Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Peradilan Masa Bani Abbasiyah

The judiciary (al-Qadha) is well-known from time immemorial up to the present time. Driven by the need and the welfare of human life, judiciary is something inevitable to exist. It is one of the prerequisites to the establishment of a government in order to resolve disputes between citizens. No political sovereignty in the world, whatever its form, will stand without justice enforcement.

1 PERADILAN MASA BANI ABBASIYAH Frangky Suleman Email : frangkysuleman@iain-manado.ac.id Abstract The judiciary (al-Qadha) is well-known from time immemorial up to the present time. Driven by the need and the welfare of human life, judiciary is something inevitable to exist. It is one of the prerequisites to the establishment of a government in order to resolve disputes between citizens. No political sovereignty in the world, whatever its form, will stand without justice enforcement. Keyword: Al-Qadha, Abbasiyah A. Pendahuluan. Abbas adalah nama seorang imam pada suatu daulah di dalam sejak Islam yang selanjutnya disebut Abbasiyah karena dibangsakan, dalam hal ini berarti kaum yang beriman dan menegakkan kekuasaan daulah Ibn Abbas. Dan daulah Abbasiyah berpusat di kota Baghdad. (A. Hasymi, 1975). Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah alSaffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dam budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). (WWW.alislam,/cyberMQ) atau dengan kata lain 524 tahun sehingga rentan waktu yang begitu panjang tentu saja ada tuntutan zaman yang menghendaki dan mendesak adalah perubahan dan perkembangan mengingat pula waktu yang demikian lama itu harus dilewati oleh beberapa generasi, sehingga para pakar sejarah kebudayaan Islam membagi daulah Abbasiyah menjadi 4 (empat) periode seperti : Jurnal I lmiah Al-Syir’ ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 I nstitut Agama I slam Negeri ( I AI N) Manado 2 a. Masa Abbasy I: semenjak lahirnya daulah Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai meninggalnya khalifah Al-Wasiq tahun 232 H/847 M b. Masa Abbasy II tahun 232-334 H/847-946 M, mulai Khalifah Al-Mutawakkil sampai berdirinya daulah Buwaihi di Baghdad c. Masa Abbasy III tahun 334-447 H/946-1055 M, berdirinya daulah Buwaihi sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad. d. Masa Abbasy IV tahun 447-656 H/1055-1258 M dan masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar dibawah pimpinan Hulagu. (Musyrifah Sunanto , 2003) B. Sejarah Berdirinya Daulah Abbasiyah Daulah Abbasiyah berdiri, sebenarnya dilatarbelakangi oleh penyelewengan-penyelewengan pemegang-pemegang kekuasaan daulah Umayyah seperti delik, golongan, suku, kaum dan kawan, begitu pula penindasan terhadap syiah, Hasyimiyah dan dikucilkan kaum Muslimin Ajam. Maka timbullah gerakan bawah tanah untuk menentangnya. Pada sisi lain adalah yang penting bagi Umayyah, bahwa dia yang pertama mengadakan penjara bagi yang dinyatakan bersalah setelah divonis pada peradilan itu. Pada waktu itu pula ijtihad dilaksanakan dengan seluas-luasnya tanpa terikat dengan satu pandangan, bahkan di dalam “al-Qadha fi al-Islām” dinyatakan qadhi memutuskan perkara tanpa nash yang positif atau ijma’ ulama pendahulunya, baik berupa pandangan maupun berupa ijtihad. Tetapi apabila ia mengalami kesukaran, maka ia minta tolong pada fuqaha Mesir dan dari kalangan mereka banyak berpedoman pada khalifah dan pada wali dalam hal ini menentukan pandangan. (Muhammad Salam Madkur, 1964) Pada tulisan ini yang akan menjadi pembahasan adalah Qadha pada masa Abbasiyah dan dimana dalam hal ini akan dibagi dua yaitu: pada daulah Abbasiyah I dan Abbasiyah II. Jurnal I lmiah Al-Syir’ ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 I nstitut Agama I slam Negeri ( I AI N) Manado 3 I. Pada Masa Abbasiyah I Pada zaman Abbasiyah ini terkenal sebagai puncak kejayaan Islam, tetapi pada awal-awal daulah tersebut juga dikenal bahwa taasub mazhab sangat dipertahankan dan pada akhirnya mungkin karena lamanya daulah tersebut (masa pemerintahan kurang lebih lima abad lebih) rajanya yang silih berganti sehingga daulah tersebut kelihatan bahwa setelah maju, kemudian mundur dan pada akhirnya runtuh. Di Zaman Abbasiyah hukum berdasarkan agama dan untuk kepentingan agama pada zaman itu kejayaan maju. Akibatnya terjadi pembaharuanpembaharuan karena perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang pesat, maka terjadi pula pertentanganpertentangan di kalangan fuqaha dengan mazhab, namun demikian pelaksanaan hukum Islam berjalan menurut mazhab tertentu di wilayah tertentu seperti di Irak berdasarkan mazhab Hanafi, di Syam dan Maghrib berdasarkan mazhab Maliki dan Mesir berdasarkan Mazhab Syafi’i (Muhammad Salam Madkur, 1964) Dan satu hal yang perlu diingat bahwa kalau yang berselisih tidak bermazhab menurut mazhab yang ada di tempat dimana ia berselisih, maka ia harus meninggalkan mazhabnya dan perkaranya diselesaikan berdasarkan mazhab di tempat itu. Tetapi keadaan ini hendak dirubah oleh ibnu Muqaffa’ dengan penyampaiannya berupa tulisan kepada khalifah Abu Ja’far ibn Manshur, yang pada masa pemerintahannya membentuk lembaga pemerintahan seperti: (Samson Rahman, 2001) 1. al-ḥ ajib (Protokoler kenegaraan) 2. wizārah (Kementrian) 3. al-kātib (Sekretaris / Juru Tulis) 4. a. şahibu al-syurtah (Kepolisian) 5. al-jaisyu (Ketentaraan) 6. al-Qāḍ ī (Peradilan) Dan pada waktu itu terbentuklah Qadht al-Qudhat oleh Khalifah di ibukota daulah yang bertindak selaku jaksa Agung, yang diangkat pada waktu itu adalah Abu Yusuf. beliau adalah seorang faqih yang bermazhab Hanafi. Maka Jurnal I lmiah Al-Syir’ ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 I nstitut Agama I slam Negeri ( I AI N) Manado 4 pada pada waktu itu para qadhi menjalankan tugasnya berdasarkan arahan Qadhi al-Qudhat karena pada waktu itu tiap wilayah (propinsi) mempunyai qadhi. Di Andulusia terkenal dengan nama Qadhi al-jamā’at, yaitu pada tiap-tiap propinsi ada Qadhi sebagai mahkamah Agung yang merupakan pimpinan semua qadhi yang ada di seluruh wilayahnya. Kalau masa Abbasiyah I ini terkenal dengan memuncaknya ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, maka penulis melihat justru pada masa itu adalah melemahnya Islam, sebagaimana dijelaskan lebih awal bahwa pada zaman itu taasub terhadap 4 Mazhab besar adalah sangat tinggi, sehingga pemikiran keIslaman pada waktu itu tidak berkembang karena harus mengacu kepada mazhab yang di wilayah dimana orang itu berada, namun kita melihat bahwa yang maju adalah semangat Islam, dimana khalifah pada waktu itu merangkul fuqaha tetapi menampik qadhi bahkan melarang fuqaha berpedoman kepada mereka, karena ia kwatir terhadap fatwa mereka yang bertentangan antara kehendak mereka (khalifah), begitu pula jangan sampai qadhi itu memberikan fatwa kepada fuqaha yang bertentangan dengan kesenangan khalifah. Inilah sebabnya maka banyak para fuqaha tidak mau menjadi Hakim sebagai contoh adalah Abu Hanifah yang menolak jabatan tersebut di masa Abu Ja’far al-Manshur, sehingga Abu Hanifah dicambuk dan memenjarakannya sehingga beliau meninggal (Hasbi Ash hiddieqy, 1964) Dengan melihat kejadian ini, kita mendapat suatu persepsi bahwa fuqaha dirangkul oleh khalifah untuk memberikan fatwa-fatwa yang menjunjung tinggi/mendukung kehendak khalifah yang senantiasa ingin menegakkan Islam tanpa memperhatikan apa itu sesuai atau mendukung ide kegiatan khalifah atau tidak dengan kata lain bahwa para khalifah-khalifah Abbasiyah segala perbuatan mereka dicelup dengan celupan agama. Keistimewaan lain yang merupakan keunikan periode ini adalah diciptakannya pemisahan antara: a. Jenis konflik sosial yang terdiri atas: 1. Sengketa 2. Wakaf, dan b. Wasiat Jurnal I lmiah Al-Syir’ ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 I nstitut Agama I slam Negeri ( I AI N) Manado 5 c. lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang memerlukan santunan terdiri atas : 1. Orang gila 2. Anak Yatim 3. Orang bangkrut dan ahli Suffah 4. Wasiat dan waqaf orang muslim 5. Perkawinan randa (Kamus besar Bahasa Indonesia, 1990) yang tidak punya wali d. Lembaga Yuridiksi yang terdiri dari: 1. Kepolisian 2. Mazhalim 3. Kisas 4. Hisbat 5. Dar al-Harb 6. Baitul mal Sedangkan organisasi kehakiman dalam daulah Abbasiyah yaitu: a. Dar Qadhi al-Quha (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh Qadhi al-Qudha’ (Ketua Mahkamah Agung). Semua badan-badan peradilan atau badan-badan lain yang ada hubungannya dengan kehakiman berada dibawah diwan al-Qudha’ b. Qudna al-Aqadi (Hakim Kota yang mengetuai pengadilan negeri; alQadau atau al-Hisbah). c. Al-Sultah al-Qadhaiyah yaitu jabatan kejaksaan. Di ibukota negara dipimpin oleh al-Mudda’it Umumy (Jaksa Agung) dan di tiap-tiap kota oleh Naib Umumy (Jaksa). Dari segi kebudayaan di sini dapat dilihat kemajuan Islam pada zaman Abbasiyah yaitu dengan terbentuknya pemisahan jenis-jenis permasalahan sosial, begitu pula dengan terbentuknya lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang perlu mendapat penyantunan dan lembaga-lembaga pemerintahan yang menangani kasus-kasus yang terjadi di masyarakat dalam rangka memelihara Jurnal I lmiah Al-Syir’ ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 I nstitut Agama I slam Negeri ( I AI N) Manado 6 stabilitas sosial kemasyarakatan dan membagi kemaslahatan dengan seluasluasnya. II. Qadha pada Masa Abbasiyah II Pada masa kedua ini adalah merupakan zaman kemunduran daulah Abbasiyah sendiri dan merupakan tanda awal keruntuhannya. Khilafah Islam pada waktu itu sudah sangat lemah, karena lemahnya maka berkurang pula kewenangan Qadhi dan menjadi sempitlah daerah operasionalnya, yaitu hanya terbatas pada masalah hukum syari’at yang berkembangan di masyarakat. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa daulah Abbasiyah memang pada akhirnya runtuh, sehingga para sejarawan mengatakan bahwa Qadhi dan khalifah lemah pada waktu itu sehingga daerah operasional Qadhi sangat sempit, tetapi sebenarnya penyempitan kekuasaan itu boleh saja karena kelemahan dan kesempitan wilayah operasional qadhi akan tetapi mungkin juga karena kemajuan zaman menghendaki demikian hal diferensiasi (Ahmad Maulana , 2004) kerja sehingga lebih terarah karena menjurusnya tugas-tugas pajabat. Sebenarnya jauh-jauh hari sebelum khilafah Islam mengalami kemunduran seperti yang di alami saat ini sudah ada tanda-tanda dan gejala kemerosotan di dalam sendi-sendi kehidupan kenegaraan dan sosial kemasyarakatan umat Islam, yaitu berjangkitnya berbagai macam kritis, sosial, politik, budaya, agama, dan sebagainya. Sebagai akibat yang lebih fatal lagi umat Islam dihinggapi penyakit dan krisis “alwahn” seperti yang disinyalir oleh Nabi saw. yakni umat sudah terlalu cinta kepada dunia atau materialisme (QS. 89: 20, QS. 100: 7, QS. 104: 2) dan telah sirna jiwa dan semangat jihad mereka. Kebudayaan dan peradaban yang besar dan gemilang yang diagung-agungkan selama ini adalah ibarat sebuah konstruksi Istana secara internal, sendi-sendinya sudah hancur berantakan dimakan rayap dan zaman tanpa sadar, amat ironis, tragis dan memprihatinkan. Salah satu contoh yang sederhana mengenai fenomena ini adalah: ketika khalifah al-Mansur menawarkan jabatan Qadhi kepada 3 imam besar yang amat zuhud dan wara’ (Imam Malik, Abu Hanifah, Ibn Abi Dzi’b, dimana ketiganya masing-masing menolak tawaran khalifah secara halus dan argumentatif, namun Jurnal I lmiah Al-Syir’ ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 I nstitut Agama I slam Negeri ( I AI N) Manado 7 tragisnya ketiganya dijebloskan ke dalam penjara. Mereka menolak jabatan yang setinggi itu tidal lain melainkan karena hendak memelihara kepentingan agama mereka. Karena sekalipun mereka menjadi Qadhi (hakim) negara, tetapi kalau hukum-hukum Allah tidak dapat dilaksanakan adalah sia-sia belaka.(mum”A Surry, 1955) III. Al-Qanun Pada Masa Abbasiyah Kata “Qanun” merupakan kata yang telah menjadi bahasa Arab dalam kitab Mu’jam al-Wasiţ disebutkan bahwa Qanun ialah setiap perkara yang bersifat kulli (menyeluruh) yang relevan dengan seluruh juz’iyyah dikenal. Ulama salaf memberikan definisi “Qanun” disebut bersamaan dengan kata syari’at tidak lain maksudnya ialah: sesuatu hukum yang dibuat oleh manusia untuk mengatur perjalanan hidupnya dan hubungannya dengan sesama yang lain, baik secara individual, masyarakat dan negara.( Yasir Tajid, 1977) Jadi kata qanun berari kumpulan undang-undang atau produk manusia yang dikemas untuk perkara tertentu dan bidang-bidang tertentu, seperti undangundang pidana atau kumpulan produk hukum manusia yang digunakan untuk menyelesaikan dan memutuskan perkara manusia yang berselisih. Abad pertama sampai abad ketiga pada masa Abbasiyah, sebagai masa jaya dan majunya semangat ijtihad dikalangan ulama fikih, yang menjadikan sumber hukum dalam penetapan hukum di lembaga pengadilan al-Qur’an, sunnah dan ijtihad para hakim sendiri. Akan tetapi, setelah itu sumber hukum yang menjadi acuan bagi para hakim di pengadilan sudah berubah, sejalan dengan perkembangan fikih Islam dimasa itu. Pertentangan mazhab mulai timbul sehingga masing-masing hakim di pengadilan dalam menetapkan hukum sesuai dengan mazhab fikih yang mereka anut. Hal ini membawa lahirnya mazhab fikih seperti mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali. Banyak kitab standar yang ditulis untuk mewakili mazhab-mazhab tersebut baik oleh pendiri mazhab maupun oleh muridnya. Pemerintah memang tidak menjadikan kitab-kitab tersebut sebagai kitab Undang-undang, termasuk Undang-undang hukum perdata (al-Qanun alJurnal I lmiah Al-Syir’ ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 I nstitut Agama I slam Negeri ( I AI N) Manado 8 Madani), namun dalam kenyataannya para hakim lebih banyak merujuk kepada pendapat mazhab yang diikutinya dalam menetapkan hukum. Sehingga ruh ijtihad hakim menjadi lemah karena berkembangnya mazhab-mazhab fikih berkat dukungan pemerintah berkuasa. Akibat perhatian istimewa pemerintahan Abbasiyah terhadap mazhabmazhab fikih, sehingga hakim diperintah memutuskan perkara sesuai dengan mazhab yang di anut oleh penguasa, atau oleh masyarakat setempat, apabila yang berperkara tidak menganut mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu. D. Kesimpulan Dari urain di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa: - berdasarkan suhu politik pergantian khalifah, maka daulat Abbasiyah dibagi 4 masa yaitu: Abbasiyah I, II, III, IV, akan tetapi berdasarkan maju mundurnya kebudayaan, maka Abbasiyah dibagi dua periode yaitu periode kemajuan yaitu dalam kurun waktu Abbasiyah I, sedangkan periode II yaitu: masa Abbasiyah II, III, IV, yang dikenal dengan masa kemunduran. - qadha pada periode Abbasiyah I dikenal dengan periode kemajuan dengan adanya lembaga-lembaga qadha yang wawasannya terbagi-bagi dengan jelas, sehingga wilayah operasionalnya jelas dan terperinci, namun taasub (fanatisme) terhadap mazhab sangat kuat. - qadha pada periode II dikenal sebagai periode kemunduran, wewenang qadhi pada waktu itu sangat sempit yatiu hanya berkisar masalah syari’at yang berkembangan di masyarakat. - aplikasi dan implikasi daripada peradilan dan Undang-undang (hukum Islam) pada masa Daulah Abbasiyah mengalami gelombang dan pasang surut mengikuti arus pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan seiring Jurnal I lmiah Al-Syir’ ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 I nstitut Agama I slam Negeri ( I AI N) Manado 9 dengan situasi-kondisi fenomena, sosio-religio politis, dengan kata lain bahwa penerapan nilai-nilai ajaran Islam dalam masyarakat secara holistik adalah sangat ditentukan oleh adanya pengaruh dominan dan kemauan politik (political will) pemerintah yang berkuasa. Daftar Pustaka Al-Qur’an dan Terjemahannya al-Qardawi, al-Madkhal fi Dirasat Asy-syari’ah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Muhammad Zakki dan Yasir Tajid dengan judul Membumikan Syari’at Islam, Cet. I; Surabaya: Dunia Ilmu, 1977 al-Sayuthi, Imam Tarikh Khulafa’., Darul khathab al-Ilmiyah, yang diterjemah kedalam judul Bahasa Indonesia Tarikh Khulafa’ sejarah para penguasa Islam, oleh Samson Rahman., Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001 Bik, Hudhari Tarikh al-Tasyri al-Islami, dialihbahasakan oleh : Drs Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh al-Tasyri al-Islami. Sejarah Pembinaan Hukum Islam Indonesia, Darul Ikhya, 1980 Chalil, Moenawar Biography Empat Serangkai Imam mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1955 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Cet. VII. Qairo; al-Nahdhat al-Misriyyah, 135 H Hasymi, A. Sejarah Kebudayaan Islam, Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Http://www.alislam./CyberMQ/tarikh/sejarah/index.htm Jurnal I lmiah Al-Syir’ ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 I nstitut Agama I slam Negeri ( I AI N) Manado 10 Madkur Muhammad Salam, al-Qadha fi al-Islām, Cairo: Dar al-nahdat al-Arrabiyyah, 1384 H/1964 Maulana, Ahmad Dkk., Kamus Ilmiah Populer Cet. 2; Yogyakarta: Absolut, 2004 Shiddieqy, T.M. Hasbi Ash Peradilan dan Hukum Acara Islam, (t.cet; Yogyakarta: PT. al-Maarif, 1964 Strzyzewska, Bozena Gajane Tarikh al-Tashri al-Islam., Cet. II; Bairut, Dar al-Ifaqi alJadidu, 1983 M / 1403 H Sunanto, Hj. Musyrifah Sejarah Islam klasik Perkembangan Ilmu pengetahuan Islam, Cet. I; Jakarta; Prenada Media: 2003 Surry, Mum’in A. Sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1995 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan bahasa. Kamus besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990 Jurnal I lmiah Al-Syir’ ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 I nstitut Agama I slam Negeri ( I AI N) Manado