Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Yesus dalam Budaya Jawa 1. Pengantar

Nama: Danar Krisna.W Nim: 181124091 Yesus dalam Budaya Jawa 1. Pengantar Indonesia terdiri dari berbagai macam budaya yang mewarnai berbagai tempat di seluruh penjuru negegeri. Gereja perlu memajukan inkulturasi agar iman Kristiani dapat mengakar pada budaya – budaya daerah itu. Arus globalisasi dapat menjadi tantangan bagi budaya daerah ketika nilai – nilai materialisme, konsumerisme dan hedonisme memasuki kehidupan masyarakat dan menggeser nilai – nilai tradisional. Katekese inkulturatif berperan untuk mengingatkan umat akan bahaya dan dampak negatif globalisasi serta mengajak umat menghargai dan menjunjung tinggi tradisi serta budaya daerahnya. Melalui katekese inkulturatif, nilai – nilai luhur budaya daerah dapat digali dan dapat dimanfaatkan untuk menangkal arus globalisasi sekaligus untuk menemukan nilai – nilai Kristiani di dalamnya. Dengan demikian orang dapat mencari kemungkinan pengungkapan iman melalui budaya daerahnya. Dalam menyebut nama Tuhan Yesus banyak masyarakat Jawa yang memanggil dengan sebutan yang berbeda, kita berusaha sebaik – baiknya untuk menyesuaikan semua itu agar bisa lebih mudah dipahami masyarakat. Demikianlah maka Allah dan segenap utusannya harus rela menerima sebutan – sebuatan baru agar sesuai dengan cara berpikir dan bertindak kita. Di samping diberi cara dan watak manusia seperti pancaindra dan sifat manusia, Allah kita beri sebutan Gusti. Ini berlaku untuk Bahasa Indonesia dan Jawa, misalnya. Allah juga diberi sebutan Tuhan, menjadi Tuhan Allah. Ini tentu sejalan dengan keyakinan bahwa “tidak ada tuhan melainkan Allah” namun bisa juga sebenarnya sebutan itu ditafsirkan sebagai “ada Tuhan Allah, karena ada juga Tuhan yang bukan Allah” tafsir semacam ini bisa dianggap menyesatkan. Dalam Bahasa Jawa, kalau kita mengucapkan Dhuh Gusti maksudnya adalah Allah atau Gusti Allah. Namun Allah juga diberi “kedudukan” sebagai pangeran, sehingga kalau kita mengucapkan Dhuh Pangeran, yang kita sebut adalah Allah. Gusti dan pangeran adalah sebutan – sebutan yang menunjukan tinggi rendahnya pangkat dan kedudukan dalam masyarakat Jawa. Menurut kepercayaan Jawa, Gusti Allah itu menyapa orang jawa, bukan muncul melalui akal budi, melainkan melalui rasa, sebagai indera yang keenam. Bagi pangestu terdapat ikatan erat antara persoalan rasa dalam panembah dan Bahasa. Panembah tidak akan mencapai kepada rasa batin atau bahkan Gusti Allah jika Bahasa yang digunakan dalam panembah tidak dimengerti maknanya. Sebenarnya kehadiran Tuhan bisa dirasakan oleh manusia yang masih hidup. Untuk itulah setiap manusia perlu diadakan latihan – latihan olah rasa hingga orang menangkap kehadiran Tuhan Yesus dan wahyu Tuhan. Orang Jawa percaya bahwa Tuhan hadir dan mendapingi kita dalam menjalankan aktifitas sehari – hari dan rahmat dan karunia Tuhan dapat kita rasakan dalam setiap kehidupannya. BAB I Melihat Sejarah Singkat Kota Boyolali I. Etnografi (Asal-Usul) Boyolali adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Semarang, Kota Salatiga dan Kabupaten Grobogan di utara Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakarta di timur Kabupaten Klaten dan Daerah Istimewa Yogyakarta di selatan ada Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang di barat. Menurut cerita serta Babad Pengging Serat Mataram, nama Boyolali tak disebutkan. Demikian juga pada masa Kerajaan Demak Bintoro maupun Kerajaan Pengging, nama Boyolali belum dikenal. Menurut legenda nama Boyolali berhubungan dengan ceritera KI Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang pada abad XVI. Alkisah, Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal dengan Tumenggung Notoprojo diramalkan oleh sunan Kalijogo sebagai Wali penutup menggantikan Syeh Siti Jenar. Oleh Sunan Kalijogo, Ki Ageng Pandan Arang diutus untuk menuju Ke Gunung Jabalakat di Tembayat (Klaten) untuk syiar agama islam. Dalam perjalanannya dari Semarang menuju Tembayat Ki Ageng banyak menemui rintangan dan batu sandingan sebagai ujian. Ki Ageng berjalan cukup jauh meninggalkan anak dan istrinya ketika berada di sebuah hutan belantara dia dirampok oleh tiga orang yang mengira dia membawa harta benda ternyata dugaan itu keliru makat tempat inilah sekarang dikenal dengan nama Salatiga. Perjalanan diteruskan hingga sampailah disuatu tempat yang banyak pohon bambu Ampel dan tempat inilah sekarang dikenal dengan nama Ampel yang merupakan salah satu kecamatan di Boyolali. Ki Ageng Pandan Arang semakin meninggalkan anak dan istri, sambal menunggu mereka Ki Ageng Pandan Arang berucap “Baya Wis Lali Wong iki” yang dalam Bahasa Indonesia artinya “Sudah Lupakah Orang ini“ Dari kata “Baya Wis Lali“ maka jadilah nama Boyolali. II. Iman dan Kultur Yesus Kristus adalah tokoh sentral kekatolikan. Sementara budaya Jawa punya cara sendiri memknai kehadiran Yang Ilahi. Sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan, teologi membahasakan arti kehadiran Allah di tengah masyarakat Jawa. Iman Katolik tidak pernah menjadi isapan jempol saja, melainkan perlu menjadi bagian integral dari masyarakat Jawa, punya suara dan kehadirannya bermakna bagi kehidupan bersama. Untuk itu, pendekatan iman berbasis budaya dirasa kian penting bagi masyarakat Jawa. Berbicara mengenai paham ketuhanan tentu harus pila membicarakan pengalaman religious. Menurut Mircea Eliade, pengalaman religius adalah titik temu antara Yesus Ilahi dan manusia. Dibedakan dari pengalaman iman yang mengacu pada pewahyuan tertentu, pengalaman religius adalah pengalaman murni manusia berhadapan dengan yang Ilahi. Eliade menyebut mereka yang mengalami pengalaman religius sebagai manusia religius. Kepekaan religius sebagai manusia kuno terbentuk melalui kehidupan sehari – hari di mana mereka dekat dengan alam yang menampakan kehadiran Yang Ilahi, Sementara manusia modern menyediakan waktu khusus agar mampu mengalami kehadiran yang Ilahi dalam kehidupannya. Pendirian tempat ibadah menjadi salah satu contohnya. Di Jawa, pengalaman religius it uterus dialami dalam proses menghidupi iman dan budaya. Dalam konteks Jawa diperlukan pendekatan khusus mendekatkan agama yang dianut berasal dari luar kebudayaan asli masyarakat Jawa. Perlunya pendekatan khusus menghadirkan agama di Jawa ini, tampak dalam pewartaan Islam Jawa. Perpaduan antara mistik Islam dan mistik Kejawen memunculkan kesadaran akan perasaan dekat dengan Allah yang dari awal menjadi kerinduan masyarakat Jawa. Rumusan Manunggaling Kawula Lan Gusti menjadi rumusan yang amat berbicara bagi masyarakat Jawa yang memerlukan petunjuk hidup. Dalam bahasan Zoetmulder, Manunggaling Kawula Lan Gusti menjadi titik temu untuk menghidupkan iman Islam di kalangan masyarakat Jawa. Sementara dalam Bahasa simuh perjumpaan itu dikenal dalam usaha kompromis – nonkompromis. Ada saatnya pendekataan yang fokus pada budaya diangkat, tetapi tetap disadari adanya ketegangan yang membedakan antara pemaknaan orang Jawa akan Yang Ilahi dan apa yang diwartakan oleh Islam. Bentuk perjumpaan ini bisa menjadi pembelajaran yang baik untuk semakin membumikan agama Katolik di tanah Jawa. BAB II Konsep Tuhan dalam Budaya Jawa 1. Tuhan sebagai pangeran Tuhan adalah “sangkan Paraning Dumadi” ia adalah sang sangkan sekaligus sang paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam Bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinmbari. Orang jawa bisa menyebut “Pangeran” artinya raja , sama dengan pengertian “Ida Ratu” di bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” yang artinya “tempat bernaung atau berlindung” yang di Bali disebut “swca”. Sedang wujudnya tak tergambarkan karena pikiran tak mampu mencapainya dan kata kata tak dapat menerangkannya. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata – kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenarannya “tan kena kinaya ngapa” yang artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, Manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perannya. Karena itu kepadanya diberikan banyak sebutan, misalnya : Gusti Kang Karya Jagad (sang pembuat jagad), Gusti Kang Gawe Urip (sang pembuat kehidupan), dan lain lain. Hubungan tuhan dengan ciptaannya. Orang jawa menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanya. Persatuan antara Tuhan dan ciptaanya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga” seperti keris masuk ke dalam sarungnya, Meski ciptaannya selalu berubah atau “menjadi” Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaanya. Dalam kalimat puitis orang jawa mengatakan: Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu. Artinya Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaanya pun menjadi tak terukur lagi. BAB III Yesus dalam Budayaku Dasar Biblis dan Ajaran Gereja Menurut orang jawa yesus adalah pangeran, seperti kejadian yesus dielu – elukan di yerusalem persistiwa ini Yesus seperti seorang pangeran sebagaiman tertulis dalam injil (yoh. 12:12-16). Keesokan harinya ketika orang banyak yang datang merayakan pesta mendengar, bahwa Yesus sedang di tengah jalan menuju Yerusalem. Mereka mengambil daun – daun palem dan pergi menyongsong Dia sambal berseru – seru: “hosanna! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan , Raja Israel!, Yesus menemukan seekor keledai muda lalu ia naik ke atasnya, seperti ada tertulis “jangan takut, hai puteri Sion lihatlah , Rajamu datang, duduk di atas seekor anak keledai . Mula – mula murid – murid Yesus tidak mengerti hal itu, tetapi sesudah yesus dimuliakan teringatlah mereka, bahwa nas itu mengenai Dia dan bahwa mereka telah melakukannya untuk dia. Para ahli mengatakan bahwa orang orang Israel biasa mengunakan daun – daun palem di Bait Allah dalam perayaan Pondok Daun dan mereka sudah menyiapkan sebelumnya dari rumah, kemudian ketika mereka bertemu dengan Yesus mereka melambai - lambaikan daun – daun palem tersebut. Tindakan mereka tersebut menjadi sebuah tanda penghormatan kepada seorang pemenang atau untuk menyambut pangeran yang baru kembali bertempur. IV. Kesimpulan Dalam masyarakat Jawa Tuhan bisa diartikan menjadi pangeran yang artinya menjadi seorang pangeran adalah menjadi contoh atau panutan terhadap masyarakatnya memberikan contoh – contoh yang baik dan tindakan yang baik dan masyarakat otomatis akan menjadikan dia panutan seperti halnya Yesus yang menjadi panutan semua umat Kritiani. Semoga uraian singkat ini bermanfaat bagi para pembaca untuk memiliki gambaran dan pemahaman yang cukup tentang Yesus menurut budaya Jawa. Daftar Pustaka Rukiyanto, B.A, 2012. Pewartaan Di Zaman Global, Yogyakarta :Kanisius https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Boyolali http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=491666&val=10042&title= http://wonderfulisland.id/penggambaran-yesus-dalam-pandangan-jawa