sstrategy Formulation in Glass
Industry. European Journal of Operational
Research, Vol. 66 No. 14. pp. 9-22.
Porter, ME. 2001. Competitive Advantage. Edisi Bahasa
Indonesia. (Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia,
2001), Edisi 4. pp: 12-14
Santosa, Agus. 2011. Membangun Daya Saing Gula di
Jawa Timur Memasuki Perdagangan Bebas Melalui
Peningkatan Rendemen (Analisis Daya Saing
dengan Pendekatan Policy Analysis Matrix).
Prosiding Seminar Nasional dan Call of Paper
Fakultas Ekonomi UPN Yogyakarta, 16-18
November 2011. pp: 18-39.
Saptana, Supena, dan Tri Bastuti Purwantini. 2004.
Efisiensi dan Daya Saing Usahatani Tebu dan
Tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bogor:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. pp: 83-119.
Saptana, Henny Mayrowani, Adang Agustian, dan
Sunarsih. 2006. Analisis Kelembagaan Kemitraan
Rantai Pasok Komoditas Hortikultura. Makalah
Seminar Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. pp: 1-40
Simatupang, P. 1991. The Conception of Domestic
Resource Cost and Net Economic Benefit for
Comparative Advantage Analysis, Agribusiness
Division. Working Paper No. 2/91, Centre for AgroSocioeconomic Research. Bogor: IPB.
Sudana, W., 2002. Efektivitas Kebijakan Perlindungan
terhadap Produsen melalui Provenue Gula. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor: IPB.
Sudaryanto, T dan P. Simatupang. 1993. Arah
Pengembangan Agribisnis: Catatan Kerangka
Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan
Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor: IPB.
Sudiyarto. 2006. Daya Saing Produk Agribisnis
Berprespektif Pasar Global dengan Orientasi
Perilaku Konsumen. Makalah Seminar Nasional
“Agribisnis Dalam Perspektif Ketahanan Nasional
Guna Memenangkan Persaingan Global “ 5 Juli
2006. Pascasarjana UPN “Veteran” Jawa Timur,
Surabaya. pp: 1-10.
Sujianto, R.. 2012. Swasembada Gula 2014 Terancam
Gagal. Artikel Dimuat dalam http://www.bisnisjateng.com/index.php/2013/01/swasembada-gulaterancam-gagal/html.
Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
1996 tentang Komoditas Pangan Strategis. Jakarta
Zaini, Achmad. 2008. Pengaruh Harga Gula Impor, Harga
Gula Domestik dan Produksi Gula Domestik
terhadap Permintaan Gula Impor di Indonesia.
EPP.Vol. 5 No. 2. 2008. pp: 1-9.
108
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Implementasi Memperpanjang Masa Produk Jamur
Tiram (Pleurotus ostreatus) Segar Menjadi Produk
Bahan Kering.
Kasutjianingati1), Edi Siswadi2), Tririni Kusparwanti3), Niniek Wihartiningseh4), Agung Wahyono5)
1
Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Mastrip PoBox 164. Jember
email: kasutjianingati@yahoo.com
2
Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Mastrip PoBox 164. Jember
email: edi_sis_83@yahoo.co.id Mastrip PoBox 164. Jember
3
Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Mastrip PoBox 164. Jember
email: tririni.polije@yahoo.com
4
Jurusan Produksi Pertanian. Politeknik Negeri Jember. Mastrip PoBox 164. Jember
5Departemen
email: niniekwihartiningseh@gmail.com
Teknologi Pertanian. Politeknik Negeri Jember. Mastrip PoBox 164. Jember
email: wahyono_agung@yahoo.com
Abtraks
Penelitian merupakan sebagian penelitian lanjutan dari MP3EI tahun ke 3. Topic penelitian kali ini adalah pengeringan jamur
tiram (Pleurotus ostreatus) pada perlakuan berbagai suhu dan lama waktu pengeringan menggunakan dehydrator. Tujuan
penelitian untuk mendapatkan teknik pengeringan jamur tiram yang lebih efektif menggunakan mesin pengering, mendapatkan
waktu pengeringan dan suhu pengeringan yang tepat, sehingga diperoleh jamur tiram kering dengan kualitas dan heiginitas
terjamin. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap factorial, terdiri dari 3 macam suhu pengeringan (T= 60 0C, 650C dan
700C) dan 3 macam lama waktu pengeringan (W=4 jam, 5 jam, 6 jam dan 7 jam). Jumlah ulangan 3 kali. Data yang diperoleh
kemudian dianalisis menggunakan analisis ragam. Luaran yang dihasilkan dari penelitian Mp3EI sampai tahun ke 3 (2016) bahwa
limbah-limbah pertanian sesuai yang ada dilokasi mampu dimanfaatkan sebagai bahan substitusi media jamur tiram. Teknik yang
dihasilkan adalah teknik penanganan lepas panen dengan pengeringan. Pengaturan suhu dan lama waktu pengeringan mampu
dihasilkan produk jamur tiram kering yang berkualitas sebagai bahan olahan makanan siap saji. Teknologi pengeringan yang
dihasilkan mampu memberikan kualitas jamur kerbing terbaik yaitu perlakuan pengeringan pada suhu rendah 600C dengan lama
waktu tercepat 4 jam menurunkan kadar air menjadi 9,24; Rendemen 11,84 dan Protein 9,03.
Key words: jamur tiram, pengeringan, dehydrator, suhu, waktu.
I. PENDAHULUAN
Indonesia sudah saatnya beralih dari budidaya kimiawi
menuju budidaya organik mendukung suksesnya program
pemerintah menuju pertanian bioindustri dengan
ketahanan pangan yang mantab, menjamin keberlanjutan
fungsi sumber daya tanah, aman bagi lingkungan,
memberi peluang peningkatan kedudukan social ekonomi
petani. Langkah yang perlu ditempuh adalah (1)
menghidupkan teknis bertani turun temurun yang
merupakan komponen organik, (2) penyediaan pangan
yang cukup aman, (3) penganekaragaman bahan pangan,
(4) limbah pusat agroindustri dimanfaatkan sebagai
sumber organik, (5) dukungan kebijakan untuk
pembaharuan pandangan dan sikap dari budidaya kimiawi
menuju organik.
Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan makin
tinggi, terutama dalam memilih jenis bahan konsumsi
yang harus disediakan setiap harinya. Sayuran sebagai
bahan pangan merupakan salah satu komoditi hortikultura
yang paling banyak digemari untuk bahan pendamping
konsumsi pangan pokok dalam kondisi segar sebagai
lalapan mentah maupun dalam bentuk berbagai menu
masakan. Salah satu sayuran yang berpotensi untuk
dikembangkan adalah jamur tiram (Pleurotus ostreatus).
Berdasarkan data Direktorat Jendral Hortikultura (2012)
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi jamur pada tahun
2008 sebesar 45.151 ton mengalami peningkatan hingga
tahun 2010 sebesar 62.281 ton dengan laju pertumbuhan
pertahunnya sebesar 10%. Produksi jamur pada tahun
2008 sebesar 61.349 ton mengalami peningkatan menjadi
61.370 pada tahun 2010. Produksi jamur tiram tersebut,
hanya bisa memenuhi 50% dari permintaan pasar dalam
negeri dan belum bisa memenuhi permintaan pasar diluar
negeri seperti Singapura, Jepang, China dan lainnya
(Chazali dan Putri, 2012). Hal tersebut yang membuat
109
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
jamur tiram menjadi komoditas yang cukup potensial
untuk dikembangkan.
Permasalahan yang timbul dengan meningkatnya
produksi jamur segar berkendala pada sifat produk jamur
tiram yang mudah rusak, ketahanan masa simpan tanpa
perlakuan hanya berkisar 2 – 3 hari. Kerusakan produk
jamur segar dapat disebabkan kontaminasi mikroba,
pengaruh suhu dan udara, serta tingginya kadar air.
Menurut Koswara (2009), jamur tiram mudah rusak jika
terlalu lama disimpan di udara terbuka, walaupun di lemari
pendingin. Jamur akan lebih tahan lama apabila disimpan
dalam keadaan kerbing, bisa tahan sampai 1 tahun.
Menurut Muchtadi dan Fitriyono (2010), hal ini
disebabkan jamur tiram memiliki kandungan kadar air
yang cukup tinggi yaitu 86,6%. Kadar air yang tinggi
dapat mempengaruhi daya tahan pangan terhadap
serangan mikroorganisme. Dimana semakin tinggi kadar
air bebas yang terkandung dalam bahan pangan, maka
semakin cepat rusak bahan pangan tersebut karena
aktivitas mikroorganisme. Saat produk jamur tiram
berlimpah sangat perlu tindakan pengawetan atau
pengolahan
untuk
menghindarkan
kerugian.
Pengembangan teknologi memperpanjang masa jamur
tiram sangat perlu untuk menunjang diversifikasi produk
olahan jamur tiram, meningkatkan nilai tambah produk,
memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Teknologi penanganan lepas panen dengan pengeringan
berarti menghilangkan kandungan air dari bagian jamur
lewat permukaan menggunakan energi panas. Turunnya
kadar air bahan akibat pengeringan akan menurunkan aw
(aktivitas air), menekan pertumbuhan mikroba, sehingga
jamur dapat disimpan lama. Permasalahannya belum
diketahui suhu dan waktu pengeringan untuk mencapai
kadar air tertentu yang dapat menghasilkan jamur kering
dengan kualitas yang baik.
Teknik pengeringan yang umum digunakan masyarakat
dengan cara konvensional yaitu penjemuran di bawah terik
sinar matahari. Keuntunganya, selain tidak membutuhkan
biaya yang mahal dan keahlian khusus, juga kapasitas
pengeringanya tidak terbatas. Namun, cara tersebut
kurang efektif karena sangat bergantung pada kondisi
cuaca yang memerlukan waktu yang cukup lama yakni 2
hari (Husain 2006) dan menghasilkan produk yang kurang
higienis (Muchtadi dan Fitriyono 2010).
II. TINJAUAN PUSTAKA
Jamur merupakan tumbuhan yang tidak berklorofil
yang banyak dijumpai di alam. Jamur dapat hidup di tanah
maupun di kayu yang telah lapuk dan biasanya banyak
ditemukan pada musim penghujan. Ciri khusus dari jamur
tiram adalah warnanya putih bersih, bentuk daun buahnya
bulat pada media antara 3 cm-10 cm dan bertangkai. Jamur
tiram putih tidak beracun, selain mengandung nilai
giziyang tinggi, pembudidayaannya relatif mudah dan
bernilai ekonomi tinggi (Arif dkk., 2014).
Jamur tiram memiliki nilai gizi yang tinggi untuk tubuh
manusia, dapat digunakan sebagai obat anti tumor,
meningkatkan sistem kekebalan, juga dapat menurunkan
kolesterol dan efek antioksidan. Selain itu jamur tiram
berguna mencegah dan mengobati anemia karena
mengandung asam folat serta kandungan asam glutamat
dapat meningkatkan aroma dan cita rasa masakan menjadi
gurih. Mengkonsumsi jamur tiram sangat bermanfaat
karena berserat tinggi, sehingga jamur tiram sangat baik
dalam membantu proses pencernaan di dalam usus,
antiviral dan antikanker sehingga banyak dijadikan
sebagai ramuan obat, menurunkan kadar gula dalam darah
bagi penderita diabetes, membantu, menurunkan berat
badan, dan mengontrol kolesterol dalam darah
(Hendritomo. 2010).
Banyak jenis buah – buahan dan sayuran untuk tetap
dapat dipertahankan gizinya, dapat di proses dengan
pengeringan menggunakan oven seperti lobak, wortel,
bawang merah, bawang putih, dkk. Keuntungan
pengeringan menggunakan oven dapat memperpanjang
daya simpan jamur tiram setelah di panen. Menurut
Winarno (1993) pengeringan adalah suatu cara untuk
mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu
bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang
dikandung melalui penggunaaan energi panas. Biasanya,
kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas
sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi
didalamnya.
Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika
pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut,
dan uap air yang diambil berasal dari semua permukaaan
bahan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pengeringan terutama adalah luas permukaan benda, suhu
pengeringan, aliran udara, tekanan uap diudara, dan waktu
pengeringan. Menurut Puspitasari dkk (2015) melalui
penelitianya, jamur tiram dapat diolah menjadi bahan
kering yang bertujuan agar dapat memperpanjang daya
simpan jamur tiram. Berkurangnya kadar air menjaga agar
mikroba pembusuk tidak dapat hidup di dalamnya dan usia
jamur bisa lebih lama.
Pengeringan menggunakan dehidrator adalah salah satu
teknologi pengeringan yang dapat diterapkan pada sayurmayur dan buah buahan. Dehidrator termasuk kedalam
system pengering konveksi menggunakan aliran udara
panas untuk mengeringkan produk. Proses pengeringan
terjadi saat aliran udara panas ini bersinggungan langsung
dengan permukaan produk yang akan dikeringkan. Produk
ditempatkan pada setiap rak yang tersusun sedemikan rupa
agar dapat dikeringkan degan sempurna. Udara panas
sebagai fluida kerja bagi model ini diperoleh dari
pembakaran bahan bakar, panas matahari atau listrik.
110
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Kelembaban relative udara yang mana sebagi faktor
pembatas kemampuan udara menguapkan air dari produk
sangat diperhatikan dengan mengatur pemasukan dan
pengeluaran udara ked an dari alat pengering ini melalui
sebuah alat pengalir. Penggunaan dehidrator cocok untuk
bahan yang berbentuk padat dan butiran, dan sering
digunakan untuk produk yang jumlahnya tidak terlalu
besar. Waktu pengeringan yang dibutuhkan (1-6 jam)
tergantung dari dimensi alat yang digunakan dan
banyaknya bahan yang dikeringkan, sumber panas dapat
berasal dari steam boiler.
pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan
atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan
melalui penerapan energi panas. Pengeringan dapat
dilakukan dengan memanfaatkan energi surya
(pengeringan alami) dan dapat juga dilakukan dengan
menggunakan peralatan khusus yang digerakkan dengan
tenaga listrik. Proses pengeringan bahan pangan
dipengaruhi oleh luas permukaan bahan pangan, suhu
pengeringan, aliran udara, tekanan uap air dan sumber
energi yang digunakan serta jenis bahan yang akan
dikeringkan (Dicki, 2012).
III. TUJUAN DAN MANFAAT
Penelitian ini bertujuan mendapatkan teknik
pengeringan jamur tiram yang lebih efektif menggunakan
mesin pengering, mendapatkan waktu pengeringan yang
tepat dan suhu pengeringan yang tepat, sehingga diperoleh
jamur tiram kering dengan kualitas dan heiginitas
terjamin. Manfaat sebagai bahan informasi penelitian
selanjutnya, sebagai informasi aplikatif yang mudah
diterapkan petani jamur dalam memperpanjang umur
produk jamur sehingga berdampak positif terhadap
kesehatan masyarakat dan terhadap lingkungan. Termasuk
harapan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
petani sesuai rencana MP3EI 2011-2025 dan mendukung
kemandirian pertanian bioindustri 2045
1). Kadar Air
Berdasar hasil analisa ragam kombinasi perlakuan suhu
(T) dan dan Waktu (W) pengeringan menunjukkan
pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air (KA).
Hasil rata-rata kadar air jamur tiram kering berdasar uji
BNJ dapat dilihat pada Table 5.1.
IV. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan sebagian dari capaian
penelitian multy years Mp3EI, dilaksanakan dilingkungan
Politeknik Negeri Jember (Kumbung jamur dan Lab.
Pengolahan dan Lab. Analisis) dengan melibatkan mitra
tani dan mahasiswa. Sebagai sumber bahan pada
penelitian ini jamur tiram segar yang baru dipanen dari
kumbung. Alat yang digunakan oven/dehydrator serta
peralatan uji laboratorium sesuai dengan variabel
pengamatan. Sebelum percobaan dilakukan sudah
dilakukan pra penelitian kombinasi suhu dan lama
pengeringan sehingga diperoleh metode percobaan.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
pengukuran kadar air, rendemen, kadar protein,.
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
faktorial. Percobaan terdiri dari 3 macam suhu
pengeringan (T= 60 0C, 650C dan 700C) dan 3 macam
waktu pengeringan (W=4 jam, 5 jam, 6 jam dan 7 jam).
Jumlah ulangan 3 kali. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis menggunakan analisis ragam.
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
A.
Hasil
Penanganan pasca panen perlu dilakukan untuk
mengurangi kerusakan pada bahan pangan segar seperti
produk jamur tiram (Pleurotus Ostreatus) Denman
pengeringan. Menurut Juliana dan Somnaikubun (2008),
Tabel 5.1. Rata-rata Nilai Kadar Air Jamur Tiram Kering Pengaruh
Kombinasi Suhu (T) dan Waktu (W) Pengeringan.
Perlakuan
KA jamur kering
T1W1= 600C+4 jam
9.24 a
T1W2= 600C+5 jam
8.52 b
T1W3= 600C+6 jam
6.51 d
T1W4= 600C+7 jam
5.98 d
T2W1= 650C+4 jam
8.29 b
T2W2= 650C+5 jam
7.59 c
T2W3= 650C+6 jam
7.52 c
T2W4= 650C+7 jam
7.44 c
T3W1= 700C+4 jam
7.23 c
T3W2= 700C+5 jam
6.54 d
T3W3= 700C+6 jam
6.07 d
T3W4= 700C+7 jam
5.31 e
Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama,
menunjukkan
berbeda sangat nyata pada taraf BNJ1%
Hasil jamur tiram kering yang dihasilkan menunjukkan
semakin tinggi suhu dan lama waktu yang diberikan maka
kadar airnya semakin rendah. Berarti perbedaan
keterikatan air pada jamur tiram yang dikeringkan sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Taib. (1988), bahwa
kemampuan bahan untuk melepaskan air dari
permukaannya akan semakin besar dengan meningkatnya
suhu udara pengering yang digunakan dan makin lamanya
proses pengeringan sehingga KA yang dihasilkan akan
semakin rendah
2). Rendemen
Berdasar hasil analisa ragam kombinasi perlakuan suhu
(T) dan dan waktu (W) pengeringan menunjukkan
pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen jamur
tiram kering. Hasil rata-rata rendemen jamur tiram kering
berdasar uji BNJ dapat dilihat pada Table 5.2.
Secara umum bisa dijelaskan bahwa pengeringan
dengan suhu rendah dan waktu yang lebih cepat memiliki
rerata rendemen yang lebih tinggi. Ternyata dengan
111
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
pengeringan suhu lebih tinggi dan waktu yang lebih lama
memiliki kandungan rendemen yang semakin rendah. Jadi
jelas terbukti bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan
dan lama waktu yang diberikan akan menghasilkan kadar
air lebih rendah karena proses penguapan yang terjadi dari
permukaan irisan jamur tiram.
Menurut Winarno (1993), bahwa proses pengeringan
akan menyebabkan kandungan air dalam bahan pangan
selama proses pengolahan akan berkurang.
Tabel 5.2. Rata-rata Nilai Rendemen Jamur Tiram Kering Pengaruh
Kombinasi Suhu (T) dan Waktu (W) Pengeringan.
Perlakuan
Rendemen
T1W1= 600C+4 jam
11.84 a
T1W2= 600C+5 jam
11.02 ab
T1W3= 600C+6 jam
10.21 abc
T1W4= 600C+7 jam
9.48 bc
T2W1= 650C+4 jam
9.77 bc
T2W2= 650C+5 jam
9.47 bc
T2W3= 650C+6 jam
7.95 d
T2W4= 650C+7 jam
7.98 d
T3W1= 700C+4 jam
9.80 bc
T3W2= 700C+5 jam
8.38 cd
T3W3= 700C+6 jam
7.20 de
T3W4= 700C+7 jam
6.03 e
Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama,
menunjukkan
berbeda sangat nyata pada taraf BNJ1%
3). Kadar Protein
Protein merupakan salah satu kandungan bahan pangan
penting pada jamur tiram yang perlu dipertahankan pada
proses pengawetan. Berdasar analisa sidik ragam nilai
kadar protein jamur tiram kering hasil interaksi pengaruh
perlakuan kombinasi suhu (T) dan waktu (W) pengeringan
menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata. Hasil
protein tersebut setelah di uji dengan BNJ 1%, bisa dibaca
pada Table 5.3
Tabel 5.3. Rata-rata Nilai Rendemen Jamur Tiram Kering Pengaruh
Kombinasi Suhu (T) dan Waktu (W) Pengeringan.
Perlakuan
Protein jamur kering
T1W1= 600C+4 jam
9,03 a
T1W2= 600C+5 jam
8,73 ab
T1W3= 600C+6 jam
8,50 ab
T1W4= 600C+7 jam
7,27 cd
T2W1= 650C+4 jam
7,52 c
T2W2= 650C+5 jam
7,04 cd
T2W3= 650C+6 jam
6,53 d
T2W4= 650C+7 jam
6,77 cd
T3W1= 700C+4 jam
7,54 c
T3W2= 700C+5 jam
6,97 cd
T3W3= 700C+6 jam
6,23 d
T3W4= 700C+7 jam
4,34 e
Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama,
menunjukkan berbeda sangat nyata pada taraf BNJ1%
waktu pengeringan lebih cepat, data rerata jamur tiram
kering yang dihasilkan menunjukkan nilai kadar protein
lebih tinggi (lihat Tabel 5.3). Semakin tinggi suhu
pengeringan dan lama waktu yang diberikan selama proses
menunjukkan nilai kadar protein rendah.
Diduga
kandungan protein mulai terdenaturasi sejalan dengan
perlakuan suhu dan lama waktu pengeringan makin
meningkat seperti penjelasan Yuniarti dkk. (2013),
menyatakan bahwa pemanasan yang terlalu lama dengan
suhu yang tinggi akan menyebabkan denaturasi protein,
Winarno (1993) juga menyebutkan salah satu penyebab
kelarutan protein adalah proses pemanasan.
B.
Luaran
Luaran yang dihasilkan dari penelitian Mp3EI sampai
tahun ke 3 (2016) adalah 1). bahwa dari limbah-limbah
pertanian sesuai yang ada dilokasi bisa dimanfaatkan
sebagai substitusi media jamur tiram. 2) Teknik
penanganan pasca panen (pengeringan dengan alat
oven/dehydrator) dari jamur tram basah melalui
pengaturan suhu dan lama waktu pengeringan mampu
menghasilkan produk jamur kering yang berkualitas,
sebagai bahan olahan makanan siap saji. 3) Luaran yang
lain bantuan kepada mahasiswa menyelesaikan tugas
akhirmya (TA) dan artikel ilmiah.
VI. KESIMPULAN
Hasil penelitian menghasilkan suatu pengembangan
teknik penanganan lepas panen dengan pengaturan suhu
dan lama waktu pengeringan bisa memperpanjang umur
produk jamur tiram dari produk segar/basah menjadi
produk jamur kering. Perlakuan pengeringan pada suhu
rendah 600C dengan lama waktu tercepat 4 jam
menurunkan kadar air menjadi 9,24; Rendemen 11,84 dan
Protein 9,03
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih bahwa penelitian ini
merupakan sebagian dari penelitian PENPRINAS MP3EI
2011-2025.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
Hasil jamur kering yang dicapai menunjukkan bahwa
dengan penggunaan suhu lebih rendah, dengan lama
Direktorat Jendral Horticultural. 2012. Konsumsi dan Produksi
Jamur di Indonesia Pada Tahun 2008 – 2010. Jakarta : Ditjen
Horticultural
Chazali S dan SP Putri. 2009. Usaha Jamur Tiram Skala Rumah
Tangga. Yogyakarta: Penebar Swadaya.
Koswara.S 2009. Teknologi Pengolahan Sayuran Dan BuahBuahan. [Serial Online]. bkp.madiunkab.go.id. [4 Juli 2015].
Muhtadi,T R, Fitriyono,A. 2010. Teknologi Proses Pengolahan
Pangan. Alfabeta, Bogor
Husain, H. 2006. Pengaruh Metode Pembekuan dan Pengeringan
Terhadap Karakteristik Grits Jagung Instan. [Serial Online].
journal.ipb.ac.id. [20 Agustus 2015].
Arif EA, Isnawati, dan Winarsih. 2014. Pertumbuhan dan
Produktivitas Jamur Tiram Putih Pleurotus ostreatus pada Media
Campuran Serbuk Tongkol Jagung dan Ampas Tebu. LenteraBio
Vol. 3 No. 3, September 2014: 255–260
112
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
Hendritomo H. 2010. Jamur Konsumsi Berkhasiat
Obat.Yogyakarta: Lily Publisher
Winarno, F.G.,1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Kinsmen. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Puspitasari G. G, Wignyanto dan B. S. Diyah Dewanti. 2015.
Pemanfaatan Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Sebagai
Tepung, Kajian Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan. [Serial
Online]. skripsitipftp.staff.ub.ac.id. [17 Agustus 2015].
Taif G. 1988. Operas Pengeringan pads Pengolahan Hasil Pertain.
Peerbit Melton Putra. Jakarta.
Yuniarti, D.W., T.D. Sulistiyati, E. Suprayitno. 2913. Pengaruh
Suhu Pengeringan Vacumterhadap Kualitas Serbuk Ikan Gabus.
(Ophiocephalus stratus). JurnalTHPI Student 1. (1):1-11.
113
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pemetaan Kognitif Penyebab dan Dampak
Eksplotasi Pasir Sepanjang Sempadan Pantai di
Kabupaten Merauke
R. Abdoel Djamali 1), Philipus Betaubun2), Didiek Hermanuadi3), Rahmat Ali Syaban4)
1)
Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Po. Box 164 Jember; Email: jatifar@yahoo.com
Fakultas Teknik, Universitas Musamus, Jl. Kamizaun Mopah Lama Merauke; Email: philbet@unimmer.ac.id
3) Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Po. Box 164 Jember; Email: didiekhermanuadi@yahoo.com
4) Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Po. Box 164 Jember; Email: rahmat_tpb@yahoo.co.id
2)
Abstrak
Selama ini, eksploitasi pasir di sepanjang sempadan pantai Distrik Merauke dilakukan untuk memasok lebih 90% guna
memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur, perumahan, gedung, perkantoran di Kabupaten Merauke. Hal itu
mengakibatkan telah rusaknya ekosistem pesisir khususnya habitat mangrove rusaknya yang berfungsi salah satunya sebagai
tameng alam dari gempuran ombak laut.. Padahal konsentrasi penduduk di Distrik Merauke mencapai 95.410 jiwa (44,78%) dari
jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Merauke berada di wilayah pesisir tersebut. Kondisi tersebut sangat membahayakan
kesehatan, keamanan dan keselamatan penduduk wilayah tersebut dari ancaman bahaya yang ditimbulkan kerusakan lingkungan
akibat penggalian pasir illegal. Tujuan utama penelitian ini adalah menentukan penyebab dan dampak multidimensi penambangan
pasir terhadap lingkungan pantai dan ekosistem mangrove. Metodologi yang digunakan antara lain: (a) pemilihan lokasi di Distrik
Merauke dan Distrik Naukenjerai dengan pendekatan purposive sampling, (b) teknik pengumpulan data dengan in depth interview,
(c) teknik analisis dengan analisis deskriptif dan, multicriteria analysis dan pendekatan bayes method. Kesimpulan penelitian ini
sebagai berikut: (a) telah terjadi tingkat kerusakan ekosistem mangrove yang sangat tinggi yakni lebih dari 1200 hektar (b) akibat
terjadinya instrusi air laut telah lebih dari 1000 meter dari bIbir pantai yang telah mengancam ketersediaan air tawar untuk
kebutuhan masyarakat Merauke karena kualitasnya yang menurun dengan tingkat salinitas semakin tinggi, (c) terjadinya
kerusakan lingkungan berupa kubangan-kubangan akibat pengambilan pasir yang menjadi salah satu sumber penyakit, rusaknya
ekosisitem pantai, (d) empat faktor pendorong utama kerusakan sempadan pantai yakni: kepentingan ekonomi (profit oriented),
lemahnya pengawasan, lemahnya control sosial, meningkatnya pembangunan insfrastruktur,
Kata Kunci: Eksploitasi Pasir, Pemetaan Kognitif, Sempadan Pantai
BAB 1. PENDAHULUAN
Kabupaten Merauke merupakan satu kawasan
terluar, terdepan dari Indonesia Bagian Timur yang
memiliki ekosistem unik dengan luasan total sekitar
4.677.938,47 hektar. Kebutuhan pasir di wilayah ini, lebih
90% diambil dari pasir sempadan pantai di Distrik
Merauke dan Distrik Naukenjerai. Hal ini bertentangan
dengan Rencana tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke
2010-2030 dimana pemanfaatan lahan dipolakan sebagai
berikut: Lahan non-budidaya sebesar 2.015.279 Ha dan
Lahan budidaya sebesar 2.491.821 Ha. Lahan budidaya
tersebut terbagi atas 1,9 juta Ha (76%) lahan basah dan 0,6
juta Ha (24%) lahan kering. Kawasan budidaya yang
diperuntukkan sebagai kawasan penambangan galian pasir
seluas 2.161,12 (0,05%) di Distrik Malind dan Okaba [5].
Posisi penambangan pasir tersebut di atas
mengakibatkan rusaknya tameng alam dari gempuran
ombak laut. Dalam dekade terakhir, dapat dilihat telah
rusaknya ekosistem pesisir khususnya habitat mangrove
yang mengakibatkan terjadinya instrusi laut yang semakin
besar, sering terjadi banjir rob, menurunnya kualitas
sumberdaya air tawar yang untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat Merauke. Sementara konsentrasi
penduduk di Distrik Merauke mencapai 95.410 jiwa
(44,78%) dan Distrik Naukenjerei sebanyak 1.992 jiwa
(0.93%) dari jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten
Merauke berada di wilayah pesisir tersebut. Hal ini
Kondisi tersebut sangat membahayakan kesehatan,
keamanan dan keselamatan penduduk wilayah tersebut
dari ancaman bahaya yang ditimbulkan kerusakan
lingkungan akibat penggalian pasir illegal. Dampak akibat
kerusakan mangrove bersifat multi dimensional yang
meliputi dimensi ekokologi, ekonomi, teknik, sosial
bidaya, dan etik. Aspek multi dimensional tersebut secara
serentak berpengaruh terhadap nyata terhadap
sustainabilitas ekosistem pesisir.
Berdasarkan kondisi eksisting tersebut, penelitian ini
difokuskan untuk mencari titik temu antara sisi
pemenuhan kebutuhan pasir dalam pemenuhan kebutuhan
114
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
pembangunan infrastruktur yang menekankan sisi lainnya
pelestarian ekosistem pesisir khususnya hutan mangrove.
Bab 2. Tinjauan Pustaka
1. Penambangan Pasir dan Dampaknya
Hasil studi ahli ekonomi sumberdaya Universitas
Harvard dalam [2] menyatakan bahwa semakin sebuah
negara bergantung pada sumberdaya alamnya, maka
semakin kecil pula laju pertumbuhan ekonominya. Gejala
umum ini dalam ilmu ekonomi sumberdaya disebut
sebagai Penyakit Belanda (Dutch Disease). Maanema
(2004), dalam [2] menyatakan hal tersebut sebagai suatu
paradoks (sesuatu yang diharapkan sebagai pemicu
kemakmuran justru gagal memberi manfaat bagi
masyarakat miskin).
Kegiatan
penambangan
pasir
umumnya
menggunakan peralatan sederhana dengan modal terbatas
serta sering dilakukan oleh masyarakat banyak [7]
Kegiatan penambangan yang dimaksud dalam penelitian
ini termasuk dalam kegiatan penambangan Bahan Galian
Golongan C Jenis Lepas di dataran. Dataran yang
dimaksud adalah suatu wilayah dengan lereng yang relatif
homogen dan datar dengan kemiringan lereng maksimum
8% yang dapat berupa dataran aluvial, dataran banjir,
dasar lembah yang luas, dataran di antara perbukitan,
ataupun dataran tinggi. Adapun yang dimaksud dengan
Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas adalah bahan
galian golongan C yang berupa tanah urug, pasir, sirtu, tras
dan batu apung.2 Untuk menambang bahan galian
golongan C digunakan metode dan teknik pertambangan
yang berbeda dari bahan galian golongan lainnya.
2. Masalah Lingkungan dari Penambangan Pasir
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa
kegiatan pertambangan merupakan salah satu kegiatan
yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan hidup. Demikian pula dengan kegiatan
penambangan bahan galian golongan C. Lokasi quarry
yang baik selalu berada di tempat lain yang jauh dari
pengguna [7]. Ada beberapa permasalahan lingkungan
yang muncul akibat dari quarry, dengan asumsi bahwa
lokasi quarry sudah dipilih berdasarkan kondisi site yang
baik [7], yaitu:
a. Visual impact bentang alam dari quarry dan fasilitas
pendukungnya. Misalnya hilangnya pohon-pohonan,
adanya bench, dan sebagainya.
b. Debu dari lalu-lintas. Masalah ini makin meningkat
pada waktu musim kering dan berangin serta tidak
adanya usaha penyiraman jalan.
c. Gangguan suara truk.
d. Pencemaran air tanah terjadi karena adanya buangan
oli ataupun bahan kimia lainnya ke pit atau pun open
joint yang dekat muka air tanah.
e. Volume lalu lintas naik di sepanjang jalan desa, kota
dan umumnya dilalui oleh truk dengan muatan yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jalan,
keamanan, kebisingan, lumpur di jalan, dan
sebagainya.
f. Penentuan dan pemakaian dari ruang kosong setelah
operasi penambangan selesai.
Masalah lingkungan dari kegiatan penambangan
pasir memerlukan penanganan yang tepat supaya
kerusakan lingkungan yang sudah terjadi tidak bertambah
parah. Hal ini juga penting bagi keberlanjutan kegiatan
penambangan pasir itu sendiri. Kenyataannya, perubahan
roman muka bumi yang disebabkan oleh pertambangan
terbuka dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan
[7] Pengerukan material yang berlebihan pada dasar
ataupun meander sungai dapat menyebabkan pola arus
alamiah sungai berubah. Akibatnya, erosi horizontalnya
bertambah luas. Dapat disimpulkan bahwa penanganan
masalah lingkungan dari kegiatan penambangan pasir
merupakan hal yang penting dalam pembangunan
berkelanjutan. Hal ini penting dalam mencegah dampak
eksternalitas yang semakin besar dan menimbulkan biayabiaya sosial yang luas. menyebabkan pola arus alamiah
sungai berubah. Akibatnya, erosi horizontalnya bertambah
luas. Dapat disimpulkan bahwa penanganan masalah
lingkungan dari kegiatan penambangan pasir merupakan
hal yang penting dalam pembangunan berkelanjutan. Hal
ini penting dalam mencegah dampak eksternalitas yang
semakin besar dan menimbulkan biaya-biaya sosial yang
luas.
Bab 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini difokuskan untuk menentukan
penyebab dan dampak multidimensi penambangan pasir
terhadap lingkungan pantai dan ekosistem mangrove
3. 2. Manfaat Penelitian
Sebagai bahan pertimbangan bagi seluruh stakeholder di
Kabupaten Merauke yang meliputi birokrat, penegak
hukum dan pemangku adat dalam upaya mengawasi dan
mengendalikan eksploitasi pasir di sepanjang sempadan
pantai.
Bab 4. Metode Penelitian
1. Pemilihan lokasi dengan dilakukan dengan secara
sengaja yaitu dengan pendekatan purposive sampling
di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjerai
2. Teknik pengumpulan data dengan in depth interview
3. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini
yakni:
115
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
a. analisis deskriptif yakni tenik analisis dengan cara
mengumpulkan data dan menyajikan data sehingga
mudah dipahami yang bisa disajikan dalam bentuk
tabel, grafik, nilai pemusatan dan nilai penyebaran
[1], [8].
b. multicriteria analysis dengan pendekatan cognitive
mapping dan Metode Bayes.
Cognitive Mapping
Cognitive mapping dikategorikan sebagai soft
methodology dan berbeda dengan metodologi formal
tradisional yang terdiri dari beberapa tipe analisis dan
hasilnya masih bersifat general. Cognitive mapping
menggunakan basis teknik peta yang mampu
merepresentasikan elemen-elemen dari permasalahan
yang komplek, yang diorganisir dan disusun
menggunakan diagram panah. Arah panah menunjukkan
connection dan relationship antar indikator. Dalam
penelitian ini menggunakan dua variabel utama dalam
cognitive mapping yakni domain dan centrality. Domain
adalah faktor penting dalam peta kognitif sebab
menggambarkan kepadatan atau jumlah indikator yang
berkaitan langsung dengan indikator tertentu dengan
mengabaikan arahnya. Makin tinggi nilai domain suatu
indikator menunjukkan besarnya jumlah indikator yang
mempengaruhi/dipengaruhi indikator tersebut. Ini
menunjukkan efek indikator downstream yang bukan
hanya yang berhubungan langsung dengan indikator
lainnya tetapi juga yang tidak berhubungan langsung.
Makna dari centrality menunjukkan arti strategik sebab
menggambarkan dampak komulatif sejumlah indikator
diluar pengaruh langsung. Makin tinggi skor centrality,
makin signifikan seluruh indikator sustainability sebuah
sistem Domain dan centrality adalah gagasan pemikiran
dari Eden dan Akerman (1998) dalam [4], dimana
keduanya perangkat utama dalam menyusun cognitive
mapping. Untuk menghitung skor sentral menggunakan
formula:
Cj
dimana :
Cj
Sj
Sm
S
n , j= 1, 2, 3 ...n
m
n
: skor sentral indikator ke-j level ke-m
: jumlah indikator level ke-m
Skor central dapat menunjukkan nilai strategik dari
sebuah indikator/atribut sebab merefleksikan bukan hanya
jumlah indikator yang berdampak langsung tetapi juga
seluruh pengaruh hubungan tak langsung dengan indikator
lainnya.
Metode Bayes
Merupakan teknik yang digunakan untuk melakukan
analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari
sejumlah alternatif [3].
a. Persamaan Bayes yang digunakan untuk menghitung
nilai setiap alternatif disederhanakan menjadi :
m
dimana:
Total Nilai
Nilai ij
Krit j
i
j
Total Nilai i = Nilai ij
total nilai akhir dari alternatif ke-i
(Krit
j) alternatif ke-i pada kriteria ke-j
= nilai
dari
i=
j=1
= tingkat kepentingan (bobot) kriteria ke-j
= 1,2,3,…n; n = jumlah alternatif
= 1,2,3,…m; m = jumlah kriteria
Informasi awal tentang nilai peluang ini disebut distribusi
prior, sedangkan nilai peluang yang sedang diperbaiki
dengan informasi tambahan disebut peluang posterior.
b. Keriteria Bayes
• Pengambilan keputusan merupakan suatu pemilihan
aksi a dari sekelompok aksi yang mungkin (A).
• Nilai kinerja dari setiap aksi a dan status situasi
digambarkan dengan menggunakan pay off matrix
Tabel 1. Play off Matrix
Dimana:
= status situasi yang dapat berupa kondisi, kriteria seleksi atau
persyaratan pemilihan
a = dapat berupa aksi, strategi atau pilihan
x = nilai penampakan dari setiap aksi dan status situasi
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
(a) Selama ini, penambangan pasir yang dilakukan oleh
masyarakat di Kabupaten Merauke sudah berlangsung
lebih dari 25 tahun yang terpusat di wilayah Distrik
Merauke dan Distrik Naukenjerai Pasir tersebut
dieksploitasi guna memenuhi kebutuhan permintaan
masyarakat dan pembangunan infrastruktur di wilayah
Kabupaten Merauke. Kondisi wilayah Merauke secara
umum merupakan wilayah pasir berlumpur yang
dijumpai hampir seluruh penjuru kota. Menurut kajian
terdahulu oleh Subarnas [6] bahwa pantai selatan
Kabupaten Merauke merupakan endapan pantai yang
berupa endapan klastika lepas, halus - kasar terdiri dari
lumpur dan pasir halus – kasar. Bentuk dan ukuran
pasir yang halus tersebut sangat cocok sebagai bahan
baku material campuran bahan bangunan berbagai
infrastruktur antara lain: gedung, jembatan, jalan,
rumah, pabrik dan sebaginya. Para pengguna biasanya
tidak langsung menggunakan pasir tersebut namun
biasanya dibiarkan diguyur hujan dalam beberapa
waktu
supaya kadar garam dalam pasir turun
Peningkatan permintaan pasir. Pasir yang ditambag
116
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
adalah pasir yang ada disepanjang pantai yang
merupakan sempadan pantai yang berupa gundukan
dengan
ketingginggian
2-3
meter.
Akibat
penambangan tersebut terjadi kerusakan ekosistem
pantai yang sangat parah berupa kubangan-kubangan,
tumbangnya pohon kelapa –kelapa tua, dan hilangnya
ekosistem mangrove. Kondisi tersebut banyak
dijumpai sepanjang pantai di Distrik Merauke terjadi
di Pantai Lampu Satu Kelurahan Karang Indah,
Kelurahan Samkai,
dan Kelurahan Samkai.,
sedangkan di Distrik Naukenjerai terjadi di Kampung
Kuler dengan tingkat kerusakan sebagai berikut:
Tabel 2. Tingkat Kerusakan Ekosistem Pantai Akibat Penambangan Pasir
No
Distrik/Kampung
Tingkat Kerusakan Ekosistem Pantai
1
Distrik Merauke
a. Kampung Karang Indah
++
b. Kampung Samkai
++ (Masih Belangsung)
c. Kampung Nasem
++ (Masih Berlangsung)
2
Distrik Naukenjerai
a. Kampung Kuler
++++ (Masih Berlangsung)
+) jumlah tanda (+) menunjukkan tingkat kerusakan
Berdasarkan observasi di lapangan menunjukkan
bahwa sampai saat ini penambangan pasir di sempadan
pantai masih berlangsung utamanya di dari 3 Kampung
yakni Kampung Samkai, Kampung Nasem, dan
Kampung Kuler. Yang paling tinggi intensitasnya di
wilayah Kampung Kuler dimana jarak dengan pusat
kota relative jauh > 60 kilometer sehingga sangat
lemah dalam pengawasan dan penegakan hukum.
Disamping itu, wilayah kampung Kuler dengan tingkat
kepadatan penduduk ±1-2 orang per kilometer persegi
sangat mudah untuk melakukan penambangan pasir
liar.
b. Dampak negatif penambangan pasir di sepanjang
pantai di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjerai
yakni:
1. Kubangan dengan diameter bisa mencapai lebar
100 meter dan kedalaman 3-4 meter. Hampir
sepanjang tahun kubangan tersebut tergenang air
dan sangat berpotensi sebagai sarang penyakit yang
menggangu kesehatan masyarakat.
2. Rusaknya ekosistem pantai sebagai akibat
hilangnya sempada pantai. Hal ini ditunjukkan
dengan tumbangnya pepohonan kelapa, waru,
ketapang dan lain-lain. Padadal posisi sempadan
secara ekologi merupakan tameng alam yang
sangat berguna untuk menahan laju gempuran
ombak, intrusi air laut yang masuk ke daratan, dan
aktivitas abrasi laut.
3. Rusaknya ekosistem mangrove, berdasarkan hasil
observasi di lapangan menunjukkan di sekitar
Pantai sebagai rujukan sisanya luasan dan vegetasi
mangrove yang tumbuh di kawasan Pelabuhan
Perikanan Kelurahan Karang Indah Kabupaten
Merauke yaitu Avicennia alba, Acanthus
ebracteatus, Acanthus ilicifolius, Bruguiera
cylindrica, Aegialitis annulata dan RhizThora
stylosa. Kerapatan mangrove kriteria pohon
berkisar dari 5,6667 ind/100m – 23,6667
ind/100m2, kerapatan mangrove kriteria anakan
berkisar dari 23,0000 ind/25m2 – 42,6667
ind/25m2. Namun bergerak ke arah timur di
kawasan Pantai Lampu Satu Kampung Karang
Indah, Kampung Samkai dan Nasem sampai
Kampung Kuler tidak dijumpai lagi vegetasi
mangrove.
Padahal
menurut
pengakuan
masyarakat setempat bahwa pada tahun 1990-an
bahwa lebar vegetasi mangrove mencapai 50-75
meter dari bibir pantai.
4. Akibat hilangnya sempadan pantai yang berfungsi
sebagai tameng laut atas gempuran abrasi dan
intrusi air laut. Dampak nyata yang dihadapi
masyarakat penduduk di sepanjang pesisir
khusunya yang berada di kawasan Distrik Merauke
yang penduduknya bermukim mencapai 45%
penduduk Kabupaten Merauke saat ini sudah
merasakan terjadinya penurunan kualitas air sumur
penduduk yang semakin asin. Kondisi ini, dalam
jangka panjang akan mengancam ketersediaan air
bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat dan tentunya dapat menurunkan
tingkat kesehatan masyarakat. Dari 20 titik
pengamatan yang dilakukan terhadap air sumur
yang dikonsumsi masyarakat jauh menuurun
kualitasnya dalam 10 tahun terakhir yang
ditunjukkan air yang semakin keruh dan tingkat
kegaraman yang semakain tinggi.
c. Dilihat dari sisi ekonomi, tetantunya aktivitas
penambangan pasir akan membawa dampak positif
antara lain:
1. Terserapnya tenaga kerja, yaitu masyarakat
memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya. Lapangan kerja terbuka mulai
dari proses penggalian, transportasi, dan
akomudasi yang terlibat dalam aktivitas
pemnggalian
2. Menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
kewajiban pengusaha membayar pajak dan
retribusi bahan galian golongan C.
3. Memperlancar transportasi, wilayah merauke
dengan infrastruktur jalan yang masih sangat
terbatas, dengan adanya aktivitas penambangan
sebagian jalan memang dibuka dan relatif wilayah
tersebut
lebih
cepat
pembangunannya
dibandingkan dengan daerah laiinya.
d. Penyusunan rencana pemetaan penambangan pasir di
Kabupaten Merauke. Berdasarkan hasil indepth
interview dengan beberapa ekspert yang terdiri dari
117
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerhati lingkungan,
dan peneliti di Kabupaten Merauke yang se, disepakati
ada tiga skenario pemetaan penambangan pasir dan
dampaknya yakni:
1. Perbaikan atas ekosistem pantai di Distrik
Merauke dan Distrik Naukenjerai (Skenario 1)
2. Relokasi Penambangan ke wilayah Distrik
Malind dan Okaba sesuai dengan Perda
Kabupaten Merauke No 14 Tahun 2011
(Skenario 2)
3. Penambangan Terkontrol; artinya penambangan
masih bisa dilakukan di wilayah Kampung Kuler
Distrik Naukenjerai (Skenario 3)
Dari tiga alternatif skenario tersebut ditawarkan
kepada ekspert dengan menggunakan 6 parameter
pengukuran yakni profit oriented, pemenuhan
pembangunan, penyelematan lingkungan, control
sosial, penegakan hukum dan peningkatan
pengetahuan ekonogi. Hasil analisis dengan
pendekatan Bayes sebagai berikut:
pusat kota, relatif lebih kecil dampak ekologi yang
dihasilkan, serta kualitas pasir yang lebih baik.
e Untuk menilai faktor-faktor pendorong penambangan
pasir di Distrik Merauke dan Distrik Naukenjarai dengan
menggunakan pendekatan Multi Criteria Analysis.
dimana ada 12 variabel yang ditawarkan yang terdiri
dari: (1) profit oriented, (2) lemahnya pengawasan, (3)
kurangnya pengetahuan tentang ekonolgi, (4) lemahnya
control sosial, (5) lemahnya penegakan hukum, (6)
meningkatnya pembangunan, (7) pendidikan,
(8)
meningkatnya jumlah penduduk, (9) kurangnya
perangkat hukum, (10) masih melimpahnya sumbver
daya alam, (11) meingkatnya APBD/Otsus, (12) luasnya
bentang alam, dan (13) kerusakan pantai. Masingmasing variabel menunjukan hubungan secara langsung
dan tak langsung baik satu arah maupun dua arah
Adapun peta hubungan antara variabel yang
mempengaruhi aktivitas penambangan pasir Distrik
Merauke dan Distrik Naukenjerai dapat dipetakan
keterhubungan dan keterpengaruhannya yang disajikan
dalam bentuk Cognitive Mapping, sebagai berikut:
Tabel 3. Analisis Bayes tentang Pemetaan Penambangan Pasir di
Kabupaten Merauke
Skenario
Parameter
Bobot
1
2
3
1 Profit Oriented
0.250
4
8
8
2 Pemenuhan Pembangunan
0.120
4
8
7
3 Penyelamatan Lingkungan
0.180
9
8
7
4 Kontrol Sosial
0.200
9
7
5
5 Penegakan Hukum
0.120
9
6
6
Peningkatan Pengetahuan
6 Ekologi
0.130
8
6
6
1.000 7.02 7.3 6.6
Beradasarkan tingkat kepntingan tersebut menunjukkan
bahwa prioritas utama yang perlu dilakukan oleh
pemerintah bersama masyarakat
dalam pemetaan
penambangan pasir secara berturut-turut yakni:
1. Relokasi Penambangan ke wilayah Distrik Malind
dan Okaba sesuai dengan Perda Kabupaten Merauke
No 14 Tahun 2011 (Skenario 2) sebagai prioritas
Pertama
2. Perbaikan atas ekosistem pantai di Distrik Merauke
dan Distrik Naukenjerai (Skenario 1) sebagai Prioritas
Kedua
3. Penambangan Terkontrol; artinya penambangan masih
bisa dilakukan di wilayah Kampung Kuler Distrik
Naukenjerai (Skenario 3) sebagai Prioritas Ketiga
Nampaknya berdasarkan prioritas pemetaan penambangan
pasir di Kabupaten Merauke ini, bukan menghapus tetapi
lebih diprioritasnya untuk direlokasi ke wilayah Malind
dan Okaba dengan pertimbangan bahwa kedua wilayah
tersebut penduduknya masih sangat terbatas, jauh dari
Gambar 1. Cognitive Mapping yang Mempengaruhi aktivitas
penambangan pasir
Dari analisis ini dapat dibuat rekapitulasi sebagai berikut:
Tabel 4. Centrality Score dan Domain Variabel Penentu Penambangan Pasir
No
Variabel Penentu
1
2
3
Profit oriented
Lemahnya pengawasan
Kurangnya
pengetahuan
tentang ekonolgi
Lemahnya kontrol sosial
Lemahnya penegakan hukum
Meningkatnya pembangunan
Pendidikan
Meningkatnya
jumlah
penduduk
Kurangnya perangkat hukum
Masih melimpahnya sumbver
daya alam
Meingkatnya APBD/Otsus
Luasnya bentang alam
Kerusakan pantai
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Centrality
Score
9
9
6
Domain (Link
around)
8
8
3
8
6
7
6
5
6
6
2
3
1
6
6
4
2
6
6
6
3
4
4
118
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Berdasarkan data analisis centrality score dan domain
menunjukkan bahwa 4 variabel penentu terjadinya
penambangan pasir di Distrik Merauke dan Distrik
Naukenjeray mengkibatkan kerusakan sempadan pantai
yakni:
1. Profit oriented; kecenderungan bahwa pelaku
penambang pasir sebagai motif utama yakni hanya
lebih memfokuskan pada orientasi mencari
keuntungan (profit oriented)
semata
tanpa
memperhatikan
dampak
lingkungan
yang
diakibatkannya. Hal ini menunjukkan bahwa
penambangan pasir merupakan alternatif usaha yang
menggiurkan karena harga yang ditawarkan cukup
mahal berkisar Rp 500.000-800.000 per kubik,
sementara pasir impor dari luar propinsi bisa dua kali
lipat dibandingkan pasir lokal.
2. Lemahnya Pengawasan; selama ini pemerintah kurang
memainkan perannya untuk melakukan pengawasan
(survailance) terhadap penambangan pasir di
sepanjang sempadan pantai yang dilakukan secara liar
dan tidak terkendali selama ini.
3. Lemahnya kontrol sosial; sebagai bentuk kontrol sosial
juga masih sangat terbatas karena sebagain besar
menganggap bahwa pengawasan hanyalah bisa
dilakukan oleh pemerintah dan penegak hukum saja.
Padahahal sebenarnya kontrol sosial secara langsung
dilakukan oleh lembaga adat atau kelompok pemerhati
lingkungan akan jauh lebih efektif dan efisien guna
memantau dan mencegah terjadinya aktivitas
penambangan pasir illegal
4. Meningkatnya pembangunan, sebagai konseksekuensi
logis aktivitas pembangunan yang meningkat tentunya
juga membutuhkan penyediaan material bahan
bangunan yang meningkat pula. Pemerintah
Kabupaten Merauke telah secara tegas melarang
kepada setiap Satua Kerja Pemerintah Daerah (SKPD)
yang dalam pembangunan bangunan fisik diwajibkan
untuk menggunakan pasir impor yang didatangkan
dari Palu-Sulawesi guna menekan terjadinya
penambangan pasir illegal.
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
4. Empat faktor pendorong utama kerusakan sempadan
pantai yakni: kepentingan ekonomi (profit oriented),
lemahnya pengawasan, lemahnya control sosial,
meningkatnya pembangunan insfrastruktur,
6.2 Saran
1. Perlu dirancang peraturan kampung yang mengatur
tentang pelarangan eksploitasi pasir di sempadan
pantai
2. Perlu dibangun sistem komunikasi tripartiet antara
birokrat, penegak hukum, dan pemangku adat guna
malakukan koordinasi dalam penegakan peraturan
perundangan tentang larangan eksplotasi pasir di
sempadan pantai
UCAPAN TERIMA KASIH
Mengingat makalah ini merupakan bagian dari Penelitian
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun ke II , maka saya
sampaikan ucapan terima kasih kepada Direktur Riset dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai
program penelitian tersebut pada anggaran tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Hasan, I.. 2001. Pokok-Pokok Materi Statistik 2. Bumi
Aksara. Jakarta.
[2] Maanema, Max dan Berhimpon, Siegfried, 2007. Dampak Aktivitas
Penambangan terhadap Ekonomi Ekonomi Kelautan. Seminar
Nasional Pertambangan, Lingkungan Hidup dan Kesejahteraan
Masyarakat. Universitas Manad. Manado.
[3] Marimin, 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan
Kriteria Majemuk. Penerbit Grasindo. Jakarta.
[4] Mendoza GA, Prabhu R. 2002. Qualitative multi-criteria approaches
to assesing indicators of sustainable forest resources management. .
Forest Ecology and Management. 5913: 1-5.
[5] Peraturan Daerah Kebupaten Merauke Nomor 14 tahun 2011.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke 2010-2030.
Merauke
[6] Subarnas, A (2009). Inventariasasi Endapan Gambut Daerah
Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
[7] Sudrajat, Adjat. 1999. Teknologi dan Manajemen Sumberdaya
Meniral. Penerbit ITB. Bandung.
[8] Sugiyono. 2010. Statiustika untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta.
Bandung.
6.1 Kesimpulan
1. Telah terjadi tingkat kerusakan ekosistem mangrove
yang sangat tinggi yakni lebih dari 1200 hektar
2. Akibat terjadinya instrusi air laut telah lebih dari 1000
meter dari bibir pantai yang telah mengancam
ketersediaan air tawar untuk kebutuhan masyarakat
merauke karena kualitasnya yang menurun dengan
tingkat salinitas semakin tinggi,
3. Terjadinya kerusakan lingkungan berupa kubangankubangan akibat pengambilan pasir yang menjadi
salah satu sumber penyakit, rusaknya ekosisitem
pantai,
119
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
SISTEM IDENTIFIKASI JENIS KELAMIN
MANUSIA BERDASARKAN FOTO
PANORAMIK
Nur Nafi’iyah#1, Retno Wardhani*2
#
Teknik Informatika, Fakultas Teknik Universitas Islam Lamongan
Lamongan
1nafik_unisla26@yahoo.co.id
*
Teknik Informatika, Fakultas Teknik Universitas Islam Lamongan
Lamongan
2retzno@yahoo.com
Abstract
Sistem identifikasi jenis kelamin manusia berdasarkan foto panoramik gigi, di mana merupakan suatu penelitian yang bertujuan
untuk: dapat membantu pihak tim forensik dalam mengenali korban bencana alam atau mengidentifikasi korban kejahatan.
Target penelitian yaitu: membangun sistem identifikasi jenis kelamin manusia berdasarkan foto panoramik gigi, membantu
menemukan suatu cara baru dalam melakukan identifikasi jenis kelamin manusia dengan algoritma backpropagation, dan
menghasilkan pembuktian keakurasian atau ketelitian dari algoritma backpropagation dalam melakukan identifikasi jenis kelamin
manusia. Algoritma backpropagation merupakan salah metode dalam jaringan syaraf tiruan, yang cara kerjanya menyerupai
sistem kerja otak (neuron). Dalam penelitian ini langkah-langkah yang ditempuh agar penelitian dapat berjalan lancar, dilakukan
pengambilan citra atau foto panoramik gigi manusia ke Rumah Sakit Ibnu Sina Gresik. Selanjutnya data foto diolah mulai dari
preposessing dan ekstraksi fitur. Hasil ekstraksi fitur citra, data dimasukkan ke tahap training dan dianalisa. Untuk mengetahui
hasil keakurasian sistem maka dilakukan testing. Nilai akurasi dalam ujcoba sistem 80%.
Keywords— Identfication System, Backpropagation, Jenis Kelamin.
I. PENDAHULUAN
Forensik odontologi adalah salah satu metode
penentuan identitas individu yang telah dikenal sejak era
sebelum masehi. Kehandalan teknik identifikasi ini bukan
saja disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga
nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi
karena kenyataan bahwa gigi dan tulang adalah material
biologis yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan
dan terlindung. Gigi merupakan sarana identifikasi yang
dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik
dan benar. Beberapa alasan dapat dikemukakan mengapa
gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi adalah
sebagai berikut, pertama karena gigi bagian terkeras dari
tubuh manusia yang komposisi bahan organik dan airnya
sedikit sekali dan sebagian besar terdiri atas bahan
anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak dalam
rongga mulut yang terlindungi. Kedua, manusia memiliki
32 gigi dengan bentuk yang jelas dan masing-masing
mempunyai lima permukaan.
Identifikasi korban pada kasus-kasus ini diperlukan
karena status kematian korban memiliki dampak yang
cukup besar pada berbagai aspek yang ditinggalkan.
Identifikasi tersebut merupakan perwujudan HAM dan
merupakan penghormatan terhadap orang yang sudah
meninggal.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
geografis terletak pada wilayah yang rawan terhadap
bencana alam baik yang berupa tanah longsor, gempa
bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan lain-lain,
yang dapat memakan banyak korban, dan salah satu cara
mengidentifikasi korban adalah dengan metode forensik
odontologi. Oleh karena itu forensik odontologi sangat
penting dipahami peranannya dalam menangani korban
bencana massal.
Penelitian ini akan membuat aplikasi dalam membantu
mengidentifikasi korban jiwa tidak dikenal berdasarkan
foto panoramik gigi. Identifikasi dapat membantu
mengenali korban jiwa dari segi jenis kelamin. Algoritma
yang digunakan yaitu backpropagation. Algoritma
backpropagation merupakan salah satu algoritma jaringan
syaraf tiruan, yang menerapkan cara kerja neuron dalam
saraf otak manusia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Yang dimaksud dengan identifikasi ilmu kedokteran
gigi forensik adalah semua aplikasi dari disiplin ilmu
kedokteran gigi yang terkait dalam suatu penyidikan
dalam memperoleh data-data postmortem, berguna untuk
menentukan otentitas dan identitas korban maupun pelaku
120
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
demi kepentingan hukum dalam suatu proses peradilan
dan menegakkan kebenaran.
Ada beberapa jenis identifikasi melalui gigi-geligi dan
rongga mulut yang dapat dilakukan dalam terapan semua
disiplin ilmu kedokteran gigi yang terkait pada penyidikan
demi kepentingan umum dan peradilan serta dalam
membuat surat keterangan ahli.
Identifikasi ilmu kedokteran gigi forensik terdapat
beberapa macam antara lain:
1. Identifikasi ras korban maupun pelaku dari gigi-geligi
dan antropologi ragawi.
2. Identifikasi sex atau jenis kelamin korban melalui gigigeligi dan tulang rahang serta antropologi ragawi.
3. Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi.
4. Identifikasi umur korban melalui gigi sementara
(decidul)
5. Identifikasi umur korban melalui gigi campuran.
6. Identifikasi umur korban melalui gigi tetap.
7. Identifikasi korban melalui kebiasaan menggunakan
gigi.
8. Identifikasi korban dari pekerjaan menggunakan gigi.
9. Identifikasi golongan darah korban melalui air liur.
10. Identifikasi golongan darah korban melalui pulpa gigi.
11. Identifikasi DNA korban dari analisa air liur dan
jaringan dari sel dalam rongga mulut.
12. Identifikasi korban melalui gigi palsu yang dipakainya.
13. Identifikasi wajah korban dari rekonstruksi tulang
rahang dan tulang facial.
14. Identifikasi wajah korban.
15. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku.
16. Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban
massal.
17. Radiologi Ilmu Kedokteran Gigi Forensik.
18. Fotografi Ilmu Kedokteran Gigi Forensik.
19. Victim Identification Form.
Semua data-data yang diperoleh dalam identifikasi di
atas dituangkan dalam formulir baku mutu nasional yaitu
ke dalam formulir korban tindak pidana yang berwarna
merah yang disebut dengan data postmortem, pada korban
hidup tetap pula ditulis ke dalam formulir yang sama
sedangkan data-data semasa hidup ditulis ke dalam
formulir antemortem yang berwarna kuning.
Selain dengan pemeriksaan internal dan eksternal,
perbedaan pria dan wanita dapat dilihat dari tulang-tulang
yang ada. Salah satu tulang yang dapat diidentifikasi untuk
membedakan jenis kelamin tersebut adalah tulang rahang.
1. Identifikasi jenis kelamin melalui Lengkung rahang
atas
Pada pria, lengkung rahang lebih besar daripada wanita
karena relatif gigi-geligi pria jarak mesio distal lebih
panjang dibandingkan dengan wanita. Sedangkan
palatum pada wanita lebih kecil dan berbentuk
parabola. Dan pada pria, palatum lebih luas serta
berbentuk huruf U.
2. Identifikasi jenis kelamin melalui lengkung rahang
bawah
Lengkung rahang pria lebih besar dari wanita karena
gigi-geligi wanita jarak mesio distalnya lebih keci
daripada pria.
3. Identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang
Terdapat berbagai sudut pandang pada setiap regio dan
bentuk serta besar dari rahang pria maupun wanita
yang sangat berbeda. Hal ini dapat digunakan sebagai
sarana atau data identifikasi jenis kelamin melalui
tulang rahang.
a. Identifikasi jenis kelamin melalui sudut gonion
Sudut gonion pria lebih kecil dibandingkan sudut
gonion wanita.
b. Identifikasi jenis kelamin melalui tinggi Ramus
Ascendens
Ramus Ascendens pria lebih tinggi dan lebih besar
daripada wanita.
c. Identifikasi jenis kelamin melalui Inter Processus
Jarak processus condyloidues dengan processus
coronoideus pada pria lebih jauh dibandingkan
dengan wanita. Dengan kata lain pada pria
mempunyai jarak lebih panjang dibandingkan
dengan wanita.
d. Identifikasi jenis kelamin melalui lebar Ramus
Ascendens
Identifikasi jenis kelamin melalui Ramus
Ascendens pada pria mempunyai jarak yang lebih
besar dibandingkan dengan wanita.
e. Identifikasi jenis kelamin melalui Tulang Menton
(dagu)
Identifikasi jenis kelamin melalui tulang menton
pria atau tulang dagu pria yang dimaksud lebih
anterior dan lebih besar.
f. Identifikasi jenis kelamin melalui Pars Basalis
Mandibula
Pada pria, pars Basalis Mandibula lebih panjang
dibandingkan dengan wanita dalam bidang
horisontal.
g. Identifikasi jenis kelamin melalui Processus
Coronoideus
Tinggi Processus Coronoideus pada pria lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita dalam bidang
vertikal.
h. Identifikasi jenis kelamin melalui Tebal tulang
Menton
Tulang menton pria dalam ukuran pabio lebih tebal
dibandingkan dengan wanita, hal ini kemungkinan
masa pertumbuhan dan perkembangan rahang pria
lebih lama dibandingkan dengan wanita. Ukuran
ini sangatlah relatif tergantung dari ras, sub ras dan
hanya dibandingkan sesama etnik-etnik saja.
i. Identifikasi jenis kelamin melalui lebar dan tebal
Processus Condyloideus
121
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Bentuk processus condyloideus bermacam-macam
baik pria maupun wanita, tetapi mempunyai tebal
dan lebar yang berbeda. Pada pria ukuran diameter
processusnya lebih besar dibandingkan dengan
wanita, hal ini karena ukuran anterior posterior dan
latero medio lebih besar dibandingkan dengan
wanita.
Radiografi panoramik adalah teknik radiografi
ekstra oral yang dapat memperlihatkan rahang atas dan
rahang bawah sekaligus, serta struktur anatomis yang
berdekatan dalam satu film. Teknik radiografi ini
digunakan untuk pemeriksaan, diagnosis, dan memilih
jenis perawatan yang terbaik serta sebagai alat
screening/seleksi dan penilaian menyeluruh (radiografi
studi). Gambar 1 merupakan foto panoramik,cara
pengambilan gambarnya melalui ekstra oral.
Gambar 1. Foto Panoramik
Forensic odontolgy adalah ilmu yang mempelajari
tentang keunikan gigi. Forensic odontology dimanfaatkan
oleh badan penegak hukum untuk mengeksploitasi
pengenal biometrik sebagai alat kunci dalam pengenalan
forensik. Dengan adanya evolusi dalam teknologi
informasi dan besarnya jumlah kasus yang membutuhkan
investigasi oleh ahli forensik, sehingga automatisasi
pengidentifikasi forensik tidak dapat dihindari lagi.
Pengidentifikasian forensik yang dilakukan sebelum
kematian seseorang dinamakan pengidentifikasian
antemortem (AM). Sedangkan pengidentifikasian forensik
yang dilakukan setelah kematian seseorang dinamakan
pengidentifikasian postmortem (PM).
Ketika pengidentifikasian dilakukan lebih dari dua
minggu setelah kejadian, sebuah pengenal biometrik PM
harus dapat bertahan dalam kondisi itu dan melawan
pembusukan yang mempengaruhi seluruh bagian tubuh.
Fitur-fitur gigi dapat dipertimbangkan sebagai kandiddat
terbaik untuk pengidentifikasian PM. Hal ini dikarenakan
ketahanan dan keanekaragaman fitur-fitur gigi.
Forensic odontology mempelajari pengaplikasian gigi
dalam penindaklanjutan hukum, termasuk penanganan
yang tepat, pemeriksaan, dan evaluasi terhadap bukti gigi
yang kemudian akan dipresentasikan di depan pengadilan.
Ilmu ini melingkupi sebuah variasi yang luas dari topiktopik pengidentifikasian individu, pengidentifikasian
massal, dan analisis tanda gigitan. Pembelajaran ilmu gigi
dalam sebuah kasus hukum dapat berupa sepotong bukti
yang terlibat atau sebuah aspek dengan kontroversi yang
luas. Salah satu bukti yang diambil dari gigi dapat
digunakan untuk pengidentifikasian seseorang yang
memiliki gigi tersebut. Hal ini dilakukan dengan
menggunakan data rekaman gigi atau foto gigi.
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini, yaitu: Tujuan penelitian ini
yaitu dapat membantu pihak tim forensik dalam mengenali
korban bencana alam atau mengidentifikasi korban
kejahatan. Target penelitian ini, adalah:
1. Membangun sistem identifikasi jenis kelamin manusia
berdasarkan foto panoramik gigi.
2. Membantu menemukan suatu cara baru dalam
melakukan identifikasi jenis kelamin manusia dengan
algoritma backpropagation.
3. Menghasilkan pembuktian keakurasian atau ketelitian
dari algoritma backpropagation dalam melakukan
identifikasi jenis kelamin manusia.
Manfaat dari penelitian ini, adalah:
1. Dapat membantu dalam melakukan identifikasi
forensik manusia
2. Dapat membantu mengenali korban atau jenazah yang
belum dikenali dengan menggunakan foto panoramik
gigi
3. Dapat memberikan kemudahan dalam proses
identifikasi jenis kelamin manusia berdasarkan foto
panoramic
IV. METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan mengembangkan dan membangun
suatu sistem untuk identifikasi jenis kelamin manusia
berdasarkan foto panoramik gigi. Penelitian ini termasuk
dalam penelitian percobaan, di mana membutuhkan
analisa dari tingkat keakurasian sistem dan ketepatan
sistem. Penelitian ini menggunakan foto panoramik
sebanyak 20 dari foto panoramik gigi manusia. Data akan
didigitalisasi agar dapat digunakan sebagai inputan.
Selanjutnya citra tersebut akan dilakukan preposessing.
Untuk memperjelas alur dan langkah penelitian ini dapat
dilihat dalam Gambar 2.
Pengambilan Citra Panoramik
Gigi Manusia dan Digitalisasi
Tahap Preposessing Citra
Tahap Ekstraksi Fitur Citra
Tahap Training/Pembelajaran
Algoritma Backpropagation
Tahap Testing Sistem
Gambar 2. Alur Penelitian
122
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Dalam tiap tahapan akan dilakukan penulisan hasil
dalam bentuk laporan. Untuk pengambilan data, penelitian
akan mengambil sampel foto panoramik gigi ke RS. Ibnu
Sina Gresik, karena hanya beberapa rumah sakit yang
menyediakan alat foto panoramik. Adapun rumah sakit
yang menyediakan alat foto panoramik yaitu Rumah Sakit
Ibnu Sina Gresik dan Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.
Data yang digunakan training dan testing sebanyak 20 foto
panoramik gigi.
Data yang sudah diperoleh selanjutnya didigitalisasi
agar dapat digunakan dalam tahap preposessing. Tahap
preposessing adalah tahap perbaikan citra agar citra
digunakan dapat memberikan hasil yang maksimal. Tahap
ekstraksi fitur yaitu mengambil fitur-fitur yang terpenting
dalam citra, misalnya panjang mandibula foto panoramik
gigi, panjang lengkungan, dan lainnya. Hasil dari ekstraksi
fitur citra selanjutnya proses pembelajaran menggunakan
algoritma backpropagation dan testing. Tujuan tahap
testing yaitu untuk mengetahui akurasi dari hasil
penelitian.
4. Dalam perulangan melakukan pengecekan jika posisi
yang dituju bernilai 1 maka luas ditambah 1, titik x
ditambah 1 dan titik y ditambah 1
5. Jika pengecekan tidak sesuai proses perulangan
dilanjutkan sampai semua posisi sudah sampai akhir
6. Nilai centroid titik x adalah nilai titik x dibagi luas, dan
nilai tengah titik y adalah nilai titik y dibagi luas
Nilai centroid selanjutnya disimpan di dalam database
dan tabel. Database yang digunakan peneliti, yaitu MySql.
Terdapat empat tabel untuk digunakan pelatihan. Keempat
tabel adalah nilai centroid dari gigi kaninus panoramic.
Tabel pertama nilai centroid dari gigi kaninus maksila kiri.
Tabel kedua nilai centroid dari gigi kaninus maksila
kanan. Tabel ketiga nilai centroid dari gigi kaninus
mandibla kiri. Tabel keempat nilai centroid dari gigi
kaninus mandibla kanan.
Hasil dari proses di atas, dalam Tabel 1.
TABEL 1.
NILAI CENTROID GIGI KANINUS MAKSILA KIRI
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Proses pelatihan membutuhkan nilai untuk dilatih dan
ditraining agar dihasilkan bobot. Bobot tersebut digunakan
untuk ujicoba dan testing data selanjutnya. Nilai yang
digunakan untuk pelatihan adalah nilai centroid dari gigi
kaninus
panoramic.
Dalam
struktur
jaringan
Backpropaation peneliti menggunakan dua inputan, x1 dan
x2. Dan hidden layer sebanyak empat node, z1 z2, z3, dan
z4. Dan 1 node dalam layar output, seperti Gambar 3.
z1
x1
titik_x
titik_y
y
114
162
0
135
167
0
119
117
0
111
157
0
114
204
1
108
177
1
75
168
0
106
176
1
101
126
0
137
206
1
z2
x2
z3
y
z4
1
1
Gambar 3. Struktur Jaringan Backpropagation Sistem
Ekstraksi fitur merupakan proses pengambilan nilai
terpenting dari suatu citra. Nilai yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu nilai centroid gigi kaninus panoramic.
Nilai centroid adalah nilai titik tengah dari citra. Untuk
mendaptkan nilai tersebut dibutuhkan citra biner,
selajutnya mencari luas dari citra, dan panjang ataupun
lebar citra. Nilai centroid tersebut akan dijadikan inputan
dalam proses pembelajaran atau pelatihan algoritma
backpropagation. Algoritma mencari nilai centroid, yaitu:
1. Citra dalam kondisi biner (hitam putih), putih
merupakan gigi, dan hitam adalah gusi.
2. Menghitung ukuran citra
3. Melakukan perulangan dari baris ke kolom
Titik_x dan titik_y secara berturut-turut merupakan
nilai inputan dalam pelatihan algoritma backpropagation,
di mana titik_x merupakan x1 dan titik_y merupakan x2.
Dan y merupakan output dari sistem, di mana nilai 1
mewakili jenis kelamin laki-laki, dan nilai 0 mewakili
jenis kelamin perempuan.
Dalam pelatihan backpropagation proses perbaikan
nilai bobot menggunakan sigmoid biner. Artinya nilai
hanya berkisar antara 0 sampai 1. Sehingga nilai inputan
yang awalnya dalam skala ratusan harus dijadikan range 0
sampai 1, dengan dinormalisasi. Persamaan normalisasi,
yaitu:
new
(data min) * (new _ max new _ min)
new _ min
(max min)
Hasil normalisasi seperti dalam Tabel 2.
123
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
TABEL 2.
NILAI NORMALISASI CENTROID GIGI KANINUS KIRI ATAS
x_1
x_2
y
0,629
0,506
0
0,968
0,562
0
0,710
0,000
0
0,581
0,449
0
0,629
0,978
1
0,532
0,674
1
0,000
0,573
0
0,500
0,663
1
0,419
0,101
0
1,000
1,000
1
Serangkaian proses normalisasi di atas dilakukan
menggunakan Excel, hasil dari nilai tersebut selanjutnya
di simpan ke dalam tabel database.
Selanjutnya dilakukan pelatihan, tujuan dari pelatihan
adalah mendapatkan nilai bobot yang baik sehingga
didapatkan nilai ujicoba yang maksimal. Gambar 4.
merupakan hasil pelatihan backpropagation, yaitu bobot.
Proses training data nilai centroid gigi kaninus maksila kiri
terdapat 4008 epoch, setiap epoch terdapat iterasi 10 kali
karena data dalam tabel sebanyak 10 baris.
Di mana v01, v02, v03, v04 merupakan bobot dari node
bias atau 1 ke layar hidden node z1, node z2, node z3, dan
node z4. Dan v11, v12, v13, v14 merupakan bobot dari node
inputan 1 atau x1 ke layar hidden node z1, node z2, node z3,
dan node z4. Dan v21, v22, v23, v24 merupakan bobot dari
node inputan 2 atau x2 ke layar hidden node z1, node z2,
node z3, dan node z4. Dan w01, w11, w21, w31, w41
merupakan nilai bobot dari hidden layer node 1, z 1, z2, z3,
dan z4 ke layer output node y. Nilai bobot ini selanjutnya
digunakan untuk ujicoba atau testing.
PERBANDINGAN BINERISASI GIGI KANINUS MAKSILA KIRI
No
1
Foto Edit
Foto Murni
2
3
Dari hasil perbandingan hasil binerisasi citra murni
lebih jelas giginya, akan tetapi peneliti menggunakan citra
binerisasi yang sudah diedit terlebih dahulu dalam proses
selanjutnya. Citra yang digunakan dalam sistem ini
sebanyak 10 foto panoramic. Setiap satu foto panoramic
dipotong sebanyak empat, yaitu gigi kaninus maksila kiri
dan kanan, gigi kanunis mandibla kiri dan kanan.
Dari 10 citra panoramic, maka akan dihasilkan 40 foto
gigi kaninus, yaitu maksila kiri kanan, dan mandibla kiri
kanan. Jika dibuat tabel ada 4 tabel nilai centroid dari gigi
kaninus. Dan yang digunakan training atau pembelajaran
yaitu tabel centroid gigi kaninus maksila kiri. Dari hasil
training didapatkan bobot, dan bobot tersebut sebanyak 17
seperti dalam Gambar 4, dan disimpan dalam tabel bobot
secara Gambar 5.
Gambar 5. Tabel Bobot di Database
Hasil dari training, yaitu bobot digunakan utuk
ujicoba. Peneliti melakukan ujicoba sebanyak 4 kali, pada
tabel kiri_atas, kanan_atas, kiri_bawah, kanan_bawah.
Masing-masing nilai dari keempat tabel, yaitu:
Gambar 6. Tabel Kiri_Atas
Gambar 4. Nilai Bobot Hasil Pelatihan Backpropagation
Hasil ujicoba data foto panoramic gigi kaninus yang
sudah dijadikan binerisasi ada dua perbandingan. Yaitu
hasil binerisasi citra data yang terlebih dahulu diolah
dengan photoshop dan hasil binerisasi data murni citra
berwarna potongan foto panoramic. Tabel 3.
Perbandingan Binerisasi Gigi Kaninus Maksila kiri.
Hasil testing sebanyak empat kali, secara berturut-turut
ujicoba nilai centroid gigi kaninus maksila kiri, ujicoba
nilai centroid gigi kaninus maksila kanan, ujicoba nilai
centroid gigi kaninus mandibla kiri, ujicoba nilai centroid
gigi kaninus mandibla kanan seperti Gambar berikut:
TABEL 3.
124
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Gambar 7. Hasil Ujicoba Tabel Kiri_Atas
Dari ujicoba yang pertama terdapat 10 baris data
centroid gigi kaninus, dan ke-10 data tersebut benar
semua, sehingga nilai akurasi 100%. Dari ujicoba yang
kedua terdapat 10 baris data centroid gigi kaninus, dan ke10 data tersebut benar sebanyak 8, sehingga nilai akurasi
80%. Dari ujicoba yang ketiga terdapat 10 baris data
centroid gigi kaninus, dan ke-10 data tersebut benar
sebanyak 5, sehingga nilai akurasi 50%. Dari ujicoba yang
keempat terdapat 10 baris data centroid gigi kaninus, dan
ke-10 data tersebut benar sebanyak 9, sehingga nilai
akurasi 90%. Nilai akurasi rata-rata dari sistem adalah
(100+80+50+90)/4=80%.
VI. KESIMPULAN
Dari beberapa ujicoba dan persiapan pengolahan data,
peneliti menyimpulkan:
1. Citra yang diolah terlebih dahulu di photoshop
hasilnya lebih baik, karena citra binerisasinya lebih
tepat.
2. Citra harus dilakukan perbaikan terlebih dahulu
menggunakan filter median, agar nilai intensitas citra
merata.
3. Dalam melakukan binerisasi, metode iterative dan
adaptive thresholding lebih baik hasilnya.
4. Proses pencarian nilai centroid menggunakan citra
biner hasil olahan photoshop.
5. Proses training dan ujicoba berhasil semua. Di mana
nilai akurasi dari proses ujicoba 80% dalam
menentukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Chen, Hong. Automatic Forensic Identification
Based on Dental Radiographs. Departement of
Computers Science and Engineering. 2007.
[2] Fahmy Gamal, Diaa Nassar. Towards an Automated
Dental Identification (ADIS). ICBA, 789-796. 2004.
[3] Itjingningsih W.H., Drg. Anatomi Gigi. Jakarta.
1991.
[4] Ito, Koichi. A Dental Radiograph Recognition
System Using Phase-Only Correlation for Human
Identification. IEICE TRANS. Vol. E91-A, 298-305.
2008.
[5] Jain, Anil K. Dental Biometrics: Human
Identification Using Dental Radiographs. AVBPA,
UK, 429-437. 2003.
[6] Jain, Anil K., Hong Chen. Matching of Dental X-Ray
Images for Human Identification. PERGAMON.
Vol.37, 1519-1532. 2004.
[7] Kasni. Evaluasi Foramen Mental Berdasarkan Jenis
Kelamin Ditinjau sara adiografi Panoramik.
Fakultas Kedokteran Ggi Universitas Hasanuddin
Makassar, 2014.
[8] Lukman, Djohansyah. Buku Ajar Jilid 2 Ilmu
Kedokteran Gigi Forensik. Sagung Seto, Jakarta.
2006.
[9] Nassar, Diaa Eldin M. A Neural Network System for
Matching dental Radiographs. Elsevier, Vol.40, 6579. 2007.
[10] Nassar, Diaa Eldin M. A Prototype Automatic Dental
Identification System (ADIS). Morgantown, West
Virginia. Departement of Computers Science and
Electrical Engineering. 2001.
[11] Nehenia, Benindra. Perkiraan Usia Berdasarkan
Metode TCI dan Studi Analisis Histologis Ruang
Pulpa pada Usia 9-21 Tahun. Progam Megister Ilmu
Kedokteran Gigi Dasar Jakarta, 2012.
[12] Paramaputri, Made Ayu Dani. Pengaruh Gigi
Impaksi Molar Ketiga Rahag Bawah terhadap
Ketebalan Angulus Mandibula Berdasarkan Jenis
Kelamin. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, 2014.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih peneliti sampaikan kepada: Universitas
Islam Lamongan, Lembaga Penelitian, Pengembangan
dan Pengabdian Masyarakat Unisla, serta Rumah Sakit
Umum Ibnu Sina Gresik.
125
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
APLIKASI SISTEM KONTROL PI PADA
MESIN PENDINGIN TIPE AIR BLAST
SEBAGAI KONTROL EKSPANSI
OTOMATIS (APPLICATION PICONTROL
SYSTEM ON REFRIGERATOR PLATE TOUCH
TYPE FOR AUTOMATIC EXPANSION VALVE
CONTROL)
Bayu Rudiyanto#1, Budi Hariono#2, Abi Bakri#3
Jurusan Teknik , Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip PO Box 164 Jember
#2,3
Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jalan Mastrip PO Box 164 Jember
#1
Abstract
Salah satu cara untuk melakukan penghematan energi dalam proses pembekuan, adalah dengan cara melakukan proses
pembekuan secara bertahap menggunakan mesin pendingin tipe lempeng sentuh dengan melakukan pengontrolan temperatur
secara otomatis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan proses perancangan dan pembuatan kontrol katup ekspansi otomatis
dengan menggunakan sistem kontrol PI, yang selanjutnya akan diaplikasikan pada mesin pendingin lempeng sentuh untuk
melakukan proses pengontrolan temperatur pembekuan. Sensor temperatur LM35 digunakan dalam penelitian ini untuk
melakukan pembacaan temperatur pada ruang evaporator, yang mana dari hasil pembacaan sensor tersebut digunakan sebagai
sinyal masukan untuk sistem kontrol PI. Berdasarkan hasil pengujian sensor LM35 mempunya sensitivitas pembacaan yang
hampir sesuai dengan data sheet yaitu sebesar 0,009335 V/ oC. Unjuk kerja sistem kontrol PI pada penelitian ini didapatkan
respon yang baik pada nilai Kp = 20 dan Ki = 10, dimana dengan nilai berikut untuk mencapai temperatur set point waktu
yang dibutuhkan selama 251 detik dengan nilai maximum overshoot lebih rendah yaitu -2,4oC. Hasil pendingan yang
didapatkan pada penelitian ini dengan menggunakan sistem kontrol katup ekspansi otomatis didapat proses pendinginan yang
lebih cepat dan energi yang dibutuhkan jauh lebih hemat yaitu sebesar 0,265 kWh.
Keyword- Kontrol PI, Sensor LM35, Katup Ekspansi Otomatis, Mesin Pendingin
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi mesin pendingin demikian
pesat sejalan dengan tuntutan peningkatan kualitas
kehidupan manusia, yang salah satunya ditandai dengan
kebutuhan mesin pendingin untuk keperluan pembekuan
yang digunakan untuk proses pengawetan berbagai bahan
yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Hidayat
(2014) menyatakan, iklim tropis yang terjadi seperti di
Indonesia berpengaruh secara signifikan terhadap
keawetan paska panen dari hasil pertanian seperti buahbuahan, dan sayur-mayur dan juga dalam perikanan.
Demikian besarnya ketergantungan pada mesin
pendingin tersebut kebutuhan akan energi listrik untuk
penggerak mesin pendingin cukup tinggi. Upaya untuk
melakukan penghematan pada energi listrik di berbagai
sektor perlu dilakukan guna mendukung kepedulian
lingkungan seperti global warming, penghematan biaya
energi dan upaya program pemerintah untuk melakukan
pemerataan penggunaan energi listrik di berbagai daerah
yang terdapat di Indonesia.
Telah banyak peneliti yang melakukan penelitian
tentang penghematan energi pada mesin pendingin
kompresi uap, seperti yang dilakukan Kurniawan (2009)
mengkaji tentang energi dan eksergi pembekuan daging
sapi menggunakan mesin pendingin kompresi uap tipe
lempeng sentuh dengan suhu pembekuan bertingkat. Dari
hasil penelitian tersebut didapatkan hasil efisiensi energi
pendinginan sebesar 0.17% dengan total energi input 2.45
kWh, serta efisiensi eksergi sebesar 56.93%. Hasil
126
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
tersebut menurut Kurniawan (2009) masih kurang
optimal, sehingga dari penelitian tersebut disarankan
untuk dikembangkan sistem kontrol temperatur yang
dapat mengontrol proses pendinginan sehingga akan
didapatkan pendinginan yang optimal. Selain itu juga
Kamal (2008) dalam penelitiannya tentang pemodelan
sistem pembekuan dengan suhu media bertahap
menggunakan mesin pendingin sistem kompresi uap
didapatkan hasil pembekuan yang kurang optimal, salah
satu penyebabnya adalah proses pengontrolan temperatur
ruang evaporator dilakukan secara manual, sehingga hal
tersebut menyebabkan temperatur pendinginan pada
evaporator kurang terkontrol secara optimal. Oleh karena
itu dalam penelitiannya tersebut disarankan untuk
dikembangkan sistem pengendali temperatur otomatis
untuk mengatur temperatur evaporator dengan
menggunakan solenoid valve agar didapatkan efisiensi
pembekuan lebih optimal.
Melihat dari berbagai saran tersebut maka dalam
penelitian ini dilakukan pembuatan kontrol yang dapat
mengatur temperatur pendinginan, salah satunya yaitu
dengan membuat pengontrolan pada komponen katup
ekspansi agar dapat bekerja secara otomatis.Katup
ekspansi merupakan komponen mesin pendingin yang
berfungsi
untuk
menurunkan
tekanan
dan
mengontrolaliran refrigerant yang masuk ke evaporator.
Pengaturan penurunan tekanan yang dilakukan oleh katup
ekspansi dapat membantu kinerja kompresor lebih ringan,
sehingga dengan demikian konsumsi energi listrik yang
dibutuhkan oleh kompresor juga akan menurun. Untuk itu
apabila ingin melakukan penghematan energi listrik yang
dikonsumsi oleh mesin pendingin, perlu adanya katup
ekspansi yang dapat bekerja secara otomatis agar proses
penurunan tekanan dapat lebih akurat dengan tetap
memperhatikan hasil pendinginan yang terjadi di ruang
evaporator.
Proses pengontrolan katup ekspansi otomatis dapat
dilakukan dengan menambahkan solenoid valve pada
komponen mesin pendingin, yang selanjutnya akan
dikontrol secara elektrik, yaitu dengan memanfaatkan
pengontrolan temperatur LM35 yang dikontrol dengan
sistem kontrol PI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
merancang dan membuat sistem kontrol katup ekspansi
otomatis yang akan diaplikasikan pada mesin pendingin
tipe lempeng sentuh untuk mendapatkan proses
pendinginan yang lebih hemat energi dan hasil
pendinginannya lebih cepat dan kualitas pendinginannya
lebih baik dari pada penelitian terdahulu.
penelitian ini meliputi: aplikasi Express PCB, aplikasi
Proteus 7, dan peralatan kerja. Sedangkan alat yang
digunakan untuk proses pengujian meliputi: satu unit
mesin pendingin lempeng sentuh, Avometer digital tipe
SANWA CD800a, dan Thermocouple, kWh meter, dan
Laptop.
Sistem yang akan dibuat adalah suatu sistem
pengendali katup ekspansi otomatis yang digunakan untuk
mengatur temperatur pada mesin pendingin lempeng
sentuh agar tetap stabil sesuai dengan suhu pendinginan
yang telah ditentukan. Proses pengendalian katup ekspansi
otomatis dilakukan dengan menabahkan solenoid valve
pada pipa masukan refrigeran sebelum katup ekspansi.
Kegunaan dari solenoid valve tersebut adalah untuk
mengendalikan aliran refrigeran yang masuk pada ruang
evaporator.
Proses pengendalian aliran tersebut memerlukan
sebuah kontrol untuk menghidupkan dan mematikan
solenoid valve, dimana kontrol yang digunakan yaitu
kontrol PI analog dengan menggunakan op-amp. Output
dari kontrol PI akan dihubungkan dengan kaki basis pada
transistor yang akan menghidupkan relay. Relay ini
berfungsi sebagai driver untuk memberikan suplai
tegangan pada katup solenoid. Sensor LM35 digunakan
sebagai sensor temperatur yang akan memberikan suatu
besaran tegangan dari besarnya temperatur pada ruang
pendingin mesin pendingin lempeng sentuh. Sensor LM35
ini digunakan untuk umpan balik masukan bagi rangkaian
error detector pada kontrol PI.
Berikut adalah diagram blok dari pengendali katup
solenoid dengan kontrol PI.
Gambar 1.Blok Diagram Pengendali Katup Solenoid
Perancangan Kontrol PI
Bagian terpenting dalam penelitian ini adalah proses
pembuatan kontrolPI. Kontrol PI ini akan memberikan
aksi kontrol terhadap plant yaitu katup solenoid AC 7 watt
220 volt. Kontrol yang digunakan adalah kontrol PI
analog dengan menggunakan IC Op-amp . Dimana IC Opamp yang digunakan adalah LM741 yang akan didesain
membentuk kontrol proporsional, dan integral. Berikut
desain dari kontrol PI analog akan dibuat:
II. METODOLOGI
Penelitian diawali dengan melakukan proses studi
kepustakaan dan melakukan perancangan sistem kontrol
ekspansi otomatis yang meliputi proses percangan kontrol
PI (Proporsional Integral), dan perancangan kontrol
driver katup solenoid. Peralatan yang digunakan dalam
127
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Gambar 4. Rangkaian Kontroler PI
Gambar 2. Desain Rangkaian PI Analog
Bagian pertama dari kontrol PI adalah rangkaian error
detector yang merupakan rangkaian difference amplifier.
Rangkaian error detector tersebut berfungsi untuk
menghitung sinyal error antara pembacaan sensor LM35
dengan nilai set point tegangan yang ditentukan.
Gambar 3. Rangkaian Error Detector
Pada rangkaian error detector diatas, op-amp akan
mendapatkan dua input yaitu set point (SP) dan nilai aktual
atau process variable (PV) sensor temperatur LM35. Nilai
set point (SP) didapatkan dari rangkaian pembagi
tegangan yang menggunakan potensiometer 100 kΩ
dengan suplai tegangan -5 volt. Sedangkan nilai aktual
atau process variable (PV) didapatkan dari output
tegangan dari sensor LM35. Untuk menghitung output
pada rangkaian diatas, maka rangkaian tersebut dapat
dianggap sebagai rangkaian inverting dan rangkaian non
inverting amplifier. Dengan menjumlahkan tegangan
output dari rangkaian invertingdan
rangkaiannon
inverting amplifier akan didapatkan output
dari
rangkaian.
=−
�
��
+
�
��
+
�
� +R
Rangkaian di atas akan mendapatkan tegangan input
dari sinyal error yang berasal dari rangkaian error
detector. Op-amp U4 adalah rangkaian inverting summer
yang berfungsi untuk menjumlahkan nilai output dari
masing-masing kontrol proporsional, integral dan
membalikkan tegangan output dari masing-masing
kontrol, sehingga mendapatkan output secara keseluruhan
yaitu:
= ��
+ �� ∫
�+
(3.2)
Dimana:
�
�� = ,proposional band (gain)
�
�� =
,integration constant
� .��
=offset integrator initial charge
Driver Katup Solenoid
Rangkaian driver berfungsi untuk mengaktifkan katup
solenoid dengan memberikan catu daya Ac 220V
berdasarkan keluaran dari rangkaian kontrol. Pada
rangkaian driver katup solenoid digunakan relay 12 volt
yang berfungsi sebagai saklar magnetik. Relay ini akan
bekerja jika dihubungkan pada sumber catu daya sebesar
12 volt DC.
(2. )
Dengan memberikan nilai yang sama pada masing-masing
resistor yaitu Rf = Ri = R1 = R2 = 330 Ω, maka nilai
tegangan output akan menjadi Vout = Vsp- Vpv.
Bagian selanjutnya dari kontrol ini adalah rangkaian
proporsional integral (PI). Rangkaian ini berfungsi untuk
mengolah sinyal error yang dihasilkan dari perbedaan
nilai set point dengan nilai process variable (PV) sampai
error bernilai nol. Berikut gambar desain dari rangkaian
PI yang akan dibuat:
Gambar 5. Perencanaan Rangkaian Driver Katup Solenoid
VII.
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Unjuk Kerja Kontrol PI
Kontrol PI merupakan sistem kontrol gabungan dari
kontrol proporsional dan sistem kontrol integral, dimana
kedua sistem kontrol tersebut disatukan untuk mengontrol
sebuah plant (katup solenoid). Kinerja yang baik dari
sebuah kontrol PI dapat ditunjukkan dengan cara
bagaimana sistem kontrol tersebut dapat mengatur plant
sesuai nilai set point dengan respons time yang lebih cepat
128
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
dan mampu mempertahankan posisi planttetap stabil pada
nilai set point yang telah ditentukan. Sehingga dengan
begitu proses pendinginan pada suatu bahan pangan akan
lebih cepat dan hasil pendinginnya mempunyai kualitas
yang baik.
Kinerja kontrol PI akan didapatkan hasil yang
maksimal apabila didapatkan konstanta yang tepat pada
masing-masing sistem kontrol yaitu konstanta
proporsional (Kp) dan konstanta integral (Ki). Nilai
konstanta tersebut pada sistem kontrol PI perlu diatur,
karena dengan mengatur nilai konstanta pada masingmasing sistem kontrol yaitu sistem kontrol proporsional
dan sistem kontrol integral akan didapatkan hasil
pengontrolan yang baik, yaitu responst time semakin
cepat, temperatur pendinginan lebih stabil, dan nilai error
overshoot dapat dihilangkan (Bashori, 2013).
Proses penentuan nilai konstanta pada sistem kontrol
PI pada penelitian ini diperoleh berdasarkan proses
perhitungan sesuai persamaan 3.3 dan 3.4 dengan
menggunakan metode Trial and Error. Metode Trial and
Error tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai
konstanta yang tepat, karena melihat banyaknya nilai
konstanta yang dapat diatur pada sistem kontrol yang telah
dibuat, sertaadanya ciri-ciri dari masing-masing sistem
kontrol dalam hal ini adalah sistem kontrol proporsional
dan sistem kontrol integral yang perlu dilakukan
pertimbangan.
Proses penentuan konstanta proporsional dan integral
pada sistem kontrol PI terdiri dari dua langkah percobaan,
langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mencoba
kontrol proporsional terlebih dahulu, kemudian proses
kedua baru dilakukan pengujian dengan menggunakan
kontrolproporsional dan integral. Tujuan proses
pengujian unjuk kerja kontrol PI dengan melalui dua
tahapan tersebut untuk mengetahui bagaimana respons
pengontrolan yang dilakukan oleh kontrol proporsional
sendiri dibandingkan respons pengontrolan yang
dilakukan oleh kontrol proporsional integral. Tabel 2 dan
tabel3 berikut menunjukkan bagaimana karakteristik
respons sistem yang dihasilkan dari kedua proses
pengujian.
Tabel 3. Karakteristik Respons Sistem Hasil Pengujian
Pada Kontrol Proporsional Integral
Berdasarkan tabel 2 dan tabel 3 dapat diketahui bagaimana
karakteristik hasil pengujian kinerja sistem kontrol.
Berdasarkan hasil tersebut dengan menggunakan sistem
kontrol proporsional integral (PI) waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai temperatur set point(Rise Time) lebih
cepat dibandingkan hanya menggunakan sistem kontrol
proporsional. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana pada
kontrol proporsional waktu tercepat sistem untuk
mencapai temperatur set point adalah selama 370 detik
pada nilai Kp = 10, dan 20. Tetapi setelah nilai Kp tersebut
dipadukan dengan memasukan nilai Ki ternyata waktu
untuk mencapai set point relatif lebih cepat, yaitu pada
Kp= 10 dan Ki = 25 waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai set point adalah selama 312 detik, sedangkan
pada nilai Kp = 20 dan Ki = 10 waktu yang dibutuhkan
selama 251 detik. Gambar grafik 9 berikut menunjukkan
bagaimana respons sistem yang terjadi ketika
menggunakan sistem kontrol PI.
Tabel2.Karakteristik Respons Sistem Hasil Pengujian
Pada Kontrol Proporsional
Gambar 9. Grafik Perbandingan Respons Sistem Antara
Kontrol
Proporsional
dan
Kontrol
Proporsional Integral
129
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pada gambar 9 diatas memperlihatkan respons sistem
dimana dengan menggunakan sistem kontrol PI dapat
mempercepat waktu respons untuk mencapai temperatur
set point. Respons sistem berdasarkan gambar grafik
tersebut merupakan hasil pengujian sistem kontrol dengan
nilai Kp = 20 dan nilai Ki = 10. Nilai Kp tersebut
digunakan karena berdasarkan hasil pengujian pada sistem
kontrol proporsional sesuai tabel 2rise time yang
digunakan lebih cepat dengan nilai maximum overshoot
lebih rendah. Sedangkan pada kontrol proporsional
integral diatur nilai Ki = 10, karena setelah dilakukan
percobaan dengan nilai Kp = 20 dan dilakukan
penambahan Ki = 10 rise time berdasarkan tabel 3 dapat
lebih dipercepat dan maximum overshoot dapat diperkecil
sampai -2,4oC.
Respons sistem sesuai gambar grafik diatas terlihat
bagaimana proses penurunan temperatur ruang pendingin
yang terjadi. Temperatur pendinginan pada ruang
pendingin tidak dapat dipertahankan sesuai dengan
temperatur set point meskipun telah menggunakan sistem
kontrol PI. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana setelah
temperatur pendinginan telah tercapai sesuai batas
temperatur yang diinginkan, temperatur pada mesin
pendingin masih mengalami penurunan kemudian akan
berangsur-angsur naik sampai detik tertentu dan bahkan
akan melebihi batas temperatur set point. Fenomena
proses penurunan temperatur pendinginan sampai
dibawah temperatur set point yang terjadi pada mesin
lempeng sentuh tersebutdisebabkan karena proses
pengontrolan yang dilakukan oleh plant hanya mengatur
laju aliran refrigeran yang masuk keruang evaporator,
sedangkan mesin pendingin masih dalam keadaan
beroperasi ( kompresor dalam keadaan menyala).
Sehingga hal tersebut akan menyebabkan temperatur
pendinginan tetap mengalami penurunan karena masih
adanya aliran refrigeran pada ruang evaporator sebagai
akibat tetap beroperasinya mesin pendingin meskipun
plant sudah bekerja, dan ketika refrigeran pada ruang
evaporator telah habis diserap oleh kompresor maka ruang
evaporator akan mengalami kenaikan yang disebabkan
karena temperatur lingkungan lebih tinggi dari temperatur
evaporator sedang bahan isolasi dari ruang pendingin tidak
mampu mempertahankan temperatur ruangan evaporator
tersebut.
Unjuk Kerja Kontrol Katup Ekspansi Otomatis Pada
Mesin Pendingin Lempeng Sentuh
Kualitas penggunaan kontrol katup ekspansi otomatis
pada mesin pendingin lempeng sentuh, perlu dilakukan
pengujian guna menunjukkan kinerja yang dapat dicapai.
Dimana proses pengujian unjuk kerja katup dilakukan
dengan cara membandingkan penggunaan energi dan hasil
pendinginan tanpa menggunakan kontrol katup ekspansi
otomatis dengan menggunakan kontrol katup ekspansi
otomatis.
Menurut KBBI, energi merupakan suatu besaran yang
menyatakan kemampuan kerja dari sebuah sistem untuk
melakukan berbagai macam proses. Pada mesin pendingin
sistem lempeng sentuh besarnya energi ditunjukkan
berdasar besarnya daya listrik yang digunakan untuk
melakukan proses pendingin selama batas waktu tertentu .
Pada tabel 4 berikut ditunjukkan bagaimana pengaruh
penggunaan kontrol katup ekspansi otomatis terhadap
energi yang digunakan:
Tabel 4 Pengaruh Penggunaan Kontrol Katup Ekspansi
Otomatis Terhadap Penggunaan Energi.
Dari tabel 4 hasil pengujian diatas dapat diketahui
kebutuhan energi dalam proses pendinginan tanpa
menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis lebih
hemat dibandingkan dengan menggunakan kontrol katup
ekspansi otomatis. Hal tersebut terjadi karena ketika tanpa
menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis mesin
dimatikan langsung sehingga kompresor tidak bekerja,
sedangkan ketika menggunakan kontrol katup ekspansi
otomatis yang dikontrol hanya aliran refrigeran yang
masuk pada evaporator agar tidak mengalir ketika
temperatur pendingin sudah tercapai sesuai temperatur set
point, dan kompresor masih tetap beroperasi.
Pada saat kompresor pada mesin pendingin masih
beroperasi dan katup ekspansi sudah dalam keadaan
menutup maka refrigeran pada ruang evaporator akan
diisap oleh kompresor. Proses penghisapan refrigeran oleh
kompresor akan diikuti dengan penurunan tekanan, maka
hal tersebut berakibat terhadap kinerja kompresor akan
bertambah besar apabila katup ekspansi sudah dalam
keadaan terbuka. Disebabkan karena tekanan yang
dibutuhkan untuk mengalirkan refrigeran yang menuju ke
evaporator akan lebih besar.
Proses pendinginan merupakan proses penurunan
temperatur bahan atau material sesuai batasan tertentu
(Rohananah, 2002). Tujuan dari proses pendinginan
tersebut untuk mempertahankan kualitas kandungan gizi
yang terdapat di dalam sebuah bahan pangan. Gambar 10
berikut menunjukkan bagaimana grafik proses
pendinginan ketika menggunakan kontrol katup ekspansi
otomatis.
130
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
pendingin lempeng sentuh mengakibatkan proses
pendinginan bahan pangan lebih cepat karena
temperatur pendinginan lebih stabil serta energi
yang digunakan jauh lebih hemat dibandingkan
tanpa menggunakan kontrol katup ekspansi
otomatis.
Gambar10.Grafik
Hasil
Pendinginan
Dengan
menggunakan Kontrol Ekspansi Katup
Otomatis Dan Tanpa Kontrol Ekspansi
Katup Otomatis
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada Kementerian
Ristek dan Pendidikan Tinggi melalui Penelitian Hibah
Bersaing Usulan Tahun 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 10 diatas menunjukkan proses pendinginan air
sebanyak 570 ml pada mesin pendingin lempeng sentuh.
Proses pendinginan air pada mesin pendingin tersebut
dilakukan untuk mengetahui bagaimana hasil pendinginan
yang dapat dilakukan oleh mesin pendingin lempeng
sentuh ketika dioperasikan dengan menggunakan kontrol
katup ekspansi otomatis dan tanpa menggunakan kontrol
katup ekspansi otomatis. Dari hasil tersebut dapat
diperlihatkan bahwa dengan menggunakan kontrol katup
ekspansi otomatis hasil pendinginan air lebih cepat
dibandingkan tanpa menggunakan kontrol ekspansi
otomatis.
Besarnya nilai error atau nilai selisih hasil
pendinginan tanpa menggunakan kontrol dan dengan
menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis tersebut
rata-rata adalah sebesar 66,55%, hasil berikut dapat dilihat
sesuai data lampiran 24. Hasil tersebut menunjukkan
bagaimana kualitas pendinginan yang dapat dilakukan
oleh mesin pendingin lempeng sentuh ketika
menggunakan sistem kontrol ekspansi otomatis yaitu hasil
pendinginan dapat lebih cepat terjadi dibandingkan tanpa
menggunakan kontrol katup ekspansi otomatis.
Perbandingan hasil pendinginan yang sangat jauh tersebut
terjadi karena ketika menggunakan kontrol katup ekspansi
otomatis temperatur evaporator dapat lebih lama
dipertahankan pada posisi set point sehingga pendinginan
lebih stabil dibandingkan dengan tanpa menggunakan
kontrol katup ekspansi otomatis.
IV.
KESIMPULAN
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan dalam
penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan:
1. Hasil perancangan dan pembuatan kontrol katup
ekspansi otomatis dengan menggunakan metode
kontrol PI dengan nilai Kp = 20 dan Ki = 10
didapatkan nilai maximum overshoot yang lebih
rendah yaitu -2,4oC, dan rise time selama 251
detik.
2. Penggunaan kontrol katup ekspansi otomatis
dengan mengguna metode kontrol PI pada mesin
Bashori, Z.,Sumardi, dan I. Setiawan. 2013.”Pengendali
Temperatur Pada Plant Electric Furnace Berbasis
Sensor Thermocouple Dengan Metode Kontrol
PID”. JurnalTransient, Vol 2, No. 2. ISSN: 23029927,2.
Budi, W., Wahyudi, dan I. Setiawan. 2011. Teknik
Kendali Hibrid Pi Fuzzy Untuk Pengendalian Suhu
Zat Cair. Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik,
Universitas Diponegoro.
Hamzah, M., S. Budi, dan Sumardi. 2014. “Perancangan
Plant Alat Pembuat Sirup Buah Otomatis dengan
Kontrol PI Sebagai Pengendali Suhu Cairan
Berbasis Atmega16”. Jurnal Transient, Vol 3,
No.4. ISSN : 2302-9927, 665.
Hidayta, T. 2014. Analisis Karakteristik Refrigeran
Terhadap Konsumsi Energi Listrik Pada Prototipe
Sistem Pembeku Air Menggunakan R-134a
dan
R-290/R-600a. Sekolah Tinggi Teknologi Bina
Tunggal (STTBT) BekasiJawa Barat.
Kamal, D.M. 2008. Pemodelan Sistem Pembekuana
dengan Suhu Media Pembeku Bertahap pada Proses
Pembekuan Daging Sapi Segar Menggunakan
Metode Eksergi. Thesis. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kurniawa,.D. 2008. Regresi Linier. R: A language and
environment for statistical computing. R Foundation
for Statistical Computing, Vienna, Austria. ISBN 3900051-07-0, URL http://www.R-project.org
Swain, T.K. 2014. Analog Febrication Of PID Controller.
Thesis. Department Of Electrical Engineering,
National Institute Of Technology, Rourkela.
131
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
KAJIAN ENERGI MESIN PEMBEKU
LEMPENG SENTUH DENGAN PENURUNAN
SUHU MEDIA BERTAHAP
Budi Hariono#1, Abi Bakri#2, Bayu Rudiyanto##3
#
Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember
#
Jurusan Teknik, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember
1budi_hariono@yahoo.com
@bayu.poltek02@gmail.com
Abstract
Pembekuan yang dilakukan pada saat ini merupakan pembekuan yang menggunakan suhu tetap mulai dari awal proses
pembekuan bahan pangan sampai dalam kondisi beku. Penggunaan energi pada pembekuan konvensional yang
menggunakan suhu tetap, memiliki konsumsi energi yang kurang efisien karena pada setiap fase penurunan suhu bahan
memerlukan energi yang berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan mesin pembeku lempeng sentuh
dengan sistem penurunan suhu media secara bertahap namun hanya menggunakan satu buah evaporator tanpa conveyor untuk
menciptakan penurunan suhu media secara bertahap. Berdasarkan pengujian, nilai COP mesin pembeku evaporator tunggal
menghasilkan nilai sebesar 4,13 sampai 4,39. Sedangkan kinerja mesin pembeku menurut nilai laju pembekuannya tergolong
dalam pembekuan cepat yaitu sebesar 0,98 sampai 1,43 cm/jam. Perlakuan dengan suhu media bertahap berada pada kondisi
paling efisien dalam penggunaan energinya daripada tanpa penurunan suhu bertahap. Pembekuan dengan metode bertahap
mampu memberikan nilai penghematan energi listrik sebesar 19,22 sampai 24,41 % dibandingkan pembekuan konvensional
biasa. Perlakuan suhu media bertahap terbaik terjadi pada perlakuan pertama yaitu pada suhu media -5 °C, -15 °C dan -20 °C
dengan nilai COP sebesar 4,35, laju pembekuan 1,43 cm/jam dan konsumsi energi listrik sebesar 0,6233 kWh. Secara ratarata, kinerja dan penggunaan energi listriknya mampu lebih baik dan lebih hemat energi daripada mesin pembeku multi
evaporator Chusni. Rata-rata COP sebesar 4,30 dan laju pembekuannya sebesar 1,10 cm/jam dan mampu lebih menghemat
penggunaan energi listrik sebesar 68,05 % daripada mesin pembeku multi evaporator Chusni.
Keyword-Mesin Pembeku, Lempeng Sentuh, Pembekuan Bertahap, Efisien
I.
PENDAHULUAN
Pembekuan merupakan metode yang sangat baikuntuk
pengawetan sebuah produk bahan pangan. Proses
pembekuan tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap
rasa, warna dan kadar jus buah setelah pemasakan, tetapi
penyimpanan beku dapatmengakibatkan penurunan daya
terima bau dan rasa. Nilai nutrisi daging secara relatif tidak
mengalami
perubahan
selama
pembekuandan
penyimpanan bekudalam jangka waktu terbatas
(Soeparno,1994). Pembekuan yang dilakukan pada saat ini
merupakan pembekuan yang menggunakan suhu tetap
mulai dari awal proses pembekuan bahan pangan sampai
berada dalam kondisi beku. Penggunaan energi pada
pembekuan konvensional yang menggunakan suhu
tetap, memiliki konsumsi energi yang kurang efisien
karena pada setiap fase penurunan suhu bahan
memerlukan
energi
yang
berbedabedamenurutBruttiniet
al(2001)danTambunanetal(2003).Tambunanet
al(2003)menyatakanbahwakehilangan eksergi rata-rata
tahappre-cooling sebesar 22,9 kJ/kg, tahapfreezing 24,8
kJ/kg, dantahapsub-cooling 5,43 kJ/kg atau secara
presentase
kehilangan
eksergi
tahapprecoolingsebesar43,1%dari total kehilangan eksergi, dan
tahapfreezing 46,7 %, serta 10,2 % pada tahapsubcooling. Sehingga perlu adanya sebuah metode
pembekuan yang lebih efisien dalam penggunaan
energi pada setiap fase penurunan suhu bahannya.
Penggunaanconveyor pada mesin pembeku lempeng
sentuh Kamal (2008) dan Chusni (2009) mengakibatkan
132
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
peningkatan suhu media pembeku saat bahan pangan
digerakkan untuk menghasilkan pembekuan dengan suhu
media bertahap. Penggunaan conveyor juga menambah
daya konsumsi energi listrik karena penggunaan conveyor
menggunakan
tambahan
motor
listrik
untuk
menggerakkan bahan pangan. Disain ruang pembeku dan
juga pintu masukan bahan produk yang tidak terisolasi
secara baik juga mengakibatkan masuknya panas dari luar
menuju ruang pembeku.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti mencoba untuk
mengembangkan mesin pembeku lempeng sentuh dengan
metode yang sama, namun hanya menggunakan satu buah
evaporator dan tidak menggunakan conveyor untuk
menciptakan penurunan suhu media secara bertahap,
melainkan menggunaan pengaturan suhu media melalui
kontrol PI yang dihubungkan dengan jalur masuk 3 katup
ekspansi melalui selenoid valve sebelum menuju
evaporator. Tujuan pembuatan dan penelitian mesin
pembeku lempeng sentuh evaporator tunggal, bertujuan
untuk menciptakan dan mengembangkan mesin pembeku
lempeng sentuh dengan penurunan suhu media secara
bertahap yang lebih hemat energi daripada penelitian
terdahulu. Sehingga, penelitian ini akan memberikan
gambaran mengenai rancangan mesin pembeku lempeng
sentuh evaporator tunggal dengan penurunan suhu media
bertahap dalam menghemat penggunaan energi listrik
untuk mengawetkan suatu bahan pangan.
II.
METODOLOGI
Penelitian diawali dengan melakukan studi
kepustakaan dan menghitung besar beban pendinginan
yang terdiri dari beban akibat konveksi dan konduksi pada
box pembeku dan beban produk. Selanjutnya hasil
perhitungan akan dijadikan tolak ukur kelayakan
penggunaan kompresor dan komponen lainnya, sebelum
dilakukan
perakitan
dan
manufaktur
mesin
pembeku.Mesin pembeku yang digunakan merupakan
mesin pendingin kompresi uap konvensional yang
dimodifikasi menjadi mesin pembeku lempeng sentuh
dengan suhu media bertahap. Peralatan yang digunakan
untuk memodifikasi mesin pendingin kompresi uap
konvensional menjadi mesin pembeku lempeng sentuh
meliputi: Las Asitelin+Pakan las perak, Kunci pas ukuran
10 dan 12, Kunci inggris, Pemotong pipa tembaga,
Bending pipa tembaga, Fluring Tools, Tang cucut,
Penggaris dan Bolpoin. Sedangkan alat yang dibutuhkan
untuk melakukan pengujian meliputi: Injektor rerigeran,
Pompa vakum, 2 buah Thermokopel tipe K, kWh meter,
Timbangan digital, Stopwatch dan Laptop. Komponenkomponen yang digunakan untuk bahan manufaktur
terdiri dari komponen-komponen yang dipilih berdasarkan
perhitungan beban pendinginan serta penyesuaian dengan
ketersediaan komponen yang sebagian besar merupakan
komponen dari mesin pendingin kompresi uap
konvensional dan bahan yang digunakan sebagai bahan uji
yaitu refrigeran R-134a dan daging sapi seberat 40 gram
dengan ketebalan 1cm.
Seluruh parameter kondisi bahan pangan dan
kombinasi penurunan suhu media pembeku didekatkan
pada penelitian Chusni tahun 2009, sehingga akan
didapatkan hasil perbandingan data kinerja mesin
pembeku lempeng sentuh berupa nilai COP dan laju
pembekuan serta nilai penggunaan energi listrik yang
dihasilkan oleh mesin pembeku hasil modifikasi dari
mesin pendingin kompresi uap konvensional dengan
mesin pembeku lempeng sentuh yang telah diuji oleh
Chusni tahun 2009 yang berupa mesin pembeku lempeng
sentuh multi evaporator. Berikut tabel perlakuan yang
digunakan pada penelitian dengan mengacu pada skenario
yang digunakan Chusni tahun 2009.
Penurunan suhu media pembekuan secara bertahap
dilakukan dengan menempatkan tiga katup ekspansi
termostatik yang digunakan secara bergantian sesuai
dengan kebutuhan pengkondisian suhu pada media
pembeku yang berupa plat tembaga. Penggunaan
bergantian katup ekspansi dilakukan dengan bantuan
kontrol PI yang sudah diatur sesuai dengan set point yang
diinginkan. Langkah awal, mesin pembeku dijalankan
sampai dengan suhu media pembeku pada tahap I sudah
mulai konstan, lalu bahan pangan yang akan dibekukan
diletakkan dan disentuhkan secara langsung pada plat
tembaga yang telah tertempel dengan evaporator.
Pergantian penggunaan katup ekspansi dilakukan
berdasarkan pada ketercapaian suhu bahan pangan.
Penggunaan katup ekspansi A digunakan sampai suhu
bahan pangan tengah berada pada suhu <0 C. Selanjutnya
katup ekspansi B bekerja sampai suhu bahan pangan atas
<-5 C dan selanjutnya katup ekspansi C bekerja selama
60 menit sampai suhu bahan pangan membeku dibawah 5 C. Pencatatan seluruh pengukuran dilakukan selama 5
menit sekali sampai bahan mengalami pembekuan.
Berikut gambar 1. merupakan gambar model
rancangan dari mesin pembeku lempeng sentuh dengan
penurunan suhu media secara bertahap menggunakan
evaporator tunggal yang dikontrol oleh kontrol PI.
Gambar 1. Model rancangan mesin pembeku
lempeng sentuh evaporatortunggal
133
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
III. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Profil Suhu Bahan dan Media Pembeku Terhadap
Waktu
Berdasarkan hasil pengujian pada 7 perlakuan dengan
3 pengulangan yang dilakukan pada mesin pembeku
lempeng sentuh penurunan suhu bertahap dengan
menggunakan evaporator tunggal, didapatkan hasil profil
penurunan suhu bahan yang dibekukan dari kondisi awal
suhu bahan sampai berada pada kondisi dibawah proses
pembekuan bahan. Penentuan penganalisaan data profil
suhu bahan dari 3 kali pengulangan pada setiap
perlakuannya ditentukan dari hasil data paling baik dari
ketiga pengulangan tersebut. Berikut profil penurunan
suhu bahan pada hasil pengulangan data terbaik pada
perlakuan pembekuan bertahap yang terjadi pada
perlakuan 1 dengan suhu media -5, -15 dan -20 °C dan
profil suhu bahan pada perlakuan tidak bertahap pada
perlakuan 7.
Gambar 2. Grafik profil penurunan suhu bahan
perlakuan 1 (-5 °C, -15 °C, -20 °C)
yang dilakukan dengan metode
pembekuan bertahap
Gambar 3. Grafik profil penurunan suhu bahan
perlakuan 7 (-20 °C, -20 °C, -20 °C)
yang dilakukan dengan metode
tanpa pembekuan bertahap
Terlihat pada gambar 2dengan metode pembekuan
bertahap memperlihatkan adanya penurunan suhu bahan
yang bertahap dan membentuk fase anak tangga,
sedangkan pada gambar 3dengan metode pembekuan
tanpa bertahap, menghasilkan profil suhu bahan yang
cenderung terus turun suhunya dari kondisi suhu awal
sampai berada dibawah proses pembekuan.Penurunan
suhu bahan yang bertingkat ini diakibatkan adanya
perbedaan suhu media pada setiap tahapan penurunan
suhu bahan sampai mencapai suhu dibawah pembekuan
bahan. Penurunan bertingkat yang membentuk fase anak
tangga menunjukkan adanya pelepasan nilai kalor bahan
secara bertahap pada setiap fasenya, mulai dari pelepasan
kalor menuju lempeng secara sensibel pada tahap pertama
yaitu tahap pendinginan, lalu pelepasan kalor secara laten
pada tahap kedua yang dibuktikan dengan kestabilan suhu
bahan produk saat berada pada titik 0 sampai -5 °C dan
pelepasan kalor dibawah titik beku pada tahap selanjutnya.
Berdasarkan gambar 2 dan 3 grafik profil penurunan
suhu bahan juga sangat tampak jelas terdapat adanya
persebaran suhu bahan yang tidak merata pada titik bawah,
tengah sampai titik atas bahan. Persebaran suhu yang tidak
merata yang terjadi disebabkan karena perpindahan panas
yang terjadi pada mesin pembeku lempeng sentuh hanya
terjadi pada proses konduksi saja sehingga titik bawah
bahan (Tbb) selalu berada pada posisi paling dingin dan
semakin meningkat pada sisi atas bahan (T ba). Persebaran
perbedaan suhu bawah bahan dengan posisi teratas bahan,
paling besar terjadi pada proses penurunan suhu bahan
awal (+30 °C) sampai titik awal proses pembekuan (0 °C)
dan semakin kecil perbedaan suhunya pada saat proses
pembekuan berlangsung (0 °C sampai -5 °C) sampai
proses pendinginan dibawah proses pembekuan (<-5 °C).
Hal ini dapat dianalisa bahwa nilai konduktivitas bahan
daging sapi berbeda-beda pada setiap fase perubahan suhu
bahannya.Secara teori analisa ini diperkuat dengan
karakteristik sifat fisik daging sapi yang memiliki nilai
konduktivitas termal sebesar 0,45 W/m.°K pada kisaran
suhu 0 sampai 30 °C, sedangkan pada suhu -5 °C
konduktivitasnya adalah 1,10 W/m.°K (Pham dan Willix,
1989).
Secara keseluruhan dari seluruh perlakuan
menunjukkan adanya durasi waktu yang lebih lama pada
saat proses penurunan suhu bahan 0 sampai -5 °C. Waktu
penurunan suhu dari 0 menuju -5 °C memiliki waktu yang
lebih lama daripada penurunan suhu bahan dari kondisi
awal bahan 30 sampai 0 °C dan penurunan suhu bahan
setelah -5 °C. Lamanya waktu menurunkan suhu bahan
pada saat konduktivitas bahan lebih cepat daripada
konduktivitas bahan pada suhu lainya, dapat dianalogikan
bahwa pada saat penurunan suhu 0 sampai -5 °C
merupakan proses yang memerlukan nilai kalor yang
paling besar daripada fase penurunan suhu lainnya.
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari ke tujuh perlakuan yang diuji pada
mesin pembeku lempeng sentuh dapat disimpulkan
bahwa:
a. Nilai COP sebesar 4,13 sampai 4,49. COP dari mesin
pembeku lempeng sentuh tidak berpengaruh terlalu
besar terhadap metode pengaturan suhu media yang
134
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
digunakan, melainkan lebih cenderung dipengaruhi
oleh nilai kelembapan lingkungan sekitar. Semakin
besar kelembapan lingkungan sekitar semakin tinggi
pula nilai COP dari mesin pembeku lempeng sentuh.
b. Laju pembekuan dari mesin pembeku lempeng sentuh
evaporator tunggal menghasilkan nilai laju pembekuan
yang tergolong dalam pembekuan cepat sebesar 0,98
sampai 1,43 cm/jam.
c. Pembekuan dengan metode bertahap mampu
menghematan energi listrik sebesar 19,22 sampai
24,41 % daripada mesin pembeku lempeng sentuh
tanpa bertahap.
Tressler, D.K., Arsdel W.B. dan Copley M.J. 1981. “The
Freezing Preservation of Food”. AVI Pub. Co. Vol II.
Westport. Conncticut. USA.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada Kementerian
Ristek dan Pendidikan Tinggi melalui Penelitian Hibah
Bersaing Usulan Tahun 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Bruttini R, Crosser OK, dan Liapis AI. 2001. “Exergy
analysis
for
the
freezing
stageofthefreezedryingprocess”.JournalofDryingTe
chnology.19(9): 2303.
Chusni, A.R. 2009.Kajian Energi dan Eksergi
Pembekuan Daging Sapi Menggunakan Mesin
Pembeku Tipe Lempeng Sentuh dengan Suhu
Pembekuan Bertingkat. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor.
Holman, J.P. 2010. Heat Transfer. Tenth Edition. New
York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Kamal, D.M. 2008. Pemodelan Sistem Pembekuan dengan
Suhu Media Pembeku Bertingkat pada Proses
Pembekuan Daging Sapi Segar Menggunakan Metode
Eksergi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Pham dan Willix. 1989. “Thermal Conductivity of Fresh
Lamb Meat, Offal and Fat in the range of -40 to 30 °C:
Measurment and Correlation”. Journal of Food
Science. Vol. 54. No. 3.
Ruliyana, R. 2001. Desain Mesin Pembeku Tipe
Hembusan Udara (Air Blast Freezing) dan Tipe
Kontak Plat (Contact Plate Freezing) untuk Proses
Pembekuan Fillet Ikan Patin (Pangasius sp.). Skripsi.
Departemen Teknik Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Soeparno. 1994. “Ilmu dan Teknologi Daging”. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Tambunan, A.H., Priyanto S. dan Angraheni A.D. 2003.
“Karakteristik dan Analisis Eksergi Pembekuan Ikan
patin dan Ayam broiler”. Buletin Keteknikan
Pertanian. Vol (17)3 : 32-42.
135
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Penentuan Prioritas Komoditi Unggulan Hasil
Budidaya Laut Yang Sustainable dengan
Pendekatan Multi Criteria Decision Making
di Kabupaten Situbondo
Didiek Hermanuadi 1) , R. Abd. Djamali
2)
, Tri Rini Kusparwanti 3)
1) Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jember
didiekhermanuadi@yahoo.com
3) Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jember
tririni62@gmail.com
2) Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember, Jember
jatifar@yahoo.com
ABSTAK
Wilayah pesisir Kabupaten Situbondo yang memiliki panjang pantai 150 km membentang ke arah Perairan Selat
Madura. Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang telah dikembangkan adalah (a) usaha pembenihan (hatchery)
udang, kerapu, kakap putih, dan bandeng (nener), (b) pembibitan dan budidaya rumput laut, (c) sistem keramba jaring apung
(KJA) budidaya ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu sunu (Plectropomus leopardus; P.maculatus), kerapu macan
(Epinphelus fuscoguttatus), kerapu lumpur (Epinephelus coloides), kerapu sumay, dan udang lobster.
Tujuan penelitian: (a) menentukan kelayakan sosial ekonomi, teknologi, geografi, dan finansiial untuk
pengembangan komoditi budidaya laut, (b) menentukan prioritas komoditi budidaya laut unggulan dan hasil tangkapan laut,
Metodologi yang digunakan dengan pendekatan deskriptif dan expert system. Pengumpulan data dengan observasi
dan In depth Interview. Teknik análisis yang diigunakan yakni: (a) multi-crteria decision making (MCDM), (b) data
envelopment analysis (DEA). Dari hasil analisis penelitian tahun I dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Prioritas
usaha unggulan berdasarkan skor komposit dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etik masing masing adalah :
Pembenihan ikan kerapu, budidaya rumput laut, dan pembenihan udang vennamei (2) Analisis efisiensi usaha dari setiap
komoditas terpilih diperoleh pembenihan ikan kerapu paling efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi : Rp 23.307.200
; selama 6 siklus produksi memperoleh keuntungan bersih (NPV) sebesar Rp. 150.782.413; (3) Analisis efisiensi usaha dari
setiap komoditas terpilih diperoleh budidaya rumput laut paling efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi : Rp
58.273.000 (UKE 8) dan Rp. 74.221.400 (UKE 4) ; selama 6 siklus produksi memperoleh keuntungan bersih (NPV) sebesar
Rp. 284.827.148 (UKE 8) dan Rp. 532.252.766 (UKE 4); (4) Analisis efisiensi usaha dari setiap komoditas terpilih diperoleh
udang vennamei paling efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi : Rp 40,220,638 (UKE 5) dan Rp. 21,910,648 (UKE
7) ; selama 6 siklus produksi memperoleh keuntungan bersih (NPV) sebesar Rp. 225,477,672 (UKE 8) dan Rp. 95,782,413
(UKE 7)
Keywords: Budidaya Laut, Situbondo, multi-crteria decision making, data envelopment analysis (DEA)
I. PENDAHULUAN
Kabupaten Situbondo merupakan wilayah pesisir
yang memiliki potensi budidaya laut yang cukup tinggi.
Hal ini mengingat berdasarkan beberapa riset terdahulu
menunjukkan bahwa Selat Madura yang merupakan
fishing ground nelayan Kabupaten Situbondo sudah
mengalami titik jenuh sebagai akibat over exploitation
yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya hasil
tangkapan per upaya tangkap (cath per unit effort/CPUE).
Pengembangan budidaya laut sesuai dengan anjuran FAO
untuk mengakselerasi pertumbuhan perikanan di
Indonesia. Menurut DKP Kabupaten Situbondo (2005)
bahwa potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang
telah dikembangkan adalah:
(a) Usaha pembenihan (hatchery) udang windu, kerapu,
kakap putih, dan bandeng (nener). bahwa tercatat 38
unit perusahaan hatchery udang dan 50 unit hatchery
skala rumah tangga. Selain pembenihan udang, telah
berhasil pula dikembangkan benih kerapu, kakap
putih, dan benih bandeng (nener). Produksi benur
udang tahun 2004 sebanyak 1.57 milyar ekor
136
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
dengan nilai produksi Rp 23,5628 milyar. dan benih
ikan sebanyak 629.000.000 ekor per tahun
(b) Usaha budidaya tambak udang dan bandeng yang
tersebar seluruh kecamatan berpantai dengan luasan:
tambak tradisional 428,87 ha, tambak semi intensif
12,04 ha, dan tambak intensif seluas 1.052,84 ha.
Tahun 2004, produksi udang vannamae, udang
windu, udang putih, dan bandeng sebanyak 930,6
ton per tahun dengan nilai produksi Rp 25,2352
milyar
(c) Usaha budidaya laut yang meliputi pembibitan dan
budidaya rumput laut Euchheuma cottoni dengan
produksi pada tahun 2004 sebanyak 2.534,8 ton
(nilai Rp 1,7244 milyar) yang melibatkan 385 orang
pembudidaya, sistem keramba jaring apung (KJA)
budidaya ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis),
kerapu
sunu
(Plectropomus
leopardus;
P.maculatus),
kerapu
macan
(Epinphelus
fuscoguttatus), kerapu lumpur (Epinephelus
coloides), kerapu sumay, dan udang lobster. KJA
yang telah berkembang saat ini sebanyak 37 unit
(200 petak jaring/1988 m2) dengan produksi tahun
2004 3.8 ton (nilai Rp 570 juta).
Dalam rangka mengoptimalkan sumberdaya
wilayah pesisir di Kabupaten Situbondo tersebut di atas,
maka perlu dilakukan kajian kabijakan secara menyeluruh
berdasarkan multi-criteria dalam pengelolaan potensi
perikanan budidaya laut (sea farming) yang memliki
prospek bisnis ekspor dan pasar lokal yang masih terbuka
lebar.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Analisis kapasitas perikanan budidaya laut dilakkan
untuk mengetahui apakah kegiatan perikanan budidaya
laut ini telah efisien atau belum. Kapasitas perikanan
dipandang dari sudut ekonomi dan teknologi didefinisikan
sebagai jumlah maksimum yang dapat diproduksi per unit
waktu dengan lahan dan peralatan yang ada, sementara
berbagai variabel produksi tidak dibatasi (Korhonen ,
1998). Sementara itu secara umum Kirkley dan Squires
(1998) mendefinisikan kapasitas perikanan sebagai stok
kapital maksimum yang ada dalam perikanan yang dapat
dipergunakan secara penuh pada kondisi efisien
maksimum secara teknis pada waku dan kondisi pasar
tertentu. Stok kapital terdiri dari kapital dan sumberdaya
manusia. Kapital dapat berupa teknologi yang digunakan
sedangkan sumberdaya manusia dapat berupa jumlah
tenaga kerja dan kemampuan teknisnya. Dalam perikanan
tangkap, kapital dan sumberdaya manusia ini merupakan
manifestasi dari upaya (effort). Hal ini sama juga dapat
diterapkan pada perikanan
budidaya laut dengan
menggunakan unit pengukuran upaya yang sesuai.
Analisis kapasitas pada prinsipnya adalah analisis
efisiensi (Fauzi dan Anna, 2002a). Berbagai metode telah
tersedia untuk mengukur efisiensi ini. Salah satu metode
untuk menilai kebijakan yang menyangkut efisiensi adalah
apa yang disebut dengan Data Envelopment Analysis
(DEA), atau juga disebut sebagai Frontier Analysis
(Charners, Cooper dan Rhodes, 1978). Metode ini juga
dikenal dengan metode CCR (inisila nama penemunya)
dan digunakan untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari
unit pengambil keputusan (Decision Making Unit, DMU)
di dalam suatu kegiatan ekonomi.
DEA merupakan metode pengukura efisiensi yang
bersifat bebas nilai (value free) karena tidak
mempertimbangkan penilai (judgement) dari pengambil
keputusan (Korhonen et al., 1998). DEA bertujuan untuk
mengukur kondisi relatif (relative performance0 dari unit
analisis pada kondisi multiple inputs dan muptiple outputs
(Dyson, Thanassoulis, dan Boussofiane, 1990). DEA
memiliki kelebihan dalam hal kemampuannya untuk
mengestimasi kapasitas di bawah kendala kebijakan
tertentu. Selain itu, DEA dapat mengakomudasikan
multiple inputs dan multiple outputs serta tingkat input
dan output yang riil dan non diskret. DEA juga dapt
menentukan tingkat potensiial maksimum dari upaya
(effort) atau variabel input secara umum dan laju utilitas
optimalnya (Fauzi dan Anna 2002a)
III. TUJUAN DAN MANFAAT
3.1 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah : (a) menentukan
kelayakan sosial ekonomi, teknologi, geografi, dan
finansiial untuk pengembangan komoditi budidaya laut,
dan (b) menentukan prioritas komoditi budidaya laut
unggulan.
3.2 Manfaat Penelitian
Melihat kenyataan tersebut di atas, peneliti tertarik
untuk menganalisis prioritas komoditas budidaya laut
unggulan yang memiliki prospek pasar ekspor dan pasar
lokal yang masih terbuka lebar. Adanya penelitian ini
sangat besar arti dan manfaatnya, yakni sebagai : acuan
dalam menetapkan jenis komoditi dan peluang investasi
budidaya laut di Kabupaten Situbondo
IV. METODE PENELITIAN
A. Multi Criteria Decision Making (MCDM)
Dalam perencanaan lingkungan dan masalah
keuangan, MCA (multi criteria analysis) dianggap sebagai
alat yang bermanfaat selama hal tersebut didasarkan pada
analisis mengenai dampak. Nybakken et al (1999)
menyatakan bahwa “pendugaan dampak merupakan
komponen utama dari riset evaluasi, memberikan semua
informasi yang diperlukan sebagai kerangka acuan untuk
perencanaan daerah, perkotaan, dan transportasi”. Oleh
karena itu, analisis dampak spasial merupakan saran untuk
menggunakan metode evaluasi multi kriteria dalam
konteks spasial/keuangan.
137
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Multi Criteria Decision Making (MCDM)
merupakan alat analisis kebijakan yang menyangkut
sumberdaya alam. Pendekatan MCDM mengakomudasi
berbagai kriteria yang dihadapi namun relevan dalam
mengambil keputusan tanpa harus mengkonversi ke
pengukuran moneter dan proses normalisasi (Roy B.
1993).
B. Data Envelopment Analysis (DEA)
Dalam rangka analisis efisiensi menggunakan
metode Data Envelopment Analysis (DEA) atau Frontier
analysis. Kegunaan metode ini untuk mengukur relative
performance dan juga relative efficiency (Fauzi, 2002).
DEA dapat mengukur efisiensi dengan berbagai kendala
yang ada. Dalam DEA, efisiensi diartikan sebagai target
untuk mencapai efisiensi maksimum dengan kendala
relatif efisien dari seluruh unit yang tidak boleh
melampuhi 100%. Secara matematis efisiensi di dalam
DEA merupakan solusi dari persamaan:
w y
max E
v y
i
ijm
k
kj m
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat
produktifitas pembudidaya tambak menempati posisi
paling tinggi dengan rata-rata Rp. 5.411 Juta/pengusaha,
diikuti dengan usaha Hatchery Skala Perusahaan dengan
rata-rata produktifitas sebesar Rp. 1.954 Juta/Pengusaha,
Usaha keramba jaring apung sebesar Rp. 120.9
Juta/Pengusaha, dan berturut turut usaha Hatchery Skala
RT, usaha perikanan tangkap, dan budidaya rumput laut
masing masing memiliki produktifitas sebesar Rp.
113.31/Pengusaha, Rp. 7.55 /Pengusaha, dan Rp
0.50/Pengusaha. Secara keseluruhan keseluruhan cabang
usaha bidang perikanan laut memiliki produktifitas
sebesar Rp. 31.36 Juta/pengusaha.
4. 1. Analisis Multi Kriteria
Secara komposit bobot dari masing masing
dimensi dapat dilihat pada diagram berikut.
i
7.50
m
k
w y
v y
(e) Dimensi Etik
Dengan kendala:
i
ijm
k
kj m
i
1
8.10
(d) Dimensi Teknologi
untuk setiap unit ke-j;
k
Wi dan Vk masing-masing adalah bobot output ke-i dan
bobot input ke k
7.57
(c) Dimensi Sosial
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Perikanan
dan Kelautan Kabupaten Situbondo Tahun 2014, terdapat
dua cabang usaha utama bidang perikanan, yaitu
perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sebaran
cabang usaha, jumlah pengusaha dan volumen serta nilai
produksi dapat dilihat pada tabel berikut.
8.33
(b) Dimensi Ekonomi
7.52
(a) Dimensi Ekologi
7.00
7.20
7.40
7.60
7.80
8.00
8.20
8.40
Tabel 1. Sebaran cabang usaha, jumlah pengusaha dan
volumen serta nilai produksi perikanan di
Kabupaten Situbondo
No. Cabang Usaha
Pembudidaya
Nilai Produksi
(x 1000 Rp)
8.354
87.289
Vol. Produksi
1
Perikakan Tangkap
11.566
2
44
4.784
238.094
19
21
2.298
4
Budidaya Tambak
Keramba Jaring
Apung
Rumput Laut
868
366
435
5
Hatchery Skala RT
74
94.681.700 ekor
8.385
6
Hatchery Skala
Perusahaan
30 2.160.881.800 ekor
58.623
3
Total Nilai
12,601
Gambar 1. Skor bobot komposit dari masing masing
dimensi
Skor bobot komposit tersebut selanjutnya digunakan
sebagai skor atas pilihan alternatif usaha sesuai dengan
pendapat stake holder, yang meliputi pengusaha,
masyarakat, akedemisi, LSM kelautan, Dinas Kelautan
dan Perikanan, dan investor. Nilai skor yang diberikan atas
pertimbangan dari setiap dimensi dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
395,124
138
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Tabel 2. Prioritas usaha unggulan berdasarkan skor
komposit dimensi ekologi, ekonomi, sosial,
teknologi, dan etik
No.
Alternatif
Dimensi
Ekologi
Dimensi
Ekonomi
Dimensi
Sosial
Dimensi
Teknologi
Dimensi
Etik
19.7%
21.3%
19.3%
20.4%
19.3%
Nilai
Komposit
1
Pembenihan Udang
8.0
9.0
8.0
7.0
7.0
7.82
2
Pembenihan Kerapu
8.0
9.0
7.0
9.0
9.0
8.42
3
Pembenihan Kakap
8.0
8.0
7.0
7.0
7.0
7.41
4
Pembenihan Bandeng
8.0
8.0
7.0
8.0
7.0
7.61
5
Budidaya Udang
8.0
7.0
8.0
7.0
6.0
7.20
6
Budidaya Bandeng
8.0
8.0
7.0
8.0
8.0
7.81
7
Budidaya Rumput Laut
9.0
7.0
8.0
8.0
8.0
7.98
Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha
pembenihan kerapu, budidaya rumput laut, dan budidaya
udang merupakan tiga usaha dengan skor tertinggi.
Berdasarkan analisis ini maka 3 jenis usaha ini yang
selanjutnya dijadikan basis analisis pengembangan:
analisis DEA, untuk melihat unit usaha pada setiap jenis
usaha yang paling efisien.
4. 2. Analisis Kinerja Usaha
Analisis kinerja usaha dilakukan untuk melihat
tingkat kelayakan usaha tiga unit bisnis/usaha terpilih,
yaitu pembenihan kerapu, budidaya rumput laut, dan
budidaya udang. Analisis dilakukan dengan criteria
kelayakan usaha, yang meliputi ukuran : Net Present
Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost
Ratio (BCR), dan Pay Back Periode (PBP), pada tingkat
suku bunga yang berlaku.
4.2.1
Kinerja Unit
Pembenihan Udang
Kegiatan
Usaha
(UKE)
UKE Pembenihan udang yang menjadi obyek
analisis pada berbagai skala usaha, yang diukur dengan
tingkat investasinya. Analisis kelayakan dilakukan pada
tingkat suku bunga rata rata 12 per tahun, secara umum
usaha ini mempunyai siklus 6 kali produksi per tahun.
Tingkat investasi bervariasi mulai dari Rp.23.309.200
sampai Rp. 70.541.000 per siklus produksi. Secara
lengkap hasil analisis financial dari setiap UKE
pembenihan udang dapat dilihat pada table berikut.
Dari hasil analisis diperoleh fakta bahwa kinerja
UKE pembenihan udang layak dan menguntungnkan
secara financial. Hal ini ditunjukkan oleh indicator nilai
NPV > 1, IRR > 12% (bunga bank per tahun), dan B/C >
1. Tingkat pengembalian internal, yang diukur oleh nilai
IRR, yang diperoleh oleh masing masing menunjukkan
variabilitas yang signifikan, yaitu antara 15% (UKE 6)
sampai 134% (UKE 7). Selanjutnya untuk mengukur
efisiensi kinerja masing masing UKE dilakukan analisis
dengan metoda DEA dengan menggunakan bantuan
perangkat lunak xIDEA .
Analisis DEA menunjukkan bahwa dari 12 UKE
pembenihan udang yang diobservasi terdapat empat (4)
UKE dengan skor efisiensi 100%, yaitu UKE 3, UKE 4,
UKE 5, dan UKE 7 (kolom Efficienciy Scors). Akan
tetapi hanya UKE 7 yang telah mencapai skala efisiensi
usaha yang sempurna, sedangkan UKE lainnya, belum
mencapai skala efiensi yang optimal. Dasar efisiensi
adalah rasio/perbandingan output terhadap input,
sedangkan cara untuk meningkatkan efisiensi antara lain
dengan : meningkatkan output, mengurangi input, c. atau
jika kedua output dan input ditingkatkan, maka tingkat
kenaikan untuk output harus lebih besar daripada tingkat
kenaikan untuk input atau, d. jika kedua output dan input
diturunkan, laju penurunan untuk output harus lebih
rendah daripada tingkat penurunan untuk input.
4.2.2 Kinerja Unit Kegiatan Usaha (UKE) Pembenihan
Kerapu
UKE Pembenihan kerapu yang menjadi obyek
analisis pada berbagai skala usaha, yang diukur dengan
tingkat investasinya. Analisis kelayakan dilakukan pada
tingkat suku bunga rata rata 12 per tahun, secara umum
usaha ini mempunyai siklus 6 kali produksi per tahun.
Tingkat investasi bervariasi mulai dari Rp.43.645.000
sampai Rp. 138.015.000 per siklus produksi. Secara
lengkap hasil analisis financial dari setiap UKE
pembenihan kerapu dapat dilihat pada table berikut.
Dari hasil analisis diperoleh fakta bahwa kinerja
UKE pembenihan kerapu layak dan menguntungnkan
secara financial. Hal ini ditunjukkan oleh indicator nilai
NPV > 1, IRR > 12% (bunga bank per tahun), dan B/C >
1. Tingkat pengembalian internal, yang diukur oleh nilai
IRR, yang diperoleh oleh masing masing menunjukkan
variabilitas yang kurang signifikan, yaitu antara 130%
(UKE 7) sampai 185% (UKE 4). Selanjutnya untuk
mengukur efisiensi kinerja masing masing UKE dilakukan
analisis dengan metoda DEA dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak Xidea
Analisis terhadap tingkat efisiensi usaha dilakukan
dengan metoda DEA menggunakan software xIDEA hasil
analisis dapat dilihat pada table berikut. Analisis DEA
menunjukkan bahwa dari 12 UKE pembenihan kerapu
yang diobservasi terdapat empat (4) UKE dengan skor
efisiensi 100%, yaitu UKE 4, UKE 8, dan UKE 12 (kolom
Efficienciy Scors). Akan tetapi hanya UKE 4 dan UKE 8
saja yang telah mencapai skala efisiensi usaha yang
139
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
optimal, sedangkan UKE lainnya, belum mencapai skala
efiensi yang optimal.
Dasar efisiensi adalah
rasio/perbandingan output terhadap input, sedangkan cara
untuk meningkatkan efisiensi antara lain dengan :
meningkatkan output, mengurangi input, c. atau jika kedua
output dan input ditingkatkan, maka tingkat kenaikan
untuk output harus lebih besar daripada tingkat kenaikan
untuk input atau, d. jika kedua output dan input
diturunkan, laju penurunan untuk output harus lebih
rendah daripada tingkat penurunan untuk input.
(b)
(c)
4.2.3 Kinerja Unit Kegiatan Usaha (UKE) Budidaya
Rumput Laut
(d)
UKE Budidaya Rumput Laut yang menjadi obyek
analisis pada berbagai skala usaha, yang diukur dengan
tingkat investasinya. Analisis kelayakan dilakukan pada
tingkat suku bunga rata rata 12 per tahun, secara umum
usaha ini mempunyai siklus 6 kali produksi per tahun.
Tingkat investasi bervariasi mulai dari Rp.18.855.916
sampai Rp. 63.118.860 per siklus produksi. Secara
lengkap hasil analisis financial dari setiap UKE
pembenihan kerapu dapat dilihat pada table berikut.
Dari hasil analisis diperoleh fakta bahwa kinerja
UKE budidaya rumput laut dan menguntungnkan secara
financial. Hal ini ditunjukkan oleh indicator nilai NPV >
1, IRR > 12% (bunga bank per tahun), dan B/C > 1.
Tingkat pengembalian internal, yang diukur oleh nilai
IRR, yang diperoleh oleh masing masing menunjukkan
variabilitas yang kurang signifikan, yaitu antara 130%
(UKE 7) sampai 185% (UKE 4). Analisis terhadap tingkat
efisiensi usaha dilakukan dengan metoda DEA
menggunakan software xIDEA hasil analisis dapat dilihat
pada table di atas. Analisis DEA menunjukkan bahwa dari
12 UKE budidaya rumput laut yang diobservasi terdapat
tiga UKE dengan skor efisiensi 100%, yaitu UKE 5, UKE
7, dan UKE 8 (kolom Efficienciy Scors). Akan tetapi
hanya UKE 7 yang telah mencapai skala efisiensi usaha
yang optimal, sedangkan UKE lainnya, belum mencapai
skala efiensi yang optimal.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6. 1 Kesimpulan
Dari hasil analisis penelitian tahun I dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
(a)
Prioritas usaha unggulan berdasarkan skor komposit
dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etik
masing masing adalah : Pembenihan ikan kerapu,
budidaya rumput laut, dan pembenihan udang
vennamei.
Analisis efisiensi usaha dari setiap komoditas
terpilih diperoleh pembenihan ikan kerapu paling
efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi :
Rp 23.307.200 ; selama 6 siklus produksi
memperoleh keuntungan bersih (NPV) sebesar Rp.
150.782.413
Analisis efisiensi usaha dari setiap komoditas
terpilih diperoleh budidaya rumput laut paling
efisien pada skala usaha dengan tingkat investasi :
Rp 58.273.000 (UKE 8) dan Rp. 74.221.400 (UKE
4) ; selama 6 siklus produksi memperoleh
keuntungan bersih (NPV) sebesar Rp. 284.827.148
(UKE 8) dan Rp. 532.252.766 (UKE 4)
Analisis efisiensi usaha dari setiap komoditas
terpilih diperoleh udang vennamei paling efisien
pada skala usaha dengan tingkat investasi : Rp
40,220,638 (UKE 5) dan Rp. 21,910,648 (UKE 7) ;
selama 6 siklus produksi memperoleh keuntungan
bersih (NPV) sebesar Rp. 225,477,672 (UKE 8) dan
Rp. 95,782,413 (UKE 7)
6.2 Saran
Diperlukan update data pada penelitian lanjutan pada
tahun ke II (2016), berkenaan dengan indicator kinerja
financial setiapusaha terpilih dari setiapunit kegiatan
usaha (UKE).
DAFTAR PUSTAKA
Beatley, T., D.J. Browser, dan A.K. Schawab. 1994. An
introduction to coastal zone management.
Washington, DC: Island Press.
Bengen, D.G. 2002. Pengembangan konsep daya dukung
dalam pengelolaan lingkungan pulau-pulau
kecil. Kerjasama Kementerian Lingkungan
Hidup dengan Fakultas Perikanan dan kelautan
IPB. Bogor.
Charnes A. W.W. Cooper, dan E. Rhodes. 1978.
Measuring the efficiency of decision making
units. European Journal of Operation Research,
2:429-444.
DKP. Kabupaten Situbondo. 2005. Profil potensi dan
peluang investasi sektor kelautan dan perikanan
Kabupaten Situbondo.
Dyson R.G.E. Thanassoulis. Dan A. Boussofiane. 1990.
Data Envelopment Analysis. dalam Hendry L.C.
dan R.W. Eglese (editor). Tutorial paper in
operational Reseacrh Society. UK.
Fauzi A dan S. Anna. 2001. Analisis kebijakan
pengelolaan
pulau-pulau
kecil
melalui
pendekatan Multi Criteria Decisin Making
140
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
(MCDM). Working Paper.
Perikanan FPIK. IPB. Bogor.
Jurusan Sosek
-------------------------. 2001a. Data Envelopment Análisis
(DEA) kapasitas sumberdaya perikanan pesisir.
Jornal Pesisir dan Lautan.
Korhonen P.A. Silijamaki, dan Soismaa. 1998. Practical
aspect of value efficiency analysis. Interim report
IR-98-042 IIASA.
Nybakken P. Rietveld P. dan Voodg H. 1999.
Multicriteria evaluation on physical planning.
Elsevier Science. Amsterdam.
Roy B. 1993. Decision science or decision aid science.
European Journal of Operation Research. No.
66:184-203.
141
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Strategi Formulasi Pakan yang Tepat bagi
Performan Ayam Kampung (Gallus domesticus)
Menggunakan Near Infra-Red Spectroscopy
(NIRS):
Studi Regulasi Konsumsi Pakan
Suluh Nusantoro1#, Erfan Kustiawaan1, Nurkholis1, F Pinataanwar2, A D Fitaloka2, N D Wulandari2,
1
2
Jurusan Peternakan Politeknkik Negeri Jember
Mahasiswa Jurusan Peternakan Politeknkik Negeri Jember
#suluh_nusantoro@polije.ac.id
Abstract
Tujuan eksperimen ini adalah untuk mempelajari regulasi konsumsi pakan pada ayam kampung fase starter yang diberi pakan
dengan protein berbeda, Eksperimen dilakukan dalan rancangan acak lengkap (RAL) menggunakan DOC ayam kampung yang
diberi perlakauan P1=14%, P2=18%, P3=22%, dan P4=26% protein pakan. Formulasi pakan didasarkan atas hasil analisis bahan
pakan menggunakan NIRS. Hipotesis penelitian yang diuji adalah bahwa konsumsi pakan ayam kampung diatur oleh dietary
protein dimana konsumsi akan menurun pada saat terjadi defisiensi dan kelebihan protein pakan. Parameter yang diamati meliputi
konsumsi pakan (KP), pertambahan bobot badan (PBB), dan rasio konversi pakan (RKP). Hasil analisis varian menunjukkan
bahwa protein pakan tidak berpengaruh terhadap KP dan RKP akan tetapi berngaruh nyata terhadap PBB Pertumbuhan ayam
adalah kontribusi dari protein pakan dimana P3 (protein pakan 22%) menghasilkan PBB tertinggi. Kebutuhan protein pakan
untuk ayam kampung untuk adalah 22.83% pada level energi metabolis 2800 kkal/kg.
Keywords— ayam kampung, regulasi konsumnsi pakan, NIRS.
I. PENDAHULUAN
Ayam kampung (ayam buras) sudah sejak lama
berperan sebagai sumber gizi dan pendapatan sampingan
bagi masyarakat pedesaan di Indonesia dan saat ini
peternakannya semakin digalakkan. Pemerintah Indonesia
melalui Kementerian Pertanian turut mendukung
peningkatan produksi ternak lokal misalnya melalui
program Village Poultry Farming untuk membangun
infrastruktur, memberi bantuan modal serta penguatan
kelembagaan peternak unggas lokal. Aturan terbaru dari
pemerintah adalah Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka yang diundangkan untuk melindungi ternak lokal.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah, pemeliharaan
ayam kampung telah dilakukan secara intensif dan semi
intensif, dimana pakan merupakan input utama untuk
menghasilkan produksi (pertambahan bobot badan).
Sayangnya, pakan yang diberikan untuk ayam kampung
masih didasarkan atas kebutuhan nutrisi ayam broiler,
dengan karakteristik protein pakan tinggi (22 -23%) dan
energi metabolis 2800 – 3000 kkal/kg. Sampai dengan saat
ini, fakta menunjukkan bahwa pakan yang diformulasikan
khusus untuk ayam kampung belum tersedia secara
komersial dan dalam praktek tata laksana pemeliharaan,
peternak menggunakan pakan jenis BR1 yang seharusnya
dipergunakan untuk ayam broiler fase starter.
Permasalahan yang timbul dari penggunaan BR1 antara
lain secara metabolism, protein tidak mampu dikonversi
secara optimal, dan secara ekonomis akan terjadi
pemborosan biaya pakan.
Penelitian untuk mencari kebutuhan protein pakan
ayam pakan telah banyak dilakukan, disarikan oleh
Setioko dan Iskandar[1,2] dan menghasilkan nilai protein
pada kisaran 14 – 30% dan energi 2600 – 3000 kkal/kg.
Hasil tersebut menunjukkan variasi yang tinggi (cv. = 17,8
– 27,3%) yang bisa disebabkan oleh alat dan metode
penelitian[3].
142
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pakan yang berkualitas tidak saja dilihat dari aspek
protein namun juga sejauh mana pakan bisa dikonsumsi
oleh ternak. Aspek regulasi konsumsi pakan bersifat
fundamental akan tetapi belum banyak dikaji dalam
penelitian ayam kampung. Tujuan eksperimen ini adalah
untuk mempelajari regulasi konsumsi pakan dan
menentukan kebutuhan protein pakan ayam kampung
kampung fase starter.
Hipotesis penelitian yang diuji adalah bahwa konsumsi
pakan ayam kampung diatur oleh dietary protein dimana
konsumsi akan menurun pada saat terjadi defisiensi dan
kelebihan protein pakan. Hasil penelitian ini secara
fundamental dapat dimanfaatkan dalam studi nutrisi serta
metabolisme protein pada ayam kampung, dan secara
aplikatif dapat dimanfaatkan sebagai formulasi pakan
standar protein dan energi untuk ayam kampung fase
starter.
II. MATERI & METODE
A. Desain Penelitian
Eksperimen dilakukan dalam rancangan acak lengkap
(RAL). Perlakuan yang diberikan adalah 4 (empat) level
protein pakan (P1=14%, P2=18%, P3=22%, dan P4=26%)
dan dilakukan pengulangan sebanyak 3 (tiga) kali. Pakan
diformulasikan secara iso-energetic 2800 kkal/kg. Bahanbahan pakan yang digunakan adalah bahan pakan lokal
kecuali bungkil kedelai (BKK). Formulasikan disusun
menggunakan software FeedWin, atas dasar data
komposisi bahan pakan yang dianalisis menggunakan
NIRS. Formulasi pakan penelitian disajikan dalam Tabel
1.
TABEL XIII
FORMULASI PAKAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN*
Perlakuan (%)
Formulasi
P1
P2
P3
P4
2
5
13
15
12,5
19
20
28
Jagung Giling
60
51
49
39
Bekatul (A)
22
21,5
15
15
Minyak Kedelai
1
1
1
1
Vitmain Mineral Mix
0,5
0,5
0,5
0,5
Methionine**
0,5
0,5
0,2
0.2
1
1
0.8
0,8
TiO2
0,5
0,5
0,5
0,5
Total
100
100
100
100
Protein
14
18
22
26
T Ikan (Lokal)
BKK
Lysine**
* AS-IS BASIS; **MENGACU KEPADA YUSRIZAL [4]
B. Hewan Uji & Pemeliharaan
Day old chicken (DOC) ayam kampung didatangkan
dari Blitar sebanyak 200 ekor, rata-rata bobot awal 28,15
+ 5.25 g, uniformity 85,17 %. DOC dipelihara selama 8
(delapan) minggu, mulai bulan Agustus s/d Septempber
2016, namun perlakuan diaplikasikan setelah fase
brooding 10 hari. Vaksinasi ND dilakukan via ocular pada
umur 5 hari.
DOC yang telah divaksinasi pelihara di kandang unggas
Jurusan Peternakan Penelitian, Politeknik Negeri Jember.
Kandang semi tertutup diberi sekat-sekat dengan ukuran
1,25 m x 1 m, diisi 10 ekor ayam per sekat. Temperatur
kandang dipertahan dalam kondisi realtif konstan 28,1 oC
(malam) dan 32oC (siang). Pemberian pakan serta minum
diberikan secara ad libitium. Selama masa pemeliharan
dilakukan pemantauan temperataur ayam dan litter.
C. Parameter Penelitian & Analisis Data
Parameter penelitian yang diseminarkan ini merupakan
hasil sampling awal (5 hari pemeliharaan) dari total 8
minggu durasi pemeliharaan. Parameter performa
mengacu kepada Feddes[5] yakni: (1) konsumsi pakan
(KP) diukur dengan diketahui dengan cara mengurangi
pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan , (2)
pertambahan bobot badan (PBB) diukur dengan
mengurangi rata-rata bobot akhir dengan rata-rata bobt
awal ayam, dan rasio konversi pakan (RKP) dihitung
dengan membandingkan KP dengan PBB.
Parameter biomolekuler mengacu kepada Payne[6]
yakni indeks RNA:DNA dan asam amino plasma. Secara
singkat Sebanyak 100 mg jaringan otot (representasi otot
dada, paha, dan punggung) deiberi nitrogen cair dan
dihaluskan menggunakan mortar. Setelah otot menjadi
halus dan homogen, biarkan sampai nitrogen cair
menguap dan di dalam mortal tersisa otot yang telah
berubah bentuk menjadi powder. Sampel siap digunakan
untuk ekstraksi RNA dan DNA dengan proses suspensi,
sentrifugasi menggunakan kit yang tersedia dan
dikuantifikasi menggunakan spektrofotometer.
Asam amino plasma diambil dari darah ayam. Teknik
koleksi darah mengacu kepada Grimes[7]. Darah yang
diambil dari vena jugularis disentrifugasi, dan kemudian
dianalisis menggunakan LCMS.
Data yang diperoleh kemudian dipastikan homogenitas
varian dan normalitasnya kemudian di-anova-kan
menggunakan software SPSS 16.00. Regresi, korelasi dan
second order polynomiasl dilakukan dengan bantuan
software GraphPad Prism 5.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Apakah Konsumsi Pakan Ayam Kampung Diregulasi
oleh Protein Pakan?
143
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Data konsumsi pakan, pertumbuhan dan konversi pakan
disajikan dalam Tabel 2. KP ayam kampong yang diberi
paka P1 sebesar 57,88 dan terlihat kenaikan sejalan
peningkatan protein pakan. Akan tetapi kenaikan tersebut
tidak signifikan (P>0.05). Kemampuan ayam kampung
dalam mengkonversi pakan menjadi bobot badan dalam
penelitian ini tidak dipengaruhi oleh perlakuan (P>0,05).
Namun demikian hasil yang signifikan terlihat pada data
PBB (P<0,05) dimana ayam kampung yang diberi pakan
P3 menunjukkan PBB tertinggi.
TABEL XIV
PERFORMA AYAM KAMPUNG YANG DIBERI PROTEIN PAKAN BERBEDA
Parameter
KP(g/ekor)
PBB
(g/ekor)
RKP
Ket: -
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
Pvalue
57,88
60,13
62,56
68,48
0,181
24,89a
39,53ab
51,37b
45,33b
0,022
2,55
1,56
1,24
1,52
0,072
Data pemeliharaan selama 5 hari.
Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata.
block [9, 10], meskipun data lengkap belum tersedia (in
progress).
Penentuan kebutuhan nutrisi unggas dilakukan dengan
metode regresi non linier yakni second order polynomials
[10]. Apabila data protein pakan diplotkan dengan PBB
maka akan diperoleh persamaan second order polynomials
yakni y = 0.32x2 + 14.76x 119.09 (Gambar 2). Lebih
lanjut dapat ditentukan level protein pakan yang optimal
untuk ayam kampung fase starter masa pemeliharaan 5
hari adalah 22,83%.
B. Apakah Pertambahan Bobot Badan Berkorelasi
dengan Konsumsi Pakan?
Publikasi hasil riset nutrisi yang dilakukan pada ternak
ayam[4,5] serta hasil review penelitian pada sapi dan
babi[12] menunjukkan bahwa konsumsi pakan menjamin
tercukupinya kebutuhan nutrien. Regresi linier dan
korelasi antara KP dan PBB disajikan dalam Gambar 1,
yakni y = 2,32x – 103,55 dengan nilai R=0,8. Korelasi
positif ini sesuai dengan ekspektasi penelitian dimana
kenaikan PBB diperoleh dari peningkatan KP.
KP pada unggas diregulasi oleh komposisi nutrien
pakan, dimana penurunan konsumsi terjadi pada saat
ternak kekurangan dan kelebihan protein[8]. Potein pakan
terlihat belum berperan dalam mengatur KP dalam
penelitian ini karena fase starter ayam kampung lebih
lama dibandingkan broiler. Pengukuran parameter
peneltian yang pendek menjadi factor penyebabnya.
Gambar 1. Regresi dan Korelasi antara KP dan PBB
ayam kampung yang diberi pakan perlakuan selama 5
hari (N=10)
Gambar 2. Second order polynomials antara protein
pakan dan PBB ayam kampung selama 5 hari.
Protein pakan dalam penelitian ini lebih berperan dalam
menghaslkan bobot badan. Kami berspekulasi hal ini
karena ayam kampung mampu memanfaatkan protein
dalam pakan dan melakukan sintesis protein menghasilkan
jaringan otot mengingat fungsi protein sebagai building
IV. KESIMPULAN
Konsumsi ayam kampung yang dipelihara dalam durasi
singkat tidak dipengaruhi oleh protein pakan dan
automatis hipotesis penelitian tidak terbukti. Pertumbuhan
ayam adalah kontribusi dari protein pakan dimana P3
(protein pakan 22%) menghasilkan PBB tertinggi.
Kebutuhan protein pakan untuk ayam kampung untuk
adalah 22.83% pada level energi metabolis 2800 kkal/kg.
UCAPAN TERIMA KASIH
Periset menyampaikan terima kasih kepada
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi,
144
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Direktorat Jenderal Riset dan Pengabdian Masyarakat atas
didanainya proposal Hibah Bersaing Tahun Anggaran
2016.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
Setioko, A. G. & S.Iskandar. 2010. Review Hasil-Hasil Penelitian
Dan Dukungan Teknologi Dalam Pengembangan Ayam Lokal
Prosiding Lokakarya Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam
Lokal
Resnawati, H dan I A.K. Bintang. Tanpa Tahun. Kebutuhan
Pakan Ayam Kampung Pada Reriode Pertumbuhan. Lokakarya
Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal.
Mueller-Harvey, I. 2004. Assessing Quality and Safety of Animal
Feed in Modern Techniques for Feed Analysis. FAO. Animal
Production and Health Division. Rome, Italy.
Yusrizal, Y. R. Angel, A. Adrizal B. E. Wanto, S. Fakhri, and Y.
Yatno. 2013. Feeding native laying hens diets containing palm
kernel meal with or without enzyme supplementations. 2. Excreta
nitrogen, ammonia, and microbial counts. J. Appl. Poult. Res.
22 :269–278
J. J. R. Feddes, E. J. Emmanuel, and M. J. Zuidhof†J. 2002.
Broiler Performance, Bodyweight Variance, Feed and Water
Intake, and Carcass Quality at Different Stocking Densities.
Poultry Science. Vol 81:774-779.
A. Payne, X. Wang, M. T. Ivy, A. Stewart, K. Nelson, C. Darris,
and S. N. Nahashon. 2016. Lysine mediation of neuroendocrine
food regulation in guinea fowl. Poultry Science. 00:1–11.
Grimes, S.E. 2002. A Basic Laboratory Manual for the SmallScale Production and Testing of I-2 Newcastle Disease Vaccine.
FAO Regional Office for Asia and the Pacific (RAP). Thailand.
Forbes, J. M. 1995. Voluntary Food Intake and Diet Selection of
Farm Animals.CAB International. Oxon, United Kingdom.
Bartlett, F. K. McKeith, M. J. VandeHaar, G. E. Dahl and J. K.
Drackley. 2006. Growth and body composition of dairy calves fed
milk replacers containing different amounts of protein at two
feeding rates. Journal of Animal Science. Vol. 84: 6: 1454-1467.
Tous, R. Lizardo, B. Vilà, M. Gispert, M. Font-i-Furnols and E.
Esteve-Garcia. 2014. Effect of reducing dietary protein and lysine
on growth performance, carcass characteristics, intramuscular fat,
and fatty acid profile of finishing barrows. Journal of Animal
Science. Vol. 92: 1: 129-140.
Pesti, g.m. D. Vedenov , j.a. Cason and . Billard. 2009. A
comparison of methods to estimate nutritional requirements from
experimental data. British Poultry Science. Vol. 50, Number 1: 16
- 32
Hoque,M.A. and Suzuki, K., 2009. Genetics of Residual Feed
Intake in Cattle and Pigs: A Review. Asian-Australian Journal of
Animal Science. Vol 22, No. 5: 747 – 755.
145
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Penanganan Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk
Dalam Desain Sistem Pakar Diagnosis Penyakit
Menggunakan Metode Euclidean Distance
Ir. M. Zayin Sukri, MP1) dan Hariyono Rakhmad, S.Pd, M.Kom2)
1) Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember
1mzayinsukri@yahoo.com
2) Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember
2hr_poltek@yahoo.com
Abstract
Tanaman jeruk di kabupaten Jember pada tahun 90-an merupakan salah satu komoditas andalan di Jawa Timur. Pada tahun 2012
mampu menghasilkan jeruk siam sebanyak 1.194.783 kuintal. Namun, hampir tiap tahun ribuan pohon jeruk milik sekitar 500
petani di kawasan selatan dan barat Kabupaten Jember harus dimusnahkan akibat serangan virus CVPD (Citrus Vein Phloem
Degenerapions). Hama dan penyakit menyerang tanaman jeruk pada setiap siklus pertumbuhannya. Dengan serangan hama dan
penyakit yang terjadi petani jeruk harus menvariasikan pengobatan dalam membasmi hama dan penyakit. Salah satu dengan
mengatahui jenis hama dan penyakit dan dilakukan langkah pemilihan pestisida yang cocok untuk proses pembasmian.
Dengan permasalahan-permasalahan tersebut harus dicarikan solusi penyelesaiannya, yaitu dengan membangun sebuah aplikasi
Diagnosis Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk (Citrus sp) Berbasis Mobile. Diharapkan dengan aplikasi ini petani dapat terbantu
dalam mendiagnosis hama dan penyakit apa yang sedang menyerang tanaman jeruknya, sehingga dengan mengetahui
penanganannya dapat mencegah serangan yang lebih luas. Metode yang digunakan dalam pembuatan aplikasi sistem pakar
diagnosis penyakit jeruk ini adalah: 1) Analisis situasi; 2) koleksi pengetahuan; 3) perancangan; 4) Testing dan evaluasi; 5)
Dokumentasi dan pemeliharaan..
Keywords— Hama dan Penyakit Jeruk, Sistem Pakar, Euclidean Distance.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jember merupakan salah satu penghasil jeruk di
Indonesia. Sebagian besar wilayah Kabupaten Jember
merupakan dataran rendah, dengan ketinggian tanah ratarata 83 meter di atas permukaan laut dan merupakan
daerah yang cukup subur dan sangat cocok untuk
pengembangan komoditi pertanian dan perkebunan,
sehingga dikenal sebagai daerah/lumbung pangan dan
penghasil devisa negara sektor perkebunan di Propinsi
Jawa Timur.
Dari data dinas pertanian dan tanaman pangan
propinsi Jawa Timur, Kabupaten Jember pada tahun 2012
mampu menghasilkan jeruk siam sebanyak 1.194.783
kuintal. Tanaman jeruk di kabupaten Jember pada tahun
90-an merupakan salah satu komoditas andalan. Bahkan,
dalam dua tahun terakhir, karena petani tebu dan tembakau
banyak yang rugi, areal tanaman jeruk yang semula sekitar
200 hektare bertambah mencapai 5.000 hektare. (Hari
Widjajadi, 2010)
Bukan tidak berarti budidaya jeruk di Kabupaten
Jember aman dari serangan penyakit. Ribuan pohon jeruk
milik sekitar 500 petani di kawasan selatan dan barat
Kabupaten Jember, Jawa Timur, harus dimusnahkan
akibat serangan virus CVPD (Citrus Vein Phloem
Degenerapions). Sedangkan di kawasan lain tanaman
jeruk terancam jamur batang yang juga bisa mematikan
tanaman yang terpaksa ditebang karena tidak bisa dipanen.
Berdasarkan pengalaman pada masa tanaman jeruk
periode itu, gejala-gejala seperti itu diyakini akibat
terserang virus. Para petani lalu memutuskan untuk
mencabut seluruh tanaman yang terserang. Serangan
CVPD terjadi hampir tiap tahun. Luas areal tanaman jeruk
yang diserang juga semakin bertambah sehingga
mempengaruhi produksi jeruk di Jember.
Hama dan penyakit tersebut juga menyerang
tanaman jeruk pada setiap siklus pertumbuhannya.
Dengan serangan hama dan penyakit yang terjadi petani
146
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
jeruk harus menvariasikan pengobatan dalam membasmi
hama dan penyakit. Salah satu dengan mengetahui jenis
hama dan penyakit dan dilakukan langkah pemilihan
pestisida yang cocok untuk proses pembasmian
(Bambang, 1996).
Dengan permasalahan-permasalahan tersebut harus
dicarikan solusi penyelesaiannya, yaitu dengan
membangun sebuah aplikasi Diagnosis Hama dan
Penyakit Tanaman Jeruk (Citrus sp) Berbasis Mobile
dengan menggunakan algoritma Euclidean Distance.
B. Keutamaan Penelitian
Membantu melakukan pengendalian hama dan
penyakit tanaman jeruk lebih jelas dan detail, agar petani
tidak ragu dan salah dalam mendiagnosis hama dan
penyakit tanaman jeruk yang dialami. Meningkatkan
efektivitas dan waktu serta biaya bagi petani tanaman
jeruk dalam mengantisipasi dan mengendalikan hama dan
penyakit jeruk yang menyerangnya.
Membantu memberikan informasi bagaimana
menanggulangi dan mencegah hama dan penyakit
tanaman jeruk yang timbul ke dalam sebuah informasi
sistem aplikasi berbasis android yang didapat dijalankan
dalam perangkat mobile, yaitu HP atau Tablet. Membantu
memberikan informasi kepada masyarakat yang
mendapati gejala-gejala hama dan penyakit tanaman jeruk
agar selalu waspada dan mengambil langkah yang perlu.
Pendekatan yang dilakukan dalam Sistem Pakar ini
adalah dengan menghimpun pengetahuan dari seorang
atau beberapa orang pakar hama dan penyakit tanaman
yang diformulasikan dalam aturan-aturan tertentu
sehingga mampu memberikan keputusan dalam
penyelesaian masalah. Dengan pendekatan tersebut
Sistem Pakar memiliki kemampuan yang cukup efektif
dalam pencarian solusi penyelesaian masalah.
Penelitian ini memiliki target menghasilkan sebuah
aplikasi yang memberikan informasi kepada masyarakat
tentang hasil diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk,
dengan cara memberikan justifikasi gejala yang terjadi
pada aplikasi berbasis komputer dan Android, tanpa harus
bertemu dengan pakarnya secara langsung. Penelitian
yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data gejala
dan hama dan penyakit tanaman jeruk serta solusinya.
Kemudian dilanjutkan dengan membangun sebuah
aplikasi pakar pendiagnosis hama dan penyakit tanaman
jeruk.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan
dalam membuat aplikasi sistem pakar adalah dapat
menentukan jenis penyakit tanaman beserta solusi
penanganannya berdasarkan gejala yang ada. Serta dapat
menghasilkan beberapa aturan yang tepat sehingga
kebenaran pada kombinasi premis dalam menentukan
gejala untuk dapat menghasilkan kesimpulan tentang
hama dan jenis penyakitnya.
Penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration)
yang disebabkan oleh bakteri Liberobacter asiaticus
hingga saat belum ditemukan obatnya jika tanaman
terserang sehingga penyakit tersebut masih menghantui
setiap usaha pengembangan jeruk di Indonesia. Guna
mendukung pengembangan jeruk di Indonesia khususnya
untuk menanggulangi CVPD, Lolit jeruk telah
memformulasikan strategi pengendaliannya yang disebut
dengan PTKJS (Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat).
PTKS terdiri atas 5 komponen teknologi, yaitu: 1)
Penggunaan bibit jeruk berlabel bebas penyakit, 2)
Pengendalian vektor CVPD secara cermat, 3) Sanitasi
kebun yang baik, 4) Pemeliharaan secara optimal, dan 5)
Konsolidasi pengelolaan kebun secara menyeluruh di
target wilayah pengembangan.
Dari sistem yang telah diimplementasikan bahwa
secara umum sistem ini dapat berjalan dengan baik, namun
demikian masih ada beberapa kekurangan karena
keberhasilan diagnosis awal gangguan kesehatan sangat
bergantung dengan keahlian pengguna sistem dalam
membangun knowledge base (basis pengetahuan).
A. Sistematika Tanaman Jeruk
Tanaman jeruk mempunyai akar tunggang
panjang dan akar serabut (bercabang pendek kecil) serta
akar-akar rambut. Bila akar tunggang mencapai tanah
yang keras atau tanah yang terendam air, maka
pertumbuhannya akan berhenti. Tetapi bila tanahnya
gembur, panjang akar tunggang bisa mencapai 5 meter.
Akar cabang yang mendatar bisa mencapai 6 - 7 meter.
Perakaran jeruk tergantung pada banyaknya unsur hara di
dalam tanah dan umumnya di kedalaman 0,15 – 0,50 meter
(Soelarso, 1996).
Pohon jeruk yang sekarang ditanam di Indonesia
berbentuk bulat dan tinggi dapat mencapai 5 – 15 meter.
Daun jeruk berwarna hijau-tua tidak merangas. Posisi
daun berhadapan atau berseling, tangkai daun bersayap
atau tidak bersayap dan permukaan daun berkelenjar
minyak yang transparan.
Bunga jeruk berbentuk majemuk seperti payung,
tandan atau malai kebanyakan berkelamin 2, kelopak
bunga berjUMLah 4 – 5, ada yang menyatu ada yang tidak.
Mahkota bunga kebanyakan berjUMLah 4 – 5 dan berdaun
lepas. Tonjolan dasar bunga beringgit atau berlekuk di
dalam benangsari (Soelarso, 1996).
Bakal buah menumpang, bentuknya bulat, dan bulatpendek atau elips. Buah jeruk tergolong buah sejati,
tunggal dan berdaging. Oleh karena itu buah yang masak
tidak pecah. Satu bunga menjadi satu bakal buah saja.
Dinding buah tebal dengan lapisan kulit luar yang kaku,
bau menyengat dan banyak mengandung minyak atsiri.
Lapisan ini disebut flavedo di mana mulanya berwarna
147
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
hijau dan bila masak berwarna kuning atau jingga. Lapisan
tengah buah seperti lapisan spon yang terdiri atas jaringan
bunga karang berwarna putih disebut albedo, sedangkan
lapisan dalam bersekat membentuk ruang. Rasa buah jeruk
cukup manis sampai manis, misalnya jeruk keprok, jeruk
siem, dan jeruk manis (Soelarso, 1996).Tanaman Jeruk
(Citrus sp) mempunyai sistematika sebagai berikut:
Tabel I.
Sistematika Tanaman Jeruk
Nama Kelas
Golongan
Kerajaan
Plantae
Divisi
Magnoliophyta
Kelas
Magnoliopsida
Upakelas
Rosidae
Ordo
Sapindales
Famili
Rutaceae
Upafamili
Aurantioideae
Bangsa
Citreae
Genus
Citrus L
B. Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk
Definisi hama secara total berorientasi pada
manusia oleh beberapa ahli menurut (Mary dan Robert,
1990) hama adalah yang bersaing dengan manusia untuk
mendapatkan makanan, serat dan tempat perlindungan.
Secara luas definisi untuk pengertian hama menurut
(Mary dan Robert, 1990) hama adalah makhluk hidup
yang mengurangi ketersediaan, kualitas atau jUMLah
beberapa sumber daya manusia. Sumber daya manusia itu
sendiri bisa disebut berupa tumbuhan atau binatang yang
dipelihara oleh manusia, untuk kehidupan manusia.
Sedangkan kesenangan manusia yang dimiliki misal
minatang peliharaan, tanaman hias, tanaman kebun atau di
tempat – tempat lainnya. Sumber daya yang mungkin juga
digunakan untuk kesehatan, kenyaman dan ketenangan
yang dari waktu ke waktu dapat terancam oleh tanaman
penyebab elergi, makhluk hidup pembawa penyakit,
gigitan serangga atau binatang pengganggu lainnya
(Soelarso, 1996).
Makhluk hidup yang menjadi hama tidak terbatas
pada kelas atau phylum tertentu. Serangga adalah kelas
binatang yang sering menjadi hama adalah tungau, kutu,
nematoda, moluska, dan spesies invertebrata lainnya yang
yang diketahui sebagai hama (Soelarso, 1996).
Definisi dan konsep dari penyakit tumbuhan
bermacam-macam salah satunya manurut Whetzel (dalam
Meity,2006:9) penyakit tumbuhan adalah suatu proses
fisiologi tumbuhan yang abnormal dan merugikan, yang
disebabkan oleh faktor primer (biotik atau abiotik) dan
gangguannya bersifat terus menerus serta akibatnya
dinyatakan oleh aktifitas sel/jaringan yang abnormal.
Sebelum melakukan pengendalian hama dan penyakit,
perlu adanya mendiagnosis suatu penyakit tanaman
dengan tepat agar memberi hasil atau pengendalian yang
efektif dan efisien. Dengan demikian, diagnosis penyakit
tumbuhan menjadi sangat penting dalam memutuskan
startegi/ cara pengendalian yang direkomendasikan
(Soelarso 1996).
Klasifikasi berdasarkan organ tanaman yang diserang
penyakit, seperti :
Penyakit akar,
Penyakit daun,
Penyakit buah,
Penyakit batang.
C. Sistem Pakar
1) Pengertian Sistem Pakar: Sistem Pakar (Expert
System) adalah sistem yang berusaha mengadopsi
pengetahuan manusia ke komputer, agar komputer dapat
menyelesaikan masalah seperti biasa yang dilakukan para
ahli (Kusumadewi, 2003).
Menurut Durkin dalam Sasmito (2010) Sistem
pakar adalah suatu program komputer yang dirancang
untuk memodelkan kemampuan penyelesaian masalah
yang dilakukan seorang pakar.
Menurut Giarratano dan Riley dalam Sasmito (2010)
Sistem pakar adalah suatu sistem komputer yang bisa
menyamai atau meniru kemampuan seorang pakar.
Dalam
penyusunannya,
sistem
pakar
mengkombinasikan kaidah-kaidah penarikan kesimpulan
(inference rules) dengan basis pengetahuan tertentu yang
diberikan oleh satu atau lebih pakar dalam bidang tertentu.
Kombinasi dari kedua hal tersebut disimpan dalam
komputer, yang selanjutnya digunakan dalam proses
pengambilan keputusan untuk penyelesaian masalah
tertentu.
Sistem pakar terdiri 2 bagian pokok, yaitu:
lingkungan pengembangan (defelopment environment)
dan lingkungan konsultasi (consultation enveronment).
Lingkungan pengembangan digunakan sebagai
pembangun sistem pakar dari segi pembangun komponen
maupun basis pengetahuan. Lingkungan konsultasi
digunakan oleh seseorang yang bukan ahli untuk
konsultasi (Kusumadewi, 2003:109).
Gambar 1. Struktur Sistem Pakar (sumber: Muhammad
Arhami (2005)).
148
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Komponen-komponen yang terdapat dalam sistem
pakar adalah seperti yang terdapat pada gambar, yaitu
User
Interface
(Antarmuka
Pengguna),
basis
pengetahuan, akuisisi pengetahuan, mesin inferensi,
workplace, fasilitas penjelas, perbaikan pengetahuan.
2) Konsep Dasar Sistem Pakar: Menurut Turban
dalam Kusumadewi (2003) Konsep dasar dari suatu
sistem pakar mengandung beberapa unsur atau elemen,
yaitu:
Keahlian
Keahlian merupakan suatu penguasaan pengetahuan
di bidang tertentu yang didapatkan dari pelatihan,
membaca atau pengalaman.
Ahli
Seorang ahli adalah seorang yang mampu
menjelaskan suatu tanggapan, mempelajari hal-hal
baru seputar topik permasalahan (domain), menyusun
kembali pengetahuan, memecah aturan-aturan jika
diperlukan dan menentukan relevan tidaknya keahlian
mereka.
Pengalihan keahlian
Tujuan dari sistem pakar adalah mengalihkan
keahlian dari seorang pakar ke komputer dan
kemudian ke manusia lain yang bukan ahli.
Pengetahuan yang disimpan dalam komputer disebut
basis pengetahuan (knowledge base). Pengetahuan ini
dibedakan menjadi dua, yaitu fakta dan aturan.
Inferensi atau menarik kesimpulan
Keahlian-keahlian yang sudah tersimpan dalam
komputer sebagai basis pengetahuan, maka sistem
pakar harus diprogram agar dapat menarik
kesimpulan
Aturan (rule)
Aturan merupakan informasi tentang cara bagaimana
memperoleh fakta baru dari fakta yang telah
diketahui.
Kemampuan menjelaskan (Explanation Capability)
Kemampuan komputer untuk memberikan penjelasan
kepada pengguna tentang sesuatu informasi tertentu
dari pengguna dan dasar yang dapat digunakan oleh
komputer untuk dapat menyimpulkan suatu kondisi.
D. Metode Euclidean Distance
Euclidean distance adalah perhitungan jarak dari 2
buah titik dalam Euclidean space. Euclidean space
diperkenalkan oleh seorang matematikawan dari Yunani
sekitar tahun 300 B.C.E. untuk mempelajari hubungan
antara sudut dan jarak. Euclidean ini biasanya diterapkan
pada 2 dimensi dan 3 dimensi. Tapi juga sederhana jika
diterapkan pada dimensi yang lebih tinggi.
Teknik cross validasi digunakan untuk mencari nilai
k yang optimal dalam mencari parameter terbaik dalam
sebuah model. Jarak Euclidean menurut McAndrew
(2004) digunakan untuk menghitung jarak antara dua
vektor yang berfungsi menguji ukuran yang bisa
digunakan sebagai interpretasi kedekatan jarak antara dua
obyek yang direpresentasikan dalam persamaan.
Tingkat kemiripan didasarkan atas nilai
terdekat dengan menggunakan rumus Euclidean berikut.
(2.13)
Keterangan:
= jarak antara vektor i dan j
Di samping itu dalam menentukan jarak antara dua
vektor metode yang digunakan adalah city blok distance
atau disebut juga Manhattan distance atau absolute value
distance dengan menghitung perbedaan absolut dari 2
vektor, menggunakan rumus berikut.
(2.14)
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Merancang dan mengembangkan aplikasi sistem
pakar untuk mendiagnosis hama dan penyakit
tanaman jeruk perangkat lunak berbasis desktop
(tahun pertama) dan mobile (tahun kedua).
Mengimplementasikan data dari pakar dalam
mendiagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk.
Mengumpulkan data tentang penyakit, penyebab, dan
pencegahan terhadap hama dan penyakit tanaman
jeruk, serta solusinya.
Membangun sebuah perangkat lunak yang dapat
dijalankan melalui program komputer tentang
pencarian nama penyakit tanaman jeruk dan solusinya
bagi petani maupun bagi penyuluh pertanian di
Kabupaten Jember.
B. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dicapai setelah kegiatan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Berkurangnya serangan hama dan penyakit tanaman
jeruk di bidang pertanian karena dengan tepat dan
sesuai penyakit pada tanaman jeruk dapat dibasmi.
Tidak lagi terjadi coba-coba obat/pestisida dalam
menangani beberapa gejala penyakit pada tanaman
jeruk
149
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Menyediakan informasi kepada masyarakat tentang
diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk dengan
gejala-gejalanya dalam sebuah aplikasi sistem pakar.
Pembuatan sistem pakar berbasis android (tahun
kedua) nantinya didasari atas sudah maraknya
penggunaan perangkat mobile di masyarakat,
sehingga aplikasi ini akan mudah digunakan oleh
siapa, kapan dan di mana saja.
IV. METODE PENELITIAN
A. Tahapan Penelitian
Dalam melakukan penelitian pembuatan
perangkat lunak diagnosis hama dan penyakit pada
tanaman jeruk ini menggunakan langkah-langkah sebagai
berikut.
Tahap 1
Penilaian Keadaan
Reformulasi
Tahap 2
Koleksi Pengetahuan
Explorasi
Tahap 3
Perancangan
Perbaikan
Kebutuhan
Pengetahuan
Struktur
Tahap 4
Test
Evaluasi
Tahap
Dokumentasi
Produk
Tahap 6
Pemeliharaan
Gambar 2 Metode Kegiatan
1) Tahap Penilaian Keadaan: Tahap penilaian
keadaan merupakan tahap awal dalam pengembangan
sistem, karena pada tahap ini permasalahan yang akan
dianalisis adalah diagnosis hama dan penyakit tanaman
jeruk. Tahap ini dilakukan untuk menentukan dan
membatasi masalah yang diimplementasikan pada sistem.
Masalah yang didiagnosis dari gejala, jenis, ciri dari hama
dan penyakit tanaman jeruk. Untuk umasalah pada sistem
perlu di dijabarkan pada bahasa pemrograman yang
digunakan adalah C#. Tujuannya tercapai komponenkomponen yang mendukung dalam proses penilaian
keadaan.
2) Tahap Koleksi Pengetahuan: Tahap koleksi
pengetahuan merupakan tahap yang paling penting karena
pada tahap ini pengetahuan digunakan untuk dapat
digunakan pada sistem pakar. Koleksi pengetahuan
bertujuan agar pengetahuan yang digunakan pada sistem
dapat sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh ahli
pakar diagnosis hama dan penyakit. Pada tahap ini koleksi
pengetahuan dilakukan dengan mendapatkan referensi
bersumber dari buku-buku tentang hama dan penyakit
tanaman jeruk beserta pengendaliannya. Paling penting
adalah akuisisi pengetahuan dari seorang pakar yang ahli
dalam tanaman hama dan penyakit tanaman jeruk.
Database tersebut digunakan untuk digunakan dalam
perangkat lunak yang akan di buat.
3) Tahap Perancangan: Tahap desain sistem
merupakan tahap dalam perencanaan sistem dan desain
antarmuka. Pemodelan sistem digunakan untuk
membangun basis aturan, antar muka pemakai, basis
pengetahuan, penjelasan fasilitas sistem. Pada tahap ini
metode euclidean distance merupakan langkah penerapan
basis pengetahuan pakar tanaman jeruk. Ditentukan aturan
yang ada dengan metode euclidean distance, dengan cara
menggambarkan sistem yang dibutuhkan untuk aturan
pakar dengan penerapan metode euclidean distance sesuai
dengan batasan penelitian yang telah ditentukan.
Bahasa pemrograman yang digunakan pada
penelitian tahun pertama ini untuk pembuatan perangkat
lunak diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk adalah
C# menggunakan aplikasi SharpDevelopt.
4) Tahap Tes: Tahap pengujian merupakan tahap
yang bertujuan untuk menemukan kesalahan sistem yang
dirancang untuk pembuatan perangkat lunak diagnosis
hama dan penyakit tanaman jeruk. Karena sistem yang
dibuat mungkin masih memiliki kekurangan sehingga
tahap tes ini diperlukan untuk memperbaiki atau
menambahkan kekurangan program.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode
BLACKBOX. Suatu sistem di mana input dan outputnya
dapat didefinisikan tetapi prosesnya tidak diketahui atau
tidak terdefinisi. Metode ini hanya dapat dimengerti oleh
pihak dalam (yang menangani) sedangkan pihak luar
hanya mengetahui masukan dan hasilnya. Pihak luar
adalah pengguna sistem yang melakukan antar muka
sistem dilakukan untuk memastikan bahwa sistem yang
digunakan dapat berjalan dengan mudah dan fitur-fitur
dapat digunakan dengan baik.
150
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pada pengujian perangkat lunak dilakukan untuk
mengetahui apakah desain yang dibuat telah sesuai dengan
program, apakah penelusuran telah sesuai dengan basis
aturan, apakah source code dalam program dapat berjalan
sesuai dengan penentuan hama dan penyakit tanaman
jeruk, apakah fitur-fitur dapat dioperasikan oleh user,
apakah hasil yang dihasilkan oleh sistem sesuai dengan
hasil yang dihasilkan oleh Ahli Pakar.
5) Tahap Dokumentasi: Tahapan dokumentasi
merupakan tahap mendokumentasikan hal-hal yang sudah
dilakukan dalam proses pembuatan Perangkat Lunak
Diagnosis Hama Dan Penyakit Pada Tanaman Jeruk
(Citrus sp), yang sudah dibuat berdasarkan pada tahapantahapan sebelumnya.
6) Tahap Pemeliharaan:
Pada
tahap
pemeliharaan dilakukan hal yang bertujuan untuk
memperbaharui database pengetahuan, mengganti
pengetahuan yang lebih baik, menambah pengetahuan
sesuai dengan waktu, ataupun menghapus agar Perangkat
Lunak Diagnosis Hama Dan Penyakit Pada Tanaman
Jeruk dapat lebih baik di setiap waktunya
B. Strategi Penelitian
Dalam mengembangkan dan mengimplementasikan
sistem pakar ke dalam aplikasi diagnosis hama dan
penyakit tanaman jeruk beberapa strategi penelitian yang
akan diterapkan pada tiap tahun adalah sebagai berikut.
Strategi Pertama, adalah pembuatan perangkat lunak
dengan dilakukan percobaan untuk mendapatkan metode
yang tepat dalam pendiagnosis hama dan penyakit
tanaman jeruk, dengan aplikasi berbasis desktop dengan
bahasa C# sebagai pemrogramannya.
Percobaan 1:
Analisis lapangan dan mengumpulkan data atau informasi
tentang gejala dan penyakit tanaman jeruk. Membuat rulerule yang diperlukan. Serta mempelajari metode euclidean
distance. Pengujian dilakukan dengan melakukan
perhitungan-perhitungan metode tersebut.
Percobaan 2:
Penetapan parameter hama dan penyakit tanaman jeruk
sebagai data template pada aplikasi pendiagnosis hama
dan penyakit tanaman jeruk dengan mengkonsultasikan
kepada pakar penyakit tanaman.
Percobaan 3:
Uji keakurasian metode euclidean distance aplikasi
diagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk berbasis
desktop ke petani dan pakar hama dan penyakit tanaman.
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Kegiatan penelitian yang dilakukan di tahun
pertama ini adalah menghasilkan aplikasi diagnosis
penyakit pada tanaman jeruk berbasis desktop, artinya
program ini dapat dijalankan pada pangkat komputer.
A. Analisis Lapangan
Pada sistem manual, petani memantau keadaan lahan
tanaman jeruknya apakah ada lalat buah yang menyerang
atau tidak. Jika ada lalat buah yang menyerang maka
petani akan membuat surat laporan kepada Dinas
Pertanian. Dinas Pertanian menanggapi laporan dengan
memberikan surat penugasan kepada Staf Penyuluh
Pertanian untuk mengadakan survei lapangan di lokasi
tempat terserangnya hama lalat buah dan membuat laporan
hasil survei tersebut, lalu laporan hasil survei tersebut
diberikan kepada Dinas Pertanian untuk memberikan
tindakan.
Staff Penyuluhan Pertanian menentukan klasifikasi
serangan. Jika intensitas serangan masih di bawah 10%
dari keadaan normal maka belum memerlukan tindakan
pemberantasan. Namun jika serangan sudah masuk ke
dalam kategori serangan lebih besar yaitu serangan hama
lebih dari 10% dari keadaan normal, maka dinas pertanian
akan membuat surat penugasan pemberantasan hama.
Staff Penyuluh Pertanian kemudian berunding dan
menyusun jadwal serta menentukan bagaimana cara
pemberantasan hama agar lebih maksimal. Jadwal dan
cara pemberantasan yang telah disusun dibuat rangkap dua
yang nantinya satu rangkap diberikan kepada petani dan
satu rangkap kepada Staff Penyuluh Pertanian. Jika jadwal
yang ditentukan sudah sampai, maka Petani dan Staff
Penyuluh
Pertanian
bersama-sama
melakukan
pemberantasan hama. Semua proses pemberantasan akan
dilaporkan oleh para petani kepada Dinas Pertanian dan
diarsipkan oleh Dinas pertanian.
Dari gambar 4 tentang sistem manual dapat
dijelaskan dalam bentuk Ude Chase diagram bahwa proses
penentuan jenis hama dan penyakit yang dilakukan petani
dilakukan
secara
manual.
Selanjutnya
petani
membutuhkan seorang pakar penyakit tanaman jeruk yang
dalam prosesnya diperlukan waktu untuk tanya jawab
seputar gejala yang terjadi. Proses ini membutuhkan
waktu yang cukup lama dalam penentuan jenis hama dan
penyakit yang dilakukan oleh pakar untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh petani. Sehingga dalam
proses penentuan yang dilakukan oleh pakar tidak sedikit
untuk melakukan salah diagnosis dikarenakan petani
kurang dalam melakukan survey secara detail tentang
gejala yang terjadi pada tanaman jeruknya. Sehingga
kegiatan yang dilakukan petani bergantung pada
keputusan yang diberikan dan ditentukan oleh pakar atau
dinas pertanian terkait
151
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
g.
Menemukan Gejala
Tunjukkan gejala
<<extend>>
<<extend>>
Pakar
Pertanyaan terkait gejala
h.
Petani
Jawab Pertanyaan gejala
i.
Tentukan Jenis hama dan penyakit
Penerapan
Gambar 3. Use Case Diagram Manual
j.
B. Tahap Pengumpulan Data Penyakit Tanaman Jeruk
Dalam budi daya tanaman jeruk tidak lepas dari yang
namanya hama dan penyakit. Berikut adalah hama dan
penyakit tanaman Jeruk.
1) Hama Tanaman Jeruk:
a. Kutu loncat (Diaphorina citri.)
Bagian yang diserang adalah tangkai, kuncup daun,
tunas, daun muda.
Gejala: tunas keriting, tanaman mati.
b. Kutu daun (Toxoptera citridus aurantii, Aphis
gossypii.)
Bagian yang diserang adalah tunas muda dan bunga.
Gejala: daun menggulung dan membekas sampai
daun dewasa.
c. Ulat peliang daun (Phyllocnistis citrella.)
Bagian yang diserang adalah daun muda.
Gejala: alur melingkar transparan atau keperakan,
tunas/daun muda mengkerut, menggulung, rontok.
d. Tungau (Tenuipalsus sp. , Eriophyes sheldoni
Tetranychus sp)
Bagian yang diserang adalah tangkai, daun dan buah.
Gejala: bercak keperak-perakan atau coklat pada buah
dan bercak kuning atau coklat pada daun.
e. Penggerek buah (Citripestis sagittiferella.)
Bagian yang diserang adalah buah.
Gejala: lubang yang mengeluarkan getah.
f. Kutu penghisap daun (Helopeltis antonii.)
Bagian yang diserang Helopeltis antonii.
Gejala: bercak coklat kehitaman dengan pusat
berwarna lebih terang pada tunas dan buah muda,
k.
l.
bercak disertai keluarnya cairan buah yang menjadi
nekrosis.
Ulat penggerek bunga dan puru buah (Prays sp.)
Bagian yang diserang adalah kuncup bunga jeruk
manis atau jeruk bes.
Gejala: bekas lubang-lubang bergaris tengah 0,3-0,5
cm, bunga mudah rontok, buah muda gugur sebelum
tua.
Thrips (Scirtotfrips citri.)
Bagian yang diserang adalah tangkai dan daun muda.
Gejala: helai daun menebal, tepi daun menggulung ke
atas, daun di ujung tunas menjadi hitam, kering dan
gugur, bekas luka berwarna cokelat keabu-abuan
kadang-kadang disertai nekrotis.
Kutu dompolon (Planococcus citri.)
Bagian yang diserang adalah tangkai buah.
Gejala: berkas berwarna kuning, mengering dan buah
gugur.
Pengendalian: gunakan insektisda Methomyl
(Lannate 25 WP), Triazophos (Fostathion 40 EC),
Carbaryl (Sevin 85 S), Methidathion (Supracide 40
EC). Kemudian cegah datangnya semut yang dapat
memindahkan kutu.
Lalat buah (Dacus sp.)
Bagian yang diserang adalah buah yang hampir
masak.
Gejala: lubang kecil di bagian tengah, buah gugur,
belatung kecil di bagian dalam buah.
Kutu sisik (Lepidosaphes beckii Unaspis citri.)
Bagian yang diserang daun, buah dan tangkai.
Gejala: daun berwarna kuning, bercak khlorotis dan
gugur daun. Pada gejala serangan berat terlihat
ranting dan cabang kering dan kulit retak buah gugur.
Kumbang belalai (Maeuterpes dentipes.)
Bagian yang diserang adalah daun tua pada ranting
atau dahan bagian bawah.
Gejala: daun gugur, ranting muda kadang-kadang
mati.
2) Penyakit Tanaman Jeruk:
a. CVPD
Penyebab: Bacterium like organism dengan vektor
kutu loncat Diaphorina citri. Bagian yang diserang:
silinder pusat (phloem) batang.
Gejala: daun sempit, kecil, lancip, buah kecil, asam,
biji rusak dan pangkal buah oranye.
b. Tristeza
Penyebab: virus Citrus tristeza dengan vektor
Toxoptera. Bagian yang diserang jeruk manis, nipis,
besar dan batang bawah jeruk Japanese citroen.
Gejala: lekuk batang , daun kaku pemucatan, vena
daun, pertumbuhan terhambat.
c. Woody gall (Vein Enation)
Penyebab: virus Citrus Vein Enation dengan vektor
Toxoptera citridus, Aphis gossypii. Bagian yang
152
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
diserang: Jeruk nipis, manis, siem, Rough lemon dan
Sour
Orange.
Gejala: Tonjolan tidak teratur yang tersebar pada
tulang daun di permukaan daun.
Blendok
Penyebab: jamur Diplodia natalensis. Bagian yang
diserang adalah batang atau cabang.
Gejala: kulit ketiak cabang menghasilkan gom yang
menarik perhatian kumbang, warna kayu jadi keabuabuan, kulit kering dan mengelupas.
Embun tepung
Penyebab: jamur Odidium tingitanium. Bagian yang
diserang adalah daun dan tangkai muda.
Gejala: tepung berwarna putih di daun dan tangkai
muda.
Kudis
Penyebab: jamur Sphaceloma fawcetti. Bagian yang
diserang adalah daun, tangkai atau buah.
Gejala: bercak kecil jernih yang berubah menjadi
gabus berwarna kuning atau oranye.
Busuk buah
Penyebab: Penicillium spp. Phytophtora citriphora,
Botryodiplodia theobromae. Bagian yang diserang
adalah buah.
Gejala: terdapat tepung-tepung padat berwarna hijau
kebiruan pada permukaan kulit.
Busuk akar dan pangkal batang
Penyebab: jamur Phyrophthoranicotianae. Bagian
yang diserang adalah akar dan pangkal batang serta
daun di bagian ujung dahan berwarna kuning.
Gejala: tunas tidak segar, tanaman kering.
Buah gugur prematur
Penyebab: jamur Fusarium sp. Colletotrichum sp.
Alternaria sp. Bagian yang diserang: buah dan bunga
Gejala: dua-empat minggu sebelum panen buah
gugur.
Jamur upas
Penyebab: Upasia salmonicolor. Bagian yang
diserang adalah batang.
Gejala: retakan melintang pada batang dan keluarnya
gom, batang kering dan sulit dikelupas.
Kanker
Penyebab: bakteri Xanthomonas campestris Cv. Citri.
Bagian yang diserang adalah daun, tangkai, buah.
Gejala: bercak kecil berwarna hijau-gelap atau kuning
di sepanjang tepi, luka membesar dan tampak seperti
gabus pecah dengan diameter 3-5 mm.
C. Tahap Perancangan
Tahap desain sistem merupakan tahap dalam
perencanaan sistem dan desain antarmuka. Pemodelan
sistem digunakan untuk membangun basis aturan, antar
muka pemakai, basis pengetahuan, penjelasan fasilitas
sistem. Pada tahap ini metode euclidean distance
merupakan langkah penerapan basis pengetahuan pakar
tanaman jeruk. Ditentukan aturan yang ada dengan metode
euclidean distance, dengan cara menggambarkan sistem
yang dibutuhkan untuk aturan pakar dengan penerapan
metode euclidean distance sesuai dengan batasan
penelitian yang telah ditentukan.
Menambah Data
Mendiagnosa
<<extend>>
Mengubah Data
Data Diagnosa
<<extend>>
Login
User
Menghapus Data
<<extend>>
<<extend>>
Lihat Input Testimony
Ubah Testimony
<<extend>>
Setujui Testoimony
Input Pesan
Admin
<<extend>>
Terima Pesan
Memeriksa Pesan
Gambar 4. Use Diagram Komputerisasi
Use case diagram pada menerangkan proses ketika
User ingin menjalankan proses diagnosa, User pertama
kali melakukan Login yang hanya menginput Username
pengguna. Untuk menu awal User akan dihadapkan pada
menu diagnosa jika ingin mendiagnosa hama dan penyakit
tanaman jeruk. User memiliki hak akses antara lain
diagnosa, pesan, isi testimony. Pesan digunakan ketika
terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Admin
sehingga dapat menggunakan menu ini. Untuk testimony
digunakan untuk hak akses User dalam berbagi ilmu antar
sesame User
Activity diagram pada lampiran menggambarkan
berbagai aktivitas di dalam sistem yang sedang dirancang.
Dari mana sistem tersebut berawal, kemungkinan apa
yang terjadi dan bagaimana sistem berakhir. Dapat dilihat
bahwa aktivitas yang pertama yaitu melakukan Login
sistem, jika Login sebagai User maka akan tampil menu
sebagau User. Dan jika Login sebagai Admin, maka akan
tampil menu Admin. Yang asing-masinh memiliki hak
akses dan menu yang berbeda setiap aksesnya. Untuk
Admin sebagai admin hak akses dapat melakukan tambah
data gejala, hal tersebut tidak dapat dilakukan jika Login
sebagai User. Selain itu admin memiliki hak akses untuk
membalas pesan, menghapus data, menghapus tertimony
yang ada. Apabila Login sebagai User kelebihan yang ada
dapat melakukan diagnosa, kirim pesan.
153
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
User
Mesin Inferens
Admin
Menjalankan Aplikasi
Menjalankan aplikasi
Pin Salah
Input nama
Input username
Input password
Pin Benar
Menu Utema User
Menu Utama Admin
Lihat Data
Diagnosa
Testimony
Pesan
Pesan
Testimony
Tampil data
Pilih bagian tanaman
Diagnosa
data pesan
Lihat Data
Hapus
Tambah data testimony
Pilih gejala
Tambah
kirim pesan
data testimony
Input nama
Edit
Pilih data
Input nama
Input ID
Tampil testimony
Judul
Pilih data
Input Solusi
Edit data
Isi Pesan
Isi
Input Rule1
Hapus data
Isi Kesan
Kirim
Input Rule2
Database
Input Mulai
Kirim
Database
Input Selesai
inbox
namun belum tahapan selanjutnya adalah pembuatan
tree
dan
pemberian
bobot
agar
dapat
mengimplementasikan metode euclidean distance.
Pembuatan diagram use case komputerisasi adalah
desain sistem terkomputerisasi penyempurnaan dari
sistem manual yang sebelum adanya sistem pakar ini.
Selanjutnya perlu pengujian dan melakukan validitas
agar sistem pakar yang akan dibangun telah sesuai
dengan rule-rule yang telah disusun ke lebih dari satu
orang pakar yang ahli dalam bidang penyakit jeruk
ini.
Penggunaan metoda untuk menentukan prioritas
gejala mana yang seharusnya dapat dilakukan dengan
menggunakan lebih dari metode perhitungan
pengukuran jarak gejala dengan penyakit.
Perlu didesain hubungan antara sejumlah gejala
sehingga desain aplikasi tidak perlu menanyakan
seluruh gejala yang ada jika beberapa gejala sudah
dapat mengarah kepada suatu penyakit tertentu.
Desain interface aplikasi sistem pakar diupayakan
yang mudah dipahami oleh para petani.
Inbox
Simpan
Updtae database
VII.
Tampil jenis hama dan penyakit, cara pengendalian
[1]
Proses Selesai?
Proses Selesai?
Tidak
Tidak
Ya
Ya
[2]
[3]
[4]
Gambar 5. Diagram Aktivitas Sistem
[5]
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
[6]
Hasil yang dapat ditulis adalah bahwa dari
pelaksanaan penelitian yang berjudul Penanganan Hama
dan Penyakit Tanaman Jeruk dalam Sistem Pakar
Diagnosis Penyakit Menggunakan Metode Euclidean
Distance bahwa:
Hasil analisis sistem dari mengadakan pertemuan
dengan para petani didapatkan sebuah mekanisme
alur dalam melakukan pemantauan gejala-gejala
penyakit yang memerlukan waktu yang lama, sesuai
yang digambarkan dalam diagram Ude Chase manual
di bab sebelumnya.
Telah dilakukan pembuatan data informasi penyakit,
gejala, hama dan solusinya dalam bentuk tabel-tabel
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
DAFTAR PUSTAKA
Anisyah, Konsep Dasar Aplikasi Dan Pemograman Java.
Yogyakarta: Penerbit Andi. 2000
Davey, P. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical
Series. 2003
Jogiyanto, H. Analisis dan Desain Sistem Informasi Edisi III.
Yogyakarta: Andi. 2005
Durkin, John. “Expert Systems Design and Development”,
Prentice-Hall. 1994.
Hendrik, Antonius dan Riskadewi. Penerapan Sistem Pakar
Euclidean distance Berbasis Aturan pada Pengawasan Status
Penerbangan. Dalam jurnal INTEGRAL, Vol. 10 No. 3,
November 2005.
Kusumadewi, Sri. Artificial Intelligence (Teknik dan Aplikasinya).
Yogyakarta: Graha Ilmu. 2003.
Supardi,Y. 2014. Semua Bisa Menjadi Programmer Android Case
Study. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Dinas Pertanian Propinsi Jatim. Kabupaten Jember Sentra
Hortikultura. http://pertanian.jatimprov.go.id/index.php/sentrahortikultura/2005.
Supriyanto, D. dan Agustina, R. Pemrograman Aplikasi Android.
Jakarta: PT. Buku Seru2012.
Taryana. Perancangan Aplikasi Gejala Dan Diagnosis Penyakit
Umum Berbasis Android. Bandung: Universitas Komputer
Indonesia. 2013.
Wei, J.. Android Database Programming. Brimingham : Packt
Publishing. 2012
Widjajadi , Hari. Tanaman Jeruk di Jember Diserang Penyakit
CPVD http://www.tempo.co/read/news/2010/03/18/058233477/
2010.
154
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
PENCIPTAAN KINERJA PROGRAM STUDI:
SEBUAH PENGEMBANGAN MODEL
TEORITIK
(Studi Empiris pada Program Studi Politeknik di Jawa Timur)
Sri Sundari#1
Jurusan Manajemen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember
Sumbersari, Jember
1sundari_polije@yahoo.co.id
Abstract
Mutu program studi merupakan cerminan kinerja perguruan tinggi secara keseluruhan. Akreditasi sebagai salah satu alat ukur penilaian
kinerja program studi dalam dunia pendidikan tinggi merupakan pengakuan atas suatu lembaga pendidikan yang menjamin standar minimal
sehingga lulusannya memenuhi kualifikasi untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi maupun masuk ke dunia kerja.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kondisi kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen pengetahuan dan
kinerja program studi, serta menganalisis pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan, juga pengaruh
antara kepemimpinan, budaya organisasi secara langsung atau tidak langsung melalui manajemen pengetahuan terhadap kinerja program
studi. Penelitian ini dilakukan secara sensus pada 82 Program Studi politeknik di Jawa Timur yang terakreditasi. Jenis penelitian ini adalah
deskriptif verifikatif. Hipotesis penelitia diuji dengan teknik Partial Least Square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kepemimpinan kaprodi belum mencapai kategori baik, budaya organisasi belum tertanam
dengan kuat, manajemen pengetahuan belum terlaksana dengan baik, serta kinerja program studi masih rendah; (2) Kepemimpinan dan
Budaya Organisasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Pengetahuan, secara parsial hanya budaya organisasi
berpengaruh signifikan terhadap manajemen pengetahuan, sedangkan kepemimpinan berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap
manajemen pengetahuan; (3) Kepemimpinan dan Budaya Organisasi baik secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap
Kinerja Program Studi; (4) Pengaruh tidak langsung melalui manajemen pengetahuan, kepemimpinan berpengaruh tetapi tidak signifikan
terhadap kinerja program studi, sedangkan budaya organisasi berpengaruh signifikan.
Implikasi penelitian menghasilkan temuan berupa model konseptual Peningkatan Kinerja Progrm Studi Politeknik dan luaran berupa
diterbitkannya dalam jurnal terakreditasi atau jurnal ilmiah internasional.
Kata Kunci: Kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen pengetahuan, kinerja organisasi
I. PENDAHULUAN
Mutu program studi merupakan cerminan kinerja
perguruan tinggi secara keseluruhan (BAN-PT, 2010).
Berdasarkan hasil penilaian dari 82 program studi yang
terakreditasi, baru 22% yang terakreditasi “A”, sedangkan
sisanya sebesar 44% terakreditasi “B”, 33% terakreditasi
“C”, dan 1% akreditasi daluwarsa (BAN-PT, 2015). Hasil
sementara dapat dijelaskan bahwa kinerja program studi
pada Politeknik di Jawa Timur belum tinggi.
Kurangnya kesadaran dari pihak Politeknik dalam
mengelola pengetahuan sebagai intangible asset yang
sangat penting dan memiliki nilai strategis sebagaimana
hasil penelitian pendahuluan, dapat menghambat
pengembangan
pengetahuan
dan
pembentukan
pengetahuan
baru
sehingga
berdampak
pada
ketidakmampuan pengetahuan memberikan nilai optimal
bagi organisasi khususnya dalam hal tercapainya kinerja
yang tinggi.
Budaya organisasi yang merupakan nilai-nilai yang
dianut dalam organisasi disinyalir belum kuat sehingga
perlu adanya dorongan dari pihak manajemen dalam hal
ini kaprodi kepada civitas akademika, khususnya dalam
melakukan inovasi dan berani mengambil risiko.
Selain itu Kaprodi juga disinyalir belum mampu
menjadi penggerak partisipasi dan kesadaran seluruh
anggota untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi,
khususnya sebagai pemberi inspirasi dan motivator pada
pengikutnya.
Beberapa permasalahan yang menjadi pertanyaan
dalam penelitian ini (1) Bagaimana kondisi
kepemimpinan,
budaya
organisasi,
manajemen
pengetahuan, dan kinerja program studi Politeknik di Jawa
Timur, (2) Bagaimana pengaruh kepemimpinan dan
budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan pada
program studi Politeknik di Jawa Timur, baik secara
155
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
parsial maupun simultan, (3) Bagaimana pengaruh
manajemen pengetahuan terhadap kinerja program studi
Politeknik di Jawa Timur, dan (4) Bagaimana pengaruh
kepemimpinan dan budaya organisasi baik secara
langsung
maupun
tidak
langsung
melalui
manajemenpengetahuan terhadap kinerja program studi
Politeknik di Jawa Timur.
Secara umum penelitian ditujukan untuk (1)
Menghasilkan suatu kajian tentang kepemimpinan,
budaya organisasi, manajemen pengetahuan, dan kinerja
program studi Politeknik di Jawa Timur; (2) Menganalisis
dan memperoleh kajian tentang pengaruh kepemimpinan
dan budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan
pada program studi Politeknik di Jawa Timur, baik secara
parsial maupun simultan; (3) Menganalisis dan
memperoleh kajian tentang pengaruh manajemen
pengetahuan terhadap kinerja program studi Politeknik di
Jawa Timur; dan (4) Menganalisis dan memperoleh kajian
tentang pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
manajemen pengetahuan terhadap kinerja program studi
Politeknik di Jawa Timur.
Penelitian dapat dijadikan masukan atau sumbangan
pemikiran (1) bagi pimpinan perguruan tinggi dalam
menentukan kebijakan institusi guna merealisasikan
capaian visi, misi dan tujuan Politeknik Negeri di Jawa
Timur; (2) Bagi Quality Assurance (QA) Internal
merupakan pedoman yang dapat bermanfaat guna
memudahkan pengawasan atas jalannya operasional
Politeknik; (3) Bagi civitas akademika program studi
khususnya Ketua Program Studi, penelitian ini diharapkan
dapat menemukan dimensi-dimensi kinerja program studi
yang memerlukan perbaikan atau pembinaan dalam
rangka pengembangan program studi
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi
terhadap manajemen pengetahuan serta implikasinya
terhadap kinerja program studi. Objek penelitian adalah
kepemimpinan,
budaya
organisasi,
manajemen
pengetahuan dan kinerja program studi Politeknik di Jawa
Timur.
A. Metode yag digunakan
Metode yang digunakan adalah sensus, di mana seluruh
unit analisis digunakan sebagai data dalam penelitian.
Pemilihan metode sensus bertujuan agar gambaran dan
ciri-ciri populasi secara akurat dan komprehensif dapat
diperoleh. Jenis penelitian adalah deskriptif-verifikatif
karena dalam penelitian ini akan disajikan gambaran
secara terstruktur, faktual dan akurat serta hipotesis akan
diuji secara empirik. Unit analisis dalam penelitian ini
adalah program studi terakreditasi pada politeknik di Jawa
Timur, sedangkan unit observasinya adalah ketua program
studi, dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan yang
meliputi staf administrasi dan teknisi.
B. Rancangan Analisis dan Uji Hipotesis
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
1. Analisis Deskriptif, digunakan untuk mendiskripsikan
masing-masing variabel penelitian sehingga diperoleh
informasi mengenai gambaran kondisi kepemimpinan,
budaya organisasi, manajemen pengetahuan, dan
kinerja organisasi pada Program Studi Politeknik di
Jawa Timur.
2. Analisis Verifikatif, digunakan untuk pengujian
hipotesis dengan menggunakan uji statistik, di mana
Hipotesis 2, 3, 4 dan 5 dalam penelitian ini diuji
dengan metode PLS dengan menggunakan SmartPLS
versi 2.0. PLS (Partial Least Square) adalah salah satu
metode statistika SEM berbasis varian yang didesain
untuk menyelesaikan regresi berganda ketika terjadi
masalah spesifik pada data, seperti ukuran sampel
penelitian, adanya data yang hilang (missing value)
dan multikolinearitas. PLS sebagai model prediksi
tidak mengasumsikan distribusi tertentu untuk
mengestimasi parameter dan memprediksi hubungan
kausalitas (Hair et a.l 2013:26).
Evaluasi model PLS dilakukan dengan cara:
1. Uji Model Pengukuran (outer model)
Uji model pengukuran digunakan untuk menguji
validitas konstruk dan reliabilitas. Dalam penelitian hanya
dilakukan validitas konvergen. Validitas konvergen
berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur
dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi.
Validitas konvergen terjadi jika skor diperoleh dari dua
instrumen berbeda mengukur konstruk yang sama
mempunyai korelasi tinggi.
Uji validitas konvergen dalam PLS dengan indikator
reflektif dinilai berdasarkan loading factor (korelasi antar
skor item/skor komponen dengan skor konstruk). Hair et
al dalam Jogiyanto (2009) mengemukakan bahwa rule of
thumb yang biasanya digunakan untuk pemeriksaan awal
dari matriks faktor adalah ± 0,3 dipertimbangkan telah
memenuhi batas minimal, untuk ± 0,4 dianggap lebih
baik, dan untuk loading > 0,5 dianggap signifikan secara
praktikal.
Selain uji validitas, PLS juga melakukan uji reliabilitas
untuk mengukur konsistensi internal alat ukur. Uji
reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah
composite reliability yang harus lebih besar dari 0,7
meskipun nilai 0,6 juga masih dapat diterima (Hair et al
dalam Jogiyanto, 2009).
2. Mengevaluasi inner model
Merupakan model struktur untuk memprediksi
hubungan kausalitas antar variabel laten. Hipotesis 2 dan
156
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
3 yang telah dirumukan pada penelitian ini akan diuji
dengan metode PLS dengan menggunakan SmartPLS 2,0.
3. Penyusuna model pengukuran
Persamaan model pengukuran untuk ξ1, ξ2, η1 dan η2
memiliki persamaan struktural sebagai berikut :
1 111 12 2 1
2 121 211 22 2 2
Metode pendugaan parameter dalam PLS adalah
metode kuadrat terkecil. Proses perhitungan dilakukan
dengan cara iterasi, di mana iterasi akan terhenti jika
kondisi konvergen telah tercapai. Pendugaan parameter
dalam PLS meliputi:
• Weight estimate yang digunakan untuk menghitung
data variabel laten
• Path estimate yang menghubungkan antar variabel
laten dan estimasi loading antar variabel laten dan
induknya
• Means dan parameter lokasi (nilai konstanta regresi,
intersep) untuk indikator dan variabel laten.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Kepemimpinan, Budaya Organisasi,
Manajemen Pengetahuan, dan Kinerja Program
Studi
Berdasarkan analisis deskriptif, maka diperoleh hasil
dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut
TABEL 1
TANGGAPAN RESPONDEN VARIABEL KEPEMIMPINAN
BERDASARKAN PADA MASING-MASING DIMENSI
Dimensi
TABEL 2
TANGGAPAN RESPONDEN VARIABEL BUDAYA
ORGANISASI BERDASARKAN PADA MASING-MASING
DIMENSI
Dimensi
Inovasi dan pengambilan
risiko
Perhatian pada kecermatan
Rata - rata
Kategori
2.62
Cukup kuat
2.64
Cukup kuat
Orientasi hasil
2.49
Kurang kuat
Orientasi pada manusia
2.49
Kurang kuat
Orientasi tim
2.64
Cukup kuat
Agresif
2.56
Kurang kuat
Stabil
2.66
Cukup kuat
Kurang
kuat
Budaya Organisasi
TABEL 3
TANGGAPAN RESPONDEN VARIABEL MANAJEMEN
PENGETAHUAN BERDASARKAN PADA MASING-MASING
DIMENSI
Dimensi
Rata - rata
Kategori
Sosialisasi
2.84
Cukup
Eksternalisasi
3.39
Cukup
Kombinasi
2.91
Cukup
Internalisasi
2.88
Cukup
3.01
Cukup
Baik
Manajemen
Pengetahuan
TABEL 4
TANGGAPAN RESPONDEN VARIABEL KINERJA PROGRAM
STUDI BERDASARKAN PADA MASING-MASING DIMENSI
Rata - rata
Kategori
3.13
Cukup
2.76
Cukup
2.58
Kurang Baik
Sumberdaya manusia
2.97
Cukup
Cukup
Kurikulum, pembelajaran
dan suasana akademik
2.70
Cukup
Cukup
Pembiayaan, sarana dan
prasarana serta sistem
informasi
Penelitian, pelayanan,
pengabdian masyarakat dan
kerjasama
2.95
Cukup
2.80
Cukup
2.84
Cukup
Tinggi
Rata - rata
Kategori
Pengaruh ideal
2.85
Cukup
Pertimbangan individu
2.85
Cukup
Motivasi secara
inspirasional
2.76
Cukup
Stimulasi intelektual
2.67
Pengarahan dan hukuman
2.70
Penghargaan
2.64
Cukup
Penyelesaian masalah
2.58
Kurang Baik
Dimensi
Visi, misi, tujuan dan
sasaran serta strategi
pencapaian
Tata pamong,
kepemimpinan, sistem
pengelolaan dan
penjaminan mutu
Mahasiswa dan lulusan
Kinerja Program Studi
Kepemimpinan
2.72
2.59
Cukup Baik
157
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
B. Pengukuran Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya
Organisasi terhadap Manajemen Pengetahuan serta
Implikasinya pada Kinerja Program Studi
Dalam analisis Partial Least Square Tahap pertama
menilai kriteria convergent validity. Suatu indikator
dikatakan mempunyai validitas yang baik jika memiliki
nilai loading factor lebih besar dari 0,70. Sedangkan
loading factor 0,50 sampai 0,60 masih dapat
dipertahankan untuk model yang masih dalam tahap
pengembangan (Ghozali, 2008:111). Evaluasi terhadap
nilai reliabilitas konstrak diukur oleh composite reliability.
Masing-masing konstruk dikatakan reliabel jika memiliki
composite reliability lebih besar dari 0,70 dan AVE lebih
besar dari 0,50 (Yamin, 2011:203).
Berdasarkan hasil penilaian model pengukuran
pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap
manajemen pengetahuan serta implikasinya pada kinerja
program studi, maka diperoleh hasil sebagai berikut.
Kep
0,255
0,968
0,675
BO
Gambar 1. Diagram Jalur Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Manajemen Pengetahuan
Secara Simultan
Hasil uji signifikansi pengaruh kepemimpinan dan budaya
organisasi terhadap manajemen pengetahuan secara
simultan, dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
TABEL 6
HASIL UJI PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA
ORGANISASI TERHADAP MANAJEMEN PENGETAHUAN
TABEL 5
HASIL PENILAIAN MODEL PENGUKURAN
Kriteria
Penilaian
Validitas
Konvergen
Reliabilitas
komposit
Model Pengukuran
Aturan
Nilai
Keterangan
Evaluasi
Stan
dar
>
Validitas&Rel
Seluruh indikator
,5
iabilitas
dari semua variabel
indikator dan
mempunyai
>
dimensi atau
koefisien validitas
1,96 signifikan & nilai t
t hitung> t
tabel
hitung lebih besar
daripada nilai t
tabel
Composite
≥ 0,7 Seluruh hasil
Reliability
perhitungan adalah
(CR)
reliabel
C. Struktural Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya
Organisasi terhadap Manajemen Pengetahuan serta
Implikasinya pada Kinerja Program Studi
Analisis terkait dengan pengujian hipotesis dibahas
dalam analisis model struktural berikut: pertama,
pengaruh variabel kepemimpinan dan budaya organisasi
terhadap manajemen pengetahuan dan kedua, pengaruh
variabel kepemimpinan, budaya organisasi,
dan
manajemen pengetahuan terhadap kinerja program studi.
1. Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Manajemen Pengetahuan
Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan dan
budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan,
maka dilakukan pengujian secara simultan dan parsial.
Secara visual dapat dilihat pada gambar diagram jalur
sebagai berikut:
MP
•
Koef.
Determinasi
Fhitung
Ftabel
0,852
151.595
3,112
Kesimpulan
H0
ditolak
Signifikan
Secara Parsial
TABEL 7
HASIL UJI PENGARUH LANGSUNG KEPEMIMPINAN DAN
BUDAYA ORGANISASI TERHADAP MANAJEMEN
PENGETAHUAN
Variabel
Kepemimpinan
Budaya
Organisasi
Pengaruh
langsung
thitung
tkritis
6,5%
1,486
1,96
45,6%
3,966
1,96
Kesimpulan
H0
diterima
H0
ditolak
Tidak
Signifikan
Signifikan
2. Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Kinerja Program Studi
Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan dan
budaya organisasi terhadap kinerja program studi, maka
dilakukan pengujian secara simultan dan parsial. Secara
visual dapat dilihat pada gambar diagram jalur sebagai
berikut:
Kep
0,375
0,968
Kinerja
0,607
BO
Gambar 2. Diagram Jalur Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Kinerja Program Studi
158
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Secara Simultan
Hasil uji signifikansi pengaruh kepemimpinan dan
budaya organisasi terhadap kinerja program studi secara
simultan, dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
TABEL 8
HASIL UJI PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA
ORGANISASI TERHADAP KINERJA PROGRAM STUDI
Koef.
Determinasi
Fhitung
Ftabel
0,958
600,651
3,112
Kesimpulan
H0
ditolak
Signifikan
Secara Parsial
TABEL 9
HASIL UJI PENGARUH LANGSUNG KEPEMIMPINAN
DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA
PROGRAM STUDI
Variabel
Koefisien
jalur
thitung
tkritis
Kepemimpinan
14,1%
3.704
1,96
Budaya
Organisasi
36,8%
5.897
1,96
Kesimpulan
Ho
ditolak
Ho
ditolak
Signifikan
Signifikan
3. Pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Kinerja
Program Studi
MP
Kinerja
0,245
Gambar 3. Diagram Jalur Pengaruh Manajemen Pengetahuan
terhadap Kinerja Program Studi
Hasil uji signifikansi pengaruh manajemen
pengetahuan terhadap kinerja program studi dapat dilihat
pada Tabel 10 berikut.
TABEL 10
HASIL UJI PENGARUH MANAJEMEN PENGETAHUAN
TERHADAP KINERJA PROGRAM STUDI
Pengaruh
langsung
t hitung
t kritis
6,0%
4,572
1,96
Kesimpulan
H0
ditolak
Signifikan
4. Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Manajemen Pengetahuan serta Implikasinya
pada Kinerja Program Studi
a. Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Program
Studi Melalui Manajemen Pengetahuan
Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan terhadap
kinerja program studi melalui manajemen pengetahuan,
maka secara visual dapat dilihat pada gambar diagram
jalur sebagai berikut:
Kep
0,225
MP
Kinerja
0,245
Gambar 4. Diagram Jalur Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja
Program Studi melalui Manajemen Pengetahuan
Selanjutnya hasil uji signifikansi dapat dilihat pada
Tabel 11 berikut.
TABEL 11
HASIL UJI PENGARUH TIDAK LANGSUNG KEPEMIMPINAN
TERHADAP KINERJA PROGRAM MELALUI MANAJEMEN
PENGETAHUAN
Pengaruh
tidak
langsung
t hitung
t kritis
5,5%
1,409
1,96
Kesimpulan
H0
diterima
Tidak
Signifikan
b. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja
Program Studi Melalui Manajemen Pengetahuan
Guna mengetahui pengaruh antara budaya organisasi
terhadap kinerja program studi melalui manajemen
pengetahuan, maka secara visual dapat dilihat pada
gambar diagram jalur sebagai berikut:
BO
0,675
MP
0,245
Kinerja
Gambar 5. Diagram Jalur Pengaruh Budaya Organisasi terhadap
Kinerja Program Studi melalui Manajemen Pengetahuan
Hasil uji signifikansi, dapat dilihat pada Tabel
12 berikut.
TABEL 12
HASIL UJI PENGARUH TIDAK LANGSUNG BUDAYA
ORGANISASI TERHADAP KINERJA PROGRAM MELALUI
MANAJEMEN PENGETAHUAN
Pengaruh
tidak
langsung
thitung
t kritis
16,5%
2,988
1,96
Kesimpulan
H0
ditolak
Signifikan
c. Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Manajemen Pengetahuan serta Implikasinya
pada Kinerja Program Studi
Setelah melalui proses pengujian diperoleh
rekapitulasi persentase pengaruh dari masing-masing
variabel baik secara langsung maupun tidak langsung,
sehingga dapat dibuat struktur pemodelan sekalius
memperlihatkan besaran pengaruh antar variabel yang
dapat digambarkan sebagai berikut.
Kep
0,375
0,255
0,968
MP
0,245
Kinerja
0,675
0,607
BO
Gambar 6. Diagram Jalur Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya
Organisasi terhadap Manajemen Pengetahuan serta Implikasinya pada
Kinerja Program Studi
159
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Setelah dilakukan uji pengaruh maka diperoleh hasil
sebagai berikut.
Kep
0,140
0,065
0,968
MP
0,060
Kinerja
0,455
0,369
BO
Keterangan:
: Signifikan
: Tidak signifikan
Gambar 7. Rekapitulasi Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisas
terhadap Manajemen Pengetahuan serta Implikasinya pada Kinerja
Program Studi
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan, antara lain: (1) Pada program studi
politeknik di Jawa Timur, Kepemimpinan dan Budaya
Organisasi secara simultan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap Manajemen Pengetahuan. Secara
parsial budaya organisasi
berpengaruh signifikan
terhadap
manajemen
pengetahuan,
sedangkan
kepemimpinan berpengaruh tetapi tidak signifikan
terhadap manajemen pengetahuan. (2) Pengaruh langsung
Kepemimpinan dan Budaya organisasi terhadap Kinerja
Program Studi signifikan baik secara parsial maupun
simultan,. (3) Pelaksanaan Manajemen Pengetahuan
walaupun kecil tetapi berpengaruh signifikan terhadap
Kinerja Program Studi. (4). Pengaruh tidak langsung
Kepemimpinan terhadap Kinerja Program Studi melalui
Manajemen Pengetahuan tidak signifikan.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka beberapa saran
dapat dikemukakan, yaitu: (1) Agar hasil penelitian ini
lebih teruji lagi maka penelitian serupa di wilayah lain di
Indonesia perlu dilakukan. (2) Karena karakteristik dunia
pendidikan sangat berbeda dengan industri yang lain maka
penelitian dengan variabel yang sama tapi di luar dari
dunia pendidikan sangat menarik untuk dilakukan
misalnya saja pada industri manufaktur atau yang lain. (3)
Variabel manajemen pengetahuan berpengaruh terhadap
kinerja program studi, namun pengaruhnya kecil. Untuk
itu disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk
mempertimbangkan
variabel-variabel
lain
yang
memperkuat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap
kinerja program studi.
Daftar Pustaka
(1) A.I. Choudhary et.al. 2012. Impact of Transformational and Servant
Leadership on Organizational Performance: A Comparative
Analysis. Springer Science + Business Media B.V.
(2) Albretch.Kar1.2011. Organizational Performance : Meeting The
Challenges of The New Business Environment. Karl Albretch
Publiseher
(3) Analoui, Bejan David; Doloriert, Clair Hannah dan Sambrook,
Sally. 2013. Leadership and Knowledge Management in UK ICT
Organisations. Journal of Management Development Vol. 32 No. 1,
2013 pp. 4-17 r Emerald Group Publishing Limited
(4) Avolio J. Bruce and Bernard, M.Bass.2002. Developing Potential
Across a Full Range of leadership: Cases on Transactional and
Transformational Leadership. Lawrence Erlbaum. Associates
Publisher. London
(5) BAN-PT.2010.Pedoman Akreditasi Perguruan Tinggi. Dirjen Dikti
(6) Bass, B. M., & Avolio, B. J. (1997). Full range leadership
development: Manual for The Multifactor Leadership
Questionnaire. Redwood City, CA: Mind Garden, Inc.
(7) Bergeron, Bryan P. 2003. Essentials of Knowledge Management.
John Wiley and Sons. New Jersey
(8) Certo. C Samuel and S Trevis Certo. 2009. Modern Management:
Concept and Skills. Elevent Edition. Perason. Prentice Hall. New
Jersey
(9) Davenport, T and Prusak. 1998. Working Knowledge: How
Organizations Manage What They Know. Boston. Masschusetta
(10) Dvir Taly, Dov Eden, Bruce, Shamir, 2002, Impact of Transformational
Leadership on Follower Development and Performance a Field
Experiment, Academy of manajemen Juornal.
(11) Dessler, Gary. 2004. Human Resources Management 9th Edition.
Prentice Hall International, Inc., New Jersey
(12) Dirjen Dikti, 2011. Kebijakan Ditjen Pendidikan Tinggi tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dan Arah Kurikulum
LPTK
(13) Freeze, Ronald D; Kulkarni, Uday. 2007. Knowledge management
capability: defining knowledge assets . Journal of Knowledge
Management Vol.11. No.6. pp. 94-109.
(14) Hislop, Donald. 2009. Knowledge Management In Organizations.
Second Edition. Oxford University Press
(15) James MacGregor Burns (1978). Leadership (1st ed.) New York:
Harper & Row Management.
(16) Jennex Murray. 2005. Case Study and Knowledge. Sandiego State
University USA. Idea Group Publishing. Hersey, London,
Melbourne, Singapore
(17) Lee and Sukoco, 2007 Mills, Annette M. and Smith, Trevor A..
Knowledge Management and Organizational Performance: A
Decomposed View. Journal of Knowledge Management. Vol.15.
no.1. pp.156-171
(18) Lee, H and Byounggu Choi. 2000. Kowledge Management Enablers,
Process and Organizational Performance: An Integration and
Empirical Examinition. APDSI
(19) Liebowitz, Jay. 2001. Knowledge Management: Learning Form
Knowledge Engineering. CRC Press LLC
(20) McShane, SL. Von Glinow, MA. 2008. Organizational Behavior:
Emerging Realistic for The Work Place Revolution. Mc Graw Hill
Irwin. Fifth edition
(21) _______. 2010. Organizational Behavior: Emerging Knowledge and
Practice for The Real World. Mc Graw Hill Irwin. Fifth edition
(22) Michita Champathe s Rodsutti, Fredric W. Swierszek, 2002,
Leadership and Organizational Effectiveness in Multinational
Enterprise in South East Asia
(23) Nguyen, Hai Nam dan Mohamed, Sherif. 2009. Leadership
behaviors, organizational culture and knowledge management
160
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
practices. An empirical. Journal of Management Development Vol.
30 No. 2, 2011 pp. 206-221 q Emerald Group Publishing Limited
(24) Nonaka I. Hirotaka Takeuchi. 2004. Hitotsubashi on Knowledge
Management: Hitotsubashi University Graduate School of
International Corporate Strategy. John Wiley
(25) Pierce L. John and Donald G. Gardner. 2002. Management and
Organizational Behavior : An Integrated Perspective. Thomson
Learning. South Western
(26) Rai, Kumar Rajnish. 2011. Knowledge management and
organizational culture: a theoretical integrative framework. Journal of
Knowledge Management VOL. 15 NO. 5. Pp.779-801
(27) Rajendar K. and Jun Ma (2005), “Benchmarking Culture and
Performance in Chinese Organizations,” Benchmarking: An
International Journal, 12 (3), 260-274.
(28) Robbins, Stephen P, 2011. Perilaku Organisasi. Alih bahasa
Benyamin Molan. Gramedia. Jakarta
(29) Robbins, Stephen and Mary Coulter, 2009. Management, Tenth
Edition. Pearson Education, Prentice Hall.
(30) Schein, E.H. 2010. Organizational Culture and Leadership. San
Fransisco. CA. Jossey Bass
(31) Schermerhorn, John R. Jr., Hunt, James G. Osborn, Richard N. 2010.
Organizational Behavior. 11 Edition. John Wiley & Sons Inc.
(32) Shafei, Reza et.al. 2011. Survey of Relationship Between
Knowledge Management and Organizational Culture Dimensions in
Public Organizations: A Case of Ilranian Public Organizations.
Interdisciplinary Journal of Contemporary Research In Business.
Vol.2. No.11
(33) Suri G, Babu et.al. 2008. Relationship Between Leadership
Capability and Knowledge Management: A Measurement Approach.
Journal of Information and Knowledge Management. Vol.7. No.2.
pp.83-92
(34) Wang, Chih-Chien, 2004, “The influence of ethical and self-Interest
concerns on knowledge sharing intention among managers: an
empirical study”, International Journal of Management, 21 (3), 370381
(35) Wood J. Wallace, J. Zeffane, R.M. Schermerhorn. 2001.
Organizational Behavior: A Global Perspective. Second Edition
(36) Yen, Poh Ng, 2011. Learning Organization Dimensions on
Knowledge Sharing: A study of Faculty Members in the Private
Universities in Malaysia.
161
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pengembangan Usaha IKM Jamu Tradisional
di Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates
Kabupaten Jember
Naning Retnowati1), Dewi Kurniawati2)
1)
Manajemen Agribisnis, 2) Manajemen Agribisnis,
Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip PO.BOX 164 Jember
1)
nanink_wati@yahoo.com, 2) kurnia.dewi1979@gmail.com
Abstrak
Kegiatan Pengabdian (IbM) ini ditujukan bagi mitra usaha jamu tradisional di Kecamatan Sumbersari (Pak Soetrisno) dan
Kecamatan Sumbersari (Bu Suwarni) Kabupaten Jember. Permasalahan mitra meliputi : 1) kurang efektif dan efisiennya proses
produksi jamu dikarenakan mesin produksi yang telah aus (Pak Soetrisno) dan penggunaan peralatan produksi yang masih sangat
sederhana/tradisional (Bu Suwarni); 2) pemahaman mitra tentang manajemen usaha, manajemen pemasaran serta sanitasi
pengolahan jamu juga masih sangat terbatas. Kegiatan IbM ini ditujukan : 1) agar dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi
proses produksi jamu kedua mitra, 2) dapat meningkatkan kemampuan manajerial-pemasaran mitra, 3) serta dapat meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman mitra mengenai sanitasi produksi jamu (SSOP). Kegiatan IbM memberikan dampak positif bagi
kedua mitra diantaranya: 1) pemberian alat dan mesin produksi jamu yang baru dapat meningkatkan kapasitas produksi,
efektifitas dan efisiensi produksi jamu mitra, 2) pelatihan manajemen usaha dan pemasaran dapat meningkatkan kemampuan
manajerial dan pemasaran mitra, 3) pelatihan sanitasi produksi jamu dapat meningkatkan kesadaran mitra tentang pentingnya
penerapan SSOP dalam menjamin keamanan pangan produk jamu bagi konsumen.
Kata Kunci: Alat Produksi, Jamu Tradisional, Pelatihan
BAB 1. PENDAHULUAN
Setiap manusia pada umumnya mengharapkan hidup
yang sehat. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan
dasar manusia, disamping kebutuhan akan sandang,
pangan, papan dan pendidikan, karena hanya dengan
kondisi kesehatan yang baik, manusia dapat melaksanakan
segala aktivitas hidupnya secara lebih maksimal.
Semakin majunya teknologi kesehatan dan pengobatan
telah mendorong banyak orang untuk cenderung
menggunakan obat-obatan kimia. Padahal, zat-zat kimia di
dalam obat yang dikonsumsi tersebut dapat mengendap
dalam tubuh dan sangat membahayakan sehingga
berdampak pada munculnya jenis-jenis gangguan
kesehatan lainnya di dalam tubuh manusia. Kini
masyarakat Indonesia telah banyak menyadari tentang
manfaat dan khasiat mengkonsumsi tanaman herbal
seperti jamu sebagai sumber pengobatan yang alami,
aman, dan tidak berdampak buruk di dalam tubuh
manusia. Kesadaran masyarakat Indonesia untuk back to
nature atau kembali ke alam, merupakan suatu peluang
yang cukup besar dalam hal obat bahan alam untuk
menggantikan obat modern/obat kimia walaupun belum
dapat menggantikannya secara penuh.
Kebiasaan minum jamu bukanlah hal asing bagi
masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Madura. Jamu
dapat dikategorikan sebagai minuman tradisional karena
menggunakan bahan-bahan alami seperti tumbuhtumbuhan berkhasiat yang sudah biasa digunakan oleh
masyarakat setempat secara turun temurun.
Jamu adalah sebutan untuk ramuan bahan alam dari
Indonesia yang terbuat dari bahan-bahan alami berupa
bagian tumbuhan, seperti rimpang (akar-akaran), daundaunan, kulit batang, dan buah yang secara tradisional
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman. Jamu tradisional ini masih banyak digunakan
oleh masyarakat, terutama dari kalangan menengah
kebawah.
Jamu (herbal medicine) sebagai salah satu bentuk
pengobatan tradisional, memegang peranan penting dalam
pengobatan penduduk di negara berkembang.
Diperkirakan sekitar 70-80% populasi di negara
berkembang memiliki ketergantungan pada obat
tradisional ([3], [4]). Dibandingkan obat-obat modern,
memang jamu tradisional memiliki beberapa kelebihan,
antara lain : harga yang relatif murah, efek sampingnya
relatif rendah, dalam suatu ramuan dengan komponen
berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu
tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Secara
umum jamu dianggap tidak beracun dan tidak
menimbulkan efek samping. Khasiat jamu telah teruji oleh
162
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
waktu, zaman dan sejarah, serta bukti empiris langsung
pada manusia selama ratusan tahun [4].
Bahan baku pembuatan jamu tradisional disebut
sebagai simplisia. Simplisia yang dapat digunakan sebagai
bahan pembuat jamu tradisional sangat banyak dan
beragam. Komposisinya sangat ditentukan oleh jenis jamu
tradisional yang akan dihasilkan. Kualitas bahan
baku/simplisia akan sangat menentukan kualitas jamu
yang dihasilkan. Oleh karena itu, pemilihan bahan baku
yang berkualitas baik sangat penting untuk diperhatikan.
Secara umum, kualitas simplisia yang baik dapat dilihat
dari parameter/kriteria sebagai berikut : tingkat
kebersihan, tingkat kekeringan, warna, tingkat ketebalan,
dan keseragaman ukurannya.
Penjualan, jenis dan jumlah jamu sangat bervariasi
untuk setiap produsen jamu. Hal tersebut tergantung pada
kebiasaan yang mereka pelajari dari pengalaman tentang
jamu apa yang diminati serta pesanan yang diminta oleh
pelanggan. Setiap hari jumlah dan jenis jamu yang
dijajakan tidak selalu sama, tergantung kebiasaan dan
kebutuhan konsumen. Jenis jamu yang biasa dijual ada
delapan, yaitu beras kencur, cabe puyang, kudu laos, kunci
suruh, uyup-uyup/gepyokan, kunir asam, pahitan, dan
sinom. Jika jamu yang dibuat menggunakan pemanis,
pembuat jamu akan menggunakan gula jawa, gula pasir,
atau gula batu (bentuk kristal besar menyerupai
bongkahan batu). Penggunaan gula asli ini merupakan
keharusan bagi penjual jamu dengan alasan kesehatan.
Jamu tradisional atau bisa disebut dengan jamu
gendong adalah jamu hasil produksi rumahan (home
industry).
Cara
pemasarannya
adalah
dengan
memasukkan hasil olahan jamu yang telah dibuat ke dalam
botol-botol yang kemudian disusun di dalam bakul. Untuk
selanjutnya bakul tersebut akan digendong oleh si penjual.
Hingga disebutlah namanya menjadi jamu gendong. Jamu
ini dijual dengan cara berkeliling setiap hari. Namun kini
banyak penjual jamu yang menggunakan alat transportasi
seperti sepeda motor dan sepeda untuk memudahkan
proses pemasaran produknya.
Lokasi usaha jamu tradisional berada di dalam wilayah
Kabupaten Jember yang merupakan kota kabupaten dan
terletak di Provinsi Jawa Timur, berjarak sekitar 200 km
dari kota Surabaya ke arah timur. Kabupaten ini terdiri
dari 31 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 248
Desa. Luas wilayah secara keseluruhan Kabupaten Jember
adalah 3.293,34 km2 atau 329.334 Ha yang terletak posisi
koordinat sekitar 6°27'6” sampai dengan 7°14'33” Bujur
Timur dan antara 7º59'6” sampai 8º33'56” Lintang
Selatan. Kepadatan penduduk di Kabupaten Jember
berdasarkan Hasil Registrasi Penduduk pada akhir tahun
2011 adalah 661,89 jiwa per km2. Diantara kecamatankecamatan yang ada, Kecamatan Kaliwates merupakan
kecamatan terpadat dan disusul Kecamatan Sumbersari,
masing-masing dengan kepadatan penduduk sebesar
3797,03 jiwa per km2 dan 2,854,81 jiwa per km2. [1]
Beberapa sentra usaha dan jenis usaha terdapat di
Kabupaten Jember khususnya di Kecamatan Sumbersari,
Kaliwates dan Patrang. Salah satunya adalah usaha Jamu
Tradisional milik Bapak Soetrisno dan Bu Suwarni yang
berlokasi di Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates. Bapak
Soetrisno memulai usaha dari tahun 1970 dengan produksi
awal sebanyak 4 liter jamu perhari dan kini jumlah
pelanggannya meningkat sehingga dalam sehari mampu
memproduksi jamu kurang lebih 200 sampai 220 liter dan
jumlah pendapatan perhari berkisar Rp 500.000 sampai
dengan Rp 1.000.000. Bapak Soetrisno memilih untuk
berwirausaha di bidang produksi jamu karena beliau
berkeinginan untuk dapat menjual produk yang dapat
meningkatkan kesehatan orang yang mengkonsumsinya.
Beliau merasa sangat senang jika pelanggannya menjadi
semakin sehat setelah mengkonsumsi jamu buatannya.
Dalam upaya meningkatkan kepuasan pelanggannya,
Bapak Soetrisno senantiasa melakukan upaya perbaikan
kualitas pada produk jamunya dengan cara mengubah
macam bahan dan jumlah komposisi bahan simplisia
dengan kualitas dan kuantitas bahan yang jauh lebih baik
dari sebelumnya agar pelanggannya semakin merasakan
dampak positif pada kesehatannya. Usaha jamu milik
Bapak Soetrisno dikelola dengan manajemen keluarga dan
memakai peralatan sederhana. Proses pengupasan
simplisia dilakukan secara manual, penggilingan simplisia
dilakukan dengan mesin penggiling 5,5 PK berkapasitas
rendah sekitar 8 kg/jam, mesin penggiling ini sudah tidak
layak pakai karena sering macet saat digunakan sehingga
menghambat proses produksi. Selanjutnya proses
pemerasan dilakukan secara manual dengan menggunakan
kain putih, proses pemasakan dilakukan dengan kompor
gas berukuran kecil, dan terakhir proses pengemasan juga
dilakukan secara manual tanpa menggunakan alat bantu
pengemas botol.
Usaha jamu milik Bu Suwarni dimulai sejak
tahun.1980 dilakukan dengan manajemen keluarga dan
dalam satu hari mampu berproduksi sebanyak 20 liter
jamu dengan jumlah pendapatan perharinya berkisar Rp
40.000 sampai dengan Rp 50.000. Saat melakukan
produksinya Bu Suwarni menggunakan peralatan yang
sangat sederhana diantaranya : lesung untuk proses
penghancuran simplisia, saringan yang terbuat dari
plastik, serta kompor gas dalam ukuran kecil.
Proses pembuatan jamu yang dilakukan Pak Soetrisno
dan Bu Suwarni adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan bahan baku utama berupa lempuyang,
kunir, jahe, temulawak, kencur, beberapa jenis daundaunan beserta bahan tambahan lainnya yakni gula
aren atau gula kelapa dan gula pasir.
2. Pencucian simplisia dengan menggunakan air bersih
3. Pengupasan kulit simplisia secara manual dengan
pisau dapur
4. Penggilingan simplisia sampai menjadi bahan jamu
dengan ukuran yang lebih halus
163
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
5. Penyaringan (pemisahan ampas dan cairan) dengan
menggunakan kain saringan berwarna putih.
6. Pemasakan. Pada proses ini bahan jamu ditambahkan
air agar tidak terlalu kental, untuk satu kilo gram
bahan ditambahkan dengan 10 sampai dengan 12
liter air. Untuk memberikan rasa asin dan manis juga
untuk penyegar maka pada bahan ditambahkan
dengan garam, gula aren atau gula kelapa, gula pasir
dan asam secukupnya.
7. Pendinginan
8. Pengemasan jamu ke dalam botol yang telah
dipersiapkan.
Permasalahan produksi yang dihadapi Pak Soetrisno
adalah kurang maksimalnya cara kerja dari mesin
penggiling simplisia dikarenakan mesin telah aus sehingga
tidak layak pakai lagi begitu pula dengan kompor yang
dimiliki oleh mitra. Pak Soterisno juga belum memiliki
alat pengemas botol (sealing botol) yang penting dalam
menjaga
kehigienisan
jamu
yang
diproduksi.
Permasalahan produksi yang dihadapi Bu Suwarni adalah
tidak tersedianya mesin
penggiling, kompor yang
ergonomis serta alat pengemas botol (sealing botol).
Permasalahan produksi yang dihadapi mitra ditunjukkan
pada gambar 1.
botol (sealing botol) agar dapat meningkatkan kapasitas
produksi jamu sehingga tercapai efektifitas dan efisiensi
produksi, 2) pelatihan manajemen usaha, pemasaran serta
sanitasi dalam produksi jamu agar daerah pemasarannya
menjadi lebih luas, pendapatan mitra meningkat serta
terjamin keamanan pangan para konsumennya
(pelanggan).
BAB 2. TARGET DAN LUARAN
2.1 Target
Target yang ditetapkan adalah:
a) Memperpendek waktu/mempercepat proses
produksi
b) Meningkatkan kapasitas produksi
c) Meningkatkan pengetahuan mengenai sanitasi dalam
pengolahan jamu
d) Memperbaiki manajemen, dan
e) Memperluas daerah pemasaran
2.2 Luaran
Adapun luaran yang diharapkan akan dihasilkan oleh
kegiatan IbM ini adalah:
a) Alat dan mesin produksi berupa mesin untuk
menggiling simplisia, kompor untuk memasak jamu,
serta alat pengemas botol (sealing botol).
b) Model Pelatihan yang sesuai dengan kondisi usaha
mitra yaitu meliputi : pelatihan di bidang manajemen
usaha, pelatihan yang dapat meningkatkan
pengetahuan mitra mengenai pentingnya sanitasi
dalam proses pengolahan jamu serta pelatihan di
bidang pemasaran agar dapat memperluas daerah
distribusi produk jamu.
BAB 3. METODE PELAKSANAAN
Gambar 1. Permasalahan Produksi Kedua Mitra Usaha Jamu
Permasalahan bidang manajemen kedua mitra : dalam
urusan administrasi belum menerapkan sistem pencatatan
yang baik. Hal ini menyebabkan perhitungan biaya yang
telah dikeluarkan dan keuntungan usaha tidak dapat
ditentukan secara tepat. Selain itu pemasaran produk jamu
hanya meliputi daerah sekitar lokasi tempat tinggal Pak
Soetrisno dan Bu Suwarni saja yakni Kecamatan
Sumbersari dan Kaliwates.
Kedua mitra membutuhkan sentuhan pembinaan
berupa : 1) bantuan alat dan mesin produksi berupa mesin
penggiling, kompor yang ergonomis serta alat pengemas
3.1. Solusi yang Ditawarkan
Solusi yang ditawarkan adalah :
a) Pembuatan alat-alat produksi meliputi mesin
penggiling simplisia, kompor untuk memasak jamu
yang ergonomis, alat pengemas botol (sealing botol).
b) Pelatihan manajerial meliputi manajemen usaha dan
strategi pemasaran dan pelatihan tentang sanitasi
dalam pengolahan/produksi jamu.
3.2. Metode Pendekatan yang Ditawarkan
Adapun metode pendekatan yang diusulkan adalah
sebagai berikut
a. Studi pustaka dan observasi lapang
Untuk membuat alat-alat produksi, maka studi
pustaka yang dibutuhkan adalah:
i. Pengetahuan tentang proses pembuatan jamu
ii. Pengetahuan tentang material alat produksi jamu
agar jamu yang dihasilkan aman dikonsumsi
masyarakat
164
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
b. Observasi lapang yang dilakukan adalah:
i. Mengamati proses produksi jamu yang dilakukan
oleh mitra
ii. Mengamati kualitas jamu yang dihasilkan
iii. Mengamati peralatan produksi yang digunakan
iv. Mengamati manajemen usaha yang dijalankan
v. Mengamati kondisi pemasaran produk
3.3. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang diterapkan pada kegiatan ini adalah
sebagai berikut:
a) Persiapan
b) Studi Pustaka
c) Survei lapang
d) Pengumpulan dan pengolahan data awal
e) Penyusunan kebutuhan alat produksi dan pelatihan
f) Pembuatan alat
g) Pelatihan proses produksi dan manajemen
pemasaran
h) Monitoring dan evaluasi
i) Pembuatan laporan
BAB 4. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
4.1 Kinerja P3M
Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
(P3M) Politeknik Negeri Jember memiliki programprogram pengabdian untuk membantu masyarakat,
terutama bagi UKM. Beberapa kegiatan pembinaan usaha
kecil menengah yang telah dijalankan oleh P3M adalah
Pendampingan IKM di Kabupaten Jember, Bondowoso,
Situbondo, Lumajang, Banyuwangi, Probolinggo, dan
Pasuruan yang bekerja sama dengan Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur serta dinas-dinas
terkait. Beberapa program pengabdian dari DIKTI dan
LIPI, meliputi IbM, IbK, IbPE, IbKK, IbW, serta
IPTEKDA sebelumnya juga telah berhasil dilaksanakan
dengan baik oleh staf pengajar dan P3M Politeknik Negeri
Jember. Kinerja P3M Politeknik Negeri Jember berkaitan
dengan program Pengabdian Pada Masyarakat (PPM)
dalam 1 tahun terakhir mampu mendapatkan program IbM
sebanyak 16 judul dan IbPE sebanyak 1 judul. Oleh karena
itu kami memandang bahwa P3M Politeknik Negeri
Jember layak untuk memperoleh kepercayaan
menjalankan kegiatan IbM ini berdasarkan prestasi yang
telah dicapai oleh lembaga selama ini.
4.2 Kepakaran yang Dibutuhkan
Adapun kepakaran yang dibutuhkan untuk membantu
menyelesaikan masalah mitra di bidang usaha jamu di
Kecamatan Sumbersari dan Kaliwates, Kabupaten Jember
adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Kepakaran Anggota Tim
No
Nama
Pendidikan
1.
Naning
S2
Retnowati,
S.TP., M.P.
2.
Dewi
S2
Kurniawati
, S.Sos.,
M.Si.
Bidang Keahlian
Manajemen dan
Teknologi
Agroindustri
Kewirausahaan
dan Manajemen
Agroindustri
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Hasil yang telah dicapai dalam kegiatan ini adalah:
1. Kegiatan survei lokasi usaha
Kegiatan ini berupa kunjungan ke tempat usaha
Bapak Soetrisno dan Bu Suwarni untuk menentukan
jenis alat yang dibutuhkan dalam meningkatkan
produktivitas usaha jamu tradisional.
2. Survei alat dan bahan
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari survei
lokasi usaha. Dalam hal ini kami mencari bengkelbengkel logam atau toko yang menjual alat-alat dan
bahan yang dibutuhkan.
3. Pengerjaan alat dan mesin
Mesin penggiling simplisia yang dipesan diproduksi
oleh Bengkel SAS yang berlokasi di Kecamatan
Rambipuji Jember.
4. Pelatihan dan penyerahan alat dan mesin produksi
jamu
Pelatihan manajemen usaha, pelatihan sanitasi
pengolahan jamu serta pelatihan pemasaran telah
terselenggara pada tanggal 24 Juli 2016. Serah terima
alat dan mesin produksi jamu juga telah dilakukan
pada tanggal 24 Juli 2016.
Beberapa dokumentasi dari kegiatan yang telah kami
laksanakan adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Pelaksana Ibm Bersama Peserta Pelatihan
165
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Gambar 3. Pelatihan Manajemen Usaha, Pemasaran, Sanitasi
Produksi Jamu
sebelumnya hanya berkisar 3-5 kg/jam, kini dengan mesin
penggiling jamu menjadi 40 kg/jam. Omset penjualan
mitra kini juga meningkat sekitar 65-80%.
Kegiatan pelatihan manajemen usaha pihak mitra
memahami bagaimana cara melakukan analisis usaha
sehingga dapat diketahui secara tepat besar
profit/keuntungan yang didapat mitra setiap kali
melakukan proses produksi. Mitra kini juga mulai
membiasakan melakukan proses pencatatan administrasi
dan keuangannya secara lebih rutin. Pelatihan pemasaran
memberikan informasi yang penting bagi mitra tentang
pentingnya mempertahankan kualitas produk agar
konsumen menjadi pelanggan yang loyal dan dapat
memilih strategi pemasaran yang tepat agar produk
mereka tetap eksis di tengah persaingan usaha yang
semakin ketat. Daerah pemasaran mitra juga semakin luas,
Pak Soetrisno kini menjual jamu di tiga daerah yang
berbeda, sebelumnya daerah pemasaran hanya meliputi
dua daerah saja (sekitar kampus). Pelatihan bidang sanitasi
dalam produksi jamu memberikan informasi penting bagi
mitra tentang pentingnya menerapkan SSOP (Sanitation
Standard Operating Procedures) sebagai upaya untuk
menjamin keamanan pangan bagi konsumen jamu mitra.
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
Gambar 4. Serah Terima Alat dan Mesin Produksi Jamu
Gambar 5. Proses Produksi Jamu Mitra dengan Mesin Penggiling
Jamu yang Baru
Mesin penggiling jamu yang telah diberikan
membantu mitra dalam meningkatkan kapasitas produksi
jamu, serta efektifitas dan efisiensi dalam proses produksi
jamu mitra. Mesin penggiling jamu yang sebelumnya
dimiliki Pak Soetrisno memiliki kendala mesin sering mati
dikarenakan kapasitas mesin yang rendah, kini dengan
mesin penggiling yang baru waktu produksi dapat lebih
singkat. Kapasitas produksi jamu mitra (Bu Suwarni) yang
6.1 Kesimpulan
a) Kegiatan pengabdian pada kedua mitra jamu
tradisional yakni Pak Soetrisno dan Bu Suwarni yang
meliputi : pemberian materi pelatihan dan pemberian
bantuan berupa alat dan mesin produksi jamu
berlangsung dengan lancar dan sukses. Hal ini
tampak dari antusiasme mitra dan peserta saat
diberikan materi pelatihan dan diberikan bantuan alat
dan mesin produksi jamu.
b) Pemberian bantuan alat dan mesin produksi kepada
mitra dapat meningkatkan kapasitas produksi,
efektifitas dan efisiensi proses produksi jamu mitra.
c) Kegiatan pelatihan berupa pemberian materi bidang
manajemen usaha, pemasaran serta sanitasi pangan
: 1) dapat memperbaiki kemampuan manajerial
usaha mitra dalam melakukan proses pencatatan
administrasi secara lebih rutin, mitra juga dapat
menghitung keuntungan usaha dalam setiap kali
mereka melakukan proses produksi, 2) dapat
memperluas daerah pemasaran serta menemukan
strategi tepat dalam memasarkan produk jamunya
kepada konsumen, 3) mitra senantiasa menerapkan
prinsip sanitasi pangan (SSOP) sebagai upaya
dalam menjamin keamanan pangan produk jamu
bagi konsumen.
166
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
6.2 Saran
Program Pengabdian Kepada Masyarakat (IbM)
diharapkan akan dapat berlangsung secara berkelanjutan
dalam bidang- bidang pengolahan produk pangan
agroindustri lainnya agar dapat memberikan manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat pada wilayah
tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kegiatan IbM di dibiayai oleh Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat, Dirjen Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi Sesuai dengan Surat Perjanjian
Penugasan Pelaksanaan Program Pengabdian Masyarakat
Nomor:
085/SP2H/PPM/DIT.LITABMAS/II/2016,
Tanggal 17 Februari 2016.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Kabupaten Jember.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Jember.
[2]
Mahady GB, 2001. Global Harmonization of Herbal
Health Claim. Journal of Nutrition. 131:1120 S – 1123 S.
[3]
Wijisekera ROB. 1991. Plant-Derived Medicines and
Their Role in Global Health. The Medicinal Plant
Industry. CRC Press. Florida, USA.
[4]
Winarno, F.G. 1997. Naskah Akademis Keamanan
Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
167
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
IbM Kelompok Pengusaha Bakpao di Tegal
Besar
Siti Djamila #1, Titiek Budiati*2, Iswahyono#3, Amal Bahariawan*4
#
Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember
Jalan Mastrip, Jember
1umi_djamila@yahoo.co.id
3is_tep@yahoo.co.id
*
Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Negeri Jember
Jalan Mastrip, Jember
2titik.budiati@gmail.com
4amalbahariawan68@gmail.com
Abstract
Tujuan dari kegiatan pengabdian ini adalah untuk membantu kelompok pengusaha bakpao terutama dalam peralatan proses
produksi bakpao. Selama ini pembuatan bakpao dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sangat sederahna seperti untuk
pembagian adonan menjadi bagian yang kecil –kecil dilakukan dengan menimbang satu persatu adanoan, selain itu proses
pengembangan adonan dilakukan dengan cara menutup adonan yang ada dalam loyang-loyang yang sudah disusun dengan
menggunakan penutup plastik. Dengan pelaratan yang ada tersebut kualitas dan kuantitias produksi bakpao belum maksimal
Target yang ingin dicapai adalah pembagian adonan dilakukan dengan mesin pembagi (divider), dan pengembangan adonan
dilakukan dengan lemari pengembang (proofer). Metode yang digunakan adalah untuk pembagian adonan dilakukan dengan mesin
pembagi adonan sistim multi blade dengan tenaga pemotong pneumatic, sedangkan untuk pengembang menggunakan lemari
pengembang dengan suhu dan kelembaban dikontrol secara otomatis menggunakan termo kontrol digital .
Keywords— adonan, bakpao, divider, proofer
I. PENDAHULUAN
Bakpao adalah salah satu kue tradisional berasal dari
Tionghoa yang disukai oleh masyarakat Indonesia
termasuk masyarakat Jember karena disamping rasanya
yang enak namun juga mampu mengganjal perut untuk
menunda rasa lapar. Kue seperti ini berbentuk bundar dan
mencembung pada bagian permukaanya sehingga terlihat
ranum yang akan membuat kita semua dengan melihatnya
saja pasti terasa ingin memakannya. Secara umum kue
bakpao dibuat dari bahan baku tepung terigu, gula pasir,
ragi, susu, garam dan pengempuk
namun dalam
perkembangannya bahan baku tepung terigu dapat
disubstitusi dengan menggunakan tepung ubi jalar, tepung
waluh atau tepung mocaf dengan komposisi 25 - 40 %
tepung substitusi dan 75 - 60 % tepung terigu.
Ibu Hj. Supiyati dan Bapak Sodiq merupakan salah satu
produsen bakpao sejak tahun 1996, keahlian membuat
bakpao diperoleh dari ayahnya yang dulunya juga
membuka usaha bakpao karena ayahnya pernah bekerja
pada produsen bakpao dari seseorang yang keturunan
Tiongha. Produksi bakpao pada awalnya hanya 6 kg bahan
baku tepung terigu namun saat ini telah mampu
memproduksi bakpao dengan bahan baku utama tepung
terigu sebanyak 20 kg.
Dalam pembuatan bakpao terdapat proses pembagian
adonan bakpao menjadi ukuran kecil. Selama ini mitra
melakukan dengan cara menimbang satu persatu dengan
ukuran berat yang sudah ditentukan. Adonan bakpao
sebanyak 4,6 kg dibagi menjadi 6 bulatan besar, kemudian
1 bulatan besar ini dibagi menjadi 36 bulatan kecil dengan
ukuran masing-masing bulatan 60 gram yang siap untuk
dikukus.
Pembagian adonan bakpao menjadi ukuran kecil
dilakukan dengan menimbang satu persatu adonan
tersebut menggunakan timbangan kue. Pembagian adonan
bakpao secara manual mempunyai banyak kelemahan
yaitu: penimbangan 1 bulatan besar menjadi 36 bulatan
kecil memerlukan waktu 30 menit, ukuran relatif tidak
seragam, banyak bercampur tangan akan mengakibatkan
panas pendahuluan. Hal ini akan mengakibatkan over
fermentasi atau mengembang duluan, hal ini akan
mengurangi mutu bakpao seperti aroma berkurang, tekstur
kasar, rasa asam. Pembagian adoanan secara manual
seperti tertera pada Gambar 1.
168
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
paling lama 2 jam. Proses fermentasi yang lama ini
menjadi keluhan pengusaha karena mengganggu proses
produksi seperti: produksi menjadi lambat, sehari hanya
mampu membuat 8 adonan yang dimulai pada jam 7.00
WIB pagi sampai jam 18.00 WIB, tenaga kerja pada
waktu-waktu tertentu banyak yang nganggur. Dan
kelemahan lain yang terjadi seperti: daya kembang kurang
maksimal dan adonan bakpao terkadang lengket pada
penutup plastik.
Gambar 1. Pembagian Adonan secara Manual
Selain itu pada proses pembuatan bakpao terdapat
proses peragian atau fermentasi yang bertujuan agar
adonan dapat mengembang. Pada tahap ini adonan
mengembang karena adanya desakan gas CO2 yang
dihasilkan khamir Sacharomyces cereviseae dengan
substrat glukosa dari terigu ataupun gula, selain itu diikuti
juga dengan terjadinya reaksi-reaksi biokimiawi
menghasilkan asam-asam organik ataupun senyawa
aromatis yang memberikan andil terhadap cita rasa
bakpao. Selama proses fermentasi kondisi kelembaban
dan suhu udara berpengaruh besar terhadap daya kembang
bakpao, yaitu menghendaki RH 65 – 70 % dan suhu ruang
30oC. Pada umumnya industri kecil dalam melakukan
proses fermentasi ini dilakukan dengan cara meletakkan
adonan yang sudah dibentuk pada rak-rak dan ditutupi
plastik, seperti tertlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Fermentasi Menggunakan Penutup Plastik
Kenyataan di lapang yang terjadi yaitu pada cuaca
mendung fermentasi berlansung selama 6 jam, sedangkan
pada cuaca normal berlangsung selama 4 jam. Sebenarnya
apabila kondisi suhu dan kelembaban fermentasi ini
terkontrol maka proses fermentasi hanya berlangsung
II. TARGET DAN LUARAN
Target luaran dari kegiatan ini adalah:
1. Terbuatnya satu unit Mesin Pembagi adonan bakpao
dengan spesifikasi:
Dimensi (p,l,t): (50, 50,75) cm
Tenaga pembagi: sistim pneumatic
Rangka: Besi Siku 5x5, Besi U6 dan U5
Tenaga pneumatic: Kompresor 1 HP
Prinsip Kerja: Penekanan Multi Blade
Kapasitas : sekali tekan menjadi 64 buah bakpao
2.Terbuatnya satu unit lemari pengenmbang (proofer)
dengan spesifikasi:
Dimensi (p,l,t) : (60,100,200) cm
Rangka: Pipa Kotak Stainles 3x3
Dinding: Plat Aluminium 1 mm
Sumber panas: Heater listrik 100 watt
Pengukuran dan Kontrol Suhu: Termo Kontrol
Digital
Kapasitas: 20 loyang sekali proses
Tujuan dari penerapan teknologi pembagi adonan
bakpao adalah sebagai berikut :
a) Meningkatkan kapasitas pembagian adonan bakpao
menjadi 64 bulatan kecil sekali tekan.
b) Meningkatkan keseragaman ukuran dan bentuk
adonan
c) Menghindari terjadinya over fermentasi sehingga mutu
bakpao lebih terjamin.
d) Memperbaiki sanitasi dan estetika produk.
e) Memperpanjang masa kadaluwarsa produk
f) Menciptakan kenyamanan kerja.
Tujuan pembuatan lemari pengembang (proofer)
bakpao di industri rumah tangga adalah :
a) Mempercepat waktu fermentasi menjadi 2 jam dan
tidak terpengaruh oleh kondisi cuaca lingkungan
b) Meningkatkan kapasitas produksi menjadi 2 kali lipat
dengan waktu produksi mulai jam 7.00 WIB sampai
jam 16.00 WIB.
c) Suhu dan kelembaban udara
fermentasi dapat
dikontrol sesuai yang dibutuhkan yaitu, RH 65 – 70 %
dan suhu ruang 30oC.
d) Meningkatkan kualitas bakpao terutama bentuk dan
rasa
e) Mengurangi resiko kegagalan dalam proses pembuatan
bakpao,
169
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
f) Meningkatkan
dihasilkan..
higienitas
produk
bakpao
yang
III. METODE PELAKSANAAN
Studi Pustaka dan Observasi Lapang
Dalam pembuatan alat pembagi adonan dan lemari
pengembang bakpao diperlukan studi pustaka mengenai:
a) Sifat fisikokimia adonan bakpao
b) Teknologi perancangan alat mesin pencetakan bahan
pangan.
c) Perhitungan daya, transformasi tenaga dan sistim
transmisi
d) Teknologi pengolahan bakpao terutama pada proses
fermentasi,
e) Teknologi perancangan alat pengembang (proofer)
bakpao terkendali
f) Teknologi pengontrolan suhu dan kelembaban udara
secara elektronik
Studi lapang yang dilakukan adalah:
a) Mengamati proses pencetakan bakpao di tingkat
industri kecil
b) Mengamati kualitas dan kuantitas adonan bakpao yang
dihasilkan
c) Mengamati kondisi ergonomis dan efisiensi pembgian
adonan bakpao secara manual di industri kecil
d) Mengamati kondisi pemasaran produk bakpao
e) Mengamati teknologi pencetakan/pembagian bahan
pangan yang ada dipasaran.
f) Mengamati proses pembuatan bakpao yang dilakukan
di tingkat industri kecil
g) Mengamati kualitas dan kuantitas produk bakpao yang
dihasilkan
h) Mengamati kondisi ergonomis dan efisiensi alat proses
pembuatan bakpao yang ada di industri kecil terutama
alat pengembang bakpao.
i) Mengamati teknologi pengembangan bakpao
Mesin Pembagi Adonan Bakpao Multi Blade (Divider)
Alat pembagi adonan bakpao yang akan diterapkan
mempunyai keunggulan ukuran bakpao bervariasi
sehingga besar bakpao yang dikehendaki dapat ditentukan.
Prinsip kerja alat ini adalah untuk pembagian adonan
menggunakan prinsip pembagian menggunakan pisau
sekat yang ditekan kedalam adonan yang sudah diratakan
pada sebuah tempat berbentuk lingkaran. Penekanan
menggunakan sistem tuas pengungkit yang digerakkan
oleh tangan. Dengan sistem ini tenaga penekanan tidak
terlalu berat. Untuk lebih jelas teknologi yang akan
dterapkan seperti pada Gambar 3a.
Lemari Pengembang Bakpao (Proofer)
Alat pengembang bakpao ini didesain mempunyai
kapasitas 20 loyang selama 2 jam. Alat ini bekerja dengan
prinsip pengkondisian udara ruang pengembang dengan
parameter suhu dan kelembaban sesuai dengan kebutuhan
proses pemgembangan bakpao. Pengukuran suhu dan
kelembaban ini dilakuan secara elektronik. Dengan
demikian secara garis besar alat ini terdiri dari beberapa
bagian utama yaitu:
a. Unit Ruang Pengembang
Ruang pengembang berfungsi sebagai tempat terjadi
proses fermentasi adonan bakpao. Pada ruang ini
dibutuhkan suhu dan kelembaban tertentu. Ruang
pengembang ini dibatasi oleh dinding yang terbuat dari
aluminium. Dengan dinding model ini diharapkan suhu
dan kelembaban akan lebih stabil. Selain itu dalam ruang
ini dilengkapi rak-rak tempat loyang bakpao, lampu
penerangan dan kaca pengintai
b. Unit Pembangkit Kelembaban
Unit ini berfungsi untuk membangkitkan kelembaban
untuk disalurkan keruang pengembang. Unit ini posisinya
dalam alat pengembang berada dibawah ruang
pengembang yang sekaligus berfungsi sebagai alas. Unit
ini terdiri dari beberapa bagian yaitu: pemanas, bak air
dilengkapi kipas pemercik dan blower untuk dihembuskan
ke ruang pengembang. Pengendalian suhu dan
kelembaban udara ruang pengembang dilakukan secara
elektronik. Gambaran lengkap alat pengembang bakpao
terkendali ini dapat dilihat pada Gambar 3b.
(a)
(b)
Gambar 3. Rancangan Divider dan Proofer
IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
Kinerja Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat
Dalam Kegiatan PPM satu tahun Terakhir
Kinerja P3M Politeknik Negeri Jember berkaitan
dengan program Pengabdian Pada Masyarakat (PPM)
dalam 1 tahun terakhir mampu mendapatkan program IbM
dengan judul sebagai berikut:
a. IbM Kelompok Pengusaha Petis Ikan di Puger
b. IbM Kelompok Petani Sumberwaru Sukowono Jember
c. IbM Aplikasi Pakan Komplit Bentuk Wafer Untuk
Meningkatkan Produktivitas Sapi Potong Di
170
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
Kelompok Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO)
Kabupaten Bondowoso
IbM Kelompok Tani Kopi Rakyat Desa Andongsari
Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo
IbM Kelompok Usaha Pengerajin Ikan Panggang dan
Produsen Minyak Hati Ikan Hiu
IbM Usaha Tempe Di Desa Jurangsapi Dan Pejaten
Kecamatan Tapen-Bondowoso
IbM Kelompok Usaha Ikan Asap Di Desa Paseban
Kecamatan Gumuk Mas Kabupaten Jember
IbM Kelompok Petani Jamur Merang Rambipuji
Jember
IbM Kelompok Usaha Pemindangan Tradisional
IbM Pengrajin Tempe Koro Metode Baru
Ibm Sistem Intensifikasi Padi (System Of Rice
Intensification = Sri) Di Kelompok Tani
IbM Kelompok Tani Program Intensifikasi Sistem
Mina Padi (Insismindi) Sistem Penjualan Berbasis
Web Dalam Upaya Memperluas Jaringan Pemasaran
Dan Meningkatkan Pendapatan Industri Batik Tulis
Sumbersari Di Bondowoso
IbM Kelompok Pengusaha Kapuk Desa ManggisSukorambi
IbM Kelompok Peternak Kambing Rakyat Di
Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember
IbM Kelompok Ternak Kambing Etawa Di Situbondo
IbM Peningkatan Jiwa Wirausaha Agribisnis Domba
Di Lingkungan Pondok Pesantren
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Dalam kegiatan pengabdian ini ada beberapa tahapan
pekerjaan yang harus dilakukan meliputi: koordinasi
dengan mitra, perancangan dan pembuatan mesin yang
akan diterapkan, uji coba mesin, penyerahan, dan evaluasi.
Dari tahapan kegiatan tersebut yang telah dicapai meliputi:
1. Koordinasi dengan mitra
Dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian ini, tim selalu
melakukan diskusi, meminta masukan dan juga saran. Hal
ini dilakukan agar teknologi yang akan kita terapkan betulbetul digunakan oleh mitra dan mampu meningkatkan
proses produksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Dari hasil koordinasi ini mitra setuju dengan teknologi
yang tim tawarkan.
2. Perancangan dan pembuaan alat
Dalam kegiatan pengabdian ini ada 1 unit mesin
pembagi adonan (divider) dan 1 unit proofer yang akan
diterapkan untuk dua mitra pengusaha bakpao di Tegal
Besar. Dalam proses pembuatan mesin tersebut di atas ada
beberapa tahapan yang dilakukan meliputi: perancangan,
pemilihan bahan, pembelian bahan, pembuatan, perakitan
dan uji coba.
3. Uji Coba Alat/Mesin
Uji coba dilakukan terhadap alat/mesin yang akan
diterapkan agar beroperasi optimal pada proses pembagian
dan pengembangan adoanan (mesin divider dan proofer).
3. Penyerahan Mesin
Setelah mesin divider dan proofer dapat beroperasi
optimal diserahterimakan kepada mitra dengan menandatangani berita acara serah terima (Gambar 4).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan pengabdian yang telah
dilasanakakan, disimpulkan bahwa:
1. Perancangan dan pembuatan alat pengembang
adonan (proofer) dan mesin divider
telah
dilakukan ujicoba untuk menghasilkan alat/mesin
sesuai dengan rancangan.
Gambar 4. Alat Pengembang Adonan (proofer) yang
telah dimanfaatkan oleh Mitra
2. Satu unit proofer dan satu unit mesin divider sudah
diserahterimakan kepada mitra Kelompok
Pengusaha Bakpao di Tegal Besar
3. Alat pengembang adonan (proofer) dan mesin
divider
telah diimplementasikan oleh mitra
sehingga dapat meningkatkan kualitas dan
kapasitas produksi dan terjadi penghematan biaya
operasional
B. Saran
Perlu adanya introduksi teknologi pemanfaatan steam
pada mesin boiler untuk pengukusan bakpao, sehingga
hemat energi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada:
1. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi,
Kementerian
Pendidikan
dan
171
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
2.
3.
Kebudayaan
sebagai
penyandang
dana
pengabdian Ipteks bagi Masyarakat (IbM).
Direktur Politeknik Negeri Jember
Kepa P3M Politeknik Negeri Jember beserta Staf
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
Dennis R. Hildman and R. Paul Singh. 1980. Food Process
Engineering. Second Edition. Avi Publishing Co. Inc., Westport.
Connecticut.
Henderson. S.M and R.L Perry. 1979. Agriculrure Process
Engineering. John Willey and Sons. New York.
Soewedo Hadiwiyoto. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan,
Daging dan Telur. Liberty. Yogyakarta.
Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. Rineka Cipta.
Jakarta.
172
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
STIMULASI, PROMOSI, PRODUKSI DAN
PEMASARAN TEMPE KORO PEDANG
Muhammad Juhan#1, Mohammad Zaedan Fitri#2
#
Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Islam Jember
Jl. Kyai Mojo 101 Jember
1muhammadjuhan@yahoo.co.id
2mohamad_zaidan@ymail.com
Abstract
Tempe, makanan khas Indonesia digemari semua kalangan mulai dari desa sampai kota, masyarakat kelas bawah, sampai atas, bahkan telah
mendunia namun sayang bahan baku kedelai masih impor sehingga rentan terhadap guncangan ekonomi dunia, melemahnya nilai rupiah,
dan dapat menimbulkan instabilitas ketahanan pangan serta kerawanan sosial. Solusinya adalah mencari substitusi bahan baku kedelai yaitu
“Koro Pedang”. Tujuan kegiatan ini adalah: 1. sebagai mediator dan fasilitator agar perajin tempe bersedia mempromosikan, memproduksi
dan memasarkan tempe koro pedang (temkodang); 2. mendidik masyarakat supaya dapat menerima dan bangga pada tempe termasuk tempe
koro pedang. Target kegiatan adalah temkodang mampu menyaingi (minimal 15- 20 %) dari penjualan perajin tempe dan secara perlahan
akan dapat mengimbangi. Kegiatan dilaksanakan mulai awal Mei dan masih berjalan sampai saat ini (Agustus 2016). Metode yang
digunakan yaitu: 1. Stimulasi dengan pemberian mesin penggiling biji koro pedang kepada perwakilan perajin untuk mendorong dan
memudahkan proses produksi temkodang; 2. Penyuluhan kepada perajin tentang keunggulan dan kelemahan koro pedang, teknik
pengolahan koro pedang, pembuatan tempe koro pedang dan bagaimana memasarkannya; 3. Demo pembuatan temkodang kemudian diikuti
perajin dengan pendampingan. Hasil kegiatan ini menunjukkan bahwa stimulasi pemberian mesin penggiling dapat memotivasi perajin
untuk promosi, produksi, dan memasarkan temkodan; produk temkodang secara higinis dan visual sudah memenuhi syarat: bersih, sehat
dengan penampilan kompak dan warna putih menarik; kegiatan promosi dilakukan oleh perajin dan tim pelaksana dengan pemberian gratis
kepada konsumen dengan meminta respon balik, disamping itu juga direncanakan akan dipromosikan melalui Kuliah Kerja Nyata
mahasiswa. Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa perajin telah menguasahi proses pembuatan temkodang; masih sangat dibutuhkan
promosi dan sosialisasi; salah satu kendala yang dihadapi adalah waktu proses pembuatan lebih lama.
Keywords— Koro pedang, Perajin, Tempe.
I. PENDAHULUAN
A. Analisis Situasi
Tempe sebagai makanan khas masyarakat Indonesia
mulai dari desa sampai perkotaan, dari masyarakat kelas
bawah, menengah sampai atas hampir semuanya
menyukai makanan ini, bahkan saat ini telah meluas ke
berbagai penjuru dunia termasuk negara-negara maju
sekalipun. Tempe dapat diterima masyarakat dunia karena
telah diakui oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai
makanan bernutrisi tinggi yang berkhasiat men-cegah dan
mengatasi berbagai macam penyakit [3]
Produsen tempe tersebar hampir di seluruh penjuru
kota dan desa di Indonesia baik yang berskala besar
maupun kecil, demikian juga di Jember. Produsen tempe
yang dijadikan sasaran kegiatan adalah kelompok
pengusaha kecil (perajin) tempe yang berada di kawasan
perkotaan, rata-rata produksi tempe setiap hari berkisar
antara 15 – 100 kg kedelai, dipasarkan sendiri langsung
ke konsumen maupun melalui pengecer (wlijo),
pengemasan produk sederhana, tanpa label/merk dagang,
promosi belum dilakukan secara optimal, masih belum ada
deversifikasi bahan baku, sebagian perajin mempunyai
deversifikasi produk “tempe gembos atau tempe menjos”
yaitu tempe yang terbuat dari ampas tahu, manajemen
usaha belum tertata terutama menyangkut keuangan dan
penanganan limbah.
Kelompok perajin tempe sangat rentan terhadap
pasokan bahan baku kedelai yang sampai kini sebagian
besar (hampir lebih dari 80%) kebutuhan kedelai masih
impor. Kondisi demikian sering kali menimbulkan
ancaman serius bagi stabilitas ketahanan pangan dan
kerawanan sosial karena telah mencakup kebutuhan
masyarakat luas, tidak heran jika ada guncangan ekonomi
dunia maupun melemahnya nilai tukar rupiah akan sangat
berpengaruh terhadap aktifitas usaha perajin tahu dan
tempe. Hal ini perlu dicarikan solusinya agar tidak
menimbulkan gejolak ekonomi, keresahan masyarakat dan
dampak-dampok sosial ekonomi lainnya serta dampak
terhadap neraca pembayaran luar negeri. Salah satu
173
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
alternatif solusinya adalah harus mencari substitusi bahan
baku kedelai yaitu “Koro Pedang”.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tempe
koro pedang sangat prospektif sebagai pengganti tempe
kedelai karena mempunyai banyak kesamaan baik dari sisi
cita-rasa, jenis dan kandungan gizi serta manfaatnya tidak
berbeda jauh [6], namun juga ada kelemahan pada biji
koro pedang yaitu adanya kandungan zat toksik: kholin,
asam hidrozianine dan trogonelin. Koro pedang juga
mengandung senyawa yang merugikan yaitu glukosianida
yang bersifat toksik dan asam fitat yang merupakan
senyawa anti gizi. Untuk menetralisir zat-zat berbahaya
tersebut dapat dilakukan dengan perendaman, perebusan,
dan pengupasan biji [4]. Perlakuan tersebut merupakan
rangkaian proses dalam pembuatan tempe sehingga secara
tidak langsung telah menghilangkan efek yang
membahayakan hanya saja perendaman dan perebusannya
yang agak lebih lama dibandingkan dengan kedelai.
Selain citra rasa dan kandungan gizi yang mendekati
tempe kedelai, koro-koroan juga merupakan tanaman yang
tidak membutuhkan tanah subur, dapat ditumpangsarikan
dengan aneka tanaman baik tanaman semusim (jagung)
maupun tahunan (kakao), mempunyai potensi hasil tinggi
dan daya adaptasi luas [5]. Koro pedang merupakan salah
satu jenis koro yang paling potensial sebagai pengganti
kedelai karena lebih banyak kesamaannya dengan tempe
kedelai jika diproses menjadi tempe koro pedang [1].
Berdasarkan karakteristik tersebut, maka tanaman koro
sangat prospektif dapat memenuhi sebagai bahan
substitusi kedelai dan berpeluang untuk dikembangkan di
daerah-daerah seluruh Indonesia sehingga impor kedelai
dapat ditekan dan kebutuhan perajin tahu tempe sebagian
besar dapat dipenuhi dari dalam negeri. Untuk mendukung
realisasi
tersebut
dibutuhkan
sosialisasi
dan
pemasyarakatan tempe koro pedang dan aneka produk
olahannya.
Jika untuk produksi kedelai, pemerintah memberi
kan bantuan kepada petani berupa sarana produksi seperti
benih maupun pupuk, maka bantuan mestinya juga layak
diperoleh bagi petani yang memproduksi koro pedang dan
perajin yang memproduksi tempe. Bantuan yang
dibutuhkan di antaranya adalah mesin pengupas dan
pencacah biji koro pedang. Dari sisi konsumsi, masyarakat
juga harus dibiasakan untuk menerima tempe koro pedang
sebagai produk baru, bukan untuk dibandingkan dengan
tempe kedelai. Untuk kepentingan tersebut, tempe koro
pedang
diintroduksikan
dengan
sebutan
yang
menarik. Masyarakat perlu diedukasi untuk mendapatkan
pemahaman pentingnya memberdayakan dan bangga
dengan tempe koro pedang sebagai wujud kepedulian
terhadap ketahanan pangan (Tim Peneliti Koro Pedang,
2015).
B. Permasalahan Mitra
Masalah utama yang dihadapi oleh perajin tempe
di antaranya adalah:
1. Ketergantungan bahan baku kedelai yang lebih dari
80 % merupakan komoditas impor, sehingga rawan
terhadap fluktuasi harga.
2. Perajin tempe belum terbiasa memproduksi tempe
berbahan baku non kedelai.
3. Belum tersedia mediator dan fasilitator yang
mendorong untuk melakukan deversifikasi atau
substitusi kedelai sebagai bahan baku tempe.
4. Perlu adanya sosialisasi dan pelatihan pembuatan
tempe koro pedang kepada perajin tempe
agar bisa menerima, bersedia mempromosikan dan
memasarkan kepada masyarakat luas terutama
konsumen tempe kedelai!
5. Perlu adanya insentif bantuan mesin pengupas dan
pencacah biji koro pedang agar perajin lebih
bersemangat memproduksi temkodang !
II. TARGET DAN LUARAN
Target yang ingin dicapai adalah terwujudnya koro
pedang sebagai bahan substitusi kedelai untuk bahan baku
tempe yang dapat diterima baik oleh perajin tempe
maupun masyarakat konsumen tempe kedelai terutama
yang berada di kawasan perkotaan, sedangkan luarannya
adalah produk “ TEMKODANG” tempe koro pedang,
makanan sehat kaya manfaat dengan penampilan visual,
cita-rasa, dan kandungan gizi yang mendekati tempe
kedelai.
Perlu banyak upaya agar temkodang dapat diterima
seperti halnya tempe kedelai. Konsumen bersedia
mengkonsumsi apabila ada keunggulan yang dimiliki oleh
temkodang, di antaranya adalah adanya kandungan
peptide yang bersifat ACE (Angiotensin Converting
Enzyme) yaitu enzyme yang berperan dalam pengaturan
tekanan darah seseorang ( [6]; [8] ). Agar produk tempe
koro pedang ini bisa cepat dikenal dan diterima
masyarakat konsumen tempe maka perlu upaya
pengenalan produk, promosi dan pengemasan yang
menarik.
1. Pengenalan Produk; pada tahap awal dilakukan
dengan cara memberikan produk tempe koro pedang
secara gratis kepada pelanggang sebanyak 2-3 kali,
selanjutnya secara perlahan akan ditingkatkan nilai
jualnya melalui pemberian diskon bertahap.
2. Promosi, dilakukan kepada ibu-ibu pkk,
posyandu, kader gizi, dan lembaga pendidikan di beberapa
kelurahan wilayah kota. Hal ini dimaksudkan agar
masyarakat semakin yakin dan bangga terhadap tempe
sebagai makanan asli Indonesia yang telah terbukti sehat
dan kaya berbagai manfaat yang sangat berguna untuk
kesehatan tubuh. Oleh karena itu sekarang tempe telah
menjelajah dunia dan digemari masyarakat di negaranegara maju.
174
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
3. Pengemasan yang menarik, dilakukan dengan
cara memberi label pada produk Temkodang yang antara
lain memuat Merk Dagang, Kandungan Gizi, dan
Manfaat. Melalui cara ini diharapkan masyarakat lebih
cepat mengenal, terbiasa, dan akhirnya tidak lagi harus
mengkonsumsi tempe kedelai sehingga meningkatkan
ketahanan dan kedaulatan pangan.
III. METODE PELAKSANAAN
Langkah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
permasalahan yang telah diungkapkan adalah :
A. Koro Pedang sebagai substitusi kedelai untuk bahan
baku tempe.
Koro pedang mempunyai potensi yang besar sebagai
bahan substitusi kedelai karena mempunyai kandungan
gizi yang mendekati kedelai, berikut disajikan
perbandingan kandungan gizi biji koro pedang dengan biji
legume lainnya:
Tabel 1. Kandungan nutrisi pada biji koro pedang dan
biji legume lainnya
Kacang ta
nah
Analisis
No.
(Arachis
Nutrisi
hypogeal)
1. Kalori
587
2. Protein
24,8
3. Lemak
27,8
4. Karbohidrat
24,6
Sumber : Duke, 1992
Koro pe
dang(Cana
valia ensi
formis)
389
27,4
2,9
56,1
B. Produk “TEMKODANG” Tempe Koro Pedang:
Ma kanan Sehat Kaya Manfaat.
Kelompok Perajin Tempe diberi pengetahuan dan
pelatihan mengolah koro pedang secara baik dan benar
sehingga efek-efek negatif dapat dihilangkan dan dapat
dihasilkan tempe koro pedang sebagai makanan sehat kaya
manfaat.
Untuk mengurangi/menghilangkan efek negatif biji
koro pedang terutama kandungan HCN dapat dilakukan
dengan perlakuan blanching selama 30 menit, perendaman
24 jam, pengukusan 2 jam dan fermentasi selama 24-30
jam, melalui perlakuan seperti itu dapat dihasilkan kualitas
tempe koro pedang dengan spesifikasi kadar air sebesar
53,28 %, protein 29,08 %, karbohidrat 13,74 %, lemak
0,77 %, dan abu 3,13 % [7].
Teknik produksi temkodang hampir sama dengan
fermentasi tempe kedelai namun karena ukuran biji koro
pedang lebih besar maka perlu pemecahan menjadi biji
koro pedang cacah. Alur proses produksi temkodang
sebagai berikut:
BIJI KORO PEDANG
Kedelai
(Glycin
e max)
PERENDAMAN ( 48 JAM)
Setiap 4-6 jam air diganti
444
35,5
19,6
39,0
Disamping itu produktivitas koro pedang lebih tinggi yaitu
dapat mencapai 7 ton per ha dan hijauan 40-50 ton per ha,
sistem perakarannya dapat mengikat nitrogen bebas dari
udara sehingga dapat digunakan sebagai upaya konservasi
lahan dalam menjaga tingkat kesuburan tanah;
mempunyai daya adaptasi luas : mulai dari dataran rendah
40 m dpl sampai dataran tinggi 1800 m dpl, mulai dari
daerah tropis yang lembab sampai daerah kering (curah
hujan 700-4000 mm per tahun), dapat tumbuh dengan
sinar matahari penuh dan toleran keteduhan sedang
(Perum. Perhutani KPH Purwodadi, 2009); dapat tumbuh
pada lahan-lahan marjinal; teknik budidayanya mudah,
dan telah lama dibudidayakan masyarakat sebagai
tanaman sela tetapi saat ini beberapa daerah antara lain
Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Jawa Tengah telah
mengembangkan koro pedang sebagai komoditas
pertanian seperti halnya komoditas padi, jagung dan
palawija. Koro pedang mempunyai beberapa nama di
antaranya Kacang Parang, Koro Wedung (Jawa Timur),
Koro Bendo, Koro Bedog, Kacang Mekah, Krandang
(Jawa Tengah), dan Koang (Jawa Barat).
PEREBUSAN (0,5 – 1,0 JAM)
PENGGILINGAN + CUCI
PERENDAMAN ( 24 JAM )
PEREBUSAN ( 2-3 JAM )
PENDINGINAN DAN PERAGIAN
PERAGIANPERAGIAN
PEMERAMAN 24 JAM
TEMKODANG
Sumber : Balitbangtan, 2014; Perajin Tempe Gebang,
2016
175
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
C. Modul Pembuatan Tempe Koro Pedang
Modul pembuatan tempe koro pedang secara
garis besar berisi informasi perihal:
1. Jenis-jenis koro yang dapat diolah menjadi tempe
2. Teknik penanganan biji koro agar kandungan racun
HCN tidak membahayakan kesehatan
3. Faktor penunjang yang mempengaruhi produksi
tempe
4. Mengapa Tempe Koro Pedang perlu dikembangkan
dan dimasyarakatkan ?
5. Bagaimana cara memasarkan Tempe Koro Pedang ?
D. Pelaksanaan
Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini meliputi:
1. Penyampaian materi kepada kelompok perajin tempe
terkait dengan keunggulan dan kelemahan koro
pedang, teknik pengolahan koro pedang dan
pembuatan tempe koro pedang, bagaimana
memasarkannya dsb.
2. Demo pembuatan temkodang, selanjutnya setiap
perajin diberi bahan untuk mempraktekkan sendiri di
rumah masing-masing dan dipantau tim pelaksana.
3. Pemasaran, pada tahap awal konsumen tempe
kedelai diberi secara gratis sampai tiga kali,
selanjutnya dijual dengan harga promo sampai
saatnya dijual dengan harga yang menguntungkan
perajin.
pengalaman dalam program pengabdian kepada
masyarakat sebagai ketua pelaksana Program Ipteks bagi
Masyarakat (2012) dan program-program pengabdian
kepada masyarakat sebelumnya (Ipteks dan Kewira
usahaan). Berdasarkan pengalamannya diharapkan dapat
membantu ketua pelaksana mengatasi permasalahanpermasalahan di lapangan, menggerakkan dan memberdayakan perajin tempe menjadi lebih kreatif, dinamis, dan
produktif.
Kualifikasi Tim Pelaksana dengan latar belakang
ilmu budidaya pertanian akan mendukung dalam
memasyarakatkan koro pedang baik dari sisi potensi
pemanfaatannya maupun pengembangan budidayanya
sehingga mengurangi kekhawatiran akan pasokan bahan
baku koro pedang karena sangat mungkin dikembangkan
di Jember. Kepakaran yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi mitra adalah:
1. Pakar bidang Pengolahan Pangan, khususnya
pengolahan kacang koro. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut Tim Pelaksana bekerjasama dengan Pakar dari
Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Jember.
2. Pakar bidang Pemasaran, Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut Tim Pelaksana bekerjasama dengan Praktisi
Pemasaran.
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
masyarakat (LPPM) Universitas Islam Jember sangat
berperan dalam pelaksanaan dan kesuksesan program ini.
LPPM selama ini telah berhasil meraih Program
Hibah
Penelitian maupun Pengabdian kepada Masyarakat
yang dikompetisikan dengan hasil memuaskan.
Selain
perolehan dana kompetisi dari Direktorat Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M), LPPM
juga berhasil memperoleh dana hibah dari
Pemerintah Daerah Tingkat II Jember.
Tim pelaksana terdiri dari satu orang ketua
pelaksana dan satu orang anggota pelaksana. Ketua tim
pelaksana memiliki keahlian di bidang pertanian dengan
spesifikasi pada ekofisiologi/ekologi tanaman dan
mempunyai cukup pengalaman dalam program
pengabdian kepada masyarakat sebagai ketua pelaksana
program kewirausahaan, program ipteks, program
voucher, dan program Iptek bagi Masyarakat (2012).
Berdasarkan bidang keahlian dan pengalaman ketua
pelaksana diharapkan dapat memecahkan permasalahanpermasalahan yang dihadapi perajin tempe. Anggota tim
pelaksana
memiliki spesifikasi keahlian di bidang
budidaya tanaman semusim, mempunyai cukup
A. STIMULASI PERAJIN TEMPE
Sebagian besar perajin masih menggunakan
peralatan-peralatan produksi secara manual dan
sederhana. Stimulasi dengan pemberian mesin penggiling
biji koro dan kedelai dapat memotivasi dan mendorong
perajin untuk melakukan promosi, produksi dan
memasarkan temkodang. Sisi lain dari pemakaian mesin
penggiling adalah dapat mengurangi setengah waktu dan
tenaga yang dicurahkan perajin untuk menggiling biji
koro maupun kedelai.
B. PRODUK TEMKODANG
Tempe koro pedang yang dihasilkan perajin
tempe secara higinis dan visual sudah memenuhi syarat:
bersih, sehat dengan penampilan kompak dan warna putih
menarik sebagaimana tempe kedelai meskipun ada
sebagian kecil perajin yang belum dapat menghasilkan
produk temkodang seperti yang diharapkan. Salah satu
kelemahan yang dikeluhkan adalah waktu proses
pembuatannya butuh waktu lebih lama yaitu empat hari
sedangkan untuk tempe kedelai bisa 2 – 3 hari. Kelemahan
ini berdampak pada menurunnya kapasitas ruang
produksi.
C. PROMOSI DAN EVALUASI
Sejauh ini langkah promosi yang telah dilakukan di
antaranya adalah pengenalan temkodang pada pelanggan
176
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
dengan cara membagikan temkodang secara gratis seharga
Rp. 2000 sambil meminta komentar dan respon konsumen.
Selain kepada pelanggan dari perajin, tim pelaksana juga
melakukan promosi di lingkungan kampus dengan cara
yang sama. Respon konsumen di kampus dikirim melalui
sms. Jumlah konsumen/responden di kampus 130, sms
yang masuk sebanyak 87 responden. Komentar responden
yang masuk menyatakan: 1). Secara visual hampir sama
dengan tempe kedelai sebanyak 84 %; berbeda jauh/tidak
sama dengan tempe kedelai 16 %; 2). Cita rasa hampir
sama dengan tempe kedelai sebanyak 58 %; berbeda
jauh/tidak sama dengan tempe kedelai 42 %. Respon
konsumen dari pelanggan berupa pernyataan pribadi
sebagian besar menyatakan secara visual hampir sama
dengan tempe kedelai namun cita rasanya masih belum
bisa menyamai tempe kedelai.
Berdasarkan hasil kuisener tersebut, tim
pelaksana memandang perlu upaya sosialisasi yang lebih
efektif, lebih luas dengan target bahwa konsumen dapat
menerima tempe koro sebagai produk dengan karakteristik
sendiri sebagai mana konsumen tempe koro di daerah
Jawa Tengah dan tidak harus dibandingkan dengan tempe
kedelai. Upaya yang digagas tim pelaksana untuk promosi
tempe koro ke depan adalah sosialisasi melalui mahasiswa
yang melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN),
antara lain dikemas dalam bentuk “Lomba Kreasi
Masakan Tempe Koro”, sosialisasi kepada kelompok IbuIbu PKK, Posyandu, dan lembaga-lembaga pendidikan
yang ada.
[5]
[6]
[7]
[8]
Tanaman Koro Pedang untuk Substitusi Kedelai di Jawa Tengah.
[On line]. Tersedia: http://www.fp.undip .ac.id
Perum Perhutani KPH Purwodadi, 2009. Petunjuk Teknis
Penanaman Koro Pedang (Canavalia ensiformis). PurwodadiGrobogan Jawa Tengah.
Purwani, E. Y., 2013. Ketika Koro Pedang Dijadikan Tempe. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca-panen Pertanian.
Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Suciati, A., 2012. Pengaruh Lama Perendaman dan Fermentasi
Terha dap Kandungan HCN Pada Tempe Kacang Koro
(Canavalia ensiformis L.). Skripsi, Fakultas Pertanian Universitas
Hasanudin, Makasar.
Tim Peneliti Koro Pedang, 2014. Pemanfaatan Koro Pedang
(Canavalia ensiformis) Sebagai Bahan Baku Potensial “Tempe”.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca-panen Pertanian.
Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan kegiatan yang telah dilaksanakan
dapat disimpulkan bahwa: 1). Perajin tempe telah mengu
asahi dengan baik dan benar proses pembuatan tempe koro
pedang (Temkodang); 2). Perlu upaya promosi/sosialisasi
yang lebih efektif agar tempe koro pedang dapat diterima
konsumen sebagai produk tersendiri; 3). Kendala
sementara adalah waktu proses pembuatan tempe koro
pedang lebih lama.
UCAPAN TERIMA KASIH
Tim pelaksana menyampaikan banyak terima kasih
kepada Direktorat Riset dan Pengabdian pada Masyarakat,
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
yang telah mendanai kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
Balitbangtan, 2014. Teknologi Fermentasi Koro Pedang.
Kemente rian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
Duke J. A. 1992. Handbook of Biological Active Phytochemicals
and Their Activity. CRC Press America.
Dunia Fitnes.com, 2012. Tempe, Makanan Rakyat Sarat
Manfaat. [On line]. Tersedia: http: //www.duniafitness.com;
catagory nutrition
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, 2012.
Hasil Rumusan Seminar Sehari “Potensi dan Pemberdayaan
177
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Ibm Kelompok Tani Kentang Berbasis Kearifan
Lokal Di Desa Sukorejo Kecamatan
Sumberwringin Kabupaten Bondowoso
Kasutjianingati1), Liliek Dwi Soelaksini2), Sri Rahayu3), Prayitno4)
1
Departemen Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Mastrip PoBox 164. Jember
2
Departemen Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember. Mastrip PoBox 164. Jember
email: kasutjianingati@yahoo.com
email: liliek_dwi@yahoo.co.id
3
Departemen Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Mastrip PoBox 164. Jember
email: sri_rahayu@polije.ac.id
4
Departemen Produksi Pertanian. Politeknik Negeri Jember. Mastrip PoBox 164. Jember
email: prayitno.mbipb.polije@gmail.com
Abstract
Kegiatan pengabdian masyarakat IbM pada petani kentang di lereng gunung Ijen, kabupaten Bondowoso, berlangsung selama 8 bulan.
Tujuan pengabdian adalah menciptakan kemandirian masyarakat petani dalam hal: (a) meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani
untuk memproduksi umbi bibit kentang bermutu (b) meningkatkan ketrampilan petani dalam pengaplikasikan SOP produksi bibit kentang
bermutu dan SOP produksi umbi konsumsi sesuai GAP kentang berkualitas. (d) Meningkatkan kesejahteraan petani dengan memperbaiki
pola perilaku bertani kentang sesuai dengan kearifan local. Target dari pelaksanaan IbM adalah dapat membantu Kelompok Tani Mitra1 (“Usaha Tani 11”Sukorejo/Sumberwringin/Bondowoso) bisa mandiri sebagai penangkar benih kentang bermutu untuk memenuhi
kebutuhan bibit petani sayuran disekitarnya (diwakili Kelompok Tani Mitra 2 “Makmur Tani”di desa Jampit, kecamatan Sempol). Metode
dalam mencapai tujuan adalah penyuluhan, pelatihan dan demostrasi plot di lahan kelompok tani untuk mendapatkan umbi bibit kentang
bermutu. Bahan tanam/bibit kentang bersertifikat yang digunakan diperoleh dari BPPT Karangploso, Malang, diuji coba di POLIJE,
selanjutnya teknik perbanyakan diinovasikan ke kelompok tani dilokasi pengabdian IbM. Kabupaten Bondowoso merupakan salah satu
daerah penghasil pertanian utamanya sayuran yang berpotensi untuk dikembangkan di Jawa Timur. Pada kesempatan ini, dengan kegiatan
IbM yang dilakukan oleh staf pengajar POLIJE berhasil membantu kemandirian masyarakat setempat meningkatkan produksi kentang
melalui pembelajaran bagaimana memproduksi dan menghasilkan bibit kentang bermutu berbasis kearifan local.
Keyword: bibit G3, bersertifikat, demplot, IbM, kentang.
I. PENDAHULUAN
Hortikultura merupakan salah satu sub sektor andalan
yang diharapkan mampu memberikan sumbangan positip
bagi pembangunan sektor pertanian di Jawa Timur. Salah
satu komoditas hortikultura, kentang (Solanum tuberosum
L) memiliki nilai ekonomi tinggi dan sangat prospektif
untuk dikembangkan sebagai komoditas unggulan
mengingat serapan pasar yang terus meningkat. .
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Januari 2012
Pemerintah Indonesia telah mengimpor kentang dari
China, Kanada, Amerika Serikat, Singapura, dan Inggris
sebanyak 4.300 ton dengan nilai sekitar Rp 24,3 miliar.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran
(Apkrindo) Jawa Timur, selama tahun 2011 perusahaan
olahan berbahan baku kentang beku mengimpor kentang
beku dari Amerika Serikat sebanyak 200 ton. Luas panen
kentang (Ha) selama dua tahun terakhir 2013 - 2014
meningkat (70.187 -76.090), produksi juga meningkat
(1.124,282–1.316.015 ton) dengan produktivitas 16.02 17.30 ton/Ha.
Kentang di samping bermanfaat sebagai sayuran,
pemanfaatan utama lain adalah sebagai pemenuhan bahan
pangan karbohidrat non beras. Meningkatnya permintaan
komoditas kentang tersebut di Jawa Timur dari tahun ke
tahun secara kuantitatif maupun kualitatif bukan saja
disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah penduduk
domestik yang disertai dengan meningkatnya kesadaran
akan pentingnya mutu gizi yang dikonsumsi setiap
harinya. Peningkatan permintaan tersebut antara lain
disebabkan karena komoditas kentang juga digemari oleh
konsumen luar negeri, sehingga peluang pasar
internasional juga masih terbuka lebar, namun biasanya
konsumen luar negeri menghendaki komoditas kentang
tersebut dengan persyaratan kualitas tertentu. Peningkatan
produksi kentang sebagai bahan pangan yang layak dan
aman untuk dikonsumsi baik untuk kebutuhan pasar luar
dan dalam negeri, perlu adanya penanganan secara
178
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
professional mulai dari persediaan bahan tanam sampai
produksi berkualitas yang memenuhi standar ISO 22000.
Peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan petani harus
disinergikan antara kinerja program pemerintah dengan
potensi (sumber daya alam, sumber daya manusia dan
ketersediaan teknologi produksi). Pencapaian perlu
keselarasan
antara
pengelolaan
keseimbangan
agroekosistem pertanian yang mampu mendukung
keberlanjutan peningkatan produksi dan produktivitas
kentang serta pengelolaan manajemen usaha (agribisnis)
menuju kemandirian pangan dan hortikultura yang
berkelanjutan, efisien serta berwawasan lingkungan.
Kabupaten Bondowoso dengan luas 1.560,10 km2
merupakan potensi dalam penyediaan ruang dan
pemanfaatan lahan untuk kesejahteraan penduduk.
Sebagian besar penggunaan lahan adalah untuk pertanian,
perkebunan, kehutanan dan kawasan lindung. Kegiatan
budidaya dan usaha berbasis pertanian sangat sesuai
dikembangkan di Kabupaten Bondowoso.
Selain
kesuburan tanahnya, juga secara agroklimat sangat sesuai
untuk berbagai komoditas pertanian. Sektor ekonomi
basis Kabupaten Bondowoso adalah sektor pertanian. Hal
ini ditunjukkan dengan banyaknya masyarakat yang
bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani, serta
luasnya lahan pertanian di Kabupaten Bondowoso. Sektor
pertanian telah memberikan kontribusi terbesar terhadap
PDRB Kabupaten Bondowoso, bahkan cenderung
bertambah meskipun tingkat pertumbuhannya relatif kecil
dan cenderung stagnan.
Penerapan teknologi pertanian modern di Kabupaten
Bondowoso menjadi salah satu alternatif stategi
pembangunan pertanian, misalnya teknologi pengolahan.
tanah, pengembangan varietas, GAP yang sesuai,
termasuk konsep agribisnis. Dengan demikian, meskipun
terdapat ancaman kecenderungan menurunnya jumlah
petani, minat investasi di sektor pertanian dapat terus
berkembang. Hal ini sejalan dengan predikat Kabupaten
Bondowoso sebagai salah satu kawasan strategis
pengembangan pertanian dan daerah penyangga pangan
regional. Tanaman kentang tumbuh dengan baik di
dataran tinggi, paling ideal kentang ditanam dalam
ketinggian antara 1000-3000 meter di atas permukaan laut.
Tinggi-rendahnya suatu tempat biasanya berhubungan
dengan suhu udara dan kelembapan udara. Perbedaan
kelembapan dan suhu udara sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman kentang. Adanya 2 gunung berapi
yang relatif masih aktif (Raung dan Ijen), menjadikan
Kecamatan
Sempol,
Tlogosari,
Sukosari
dan
Sumberwringin cukup strategis untuk produksi sayuran.
Desa Sukorejo, Sumberwringin dan Desa Jampit,
Kecamatan Sempol Kabupeten Bondowoso berada di
lereng gunung Ijen dengan ketinggian tempat 1640 m dpl
sehingga sesuai untuk budidaya tanaman kentang.
Mayoritas
penduduk
adalah
petani
dengan
membudidayakan tanaman sayuran seperti kentang,
wortel, kubis, bunga kol, dan lainnya, juga budidaya
tanaman perkebuanan tahunan terutama tanaman kopi.
Selama ini budidaya tanaman kentang masih dilakukan
secara konvensional dengan produksi sangat rendah. Salah
satu faktornya adalah penggunaan bahan tanam yang
asalan atau dari bahan tanam yang diproduksi sendiri
secara turun temurun tidak diketahui asal usulnya,
sehingga produksinya kurang memenuhi standar kualitas
umbi konsumsi.
Salah satu peluang usaha dan sangat berpengaruh
terhadap peningkatan produktivitas tanaman kentang dan
kualitas hasil adalah menjadi penangkar benih/bahan
tanam yang unggul dan bermutu; disisi lain perbaikan
teknik bertanam kenang sesuai GAP kentang juga perlu
ditingkatkan
II. TARGET DAN LUARAN
Adapun target dan luaran dari kegiatan IbM ini adalah
memberikan manfaat kepada petani Kabupaten
Bondowoso, berupa:
1) Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan untuk
memproduksi umbi bibit kentang unggul bernutu
secara mandiri berbasis kearifan lokal
2) Peningkatan pendapatan petani dari hasil penjualan
bibit kentang unggul bermutu dan peningkatan hasil
umbi konsumsi berkualitas yang dikelola.
3) Bibit kentang yang dihasilkan diharapkan unggul
bermutu sehingga mampu menghasilkan umbi
konsumsi sesuai dengan kebutuhan pasar domestic dan
pasar luar, karena umbi bibit diproduksi secara lokal
diharapkan sudah beradaptasi baik dengan kondisi
lingkungannya.
4) Terwujudnya fungsi dan peran antara kelompok
penangkar bibit dalam memproduksi umbi bibit
unggul bermutu secara mandiri dengan kelompok tani
pengguna bibit kentang tersebut untuk meperbaiki
kuantitas dan kualitas produksi umbi konsumsi,
sehingga kedua belah pihak akan saling mendapat
keuntungan.
5) Terwujudnya stabilitas Agribisnis ketang berkualitas
yang berkelanjutan di Kabupaten Bondowoso.
6) Publikasi ilmiah dari hasil kegiatan IbM dapat
dijadikan hasil penelitian untuk dapat di terbitkan pada
jurnal nasional terakreditasi.
7) Kontribusi pengembangan IPTEK dalam bentuk
laporan hasil penelitian.
8) Kontribusi bagi dua mahasiswa yang terlibat dalam
kegiatan IbM untuk menghasilkan Karya Tulis Tugas
Akhir sebagai penyelesaian studi tenaga akhli vokasi
sesuai Program studi yang ditempuhnya (D3 dari PS.
Produksi Tanaman Hortikultura dan Master dari
179
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pascasarjana Program Manajemen
POLIJEfile ini dengan nama lainnya.
Agribisnis
III. METODE DAN PELAKSANAAN
I. Waktu dan Tempat
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat IbM kentang
dilasanakan di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Pada
dua kelompok tani, Mitra 1 (kelompok tani “Usaha Tani
11”, Sukorejo/Sumbewringin) dan Mitra 2 (kelompok tani
“Makmur Tani”, Kalisat Jampit/Sempol). Jangka waktu
pelaksanaan kegiatan adalah selama 8 bulan
J. Bahan dan Alat
Lahan untuk Demplot seluar 3000 m2, berbagai bahan
organik sisa limbah pertanian dilokasi sebagai bahan
pupuk organik, bahan pengompos bahan organic orgadek,
pupuk majemuk NPK Mutiara, pupuk cair organik,
pestisida organik, lahan pertanian sebagai demplot di
lokasi ke dua Mitra, bahan tanam kentang Granula unggul
bermutu bersertifikat dari BPPT Karangploso Malang,
sedangkan alat yang akan digunakan adalah alat-alat
pertanian karung, timbangan, parang, ember, cangkul,
sekop, koret dan ayakan, hand traktor, keranjang, selang
air, gembor, alat angkut.
K. Metode Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan pelaksanaan IbM dilakukan dengan 2 metode
yaitu dengan cara ceramah dan demontrasi sebagai
berikut:
1) Penyuluhan dengan Metode Ceramah. Penyuluhan
dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada
petani dititik beratkan pada: (a). peranan bibit kentang
unggul bermutu untuk perbaikan kuantitas dan kualitas
produksi tanaman, (b). teknologi produksi bibit unggul
bermutu (SOP bibit unggul bermutu), (c). teknik
budidaya kentang konsumsi berkualitas (SOP sesuai
GAP Kentang).
2) Praktek atau Demonstrasi Plot. Praktek melalui
demontrasi plot dilakukan untuk meningkatkan
ketrampilan petani dalam melakukan kegiatan:
pembuatan bibit kentang unggul bermutu dan teknik
budidaya kentang untuk menghasilkan umbi konsumsi
berkualitas sesuai kebutuhan pasar, dilakukan di dua
Mitra (Mitra-1: Kelompok Tani “Usaha Tani 11” desa
Sukorejo, Kec. Semppl, Kab. Bondowoso dan Mitra2: Kelompok Tani “Makmur Tani “ desa Kalisat
Jampit, Kec. Sempol, Kab. Bondowoso)
IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
Kelayakan perguruan Tinggi berkaitan dengan
pelaksanaan kegiatan IbM, POLIJE mempunyai sarana
dan prasarana yang menunjang hasil dan luaran yang
dicapai, antara lain:
A. Sarana dan Prasarana.
Jurusan Produksi Pertanian dengan Program Studi
Hortikultura yang dilengkapi dengan beberapa fasilitas
laboratorium pengembangan teknologi budidaya,
diantaranya Lab. Produksi Tanaman Hortikultura, Lab.
Tanah dan Kesuburan Tanah, Lab. Kultur Jaringan, Lab.
Teknologi Benih dan Kebun Percobaan sebagai fasilitas
pengembangan teknologi, sehingga dengan fasilitas
tersebut Tim IbM Politekni Negeri Jember menguasai
pengembangan teknologi produksi bibit kentang bermutu
menggunakan teknik sesuai tahapan dimulai dari tahapan
kultur jaringan sampai teknologi produksi bibit kentang
sebar untuk menghasilkan umbi konsumsi berkualitas
(GAP Kentang konsumsi) sesuai ekosistemnya. Kegiatan
IbM kelompok tani kentang ditujukan untuk mengatasi
permasalahan kesulitan dalam menyediakan bibit unggul
bermutu dapat berjalan dengan baik dan perlu didukung
dengan kelayakan PT sebagai tim pelaksana.
B. Relevansi Skill Tim Pelaksana;
Kelayakan PT dalam menangani masalah kegiatan IbM ini
mengenai berbagai kendala bagi mitra dapat diatasi
bersama dengan berbagai disiplin ilmu pelaksana Tim,
adapun jenis kepakaran/disiplin ilmu dan perannya dalam
kegiatan IbM ini adalah sebagai berikut:
1) Bidang Produksi Tanaman Hortikultura dapat
mengkaji proses budidaya tanaman hortikultuta,
mempridiksi faktor-faktor penghambat pertumbuhan
dan perkembangan tanaman untuk memecahkan
permasalahan factor penghambat tersebut dalam paket
teknologi sesuai dengan perkembangan bioteknologi
produksi tanaman hortikultura sesuai kearifan lokal,
sehingga
mampu
mempertahankan
produksi
berkualitas sesuai permintaan pasar memenuhi standar
keamanan pangan secara berkesinambungan.
2) Bidang Kultur Jaringan, mampu mengkaji proses
budidaya jaringan untuk menghasilkan bibit sesuai
perkembangan bioteknologi produksi bibit dalam
jumlah banyak .(kloning) waktu singkat dengan
dengan kualitas terjamin seragam sesuai induk unggul.
3) Bidang Teknologi Produksi Benih mengkaji tentang
peranan pentingnya benih unggul bermutu sebagai
bahan tanam untuk meningkatkan produktivitas
produk hortikultura yang berkualitas.
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Target dan luaran dari kegiatan IbM ini memberikan
manfaat kepada petani Kabupaten Bondowoso, berupa:
1) Petani sangat antusias dan bersemangat menerima
transfer teknologi sehingga terjadi peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan petani (mitra-1) dalam
180
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
memproduksi umbi bibit kentang unggul bermutu
secara mandiri berbasis kearifan lokal
Bibit kentang yang dihasilkan berupa bibit kentang
unggul bermutu sehingga mampu menghasilkan umbi
konsumsi berkualitas sesuai dengan kebutuhan pasar
domestik dan pasar luar, karena umbi bibit diproduksi
secara lokal maka sudah beradaptasi baik dengan
kondisi lingkungannya.
Peningkatan pendapatan petani Mitra-1 dari hasil
penjualan bibit kentang unggul bermutu dan
peningkatan hasil umbi konsumsi berkualitas dari
Mitra-2.
Terwujudnya fungsi dan peran antara kelompok
penangkar bibit dalam memproduksi umbi bibit
unggul bermutu secara mandiri (Mitra-1) dengan
kelompok tani pengguna bibit kentang (Mitra-2)
tersebut, sehingga mampu memperbaiki kuantitas dan
kualitas produksi umbi konsumsi, sehingga kedua
belah pihak dapat saling mendapat keuntungan.
Terwujudnya stabilitas Agribisnis kentang berkualitas
yang berkelanjutan di Kabupaten Bondowoso.
Publikasi ilmiah dari hasil kegiatan IbM dapat
dijadikan hasil penelitian yang diseminarkan dan
diterbitkan pada jurnal nasional terakreditasi.
Kontribusi pengembangan IPTEK dalam bentuk
laporan hasil penelitian.
Kontribusi bagi mahasiswa yang terlibat dalam
kegiatan IbM menghasilkan Karya Tulis Tugas Akhir
sebagai penyelesaian studi Sarjana Terapan (D4)
Program Studi Teknik Produksi Benih
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan. Hasil kegiatan Pengabdian Iptek bagi
Masyarakat (IbM) di kabupaten Bondowoso berhasil
meningkatkan pengetahuan dan keterampikan petani mitra
dalam menghasilkan bibit kentang granola unggul
bermutu secara mandiri berbasis kearifan local dan
mampu meningkatkan pendapatan petani dikedua desa
mitra.
B. Saran. Adanya perhatian dari pemerintah daerah untuk
bisa mempertahankan kondisi yang telah tercapai dalam
bentuk bantuan sarana dan prasarana, misal perbaikan
jalan yang rusak parah menuju ke desa tersebut sehingga
dapat mempermudah transportasi sarana produksi dan
saran pemasaran hasil.
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2004.
Teknologi Budidaya Kentang industry di Lahan Sawah Dataran
Medium Kabupaten Sleman D.I. di Yogyakarta
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2006. Prosedur Operasional
Standar Budidaya Kentang Varietas Granola (Solanum tuberosum
L ). Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat
Erfandi, M.D., Nur dan Budhyastaro, T., 1997. Perbaikan Sifat
Fisik Tanah dengan Strip Veriver dan Pupuk Kandang Perubahan
dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua.
Bogor.
Gustianty LR. 2008. Kajian Tentang Pertumbuhan dan Produksi
Kentang (Solanum tuberosum L.) Varietas granola Asal Biji
Botani Melalui Uji Perkecambahan dan Pengaturan penanaman di
Lapangan. Thesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sahat S dan hidayat IM. 1996. Teknik Perbanyakan Umbi Bibit
Kentang Secara Cepat. Balai Penelitian tanaman Sayuran.
Lembeng
FOTO-FOTO KEGIATAN IbM
Gambar 1. Tim IbM (no 1, no2 dan no 4 dari kiri ke kanan) berada
dilahan Demplot kentang berumur 30 hari setelah tanam, Jampit
Sempol Kab. Bondowoso
Gambar 2. Tim IbM foto bersama anggota kelompok tani mitra
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih bahwa karya ini
merupakan hasil laporan kegiatan Program Iptek bagi
Masyarakah (IbM) pendanaan tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Adiningsih, S.J., 2000. Peranan Bahan Organik Tanah Dalam
Sistem Usaha Tani Konservasi. Materi Pelatihan Revitalisasi
Keterpaduan Usaha Ternak dan Sistem Usaha Tani. Bogor.
Gambar 3. Tim IbM berada ditengah lahan Demplot kentang, berumur
45 hari setelah tanam
181
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Gambar 4. Tim IbM tengah berdiskusi tentang pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, proses transfer teknologi dengan petani Mitra
Gambar 6. Proses pemanenan dilakukan pada tanaman kentang yang
sudah mencapai umur panen, umbi setelah dipanen dibiarkan di atas
tanah (tanda panah), diangin-anginkan sebentar baru diangkut dan
dikumpulkan disatu tempat untuk dilakukan pengemasan
Gambar 7. Proses pengemasan hasil panen kentang kedalam karung
plastic dan diikat dengan tali raffia, berat per kemasan 8-9 kg/karung
Gambar 5. Tim IbM sedang mengamati pertumbuhan dan
perkembangan umbi kentang
182
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Peningkatan Produktivitas Keripik Buah
melalui Aplikasi Vakum Very High (VH)
Budi Hariono1*, Abi Bakri2*, Mokh Fathoni K3*
1budihariono1966@gmail.com
2
3
*
abibakri@gmail.com
ftnpolije@gmail.com
Jurusan Teknologi Pertanian , Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip PO BOX 164. Jember
Abstract
IbPE Komoditas Ekspor Berbasis Vacuum Frying di Kabupaten Jember dan Kabupaten Lumajang merupakan tindak lanjut
dari pengembangan riset yang dilakukan pengusul dan penerapan wirausaha yang telah dan sedang dilakukan pengusul
sebagai pengelola UPT Aneka Pangan dan Produk Beku, melalui produk berbasis vacuum frying seperti produk keripik
edamame, keripik nangka, keripik salak dan lain-lain. Tujuan program IbPE Tahun I ini adalah : (a) meningkatkan kapasitas
produksi dari rata-rata produksi 1-1,2 kg keripik/proses menjadi 5-6 kg keripik/proses; (b)meningkatkan pangsa pasar produk
keripik baik lokal maupun ekspor. Luaran dari program IbPE adalah sebagai berikut: (a) teknologi VH pada mesin vacuum
frying; (b) adanya peningkatan serapan tenaga kerja UKM sebagai akibat adanya peningkatan produksi dan perluasan
pemasaran.
Kata kunci: Keripik Buah; Mesin Vacuum Very High
Bab I. Pendahuluan
A. Analisis Situasi
Suplai bahan baku UD Dua Dewi diperoleh dari 8
supplier bahan baku nangka segar baik dari Kabupaten
Jember, Lumajang, Banyuwangi dan Bondowoso. Suplai
bahan baku UD Ananda diperoleh dari supplier bahan
baku nangka segar baik dari Kabupaten Jember,
Lumajang, Probolinggo, Bondowoso dan Yogyakarta
(khusus salak pondok).
Bahan baku yang didatangkan berupa Nangka, Salak
Pondoh, Pisang dan Pepaya.Kualitas bahan baku yang
ditetapkan adalah Kualitas I dan II dengan kriteria rasa
manis; warna kuning/kuning keputihan; ukuran sedangbesar dengan ketebalan daging buah 1-1,5 cm. Jika bahan
baku dari empat kabupaten tersebut bermasalah dalam
jumlah maupun mutu maka didatangkan dari Kabupaten
Semarang dan Batang Jawa Tengah.
UD. Dua Dewi dan UD Ananda berturut-turut
memproduksi kripik nangka ± 1 ton dan ± 3 ton per bulan
dengan bahan baku nangka segar 11 dan 33 ton ton. Bahan
baku sebelum diproses didinginkan dalam freezer selama
± 8 jam. Peralatan yang dimiliki selain 4 mesin vacuum
adalah freezer sebanyak 8 unit; spinner 4 buah; hand
sealer dan timbangan dengan nilai total investasi ± Rp.
300.000.000,Produk yang dihasilkan dari kedua mitra meliputi:
keripik nangka; keripik pisang kerana mas; keripik
edamame; dan keripik singkong yang dikemas dalam
kemasan alumunium foil dengan berat 5 kg; 250 g dan 100
g. Mutu yang dihasilkan terdiri atas mutu ekspor dan mutu
local.
Pola hubungan kemitraan antara UD Ananda dengan
UD Dua Dewi tercermin dari pola hubungan pemasaran
dan pengadaan bahan baku. Dalam hal pemenuhan
permintaan pasar akan kebutuhan produk aneka keripik
dua mitra mengadakan kerjasama. UD Dua Dewi
memproduksi keripik nangka; keripik pisang mas;
keripik edamame; dan keripik singkong sedangkan UD
Ananda memproduksi keripik Nangka, Salak Pondoh,
Pisang dan Pepaya. Untuk kebutuhan pasar ke dua UKM
ini saling mengisi produk-produk untuk memenuhi
pemasaran dengan konsentrasi pemasaran untuk UD Dua
Dewi berorientasi ekspor sedangkan UD Ananda
berorientasi pasar lokal.
B. Permasalahan Mitra
Proses produksi dengan mesin vacuum konvensional
kapasitas kecil (10 kg bahan baku) untuk produksi
183
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
kapasitas besar dibutuhkan mesin yang cukup banyak
dengan proses penggorengan sekitar 2 jam. Aplikasi
mesin vakum VH cocok digunakan pada mesin kapasitas
besar (40-60 kg bahan baku) dengan hasil keripik nangka
berkisar 4-6 kg atau 4-6 kali lipat bila menggunakan
mesin kapasitas kecil. Kondisi ini akan membantu mitra
dalam memenuhi permintaan pasar yang cenderung
meningkat.
Bab II. Target dan Luaran
A. Target
Target yang ingin dicapai melalui kegiatan IbPE Tahun
I adalah sebagai berikut:
1. Aplikasi mesin VH pada alat vacuum frying
kapasitas 40-60 kg bahan baku di mitra IbPE.
2. Produktivitas dapat ditingkatkan karena 1 alat mesin
VH sebanding dengan 4-6 mesin vacuum
konvensional.
3. Mampu menghemat tenaga penggorengan sehingga
dapat dimanfaatkan untuk proses produksi lainnya.
b) Instal pompa vakum VH ke alat Vacuum Frying
Pemasangan pompa vakum VH ke unit penggoreng
vakum pada prinsipnya menggantikan peran water jet
pada unit penggoreng vacuum konvensional. Gambar unit
penggoreng vakum dan bagan skema sistem water jet
tertera pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2. Unit penggoreng vakum sistem water jet
B. Luaran
Luaran yang didapat melalui kegiatan IbPE ini adalah:
(1) jurnal nasional, (2) peningkatan nilai aset dan omset
UKM mitra IbPE; (3) peningkatan produktivitas serta (4)
efisiensi tenaga kerja penggorengan.
Bab III. Metode Pelaksanaan
a) Pengadaan Vakum VH
Mesin pompa vakum VH yang diadakan seperti tertera
pada Gambar 1 dengan spesifikasi sebagai berikut : a) Tipe
VE 2100; b) Frekuensi 50 Hz; c) Flow rate 10 Cfm 283
L/menit; d) Puncak vakum 3x10-1 Pa; e) Saringan 25
mikron; f) 3 Phase; g) Daya 1 HP; h) Dimensi :
400x145x270; i) Berat 16,7 kg.
Gambar 1. Pompa Vakum VH
Aplikasi mesin VH mampu bekerja pada ruang
penggorengan lebih besar sehingga kapasitas produksi
juga semakin besar. Pelaksanaan program IbPE Tahun I
adalah aplikasi mesin Vakum VH seperti tertera pada
Gambar 1 pada mesin vakum kapasitas 50 kg bahan baku
dengan volume minyak 350-360 liter.
Gambar 3. Skema unit penggoreng vakum sistem water
jet
Keterangan gambar:
1. Sumber pemanas
2. Tabung penggoreng
3. Tuas pengaduk
4. Pengendali suhu
5. Penampung kondensat
6. Pengukur vakum
7. Keranjang penampung bahan
8. Kondensor
9. Saluran hisap uap air
10. Water jet
11. Pompa sirkulasi
12. Saluran air pendingin
13. Bak air sirkulasi
14. Kerangka
Deskripsi Mesin Penggoreng Vakum Sistem Water Jet
184
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
1. Pompa vakum sistem water jet, berfungsi menghisap
udara yang berada di dalam ruang penggoreng
sehingga tekanan menjadi lebih rendah, serta untuk
menghisap uap air bahan.
2. Tabung Penggoreng, berfungsi mengkondisikan bahan
sesuai tekanan yang diinginkan yang dilengkapi
keranjang buah setengah lingkaran.
3. Kondensor (Gambar 4), berfungsi mengembunkan uap
air untuk dikeluarkan selama proses penggorengan.
Kondensor menggunakan air sebagai pendingin.
4. Unit Pemanas, menggunakan kompor gas LPG.
5. Unit Pengendali Operasi, berfungsi mengaktifkan alat
vakum dan unit pemanas.
6. Pengaduk Penggorengan, berfungsi mengaduk buah
yang berada dalam tabung penggorengan. Bagian ini
perlu seal karet yang kuat untuk menjaga kevakuman
tabung.
7. Mesin pengering (spinner), berfungsi meniriskan kripik.
Gambar 6. Tabung penggorengan kapasitas 50 kg
bahan baku
Bab IV. Kelayakan Perguruan Tinggi
Pelaksanaan program IbPE dilaksanakan selama tiga
tahun dengan kriteria pelaksanaan dan penanggung jawab
pelaksanaan untuk Tahun I seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Program pelaksanaan IbPE dan Penanggung
Jawab Pelaksanaan Tahun I
No
Gambar 4. Kondensor
Penerapan pompa vakum di unit penggoreng vakum
menggantikan sistem vakum yang dihasilkan sistem water
jet. Gambar 5 menunjukkan instalasi pompa vakum VH
pada alat penggoreng vakum di mitra IbPE.
Jenis Program
Tahun I
1 Bidang
Teknologi
(pengadaan alat vakum
frying
sistem
super
vakum/high vacuum)
2 Bidang Manajemen dan
produksi
3 Bidang SDM (Pelatihan
operasional alat)
Penanggung
Jawab
Dr.
Ir.
Budi
Hariono, M.Si
Ir. Abi Bakri, MSi
Mokh.
Fathoni
Kurnianto, STP
Fasilitas Pendukung yang tersedia di Perguruan
Tinggi
UPT Aneka Pangan dan Produk Beku adalah salah satu
UPT di Politeknik Negeri Jember memproduksi produk
aneka roti, aneka keripik berbasis vakum serta jasa
pembekuan berbagai produk perikanan dan pertanian.
Fasilitas pendukung yang dimiliki UPT Aneka Pangan dan
Produk Beku khusus untuk produk aneka keripik adalah 3
unit mesin vakum sistem super vakum (high vacuum), 3
unit alat sentrifus (pengatus), 2 unit sealer sistem kontinyu
serta Laboratorium Uji Produk Pangan yaitu Laboratorium
Analisis Pangan dan Laboratorium Bioscience.
Bab V. Hasil dan Luaran yang Dicapai
Gambar 5. Aplikasi pompa vakum VH
a) Hasil yang Dicapai
Prinsip Penggorengan Hampa
Mesin penggorengan vakum hingga saat ini digunakan
mengolah buah dan sayur dengan kadar tinggi menjadi
keripik dengan tetap mempertahankan warna, aroma, dan
185
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
citarasa. Buah yang umum diolah seperti cempedak,
nangka, apel, pepaya, nanas, salak, waluh, pisang,
rambutan, mangga, labu kuning, sedangkan jenis sayuran
yang umum diolah adalah jamur tiram, brokoli, buncis,
kacang tanah, jagung, wortel, kacang panjang dan terong.
Shing (2003) menyebutkan bahwa penggorengan vakum
umum digunakan buah-buahan, sayuran, daging, produk
mengandung air. Prosesnya adalah memberikan pengaruh
oksidasi minimum, sehingga umur simpan produk lebih
panjang. Haryadi et al (2000), menyebutkan prinsip kerja
mesin penggorengan vakum sistem water jet yaitu
kompor LPG untuk mensuplai panas ke minyak ditanki
penggorengan. Kerja pompa dan water jet menurunkan
tekanan ketel penggorengan. Dengan penurunan tekanan
maka suhu penggorengan lebih rendah dibandingkan suhu
penggorengan dengan tekanan atmosfer. Penggorengan
keripik pada tekanan vakum dilakukan pada suhu 120-130
o
C dengan tekanan vakum 50-100 mmHg, dan proses
ekspansi akan berjalan optimal pada tekanan 0-160
mmHg.
Hasil yang dicapai dari kegiatan IbPE Tahun I adalah 1
unit alat penggoreng vakum sistem pompa vakum VH.
Keunggulan dari sistem ini adalah sistem vakum dapat
bekerja pada tabung penggorengan besar (kapasitas 50 kg)
bahan baku keripik. Hasil yang diperoleh adalah keripik
dengan berat 5-6 kg. bila dibandingkan dengan unit vakum
sistem water jet dengan kapasitas 10 kg bahan baku akan
menghasilkan produk keripik sekitar 1-1,2 kg. Operator
yang bekerja pada ke dua sistem di atas masing-masing 1
orang operator. Bila dibandingkan kedua sistem tersebut
maka penggunaan mesin penggoreng vakum sistem VH
dapat meningkatkan produktifitas hingga 4-5 kali lebih
tinggi. Dari sisi waktu proses kedua sistem membutuhkan
waktu yang sama sekitar 2 jam operasional.
Dari kondisi di atas maka keunggulan sistem pompa
vakum VH dibandingkan sistem water jet tertera pada
Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingkan sistem pompa vakum VH dan
water jet
Sistem pompa Sistem water jet
vakum VH
Kapasitas
50-60 L
300-350 L
minyak
Kapasitas bahan 50 kg
10 kg
baku
Produksi keripik 5-6 kg
1-1,2 kg
Jam operasi
2 jam
2 jam
Jumlah operator 1 orang
1 orang
Volume
pendingin
air
2-3 m3
250 L
Sistem
kelistrikan
Daya listrik
1 phase
3 phase
1 PK
¾-1 PK
b) Luaran yang Dicapai
Luaran yang dicapai dari program IbPE Tahun I adalah :
a) jurnal nasional; b) peningkatan kapasitas produksi ; c)
penerapan pompa VH menghemat minyak goreng serta
serta konsumsi LPG. Berdasarkan pengamatan di lapang
setiap kali proses pada mesin vakum sistem water jet
terdapat 0,5-0,6 L minyak yang menguap dari 50 L minyak
yang terdapat di tangki penggorengan. Sedangkan pada
mesin vakum sistem pompa VH terdapat sekitar 1,5 – 2 L
minyak yang menguap dari kapasitas minyak 300 L.
Kondisi ini mampu menghemat 1,5 – 1,6 L per proses. Hal
ini secara tidak langsung akan mengurangi biaya produksi.
Bab VI. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
- Kegiatan IbPE mampu meningkatkan poduktivitas
dan mendapat respon positip dari mitra IbPE.
- Kualitas produk yang dihasilkan tidak berbeda
dengan sistem water jet baik dari sisi warna dan
kerenyahan.
- Penerapan pompa VH pada mesin penggoreng
vakum mampu menekan biaya produksi tenaga kerja
dan minyak.
Saran
-
Penerapan pompa vakum VH menghendaki air yang
bersih tanpa kotoran (kerikil, pasir), karena alat ini
mempunyai tingkat saringan 25 mikron. Apabila
terdapat kotoran yang terikut ke pompa dapat
menyebabkan
saringan
mudah
mengalami
kerusakan. Oleh karenanya dalam penerapannya
diperlukan unit tambahan berupa unit saringan air
sebelum air dialirkan ke pompa vakum VH.
DAFTAR PUSTAKA
Hariyadi P, Eko H, Rizki T, D Tresnakusumah, dan
Nana S. 2000. Penuntun Praktikum Satuan Operasi
Industri Pangan. Teknologi Pangan dan Gizi.
Institute Pertanian Bogor, Bogor.
[2] Shing k, Y. 2003. Vaccum Frying. http//www.google.
com. [12 Desember 2015].
[1]
.
186
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
IbM Sistem Usahatani Terpadu Hulu-Hilir pada
Kelompok Tani LADEWI Bondowoso Produksi
Baby Fish Organik Sistem Mina Padi Inovatif
Tanti Kustiari1, Ariesia Gema A.P2, Rizal3
1
Pascasarjana Agribisnis, 2Manajemen Agribisnis, 3 Pascasarjana Agribisnis
Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip PO BOX 164 Jember
1tanti_ipb@yahoo.com
2rizalsp2001@yahoo.com
3ariesia_putrilatief@yahoo.com
Abstract
Desa Lombok Kulon dikenal sebagai Desa Wisata Organik telah berkembang di bawah Keorganisasian Lembaga Desa Wisata Orrganik
(LADEWI) membina kelompok tani Mina Usaha dan Tani Makmur. Dua kelompok tani bidang pertanian padi dan kuliner memiliki
memiliki permasalahan dan kebutuhan yang berbeda, namun keduanya memiliki potensi menjadi mitra bisnis yang saling menguntungkan.
Program IbM bertujuan (1) meningkatkan produktivitas padi organic dan menambah sumber pendapatan baru kelompok Tani Makmur
melalui sisimdi baby fish, (2) meningkatkan pengetahuan, ketrampilam petani untuk menerapkan Ipteks Sistim Mina Padi ikan baby fish
(sismindi) inovatif yaitu waktu pemeliharaan ikan 30-40 hari yang aman dari resiko kehilangan ikan akibat kebocoran, rendahnya curahan
tenaga kerja untuk suplai kontinyuitasan air, (3) menjamin ketersediaan bahan baku baby fish kelompok Mina Usaha (wisata kuliner
organic). Kegiatan sismindi baby fish inovatif dilaksanakan bulan April – Juli 2016 dengan pendekatan pendidikan, pelatihan,
bimbingan/konseling, kunjungan lapang, demonstrasi. Hasil kegiatan IbM menunjukkan (1) kelompok Tani Makmur mampu menerapkan
teknologi tepat guna sismindi ikan baby fish di lahan pertanian padi organic. Tingginya antusiasme dan intensitas penjagaan ikan di sawah,
namun adanya kendala penyusutan pengairan, rendahnya keamanan lingkungan maka panen ikan dilakukan lebih awal secara bertahap. (2)
penyuluhan, pelatihan dan praktik penerapan Ipteks sismindi ikan baby fish dapat menambah wawasan petani, minat dan mampu
mengadaptasikan aplikasi teknologi sismindi baby fish dengan pertanan padi organik.
Keywords : Baby Fish, Padi Organic, Sistim Mina Padi, Ikan
I. PENDAHULUAN
Sawah minapadi (rice cum fish culture) adalah sistem
budidaya terpadu tradisional antara ikan dan tanaman padi
di sawah. Di Indonesia, praktek mina padi mulai dikenal
sebelum tahun 1860 di Ciamis Jawa Barat, hingga kini
masih banyak dicanangkan dan dibudidayaan di berbagai
tempat di Indonesia. Di Propinsi Jawa Tengah telah
dicanangkan program Gerakan Nasional Sejuta Hektare
Mina Padi (Gentanadi), dengan target dan sasaran areal
sawah sejuta hektar, dan produksi sejuta ton hingga akhir
2013. Gerakan Gentanadi adalah upaya diversifikasi
usaha pertanian melalui mina padi yang sangat penting.
Sebab, saat ini anomali iklim dapat mengakibatkan
kegagalan panen padi. Jadi, upaya mina padi ini sangat
diperlukan karena mempunyai dampak yang baik untuk
para petani dan masyarakat.
Sistem pemeliharaan mina menurut Direktorat Jenderal
Perikanan (1995) akan mendukung peningkatan
produksivitas lahan, meningkatan pendapatan petani,
Benih ikan untuk minapadi biasanya berukuran 1.000
sampai 3.000 ekor per kilogram. Setelah 40 hari
penanaman, ikan sudah dapat dipanen dengan berat
mencapai ukuran fingerling atau 3-4 gram. Ikan dengan
ukuran tersebut selanjutnya dijual sebagai bibit ikan untuk
kolam/karamba dan sisanya yang lebih kecil (sortiran )
dijadikan olahan babyfish.
Baby fish harganya lebih murah. Ikan-ikan tersebut
diolah untuk dikonsumsi sebagai camilan dan oleh-oleh
yang cukup digemari. Olahan baby fish banyak dijumpai
di toko oleh-oleh, rumah makan dan super market.
Berbeda dengan ikan wader goreng yang memang aslinya
berukuran kecil, baby fish adalah anakan ikan yang biasa
menjadi ikan konsumsi seperti ikan mas, ikan nila, ikan
nilem dan lain-lain. Pada ukuran kecil ikan-ikan tersebut
dipanen untuk dijadikan olahan baby fish.
Penerapan minapadi dapat menekan pertumbuhan
gulma, mengurangi serangan hama dan penyakit dan
meningkatkan jumlah musuh alami bagi hama tanaman.
Benih ikan memakan plankton dan organisme kecil lain
yang jatuh atau terdapat di air termasuk telur dan larva
187
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
hama padi. Hal ini menguntungkan karena ikan yang
dipelihara memperoleh makanan tambahan. Selain itu,
berkurangnya aplikasi pestisida dalam budidaya minapadi
mendatangkan keuntungan lain karena mendorong
berkembangnya musuh alami bagi hama padi. Dengan
berkurangnya aplikasi pestisida selain memberi
keuntungan bagi petani dengan berkurangnya biaya
produksi, juga memberi keuntungan bagi kesehatan
manusia dan pelestarian lingkungan.
Permasalahan Mitra I yaitu produksi padi Kelompok
“Tani Makmur” seringkali tidak maksimal. Menurut
Ketua kelompok Tani Makmur, produksi padi organik
rendah. Kelompok “Tani Makmur” sebagai produsen padi
organic sering terjadi penurunan hingga 6 ton/ha
(optimum 8-10 ton/ha) sehingga mengurangi penghasilan.
Meskipun harga jual gabah lebih tinggi Rp. 2.000,00.
dibandingkan produk non organik, namun nilai
penurunannya tidak seimbang dengan potensi kenaikan
harganya. Kelompok tani belum memiliki cara mengatasi
penrunan hasil panen padi.
Permasalahan Mitra II yaitu Kelompok tani yang
membutuhkan produk ikan adalah kelompok “mina
usaha” yang bergerak pada bidang kuliner yang menjual
produk-produk ikan organic. Jumlah pengunjung pondok
kuliner semakin meningkat dibandingkan tahun lalu
(pengamatan April 2015). Permasalahannya adalah stok
ikan terbatas (habis). Pelanggan terpaksa hanya memilih
satu jenis ikan (gurame besar) yang tersedia. Tidak ada
ikan nila. Hal ini tidak sesuai dengan janji dan penawaran
sesuai daftar menu. Tidak tersedia ikan kecil crispy
padahal banyak diminati anak-anak. Dengan demikian
pengembangan usaha Mitra II perlu didukung penyediaan
bahan baku dari mitra I kelompok Tani Makmur.
Permasalahan
lingkungan
masyarakat
yaitu
Bondowoso telah mengenal pertanian dengan system mina
padi (Sismindi) yang diperkenalkan melalui program
pemberdayaan. Hingga saat ini Sismindi tidak diadopsi
dan kurang diminati masyarakat. Alasan utamanya adalah
hasil sismindi tidak berpengaruh pada peningkatan
pendapatan petani. selain itu adanya kendala teknis, non
teknis menyebabkan Program Mina padi tidak
berkelanjutan.
Beberapa kendala dilapangan menyebabkan mina padi
tidak berhasil. Beberapa sebab diantaranya: sumber air
yang tidak continue, kesulitan pengawasan pada pematang
yang bocor. Kebocoran pematang berpeluang hilangnya
ikan. Kendala lainnya yaitu rawan terjadi pencurian dll.
Berdasarkan beberapa kendala Sistem mina padi tersebut,
maka muncul pemikiran bagaimana pelihara ikan yang
waktunya tidak terlalu lama yaitu mina padi baby fish.
Program IbM dirancang untuk memberi solusi dengan
menawarkan Ipteks system mina padi (sismindi) inovatif
yaitu waktu pemeliharaan ikan 30-40 hari yang aman dari
resiko kehilangan ikan akibat kebocoran, rendahnya
curahan tenaga kerja untuk suplai kontinyuitasan air.
Aplikasi sismindi baby fish inovatif dalam jangka
panjang bertujuan untuk memecahkan persoalan kedua
mitra dan lingkungannya melalui program penumbuhan
hubungan kemitraan usaha atau System usaha tani terpadu
hulu – hilir. Menciptakan keterjalinan bisnis antara mitra
produsen (suplay baby fish) dengan mitra konsumen
(demand). Keterbatasan penyediaan produk olahan Mitra
II dapat teratasi. Program pengabdian membantu
mewujudkan cluster bisnis organic di Desa Disata Organik
dimana produksi dan penjualannya dilakukan kelompokkelompok usaha di bawah kelembagaan Desa Wisata
Organik Lombok Kulon.
Mitra I berpotensi menjual ikan baby fish sebagai bibit
pada kelompok-kelompok petani LADEWI. Kelompokkelompok petani tersebut membutuhkan bibit ikan nila
untuk memperbesar produksi. Selain itu mitra I juga
berpotensi menjual ikan baby fish sortiran 9 ukuran
kurang dari 3-4 kg) padamitra II “tani makmur”. Ikan
sortiran harganya murah dan tepat sebagai bahan baku
olahan.
Program IbM sismindi baby fish inovatif bertujuan
(1) meningkatkan produktivitas padi organic dan
menambah sumber pendapatan baru kelompok Tani
Makmur melalui produksi baby fish, (2) meningkatkan
pengetahuan, ketrampilam petani dalam penerapan Ipteks
Sistim Mina Padi ikan baby fish (sismindi) yaitu waktu
pemeliharaan ikan 30-40 hari yang aman dari resiko
kehilangan ikan akibat kebocoran, rendahnya curahan
tenaga kerja untuk suplai kontinyuitasan air, (3) menjamin
ketersediaan bahan baku baby fish kelompok Mina Usaha
(wisata kuliner organic).
Aplikasi penerapan Ipteks mina padi baby fish
diharapkan : (1) menambah produksi padi organik, (2)
menambah penghasilan baru yaitu produksi baby fish, (3)
meningkatkan kesuburan dan iklim mikro yang dapat
membantu kesuburan tanah dan meningkatkan
produktivitas padi, (4) meningkatkan kesuburan tanah, (4)
menciptakan hubungan kemitraan bisnis yang saling
menguntungkan, (5) pengadaan bahan baku ikan bagi
wisata kuliner organic kelompok Mina Usaha dapat
berjalan secara kontinyu.
II. RANCANGAN DAN METODE
PELAKSANAAN KEGIATAN
Ipteks sismindi ikan baby fish inovatif dirancang
berdasarkan atas hasil kajian teoritik dan hasil uji coba di
lapang. Sistim mina padi menurut Tupan et al (2013)
bahwa sistim budidaya Mina padi merupakan cara
pemeliharaan ikan di sela-sela tanaman padi di sawah;
sebagai penyelang diantara dua musim tanaman padi dan
atau pemeliharaan ikan sebagai pengganti palawija di
persawahan.
Simanjuntak (2013) mengatakan bahwa sistem
budidaya mina padi dapat memperkaya media tanam
dengan pupuk organik dan meningkatkan produksi
188
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
plankton yang menjadi sumber makan ikan, dan itulah
sumbangsih ikan pada usaha tani terpadu ini.
Selanjutnya Montazeri (2012) menyebutkan bahwa
mina padi adalah salah satu teknologi lahan pertanian
untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup sebagai
antisipasi anomali iklim, karena minapadi ini adalah
budidaya terpadu yang dapat meningkatkan produktivitas
lahan sawah, yaitu: peningkatan pendapatan petani
melalui peningkatan produksi padi 10%; peningkatan
keragaman hasil pertanian karena menghasilkan ikan;
meningkatkan kesuburan tanah dan air (mengurangi
pupuk 30%); juga dapat mengurangi hama penyakit
Wereng Coklat pada tanaman padi.
Beberapa hasil penelitian terdahulu membuktikan
bahwa system mina padi akan memberi tambahan
keuntungan petani selama 30 – 40 hari memelihara ikan
di sawah bersama padi sebesar Rp.15.400.000,-/5 ha atau
Rp.3.080.000/ha (Hadi dan Umi Pudji Astuti, 2014).
Selanjutnya hasil penelitian Tiku dan Gilda Vanessa
(2008) membuktikan bahwa dengan produktifitas padi
yang lebih rendah pun, keuntungan mina padi masih lebih
tinggi dari pada non mina padi.
L. Aplikasi Mina Padi baby fish
Saluran pemasukan dan pengeluaran air dibuat, dengan
tujuan untuk mengatur permukaan air di sawah agar tidak
kekurangan atau berlebihan.Saluran pengeluaran air yang
dibuat sebanyak dua buah, yang berguna untuk menguras
air dalam kemalir (legowo) sehingga akan mempermudah
penangkapan ikan pada saat panen dilakukan. Sedangkan
saluran pengeluaran air yang lain berfungsi untuk
mengatur tinggi air yang diinginkan. Kedua saluran ini
dipasang saringan kawat.
N. Pengolahan Tanah Sawah
Pengolahan tanah dimaksudkan untuk menyediakan
media yang baik bagi pertumbuhan tanaman padi
sekaligus untuk pertumbuhan organisme makanan ikan.
Secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Tanah mula-mula dicangkul atau dibajak sampai
kedalaman 20 Cm, kemudian dialirkan air, agar tanah
menjadi sedikit becek. Kemudian di pupuk dengan pupuk
organik, secara merata keseluruh permukaan tanah dengan
dosis 7 ton untuk setiap hektarnya.
2. Setelah padi ditanam, air dialirkan kembali sampai
ketinggian air mencapai lebih kurang 20 Cm, dan
dibiarkan selama 4-7 hari Hal ini untuk memberikan
kesempatan organisme makanan ikan untuk tumbuh.
Setelah 7 hari, benih ikan ditebarkan.
3. Persyaratan, yakni benih ikan sehat, berjenis ikan yang
unggul.
O. Pelaksanaan Program
Gambar 1. Kemalir (Parit Sawah) Tampak dari Samping
M. Persiapan Lahan
Persiapan lahan sistim mina padi baby fish meliputi
kegiatan sebagai berikut :
1. Persiapan Pematang (Galengan) Sawah
Pematang sawah dibuat agak tinggi. Tinggi pematang
berkisar 40 cm, dengan lebar pematang bagian dasar lebih
kurang 50 cm, dan lebar bagian atas 25 cm. Pembuatan
pematang sawah, tidak menggunakan bahan-bahan yang
berasal dari tanaman, karena dikawatirkan membusuk
sehingga dapat menimbulkan kebocoran. Pematang dibuat
dari tanah yang dipadatkan dengan cara menginjakinjaknya, bahkan sebagian ada yang disemen.
2. Pembuatan Selokan atau Kemalir
Pembuatan selokan atau kemalir, dimaksudkan untuk
melindungi ikan dari serangan hama (burung, ular atau
musang air/berang-berang); serta bahaya kekeringan yang
disebabkan oleh penguapan yang tinggi (untuk ngadem,
bhs
Jawa).Selokan
atau
kemalir
ini
dibuat
melintang/horizontal dan sejajar pematang dengan lebar 1
meter serta kedalaman 50-70 cm.
3. Pembuatan Saluran Masuk dan Pengeluaran Air
Tahap pelaksanaan program poduksi baby fish organic
sismindi meliputi (a) tahap identifikasi masalah
melibatkan ketua kelompok tani organic. Bersama
kelompok menentukan lokasi lahan yang kurang produktif
namun terdapat ketersediaan air yang cukup, (b) persiapan
meliputi pengadaan bahan perlengkapan dan alat,
pembuatan sarana pemeliharaan minapadi organik seperti
kemalir dan pelebaran pematang, pemasangan instalasi
pembuangan air,
(c) pelaksanaan program yaitu
penyediaan bibit ikan nila pemeliharaan ikan di sawah
padi organik dengan system mina padi (d) tahap
pengamatan perkembangan ikan dan padi pada sistem
mina padi organik (e) pemanenan dan pemasaran produk
baby fish (f) tahap monitoring dan evaluasi serta
(f) tahap pelaporan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan pengabdian pada masyarakat penerapan
teknologi system mina padi baby fish dilaksanakan pada
bulan April hingga Juli 2016 di lahan sawah padi organic
Pak Muhlis dan Pak Supandi dengan total luas kurang dari
satu hektar. Aplikasi teknologi system mina padi organic
diterapkan secara tumpang sari padi organic dengan ikan
nila hitam dan nila merah.
189
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Kegiatan pengabdian yang dijalankan tidak seluruhnya
diterapkan sesuai ketentuan rencana kegiatan yang telah
diusulkan. Adanya kendala human error, keterbatasan
pihak mitra, keterbatasan dukungan sarana prasarana,
keterbatasan dukungan lingkungan fisik maupun non fisik
maka secara detail akan dilaporkan kegiatan yang telah
dilaksanakan, kendala-kendala yang dihadapi beserta
solusi yang ditempuh.
1. Pada tahap awal tim pelaksana bersama mitra
bersepakat melaksanakan program sesuai kesediaan yang
telah disepakati satu tahun sebelumnya. Pada waktu satu
tahun yang lalu kelompok petani organic Tani Makmur
pada umumnya hanya mendengar informasi sismindi dari
lingkungan sekitarnya namun belum memiliki
pengetahuan, pemahaman tentang gambaran teknis
aplikasi teknologi secara baik. Tim pelaksana melalui
kegiatan pendidikan, pelatihan, diskusi informal,
kunjungan lapangan, bimbingan konsultasi mengenalkan
program sismindi baby fish sebagai program alternative
solusi dari sismindi pada umumnya. Beberapa alat peraga
dipergunakan untuk membantu memudahkan pemahaman
petani mengenai apa, bagaimana, manfaat, kendala yang
mungkin timbul. Kegiatan awal adalah tahap edukasi yang
bertujuan meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
ketertarikan, dan berinisiatif mengadopsi.
2. Tahap selanjutnya adalah koordinasi dengan kelompok
petani padi Tani Makmur untuk menentukan waktu yang
tepat memulai tanam padi dengan system mina padi. Pada
bulan akhir bulan Maret 2016 dilakukan tahap edukasi dan
persiapan pada saat tanaman padi di lahan sawah mitra I
Pak Muhlis (ketua kelompok Tani Makmur) masih belum
dipanen. Kemudian mitra I menentukan tanam padi
selanjutnya pada waktu tanggal 24 April 2016.
Berdasarkan kesepakatan dan kesediaan waktu mitra I
maka dilakukan persiapan dan pengadaan sarana dan
prasarana seperti penentuan waktu pembelian bibit ikan
nila, instalasi paralon, pengolahan lahan, perbaikan
pematang yang rusak, pelebaran pematang, pembuatan
kemalir.
Setelah persiapan sarana prasarana dapat dilakukan
maka mitra I menebar ikan nila sebanyak 15 ribu di lahan
sawah seluas 500 m2. Keberadaan lahan sawah pak
Muhlis berundag-undag dan kurang baik karena posisinya
bersebelahan dengan sumber mata air (sungai) dengan
debit air yang cukup deras apabila hujan turun. Pematang
penahan air sering rusak oleh derasnya aliran air sungai.
Kendala tersebut maka tim pelaksana memutuskan
menebar ikan di petak sebelahnya yang relative aman.
Namun pada beberapa minggu berikutnya pematang yang
sebelumnya rawan longsor ternyata kembali rusak.
Kebocorannya makin lama makin parah sehingga tim
pelaksana memutuskan untuk kembali diperbaiki. Adanya
kesibukan mitra I pada urusan di luar pertanian maka
menurunkan inisiatif perbaikan-perbaikan. Dengan
kondisi demikian maka tim pelaksana melakukan
penambahan personal mitra petani padi organic.
3. Kegagalan mitra I pak Muhlis, maka tim pelaksana
berkoordinasi dengan ketua kelompok petani padi mitra I
dan mitra II untuk diadakan pertemuan kelompok. Akhir
bulan Mei 2016 dilakukan pertemuan anggota kelompok
tani ‘Tani Makmur’. Kegiatan pertemuan dihasilkan
keputusan penambahan mitra petani padi organic yaitu
Bapak Supandi. Bapak Pandi bersedia lahan sawahnya
diterapkan sismindi baby fish. Pada saat itu lahan sawah
Bapak pandi pada tahap persiapan tanam padi. Waktu itu
segera dilakukan persiapan pengadaan instalasi paralon
untuk pemasukan dan pembuangan air, kolam kecil untuk
penempatan awal bibit, pelebaran pematang, pendalaman
kemalir 50 cm, pembuatan kalen 1 m2. Setelah itu
seminggu kemudian baru akan dilakukan penebaran ikan,
setelah tanah dapat mengendap dan air lebih jernih.
Pada Tanggal 3 Juni 2016 penanaman padi di lahan
seluas 350 m2 terdiri dari dua petak sawah. Satu minggu
selanjutnya ditebar bibit ikan nila. Kembali kendala
dihadapi yaitu mitra dalam mendistribusikan ikan (plastic
beroksigen) ke pematang tergelincir karena pematang
berundag-undag dan licin. Sebagian bibit ikan jatuh di
pematang sehingga tim pelaksana segera melakukan
penyelamatan ikan-ikan, namun ada sedikit bibit ikan
yang terlebih dahulu mati sebelum diselamatkan. Jumlah
ikan yang ditebar sebanyak 15.000. 5000 ekor jenis nila
merah dan 10. 000 jenis nila hitam. satu minggu
berikutnya setelah penebaran bibit ikan, mengalami
sedikit masalah. Sumber air sungai yang mengairi sawahsawah dicemari oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Mereka merusak air sungai dengan maksud
menangkap ikan sungai. Pak Supandi cepat tanggap
langsung menutup pintu masuknya air sungai yang akan
masuk ke sawahnya, namun demikian dengan kejadian
tersebut dapat mengganggu ekosistem ikan yang sedang
dipelihara. Pada saat itu ikan di sawah pak Fandi tidak
terkena dampak pencemaran air sungai. Memasuki bulan
Juli 2016, padi sudah mulai tumbuh dengan ikan yang
masih tetap terpelihara.
Hasil Evaluasi Kegiatan Sismindi :
Kelompok tani ‘Tani Makmur’ mengutarakan bahwa
program system mina padi baby fish inovatif dengan masa
pemeliharaan ikan relative singkat merupakan hal baru.
Pada umumnya sistim mina padi yang dikenal adalah
sismindi konvensional. Ada sebagian kecil petani padi
pernah mendengar sistim mina padi konvensional namun
belum memiliki pengalaman atau melihat secara langsung
menanam padi bersama ikan di sawah.
Setelah dilakukan penyuluhan dan edukasi sismindi
dengan teknis masa pemeliharaan ikan lebih singkat maka
mitra I bersedia dan berminat untuk mencoba. Anggota
kelompok lainnya ingin melihat dulu hasil dan
perkembangan program tersebut sebelum melakukan
percobaan.
190
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Percobaan lapang membudidayakan padi beserta ikan
nila merah dan nila hitam diikuti secara antusias mitra baik
Pak Muhlis maupun Pak Pandi. Mitra I berharap
pemeliharaan ikan baby fish dapat mengatasi
permasalahan penurunan produksi hasil panen padi.
Hasil menunjukkan percobaan mina padi ikan baby fish
dihadapkan pada kendala kebocoran yang parah disertai
permasalahan permasalahan hama wereng yang dihadapi
Pak Muhlis semakin parah pada musim tanam saat ini
(April 2016 – akhir bulan Juli 2016). Hasil panen padi
yang diperoleh lebih menurun yaitu 1.3 ton dibandingkan
panen padi sebelumnya yaitu 3.5 ton dari luas lahan 500
m2.
Hasil percobaan pemeliharaan ikan bersama padi pada
Pak Supandi dimulai bulan Juni 2016 hingga kini
menghadapi perubahan musim. Air mulai berkurang.
Ukuran ikan di lahan sawah mulai bertambah dengan air
mulai surut tentunya sangat menarik sangat menarik
perhatian orang. Hal ini mengundang pencurian. Pada
beberapa hari selanjutnya beliau mendapatkan ikan-ikan
peliharaannya mengambang atau pingsan akibat setruman
listrik. Lingkungan sekitarnya tidak memberi dukungan
yang baik bagi kelangsungan dan keamanan ikan di sawah.
Penjagaan yang rutin tidak menjamin keamanan ikan
meski Pak Pandi telah berusaha selalu mengawasi ikan di
sawahnya. Kondisi tersebut maka Pak Pandi berinisiatif
memanen sedikit pada waktu ikan masih berumur lebih
dari 20 hari. Kemudian diambil sedikit demi sedikit hingga
beberapa kali panen ikan baby fish habis. Ikan baby fish
dimanfaatkan mitra untuk dijual dan sebagian untuk
dikonsumsi keluarga.
Mitra I kelompok tani makmur mampu menerapkan
Ipteks sismindi ikan baby fish. Mitra memperoleh manfaat
adanya tambahan pendapatan dari penjualan ikan,
meningkatkan konsumsi ikan keluarga. Selain itu adanya
jalinan hubungan kerjasama usaha antara mitra I Pak
Muhlis dengan mitra II kelompok tani mina usaha Pak
Baedowi dalam hal pengadaan bibit ikan nila.
Kendala yang Dihadapi Selama Kegiatan
1. Lahan yang rusak sangat potensial dapat menurunkan
tingkat keberhasilan pemeliharaan ikan di sawah (padi).
Kebocoran pematang sawah tidak diikuti dengan inisiatif
perbaikan. Ikan hilang karena pematang rusak akibat
aliran arus air sungai tinggi.
2. Perilaku masyarakat yang tidak bertanggung jawab
seperti merusak air sungai sebagai sumber air lahan sawah
sangat potensial merusak lingkungan pertanian. Tindakan
perusakan air sungai berpotensi menurunkan keberhasilan
pemeliharaan ikan baby fish secara tumpang sari dengan
padi organic.
3. Struktur tanah sawah mitra I berundag-undag (tidak
datar) dengan selisih lebih dari 0,5 m sehingga peluang
terjadi kerusakan pematang dan lahan sangat besar.
4. Bibit ikan nila ukurannya lebih besar dari rencana
semula. Rencana semula bibit berukuran 8 mm, berubah
menjadi 2 cm. Hal ini dilatarbelakangi pihak balai
pembibitan ikan Kalisat Jember menjual bibit yang
ukurannya lebih besar.
5. Proses distribusi ikan terjadi kendala. Pada saat
membeli ikan di balai benih ikan menggunakan plastic
yang tidak standar, mudah sobek. Hal ini berdampak
ketika membawa plastic terjadi pecah dan ikan banyak
yang jauh di pematang. Tim pelaksana langsung dan cepat
melakukan penyelamatan ikan-ikan dan segera di tebar di
lahan. Sebagian kecil ikan mati karena tidak cukup waktu
untuk penyelamatan.
6. Tingkat pencurian sangat berpotensi menyebabkan
tingginya kehilangan ikan yang dipelihara.
7. Masalah utama di kalangan petani padi organic adalah
penurunan jumlah produksi gabah. Mitra I Bapak Muhlis
sebelum dilakukan program sismindi baby fish mengalami
penurunan jumlah hasil padi yaitu 3.5 ton dengan luas
tanah 500 m2. Sebelumnya hasil panen padi yang paling
optimum mencapai 4.5 ton. Mitra I Bapak Fandi sebelum
ada kegiatan progam Ipteks sismindi baby fish juga
mengalami penurunan hasil panen padi yaitu sekitar 9
kwintal dari luasan lahan 250 m2. Sebelumnya hasil panen
padi optimum pak Fandi mampu mencapai sekitar 1.3 ton.
Kini pak Fandi mencoba menambah garapan sawah
menjadi 400 m2. Penurunan hasil panen mendorong mitra
I termotivasi mencoba tawaran Ipteks sismindi baby fish.
Adanya program Ipteks sismindi ikan baby fish
diharapkan meningkatkan produktivitas tanah sawah dan
meningkatkan jumlah produksi, namun penerapan Ipteks
sismindi mina padi baby fish belum memberikan dampak
yang signifikan.
8. Hama tanaman padi yang menyerang tanaman padi
mitra I cukup memprihatinkan. Jenis hama yang telah
diamati tim pelaksana IbM sismindi baby fish yaitu jenis
wereng, telur keong. Penyakit tanaman padi yaitu daun
padi menguning. Diantara hama dan penyakit yang
menyerang padi mitra I menunjukkan hama wereng lebih
dominan.
9. Memasuki perubahan musim dari penghujan ke
kemarau menyebabkan air sungai mulai berkurang diikuti
dengan makin sedikitnya air yang dapat digunakan untuk
memelihara ikan di sawah. Keterbatasan lingkungan,
sarana dan prasarana harus dilakukan pembatasan masa
pemeliharaan ikan di sawah. Keberhasilan panen Ikan
baby fish dicapai dengan masa pemeliharaan lebih singkat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Kegiatan Ipteks system mina padi ikan baby fish telah
dilaksanakan melibatkan mitra I sebanyak dua orang dari
kelompok Tani Makmur. Tahap pertama adopsi sismindi
ikan baby fish mengalami kendala kebocoran kemudian
dilanjutkan tahap berikutnya menambah mitra dari
kelompok tani makmur untuk menerapkan Ipteks sismindi
ikan baby fish. Tingginya antusiasme dan intensitas
191
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
penjagaan ikan di sawah, namun adanya kendala
menyusutnya pengairan, rendahnya keamanan ikan di
sawah menyebabkan panen dilakukan lebih awal secara
bertahap.
2. Penyuluhan, pelatihan dan praktik penerapan Ipteks
sismindi ikan baby fish dapat menambah wawasan petani,
minat dan mampu menerapkan.
SARAN
1. Perbaikan prasarana sungai agar tidak meluap dan tidak
mengikis pematang sawah petani.
2. Masyarakat sekitar Desa Lombok Kulon perlu
diberikan penyuluhan (edukasi) perilaku hidup yang
bertanggung jawab dan kewajiban menjaga lingkungan
yang aman dan sehat.
3. Tidak mentoleransi pembelian bibit ikan dengan plastic
yang tidak standar.
4. Pendistribusian ikan dilakukan pada saat tidak hujan
sehingga person berpeluang mudah tergelincir. Hal ini
berdampak pada keselamatan pendistribusian bibit ikan.
5. Penanganan yang serius dari dinas pertanian untuk
membantu menangani hama dan penyakit tanaman padi.
Hal ini dapat membantu peningkatan produksi padi serta
dapat memperkuat dukungan keberhasilan adopsi sismindi
baby fish di masyarakat di masa mendatang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami ucapkan terimakasi kepada Kementrian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai
Program Ipteks bagi Masyarakat usulan tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Pemeliharaan Ikan dengan
Sistem Mina Padi, Departemen Pertania, Balai Budidaya Air
Tawar,
SukabumiIndonesia,Brosur.
http://www.warintek.ristek.go.id/perikanan/Lain%20lain/pelihara
_ikan_mina_padi.pdf
Simanjuntak, Linus. 2013. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis
Usaha Tani Terpadu PATI (Padi, Azolla, Itik dan Ikan). Pola
Pertanian Organik Terpadu Dengan Modal, Buku.
AGROMEDIA, 2013.
Montazeri, Mustafa. 2012. Inovasi Teknologi Minapadi Dalam
Mengurangi Pemanasan Global, Makalah.
Mustafa Montazeri, 2012. Inovasi Teknologi Minapadi Dalam
Mengurangi Pemanasan Global, Makalah.
Hadi, Poerwoko dan Umi Pudji Astuti (2014). Pemeliharaan Ikan
Bersama Padi Di Sawah (Mina Padi), Sebuah Potensi Keuntungan
Ganda Untuk Petani. Litbang pertanian Bengkulu. Proceding:
http://bengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/dokumen/201
4/prosiding13/ikan.pdf
Tiku dan Gilda Vanessia. 2008. Analisa Pendapatan Usaha Tani
Padi Sawah Nenurut System Mina Padi dan System Non Mina
Padi. IPB:Bogor.M. Shell. (2002) IEEEtran homepage on CTAN.
http://www.ctan.org/texarchive/macros/latex/contrib/supported/IEEEtran/
192
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Scale Up Produksi Ripe Banana Chip di UD.
Burno Sari
Nurhayati Nurhayati1*, Eka Ruriani1, Maryanto1
1)
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Jalan Kalimantan 37 FTP Unej, Jember 68121
Alamat Korespondensi: nurhayati.ftp@unej.ac.id
Abstract
Banana chips production was prepared from ripe bananas by using vacuum frying technology. Through dedication to science
and technology for the Community Program (IbM) was done scale up production of ripe banana chips (RBC) using vacumm
fryer capacity of 5kg at UD. Burno Sari Lumajang Regency. The RBC production used ripe banana var Mas. RBC is one kind
of natural and healthy food because without the addition of synthetic food additives such as dyes and sweeteners sugar or
artificial sweeteners. The RBC was prospective to be developed. The results of the economic analysis showed that the
production of RBC using vacumm fryer capacity of 5kg required higher production costs. The benefit cost ratio (B/C) value
of RBC produced by vacuum fryer capacity of 5kg production capacity was 0.98, while the B/C value of RBC produced by
vacuum fryer capacity of 10 kg was 1.16. Based on the estimated 12 times frying, obtained the profit for production using
vacum fryer capacity of 5 kg was Rp 783.400,00 and the profit for production using vacum fryer capacity of 5 kg was
Rp1.743.500,00. The RBC relatively is expensive product so that consumers are fairly limited in the affluent middle to the
upper classes.
Keywords: ripe banana chip/RBC, vacumm frying, banana var Mas, B/C
I. PENDAHULUAN
Pisang dapat ditingkatkan nilai fungsionalnya
dengan mengolahnya menjadi produk olahan pisang
matang berupa kripik buah pisang masak (ripe banana
chip). Produk yang dihasilkan merupakan produk alami
tanpa pemanis dan bahan pengawet yang mudah
aplikasinya di industri kecil dan masyarakat. Masyarakat
tentu sudah tahu dan mengkonsumsi produk olahan
keripik buah yang digoreng vakum seperti keripik apel,
nanas, semangka, melon, nangka dan lain sebagainya.
Akan tetapi keripik pisang dari buah pisang masak yang
digoreng vakum masih merupakan produk baru.
Pembuatan ripe banana chip ini diawali dengan
mengupas kulit buah pisang mas varietas mas kirana pada
kematangan level enam. Level kematangan enam
memiliki karakteristik yang baik untuk diolah dengan
tingkat kemanisan yang optimal tetapi tekstur tidak terlalu
lembek. Varietas tersebut merupkan varietas unggulan
Kabupaten Lumajang untuk pisang jenis banana (buah
pisang meja/dikonsumsi segar). Selanjutnya diambil
bagian daging buahnya dan dibelah menjadi dua bagian.
Kemudian potongan pisang tersebut diberi perlakuan
praproses pembekuan selama minimal enam jam [1].
Selanjutnya digoreng vakum pada suhu 85°C, dengan
tekanan -70 cmHg selama 90 menit [2].
UD. Burno Sari berdiri pada tahun 1996 di desa
Burno Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. UD.
Burno Sari merupakan suatu industri rumah tangga yang
memproduksi keripik dan sale pisang yang selanjutnya
pada tahun 2000 berkembang menjadi usaha dagang
dengan nama UD. Burno Sari [3]. Demi kemajuan
usahanya, UD. Burno Sari akan mengembangkan produk
olahan pisang masak. Akan tetapi upaya tersebut
terkendala oleh terbatasnya pengetahuan dan penguasaan
teknologi penggorengan vakum (vacum frying). Melalui
program Ipteks bagi Masyarakat (IbM) dilakukan scale up
produksi RBC dengan menggunakan alat penggoreng
vakum kapasitas 5 kg.
2. BAHAN DAN METODE
2.1 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan ripe
banana chip (RBC) diantaranya adalah seperangkat alat
penggoreng vakum kapasitas produksi 5kg, spinner,
timbangan, container. Bahan utama RBC adalah pisang
mas pada kematangan level 5-6, minyak sawit merck
SANIA. Sumber energi yang digunakan adalah gas elpiji
untuk kompor dan listrik untuk alat vakum.
193
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
2.2 Proses Operasi Penggorengan Vakum
Deskripsi alat terdiri atas tiga bagian utama yaitu:
badan penggorengan yang terdapat tempat minyak dengan
wadah buah pisang di dalamnya, pompa vakum yang
lengkap dengan bak air, serta kompor sebagai sumber
energy panas. Alat pelengkap lainnya adalah kontrol panas
otomatis jika ada. Akan tetapi alat yang dimiliki mitra
adalah vacumm frying konvensional tanpa pengontrol
panas kompor. Oleh karena itu diharapkan ada inovasi
untuk membeli alat pengontrol panas kompor.
Pengkondisian alat penggoreng vakum dilakukan dengan
menghidupkan alat vakum hingga menunjukkan tekanan
di atas 60 cmHg dan penyetelan(setting) kompor untuk
beroperasi pada suhu 80-90oC.
2.3 Analisis nilai ekonomi
Analisis nilai ekonomi meliputi analisis biaya
produksi, analisis keuntungan dan analisis B/C. Analisis
dilakukan dengan menggunakan metode Hayami [4,5].
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Persiapan Bahan Baku
Pelaksanaan kegiatan IbM dilakukan dengan
persiapan alat dan bahan baku yang meliputi: perbaikan
dan pengkondisian alat vacuum frying, pembelian bahan
baku berupa pisang mas kirana dengan tingkat
kematangan level (pisang masak dengan kulit kuning
merata) dan minyak goreng. Perbaikan dan pengkondisian
alat vacuum frying dilakukan dengan memperbaiki bagian
seal dari alat sehingga mendukung proses pemvakuman.
Pengkondisian alat dilakukan dengan menghidupkan alat
vakum hingga menunjukkan tekanan di atas 60 cmHg dan
penyetelan(setting) kompor untuk beroperasi pada suhu
80-90oC. Gambar 3.1 menunjukkan tahap pengoperasian
alat.
lebih kuning daripada hijau hingga kuning dnegan ujung
hijau. Tingkat kematangan mempengaruhi komposisi
kimia daging pisang seperti kadar pati, kadar gula reduksi,
kadar sukrosa dan suhu gelatinisasi pati. Tingkat
kematangan ditandai dengan perubahan warna kulit pisang
seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Komposisi pati, gula dan suhu gelatinisasi
berdasarkan tingkat kematangan warna kulit pisang [6]
Warna
Kulit
Tahap
1
2
3
4
Hijau
Hijau
Hijau ada kuning
Lebih hijau
daripada kuning
61,7
58,6
42,4
39,8
0,2
1,3
10,8
11,5
1,2
6,0
18,4
21,4
5
Lebih kuning daripada
37,6
12,4
27,9
6
7
Kuning dengan ujung hijau
Kuning sempurna
9,7
6,3
15,0
31,2
53,1
51,9
8
9
Kuning sedikit noda coklat
Kuning banyak noda coklat
3,3
2,6
33,8
33,6
52,0
53,2
Minyak goreng yang digunakan adalah minyak
dengan merk Sania yang diproduksi oleh PT. Wilmar
Nabati Indonesia-Gresik. Komposisi kimia minyak Sania
sudah diketahui seperti yang disajikan pada Tabel 3.2.
Minyak tersebut dibeli dari Indomart Jember sebanyak 42
kemasan 2 liter dengan harga Rp. 23.900,00/kemasan.
Tabel 3.2 Komposisi kimia minyak Sania [7]
Komposisi
Energi
Lemak total
Kadar
130 kkal
14 g
Lemak jenuh
7g
Lemak tak jenuh
7g
Omega 9
Gambar 3.1 Pemanasan alat vacumm frying hingga
tercapai suhu 80-90 oC pada tekanan 70-78 cmHg
Deskripsi alat terdiri atas tiga bagian utama yaitu:
badan penggorengan yang terdapat tempat minyak dengan
wadah buah pisang di dalamnya, pompa vakum yang
lengkap dengan bak air, serta kompor sebagai sumber
energy panas. Alat pelengkap lainnya adalah kontrol panas
otomatis jika ada. Akan tetapi alat yang dimiliki mitra
adalah vacumm frying konvensional tanpa pengontrol
panas kompor. Oleh karena itu diharapkan ada inovasi
untuk membeli alat pengontrol panas kompor.
Pemilihan bahan baku yaitu pisang mas kirana
dilakukan pada tingkat kematangan buah level 5-6 yaitu
Komposisi total karbohidrat (%)
Pati
Gula reduksi Sukrosa
Omega 6
5496
1484
3.2 Produksi Ripe Banana Chip (RBC)
Produksi ripe banana chip dilakukan dengan
lima tahap yaitu pengupasan dan pembelahan,
pembekuan, penggorengan, pengurangan kadar air, dan
pengemasan. Pertama mengupas pisang mas masak dan
dibelah menjadi dua bagian. UD. Burno Sari tidak
melakukan pembelahan tetapi sebelum pisang dikupas
pada kedua ujungnya dipotong selanjutnya bagian tengah
dilubangi dengan menggunakan pipa plong. Hal ini
bertujuan mempertahankan bentuk pisang agar tetap utuh
194
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
dan adanya lubang membujur di bagian tengah mampu
mengoptimalkan transfer panas dariminyak ke bahan
(buah pisang). Namun proses ini menghasilkan bagian
afkir buah sehingga teknologi yang diintroduksikan tim
pelaksana IbM adalah dengan pembelahan (Gambar 3.2).
a
b
Gambar 3.2 Teknik Pengeplongan oleh UD. Burno Sari
(a), Teknik Pengupasan dan Pembelahan yang
Diintroduksikan Tim Pelaksana IbM Universitas Jember
(b)
Tahap selanjutnya adalah pembekuan buah
pisang dengan menggunakan suhu -10 oC selama 30-120
menit. Tahap penggorengan vakum yang dilakukan pada
suhu 80-90 oC dengan tekanan 70-78 cmHg selama 23jam. Sebelum kompor dinyalakan, penggoreng vakum
diisi dengan minyak goreng nabati sebanyak 60 kg untuk
kapasitas alat 5 kg bahan baku. Setelah penggorengan,
produk RBC diangkat dan dikurangi kadar minyaknya
dengan menggunakan teknik sentrifugasi/pemusingan
selama 5-10 menit. Selanjutnya produk siap dikemas dan
dilabel. Tahap produksi RBC seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 3.3.
Buah pisang mas pada level kematangan 5-6
rangka efisiensi penggunaan minyak. Akan tetapi dapat
meningkatkan mutu produk yang dihasilkan berdasarkan
parameter tingkat kerenyahannya. Selama penggorengan
dilakukan pengadukan dengan menggoyangkan wadah
dalam penggorengan dengan menggunakan tuas (Gambar
3.4 c). Penggoyangan cukup dilakukan dua kali frekuensi
tiap 20-30 menit. Jika terlalu sering digoyang maka dapat
merusak penampilan produk (produk ada yang tidak utuh
irisannya/patah). Tahap selanjutnya adalah pengurangan
kadar minyak produk RBC dengan teknik sentrifugasi
menggunakan alat spiner (Gambar 3.4 d dan e). Produk
RBC yang dihasilkan adalah sekitar 26-36% dari berat
awal bahan baku buah pisang yang digunakan (sekitar 1,31,8kg dari 5kg daging buah pisang). Tahap terakhir adalah
penimbangan, pengemasan dan labeling (Gambar 3.4 f).
a
b
c
d
Pengupasan kulit pisang mas masak
Pembelahan menjadi dua bagian
Pembekuan pada suhu -10 oC selama 30-120 menit
Penggorengan pada suhu 80-90 oC dengan tekanan
70-78 cmHg selama 2-3jam
Pengurangan kadar minyak dengan sentrifugasi
Pengemasan dan pelabelan
Gambar 3.3 Tahap produksi ripe banana chip
Gambar 3.4. adalah hasil dokumentasi selama
produksi ripe banana chip. Perbandingan bahan baku
daging buah pisang masak dengan minyak nabati yang
digunakan adalah 1:12 (Gambar 3.4 a dan b).
Perbandingan ini dapat diperkecil hingga 1:7 dalam
e
f
Gambar 3.4 Dokumentasi produksi ripe banana chip di
UD. Burno Sari oleh Tim Pelaksana IbM
3.3 Analisis Biaya Produksi Ripe Banana Chip (RBC)
Biaya produksi secara rinci meliputi biaya untuk
pembelian minyak goreng, bahan baku pisang dan bahan
bakar gas dan listrik. Harga minyak goreng yang
diperoleh adalah harga Rp. 23.300,00/kemasan 2 liter.
Keperluan minyak untuk kapasitas produksi 5kg adalah 32
bungkus. Jadi biaya untuk pembelian minyak goreng
adalah Rp 745.600,00 (32 kemasan x Rp
23.300,00/kemasan).
Bahan baku yang berupa buah pisang mas masak
dengan level kematangan 5-6 adalah Rp 2.500,00/kg. Jadi
biaya untuk pembelian bahan baku adalah Rp 12.500,00
(5 kg x Rp 2.500,00/kg). Minyak dapat digunakan hingga
195
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
12 kali penggorengan. Kebutuhan bahan bakar minyak
adalah Rp 15.000,00 untuk empat kali penggorengan
kapasitas produksi 5 kg dan tiga kali penggorengan untuk
kapasitas produksi 5 kg.
Jika kapasitas produksi adalah 10 kg maka
keperluan minyak adalah 1,5 kali lipat yaitu sekitar 48
kemasan 2 liter atau seharga Rp 1.118.400,00 (48 kemasan
x Rp 23.300,00/kemasan). Kebutuhan bahan baku sebesar
Rp 25.000,00 (10 kg x Rp 2.500,00/kg).
Diduga kapasitas produksi alat yang efisien biaya
adalah jika kapasitasnya 10 kg. Untuk kapasitas 5 kg
sangat
rendah
tingkat
keuntungannya
karena
perbandingan biaya produksi yang cukup tinggi. Perlu
dilakukan analisis keuntungan. Rincian dan entimasi biaya
peroduksi ripe banana chip disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Rincian dan entimasi biaya produksi ripe
banana chip
Jumlah biaya (Rp)
Keperluan
biaya
Jumlah biaya (Rp)
Kapasitas
5 kg
Estimasi
12 kali
penggorengan
Kapasitas
10 kg
Estimasi
12 kali
penggorengan
745.600
745.600
1.118.400
1.118.400
Buah pisang
mas masak
12.500
30.000
25.000
300.000
Bahan bakar
minyak
15.000/4
45.000
1.500
18.000
774.600
836.600
Minyak
goreng
Listrik untuk
satu kali
penggorengan
Jumlah
15.000/3
1.500
1.159.900
60.000
18.000
1.496.400
3.4 Analisis Keuntungan Produksi Ripe Banana Chip
(RBC)
Jumlah produk ripe banana chip yang dihasilkan
untuk kapasistas produksi 5 kg adalah sekitar 1,3 kg – 1,8
kg. Rata-rata jumlah produk ripe banana chip yang
dihasilkan untuk kapasistas produksi 5 kg adalah 1,5 kg
atau 1500 g. Penggorengan vakum RBC untuk kapasitas
10 kg menghasilkan produk RBC sekitar dua kali lipatnya
yaitu rata-rata 3 kg atau 3000 g. Harga penjualan produk
RBC adalah Rp 9.000,00/100 g. Jadi nilai bersih penjualan
produk RBC untuk kapasitas 5 kg adalah Rp 135.000,00
[(1500 g/100 g) x Rp 9.000,00] dan untuk kapasitas 10 kg
adalah Rp 270.000,00 [(3000 g/100 g) x Rp 9.000,00].
Perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya
produksi dihitung secara sederhana dari jumlah
keuntungan dibagi dengan biaya produksi. Rincian dan
entimasi keuntungan peroduksi ripe banana chip disajikan
pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Rincian dan entimasi keuntungan produksi ripe
banana chip
Estimasi 12
kali
penggorengan
Biaya
Kapasitas
5 kg
Produksi
774.600
836.600
1.159.900
1.496.400
Penjualan
135.000
1.620.000
270.000
3.240.000
Keuntungan
B/C
Kapasitas Estimasi 12 kali
10 kg
penggorengan
783.400
1.743.600
0,936
1,165
Kapasitas produksi 5 kg menghasilkan nilai B/C
sebesar 0,936 untuk 12 kali penggorengan. Kapasitas
produksi 10 kg menghasilkan nilai B/C sebesar 1,165
untuk 12 kali penggorengan. Hal ini menunjukkan bahwa
kapasitas produksi 5 kg kurang layak digunakan sebagai
skala produksi, sedangkan kapasitas produksi 10 kg layak
digunakan sebagai skala produksi karena nilai B/C lebih
dari 1. Oleh karena itu kapasitas produksi alat penggoreng
vakum perlu ditingkatkan menjadi alat yang memiliki
kapasitas produksi 10 kg. Jika tidak ingin mengganti alat
dengan kapasitas produksi 10 kg maka perlu dicari strategi
lain. Contohnya adalah dengan menggunakan minyak
goreng dari satu kali curah untuk 24 kali penggorengan
atau dua kali lipatnya dari 12 kali penggorengan. Hal ini
tentu tidak baik untuk menjaga kualitas produk RBC dari
ketengikan.
KESIMPULAN
Produksi RBC dengan alat penggoreng vakum
kapasitas produksi 5 kg memerlukan biaya produksi lebih
besar. Nilai B/C RBC yang diproduksi oleh alat
penggoreng vakum kapasitas 5 kg sebesar 0.98, sedangkan
Nilai B/C RBC yang diproduksi oleh alat penggoreng
vakum kapasitas 10 kg sebesar 1.16. Dengan estimasi 12
kali penggorengan, diperoleh kuntungan produksi alat
penggoreng vakum kapasitas 5 kg sebesar Rp 783.400,00
dan alat penggoreng vakum kapasitas 10 kg sebesar Rp1.
743.500,00.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
DP2M DIKTI atas biaya kegiatan melalui Program
Pengabdian Ipteks bagi Masyarakat Tahun 2014 serta
terima kasih kepada DRPM KEMRISTEKDIKTI atas
dana pengembangan selanjutnya melalui Program CPPBT
(Calon Perusahaan Pemula Berbasis perguruan Tinggi)
Tahun Anggaran 2016.
196
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
DAFTAR PUSTAKA
[1] Nurhayati,Tamtarini, LN Hidayati. 2014. Evaluasi
Sifat-sifat Prebiotik Ripe Banana Chip. [Prosiding]
Seminar Nasional Halal, Nutrition and Food Safety.
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Sebelas
Maret. Surakarta 26 April 2014
[2] Mahanani HA. 2013. Aplikasi Praproses dalam
Pembuatan Ripe Banana Chip. [Skripsi] Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Jember
[3] Handayani, N. 2012. Teknologi Produksi Keripik dan
Sale Pisang di UD. Burno Sari Kecamatan Senduro
Kabupaten Lumajang. [Laporan Kuliah Kerja]
Fakultas Teknolog Pertanian Universitas Jember
[4] Hayami, Y. , Kagawoe, T., Morooka, Y., dan Siregar,
M. 1987. Agriculture Marketing and Processing in
Untad Java Perspective from Sunda Village. Bogor:
CGPRT Centre.
[5] Ibrahim, Y. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
[6] Zhang, P. Whistler, R.L, BeMiller, J.N., Hamake, B.R.
2005. Banana Starch: production, physicochemical
properties, and digestibility-a review. J Carbohy
Polymers. 59: 443-458
[7] PT. Wilmar Nabati Indonesia-Gresik. Produsen
Minyak Sawit Indonesia
197
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
IbM Kelompok Usaha Bersama
Aneka Cemilan “Dua Putera”
Hesti Herminingsih#1, Nita Kuswardhani2*2, Khodijah Hayati3#3
#
Jurusan Agribisnis dan Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini ,Universitas Terbuka-UPBJJ-UT Jember
Jalan Kaliurang No. 2A Jember
1hestih@ecampus.ut.ac.id
3hayati@ecampus.ut.ac.id
*
Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Jalan Kalimantan III Jember
2nita8994@yahoo.com
Abstract
Kelompok usaha bersama KUB Dua Putera adalah kelompok usaha industri rumah tangga yang bergerak dibidang usaha aneka
cemilan. Produk utama yang dihasilkan dari KUB “Dua Putera” adalah prol tape disamping aneka kue kering (nastar keju, nastar
selai nanas, kering kacang, kestengel keju, putri salju, coklat kacang mente, sus keju), dan brownis tape. .Permasalahan terkait
dengan proses produksi yang dihadapi adalah proses produksi masih menggunakan oven skala rumah tangga dengan kapasitas
produksi 15 kg bahan baku/jam tanpa pengatur suhu dan peredam panas. Dampaknya adalah selain kapasitas produksi yang
dihasilkan kecil, hasil oven tidak homogen karena perapian sulit dikontrol. Kesulitan lainny adalah kurangnya kemampuan SDM
mitra dalam pengelolaan manajemen pengendalian stok bahan baku/bahan jadi. Alternatif solusi dari permasalahan tersebut
antara lain 1) untuk kendala produksi diberikan teknologi tepat guna yaitu 1 (satu) unit oven gas skala industri kecil dengan
kapasitas produksi 30 kg bahan baku/jam yang dilengkapi dengan peredam panas dan pengatur suhu; 2) Penyuluhan dan
pendampingan mengenai manajemen pengendalian stok bahan baku/bahan jadi. Kegiatan ini memberikan hasil 1) KUB Dua
Putera dapat meningkatkan kapasitas produksi sebesar 100% dari 15 kg bahan baku/jam menjadi 30 kg bahan baku/jam. 2)
Produk memiliki tingkat kematangan yang merata menandakan proses pemanggangan berjalan sempurna sehingga ualitas bahan
pangan menjadi lebih terjaga dan tahan lama. 3) Secara bertahap mitra sudah menerapkan manajemen persediaan bahan baku
dan bahan jadi sehingga dapat selalu memenuhi permintaan pasar tanpa kesulitan memenuhi kebutuhan akan bahan baku utama
yakni tape.
Kata Kunci; aneka cemilan, industri rumah tangga, KUB Dua Putera, oven gas
I. PENDAHULUAN
A. Analisis Situasi
KUB “Dua Putra” memulai usaha sejak tahun 2001 dan
memiliki anggota 16 orang dengan Nomor P-IRT
3153509490195-19 . Produk utama yang dihasilkan dari
KUB “Dua Putera” adalah prol tape disamping aneka kue
kering (nastar keju, nastar selai nanas, kering kacang,
kestengel keju, putri salju, coklat kacang mente, sus keju),
dan brownis tape. Sesuai dengan jenis produk yang
dihasilkan maka sebagian besar proses produksi KUB
“Dua Putera” adalah baking. Keterbatasan modal yang
dimiliki membuat KUB “Dua Putra” hingga saat ini masih
menggunakan oven tradisional skala rumah tangga dengan
kapasitas produksi + 5 kg bahan baku/jam. Jumlah oven
yang dioperasikan berjumlah 3 buah.
Baking merupakan teknik memasak makanan dengan
panas kering oleh konveksi (penghantar) uap udara panas
di dalam oven. Beberapa oven domestik menggunakan
dua elemen pemanas, satu terletak di bawah untuk baking
dan satunya lagi terletak di atas untuk broiling. Energi
panas di dalam oven tidak menyentuh bahan makanan
secara langsung tetapi melalui udara panas yang dialirkan
dari celahcelah/lubang oven. Oven dapat dipanaskan
dengan api, aliran listrik dan gelombang elektromagnetik
(microwave oven). Makanan yang dipanggang dalam oven
mendapat panas secara tidak langsung dari udara panas
yang dialirkan di dalam oven. Dinding oven tradisional
terbuat dari aluminiun yang dibuat berlapis sehingga
terdapat rongga ditengahnya. Oven tradisional
menampung panas dari perapian, kemudian dialirkan ke
atas melalui rongga yang berada pada dinding oven.
Variasi oven yang digunakan dapat menghasilkan
makanan yang sangat bervariasi (Mulyatiningsih, 2007).
Suhu oven yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
bagian permukaan makanan gosong dan mengeras tetapi
bagian dalam makanan masih mentah. Sebaliknya, apabila
suhu oven terlalu rendah dapat menyebabkan kue yang
198
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
seharusnya mengembang tidak dapat mengembang secara
sempurna. Kelembaban tidak selamanya diperlukan dalam
makanan. Beberapa jenis bahan makanan ada yang
sengaja dikeringkan melalui proses pemanggangan
(Mulyatiningsih, 2007).
Menurut Sawitri (2009), persediaan merupakan salah
satu faktor yang menentukan kelancaran produksi dan
penjualan, maka persediaan harus dikelola secara tepat.
Dalam hal ini perusahaan harus dapat menentukan jumlah
persediaan optimal, sehingga di satu sisi kontinuitas
produksi dapat terjaga dan pada sisi lain perusahaan dapat
memperoleh keuntungan, karena perusahaan dapat
memenuhi setiap permintaan yang datang. Karena
persediaan yang kurang akan sama tidak baiknya dengan
persediaan yang berlebihan, sebab kondisi keduanya
memiliki beban dan akibat masing-masing. Bila
persediaan kurang, maka perusahaan tidak akan dapat
memenuhi semua permintaan sehingga akibatnya
pelanggan akan kecewa dan beralih ke perusahaan
lainnya. Sebaliknya, bila persediaan berlebih, ada
beberapa beban yang harus ditanggung, yaitu :
1. Biaya penyimpanan di gudang, semakin banyak
barang yang disimpan maka akan semakin besar biaya
penyimpanannya.
2. Risiko kerusakan barang, semakin lama barang
tersimpan di gudang maka risiko kerusakan barang
semakin tinggi.
3. Risiko kerusakan barang, barang-barang yang
tersimpan lama akan “out of date” atau kadaluarsa
B. Permasalahan Mitra
Berdasarkan analisis situasi dapat diuraikan beberapa
masalah yang dihadapi oleh KUB Dua Putera dalam
meningkatkan usahanya memproduksi aneka cemilan
yang terjamin ketersediaanya dan berkualitas baik yaitu;
1. KUB Dua Putra masih menggunakan oven skala
rumah tangga yang tidak dilengkapi dengan pengatur
suhu dan peredam panas sehingga selain kapasitas
produksi yang kecil, bahan pangan yang dihasilkan
memiliki tingkat kematangan tidak merata, hasil
baking sering gosong, waktu dan tenaga kerja yang
dibutuhkan dalam proses baking tidak efisien.
2. Manajemen pengendalian persediaan bahan baku dan
produk jadi masih dilakukan berdasarkan pengalaman
pribadi belum merujuk pada standar teori yang ada
sehingga kelompok mitra tidak optimal dalam
menangkap peluang pasar, terutama pada saat
permintaan sedang tinggi.
C. Solusi yang ditawarkan
Berdasarkan
permasalahan
diatas
dan
kesepakatan bersama dengan mitra dirancang beberapa
solusi kegiatan yang mampu meningkatkan KUB Dua
Putera menjadi industry kecil yang semakin profesional.
Adapaun kegiatan yang akan dilakukan dapat diuraikan
sebagai berikut;
1. Perbaikan Terknologi Peralatan Produksi
Teknologi peralatan produksi yang masih
tradisional perlu diperbaiki. Perbaikan teknologi
dilakukan dengan membuat paket teknologi tepat guna
berupa; Peralatan Oven berdimensi 120x70x85 cm dengan
kapasitas 40 kg bahan baku/jam yang dilengkapi dengan
pengatur suhu dan peredam panas untuk meningkatkan
kapasitas dan kualitas produksi KUB Dua Putra.
2. Pelatihan Manajemen Persediaan dan Administrasi
Pelatihan manajemen persediaan sangat perlu
untuk dilakukan kepada seluruh anggota untuk
mendukung keberlanjutan usaha secara umum. Pelatihan
ini bertujuan untuk memperbaiki aspek pengendalian
persediaan barang jadi dan bahan baku utama. Dengan
demikian diharapkan kelompok usaha bersama yang
tergabung dalam KUB Dua Putra dapat menjadi usaha
home industri yang profesional.
II. TARGET DAN LUARAN
Luaran yang ditargetkan dari kegiatan ini adalah sebagai
berikut:
(a) Pertama teknologi tepat guna berupa alat oven untuk
meningkatkan skala produksi (dari + 15 kg bahan
baku/jam menjadi 40 kg bahan baku/jam) dengan
dimensi mesin 120x70x85 cm.
(b) Kedua adalah paket modul panduan yang berisi
petunjuk dan materi manajemen persediaan barang jadi
dan bahan baku
(c) Ketiga adalah publikasi ilmiah jurnal atau seminar
hasil kegiatan untuk sosialisasi keberhasilan dan best
practice.
III. METODE PELAKSANAAN
Metode pelaksanaan kegiatan ini secara garis
besar ada dua tujuan; (1) perbaikan kuantitas dan kualitas
produksi usaha mitra dan (2) peningkatan kemampuan
manajemen pengelolaan usaha yang lebih professional.
Metode pelaksanaan dan proses untuk mencapai target
luaran dari kegiatan ini terdiri dari beberapa tahapan.
Tahap pertama adalah melakukan koordinasi dan
sosialisasi serta sinkronisasi mengenai rencana kegiatan
dengan kelompok usaha mitra. Pada tahap ini semua
potensi dan peluang sumberdaya kelompok ditemukenali
dan dipadukan dalam rangka persiapan pelaksanaan
kegiatan ini.
Tahap Kedua adalah melakukan
199
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
identifikasi dan validasi permasalahan terkait dengan
manajemen produksi dan usaha kelompok mitra
kebutuhan teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi.
Hasil identifikasi tersebut kemudian dijadikan sebagai
acuan dalam pengembangan prototipe alat dan mesin yang
akan diintroduksikan dan materi pelatihan agar teknologi
dan penyuluhan yang dihasilkan nantinya betul-betul
dapat membawa manfaat bagi keberlanjutan usaha
kelompok mitra serta dapat diinternalisasikan dalam
proses adopsi. Beberapa faktor yang dijadikan
pertimbangan antara lain kapasitas produksi yang
diinginkan, kapasitas alat dan mesin yang dibutuhkan,
ketersediaan daya listrik, dan tingkatan teknologi yang
dibutuhkan.
Tahap ketiga adalah perancangan dan perakitan
alat dan mesin yang sesuai dengan kebutuhan teknologi di
tingkat kelompok mitra dan pembuatan modul berisi
materi penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan
kelompok mitra. Setelah perakitan selesai kemudian
dilakukan pengujian lapang bersamaan dengan demo dan
sosialisasi penggunaan alat dan mesin di tingkat kelompok
mitra. Tahap keempat adalah kegiatan dengan
penyuluhan dan pendampingan mengenai manajemen
usaha agar penguatan kelompok dapat berjalan sesuai
dengan target dan kesepakatan bersama mitra. Metode
yang dipilih disesuaikan dengan kondisi sosial dan
kemampuan serta waktu yang dimiliki anggota seperti
diskusi bersama, presentasi maupun metode learning by
doing santai tanya jawab yang penting semua dapat
berjalan lancar.
Secara rinci jadwal kegiatan IbM dapat dilihat
pada Tabel I berikut ini.
Tabel I.
Jadwal Kegiatan IbM
No
Jenis Kegiatan
1
Koordinasi
antara anggota
Tim pelaksana
dengan pihak
mitra
Pembuatan
oven gas skala
industri kecil
Persiapan
kegiatan
pelatihan dan
demo oven gas
Pelaksanaan
pelatihan 1.
manajemen
persediaan
bahan baku dan
bahan jadi 2.
Pedoman
penggunan dan
perawatan oven
2
3
4
Waktu
Pelaksanaan
01 April 2016
- 31 Mei 2016
Hasil
Kesepakatan
rencana kegiatan
dan bentuk
partisipasi mitra
06 Juni 2016 –
27 Juni 2016
Tersedia oven gas
skala industri kecil
12 Juli 2016 18 Juli 2016
Tersedianya kit
pelatihan dan bahan
pendukung
pelatihan lainnya
Mitra memahami
dan menerapkan
hasil pelatihan serta
memiliki
kemampuan
mengoperasikan
dan merawat alat
21 Juli 2016
5
6
7
8
9
Serah terima
oven gas
Pendampingan
manajemen
dengan mitra
Evaluasi
kegiatan
dengan mitra
Penulisan
artikel
Pembuatan
laporan akhir
22 Juli 2016
31 Juli 2016 25 Sept 2016
Berita acara serah
terima alat
Mitra dan alat dapat
bekerja dengan baik
28 Agt 2016 23 Okt 2016
Laporan evaluasi
kegiatan
21-25
November
2016
28 Nov 2016 09 Des 2016
Artikel penelitian
Laporan akhir
kegiatan IbM
IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
A. Kinerja Abdimas Universitas Terbuka
Sejalan dengan visi dan misi UT dan Renstra
bidang abdimas UT diarahkan kepada program
pemberdayaan masyarakat baik yang bersifat lokal
maupun nasional. Program abdimas UT meliputi
kegaiatan antara lain peningkatan indeks pembangunan
manusia (Human Development Index), penghijauan,
kewira-usahaan, kegiatan yang mendukung program
pemerintah yang dilaksanakan dalam bentuk program
pemberdayaan masyarakat di Jabodetabek dan UPBJJ-UT.
Selain itu, dalam upaya meningkatkan daya jangkau
layanan abdimas, UT juga menyelenggarakan program
SUAKA-UT dan Massive Open Online Course (MOOCs),
serta membantu pemerintah dalam penyelenggaraan Ujian
Nasional sekolah menengah.
1. Program Pemberdayaan Masyarakat (skala lokal)
Program Pemberdayaan Masyarakat sampai tahun 2014
telah melibatkan 77 komunitas masyarakat di wilayah
Jabodetabek dan 87 komunitas di wilayah UPBJJ-UT.
2. Program Penghijauan (skala nasional)
Program Penghijauan sampai tahun 2014 telah
dilaksanakan di 17 wilayah UPBJJ-UT dengan jumlah
pohon yang ditanam sebanyak kurang lebih 320.000
pohon baik mangrove maupun tanaman keras lokal.
Program penghijauan ini akan terus dilakukan sejalan
dengan gerakan UT Go Green yang dicanangkan sejak
tahun 2010 dan sebagai wujKUB dukungan UT dalam
mensukseskan gerakan menanam satu milyar pohon oleh
pemerintah.
3. Sumber Pembelajaran Terbuka - Universitas Terbuka
(SUAKA-UT)
SUAKA-UT berupa materi pembelajaran dari adopsi
creative commons dengan berbagai topik yang dapat
diakses secara gratis oleh masyarakat luas. Sejak tahun
2010 layanan ini telah diakses oleh lebih dari 500.000
pengunjung.
4. Massive Open Online Course (MOOCs)
MOOCs berupa materi pembelajaran berbagai topik yang
ditawarkan kepada seluruh masyarakat yang ingin
memperoleh pengetahuan secara gratis dan terbimbing.
200
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pembimbingan MOOCs dilakukan dalam bentuk tutorial
online. Sejak ditawarkan pada Maret 2014 telah diikuti
kurang lebih 3.900 orang untuk 14 courses.
5. Pemantauan Ujian Nasional Sekolah Menengah
UT terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan abdimas
pemantauan Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/ SMK/
MA/Paket C di bawah koodinasi Dinas Pendidikan
Provinsi Banten. UT terlibat di dalam kegiatan tersebut
setiap tahun dan sampai saat ini kurang lebih 210 sekolah
di wilayah Banten.
B. Kepakaran Tim
Jenis kepakaran yang diperlukan dalam kegiatan ini
meliputi beberapa jenis kepakaran atau keahlian. Jenis
keahlian yang dibutuhkan yaitu: (1) bidang rekayasa
teknologi dan
(2) bidang manajemen. Dengan
demikian untuk menjamin keberhasilan program, maka
keanggotaan tim pengabdi ini terdiri dari beberapa dosen
dengan bidang keahlian yang dibutuhkan serta dibantu
oleh beberapa mahasiswa dan teknisi. Tim pelaksana
kegiatan terdiri dari 3 dosen dengan kualifikasi multi
disiplin ilmu. Ketua tim dijabat oleh Hesti Herminingsih,
SP.MP dosen jurusan Agribisnis dengan bidang keahlian
Agribisnis. Beliau memiliki keahlian dalam manajemen
agribisnis, penyuluhan pertanian dan memiliki
kemampuan dalam membuat produk pangan yang sesuai
dengan keinginan pasar. Pelaksana Anggota I adalah Dr.
Nita Kuswardhani, STP. MSc Dosen Jurusan Teknologi
Pengolahan Hasil Pertanian Universitas Jember dengan
keahlian teknik pertanian. Tanggungjawab Ketua dan
Anggota I dalam kegiatan ini adalah Teknologi Tepat guna
Oven Gas Skala Industri. Pelaksana Anggota II adalah Dr.
Khodijah Hayati, M.Pd, dosen jurusan Pendidikan Anak
Usia Dini. Beliau memiliki keahlian dalam teknologi
pembelajaran, selain itu juga memiliki skill dalam bidang
manajemen
sehingga
sangat
kompeten
dalam
bertanggungjawab kegiatan pelatihan manajemen
pengendalian stok bahan baku dan bahan jadi/siap jual.
Dengan demikian skill yang dimiliki oleh tim pelaksana
kegiatan Ipteks ini sangat relevan dengan kegiatan yang
akan dilaksanakan. Sehingga dengan keahlian tersebut
dapat menunjang terlaksananya kegiatan dengan baik.
IV. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini adalah berupa
modul pelatihan manajemen persediaan bahan baku/bahan
jadi dan alat oven gas sebagaimana yang tersaji pada
Gambar 3 berikut ini;
Gambar 1. Alat Oven Gas
Setelah mitra mengoperasikan alat oven gas dan
kemudian dilakukan evaluasi terhadap proses produksi
diperoleh hasil peningkatan kapasitas produksi sebesar
100%. Dari sebelumnya kapasitas produksi 15 kg bahan
baku/jam menjadi 30 kg bahan baku/jam. Peningkatan
kapasitas produksi ini tentunya juga meningkatkan
pendapatan dari mitra. Selain itu, kualitas produksi juga
meningkat dikarenakan suhu yang dapat dikontrol dan
perapian yang merata. Secara perbedaan hasil antara
sebelum dan sesudah IbM secara rinci dapat dilihat pada
Tabel II berikut ini;
Tabel II
Kondisi KUB Dua Putera Sebelum dan Sesudah IbM
No
Sebelum IbM
Sesudah IbM
1. Oven Gas Skala Industri
1
Hasil pangan memiliki
tingkat kematangan tidak
merata (permukaan sudah
matang bagian tengah masih
mentah) karena perapian
yang tidak merata dan tidak
dilengkapi dengan pengatur
suhu
Hasil pangan memiliki
tingkat
kematangan
merata karena perapian
merata dan dilengkapi
dengan pengatur suhu
2
Kapasitas produksi 14.3 kg
bahan baku/jam (3 oven
skala rumah tangga @ 5 kg
bahan baku/jam)
Kapasitas produksi 30
kg bahan baku/jam. (1
oven skala industri)
3
4
2. Pelatihan Manajemen Pengendalian Persediaan
Bahan Baku dan Bahan Jadi
Mitra tidak dapat
Mitra dapat
melaksanakan manajemen
melaksanakan
pengendalian bahan baku
manajemen
pengendalian bahan
baku
Mitra tidak dapat
Mitra dapat melakukan
melakukan manajemen
manajemen
pengendalian bahan jadi
pengendalian bahan jadi
5
Sering kesulitan mencari
bahan baku terutama saat
permintaan produk sedang
tinggi
6
Sering terjadi
kelebihan/kekurangan stok
Tidak kesulitan dalam
mencari bahan baku
terutama saat
permintaan sedang
tinggi
Stok cukup
201
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
No
Sebelum IbM
Sesudah IbM
7
Ditemukan produk yang
belum laku yang sudah
lewat tanggal kadaluarsa
Tidak ditemukan
produk yang belum laku
yang sudah lewat
tanggal kadaluarsa
V. KESIMPULAN
Dari kegiatan IbM yang sudah dilaksanakan dapat
disimpulkan bahwa KUB Dua Putera dapat meningkatkan
kapasitas produksi sebesar 100% dari 15 kg bahan
baku/jam menjadi 30 kg bahan baku/jam. Dengan
demikian, peningkatkan kapasitas produksi ini KUB Dua
Putra dapat meningkatkan pendapatan usaha mitra.
Produk memiliki tingkat kematangan yang merata
menandakan proses pemanggangan berjalan sempurna.
Tekstur bahan pangan yang dihasilkan juga terlihat lebih
lembut dan kenyal. Kualitas bahan pangan menjadi lebih
terjaga dan tahan lama.
Secara bertahap mitra sudah menerapakan manajemen
persediaan bahan baku dan bahan jadi sehingga dapat
selalu memenuhi permintaan pasar tanpa kesulitan
memenuhi kebutuhan akan bahan baku utama yakni tape.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktorat Riset
dan Pengabdian kepada Masyarakt Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai
kegiatna ini melalui Program Pengabdian kepada
Masyarakat Mono Tahun Ipteks Bagi Masyarakat (IbM)
Tahun Anggaran 2016 Nomor 23700/UN31.2/PM/2016
Tanggal 11 Juli 2016.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
Sawitri, D. (2009). Perancangnan Sistem Informasi Manajemen
Persediaan Barang “Electrolux Authorized Service CV
Momentum
Teknik.
Artikel
[Online].
Tersedia:
http://www.gunadarma.ac.id..
Mulyatiningsih, E. (2007). Diktat: Teknik-Teknik Dasar
Memasak. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
[Online]. Tersedia : staff.uny.ac.id.
202
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Peningkatan Produktivitas Ternak Domba:
Peternakan Domba di Daerah Perkebunan Tebu
Kabupaten Bondowoso dengan Pembuatan
Pakan Komplit Bermutu Sistem Drum
Berbasis Limbah Pucuk Tebu
Suci Wulandari1*, Merry Muspita DU2*, Nurkholis3*
1suci_ndariwulan@yahoo.com
2
merry.mdu@gmail.com
3
nur78.nk@gmail.com
*
Jurusan Peternakan , Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip PO BOX 164. Jember
Abstract
Kelompok tani “Kalitapen Jaya” (Mitra I) dan “Sekar Taruna” (Mitra II) merupakan dua kelompok tani di Kecamatan Tapen,
Kabupaten Bondowoso yang mempunyai kegiatan usaha berternak domba. Kesulitan dalam mendapatkan rumput pada musim
kemarau, dan ketidak tahuan para anggota kelompok terhadap manfaat pucuk tebu sebagai bahan pakan yang kesediaannya
cukup melimpah di Kabupaten Bondowoso menunjukkan bahwa daerah tersebut sangat memerlukan transfer teknologi dengan
mengadopsi teknologi pakan melalui program IbM. Tujuannya adalah memberikan transfer teknologi ’Pembuatan pakan komplit
bermutu sistem drum berbasis pucuk tebu untuk meningkatkan produktivitas ternak domba yang merupakan mata pencaharian
anggota kelompok mitra. Target yang ingin dicapai melalui kegiatan IbM ini antara lain sebagai berikut: 1)Adanya peningkatan
wawasan, pengetahuan dan ketrampilan mengenai teknologi pengolahan pakan ternak bermutu dari para peternak domba mitra
dengan memanfaatkan bahan pakan lokal yang cukup melimpah pada musim panen, yaitu pucuk tebu; 2)Tersedia 1 unit mesin
pencacah tebu (chopper) kapasitas 100 kg/jam dan 2 buah drum plastik kapasitas 60 liter sebagai stimulir dalam pengembangan
usaha ternak domba; 3)Produk pakan komplit bermutu dan awet berbasis limbah pucuk tebu dalam kemasan drum, yang
ketersediannya sepanjang tahun; 4)Adanya peluang untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan, dengan usaha pakan komplit
dalam kemasan drum dengan sistem isi ulang, guna memenuhi kebutuhan pakan ruminansia di daerah lain, terutama pada musim
kemarau.
Untuk dapat mewujudkan program IbM tersebut akan dilakukan tahapan pelaksanaan kegiatan sebagai berikut: a)Persiapan
yaitu sosialisasi kegiatan pada anggota mitra; b)Penyuluhan dengan materi ‘Pembuatan Pakan Komplit Bermutu Sistem Drum
Berbasis Limbah Pucuk Tebu’; c) Pelatihan Pembutan ‘Pakan komplit bermutu sistem drum berbasis limbah pucuk tebu’dan
Demo Alat Chopper Pucuk Tebu; e)Evaluasi kegiatan dilaksanakan setelah selesai kegiatan pelatihan. Evaluasi ini dimaksudkan
untuk perbaikan kegiatan kami selanjutnya (masih 30% lagi). Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan ini adalah: 1)Kegiatan
pengabdian ini mendapat respon positip dari kelompok peternak, 2)Produk yang dihasilkan dalam program pengabdian ini adalah
teknologi pembuatan pakan komplit dengan sistem drum, dan didukung alat chopper pucuk tebu, dan 3) Terjalin hubungan yang
baik antara tim IbM dengan mitra, dengan selalu menjalin komunikasi dan koordinasi.
Kata kunci: Pakan komplit, pucuk tebu, sistem drum, domba, daerah perkebunan
Bab I. Pendahuluan
A. Analisis Situasi
Tebu merupakan salah satu komoditas strategis
unggulan nasional untuk tanaman perkebunan. Hal ini
dalam mendukung program pemerintah dalam rangka
menuju swa sembada gula nasional. Jawa Timur
merupakan propinsi yang
memberikan kontribusi
tertinggi dalam menghasilkan produk gula tebu secara
nasional yaitu sekitar 51,38%. Produksi tebu Jawa Timur
tahun 2012 sebesar 1.252.788 ton (Dinas Perkebunan
203
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Pemerintah Propinsi Jawa Timur, 2014). Salah satu daerah
penghasil tebu tersebut adalah Kabupaten Bondowoso.
Sebetulnya limbah tebu yaitu pucuk tebu dapat
digunakan sebagai bahan pakan sebagai pengganti
hijauan, terutama untuk ternak ruminansia seperti domba.
Pucuk tebu mengandung protein kasar (PK) 5,6% dan
energi TDN sebesar 54,1% (Dinas Peternakan Propinsi
Jawa Timur, 2012). Pemanfaat limbah pucuk tebu secara
langsung sebagai pakan ternak mempunyai faktor
pembatas karena mengandung selulosa dan lignin yang
tinggi sehingga menyebabkan kecernaan yang rendah,
juga kandungan protein kasar yang rendah. Untuk itu
perlu suplementasi dengan bahan pakan lain agar
kandungan nutrisi meningkat. Peningkatan kecernaan
dilakukan proses fermentasi anaerob menggunakan
fermentor yang mengandung mikrobia pendegradasi
serat. Teknologi yang sesuai untuk menurunkan faktor
pembatas tersebut adalah fermentasi pakan komplit.
Keunggulan perlakuan dengan fermentasi adalah
selain dapat digunakan untuk peningkatan nilai nutrien
produk juga dapat digunakan sebagai produk awetan yang
dapat mengatasi masalah kontinyuitas pakan dimusim
kemarau.
Hasil
penelitian
Wulandari
(2014)
menunjukkan bahwa perlakuan fermentasi limbah pod
kakao secara anaerob dengan penambahan fermentor dan
diperam
selama enam hari dapat meningkatkan
kecernaan pod kakao, hal ini nampak dari hasil photo
scanning electron microscope (SEM) terjadinya
pembengkakan dinding sel dari pod kakao bagian terluar.
Pembengkakan jaringan ini dikarenakan masuknya cairan
ke dalam sel. Menurut Church dan Pond (1988) bahwa
bahwa pengolahan terlebih dahulu dalam ransum ternak
ruminansia dapat merenggangkan ikatan lignoselulosa
sehingga menjadi lebih mudah dicerna.
Fermentasi menggunakan silo berupa drum
mempunyai keunggulan dalam hal penyimpanan dan
pendistribusian ke desa lain atau propinsi lain yang
kekurangan bahan pakan pada musim kemarau, dan jika
pakan komplit telah habis dapat dilakukan isi ulang. Hal
ini selain meningkatkan produktivitas ternak domba milik
mitra, juga dapat menambah usaha baru dalam bidang
penyediaan pakan ternak ruminansia.
B. Permasalahan Mitra
Kelompok tani “Kalitapen Jaya” (Mitra I) dan “Sekar
Taruna” (Mitra II) merupakan dua kelompok tani di
Kecamatan Tapen, Kabupaten Bondowoso yang
mempunyai kegiatan usaha berternak domba. Mitra I
mempunyai 40 ekor domba dari 2 orang anggota. Mitra II
mempunyai 30 ekor domba dari 10 orang anggota. Sistem
pemeliharaan adalah sistem gaduh, satu induk nyetor dua
anak lepas sapih. Kesulitan dalam mendapatkan rumput
pada musim kemarau, telah mendorong anggota
kelompok menggunakan bahan pakan alternatif seperti
batang pisang sebagai pengganti hijauan dan bahan pakan
tambahan dari limbah pertanian dan perkebunan seperti
kulit kacang dan kulit kopi, namun pengolahannya pun
masih belum mengadopsi teknologi pakan yang baik.
Ketidak tahuan para anggota kelompok terhadap manfaat
pucuk tebu sebagai bahan pakan yang kesediaannya
cukup
melimpah
di
Kabupaten
Bondowoso,
menunjukkan bahwa daerah tersebut sangat memerlukan
transfer teknologi dengan mengadopsi teknologi pakan
melalui program IbM dengan pembuatan pakan komplit
berbasis pucuk tebu yang cukup baik kualitasnya agar
pertambahan berat badan domba dapat mencapai 1 – 2
kg/minggu/ekor.
Politeknik Negeri Jember merupakan lembaga
pendidikan tinggi yang memiliki staf dosen yang
membidangi nutrisi dan makanan ternak, serta dosen
bidang managemen dan kewirausahaan memiliki
tanggung jawab untuk ikut serta membantu dalam
peningkatan produktivitas domba yang dipelihara oleh
anggota kelompok tani “Kalitapen Jaya” dan “Sekar
Taruna” dalam upaya pengembangan usahanya melalui
penyediaan pakan domba bermutu dengan memanfaatkan
bahan pakan lokal yang murah. Adopsi teknologi pakan
yang akan diberikan meliputi pengetahuan mengenai
pucuk tebu dan bahan pakan lokal lain, pengendalian
mutu pakan dan managemen usaha peternakan domba
yang menguntungkan. Menurut Wahju (1997) bahwa
pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin
keuntungan maksimum, tetapi pertumbuhan yang baik
dan diikuti dengan efisiensi pakan yang baik pula, serta
biaya pakan yang minimal akan mendapatkan keuntungan
yang maksimal.
Bab II. Target dan Luaran
A. Target
Target yang ingin dicapai melalui kegiatan IbM ini
adalah sebagai berikut:
1. Adanya peningkatan wawasan, pengetahuan dan
ketrampilan mengenai teknologi pengolahan pakan
ternak bermutu dari para peternak domba mitra
dengan memanfaatkan bahan pakan lokal yang cukup
melimpah pada musim panen, yaitu pucuk tebu.
2. Tersedia 1 unit mesin pencacah tebu (chopper)
kapasitas 100 kg/jam dan 2 buah drum plastik
kapasitas 60 liter sebagai stimulir dalam
pengembangan usaha ternak domba.
3. Produk pakan komplit bermutu dan awet berbasis
limbah pucuk tebu dalam kemasan drum, yang
ketersediannya sepanjang tahun.
4. Adanya peluang untuk mengembangkan jiwa
kewirausahaan, dengan usaha pakan komplit dalam
kemasan drum dengan sistem isi ulang, guna
memenuhi kebutuhan pakan ruminansia di daerah
lain, terutama pada musim kemarau.
B. Luaran
Luaran yang didapat melalui kegiatan IbM ini adalah:
produk pakan komplit bermutu berbasis limbah pucuk
204
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
tebu yang awet dan aplikatif. Kelebihan produk ini selain
sebagai pemanfaatan produk limbah lokal, juga mudah di
distribusikan ke daerah lain karena dikemas dalam drum
plastik kapasitas dengan kandungan protein kasar 11 –
12% dan TDN 60 – 70%. Pakan dapat disimpan dalam
waktu lama sampai digunakan untuk musim kemarau
tahun berikutnya, dan mudah dalam penyimpanannya.
Hal ini dikarenakan dikemas dalam drum plastik yang
kuat. Produk ini sangat efeisien dikarenakan berbahan
baku lokal dan dapat dibuat dengan sistem isi ulang
selama drum masih tidak mengalami kebocoran.
Penerapan teknologi pakan komplit berbasis pucuk tebu
ketika diberikan kepada domba akan meningkatkan
produksi ternak, efisien pakan, praktis dalam pemberian
dan penyimpanan, serta ramah lingkungan.
Bab III. Metode Pelaksanaan
Produktivitas domba yang rendah sangat dirasakan oleh
anggota kelompok tani Mitra, seperti pertumbuhan berat
badan domba yang rendah sehingga nampak lebih kecil
dan kurus. Produktivitas domba yang rendah disebabkan
oleh karena penyediaan pakan yang berkualitas, dan
kandungan nutrisi seimbang belum teraplikasikan. Usaha
pembuatan pakan dengan memanfaatkan sumber bahan
lokal berbasis limbah pertanian sudah dilakukan, namun
karena pengetahuan yang kurang tentang teknologi pakan
maka hasil pakan yang berkualiatas masih belum
didapatkan. Anggota kelompok menyadari bahwa untuk
kegiatan usaha dan pengembangan usahanya perlu adopsi
pengetahuan dan ketrampilan mengenai teknologi pakan.
Melalui program IbM ini Politeknik Negeri Jember
memberikan solusi dengan memberikan program pakan
komplit sistem drum. Pakan komplit merupakan pakan
yang cukup mengandung nutrien untuk ternak dalam
tingkat fisiologis tertentu yang dibentuk dan diberikan
sebagai satu-satunya pakan yang mampu memenuhi
kebutuhan hidup pokok dan produksi tanpa tambahan
substansi lain kecuali air (Hartadi et al., 2005). Pucuk tebu
yang banyak tersedia saat panen tebu yang bertepatan
dengan musim kemarau (antara bulan juni – september)
dimanfaatkan sebagai pengganti hijauan yang
pemanfaatannya sampai sekitar 40 – 50% dari total pakan.
Kekurangan nutrisinya ditambahkan dengan daun lamtoro
dan konsentrat yang terbuat dari bahan lokal antara lain
terdiri dari kulit kacang, dan dedak halus. Premik
diperlukan sabagai sumber mineral. Pakan kumplit dibuat
dengan kandungan protein kasar (PK) sekitar 11-12% dan
energi TDN sekitar 60% (Ranjhan, 1981).
Pakan komplit yang dibuat dalam silo berupa drum
mempunyai beberapa keunggulan yaitu: Dapat disimpan
dalam waktu lama dengan kualitas yang dapat
dipertahankan; Dapat diisi ulang, sehingga selain dapat
digunakan sendiri juga dapat didistribusikan ke daerah
lain, dan menjadikan usaha tambahan baru bagi anggota
mitra; Kebersihan lingkungan terjaga. Untuk dapat
mewujudkan program tersebut telah dilakukan tahapan
pelaksanaan kegiatan IbM sebagai berikut:
1)Persiapan : Sebelum dilakukan kegiatan, tim IbM
melakukan sosialisasi pada anggota mitra sekaligus
menginventarisasi bahan pakan lokal selain pucuk tebu
untuk kelengkapan nutrisinya.
2)Penyuluhan dan pelatihan :
Materi penyuluhan dan pelatihan adalah mengenai
pucuk tebu dan bahan pakan lokal lain, menyusun ransum
dan
managemen
pemeliharaan
domba,
serta
kewirausahaan. Setelah mengikuti penyuluhan dan
pembekalan ini diharapkan peternak dapat memanfaatkan
potensi bahan pakan lokal yang belum termanfaatkan dan
kesediannya cukup melimpah seperti pucuk tebu untuk
digunakan sebagai pakan secara benar dengan
memperhatikan kualitas nutrisi dan cara pemberian yang
benar. Peternak juga mempunyai jiwa kewirausahan
dengan mengembangkan usaha lain seperti produksi
pakan komplit sistem drum yang dapat diisi ulang, untuk
mencukupi kekurangan pakan di daerah lain.
3)Pemberian bantuan peralatan pendukung :
Pemberian bantuan berupa satu unit alat pencacah
pucuk tebu (chopper) dan drum sebagai silo dalam
pembuatan pakan komplit. Pemberian bantuan alat ini
dimaksudkan untuk menstlimulir para anggota mitra
untuk mengembangkan usaha peternakannya yang
dimiliki, setelah mengetahui dan mampu mempraktekkan
sendiri dan mendapatkan keuntungan usahanya.
Pembuatan pakan komplit berbasis limbah pucuk tebu
sistem drum.
4)Pembutan ‘Pakan komplit bermutu sistem drum
berbasis limbah pucuk tebu’: Pucuk tebu dicacah
menggunakan chopper dengan ukuran sekitar 5 cm
kemudian dicampur dengan daun lamtoro, konsentrat
yang dibuat dari bahan lokal antara lain seperti kulit
kacang, dan dedak halus.
Fermentor EM4 yang telah diaktifkan dalam larutan
tetes 2% selama 2 jam, dicampurkan sambil diaduk.
Ditambahkan air sampai kondisi pakan nampak lembab
(kadar air sekitar 40%).
Setelah tercampur merata, dimasukkan dalam drum
plastik sampai dipadatkan agar tercapai kondisi anaerob.
Ditutup rapat dan diperam minimal selama enam hari.
Pakan yang dihasilkan akan tetap awet dan kualitas
terjaga selama tidak mengalami kebocoran drum silo.
5)Evaluasi : Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui
kekurangan dan kelebihan terhadap kegiatan yang telah
dilakukan dalam rangka untuk menetapkan rekomendasi
terhadap kelangsungan dan pengembangan kegiatan
berikutnya.
Bab IV. Kelayakan Perguruan Tinggi
Politeknik Negeri Jember sebagai lembaga pendidikan
tinggi dituntut untuk melakukan Tridarma Perguruan
205
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Tinggi, salah satunya adalah pengabdian kepada
masyarakat. Politeknik Negeri Jember untuk mewadahi
kegiatan staf dosennya dalam kegiatan pengabdian
kepada masyarakat telah memiliki Pusat Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M). Kinerja P3M
dalam program pengabdian kepada masyarakat tahun
2015 yang diterima yaitu Program IbM 20 judul dengan
jumlah dana sekitar Rp. 1 miliar rupiah dari sumber dana
DP2M, sedangkan pengabdian dana perguruan tinggi
mandiri mencapai 50 judul dengan jumlah dana sekitar
Rp. 500.000.000 (P3M).
Bab V. Hasil dan Luaran yang Dicapai
A. Persiapan
Dalam pelaksanaan kegiatan ini, tim IbM
melakukan diskusi, meminta masukan dan saran kepada
ketua kelompok dan beberapa perwakilan anggota
sebelum dimulai kegiatan pengabdian. Hal ini dilakukan
agar teknologi yang akan kita terapkan betul-betul
diaplikasikan oleh mitra. Dari hasil koordinasi ini
disepakati, penekanan materi dan praktek yang akan
diberikan, disesuaikan dengan kebutuhan mitra, juga
kesepakatan mengenai waktu/jadwal antara mitra dan
pihak kami sebagai tim yang akan melaksanakan
kegiatan pengabdian.
Penyediaan bahan baku pakan, seperti pucuk tebu,
bahan pakan lokal sebagai pendukung dalam pembuatan
pakan komplit seperti konsentrat dan daun lamtoro, tong
dan plastik gulung sebagai silo (tempat fermentasi pakan
komplit) disediakan dan dibelanjakan oleh Mitra. Hal ini
agar dapat menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung
jawab dari anggota mitra terhadap kelancaran acara
penyuluhan tersebut.
B. Penyuluhan
Materi penyuluhan tentang ‘Pembuatan Pakan
Komplit Bermutu Sistem Drum Berbasis Limbah
Pucuk Tebu’ pada tanggal 11 Agustus 2015. Pada
saat pelaksanaan kegiatan penyuluhan, nampak
bahwa kelompok peternak Kalitapen Jaya dan Sekar
Taruna sangat antusias dalam mengikuti penyuluhan.
Hal ini dikarenakan program yang kami berikan
disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan
masyarakat.
Selama penyuluhan berlangsung, dapt diketahui bahwa
para peserta belum mengetahui bahwa pucuk tebu dapat
digunakan sebagai pengganti rumput, sedangkan daerah
mitra banyak perkebunan tebu, dan setiap
panen
menghasilkan limbah pucuk tebu.
Dalam penyuluhan ini, juga dijelaskan bagaimana cara
mengatasi kekurangan pucuk tebu yang mengandung
protein rendah dan serat kasar tinggi. Sebagai pembanding
bahwa Rumput Gajah kandungan protein kasar (PK) 8,4-
11,4% dan serat kasar 29,5-33% (Badan Litbang
Pertanian RI, 2013), sedangkan pucuk tebu mengandung
PK 4,94%, serat kasar 33,54% (Dinas Peternakan Propinsi
Jawa Timur, 2012). Untuk mengatasi rendahnya protein
dengan menambahkan bahan berprotein tinggi yaitu daun
legum, seperti daun lamtoro, juga konsentrat. Penggunaan
pucuk tebu tersebut 40-50% dari ransum. Kandungan serat
tinggi menyebabkan rendahnya kecernaan, hal ini diatasi
dengan cara pucuk tersebut dicacah dengan alat chopper
serta dilakukan fermentasi pada pakan komplit tersebut.
Penyampaian teknologi tersebut dengan bahasa yang
mudah dimengerti peserta, dan didukung dengan gambargambar, sehingga mudah materi yang disampaikan dapat
diterima dan dipahami oleh para petani peternak.
Hasil dari kegiatan penyuluhan ini, ada keinginan dari
peserta untuk memproduksi dan menjual pakan komplit
berbasis limbah pucuk tebu tersebut saat ada pemanenan
tebu. Hal ini dikarenakan pakan komplit sistem drum
dapat diisi ulang, sehingga dapat untuk mencukupi
kekurangan pakan di daerah lain. Hal ini merupakan
wirausaha baru bagi para anggota Mitra.
C. Pelatihan Pembutan ‘Pakan komplit bermutu sistem
drum berbasis limbah pucuk tebu’dan Demo Alat
Chopper Pucuk Tebu
Pelatihan dilaksanakan pada tanggal 12 Agustus 2015
dengan materi mengenai ‘Pembuatan pakan komplit
bermutu sistem drum berbasis limbah pucuk tebu dan
Demo Alat Chopper Pucuk Tebu ’. Pada saat pembuatan
pakan komplit dengan menggunakan drum sebagai silo,
peserta juga diajari membuat pakan komplit menggunakan
plastik sebagai silo. Hal ini dimaksudkan, agar peserta
dapat mengetahui sendiri kelebihan penggunaan drum
plastik sebagai silo, antara lain: mempermudah pemadatan
saat pembuatan, kemasan tidak mudah rusak saat
penyimpanan lama, misal berlubang karena serangan
hama tikus, maupun kerusakan karena cuaca. Hal utama,
silo dari drum plastik dapat diisi ulang.
206
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Gambar 1. Suasana kegiatan pelatihan
Sebelum dilakukan pembuatan pakan komplit, terlebih
dahulu dilakukan demo cara penggunaan dan perawatan
alat chopper, setelah itu peserta melakukan sendiri dalam
mencacah pucuk tebu (menggunakan chopper) sebagai
bahan baku utama dalam pembuatan pakan komplit.
Adapun cara pembuatan pakan komplit berbasis pucuk
tersebut seperti tertera pada Gambar 2.
Tidak semua pakan komplit difermentasi, sebagian
diberikan pada ternak domba beberapa anggota mitra.
Hasil yang didapat, domba sangat menyukai pakan
komplit berbasis pucuk tersebut baik yang difermentasi
maupun yang sudah difermentasi. Selain mendapatkan
pengetahuan dan ketrampilan pembuatan pakan komplit
sistem drum, diakhir kegiatan nanti, mitra juga akan
mendapatkan alat chopper pucuk tebu, yang nantinya
secara simbolis akan diberikan oleh Piliteknik, dalam hal
ini diwakili oleh P3M kepada Mitra. Dengan pemberian
alat tersebut, diharapkan usaha mitra akan semakin
berkembang, disamping ternak dombanya yang
berkembang baik, adanya peluang baru wirausaha pakan
komplit berbasis pucuk tebu.
D. Evaluasi
Evaluasi kegiatan dilaksanakan setelah selesai kegiatan
pelatihan. Evaluasi ini dimaksudkan untuk perbaikan
kegiatan kami selanjutnya (masih 30% lagi) juga untuk
kegiatan pengabdian di masa akan datang pada kegiatan
yang sama maupun kegiatan pengabdian di tempat lain.
Kami tetap membuka kesempatan untuk menerima
pertanyaan-pertanyan dari anggota kelompok serta
membantu
menyelesaikan jika ada permasalahan
mengenai pemanfaatan pucuk tebu yang banyak terdapat
didaerah Bondowoso sebagai pakan ternak.
Bab VI. Kesimpulan
-
-
Kegiatan pengabdian mendapat respon positip dari
kelompok peternak
Produk yang dihasilkan dalam program pengabdian
ini adalah teknologi pembuatan pakan komplit
berbasis pucuk tebu, dan didukung alat chopper
pucuk tebu
Koordinasi selalu dilakukan dengan mitra sehingga
terjalin hubungan yang baik
Gambar 2. Gambaran Ipteks yang ditransfer kepada mitra
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
Church, D. C. and W. G Pond. Basic Animal Nutrition and
Feeding. 3rd Eds. John Willey and Sons, Inc. New York. 1988.
Dinas Perkebunan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Perkembangan
Perkebunan.
http://www.disbun.jatimprov.go.id/programkerja.php. 2014.
Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur. Pemanfaatan pucuk tebu
sebagai bahan pakan suplementasi pada ternak ruminansia.
http://disnak.jatimprov.go.id/web/layananpublik/readteknologi/8
13/pemanfaatan-pucuk-tebu-bahan-pakan-suplementasi-padaternak-ruminansia#.VqmcAY6UcsA. 2012
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A.D. Tillman. Tabel
Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan kelima. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. 2005.
Ranjhan, S. K. Animal Nutrition in The Tropics. Vicas Publishing
House PVT Ltd. New Delhi. 1981.
Supriyadi. Macam bahan pakan sapi dan kandungannya. Badan
Litbang
Pertanian
RI.
http://yogya.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_c
ontent&view=article&id=523:macam-bahan-pakan-sapi-dankandungan-gizinya&catid=14:alsin. 2013.
Wahju, J. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Cetakan keempat. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. 1997.
Wulandari, S., A. Agus, M. Soedjono, dan M. N. Cahyanto. Nilai
cerna dan Biodegradasi Theobromin pod kakao dengan perlakuan
fermentasi menggunakan inokulum multimikrobia. Agritech.
34(2):160-169. 2014.
207
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
IbM Untuk Kelompok Pengrajin Manik-Manik
di Desa Tutul Kabupaten Jember
Yogiswara1*, Ratih Ayuninghemi2*
1yogipoltek@gmail.com
2
*
ratihayuninghemi@gmail.com
Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip PO BOX 164. Jember
Abstract
Penerapan teknologi informasi di industri kecil berdampak pada daya saing yaitu akan meningkatan produktivitas dan posisi pasar
serta merespon permintaan konsumen lebih cepat. Begitu pula produktivitas kerajinan manik-manik yang saat ini sudah merambah pasar
ekspor juga domestic. Menurut data dari pemerintah desa Tutul tahun 2012 terdapat 2.045 jiwa bekerja dibidang pertanian dan sebanyak
989 jiwa bekerja dibidang sektor industri rumah tangga kerajinan manik-manik (Mochamad Sodiq, 2012). Tingginya pemesanan produk
kerajinan manik-manik hingga pasar internasional ini mendorong masyarakat desa tutul khususnya para pengerajin untuk lebih berfikir
secara professional terutama terkait dengan transaksi – transaksi pencatatan produksi. Dengan melihat kondisi tersebut Abdurahman
berinisiatif membuat kelompok atau semacam paguyuban pengrajin (Mitra 1) manik-manik yang mampu memperkuat permodalan dan
pemerataan produksi sehingga produktivitas para pengrajin menjadi meningkat. Kelompok pengerajin ini diberi nama CV. Agar Wood yang
didalamnya terdiri dari 15 pengerajin.Semua produk yang dijual oleh Budi Dolaris (Mitra 2) adalah hasil karya pengrajin di desa tutul. Salah
satu pemasok hasil kerajinan tersebut adalah kelompok pengrajin pengrajin yang dipimpin oleh Abdurahman.
Proses pemesanan dari Mitra 2 kepada Mitra 1 selama ini hanya dengan media komunikasi langsung tanpa ada prosedur pencatatan
yang jelas dan terecord dengan baik. Selain itu Mitra 1 juga masih belum memiliki system yang berkaitan dengan proses perencanaan dan
pengendalian produksi, sehingga komunikasi dengan kelompok pengrajin yang telah dibina dalam proses produksi tersebut masih belum
terarah dengan baik. Hal yang paling sensitive dari Mitra 1 dan sangat mendesak harus segera diberikan solusi adalah semua proses
Transaksi Keuangan dan Kepegawaian. Dengan kondisi-kondisi tersebut maka dibutuhkan suatu sistim informasi yang mampu
merencanakan, mengendalikan proses produksi. Sistem yang dimaksud merupakan sistem yang mampu melakukan banyak proses yang
memang sangat dibutuhkan oleh Mitra 1 antara lain Proses Perencanaan Produksi, Pengendalian Aktivitas Produksi, Transaksi Keuangan,
dan Transaksi Kepegawaian (Data Pegawai, penggajian, bonus dan insentif).
Kata kunci: Kelompok Pengrajin, Kerajinan Manik-manik, Proses Produksi, Sistem informasi.
PENDAHULUAN
A. Analisis Situasi
Kerajinan manik-manik di desa Tutul diawali pada
tahun 1970-an, saat itu banyak tumpukan kayu hasil
penebangan yang hanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar.
Tidak tahu siapa yang memulai untuk mengambil inisiatif
untuk berkreasi dengan kayu-kayu tersebut sehingga bisa
menghasilkan gelang dan tasbih.). Selain bahan baku
kayu, biji-bijian juga bisa dimanfaatkan dan bernilai tinggi
untuk dijadikan kerajinan manik-manik. Dan hingga saat
ini keahlian itu turun ke generasi kedua dan ketiga
mewarisi keahlian sebagai pengrajin manik-manik.
Tentunya, generasi kedua dan ketiga ini mempunyai
kreatifitas, inovasi dan kualitas barang yang dihasilkan
juga tinggi dari generasi yang sebelumnya. Menurut data
dari pemerintah desa Tutul tahun 2012 terdapat 2.045 jiwa
bekerja dibidang pertanian dan sebanyak 989 jiwa bekerja
dibidang sektor home industrikerajinan manik-manik
(Mochamad Sodiq, 2012
Tingginya pemesanan produk kerajinan manik-manik
hingga pasar internasional ini mendorong masyarakat desa
tutul khususnya para pengerajin untuk lebih berfikir secara
professional terutama terkait dengan transaksi – transaksi
pencatatan produksi. Tidak sedikit pengerajin yang
memiliki kesulitan dalam pencatatan proses dan
pemasaran hasil produksi. Masalah lain yang dihadapi
oleh pengerajin adalah banyaknya permintaan pemesanan
dari pemilik outlet yang akan mengirim barang keluar
negeri dan dalam negeri. Hal ini menuntut masing-masing
pengrajin harus mengejar jumlah produksi yang lebih
besar. Melihat kondisi tersebut Abdurahman berinisiatif
membuat kelompok atau semacam paguyuban pengerajin
manik-manik yang mampu memperkuat permodalan,
pemerataan produksi sehingga produktivitas para
pengrajin menjadi meningkat. Kelompok pengerajin ini
diberi nama CV. Agar Wood yang didalamnya terdiri dari
208
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
15 pengerajin. Kelompok pengrajin ini telah memiliki
tempat yang layak untuk memproduksi manik manik
seperti yang terlihat pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Aktifitas Kelompok Pengrajin CV. Agar
Wood
Kondisi saat ini perkembangan industri manik-manik
di desa tutul telah menghasilkan beberapa pengusaha kecil
menengah yang tangguh dan produknya juga menjadi
komoditas ekspor ke China, Vietnam dan beberapa negara
Timur Tengah serta Eropa. Budi Dolaris (Mitra 2) adalah
salah satu pengusaha manik manik lokal dari desa tutul
yang telah memperluas pemasarannya hingga manca
negara. Semua produk yang dijual oleh Budi Dolaris
adalah hasil karya pengrajin di desa tutul gambar 2. Salah
satu pemasok hasil kerajinan tersebut adalah kelompok
pengrajin pengrajin yang dipimpin oleh Abdurahman.
Gambar 2. Aktifitas Lokasi Usaha Budi Dolaris
Proses pemesanan dari Mitra 2 kepada Mitra 1 selama
ini hanya dengan media komunikasi langsung tanpa ada
prosedur pencatatan yang jelas dan terecord dengan baik.
Pada kenyataannya transaksi pemesanan tersebut sudah
berkembang pesat, bahkan pemesanan produk tersebut
sudah mencapai pasar internasional. Selain itu Mitra 1
juga masih belum memiliki system yang berkaitan dengan
proses perencanaan dan pengendalian produksi, sehingga
komunikasi dengan kelompok pengerajin yang telah
dibina dalam proses produksi tersebut masih belum terarah
dengan baik. Hal yang paling sensitive dari Mitra 1 dan
sangat mendesak harus segera diberikan solusi adalah
semua proses Transaksi Keuangan dan Kepegawaian.
Dengan kondisi-kondisi tersebut maka dibutuhkan
suatu sistim informasi yang mampu merencanakan,
mengendalikan proses produksi. Sistem yang dimaksud
merupakan sistem yang mampu melakukan banyak proses
yang memang sangat dibutuhkan oleh Mitra 1 antara lain
Proses Perencanaan Produksi, Pengendalian Aktivitas
Produksi, Transaksi Keuangan, dan Transaksi
Kepegawaian (Data Pegawai, penggajian, bonus dan
insentif).
B.
Permasalahan Mitra
Mencermati analisis situasi yang telah diuraikan,
maka permasalahan yang ada dapat dirumuskan
mencakup: 1) Pencatatan laporan yang dilakukan secara
manual oleh kelompok pengrajin sering pula mengalami
kesalahan karena kurangnya ketelitian pembuat laporan;
2) Sering terjadi keterlambatan bahan baku karena tidak
ada perencanaan produksi yang baik. Hal ini kadang
disebabkan karena kesalahan pencatatan pesanan dan
kebutuhan bahan baku untuk proses produksi tersebut; 3)
Dengan pencatatan proses produksi dan pengelolaan
material yang masih manual maka masih terjadi salah
kirim dari produk yang dipesan; 4) Mitra belum
mengetahui pentingnya proses produksi dan sistim
informasi manajemen produksi dan operasi bagi kegiatan
para pengrajin manik manik; 5) Mitra belum mengetahui
informasi apa saja yang dibutuhkan untuk membuat sistim
informasi manajemen dan operasi yang sesuai dengan
kegiatan usaha mereka; 6) Mitra belum mengetahui
tentang pembuatan perangkat sistim informasi manajemen
produksi dan operasi yang dibutuhkan guna menghasilkan
infomasi yang mereka butuhkan untuk mencatat
pesanan,sebagai dasar perencanaan produksi dan
pengendalian proses produksi termasuk penyediaan bahan
baku, dan penghitungan pendapatan dan bonus pengrajin
dan karyawan.
TARGET DAN LUARAN
Target luaran dari pelaksanaan pengabdian
masyarakat ini diuraikan sebagai berikut:
1) Terhadap mitra pengabdian.
Dari pelaksanaan pengabdian yang dilaksanakan
pada mitra berdampak pada efisiensi komunikasi
yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan
hubungan kerjasama antara ke dua mitra. Dengan
dibuatkannya sebuah perangkat lunak sistim
informasi manajemen produksi dan operasi sesuai
dengan kebutuhan mitra diharapkan dapat
menjembatani berbagai kendala informasi mitra
dengan mengetahui dan mengawasi proses bisnis dan
209
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
keuangan pada industri tersebut. Adapun modul yang
menjadi target keluaran dari pembuatan sistim
informasi sesuai dengan kebutuhan mitra adalah
sebagai berikut:
a) Modul pemesanan produk: Input data pemesanan
produk; Informasi data penyelesaian pesanan;
Informasi ketersediaan bahan.
b) Modul Perencanaan Produksi yang meliputi:
Informasi Data Permintaan Produk; Input Data
Kebutuhan Material; Input Perencanaan
produksi.
c) Modul Pengendalian Aktivitas Produksi:
Transaksi order pembelian bahan; Transaksi
penerimaan bahan baku; Transaksi penggunaan
bahan baku per pengrajin; Transaksi hasil produk
pengrajin.
d) Modul
Keuangan:
Transaksi
Pembelian
(Transaksi surat order pembelian, Transaksi
faktur pemasok , Transaksi pembayaran hutang,
Transaksi Pengadaan bahan Tunai, Laporan
hutang belum dibayar, Laporan hutang, Laporan
pembelian
bahan);
Transaksi
penjualan
(Transaksi Pengiriman hasil produk, Transaksi
faktur, Transaksi penerimaan piutang, Laporan
piutang belum dibayar, Buku piutang,Laporan
piutang jatuh tempo, Laporan piutang telah
dibayar, Laporan hasil produk per produk);
Akuntansi (Jurnal Umum,Transaksi kas masuk,
Transaksi kas keluar, Aktiva tetap, Laporan buku
besar, Laporan jurnal, Laporan penyusutan aktiva
tetap, Neraca saldo, Laporan keuangan, Laporan
anggaran).
e) Modul Kepegawaian: Data-data kepegawaian,
penggajian, bonus dan insentif.
2) Terhadap pelaksana pengabdian.
Pelaksanaan pengabdian terhadap masyarakat
ini dapat menjadi upaya transfer teknologi dan
transfer informasi terhadap masyarakat. Teknologi
dan informasi yang diberikan masyarakat diupayakan
merupakan teknologi dan informasi yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Seperti halnya
pelaksanaan pengabdian masyarakat yang digunakan
pada kelompok pengrajin ini, pelaksanaa akan dapat
memberikan informasi tentang pengetahuan secara
umum tentang manajemen produksi dan operasi serta
keuntungan penggunaan sistim informasi yang sesuai
dengan kebutuhan mitra.
3) Terhadap masyarakat.
Target luaran pelaksanaan pengabdian
masyarakat terhadap masyarakat luas adalah akan
meningkatkan taraf perekonomian masyarakat
sekitar. Hal ini terjadi karena industri kecil yang ada
di masyarakat dapat berkembang sehingga akan
menyerap banyak tenaga kerja. Meningkatnya
pendapatan masyarakat ini diharapkan akan
memperbaiki kualitas hidup masyarakat, baik
terhadap pemenuhan gizi, kesehatan, dan pendidikan
terhadap anak-anak mereka. Dengan penurunan
jumlah pengangguran diharapkan akan berdampak
pada perbaikan perekonomian nasional.
METODE PELAKSANAAN
Metode kegiatan pengabdian masyarakat yang
dilaksanakan guna memberikan solusi terhadap
permasalahan yang ada pada mitra sebagai berikut:
1. Identifikasi kondisi lapangan dan pelatihan serta
diskusi tentang pengumpulan informasi-informasi
yang digunakan untuk membuat rancangan sistim
informasi manajemen dan operasi.
2. Pendampingan pada penggalian dan analisis
informasi yang dibutuhkan, desain basisdata dan
pembuatan aplikasi untuk modul perencanaan
produksi.
3. Pendampingan pada penggalian dan analisis
informasi yang dibutuhkan, desain basisdata dan
pembuatan aplikasi untuk modul Pengendalian
aktivitas produksi; Modul keuangan; dan Modul
Kepegawaian.
4. Penggabungan modul-modul sistim informasi
manajemen produksi dan operasi.
5. Pengujian aplikasi sistim informasi manajemen
produksi dan operasi. Pengujian ini meliputi: a)
Pengujian terhadap masing-masing modul yang telah
dibuat; b) Pengujian terhadap basisdata yang telah
dibangun; c) Pengujian terhadap keakuratan laporan
yang dihasilkan berdasarkan informasi yang
dimasukkan; d) Pengujian terhadap jalannya
keseluruhan sistem informasi.
6. Pelatihan dan pendampingan dalam menjalankan
perangkat lunak manajemen produksi dan operasi.
7. Evaluasi dampak penggunaan perangkat lunak sistim
informasi manajemen produksi dan operasi terhadap
pendapatan mitra.
8. Menseminarkan hasil evaluasi dari pembuatan
perangkat lunak sistim informasi manajemen
produksi dan operasi guna menjawab permasalahan
mitra.
9. Pembuatan laporan dari hasil kegiatan pengabdian
masyarakat.
KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
Politeknik Negeri Jember sebagai lembaga
pendidikan tinggi dituntut untuk melakukan Tridarma
Perguruan Tinggi, salah satunya adalah pengabdian
kepada masyarakat. Politeknik Negeri Jember untuk
mewadahi kegiatan staf dosennya dalam kegiatan
pengabdian kepada masyarakat telah memiliki Pusat
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M).
Kinerja P3M dalam program pengabdian kepada
masyarakat tahun 2015 yang diterima yaitu Program IbM
210
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
pemilik outlet penjualan produk dan secara aplikasi
rekanan dapat ditambah. Sedangkan jenis pengguna
ketiga adalah pengrajin yaitu para anggota kelompok
pengrajin yang tergabung dengan CV Agarwood.
20 judul dengan jumlah dana sekitar Rp. 1 miliar rupiah
dari sumber dana DP2M, sedangkan pengabdian dana
perguruan tinggi mandiri mencapai 51 judul dengan
jumlah dana sekitar 510 juta rupiah (P3M).
HASIL LUARAN YANG DICAPAI
Pelaksanaan penerapan iptek bagi masyarakat ini
telah dilaksanakan dalam beberapa tahap, diantaranya:
1. Analisis kebutuhan dan permasalahan mitra
Pada tahap analisis kebutuhan dan permasalahan
mitra, pelaksana penerapan iptek bagi masyarakat
melakukan kunjungan untuk berdiskusi langsung
mengenai kebutuhan mitra dan untuk mengetahui
permasalahan tentang pengelolaan proses produksi serta
pengelolaan operasional yang berhubungan dengan
masalah administrasi dan pencatatan datanya. Dari
kunjungan yang telah dilakukan didapatkan mitra telah
melakukan proses administrasi dalam proses produksi
tetapi masih jauh dari sebuah standar pencatatan, seperti
pada umumnya pencatatan yang dilakukan adalah jumlah
produksi untuk tiap jenis produk yang dihasilkan masing
masing pengrajin. Untuk pencatatan pesanan tidak ada
pencatatan khusus. Dari hasil diskusi disepakati kami
selaku peneliti dalam proses pengabdian ini akan membuat
sebuah prototipe standar pengelolaan proses produksi
yang paling sederhana yang memiliki berbagai fasilitas
diantaranya adalah proses akses pencatatan yang mudah
dan memiliki prosedur yang menyesuaikan cara berpikir
mitra. Sekaligus aplikasi tersebut memenuhi standar
minimal sebuah aplikasi sistim informasi manajemen
operasional dan produksi. Sehingga hasil survey yang
kami lakukan selama beberapa kali bertemu dengan mitra
tersebut, kami melakukan analisis kebutuhan pengguna
dan memetakan kebutuhan tersebut menjadi sebuah model
yang digambarkan dalam gambar 3.
2. Pemodelan Sistem manajemen operasional dan
produksi kelompok pengrajin manik-manik
Gambar 3 merupakan gambar interaksi sistem
terhadap pengguna. Dalam gambar tersebut terlihat
hubungan asosiasi aktor atau pengguna terhadap sistem
yang dibuat. Berikut penjelasan proses yang didesain
dalam sistem manajemen operasional dan produksi:
a. Master Produk: merupakan proses pengelolaan data
produk. Dalam sistem ini data produk dapat berupa
produk hasil kerajinan maupun bahan baku. Informasi
yang dikelola dari produk ini adalah data spesifikasi
produk, harga dan catatan keterangan detail tentang
produk tersebut.
b. Master Pengguna: merupakan data personal seluruh
aktor yang terlibat dalam sistem ini. Terdapat 3 jenis
pengguna yaitu administrator adalah mitra 1 dalam
hal ini adalah bapak abdurahman selaku koordinator
pengrajin, pengguna kedua adalah rekanan dalam
sistem ini adalah mitra 2 yaitu bapak budi selaku
Gambar 3. Diagram Use Case Manajemen Operasi dan
produksi sederhana bagi kelompok pengrajin manik
manik
c.
d.
Manajemen Pesanan (penjualan) dalam sistem ini
merupakan sebuah proses pengelolaan data transaksi
awal permintaan pengadaan produk sehingga dalam
diskusi kami proses ini merupakan sebuah
pengelolaan data transaksi penjualan yang dilakukan
oleh CV Agarwood
SPK (Perintah Kerja) dan penyelesaian adalah proses
yang terjadi setelah adanya pemesanan. Proses ini
merupakan presentasi dari perencanaan produksi
yang dilakukan admin dimana transaksi ini berisi
data perintah untuk memproduksi kerajinan kepada
para pengrajin, pada proses ini setelah perintah kerja
dikeluarkan makan para pengrajin akan melakukan
kegiatan produksi dan hasil produknya diserahkan ke
CV. Agarwood dan dicatat melalui transaksi
penyelesaian produk.
211
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
e.
f.
g.
h.
Manajemen Bahan Baku (Pembelian): proses
manajemen bahan baku berdasarkan survey dan
diskusi dengan mitra merupakan bagian yang paling
penting dalam kerajinan manik manik sehingga
pengelolaan data bahan baku sangat diperlukan
sebagai bahan perencanaan produksi dan
pertimbangan penerimaan pesanan. Proses ini
difokuskan untuk mengelola data pembelian bahan
baku yang telah dilakukan. Transaksi pembelian
dalam sistem ini belum menambah jumlah inventaris
persediaan bahan dan penambahan tersebut baru bisa
dilakukan saat proses pengendalian.
Pengendalian: Proses pengendalian dalam sistim
manajemen
operasional
merupakan
bagian
terpenting pada aplikasi ini. Proses ini mencatat
penerimaan dan pengeluaran produk yang
mempengaruhi jumlah persediaan produk. Transaksi
penerimaan pada proses ini dilakukan berdasarkan
penyelesaian produk dari pengrajin, selain itu
transaksi penerimaan barang pada proses
pengendalian ini juga berdasarkan data pembelian.
Sedangkan pengeluaran baranag dalam transaksi
pengendalian ini merupakan representasi dari
realisasi hasil pemesanan atau proses penjualan.
Pembayaran: proses pembayaran atau representasi
transaksi keuangan dalam sistim manajemne
operasional ini adalah catatan penerimaan dan
pengeluaran riil dan setiap transaksinya terdapat
referensi transaksi baik penjualan pembelian maupun
penyelesaian produk
Laporan: proses laporan adalah proses pengolahan
data data yang diinputkan melalui transaksi menjadi
informasi yang diperlukan oleh pengguna.
Dalam Gambar 3 tersebut juga terdapat 3 aktor yang
terlibat dengan sistem ini berikut penjelasan masing
masing aktor dalam sistim manajemen operasional dan
produksi kerajinan manik manik
a. Aktor Admin dimana dalam sistem ini adalah
pengguna mitra 1 yaitu bapak abdurahman selaku
koordinator pengrajin di CV Agarwood. Berasosiasi
terhadap proses di dalam sistem manajemen
operasional dan produksi .
b. Aktor Rekanan dalam kegiatan pengabdian ini adalah
bapak budi dolaris dan nantinya bisa para pemilik
outlet lainnya didalam sistem ini berasosiasi terhadap
beberapa proses dalam sistem. Selain pemilik outlet
aktor rekanan dapat juga termasuk rekanan penyuplai
bahan baku produk kerajinan. Seperti tali, kayu ,
plastik dan lain lain.
c. Aktor Pengrajin: merupakan anggota pengrajin yang
bekerjasama dengan CV Agarwood sebagai organisasi
kelompok pengrajin
3. Desain aplikasi
Berdasarkan
pemodelan
tersebut
dilakukan
pengembangan aplikasi. Adapun langkah awal aplikasi
dimulai dengan membuat menu menu serta aturan dasar
transaksi. Berikut hasil desain yang dibuat berdasarkan
kebutuhan mitra.
a. Tampilan Utama
Tampilan awal dari aplikasi didesain pada menu
drawer seperti ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Tampilan menu utama sistem
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Input dan View Pengguna
Input dan View Produk
Input dan View Pemesanan
Input dan View Perencanaan Produksi (SPK)
Input dan View Pengendalian Produksi
Input dan View Pembayaran
Dari data masukan tersebut pengguna mendapatkan
update infomasi berupa:
a. Informasi produk berserta persediaan terakhir
b. Informasi pemesanan barang beserta status
penyelesaian pekerjaan dari tiap pesanan
c. Informasi histori keluar masuknya barang pada
jangka waktu tertentu berdasarkan tiap produk
d. Informasi transaksi pembayaran pengrajin
berdasar penyelesaian barang
e. Informasi transaksi keuangan
212
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Dengan catatan data yang ditampilkan hanya data
transaksi yang berkaitan dengan pengguna dan
rekanannya atau pengrajin.
4. Implementasi kegiatan Pengabdian
Sebelum serah terima dengan pengguna yaitu mitra
pertama dan mitra kedua aplikasi diuji dengan melakukan
simulasi data skunder dan dipastikan aplikasi berjalan
dengan baik.
Aplikasi diserahterimakan kepada mitra 1 dan mitra
ke 2 secara terpisah. Pada mitra 1 diberikan penjelasan
penggunaan aplikasi dan demo proses input data sebagai
pengguna dalam aplikasi ini sebagai pemilik aplikasi.
Khusus kepada mitra 1 juga dijelaskan proses penambahan
pengguna yaitu rekanan atau pengrajin. Serta semua
fasilitas aplikasi. Selain itu kepada mitra 1 juga dijelaskan
proses untuk penggunaan aplikasi bagi pengrajin.
Saat serah terima aplikasi kepada mitra 2 diberikan
penjelasan terlebih dahulu posisi mitra sebagai rekanan
dan didemokan hasil simulasi yang telah dilakukan. Proses
implementasi aplikasi hingga bulan Agustus sedang
dilakukan dan didampingi hingga bulan September.
[2] OECD. (2003). The Sources of Economic Growth in
OECD Countries. Organisation for Economic CoOperation and Development, Paris.
[3] Van Ark, B., Mahony, and Timmer, M. (2008). The
Productivity Gap betwwen Europe and The United
States. Journal of Economic Perspectives, vol. 22,
No. 1, pp. 25-44.
[4] Van Ark, B., Inklaar, R., and McGuckin, R. H. (2002).
Changing Gear, ICT ans Service: Europe and the
United States. Mimeo, University of Groningen and
The Conference Board.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari kegiatan
pengabdian ini sebagai berikut:
- Kegiatan pengabdian masyarakat mendapat respon
positif dari kelompok pengrajin manik-manik karena
memberikan wawasan baru tentang pemanfaatan
teknologi
informasi
untuk
meningkatkan
pengelolaan usahanya.
- Produk yang dihasilkan dalam program pengabdian
ini adalah sistem informasi manajemen operasional
dan produksi usaha manik-manik.
- Komunikasi dan pendampingan selalu dilakukan
dengan mitra termasuk pelatihan penggunaan
aplikasi agar pemanfaatan sistem informasi yang
dihasilkan dapat lebih optimal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Direktorat Riset
dan Pengabdian Masyarakat (DRPM), Direktorat Jenderal
Penguatan Riset Dan Pengembangan, Kementerian Riset,
Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi atas pendanaan dan
kepercayaannya yang diberikan agar bisa terlaksananya
kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Kienan, B. (2000). Small Business Solutions, ECommerce untuk Perusahaan Kecil. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
213
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
IbM Pemanfaatan Pekarangan dengan Usahatani
Jahe secara Vertikultur
Muhammad Firdaus#1, Dwi Indarti#2
#1
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala
Jl. Sumatera 118-120 Jember
1muhammadfirdaus2011@gmail.com
#2
Jurusan Kima, Universitas Jember
Jl. Kalimantan Jember
2indartidwi@gmail.com
Abstract
This IbM is done in Sumberejo, Ambulu, Jember. The Goals are a group of Family Empowerment (POSDAYA). The purpose
of this activity are that the farmers are able to: 1) manage their finances. 2) have the spirit of entrepreneurship. 3) utilize the
yard through the cultivation of ginger . 4) utilizing the waste into compost. The method of implementation consists of
empowerment, strengthening of capital, monitoring, and evaluation. Implementation of the activities carried out include
training and workshops (Accounting, Entrepreneurship, Ginger Cultivation in Verticulture and Analysis of farming and
Bokashi Composting,). In addition, the practice of planting ginger verticulture. Outcome of this activity is the farmer is able
to optimize the utilization of the yard, especially for verticulture cultivation and able to make compost.
Keyword: ginger, verticulture cultivation, yard.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Analisis Situasi
Menurut arti katanya, pekarangan berasal arti kata
“karang” yang berarti halaman rumah (Poerwodarminto,
2003). Sehingga pekarangan adalah taman rumah
tradisional yang bersifat pribadi, yang merupakan sistem
yang terintegrasi, di mana ada hubungan yang erat antara
manusia, tanaman, dengan hewan (Arifin, 1998). Lebih
lanjut Arifin et. al. (2009) menjelaskan bahwa pekarangan
merupakan tipe taman Indonesia yang berlokasi di sekitar
rumah, memiliki status pemilikan dan batas-batas tapak
yang jelas, ditanami berbagai jenis tanaman, dipelihara
berbagai hewan ternak, terdapat satwa ar, struktur
bangunan termasuk kegiatan manusia dan elemen
manusianya. Pekarangan juga merupakan ruang terbuka
yang sering dimanfaatkan untuk acara kekerabatan dan
kegiatan sosial.
Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu terletak di
sebelah Selatan Kabupaten Jember. Desa Sumberejo
berjarak ± 40 km dari kota Jember. Luas wilayah Desa
Sumberejo 18.709.530 km2 dan berpenduduk sekitar
23.496 orang.
Penduduk yang berpendidikan SD
sebanyak 47%, SMP sebanyak 20%, SMU sebanyak 24%,
Perguruan Tinggi sebanyak 2%, dan sisanya tidak tamat
SD. Sebagian besar masyarakat Desa Sumberejo bermata
pencaharian sebagai petani, nelayan, dan buruh
(Kependudukan Sumberejo, 2014). Hasil survei ke lokasi
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa
Sumberejo memiliki tanah pekarangan yang cukup luas.
Desa Sumberejo berpotensi untuk dikembangkan.
Sebagian besar masyarakat Desa Sumberejo, tanah
pekarangan hanya dibiarkan saja atau belum dimanfaatkan
secara optimal. Padahal, tanah pekarangan dapat
difungsikan dan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan
(pertanian, peternakan, perikanan) sehingga dapat
membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Kondisi
ini sesuai dengan hasil kajian Badan Litbang Pertanian
(2011), di mana perhatian petani terhadap lahan pertanian
masih terbatas. Akibatnya, pengembangan berbagai
inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan belum
mencapai sasaran yang diharapkan.
Melihat potensi dan manfaat yang sangat besar dari
pekarangan, utamanya untuk meningkatkan pendapatan
petani dan keluarganya, maka sangat disayangkan apabila
tanah pekarangan yang cukup luas di Desa Sumberejo
hanya dibiarkan begitu saja, ditumbuhi rumput, dan
berjenis-jenis tanaman yang tidak/kurang mempunyai
nilai ekonomis. Program IbM ini bertujuan pokok untuk
membantu petani dan keluarganya sehingga mampu
mengoptimalkan pekarangannya dengan baik melalui
budidaya vertikultur, khususnya untuk usahatani jahe
dalam rangka meningkatkan pendapatannya.
Tanaman jahe dipilih karena tanaman ini mudah
dibudidayakan, memiliki banyak manfaat, dan yang
terpenting bernilai ekonomi tinggi. Dengan budidaya
214
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
secara vertikultur, pada luas lahan yang sama lebih banyak
tanaman yang diusahakan dan mudah diusahakan,
sehingga produktivitasnya tinggi. Karena menggunakan
pupuk dan pestisida organik dengan memanfaatkan
limbah di sekitarnya, maka biaya produksi dapat ditekan.
Akhirnya, pendapatan petani dan keluarganya meningkat.
Di samping itu, petani dan keluarga dilatih juga cara
mengelola keuangan yang baik sehingga tata kelola
keuangan bisa lebih baik.
1.2 Justifikasi Pengusul Bersama Mitra
Beberapa persoalan yang menjadi prioritas
untuk diselesaikan selama pelaksanaan program IbM,
yakni:
1. Bagaimana mereka mampu mengelola keuangan
dengan baik agar dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya.
2. Bagaimana mereka mampu membaca dan
memanfaatkan peluang yang ada di sekitar mereka.
3. Bagaimana memanfaatkan limbah (sampah, ternak)
menjadi pupuk kompos Bokashi. Sebagai
percontohan, dilakukan LOKAKARYA dan
DEMPLOT pembuatan pupuk kompos Bokashi.
DEMPLOT dilakukan di beberapa tempat di
kelompok sasaran sebagai pembanding.
4. Bagaimana mereka dapat memanfaatkan pekarangan
yang mereka miliki secara optimal melalui teknik
budidaya secara vertikultur.
5. Bagaimana usahatani jahe secara vertikultur
dilakukan. Untuk percontohan, dibuat DEMPLOT
budidaya jahe secara vertikultur di beberapa tempat
di kelompok sasaran sebagai pembanding.
BAB 2. TARGET DAN LUARAN
Jenis luaran yang akan dihasilkan dalam kegiatan
IbM ini adalah:
Tabel 2.1 Sasaran dan Target Luaran
No.
1.
Target luaran
75% anggota kelompok POSDAYA memahami
dan mampu melakukan pembukuan sederhana
dengan baik sehingga dapat mengelola
keuangan secara baik dan benar.
2.
75% anggota dari tiap kelompok POSDAYA
mampu membuat pupuk kompos dari limbah
(sampah, ternak) di sekitarnya.
3.
DEMPLOT pembuatan pupuk kompos
BOKASHI. DEMPLOT di tiap kelompok
POSDAYA.
4.
75% anggota kelompok POSDAYA memahami
prinsip dan teknik budidaya secara vertikultur.
5.
75%
anggota
kelompok
POSDAYA
memanfaatkan pekarangannya dengan usahatani
jahe secara vertikultur.
6.
DEMPLOT budidaya jahe secara vertikultur di
tiap kelompok POSDAYA.
BAB 3. METODE PELAKSANAAN
Tim pelaksana IbM telah melakukan survei dan
beberapa kali melakukan kunjungan ke mitra IbM.
Nantinya (jika program ini didanai), tim IbM akan
melakukan pertemuan kembali dengan mitra IbM untuk
mendiskusikan jadwal kerja (yang lebih operasional) yang
akan dilakukan. Hal ini penting agar kegiatan ini tidak
mengganggu kegiatan petani dan keluarganya di sawah.
Juga untuk menyelaraskan dengan kegiatan-kegiatan yang
lain dari tim IbM.
Tim IbM juga akan melakukan pemesanan terlebih
dahulu alat dan bahan untuk budidaya vertikultur dan alat
untuk pembuatan pupuk kompos Bokashi. Hal ini penting,
agar alat dan bahan yang diperlukan bisa datang tepat
waktu, sehingga tidak mengecewakan mitra IbM.
Selanjutnya, metode pelaksanaan terdiri dari
pemberdayaan, pendampingan, penguatan modal, serta
pemantauan, pembinaan dan evaluasi.
a. Pemberdayaan. Upaya ini untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan kelompok
mitra yang dilaksanakan melalui pelatihan
dan workshop.
b. Pendampingan.
Kegiatan
ini
berupa
kunjungan dan pembinaan tim IbM kepada
kelompok mitra.
c. Penguatan modal. Diberikan bantuan alat
kepada kelompok mitra sesuai dengan
kebutuhan kelompoknya.
d. Pemantauan,
Pembinaan
dan
Evaluasi.
Pelaksanaan pemberdayaan kelompok mitra
ini diharapkan akan dilakukan secara
berkesinambungan,
agar petani beserta
keluarganya mampu mencukupi kebutuhan
konsumsi pangan minimal dari segi gizi
mikronya dan dapat sebagai tambahan
pendapatan keluarga.
Pemantauan dan pembinaan selama kegiatan akan
dilakukan oleh tim IbM dan setelah kegiatan berakhir,
dikoordinasikan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian
pada Masyarakat (P3M) STIE “Mandala” Jember.
Kegiatan evaluasi (dalam rangka kegiatan IbM) dilakukan
pada pertengahan dan akhir tahun pelaksanaan kegiatan.
BAB 4. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
4.1 Kinerja P3M STIE Mandala
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mandala
melalui Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
215
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
(P3M) turut berupaya dalam mengurangi angka
kemiskinan di Kabupaten Jember, yaitu melalui kegiatan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kegiatankegiatan tersebut bertujuan untuk menggerakkan unit-unit
usaha yang ada di masyarakat khususnya yang berskala
kecil/mikro, menciptakan wirausaha baru, dan
membentuk/ memberdayakan Lembaga Keuangan Mikro
Masyarakat (LKMM). Upaya tersebut diyakini mampu
mempertahankan dan meningkatkan kesempatan kerja,
sekaligus memberdayakan keluarga agar lebih sejahtera.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat (LPPM) STIE Mandala berdiri sejak tahun
1987 dan sejak tahun 2004 namanya berubah menjadi
Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M).
Alamat kantor di Jl. Sumatera 118-120 Jember Telepon
0331-334324 Fax. 0331-330941. Bidang kegiatan
meliputi kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.
Keahlian yang dimiliki dosen meliputi bidang manajemen,
akuntansi, ekonomi pembangunan, ekonomi pertanian,
dan kependudukan.
Kegiatan pengabdian masyarakat meliputi kegiatan
pelatihan, pendampingan, jasa konsultasi kepada Usaha
Mikro dan Kecil, dan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Kegiatan-kegiatan
tersebut
melibatkan
seluruh
stakeholders, khususnya dosen dan atau mahasiswa.
Kegiatan tersebut
menempatkan dosen dan atau
mahasiswa di luar kampus agar bersama-sama dengan
masyarakat memanfaatkan potensi sumber daya alam
(SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang ada untuk
mengatasi permasalahan masyarakat khususnya dalam
pengembangan
usaha
mikro/kecil
dan
pembentukan/pemberdayaan LKMM.
Statistik pengalaman P3M STIE Mandala dalam
melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat:
Tabel 4.1 Statistik Kinerja P3M STIE Mandala di Bidang
Pengabdian Masyarakat, 2012-2015
No
Uraian
Sponsor 2012 2013 2014 2015
.
1. IbK
DRPM
1
1
1
0
2. IbM
DRPM
1
3
3
5
3. KKN PPM
DRPM
0
1
0
0
4. KKN
Posdaya
Yayasan
Damandi
ri
1
1
1
1
5. Co-op
DRPM
0
1
1
0
3
6
5
6
Total
4.2 Jenis kepakaran yang Dibutuhkan
Kegiatan IbM ini membutuhkan beberapa jenis
kepakaran agar mampu memecahkan masalah yang telah
disepakati dengan mitra. Jenis kepakaran yang dimaksud
disajikan pada Tabel berikut ini.
Tabel 4.4 Jenis Kepakaran yang Dibutuhkan
No.
Nama
Tugas
1. Dr. Muhammad Firdaus, Ketua Pelaksana
SP, MM, MP
Pendamping
2. Dwi Indarti, S.Si, M.Si
Anggota Pelaksana
Pendamping
3. Moh. Jimmy Kurnianta, Analis Kimia
S.Si
4. Hamzah Fansuri Jusuf, SE, Narasumber
MM
Pembukuan Sederhana
5. Drs. Karim Budiono, MP
Narasumber
Manajemen Keuangan
6. Ir. Cholyubi Jusuf, MM
Narasumber Budidaya
Jahe
7. Drs. Sugiantono, AR, MM Narasumber
Kewirausahaan
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Setelah melakukan beberapa pendekatan, tim IbM
telah melakukan pendekatan lanjutan kepada para tokoh
masyarakat yang memiliki kedekatan dengan kelompokkelompok Posdaya sasaran di Desa Sumberejo Kecamatan
Ambulu Kabupaten Jember. Kegiatan IbM ini diikuti oleh
Kelompok Posdaya Arrohman, Kelompok Posdaya
Hidayatul Atfal serta Kelompok Posdaya Mandiri.
Hasil kesepakatan (setelah pendekatan) adalah
perlu diadakannya pelatihan dan workshop tentang
pembukuan, kewirausahaan, budidaya Jahe secara
Vertikultur, dan pembuatan pupuk bokashi. Hasilnya
adalah telah diadakannya beberapa pelatihan dan
workshop tentang:
1. Pembukuan sederhana,
2. Kewirausahaan,
3. Teknik Budidaya Jahe secara Vertikultur dan
Analisis
Usahatani
Jahe,
termasuk
Penanganan pasca panen jahe.
4. Pembuatan kompos bokashi,
Selain pelatihan dan workshop, fokus utama
pengabdian IbM ini adalah kegiatan budidaya jahe secara
vertikultur. Kegiatan yang dilakukan meliputi:
A. Bahan Tanaman
Benih Jahe yang digunakan adalah Jahe Gajah.
Jahe gajah mempunyai rimpang besar berbuku, berwarna
putih kekuningan dengan diameter 8–8,5 cm, aroma
kurang tajam, tinggi dan panjang rimpang 6–11,3 cm dan
15–32 cm. Warna daun hijau muda dan batang hijau muda
dengan kadar minyak atsiri 0,8–2,8%.
216
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
B.
Pembibitan
Pembibitan dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Memilih bibit jahe yang baik,
2. Bibit jahe diangin-anginkan,
3. Bibit jahe dimasukan ke dalam sak selama sekitar
satu minggu,
4. Bibit jahe dimasukkan ke dalam larutan pestisida
sekitar setengah jam,
5. Bibit jahe direndam ke dalam lauran zat
penumbuh tanaman (ZPT) selama semalam,
6. Selanjutnya bibit jahe diangin-anginkan kembali,
7. Bibit jahe dimasukkan ke dalam sak sekitar satu
minggu (sampai tunas tumbuh),
8. Bibit jahe siap dipindahkan ke dalam polibag
kecil.
9. Bibit jahe ditanam ke dalam polibag kecil sampai
umur tertentu (akar menembus polibag),
10. Bibit jahe siap dipindahkan ke polibag besar.
C. Persiapan Tanam
Sistem media yang dikembangkan adalah
menggunakan polibag. Polybag yang dimaksud yaitu
polybag ukuran 60x60cm. Polybag ini berlubang
pada sisi samping untuk mengindari genangan di
dalam polybag yang dapat mengakibatkan busuknya
perakaran yang berujung pada matinya tanaman.
Polybag ini diisi campuran tanah, pupuk kandang
yang sudah jadi dan bokasi. Campuran yang
homogen dari 3 bahan tersebut disebut sebagai media
tanam jadi. Selanjutnya karung/polybag ini diisi
media ± 15 cm disusun berbaris.
D. Tanam
Bibit jahe yang sudah dipersiapkan dalam
persemaian dengan panjang tunas 2–3 cm dan sudah
tumbuh akar, kemudian ditanam ke dalam polybag
dengan posisi/arah tunas saling membelakangi atau
posisi tunas ke luar.
Bibit ini ditaruh di bagian tengah polybag kemudian
dilubang ± 5 cm, urugan ini komposisinya sama
dengan komposisi media awal. Setelah diurug
disiram air secukupnya. Penyiraman satu hari satu
kali sampai jahe tumbuh di atas permukaan tanah.
Kebutuhan air menyesuaikan kondisi musim.
E. Pemeliharaan
Umur tanaman jahe sejak tanam sampai panen ± 10
bulan, dalam waktu 10 bulan tersebut perlu perhatian juga
perlakuan sesuai dengan keadaan tanaman adapun
perlakuan selama pertumbuhan tersebut yaitu:
1. Pemberian air (penyiraman): disiram setiap hari
sampai 1 bulan sesudah itu cukup 2 hari satu kali.
2. Pemberian naungan: tanaman jahe mempunyai sifat
spesifik respon terhadap sinar matahari. Tanaman
jahe hanya membutuhkan sinar matahari ±70% untuk
itu perlu pemasangan paranet di atas polybag,
sedangkan untuk lokasi yang sudah ternaungi di
bawah pohon akan lebih bagus dan lebih hemat
biaya.
3. Pemupukan: setelah tanaman berumur satu bulan,
diberi urugan setebal 5-7 cm. Bahan urug ini sama
dengan media awal, jadi urugan ini sama halnya
dengan pemupukan.
4. Hama dan penyakit tanaman: kalau ditanam di dekat
lokasi pemukiman hama yang mungkin ada adalah
ayam. Cara mengatasinya dengan menggunakan
rajeg bambu/pemasangan jaring keliling. Sedangkan
penyakit tanaman jahe yang sering dijumpai adalah
penyakit layu bakteri. Cara mengatasi: secara
preventif yaitu tanaman/polybag diangkat dan
dipisahkan dari tanaman lainnya. Untuk menghindari
penularan. Secara kuratif: tanaman yang sudah
dipisahkan tadi disemprot dengan Fungsida.
Sampai pada tahap kegiatan ini, tim IbM telah
memberikan bantuan berupa pelatihan dan workshop serta
alat dan bahan yang diperlukan dalam budidaya jahe
secara vertikultur. Sedang alat untuk pupuk bokashi masih
diorder.
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Sebagian besar mitra IbM memahami hasil pelatihan
dan workshop yang dimotori oleh Tim IbM.
2. Mitra
IbM
tertarik
untuk
memanfaatkan
pekarangannya.
3. Mitra IbM memiliki motivasi tinggi untuk
melaksanakan kegiatan budidaya jahe secara
vertikultur.
6.2 Saran
1. Kebersamaan kelompok perlu terus dibina agar ke
depan ada usaha-usaha lain yang dirintis bersama.
2. Perlu merintis pasar jahe di Kabupaten Jember.
3. Perlu pelatihan dan praktek untuk kegiatan pengolahan
hasil budidaya jahe.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemenristek
Dikti yang telah memberi hibah terhadap pengabdian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H S. 1998. Studi on the Vegetation Structure
of Pekarangan and its Changes in West Java,
Indonesia. Disertation The Graduate School of
Nature Science and Technology, Okayama
University. Japan. 123 p. (Unpublished).
Arifin, HS, A Munandar, NHS Arifin dan Kaswanto.
217
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
2009. Pemanfaatan Pekarangan di Pedesaan. Seri
II. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model
Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Danoesastro, Haryono. 1978. Tanaman Pekarangan
dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Rakat
Pedesaan. Agro–Ekonomi.
De Foresta, H, A Kusworo, G Michon dan WA Djatmiko.
2000. Ketika Kebun Berupa Hutan-Agroforest
Khas Indonesia-Sumbangan Masyarakat bagi
Pembangunan
Berkelanjutan.
Internasional
Research in Agroforestry, Bogor, Indonesia;
Institute de Recherche pour le Development,
France; dan Ford Foundation, Jakarta, Indonesia.
Kristyono. 1983. Mengatur Pekarangan Keluarga.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Poerwodarminto, W.J.S. 2003. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka Jakarta.
Situs resmi Desa Sumberejo. https://sumberejo.wordpress.
com. Akses 05 Januari 2015.
218
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Penerapan Teknologi Dan Manajemen Usaha
Untuk Meningkatkan Efektifitas Dan Efisiensi
Produksi Serta Keuntungan Pada Ikm Keripik
Talas
Wendy Triadji Nugroho #1, Dessy Putri Andini *2, Oktanita Jaya Angraeni#3
#
Jurusan Teknik dan Manajmen Agribisnis, Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember
1wtnugroho@gmail.com
3oktanita.jaya.a@gmail.com
*
Jurusan Manajemen Agribsnis, Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip Kotak Pos 164 Jember
2bmwsydewi@gmail.com
Abstract
Usaha mitra program Ipteks bagi Masyarakat (IbM) berlokasi di Desa Curah Malang, Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember.
Mitra kegiatan ini adalah Ibu Siti Faridah dan Bapak Mulyanto yang dalam kegiatan usahanya memproduksi keripik talas. Tujuan
dari kegiatan IbM ini adalah: 1) untuk meningkatkan efektivitas dan efisienssi proses produksi melalui pemberian bantuan
peralatan produksi serta 2) meningkatkan pengetahuan tentang manajemen usaha dan strategi pemasaran melalui pelatihan. Dari
hasil evaluasi dan monitoring dapat diketahui bahwa kegiatan ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan kapasitas
produksi dan perluasan daerah pemasaran sehingga dapat meningkatkan keuntungan usaha keripik talas.
Keywords— keripik taalas, peralatan produksi, manajemen usaha, strategi pemasaran, kapasitas produksi
I. PENDAHULUAN
A. Identifikasi Masalah
Talas adalah salah satu makanan pokok di beberapa
kepulauan di Oseania. Di Indonesia, talas populer ditanam
hampir di semua daerah. Talas terutama ditanam untuk
umbinya. Hal ini dikarenakan bahwa umbi talas
merupakan sumber karbohidrat yang cukup penting.
Namun umbi ini mengandung getah yang gatal dan
berbeda-beda ketajamannya menurut jenisnya. Oleh
karena itu umbi talas harus dimasak terlebih dulu sebelum
dapat dikonsumsi. Memakannya saja tak boleh berlebihan,
karena ia mengandung getah yang membuat gatal. Terlalu
banyak memakan talas, menimbulkan rasa begah dan
gangguan pencernaan. Umbi talas dapat diolah dengan
cara dikukus, direbus, dipanggang, digoreng, atau diolah
menjadi tepung, bubur, dan kue-kue.
Jember merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Timur
yang memiliki 31 kecamatan. Jember adalah kota
kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten
Probolinggo dan Kabupaten Bondowoso di utara,
Kabupaten Banyuwangi di timur, Samudra Hindia di
selatan, dan Kabupaten Lumajang di barat. Kota ini
berpenduduk 2.529.967 jiwa (JDA, BPS 2013) dengan
kepadatan rata-rata 787,47 jiwa/km2.
Beberapa sentra usaha dan jenis usaha terdapat di
Kabupaten Jember, salah satunya adalah usaha keripik
talas milik Ibu Siti Mufaridah dan Bapak Mulyanto yang
terletak di Desa Curah Malang Kecamatan RambipujiJember. Ibu Mufaridah memulai usaha keripik talas pada
tahun 2004 dengan modal awal sekitar Rp.150.000,00.
Usaha ini dikelola dengan manajemen keluarga dan
memakai peralatan sederhana. Harga bahan baku usaha ini
berupa umbi talas saat ini sekitar Rp. 4.000,-/kg, bawang
putih Rp. 18.000,00/kg, garam Rp. 1.000,00/bungkus, dan
minyak kelapa sawit Rp. 12.000,00/kg. Sedangkan harga
jualnya adalah Rp. 4.000,00/bungkus, dimana 1 bungkus
kemasan berat bersihnya adalah 100 gram. . Dalam 1 hari,
rata-rata produksi usaha ini adalah dari 50 kg bahan baku
talas dapat diolah menjadi 125 bungkus keripik talas
dengan kemasan 100 gram. Keuntungan rata-rata usaha ini
adalah Rp. 1.000,00/bungus atau Rp. 125.000,00 per hari.
Adapun proses pembuatan keripik talas yang
dijalankan oleh Ibu Mufaridah adalah sebagai berikut:
219
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
1. Bahan baku
Bahan baku talas disediakan oleh Bapak Mulyanto
sesuai dengan keperluan produksi. Rata-rata produksi
setiap harinya adalah sebanyak 10 kg keripik talas,
sehingga kurang lebih harus tersedia 15 kg umbi talas
setiap harinya.
2. Pengupasan kulit
Setelah bahan baku talas tersedia, maka kulit talas
tersebut dikupas dengan menggunakan pisau potong
biasa.
3. Pencucian
Setelah dikupas, talas-talas tersebut kemudian dicuci
hingga bersih.
4. Perajangan tipis
Perajangan talas dilakukan dengan hati-hati sesuai
dengan ketebalan tertentu agar diperoleh keripik talas
yang renyah.
5. Penggorengan
Setelah dirajang tipis-tipis, lembaran-lembaran talas
tersebut kemudian digoreng dan selanjutnya ditiriskan
secara manual.
6. Pengemasan
Setelah dingin, keripik talas yang sudah matang
dimasukkan ke dalam kemasan plastik dan direkatkan
memakai lilin.
Di dalam menjalankan usahanya, Ibu Mufaridah
dibantu oleh Bapak Moh. Aliman (suami) dan Siti Faiqotul
Hikmah (anak). Tidak ada pekerja yang lain karena usaha
ini masih tergolong mikro (skala rumah tangga). Biasanya
dari 10 kg tales basah dapat diproduksi menjadi 7 – 8 kg
keripik talas. Pemasaran yang dilakukan oleh Moh.
Aliman masih sekitar Balung dan Dukuh-Wuluhan.
Sedangkan pemasaran untuk area kecamatan rambipuji
dijalankan oleh Bapak Mulyanto. Oleh karena itu
dibutuhkan sentuhan pembinaan untuk meningkatkan
kapasitas produksi dan manajemen usaha agar daerah
pemasarannya menjadi lebih luas.
Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga ini adalah
mencakup aspek produksi maupun manajemen. Dari aspek
produksi, mereka membutuhkan alat-alat produksi yang
lebih tepat seperti alat perajang dan alat peniris.
Sedangkan dari aspek manajemen, mereka membutuhkan
pelatihan tentang mengelola bahan baku, alat dan mesin
produksi serta strategi pemasaran.
B. Tinjauan Pustaka
1: Pemasaran
Konsep pemasaran saat ini merupakan suatu orientasi
manajemen yang mengasumsikan bahwa konsumen
adalah raja. konsep pemasaran ini dilaksanakan sebagai
upaya perusahaan untuk memberikan kepuasan kepada
konsumen secara lebih efektif dan efisien bila
dibandingkan dengan pesaing. menurut go (1996) dalam
tandjung (2004), pemasaran adalah proses yang terusmenerus dan menguntungkan bagi perusahaan dengan
cara memuaskan kebutuhan dan keinginan serta harapan
konsumen dengan lebih baik dari pesaing. sedangkan
definisi pemasaran menurut kotler (2003) adalah proses
perencanaan dan pelaksanaan konsep, harga (price),
promosi (promotion) dan distribusi (distribution) terhadap
barang dan jasa agar dapat memuaskan keinginan dan
kebutuhan konsumen.
2: Kepuasan Pelanggan (Konsumen)
Beberapa pendapat para pakar mengenai definisi dari
kepuasan pelanggan. Kotler (2003) menyatakan bahwa
kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang
setelah membandingkan kinerja atau hasil suatu produk
yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya.
Sedangkan kepuasan pelanggan menurut Rangkuti (2004)
adalah mengukur sejauh mana harapan pelanggan
terhadap produk atau jasa yang diberikan dan telah sesuai
dengan aktual produk atau jasa yang ia rasakan.
Menurut Irawan (2004), seorang pelanggan yang puas
adalah pelanggan yang merasa mendapatkan value dari
pemasok, produsen atau penyedia jasa. Value ini bisa
berasal dari produk, pelayanan, system atau sesuatu yang
bersifat emosi. Kalau pelanggan ingin suatu produk yang
berkualitas maka kepuasan terjadi jika pelanggan
mendapatkan produk yang berkualitas. Kalau value dari
pelanggan adalah kenyamanan maka kepuasan terjadi jika
pelanggan merasa benar-banar nyaman. Kalau value dari
pelanggan adalah harga yang murah, maka pelanggan
akan puas kalau mereka mendapatkan harga yang
kompetitif dari produsen.
Perusahaan menggunakan berbagai cara untuk
mempertahankan dan memastikan agar kualitas
produknya memenuhi harapan dan keinginan konsumen.
Pemenuhan harapan akan menciptakan kepuasan bagi
konsumen. Menurut Kotler (2003), konsumen yang
merasa puas akan menjadi pelanggan, dan mereka akan
melakukan pembelian ulang, mengatakan hal yang baik
tentang perusahaan kepada orang lain, menjadi kurang
memperhatikan merek atau iklan produk pesaing dan
selanjutnya akan membeli produk yang lain dari
perusahaan yang sama.
3: Kualitas Produk
Saat ini konsumen lebih selektif dalam memilih
produk, karena jumlah produk sejenis yang ditawarkan
perusahaan semakin banyak. Kriteria pilihan konsumen
dalam membeli suatu produk juga semakin tinggi. Produk
yang berkualitas tinggi dan memiliki nilai kompetitif
tinggi misal dari sisi harga akan dipilih oleh konsumen.
Menurut Juran (2000), kualitas produk adalah
kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi
kebutuhan dan mencapai kepuasan pelanggan. Deming
(1999), menyebutkan bahwa ” Kualitas adalah kesesuaian
dengan kebutuhan pasar”. Sedangkan Feigenbaum (2000)
220
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
menyatakan, ”Kualitas adalah kepuasan pelanggan
sepenuhnya (full customer satisfaction)”. Suatu produk
berkualitas apabila dapat memberi kepuasan sepenuhnya
kepada konsumen, yaitu sesuai dengan apa yang
diharapkan konsumen atas suatu produk.
C. Tujuan Kegiatan
Tujuan kegiatan IbM adalah:
1. Membantu meningkatkan kapasitas produksi mitra
melalui bantuan alat produksi perajang dan penris
2. Meningkatkan wawasan/pengetahuan mitra
melalui pelatihan manajemen usaha dan strategi
pemasaran
D. Manfaat Kegiatan
Tujuan kegiatan IbM adalah:
1. Kapasitas produksi mitra meningkat
2. Pengetahuan/wawasan mitra meningkat
II. TARGET DAN LUARAN
A. Target
Target yang ditetapkan dalan proposal ini adalah:
1. Memperpendek waktu/mempercepat proses
produksi
2. Meningkatkan kapasitas produksi
3. Memperbaiki manajemen, dan
4. Memperluas daerah pemasaran
B. Luaran
Adapun luaran yang diharapkan akan dihasilkan
oleh kegiatan IbM ini adalah:
1. Alat-alat produksi dan alat bantu produksi berupa
timbangan digital, kompor gas beserta tabung LPG
nya, alat penggorengan, alat perajang, alat peniris,
pedal/continous sealer, coding, dan bojongan.
2. Model Pelatihan yang sesuai dengan kondisi usaha
mitra untuk meningkatkan manajemen usaha dan
strategi pemasaran untuk memperluas daerah distribusi
produk keripik talas.
III. METODE PELAKSANAAN
Adapun metode pelaksanaan kegiatan IbM adalah
sebagai berikut:
c. Studi pustaka dan observasi lapang
Untuk membuat alat-alat produksi, maka studi pustaka
yang dibutuhkan adalah:
iii. Pengetahuan tentang proses pembuatan keripik
talas
iv. Pengetahuan tentang material alat produksi
keripik talas agar produk ini yang dihasilkan
aman dikonsumsi masyarakat
d. Observasi lapang yang dilakukan adalah:
vi. Mengamati proses produksi keripik talas yang
dilakukan oleh mitra
vii. Mengamati kualitas keripik talas yang
dihasilkan
viii. Mengamati peralatan produksi yang digunakan
ix. Mengamati manajemen usaha yang dijalankan
x. Mengamati kondisi pemasaran produk
Prosedur kerja yang diterapkan pada kegiatan ini
adalah sebagai berikut:
a. Persiapan
b. Studi Pustaka
c. Survei lapang
d. Pengumpulan dan pengolahan data awal
e. Penyusunan kebutuhan alat produksi dan
pelatihan
f. Pembuatan alat
g. Pelatihan proses produksi dan manajemen
pemasaran
h. Monitoring dan evaluasi
i. Pembuatan laporan
IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
A. Kinerja P3M
Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
(P3M) Politeknik Negeri Jember memiliki programprogram pengabdian untuk membantu masyarakat,
terutama bagi UKM. Beberapa kegiatan pembinaan usaha
kecil menengah yang telah dijalankan oleh P3M adalah
Pendampingan IKM di Kabupaten Jember, Bondowoso,
Situbondo, Lumajang, Banyuwangi, Probolinggo, dan
Pasuruan yang bekerja sama dengan Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur serta dinas-dinas
terkait. Ditambah lagi dengan program-program
pengabdian dari DIKTI dan LIPI, yaitu IbM, IbK, IbPE,
IbKK, IbW, serta IPTEKDA yang telah berhasil
dilaksanakan oleh staf pengajar dan P3M Politeknik
Negeri Jember dengan baik. Oleh karena itu kami
memandang bahwa P3M Politeknik Negeri Jember layak
untuk memperoleh kepercayaan menjalankan kegiatan
IbM ini berdasarkan prestasi yang telah dicapai oleh
lembaga selama ini.
B. Kepakaran yang Dibutuhkan
Adapun kepakaran yang dibutuhkan untuk membantu
menyelesaikan masalah mitra di bidang usaha keripik
talas di Dusun Gumawang RT/RW 014/003 Desa Curah
Malang Kecamatan Rambipuji adalah seperti yang
tercantum dalam Tabel 1 di bawah ini.
TABEL XV
KEPAKARAN ANGGOTA TIM
No
1
2
3
4
Nama
Wendy Triadji
Nugroho, ST, MT
Dessy Putri
Andini, SE, MM
Oktanita Jaya
Angraeni, SE,
MP
Muhammad Oka
Legiono
Pendidikan
S2
S2
S2
SLTA
Bidang Keahlian
Mekanisasi, Proses
Produksi
Kewirausahaan,
Perancangan Produk
Manajemen Produksi
Kewirausahaan
221
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
A. Hasil yang Dicapai
Hasil yang dicapai darai kegiatan IbM ini adalah:
1. Pelatihan Manajemen Usaha dan Strategi
Pemasaran
Dari kegiatan pelatihan manajemen usaha pihak
mitra memahami bagaimana cara melakukan
analisis usaha sehingga dapat diketahui secara
tepat besar profit/keuntungan yang didapat mitra
setiap kali melakukan proses produksi. Mitra kini
juga mulai membiasakan melakukan proses
pencatatan administrasi dan keua ngannya secara
lebih rutin. Pelatihan pemasaran memberikan
informasi yang penting bagi mitra tentang
pentingnya mempertahankan kualitas produk agar
konsumen menjadi pelanggan yang loyal dan
dapat memilih strategi pemasaran yang tepat agar
produk mereka tetap eksis di tengah persaingan
usaha yang semakin ketat.
Perajangan dan penirisan secara manual memiliki sisi
kelemahan. Yang pertama adalah butuh waktu lama, dan
yang kedua adalah ketebalan irisan talas bervariasi. Oleh
karenanya maka jumlah produk yang dihasilkan masih
sedikit dan kualitasnya juga kurang baik.
Gambar 3. Alat perajang
Dengan adanya alat perajang, maka proses perajangan
talas menjadi dua hingga empat kali lebih cepat dan waktu
penirisan minyakpun menjadi lebih singkat. Selain itu,
ketebalan irisan talas menjadi lebih seragam. Sebagai
konsekuensinya, maka dengan adanya bantuan alat-alat
produksi ini, kapasitas produksi, efektifitas dan efisiensi
usaha mitra mengalami peningkatan.
Gambar 2. Pelatihan Manajemen Usaha dan Strategi Pemasaran
2.
Pemberian bantuan alat-alat produksi berupa
perajang dan peniris
Gambar 4. Alat peniris
B. Luaran
Luaran dari kegiatan IbM ini adalah:
Gambar 2. Serah terima alat-alat produksi keripik talas
222
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
1.
2.
Alat produksi keripik talas (Teknologi Tepat
Guna)
Artikel jurnal pengabdian
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dengan berakhirnya kegiatan pengabdian pada
masyarakat ini maka dapat diambil beberapa kesimpulan
:
a. Pelatihan manajemen usaha membantu mitra usaha
dalam melakukan proses pencatatan administrasi
secara lebih rutin, disamping itu mitra juga dapat
menghitung keuntungan usaha dalam setiap kali
mereka melakukan proses produksi.
b. Pelatihan strategi pemasaran memberikan pemahaman
bagi mitra tentang pentingnya senantiasa menjaga
kualitas produk dan strategi bagaimana cara
memperluas daerah pemasaran serta memilih strategi
pemasaran yang tepat.
c. Penggunaan alat perajang dan peniris dapat membantu
mitra dalam meningkatkan kapasitas produksi,
efektifitas dan efisiensi produksi.
B. Saran
1. Untuk Kemenristekdikti: hendaknya programprogram pengabdian kepada masyarakat seperti
IbM tetap dipertahankan keberadaannya dan
sedapat mungkin diperbanyak, baik jenis maupun
jumlahnya.
2. Untuk mitra: seyogyanya mitra memanfaatkan
alat-alat produksi hasil bantuan program IbM
dengan sebaik-baknya, disamping itu juga merawat
alat-alat tersebut, sehingga dapat digunakan dalam
jangka waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Deming, W. Edwards, Out of Crisis. Cambridge: Massachussetts
Institute of Technology, 1999.
[2] Feigenbaum, Armand V. Total Quality Control, 3rd ed. New York:
Mc. Graw Hill Book Inc., 2000.
[3] Irawan, Handi. Kepuasan Pelanggan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka,
2004.
[4] Juran, Joseph M. Quality Planning and Analysis, 3rd ed. New York:
Mc. Graw Hill Book Inc., 2000.
[5] Kotler, Philip. Marketing Management, Eleventh Edition. USA :
Prentice Hall, 2003.
[6] Rangkuti, Freddy. Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan
Kepuasan Pelanggan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2004.
[7] Tandjung, Jenu Widjaja. Marketing Management: Pendekatan Pada
Nilai-nilai Pelanggan. Malang: Bayu Media, 2004.
223
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
IbM KELURAHAN SOBO BANYUWANGI
DALAM PEMBERDAYAAN IBU RUMAH
TANGGA NON PRODUKTIF
Zulis Erwanto1, Dadang Dwi Pranowo2, Yuni Ulfiyati3
Program Studi Teknik Sipil, Politeknik Negeri Banyuwangi
Jl. Raya Jember Km. 13, Labanasem, Kabat, Banyuwangi
1zulis.poliwangi@gmail.com
2dadangdp@yahoo.com
3yuni_ulfia@yahoo.co.id
Abstract
Di Kelurahan Sobo masih banyak Ibu-ibu rumah tangga yang masih aktif tapi tidak memiliki pekerjaan dan banyak dijumpai
keluarga yang kurang mampu dan tidak memiliki penghasilan tetap. Selain itu, banyak dijumpai ibu-ibu yang kreatif tapi hanya
sebagai buruh tani. Oleh karena itu perlu adanya pemberdayaan bagi ibu-ibu rumah tangga dengan memanfaatkan potensi hasil
bumi dari swadaya masyarakat sekitar di Kelurahan Sobo dengan membentuk wadah perkoperasian rumah tangga sehingga
mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup keluarga khususnya bagi ibu-ibu rumah tangga.
Ibu-ibu rumah tangga diberdayakan melalui kegiatan penyuluhan kewirausahaan dan perkoperasian dalam meningkatkan
kreativitas dan keterampilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan bahan baku hasil bumi serta sistem simpan pinjam koperasi.
Beberapa rencana strategi pemasaran diantaranya ialah menentukan logo, menciptakan merek, dan menciptakan kemasan yang
berkualitas. Rencana strategi promosi dengan promosi lewat iklan, promosi penjualan, publisitas, dan penjualan sendiri.
Pemberdayaan ibu rumah tangga non produktif di kelurahan Sobo kabupaten Banyuwangi dapat dilakukan melalui koperasi
rumah tangga yang bergerak di bidang Koperasi Serba Usaha yaitu simpan pinjam dan jual beli produk olahan hasil bumi yang
selama ini masih belum maksimal pemanfaatannya. Berdasarkan hasil analisa kelayakan SWOT dari segi lokasi dan sosial budaya,
pemberdayaan ibu-ibu rumah tangga non produktif melalui koperasi rumah tangga di kelurahan Sobo layak direalisasikan. Target
luaran yang dicapai adalah peningkatan pemahaman ibu-ibu rumah tangga tentang perkoperasian dan kewirausahaan,
peningkatan keterampilan ibu rumah tangga dalam pengolahan hasil bumi untuk meningkatkan produk olahan di Koperasi,
submitted merek dagang ke Dinas Kesehatan Kab. Banyuwangi, dan submitted badan usaha Koperasi Serba Usaha di Dinas
Koperasi Kab. Banyuwangi. Dengan adanya wadah perkoperasian ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan
menciptakan lapangan kerja khususnya di Kelurahan Sobo Kabupaten Banyuwangi.
Keywords— Ibu Rumah Tangga, Kewirausahaan, Koperasi, Pemberdayaan
I. PENDAHULUAN
Hasil bumi yang melimpah di Kabupaten Banyuwangi
ini tidak seutuhnya dapat dipergunakan secara maksimal
dan terkadang hanya terbuang sia-sia atau dibiarkan
membusuk karena tidak habis terjual. Terlebih untuk hasil
kebun dari masyarakat Banyuwangi yang antara lain
adalah pisang, singkong, ubi jalar, labu, dan lainnya.
Di Kelurahan Sobo masih banyak ibu-ibu rumah tangga
yang masih aktif tapi tidak memiliki penghasilan dan
banyak dijumpai keluarga yang kurang mampu dan tidak
memiliki penghasilan tetap. Selain itu, banyak dijumpai
ibu-ibu yang aktif tetapi sebagai buruh tani yang tidak
tetap penghasilannya.
Di Kelurahan Sobo ada beberapa home industri yang
masih perlu adanya pembinaan dan penyuluhan, selain itu
produksinya sangat kecil hanya untuk kalangan sendiri
dan sekitar kelurahan saja. Home industri di sekitar
Kelurahan Sobo antara lain pembuatan tahu, kerupuk
cumi, keripik, pembuatan donat, mie pangsit, dan produksi
jamur tiram.
Hasil pemanfaatan hasil bumi yang dapat diolah
manjadi bahan makanan yang lebih bernilai secara
ekonomi dapat dimanfaatkan oleh pengurus koperasi
rumah tangga yang telah dibentuk oleh ibu-ibu untuk
koperasi simpan pinjam bagi kelancaran usaha mereka.
Selama ini pengoptimalan hasil bumi di kabupaten
Banyuwangi hanya sebatas pendirian home industry yang
pemasarannya hanya di tingkat lokal saja. Melalui
koperasi ibu rumah tangga ini diharapkan dapat
memperluas wilayah pemasaran hasil bumi serta koperasi
224
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
dapat menjadi wadah bagi ibu rumah tangga untuk
menyalurkan kreatifitasnya.
Untuk mengimplementasikan pemberdayaan ibu-ibu
rumah tangga non produktif dan pemberdayaan home
industry di Kelurahan Sobo ini, maka diperlukan suatu
“Program Pemberdayaan Ibu-Ibu Rumah Tangga Non
Produktif Melalui Koperasi Rumah Tangga di Kelurahan
Sobo Kabupaten Banyuwangi”. Diharapkan dengan
adanya wadah perkoperasian rumah tangga mampu
meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup keluarga
khususnya bagi ibu-ibu rumah tangga.
II. TARGET DAN LUARAN
Pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan untuk
memacu masyarakat RT. 01 dan RT. 02 Kelurahan Sobo
Kabupaten Banyuwangi untuk lebih produktif dalam
memanfaatkan hasil bumi yang berlimpah. Ibu-ibu rumah
tangga yang tidak bekerja diberi wadah berupa koperasi
rumah tangga yang dapat membantu mengolah hasil kebun
yang tidak awet menjadi suatu produk yang memiliki nilai
jual yang lebih tinggi sehingga dapat memacu
perekonomian desa menjadi lebih baik.
Selain wadah untuk mengolah hasil kebun, diharapkan
koperasi rumah tangga yang dapat terbentuk nantinya
digunakan untuk membantu kemakmuran bersama bagi
masyarakat desa di Kelurahan Sobo. Salah satu bentuknya
adalah dengan membentuk Koperasi Serba Usaha (KSU)
dalam hal jual beli dan simpan pinjam untuk masyarakat
desa di Kelurahan Sobo dengan anggota koperasi adalah
ibu-ibu rumah tangga.
Target lainnya selain terbentuknya wadah koperasi
rumah tangga, juga melakukan pemberdayaan ibu rumah
tangga dengan meningkatkan keterampilan dan kreativitas
ibu rumah tangga pada RT. 01 dan RT. 02 untuk dapat
memproduksi bahan makanan dari hasil bumi.
Sasaran program ini adalah memfasilitasi ibu-ibu
rumah tangga pada RT. 01 dan RT. 02 Kelurahan Sobo
Kabupaten Banyuwangi dalam kegiatan perkoperasian
serta melaksanakan kerjasama dengan Stakeholder.
Program ini dibuktikan dengan adanya penyuluhan
perkoperasian, manajemen pemasaran dan kewirausahaan
sebagai pembekalan ibu-ibu rumah tangga dalam
mengelola koperasi rumah tangga.
Tabel I. Rencana Target Capaian Luaran
No
Jenis Luaran
1
2
Publikasi ilmiah di jurnal/prosiding
Publikasi pada media massa
(cetak/elektronik)
Peningkatan omzet pada mitra yang bergerak
dalam bidang ekonomi
Peningkatan kuantitas dan kualitas produk
Peningkatan pemahaman dan keterampilan
masyarakat
Peningkatan ketentraman/kesehatan
masyarakat (mitra masyarakat umum)
3
4
5
6
Indikator
Capaian
Submitted
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
No
7
Jenis Luaran
Jasa, model, rekayasa sosial, sistem,
produk/barang
8
Hak kekayaan intelektual (paten, paten
sederhana, hak cipta, merek dagang, rahasia
dagang, desain produk industri, perlindungan
varietas tanaman, perlindungan topografi.
9
Buku Ajar
Sumber : Hasil Analisis, 2016
Indikator
Capaian
Produk/
Barang
Merek dagang
Tidak ada
III. METODE PELAKSANAAN
Dalam pelaksanaan program ini, metode pelaksanaan
yang digunakan didasari dari kesesuaian kehidupan
masyarakat di RT. 01 dan RT. 02, Kelurahan Sobo,
Kabupaten Banyuwangi antara lain :
1. Identifikasi Masalah
Beberapa persoalan prioritas antara lain :
1. Aspek Sosial dan Budaya
a. Bahan baku dan peralatan penunjang yang
masih terbatas.
b. Teknologi pengemasan produk masih kurang.
c. Penentuan lokasi koperasi yang strategis untuk
pemasaran.
d. Perlunya lahan yang luas untuk proses
produksi.
e. Perlu
pengadaan
alat
produksi
dan
penyimpanan bahan baku.
2. Kehidupan Bermasyarakat
a. Timbul keresahan masyarakat terhadap
pembangunan koperasi karena dikhawatirkan
terdapat persaingan dagang.
b. Dikhawatirkan terjadinya kesenjangan sosial
antar warga.
c. Tingkat pendidikan dan pengalaman tentang
perkoperasian masyarakat masih kurang.
2. Analisa Kelayakan
Penilaian terhadap layak tidaknya pembentukan
koperasi rumah tangga di kelurahan Sobo
Banyuwangi, maka dilakukan dengan pemberian nilai
(scoring)
pendekatan
profesional
judgement
menggunakan metode penilaian SWOT dengan
memberikan penilaian terhadap tingkat :
a. Kekuatan (Strength)
b. Kelemahan (Weakness)
c. Peluang (Opportunity)
d. Ancaman (Threat)
Tiap-tiap keadaan akan dikalikan dengan dasar
penilaian sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Kelayakan Pengembangan Bisnis = (S – W) + (O –
T)
Dimana untuk nilai positif (+) akan dinilai layak
sedang sebaliknya untuk nilai negatif (-) akan dinilai
tidak layak.
3. Analisa Produk
Tidak ada
225
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Analisa produk yang dapat dilakukan dalam
pemasaran produk koperasi dalam hal :
a. Menentukan logo dan motto yang harus memiliki
arti positif dan dapat menarik perhatian.
b. Menciptakan merek dan pendaftaran merek
dagang.
c. Menciptakan kemasan yang kualitas kemasan tidak
mudah rusak, bentuk, warna, dan ukuran menarik.
4. Analisa Pemasaran
Ada beberapa sarana promosi yang dapat digunakan
dalam mempromosikan produk diantaranya :
a. Periklanan (advertising).
b. Promosi penjualan (sales promotion), bertujuan
untuk meningkatkan penjualan atau peningkatan
jumlah pelanggan.
c. Publisitas (publicity), kegiatan untuk memancing
pelanggan melalui kegiatan seperti pameran.
d. Penjualan pribadi (personal selling), yang
dilakukan secara langsung oleh salesman dari pintu
ke pintu.
5. Analisa Kebutuhan
a. Kebutuhan Lahan
b. Kebutuhan Keterampilan Penunjang
c. Kebutuhan Alat
d. Kebutuhan Bahan Penunjang
IV. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
Unit P3M (Pusat Penelitian Dan Pengabdian Kepada
Masyarakat) Politeknik Negeri Banyuwangi khususnya
telah beberapa kali ikut berperan aktif dalam program
pengabdian kepada masyarakat seperti terlihat pada Tabel
II. berikut.
Tabel II. Inventarisasi Program Pengabdian Kepada Masyarakat
Politeknik Negeri Banyuwangi
Tahun
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2013
2013
2015
2016
2016
2016
2016
Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pelatihan Kerja Batu untuk Mandor
Pelatihan Program Software Teknik Sipil untuk SMA/SMK
Pelatihan Software Teknik Sipil untuk Pemuda Karang Taruna Rogojampi
Pelatihan Microsoft Office Bagi Tenaga Pengajar Di SDN 01 Pakel Kecamatan Licin
Banyuwangi
Sertifikasi Tenaga Konstruksi Di Banyuwangi
Penyuluhan Infrastruktur Yang Baik Di Daerah Pesisir
Kontrol Frekuensi dan Tegangan Untuk Pembangkit Listrik
Pembinaan Penggunaan Sistem Informasi Perpustakaan SMA/SMK Di banyuwangi
Peningkatan Kemampuan Perangkat desa Dalam Pengoperasian Aplikasi Perkantoran di
Kecamatan Kabat
Pembinaan Penggunaan Sistem Informasi Perencanaan Keuangan Tingkat Kecamatan
Pelatihan Microsoft Office Bagi Perangkat Desa Se-Kecamatan Wongsorejo Guna
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Terhadap Masyarakat
Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar di Kecamatan Wongsorejo dalam
Mengoperasikan Komputer
Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) Bilingual Pokok Bahasan Statistika dan Peluang
Pada Kelas XI SMA/MA
Pelatihan Pengelasan Bagi Karang Taruna Masyarakat Banyuwangi
Rancang Bangun Mesin Pengering Bulir Jagung Untuk Bahan Baku Marning
Instalasi Biogas Menggunakan Substrat Limbah
IbM UKM Pembuat Tahu di Desa Sumberberas dalam Peningkatan Produktifitas Melalui
Penggunaan Mesin Penyaring dan Pemeras Bubur Kedelai
Program Hibah Bina Desa Pengembangan Infrastruktur Pariwisata Air Terjun Selendang
Arum Desa Sumber Arum Kecamatan Songgon
IbM Kelurahan Sobo dalam Pemberdayaan Ibu-ibu rumah Tangga Non Produktif
IbM Desa Purwodadi Kecamatan Gambiran Melalui Rancang Bangun Pembangkit Listrik
Tenaga Matahari (PLTM) Sebagai Upaya Peningkatan Frekuensi Produksi Hasil Panen
Tanaman Buah Naga Merah
Pelatihan Teknologi Konstruksi Paving dalam Mengembangkan Kawasan Desa Labanasem
Pembuatan Media Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi untuk Anak Berkebutuhan
Khusus Tunaganda dan Autis di Kabupaten Banyuwangi
Pendanaan
Sumber Jml (Juta Rp)
APBN
Rp 10.00
APBN
Rp 10.00
APBN
Rp 10.00
APBN
Rp 10.00
APBN
APBN
APBN
APBN
Rp
Rp
Rp
Rp
10.00
15.00
15.00
15.00
APBN
Rp
15.00
APBN
APBN
Rp
Rp
15.00
15.00
APBN
Rp
15.00
APBD
Rp
10.00
APBN
APBN
DIKTI
DIKTI
Rp
Rp
Rp
Rp
15.00
15.00
49.00
45.00
RISTEKDIKTI Rp
40.00
RISTEKDIKTI Rp
RISTEKDIKTI Rp
38.00
32.50
PNBP
PNBP
Rp
Rp
10.00
10.00
Sumber : Data Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Politeknik Negeri Banyuwangi, 2016
V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Untuk pemberdayaan ibu rumah tangga di Kelurahan
Sobo Kabupaten Banyuwangi khususnya pada RT.01 dan
RT.02 perlu adanya sosialisasi terlebih dahulu ke dalam
kegiatan ibu PKK untuk mengetahui respon dan kelayakan
dari segi sosial budaya di lingkungan kelurahan Sobo
tentang pemahaman pemberdayaan ibu rumah tangga non
produktif dalam bentuk wadah koperasi rumah tangga.
Gambar I. Sosialisasi
Kegiatan
IbM
Dalam
Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga Non
Produktif pada PKK Kelurahan Sobo
(Dokumentasi, 2016)
Hasil sosialisasi tersebut direspon sangat baik dan ibuibu sangat tertarik dalam hal simpan pinjam dan penjualan
hasil produksinya melalui koperasi. Penilaian kelayakan
lokasi dan dari segi sosial budaya di lingkungan kelurahan
Sobo dapat dilihat pada Tabel III dan IV.
Tabel III. Penilaian Kelayakan Lokasi Dengan Metode SWOT
No
1.
Uraian
Kekuatan
(Strenght)
Poin
Nilai
S
4
Kelemahan
(Weakness)
Poin
Nilai
2.
Dekat dengan
pemukiman
Ada lahan 84 m2
3.
Bahan baku terbatas
W
3
4.
Teknologi
pengemasan terbatas
W
3
5.
Tersedia lapangan
kerja baru
Jumlah anggota dan
cabang bertambah
banyak
Terdapat banyak
saingan
6.
7.
Total Nilai SWOT
S
S
Peluang
(Opportunity)
Poin
Nilai
Ancaman
(Threat)
Poin Nilai
3
7
W
6
O
4
O
3
O
7
T
4
T
4
Sumber : Hasil Analisis, 2016
Kelayakan Lokasi = (S–W) + (O–T) = ( 7 – 6 ) + ( 7 – 4 )
= 1 + 3 = (+) 4
Dari hasil analisis SWOT kelayakan lokasi,
menunjukkan bahwa lokasi pendirian koperasi rumah
tangga di Kelurahan Sobo Kabupaten Banyuwangi
memiliki score total sama dengan +4 ≥ 0, sehingga layak
untuk direalisasikan.
Dari perkembangan banyaknya peminat maka langkah
berikutnya adalah melakukan pendekatan ibu-ibu rumah
tangga yang mau berkomitmen untuk menjadi pengurus
dan menjalankan program pemberdayaan ibu-ibu rumah
tangga dengan menjaring anggota koperasi dalam bentuk
226
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
perkumpulan ibu-ibu rumah tangga sehingga akan
memudahkan untuk komunikasi dan koordinasi.
Tabel IV. Penilaian Kelayakan Sosial Budaya Dengan Metode SWOT
Kelebihan
Lokasi strategis dekat
dengan permukiman
Score
4
Berada di jalan poros
utama
Mampu membuat
lapangan kerja baru
Masyarakat setuju
dengan pembangunan
koperasi
4
Total Score
16
Kekurangan
Timbul keresahan
masyarakat terhadap
pembentukan koperasi
karena adanya banyak
saingan
Terjadinya kesenjangan
sosial
Score
4
3
4
4
Total Score
7
Sumber : Hasil Analisis, 2016
Kelayakan Sosial Budaya = Kelebihan – Kekurangan
= 16 – 7 = 9 ≥ 0
Dari hasil analisis Kelayakan Sosial Budaya,
menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya di Kelurahan
Sobo Banyuwangi memiliki score total 9 ≥ 0, sehingga
dapat dikatakan bahwa pembentukan koperasi rumah
tangga sangat layak. Tindak lanjut berikutnya melakukan
penyuluhan tentang perkoperasian dari Dinas Koperasi
Banyuwangi dan penyuluhan tentang kewirausahaan dan
pemasaran dari Narasumber Toko Online Shop.
(seperti asas koperasi yatu: gotong royong dan
kekeluargaan) atau kumpulan tersebut membentuk
“bunga” atau “kembang” yang selalu mekar dan
berkembang, terbuka. ZAHWANGI singkatan dari
Zahwan Group Innovation. Zahwangi merupakan
gabungan istilah yaitu Zahwan dan Wangi. Zahwan
diambilkan dari bahasa Arab yang artinya “Sedap
Dipandang” dan Wangi artinya “Harum Semerbak”.
Dengan harapan semoga Koperasi Serba Usaha Zahwangi
selalu sedap dipandang oleh masyarakat dan harum
semerbak dalam meningkatkan kesejahteraan anggotaanggotanya.
Warna:
Abu-abu : Formal dan tegas
Biru
: Stabilitas, keteguhan, harmonisasi,
kemandirian
Orange
: Sosial, mengayomi
Ungu
: Aktif, produktif
Visi :
Mewujudkan anggota koperasi yang sejahtera dan
mandiri
Misi :
Meningkatkan peran masyarakat dalam ekonomi
kerakyatan
Menciptakan lapangan kerja bagi anggota dan
masyarakat sekitar
Meningkatkan pemerataan pendapatan dan hasil usaha
Tujuan :
Meningkatkan pendapatan anggota koperasi yang
memiliki kegiatan produktif melalui usaha simpan
pinjam dan unit usaha masyarakat kecil
Berdasarkan rapat anggota dibuatlah struktur organisasi
dan pemaparan tentang sistem simpan pinjam dan
produksi jual beli di KSU Zahwangi.
Gambar II. Penyuluhan Perkoperasian dan Kewirausahaan (Dok, 2016)
Dari hasil penyuluhan maka dibentuklah pengurus
koperasi yang disepakati bersama untuk membentuk
wadah koperasi yang bergerak dibidang Koperasi Serba
Usaha yaitu dalam hal simpan pinjam dan jual beli dengan
profil sebagai berikut:
Gambar IV. Rapat Anggota Koperasi Serba Usaha Zahwangi (Dok,
2016)
Gambar III. Logo KSU Zahwangi (Dok, 2016)
Visualisasi dan makna logo adalah tampak sekumpulan
orang yang berkumpul saling menguatkan satu sama lain
yang dalam artian melakukan aktifitas bersama,
mencerminkan gotong royong dan rasa kekeluargaan
Struktur organisasi Koperasi Serba Usaha terdiri dari:
Unsur Perangkat Organisasi Koperasi :
Rapat Anggota
Pengurus
Pengawas
Unsur Pelaksana yaitu manajer dan karyawan
227
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
RAPAT ANGGOTA
DEWAN
PENGAWAS
KETUA PENGURUS
KOPERASI
BAGIAN UMUM
DAN TATA USAHA
BAGIAN SIMPAN
PINJAM
BAGIAN JUAL BELI
DAN PEMASARAN
Gambar V. Bagan Struktur Organisasi Koperasi Serba Usaha
Zahwangi” (Hasil Analisis, 2016)
Berdasarkan rapat anggota untuk sistem perkreditan
KSU memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. Pinjaman / Kredit tersebut akan diangsur dalam jangka
waktu 3 bulan.
b. Atas pinjaman / kredit tersebut Saya bersedia
dikenakan bunga ( tetap / menurun ) 10%.
c. Untuk pelunasan fasilitas kredit tersebut, Saya
memberikan kuasa penuh yang tidak dapat dibatalkan
/ dicabut, yang selanjutnya dibayarkan sebagai
angsuran dengan denda keterlambatan 2% perbulan
kali saldo terhitung pada bulan termaksud/jatuh tempo.
d. Saya bersedia melunasi sisa kredit pinjaman di atas
baik secara tunai atau dengan harta milik pribadi
maupun keluarga.
e. Bersedia dikenakan biaya Administrasi sebesar 1%
dari total pinjaman pada saat sebelum transaksi kredit
dilaksanakan.
f. Jika pinjaman di atas Rp. 1 juta, maka Saya bersedia
untuk menandatangani surat perjanjian pinjaman
diatas materai Rp. 6000,- dengan ketentuan yang
mengikat didalamnya dan bersedia patuh secara
hukum.
Dari hasil rapat anggota terkumpulah modal usaha dari
simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela
dan ditindaklanjuti dengan berjalannya masa percobaan
perkreditan bagi ibu rumah tangga dan dilanjutkan belanja
alat dan bahan untuk kegiatan produksi pengolahan hasil
bumi untuk dikemas dan didaftarkan merek dagang di
Dinas Kesehatan Kab. Banyuwangi.
Kegiatan produksi pengolahan hasil bumi yang
dilakukan ibu-ibu rumah tangga kelurahan Sobo saat ini
masih dalam tahap percobaan dikarenakan masih kondisi
merintis dan melihat kondisi pasar dan ketersediaan bahan
baku. Pengolahan bahan baku seperti ubi, singkong,
pisang, sayur wortel, bayam, dan selada air bisa untuk
dijadikan produk olahan. Berikut hasil produk olahan yang
bisa diproduksi sementara oleh ibu-ibu rumah tangga non
produktif di kelurahan Sobo.
Tabel V. Prakiraan Biaya Produksi dan Harga Jual Produk Olahan
Biaya
Harga
Keuntungan
Produksi
Jual
Produk
(Rp/kg)
(Rp/kg)
(Rp/kg)
Kerupuk Sayur Selada Air
dan Bayam
24.500
30.000
5.500
28.000
32.000
4.000
43.000
50.000
7.000
30.800
32.000
1.200
60.000
72.000
12.000
Kerupuk Sayur Wortel
Sale Pisang Lilit
Kerupuk Samiler
Kue Kering Dari Tepung
Ubi Ungu
Sumber : Hasil Analisis dan Dokumentasi, 2016
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pemberdayaan ibu rumah tangga non produktif di
kelurahan Sobo kabupaten Banyuwangi dapat
dilakukan melalui koperasi rumah tangga yang
bergerak di bidang Koperasi Serba Usaha yaitu simpan
pinjam dan jual beli produk olahan hasil bumi yang
selama ini masih belum maksimal pemanfaatannya.
2. Berdasarkan hasil analisa kelayakan SWOT dari segi
lokasi dan sosial budaya, pemberdayaan ibu-ibu rumah
tangga non produktif melalui koperasi rumah tangga di
Gambar VI. Konsultasi Pendaftaran Merek Dagang Di Dinas Kesehatan
Banyuwangi (Dok, 2016)
228
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
3.
1.
2.
3.
kelurahan Sobo kabupaten Banyuwangi layak
direalisasikan.
Target luaran yang dicapai adalah peningkatan
pemahaman ibu-ibu rumah tangga tentang
perkoperasian dan kewirausahaan, peningkatan
keterampilan ibu rumah tangga dalam pengolahan
hasil bumi untuk meningkatkan produk olahan di
Koperasi, submitted merek dagang ke Dinas
Kesehatan Kab. Banyuwangi, dan submitted badan
usaha Koperasi Serba Usaha di Dinas Koperasi Kab.
Banyuwangi.
Beberapa saran dalam pemberdayaan ibu rumah
tangga melalui koperasi rumah tangga antara lain :
Untuk mengoptimalkan kerja dari Koperasi Serba
Usaha ini perlu adanya kerjasama dengan pemerintah,
badan usaha, UKM (Unit Kegiatan Masyarakat) terkait
mengingat persaingan yang ketat di bidang
perkoperasian.
Perlu adanya peningkatan pelatihan-pelatihan tentang
kewirausahaan dan manajemen strategi pemasaran
bagi ibu rumah tangga.
Perlu adanya bantuan dana dari pemerintah daerah
dalam peningkatan teknologi pengemasan produk.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Direktorat Riset
dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal
Penguatan Riset Dan Pengembangan, Kementerian Riset,
Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi atas pendanaan dan
kepercayaannya yang diberikan agar bisa terlaksananya
kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini, kedua kalinya
kepada Direktur dan Wakil Direktur 1, 2, dan 3 Politeknik
Negeri Banyuwangi atas dukungan dan fasilitasnya yang
telah diberikan, serta anggota pengabdi khususnya dan
civitas akademika Politeknik Negeri Banyuwangi pada
umumnya atas kerjasamanya selama ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
Maharani, Anita. 2012. Artikel Pemberdayaan Masyarakat.
Jakarta.
http://dkijakarta.bkkbn.go.id/2012/artikelpemberdayaan-masyarakat.html
Wikipedia. 2014. Pengertian Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga.
Jakarta.http://wikipedia.org/wiki/pemberdayaan_ibu_rumah_tang
ga.html
Sari, Candra N.. 2013. Pengertian, Tujuan, dan Prinsip-Prinsip
Koperasi.Jakarta.http://candranopitasari.blogspot.com/2013/01/p
engertian-tujuan-dan-prinsip-prinsip_12.html
Sunarya, dkk. 2011. Kewirausahaan.Yogyakarta. Penerbit Andi.
229
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
KELOMPOK PETANI JAMUR TIRAM
”MUTIARA JAMUR”
TEGAL GEDE - JEMBER
Suharjono1), Dwi Rahmawati 2)
Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember
Email: har2006_jon@yahoo.co.id
2)
Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember
Email : yoeyoen354@gmail.com
1)
Abstrak
Tujuan dari kegiatan pengabdian ini adalah untuk membantu petani jamur tiram dalam proses pencampuran bahan baku media
jamur yang selama ini dilakukan secara manual yang memberikan hasil pertumbuhan jamur kurang maksimal. Dan selain itu
proses pengontrolan suhu dan kelembaban kumbung masih dilakukan secara manual, sehingga hasil pengontrolan tidak
optimal dan sering terjadi kesalahan hal ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan jamur. Target yang ingin dicapai adalah
proses pencampuran menggunakan mesin pencampur sehingga pertumbuhan jamur lebih sempurna, selain itu kontrol suhu
dilakukan secara mekanis. Metode yang digunakan adalah untuk proses pencampuran menggunakan prinsip pengaduk
horisontal sehingga kapasitas dan pengoperasian lebih maksimal. Sedangkan untuk pengontrol suhu dan kelembaban
dipergunakan alat kontrol secara elektronik dengan menggunakan termokontrol digital. Dengan teknologi ini pengontrol suhu
dan kelembaban akan lebih tepat. Hasil dari kegiatan ini adalah terbuatnya Mesin pencampur media jamur tiram dengan
spesifikasi: Dimensi (p,l,t) : (150,100, 140) cm, Rangka: besi siku 5x5, Penggerak: Motor Bensin 5,5 hp, Kapasitas : 1,5 Kw
sekali proses/5menit dan terbuatnya alat kontrol suhu menggunakan termo kontrol digital, dengan beban kontrol pompa air
200 watt yang dilengkapi nozel pengkabut air.
Kata kunci: jamur, kelembaban, kontrol, pencampuran, suhu, tiram
1. PENDAHULUAN
Seiring dengan popularitas dan
memasyarakatnya jamur tiram sebagai bahan makanan
yang lezat dan bergizi, maka permintaan konsumen dan
pasar jamur tiram di berbagai daerah terus meningkat.
Peningkatan permintaan konsumen terhadap jamur tiram
berimplikasi terhadap penyediaan jamur tiram yang
memadai secara kontinyu dan berkualitas. Dengan
adanya peluang usaha penyediaan jamur tiram yang
sangat besar ini maka di Kabupaten Jember banyak
bermunculan pelaku-pelaku usaha budidaya jamur tiram
beberapa diantaranya seperti kelompok pengusaha jamur
tiram yang berada di Desa Antirogo Kecamatan
Sumbersaari Kabupaten Jember yang beranggotakan
sekitar 20 petani budidaya jamur tiram.
Petani budidaya jamur tiram tersebut dalam
budidayanya melakukan kegiatan rutin seperti: pembuatan
baglog,
sterilisasi baglog, pengontrolan suhu dan
kelembaban kumbung, pemeliharaan, dan pemanenan.
Pembuatan baglog jamur tiram dilakukan melalui
beberapa tahapan diantaranya adalah pencampuran
beberapa bahan media baglog seperti serbuk gergaji kayu,
dedak, serbuk jagung dan bahan tambahan lainnya.
Pencampuran selama ini dilakukan secara manual
menggunakan sekop dengan kapasitas pencampuran
hanya ½ kw sekali proses. Pencampuran secara manual ini
mempunyai beberapa kelemahan seperti hasil campuran
kurang merata, hal ini ditunjukkan pertumbuhan miselium
yang tidak merata, umur produktif relatif pendek. Kondisi
ini akan sangat merugikan petani pembudidaya jamur.
Selain itu anggota juga dihadapkan pada aktifitas
rutin yaitu pengontrolan suhu dan kelembaban kumbung
yang harus dilakukan setiap saat, hal ini disebabkan karena
ketepatan suhu dan kelembaan kumbung sangat
menentukan sekali untuk keberhasilan secara maksimal
produksi jamur tiram. Selama ini pengontrolan suhu dan
kelembaban dilakukan secara manual artinya apabila suhu
dan kelembaban kurang dari yang di inginkan maka
dilakukan tindakan seperti penyemprotan air kedalam
kumbung atau pemberian hawa panas. Pelaksanaan
pengontrolan secara manual ini sangat dirasakan berat
karena pengontrolan harus dilakukan setiap saat.
230
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Dari uraian analisis tersebut dapat disimpulkan
bahwa permasalahan prioritas yang dihadapi mitra adalah:
1. Pencampuran bahan baku media tanam jamur tiram
secara manual mempunyai kelemahan hasil campuran
kurang merata, hal ini berdampak pada pertumbuhan
miselium kurang sempurna dan masa produkstif jamur
menurun, sehingga sangat merugikan petani
pembudidaya jamur tiram.
1.
2.
3.
4.
5.
2. pengontrolan suhu dan kelembaban kumbung masih
dilakukan secara manual sehingga sering terjadi
ketidaktepatan pengontrolan, hal ini akan berdampak
pada pertumbuhan jamur kurang optimal
2. METODE
Untuk mengatasi permasalahan mitra solusi yang
ditawarkan adalah:
1. Untuk proses pencampuran bahan baku media jamur
menggunakan prinsip kerja pengaduk putar
horizontal. Bahan baku media berada dalam satu
tabung, kemudian batang pengaduk berputar secara
pelahan ditengah tabung. Batang pengaduk didesain
agar bahan teraduk rata baik arah vertikal mauan arah
horinsontal. Tenaga penggerak menggunakan motor
listrik 1 HP dengan transfer tenaga menggunakan
gearbox type 70. Kapasitas sekali proses didesain
sebanyak 1,5 kw/sekali proses selama 5 menit.
Dengan kapasitas ini diharapkan sehari mampu
memproduksi ½ ton bahan baku media.
2. Untuk pengontrolan suhu dan kelembaban kumbung
akan diterapkan sistem kontrol secara elektronik
sederhana. Alat kontrol ini mempunyai kelebihan
yaitu: ketepatan kontrol akan lebih terjamin,
pengoperasian lebih mudah, dan juga biaya
pemeliharaan lebih murah. Alat kontrol suhu dan
kelembaban ini bekerja menggunakan sensor suhu
Termokoppel yang mempunyai presisi tinggi, Sistem
kontrol yang digunakan adalah termo kontrol digital
sistem loop- tertutup dan on-off kontrol untuk
mengendalikan beban seperti kipas angin dan heater.
Dengan teknologi seperti ini suhu dan kelembaban
kumbung akan selalu terjaga sesuai dengan yang
diharapkan.
Adapun teknis pelaksanaan kegiatannya adalah:
Menentukan tempat yang akan ditempatkan mesin
pencampur dan alat kontrol yang dapat mewakili
anggota lain atau yang dapat dipakai bersama atau
dalam jangka waktu yang akan datang mesin dan alat
ini dapat dijadikan rujukan untuk diproduksi lebih
lanjut oleh anggota
Merancang dan membuat pencampur dan alat
kontrol suhu dan kelembaban
Pembinaan Manajemen Pemakaian bersama
mesin dan alat
Uji coba Alat
Evaluasi keberhasilan program
Gambar 1. Gambaran Iptek yang akan diterapkan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam kegiatan pengabdian ini ada beberapa
tahapan pekerjaan yang harus dilakukan meliputi:
koordinasi dengan mitra, perancangan dan pembuatan alat
yang akan diterapkan, uji coba alat, uji coba produksi, dan
evaluasi.
Hasil kegiatan tersebut meliputi:
Koordinasi dengan mitra
Dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian ini kami
tim selalu melakukan diskusi, meminta masukan dan juga
saran. Hal ini dilakukan agar teknologi yang akan kita
terapkan betul-betul digunakan oleh mitra dan mampu
meningkatkan proses produksi baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Dari hasil koordinasi ini mitra setuju
dengan teknologi yang kami tawarkan.
1.
2. Perancangan dan pembuatan alat
Dalam kegiatan pengabdian ini ada dua peralatan
yang akan diterapkan yaitu: mesin pencampur media
jamur dan alat kontrol suhu kumbung jamur. Dalam proses
pembuatan alat tersebut diatas ada beberapa tahapan yang
dilakukan meliputi: perancangan, pemilihan bahan,
pembuatan, dan uji coba.
a. Mesin Pencampur media jamur
Untuk pencampuran media jamur menggunakan
prinsip pencampuran horizontal dengan bial pengaduk tipe
helix. yang digerakkan dengan tenaga motor bensin 5,5
HP. Tenaga dari motor bensin direduksi menggunakan
reduser type 50 dengan perbandingan 1: 20, dengan sistem
231
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
ini maka proses pencampuran akan lebih seragam dan
tenaga pengadukan tidak terlalu berat. Kapasitas
pencampuran kurang lebih 1,5 kwintal bahan media jamur
sekali proses selama 5 menit.
Gambar 2. Mesin Pencampur media jamur
b.
Alat Kontrol
Sedangkan untuk mengendalikan suhu ruang
kumbung digunakan alat termo kontrol digital dengan
menggunakan
sensor
termo
Koppel.
Dengan
menggunakan alat ini suhu yang akan dikontrol dapat
disetting dengan menggunakan fasilitas yang ada pada alat
ini, dan secara otomatis pengontrolan akan berjalan.
Tampilan digital dari alat ini ada dua yaitu tampilan
suhu settingan dan tampilan suhu ruang kumbung yang
sebenarnya. Beban kontrol yang dkendalikan oleh alat ini
adalah pompa air yang dilengkapi dengan peralatan nozel.
Apabila suhu ruang kumbung melebihi suhu settingan
maka alat kontrol memerintahkan pompa untuk
mengkabutkan air kedalam ruang kumbung, sehingga
suhu ruang kumbung akan turun lagi sesuai suhu setingan.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa:
a. Koordinasi selalu dilakukan dengan mitra sehingga
terjalin hubungan yang lebih baik.
b. Perancangan dan pembuatan mesin pencampur dan
alat kontrol suhu sesuai dengan yang direncanakan.
c. Mesin Pencampur mempunyai sepesifikasi:
Dimensi (p,l,t) : ( 150, 100, 140) cm
Rangka
: besi siku 5x5
Penggerak
: Motor Bensin 5,5 hp
Kapaisitas : 1,5 Kw sekali proses/5 menit
d. Alat Kontrol mempunyai spesifikasi:
Dimensi (p,l,t)
: (30, 35, 75) cm
Bahan rangka
: pipa kotak SS
Komponen Kontrol: Termo kontrol Digital
Range Suhu
: (0 – 200)o C
Pompa Air Tekan : 200 watt
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat
Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Kemenristek
Dikti yang telah memberi hibah terhadap pengabdian
Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arixs, 2005, Budidaya jamur tiram, Penerbit Swadaya,
Jakarta
Andrew, P dan Ferdinand L.S, 1985. Kekuatan Bahan.
Penerbit Erlangga. Jakarta.
Gunterus, F. 1994. Falsafah Dasar: Sistem
Pengendalian Proses. Penerbit PT Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Hogenboom, P. 1988. Data Sheet Book 3. PT Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Jasjfi, E., 1993, Operasi Teknik Kimia (terjemahan),
Erlangga, Jakarta.
Kiyokatsu Suga dan Sularso.1979. Dasar Perencanaan
dan Pemilihan Elemen Mesin. PT Pradnya
Paramita. Jakarta.
Gambar 3. Box control
232
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Aplikasi Cutter Disc Rotary untuk Pengolahan
Kerupuk Rambak
R. Abdoel Djamali 1)*, Didiek Hermanuadi2)**, Cholyubi Yusuf3)***
1) Manajemen
2) Teknologi
Agribisnis, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Po. Box 164 Jember
Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip Po. Box 164 Jember
*)Email:
jatifar@yahoo.com
**)Email: didiekhermanuadi@yahoo.com
***)Email: yusufcholyubi@ymail.com
Abstrak
Desa Mangli Kabupaten Jember merupakan suatu kawasan sentra aneka produksi kerupuk yang telah
berkembang sejak tahun 1980-an. Jenis kerupuk yang dihasilkan berdasarkan bahan baku utama dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: (a) berbahan baku kulit sapi: kerupuk rambak, (b) berbahan baku tepung terigu:
kerupuk tahu, (c) berbahan baku tapioka: kerupuk barabir, kerupuk genjot, kerupuk THR, kerupuk Iris, kerupuk
impala. Khusus untuk Kerupuk Rambak, dalam tahapan pemotongan bahan baku rambak dengan cara menggunting
secara manual menggunakan tenaga manusia. Beberapa kelemahan cara tersebut adalah: (1) produktivitasnya
sangat rendah dan membutuhkan waktu lama 8-10 jam setiap 150 kg kulit rambak, (b) ukuran dan bentuk hasil
potongan yang beragam sehingga mengurangi nilai estetika, (c) membutuhkan tenaga gunting yang banyak, sehingga
alokasi biaya tenaga kerja potong relatif besar (minimal 5 orang per hari untuk 150 kg kulit rambak). Target dan
Luaran: (a) mampu mengintroduksikan alat pemotong multiblade (Cutter Disc Rotary ), (b) mampu menekan biaya
tenaga potong cukup 1 orang operator dengan produktitasnya 30 kg per jam, dan (c) Mampu mensuplai bahan baku
kulit rambak berkualitas dan kontinu. Metodologi yang digunakan: melalui pembuatan Mesin Cutter Disc Rotary
(CDR), penyuluhan, dan pendampingan di UKM oleh Tim Pelaksana. Kesimpulan: (1) Mesin Pemotong kulit rambak
berfungsi dengan baik berkapasitas 30 kg/jam hanya dengan 1 operator, (2) Menekan biaya tenaga kerja hingga
80%, (3) Menghemat waktu hingga Hemat waktu 30%, (4) Membutuhkan biaya listrik sebesar Rp 5.256 per hari,
dan (5) Pengoperasian Mesin CDR relatif aman dan nyaman bagi pekerja.
Kata Kunci: Cutter Disc Rotary, Kerupuk Rambak
BAB 1. PENDAHULUAN
Kerupuk rambak adalah kerupuk yang
menggunakan kulit sapi sebagai bahan bakunya.
Satu-satunya UKM di Desa Mangli yang memperoduksi
kerupuk rambak yakni “ UD. ADUHAI” yang telah berdiri
lebih dari 20 tahun. Usaha ini ternyata mampu menyerap
tenaga kerja total sebanyak 57 orang yang terdiri dari 47
orang perempuan dan 10 orang laki-laki. Seluruh pekerja
itu berasal dari satu kampung dengan sistem kerja harian
dan borongan. Sampai sekarang Agroindustri ini sudah
mampu memproduksi kerupuk rambak minimal 1,5
kuintal/hari. Pangsa pasar produk kerupuk rambak
“ADUHAI” meliputi wilayah: Kabupaten Jember (tokotoko, Mini-market, Matahari Departemen Store,
Koperasi), Bondowoso, Malang, Lumajang hingga
Kabupaten Blitar.
Proses pembuatan Kerupuk Kulit yang dilakukan
meliputi tahapan-tahapan proses sebagai berikut: Rambak
kulit direbus selama 1 jam, dipotong-potong dengan
menggunakan gunting baja dengan ukuran lebar 0,5-1 cm
dan panjang 2 cm, pemberian bumbu dengan bawang putih
dan garam, penjemuran atau pengeringan di bawah terik
matahari, penggorengan, pengatusan serta pengemasan
[1].
Kulit yang sudah direbus berbentuk lembaran
berlekuk tidak beraturan, tahapan berikutnya pemotongan
dengan menggunakan alat gunting. Tentunya pemotongan
dengan menggunakan tenaga manusia, maka ukuran yang
dihasilkan tidak sama sehingga menghasilkan kerupuk
rambak yang beragam dan mengurangi nilai esttetika.
Tenaga potong yang dibutuhkan untuk memotong 150 kg
diibutuhkan 5 orang atau produktivitas kerjanya 30 kg per
hari. Melihat Kenyataan tersebut, perlu diupayakan
sentuhan teknologi guna meningkatkan efisien dan
233
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
produktivitas kerja khususnya dalam dalam proses
pemotongan bahan baku kerupuk rambak.
Bab 2. Target dan Luaran
Target dan Luaran kegiatan IbM ini sebagai berikut:
N
o
1.
2.
Mitra IbM
Mitra UKM-I
Bapak Erwin
UD“ADUHAI”
Mitra UKM- II
Bapak Haji
Yusuf
Target
Luaran
a. Mampu
mengintroduksikan
alat pemotong
multiblade (Cutter
Disc Rotary )
1. Mesin Pemotong
multiblade
(Cutter Disc
Rotary )
2. Dihasilkan
potongan kerupuk
rambak yang
ukuran dan
bentuknya sama
b. Mampu menekan
3. Menurunkan
biaya tenaga potong
biaya tenaga
cukup 1 orang
potong 80% (dari
operator dengan
5 orang menjadi 1
produktitasnya 30
orang operator)
kg per jam
a. Mampu mensuplai 1. Kulit Sapi
bahan baku kulit
rambak berkualitas
dan kontinu
Bab 3. Metode Pelaksanaan
1.
2.
3.
Observasi Lapang: yakni langkah awal yang harus
dilakukan sebagai bahan masukan dalam proses
penyusunan proposal kegiatan ini dan mengumpulkan
data-data teknis kebutuhan dari Bapak Erwin UD
“ADUHAI” dan Bapak H. Yusuf sebagai supplier
bahan baku
Studi Pustaka: yakni langkah yang bertujuan untuk
mengumpulkan referensi hasil kajian akademik
berupa jurnal dan artikel ilmiah tentang sarang semut
Rancang Bangun dan Rancang Fungsional Mesin
Pemotong Multiblade (Cutter Disc Rotary /CDR).
Secara umum mesin pemotong CDR berfungsi
memotong bahan kulit yang sudah direbus menjadi
potongan sesuai yang diinginkan. Mesin ini terdiri
dari tiga bagian uutama yakni:
1. sistem transmisi daya,
2. sistem pemotong/pengiris, dan
3. konstruksi mesin.
Lembaga ini bertugas melaksanakan, mengkoordinasikan,
memantau, dan menilai pelaksanaan kegiatan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Dalam melaksanakan
tugasnya, P3M menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan rencana, program, dan anggaran Lembaga;
b. pelaksanaan penelitian ilmiah murni dan terapan;
c. pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat;
d. pelaksanaan publikasi hasil penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat;
e. peningkatan relevansi program penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat; dan pelaksanaan urusan administrasi
Lembaga
Pengelola Pengabdian kepada Masyarakat
1. Pengelolaan dan koordinasi program pengabdian
kepada masyarakat di tingkat Universitas dilakukan
oleh P3M.
2. P3M adalah unsur pelaksana akademik yang
mempunyai tugas antara lain:
a. Mengkoordinasikan, memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan
kegiatan
pengabdian
yang
diselenggarakan oleh unit pelaksana yang terdiri
dari Pusat Pengabdian kepada masyarakat, Jurusan,
Program Studi, Laboratorium, Dosen dan atau
Mahasiswa secara perorangan maupun kelompok;
b. Mengusahakan serta mengendalikan administrasi
sumber daya yang diperlukan;
c. Menyelenggarakan pelatihan-pelatihan dibidang
pengabdian, dalam rangka pengembangan sumber
daya manusia internal dan atau eksternal kampus.
3. Bidang Pengabdian kepada Masyarakat adalah unsur
pelaksana Pengabdian kepada Masyarakat di bawah
P3M yang bertugas menyelenggarakan pelaksanaan
kegiatan pengabdian sesuai dengan bidangnya masingmasing.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat menggunakan
sumberdana dari DP2M-Dikti, Pemerintah Kabupaten,
Pemerintah Provinasi dan Dana Mandiri. Beberapa
Program Pengabdian kepada Masyarakat yang telah
dilaksanakan oleh P2M Polije dengan sumberdana DP2MDIKTI periode tahun 2011-2014 sebagai berikut [4]:
Tabel 1
Jumlah Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Politeknik Negeri
Jember Sumberdana DP2M-DIKTI 2011-2014
No
Bab 4. Kelayakan Perguruan Tinggi
Kinerja Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (P2M) Politeknik Negeri Jember. Salah satu
organ dari Direktur Politeknik Negeri Jember yakni Pusat
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M).
1
2
3
4
Kegiatan
IbM
IbK
IbBE
IbW
Jumlah
Jumlah Kegiatan Pengabdian kepada
Masyarakat
2011
1
2012
6
2013
9
1
2014
17
1
1
6
10
18
234
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Khusus untuk kegiatan IPTEKDA–LIPI yang dikelola
oleh P2M Politeknik Negeri Jember bersama Kelompok
Intermediasi Alih Teknologi (KIAT) Polije sejak tahun
2008-2014 menunjukkan kinerja yang sangat baik, sebagai
berikut [2]:
rendah dan membutuhkan waktu lama (8-10 jam setiap
150 kg kulit rambak, (b) ukuran dan bentuk hasil
potongan yang beragam sehingga mengurangi nilai
estetika, (c) membutuhkan tenaga gunting yang banyak,
sehingga alokasi biaya tenaga kerja potong relatif besar
yakni minimal 5 orang per hari untuk 150 kg kulit rambak.
S
Gambar 2. Distribusi Program IPTEKDA LIPI 2008-2013 di Politeknik
Negeri Jember
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan program pengembangan usaha produksi
kerupuk rambak yang di oleh UKM Mitra melalui
program Ipteks bagi Masyarakat (IbM), maka Tim
Pelaksana melakukan koordinasi dan komunikasi intensif
dengan UKM guna pelaksaaan atas rencana kegiatan yang
akan dilaksanakan. Adapun tahapan kegiatan yang
dilaksanakan antara lain:
1. Pengamatan karakteristik bahan rambak
Bahan baku kulit rambak kering yang diperoleh dari UKM
Mitra II Bapak H. Yusuf, kemudian direbus oleh UKM
Mitra I Bapak Erwin (selaku pengolah kerupuk rambak)
dalam sebuah tong yang berisi air dengan dimensi
diameter 60 cm tinggi 100 cm. Kapsitas tong perebusan
mampu merebus mencapai 35 kg setiap kali proses
perebusan yang menggunakan tungku berbahan bakar
batubara. Bentuk dan ukuran bahan rambak kering
tersebut memang tidak beraturan yang langsung direbus
tanpa melalui proses pemotongan karena bahan tersebut
sangat keras dan kaku. Perebusan dilakukan selama ±1
jam yang bertujuan agar supaya bahan rambak menjadi
empuk sehingga akan mempermudah dalam proses
pemotongan. Bahan yang telah direbus tersebut menjadi
menebal dengan ketebalan rata-rata ±1 cm dengan ukuran
dan bentuk yang tidak beraturan serta berupa lembaran
yang menggulung. Selanjutnya bahan tersebut ditiriskan
dan didinginkan kurang lebih 1 jam, maka bahan rambak
tersebut sudah siap dipotong-potong sesuai yang
diinginkan. UKM mitra I selama ini memotongnya dengan
menggunakan gunting kain dengan tangan. Tahapan
pemotongan rambak dengan cara menggunting secara
manual menggunakan tenaga manusia memiliki
kelemahan sebagai berikut: (1) produktivitasnya sangat
Gambar 2. Prosesing Pengolahan Kerupuk Rambak
2. Pembuatan Alat Pemotong Kerupuk Rambak
a. Pembuatan Konstruksi Mesin Pengiris/pemotong
Rambak
Konstruksi mesin adalah bagian utama mesin yang
berfungsi untuk mendukung sebagai penyangga utama
seluruh bagian dari mesin pemotong rambak. Adapun
spesifikasinya sebagai berikut:
Dudukan transmisi dirancang dengan tebal mur 6
mm, jumlah 2 buah/bantalan, dan ukuran baut
M6x1 dengan spesifikasi d=6 mm, d=4,917 mm,
d2=5,35 mm,h= 0,541 mm dan p=1 mm.
Dudukan motor dirancang menggunakan baut
dengan tebal mur 6 mm, jumlah 4 buah, dan ukuran
baut M8x1,25 dengfan spesifikasi d=8 mm, d16,647 mm, d2=7,188 mm, h= 0,677 mm dan p=1,25
mm.
235
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
Konstruksi mesin dirancang dengan menggunakan
besi siku 200x50x120 cm berbahan besi siku 5 x 5
cm, UNP 50 x 38 x 5 mm, proses pengelasan
menggunakan las busur listrik.
Hasil kerja konstruksi mesin sebagai berikut:
Gambar 3. Konstruksi Mesin Pemotong Rambak
Spesifikasi Alat Sebagai Berikut:
P= 110 cm
L=80 cm
T =74 cm
Berat 8 kg
Penggerak motor listrik 1 pk
Sistem pemotongan rotary Blade with Oscilating
(reel outo feed) feeding
Kapasitas: 30 kg per jam
b. Pembuatan Pisau Pemotong
Dalam proses perancangan peralatan ini mengalami
perubahan yang awalnya menggunakan sistem pisau
multi blade menjadi single blade rotary mengalami
perubahan sesuai dengan karakteristik bahan baku
rambak yang akan dipotong. Dimana sistem kerja
pisau yang berputar dan dan bergeser sepanjang 50
cm sehingga pisau potong ini memotong bahan
rambak dalam posisi statis, sedangkan pisaunya yang
berputar dan berpindah maju mundur pada lintasan
depan meja. Sehingga pisau bahan rambak bisa
memotong pada posisi maju dan mundur.
Spesifikasi Sistem Pemotong/Pengiris
Pisau pemotong dirancang dari stainless steel
jenis HSS (high speed steel) berbentuk piringan
bulat diameter 30 cm sebanyak 1 buah, tebal
pisau 1 mm, sudut pisau dan sudut buang 900.
Poros utama dirancang yang ama daari
pengaruh lenturan atau defleksi dengan ST 308
Food Grade diameter 18 mm.
Pasak yang digunakan dalam poros utama
mengunakan bahan S45D dengan ukuran
minimal 6x6 lebar 30 mm.
Dilengkapi sistem hopper oscilating/reel auto
feed yakni bahan yang akan dipotong akan
bergerak maju secara otomatis mengarah ke
pisau pemotong
c. Pembuatan Sistem Transmisi
Motor listrik dengsn spesifikasi daya 1 PK,
kecepatan 1400 rpm dan 1 phasa.
Proros penggerak dirancang dengan
menggunakan bahan S45C dengan diameter 14
mm.
Poros yang digerakkan dirancang dengan
menggunakan bahan S45C dengan dimater 18
mm.
Puli penggerak dirancang dengan menggunakan
ukuran Dp=66 mm, diemater kepala puli Dk =
75 mm, dan diameter naf puli Db=42 mm.
Sabuk yang digunakan adalah sabuk V dengan
kode A38 artinya penampang sabuk tipe A
dengan panjang 38 inchi atau 965 mm.
Baut pengikat puli penggerak menggunakan
baut 2 buah M6 x 1.
Pasak pada puli yang penggerak dirancang
menggunakan bahan S45C-D dengan ukuran
5x5 mm lebar 23 mm.
Pasak pada puli yang digerakkan dirancang
menggunakan bahan S45C-D dengan ukuran
6x6 mm lebar 32 mm.
Adapun hasil uji coba alat mesin pemotong rambak CDR,
sebagai berikut:
1. Mesin pemotong rambak bekerja dengan baik yang
dioperasikan oleh seorang operator. Dimana setelah
power on, operator mempersiapkan bahan baku
rambak yang sudah direbus digulung untuk
dimasukkan dalam hopper berupa reel outo feed
yang bekerja bergerak maju mendorong bahan
menuju CDR.
236
Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016, ISBN 978-602-14917-2-0
2.
3.
4.
Kapasitas potong mesin CDR yakni mengukur
berapakah kemampuan mesin memotong bahan baku
kerupuk rambak per satuan waktu.. hal itu
menunjukkan tingkat kemampuan produktivitas alat
tersebut. Kemampuan kerja alat potong rambak ini
mencapai 30 kg per jam. Hal iniseiring dengan
Penyelesaian pekerjaan pembuatan mesin pemotong
bahan baku kerupuk rambak. Kalau secara manual
dengan hanya mampu meemotong 4,3 kg per orang
per jam. Sehingga untuk menyelesaikan 150 kg
bahan rambak dibutuhkan tenaga kerja 5 orang
dalam waktu kerja minimal 7 jam. Sehingga
penggunaan alat ini menghemat tenaga kerja hingga
80%
Tingkat efisiensi waktu penyelesaian pekerjaan
tahap pemotongan rambak ini mencapai 30%, karena
untuk menyelesaikan pekerjaan 150 kg dengan
menggunakan mesin hanya butuh waktu 5 jam,
sementara kalau manual membutuhkan waktu 7 jam.
Kebutuhan energi listrik.; yakni mengukur
berapakah kebutuhan energi listrik per satuan waktu,
hal ini kaitannya dengan efisiensi biaya yang
dicurahkan dalam mengoperasikan alat tersebut per
satuan waktu. Makin rendah kebutuhan biaya energy
listrik maka akan meningkatkan keuntungan UKM
mitra.Kebutuhan
energi
listrik
untuk
mengoperasikan mesin pemotong kerupuk rambak
CDR dihitung berdasarkan Peraturan Menteri ESDM
No. 9/2015 tentang Perubahan tarif mulai pada Januari
2016. Tarif dasar listrik (TDL) Rumah Tangga daya 1.300
Volt Ampere (VA) ke atas, turun dari Rp1.509,38 per kilo
Watt hour (kWh), menjadi Rp1.409,16 [3]. Sehingga untuk
kebutuhan listrik dari motor 1 PK dikonversi sebesar 0,746
KWh, maka besarnya biaya listrik Rp 1.051 per jam.
Berarti biaya operasional per hari untuk memotong 150 kg
per hari dibutuhkan biaya sebesar Rp 5.256.
5.
Hasil uji performance lainnya dari mesin CDR,
yakni: keamanan dan kenyamanan kerja; yakni
mengukur apakah penggunaan mesin tersebut dapat
dikategorikan aman dan nyaman bagi operator.
Pengoperasian Mesin CDR cukup mudah
dioperasikan yang hanya cukup satu orang operator
ternyata relatif aman untuk keselamatan pekerja. Hal
ini karena didukung pada seluruh komponen yang
bergerak/berputar sudah dilengkapi penutup guna
memperkecil resiko kecelakaan kerja dan tingkat
kompleksitas prosedur operasiol kerja mesin CDR
relatif sederhana.
[2.]
[3.]
[4.]
[5.]
Menekan biaya tenaga kerja hingga 80%
Menghemat waktu hingga Hemat waktu 30%
Membutuhkan biaya listrik sebesar Rp 5.256 per hari
Pengoperasian Mesin CDR relatif aman dan nyaman
bagi pekerja.
6.2 Saran
Mesin CDR ini perlu diterapkembangkan untuk
peotongan/pengiringan produk kerupuk/kerupik lainnya
guna meningkatkan kualitas dan efisien kerja.
UCAPAN TERIMA KASIH
Mengingat artikel ini merupakan bagian dari program
Ipteks bagi Masyarakat (IbM) sesuai dengan Surat
Perjanjian Pelaksanaan P2M Program IbM Gelombang I
Staf Pengajar Politeknik Negeri Jember Tahun 2016
Nomor 165/PL17.2/PM/2016, maka kami sampaikan
ucapan terima kasih kepada Direktur Riset dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai
kegiatan ini pada anggaran tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Djamali, R. A. 2002. Panduan Wirausahan Kerupuk Rambak. Dinas
Perindustrin dan Perdagangan Propinsi Jawa Timur.
[2] Kelompok Intermediasi Alih Teknologi (KIAT) Polije. 2015.
Risalah Perkembangan Penerapan Program Iptekda LIPI di
Politeknik Negeri Jember. Jember
[3] Peraturan Menteri ESDM No. 9/2015 tentang prosedur pemeblian
tenaga listrik dan harga patokan pembelian tenaga listrik dari PLTU
Mulut Tambang, PLTU Batubara. PLTG/PLTNG, dan PLTA oleh
Perusahaan Listrik Negara (Persero) melalui pemilihan langsung
dan penunjukan langsung. Tanggal 12 Januari 2015.
[4] Pusat Penelitian dan Pengabdian keppada Masyarakat (P2M) Polije.
2015. Rekapitulasi Program Kegiatan Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Periode 2011-2014. Jember.
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
[1.] Mesin Pemotong kulit rambak berfungsi dengan baik
berkapasitas 30 kg/jam hanya dengan 1 operator,
237