Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Dalam makalah ini, kami akan memaparkan tinjauan teoritis yang diambil dari berbagai sumber pustaka guna mengetahui lebih dalam apa yang dimaksud dengan maqamat beserta penjelasannya. Sehingga mahasiswa dapat memahami dan dapat menjelaskan kembali nilai-nilai luhur dari ajaran tersebut.
A. Pengertian Maqamat Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya[ ].Adapun penjelasan maqamat-maqamat[ ] dalam tasawuf akan kami bahas setelah ini. B. Maqamat-maqamat dalam Tasawuf Ini adalah lanjutan tujuan pembahasan kita kali ini sebagaimana judul makalah kami setelah memahami maqamat, maka kita akan memahami tingkatan maqamat itu sendiri yaitu zuhud, wira’i, tawakkal dan ridha. a. Zuhud Zuhud adalah meninggakan dunia dan kehidupan materi. Kehidupan dunia dipandang hanya sebagai alat untuk tujuan yang hakiki, yaitu dekat kepada Allah SWT. Zuhud merupakan tahapan pemantapan taubat yang telah dilalui pada tahapan pertama. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan duniawi.[ ] b. Wira’i Setelah selesai dari zuhud, calon sufi memasuki tahapan wara’ atau wira’i. Secara harfiah, al-wara’ artinya shalih, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).[ ] Meski sebenarnya kami (penyusun makalah) lebih meyakini bahwa zuhud itu lebih tinggi daripada wara’, sebagaimana perkataan Ibnul Qoyim menyebutkan definisi zuhud dan wara’ yang pernah beliau dengar dari gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahumallah[ ]-, Ibnul Qoyim mengatakan; “Saya mendengar Syaikhul Islam – semoga Allah mensucikan ruhnya – pernah mengatakan,“Zuhud adalah meninggalkansesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.” Dan “Wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan membahayakan bagi kehidupan di akhirat.”Kemudian Ibnul Qoyim menegaskan,Ungkapan ini adalah definisi terbaik dan paling mewakili untuk kata zuhud dan wara’. (Madarij as-Salikin, 2/10)[ ]. Berdasarkan pengertian di atas, zuhud lebih tinggi derajatnya dibandingkan wara’.Karena zuhud pasti wara’ dan tidak sebaliknya seperti wara’ yang hanya meninggalkan sesuatu yang sifatnya jika dikhawatirkan atau ragu-ragu saja, apabila tidak khawatirkan maka orang tersebut belum tentu mau meninggalkannya. c. Tawakkal Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia, agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah SWT. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis/majburyakni menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah SWT.[ ] Mari kita renungkan kemuliaan besar sifat tawakkal ini yang terungkap dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang ketika keluar rumah membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah Ta’ala), dicukupkan (dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allah Ta’ala)?”.( HR Abu Dawud (no. 5095) dan at-Tirmidzi (no. 3426), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani). Arti dari itu semua ialah diberi petunjuk kepada jalan yang benar dan lurus, diberi kecukupan dalam semua urusan dunia dan akhirat, serta dijaga dan dilindungi dari segala keburukan dan kejelekan, dari setan atau yang lainnya.(Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 235). Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tawakkal kepada Allah adalah termasuk sebab yang paling kuat untuk melindungi diri seorang hamba dari gangguan, kezhaliman dan permusuhan orang lain yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Allah akan memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakkal kepada-Nya. Barangsiapa yang telah diberi kecukupan dan dijaga oleh Allah Ta’ala maka tidak ada harapan bagi musuh-musuhnya untuk bisa mencelakakannya. Bahkan dia tidak akan ditimpa kesusahan kecuali sesuatu yang mesti (dirasakan oleh semua makhluk), seperti panas, dingin, lapar dan dahaga. Adapun gangguan yang diinginkan musuhnya maka selamanya tidak akan menimpanya. Maka (jelas sekali) perbedaan antara gangguan yang secara kasat mata menyakitinya, meskipun pada hakikatnya merupakan kebaikan baginya (untuk menghapuskan dosa-dosanya) dan untuk menundukkan nafsunya, dan gangguan (dari musuh-musuhnya) yang dihilangkan darinya”.(Lihat Kitab “Bada-i’ul fawa-id” (2/464-465). d. Ridha (Kerelaan) Ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah SWT kepada seorang hamba , meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap rida merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya. Imam Gazali mengatakan bahwa hakikat rida adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridaan Allah Subhanahu Watala.[ ]Sebagaimana hadits ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasul-Nya” (Hr.Muslim (no. 34)). Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya keimanan seseorang.(Lihat kitab “Syarh shahih Muslim” (2/2) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/311)). Imam an-Nawawi[ ] – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”.(“Syarh shahih Muslim” (2/2)). Disini akan sedikit kami simpulkan yang semoga bisa kita fahami letak perbedaannya bahwa Zuhud adalah meninggakan dunia dan kehidupan materi demi akhirat, sedangkan wira’i ialah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Tawakkal lebih mengarah pada berserah diri, dan ridha ialah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah ázza wajal. C. Pendapat-pendapat Maqamat Para Sufi Berikut beberapa pendapat tentang jalan atau cara yang dilalui para tokoh sufi : 1. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi a) Tobat b) Zuhud c) Sabar d) Kefakiran e) Kerendahan hati f) Tawakkal g) Kerelaan 2. Abu Nashar al-Sarraj al-Thusi a) Tobat b) Wara’ c) Zuhud d) Kefakiran e) Sabar f) Tawakkal g) Kerelaan 3. Al-Ghazali a) Tobat b) Sabar c) Kefakiran d) Zuhud e) Tawakkal f) Mahabbah g) Makrifat h) Kerelaan 4. Al-Kalabadzi a) Tobat b) Zuhud c) Sabar d) Kefakiran e) Rendah hati f) Tawakkal g) Kerelaan h) Mahabbah i) Makrifat 5. Abd al-Qasim al-Qusyairi al-Naisaburi a) Tobat b) Wara’ c) Zuhud d) Tawakkal e) Sabar f) Rida.[ ]
JOUSIP: Journal of Sufism and Psychotherapy
Maqamat adalah tingkatan seorang hamba dihadapan Allah dalam hal ibadah dan latihan-latihan (riyaá¸ah) jiwa yang dilakukannya. Maqamat juga terdapat dalam kitab Salalim Al-Fuá¸ala karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Keberadaan maqamat sangat penting dalam perjalanan spiritual seorang salik untuk bisa sampai kepada Allah dan menjadi kekasih-Nya. Dengan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1). mengetahui konsep maqamat Syekh Nawawi al Bantani dalam kitab Salalim Al-Fuá¸ala; 2). mengetahui maqam-maqam yang terdapat dalam Kitab Salalim Al-Fuá¸ala. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Syekh Nawawi Al-Bantani memahami maqamat sebagai sebuah wasiat yang harus dijaga dan diamalkan oleh seorang salik. Sedangkan maqamat menurut Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Salalim Al-Fuá¸ala’ adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang salik u...
Jalan Spiritutualitas di dalam Al-Quran
Jurnal Fuaduna : Jurnal Kajian Keagamaan dan Kemasyarakatan, 2020
Modernity with the sparkling development of science and technology is not bringing people closer to the happiness of life, but instead increasingly becoming anxious because of the luxury of life that he achieved. In this context, Sufism is often believed to be an oasis for the problems of modernity. The purpose of this study is to describe and review the concepts of maqamat and ahwal in Sufism presented by Abu Nashr as-Sarraj and analyze their relevance to modern human problems. This research is a library research, with the data source in the form of library materials such as books, journals and scientific articles. In accordance with the type, the data collection in this study uses library research methods that are analyzed using the method of description and data analysis. The results of this study indicate that in the view of Abu Nashr as-Sarraj, maqamat is divided into seven levels: taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal, and ridha. As for the ahwal is divided into: muraqab...
1bis19 Magazin für demokratische Kultur, 2024
Predigt zu Joh 1 (Weihnachtsfeiertag), 2023
Bab 5 Entreprise Aplikasi Manajemen2024 , 2024
2013 Conference on Lasers & Electro-Optics Europe & International Quantum Electronics Conference CLEO EUROPE/IQEC, 2013
Anuario del Departamento de Historia y Teoría del …, 2010
SARAH ALYSSA INDRIANI(232114050), 2024
Advanced Healthcare Materials, 2013
Current Anthropology, 1993