Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Maqamat dalam Tasawuf

Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Dalam makalah ini, kami akan memaparkan tinjauan teoritis yang diambil dari berbagai sumber pustaka guna mengetahui lebih dalam apa yang dimaksud dengan maqamat beserta penjelasannya. Sehingga mahasiswa dapat memahami dan dapat menjelaskan kembali nilai-nilai luhur dari ajaran tersebut.

MAKALAH MAQAMAT DALAM TASAWUF Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf Dosen Pengampu: KH. Dr. Ahmad Sodiq, MA. Disusun oleh: Argarry Akbar Sahara Adjie Samudera Intan Julia Viani Fauziah Nofriyan Muslim 11160110000114 11160110000055 11160110000018 11160110000061 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 M/1439 H DAFTAR ISI DAFTAR ISI..................................................................................................................... iv BAB I .................................................................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... B. Perumusan Masalah ................................................................................................ C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... BAB II ................................................................................................................................ 2 A. Pengertian Maqamat ............................................................................................... B. Macam-macam Maqamat ........................................................................................ BAB III............................................................................................................................. 11 A. Kesimpulan ........................................................................................................... B. Saran ..................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 12 iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Dalam makalah ini, kami akan memaparkan tinjauan teoritis yang diambil dari berbagai sumber pustaka guna mengetahui lebih dalam apa yang dimaksud dengan maqamat beserta penjelasannya. Sehingga mahasiswa dapat memahami dan dapat menjelaskan kembali nilai-nilai luhur dari ajaran tersebut. B. Perumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan maqamat? 2. Apa saja macam-macam maqamat? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan maqamat. 2. Untuk memahami dan dapat menjelaskan macam-macam maqamat. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Maqamat Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations atau stages. Sementara menurut istilah tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat dan lain-lain, latihan spiritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah. Secara teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyakini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spiritualnya di hadapan Allah.1 B. Macam-macam Maqamat 1. Taubat Taubat berarti ar-ruju’ min adz-dzanbi, ar-ruju’ an adz-dzanbi, yang berarti kembali dari berbuat dosa menuju kebaikan atau meninggalkan dosa.2 Langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah taubat dari dosadosanya. Karena itu, stasiun pertama dalam tasawuf adalah taubat. Pada mulanya seorang calon sufi harus taubat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya. Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan taubat dari dosadosa kecilnya, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Taubat yang dimaksud adalah taubat an-nasuha, yaitu taubat yang membuat orang menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 137. 2 Yoana Bela Pradityas dkk, Maqamat Tasawuf dan Terapi Kesehatan Mental (Studi Pemikiran Amin Syukur), (STAIN Pekalongan: Jurnal RELIGIA vol. 18 No. 2, Oktober 2015), hlm. 197 1 berbuat dosa lagi walau sekecil apapun.3 Taubat ini terus dilakukan selama hidup, karena manusia tidak lepas dari dosa, baik dalam anggota tubuh maupun dalam hatinya yang kosong dari mengingat Allah. Jika hatinya hadir (selalu ingat Allah) maka tidak luput dari menempuh tahapan (maqam) yang rendah menuju tahap yang tinggi. Taubat diawali dengan mengetahui dua hal, yakni dosa-dosa yang dilakukan dan kedudukan Allah azza wa jalla. Hati yang mengetahui kedudukan Allah, maka akan timbul rasa takut dalam dirinya. Rasa takut ini merupakan keinginan untuk bertaubat.4 Orang awam bertauat dari dosa-dosa lahir dan orang saleh bertaubat dari sifat-sifat batin yang tercela, orang yang bertakwa bertaubat dari posisi-posisi keraguan dan taubat para pecinta Allah (muhibbin) adalah taubat dari kelalaian zikir. Sedang orang arif bertaubat untuk berhenti dari suatu maqam, yang di depannya masih terdapat maqam-maqam lagi. Maqam-maqam dalam hal kedekatan dari Allah tidak ada batasnya. Maka taubat seorang yang arif tidak ada batasan akhir.5 Taubat merupakan awal berangkatnya seorang salik menuju kepada tingkatan berikutnya. Karena itu, membangun taubat harus dengan kuat, yakni harus didasari dengan taqwa yang kuat pula. Taqwa yang kuat akan selalu mendasari setiap tingkatan maqam selanjutnya hingga pada maqam yang lebih tinggi.6 3 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 141. 4 Amr Khalid, Ishlahul Qulub, (Beirut: Daar Al Arabiyah lil Ulum, 2004), hlm. 6; Lihat juga Al Ghazali, Ihya Ulumiddin Juz 4, (Indonesia:Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, t.th.), hlm. 3. 5 Al Ghazali, 40 Prinsip Dasar Agama, terj. Al Arbain fi Ushuliddin, (Jakarta: Pustaka Amani, 2000), hlm. 253. 6 Fahrudin, Tasawuf sebagai Upaya Membersihkan Hati guna Mencapai Kedekatan dengan Allah, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim, vol. 14 No. 2, 2016), hlm. 72. 2. Zuhud Zuhud ialah penolakan terhadap gemerlapnya harta dunia.7 Dikatakan bahwa zuhud pada sesuatu adalah tidak gembira atas apa yang dimilikinya terhadap dunia, dan tidak bersedih atas apa yang tidak dimilikinya.8 Sementara al-Junaid memberikan batasan tentang zuhud, menurutnya, zuhud adalah kosongnya tangan dari kepemilikan dan hati dari hal yang mengikutinya (ketamakan).9 Dari pengertian di atas, selanjutnya dapat dipahami bahwa tingkatan zuhud pada dasarnya ada tiga, yaitu:10 a. Orang yang zuhud terhadap dunia, padahal ia suka padanya, hatinya condong padanya dan nafsunya selalu menoleh kepadanya; kendati demikian, dilawannya hawa nafsu dan keinginan terhadap kenikmatan duniawi itu. Orang ini disebut mutazahhid (yang berusaha untuk hidup zuhud). b. Orang yang zuhud terhadap dunia dengan mudah, karena ia menganggap terhadap perkara keduniaan itu sedikit sekali manfaat dan gunanya, meski ia menginginkannya. Tetapi ia melihat kezuhudannya dan berpaling padanya. Orang yang berwawasan demikian sama halnya dengan mereka yang merelakan uangnya satu dirham untuk memperoleh ganti dua dirham. c. Orang yang zuhud terhadap dunia, tetapi zuhud terhadap kezuhudannya itu, sehingga tidak terasa bahwa dirinya telah menanggalkan jubah keduniaannya. Orang yang demikian setingkat dengan orang yang meninggalkan tembikar dan memungut intan permata. 7 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 146. 8 Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, hlm. 116. 9 Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), hlm. 65. 10 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 147. Sufyan ats-Tsauri mengatakan: “Zuhud terhadap dunia adalah memmbatasi keinginan terhadap dunia, bukan memakan makanan yang keras dan memakai baju kasar”.11 3. Wara’ Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca Al-Qur’an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasiun wara’. Di sini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat.12 Wara’ dapat diartikan sebagai usaha seseorang untuk menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat. Dalam tahapan ini, seorang sufi akan sangat berhati-hati dalam menerima sesuatu karena ditakutkan adanya syubhat tersebut. Al-Musaibi menjelaskan bahwa wara’ adalah menghisab setiap hal yang dibenci oleh Allah, baik tindakan fisik, hati atau anggota badan, dan menjauhi dari menyia-nyiakan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, baik dalam hati maupun anggota badan, dan hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan muhasabah. Dengan demikian, wara’ adalah menyucikan hati dan berbagai anggota badan.13 4. Faqr Secara harfiah biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Ruwaym pernah ditanya tentang tanda-tanda seorang miskin, ia mengatakan miskin berarti menyerahkan jiwa pada ketentuan-ketentuan Al Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, (Indonesia: Al Haramain, t.th) hlm. 115. Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 142. 13 Amin Syukur, Sufi Healing: Terapi dengan Metode Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 56. 11 12 Allah SWT. Dikatakan pula, bahwa tanda orang miskin itu ada tiga yaitu dia melindungi batinnya, dia melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya, dan dia menyembunyikan kemiskinannya. Selain itu, ath-Thusi juga pernah menyatakan bahwa orang miskin adalah yang terkaya di antara ciptaan Allah. Mereka melepas pemberian demi sang Pemberi. 14 Abu Muhammad al-Jurairi berkomentar fakir ialah hendaklah kamu tidak mencari sesuatu yang tidak ada pada dirimu, sehingga kamu kehilangan sesuatu yang ada pada dirimu, dan hendaklah kamu tidak usah mencari rezekirezeki kecuali kamu takut tidak dapat menegakkan kewajiban.15 Dengan begitu fakir menurut pandangan sufi yaitu tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta ketika tidak ada pada diri kita dan menerima ketika diberi. Tidak meminta tetapi tidak menolak. Jadi, kefakiran adalah meniadakan segala sesuatu yang menjadi keinginan-keinginan hati, baik yang bersifat lahiri maupun batini. Karena dengan munculnya keinginan-keinginan dalam hatinya, berarti seorang sufi telah melepaskan dirinya dari sikap kefakirannya. Jika demikian halnya, sang sufi akan terhalang untuk mendapatkan buah dari nilai-nilai spiritual. 5. Sabar Sabar berarti tabah hati. Sabar secara etimologi adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian tersebut, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap, pengendalian emosi. Oleh sebab 14 15 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) hlm. 150 – 151. Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) hlm. 150. itu sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh. Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr annafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.16 Orang yang telah berhasil membentuk dirinya menjadi seorang yang sabar maka orang tersebut akan mendapatkan status yang tinggi dan mulia, sabar juga sangat penting peranannya dalam rangka mencapai tujuan, dan orang yang sabar akan mendapatkan kesejahteraan dengan mendapat nikmatnya balasan akhirat. 6. Tawakkal Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri dan mempercayakan secara bulat kepada Allah SWT setelah melakukan suatu rencana dan usaha. Al-Qusyairi mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah. Manusia hanya menjalankan dan mengusahakan rencananya tetapi Allah yang menentukan. Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution, ia mengatakan bahwa tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Allah. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika 16 hlm. 72. Robison Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dan karena Allah.17 Tetapi bagi kaum sufi pengertian tawakkal itu tidak cukup kalau hanya sekedar menyerahkan diri seperti itu. Seperti biasanya dalam mengartikan ajaran agama, mereka lebih jauh dan mendalam. Tawakkal menurut pandangan sufi adalah jangan meminta, jangan menolak dan jangan menduga-duga. Nasib apapun yang diterima itu adalah karunia Allah. Sikap seperti itu yang dicari dan diusahakan sufi agar jiwa mereka tenang, berani dan ikhlas dalam hidupnya walau apapun yang dihadapi atau dialaminya. 7. Ridha Ridha menurut Imam Al-Junaid adalah ketundukan mutlak dan penyerahan diri seutuhnya pada ketentuan qadha Allah yang telah di tetapkan sejak zaman azali. Imam Al-Junaid berkata “Ridha berarti melepas ikhtiar”. Melepas ikhtiar di sini tidak berarti bahwa seorang hamba praktis menjadi seorang fatalis dalam segala perbuatan yang di lakukannya yang terjadi karena keinginan pelaku sendiri. Akan tetapi, melepas ikhtiar berarti ridha dengan qadha Allah dalam bentuk cobaan-cobaan yang di ujikan-Nya pada hambahambanya. Ridha dengan pengertian yang shahih ini merupakan salah satu derajat ma’rifat billah. Jalan kesinambungan ma’rifat billah dan sarana meraih keabadian ridha-Nya. Ridha juga menjadi sarana meraih kebahagiaan hidup yaitu kehidupan yang nyaman dan menentramkan hati. Itulah bentuk daripada ridha kepada Allah SWT.18 Oleh karena sikap mental ridha ini sudah mendekati sifat kesempurnaan (rijal al-kamal). Menurut Qomar Kailani dalam fi al-Tasawuf al-islam bahwasannya ridha adalah maqam terakhir dari perjalanan salik sebab 17 18 84. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) hlm. 202. Muhammad Fauqi al-Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013),hlm. datangnya sikap mental ridha itu adalah berkat perjuangan yang di lakukan secara berantai.19 8. Mahabbah Al-Hubb atau mahabbah adalah salah satu istilah yang selalu berdampingan dengan ma’rifat, karena manifestasi dari mahabbah itu adalah tingkat pengenalan kepada tuhan yang di sebut dengan Ma’rifat. Al-Hubb mengandung pengertian terpadu seluruh kecintaan hanya kepada Allah yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya. Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat20: a. Cinta biasa, yaitu selalu berzikir dan mengingat Tuhan. b. Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain lain. cinta dapat menghilangkan tabir antara diri seseorang dengan Tuhannya, sehingga ia dapat melihat rahasia-rahasia-Nya. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan merasakan kesenangan dengan dialognya itu. Cinta tingkat kedua ini mampu menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta dan rindu kepada Tuhannya. c. Cinta orang yang ‘arif, yaitu orang yang tahu betul dengan Tuhannya. Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Paham mahabbah untuk pertama kalinya di perkenalkan oleh Rabi’ah Al-Adhawiyah yang lahir di Bashrah 95 H dan meninggal dunia 185 H. Menurut Rabi’ah, al-Hubb adalah kerinduan dan pasrah pada Allah seluruh ingatan dan A Rivay Siregar, Tasawuf:dan Sufisme Klasik ke Neo-sufisme,(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 122. 20 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), hlm. 55. 19 perasaan kepada Allah. Tujuan satu-satunya yang wajar dan sewajarnya di cintai ialah Allah, agar dapat sampai kepadanya, seorang sufi harus lebih dulu mendidik dirinya untuk mencintai keindahan alam.21 9. Ma’rifat Dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Dalam sejarah dapat diketahui bahwa Al-Misri adalah orang pertama yang menganalisis ma’rifat secara konsepsional, ia mengklasifikasikan kepada tiga kelas, yakni : 1. Ma’rifat tauhid (ma’rifatnya orang awam) 2. Ma’rifat al-burhan wa al-istidlal (ma’rifatnya bagi mutakallimin, filosof) yaitu pengetahuan tentang tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal 3. Ma’rifat para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang tuhan melalui sifat dan Keesaannya. Menurut Al-Ghazali, pengertian ma’rifat ialah mengetahui mata hati, karena jelas dan terangnya pengetahuan itu ia mengungkapkan dalam kalimat “nazharu ila wajhi Allah” memandang wajhi Allah disini maksudnya melihat dengan mata hatinya bukan dengan mata inderanya22. 21 22 Op. Cit., hlm. 129. Harun Nasution, Loc. Cit, hlm. 61. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Maqamat dapat diartikan sebagai aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyakini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spiritualnya di hadapan Allah. Maqamat merupakan tingkatan-tingkatan yang menjadi konsentrasi seorang sufi untuk menggapai Tuhannya melalui jalan: 1) Taubat; 2) Zuhud; 3) Wara; 4) Faqr; 5) Shabr; 6) Tawakkal; 7) Ridha; 8) Mahabbah; dan 9) Ma’rifat. Kesembilan maqam tersebut dipraktikkan sesuai dengan konsentrasi yang dapat dicapai seorang salik sebelum menuju maqam yang lebih tinggi. B. Saran Untuk memahami ilmu tasawuf, diperlukan sumber referensi yang terpercaya disertai studi komprehensif tasawuf sehingga ilmu dapat diterima dengan baik dan mencegah timbulnya kesalahpahaman. DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata. 2011. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. Al Ghazali. 2000. 40 Prinsip Dasar Agama, terj. Al Arbain fi Ushuliddin. Jakarta: Pustaka Amani. _________. T. Th. Ihya Ulumiddin Juz 4. Indonesia: Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah. Al Qusyairi. T.Th. al-Risalah al-Qusyairiyah. Indonesia: Al Haramain. al-Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2013. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Amzah. Anwar, Hamdani. 1995. Sufi al-Junaid. Jakarta: Fikahati Aneska. Anwar, Robison dan Mukhtar Solihin. 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. Fahrudin. 2016. Tasawuf sebagai Upaya Membersihkan Hati guna Mencapai Kedekatan dengan Allah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim, vol. 14 No. 2. Khalid, Amr. 2004. Ishlahul Qulub. Beirut: Daar Al Arabiyah lil Ulum. Nasution, Harun. 2014. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Ni’am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Pradityas, Yoana Bela dkk. 2015. Maqamat Tasawuf dan Terapi Kesehatan Mental (Studi Pemikiran Amin Syukur). STAIN Pekalongan: Jurnal RELIGIA vol. 18 No. 2. Siregar, A Rivay. 2002. Tasawuf:dan Sufisme Klasik ke Neo-sufisme. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Syukur, Amin. 2012. Sufi Healing: Terapi dengan Metode Tasawuf. Jakarta: Erlangga.